NASIONAL

Pemerintahan Jokowi Sudah Terlilit Resesi

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – Sabtu (15/08). Indonesia sedang terlilit resesi ekonomi? Para ekonom masih terus berbeda pendapat soal ini. Terlepas dari itu, satu hal pasti resesi ekonomi tidak dapat disamakan dengan depresi, apalagi great depression. Itu jelas. Skala kerusakan yang dibawanya tidak sedahsyat kerusakan yang dibawa great depression. Itu juga jelas. Masalahnya resesi ekonomi itu merupakan wujud dari salah urus di pemerintahan. Indonesia memiliki sejarah tentang itu. Performa pemerintahanlah yang memicu resesi ekonomi. Dan perpaduan keduanya justru menenggelamkan pemerintah yang sedang berkuasa. Resesi Pemerintahan Tepat dititik itulah masalah yang sedang melilit Indonesia saat ini? Tindakan-tindakan pemerintahan yang telah diambil sejauh ini, terlihat memperbesar spektrum masalah. Bukan menyelesaikan masalah. Dinamikan masalah itu terus membesar sejauh ini. Tidak mau mendeklarasikan negara berada dalam “keadaan darurat Kesehatan” nyatanya malah menghasilkan masalah baru. Memberlakukan PSBB, dengan asumsi ekonomi dapat terus bergerak positif, nyatanya malah negatif dalam banyak aspek. Salah dan salah lagi. Corona menggila dan menyebar hampir ke seluruh Indonesia. Kenyataan ini direspon dengn cara, bukan karantina wilayah, tetapi pembatasan pergerakan orang. Nyatanya corona malah menggila, dan ekonomi terpukul sangat fatal. Uang susah, PHK dimana-mana, produksi dan distribusi barang kelimpungan. Negara harus dapat memberi kepastian bahwa rakyatnya tetap bisa makan. Sialnya kas negara ternyata tak sehebat yang digambarkan pemerintah. Kenyataan itu memaksa Presiden Jokowi menggunakan senjata tata negara daruratnya. Terbitlah Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2020, yang judulnya kelewat panjang itu. Berambisi menggunakan Perpu membereskan masalah keuangan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Bukan hanya uang semakiin sulit tersedia, tetapi juga muncul masalah baru yang jauh lebih mendasar. Perpu ini mencincang dan memberangus habis kewenangan hak budgeting DPR, dan mengonslidasi diskriminasi. Tetapi apapun itu, Presiden harus terus bergerak dalam citarasa negara kesejahteraan. Tidak boleh salah. Entah berapa triliun digelontorkan untuk bantuan sosial. Sialnya bantuan ini berbentuk barang, bukan duit. Ada pengelolanya. Adakah margin pada setiap pembelian barang? Itulah persoalnya. Tak berhenti disitu. Dua puluh tirliun rupiah dialokasikan pemerintah untuk menangani derita kredit Usaha Kemengah Kecil dan Mikro (UMKM). Mirip Bansos, alokasi ini dilakukan melalui Bank BUMN. Kalau UMKM itu punya utang di Bank, apa bank tidak memotong jatah jatah yang harus diterima UMKM? Itu juga soal lain. Tertolongkah UMKM? Rasanya yang lebih tertolong adalan bank kreditor dan korporasi besar yang punya bank. Belakangan muncul kebijakan bnaru. Pemerintah memberi subsidi tunai sebesar Rp. 600,- kepada pekerja swasta bergaji dibawah lima juta. Hebatkah itu? Tunggu dulu. Mengapa? Kebijakan itu dapat tafsir sebagai pemerintah mengambil alih tanggung jawab korporasi. Ini sisi buruk negara kesejahteraan khas liberal. Pemerintah menolong korporasi, tetapi agar tak terlihat persis seperti itu, maka alokasinya langsung diberikan kepada pekerja. Korporasi terus berjaya. Relaksasi kredit dan perpanjangan masa klaim restitusi pajak, dan perlakuan khusus lainnya kepada mereka, semuanya diotorisasi Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Liberalisasi perdagangan, pengistimewaan korporasi sawit dan tambang, juga terus menjadi aroma tak sedap pemerintahan ini. Berstatus konstitusi sebagai penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah pusat malah membolehkan pemerintah daerah berutang ke pemerintah pusat. Malang betul rakyat daerah. Pemerintah daerah itu bukan negara bagian. Di negara Serikat sekalipun, pemerintah pusat akan menangani masalah-masalah berat di negara bagian. Tentu beratnya masalah itu melampaui kapasitas pemerintah Negara bagian. Ini negara kesatuan, tetapi pemerintah pusat malah mengutangi pemerintah daerah. Konyol, ngawur dan amburadul sekali. Persis pemerintah pusat, pemerintah daerah juga sedang berada dalam keadaan yang, untuk alasan apapun, memiliki pertalian ketat dengan pusat. Siapa yang mengotorisasi pemerintah daerah mengubah postur peruntukan anggaran pada APBD-nya? Siapa yang memberikan otorisasi kepada daerah untuk menetapkan PSBB? Terlihat seperti beralih dari satu kekeliruan ke kekeliruan. Proyeksi anggaran pemulihan ekonomi, dalam kenyataannya terus-terusan meleset. Berubah-rubah hampir setiap bulan. Begitu juga dengan Perpres tentang organiasi penangangan Corona. Paling sedikit sudah tiga kali berubah. Sialnya itu terjadi dalam waktu berdekatan. Tak mampu mendefenisikan masalah, terasa menjadi ciri paling jelas dari pemerintahan ini. Entah bagaimana argumennya, rakyat diingatkan jangan sampai Indonesia terjatuh pada pandemi corona gelombang kedua. Padahal sejauh ini tidak ada tindakan administrasi yang menyatakan etape-etape itu. Payah sekali pemerintah ini. Terus Merosot Pemerintah memang terus berusaha menemukan fokus dalam menangani keadaan mutakhir. Tetapi pemerintah malah menjauh dari fokus itu. Kebijakan-kebijakan yang terus berdatangan hingga hari ini, selalu seperti biasa, jauh dari penalaran yang logis. Asal-asalan, ngawur, ngaco, amatiran dan amburadul. Menggemakan hasrat membuat bangsa hebat, tetapi mengutamakan kandidat vaksin dari China. Andai saja kandidat ini sukses jadi vaksin untuk disuntikan kepada jutaan rakyat Indonesia, maka Indonesia menjadi pasar utama vaksin temuan China ini. Yang seperti ini, konyol apa hebat? Bukannya mengambil tindakan kepada menteri, malah bergairah menyalahkan mereka secara terbuka. Cara ini layak dan patutu untuk ditertawakan. Tidak begini cara menangani masalah internal pemerintahan. Tetapi memang tidak ada jalan berkelas dan membanggakan yang bisa dilalui pemerintahan yang telah terlilit resesi. Memimpikan persatuan nasional, tetapi kehidupan sosial dan agama terbelah secara kasar dan primitif di disepanjang rute perjalanan pemerintahan ini. Kenyataan ini terhubung, bahkan memiliki akar kuat dalam kebijakan politik dan hukum pemerintah. Postur Indonesia mutakhir menjadi seperti lautan ganas buat ummat beragama. Betul-betul menakutkan. Dalam pidato kenegaraan di MPR, Presiden Jokowi memang tidak menujuk ummat Islam yang gigih menolak RUU HIP, yang belakangan hendak diganti dengan RUU BPIP. Betul itu. Tetapi pernyataan resminya bahwa jangan ada yang merasa paling benar, paling agamis dan Pancasilais, jelas tertuju pada ummat Islam. Sekurang-kurangnya tertuju kepada MUI. Ini karena MUI dan ummat Islam berada di barisan paling depan penolakan terhadap RUU HIP konyol dan ngawur itu. Padahal tak ada tokoh MUI dan ummat Islam yang secara terbuka menyatakan saya Pancasila. Tak ada itu. Tetapi itulah kenyataannya. Politik pembentukan dan penegakan hukum bergerak menjauh dari citarasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Politik pembentukan hukum dibidang ekonomi digemakan dengan cita rasa ekonomi kapitalistik. Politik pemihakan kepada kepentingan korporasi dan oligarki. Rakyat seperti berjuang sendiri menghadapi terkaman korporasi licik, picik, tamak