NASIONAL

Bahaya Kalau Punya Pemimpin Culas

by M Rizal Fadillah Pemimpin culas itu hilang rasa malunya. "Tuli" terhadap nasehat yang bernilai moral. Selalu mengikuti arahan yang memberi keuntungan materi dan lahir semata. Pemimpin culas adalah budak dari harta dan tahta. Harta dan jabatan adalah segala-galanya. Jakarta FNN – Rabu (15/07). Kepemimpinan itu sangat penting untuk membawa yang dipimpin pada nilai dan sasaran yang telah disepakati. Tujuannya adalah agar sejahtera dan bahagia dunia serta akhirat kelak. Kepercayaan merupakan modal dari kesuksesan. Pemimpin iru harus amanah. Pemimpin culas pasti dibenci. Culas itu "lazy, indolen, deceitful, dishonest". Menurut KBBI culas itu memiliki dua makna. Pertama, malas sekali, tidak tangkas, lamban. Kedua, curang, tidak jujur, tidak lurus hati. Pemimpin culas adalah pemimpin yang lamban, curang, dan tidak jujur. Pemimpin yang culas terlihat tidak berkhidmat kepada mereka yang dipimpinnya. Kepentingan diri sangat kuat. Sering melakukan langkah atau kebijakan yang bersifat manipulatif. Dalam agama, pemimpin culas itu sangat tercela. Mempunyai bermasa depan yang suram. Dari Ma'qil bin Yasaar ia berkata, saya mendengar Rosulullah SAW bersabda : "Tidaklah seorang hamba yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya melainkan Allah haramkan surga atasnya". (H.R Muttafaq 'Alaih). Hadits ini menggambarkan suatu watak yang sulit berubah hingga kematiannya "yamuutu yauma yamuutu". Watak itu adalah culas "al ghasysyu" yang menjadi habitat untuk senantiasa berlaku curang dan gemar untuk menipu rakyatnya sendiri "wa huwa ghasysyun liro'iyyatihi". Disamping ancaman Allah yang keras, juga pemimpin culas membawa kerusakan besar bagi diri dan lingkungannya. Tiga bahaya yang akan terjadi bila mempunyai pemimpin yang culas, yaitu : Pertama, hancur iman. Keimanan pada hari akhir kelak, menjadi hilang karena kekuasaan duniawi. Akherat tidak perlu untuk dikhawatirkan. Tetapi malah diabaikan. Bahkan diolok-olok. Kedua, pemimpin yang culas mendapat predikat buruk, baik melalui caci maki lisan, tulisan, ataupun gambar simbolik. Menjadi buah tutur yang buruk di kalangan masyarakat. Penilian yang buruk itu, baik pada masih menjabat maupun sudah pengsiun nantinya. Ketiga, punya banyak musuh. Apakah itu rakyat yang dipimpin ataukah teman "sekongkolnya” sendiri? Friksi kepentingan mudah terjadi hal yang lamrah. Pemimpin culas tega untuk berkhianat pada teman "seperjuangan" sendiri. Demi menjaga posisinya. Pemimpin culas hilang rasa malunya. "Tuli" terhadap nasehat yang bernilai moral. Selalu mengikuti arahan yang memberi keuntungan materi dan lahir semata. Pemimpin culas adalah budak dari harta dan tahta. Harta dan jabatan adalah segala-galanya. Kita bisa menilai sendiri. Adakah diantara para pemimpin negara kita termasuk dalam katagori pemimpin-pemimpin yang culas tersebut? Tengok Presiden, para Menteri, para Pimpinan Partai, para pajebata eselon di Kementerian dan Lembaga. Adakah "wajah-wajah" itu culas? Silahkan menjawab sendiri. Namun yang pasti, memberikan amanah pengelolaan negara kepada pemimpin yang culas, sama saja artinya dengan menempatkan rakyat di mulut buaya, mulut singa, atau mulut srigala. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Sumber Uangnya Sudah Kering, Negara Reformasi Segera Hilang

by Haris Rusly Moti Jakarta FNN – Rabu (15/07). Tanggal 21 Mei 1998 adalah hari lahirnya sebuah era. Presiden Soeharto menyatakan berhenti setelah berkuasa selama 30-an tahun. Era Orde Baru berakhir. Era reformasi yang berpondasi liberalisme lahir pada hari itu. Namun, saat ini, kita musti kembali bersiap untuk berduka. Negara reformasi itu diperkirakan akan mulai runtuh. Sirna atau wafat di usia muda, 22 tahun. Negara era reformasi akan menyusul nasibnya Sriwijaya dan Majapahit. Dua negara ini pernah hidup dan sirna di atas tanah yang sama, tanah pusaka nusantara. “Sirno ilang kertaning bumi”. Hilang dan lenyap ditelan bumi. Sengkalan itu mengirim pesan kepada kita tentang keadaan ketika itu yang sangat perih dan menyakitkan. Ketika itu ruh Majapahit itu pergi meninggalkan jiwa dan raganya. Emperium besar itu sirna, runtuh atau wafat. Dulunya sistem negara reformasi itu dianggap sebagai panasea, obat mujarab. Diharapkan sistem itu dapat menyembuhkan sejumlah penyakit kronis di era sebelumnya. Kenyataannya, makhluk yang bernama reformasi itu telah bermutasi menjadi virus kanker yang sangat ganas. Kanker itu kini telah menyerang seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik sendi sosial, politik, ekonomi, pertahanan, hingga yang paling mendasar, yaitu moralitas ikut diserang virus kanker ganas reformasi. Di usia yang masih muda, 22 tahun itu, sistem negara era reformasi itu diperkirakan tidak akan mampu bertahan hidup. Akan runtuh, wafat atau sirna ditelan oleh badai sejarah. Keadaan negara era reformasi tersebut dapat kita ibaratkan persis pasien yang sedang koma. Paisen yang lagi dirawat di ruang ICU. Rasanya sangat sulit untuk bisa memastikannya hidup kembali. Medical treatment yang sedang dilakukan, ternyata tidak juga berhasil meringankan penyakit yang sedang diderita. “Gerombolan” penyelenggara negara yang bertindak sebagai dokter, ternyata gagal memahami kondisi yang sedang dihadapi. Mereka lebih mengedepankan pendekatan kekuasaan ketimbang pendekatan kepemimpinan dan keteladanan. Akibatnya, virus kanker ganas itu justru makin ganas menggerogoti tubuh justru setelah dilakukan medical treatment. Kita tidak berpretensi mendahului kehendak Tuhan. Tetapi jika dilihat dari kondisi penyakit yang sedang diderita saat ini, bisa dipastikan nasib negara era reformasi sudah sangat sulit untuk diselamatkan. Kita justru akan menyiksa diri kita sendiri, jika tetap mempertahankan sebuah sistem yang telah menggerogoti jiwa, raga bangsa dan rakyat kita sendiri. Sistem negara reformasi memang sengaja dibuat, tidak dengan tujuan menegakan kedaulatan rakyat. Kita memperjuangkan kemerdekaan berpendapat dan berserikat. Tujuannya, agar rakyat berdaulat secara politik dan ekonomi. Dulu para pendiri bangasa memperjuangkan kemerdekaan Indonesia 1945, agar rakyat dapat berdaulat secara politik di negeri sendiri. Dengan demikian diharapkan kehidupan ekonomi rakyat bisa tumbuh mandiri tanpa penjajahan. Namun, kenyataannya kebebasan di era reformasi justru dibajak oleh oligarki jahat dan licik, untuk menjarah ekonomi nasional. Mereka membajak kehendak murni rakyat dan mahasiswa untuk mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Segelintir oligarki politik dan kartel ekonomi taipan-saudagar licik dan jahat itu, juga telah membajak institusi negara era reformasi. Mereka sebetulnya pelaku makar yang sesungguhnya. Sayangnya sepak terjang dan prilaku mereka, justru dipelihara oleh Negara. Dilindungi oleh yang sedang berkuasa. Sumber Kapital Kering Sindikat perampok BLBI dan kartel yang menjarah Sumber Daya Alam (SDA). Mereka adalah penopang utama rezim reformasi. Sindikat BLBI dan kartel SDA adalah kekuatan kapital atau sumber utama bahan bakar yang menggerakan mesin reformasi selama 22 tahun silam. Sindikat BLBI tersebut adalah pelaku makar, karena telah membobol duit di Bank Sentral. Dari sumber dana yang dijarah melalui skema BLBI dan KLBI itu, kemudian dibuat sejumlah skema untuk pembiayaan amandemen UUD 1945. Seakan-akan sumber pembiayaan agenda reformasi itu berasal dari lambaga donor asing. Padahal jika ditelusuri, dana-dana itu sebetulnya milik rakyat Indonesia juga yang mereka rampok, dengan cara membobol Bank Indonesia dalam skema BLBI dan KLBI. Anggaran untuk reformasi politik, hukum dan birokrasi yang katanya dari lembaga donor asing itu hanya bohong. Sumber dana sebetulnya dari uang perampokan BLBI-KLBI. Demikian juga anggaran untuk membiayai pembentukan sejumlah LSM dan Parpol yang menjamur di era reformasi, sebetulnya juga bersumber dari duit yang dibobol di Bank Indonesia melalui skema BLBI dan KLBI. Sebagai pembandingnya, di sejumlah negara Amerika Latin, sumber bahan bakar yang menggerakan mesin perubahan politik ke arah liberalisasi dan demokratisasi di sana berasal dari kartel narkoba. Operasi intelijen barat terlebih dahulu membentuk kantong logistik untuk membiayai operasi tersebut. Diantara kantong logistik itu, mereka bekerjasama dengan kartel narkoba. Dari uang perdagangan narkoba itu dipakai sebagai dana untuk melakukan operasi liberalisasi di negara-negara Amerika Latin. Sejatinya demokrasi itu dibentuk oleh rezim kapitalisme yang menuntut persamaan politik dan kesetaraan di depan hukum. Sejarahnya memang seperti itu, demokrasi itu sebetulnya lahir dari kandungan kaum kapitalis