NASIONAL
Ketika Presiden Yang Kehilangan Rasa Malu
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Senin (20/07). Kesan memaksakan Gibran Rakabuming Raka, putera Presiden untuk maju dalam Pemilihan Walikota (Pilwalkot) semakin kuat. Keterlibatan Presiden sebagai ayah sangat mencolok dan kasat mata. Tidak lagi sembunyi-sembunyi. Bahkan seperti seperti hendak memamerkan keterlibatan Presiden. Terang-terangan "pesaing” anak Presiden, Achmad Purnomo dipanggil ke Istana. Konon dengan tawaran kepada Achmad Purnomo dengan jabatan sebagai kempensasi tidak maju sebagai calon Walikota Solo. Tetap saja Purnomo merasa kecewa atas "perampasan hak" oleh anak Presiden atas nama otoritas sang ayah. Argumen awal bahwa ini bukan politik dinasti. Karena meskipun anak, tetapi hak politik sebagai warga negara tak dapat dihalangi siapapun. Siap untuk berkompetisi secara sehat. Namun prakteknya belum juga. Belum bertarung saja sudah memanfaatkan fasilitas kepresidenan. Ada juga barter jabatan segala. Peristiwa ini sebenarnya sangat memuakkan dan memalukan. Namun anehnya bagi Presiden hal ini dianggap biasa-biasa saja. Gawat juga jika Presiden sudah kehilangan rasa malu. Presiden tidak lagi perduli dengan cemohan dari publik. Presiden didak lagi perduli dengan norma pantas atau tidak pantas. Layak dan tidak layak. Presiden buta atau membutakan matanya untuk melihat kapasitas dan kapabilitas anaknya. Semua batasan norma, etika dan kepantasan tidak lagi dihiraukan oleh Presiden. Sabda Nabi, "sesungguhnya Allah tatkala hendak membinasakan seorang hamba, maka Allah mencabut rasa malu darinya. Ketika Allah telah mencabut rasa malu orang itu dari darinya, maka tidak mendapatkan dirinya kecuali dia dibenci dan membenci orang lain. Ketika mendapatkan dirinya dibenci dan membenci orang lain, akan dicabut amanah" (HR Ibnu Majah). Sebenarnya Presiden sudah kehilangan amanah itu melalui beberapa kebijakannya. Misalnya, ketika membuat Perppu tanpa adanya tingkat "kegentingan memaksa". Melumpuhkan KPK, dan mengabaikan Putusan Mahkamah Agung Nomor 44 P/HUM/2019. Juga memasukkan TKA China di tengah kesulitan kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Selain itu, kebijakan membuka peluang penguasaan Negara komunis China melalui investasi dan hutang luar negeri. Bagaimana mungkin Presiden tidak menjaga martabat rakyat dan bangsanya? Sangat berbahaya bagi Negara yang Presidennya telah kehilangan rasa malu. Ditambah lagi dengan tidak menjaga martabat rakyat dan bangsanya. Lebih lanjut Nabi bersabda, "ketika amanah dicabut darinya, maka dia tidak mendapatkan dirinya, kecuali berkhianat dan dikhianati orang lain. Ketika mendapatkan dirinya berkhianat dan dikhianati orang lain, maka dicabut darinya rahmat. Ketika dicabut rahmat darinya, dia tidak mendapatkan dirinya selain dikutuk dan dilaknat". Yang dikhawatirkan sebagai seorang pemimpin adalah jika rakyat yang dipimpin sudah melecehkan bahkan sudah berani mengutuk dan melaknat. Jika fenomena ini terjadi maka itulah tanda tanda Allah SWT mencabut rahmat darinya. Memang kasus Gibran Rakabuming Raka ini dinilai keterlaluan. Orang pada tahu kalau kualitas, kapasitas, dan reputasi Gibran seperti apa untuk menjadi seorang Walikota? Akan tetapi dengan modal sosial sebagai anak Presiden, yang juga mantan Walikota Solo, Gibran dengan mudah maju sebagai calon Walikota Solo. Bukan itu saja. Presiden juga terang-terangan menggunakan fasilitas kepresidenan sebagaimana pemanggilan Achmad Purnomo ke Istana. Perkiraan di atas kertas, Gibran bisa saja mulus menjadi Walikota. Apalagi dana "rekanan" pun kemungkinan dengan mudah didapat atas titah ayahanda. Namun kekuasaan yang didapat bukan dari haknya atau kapasitasnya, maka agama menegaskan ancaman kehancurannya. Jika ia beragama Islam, maka statusnya sama dengan orang yang keluar dari Islam. Nabi juga mengingatkan, "ketika ia mendapatkan dirinya dikutuk dan dilaknat, maka akan dicabut darinya tali agama Islam" (HR Ibnu Majah). Nasehat Nabi berguna bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Sementara bagi yang tidak beriman, maka predikat yang pas untuk mereka adalah, "shummun bukmun umyun fahum laa yarji'uun" Mereka itu tuli, bisu dan buta. Maka mereka tak akan bisa kembali (QS Al Baqarah, ayat 18). Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Makar Ideologi Itu "Gerakan Pancasila 1 Juni 1945"
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (19/07). Ini tentu bukan peristiwa pidato Soekarno di Sidang BPUPKI. Pidato itu sudah menjadi dokumen historis bangsa Indonesia. Kehebatan Soekarno dalam menuangkan gagasan diakui sangat luar biasa. Kita tidak boleh mencelanya. Pada tanggal 1 Juni 1945 istilah Pancasila diperkenalkan. Sebagaimana ketika itu juga diperkenalkan Trisila dan Ekasila. Semua adalah proses menuju Pancasila sebagaimana yang kita kenal sekarang. Proses sejarah yang menuju ke sana itu kita akui. Kita juga tidak akan membantahnya. Persoalannya menjadi makar ideologi adalah jika Pancasila 1 Juni 1945 mau diperjuangkan untuk menggantikan Pancasila 18 Agustus 1945. Pancasila 1 Juni 1945 dengan rumusan sila-silanya adalah Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan itu diperjuangkan bentuk Rancangan Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila (RUUPIP) untuk suatu saat menggantikan Pancasila yang telah dirumuskan pada tanggal 18 Agustus 1945. Perjuangan serupa dengan organisasi PKI dahulu, yang juga berjuang agar ideologi negara Republik Indonesia adalah Komunisme/Marxisme-Leninisme. Pancasila digantikan kelak. Selama hidup dan bergerak, PKI tetap berada di bawah Pancasila. Bahkan PKI menyatakan "Membela Pantjasila". DN Aidit adalah "jagoan" dalam teriak-teriak soal "Membela Pantjasila". Kita terpaksa menyebut adanya “Gerakan 1 Juni 1945”. Karena realitanya dalam proses politik sangat terasa adanya gerakan, perjuangan, serta langkah serius. Gerakan ini berusaha untuk menanamkan keyakinan akan kebenaran Pancasila 1 Juni 1945. Bukan disimpan sebagai dokumen historis saja. Tetapi sudah menjadi misi politis yang harus diterima sebagai landasan yuridis. RUU HIP adalah landasan yuridis yang hendak diletakkan tersebut. Kulminasi dari keyakinan perjuangan yang dianggap telah sampai dan menemukan momentum. RUU BPIP menjadi strategi "mundur sedikit satu dua langkah". Apalagi dalam menghadapi benturan keras dan perlawanan dari pembela Pancasila 18 Agustus 1945, khususnya umat Islam. Gerakan 1 Juni 1945 dapat diawali dengan bukti konsepsi bagi misi , "mempengaruhi dan menjiwai jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan ideologi Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat dan efektif, bersih, dan berwibawa". Gerakan 1 Juni 1945 tentu berapologi tidak menafikan Pancasila 18 Agustus 1945. Tetapi dari gerak dan langkahnya telah terasa merongrong eksistensi dan kewibawaan Pancasila 18 Agustus 1945. Pancasila telah disepakati oleh seluruh bangsa Indonesia dan tidak boleh dikhianati. Titik. Keputusan Presiden No 24 tahun 2016 tentang Hari Lahirnya Pancasila yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi dinilai menjadi penguat bagi langkah gerakan Pancasila 1 Juni 1945. Berlanjut hingga RUU HIP yang kontroversial dan menyisakan buntut lahirnya RUU BPIP. Konflik ideologi akan semakin terbuka ke depan, jika tidak ada koreksi, introspeksi, evaluasi serta antisipasi. Dari mana memulainya ? Ya jawabannya sudah jelas di samping. Cabut RUU HIP, juga bubarkan BPIP dan tolak RUU BPIP. Ini adalah langkah strategis dalam rangka menyelamatkan eksistensi dan kewibawaan Pancasila 18 Agustus 1945. Tidak ada langkah dan cara lain. Ke depan, kiranya Pemerintah Jokowi harus mencabut kembali Kepres No 24 tahun 2016 tentang Lahirnya Pancasila. Hal ini karena masih terjadinya perdebatan keras tentang hari lahir Pancasila itu. Apakah 1 Juni 1945, 22 Juni 1945 ataukah 18 Agustus 1945? Moga para pemimpin negara arif dalam mengelola negara yang telah susah payah "dipersembahkan" oleh para pejuang dan "the founding fathers". Tegakkan keadilan dan kedamaian. Penulis adalah Pemerharti Politik dan Kebangsaan.
