NASIONAL
Boedi Djarot Ribut Soal Khilafah
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (06/08). Beredar Video menantang Boedi Djarot yang muncul dari persembunyiannya. Boedi Dfjarot berteriak teriak menyatakan bertanggungjawab atas peristiwa 27 Juli 2020 di depan gedung DPR. Lalu menantang sambil menyebut nyebut soal Khilafah segala. Jika berpedoman pada undang-unang ITE "teriakan" itu masuk kategori ujaran kebencian. Benci kepada Khilafah. Entah Boedi Djarot mengerti atau tidak Khilafah? Bahwa Khilafah itu adalah sistem pemerintahan para sahabat Rasulullah SAW sepeninggal Beliau. Pemerintahan Abubakar Shiddiq adalah Khalifah. Begitu juga dengan pemerintahan Umar bin Khattab, Usman bin Affan, serta Ali bun Abi Thalib. Umat Islam sangat menghormati para Khalifah tersebut. Mengingkari para Khulafa'ur Rasyidin sama dengan mengingkari Rosulullah SAW. Artinya yang bersangkutan telah keluar dari Islam. Murtad namanya. Memang timbul pertanyaan Boedi Djarot itu Muslim atau bukan. Seorang Muslim tidak mungkin membenci Khalifah dan Khilafah. Sejarah kenabian dan shahabat tidak bisa dihapus oleh suara berisik sinisme dan kerut kebencian seorang Boedi Djarot. Itu melekat dengan keimaman dan keislaman. Mencaci maki sama saja dengan menodai. Pasal 156 a KUHP mengancam perbuatannya. Khilafah yang ditentang keras adalah modus sembunyi dari peringatan umat Islam yang mewaspadai kebangkitan kader-kader neo-PKI dan faham Komunisme. Pembenci agama itu, dipastikan mereka adalah kaum Komunis. Tidak yang lain. Mereka hanya menjadikan agama sebagai alibi untuk menyembunyikan diri dari yang sebenarnya. Disangkanya dengan membenci Khilafah otomatis bisa menafikan kewaspadaan umat terhadap bahaya kebangkinan kader-kader neo PKI dan faham Komunisme. Tentu itu tidak mungkin terjadi. Tantangan angkuh, yang sebenarnya adalah ketakutan Boedi Djarot. Lalu dikai-kaitkan dengan Khilafah, justru memercik muka sendiri. Boedi Djaroe sebenarnya membongkar borok tanpa disadari. Ada ideologi yang kini berbahaya bagi NKRI, yaitu mereka Gerombolan Trisila dan Ekasila yang berpedoman kepada Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Bukan konteks historis tetapi menjadi ideologi perjuangan saat ini. NKRI adalah Pancasila tanggal 18 Agustus 1945. Bukannya Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Kalau yang 1 Juni 1945 bukan Pancasila dan NKRI. Jika diperjuangkan agar berlaku, maka itu masuk kategori subversif atau makar. Upaya untuk merongrong, dan dapat mengganti Pancasila. Ini kejahatan terhadap keamanan negara. Melanggar ketentuan Pasal 107 KUHP. Bila ada narasi "partai sebagai alat perjuangan untuk membentuk karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945" dan tugas partai "mempengaruhi dan menjiwai jalannya penyelengaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945" dapatkah itu dibenarkan ? Jelas sangat inkonstitusional. Telah merongrong kewibawaan Pancasila 18 Agustus 1945. Jelas itu adalah makar atau subversif? Tidak ada devini yang lain. Mungkin bung Boedi Djarot yang ribut soal Khilafah bisa menjawab pertanyaan tersebut. Jangan bersikap seperti "kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak". Adil dan jujurlah dalam berteriak atau ribut-ribut itu. Jika tidak, ya rugi sendiri. Jangan sok membela NKRI, tetapi nyatanya menghianati NKRI. Model seperti itu adalah gaya perjuangan PKI dahulu. Diulangi oleh kader-kader yang neo-PKI kini. Nah, Mas Boedi Djarot, "A germ on the other side of the sea is visible, an elephant under one's own eye-lid is not !". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Caligula…………
by Zainal Bintang “Tidak, Caligula tidak mati. Dia ada disana, dan selalu disana. Dia ada di dalam dirimu masing-masing. Jika kekuasaan diberikan kepadamu. Untuk itu senantiasa ada, dan hidup dalam nafas atas kita, satiap kali aroma ketidakadilan menyebarkan bau yang tidak sedap. Bersumber dari kekuasaan yang menghalau kontrol, menyingkirkan sikap krtis, dan marampas sumber mata air demokrasi dari tangan alam ini. Alam kemerdekaan berpendapat beda dan berbeda pendapat”, (Albert Camus). Jakarta FNN – Rabu (02/08). Hari Minggu pagi, 02 Agustus pukul 10.13 WIB, saya menerima postingan dari Ilham Bintang (Ketua Dewan Kehormatan PWI) yang berjudul “Caligula”. Dimulai dengan tulisan begini, “…barusan nonton lagi film cerita jadul yang mengisahkan kiprah Caligula, Kaisar Romawi (Tahun 37 - 41 M). Kaisar paling buruk dan kacau dalam sejarah Romawi. Demi melanggengkan kekuasaan, dia labrak seluruh tatanan masyarakat Rowawi masa itu…dst..dst.. Mendengar kata “Caligula” ingatan melayang ke tahun 1970. Ketika itu di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Jakarta, sedang dipentaskan drama “Caligula” dari 13 – 15 Januari 1970. Saya sempat menontonnya. Dimainkan oleh grup “Teater Kecil” pimpinan sutradara dan sastrawan papan atas Indonesia, Arifin. C.Noer. Saya mengenal dekat Arifien C. Noer. Pada tahun 70-an dia bolak balik ke Makassar melakukan riset mengenai adat istiadat orang Bugis-Makassar. Dia yang menulis skenario film “Sanrego” produksi Alam Film Makassar. Film yang berlatar belakang kultur Bugis-Makassar yang berprofesi sebagai bajak laut itu. Dibintangi WD. Mochtar dan Rakhmat Hidayat. “Caligula” adalah sebuah reportoar (lakon drama) kelas dunia karya Alber Camus. Diterjemahkan Asrul Sani. Tokoh sastrawan Indonesia pendiri Akademi Teater Indonesia (ATNI) itu, telah melahikran banyak aktor besar Indonesia, baik di pentas