untuk menutut kesamaan hak dan derajat sosial dengan kaum feodal. Karena itu, di negeri barat, sumber kapital atau bahan bakar yang menggerakan mesin demokratisasi dan liberalisasi itu berasal dari kekuatan kapitalis industri. Berbeda dengan di Indonesia dan Amerika Latin, yang berlangsung demokratisasi tanpa industrialisasi. Karena itu, ketika negara barat memaksakan projek liberalisasi dan demokratisasi, mereka terlebih dahulu menciptakan sumber kapital sebagai bahan bakarnya untuk menggerakan liberalisasi dan demokratisasi. “Tidak mungking sebuah operasi intelijen untuk menguasai atau menghancurkan sebuah negara tertentu menggunakan APBN”. Demikian juga, biaya operasi intelijen atau militer untuk menghancurkan sejumlah negara di Timur Tengah misalnya, sebetulnya bersumber dari uang minyak yang berasal dari Timur Tengah sendiri. Demikian juga dengan di negeri kita, Indonesia. Tidak ada industrialisasi di sini. Maka sumber kapital untuk menggerakan liberalisasi dan demokratisasi itu diciptakan dari kekuatan oligarki jahat dan licik. Mereka itulah para sindikat BLBI-KLBI dan kartel SDA. Kalau di Amerika Latin, sumber kapitalnya berasal dari kartel narkoba, kartel SDA dan kartel jahat lainnya. Sementara di Indonesia, sekian tahun lama sindikat BLBI dan kartel SDA dijadikan kaki tangan barat dalam menjarah ekonomi nasional dan mengendalikan institusi negara. Dari dalam kandungan sindikat BLBI-KLBI dan kartel SDA tersebut, dilahirkan oligarki politik dinasti yang memegang kendali politik negara hingga saat ini. Kartel jahat itu membajak negara melalui mengendalikan pemimpin Partai Politik dan pemimpin negara. Hampir pada seluruh institusi Negara. Mulai dari pusat hingga daerah. Dari Presiden dan Ketua DPR-RI hingga Bupati, mereka adalah hasil dari peternakan sindikat BLBI-KLBI dan kartel SDA. Dalam sejumlah operasi politik untuk memenangkan pimpinan nasional, pimpinan daerah hingga pimpinan lembaga legislatif dan yudikatif, sering sekali diduga dibantu oleh “sindikat intelijen jahat”. Mereka telah berkhianat dan menyeleweng dari sumpahnya sebagai prajurit perang pimikiran. Kini, sumber kapital yang menggerakan reformasi itu sudah mulai mengering. Bahan bakar reformasi yang bersumber dari sindikat BLBI-KLBI dan kartel SDA itu telah gosong. Matahari baru yaitu kekuatan kapitalis teknologi informasi yang sedang memegang kendali. Menganggap kartel dan sindikat lama BLBI-KLBI dan kartel SDA tersebut sebagai parasit yang harus dimusnahkan. Mereka menghendaki keterbukaan informasi dan penyelesaian terhadap sejumlah kejahatan keuangan nasional dan international. Sistem negara era reformasi akan runtuh atau sirna. disebabkan oleh: Pertama, dana gelap hasil rampokan BLBI-KLBI telah mengering. Para perampoknya kini sedang menghadapi tuntutan pengadilan, baik itu pengadilan nasional maupun international. Kedua, jatuhnya harga komoditas di pasar international. Ketiga, kejahatan money laundry sedang menghadapi ancaman secara international. Dengan demikian sumber dana oligarki politik dinasti dipastikan juga akan kering. Bahan bakar yang menggerakan sistem reformasi juga makin mengering. Sistem negara era reformasi yang telah bermutasi menjadi virus kanker jahat itu sudah waktunya memang harus sirna atau runtuh. Semoga Tuhan Yang Maha Berkuasa mempercepat takdirnya untuk “wafat”. Semoga kita dapat mengembalikan cita-cita dibentuknya negara oleh para pendiri bangsa pada tahun 1945. Semoga rakyat kembali berdaulat di negeri sendiri. Semoga kemerdekaan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi dapat menempatkan kembali rakyat menjadi pemilik atas sumber daya alam dan kekayaan negara. Semoga konstitusi (UUD 1945) kembali menjadi landasan dan pedoman dalam penyelenggaraan negara. Semoga tidak akan lahir lagi pemimpin negara yang menjadi boneka asing dan parasit dari oligarki konglomerat jahat, licik dan culas. “Angkat senjatamu wahai Arjuna. Majulah berperang. Jalankan tugas kewajibanmu tanpa keraguan di hati”. Tulisan ini pernah dimuat di RMOL.Co.id edisi 20 Mei 2019. Penulis adalah Aktivis Mahasiswa 1998 Yogyakarta dan Pemrakarsa Intelligence Finance Community (InFINITY)

Pendukung Jokowi Mulai Kecewa

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (13/07). Kecewa para pendukung itu hal biasa. Hampir terjadi di setiap rezim. Tidak saja kepada yang jadi, yang gagal jadi saja kadang juga menghadapi kekecewaan dari para pendukungnya. Prabowo adalah contoh paling mutakhir. Pilih koalisi dengan Jokowi, Prabowo dicap sebagai penghianat. Adakah ini akan berpengaruh terhadap pilpres 2024 jika Prabowo mau maju lagi? Banyak spekulasi. Jika maju, apakah Prabowo akan membalik sejarah? Atau hanya menyempurnakan kekalahannya hingga tiga kali berturut-turut? Kita tunggu saja. Lain Prabowo, lain juga Jokowi. Sejumlah pendukung Jokowi juga menyatakan kecewa. Sebagian diungkap di medsos. Kenapa? Pertama, boleh jadi karena gak kebagian jatah. Ini mungkin sedikit jumlahnya. Karena Jokowi dikenal pandai berbagi. Tidak saja untuk generasi tua, generasi milenial pun dapat bagiannya. Kartu pra kerja misalnya, dituding banyak pihak sebagai bagian dari praktek bagi-bagi. Rangkap jabatan komisaris BUMN juga heboh saat ini. Begitulah politik. Menang, ya bagi-bagi. Itu namanya pengertian! Ada ribuan posisi untuk berbagi. Kedua, ini lebih karena alasan substansial. Di era Jokowi, banyak peristiwa yang dianggap membuat rakyat miris. Dimulai dari kematian petugas pemilu yang jumlahnya aduhai. 894 orang. Hingga saat ini, masih dianggap kontroversial. KPU umumkan hasil pemilu tengah malam. Situng KPU pun gak tuntas. Belum lagi peristiwa kematian yang terjadi dalam sejumlah demonstrasi. Di era Jokowi, UU KPK direvisi. KPK pun megap-megap. Dibilang mati, belum juga dikubur. Revisi UU KPK seperti memberi peluang koruptor kakap untuk kabur. Inilah hasil sempurna kolaborasi pemerintah dengan DPR. Mumtaz. UU Corona dan UU Minerba diketok juga. Walaupun protes terjadi dimana-mana. Disusul RUU Omnibus Law dan RUU HIP. Rakyat marah. Buruh, mahasiswa dan umat Islam protes. Turun ke jalan dan lakukan demo. Apakah akan didengar? Didengar iya, dipahami belum tentu. Apalagi diakomodir. Masih jauh. Lihat saja episode yang sedang berjalan. Iuran BPJS naik. Meski MA sudah batalkan Perpres 75/2019, naikin lagi. Terbit Perpres 64/2020. Tarif listrik dan jalan tol juga naik. Entah sudah berapa kali naiknya. Senyap! Sejumlah BUMN bangkrut. Jiwasraya dan Asabri kebobolan belasan triliun. Hutang negara meroket. Ke pertamina saja kabarnya negara masih punya hutang 160 triliun. Hutang swasta sekitar 400-500 triliun. Infonya total hutang negara sudah tembus 7000 triliun. Belum lagi dana haji. Diobok-obok. Pertumbuhan ekonomi minus. Ribuan perusahaan, termasuk kontraktor tutup. Jauh sebelum covid-19. PHK terjadi dimana-mana. BI dan Kementerian keuangan dapat tekanan untuk cetak uang besar-besaran. 600 triliun. Ancaman inflasi dihiraukan. Sementara, sejumlah menteri hanya bisa bermain akrobat. Putar balik lidah dan sibuk carmuk. Tak bisa kerja. Publik melihat kursi kabinet dominan sebagai bagi-bagi posisi untuk para pemodal dan pengusung. Jauh dari kemampuan untuk bekerja secara profesional. Kepada para menteri, Jokowi marah-marah. Jengkel! Mereka dianggap tak bisa kerja sesuai target. Pertanyaannya: siapa yang pilih mereka? Terutama dalam penanganan covid-19. Telat antisipasi, dan kacau datanya. Data sebelum datang covid-19, maupun data setelah diserbu covid-19. Laporan jumlah terinveksi dan yang mati, belum beres hingga hari ini. Simpang siur. Ini semua fakta obyektif yang bisa dilihat dan dibaca. Tentu, oleh otak yang masih waras. Waras artinya jujur. Menyangkal sama artinya gak percaya pada data dan fakta yang transparan di depan mata. Kalau gak percaya data dan fakta, lalu mau percaya pada apa? Inilah kondisi obyektif yang memaksa para pendukung melakukan evaluasi atas pandangannya terhadap Jokowi selama ini. Sebagian masih ada beban untuk mengakui. Sebagian yang lain telah mengakui data dan fakta itu. Mereka kecewa. Lalu, apa pengaruh kekecewaan para pendukung itu secara politik? Tak banyak. Kecuali jika ekonomi ambruk dan kekuatan Jokowi rapuh. Disitu, para pendukung akan balik badan. Tidak saja massa, partai politik, anggota DPR dan aparat pun akan menjadi pihak pertama yang berlomba untuk balik badan. Cabut dukungan. Jokowi harus sadar dan punya kepekaan terhadap perkembangan situasi belakangan ini. Karena semua bisa mendadak berubah dan tak terantisipasi. Bahaya! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Rakyat Dibayangi Pertanyaan: Mungkinkah Komunisme-PKI Bangkit Kembali?