Ruhnya RUU BPIP Tetap Pancasila 1 Juni 1945
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (18/07). Lagi lagi penyelundupan ide penafsiran Pancasila ala Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang bersemangat dan berpegang pada Pancasila 1 Juni 1945. Pada RUU BPIP pun spirit dan semangat tersebut masih membekas. Meski tak berani terang-terangan.Akan tetapi RUU yang dinilai "asal asalan" namun memliki "hidden agenda" ini, nampaknya tak bisa juga melepaskan diri dari spirit rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Sebab Jika tujuan hanya untuk membuat payung hukum bagi Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), maka sebenarnya tidak harus ditetapkan dalam bentuk "Undang-Undang". BIPI cukup dengan "Perpres" saja. Faktanya status BPIP hanya merupakan badan "pembantu" Presiden. Tidak lain dan tidak bukan. Tidak lebih dari pembantu presiden. Terlalu tinggi untuk diatur dalam sebuah Undang-Undang. Terlalu berlebihan energi bangsa ini hanya dikuras membuat undang-undang sebagai paying hukum untuk BPIP. RUU BPIP yang diajukan Pemerintah dalam Konsideran "Menimbang" menempatkan Pancasila 1 Juni 1945 tetap menjadi sandaran utama menuju ke pembinaan Pancasila. Bahkan ditempatkan "sangat luhur" yakni pada butir a. yang berbunyi : "bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia yang hari lahirnya telah ditetapkan 1 Juni 1945 harus diketahui asal usul oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi, sehingga kelestarian dan kelanggengan Pancasila senantiasa diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara" Sangat jelas ada nilai "lestari" dan "langgeng" serta "asal usul" Pancasila, yang tak lain adalah Pancasila 1 Juni 1945 yang harus diamalkan. Inilah penyelundupan pada tahap awal. Lalu lihat format selanjutnya RUU BPIP ini. Masih dalam hal "Menimbang" butir pada b, yang memformulasi narasi perkembangan Pancasila hingga 22 Juni 1945 dan finalnya pada 18 Agustus 1945 berujung pada kalimat : "..dan merupakan satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tersebut di dalam Keputusan Presiden No. 24 tahun 2016 tentang Lahirnya Pancasila". Kita telah mengetahui bahwa fokus dari Kepres di atas tak lain adalah Pancasila 1 Juni 1945. Dengan rumusan Pancasila, yaitu Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, serta Ketuhanan yang Berkebudayaan. Sangat jelas bahwa landasan filosofis dan yuridis dari RUU BPIP tetap Pancasila 1 Juni 1945. Meskipun untuk pengertian Pancasila tidak dapat menghindarkan diri dari rumusan sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. RUU BPIP disebut "asal-asalan" karena singkat sekali hanya VII Bab dan 17 Pasal. Yang betul betul berkaitan dengan BPIP sendiri hanya Bab IV, Bab V dan Bab VI. Sementara Bab VII Penutup dan Bab I tentang Ketentuan Umum. Bab II Asas dan Tujuan. Sedangkan Bab III dapat disebut "out of position" tidak relevan dengan BPIP. Mengingat bahwa RUU BPIP adalah "buntut" dari RUU HIP dan RUU HIP tersebut telah menggoncangkan bangsa dan negara dengan penyelundupan ide komunisme, maka sudah tepat dan layak jika masyarakat tetap keberatan akan keberadaan BPIP dan RUU BPIP nya. Oleh karena itu sangat beralasan pula jika seruan rakyat masih konsisten pada "Bubarkan BPIP" dan "Tolak RUU BPIP". Jika Pemerintah dan DPR masih juga memaksakan, maka patut disimpulkan bahwa "hidden agenda" memang terbukti, dan sedang dijalankan. Rakyat berhak bersikap. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pemerintahan Kok Seperti Preman?
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (17/07). Rakyat bereaksi terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Rakyat, khususnya umat Islam menilai RUU HIP berbau Komunis, dan membuka peluang bangkitnya neo PKI. Sikap Pemerintah maupun DPR ditunggu masyarakat. Apakah DPR yang akan mencabut RUU HIP melalui rapat Paripurna Dewan? Atau Pemerintah yang menyatakan tidak akan melakukan pembahasan? Masyarakat masih berunjuk rasa di depan Gedung DPR. Masyarakat masih menunggu. Alih-alih mengambil keputusan tentang RUU HIP. Malah seenaknya Pemerintah mengajukan RUU baru yang diberi nama RUU BPIP. Empat Menteri menyerahkan naskahnya kepada Ketua DPR Puan Maharani. Mereka adalah Menkopolhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna Laoly, Mendagri Tito Karnavian, dan Menhan Prabowo Subianto. Penyampaian RUU BPIP dengan begitu saja, jelas merupakan pelecehan kepada rakyat oleh Pemerintah. Bahkan melecehkan DPR RI juga. RUU inisiatif Dewan belum tersikapi secara resmi. Namun usulan baru dari Pemerintah sudah masuk. Pembuldozeran halus. Lucunya Dewan melalui Ketua DPR Puan Maharani sangat bahagia. Anggap remeh aspirasi rakyat, khususnya umat Islam. Padahal sekurangnya ada empat hal yang menunjukkan adanya kesewenang-wenangan dan pengabaian hokum. Pertama, status RUU HIP harus terlebih dahulu jelas. Harus memiliki kepastian hokum. Mau diapakan kelanjutannya? Pemerintah menyatakan masih "menunda" dan DPR masih "menunggu". Ujungnya dibiarkan "mengambang". Penyelenggaraan negara model apa seperti ini? Kedua, RUU BPIP sebagai ajuan Pemerintah adalah RUU baru. Yang semestinya harus masuk dahulu dalam Prolegnas yang disepakati bersama untuk pembahasan yang terjadwal. Tidak boleh "menyalip" RUU yang sudah terlebih dahulu "antri". Ini adalah contoh buruk budaya "main labrak". Pemerintahan ko seperti preman? Ketiga, mengapa mesti empat Menteri mengantar RUU BPIP ini? Secara prosedural cukup diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM saja. Pola "unjuk kekuatan" atau "unjuk kekuasaan" dengan mengutus empat Menteri menggambarkan situasi "disorder" atau "tidak normal". Keempat, RUU BPIP tetap kontroversial. Sebab membalikkan prinsip hukum yang benar. Ironi sebuah Undang-Undang dibuat untuk mengatur "wadah" yang lebih dahulu ada. Semestinya Undang-Undang dahulu baru dibuat wadah untuk melaksanakan Undang Undang itu. Ada "pemaksaan" dan dipastikan berkonten "tidak aspiratif". Keberadaan BPIP masih dipertanyakan urgensinya. Desakan agar BPIP dibubarkan juga cukup keras terdengar. BPIP bukanlah kebutuhan "pokok" bagi rakyat saat ini. Lebih pada pemenuhan hasrat penguasa sendiri dan dapat menjadi "mainan ideologi" dalam menafsirkan Pancasila sesuai dengan kemauan Pemerintah. Harusnya Pemerintah dan DPR "colling down" dulu. Apalagi berkaitan dengan RUU HIP yang berbau komunisme tersebut. Sangat kuat tuntutan untuk melakukan pengusutan dugaan adanya penyusup "makar ideologis" pada RUU HIP. Lakukan segera proses politik dan hukum terhadap oknum yang "menunggangi" situasi ini. Pemerintahan Preman adalah Pemerintah yang abai pada prinsip-prinsip Pemerintahan yang baik. Pemerintah yang menganggap enteng aspirasi rakyat. Pemerintah yang mengacak -acak wibawa wakil rakyat. Pemerintah yang memerintah dengan kekuatan alat pemaksa. Memperalat ideologi, serta memanipulasi hukum. BPIP dan RUU BPIP adalah wujud pemaksaan dan keburukan dari rezim yang "false governance", "false public policy" dan "false authority". Itulah rezim Jokowi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Lima Rekomendaasi Untuk MPR Terkait Putusan MA NO 44 P/HUM/2019