teater maupun di perfilman. Sebutlah aktor Soekarno M.Noer dan adiknya Ismet Noer. Ada nama Pietradjaya Burnama, Wahab Abdi. Kalangan sutradara teater dan film ada Wahyu Sihombing dan Teguh Karya dan lain lain. “Caligula” bercerita tentang seorang kaisar muda yang memerintah Roma dengan ambisi dan obsesi di luar akal manusia. Karena ambisinya, ia mengorbankan semua yang dimilikinya, termasuk orang-orang Roma, bahkan kekasihnya sendiri Drusilla, yang juga adalah saudara perempuannya yang diperisterikannya. “Caligula” adalah kaisar ketiga Roma. Dinobatkan pada musim semi tahun 37. Pada masa tujuh bulan pertama pemerintahannya, dia merupakan teladan dari hidup sederhana. Dia meyakinkan senat bahwa akan mematuhi nasehat mereka. Bahwa dirinya adalah hamba mereka. Seringkali mengadakan perjamuan-perjamuan besar bagi umum. Bersikap akomodatif terhadap para penentangnya. Pada waktu akhir musim gugur, tiba-tiba dia terserang penyakit “aneh” . Dan ketika telah sembuh sifatnya berubah total. Sebagian besar kerabatnya di Istana maupun rakyatnya menganggapnya sudah "gila". Tanda-tanda kegilaan “Caligula” misalnya, ketika memutuskan mengawini Drusilla adik kandungnya sendiri tanpa merasa berdosa. Sang kaisar bejat ini, suka mengambil paksa pengantin – pengantin wanita dari suaminya dan meniduri mereka. Memerintahkan orang-orang untuk mengangkat kuda kesayangannya yang bernama Incitatus untuk menjadi imam di kuil. Gemar menyebar teror. Tiba-tiba di dalam suatu jamuan makan di Istana, “Caligula” beteriak lantang , “aku sedang berpikir bahwa hanya dengan satu anggukan kepala, aku dapat menitahkan leher kalian digorok”. Hadirin langsung senyap. Sipir penjara diperintahkan mengeksekusi tahanan yang botak, kemudian dicincang-cincang sebagai makanan hewan-hewan yang ada di kebun binatang. Ketika itu sejumlah kebun binatang kehabisan persediaan daging lantaran pemerintah kesulitan keuangan akibat “Caligula” berfoya-foya. Sampai suatu hari, ada pemberontakan yang tidak tahan dengan kekejamannya. Mereka merencanakan untuk melenyapkan sang kaisar. Di akhir cerita, “Caligula” meninggal di tangan pemberontak. Albert Camus lahir di Mondovi (sekarang Deraan), Aljazair, 7 November 1913. Meninggal dunia pada umur 46 tahun dalam sebuah kecelakaan mobil di Villeblevin pada 5 Januari 1960. Camus adalah penulis dan filsuf Perancis yang terkenal dengan karya – kayanya yang absurd. Perkenalan saya yang lebih intens dengan jalan fikiran Albert Camus serta beberapa sastrawan dunia seperti Ionesco, Sartre, Anton Chekov dan Bertold Brecht atau Sophocles yang terkenal dengan trilogi Oedipus Rex dan lain-lain. Perkenalan dengan beberapa sastrawan dunia, bersumber dari pergaulan saya yang bertahun-tahun dengan tokoh-tokoh sastrawan Indonesia. Termasuk dengan Umar Kayam, WS Rendra, Putu Wijaya, Taufik Ismail dan Salim Said untuk menyebut beberapa nama. Umar Kayam pernah bertugas beberapa tahun di Makassar. Setiap hari kami bertemu dan berdiskusi berjam-jam di TIM siang dan malam. Kami berdiskusi masalah sastra pada kurun waktu yang lama. Bertahun-tahun. Aapalagi diskusi kami, didukung dengan tersedianya buku-buku dan literatur berkelas dunia di Perpustakaan HB. Jassin di komplek kesenian Jakarta tersebut. Berbagai analisis dan ulasan tentang Camus yang bertebaran di media mainstream Indonesia menyebutkan, bahwa menurut Camus, hidup manusia itu absurd. Absurd adalah sesuatu yang dianggap yang tidak masuk akal. Bahkan konyol. Letak absurditasnya adalah, karena di satu sisi manusia hidup mengarah atau menuju pada masa depan. Sementara di sisi lain, masa depan itu makin mendekatkan manusia pada kematian. Menghadapi absurditas itu, manusia sering kali melakukan kompensasi mencoba melarikan diri, dengan jalan memusatkan perhatian pada agama tertentu atau ideologi tertentu atau bahkan bunuh diri. Namun demikian, tindakan menyibukkan diri ke dalam agama atau ideologi maupun melakukan bunuh diri ditolak oleh Camus sebagai jalan keluar dari absurditas hidup manusia. Jalan keluar yang tegas baginya, adalah dengan melakukan pemberontakan atas hidup (revolt). Maksudnya, ketika menghadapi hidup, manusia harus berani. Manusia tidak boleh lari dari konflik. Tapi harus berani hidup bersama konflik! Tidak perlu takut pada bahaya kematian yang bisa datang setiap saat tanpa diketahui. Melalui karyanya “Caligula”, Camus menggambarkan bahwa manusia mati tidak bahagia dan hidup mereka tidak berarti. “Caligula” memberontak menentang ide ini. Dia memilih tindakan pembunuhan dan kekejaman untuk menegakkan ketertiban dan kontrol atas hidupnya. Camus menerbitkan karyanya ini pada tahun 1944. Namun diceritakan, dalam salah satu karyanya, Camus mengajukan sebuah epilog di ujung lakon ini dengan mengatakan, “Tidak, Caligula tidak mati. Dia ada disana dan selalu disana. Dia ada di dalam dirimu masing-masing. Jika kekuasaan diberikan kepadamu, jika engkau memiliki hati, jika engkau mencintai kehidupan, kau akan mendapati kekuasaan itu tidak terkendali, monster atau malaikat yang kau bawa itu akan masuk ke dalam dirimu. Waktu kita sangat ingin percaya pada nilai dan benda bisa menjadi indah dan berhenti menjadi tidak masuk akal. Selamat tinggal, saya akan kembali ke sejarah dan di sana, saya sudah dikurung begitu lama sehingga mereka takut untuk terlalu mencintai “. “…Alangkah berat, alangkah pedihnya upacara untuk menjadi manusia ini”, kata “Caligula.” Dengan luapan marahnya dia berucap lirih, “Aku mau menyemarakkan kejahatan dengan