by Asyari Usman Jakarta FNN - Ahad (10/07). Kalau pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD (31/5/2020) dijadikan pegangan, tampaknya tidak mungkin PKI bisa hidup lagi. Sebab, kata Pak Mahfud, Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan penyebaran ajaran komunisme-marxisme-leninisme tidak bisa dicabut oleh pihak mana pun. Dan, kata Mahfud lagi, tidak ada juga pihak yang ingin mencabut itu. Kalaulah Anda semua yakin ucapan Mahfud itu bisa dijadikan landasan, tentu tidak ada yang perlu khawatir. Kecuali Anda tidak percaya kepada beliau. Lain lagi masalahnya. Terlepas dari jaminan Menko Polhukam, kita semua melihat begitu banyak gejala yang menunjukkan bahwa komunisme-PKI sedang berusaha untuk bangkit. Kita uraikan gejala-gejala yang membuat publik, khususnya umat Islam, menjadi curiga PKI tidak akan tinggal diam. Misalnya, ada upaya yang rapi untuk membalikkan fakta. Setelah Reformasi 1998, orang-orang atau kelompok tertentu berusaha menyebarkan opini bahwa PKI tidak melakukan kesalahan dalam peristiwa pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965 malam (dinihari 1 Oktober 1965). Kemudian, ada pula desakan dari orang-orang yang mengatasnamakan keluarga PKI agar pemerintah Indonesia meminta maaf secara resmi atas rangkaian peristiwa yang memakan korban orang-orang PKI. Bahkan ada yang meminta supaya kuburan massal PKI 1965 diusut tuntas. Seterusnya, bermunculan seminar atau diskusi yang arahnya membela hak-hak asasi manusia (HAM) warga atau keturunan PKI. Upaya ‘ilmiah’ ini diiringi pemameran simbol-simbol atau lambang PKI di banyak pelosok negeri. Ada banyak yang memakai kaos palu-arit di depan publik, ada pula yang membuat graffiti (corat-coret) di tembok yang memajangkan slogan atau lambang komunisme dan PKI. Belum ini ada kasus bendera merah-putih yang diberi lambang palu-arit. Bendera ini ditemukan pada 11 April 2020 di kampus Universitas Hasanuddin, Makassar. Jadi, bagaikan ada upaya sistematis untuk membukakan peluang bagi komunisme-PKI berkembang lagi. Untuk bangkit kembali. Banyak orang yang menginginkan kebangkitan komunisme-PKI. Dan tidak sedikit yang memberikan simpati. Dengan berbagai cara. Ada yang memperjuangkan pencabutan Tap MPRS 1966 tentang larangan komunisme-marxisme-leninisme. Dan ada pula yang mengatakan sesuatu yang didambakan oleh para pendukung PKI. Yaitu, orang yang mengatakan penampakan kaus palu-arit hanyalah ‘trend’ anak muda saja. Bukan hal yang serius. Yang sangat mengkhawatirkan adalah perlindungan yang pantas diduga diberikan oleh kekuatan politik. Misalnya, blok politik besar yang sengaja menampung orang-orang yang menghendaki komunisme atau mereka yang terkait dengan PKI. Blok politik itu menampung orang-orang yang berindikasi memperjuangkan implementasi paham komunis di negeri ini. Kekuatan politik yang memiliki hubungan historis dengan PKI dan komunisme tsb, tidak berlebihan kalau disebut sengaja memberikan ‘ruang hidup’ kepada sisa-sisa komunisme-PKI. Ini dapat dilihat dari upaya memuluskan pengesahan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di DPR. RUU yang ditolak oleh PKS bersama Partai Demokrat dan dipersoalkan oleh PAN dan PPP itu, tidak mencantumkan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 seperti disinggung di awal tadi. Banyak yang melihat ini sebagai upaya untuk menghalalkan komunisme dan PKI. Meskipun Menko Polhukam dan para petinggi DPR yang menangani RUU HIP sibuk meyakinkan publik bahwa UU HIP akan memperkuat ideologi Pancasila. Belakangan ini, sponsor RUU HIP mengubah taktik. Mereka mengganti judul RUU bermasalah ini menjadi RUU PIP (Penguatan Ideologi Pancasila). Umat Islam tetap tidak akan percaya pada pengubahan judul itu. Sebab, kalau tidak ada maksud-maksud terselubung, mengapa masih harus mencarikan jalan keluar (way out) untuk sesuatu yang ditolak dan dicela keras oleh semua pihak? Tampaknya, tahun-tahun mendatang ini akan menjadi masa yang penuh tantangan berat bagi rakyat, khususnya umat Islam yang sangat keras melawan komunisme-PKI. Umat Islam tidak boleh lengah. Sebab, sangat pantas diyakini bahwa memang ada kekuatan yang sedang bekerja untuk menghidupkan kembali paham komunis. Dengan segala gejala pro-komunis dan pro-PKI yang ada sekarang ini, setiap saat rakyat dibayangi oleh pertanyaan: mungkinkah komunisme-PKI bangkit kembali? Penulis adalah Penulis Wartawan Senior

Penyelidikan Bisa Dimulai Dari Rieke Pitaloka

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (12/07). Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menghebohkan. Bukan dalam arti konstruktif, tetapi menimbulkan reaksi masif. Protes terjadi dimana-mana yang intinya mendesak agar DPR atau Pemerintah menghentikan, membatalkan, atau mencabut RUU tersebut. Hanya itu tuntutan masyarakat, khususnya umat Islam. RUU kontroversial yang dinilai dapat menjadi pintu bangkitnya kembali faham neo PKI dan faham komunisme. RUU ini ini oleh sebagian masyarakat disinyalir sebagai "makar ideologis terhadap dasar Negara Pancasila". Kritik dan desakan, disamping pada tuntutan pembatalan RUU HIP, juga meminta pengusutan terhadap siapa inisiator atau konseptor dari RUU "makar ideologis" tersebut. Majelis Ulam Indonesia (MUI) dalam Maklumat yang dikeluarkannya, juga menekankan pada desakan pengusutan ini. Ketika sudah diakui bahwa usulan ini berasal dari fraksi PDIP, maka yang perlu kejelasan dan tindak lanjut. Apakah usulan itu bersifat perorangan atau fraksional. Lalu dimana Rieke Pitaloka berada selain sebagai Ketua Panja dan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR? Fraksi PDIP mengantisipasi melebarnya "skandal" RUU HIP ini dengan mencopot Rieke Dyah Pitaloka. Rieke dicopot dari kedudukan sebagai Wakil Ketua Baleg. Rieke sekarang digantikan oleh Komjen Muhammad Nurdin. Penggantian mana menjadi tanda "sanksi" ringan atas Rieke. Hanya saja masalahnya adalah apakah sanksi kepada Rieke itu berkaitan dengan kesalahan pribadinya? Atau Rike sebagai bagian dari inisiator RUU HIP? Atau karena Rieke memang tak mampu untuk menjalankan "misi" Fraksi atau Partai dalam menggoalkan RUU HIP? Pengusutan mulailah dari Rieke. Baik itu untuk pengusutan politik maupun hukum. Dari