by Mayjen TNI (Purn) Prijanto “Amandemen UUD 1945 terkesan menciptakan sistem pemerintahan dan sistem ketatanegaraan yang tidak jelas, rumusan pasal-pasalnya multi interpretative, sehingga bisa menimbulkan instabilitas hukum dan politik”. (Prof. Dr. Dahlan Thaib, 2005, “Nasib kerja Komisi Konstitusi tentang amandemen UUD 1945”) Jakarta FNN – Jum’at (17/07). Untuk memudahkan, maka pembatasan Undang-undang Dasar hasil amandemen dalam artikel ini kita sebut UUD 2002. Sedangkan Data dan Informasi UUD 1945 mengatakan, “Indonesia, ialah Negara yang berdasar atas Hukum (Rechsstaat)”. Pasal 6A (3) UUD 2002 : “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikit-sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”. (amandemen ke-3) Pasal 6A (4) UUD 2002 : “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. (amandemen ke-4) Putusan MA No. 44 P/HUM/2019, antara lain memutuskan Pasal 3 (7) PKPU 5/2019 bertentangan dengan UU No. 7/2017 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Komisi Konstitusi bentukan MPR RI tahun 2002 telah melakukan kajian terhadap UUD 2002. Ketua Komisi Konstitusi Prof. Dr. Sri Soemantri, pakar Hukum Tata Negara bersama 30 anggota komisi, telah merampungkan tugasnya, dan hasilnya sudah diserahkan ke MPR RI Baca : Pelantikan Presiden RI 2019 : “Semua bilang kawal konstitusi”. (google). Baca : “Buah RUU HIP Untuk Kontemplasi pada 61 Tahun Dekrit Presiden 5 Juli 1959”. (google) Diskusi dan Interpretasi “Founding fathers and mothers”, menegaskan Negara berdasar atas Hukum. Bukan berdasarkan pada kekuasaan. Artinya, siapapun tidak boleh memanipulasi, menekuk dan membelokan hukum. Pasal 6A (3) UUD 2002, bicara syarat ideal Paslon yang bisa dilantik MPR. Artinya mengikat MPR. Tidak bicara jumlah Paslon. Pasal 6A (3) UUD 2002 lahir di amandemen ke-3. Bagaimana jika syarat ideal tidak tercapai? Dalam amandemen ke-4, lahir ayat (4), memiliki korelasi dengan ayat (3), ayat ini sebagai solusi. Kasus ini, menguatkan dugaan bahwa amandemen UUD 1945 beberapa pasal muncul tanpa naskah akademi, termasuk Pasal 6A ayat (3) & (4) UUD 2002. Jika ada naskah akademinya, ayat (3) & (4) tentu lahir bersamaan. Pengakuan Prof. Dr. Sahetapy, sebagai pengusul tunggal hilangnya kata “asli” pada Pasal 6 UUD 1945 “Presiden ialah orang Indonesia asli”, juga menguatkan dugaan. Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan interpretasi Pasal 159 (1) UU 42/2008, yang substansinya seperti Pasal 6A (3) UUD 2002. MK menyatakan tidak berlaku jika Paslon dua pasang (Putusan MK 50/PUU-XII/2014). Putusan MK ini bukan segala-galanya, karena dikesampingkan dengan lahirnya UU 7/2017 Pasal 416 (1), yang mengatur Presiden dan Wapres terpilih sebagaimana Pasal 6A (3) UUD 2002. (Asas “Lex posterior derogat legi priori”) Celakanya, KPU membuat interpretasi lagi. Pasal 3 (7) PKPU Nomor 5/2019 menetapkan Paslon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Paslon terpilih, jika hanya ada 2 (dua) Paslon. Sehingga Putusan MA No. 44/HUM/2019 memutuskan peraturan KPU ini bertentangan dengan UU No. 7/2017 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MA No.44/HUM/2019 melahirkan perdebatan. Diskusi silang pendapat dan berbagai interpretasi terhadap pasal dan ayat dalam UUD 2002 dan peraturan lainnya. Sesungguhnya, jika ingin menegakkan aturan terkait Pilpres 2019, masih panjang dan berliku-liku. Penetapan KPU soal Presiden terpilih, sebagai norma khusus, apa perlu diuji legalitasnya di PTUN? Sebagian berpendapat untuk apa? Pemborosan saja. Toh norma umum sudah ada Putusan MA. Di akhir Pilpres, kedua Paslon juga tidak memenuhi Pasal 6A (3) UUD 2002. Apa perlu Pilpres tahap kedua? Tentu ini juga pemborosan. Inilah format dalam UUD 2002. Sukakah kita? Akankah UUD 2002 akan terua kita pertahankan ? Artikel ini tidak membahas penegakan hokum. Tetapi ingin menyampaikan bahwa, Putusan MA tersebut membuka cakrawala. Adanya interpretasi pasal dalam UUD 2002. Benar Prof. Dr. Dahlan Thaib di atas : “….. rumusan pasal-pasalnya multi interpretative, sehingga bisa menimbulkan instabilitas hukum dan politik”. Rekomendasi Untuk MPR Apabila rakyat Indonesia yakin Pancasila sebagai Dasar Negara, pasal-pasal UUD 2002 tidak koheren dengan nilai-nilai Pancasila dan multi interpretative, sehingga menimbulkan instabilitas hukum, politik dan robeknya persatuan. Maka demi bangsa dan negara, ada 5 (lima) rekomendasi untuk MPR RI, dengan Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 2002 sebagai jisa kewenangannya : Pertama, hendaknya mempelajari hasil kajian Komisi Konstitusi bentukan MPR RI tahun 2002, dan dari elemen masyarakat, terkait UUD 2002. Menyerap pendapat para pakar Hukum Tata Negara dari kaum akademisi, terkait situasi negara saat ini. Setelah kita menggunakan UUD 2002. Kedua, hendaknya segera mengambil langkah konstruktif dan konstitusional. Apabila situasi negara buruk, itu diakibatkan UUD 2002. Tidak perlu ragu, merasa bersalah, dan ewuh pakewuh. Jika harus Kembali ke UUD 1945 untuk disempurnakan dengan cara memberikan adendum, agar nilai-nilai, cita-cita dan tujuan ketika mendirikan “Indonesia Merdeka” tetap lestari. Ketiga, seyogyanya buku “Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar” MPR RI, tidak hanya buku seputar UUD 2002. Perlu buku pendamping, seperti kajian Komisi Konstitusi, kajian Foko Purnawirawan TNI-POLRI, pendapat para tokoh dari Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) yang sudah pernah disampaikan kepada MPR RI. Tujuannya, agar rakyat paham dan bisa melakukan penilaian. Keempat, membentuk Komisi Konstitusi dengan anggota non partisan dan tidak pernah terlibat amandemen. Tugasnya mengkaji lebih lanjut UUD 2002, dikaitkan dengan dampak setelah digunakan untuk bernegara. Penyempurnaan UUD 1945 dengan adendum dan menguji aturan perundang-undangan turunan dari UUD 2002. Kelima, menerima aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan konstitusi secara periodik. Acara ini bak “Tapa Pepe” kearifan lokal Raja Jawa dan menunjukkan masyarakat berhak bicara konstitusi. Semoga persoalan bangsa ini bisa dipahami semua pihak. Termasuk para Ketum Parpol, politisi, kaum intelektual dan masyarakat umumnya. Insya Allah, amin. Penulis adalah Wagub DKI 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
RUU HIP Jadi RUU BPIP, Umat Minta BPIP Dibubarkan!