kebaikan, aku mau memeras tawa dari kesakitan.” Selain menciptakan maha karya “Caligula”, Camus juga melahirkan beberapa novel yang sangat kesohor ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Paling tidak ada empat yang bisa disebutkan, seperti Ke Mythe de Sisyphe (Mitos Sisifus), L’Etranger (Orang Asing), Le Malentendu (Kesalahpahaman) dan Novelnya berjudul (Prancis: La Peste) dikarang tahun 1947, dan memperoleh hadiah nobel pada tahun 1957. Dalam bahasa Inggris novel La Peste dikenal dengan nama ''The Plague''. Diterjemahkan oleh NH Dini pada 1985 dengan judul “Sampar”. Diterbitkan Yayasan Obor Jakarta. Tentu masih ada lagi karya-karya hebat lainnya. Seperti kumpulan esainya yang berjudul “Perlawanan, Pemberontakan, dan Kematian” atau Resistance, Rebellion, and Death. Tema utama dari cerita-cerita tersebut adalah kesendirian manusia, perasaan asing dan terisolasi dalam masyarakatnya sendiri. Akhirnya, sayapun sulit menjawab menjawab pesan WhatsApp dari teman-teman yang bergerak di luar lingkar kekuasaan. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
UU Korona Nomor 2/2020, Magaskandal BLBI Terulang Lagi
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Rabu (05/08). Salah satu ketentuan yang berpotensi merugikan rakyat dalam UU Korona Nomor 2/2020. Terutama aturan tentang perubahan kewenangan Bank Indonesia (BI). Pada pasal 16 ayat (1) UU Korona antara lain memberi BI kewenangan untuk memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik Selian itu, BI diberi kewenangan untuk memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas. Juga yang tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan Komite Stabilitas Sistim Keangan (KSSK). BI juga diberi kewenangan untuk membeli/repo surat berharga negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik dan bank selain Bank Sistemik. Ketentuan Pasal 16 (1) UU Korona membuka peluang terjadinya penyelamatan sektor keuangan melalui skema pemberian dana talangan atau bail-out oleh negara. Kebijakan seperti ini tentu tidak adil bagi seluruh rakyat. Segelintir orang atau pemilik bank yang memperoleh bantuan khusus dari negara atas nama penyelamatan sektor keuangan. Padahal kondisi mayoritas rakyat sedang menderita. Masyarakat yang justru jauh lebih layak untuk memperoleh bantuan dari negara. Apalagi jika bank-bank tersebut bermasalah akibat berbagai pelanggaran aturan dan prilaku moral hazard dari para pemiliknya. Di sisi lain, guna menyelamatkan sektor keuangan yang diakui dapat berdampak sistemik, tersedia mekanisme lebih adil, yaitu melalui skema bail-in. Dalam skema bail-in, pemegang saham atau group bisnis dalam suatu konglomerasi dapat saling bantu menyelamatkan sektor bisnis yang bermasalah. Ketentuan tentang mekanisme bail-in ini pun telah diatur dalam UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Para pemilik bank yang umumnya konglomerat tersebut, berbisnis dibanyak sektor. Mereka akan mampu dan berkeadilan menerapkan skema bail-in. Namun langkah ini ternyata diabaikan oleh pemerintah. Padahal Skema bail-out berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang menimbulkan biaya sangat besar bagi negara. Megaskandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesis (BLBI) akibat krisis ekonomi 1997-1998 telah membuat negara menanggung beban utang Rp. 640.9 triliun. Utang itu, terdiri dari BLBI Rp. 144,5 triliun, program penjaminan Rp. 53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp. 20 triliun dan obligasi rekap perbankan Rp. 422,6 triliun. Beban negara ini harus ditanggung rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan hingga sekarang. Ternyata sebagian besar pengusaha dan konglomerat penikmat kebijakan zolim fasilitas BLBI (termasuk obligasi rekap) saat ini bukan saja survive, tetapi bahkan tumbuh jauh lebih besar. Posisi mereka sebagai bagian dari oligarki kekuasaan tetap memperoleh berbabagi fasilitas. Mereka juga mendapatkan hak istimewa dari pemerintah seperti yang terjadi sebelumnya. Mereka para konglomerat itu dapat menguasai dan mencengkeram di berbagai sektor ekonomi dan keuangan nasional. Bahkan sebagian konglomerat telah merambah sektor sosial dan politik. Sehingga tidak mengherankan, bila mereka dapat mempengaruhi pembuatan aneka kebijakan, undang-undang dan peraturan pro oligarki, seperti UU Korona Nomor 2/2020. Kombinasi sejumlah ketentuan dalam UU Korona Nomor 2/2020, yakni Pasal 16 terkait bail-out, Pasal 20 tentang peran LPS, Pasal 22 tentang penjaminan dan Pasal 28 terkait eliminasi ketentuan dalam 12 UU yang berlaku, akan berpotensi merlahirkan kebijakan penjaminan penuh simpanan nasabah kaya (blanket guarantee). Disamping tidak adil, berbagai ketentuan tersebut berpotensi memunculkan moral hazard, termasuk oleh pejabat negara, sehingga dapat mengulangi megaskandal BLBI. Pada Pasal 20 UU Korona Nomor 2/2020, LPS diberikan kewenangan merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan pada Pasal 22 disebutkan guna mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan yang diatur dalam undang-undang tentang LPS. Dengan skema penjaminan penuh (full guarantee), maka simpanan konglomerat di perbankan seluruhnya dijamin pemerintah yang berpotensi moral hazard. Menurut BPK, tindakan moral hazard penguasa, pengusaha dan konglomerat yang mengkorupsi uang negara pada megaskandal BLBI dilakukan dalam berbagai modus. Laporan BPK No.06/VII/2000 menyimpulkan terjadi berbagai tindak pidana, sehingga para pelakunya harus diproses secara