NASIONAL

Mungkinkah Prabowo Subianto Gantikan Ma'ruf Amin?

by Tjahja Gunawan Jakarta FNN – Senin (10/08). Dalam dunia politik sesuatu yang tidak mungkin bisa saja terjadi. Demikian juga dengan pertanyaan dalam judul tulisan ini. Jadi sangat memungkinkan seorang Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menggantikan Ma'ruf Amin sebagai Wakil Presiden. Beberapa hari lalu, seorang kawan yang memiliki jaringan dengan para aktivis dan elite politik mengabarkan tentang adanya agenda politik seperti di atas. Anda boleh percaya boleh tidak. Yang jelas, kata Jakob Oetama , "politik itu tidak hitam putih bung "!. Dulu, Jakob Oetama selalu mengatakan hal itu dalam hampir setiap rapat redaksi Harian Kompas. Para editor yang hadir biasanya duduk manis mendengarkan dan mencermati visi dan analisa yang disampaikan Pa Jo---panggilan akrab Jakob Oetama atas setiap peristiwa yang terjadi di negeri ini. Kembali kepada skenario Prabowo yang hendak menggantikan Ma'ruf Amin. Kawan saya itu mengabarkan, "pernikahan" Prabowo-Megawati atau Bahasa Politiknya Koalisi PDIP dengan Partai Gerindra bersifat permanen. Sebagai bagian dari tokoh oligarki partai saat ini, kedua pimpinan parpol ini telah sepakat untuk membuat peta jalan dan skenario politik menjelang Pemilu Tàhun 2024. Lalu apakah pasangan Megawati-Prabowo akan maju pada Pilpres 2024, seperti yang dilakukan mereka berdua pada Pilpres Tàhun 2009? Dalam Pilpres nanti Megawati ternyata akan mengusung anaknya Puan Maharani, yang kini Ketua DPR-RI. Selanjutnya Puan akan dipasangkan dengan Prabowo Subianto. Apakah Prabowo tidak capek nyapres terus-menerus, sementara usianya sudah "bau tanah"? Sekali lagi dalam dunia politik, ambisi untuk meraih kekuasaan tidak mengenal umur. Buktinya, Mahathir Mohammad ikut dalam kontestasi Pemilu dan berhasil menjadi PM Malaysia, walaupun setelah itu beliau mengundurkan diri. Jika melihat portfolio Prabowo Subianto di dunia politik, sebenarnya modalnya sudah cukup. Bahkan lebih dari cukup untuk bisa running kembali dalam Pilpres 2024. Kali ini dia akan berpasangan dengan Puan Maharani, cucu biologis Soekarno, Presiden pertama republik ini. Soal adanya lapisan masyarakat yang kecewa dengan sosok Prabowo Subianto yang telah berubah wujud, dari harimau menjadi meong, itu persoalan lain. Saol akankah nanti Prabowo akan kembali mengumandangkan kembali kalimat heroik, "saya akan timbul tenggelam bersama rakyat?". Kita lihat saja nanti. Yang jelas, saat ini posisi politik Prabowo Subianto semakin kuat. Bukan saja dia telah terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Pembina dan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Dalam Kongres Luar Biasa (KLB). Tetapi di jajaran kabinet, Prabowo kini lebih berpengaruh daripada Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Betapa tidak, sekarang tugas Prabowo bukan hanya sebagai Menteri Pertahanan. Tetapi juga telah diberi mandat oleh Presiden Jokowi untuk mengurus masalah ketahanan pangan negara. Lebih tepatnya Prabowo telah diminta Jokowi untuk mengolah lahan gambut di Kalimantan yang luasnya lebih dari satu juta hektar. Tidak heran kalau kemudian ada wacana tentang rencana para anggota TNI diterjunkan ke sawah untuk mengelola lahan gambut tersebut. Tidak jelas alasan dibalik keputusan Presiden Jokowi mempercayakan pengelolaan masalah pangan/lahan gambut kepada Menhan Praboowo. Mengapa Presiden Jokowi tidak menunjuk Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo? Apakah karena Mentan Syahrul Yasin Limpo berasal dari Partai Nasdem? Yang saat ini posisi politik partainya cenderung untuk keluar dari kelompok partai koalisi penguasa. Mungkin demi mempersiapkan agenda politik sendiri menjelang Pemilu 2024 nanti. Sekali lagi, jika benar Prabowo Subianto hendak menggantikan Ma'ruf Amin, maka pertanyaannya adalah bagaimana cara dan mekanismenya? Bukankah Wapres Ma'ruf Amin satu paket dengan Presiden Jokowi? Dan keduanya telah dinyatakan "menang oleh KPU" dalam kontestasi Pilpres Tàhun 2019 lalu. Walaupun banyak kalangan masyarakat menuduh kemenangan tersebut diraih dengan cara curang. Pergantian penguasa seperti Wapres Ma'ruf Amin bisa dilakukan melalui proses politik yang "disepakati bersama" diantara para pimpinan parpol penguasa. Alasan rasional bisa dicari-cari. Misalnya, mengingat usia Ma'ruf Amin sudah tua dan sering sakit-sakitan, maka posisi dan jabatan Wapres perlu diganti. Bagi sementara kalangan bisa saja agenda politik untuk menggantikan Ma'ruf Amin sebagai Wapres dianggap sebagai skenario di luar nalar politik. Pikiran seperti ini juga sah-sah saja. Tapi kalau nanti skenario politik PDIP-Gerindra ini benar-benar menjadi kenyataan, maka realitas politik tersebut akan semakin mengukuhkan pendapat bahwa dalam dunia politik segala kemungkinan bisa terjadi. Sangat mungkin terjadi Jokowi bisa mundur atau bahasa halusnya diminta mundur sebelum masa tugasnya sebagai Presiden periode kedua berakhir tàhun 2024. Bisa di 2023 Jowi mudur, sehingga pada Pilres 2024 nanti, posisi Prabowo adalah Preiden. Loh kalau begitu, siapa nanti yang akan meminta mundur Jokowi? Ya penguasa parpol koalisilah terutama PDIP dan Partai Gerindra. Nah, kawan saya itu mengabarkan seperti itulah agenda dan skenario politik yang akan dijalankan Prabowo Subianto bersama PDIP. Jadi, langkah pertamanya adalah menggantikan Ma'ruf Amin sebagai Wapres. Kemudian setahun atau dua tàhun menjelang Pilpres 2024, Parbowo akan menggantikan Jokowi sebagai Presiden. Dengan begitu, nanti Prabowo akan maju sebagai Presiden incumbent dalam Pilpres 2024 tatkala berpasangan dengan Puan Maharani. Itulah agenda politik dari koalisi permanen PDIP-Partai Gerindra. Dengan demikian, lengkap sudah oligarki parpol dan dinasti politik di negeri ini. Mereka akan asyik sendiri dengan permainan kursi kekuasaan masing-masing. Sementara masyarakat dibiarkan mengurus dan mengatasi masalahnya sendiri. Melihat perilaku elite politik ini, semoga rakyat Indonesia bisa diberi kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi masalah yang dihadapi saat ini seperti penyebaran pandemi Covid19 dan resesi ekonomi yang sudah di depan mata. Masyarakat sekarang dihadapkan pada persoalan yang saling bertumpuk dan silih berganti. Sementara para penguasa asyik mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya masing-masing. Di masa datang, generasi penerus bangsa akan membaca catatan sejarah yang berbunyi, “di zaman dulu, ada seorang politisi bernama Prabowo Subianto yang pernah maju dalam Pilpres sebanyak 3 kali. Bahkan mungkin nanti empat kali. Pada 2009, Prabowo menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri. Megawati-Prabowo dikalahkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. Lalu pada Pilpres 2014, Prabowo maju sebagai capres berpasangan dengan Hatta Rajasa. Prabowo-Hatta kalah dari pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Kemudian di Pilpres 2019, Prabowo maju berpasangan dengan Sandiaga Uno. Prabowo kembali kalah dari Jokowi yang pada periode keduanya berpasangan KH Ma'ruf Amin. Prabowo akhirnya bergabung dengan Kabinet Jokowi. Setelah menjadi Menhan di Kabinet Jokowi, tiba-tiba Prabowo menggantikan Ma'ruf Amin sebagai Wapres. Tidak hanya itu, menjelang Pilpres 2024, Prabowo kemudian menggantikan Jokowi Yang mengundurkan diri sebagai Presiden pada periode kedua. Selanjutnya, Prabowo bersama Puan Maharani maju sebagai pasangan Capres dan Cawapres pada Pemilu Presiden 2024. Kalau seperti itu catatan sejarah politik Indonesia, apakah anak cucu generasi bangsa Indonesia akan menangis sambil mencaci maki para elite pilitik generasi sebelumnya? Atau mereka akan menerima dengan legowo catatan kelam perilaku elite kekuasaan saat ini? Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Wapres Makruf Amin Akan Diganti Budi Gunawan?