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (17/07). Baca pandangan dan sikap PBNU pada poin 8: "Bahwa obsesi untuk menafsirkan Pancasila secara ekspansif akan menimbulkan ekses negatif berupa menguatnya kontrol negara dalam kehidupan masyarakat. Penguatan eksesif kelembagaan BPIP dapat melahirkan kembali BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di zaman Orde Baru, yang prakteknya menjadi alat sensor ideologi masyarakat. Pancasila yang terlalu ambisius akan kehilangan roh sebagai ideologi pemersatu, yang pada gilirannya dapat menimbulkan benturan-benturannorma dalam masyarakat". Jelas, PBNU khawatir adanya BPIP justru menibulkan beberapa hal. Pertama, akan menjadi lembaga kontrol atas nama pancasila dan negara terhadap kehidupan masyarakat. Ini sangat berbahaya. Bisa menjadi "Orba Gaya Baru" (OGB). Kedua, BPIP berpotensi digunakan sebagai alat untuk menggebuk lawan-lawan politik pemerintah. Ketiga, hadirnya tafsir Pancasila ala BPIP bisa memicu kegaduhan dan konflik sosial baru. Keempat, nantinya BPIP merasa paling benar sendiri dalam menafsirkan Pansila. Dikhawatirkan nantinya Pancasila BPIP adalah yang tanggal 1 Juni 1945. Bukan Pancasila 18 Agustus 1945. Ini bisa menimbulkan keributan antara masyarakat, khususnya umat Islam dengan BPIP. Tanpa adanya UU saja sudah bikin gaduh di masyarakat. Apalagi jika ada UU-nya. Bisa semakin gaduh. Inilah yang dikhawatirkan oleh masyarakat. Kekhawatiran ini masuk akal, melihat sejarah masa lalu, khususnya BP7. Kekhawatiran ini ditambah gaya BPIP sekarang yang merasa paling benar saja dalam segala urusan yang berkaitan dengan Pancasila. Poin No 8 dari pandangan dan sikap PBNU seolah menyuarakan pesan: “bubarkan saja BPIP. Nggak dibutuhkan itu BPIP”! Persoalan ini juga yang menjadi rekomendasi Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) V yang diselenggarakan MUI di Bangka Belitung. KUII ke V minta BPIP untuk dibubarkan. Eh, sekarang malah mau dibuat RUU untuk BPIP. Tambah ngaco lagi. Ketika RUU HIP ditolak, lalu ganti nama RUU BPIP, ini menimbulkan sejumlah analisis. Pertama, pemerintah dan DPR dianggap gagal paham. Kenapa? Yang ditolak umat Islam bukan "nama" atau "istilah" yang dipakai RUU. Bukan itu! Yang ditolak umat Islam adalah keseluruhan, yang meliputi proses, substansi, motif dan potensi konfliknya. Kedua, perubahan nama dari RUU HIP ke RUU BPIP sengaja dibuat untuk menggeser isu komunisme ke isu otoritarianisme. Melekat pada RUU HIP stigma komunisme. Sementara RUU BPIP lebih dipahami sebagai upaya pemerintah untuk memperkuat otoritarianismenya. Pemerintah mau menggunakan tafsir Pancasila versi BPIP untuk kepentingan kekuasaannya. Nantinya tafsir Pancasila yang benar hanyalah yang versi BPIP dan pemerintah. Yang di luar Pemerintah dan BPIP salah. Tambah ngawur lagi. Nampaknya, analisis yang kedua lebih pas. Ada upaya menggeser isu komunisme. Sebab, isu komunisme dianggap lebih sensitif dari isu otoritarianisme. Selama ini, isu komunisme yang melekat pada RUU HIP telah mendorong gelombang protes umat Islam di berbagai daerah. Apakah pergeseran isu ini akan berhasil? Bisa iya, bisa tidak. Bergantung konsistensi umat Islam pada tuntutannya, yaitu batalkan RUU HIP dan usut para inisiatornya? Tuntutan ini menjadi pokok utama dalam maklumat MUI. Yang pasti, seiring dengan pergantian nama dari RUU HIP ke RUU BPIP, akan muncul narasi dan diskursus baru. Tidak saja narasi dan diskursus baru, tetapi juga kekuatan lobi akan menjadi penentu. Apakah MUI, Ormas dan umat Islam konsisten pada tuntutannya? Atau sebaliknya, justru masuk angin. Kita lihat, apa yang akan terjadi. Jika umat Islam tetap menuntut "bubarkan BPIP" sebagaimana yang tersirat dalam sikap PBNU dan rekomendasi Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) V, maka isu RUU HIP atau RUU BPIP akan terus mendapatkan energinya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Berebut “Warisan Rp 600 Triliun” di Pandemi Kesenjangan
by Dr. Ahmad Yani MH. Jakarta FNN – Kamis (16/09). Sore tadi saya membaca tulisan Dr. Syahganda Nainggolan yang berjudul “Warisan 600 Triliun, Bansos 600 Ribu dan Tantangan Sila Kelima Pancasila”. Sebelumnya saya membaca sebuah judul berita salah satu media online yang menyebutkan Freddy Widjaya menggugat lima saudara tirinya. Saya tidak tertarik untuk melihat secara komprehensif makna dibalik peristiwa itu. Namun tulisan Saudara Syahganda menyentak hati saya. Bahwa masalah perebutan Rp. 600 triliun oleh ahli waris Eka Tjipta Widjaja adalah masalah keadilan sosial. Saya mencoba memahami ini dengan kecamata yang agak lebih kritis. Sebab di tengah rakyat berebut Rp. 600 ribu untuk menghadapi badai ekonomi di tengah pendemi ini, ternyata ada satu keluarga yang memperebutkan uang Rp 600 triliun. Angka itu bagi sebagian rakyat Indonesia adalah khayalan, tetapi bagi taipan adalah angka biasa. Pengusaha “Cina “ Di Indonesia Sejak jaman kolonial, kaum penjajah dengan sengaja menciptakan kesenjangan sosial. Masyarakat “Timur Asing” yang didominasi “etnis China” difungsikan sebagai pelaku perdagangan. Dari sanalah praktik kongkalingkong penguasa dan pengusaha bermula. “Etnis Cina” selalu mendapatkan keuntungan dari kolonialisme Belanda di Indonesia. Pedagang-pedagang “cina “ mendapatkan posisi yang tinggi, dengan usaha yang lebih maju dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Indonesia lainnya. Dengan kemampuan untuk “mengambil hati” penjajah itu, pedangang “Cina “ mendapatkan keramahan dari pemerintah Hindia Belanda. Sebaliknya, warga pribumi selalu menjadi korban “persekongkolan” para pendatang dan penjajah ini. Terjadilah monopoli di bidang perdagangan. Monopoli ini sebagai akibat adanya kongkalikong antara pengusaha “Cina “ dengan Pemerintah Hindia Belanda. Pribumi tentu merasakan dampak yang tidak baik, sebagai akibat kongkalikong tersebut. Untuk melawan dominasi aseng itu, pedagang-pedagang Islam mulai memunculkan rasa nasionalismenya. Kebangkitan awal gerakan nasionalisme Indonesia dimulai dari gerakan padagang Islam. Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi awal mula kesadaran nasionalisme itu dibidang ekonomi. Pada masa Orde Baru, posisi para taipan Cina menjadi semakin kuat. Apalagi dengan kebijakan pemerintah yang memberikan keuntungan besar bagi mereka. Sehingga muncullah kesenjangan dan ketidakadilan di bidang ekonomi. Rezim Orde Baru menggunakan pengusaha etnis China sebagai ujung tombak membangun ekonomi nasional. Mereka ‘diternak’ untuk difungsikan menjadi mitra penguasa dalam mengelola perekonomian nasional. Seluruh bidang usaha berada dalam cengkeraman pengusaha Cina ini. Dampak dari semua itu adalah ketidakdilan sosial dan kesenjangan ekonomi yang begitu sangat dahsyat. Survei lembaga Oxfam merilis, aset 4 orang terkaya Indonesia mencapai U$ 25 miliar dolar. Setara dengan harta 100 juta orang miskin. Kekuatan modal yang mereka miliki begitu besar, sehingga berkemampuan menyandera, mendikte, dan mengendalikan perekonomian nasional. Menjadi seperti ‘negara dalam negara’. Mereka semakin kaya dan membesar. Ruang gerak perekonomian rakyat makin menyempit. Indonesia pun masuk enam besar negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia. (Sumber: https://www.watyutink.com/topik/politika/Mengapa-Hanya-Mereka-yang-Kaya). Misrisnya, dalam laporan Credit Suisse yang bertajuk Global Wealth Report 2018 menunjukkan bahwa 10 orang paling kaya di Indonesia menguasai 75,3% total kekayaan penduduk dewasa. Sementara 1% orang terkaya Indonesia mendominasi 46% total kekayaan penduduk dewasa. Ini menggambarkan tingginya ketimpangan kekayaan yang terjadi di masyarakat. (Sumber: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/11/09/10-orang-terkaya-di-indonesia-kuasai-75-kekayaan-penduduk) Melihat