hukum, dengan pelanggaran sebagai berikut: Penggunaan BLBI diluar kepentingan yang telah ditentukan (yaitu untuk pembayaran dana nasabah), seperti untuk melunasi pinjaman dan kewajiban pembayaran yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, membayar utang kepada kelompok usahanya sendiri, transaksi surat berharga, melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan, membiayai kontrak derivatif baru, membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi dalam bentuk aktiva tetap, dan membiayai overhead (biaya operasional bank). Total penyimpangan yang terjadi adalah senilai Rp 84,84 triliun) atau 58,70% dari jumlah BLBI yang dikucurkan per 29 Januari 1999 (sebesarRp 144,5 triliun); Pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), yaitu nilai maksimum kredit yang dapat dikucurkan perbankan pada kelompok usaha sendiri. Pelanggaran BMPK sesuai dengan pasal 49 ayat (2) jo pasal 50 jo pasal 50 A UU No 10 Tahun 1998, merupakan tindak pidana yang harus diproses hukum; Pemberian fasilitas oleh BI yang mengizinkan perbankan untuk tetap mengikuti proses kliring walaupun rekening gironya di BI telah bersaldo negatif. Penggelembungan nilai aset oleh para obligor BLBI untuk menutupi kewajiban yang harus dilunasi dalam skema pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Salim Group, misalnya, menyatakan nilai seluruh aset yang diserahkan pada 1998 adalah Rp 52 triliun (hal ini diterima oleh konsultan BPPN, yakni Lehman Brothers, PT Danareksa, dan PT Bahana tanpa financial due diligence lebih dulu). Namun, audit PricewaterhouseCoopers pada 2000 ternyata menemukan nilai aset Salim hanya berkisar Rp 12 triliun – Rp 20 triliun. Temuan BPK di atas menunjukkan tindakan moral hazard dalam megaskandal BLBI, di samping oleh para konglomerat, juga dilakukan pejabat negara baik di BI maupun lembaga terkait lain. BPK juga menemukan berbagai pelanggaran oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai berikut: Mengonversi BLBI bank-bank take-over (BTO) menjadi penyertaan modal sementara (PMS); Mengalihkan utang ke bank pemegang saham pengendali melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS), dengan menandatangani APU; Memerankan diri sebagai agen dari pihak penerima bantuan dari pada sebagai wakil pemerintah yang berhak menarik bantuan likuiditas yang telah diberikan; Aset yang dibayarkan berdasar pengakuan penerima BLBI jauh di atas nilai berlaku. Salah satu contoh, aset tambak udang Dipasena, Lampung milik Sjamsul Nursalim diserahkan kepada BPPN dengan nilai Rp 20 triliun. Padahal menurut perhitungan Menko Ekiun masa itu, Kwik Kian Gie, nilai pasar tambak Dipasena hanya Rp 2 triliun Dalam menjual aset yang dibayarkan penerima bantuan dalam rangka mengonversi aktiva tetap menjadi uang kas kerap jauh di bawah nilai pasar. Kasus BLBI merupakan megaskandal karena menyangkut jumlah dana sangat besar, Rp. 640 triliun. Para konglomerat penerima BLBI masa orde baru menguasai perekonomian nasional dari hulu sampai hilir. Ternyata saat ini, dominasi mereka bukan hanya pada sektor ekonomi dan keuangan, tetapi juga merambah hampir seluruh aspek kehidupan bangsa. Kalau dulu mereka hanya berhasil mempengaruhi pemerintahan Megawati untuk menerbitkan Inpres Nomor 8/2002 agar bebas pidana. Namun pada pemerintahan Jokowi ini, cengekraman mereka semakin kuat. Sehingga mampu dan berperan dalam pembentukan UU Korona Nomor 2/2020, yang berpotensi lebih menyengsarakan rakyat. Akibat megaskandal BLBI yang membuat besarnya beban utang yang ditanggung oleh negara. Untuk membayar bunga utang, maka setiap tahun pemerintah harus mengurangi beberapa pos anggaran untuk aspek-aspek mendasar kehidupan rakyat. Pengurangan tersebut termasuk untuk sektor pendidikan dan kesehatan, yang dibutuhkan oleh masyarakat. Akibatnya, program pos pelayanan terpadu menghilang. Biaya berobat naik. Biaya pendidikan juga naik, dan harga-harga barang/jasa ikuat naik. Meskipun mungkin terdapat perdebatan atas terjadinya penurunan anggaran kesejahteraan publik di tingkat makro, namun kian beratnya beban hidup menjadikan puluhan juta rakyat tetap hidup susah dan miskin. Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah menegakkan hukum dan keadilan terhadap para koruptor BLBI. Minimal sebagian aset mereka harus disita untuk didistribusikan kepada rakyat melalui mekanisme APBN. Namun, dengan ditetapkannya UU Korona Nomor 2/2020, kebijakan dan aturan tersebut bukan saja mengulang kesalahan dan kejahatan yang sarat moral hazard pada masa lalu. Namun kebijakan pemerintah semakin terlihat memihak kepada konglomerat. Kebijakan ini akan menambah kesengsaraan rakyat dan jumlah orang miskin itu sendiri. Bahkan, menurut CORE, pada kuartal-2 tahun 2020, akibat pendemi korona, penduduk miskin Indonesia akan bertambah sesuai skenario moderat 5,1 juta hingga sangat berat 12,2 juta jiwa. Dengan demikian, pada akhir 2020 nanti, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan diperkirakan mencapai 37,9 juta jiwa (14,35%). Situasi akan semakin parah jika anggaran perlindungan sosial lebih rendah dibanding dengan anggaran pemulihan ekonomi yang ditengarai sangat pro kepada pengusaha. Sama seperti pada megaskandal BLBI dulu. Karena itu, Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK) telah menggugat UU Korona No.2/2020 ke Mahkamah Konstitusi. Rakyat pun harus bangkit menolak UU pro oligarki tersebut. Penulis adalah Kordinator Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK).