mulai Rieke, berulah dapat bergeser kesana-sini dalam arti keterlibatan beberapa pihak. Rieke juga sudah dilaporkan ke kepolisian. Tinggal gerak penyelidikan yang ditunggu dari polisi. Pada pasal 107 KUHP dapat menjadi acuan. Pelanggaran terhadap pasal ini, ancaman hukumannya antara 12 hingga 20 tahun. Dipastikan tidak berlaku hak imunitas anggota dewan untuk perbuatan dugaan makar terhadap ideologi dan dasar negara Pancasila. PDIP suah tidak bisa lagi lepas dari sorotan masyarakat. Perlu langkah konkrit untuk meluruskan rel perjuangannya, yaitu : Pertama, melakukan "pembersihan" kader yang disinyalir "leftist" kiri. Faksi ini bisa merusak citra ciri "nasionalis" di PDIP. Masyarakat khawatir pada gaya politik PKI yang mahir dalam penyusupan. Pulihkan segera citra PDIP sebagai Partai "tengah". Bukan Partai "kiri" dan "sarang kader-kader komunis". Bila tidak, bisa saja masyarakat memberi predikat sebagai "PKI Perjuangan". Kedua, evaluasi narasi dari Mukadimah dan Batang Tubuh AD/ART PDIP yang bernuansa Orde Lama. Tidak boleh ada interpretasi bahwa platform perjuangan PDIP itu adalah "tak suka dengan Pancasila 18 Agustus 1945”. Sebab itu sangat berhabaya untuk penjalanan bangsa ke depan. PDIP terkesan secara bertahap sedang menanamkan ideologi Pancasila 1 Juni 1945, yaitu Trisila, dan Ekasila. Jika ini tetap dipertahankan, maka wajar jika ada anggapan publik bahwa PDIP memang bervisi misi untuk menggoyahkan ideologi Pancasila. Selama belum dirubah, kemungkinan bisa selamanya PDIP akan berhadap-hadapan dengan umat Islam. Dalan kaitan skandal RUU HIP, maka transparansi dan konsistesi pada pembelaan Pancasila mesti dibuktikan. Bukan sedang menyosialisasikan sila "gotong royong". Yang sepertinya bagus sebagai "bahu-membahu", tetapi pada interpretasi ekstrim menjadi "communalism" dan "materialism", sehingga pada hakekatnya adalah "communism". "Communism is philosophical, social, political, economic ideology and movement whose ultimate goal is the establishment of a communist society". Budaya konflik dan menghalalkan segala cara melekat dengan perjuangan komunisme. Agama dianggap musuh dan candu masyarakat. Komunisme adalah kejahatan. Juga sekaligus penyakit berat yang berbahaya. Harus ditumpas habis sampai ke akar-akarnya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Infonya Mahasiswa Geruduk DPR. Ah, Yang Bener?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (12/07). Beda mahasiswa sekarang (abad 21) dengan mahasiswa dulu (abad 20). Setidaknya ada dua factor yang membedakan mereka. Pertama, mahasiswa sekarang umumnya lebih berorientasi pada kerja. Cepat lulus, IP bagus, dapat pekerjaan, punya duit, lalu cari mertua. Gak sabar untuk segera hidup mapan. Para aktifis mahasiswa di abad 20, mental berbangsanya lebih kuat dibanding aktifis mahasiswa abad 21. Dulu saat ke Jakarta, para mahasiswa naik bus, kereta atau kapal. Bahkan ada yang numpang truk. Makannya nasi bungkus. Siap juga untuk drop out. Bagaimana dengan mahasiswa sekarang? Dari daerah naiknya pesawat bro! Rapatnya juga sukanya di resto dan Cafe. Mungkin saja karena para aktifis sekarang, mereka berasal dari para orang tua yang sudah kaya. Atau sudah pinter untuk mencari donatur. Joko Edi Abdurrahman, mantan anggota dewan yang sekarang aktif sebagai pengacara ini pernah melempar isu bahwa ada dana Rp. 200 juta yang mengucur setiap bulannya ke Ormas Mahasiswa. Sebanyak Rp. 20 juta untuk pimpinannya. Isu ini sempat ramai. Bahkan Joko Edi akan dilaporkan ke polisi. Ditunggu-tunggu, kok laporannya nggak jadi-jadi, kata Joko Edi. Benar atau tidak itu isu, proses hukum nggak berjalan atas sinyalemen dana Rp. 200 juta versi Djoko Edi yang biasa disapa para aktivis di Kawasan Menteng dengan Prof itu. Karena laporan nggak kunjung dibuat. Sehingga masyarakat gak tahu persisnya. Tapi, stigma terlanjur menyebar. Selain itu, posisi mahasiswa sekarang berada dalam tekanan kampus. Sejak rektor dipilih oleh menteri dan dekan dipilih oleh rektor, maka kampus berada dalam kontrol kekuasaan. Mahasiswa sulit untuk leluasa menjadi oposisi. Ancamannya dari pihak rektorat, bisa dikeluarkan dari kampus. Di zaman Orde Lama dan Orde Baru, kampus juga berada dalam kontrol. Ada juga mahasiswa, dosen dan rektor yang dipecat. Bahkan dipenjara. Tetapi sekarang, kontrolnya lebih terstruktur. Melalui semua pimpinan kampus. Jika mahasiswa macam-macam, sikaaaaaaaaat! Saat ini, nyaris rektor dan dekan menjadi alat kontrol kampus. Tidak saja terhadap mahasiswa. Dosen yang terlalu kritis terhadap penguasa akan dapat teguran. Bahkan sebagian dapat teror dan intimidasi. Kasus diskusi publik di Fakultas Hukum UGM yang sempat ramai beberapa bulan lalu, menjadi salah satu buktinya. Gimana nasib kasusnya? Gelap kan? Maka, ketika ada info kalau tanggal 16 Juli 2020 mahasiswa seluruh Indonesia akan geruduk DPR berkaitan dengan RUU HIP dan RUU Omnibus Law, masyarakat agak apatis. Yang bener aja bro? Paling-paling juga berapa jumlahnya. Begitu kira-kira keraguan masyarakat. Selain tidak kompak, juga pesertanya sedikit. Juga cepat sekali kendor. Bisa juga karena kemasukan angin Itu bisa dilihat dari sisi jumlah yang demo selama ini, sehingga perlu bantuan anak-anak STM. Demonya berhenti sebelum tuntutan dipenuhi. Layu sebelum berkembang. Memble! Jika demo zaman dulu, jika ada mahasiswa dianiaya dan mati, maka urusannya menjadi panjang. Perubahan punya harapan lagi. Sekarang ini, beberapa orang mati, termasuk mahasiswa saat berdemo. Namun mahasiswa yang hidup bersikap sepertinya biasa-biasa saja. Seperti tidak ada kematian Demo berhenti dan kematian para korban seolah-olah dilupakan begitu saja. Mungkin juga karena sudah diganti dengan santunan, atau dapat hadiah sepeda. Kasihan nasib orang-orang yang mati itu. Doaku, semoga perjuangan kalian tak sia-sia. Dan kalian sudah bersama bidadari di sana (syurga). Meskipun begitu, bangsa ini harus tetap optimis. Berikan kesempatan kepada siapapun, termasuk mahasiswa untuk berjuang. Selama tidak destruktif, berjalan sesuai dengan aturan hukum, rakyat akan selalu mendukung. Semoga kali ini, endingnya gak mengecewakan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Siapa Yang Tonjok Jokowi?