kenyataan tersebut, tentu membuat kita miris. Namun negara tidak mampu mengendalikan ketimpangan ini. Justru yang ada dugaan pemerintah berada dalam kendali oligarki ekonomi yang membuat ketimpangan tersebut. Kembali Ke Ekonomi Pancasila Mengutip tulisan Ichsanuddin Noorsy “Kembali Ke Ekonomi Konstitusi 1945”. Ketimpangan tersebut, selain karena kegagalan sistem ekonomi dan politik, juga karena kegagalan itu merujuk pada kegagalan sistem hokum, sehingga muara dari kegagalan itu adalah meluasnya rasa ketidak adilan. Indikasinya bukan sekadar pada soal Gini Rasio yang menggambarkan ketimpangan pendapatan saja. Berbedanya pelayanan politik kekuasaan dan hukum terhadap mereka yang menguasai sumberdaya, produksi dan distribusi dengan kualitas layanan publik bagi rakyat jelata. Tesa semakin kaya seseorang semakin sedikit hukum yang berlaku atas dirinya. Kenyataan ini berlaku dan menjadi tontonan kaum marjinal. Inilah kenyataan yang dirasakan oleh bangsa Indonesia sekarang ini. Dimana ketimpangan dan ketidakadilan sudah menyentuh pada semua aspek kehidupan berbngsa dan bernegara. Pemusatan kekayaan pada satu atau dua kelompok memperlihatkan kegagalan negara menstribusikan keadilan sosial di negeri ini. Meminjam Ichsanuddin Noersy tadi, kembali Ke Ekonomi Konstitusi 1945 adalah kembali kepada sistem ekonomi Pancasila. Dimana dalam Pancasila itu terdapat nilai dan spirit ajaran Islam yang mengatur tentang masalah ekonomi dan keadilan. Dalam ajaran Islam, ada anjuran untuk memberikan harta kepada orang yang tidak berkecukupan. Al-Quran mengatakan: “… dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian….” Artinya segala sesuatu itu adalah milik Allah, yang harus kita berikan kepada orang yang membutuhkan. Lebih Jelas lagi Rasulullah SAW bersabda, “barang siapa yang menimbun barang, maka ia bersalah (berdosa )" (HR Muslim ). Menimbun atau menyembunyikan dalam syara' itu berarti ihtikar yang artinya adalah tindakan menyimpan atau menimbun harta yang tidak ingin dijual atau diberikan kepada orang lain. Tindakan menyimpan dan menimbun harta seperti ini menimbulkan sifat keserakahan atau ketamakan didalam diri manusia. Sifat yang seperti inilah yang membuat orang selalu merasa kekurangan. Orang yang menimbun barang ini hanya ingin menuruti nafsu mereka, yang hanya ingin untung dan menumpuk keuntungan sampai menyundul langit. Kalau kita kaji dalam perspektif negara, terjadinya penumpukan harta dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, merupakan pengingkaran terhadap cita-cita luhur bangsa Indonesia. Sebab, Bumi Air dan seluruh kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Konstitusi mengatur bahwa negara menguasai segala sumber daya itu. Kalua terjadi penumpukan harta, artinya negara merawat kesenjangan dan gagal mewujudkan keadilan sosial. Karena itu ketimpangan ekonomi, penumpukan harta pada satu atau dua orang adalah kezaliman yang nyata. Dimana satu orang atau sekelompok orang (oligarki) menguasai sebagian besar sumber daya alam dan ekonomi suatu negara, sementara sebagian besar masyarakat berebut demi sesuap nasi. Konkritnya, seperti yang dikatakan oleh Syahganda, anak-anak konglomerat berebut Rp 600 triliun dari hasil peninggalan orang tuanya. Sementara 10 juta rakyat Indonesia per-keluarga berebut Rp 600 ribu kemudian dipotong dari juli s/d Desember menjadi Rp. 300 ribu. Inilah potret ketimpangan di Indonesia. Teologi Al-Ma’un & Kedustaan Berbangsa Dalam tumpukan kekayaan yang luar biasa itu, kita perlu merenungi dan mengingat bagaimana Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan menggunakan Quran Surah Al-Ma’un sebagai senjata analisis untuk melihat ketimpangan yang terjadi pada masyarakat Indonesia kala itu. Teologi Al-Ma’un adalah keberpihakan kepada fakir miskin dan kaum duafa yang jumlahnya cukup massif di Indonesia sampai saat ini. Dengan al-Maun kepekaan sosial kita diuji, keimanan kita dipertanyakan, kalau belum menyantuni anak yatim dan memberi makan fakir miskin. Maka, apabila kaum miskin dan anak yatim belum mendapatkan pemeliharaan, belum mendapatkan santunan dari negara, maka kita telah berdusta dalam bernegara. Bukankah konsitusi mengatakan “fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara”. Lalu kenapa kesenjangan terus melebar? Ini masalah serius bangsa hari ini yang harus kita pecahkan bersama. Pancasila hanya dijadikan slogan dan jargon. Akan tetapi dalam menjalankan tata kelola negara, Pancasila tidak dijadikan dasar dan sumber pijakan. Janji-janji kemerdekaan yaitu, “mencerdaskan, mensejahterahkan, dan melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah”, yang semakin tertinggal jauh. Kiblat bangsa telah bergeser, Inilah masalah bangsa ini. Di tengah rakyat yang behimpitan ekonomi, berebut bantuan ala kadarnya dari negara, ada satu keluarga konglomerat berebut harta warisan dengan jumlah yang sangat fantastis. Kenyataan ini memperlihatkan ada ketimpangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang cukup serius. Ini bisa menjadi malapetaka bagi bangsa ini. Oleh sebab itu, hanya dengan kesadaran al-Ma’un kita dapat menciptakan keadilan sosial yang otentik untuk membangun negara. Agar menjadi negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Dosen FH, Fisip UMJ & Inisiator Masyumi Reborn.
UU Korona No.2/2020, Cara Sistemik Amankan Bisnis Oligarki
by Dr. Marwan Batubara, KMPK Jakarta FNN – Kamis (16/07). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR 12 Mei 2020. Perppu ditandatangani Presiden Jokowi menjadi UU No.2/2020 pada 16 Mei 2020. Menurut pemerintah UU No.2/2020 ini bertujuan merelaksasi sejumlah peraturan guna menghadapi Covid-19 dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Menkeu Sri Mulyani mengatakan UU No.2/2020 menjadi landasan hukum agar pemerintah dan otoritas terkait dapat mengambil langkah-langkah luar biasa secara cepat dan akuntabel guna menangani pandemi korona. Ditambahkan, upaya tersebut diperlukan mengingat pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan. Tetapi masalah kemanusiaan yang berdampak pada aspek socialekonomi, dan mempengaruhi fundamental perekonomian nasional (14/4/2020). Saat menyerahkan Perppu No.1/2020 kepada Pimpinan DPR tanggal 2 April 2020, Menkeu Sri Mulyani mengatakan "pemerintah dalam hal ini Komite Stabilitas Sistem Keuangan(KSSK) bekerja sama dengan Kejaksaan, Kepolisian, dan bahkan KPK. Tujuannya, agar potensi moral hazard bisa dihindari. Dikatakan pula, moral hazard dapat dicegah karena kebijakan keuangan dan pelaksanaannya tetap memperhatikan tata kelola yang baik sesuai Pasal 12 (1) UU No.2/2020. Moral hazard bisa berujung korupsi. Diyakini korupsi tidak dapat dihindari dan dihilangkan hanya melalui kerja sama antar lembaga dan tata kelola yang baik. Terutama karena menyangkut masalah subjek pelaku, sistem peraturan perundangan dan penegakan hukum. Disamping subjek pejabat pelaksana harus professional, beramanah dan bertanggungjawab. Sistem peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan juga yang perlu dipersiapkan. Agar harus dijalankan secara menyeluruh dan konsisten. Jika dicermati, moral hazard dalam pelaksanaan UU No.2/2020, justru potensial terjadi. Karena UU tersebut berisi banyak ketentuan yang melanggar konstitusi dan melanggar ketentuan dalam sejumlah UU yang berlaku saat ini. Hal yang paling mendasar adalah pelanggaran terhadap konstitusi terkait eliminasi hak DPR dalam penetapan defisit dan APBN (Pasal 2 dan Pasal 12). Status kebal hukum bagi pejabat pelaksana kebijakan (Pasal 27), dan eliminasi fungsi pengawasan oleh DPR dan BPK (Pasal 27). Moral hazard pun dapat terjadi dalam program pemulihan ekonomi. Terutama melalui pembiayaan investasi pemerintah berupa modal negara (PMN). Penempatan dana investasi