Moral Politik dan Arah Perjuangan
by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Rabu (05/08). Rizal Ramli melalui media konfrontasi online memberi pesan tentang moral politik dan ketika puluhan tokoh-tokoh bangsa yang berkumpul merencanakan deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) . Tulisan tentang "Moral Politik" itu sesuai dengan pesan Rizal Ramli kepada saya sebagai syarat bergabungnya beliau dalam perjuangan bersama koalisi KAMI. Bergabungnya Rizal Ramli itu, baik tentang renacana kehadirannya pada acara tanggal 2 Agustus lalu, maupun selanjutnya. Lantas apa itu moral politik? Pertanyaan ini menjadi penting, karena syarat kesamaan moral politik dari tokoh Rizal Ramli adalah syarat mutlak. Olehkarenanya kita harus membedah dan memahaminya secara bersama. Pada tahun 1992, ketika saya direkrut Adi Sasono, tokoh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bekerja untuknya, dia menanyakan tentang moral politik pada saya. Sambil menyupiri mobil mercy tua dari Bandung ke Jakarta, Adi yang adalah cucu Mumammad Roem, tokoh perundingan Roem-Roijen untuk pengakuan kemerdekaan Indonesia di The Hague, meminta jawaban saya. Standar pengetahuan saya yang apolitis ketika itu mengatakan bahwa, moral adalah kelakuan asusila. Menjaga moral adalah menghindari perbuatan asusila, seperti berbuat zina, minum alkohol, mencuri dan sejenisnya. Namun, Adi membantah. Menurutnya orang-orang tidak bermoral adalah aktifis-aktifis yang berburu sekolah keluar negeri. Mereka juga merasa paling tahu Indonesia. Padahal aktifis-aktifis di Indonesia tersiksa oleh kebengisan rezim Soeharto. Di masa setelahnya, saya baru bisa mengerti apa yang disebutkan Adi Sasono saat itu adalah pernyataan kontekstual. Konteksnya pertama, Adi ingin menghibur saya yang dipecat dan dipenjara orde baru karena anti Suharto. Kedua, memang para aktifis yang tidak memburu sekolah ke luar negeri dengan bea siswa asing lebih nasionalis dan berani tahan banting melawan Suharto. Ketiga, aktifis-aktifis mahasiswa yang disekolahkan asing ke Amerika, Australia dan barat lainnya saat itu berubah dari kelompok perlawanan menjadi pengamat atau konsultan berbayar mahal. Sehingga pada saat Adi Sasono menjadi menteri Koperasi di masa pemerintahan Habibie, saya meminta ijin padanya untuk mendapatkan rumah di Kompleks Koperasi di sekitar Cububur. Permintaan itu saya lakukan karena seorang staf ahli menteri mengatakan bahwa asal ada ijin dari menteri, maka saya akan mendapatkan satu rumah gratis. Dan tentu saya ingin memiliki rumah, karena saat itu masih ngontrak. Tragisnyaa, Adi Sasono bukannya menyetujui, malah dia membentak saya. Menurutnya pekerjaan politik saya adalah menggalang rakyat, dan khususnya ke Aceh yang bergolak. Bukan mencari materi dalam perjuangan. Alhasil selama Adi Sasono menteri Koperasi, saya tidak membawa sama sekali penghasilan yang bisa ditabung dan rumah masih mengontrak. Begitulah kekuasaan dalam moral politik, yaitu memperkaya rakyat miskin. Pada suatu hari Adi Sasono dan Muslimin Nasution, menteri Kehutanan Habibie, berunding dengan Raja Kebun Malaysia, Kuok. Kuok ketika itu ingin memiliki 100.000 lahan untuk perkebunan. Adi Sasuno pun menyetujui permintaan Kuok. Namun dengan syarat 70% sahamnya untuk Koperasi, dan sianya 30% lagi untuk Kuok. Kuok jadi terkejut dan terheran-heran, karena seharusnya sebagai investor, Kuok yang mendikte menteri, sehinga porsinya 70% untuk pengusaha, dan 30% lagi mitra yang ditunjuk oleh pemerintah. Namun, sebagai seorang nasionalis, Adi Sasono tetap bertahan bahwa koperasi rakyat harus memiliki 70% saham. Alasan Adi, karena tanah milik negara. Sedangkan uang atas beban pinjaman perusahaan, kontraktor dan lain-lain dibayar perusahan. Akhirnya Kuok sepakat. Sayangnya, pemerintah Habibie terlalu cepat terguling, sehingga rencana tersebut tidak terealisasi. Pada saat berkuasa, penguasa tidak boleh membawa pulang uang abu-abu kerumah . Artinya, yang abu-abu itu tidak jelas asal usulnya. Hal ini diperlihatkan Hariman Siregar ketika menjadi orang kepercayaan Habibie lainnya ketika itu. Semua orang boleh makan sepuasnya di Hotel Mandarin ,atau lainnya di mana Hariman menjamu orang-orang politik. Namun begitu, apa yang dapat dinikmati para aktifis-aktifis miskin di hotel saat itu hanya di ruangan hotel itu saja. Hariman sangat melarang aktifis-aktifis memperkaya diri karena kekuasaan atau aktifis tidak boleh jadi “broker power" untuk kepentingan sendiri atau keluarga. Kembali pada soal Moral Politik yang diangkat Rizal Ramli melalui media konfrontasi online, apa yang terjadi dalam kisah di atas dan tentunya kisah yang bisa digambarkan Rizal Ramli dalam posisi dia berkuasa. Tentu saja menjadi pengalaman segelintir orang-orang suci di politik. Politik di masa lalu adalah politik cita-cita. Mohammad Hatta sampai meninggal dunia tidak mampu membeli sebuah sepatu yang dia inginkan. Sukarno tidak meninggalkan warisan. Adi Sasono