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (10/08). Desas-desus, kalau Makruf Amin akan diganti. Maksudnya, akan dilengserkan dari kursi Wakil Presiden. Isunya makin santer. Bahkan kabarnya, sekenario ini sudah direncanakan sebelum pilpres 2019. Namanya juga kabar. Bisa benar, bisa juga tidak. Dari sisi politik, jika benar, kabar ini tak terlalu mengejutkan. Sebab, posisi Makruf Amin memang lemah. Tidak punya partai, dan dianggap tidak sepenuhnya merepresentasikan kepentingan kaum Nahdhiyin, organisasi asal Kiyai Makruf Amin ini. Menjadi wapres, tetapi Menteri Agama malah lepas dari tangan NU. Kerja dan dukungan PBNU untuk kemenangan Jokowi-Makruf telah diberikan total. Tapi, kompensasi yang diberikan kepada NU tak sebanding dengan dukungan yang diberikan. Sebagai vote getter, pilih Makruf Amin sebagai Cawapres cukup efektif. Pilihan politik yang cerdas. Dengan demikian, kantong suara Nahdhiyin bisa diambil. Terutama untuk mengimbangi suara umat Islam yang anti terhadap Jokowi. Khusunya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jika Makruf Amin diganti, bagaimana dengan respon PKB dan PBNU? Yang pasti, Makruf Amin tidak mewakili PKB. Sebab PKB punya jatah sendiri di kabinet. Untuk PBNU, jika posisi Menteri Agama kembali diserahkan kepada kader NU, ini tentu akan melegakan. Proporsional! Sebab, banyak garapan Kemenag itu ada di wilayah garapan NU. Mungkinkah posisi wapres ditukargulingkan dengan Kementerian Agama? Kalaupun opsi yang terjadi, maka sepertinya PBNU tak keberatan. Sebab, pegang Kementerian Agama, bagi NU bisa jadi lebih banyak manfaatnya dari pada posisi Wakil Presiden. Lalu, apa alasan konstitusional untuk mengganti Makruf Amin? Mengundurkan diri dengan alasan udzur itu dapat dibenarkan oleh konstitusi. Simple saja kan! Lalu siapa yang menggantikanya? Yang pasti bukan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) atau Kiyai Said Aqil Siroj (SAS). Kabarnya, ada dua kandidat yang sekarang sedang bersaing untuk mengincar posisi itu. Siapa saja mereka? Budi Gunawan dan Prabowo Subianto. Budi Gunawan itu orang dekat Megawati, ketua umum PDIP. Bekas ajudannya Megawati ketika menjadi Presiden. PDIP cukup besar jumlah kursinya di DPR jika nanti terjadi pemilihan di parlemen. Tapi, Jokowi nampaknya lebih sreg ke Prabowo Subianto untuk mendampingi dirinya. Kenapa? Pertama, selama ini Jokowi selalu berhasil menghindari koptasi Megawati. Pilihan ke Luhut Binsar Panjaitan (LBP) selama dua periode kepemimpinannya adalah bentuk nyata dari upaya Jokowi menghindari koptasi Mega. Sementara Budi Gunanwan itu orangnya Megawati. Kedua, Prabowo tak diragukan loyalitasnya kepada atasan. Prabowo juga tipikal seorang pendendam. Bahkan sebaliknya, Prabowo itu terkenal sangat pemaaf. Jokowi tidak perlu risau dan merasa khawatir terhadap Prabowo. Dia nggak akan menelikung atasan. LBP adalah orang yang sangat kenal benar siapa Prabowo. Bagaimana dengan tuduhan bahwa Prabowo telah menelikung terhadap PKS dan umat Islam? Itu soal yang berbeda. Karena PKS dan umat Islam bukanlah atasannya Prabowo. Ini yang harus dipahami. Walapun demikian, Prabowo kabarnya belom lama ini telah menemui Ketua Dewan Syuro (Pimpinan Tertinggi) PKS, Habib Salim Segaf Al-Jufri. Prabowo datang minta dukungan, agar PKS mendukung Jokowi, walaupun di luar koalisi. Maksudnya, kader-kader PKS jangan terlalu galak-galak menghadapi situasi politik krisis nanti. Ketiga, Prabowo punya Partai Gerindra. Jumlah kursinya juga sangat signifikan. Nomor tiga terbanyak di DPR setelah PDIP dan Golkar. Soal ini juga yang menjadi alasan pembenar kenapa Prabowo cepat-cepat melaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Gerindra? KLB yang dipercepat tersebut untuk mempertahankan posisi Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerindra. Tentu saja alasan lainnya untuk persiapan menuju pilpres 2024 nanti. Partai Gerindra dipastikan akan berada di garda terdepan untuk back up Prabowo. Pertimbangan ini sekaligus memberi pesan bahwa Jokowi akan merasa aman jika 2024 Prabowo yang menjadi presiden. Keempat, Prabowo itu dikagumi di militer. Keberadaan militer sebagai Wakil Presiden, akan menjadi perisai saat Indonesia dihantam krisis ekonomi nanti. Mesin militer bisa digunakan untuk menghadang, jika terjadi demo besar-besaran di masa krisis. Ingat, Indonesia sudah masuk masa resesi. Pertumbuhan ekonomi minus -5,32%. Kabarnya bahkan lebih dari itu. Akhir tahun ini negara kehabisan uang. Kondisi ini bisa menjadi gejolak ekonomi yang berefek pada gejolak sosial dan politik. Disitulah peran Prabowo yang berlatar belakang militer menjadi penting dan strategis. Siapa yang akan menggantikan posisi Makruf Amin akan bergantung kelihaian kedua partai besar itu bermanuver. Antara PDIP vs Gerindra. Tapi, ada pertanyaan mendasar yang tak boleh diabaikan, apakah Makruf Amin akan legowo untuk mundur? Atau sebaliknya, mantan kader PPP dan PKB ini justru bermanuver untuk mengganti presiden? Harap diingat juga, kalau politik itu tidak selalu linier. Apa yang tampak di permukaan dan perencanaan, tidak sepenuhnya akan menjadi kenyataan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Kasian, TNI Disuruh Urus Proyek Corona

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Senin (09/08). Sedih sekali melihat tentara kebanggaan rakyat negeri diberi bagian proyek corona. Tugas kepada TNI itu melalui Inpres Nomor 6 tahun 2020 tentang Peningkatan Kedisiplinan dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid 19. Fungsi TNI mengalami "pergeseran" dari yang ditentukan oleh UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Dalam Inpres Nomor 6 tahun 2020, TNI bertugas melakukan pengawasan, patroli, dan pembinaan. Hal ini bertentangan dengan peran TNI menurut UU Nomor 34 tahun 2004 Pasal 5, yaitu "TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara". Bukan cawe-cawe ikut urus corona. Dalam Pasal 7 memang TNI berfungsi untuk membantu Pemerintah Daerah dan Polri (ayat 2 butir 9 dan10). Namun perlu difahami bahwa posisi dan fungsi TNI tersebut hanya bersifat membantu saja. Cuma diperbantukan saja. Bukan menjadi palaksana utama. Masalah covid 19 ternyata erat dengan proyek penganggaran yang "bebas hukum" sebagaimana dimaksud oleh Perppu Corona Nomor 1 tahun 2020 yang telah menjadi UU Corona Nomor 2 tahun 2020. Covid ini bisa jadi lahan basah di tengah musibah. Inilah yang dikhawatirkan rakyat. Kita semua tahu kalau Ketetapan MPR Nomor VI tahun 2000 memisahkan TNI dengan Polri. Polri telah berlari dengan kencang, karena difasilitasi dengan kebijakan politik pemerintah (bukan politik negara), sehingga Polri menempati banyak posisi dan jabatan strategis di luar tugas utama Polisi. Pengamat menyebut "multi fungsi Polri". Sementara TNI masih terbatas dan tetap fokus pada masalah-masalah "pertahanan". Dalam konteks ini Inpres Nomor 6 tahun 2020 yang memberi porsi besar pada TNI atau sekurangnya sama dengan Polri untuk melakukan pengawasan, patroli, dan pembinaan berkaitan covid 19 harus tetap diwaspadai. Jangan sampai dijadikan sebagai pembagian lahan untuk "optimalisasi" dana covid 19 yang "bebas hukum" tersebut. Kasian TNI-nya. Semoga saja TNI tidak masuk dalam "budget trap" akibat dari keterlibatan penanganan covid 19 sebagaimana diatur dalam Inpres Nomor 6 tahun 2000 tersebut. Terlalu "merendahkan" institusi, jika ternyata Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) hanya menjadi wakil dari Erick Thohir. Disamping itu, ironi sekali, di tengah kebijakan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). justru terbangun kesan "militerisasi". Pada sisi lain, persoalan penegakkan hukum atas pelanggaran protokol corona tersebut adalah kompetensi Pemerintah Daerah atau Polri. Bukan kompetensi TNI. Karena itu TNI tetap harus hati-hati dalam menjaga marwah dan kedudukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya UU TNI. Jangan sampai muncul dugaan bahwa TNI sebenarnya sedang "dimanfaatkan" saja. Keterlibatan TNI aktif dalam peningkatan kedisiplinan dan penegakan hukum untuk terhadap pelaku pelanggaran protokol pandemi covid 19 sungguh sangat dipaksakan. Tidak pas. Ini bisa menjadi jebakan batmen buat TNI. Lagi-lagi kasian TNI, yang sekarang ini tidak punya cacat apapun di mata masyarakat Indonesia. TNI lagi bagus-bagusnya di hati rakyat. Jangan sampai dikotori dengan urusan remeh-temeh yang bukan tugas utama TNI. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebijakan Publik.