dan penjaminan, jika tidak diatur rinci berpotensi menjadi permasalahan kelak (Pasal 11). Dalam kaitan ini diperlukan kejelasan objek, sektor, parameter, mekanisme, lembaga pelaksana, penjaminan dan sasaran strategisnya. Model pemulihan yang tidak jelas dan terbuka seperti ini, akan membuka peluang moral hazard yang tinggi, sehingga dana penjaminan justru potensial dinikmati sejumlah pihak sebagai bagian dari oligarki. Peluang moral hazard juga terbuka. Karena UU No.2/2020 memuat ketentuan (Pasal 22) dimana untuk mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat membuat program penjaminan di luar program penjaminan simpanan seperti diatur UU LPS. Karena kriteria yang tak jelas, akan dibantu LPS secara full garantee justru bisa saja bank dan para pengusaha yang kesulitan likuiditas. Bukan karena pandemi korona. Ini akan membuka peluang moral hazard yang kelak menjadi beban keuangan negara. Moral hazard pun potensial terjadi. Karena dihapusnya berbagai ketentuan dalam 12 UU yang berlaku saat ini (Pasal 28). Dengan begitu, banyak peraturan perundangan yang disusun puluhan tahun oleh sejumlah pemerintahan dan DPR sebelumnya, termasuk yang menjadi amanat reformasi, dinyatakan tidak berlaku! Hal ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap sistem otorisasi dan tata kelola APBN, keuangan negara dan moneter. Kondisi ini menjadikan kewenangan Presiden sangat besar dan berpotensi menimbulkan abuse of power.Ringkasnya, langkah-langkah sistemik bernuansa moral hazard yang pro-oligarki, diatur dalam UU No.2/2020 adalah sebagai berikut. Pertama, menyatakan kondisi kegentingan memaksa. Meskipun secara faktual kondisi tidak genting, karena bahaya krisis ekonomi umumnya terjadi secara gradual. Kedua, eliminasi fungsi budget DPR yang dijamin konstitusi. Ketiga, raih dan tetapkan status kebal hukum bagi para pelaksana kebijakan dan program. Keempat, batalkan seluruh ketentuan dalam 12 UU yang menghalangi pelaksanaan kebijakan dan program. Kelima, kendalikan dan paksa Bank Indonesia (BI) untuk bekerja dan menjadi bagian dari pemerintah. Keenam, batalkan prinsip transparansi berkeadilan berdasar skema bail-in dalam mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, demi melindungi kepentingan para oligarki. Dengan berbagai ketentuan inkonstitusional dan menyimpang seperti diuraikan di atas, maka bukannya terhindar atau bebas moral hazard. UU No.2/2020 justru membuka peluang terjadinya moral hazard dalam pelaksanaan berbagai kebijakan dan program yang berpangkal pada UU tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan pemerintah telah mengawali penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap permasalahan sosial, keuangan dan perekonomian nasional. Apalagi dengan membuat peraturan yang justru sarat moral hazard! Padahal, belajar dari krisis keuangan 1997-1998 dan krisis ekonomi 2008, Pemerintah dan DPR telah melakukan perbaikan dan membangun sistem keuangan yang siap menghadapi krisis sistem keuangan. Upaya perbaikan meliputi penataan kelembagaan, pembentukan dan amendemen UU No.23/1999 tentang BI, pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai UU No.24/2004 dan pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai UU No.21/2011. Selain itu, telah dibentuk pula UU No.9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). UU ini dipersiapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan payung hukum untuk mengatur upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Jika dicermati, UU BI dibentuk dan dirubah agar BI dapat menjadi lembaga otonom, independen, dan bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak-pihak lain. Diharapkan pengendalian moneter dapat dilakukan efektif dan efisien. Begitu juga dengan UU-UU tentang LPS, OJK dan PPKSK yang dibentuk dalam upaya mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang kuat mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, termasuk mencegah moral hazard. UU PPKSK No.9/2016 secara spesifik mengatur prinsip-prinsip dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang tidak diatur sebelumnya. UU PPKSK mengatur skema bail-in dalam penanganan bank sistemik dengan mengoptimalkan kemampuan bank. Baik melalui penambahan modal maupun pengubahan utang atau investasi menjadi penyertaan. Saling keterkaitan sektor jasa keuangan menuntut kebijakan makroprudensial yang bersifat melengkapi kebijakan mikroprudensial dan pengawasan sektor keuangan terintegrasi. Ternyata, meskipun berbagai perangkat dan peraturan mengantisipasi dan menangani krisis ekonomi dan keuangan telah tersedia, pemerintahan Jokowi tidak menggubris dan justru dengan sengaja mengeliminasinya! Secara khusus, pemerintah sengaja mengeliminasi peran UU PPKSK dalam Pasal 28 (poin 11) UU No.2/2020. Padahal, berbagai perangkat tersebut disusun setelah belajar dari dampak negatif penanganan krisis eknomi dan keuangan masa lalu. Saat itu penanganan krisis sangat merugikan keuangan negara, dan penyebab utamanya adalah prilaku moral hazard penyelenggara negara dan para pengusaha. Prilaku pemerintah seperti di atas jelas menunjukkan sikap yang lebih berpihak kepada pengusaha. Bahkan menjadi bagian oligarki kekuasaan. Karena itu, tak heran jika UU No.2/2020 lebih banyak memuat ketentuan menangani kepentingan pengusaha dan penyelamatan sistem keuangan dan perbankan. Segelintir pengusaha memperoleh bagian yang besar, termasuk insentif fiskal dan pemotongan pajak. Sementara ratusan juta rakyat justru tidak mendapat bagian dan penanganan memadai serta berkeadilan. Kebijakan tidak untuk keselamatan dan jaring pengaman social untuk rakyat kecil. Salah satu implementasi UU No.2/2020 pro-oligarki kekuasaan adalah terbitnya Perpres No.54/2020 dan Perpres No.72/2020. Kedua Perpres ini berfungsi sebagai APBN-P yang berubah hanya dalam waktu dua bulan. Dua Perpres ini telah ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah tanpa partisipasi DPR sebagai pemegang hak konstitusional budgeting dan sebagai wakil rakyat untuk memperoleh keadilan dalam pemanfaatan uang negara di APBN. Mengingat peran DPR dihilangkan, maka pembentukan dan pelaksanaan UU No.2/2020 berada di tangan segelintir orang dalam oligarki kekukasaan yang cenderung pro-pengusaha. Juga yang pro-kapitalis, maka ke depan ekonomi dan kehidupan ratusan juta rakyat berada dalam kondisi ketidakadilan dan jauh dari rasa kebersamaan. Indonesia akan berada dalam cengkeraman segelinitr orang dalam oligarki kekuasaan dan para pemilik modal. Pada gilrannya, hal ini akan mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Kita telah melihat dan merasakan prilaku moral hazard yang mewaranai, dan sangat menentukan kehidupan rakyat di masa lalu dengan perekonomian dan beban utang yang sangat besar. Mega skandal BLBI telah meninggalkan utang negara Rp 640,9 triliun dan akan menjadi beban APBN dan beban rakyat hingga tahun 2033. Itu pun jika pokok utang dilunasi. Megaskandal ini tidak dapat dituntaskan, meskipun telah ditangani oleh empat periode pemerintahan, terutama karena kuatnya pengaruh oligarki pengidap moral hazard. Ternyata saat ini peran oligarki penguasa-pengusaha tetap ada. Bahkan semakin exist dibanding masa lalu. Atas nama Covid-19, APBN ditetapkan dengan jumlah belanja yang semakin besar, karena kebutuhan mengamankan kepentingan para pengusaha. Belanja APBN yang besar ditutup dengan utang yang semakin besar dan tanpa kendali. Dalam hal ini, peran pengusaha dalam oligarki kekuasaan bernuansa moral hazard terasa cukup dominan. Ke depan pola kekuasaan bernauansa moral hazard ini akan berdampak pada kehidupan rakyat yang semakin jauh dari rasa keadilan dan kebersamaan yang diamanatkan Pancasila. Namun ironi dan nestapa tersebut dapat dicegah jika Mahakamah Konstitusi bisa bekerja bebas “intervensi” memutus gugatan judicial review sejumlah elemen publik terhadap UU No.2/2020. Fungsi budget DPR dipulihkan, peran BI dan LPS dijalankan sesuai UU. Krisis diatasi secara berkeadilan sesuai perintah UU PPKSK, serta pengaruh moral hazard dan dominasi pengusaha/konglomerat dalam oligarki kekuasaan dihilangkan. Dalam kondisi bencana dan krisis, sanksi hukum bagi koruptor adalah pidana mati seperti diatur dalam Pasal 2 UU Tipikor No.20/2001. Namun hukuman tersebut hanya dapat diterapkan jika tersedia landasan hukum yang komprehensif, adil, bebas moral hazard dan bebas status kebal hukum yang diskriminatif. Bagaimana sanksi hukum bisa dijalankan jika semua prasyarat tersebut telah dieliminasi seperti direkayasa dalam UU No.2/2020? Dengan demikian, agenda penguasaan APBN secara tidak adil akan berlangsung mulus. Apakah itu artinya UU No.2/2020 memang sengaja dibentuk, sarat dengan prilaku moral hazard agar tersedia cara sistemik bernuansa moral hazard untuk mengamankan bisnis oligarki? Wallahu a’lam. Penulis adalah Managing Director Indonesian Resoeurces Studies (IRESS)