dan culas. UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Umum dan Batumabara, RUU Omnibus Cipta Kerja dan adalah contohnya. RUU Omnibus saat ini malah dikampanyekan secara serampangan sebagai permata UMKM. Terus-terusan UMKM yang ditonjolkan. Padahal semangat RUU Omnibus Cipta Kerja untuk kepentingan korporasi dan oligarki. Tahukah bahwa itu adalah cara kaum kaya ganas menyembunyikan kepentingan mereka? UMKM dijadikan tameng menyembunyikan konsep sentralisasi perizinan untuk hampir semua urusan tambang, tata ruang, dan bangunan yang saat ini diletakan di daerah. Namun kalau dalam RUU Omnibus konyol itu, semua urusan akan berpindah dan terkonsentrasi di pusat. Begitulah ganasnya kaum kaya dan politisi pas-pasan, picisan, kacangan, odong-odong, keleng-kaleng dan beleng-beleng berkolaborasi merencanakan kejahatan kepada rakyat. Baca di RUU Omnubis Law Cipta Kerja. Isi kepala kaum kaya adalah sentralisasikan semua izin. Korporasi Tunggangi UMKM Itulah cara mereka orang kaya memberi bentuk terhadap efisiensi dan menciptakan iklim investasi yang menguntungkan mereka. Supaya sukses, maka konsep-konsep yang bergelimang uang, yang menjadi permata untuk mereka, disembunyikan dibalik kepentingan UMKM. UMKM dijadikan sebagai bumpar menghadapi perlawanan terhadap RUU ngawur ini. Tidak seperti bangsa lain yang tahu cara mencapai kemajuan. Bangsa ini terus didayung ke lautan kapitalisme. Tahukah cara kerjanya? Mengontrol pembentukan dan penegakan hukum. Juga mengontrol atau menempatkan orang pemerintahan adalah salah satu cara mereka. Itulah formula proteksi sekaligus kartel. Ini cara klasik. Dimana-mana, kartel tumbuh dengan mengandalkan perlindungan gelap dari aparatur kotor. Agar tak terlihat kotor, maka proteksi itu diatur dengan hukum. Itulah yang sadar atau tidak, sedang terkonsolidasi dalam dunia hukum ekonomi Indonesia saat ini. Optimisme mengamankan masa depan memang disajikan pemerintah. Tetapi cara dan rute yang diandalkan berjarak jutaan mil dari Pancasila. Orisinalitas gagasan ekonomi dan hukum yang bersumber dari Pancasila, harus diakui, tak terlihat sejauh ini. Pragmatisme memang bukan hantu. Pragmatisme diperlukan, dan harus diadaptasikan dalam citarasa idologis. Keberanian inovatif dan kecemerlangan mengadaptasikan cara-cara hebat yang mengunggulkan bangsa lain dengan haluan idiologis, itulah kuncinya. Tidak mudah, itu pasti. Tetapi justru tepat dititik itulah letak berjayanya kapasitas leradership. Sayangnya sejauh ini Presiden terlihat tak dapat bergerak ke titik itu. Tahun depan utang diproyeksikan berjumlah Rp. 971,2 triliun rupiah. Praktis impian Presiden yang disajikan dalam pidato kenegaraan kemarin, menandai segalanya masih bussines as usual. Kemerosotan di berbagai aspek berbangsa terlihat masih terus menemani bangsa ini ditahun depan. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Duo Fahri dan Fadli Memang Beda?

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (15/08). Duo Fahri Hamzah dan Fadli Zon akhirnya bertemu dengan Presiden Jokowi. Kamis (13/8) keduanya menerima penghargaan Bintang Mahaputera Nararya di Istana Merdeka. Kehadiran keduanya menyudahi spekulasi yang berkembang dalam minggu ini. Apakah mereka akan menerima atau tidak? Sekaligus membuka sebuah operasi politik, yang dikemas secara kurang apik oleh pihak istana. Sejak muncul informasi Duo F akan menerima Bintang Mahaputera, pro kontra bermunculan. Kubu pendukung Presiden Jokowi sangat kecewa dan menyatakan keberatan. Maklumlah keduanya selama ini dikenal sangat kritis dan sering menyerang secara tajam berbagai kebijakan pemerintah Jokowi. Mereka menjadi bintang media. Berbagai pernyataannya sering membuat panas telinga. Apalagi kubu pendukung pemerintah yang berkuping tipis. Duet keduanya sangat menonjol ketika masih sama-sama menjabat sebagai Wakil Ketua DPR (2014-2019). Oleh kubu pendukung Jokowi, dijuluki sebagai Duo Gaduh. Pada saat bersamaan kubu oposisi juga menyatakan keberatan atas penghargaan ini. Mereka khawatir penghargaan ini merupakan sogokan agar keduanya diam, atau setidaknya lebih jinak. Akhirnya, Fahri dan Fadli dibully di kedua kubu, dengan motif yang berbeda. Pencitraan Istana Heboh itu bermula Senin (10/8). Melalui akun twitternya Menko Pulhukam Mahfud MD mengumumkan Fahri dan Fadli akan mendapat Bintang Mahaputera Nararya. Pilihan Mahfud menyebut dua nama itu pasti bukan tidak disengaja. Benar saja. Tak lama setelah cuitan Mahfud, media ramai-ramai memblow-up. Pro kontra di media sosial bermunculan, melibatkan nama-nama besar. Tak kurang petinggi media Tempo Group Goenawan Mohammad mengekspresikan kekecewaan. Demikian juga sejumlah buzzer pendukung pemerintah. Mereka menggunakan kata “izinkan kami tidak ikhlas.” Penjelasan Fahri dan Fadli bahwa penghargaan itu diberikan dalam kapasitas mereka sebagai mantan Wakil Ketua DPR tidak meredakan kehebohan. Sementara kubu oposisi mendorong agar keduanya menolak penghargaan tersebut. Jika menerima, berarti pengkhianat. Belakangan ketika penghargaan diserahkan, ternyata bukan hanya Fahri dan Fadli yang menerima. Sejumlah mantan pimpinan lembaga negara, mulai dari DPD, MPR juga menerimanya. Semua pimpinan DPR, termasuk mantan Ketua DPR Bambang Soesatyo dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Demokrat Agus Hermanto juga menerima bintang. Hanya mantan Wakil Ketua DPR dari Fraksi PAN Taufik Kurniawan yang tidak. Taufik saat ini tengah menjalani hukuman. Dia divonis 6 tahun penjara setelah dicokok KPK dalam kasus suap. Jadi harusnya clear. Penghargaan ini diberikan dalam kapasitas keduanya sebagai mantan pimpinan DPR. Tidak ada kait-mengait dengan sikap kritis mereka selama ini. Pertanyaannya, mengapa Mahfud hanya menyebut keduanya? Pemerintah juga terkesan membiarkan isu tersebut berkembang liar. Saat bertemu di Istana, Jokowi juga terkesan memanfaatkan panggung tersebut. Dia secara khusus memberikan penjelasan kepada pers bersama Wapres Ma’ruf Amin didampingi Duo F. Jokowi juga mempersilakan Fahri dan Fadli bicara ke media. Terkesan spesial. Agak sulit untuk membantah bahwa pemerintah, dalam hal ini istana mencoba memanfaatkan momen tahunan itu sebagai ajang pencitraan. Mereka ingin membangun kesan bahwa pemerintahan Jokowi sangat demokratis. Menghargai perbedaan. Tidak alergi terhadap kritik. Bahkan terhadap yang sangat keras seperti biasa dilakukan oleh duet Fahri dan Fadli. Pemeritahan Jokowi selama ini mendapat banyak kecaman dari dalam dan luar negeri sebagai pemerintahan yang anti kritik. Pengamat dari Universitas Melbourne, Australia Tim Lindsey bahkan menyebutnya sebagai “Neo New Order”. Neo Orde Baru mengingatkan kita pada pemerintahan yang represif di masa Soeharto. Sampai batas tertentu operasi public relation itu cukup berhasil. Duo F menjadi pelengkap penderita. Mereka menolak salah. Menerima juga salah. Publik, terutama kalangan oposisi kini tengah menunggu. Apakah setelah mendapat penghargaan, Duo F akan menjadi lebih jinak? Bila benar, maka kecurigaan mereka bahwa Bintang Mahaputera Nararya itu berupa sogokan. Suap agar keduanya diam, atau setidaknya lebih jinak, mendapat pembenaran. Namun melihat track record keduanya, kalau toh benar itu merupakan upaya rasuah politik, efektivitasnya sangat diragukan. Fadli Zon secara formil bagian dari pemerintah. Partai Gerindra pendukung pemerintah. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pembantu Jokowi. Namun dia tetap bersikap kritis. Sikapnya tidak berubah. Bagimana dengan Fahri? Ini masih perlu dibuktikan. Publik mulai curiga ketika dia bersama pengurus DPN Partai Gelora bertandang ke istana dan berselfie ria bersama Jokowi. Namun bila kita tengok ke beberapa tahun silam, Fahri juga sudah membuktikan sebagai pribadi yang konsisten. Kukuh pada prinsip. Menjadi bagian dari pemerintah, tidak harus kehilangan sikap kritis. Ketika PKS selama dua periode menjadi bagian dari pemerintahan SBY (2004-2014) Fahri juga tetap kritis. Dia menjadi “anak nakal” yang sering merepotkan petinggi PKS. Apalagi dengan posisinya sekarang sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gelora. Bukan pendukung pemerintah maupun oposisi. Bukan 01, bukan 02. Tidak ada beban apapun untuk Fahri. Waktu yang akan membuktikan. Apakah keduanya jenis politisi yang berbeda? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Amien Rais: Jokowi Aktifkan Reseptor Ekspansionisme China

by Asyari Usman Jakarta FNN – Sabtu (15/08). Rabu kemarin (13/8/2020), tokoh Reformasi yang terkenal vokal, Prof. Amin Rais, menyampaikan semacam “pledoi” politik. Ini sebagai tanggapan terhadap kebijakan berbagai Presiden Jokowi. Acara berlangsung di komplek kuliner Pulau Dua, Senayan Jakarta. Tokoh politik yang tak pernah ‘kapok’ ini memberikan judul pledoinya “Pilihan Buat Pak Jokowi: Mundur atau Terus”. Pak Amien menamakan pledoi politik ini sebagai “Risalah Enteng-entengan”. Tapi, kontennya sangat berat. Inilah serangan politik dengan ‘lethal weapons’ (senjata maut). Risalah ringan Pak Amien ini berisi 13 poin. Beliau menyebutnya “bab”. Di antara ke-13 bab itu, ada beberapa poin penting yang secara kolektif berisi kesimpulan bahwa, sengaja atau tidak, Presiden Jokowi telah mengaktifkan reseptor untuk ambisi ekspansionisme China atas Indonesia. Resptor itu besar jumlahnya. Pak Amien memperkirakan ada sekitar 10 juta ‘cell’. Dan semua reseptor itu sangat ‘compatible’ (cocok) dengan virus kolonial China. Pak Amien tampaknya tidak berlebihan. Reseptor ekspansionisme China yang berjumlah 10 juta itu sudah lama mendominasi Indonesia. Mereka menguasai bisnis. Mereka menguasai matarantai produksi dan distribusi. Mereka juga menjadi pemain utama ekspor-impor. Dominasi ekonomi itu membuat jutaan reseptor memiliki kesempatan untuk menguasai percaturan politik Indonesia. Mereka mampu mendikte para pemegang kuasa di semua cabang kekuasaan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Di bab ke-6 dengan judul “Tunduk Pada Mafia, Taipan, dan Cukong”. Prof Amien Rais selanjutnya menulis bahwa para penguasa negeri lebih fokus melayani para mafia, taipan dan cukong. Bahkan, kata penggerak Reformasi 1998 ini, mereka itu berlindung atau dilundungi oleh kekuasaan. Dalam kenyataannya, tidaklah keliru ketika Pak Amien mengatakan bahwa mereka bisa mengendalikan para penguasa untuk meloloskan rencana jahat di banyak aspek kehidupan nasional. Di poin sebelumnya, Bab 4, Pak Amien menguraikan tentang gaya otoriter yang sekarang diadopsi oleh Jokowi. Semua orang terperangah. Orang baik (good guy) bisa berubah menjadi “tangan besi”. Pak Amien menyebutnya dengan istilah “sosok populis yang bersubstansikan otoritarianisme”. Tetapi, menurut Pak Amien, Jokowi menerapkan kekuasaan otoriter untuk membungkam rakyat. Untuk menumpas kritik dan protes. Sedangkan terhadap kelompok-kelompok yang dia perlukan, dia cenderung ramah atau protektif. Yang sangat menarik adalah paparan di Bab 5 tentang pertumbuhan subur oligarkhi. Sekelompok elit, kata Pak Amien, pada hakekatnya memegang kekuasaan besar sampai-sampai bisa mengontrol dan mendiktekan kebijakan pemerintah. Kekuasaan otoriter adalah lahan subur oligarkhi. Sehingga, oligarkhi tidak lagi terbatas dalam jumlah kecil, melainkan beranak-pinak menjadi ratusan orang. Mereka ini, menurut Pak Amien, sengaja ‘dipelihara’ oleh rezim untuk menstabilkan situasi politik. Tak dapat disangkal uraian Pak Amien. Oligakrhi di Indonesia ini mengikuti teori piramida organisasional. Posisi-posisi puncak piramida oligarkhi ada di tangan beberapa penguasa kuat. Yaitu, kuat di pemerintahan dan kuat secara finansial. Namun, ada lagi lapisan oligarkhi di bawahnya yang diberi kesempatan untuk menikmati bayaran besar. Mereka oligarkhi itu jumlahnya, sesuai pelacakan sejumlah lembaga, mencapai lebih 350 orang. Mereka yang memegang posisi-posisi penting di institusi bidang hankam. Oligarkhi kelas menengah ini ditempatkan di meja-meja basah ratusan BUMN. Bagian yang paling menohok di dalam risalah enteng-entengan Pak Amien adalah Bab 1. Mantan Ketua MPR ini blak-blakan menyebut Jokowi sebagai pemecah belah bangsa. Perpecahan sesama anak bangsa terlihat sangat nyata dan mencolok. “Tak berlebihan bila dikatakan hasil pembangunan politik di masa Jokowi telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia”. Pak Amien menyimpulkan, kecurigaan dan ketakutan Jokowi terhadap sikap kritis umat Islam sangat nyata terlihat. Dia bagian yang menjelaskan tentang nepotisme yang selama ini dianggap tak akan mungkin dilakukan oleh Jokowi, Prof. Amien Rais mengecam dukungan Jokowi dalam pencalonan anaknya di Pilkada Solo dan menantunya di Pilkada Medan. Keluarga presiden ikut pilkada memang tidak melanggar konstitusi. Tetapi, sangat jelas melanggar etika kepemimpinan, menurut Pak Amien. Yang menjadi masalah ialah, Prof Amien Rais terlalu lama menyadari bahwa etika tidak lagi menjadi tuntunan. Sebab, kekuasaan terlalu gurih untuk diganggu oleh zat penetral yang disebut etika. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Jokowi atau Ma'ruf Amin Yang Lengser?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (14/08). Sejumlah pihak ingin Jokowi lengser. Ini hal biasa di alam demokrasi. Sah-sah saja. Asal, jangan makar. Sekedar ingin, berucap dan menuntut, tak dilarang oleh konstitusi. Di negara hukum, semua harus berbasis konstitusi. Kenapa minta Jokowi mundur? Tentu, mereka punya alasan. Baik alasan hukum, ekonomi maupun politik. Hukum dianggap terlalu tajam ke lawan dan memihak konglomerasi. Pertumbuhan ekonomi sudah minus -5,32 persen. Bahkan lebih parah kalau dhitung dari awal Januari 2020, ekonomi nyungsep sudah -10,34 persen. Kegaduhan politik tak ada tanda-tanda akan berhenti. Macam-macam kegaduhan yang timbul. Intinya, mereka nggak puas dipimpin oleh Jokowi. Negara jadi kacau balau dan amburadul, kata mereka. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Salah satu cara untuk mengatasi masalah bangsa adalah dengan meminta Jokowi lengser atau mundur. Tak hanya terbatas Jokowi. Ada juga pihak yang ingin Ma'ruf Amin mundur. Pertama, ada celah konstitusional, yaitu mundur dengan alasan uzur. Kedua, dicari-cari salahnya agar bisa didesak untuk mundur. Tentu dengan berbagai kompensasi. Ketiga, posisi wapres saat ini sangat strategis untuk maju di pilpres 2024. Semua kemungkinan selalu terbuka. Pada akhirnya, apakah Jokowi yang akan lengser? Atau Ma'ruf Amin yang terpaksa mundur? Atau kedua-keduanya lengser? Atau sebaliknya, keduanya tetap bertahan dan bersinergi sebagai Presiden dan Wapres hingga 2024. Hitung-hitungan politiknya, siapa yang paling potensial untuk bertahan? Jokowi, atau Ma'ruf Amin? Namanya juga kalkulasi. Bisa tepat, bisa juga meleset. Sebab, politik selalu dinamis. “Segala kemungkinan bisa terjadi”, kata wartawan senior FNN.co.id Tjahya Gunawan mengutip pendiri dan pemilik Kompas Grup, Jacob Oetama. Covid-19 yang efeknya sangat terasa di bidang ekonomi telah membuat pemerintahan Jokowi tampak semakin melemah dan kehilangan legitimasi. Rakyat fokus pada Jokowi sebagai obyek, karena Jokowi kepala pemerintahan. Semua kebijakan ada di tangannya. Terutama terkait penanganan covid-19, Ma'ruf nyaris sama sekali tak dilibatkan. Suaranya Ma’tuf Amin tak terdengar di media. Kecuali hanya sekali darling dengan Anies Baswedan dan Ridwan Kamil selama masa pandemi. Makantya wajar saja kalau masyarakat bertanyata-tanya, kemana saja Wapres Ma’ruf Amin. Apakah sehat-sehat atau sakit? Penanganan covid-19 sangat mengecewakan, kata pihak oposisi. Baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi. Segala hal-ihawal terkait dengan kekecewaan rakyat atas gagalnya penanganan covid-19 otomatis dibebankan kepada Jokowi. Belum lagi munculnya Perppu Corona yang jadi UU Nomor 2/2020 dituding publik sebagai ajang bancakan uang negara oleh korporasi dengan memanfaatkan situasi pandemi. Hebatnya, meskipun bancakan, mereka tak bisa dituntut hukum, baik pidana, perdata maupun TUN. Apa indikator gagalnya? Juni lalu, Indonesia masuk rangking ke 97 dari 100 negara dalam menghadapi covid-19. Rangking ke-3 dari bawah. Artinya? Sangat Parah! Di bulan Juli Indonesia urutan ke 143 dari 215 negara. Inilah kenyataannya. Dinilai oleh banyak tokoh bangsa, bahwa di bawah kepemimpinan Jokowi negara penuh dengan masalah. Faktor inilah yang kemudian mendorong para tokoh bangsa tersebut berkumpul dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Berkumpul disitu Abdullah Hehamahua, Din Syamsudin, Gatot Nurmantyo, Gus Aam, Habib Rizieq, Refly Harun, Rizal Ramli, Rocky Gerung, Said Didu, dan ratusan tokoh lintas agama, etnis dan profesi lainnya. Mereka semua sepakat, Jokowi harus diingatkan! Kalau nggak mau? Semula hanya 9 tokoh oposisi yang gerah. Lalu berkembang dan melibatkan puluhan hingga ratusan tokoh nasional dari semua elemen bangsa. Selasa tanggal 18 Agustus nanti mereka akan membacakan maklumatnya di tugu proklamasi. Dalam waktu yang sama, para tokoh lokal akan berkumpul di berbagai daerah untuk memberi dukungan kepada KAMI dan maklumat yang akan dibacakan. Gerakan moral KAMI cepat menyebar dan telah masif menjadi gerakan nasional. Munculnya KAMI sangat menguntungkan bagi Ma'ruf Amin. Ini peluang besar. Lepas Ma'ruf punya keinginan atau tidak untuk memanfaatkan peluang itu. Yang pasti, peluang sangat besar bagi Ma'ruf Amin untuk merefresh kekuatan dan posisioning dirinya. Terlebih ketika NU saat ini dalam kondisi kecewa terhadap Jokowi. Terutama ketika Menteri Agama lepas dari genggaman NU. Ini bukan soal jatah-menjatah. Tapi, orang NU merasa lebih paham dalam mengelola Kementerian Agama daripada Fahrul Rozi yang yang pensiunan Jendral Angkatan Darat. Ma'ruf Amin dari NU, dan majunya Ma'ruf Amin sebagai Wapres salah satu rekomendasinya dari PBNU. Selain KAMI dan NU, Ma'ruf juga bisa bersinergi dengan Prabowo yang kabarnya masih berambisi untuk nyapres lagi di 2024. Bagaimana dengan PDIP? Dalam politik, semua berbasis kalkulasi pragmatis. Selama ini, PDIP seringkali dikecewakan oleh Jokowi. Misalnya, Jokowi lebih nyaman dengan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dari pada dengan ketua umumnya sendiri, yaitu Megawati. Kondisi obyektif PDIP yang kecewa terhadap Jokowi memungkinkan untuk membangun sinergi politik dengan Ma'ruf Amin. Apalagi, terpilihnya Ma'ruf Amin sebagai Cawapres Jokowi kabarnya atas endorse langsung dari Megawati ke Jokowi. Kloplah! Jadi, jika dikalkulasi secara politik, posisi Ma'ruf Amin saat ini bisa lebih diuntungkan dari pada Jokowi. Tapi, semua dikembalikan kepada kemampuan Ma'ruf Amin memanfaatkan puzzle-puzzle kekuatan yang tersedia itu untuk memperkuat posisioningnya dirinya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Jangan Lengah, Komunis Masih Merayap

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (14/08). Ketika Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) didiskusikan, maka isu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan faham Komunisme mengemuka. Ada Ketetapan MPRS yang tidak dicantumkan. Adapula soal Trisila dan Ekasila, yang ditambah dengan posisi agama yang dikerdilkan. Reaksi keras atas RUU HIP membuat pengusung "lempar handuk". Pemerintah cepat-cepat menerapkan langkah "cari aman" dengan menunda pembahasan. Namun tidak berhenti sampai disitu. Langkah cadangan dipersiapkan dengan tergesa-gesa. Maka majulah RUU Badan Ideologi Pancasila (BPIP) ke DPR. RUU BPIP diajukan. Konon sebagai mengganti RUU HIP. Anehnya tanpa ada pencabutan terlebih dahulu terhadap RUU HIP. Meskipun berbeda, tetapi tetap bertautan. BPIP sebenarnya juga menjadi bagian terpenting dari rencana besar isi RUU HIP sebelumnya. RUU HIP adalah akar masalah, "al ashlu lil masail". Sedangkan RUU BPIP merupakan cabang "al far'u". Buahnya adalah makna Pancasila yang disimpangkan dan diperalat. Pancasila yang kebenarannya hanya yang ditafsirkan berdasarkan selera penguasa atau BPIP. Rakyat memahami Pancasila yang berlawanan dengan selera penguasa, bisa saja dikasih label makar terhadap dasar negara. Jembatan dari kedua RUU adalah pengakuan dan filosofi dari rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Pancasila yang adaTrisila dan Ekasila. Agama bagian dari kebudayaan. Inilah pintu masuk komunisme itu. Ini sama dengan membuka jalan atau pintu yang selebar-lebar untuk penafsiran terhadap faham komunisme dan marxisme. Setidaknya untuk ke depan, ideologi kebangsaan yang berpadu dengan komintern (internasionalisme), demokrasi rakyat, kesejahteraan kaum proletar, dan ketuhanan sebagai produk budaya. Beginilah rencana besar dari RUU HIP, yang sekarang disempurnakan dengan casing baru, dan diberina nama “RUU BPIP”. Kader komunis meyakini bahwa lembaga atau organisasi PKI bisa saja bubar. Tetapi ideologi komunis tidak. Ideologi komunis tetap melekat, dan potensial untuk dikembangkan melalui Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Penyusupan merupakan model gerakan aktual. Perjuangannya utama adalah meminggirkan musuh utama komunis, yaitu TNI dan umat Islam dalam pembuatan keputusan politik negara. Salah satu kesuksesan besar adalah lahirnya Ketetapan MPR Nomor VI tahun 2000 yang memisahkan TNI dengan Polri. Ketetapan MPR ini menjadi landasan bagi kebijakan politik yang diskriminatif. Semua sudah tahu kalau pengembangan dan peran politik Polri lebih kental dan agresif ketimbang TNI. Aktualnya TNI "disawahkan", dan dengan Inpres 6 tahun 2020 "dicovidkan". Sementara untuk umat Islam dibangun stigma intoleran, radikal, ekstrim, khilafah, atau lainnya. Sebelumnya teroris dan ISIS. Kurikulum berbau jihad dan qital (perang) dihapuskan. Moderasi terhadap isu deradikalisasi dipropagandakan. Agama disekulerkan. Pelecehan dan kriminalisi terhadap ulama masif dilakukan. Komunis sangat mahir dalam mengadu domba antar umat beragama. Rezim dan penguasa sendiri tidak berupaya mencegah perkembangan komunisme. Bahkan terkesan seperti membiarkan. Tidak ada "aware" terhadap