Makin Ngawur Soal Pilkada Gibran

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (08/08). Sudah berbau nepotisme yang merusak tatanan ketatanegaraan, kini pendukung nampak percaya diri seolah Gibran-Teguh bakal menjadi calon tunggal Wali dan Wakil Walikota Surakarta. Hampir semua partai politik telah berhasil "ditaklukkan" oleh pengaruh ayahanda sang Presiden. Dugaan ini sangat beralasan. Keyakinan demikian menyebabkan munculnya gagasan atau usul agar Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres soal Pilkada 2020 yang kontennya bahwa pasangan calon tunggal kepala daerah dan wakil kepala daerah di Pilkada 2020 ditetapkan saja secara langsung tanpa melalui pencoblosan. Tidak perlu hambur-hamburkan biaya lagi. Usul itu dikemukakan oleh BRM Kusumo Putro, inisiator Gerakan Relawan Rakyat untuk Kota Surakarta alias Garuda. Alasannya adalah adanya bahaya pandemi covid 19 serta untuk menghemat anggaran yang dapat dialihkan pada kebutuhan lain. Menurut pendukung Gibran-Teguh ini, Pilkada mendatang tidak menjamin terbebas dari munculnya klaster baru covid 19. "Saya juga menilai KPU Solo belum siap melaksanakan Pilkada dalam kondisi pandemi covid 19". Kusumo Putro menyebut bahwa belum ada sosialisasi tentang mekanisme dan tata cara pelaksanaan Pilkada Solo yang baik dan aman. Berkumpulnya masyarakat dalam jumlah besar pada hari pemilihan dan kempanye tidak dapat dihindarkan. Sesungguhnya soal alasan penghematan anggaran dan bahaya pandemi covid 19 cukup rasional. Hanya saja solusinya yang terlihat tak rasional. Proses pemilihan tetap dijalankan, tetapi tanpa pencoblosan. Aneh, semestinya jika bersikap konsisten, maka solusinya adalah penundaan Pilkada sampai pandemi reda. Bukan pemkasaan pelikada harus dipaksakan seperti sekarang. Usul agar pasangan calon tunggal untuk dapat dikeluarkan Keppres langsung ditetapkan sebagai kepala/wakil kepala daerah adalah usul yang, ngawur, lucu dan licik. Lucunya, bagaimana mungkin ada konsep "penetapan" pasangan kepala daerah tanpa ada pemilihan? Tanpa dilakukan pencoblosan. Liciknya, diduga kuat dasar usulan adalah kepentingan bahwa hanya akan ada satu pasangan saja yaitu Gibran-Teguh. Konfigurasi partai politik menunjukkan bahwa mayoritas partai mendukung atau mengusung pasangan putra Presiden Jokowi ini. Alasan ini juga merusak akal sehat dan tatanan demokrasi. Suasana yang "dipaksakan" harus terealisasi. Palaksanaan Pilkada pada bulan Desember 2020 pada situasi pandemi covid 19 ini dinilai sarat kepentingan. Seperti mnengejar jadwal tayang. Banyak keluarga atau kerabat dari pejabat negara yang maju untuk memperebutkan kursi Bupati atau Walikota. Akibatnya Pilkdada harus dipaksakan. Jika Pemerintah Pusat serius untuk mempertimbangkan aspek keamanan dan kesehatan. Bila pemerintah pusat berkeinginan untuk serius dan bersungguh-sungguh mencegah munculnya klaster baru covid 19, maka Pilkada 2020 sudah selayaknya ditunda. Pilkada secara akan sehat harus dimundurkan sampai pandemi covid 19 hilang. Kasus usulan Keppres "penetapan" tentu saja ngawur. Tidak beralasan hukum. Gibran yang digadang-gadang "harus" menjadi Walikota ternyata diperjuangkan dengan segala cara yang merusak demokrasi. Ini bagian dari politik nepotisme yaitu mendahulukan kekerabatan ketimbang kemampuan. "Nepos" itu artinya "cucu" atau "keponakan" yang menggambarkan keluarga dekat. Aspek kemampuan dikesampingkan. Aspek kapasitas dan kapabilitas tidak lagi diperlukan. Nepotisme secara hukum telah dilarang, dan harus diberantas. Bukan justru di "keppres" kan. Pilkada "Gibran" ini semakin ngawur saja. Pilkada yang hanya untuk memproduksi klaster baru penyebaran covid 19. Biaya yang dikelurkan untuk pengobatan penyebaran covid 19 juga semakin bertambah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Indonesia Berhikmat Pada Maunya Oligarki (Bag. Pertama)

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum I care not what puppet is place upon the throne of England to rule the Empire on which the sun never sets. The man that controls Britain’s money supply controls the British Empir, and I control the British money.” (Nathan Mayer Rotshild 16/9/1777-28/7/1836). Jakarta FNN – Jum’at (08/08). Bernegara bukan sekadar menyelenggarakan kekuasaan. Benar-benar bukan seperti itu. Bernegara merupakan cara untuk memuliakan umat manusia, dalam wujud menyejahterakan dan mencerdaskan mereka. Itu yang para pendiri negara ini mau, sehingga digariskan di dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk tujuan itu, pendiri negara membayangkan pemimpin penyelenggaran pemerintahan negara adalah orang yang memiliki kecerdasan intelektual dan moral di atas rata-rata. Pemimpin yang harus berkhidmat penuh pada denyut kemuliaan manusia, yang tarpatri dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Presiden, siapapun orangnya harus tahu tentang tujuan bernegara ini. Uang Tuhan Oligarki Para pendiri negara bukan tak mengerti soal demokrasi. Tetapi demokrasi yang diimpikan oleh mereka bukanlah demokrasi liberal. Bung Karno, Soepomo, Bung Hatta, Ki Bagoes Hadikusomo, semuanya sangat mengerti soal demokrasi itu. Mererka tahu demokrasi liberal punya anak kandung yang namanya imprialisme. Nah, imprialis itulah yang hari ini menghina pribumi Indonesia. Demokrasi liberal bertuhankan uang. Kenyataan itu terbentang telanjang disepajang rute sejarahnya. Hebatnya demokrasi tipikal ini diseluruh penjuru dunia hanya dapat didefenisikan secara indikatif. Akibatnya, terciptalah ruang kreasi liar, yang pada semua aspeknya hanya memuliakan orang kaya. Padahal mereka punya tabiat licik, picik, tamak dan culas. Tabiat untuk menindas rakyat kecil yang tidak punya sandaran kepada kekuasaan. Kreasi liar itu dipakai sebagai cara menyembunyikan semua kerusakan yang ada dalamnya. Polesannya selalu sangat dan sangat canggih. Sedemikian canggihnya, sehinga demokrasi liberal mampu untuk menampilkan semua kerusakan itu sebagai sesuatu yang biasa. Amerika dan Indonesia yang mutakhir, sejauh ini sukses dengan sangat spektakuler dalam cara itu. Sialnya politisi abal-abal, odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-beleng di negara Pancasila ini, sudah terlanjur mendewakan demokrasi impor yang menindas ini. Akuntabilitas, responsibilitas, keadilan dibanggakan sebagai elemen hebat demokrasi impor ini. Di luar itu tidak. Terlalu banyak orang yang tak mampu mengenal sisi mematikan, setidakinya seisi manipulative yang tersembunyi dalam konseop Supremasi hukum dan equality before the law misalnya. Orang-orang ini tidak mengetahui bahwa sejarah konsep-konsep itu disodorkan oleh oligarki kuno. Dan terus digunakan oleh oligarki modern sebagai cara mereka untuk mempertahankan eksistensinya dalam hirearki politik, sosial dan ekonomi. Tersaji dalam sejarah sebagai pencipta utama demokrasi liberal, kaum oligarkis menjadi pemberi bentuk kongkrit terhadap jalannya pemerintahan. Merekalah yang mengisi konsep-konsep