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (10/07). Dipastikan ada kesengajaan "upload" Putusan Mahkamah Agung No. 44 P/HUM/2019 pada Jum’at 3 Juli 2020. Padahal Putusan tersebut sudah lama bersembunyi di meja Mahkamah Agung. Ada yang tidak tahan untuk terus menyembunyikan atau ada pengorder yang minta agar segera diupload Putusan tersebut. Situasi nampaknya semakin hangat. Setelah perseteruan antara Pimpinan Partai dengan Petugas Partai pada kasus korupsi Jiwasraya melawan suap KPU Harun Masiku, dimana enam tersangka kasus Jiwasraya disidang dan 13 manajer investasi ditetapkan sebagai tersangka baru. Bergerak menyertai audit atas keterlibatan OJK, bursa, Kementrian BUMN dan BUMN tertentu. Sementara di sisi lain Harun Masiku masih kuat untuk menghilang. Tiga tersangka sudah masuk tahap persidangan. Metreka adalah Wahyu Setiawan, Agustiani, dan Saeful Bahri. Kotak pandora Harun belum terkuak. Apakah pimpinan Partai terlibat suap ini atau Harun bermain sendiri. Harun belum juga muncul atau tertangkap. Nampaknya KPK masih takut berhadapan dengan "Harun". Kini nampaknya perseteruan makin menguat setelah masalah RUU HIP. Usulan PDIP digempur habis dengan mengangkat isu PKI dan Komunisme. Alih-alih Istana membela. Malah terkesan membiarkan atau membuang badan. Pernyataan Jokowi bahwa pemerintah tidak tahu-menahu proses RUU inisiatif DPR dinilai menyakitkan. Mustahil Jokowi tidak tahu, prolegnas saja dibahas bersama. Di tengah kencangnya serangan pada RUU HIP, usulan PDIP itu tiba-tiba muncul upload Putusan MA No 44 P/HUM/2019. Isinya menggugat dasar hukum yang dipakai KPU untuk memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (7) PKPU No 5 tahun 2019 bertentangan dengan UU No 7 tahun 2017. Mahkamah Agung selanjutnya juga menyatakan Pasal 3 ayat (7) PKPU tersebut "tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat". Dengan demikian, runtuhlah dasar hukum yang dipakai KPU untuk menetapkan kemenangan Pasangan Presiden/Wakil Presiden sekarang. Gonjang-ganjing terdengar keras. Pro dan kontra atas batalnya kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Bagi yang kotra, Putusan MA tersebut membatalkan. Bagi yang kontra tentu tidak membatalkan. Alasannya, Putusan MA tidak berlaku surut. Bagi penulis, tentu membatalkan karena menyangkut dasar hokum yang dipakai oleh KPU. Perumpamaan yang paling mudah adalah Sertifikat, yang kemudian dapat dibatalkan oleh temuan bahwa Sertifikat tersebut ternyata palsu. Sertifikat palsu tidak mungkin digunakan untuk membangun sebuah bangunan gedung atau rumah baru. Dalam hal ini KPU wajib untuk mencabut keputusan keliru yang telah dibuat. Nah heboh Putusan MA jadi skandal. Diduga ini adalah perbuatan politik yang disengaja. Tentu arahnya menggoyahkan legitimasi Jokowi. Disinilah pertanyaan muncul siapa yang menonjok Jokowi ? Skenario beragam bisa terjadi. PDIP yang "agak" berseteru. Bisa juga oknum MA yang mungkin bermotif pragmatik, atau di lingkaran Jokowi yang sakit hati. Semua kemungkinan bisa saja terjadi. Sebagian rakyat menyebut sebagai pengalihan isu atas gempuran RUU HIP. Sebagian menyatakan ini momentum pemakzulan Jokowi yang menumpuk kesalahannya. Teori konspirasi global menuduh Amerika terkait rezim Jokowi yang pro China. Atau mungkin juga ini mainan Jokowi sendiri untuk menguji para "dukun" pendukungnya. Yang jelas Putusan MA merupakan gelindingan politik berspektrum luas. Jawaban atas pertanyaan "Siapa yang tonjok Jokowi ?" Tentu menarik untuk dapat dibaca pada peta kekuatan yang ada dan berpengaruh. Apakah di tengah permasalahan berat ekonomi negara, pandemi covid 19, serta isu eskalasi gerakan komunisme ini, rezim Jokowi akan mampu membangun stabilitas? Atau sebaliknya, justru Pemerintahan ini akan berhenti di tengah jalan ? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Presiden Jokowi Memang Harus Ngeri!

by Hersubeno Aief Jakarta FNN – Jum’at (10/07). Presiden Jokowi kembali menyatakan betapa berbahayanya situasi dunia, khususnya Indonesia. Jokowi bahkan menggunakan kosa kata yang sesungguhnya tak lazim dan tak boleh diucapkan seorang Presiden. “Ngeri…..terus terang saya ngeri.” Jokowi juga menggunakan kembali kosa “bahaya”, dan “krisis”. Yang kali ini tidak diucapkan adalah “extra ordinary”. Dia menyampaikan kegalauannya dalam sidang kabinet terbatas Selasa (07/07). Pernyataan itu kemudian didistribusikan ke media oleh Biro Pers Istana Rabu malam (08/07). Lumayan, hanya berselang satu hari. Tidak harus dipendam dulu sampai 10 hari. Seperti ketika Jokowi marah-marah pada rapat paripurna kabinet (18/06). Mengancam akan membubarkan lembaga dan memecat menteri (reshufle). Presiden sudah benar. Memang harus ngeri. Walaupun terlambat, tapi harus tetap kita syukurilah. Akhirnya ada kesadaran situasinya extra ordinary seperti ucapannya. Harusnya ngerinya sejak dulu. Tujuh bulan lalu ketika virus corona, muncul di Wuhan. Atau setidaknya ya tiga setengah bulan lalu lah. Ketika di Jakarta dipastikan ada yang positif tertular virus made in China itu. Situasinya kini seperti nasi sudah menjadi bubur. Krisisnya bukan hanya berdampak terhadap kesehatan dan ekonomi. Tapi sudah merambah kemana-mana. Krisis sosial, krisis politik, krisis kepercayaan terhadap pemerintah, krisis legitimasi, dan yang lebih mengerikan —khususnya bagi Jokowi— adalah krisis kepemimpinan. Para menteri tidak menjalankan perintah Jokowi, sehingga kemarahan itu harus diulang-ulang. Sampai harus memohon supaya para menteri punya “perasaan yang sama” dengannya. Dan kini nadanya dari marah berubah menjadi ngeri. Ucapan seseorang yang tidak lagi berdaya. Padahal dia seorang presiden yang masih berkuasa penuh. Krisis saat ini ibarat penyakit kanker. Sudah metastase. Penyebaran sel kanker dari satu organ atau jaringan tubuh, merambah ke organ yang lainnya. Jauh dari tempat awal munculnya kanker. Sudah stadium IV, sudah terminal. Harus ada penanganan yang super serius, super fokus, tidak boleh lengah. Setelah itu tinggal menunggu keajaiban. Menunggu takdir! Demoralisasi Mengapa Jokowi sampai harus mengucapkan kata ngeri? Ucapan yang seharusnya tabu bagi seorang Presiden? Ucapan itu bisa menimbulkan demoralisasi. Bukan hanya untuk timnya, yang lebih utama bagi rakyat jelata. Kelompok yang paling menderita karena pandemi. Meminjam ucapannya, situasi ekonomi dunia saat ini benar-benar parah. Pertumbuhan ekonomi terus anjlok. Dari semula 2,5 persen, turun menjadi 5 persen, dan sekarang menjadi 7,5 persen. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Menkeu Srimulyani pada pertengahan Juni lalu memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal kedua akan minus 3,1 persen. Kadin Indonesia punya perhitungan lebih parah. Minus 4-6 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi minus lebih dari 7%. Pada kuartal III, Sri memperkirakan pertumbuhan ekonomi diprediksi minus 1 hingga 1,2% dan pada kuartal IV di kisaran 1,6% hingga 3%. Pertumbuhan ekonomi yang membaik di kuartal III dan IV itu hanya bisa terwujud bila asumsi-asumsi stimulus ekonomi berjalan dengan baik. Dan yang paling penting, bila pengendalian pandemi bisa berjalan dengan baik pula. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Ketika marah-marah dalam rapat paripurna, Jokowi mempersoalkan penyerapan anggaran pemerintah yang sangat rendah. Fokus yang dia soroti anggaran kesehatan, anggaran jaringan pengaman sosial, dan stimulus ekonomi. Dalam rapat terbatas dengan departemen/lembaga yang memiliki anggaran terbesar (07/07), hal itu kembali dipersoalkan. Dia menyoroti anggaran di Dephan dan lembaga lainnya yang penyerapannya masih lamban. Data terbaru ketika pemerintah menerapkan tahapan menuju new normal —dengan harapan ekonomi dapat kembali bergerak—tingkat positif corona malah melonjak drastis. Kamis (09/07) jumlah positif Covid-19 mencapai rekor tertinggi 2.657 orang. Angkanya menyebar di berbagai provinsi, dan Jabar tiba-tiba menyalip Jatim dan DKI dengan angka positif tertinggi. Di Bandung lebih dari seribu taruna sekolah calon perwira (Secapa) TNI AD kedapatan positif covid. Sejumlah kantor pemerintah kembali diliburkan karena pegawainya positif terjangkit. Mereka terpaksa diminta kembali bekerja dari rumah. Sayangnya dari penilaian Jokowi, bekerja dari rumah, bagi ASN malah seperti cuti panjang. Padahal semua harus kerja keras dan kerja cepat. Kemarahan, ancaman pembubaran lembaga, reshufle dan terakhir pernyataan “ngerinya” Jokowi menunjukkan situasi krisis di pemerintahan Jokowi. Data yang tidak sinkron. Instruksi Jokowi yang tidak dijalankan para menteri, menunjukkan dia tidak berdaya. Diabaikan. Ketika Jokowi marah, dia menyebut anggaran Kemenkes sebesar Rp 75 triliun, baru terserap 1,53 persen. Data itu langsung dibantah Komisi IX DPR RI. Benar, anggaran Kemenkes sangat besar. Rp 87,5 triliun. Bukan Rp 75 triliun. Untuk anggaran Covid hanya Rp 25,75 triliun. Sisanya sebesar Rp 61,2 triliun dikelola Kementerian Keuangan. Dari jumlah Rp 25,75 triliun tersebut, yang baru diserahkan ke Kemenkes sebesar Rp 1,96 triliun atau sekitar 17,6 persen. Jadi dari mana Jokowi mendapat data itu? Sudah marah, salah data pula. Kemudian ancaman membubarkan lembaga dan reshufle kabinet. Juga dimentahkan oleh Mensesneg Pratikno. Menurutnya kalau kabinet bekerja baik, reshufle tidak relevan lagi. WHAATTTTT? Pernyataan Presiden dikoreksi oleh seorang menteri? Dunia sudah terbolak-balik. Harusnya pernyataan menteri kalau salah, dikoreksi oleh presiden. Tidak boleh terbalik. Yang paling mutakhir adalah munculnya keputusan Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan Rachmawati. Pembatalan Peraturan KPU yang menjadi dasar kemenangan Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 oleh MA, menimbulkan kehebohan yang luar biasa. Kendati para pakar hukum tata negara sebagian besar sepakat, bahwa itu tak berpengaruh terhadap hasil Pilpres 2019, namun secara politik punya dampak yang berbeda. Semua itu menunjukkan lemahnya basis legitimasi dan kepuasan publik atas kinerja pemerintahan Jokowi. Andai saja semuanya baik-baik. Ekonomi tumbuh. Perut rakyat kenyang. Penanganan pandemi terkendali dan berjalan baik. Mau ada seribu keputusan baru dari MA, tidak akan berpengaruh. Apalagi sampai heboh. Sampai bawa-bawa ganti pemerintah lah. Pemilu ulang lah. Ada pula yang minta Jokowi turun. Kalau sudah begini kondisinya, Presiden Jokowi memang harus ngeriiii! End Penulis adalah Wartawan Senior

"Perang" Lobster Libatkan Wartawan TEMPO?

by Mochamad Toha Jakarta FNN - Kamis (09/07). Beberapa nama wartawan media mainstream masuk dalam “Daftar Nama” penerima angpao dalam kunjungan ke luar negeri yang diduga diadakan oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) era Menteri Susi Pudjiastuti. Ada nama Wahyu Muryadi-Tempo TV (Jepang) Rp 52.603.549; (Italia, Norwegia) Rp 158.704.237; (Amerika Serikat) Rp 161.852.947; (Monako, Polandia, Paris, Italia) Rp 197.837.588. Ada juga nama Arif Zulkifli dari Majalah Tempo (Italia, Norwegia) Rp 110.273.536; (Uni Emirat Arab) Rp 93.563.098. Marvin Sulistio-Tempo TV (Norwegia) Rp 51332.011. Rina Widiastuti-Majalah Tempo (Paris) Rp 55.611.952. Jajang Jamaludin-Majalah Tempo (Amerika Serikat) Rp 15.169.100. Selain TEMPO, yang juga sempat mendapat akomodasi plesir ke luar negeri dari media arus utama lainnya: Kumparan, Metro TV, Detik.com, Kompas.com, Harian KOMPAS, CNN Indonesia, Jakarta Post, TV One, dan Kompas TV. Dalam daftar penerima “akomodasi” itu, dari beberapa nama wartawan Tempo, nama Wahyu Muryadi memang lebih banyak muncul pada rombongan setiap kunjungan ke luar negeri itu. Sepertinya Wahyu Muryadi dapat perlakuan istimewa di KKP saat itu. Nama Rosiana Magdalena Silalahi-Kompas TV (Polandia, Paris, Italia) juga muncul dengan akomodasi Rp 170.960.340. Juga Ecep S Yasa-TV One (Monako, Polandia, Paris, Italia) Rp 200.802.852. Anggi Firdaus-Detik.com (Monako, Polandia, Paris) Rp 180.756.363. Mengapa sampai muncul Daftar Nama wartawan media mainstream yang “dibiayai” Menteri Susi Pudjiastuti justru setelah pimpinan KKP beralih ke Menteri Edhy Prabowo? Apakah ini memang sengaja dibocorin oleh KKP terkait tulisan Majalah TEMPO tersebut? Cover Tempo Pada cover TEMPO (Edisi 6-17 Juni 2020) ada gambar Menteri KKP Edhy Prabowo sedang memasukkan secara berlebihan benih lobster ke dalam mulutnya. Ini yang membuat seorang alumnus Tempo, Bunga Kejora (Bunga Surawijaya) marah. Bunga Kejora yang kini bertugas di Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik (KP2) Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat tulisan berjudul “Kemarahan seorang alumnus Tempo pada jurnalis Tempo kini”. “Saya syok ketika membuka pesan whatsapp dari seorang kawan tadi pagi. Ada sampul majalahTempo dengan gambar Menteri KKP Edhy Prabowo sedang memasukan secara berlebihan benih lobster ke dalam mulutnya (edisi 6-17Juni 2020),” tulisnya. Disainer grafis pasti direkrut sebagai pekerja profesional di kantor Tempo. Tapi bagaimana dia membuat cover, pastilah atas arahan dari tim redaksi. Redaktur pelaksana yang kemudian memberi persetujuan atas hasil visualisasi disainer grafis itu untuk cover. Mengapa Bunga Kejora dari awal harus menggambarkan proses ini, "Karena saya sering kesal mendengar jawaban “orang Tempo” saat ada kritik atau sikap keberatan atas cover-nya. Argumen mereka enteng, tanpa hati, dari tahun ke tahun." “Ah itu kan soal intrepretasi saja. Tafsiran seni grafis, dan kesan pembaca bisa macam-macam”. “Saya tidak sudi menerima alasan usang itu. Sebagai orang yang lahir dari keluarga seniman, dan mantan TEMPO, saya menyayangkan bahwa TEMPO telah membuat seorang disainer melacurkan diri untuk menggambar “sebuah vonis yang menghina lewat karikatur”,” tegasnya. Jelas ini vonis. Terang benderang bahwa gambar dalam cover Tempo edisi itu adalah ilusi tentang keserakahan. “Saya alumni Tempo juga, tapi di era ketika para senior seperti Goenawan Mohammad, Fikri Jufri, Toeti Kakiailatu dan lainnya masih aktif di meja redaksi,” tulisnya. Bunga Kejora menceritakan, awal tahun-tahun pertama dari 11 tahun belajar di Tempo itu, keras betul GM mengajarkan perlunya skeptis terhadap info yang masuk, tidak memihak, tidak memonopoli kebenaran. “Biarkan pembaca menilai, dan untuk menguatkan independensi, jelas kami (juga) dilarang menerima amplop,” ungkapnya. Itu nilai-nilai yang ditanamkan, selain ketrampilan menulis, tentu saja. Puluhan tahun berlalu, Bunga Kejora terhenyak (lagi) atas kenyataan nilai-nilai baik dari GM utamanya, tak menitis sampai ke redaktur Tempo tahun ini, 2020. Menurutnya, membenci bukan pekerjaan jurnalis, bahkan di saat kita melihat masih banyak orang-orang kekurangan di sekitar kita. Menghasut, juga bukan tugas wartawan berintegritas. Apalagi, menghina seseorang hanya karena tak mampu melihat persoalan dari berbagai sudut, tidak mampu obyektif. Kehormatan jurnalistik terabaikan dan tergadaikan. Tentu saya tidak bisa membandingkan situasi dulu dan sekarang, ketika di jagat media belum ada persaingan yang begitu ketat, termasuk dengan media sosial, yang membuat pimpinan Tempo kini seperti justifies the means hanya untuk memenangkan pasar. “Belum ada model framing pada era 80-90an TEMPO,” tulis Bunga Kejora. Tapi pantaskah berdagang tanpa integritas-apa masih bisa menjadi pembeda dengan jurnalis bodrex, jurnalis pesanan, jurnalis malas, jurnalis diduitin, jurnalis antek pihak tertentu. Yang membuat jurnalis masih bisa dihormati itu adalah ketika dia membaca dan memahami dengan integritas pribadi seluruh