bahaya gerakan komunis. Dengan enteng menyatakan "mana ada PKI ?" dan "komunisme itu sudah dilarang". Wajar saja jika rakyat, khususmya umat Islam menduga-duga bahwa penyusupan faham komunis disamping terjadi di parlemen, juga sudah masuk sampai ke pusat kekuasaan. Apalagi Partai Komunis Cina di masa rezim ini sudah bisa bekerjasama erat dengan partai politik dan institusi resmi negara. Demikian juga pejabat komunis Cina telah sukses untuk menginjakan kaki di ruang istana negara. Kader-kader komunis saat ini sangat mahir. Mereka bergerak dengan pola tiarap dan merayap. Mereka berusahamenghindarkan diri dari posisi sasaran tembak. Bahkan berlindung dibalik ideologi Pancasila. Mengumumkan kalau merekalah yang paling Pancasilais. Seolah-olah menjadi pembela dan pengembang Pancasila. Bangsa Indonesia harus siaga setaip saat menghadapi penyusupan faham komunisme. Sebaiknya umat Islam dan rakyat Indonesia tidak boleh puas hanya dengan keberadaan Ketetapan MPR yang melarang PKI dan Komunisme. Atau keberadaan perundang-undangan lainnya. Mereka kader-kader neo komunis selalu bergerak di lapangan dengan bertiarap dan merayap. Infiltrasi di berbagai institusi dengan proteksi ideologi. Berstrategi model katak yang menendang dan melompat. Katak tidak pernah bergerak mundur. Katak bergerak hanya untuk beranak pinak menciptakan cebong-cebong baru. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

UUD 45 10 Agustus 2002 Beda Dengan UUD 18 Agustus 45

by Mayjen TNI (Purn) Prijanto “Bismillaahirrohmaanirrohiim. Petisi tolak UUD ‘45 palsu. Tanggal 10 Agustus 2002, delapan belas tahun yang lalu, di tempat ini telah terjadi kudeta konstitusi, sehingga melahirkan UUD ‘45 palsu. Kami yang tergabung dalam Gerakan Alumni Mahasiswa 77/78 dari tempat yang sama mengajak seluruh rakyat Indonesia bersatu dalam usaha menolak UUD ‘45 palsu. Tertanda eksponen Gema 77/78. Jakarta 10 Agustus 2020”. (Gema 77/78, DPR RI, 10 Agustus 2020). Jakarta FNN – Kamis (13/08). Selain Gerakan Mahasiswa 77/78, penolakan juga terjadi di Pengadilan Negeri Jakpus oleh emak-emak, dengan spanduk “Tolak UUD 1945 Palsu”. Mengapa di PN Jakpus ? Pasalnya, sedang berproses gugatan dari LBH Solidaritas Indonesia, atas nama dr. Zulkifli S. Ekomei terhadap amandemen UUD ’45. Pada 10 Agustus 2020, Patriot Proklamasi menggelar Webinar, pembicara utama dr. Zulkifli S. Ekomei. Secara umum sepakat amandemen UUD ’45 bukanlah UUD ’45 yang disahkan 18 Agustus 1945. Saat ini, banyak pakar dan tokoh berpendapat sama. Kita bisa melakukan argumentasi dan perbandingan seperti di bawah ini. Pertama. Adanya argumentasi, amandemen UUD 1945 berdasarkan Pasal 37 UUD 1945. Padahal, Mr. Soepomo menjawab usul Iwa Koesoema Soemantri pada sidang PPKI, 18 Agustus 1945, bahwa Bab XVI Perubahan Undang Undang Dasar Pasal 37, hanya untuk penyempurnaan yang bersifat tehnis. (Sekneg RI, 1998, Risalah Sidang BPUPKI – PPKI, halaman 546). Pakar Hukum Tata Negara Maria Farida mengatakan sesungguhnya Indonesia sudah membuat konstitusi baru. Sedang Jimly Asshiddiqie juga mengakui, UUD 1945 setelah empat kali amandemen mengalami perubahan sampai 300 persen. (Yop Pandie, Polemik Cabut Mandat SBY, halaman 132). Dengan demikian, argumentasi menggunakan Pasal 37 UUD 1945 tidaklah benar. Sebab, bukan perubahan tehnis, tetapi sudah mengganti UUD 1945. Kedua. Penetapan Perubahan Keempat UUD 1945, oleh Ketua MPR RI Prof. Dr. H.M. Amien Rais dengan Wakil Ketua Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita, Ir. Sutjipto, K.H. Cholil Bisri, Drs. H.M. Husnie Thamrin, Agus Widjojo, Prof. Dr. Jusuf Amir Feisal, S.PD, Drs. H.A. Nazri Adlani, antara lain berbunyi : (a) “Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga dan perubahan keempat ini adalah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat”. Benarkah hasil amandemen adalah UUD 1945, 18/8/1945? Penetapan tersebut perlu diuji dengan cara membandingkan. Agar mudah, untuk selanjutnya, hasil amandemen kita sebut UUD 2002. Ketiga. UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Sedangkan UUD 2002 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. UUD 2002 tidak ada penjelasan. Padahal, ‘penjelasan’ sangatlah penting untuk mengetahui nilai-nilai, cita-cita dan tujuan didirikannya Indonesia Merdeka, yang dirumuskan “The founding fathers and mothers”. Keempat. UUD 1945 memiliki Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sedangkan UUD 2002, tidak memiliki Bab IV. Bab III lompat ke Bab V. Postur semacam ini tidak lazim. Skripsi saja, jika ada Bab yang terlewat pasti tidak diterima. DPA dalam ketatanegaraan sangatlah penting untuk menjawab pertanyaan Presiden dan usul kepada pemerintah dalam bernegara. DPA berisi tokoh yang kredibel, bukan tim sukses urusan pembangunan citra dan pemenangan Pilpres. Kelima. UUD 1945 Pasal 6 (1) : Presiden adalah orang Indonesia asli. Sedangkan UUD 2002, calon Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya. Nilai-nilai dan suasana kebatinan ketika Pasal 6 (1) UUD 1945 disusun sangatlah berbeda dengan Pasal 6 UUD 2002. ‘The founding fathers and mothers’ menyusun atas dasar perjuangan, peran dan posisi kaum boemipoetra dalam merebut kemerdekaan, dan prediksi jauh ke depan, untuk memertahankan NKRI. Karena itulah Presiden adalah orang Indonesia asli. Video Dr. J. Sahetapy dihadapan komunitas etnis dan agama tertentu dengan bangganya mengaku dirinyalah satu-satunya orang yang mengusulkan kata ‘asli’ dihapus. Artinya, tanpa kajian akademis, bukan usul dari Fraksi dan patut diduga memiliki tujuan tertentu, agar warga negara dari etnis dan agama tertentu bisa menjadi Presiden. Keenam. Pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB tahun 1960 memperkenalkan Sila ke-4 Pancasila sebagai ‘Demokrasi Indonesia’. Nilai-nilai Pancasila ditransformasikan dalam demokrasi ala Indonesia dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 6 (2) UUD 1945. Sedangkan dalam UUD 2002, Demokrasi ala Indonesia tersebut berubah total. MPR bukan Lembaga Tinggi Negara yang tertinggi. MPR bukan lagi penjelmaan rakyat Indonesia. Utusan Golongan dan Utusan Daerah tidak ditemui di MPR. Calon Presiden dan Wapres hanya Parpol yang bisa mengusulkan. Kedaulatan rakyat ditangan rakyat hanya selama menit di bilik coblosan. Selebihnya kedaulatan sudah berpindah memnadi milik Parpol. Ketujuh. Secara umum, banyak pakar dan tokoh menilai pasal-pasal dalam UUD 2002 tidak koheren dengan nilai-nilai Pancasila. Berbeda dengan pasal-pasal dalam UUD 1945, yang hakikatnya penjabaran dari nilai-nilai Pancasila yang ada di Pembukaan UUD 1945. Ibaratnya tidak perlu menguji di Laboratorium Forensik Polri. Menggunakan nalar akademis yang dibatasi dinding-dinding kejujuran dan kepentingan bangsa dan negara, perbandingan di atas menunjukan, UUD 1945 (10/8/2002) tidak identik dengan UUD 1945 (18/8/1945). Bahasa populernya UUD ‘palsu’. Dengan menggunakan ilmu kriminalistik, melalui Laboratorium Kriminal akan bisa ditentukan apakah obyek itu asli atau palsu. Lalu bagaimana dengan dokumen Undang-Undang Dasar? Dimana bisa diuji? Sebab saat ini sebagian rakyat mengatakan hasil amandemen UUD 1945 bukanlah UUD 1945 alias “palsu” dan sudah masuk gugatan di Pengadilan Negeri Jakpus. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 dab Rumah Kebangkitan Indonesia.