sampai wafat adiknya tetap miskin di Pekalongan. Hariman Siregar hidupnya terus dalam standar kesederhanaan. Begitulah moral politik berbicara. Namun, politik paska orde baru bukanlah hitam putih lagi. Orang-orang baik dengan cita-cita telah terdampar lebih buruk dibanding masa Suharto berkuasa. Saat ini politik dan cita-cita bangsa dikendalikan segelintir okigarki dan para taipan. Itu yang disebut Jeffrey Sach sebagai Korporatokrasi. Kira-kira lebih atau sama buruknya dari plutokrasi. Kenapa? Karena sekarang partai-partai politik dan kekuasaan politik berkembang dengan reproduksi tokoh-tokoh pencitraan dan dinasti. Demokrasi uang menaungi sistem politik yang ada sekarang. Selama 22 tahun reformasi, koruptor-koruptor bukan hanya bisa menguasai partai dan menjadi referensi "kesucian". Aparatur negara pun tidak berdaya berhadapan dengan mereka. Lalu Bagaimama ke Depan? Menyaring pasir dengan ayakan halus akan membuat sedikit yang lolos saringan. Sebaliknya menyaring dengan ayakan kasar, pasir kasarpun tidak tersaring. Habibie pernah mengingatkan tentang tetesan air yang jatuh tetes demi tetes ke batu karang, akan menghancurkan batu karang itu perlahan-lahan. Persoalan moralitas politik yang digugat Rizal Ramli tentunya tugas berat kita. Kita sedang melawan sebuah mental bangsa yang rusak. Mental yang gagal untuk direvolusi oleh Jokowi dengan “Revolusi Mentalnya”. Namun, kita tentu tidak menyerah. Standar moral ideal mengelola bangsa tetap pada tiga hal. Pertama, orang-orang suci maupun yang insyaf harus di depan. Di depan artinya mengendalikan kepemimpinan perjuangan. Kedua, ideologi perjuangan adalah alat penyaring yang disebut "ayakan". Ideologi adalah negara dan kekuasaan hanya berfungsi dua, utamanya, membuat orang-orang lebih mencintai Tuhannya dan menjadikan orang-orang miskin kaya. Ketiga, negara dan kekuasaan harus adil terhadap eksistensi keberagaman suku bangsa kita. Penutup Nasihat Rizal Ramli tentang moral politik, baik yang dipesankan kepada saya, maupun melalui nedia konfrontasi online, perlu menjadi perhatian serius gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yang dikumandangkan tanggal 2 Agustus lalu. Rizal yang menunda kehadirannya, padahal sudah memberitahu Profesor Din akan datang saat itu, mengangat isu moral politik. Tentu saja saya harus membahasnya, apa itu moral politik dan bagaimana kita harus merespon? Moral politik adalah sebauh moral gerakan. Moral Politik adalah bagaimana kita melihat kekuasaan dan orang yang menjalankannya. Dalam moral politik yang benar, kekuasaan sejatinya hanya berfungsi untuk membuat rakyatnya lebih cinta Tuhannya (happiness) dan rakyat miskin-miskin itu semua jadi kaya. Dan ini terkait dengan penguasanya. Penguasa bermoral adalah penguasa yang tidak merampok uang negara untuk pribadi. Tidak juga memperkaya hanya orang kaya. Namun tantangan kita saat ini lebih berat dibanding ketika Sukarno Hatta menjadi penguasa. Saat ini demokrasi uang dan uang telah menghancurkan moral yang ada. Sehingga kita perlu melakukan strategi yang tepat tanpa mengurangu garis ideologi perjuangan. Itulah arah perjuangan kita. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.
Indonesia Seperti Negara Bagian China (Bag. Kedua)
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN – Rabu (05/08). Presiden Ping memang punya record-record intelektual dan menejerial top, berkelas dan mengagumkan. Itu memang satu soal. Namun soal lainnya adalah China, seperti pandangan PM Wen Jiabao, berhasrat kuat mengontrol masa depan didunia internasional. Hasrat yang hanya bisa ditopang oleh pemimpin atau Presiden yang top, lincah berkelas dunia. China tahu meraka tidak dapat memksakan negara-negara lain untuk mengikuti pandangan politik dan ekonomi mereka. Tetapi tahu bukan di situ masalah besarnya. China hanya perlu berada front terdepan dalam semua aspek, dan negara-negara lain akan menyesuaikan diri. Dalam kasus vaksin corona, China terlihat mendefenisikan pandemi Corona sebagai pasar sedang terbuka. Pasar ini harus direbut. Itulah kira-kira yang ada dibenak pemerintahan China. China tahu tabiat Amerika, negara terhebat dalam permainan kartu proteksi. Untuk terhindar dari tembakan senjata proteksi Amerika, China tentu harus bergerak selangkah mendahului Amerika. Temuan dini atas vaksin akan membawa mereka menjadi pendefenisi utama pasar vaksin dunia. Paling tidak China akan jadi raja vaksin untuk Indonesia, yang sejauh ini terlihat tak memiliki kebijakan terukur dalam penyediaan vaksin sendiri. Itulah China sekarang. Fokus dan bekerja dengan haluan mereka sendiri. Selebihnya akan datang dengan sendirinya. China cukup tahu bahwa kalau anda tidak ingin dimakan oleh negara besar, maka anda harus besar dalam semua aspek. Kalau anda ingin dihormati, termasuk menguasai dunia, anda harus besar. Itulah ilham dari Amerika. Apapun itu, kini China telah menyediakan kandidat vaksin untuk diuji coba bukan oleh kepada