PDIP di Persimpangan Jalan & Intelijen Yang Eror
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – (16/07). Ini sekedar iseng dan analisa "gampangan" saja. Analisis soal PDIP sebagai "the rulling party". Sebutan "the rulling party" juga agak setengah hati, karena fakta politiknya antara Jokowi sebagai Presiden dengan PDIP, nampaknya belum merupakan satu kesatuan yang utuh. Untuk itu, Megawati perlu berulang-ulang membuat pernyataan untuk meyakinkan diri dan orang lain bahwa Jokowi adalah "petugas partai". Bahwa Jokowi menjadi Presiden itu mendapat dukungan penuh dari PDIP tidaklah diragukan Dalam hal status Jokowi sebagai "kader" PDIP tentu saja banyak yang meragukan. Lebih kental pada adanya kesamaan kepentingan yang bersimbiosis mutualisme. Dalam perjalanannya, kepentingan masing-masing menjadi takaran dari kontribusi dan peran. Kadang-kadang mesti terlebih dahulu dinegoisasikan atau mungkin "diintimidasi". Berbeda dengan pada saat Soeharto berkuasa. "The rulling party" Soeharto adalah Golkar. Soeharto menjadi pengendali dan penentu utama segala kebijakan di Golkar. Kepentingan keduanya bersatu. Golkar sulit untuk digoyang, karena hal itu sama saja dengan menggoyang Presiden. Demikian juga sebaliknya. Kini PDIP berada di simpang jalan. Salah satunya karena "terkunci" oleh persoalan pengajuan RUU HIP. PDIP mati-matian berjuang menghadapi gempuran publik, khususnya umat Islam dan purnawirawan TNI-POlri. Namun Jokowi sebagai "petugas partai" tetap saja santai dan meliuk-liuk berkelit. "Ini (RUU HIP) 100 persen adalah inisiatif dari DPR. Jadi, Pemerintah tidak ikut campur sama sekali", kilah Jokowi. Secara normatif "tidak ikut campur" mungkin benar. Tetapi sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di DPR itu berhimpun partai-partai koalisi yang mendukung Presiden. Ada enam partai di sana, yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB dan PPP. Presiden layak dan mampu untuk "mengkoordinasikan" partai-partai koalisi pendukungnya. Jadi benarkah "sama sekali" tidak ikut campur? Benarkah Presiden tidak tau adanya RUU HIP? Bukankah RUU tersebut ada relevansinya dengan BPIP yang tak lain adalah badan buatan Presiden sendiri? Benarkah Presiden kecolongan dengan adanya RUU HIP? Padahal presiden punya tiga orang menteri yang menjadi Ketua Umum Partai yang punya kursi di senayan, yaitu Prabowo Subioanto, Airlangga Hartarto dan Suharso Monoharpa. Lalu, apa saja kerja dari banyaknya lembaga intelijen yang berada di bawah kordinasi Badan Intelijen Negara? Puluhan triliun anggaran Negara dikeluarkan setiap tahun untuk membeiayai lembaga-lembaga intelijen TNI, Polisi Kejaksaan, dan Kementerian Pertahanan. Semua lembaga-lembaga intelijen tersebut berada di bawah kordinasi BIN. Presiden ko bisa kecolongan atau tidak tau adanya RUU HIP? Bahaya dong Negara kalau intelijen juga kecolongan atau eror. Pernyataan normatif Presiden, sangat berdampak politis, khususnya bagi PDIP sebagai partai terbesar pendukung Presiden. Partai berlambang kepala banteng ini diduga menghadapi situasi berat. Tertekan akibat usulan RUU HIP yang dikaitkan dengan isu dan kebangkitan faham Komunisme-PKI. Persoalan isu Orde Lama, Soekarnoisme, serta Komunisme bermula pada Visi Misi dan AD/ART Partai sebagai platform perjuangan Partai. Reaksi yang datang secara masif adalah suatu hal yang wajar. Tak ada asap jika tak ada api. Jadi bukan gorengan. Persimpangan jalan pertama adalah antara melakukan klarifikasi atau mengubah AD/ART Partai? Tujuannya, agar tidak ditafsirkan bahwa misi Partai tidak lain adalah untuk menggoyang, atau bahkan mengganti Pancasila 18 Agustus 1945 sebagai ideologi dan dasar negara. Persimpangan jalan kedua, yakni antara "the rulling party" dalam arti riel atau bersifat semu atau quasi? Jika hanya pro-forma, yakni PDIP itu sebenarnya tidak berkuasa, maka PDIP dapat mengambil porsi berseberangan dengan Presiden. Artinya Jokowi bisa saja dimakzulkan. PDIP dapat menyiapkan kadernya untuk jabatan Wapres sebagai pasangan Ma'ruf Amin, yang secara konstitusi naik menjadi Presiden. Keuntungan politisnya, PDIP menjadi motor penampung dan penyalur aspirasi rakyat, yang memang dirasakan sudah tidak mempercayai lagi Jokowi sebagai Presiden. Keuntungan lain adalah Kyai Ma'ruf yang "uzur", sehingga meskipun berstatus sebagai Wapres, akan tetapi nantinya PDIP akan menjadi penentu kebijakan. Menjadikan Wapres dari kader PDIP tentu mudah saja berdasarkan lobi-lobi sebagai Partai pemilik suara terbanyak. Memakzulkan Jokowi dapat menjadi bagian dari pemulihan nama baik PDIP setelah diporakporandakan oleh RUU HIP. Apakah Jokowi akan diam saja menghadapi rencana pemakzulan? Belum tentu. Bahkan kemungkinan tidak diam. Siapa tahu Pemerintah mengajukan permohonan pembubaran PDIP ke MK atas dasar ideologi atau asas Partai yang bertentangan dengan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945. Nah, karena politik itu dinamis. Segalanya serba mungkin, maka biarlah apa yang nanti rakyat akan lakukan untuk mewujudkan kekuatan atau kedaulatannya sendiri. Jokowi turun atau PDIP bubar. Atau mungkin terjadi hal yang spektakuler, yaitu menimpa kedua-duanya. Jokowi turun dan PDIP bubar. Kita semua tidak tahu karena panggung politik itu sering membuat kejutan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
MA Sempurnakan Kebobrokan KPU Selama Ini
by Chandra Tirta Wijaya Jakarta FNN – Kamis (16/07). Pada Jum’at tanggal 3 Juni 2020 lalu, Mahkamah Agung mengupload Keputusan Nomor 44 P/HUM/2019 ke publik. Putusan tersebut, menyatakan membatalkan Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 5 Tahun 2019 yang diuji materi oleh Rachmawati Sorkarnoputroidan kawan-kawan. Padahal Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 inilah yang dijadikan sebagai alasan hukum oleh KPU untuk menetapkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019. Alasan Mahkamah Agung, karena pasal tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Putusan Nomor 44 P/HUM/2019 dibuat oleh Hakim Agung Dr. Supandi SH. M.Hum sebagai Ketua Majelis dan Dr, Irfan fachruddin SH dan Is Sudaryono SH. MH. masing-masing sebagai hakim anggota. Salah satu amar putusan lainnya menyatakan bahwa “Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 tahun 2019 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat”. Pembaca FNN yang budiman. Tulisan tidak untuk mempersoalkan sah-tidaknya pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai Prsiden dan Wakil Presiden. Sama sekali tidak. Biarkan perdebatan soal sah-tidaknya itu menjadi ranahnya para ahli hukum tata Negara. Tulisan ini hanya menyoroti cara kerja KPU periode 2017-2022 selama ini