Ma'ruf Amin Bisa Lakukan Counter Attack!

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (13/08). Ma'ruf Amin, selain seorang ulama kharismatik, dia juga seorang politisi kawakan. Malang melintang di dunia politik. Lama berkiprah sebagai politisi PPP, dan menjadi anggota DPRD DKI tahun 1977. Ketika PKB lahir, Ma'ruf Amin pindah, dan ikut membesarkan PKB. Malah menjadi salah satu anggota DPR terpilih dari PKB tahun 1999. Kiprahnya di dunia politik cukup matang. Bahkan makomnya sudah sangat tinggi. Politisi kelas Ma’ruf Amin ini kalau di Ilmu Ma’rifat, sudah tingkatan wali besar bidang politik. Banyak orang yang menganggap enteng makom Ma’ruf Amin di politik. Hanya melihat sosok Ma'ruf Amin sebagai ulama saja, terutama perannya sebagai Rais Am PBNU dan Ketua MUI. Jauh sebelum menjadi Kiyai top, Ma'ruf Amin telah lama menempa dirinya di dunia politik. Sebagai kader PPP dan kemudian membesarkan PKB, cukup menjadi bekal Ma'ruf Amin mengasah pengalaman politiknya. Bahkan di tahun 1970-an sampai awal 1990-an, Ma’ruf Amin punya suluran komunikasi politik yang cukup lancar dan baik dengan tokoh-tokoh penting di eranya Orde Baru. Salah satunya mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. M. Amidhan. Sangat keliru, bahkan beliru besar jika ada pihak-pihak yang mengecilkan kemampuan dan isnting berpolitik Ma'ruf Amin. Kiyai yang satu ini punya insting politik yang luar biasa tajam. Terbukti, ia berhasil menyingkirkan dominasi Mahfuz MD dari posisi cawapres Jokowi di last minute hanya dalam hitungan jam sebelum deklarasikan oleh gabungan Partai Potilik koalisi pendung Jokowi. Jokowi yang semula meminta Mahfuz MD untuk menjadi cawapresnya, mendadak batal! Padahal, jas yang sedianya akan dipakai saat deklarasi capres-cawapres sudah dikirim oleh itana kepada Mahfuz. Ternyata nggak jadi dipakai Mahfuz MD. Yang deklarasi hari itu justru Jokowi-Ma'ruf Amin. Sakitnya sih disini. Tapi, belakangan posisi menkopolhukam setidaknya telah mengobati Mahfuz. Tidak saja Mahfuz MD, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang jauh-jauh hari sudah pasang iklan cawapres dimana-mana, tersingkir juga. Ternyata, menjadi ketua umum PKB tak cukup mampu untuk melawan Ma'ruf Amin. Begitu juga dengan KH. Said Aqil Siroj. Ketua PBNU ini juga tak dipilih Jokowi untuk mendampinginya di pilpres 2019. Dan cerita ini dibongkar semua detil-detilnya oleh Mahfuz MD dalam dialognya di televisi swasta. Pokoknya jangan main-main deh dengan Ma'ruf Amin. Terpilihnya Ma'ruf Amin sebagai cawapres saat itu adalah bukti kalau kepiawaian sang kiyai memainkan peran dan irama politiknya sangat dahsyat dan luar biasa. Kalai ini sebagai takdir, itu pasti. Tapi Tuhan tentu selalu menghitung ikhtiar hamba-Nya. Nah, soal ikhtiar inilah yang dikapotalisasi dengan matang oleh tingginya makon politik Ma’ruf Amin. Sampai hari ini, tak ada celah konstitusional untuk Ma'ruf Amin dilengserkan. Itu pasti. Pintunya Cuma satu, Ma’tuf Amin maun mundur secara sukarela. Kalau Ma'ruf nggak mau mundur? Maka, dipastikan tak ada pergantian wapres sampai 2024. Disinilah, Ma'ruf Amin akan melihat siapa-siapa saja yang sekarang mengincar posisinya. Pasti ia tak akan tinggal diam. Desas desus (kabar-kabur), soal pergantian Ma'ruf Amin di tengah jalan sudah didesign menjelang Pilpres 2019 lalu. Bahkan isunya sudah ada kesepakatan antara Ma'ruf Amin dengan pihak yang memberi rekomendasi. Emang ada buktinya? Seandainya kesepakatan itu ada, toh dalam politik, semua perjanjian tak berlaku. Bisa saja meleset dalam perjalanan. Perjanjian Batu Tulis antara Prabowo-Megawati adalah salah satu contohnya paling yahud. Juga perjanjian (konon tertulis) antara Prabowo-PKS terkait komposisi capres-cawapres di pilpres 2019 lalu. Prabowo Calon Presiden, Calon Wakil Presiden dari PKS Bahkan janji Prabowo terkait Wagub DKI dari PKS sebagai pengganti Sandi pun tak berlaku. Janji politik, memang beda dengan janji-janji yang lain. Tingkat melesetnya lebih tinggi. Bahkan bohongnya juga sangat tinggi. Salah sendiri anda mau percaya. Kebohongan berjama'ah terjadi terutama saat pileg, pilkada dan pilpres. Pemilu adalah pasar untuk obral janji kebohongan itu. Bagaimana jika Jokowi juga mendukung pergantian Ma'ruf Amin? Ingat, Ma'ruf Amin memang lebih sepuh. Namun soal pengalaman mengelola irama politik, belum tentu Jokowi lebih matang. Kalau adu kuat? Ma'ruf bisa mengkapitalisasi NU dan umat Islam untuk melakukan perlawanan. Bisa-bisa, bukan Ma'ruf yang diganti, tapi Jokowi yang akan dilengserkan. Bisa saja terjadi counter attack! Saat Jokowi lengser, Ma'ruf Amin yang menjadi presiden. Presiden kedua dari NU. Ini akan mennjadi sejarah. Jika 23 Juli 2001 Gus Dur (NU) diganti Megawati (PDIP), maka tak ada yang bisa menjamin Jokowi (PDIP) tidak lengser dan diganti oleh Ma'ruf Amin (NU). Hari esok, tak seorang pun yang tahu bagaimana takdir itu meneteskan tintanya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Caligula (Bag. 2-Habis)

by Zainal Bintang Jakarta FNN – Selasa (11/08). Manakala disimak lebih cermat pesan yang terekspresikan di dalam pementasan teater “Caligula”, yang mengungkap adanya penyalahgunaan kekuasaan yang ditutupi secara terus menerus. Itulah yang mau dikatakan sang pengarang Albert Camus. Maka “Caligula” menjadi media pengungkap secara verbal tentang bagaimana seorang penguasa mengunakan semua cara untuk melanggengkan kekuasaannya. Membangun citra diri sebagai pemegang kendali tertinggi di negerinya. “Caligula” mempertontonkan bagaimana perilaku seseorang yang berada di puncak kekuasaan, hendak melakukan banyak hal sekaligus. Menginginkan perintahnya dipatuhi . Menghendaki recananya tidak dihalangi. Mengesankan dirinya orang kuat. Melalui semua signal simbolik itu sesungguhnya yang terlihat tapi tersembunyi adalah “menutupi semua kelemahannya”. Walaupun malah mencuat keseombongan dan kesewenang-wenangan, yang berjarak sisa satu senti dari sifat otoriter. “Tidak, Caligula tidak mati. Dia ada disana dan selalu disana. Dia ada di dalam dirimu masing-masing. Jika kekuasaan diberikan kepadamu….” kata Camus. Watak seorang penguasa otoriter seperti “Caligula” tiap saat dijumpai dari masa ke masa. Otoriterianisme itu memang sebuah keniscayaan yang melekat di dalam jiwa dan sanubari seseorang yang bernama manusia. Itu sebabnya sebaris sajak Mohammad Iqbal, sastrawan dunia asal Pakistan Mohammad Iqbal (1877-1938) menjadi penting dibaca ulang , “jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya”. Disamping diperlukannya koridor undang-undang dan ketatanegaraan. Ketika sejumlah pejabat penting Istana mengingatkan kepada “Caligula”, tentang telah banyak kebijakan yang diambilnya tidak sejalan dengan nalar. Caligila dengan enteng tapi pasti menjawab, “kuulangi lagi-karena itulah, sekarang aku menjelajah apa yang dianggap orang tidak mungkin. Atau lebih baik kukatakan begini. Akus sedang berusaha memungkinkan yang tidak mungkin”. Menanggapi reaksi orang dekatnya di Istana yang meragukan keberhasilan beberapa rencananya yang dinilai tidak masuk akal, “Caligula bergeming. Dia merasa kekuasaan yang diperolehnya sebagai kaisar bersifat mutlak. Dia menganggapnya itu adalah