kelinci, tetapi pada kepala manusia. Tragisnya lagi, manusia yang dijadikan kelinci percobaan untuk tahap ketiga itu, bukan orang China, tetapi orang Indonesia. Indonesia terlalu payah dalam urusan seperti ini. Indonesia Terperangkap Kecemasan Indonesia bakal menemukan diri layaknya negara bagian atau provinsi kesekian darai China atau konfederasi China, mungkin saja akan ditertawakan. Para politisi kacangan dan tengik, yang telah mengambil jarak terlalu jauh dari perintah hebat yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, mungkin saja menertawakan kecemasan ini. Pembaca FNN yang budiman. Sulit meminta politisi kacangan dan tengik untuk membangun kecemasan atas postur relasi Indonesia-China sejauh ini. Indonesia yang telah berada sedemikian jauh di belakang China, terlihat tidak cukup menggetarkan para politisi negeri ini. Tidak seperti China yang tahu tidak ada hubungan internasional, terutama di bidang ekonomi yang saling menguntungkan. Para politisi Indonesia justru asyik dengan kesetaraan dunia yang penuh dengan penipuan. Tidak seperti Indonesia, China tahu bahwa relasi dunia internasional, selalu khas leviathan. Yang besar menerkam, mencabik-cabik negara-negara yang kapasitas ekonomi dan militernya kecil. Negara-negara besar itu mengangkangi negara-negara kecil dengan utang dalam berbagai bentuk. Bisa berupa bantuan, pinjaman, dan bahkan sumbangan recehan diberikan. China terus memompa habis kapastitas ekonomi dan militernya. Perusahaan negara mereka dipompa memasuki banyak sektor. Darimana uangnya? Ada utang memang. Selain utang, China memompa kemampuan keuangannya dengan mengandalkan tabungan masyarakat. Dalam urusan itu, China mengontrol secara ketat warga negara mereka untuk tidak membawa uang mereka keluar China sesuka hati mereka. Bagaimana dengan Indonesia? Keluar susah, masuk juga lebih susah. Komunisme mereka, jelas bersifat pseudo pada aspek tertentu. China mengenakan bunga rendah pada penabung domestik. Lalu bank, kata Chu, diguyur kredit dengan bunga murah. Perusahaan China jadinya mengisap rakyat mereka sendiri. Itulah komunisme mereka. Korporasi China lalu merambah dunia dengan berbagai proyek. Di Afrika (Etiopia, Tanzania dan Zambia) misalnya pada tahun 2005-2006 saja China memiliki proyek sebanyak 900 unit. Dan negara-negara itu segera menemukan dirinya terlilit dengan utang. Hebatnya China telah menempatkan pasukan penjaga perdamaian di Liberia. China terus mengamankan masa depannya, dengan ambisi menyediakan keunggulan lain. Pembuatan baterei litium untuk mobil listrik misalnya adalah salah satu cara mereka mengamankan masa depannya. Cerdas mereka dalam menggapai ambisi besarnya, karena mempunyai pemimpin yang hebat, top, berkelas dan mengagumkan. Tidak memiliki raw material, tetapi tetap memelihara ambisi itu. Bagaimana memenuhi ambisi itu? Negara lain, khususnya Indonesia yang tak pernah bisa bergerak maju dalam bidang manufaktur dapat diajak. Bahkan dikadalin untuk menyediakannya. Indonesia pun membentangkan karpet merah, layaknya negara bagian, konfederasi atau provinsi dari China. Toh Indonesia telah terlatih dengan nanyian klasik investasi mendatangkan keuntungan terendiri. Keuntungan itu, salah satunya adalah penyerapan dan penyediaan tenaga kerja dan nilai tambah, karena korporasi itu memproduksinya di Indonesia. Hebat anggapan ini. Padahal korporasinya punya orang China, bukan punya Indonesia. Indonesia cuma dapat pajak alakadarnya. Titik. Tidak terlihat sejauh ini sebagai provinsi kesekian China dalam arti tata negara, itu betul. Tetapi postur politik Indonesia telah tak berdaya dalam banyak hal. Persis China, Indonesia saat ini sedang mati-matian menancapkan lagi kebijakan desentralisasi sejumlah izin. Dalihnya untuk percepatan investasi. Lag-lagi ini anggapan yang konyol dan bahlul, kata orang istilah arab . Hasrat itu diskemakan secara sadar dalam RUU Omnibus Cipta Kerja, yang sejak awal hingga sekarang teridentifikasi bakal menyengsarakan rakyat. Akibatnya, menuai protes terus-terusan. Persis seperti propaganda khas Wall Street dalam menggolkan RUU The Fed. Setiap kali protes muncul, segera direspon dengan argumen tandingan yang mengecohkan. RUU ini, begitu argumen tandingan itu, akan menjadi kunci pembangunan ekonomi Indonesia, dan menyejahterakan pekerja Indonesia. Padahal resentralisasi izin dan syarat pekerja, sekedar sebagai contoh, tak pernah logis sebagai basis pikiran menyejahterakan rakyat. China tentu tak memedulikan friksi ini ini. China terlatih dengan sistem politik dan pemerintahan sentralistik. China tak bakal memedulikan adanya kecemasan Indonesia, yang mulai terlihat seperti provinsi kesekian China. Kasus Afrika membuat China dapat mengatakan kecemasan itu tak beralasan. Tetapi apapun itu, politik pemerintahan yang sedang bekerja sejauh ini, memungkinkan Indonesia benar-benar terlihat seperti konfederasi China. (habis). Penulis adalah Pengajar HTN Univeristas Khairun Ternate.