demokrasi. Mereka inilah yang dalam sejarahnya merancang arah pembangunan negara yang harus dan harus dilaksanakan oleh presiden, siapapun orang yang mejabat presiden itu. Oligarki, dalam sepenggal sejarah Amerika, menentukan siapa yang harus menjadi capres dan siapa yang tidak boleh menjadi capres. Siapa yang harus menang dan siapa yang harus kalah dalam pilpres. Itu telah menjadi khidmat kebijaksanaan mereka. Mereka bekerja dengan uang. Namanya itu sumbangan. Hebatnya konstitusi liberal yang bekerja dalam kasus Amerika dan Indonesia, justru memberi sifat konstitusional atas sumbangan itu sebagai ekspresi hak konstitusional. Itulah kenyataannya. Dihormati sebagai hak konstitusional, mengakibatkan sumbangan kaum oligarkis dalam pemilu dimanapun, terutama di Amerika dan Indonesia tidak bisa dilarang. Para pendiri negara ini sangat dan sangat mengerti itu. Mereka meolaknya, dengan menyodorkan nilai-nilai Pancasila untuk menjinakannya. Sayangnya, generasi sesudahnya memiliki jarak moral terlalu jauh dengan moralitas mereka para pendiri bangsa. Dunia politik, hukum dan ekonomi sungguh beracun dan mematikan. Inilah soal terbesar bangsa sekarang. Terus Terkonsolidasi Indonesia dengan Pancasilanya dalam bernegara, justru semakin jatuh hati dan mempraktikan pemilihan presiden dan pilkada langsung. Akibatnya uang jadi panduan utama demokrasi. Miskin, pas-pasan dalam banyak aspek, tetapi sombong dengan demokrasi, yang setiap aspeknya penuh dengan tipu-tipu. Konyol namanya. Demokrasi tipu-tipu mainan kaum korporasi dan oligarkis licik, picik, culas dan tamak. Kekonyolan itu terlihat juga begitu jelas pada politik keuangan. Politik keuangan bangsa ini bekerja di lintasan tangan korporasi dan oligarki keuangan dunia dan domestik. Terjebak dalam penaralarn The Fed. Kemiskinan pengetahuan bangsa ini, telah mengakibatkan orang membanggakan independensi Bank Sentral. Dampaknya korporasi dan oligarkis bisa dengan leluasa mengatur inflasi dan deflasi. Padahal gagasan dasar inderopendensi bank sentral, awalnya diciptakan oleh Kolonel Mendel House, mentor politik dari Presiden Woodrow Wilson. Bank Sentral di Amerika hanya diatur dengan undang-undang. Celakanya, Indonesia malah mengaturnya dalam UUD 1945 yang telah diubah sebanyak empat kali secara berturut-turut itu. Sukses besar mereka. Dalam sejarahnya Bank Sentral, tersaji sebagai kreator paling ulung mengatur inflasi, deflasi, pemberian utang, utang dan utang. Namanya kredit dan pinjaman, juga bank note dan sejenisnya. Lini nalar khas Wall Street itu memunculkan lembnaga yang bermana International Monetery Fund (IMF ) dan World Bank, organisasi keuangan dunia. Bekerja dalam lini itu, utang dan pinjaman kepada negara anggota, terutama Indonesia yang telah menjadi primadona. Konsep politik ekonominya dinamakan pinjaman. Politik itu mengambil rute macam-macam. Salah satunya adalah celah defisit anggaran. Beginilah cerdasnya para politisi tak berakal tersebut. Mereka membiarkan dan memperbesar nafsu untuk membangun. Lalu uangnya nanti dari hasil pinjam dan utang. Tragis sekali. (bersambung). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Mundur...Mundur... Dan Mundurlah

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (07/08). Nampaknya seruan agar Pak Jokowi mundur akan semakin kencang dan menggaung. Ini efek dari tak ada kebijakan solusi atas keadaan saat ini yang menukik menuju multi dimensi krisis. Ekonomi, politik, moral, hingga ideologi. Pandemi juga melengkapi semua krisis yang ada. Penyelenggara negara seperti terbengong-bengong menghadapinya. Rakyat sulit berharap pada tim yang diberi amanah, tetapi tak mampu berbuat apa-apa. Kondisinya menjadi terus menerus melakukan kesalahan. Keluar Perppu salah, otak atik undang-undang salah, urusan kesehatan salah, pindah ibukota salah, ngurus keluarga Pilkada salah juga. "Salah melulu si dia". Sementara rakyat seperti dibiarkan mengatasi sendiri permasalahannya. Untuk sebaiknya, mundur..mundur..mundur sajalah. Mundur pertama, adalah mundurnya para pendukung Pilpres yang kecewa dengan kinerja junjungan. Tak sesuai harapan dan janji-janji pada saat pencitraan dan kampanye dulu. Kini sang pemimpin hanya bisa memikirkan diri, keluarga dan kelompok dekatnya saja. Kalau cebong mati karena tidak diberi makan. Menggelepar di daratan. Mundur kedua, adalah kelakuan para Menteri. Para pembantu Presiden yang "dimarah-marahin lagi", disalah-salahkan lagi, dan diancam-ancam akan diresafel. Menteri yang tidak dihargai oleh pemimpin yang sebenarnya tidak mengerti soal harga. Harga diri yang tergadai. Mundur ketiga, tentunya adalah mundurnya bapak. Koordinasi tim work yang amburadul membuat semua program "ambyar". Alih-alih investasi, nyatanya tumpukan hutang. Kepercayaan dan kesabaran publik sedauh semakin rendah. Mundur adalah keniscayaan. Tap MPR No. VI tahun 2001 bisa saja dijadikan sebagai sandaran pembenaran. Reformasi, restorasi, rekonstruksi atau apapun namanya mungkin segera terjadi. Perubahan politik secara konstitusional adalah biasa dalam proses ketatanegaraan Indonesia. UUD telah memfasilitasi hal demikian. Para pendahulu telah mengajarkan bagaimana pola suksesi. Bukan kudeta. Kemunduran adalah ketika kedaulatan rakyat dipermainkan dan elemen strategis bangsa diam saja. Kemunduran adalah hukum yang menjadi kepanjangan tangan politik pragmatik. Kemunduran adalah kemajuan yang tidak tercapai akibat Kulusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang semakin merajalela pada hampir strata pemerintahan hari ini. Kemunduran adalah jalan menuju keterpurukan dan pemiskinan rakyat. Jika kondisi sudah sangat ruwet...ruwet... dan ruwet, maka mundur...mundur...mundur adalah jalan terbaik untuk menuju kemajuan. Meski untuk maju lagi itu bertahap, namun maju..maju..maju. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Boedi Djarot Ribut Soal Khilafah

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (06/08). Beredar Video menantang Boedi Djarot yang muncul dari persembunyiannya. Boedi Dfjarot berteriak teriak menyatakan bertanggungjawab atas peristiwa 27 Juli 2020 di depan gedung DPR. Lalu menantang sambil menyebut nyebut soal Khilafah segala. Jika berpedoman pada undang-unang ITE "teriakan" itu masuk kategori ujaran kebencian. Benci kepada Khilafah. Entah Boedi Djarot mengerti atau tidak Khilafah? Bahwa Khilafah itu adalah sistem pemerintahan para sahabat Rasulullah SAW sepeninggal Beliau. Pemerintahan Abubakar Shiddiq adalah Khalifah. Begitu juga dengan pemerintahan Umar bin Khattab, Usman bin Affan, serta Ali bun Abi Thalib. Umat Islam sangat menghormati para Khalifah tersebut. Mengingkari para Khulafa'ur Rasyidin sama dengan mengingkari Rosulullah SAW. Artinya yang bersangkutan telah keluar dari Islam. Murtad namanya. Memang timbul pertanyaan Boedi Djarot itu Muslim atau bukan. Seorang Muslim tidak mungkin membenci Khalifah dan Khilafah. Sejarah kenabian dan shahabat tidak bisa dihapus oleh suara