info dengan sikap tidak memihak. “Dalam kasus menteri Kelautan dan Perikanan, sudah dapat infokah kalian bahwa Benih lobster bukan hewan langka seperti komodo atau badak bercula satu. Benih lobster ada 27,8 miliar di lautan kita,” ungkap Bunga Kejora. Tahu kan benih lobster itu berasal dari telur lobster yang miliaran jumlahnya? “Dari setiap10 ribu benih loster, ulang ya 10 ribu, hanya 1 yang survive untuk membesar sebagai lobster. Sisanya, 9999 lainnya mati di alam,” jelasnya. “Itulah yang dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan di bidang kelautan dan perikanan. Bukan hanya satu mulut. Mungkin karena kalian; reporter dan redaktur belum kenal ratusan ribu keluarga nelayan,” ungkap Bunga Kejota. Bapak, ibunya, anak-anaknya pernah suatu masa berhutang budi pada benih lobster karena telah memanjangkan nafas ekonomi keluarganya. Saat pulang sekolah, anak-anak mengais benih lobster dengan alat tangkap berbentuk kipas. Tentu saja ada eksportir gemuk yang diuntungkan, karena uangnya diperlukan untuk membeli ribuan benih lobster dari nelayan. Lalu apa? “Tahukah juga bahwa di jaman menteri Susi – yang sudah kalian tempatkan lebih mulia daripada menteri penggantinya, nelayan yang berkulit gosong dan bersimbah peluh itu, Tidak Boleh mengambil benih lobster dan lobster muda untuk dikembang biakkan di kolam tambak mereka?” Bunga Kejora meminta, coba pikir lagi, kalau boleh memanfaatkan, memperjual-belikan si bening dengan aturan ketat, benarkah semua keuntungan itu masuk ke mulut pimpinan yang oleh hukum tata negara ditempatkan sebagai pimpinan kementerian yang bertanggung jawab sebagai regulator dan fasilitator. Jelaskan logikanya sebelum mempertontonkan pada publik prasangka tanpa hati. Bodoh itu tidak berdosa. Tapi, “Kalau ada wartawan Tempo malas berpikir, dan punya kepentingan tersembunyi di atas harga dirinya sebagai wartawan, saya merasa seperti ditelan bumi.” “Mari, para alumni Tempo kita ajak anak-anak kita mengembalikan marwah rumah TEMPO, yang dulu disebut sekolah terbaik wartawan, agar kita bisa menegakkan kepala kita kembali sebagai alumni TEMPO,” pinta Bunga Kejora mengakhiri tulisannya, Minggu (5 Juli 2020). Tempo Doeloe “Saya sih oke-oke saja jika Tempo membuka soal pencabutan larangan eksport lobster dan menyorot kebijakan Menteri KKP Edhy Prabowo. Kita lihat saja gimana pendalaman dan pengembangan beritanya setelah laporan utamanya yang terkini,” kata Hendrajit. Namun, Direktur Eksekutif Global Institute itu juga beralasan skeptis terhadap cara Tempo menginvestigasi suatu kasus maupun reputasi-kredibilitas narasumbernya sebagai sumber informasinya. Mengingat investigasinya terkait kasus-kasus sebelumnya. Wartawan senior itu menilai, kelemahan mendasar Tempo dalam investigasi, mengandalkan akses informasi dari jaringan perkoncoan-nya yang memang solid meski sudah jadi alumni Tempo dan bekerja di tempat lain. “Atau bisa juga karena kedekatannya yang sangat personal dengan beberapa pejabat tinggi pemerintahan,” ungkap Hendrajit. Di era Soeharto, Fikri Jufri misalnya, karena alumni FE UI, sangat erat perkoncoan-nya dengan beberapa menteri “mafia” Berkeley seperti Wijoyo, Ali Wardahana, atau Radius Prawiro. Dengan kalangan militer, ia sangat kental perkoncoan-nya dengan LB Moerdani. “Sampai di situ nggak soal sebenarnya, karena punya akses informasi bagi wartawan sangat berharga,” lanjut Hendrajit. Tapi, kalau kemudian kedekatannya itu menjadi personal dan subyektif, maka dalam hasil liputannya yang mengandalkan sumber-sumber info dari para menteri ekonomi yang sangat pro pasar bebas macam Wijoyo atau Ali Wardahana, maka hasil investigasinya secara faktual memang nyata, tapi fakta yang diambil bersifat konfirmasi bias. “Data atau fakta diambil sebagai dasar untuk mendukung asumsi atau pemihakannya pada kepentingan si narasumber. Bukan kepentingan publik secara umum,” tegas Hendrajit. Masih ingat Laporan Utama Tempo waktu membongkar pembelian kapal-kapal rongsokan Eropa Timur oleh BJ Habibie? Secara faktual memang nyata, tapi sumber-sumber informasi yang diperoleh Tempo berdasarkan inside informasi yang diberikan baik dari jalur para teknokrat Berkeley Mafia, maupun dari sayap militer pro Benny Moerdani. Yang mana keduanya punya satu kepentingan, untuk mendiskreditkan BJ Habibie sebagai teknokrat tehnologi yang bertentangan kepentingan dengan kubu teknokrat ekonomi Wijoyo dan kepentingan klik militer Benny Moerdani. Sehingga, betapapun terkandung kebenaran dalam informasi yang diperoleh, namun fakta-faktanya digunakan sebagai konfirmasi bias. Sehingga, dalam pemerintahan Soeharto yang serba terpusat dan kendali kekuasaan yang kuat terhadap jajaran birokrasi dan hirarki militer, maka ketika terjadi perang senyap antar faksi dalam pemerintahan Soeharto, masing-masing faksi yang sedang berseteru itu sama sama memanfaatkan media massa jaringan perkoncoannya masing-masing. Tempo, oleh karena para pengelola medianya seperti Goenawan Mohammad, Fikri Jufri, Bur Rasuanto, Salim Said, Christianto Wibosono, merupakan eksponen aktivis mahasiswa UI angkatan 1966. Dan, beberapa di antaranya juga wartawan harian Mahasiswa Salemba, lantas menjelma menjadi jaringan perkoncoan yang solid bukan saja antar mereka sendiri, tapi juga dengan para senior dan mantan dosennya yang kelak jadi para menterinya Soeharto seperti nama-nama yang disebut Hendrajit itu. Alhasil, dalam pertarungan senyap antara para punggawa dan hulubalang Istana, Tempo memang tetap kooperatif kepada pemerintahan Soeharto. Tapi, memihak pada salah satu faksi jaringan perkoncoan-nya. “Yaitu, dengan para tehnokrat ekonomi pro pasar bebas Berkeley Mafia, dan para perwira militer pro Benny Moerdani,” ungkap Hendrajit. Dan pola ini kemudian diteruskan oleh para pemred dan redpel Tempo generasi kedua seperti eranya Bambang Harymurti, Thoriq Hadad, maupun Wahyu Muryadi dan para junior-junior lainnya. “Maka itu dalam menyingkap kasus Lobster maupun menteri KKP, buat saya fine-fine saja. Tapi, saya juga skeptis pada cara Tempo mengolah investigasinya, maupun merajut fakta-faktanya,” tegasnya. Setidaknya kita berhak bertanya, ada apa dengan Tempo kok kali ini mengangkat isu ini? Dari skala prioritas maupun politik keredaksian Tempo, apakah memang penting banget angkat kasus ini dibanding mega kasus-mega kasus lainnya yang saat ini masih tetap misterius? Penulis adalah Wartawan Senior

Melawan Rencana IPO Anak Usaha Pertamina (Bagian-1)

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Kamis (09/07). Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir setelah Rapat Umum Pemegang Saham RUPS) Pertamina pada 12 Juni 2020 meminta Dirut Pertamina menyiapkan dua anak usaha Pertamina melantai di bursa. Menawarkan saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kata Erick Thohir, "jadi target dua tahun ke depan Ibu Nicke bisa go publickan satu sampai dua sub-holding Pertamina. Jadi bagian transparansi, akuntabilitas supaya jelas," usai RUPS Pertamina di Jakarta (12/6/2020). Pernyataan Erick tersebut merupakan perintah yang harus dijalankan manajemen Pertamina. Untuk maksud itu, tampaknya telah disiapkan berbagai alasan. Termasuk meminta pendapat sejumlah pakar, pengamat atau pesohor agar mendukung dan menjustifikasi. Dengan begitu, rencana tersebut dapat berjalan mulus dan sekaligus mendapat dukungan publik. Sikap IRESS terhadap rencana tersebut tetap konsisten sejak dulu, yakni menolak dengan tegas. Sebelumnya, pada Juli 2010, bersama angggota DPR Chandra Tirta Wijaya, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Sri Edi Swasono dan Jajaran Pimpinan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), IRESS telah membacakan sikap penolakan terhadap rencana Initial Public Offering (IPO) Sub Haloding