nyata-nyata memang bobrok, amburadul, tidak profesional dan amatiran. Putusan Mahkamah Agung yang telah diputus tanggal 28 Oktober 2019 itu, bukal membuat norma baru. Layaknya sebuah undang-undang yang baru diundangkan. Sehingga undang-undang baru tersebut, tidak boleh diberlakukan terhadap suatu peristiwa hukum yang sudah berlalu. Tidak berlaku surut. Putusan Mahkamah Agung itu hanya menegaskan bahwa norma yang digunakan KPU sebagai dasar untuk penetapan kemenangan Capres dan Cawapres cacat hukum. Bahasa kerennya cacat konstitusional. Sebab norma yang dibuat KPU nyata-nyata bertentangan dengan dua peraturan perundang-udangan di atasnya, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, dan UUD 1945 pasal 6A. Bahasa agama, seperti imam yang memimpin sholat berjamaa. Imam kentut di rakaat pertama. Namun imamnya tetap ngotot melanjutkan sholat berjamaan sampai rakaat terakhir. Imamnya tidak mau mundur untuk memberikan kesempatan kepada jamaah sholat yang lain menjadi imam. Untuk itu, ke depan KPU jangan lagi sok tau, sok hebat, dan sok pintar hukum seperti KPU periode sekarang. Akibatnya, KPU yang sok paling mengerti aturan, berani menciptakan norma hukum baru, dengan sengaja menabrak dua produk hukum di atasnya. Kesian kan Pak Jokowi dan Pak Ma’ruf Amin. Bisa menjadi tidak nyaman menjalankan tugas kenegaraan sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Publik bisa jadi mempertanyakan legalitas Prasiden dan Wakil Presiden, hanya karena keangkuhan dan kasombongan KPU periode 2017-2022 ini. Semoga tidak berpengaruh terhadap hubungan Indonesia dengan komunitas internasional. Sesuatu yang sebenarnya nggak perlu terjadi, kalau saja KPU tidak bobrok, tidak amatiran dan tidak amburadul. Kebijakan KPU yang membuat peraturan yang bertabrakan dengan dua perundang-undangan di atasnya, telah mengkonfirmasi bahwa KPU priode 2017-2022 ini sangat tidak kapabel dan tidak profesional. Selian itu, KPU juga miskin pemahaman terhadap hirarki dan tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Untuk memahami undang-undang yang mengatur bidang tugas dari KPU saja minim, asal-asalan dan amatiran. Bagaimana mungkin bisa memahami undang-undang di luar bidang tugas KPU? Terdapat beberapa masalah yang menimpa KPU periode ini sebagai gambaran bahwa KPU tidak professional melaksanakan tugas dan fungsinya. Pertama, dimulai dari terpilihnya Arief Budiman sebagai Ketua KPU. Pada saat pemilihan tujuh komisoner KPU periode 2017-2022 di Komisi II DPR, dini hari tanggal 5 April 2017, Arief Budiman memperoleh suara paling kecil. Arief hanya mendapat 30 suara. Arief adalah Komisioner KPU terpilih nomor paling buntut dari tujuh orang. Arief Budiman bisa menjadi Ketua KPU. Ini aneh tapi nyata, namun benar-benar terjadi. Biasanya yang terpilih menjadi Ketua pada lembaga apa saja adalah pemenang suara nomor satu sampai tiga. Nah, suara terbanyak pertama ada dua orang, yaitu Promono Ubaid Tanthowi dan Wahtu Setiawan. Masing-masing mendapatkan 55 suara. Suara terbanyak kedua juga dua orang. Diraih oleh Ilham Saputra dan Hasyim Asy’ari, masing-masing memperoleh 54 suara. Selanjutnya adalah Viryan Azis yang mendapatkan 52 suara, dan Evi Novida Ginting Manik dengan 48 suara. Peraih suara terkecil Arief Budiman, dengan 30 suara. Namun Arief bisa terpilih menjadi Ketua KPU. Luar biasa Arief. Kedua, daftar pemilih bermasalah sebanyak 17,5 juta orang. Ada tiga tanggal, dimana manusia lahir pada ketiga tanggal tersebut banyak 17,5 juta orang. Yaitu pada tangga 1 Juli, 31 Desember dan 1 Januari. Meskipun telah dipersoalkan oleh kubu Capres Prabowo Subianto, namun tetap dianggap angin lalu oleh KPU. Ketiga, orang gila ikut memilih dalam pemulu. Pada Pemilu 2019 lalu dapat diikuti oleh orang dengan katagori gangguan jiwa atau ingatan. Sebanyak 54.295 orang dengan katagori gangguan jiwa atau ingatan ikut memilih. Tidak mengherankan kalau di dunia ini, hanya di Indonesia orang dengan katagori gangguan jiwa atau ingatan ikut menggunakan hak suaranya dalam pemilu. Hasilnya, ya KPU yang seperti ini. Ketiga, situng KPU yang dirancang untuk tidak bisa menjumlah dengan benar. Prosesnya yang sangat lambat. Servernya tidak berada di gedung KPU. Tetapi di luar gedung KPU. Yang lebih tragis lagi, paswood data computer pun tidak dikuasai oleh orang-orang di dalam KPU. Sampai-sampai muncul peratnyaan, siapa sebenarnya orang dari luar KPU yang menguasai paswood computer KPU itu? Keempat, kematian petugas Kelompok Penyelenggaran Pemungungutan Suara (KPPS) sebanyak 894 orang. Kematian manusia sebanyak ini tidak pernah diotopsi dan disidik untuk bisa diketahui apa saja penyebab kematian mereka. Baik KPU maupun Bawaslu Pusat tidak meminta dokter untuk melakukan otopsi terhadap mayat 894 petugas KPPS, sehingga bisa diketahi penyebab kematian. Kelima, tertangkapnya komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus Harun Masiku. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Wahya Setiawan yang sering tampil membela kebijakan KPU di media massa, telah mengkonfirmasi bahwa kerja-kerja KPU selama ini bermasalah. Bahwa kerja KPU memang bobrok, amburadul, amatiran, dan tidak profesional. Merusak tatanan demokrasi. Mungkinkah Wahtyu Setiawan sendiri dalam kasus Harun Masiku ini? Memang, sampai sekarang belum terbukti dan petunjuk adanya keterlibatan komisioner KPU yang lain. Namun public menyangsikan Wayu Setiawan bekereja sendirian. Potensi adanya keterlibatan Komisioner KPU yang lain terbuka lebar. Keenam, dipecatnya komisioner KPU Evi Novinda Ginting Manik. Pada tanggal 18 Maret 2020, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam sidangnya telah memecat Evi Novida Ginting Manik. Alasan DKPP, Evi dianggap terbukti melakukan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Penyelenggara Pemilu. Kasusnya terkait dengan perolehan suara caleg dari Partai Gerindra dari Dapil Kalimantan Barat, atas nama hendri Makaluasc. Ketujuh, Ketua KPU Aief Budiman dan tiga Komisioner KPU lainnya mendapat peringatan keras dan terakhir. Selain pemecatan terhadapt Evi Novida Ginting Manik, DKPP juga telah mengeluarkan peringatan keras dan terakhir kepada Arif Budiman dan tiga anggota KPU lainnya, Viryan Azis, Ilham Saputra dan Promono Abaid Tanthowi. Dengan demikian, total Komisioner KPU yang bermasalah sudah enam dari tujuh orang, yaitu Wahyu Setiawan, Evi Novida Ginting Manik, Arif Budiman, Viryan Azis, Ilham saputra dan Promono Ubaid Tanthowi. Sudah enam orang Komisioner KPU yang bermasalah. Tinggal satu orang yang belom bermasalah, atau kemungkinan bermasalah, namun belum diketahui publik, yaitu Hasyim Asy’ari. Kedelapan, dan baru diketahui oleh minggu lalu adalah Putusan dari Mahkamah Agung Nomor 44 P/HUM 2019. Dengan keluarnya putusan ini, maka Mahkamah Agung telah ikut sempurnakan kebobrokan, keamburadulan, ketidak profesionalan dan keamatiran KPU selama ini. Lengkaplah sudah keterlibatan semua Komisioneer KPU. Sempurna sudah KPU bermasalah. Pertanyaannya, masih pantaskah KPU periode 2017-2022 ini dipercaya sebagai penyelenggaran pemilu yang benar dan kredibel? Masih layakkah dijadikan sebagai wasit pada Pemilu Kepala Daerah di bulan Desember 2020 nanti? Atau sebaliknya, dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 44 P/HUM/2019, sebaiknya semua Komisioner KPU dipecat oleh DKPP? Setelah itu, segera dipilih dan diangkat lagi Komisioner yang baru. Yang pasti KPU periode 2017-2022 pimpinan Arief Budiman ini sudah cacat moral, cacat hukum, cacat demokrasi dan cacat profesionalisme (amatiran). Kelau sudah begitu, produk domokrasi apapun yang dihasilkan, tetap saja bermasalah. Seperti kata orang-orang kampong “garbage in, garbage out”. Masuknya sampah, ya hasil yang dikerjakan juga sampah. Penulis adalah Anggota DPR Priode 2009-2014.