berisik sinisme dan kerut kebencian seorang Boedi Djarot. Itu melekat dengan keimaman dan keislaman. Mencaci maki sama saja dengan menodai. Pasal 156 a KUHP mengancam perbuatannya. Khilafah yang ditentang keras adalah modus sembunyi dari peringatan umat Islam yang mewaspadai kebangkitan kader-kader neo-PKI dan faham Komunisme. Pembenci agama itu, dipastikan mereka adalah kaum Komunis. Tidak yang lain. Mereka hanya menjadikan agama sebagai alibi untuk menyembunyikan diri dari yang sebenarnya. Disangkanya dengan membenci Khilafah otomatis bisa menafikan kewaspadaan umat terhadap bahaya kebangkinan kader-kader neo PKI dan faham Komunisme. Tentu itu tidak mungkin terjadi. Tantangan angkuh, yang sebenarnya adalah ketakutan Boedi Djarot. Lalu dikai-kaitkan dengan Khilafah, justru memercik muka sendiri. Boedi Djaroe sebenarnya membongkar borok tanpa disadari. Ada ideologi yang kini berbahaya bagi NKRI, yaitu mereka Gerombolan Trisila dan Ekasila yang berpedoman kepada Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Bukan konteks historis tetapi menjadi ideologi perjuangan saat ini. NKRI adalah Pancasila tanggal 18 Agustus 1945. Bukannya Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Kalau yang 1 Juni 1945 bukan Pancasila dan NKRI. Jika diperjuangkan agar berlaku, maka itu masuk kategori subversif atau makar. Upaya untuk merongrong, dan dapat mengganti Pancasila. Ini kejahatan terhadap keamanan negara. Melanggar ketentuan Pasal 107 KUHP. Bila ada narasi "partai sebagai alat perjuangan untuk membentuk karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945" dan tugas partai "mempengaruhi dan menjiwai jalannya penyelengaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945" dapatkah itu dibenarkan ? Jelas sangat inkonstitusional. Telah merongrong kewibawaan Pancasila 18 Agustus 1945. Jelas itu adalah makar atau subversif? Tidak ada devini yang lain. Mungkin bung Boedi Djarot yang ribut soal Khilafah bisa menjawab pertanyaan tersebut. Jangan bersikap seperti "kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak". Adil dan jujurlah dalam berteriak atau ribut-ribut itu. Jika tidak, ya rugi sendiri. Jangan sok membela NKRI, tetapi nyatanya menghianati NKRI. Model seperti itu adalah gaya perjuangan PKI dahulu. Diulangi oleh kader-kader yang neo-PKI kini. Nah, Mas Boedi Djarot, "A germ on the other side of the sea is visible, an elephant under one's own eye-lid is not !". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Caligula…………

by Zainal Bintang “Tidak, Caligula tidak mati. Dia ada disana, dan selalu disana. Dia ada di dalam dirimu masing-masing. Jika kekuasaan diberikan kepadamu. Untuk itu senantiasa ada, dan hidup dalam nafas atas kita, satiap kali aroma ketidakadilan menyebarkan bau yang tidak sedap. Bersumber dari kekuasaan yang menghalau kontrol, menyingkirkan sikap krtis, dan marampas sumber mata air demokrasi dari tangan alam ini. Alam kemerdekaan berpendapat beda dan berbeda pendapat”, (Albert Camus). Jakarta FNN – Rabu (02/08). Hari Minggu pagi, 02 Agustus pukul 10.13 WIB, saya menerima postingan dari Ilham Bintang (Ketua Dewan Kehormatan PWI) yang berjudul “Caligula”. Dimulai dengan tulisan begini, “…barusan nonton lagi film cerita jadul yang mengisahkan kiprah Caligula, Kaisar Romawi (Tahun 37 - 41 M). Kaisar paling buruk dan kacau dalam sejarah Romawi. Demi melanggengkan kekuasaan, dia labrak seluruh tatanan masyarakat Rowawi masa itu…dst..dst.. Mendengar kata “Caligula” ingatan melayang ke tahun 1970. Ketika itu di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Jakarta, sedang dipentaskan drama “Caligula” dari 13 – 15 Januari 1970. Saya sempat menontonnya. Dimainkan oleh grup “Teater Kecil” pimpinan sutradara dan sastrawan papan atas Indonesia, Arifin. C.Noer. Saya mengenal dekat Arifien C. Noer. Pada tahun 70-an dia bolak balik ke Makassar melakukan riset mengenai adat istiadat orang Bugis-Makassar. Dia yang menulis skenario film “Sanrego” produksi Alam Film Makassar. Film yang berlatar belakang kultur Bugis-Makassar yang berprofesi sebagai bajak laut itu. Dibintangi WD. Mochtar dan Rakhmat Hidayat. “Caligula” adalah sebuah reportoar (lakon drama) kelas dunia karya Alber Camus. Diterjemahkan Asrul Sani. Tokoh sastrawan Indonesia pendiri Akademi Teater Indonesia (ATNI) itu, telah melahikran banyak aktor besar Indonesia, baik di pentas teater maupun di perfilman. Sebutlah aktor Soekarno M.Noer dan adiknya Ismet Noer. Ada nama Pietradjaya Burnama, Wahab Abdi. Kalangan sutradara teater dan film ada Wahyu Sihombing dan Teguh Karya dan lain lain. “Caligula” bercerita tentang seorang kaisar muda yang memerintah Roma dengan ambisi dan obsesi di luar akal manusia. Karena ambisinya, ia mengorbankan semua yang dimilikinya, termasuk orang-orang Roma, bahkan kekasihnya sendiri Drusilla, yang juga adalah saudara perempuannya yang diperisterikannya. “Caligula” adalah kaisar ketiga Roma. Dinobatkan pada musim semi tahun 37. Pada masa tujuh bulan pertama pemerintahannya, dia merupakan teladan dari hidup sederhana. Dia meyakinkan senat bahwa akan mematuhi nasehat mereka. Bahwa dirinya adalah hamba mereka. Seringkali mengadakan perjamuan-perjamuan besar bagi umum. Bersikap akomodatif terhadap para penentangnya. Pada waktu akhir musim gugur, tiba-tiba dia terserang penyakit “aneh” . Dan ketika telah sembuh sifatnya berubah total. Sebagian besar kerabatnya di Istana maupun rakyatnya menganggapnya sudah "gila". Tanda-tanda kegilaan “Caligula” misalnya, ketika memutuskan mengawini Drusilla adik kandungnya sendiri tanpa merasa berdosa. Sang kaisar bejat ini, suka mengambil paksa pengantin – pengantin wanita dari suaminya dan meniduri mereka. Memerintahkan orang-orang untuk mengangkat kuda kesayangannya yang bernama Incitatus untuk menjadi imam di kuil. Gemar menyebar teror. Tiba-tiba di dalam suatu jamuan makan di Istana, “Caligula” beteriak lantang , “aku sedang berpikir bahwa hanya dengan satu anggukan kepala, aku dapat menitahkan leher kalian digorok”. Hadirin langsung senyap. Sipir penjara diperintahkan mengeksekusi tahanan yang botak, kemudian dicincang-cincang sebagai makanan hewan-hewan yang ada di kebun binatang. Ketika itu sejumlah kebun binatang kehabisan persediaan daging lantaran pemerintah kesulitan keuangan akibat “Caligula” berfoya-foya. Sampai suatu hari, ada pemberontakan yang tidak tahan dengan kekejamannya. Mereka merencanakan untuk melenyapkan sang kaisar. Di akhir cerita, “Caligula” meninggal di tangan pemberontak. Albert Camus lahir di Mondovi (sekarang Deraan), Aljazair, 7 November 1913. Meninggal dunia pada umur 46 tahun dalam sebuah kecelakaan mobil di Villeblevin pada 5 Januari 1960. Camus adalah penulis dan filsuf Perancis yang terkenal dengan karya – kayanya yang absurd. Perkenalan saya yang lebih intens dengan jalan fikiran Albert Camus serta beberapa sastrawan dunia seperti Ionesco, Sartre, Anton Chekov dan Bertold Brecht atau Sophocles yang