sebuah mandat mutlak yang mensejajarkan dirinya sama dengan “Tuhan” atau Dewa. “Aku sangsi apakah penemuan ini akan dapat membuat kita bahagia?” kata salah seorang pejabat Istana memberi tanggapan atas apa yang direncanakannya.” Caligula” dengan dingin menjawab, “aku pun begitu. Tapi kukira kita harus menjalaninya”. Tanpa perlu pendapat lebih jauh dengan kerabatnya itu, “Caligula” dengan suara lantang mengatakan, “Dan aku telah memutuskan untuk merubahnya. Aku akan memberikan sesuatu yang besar kepada zaman ini. Sama rata. Dan kalau semuanya telah disamaratakan, yang mustahil telah turun ke bumi dan bulan telah ada dalam tanganku. Barangkali aku akan berubah bersama dunia. Manusia tidak akan lagi mengenal mati, dan berbahagialah selalu”. Semenjak sembuh dari serangan penyakit aneh, “Caligula’ seperti di kejar-kejar oleh suatu kehendak yang sepertinya harus mutlak didapatkannya. Yakni ingin mendapatkan bulan! Suatu malam, ketika dia kembali ke Istananya, setelah bepergiannya tanpa diketahui di tempat-tempat mana saja dia bersitirahat. Ketika menghilang selama tiga hari, dia tiba-tiba histeria dan berucap, "Aku inginkan bulan". Kata-kata mustahil itu terlontar begitu di hadapan pejabat penting. Intinya “Caligula” menghendaki bulan harus tergenggam olehnya. “Dan cinta? Apa kau akan mengingkari cinta?” ucap perempuan yang menjadi salah seorang isterinya yang setia mendampinginya. “Caligula” marah dan meledak , “Cinta? Aku sudah tahu apa yang disebut cinta-omong kosong! Pengawal tadi benar. Bahwa yang maha penting cuma perbendaharaan. Puncak dari segalanya. Dan kini aku mau hidup, hidup yang sebenarnya. Dan hidup, sayang, adalah lawan dari cinta. Aku tahu apa yang kukatakan. Aku undang kau untuk menghadiri sebuah pertunjukan yang paling indah, suatu kejadian besar”. Nafsu materialistik telah mengangkangi jiwa “Caligula”, seiring dengan adanya perubahan kejiwaan setelah sakit. Pandangannya yang materialistik membuatnya semakin tidak perduli dengan komunikasi antar hati. Hubungan batin dengan batin. Telah membunuh benang merah hubungan kemanusiaan dengan kemanusiaan. “Caligula” telah sempurna menjadi “iblis” bagi manusia. Apalagi ketika dia telah menyatukan kekuasaan dan harta. Memposisikannya sebagai sesuatu yang diatas segala galanya. Kepada kedua unsur itulah dia mengarahkan hidupnya. Celakanya orang lainpun dipaksa untuk ikut bersamanya. “Caligula” suka sesuatu yang tidak masuk itu akal didapatnya. Tapi, dengan mudah memerintahkan prajuritnya untuk mencarinya. Meski yang diperintah tak tahu bagaimana memenuhi keinginan sang kaisar. Ketika menerima laporan kondisi terkini pemerintahannya, tentang kondisi keuangan kerajaan yang menipis . Sumber pemasukan seluruhnya tersendat. Persediaan pasokan makanan mulai tergerus habis. “Caligula” sang kaisar itu, lagi-lagi kembali marah dan marah. Belakangan sejak sembuh, dia menjadi gampang marah. Semua hasil kerja pembantunya dikecamnya secara terbuka. Dia tidak perduli apakah itu penghinaan atau bukan. Yang penting daripadanya “Caligula” merasakan suatu kebahagiaan. Informasi mengenai memburuknya kondisi keuangan kerajaan yang berimplikasi kepada memburuknya citra kerajaannya, tidak membuat “Caligula” bersedih. Sebaliknya, daripadanya dia serentak mendaptkan ilham dan ide baru. Ide gila. Seluruh bangsawan di wilayahnya diwajibkan menulis surat wasiat untuk menyerahkan kekayaannya kepada negara. Ide gilanya itu tentu saja menuai protes. Dua pengawal dengan gemetar menyampaikan keheranannya. Mana ada bangsawan yang mau memberikan hartanya. “Caligula” memutuskan untuk menyeimbangkan kembali kas negara. Dia memerintakan penarikan pajak atas semua barang. Dia dikenal menyukai lelang, sehingga seringkali ia menjadi juri lelang itu sendiri. Senang menjual para budak dan gladiator, dan terkadang ia memaksa orang-orang kaya untuk datang ke pelelangannya itu. Seorang bangsawan tertentu dikisahkan telah dipaksa untuk hadir mengangguk-angguk sambil tidur. Ternyata oleh “Caligula” diartikan itu sebagai persetujuan. Ketika orang itu sadar ia mendapati bahwa ia telah menyetujui “membeli” 13 gladiator dengan harga yang fantastis. “Untuk itu” kata “Caligula”, “aku memerlukan orang banyak, penonton, korban-korban, penjahat beratus, bahkan beribu orang. Biar datang semua terdakwa, aku mau lihat penjahat-penjahat. Mereka semua penjahat. Bawa masuk manusia yang terkutuk itu . Aku ingin penonton, hakim, saksi, terdakwa, semua dijatuhi hukuman mati tanpa diadili” Bagi Camus, untuk mendorong terbukanya ruang perubahan, dia memilih menempuh “jalan sastra” dengan menggunakan narasi patriotik sugestif. Pemberontakan (Revolt). Hal itu terungkap dalam semua karya-karyanya. Camus konsisten memelihara rute ”jalan sastra” untuk membongkar ketidakadilan berselubung demokrasi. Tulisan-tulisan dan filosofi Camus kerap dipenuhi dengan ide absurdisme dengan tema “pencarian manusia akan makna dan kejelasan dalam dunia yang tidak menawarkan penjelasan”. Melalui imajinasinya yang “liar”, Camus mencoba melabrak semua tatanan peradaban norma berkehidupan. Mentransfernya melalui karya tokoh imajinatif “Caligula” atau Sysiphus. Melalui tokoh-tokohnya itu, Camus menemukan ruang untuk memberontak. Dia menggugat kebenaran yang disaksikannya dimonopoli dan disalah gunakan oleh mereka yang disebut penguasa. Sebuah pesan WhatsApp seorang teman masuk ke handphone saya. Meminta menulis lengkap puisi karya Iqbal sebagai berikut, “jika kekuasaan membawa orang pada arogansi”. Puisi mengingatkan kita akan keterbatasan manusia. Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita, puisi mengingatkan mereka, akan kaya dan beragamnya eksistensi manusia. Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya. Menyusul pesan WhatsApp yang pendek. Sangat pendek sekali. Apa kabar Indonesia? Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Ma'ruf Amin Yang TKO atau Meng-KO Jokowi?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (11/09). Tentu ada pihak yang ingin Ma'ruf Amin mundur dengan baik-baik. Alan bisa dicari-cari. Ada ratusan, bahkan ribuan alsan bisa saja diproduksi untuk memuluskan rencana tersebut. Sebab, posisi Wakil Presiden saat ini sangat strategis. Terutama untuk persiapan pilpres 2024. Siapapun yang menjadi Wakil Presiden, ada kans besar untuk maju di Pilpres 2024 mendatang. Di politik itu semua serba mungkin. Walapun demikian, kans Ma'ruf Amin untuk maju jadi capres 2024 sangat kecil. Pertama, karena faktor usia. Ini menjadi unsur utama. Kedua, nggak punya partai, juga nggak punya logistik. Jadi, peluangnya cukup kecil. Sementara Jokowi, waktunya sudah habis. Sudah dua periode. Ada pihak yang coba otak atik agar bisa tiga periode, tetapi peluangnya juga kecil. Rakyat mayoritas tak bakal menerima. Selain kapok juga punya presiden seumur hidup. Sampai dengan berakhir di 2024 aja belum tentu, bagaimana mau nambah? Begitulah kira-kira keraguan sejumlah pihak tentang posisi Jokowi hari ini. Mengingat fakta obyektif, dimana posisi Wakil Presiden sangat strategis untuk menjadi panggung persiapan di pilpres 2024, maka magnet politiknya menjadi sangat kuat. Menggoda sejumlah pihak untuk membidiknya. Nama