Pertani. Sikap tersebut disampaikan kepada pemerintah (Kementrian BUMN) agar rencana IPO Pertamina Hulu Energy (PHE) segera dibatalkan. Rencana IPO 20% saham PHE yang saat itu dimintakan persetujuannya kepada DPR akhirnya dibatalkan pemerintah. Pada November 2019, IRESS kembali menolak rencana pemerintah melakukan “IPO terselubung” berupa akuisisi Pertagas oleh PGN. Penolakan IRESS ini hanya berbentuk tulisan terbuka. Semula sikap ini akan disampaikan pada satu seminar di Ruang GBHN Nusantara V DPR/MPR. Belakangan penyeampaian sikap tersebut batal karena wakil dari Serikat Pekerja Pertamina mengundurkan diri akibat tekanan dari manajemen. Salah seorang pengurusnya malah “dibuang” ke luar Jawa. Karena dianggap mencoba-coba mengganggu agenda “IPO terselubung” tersebut. Saat rencana IPO PHE terjadi pada 2010, sistem tata kelola pemerintahan masih berjalan normal dan konstitusional. Karena itu setiap langkah dan kebijakan strategis pemerintah dikonsultasikan dengan DPR. Namun untuk kasus akuisisi atau “IPO terselubung” Pertagas oleh PGN, situasi dan kondisi penyelenggaraan negara dan pemerintahan sudah berubah. Pemerintahan Jokowi yang telah berikrar ingin mem-buyback Indosat atau menjadikan Pertamina mengungguli Petronas ini telah berhasil “mengakali” rakyat sekaligus wakil rakyat. Akibatnya, persetujuan DPR atas akuisisi Pertagas oleh PGN berhasil di-bypass. Ini bisa saja terjadi, karena DPR tidak sadar atau sudah berubah sikap menjadi bagian dari pemerintah. Untuk rencana obral aset negara di Pertamina berikutnya, atau sebutlah itu IPO subholding seperti yang disampaikan oleh Erick dan Nicke, situasi dan kondisi tampaknya akan lancar. Berangkat dari kegagalan pelaksanaan IPO PHE 10 tahun lalu, tampaknya strategi dan peraturan untuk memuluskan rencana telah tersebut disiapkan komprehensif dan matang. Persetujuan DPR bisa saja tidak lagi dibutuhkan. Karena yang dijual hanya saham anak usaha. DPR pun bisa sengaja enggan untuk menggunakan hak pengawannya. Namun demikian, rakyat harus tetap melawan. Untuk itu perlu dipahami kenapa melawan. Alasan terpenting adalah migas merupakan sektor strategis. Migas menyangkut hajat hidup rayat banyak yang harus dikuasai Negara. Tata kelola dan melalui BUMN sesuai dengan perintah Pasal 33 UUD 1945. Hal ini bukan saja telah menjadi tekad dan amanat pendiri bangsa, terutama Bung Karno dan Bung Hatta, tetapi juga telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.36/2012 dan No.85/2013. Alasan berikutnya, para investor asing dan pengusaha liberal-kapitalis sangat berminat memperoleh manfaat besar dari sejumlah mata rantai bisnis sektor migas yang sangat menguntungkan. Untuk itu, disiapkan dan direkayasa dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga sebagian saham dari mata rantai bisnis yang menguntungkan tersebut (cream the la cream) dapat dikuasai. Pintu masuk untuk mengusai itu, melalui skema IPO. Dimana saham sebuah perusahaan dilepas ke pasar saham (bursa efek) secara umum untuk pertama kalinya. Aktivitas menjual saham ke publik melalui bursa efek selaku pasar keuangan resmi di Indonesia dikenal dengan istilah Go Public. Dengan melakukan IPO, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah perusahaan. Misalnya, bisa mendapatkan pendanaan murah, akses dana jangka panjang, memperoleh citra yang baik, meningkatkan nilai perusahaan dan memperoleh insentif pajak. Namun untuk itu, mata rantai bisnis atau anak usaha yang harus dijual adalah yang terbaik dan menguntungkan (cream the la cream). Jika prospek bisnisnya tidak menguntungkan atau tidak jelas, siapa yang akan beli? Sebaliknya, dengan melepas atau “mempreteli” satu per satu mata rantai bisnis yang menguntungkan dari BUMN seperti Pertamina, sesuai skenario dari kapitalis-liberal, atau dikenal juga dengan istilah unbundling, maka BUMN hanya akan “menikmati” bisnis ampas yang kurang menguntungkan. Lambat laun, semua lini bisnis yang menguntungkan akan terjual. Maka untung yang diperoleh akan lebih banyak dinikmati asing atau para pengusaha kapitalis-liberal. Padahal jika semua lini bisnisnya berjalan utuh secara “bundled”, maka BUMN Pertamina dapat melakukan fungsi-fungsi strategis negara secara optimal. Pertamina bisa melakukan fungsi cross-subsidy antar wilayah dan antar konsumen yang hingga saat ini mengalami kesenjangan yang lebar. Selain itu, merujuk Pasal 2 Undang-Undang No.19/2003 tentang BUMN, maka tujuan pembentukan BUMN antara lain berkontribusi terhadap ekonomi nasional. Juga melakukan tugas-tugas perintisan. Tugas-tugas tersebut, tidak akan opitimal jika oleh anak-anak usaha yang telah Go Public. Sebaliknya, kemampuan Pertamina untuk cross-subsidy akan berkurang karena sebagian keuntungan telah beralih kepada perusahaan lain. Salah satu contoh ironis yang dilakukan pemerintahan pro asing, pro kapitalis-liberal saat ini adalah membiarkan SPBU-SPBU swasta asing berbisnis di kota-kota besar di Indonesia. Sementara Pertamina diwajibkan menyediakan BBM hingga pelosok negeri. Tentu saja dengan beban biaya sangat besar. Dengan bisnis Pertamina dibiarkan untuk digerogoti asing, maka kemampuan Pertamina melakukan cross subsidy juga semakin berkurang. Sebagian malah harus ditanggung oleh APBN. Kita tidak anti modal asing. Dapat saja menerima skema IPO agar BUMN dapat memperoleh dana atau modal. Namun jika modal dan citra diperoleh dengan melanggar konstitusi, mengorbankan kedaulatan dan prinsip-prinsip strategis negara yang bernilai “kualitatif”, maka hal tersebut harus ditolak. Selain itu, jika aspek moral hazard dan nuansa perburuan rente seputar IPO dan proses IPO patutu untuk ikut diperhitungkan. Sehingga keuntungan “kuantitatif” akses dana murah dan dana jangka yang diperoleh melalui skema IPO justru jangan sampai sirna begitu saja. Dalam dunia akademis dikenal adanya tools yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan penting dan strategis. Tools tersebut antara lain adalah Cos-Benefit Analysis (CBA) dan Multi-Criteria Decision Analysis (MCDA). Pada CBA, keputusan diambil terutama pada kriteria ekonomi-keuangan. Begitu juga dengan MCDA. Keputusan yang daimbil harus mempertimbangkan berbagai kriteria. Milsanya, ekonomi-finansial, legal-konstitusional, sosial-politik, dan lain-lain. Kriteria-kriteria tersebut pun lumrah diberi bobot bebeda-beda sesuai urgensi dan prioritas. Dalam rencana IPO subholding Pertamina, tampaknya yang dipilih adalah metode CBA. Seperti disebut di atas. Metode inipun justru bisa tidak valid, jika prilaku moral hazard yang berperan dan dominan dalam proses IPO. Dari pengalaman yang sudah-sudah, moral hazard sangat dominan dalam IPO BUMN atau anak perusahaan BUMN. Padahal, karena Pasal 33 UUD 1945 masih berlaku, maka kondisi kesenjangan sosial antar wilayah yang harus diatasi dengan cross-subsidy yang saelama ini dilakukan Pertamina. Dengan ketahanan energi nasional yang masih sangat rendah, maka seharusnya yang dipilih dalam mengambil keputusan adalah metode MCDA. Sebenarnya, kebutuhan dana dapat diperoleh melalui penerbitan obligasi. Toh pola ini sudah lama dilakukan oleh Pertamina atau PLN. Kedua BUMN ini biasa menerbitkan obligasi dengan tingkat bunga atau kupon yang justru lebih rendah dibanding kupon obligasi terbitan pemerintah. Sebaiknya pemerintah, terutama Menteri BUMN Erick Thohir untuk membatalkan rencana IPO anak-anak perusahaan Pertamina. Perintah Erick kepada Dirut Nicke bukan sesuatu yang relevan dan legal harus dijalankan. Seperti yang mungkin dan umum berlaku pada perusahaan milik swasta atau pribadi. BUMN itu milik negara. Bukan milik “seseorang” seperti pernah diungkap Erick pada 26 Februari 2020 yang lalu di Jakarta. bersambung. Penulis adalah Managing Direktor Indonesian Resoeurces Studies (IRESS)