terkenal dengan trilogi Oedipus Rex dan lain-lain. Perkenalan dengan beberapa sastrawan dunia, bersumber dari pergaulan saya yang bertahun-tahun dengan tokoh-tokoh sastrawan Indonesia. Termasuk dengan Umar Kayam, WS Rendra, Putu Wijaya, Taufik Ismail dan Salim Said untuk menyebut beberapa nama. Umar Kayam pernah bertugas beberapa tahun di Makassar. Setiap hari kami bertemu dan berdiskusi berjam-jam di TIM siang dan malam. Kami berdiskusi masalah sastra pada kurun waktu yang lama. Bertahun-tahun. Aapalagi diskusi kami, didukung dengan tersedianya buku-buku dan literatur berkelas dunia di Perpustakaan HB. Jassin di komplek kesenian Jakarta tersebut. Berbagai analisis dan ulasan tentang Camus yang bertebaran di media mainstream Indonesia menyebutkan, bahwa menurut Camus, hidup manusia itu absurd. Absurd adalah sesuatu yang dianggap yang tidak masuk akal. Bahkan konyol. Letak absurditasnya adalah, karena di satu sisi manusia hidup mengarah atau menuju pada masa depan. Sementara di sisi lain, masa depan itu makin mendekatkan manusia pada kematian. Menghadapi absurditas itu, manusia sering kali melakukan kompensasi mencoba melarikan diri, dengan jalan memusatkan perhatian pada agama tertentu atau ideologi tertentu atau bahkan bunuh diri. Namun demikian, tindakan menyibukkan diri ke dalam agama atau ideologi maupun melakukan bunuh diri ditolak oleh Camus sebagai jalan keluar dari absurditas hidup manusia. Jalan keluar yang tegas baginya, adalah dengan melakukan pemberontakan atas hidup (revolt). Maksudnya, ketika menghadapi hidup, manusia harus berani. Manusia tidak boleh lari dari konflik. Tapi harus berani hidup bersama konflik! Tidak perlu takut pada bahaya kematian yang bisa datang setiap saat tanpa diketahui. Melalui karyanya “Caligula”, Camus menggambarkan bahwa manusia mati tidak bahagia dan hidup mereka tidak berarti. “Caligula” memberontak menentang ide ini. Dia memilih tindakan pembunuhan dan kekejaman untuk menegakkan ketertiban dan kontrol atas hidupnya. Camus menerbitkan karyanya ini pada tahun 1944. Namun diceritakan, dalam salah satu karyanya, Camus mengajukan sebuah epilog di ujung lakon ini dengan mengatakan, “Tidak, Caligula tidak mati. Dia ada disana dan selalu disana. Dia ada di dalam dirimu masing-masing. Jika kekuasaan diberikan kepadamu, jika engkau memiliki hati, jika engkau mencintai kehidupan, kau akan mendapati kekuasaan itu tidak terkendali, monster atau malaikat yang kau bawa itu akan masuk ke dalam dirimu. Waktu kita sangat ingin percaya pada nilai dan benda bisa menjadi indah dan berhenti menjadi tidak masuk akal. Selamat tinggal, saya akan kembali ke sejarah dan di sana, saya sudah dikurung begitu lama sehingga mereka takut untuk terlalu mencintai “. “…Alangkah berat, alangkah pedihnya upacara untuk menjadi manusia ini”, kata “Caligula.” Dengan luapan marahnya dia berucap lirih, “Aku mau menyemarakkan kejahatan dengan kebaikan, aku mau memeras tawa dari kesakitan.” Selain menciptakan maha karya “Caligula”, Camus juga melahirkan beberapa novel yang sangat kesohor ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Paling tidak ada empat yang bisa disebutkan, seperti Ke Mythe de Sisyphe (Mitos Sisifus), L’Etranger (Orang Asing), Le Malentendu (Kesalahpahaman) dan Novelnya berjudul (Prancis: La Peste) dikarang tahun 1947, dan memperoleh hadiah nobel pada tahun 1957. Dalam bahasa Inggris novel La Peste dikenal dengan nama ''The Plague''. Diterjemahkan oleh NH Dini pada 1985 dengan judul “Sampar”. Diterbitkan Yayasan Obor Jakarta. Tentu masih ada lagi karya-karya hebat lainnya. Seperti kumpulan esainya yang berjudul “Perlawanan, Pemberontakan, dan Kematian” atau Resistance, Rebellion, and Death. Tema utama dari cerita-cerita tersebut adalah kesendirian manusia, perasaan asing dan terisolasi dalam masyarakatnya sendiri. Akhirnya, sayapun sulit menjawab menjawab pesan WhatsApp dari teman-teman yang bergerak di luar lingkar kekuasaan. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

UU Korona Nomor 2/2020, Magaskandal BLBI Terulang Lagi

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Rabu (05/08). Salah satu ketentuan yang berpotensi merugikan rakyat dalam UU Korona Nomor 2/2020. Terutama aturan tentang perubahan kewenangan Bank Indonesia (BI). Pada pasal 16 ayat (1) UU Korona antara lain memberi BI kewenangan untuk memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik Selian itu, BI diberi kewenangan untuk memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas. Juga yang tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan Komite Stabilitas Sistim Keangan (KSSK). BI juga diberi kewenangan untuk membeli/repo surat berharga negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik dan bank selain Bank Sistemik. Ketentuan Pasal 16 (1) UU Korona membuka peluang terjadinya penyelamatan sektor keuangan melalui skema pemberian dana talangan atau bail-out oleh negara. Kebijakan seperti ini tentu tidak adil bagi seluruh rakyat. Segelintir orang atau pemilik bank yang memperoleh bantuan khusus dari negara atas nama penyelamatan sektor keuangan. Padahal kondisi mayoritas rakyat sedang menderita. Masyarakat yang justru jauh lebih layak untuk memperoleh bantuan dari negara. Apalagi jika bank-bank tersebut bermasalah akibat berbagai pelanggaran aturan dan prilaku moral hazard dari para pemiliknya. Di sisi lain, guna menyelamatkan sektor keuangan yang diakui dapat berdampak sistemik, tersedia mekanisme lebih adil, yaitu melalui skema bail-in. Dalam skema bail-in, pemegang saham atau group bisnis dalam suatu konglomerasi dapat saling bantu menyelamatkan sektor bisnis yang bermasalah. Ketentuan tentang mekanisme bail-in ini pun telah diatur dalam UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Para pemilik bank yang umumnya konglomerat tersebut, berbisnis dibanyak sektor. Mereka akan mampu dan berkeadilan menerapkan skema bail-in. Namun langkah ini ternyata diabaikan oleh pemerintah. Padahal Skema bail-out berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang menimbulkan biaya sangat besar bagi negara. Megaskandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesis (BLBI) akibat krisis ekonomi 1997-1998 telah membuat negara menanggung beban utang Rp. 640.9 triliun. Utang itu, terdiri dari BLBI Rp. 144,5 triliun, program penjaminan Rp. 53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp. 20 triliun dan obligasi rekap perbankan Rp. 422,6 triliun. Beban negara ini harus ditanggung rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan hingga sekarang. Ternyata sebagian besar pengusaha dan konglomerat penikmat kebijakan zolim fasilitas BLBI (termasuk obligasi rekap) saat ini bukan saja survive, tetapi bahkan tumbuh jauh lebih besar. Posisi mereka sebagai bagian dari oligarki kekuasaan tetap memperoleh berbabagi fasilitas. Mereka juga mendapatkan hak istimewa dari pemerintah seperti yang terjadi sebelumnya. Mereka para konglomerat itu dapat