Prabowo Subianto dan Budi Gunawan sudah mulai dibicarakan sebagai kandidat pengganti Ma'ruf Amin. Apakah Ma'ruf Amin diam saja? Bisa iya, bisa juga tidak. Hanya Ma’ruf Amin dan Tuhan yang paling tau renana besar Ma’ruf Amin yang sebenarnya. Diganti di tengah jalan, tentu tak membuat siapapun nyaman. Tidak saja buat Ma'ruf Amin, tetapi juga buat mereka yang selama ini memberi dukungan kepada Ma'ruf Amin. Terutama orang-orang yang berada di lingkaran ketua MUI non aktif ini. Apalagi yang dari keluaga besar nahdiyin. Jika Ma'ruf Amin tak bersedia mundur karena alasan udzur, maka pergantian Wakil Presiden hampir mustahil bisa terjadi. Meski sudah berusia senja, namun Ma'ruf Amin terlihat masih sehat, bugar dan bisa bekerja dengan baik sebagai Wakil Presiden. Ada yang bertanya, apa peran dan kontribusi Ma'ruf Amin selama jadi wakil presiden? Bagaimana jika pertanyaannya dibalik, apa peran yang diberikan Jokowi kepada Ma'ruf Amin sebagai presiden selama ini? Apa power sharing Jokowi kepada Ma'ruf Amin? Adakah Ma'ruf Amin diajak serta untuk bicara dalam penyusunan kabinet? Policy apa yang dishare oleh Jokowi untuk Ma'ruf Amin? Pertanyaan yang lebih sederhana lagi, apakah Ma'ruf Amin juga diberikan jatah direksi dan komisaris BUMN? Mengacu pada pertanyaan-pertanyaan itu, maka publik akan melihat betapa tak seimbang antara lahan presiden dengan wakil presiden. Selama jadi presiden, Jokowi tampak power full. Hampir semua peran diambil Jokowi. Publik menilai Wakil Presiden tak lebih jadi pelengkap semata. Hanya sebatas itu. Tidak lebih dari pelengkap itu Bercermin pada periode pertama Jokowi, dimana peran Jusuf Kalla sebagai Wakil Presieen jauh lebih kecil dibanding ketika menjadi Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004-2009. Ketika itu SBY memberikan peran yang sangat besar kepada Jusuf Kalla di bidang ekonomi. Semacam kordinator semua menteri bidang ekonomi, termasuk Menko Perekonomian. Kalau Jusuf Kalla saja tak banyak bisa berperan, bagaimana dengan Ma'ruf Amin? Ini perbandingan obyektif jika kita ingin memahami kedaan Ma'ruf Amin dalam posisinya sebagai Wakil Presiden Jokowi. Jadi, kecurigaan publik selama ini mungkin bisa dijawab, mengapa Ma'ruf Amin selama ini jarang tampil. Mungkin karena kecilnya lahan untuk memainkan peran. Apakah minimnya peran Ma’ruf Amin ini ada kaitannya dengan posisi Wakil Presdein yang sedang diminati dan diincar oleh sejumlah pihak? Atau hanya gaya-gaya Jokowi dalam berpartner? Semua kemungkinan bisa terjadi ke depan. Meski posisi politik itu Ma'ruf Amin terlihat lemah, tak berarti mantan Rois Am PBNU ini harus terus mengalah dan diam. Apalagi jika terjadi krisis ekonomi. Disamping itu, mulai membesarnya kelompok oposisi, terutama yang sedang dikonsolidasikan oleh Prof. Din Syamsudin dan teman-teman dibawah bendera Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Boleh jadi Ma'ruf Amin justru yang akan mendapatkan bola muntah. Bukan dia yang TKO dengan mengundurkan diri dari Wakil Presiden, tapi malah berhasil meng-KO Jokowi. Untuk urusan ini, Ma'ruf Amin butuh bersinergi dengan PKB, PBNU, MUI dan elemen umat yang berpotensi memberi dukungan kepadanya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Kebodohan Boedi Djarot dan Islamphobia

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (11/08). Dua kebodohan berlapis yang telah dilakukan Boedi Djarot. Pertama membakar baliho Habib Rizieq Shihab (HRS), dan yang kedua menyerang Khilafah. Kedua-duanya bersentuhan dengan aspek keumatan, baik ulama maupun ajaran. Kebodohan ini adalah wujud nyata dari apa yang disebut dengan Islamophobia. Boedi Djarot tentu saja mewakili banyak dari kaum Islamophobia di Indonesia. Sayangnya, kebodohan yang dipertonkan kelompok Boedi Djarot, bukannya menyurutkan simpati. Tetapi malah semakin meningkatkan seimpati terhadap HRS dan Khilafah. Seperti kejahatan pembakaran bendera tauhid di Garut dahulu. Ternyata dampaknya justru semakin banyak berkibar bendera tauhid diaman-mana, khususnya dalam aksi-aksi. Kinipun akibat perusakan dan penistaan baliho HRS, maka semakin bermunculan banyak baliho HRS di berbagai daerah. Sikpa ini sebagai wujud rasa respek dan cinta pada ulama pejuang tersebut. Demikian juga serangan pada Khilafah nyatanya berbalik hasilnya. Di samping ada pembelaan, juga Khilafah sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah Islam, justru semakin tersosialisasi dan marak. Banyak yang tadinya tidak faham dan mengerti, sekarang mulai mempelajari dan memahami Khilafah lebih mendalam tentang makna dan sejarah kejayaannya. Khilafah sebagai bukti kekuatan umat. Kenyataan ini berbeda dengan pembakaran bendera PKI, yang justru menumbuhkan semangat anti PKI di kalangan rakyat khususnya umat Islam. Tidak mungkin bendera PKI akan muncul, apalagi marak diaman-mana. Hukum positif telah siap mengancam siapa saja yang menjadi penyebar bendera PKI. Sebaba PKI adalah organisasi terlarang. Konsekwensi, iapapun yang terindikasi mengibarkan bendera PKI, pasti akan diburu. Dan yang memburu, bukan saja aparat keamanan, baik itu Polisi maunpun TNI. Namun masyarakat, khususnya umat Islam siap setaip saat untuk memburu pengibar bendera PKI. Baik itu pengibar bendera PKI yang sembunyi-sembunyi mamupun terang-terangan. Bagaimana dengan kasus pembakaran bendera PDIP? Di samping tak jelas siapa oknum pembakarnya, apakah peserta aksi, pihak ketiga, atau kader PDIP sendiri yang ditugaskan untuk memancing di air keruh. Makanya sampai hari ini tidak berdampak. Bendera PDIP berkibar tak akan melebihi saat kampanye Pemilu. Sekarang ini sudah banyak kader atau simpatisan yang "keluar" karena kecewa atas kinerja Pemerintahan dimana PDIP sebagai "the rulling party". Belum lagi kecewa, karena baru tau kalau Visi dan Misi PDIP itu memperjuangkan Pancasila 1 Juni yang yang Trisila dan Ekasila. Bukan Pancasila konsesnus pendiri bangsa 18 Agutus 1945. So, ini hanya soal kebodohan Boedi Djarot yang menjadi komandan aksi perusakan baliho HRS dan berkoar-koar mengangkat isu murahan tentang Khalifah. Kaitan Khalifah itu kepekaan umat tidak terbatas pada organisasi HTI saja. Tetapi berhubungan dengan keyakinan dan fakta sejarah umat Islam secara keseluruhan. Kaum Islamophobia bakal gigit jari dan mengerutkan dahi. Juga bakal mengusap-usap dada untuk menenangkan hati melihat realita kelak, bahwa umat Islam akan semakin kuat. Semakin berani, dan tergalang saat ajaran dan ulamanya dipojokkan atau diserang oleh kaum sekularis, liberalis, komunis dan kaum sesat lainnya. Semakin bodoh dalam pemunculan dan mempertontonkan sikap seperti Bode Djarot atau siapapun itu, entah mau kadalin kek, abu sundal, desi sugar, adik balado atau lainnya justru akan membuat Islam semakin gagah. Islam yang semakin kuat dengan para pejuang-pejuang yang hebat dan istiqomah. Jumlahnya juga semakin bertambah dari waktu ke waktu. Percayalah bahwa mereka itu bukan ayam sayur. Tetapi petarung yang sesungguhnya. “Jika anda jual, maka mereka bukan saja siap membeli. Tetapi justru siap memborong habis dengan modal-modal anda”. Jangan ulangi dan mempertontonkan kebodohan yang tidak perlu. Penulis adalaj Pemerhati Politik dan Kebangsaan.