menguasai dan mencengkeram di berbagai sektor ekonomi dan keuangan nasional. Bahkan sebagian konglomerat telah merambah sektor sosial dan politik. Sehingga tidak mengherankan, bila mereka dapat mempengaruhi pembuatan aneka kebijakan, undang-undang dan peraturan pro oligarki, seperti UU Korona Nomor 2/2020. Kombinasi sejumlah ketentuan dalam UU Korona Nomor 2/2020, yakni Pasal 16 terkait bail-out, Pasal 20 tentang peran LPS, Pasal 22 tentang penjaminan dan Pasal 28 terkait eliminasi ketentuan dalam 12 UU yang berlaku, akan berpotensi merlahirkan kebijakan penjaminan penuh simpanan nasabah kaya (blanket guarantee). Disamping tidak adil, berbagai ketentuan tersebut berpotensi memunculkan moral hazard, termasuk oleh pejabat negara, sehingga dapat mengulangi megaskandal BLBI. Pada Pasal 20 UU Korona Nomor 2/2020, LPS diberikan kewenangan merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan pada Pasal 22 disebutkan guna mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan yang diatur dalam undang-undang tentang LPS. Dengan skema penjaminan penuh (full guarantee), maka simpanan konglomerat di perbankan seluruhnya dijamin pemerintah yang berpotensi moral hazard. Menurut BPK, tindakan moral hazard penguasa, pengusaha dan konglomerat yang mengkorupsi uang negara pada megaskandal BLBI dilakukan dalam berbagai modus. Laporan BPK No.06/VII/2000 menyimpulkan terjadi berbagai tindak pidana, sehingga para pelakunya harus diproses secara hukum, dengan pelanggaran sebagai berikut: Penggunaan BLBI diluar kepentingan yang telah ditentukan (yaitu untuk pembayaran dana nasabah), seperti untuk melunasi pinjaman dan kewajiban pembayaran yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, membayar utang kepada kelompok usahanya sendiri, transaksi surat berharga, melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan, membiayai kontrak derivatif baru, membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi dalam bentuk aktiva tetap, dan membiayai overhead (biaya operasional bank). Total penyimpangan yang terjadi adalah senilai Rp 84,84 triliun) atau 58,70% dari jumlah BLBI yang dikucurkan per 29 Januari 1999 (sebesarRp 144,5 triliun); Pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), yaitu nilai maksimum kredit yang dapat dikucurkan perbankan pada kelompok usaha sendiri. Pelanggaran BMPK sesuai dengan pasal 49 ayat (2) jo pasal 50 jo pasal 50 A UU No 10 Tahun 1998, merupakan tindak pidana yang harus diproses hukum; Pemberian fasilitas oleh BI yang mengizinkan perbankan untuk tetap mengikuti proses kliring walaupun rekening gironya di BI telah bersaldo negatif. Penggelembungan nilai aset oleh para obligor BLBI untuk menutupi kewajiban yang harus dilunasi dalam skema pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Salim Group, misalnya, menyatakan nilai seluruh aset yang diserahkan pada 1998 adalah Rp 52 triliun (hal ini diterima oleh konsultan BPPN, yakni Lehman Brothers, PT Danareksa, dan PT Bahana tanpa financial due diligence lebih dulu). Namun, audit PricewaterhouseCoopers pada 2000 ternyata menemukan nilai aset Salim hanya berkisar Rp 12 triliun – Rp 20 triliun. Temuan BPK di atas menunjukkan tindakan moral hazard dalam megaskandal BLBI, di samping oleh para konglomerat, juga dilakukan pejabat negara baik di BI maupun lembaga terkait lain. BPK juga menemukan berbagai pelanggaran oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai berikut: Mengonversi BLBI bank-bank take-over (BTO) menjadi penyertaan modal sementara (PMS); Mengalihkan utang ke bank pemegang saham pengendali melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS), dengan menandatangani APU; Memerankan diri sebagai agen dari pihak penerima bantuan dari pada sebagai wakil pemerintah yang berhak menarik bantuan likuiditas yang telah diberikan; Aset yang dibayarkan berdasar pengakuan penerima BLBI jauh di atas nilai berlaku. Salah satu contoh, aset tambak udang Dipasena, Lampung milik Sjamsul Nursalim diserahkan kepada BPPN dengan nilai Rp 20 triliun. Padahal menurut perhitungan Menko Ekiun masa itu, Kwik Kian Gie, nilai pasar tambak Dipasena hanya Rp 2 triliun Dalam menjual aset yang dibayarkan penerima bantuan dalam rangka mengonversi aktiva tetap menjadi uang kas kerap jauh di bawah nilai pasar. Kasus BLBI merupakan megaskandal karena menyangkut jumlah dana sangat besar, Rp. 640 triliun. Para konglomerat penerima BLBI masa orde baru menguasai perekonomian nasional dari hulu sampai hilir. Ternyata saat ini, dominasi mereka bukan hanya pada sektor ekonomi dan keuangan, tetapi juga merambah hampir seluruh aspek kehidupan bangsa. Kalau dulu mereka hanya berhasil mempengaruhi pemerintahan Megawati untuk menerbitkan Inpres Nomor 8/2002 agar bebas pidana. Namun pada pemerintahan Jokowi ini, cengekraman mereka semakin kuat. Sehingga mampu dan berperan dalam pembentukan UU Korona Nomor 2/2020, yang berpotensi lebih menyengsarakan rakyat. Akibat megaskandal BLBI yang membuat besarnya beban utang yang ditanggung oleh negara. Untuk membayar bunga utang, maka setiap tahun pemerintah harus mengurangi beberapa pos anggaran untuk aspek-aspek mendasar kehidupan rakyat. Pengurangan tersebut termasuk untuk sektor pendidikan dan kesehatan, yang dibutuhkan oleh masyarakat. Akibatnya, program pos pelayanan terpadu menghilang. Biaya berobat naik. Biaya pendidikan juga naik, dan harga-harga barang/jasa ikuat naik. Meskipun mungkin terdapat perdebatan atas terjadinya penurunan anggaran kesejahteraan publik di tingkat makro, namun kian beratnya beban hidup menjadikan puluhan juta rakyat tetap hidup susah dan miskin. Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah menegakkan hukum dan keadilan terhadap para koruptor BLBI. Minimal sebagian aset mereka harus disita untuk didistribusikan kepada rakyat melalui mekanisme APBN. Namun, dengan ditetapkannya UU Korona Nomor 2/2020, kebijakan dan aturan tersebut bukan saja mengulang kesalahan dan kejahatan yang sarat moral hazard pada masa lalu. Namun kebijakan pemerintah semakin terlihat memihak kepada konglomerat. Kebijakan ini akan menambah kesengsaraan rakyat dan jumlah orang miskin itu sendiri. Bahkan, menurut CORE, pada kuartal-2 tahun 2020, akibat pendemi korona, penduduk miskin Indonesia akan bertambah sesuai skenario moderat 5,1 juta hingga sangat berat 12,2 juta jiwa. Dengan demikian, pada akhir 2020 nanti, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan diperkirakan mencapai 37,9 juta jiwa (14,35%). Situasi akan semakin parah jika anggaran perlindungan sosial lebih rendah dibanding dengan anggaran pemulihan ekonomi yang ditengarai sangat pro kepada pengusaha. Sama seperti pada megaskandal BLBI dulu. Karena itu, Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK) telah menggugat UU Korona No.2/2020 ke Mahkamah Konstitusi. Rakyat pun harus bangkit menolak UU pro oligarki tersebut. Penulis adalah Kordinator Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK).

Moral Politik dan Arah Perjuangan

by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Rabu (05/08). Rizal Ramli melalui media konfrontasi online memberi pesan tentang moral politik dan ketika puluhan tokoh-tokoh bangsa yang berkumpul merencanakan deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) . Tulisan tentang "Moral Politik" itu sesuai dengan pesan Rizal Ramli kepada saya sebagai syarat bergabungnya beliau dalam perjuangan bersama koalisi KAMI. Bergabungnya Rizal Ramli itu, baik tentang renacana kehadirannya pada acara tanggal 2 Agustus lalu, maupun selanjutnya. Lantas apa itu moral politik? Pertanyaan ini menjadi penting, karena syarat kesamaan moral politik dari tokoh Rizal Ramli adalah syarat mutlak. Olehkarenanya kita harus membedah dan memahaminya secara bersama. Pada tahun 1992, ketika saya direkrut Adi Sasono, tokoh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bekerja untuknya, dia menanyakan tentang moral politik pada saya. Sambil menyupiri mobil mercy tua dari Bandung ke Jakarta, Adi yang adalah cucu Mumammad Roem, tokoh perundingan Roem-Roijen untuk pengakuan kemerdekaan Indonesia di The Hague, meminta jawaban saya. Standar pengetahuan saya yang apolitis ketika itu mengatakan bahwa, moral adalah kelakuan asusila. Menjaga moral adalah menghindari perbuatan asusila, seperti berbuat zina, minum alkohol, mencuri dan sejenisnya. Namun, Adi membantah. Menurutnya orang-orang tidak bermoral adalah aktifis-aktifis yang berburu sekolah keluar negeri. Mereka juga merasa paling tahu Indonesia. Padahal aktifis-aktifis di Indonesia tersiksa oleh kebengisan rezim Soeharto. Di masa setelahnya, saya baru bisa mengerti apa yang disebutkan Adi Sasono saat itu adalah pernyataan kontekstual. Konteksnya pertama, Adi ingin menghibur saya yang dipecat dan dipenjara orde baru karena anti Suharto. Kedua, memang para aktifis yang tidak memburu sekolah ke luar negeri dengan bea siswa asing lebih nasionalis dan berani tahan banting melawan Suharto. Ketiga, aktifis-aktifis mahasiswa yang disekolahkan asing ke Amerika, Australia dan barat lainnya saat itu berubah dari kelompok perlawanan menjadi pengamat atau konsultan berbayar mahal. Sehingga pada saat Adi Sasono menjadi menteri Koperasi di masa pemerintahan Habibie, saya meminta ijin padanya untuk mendapatkan rumah di Kompleks Koperasi di sekitar Cububur. Permintaan itu saya lakukan karena seorang staf ahli menteri mengatakan bahwa asal ada ijin dari menteri, maka saya akan mendapatkan satu rumah gratis. Dan tentu saya ingin memiliki rumah, karena saat itu masih ngontrak. Tragisnyaa, Adi Sasono bukannya menyetujui, malah dia membentak saya. Menurutnya pekerjaan politik saya adalah menggalang rakyat, dan khususnya ke Aceh yang bergolak. Bukan mencari materi dalam perjuangan. Alhasil selama Adi Sasono menteri Koperasi, saya tidak membawa sama sekali penghasilan yang bisa ditabung dan rumah masih mengontrak. Begitulah kekuasaan dalam moral politik, yaitu memperkaya rakyat miskin. Pada suatu hari Adi Sasono dan Muslimin Nasution, menteri Kehutanan Habibie, berunding dengan Raja Kebun Malaysia, Kuok. Kuok ketika itu ingin memiliki 100.000 lahan untuk perkebunan. Adi Sasuno pun menyetujui permintaan Kuok. Namun dengan syarat 70% sahamnya untuk Koperasi, dan sianya 30% lagi untuk Kuok. Kuok jadi terkejut dan terheran-heran, karena seharusnya sebagai investor, Kuok yang mendikte menteri, sehinga porsinya 70% untuk pengusaha, dan 30% lagi mitra yang ditunjuk oleh pemerintah. Namun, sebagai seorang nasionalis, Adi Sasono tetap bertahan bahwa koperasi rakyat harus memiliki 70% saham. Alasan Adi, karena tanah milik negara. Sedangkan uang atas beban pinjaman perusahaan, kontraktor dan lain-lain dibayar perusahan. Akhirnya Kuok sepakat. Sayangnya, pemerintah Habibie terlalu cepat terguling, sehingga rencana tersebut tidak terealisasi. Pada saat berkuasa, penguasa tidak boleh membawa pulang uang abu-abu kerumah . Artinya, yang abu-abu itu tidak jelas asal usulnya. Hal ini diperlihatkan Hariman Siregar ketika menjadi orang kepercayaan Habibie lainnya ketika itu. Semua orang boleh makan sepuasnya di Hotel Mandarin ,atau lainnya di mana Hariman menjamu orang-orang politik. Namun begitu, apa yang dapat dinikmati para aktifis-aktifis miskin di hotel saat itu hanya di ruangan hotel itu saja. Hariman sangat melarang aktifis-aktifis memperkaya diri karena kekuasaan atau aktifis tidak boleh jadi “broker power" untuk kepentingan sendiri atau keluarga. Kembali pada soal Moral Politik yang diangkat Rizal Ramli melalui media konfrontasi online, apa yang terjadi dalam kisah di atas dan tentunya kisah yang bisa digambarkan Rizal Ramli dalam posisi dia berkuasa. Tentu saja menjadi pengalaman segelintir orang-orang suci di politik. Politik di masa lalu adalah politik cita-cita. Mohammad Hatta sampai meninggal dunia tidak mampu membeli sebuah sepatu yang dia inginkan. Sukarno tidak meninggalkan warisan. Adi Sasono sampai wafat adiknya tetap miskin di Pekalongan. Hariman Siregar hidupnya terus dalam standar kesederhanaan. Begitulah moral politik berbicara. Namun, politik paska orde baru bukanlah hitam putih lagi. Orang-orang baik dengan cita-cita telah terdampar lebih buruk dibanding masa Suharto berkuasa. Saat ini politik dan cita-cita bangsa dikendalikan segelintir okigarki dan para taipan. Itu yang disebut Jeffrey Sach sebagai Korporatokrasi. Kira-kira lebih atau sama buruknya dari plutokrasi. Kenapa? Karena sekarang partai-partai politik dan kekuasaan politik berkembang dengan reproduksi tokoh-tokoh pencitraan dan dinasti. Demokrasi uang menaungi sistem politik yang ada sekarang. Selama 22 tahun reformasi, koruptor-koruptor bukan hanya bisa menguasai partai dan menjadi referensi "kesucian". Aparatur negara pun tidak berdaya berhadapan dengan mereka. Lalu Bagaimama ke Depan? Menyaring pasir dengan ayakan halus akan membuat sedikit yang lolos saringan. Sebaliknya menyaring dengan ayakan kasar, pasir kasarpun tidak tersaring. Habibie pernah mengingatkan tentang tetesan air yang jatuh tetes demi tetes ke batu karang, akan menghancurkan batu karang itu perlahan-lahan. Persoalan moralitas politik yang digugat Rizal Ramli tentunya tugas berat kita. Kita sedang melawan sebuah mental bangsa yang rusak. Mental yang gagal untuk direvolusi oleh Jokowi dengan “Revolusi Mentalnya”. Namun, kita tentu tidak menyerah. Standar moral ideal mengelola bangsa tetap pada tiga hal. Pertama, orang-orang suci maupun yang insyaf harus di depan. Di depan artinya mengendalikan kepemimpinan perjuangan. Kedua, ideologi perjuangan adalah alat penyaring yang disebut "ayakan". Ideologi adalah negara dan kekuasaan hanya berfungsi dua, utamanya, membuat orang-orang lebih mencintai Tuhannya dan menjadikan orang-orang miskin kaya. Ketiga, negara dan kekuasaan harus adil terhadap eksistensi keberagaman suku bangsa kita. Penutup Nasihat Rizal Ramli tentang moral politik, baik yang dipesankan kepada saya, maupun melalui nedia konfrontasi online, perlu menjadi perhatian serius gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yang dikumandangkan tanggal 2 Agustus lalu. Rizal yang menunda kehadirannya, padahal sudah memberitahu Profesor Din akan datang saat itu, mengangat isu moral politik. Tentu saja saya harus membahasnya, apa itu moral politik dan bagaimana kita harus merespon? Moral politik adalah sebauh moral gerakan. Moral Politik adalah bagaimana kita melihat kekuasaan dan orang yang menjalankannya. Dalam moral politik yang benar, kekuasaan sejatinya hanya berfungsi untuk membuat rakyatnya lebih cinta Tuhannya (happiness) dan rakyat miskin-miskin itu semua jadi kaya. Dan ini terkait dengan penguasanya. Penguasa bermoral adalah penguasa yang tidak merampok uang negara untuk pribadi. Tidak juga memperkaya hanya orang kaya. Namun tantangan kita saat ini lebih berat dibanding ketika Sukarno Hatta menjadi penguasa. Saat ini demokrasi uang dan uang telah menghancurkan moral yang ada. Sehingga kita perlu melakukan strategi yang tepat tanpa mengurangu garis ideologi perjuangan. Itulah arah perjuangan kita. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.