Catatan Atas Dekalarasi KAMI 2020
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Selasa (04/08). Nama KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) sudah pernah ada terdengar di tahun 1966. KAMI ketika itu sebagai suatu gerakan moral mahasiswa melawan rezim Orde Lama. KAMI tampil dan membentuk koalisi aksi-aksi mahasiswa, baik itu intra kampus maupun organisasi mahasiswa ekstra kampus. Kini nama KAMI lahir kembali, dengan kepanjangan “Kesatusan Aksi Menyelamatkan Indonesia”. Sebagai seorang aktivis, meskipun tidak hadir dalam deklarasinya, saya mendukung penuh gerakan moral ini. Mudah-mudahan sebagai sarana atau wadah kritis , koreksi dan penyeimbang terhadap penyelenggara negara yang nyaris lumpuh membuat rakyat terlindngi sesuai perintah konstitusi. Mengapa diperlukan aksi-aksi? Selama pemerintahan Jokowi berkuasa, baik di periode pertama hingga awal periode kedua, ternyata kinerja pemerintahan tidak menunjukkan hasil seperti yang dijanjikan saat kampanye Pilpres. Ekonomi stagnan di pertumbuhan 5%, dan pengganguran terus bertambah. Bukan itu saja. Amanat reformasi untuk memberantas KKN (Kolusi, Korupsi & Nepotisme) tidak dijalankan secara menyeluruh dan tuntas. Korupsi masih banyak terjadi, bahkan semakin menjadi-jadi. Nepotisme di Pilkada dan Pemilu sangat kental. Yang paling parah adalah sikap represi pemerintah terhadap hak-hak konstitusional rakyat, salah satunya hak menyatakan pendapat. Penangkapan dan kriminalisasi kerap terjadi untuk membungkap protes rakyat. Yang terakhir adalah persoalan RUU Omnibus Law, UU Minerba dan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Corona yang tidak sesuai dengan konstitusi. Akibatnya, ditentang oleh banyak elemen masyarakat. Selama ini protes dan kritik banyak disampaikan rakyat baik kepada pemerintah maupun DPR. Tetapi hasilnya nol besar. Tidak ada perubahan yang menunjukkan bahwa negara berjalan di relnya sesuai amanat proklamasi dan perintah konstitusi UUD 1945. Bahkan dengan grand coalition di pemerintahan Jokowi, menyebabkan DPR kehilangan fungsi kontrolnya. DPR kini lebih berperan sebagai pengikut kepentingan pemerintah. “Bahkan DPR kini sudah seperti Kantor Cabang Presiden yang berlokasi di kawasan senayan”, kata wartawan Senior FNN.co.id Kisman Latumakulita. Terbukti dengan lolosnya beberapa UU yang tidak pro rakyat, seperti UU KPK, UU Minerba, UU Corona, RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan RUU HIP, kini RUU BPIP. Mengapa Perlu Koalisi? Singkatnya, aksi-aksi demontrasi akan terus diperlukan. Apalagi ketika negara sudah menyimpang jauh dari cita-cita dan konstitusi UUD 1945. Ini adalah masalah yang kerap terjadi di setiap rezim. Pada pemerintahan SBY pun pernah menghadapi berbagai aksi yang memprotes kebijakannya. Tentu yang dimaksud di sini adalag aksi damai, dan aksi moral. Koalisi terbentuk ketika semua kelompok-kelompok aksi sudah sampai pada satu titik pemahaman yang sama. Karena arah negara sudah melenceng jauh. Pemahaman bahwa kini saatnya arah negara harus diluruskan lagi. Negara harus diselamatkan segera. Koalisi juga menunjukkan bahwa gerakan moral ini melibatkan berbagai elemen masyarakat, lintas agama, suku, etnis, profesi dan status sosial. Koalisi juga untuk mensinergikan semua kekuatan rakyat dalam suatu kepempinan aksi. Tujuannya, agar aksi berjalan dengan damai, tetapi memiliki daya juang yang sangat besar untuk mendorong lahirnya perubahan yang menyelamatkan negara ini. Mensinergikan tokoh-tokoh kalangan sipil, agamawan dan purnawirawan dalam satu gerak langkah yang sama untuk mengembalikan arah dan tujuan bernegara yang sudah melenceng. Sebagai koalisi yang baru dideklarasikan, saya sangat berharap KAMI dapat segera menggelar agenda aksinya. Agar tercipta gelombang-gelombang besar yang mengikut sertakan pastisipasi rakyat secara luas. Targetnya menggelinding bak bola salju yang terus membesar. Tetapi seringkali dalam sejarah suatu koalisi gerakan moral, terjadi persaingan yang melibatkan ego figur atau tokoh untuk didaulat menjadi tokoh sentral atau pemimpin koalisi. Pormat Menyelamatkan Indonesia Saya pikir ini adalah langkah berikutnya. Langkah pertama adalah membesarkan gerakan moral KAMI. Jika sejak awal sudah kental dengan persaingan dinatar para tokoh, maka besar potensi gerakan ini akan layu sebelum berkembang. Mudah tidak untuk ditunggangi, di fiet a comply, dan tidak dikoptasi. Pada tahap pertama ini, sudah bisa disosialisasikan kepada rakyat bagaimana format menyelamatkan Indonsia nanti. Apakah formatnya melalui rute Pilpres atau suatu majelis karena darurat. Jika melalui Pilpres, maka maunya pilpres yang seperti apa? Tanpa atau tetap dengan threshold? Namun jika majelis, maka maunya yang model seperti apa? Apapun yang dipilih dari dua pilihan tersebut, menurut saya adalah konstitusional. Apalagi selama rakyat yang menghendakinya. Untuk itu, format menyelamatkan Indonesia ini penting untuk dikomunikasikan, agar rakyat melihat suatu perjuangan moral yang konstitusional dan realistis. Dengan demikian, partisipasi rakyat terlibat dalam gerakan moral ini akan cepat dan membesar. Sekali lagi, saya dukung deklarasi dan pendirian KAMI 2020. Harapan besar saya adalah, nama KAMI tidak sekedar romantisme sejarah tahun 1966-an. KAMI yang lahir di trahun 2020 harus mampu mewujudkan harapan rakyat. Ayo bung, maju tak gentar. Mari bung kembalikan Indonesia pada arah yang benar. Wassalaam. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Future Studies (INFUS)
Setelah 9 Tokoh Oposisi, Kini Lahir Koalisi Menyelamatkan Indonesia
by Tony Rosyid Jakarta FNN - Senin (03/08). Minggu kemarin, 2 Agustus 2020, ada deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Deklarasi ini digagas oleh sejumlah tokoh nasional yang selama ini dikenal sangat kritis terhadap pemerintah. Lahirnya KAMI merupakan tindak lanjut dari 9 tokoh oposisi. Semula 9 tokoh, sekarang bertambah, dan semakin banyak jumlahnya. Mereka adalah adalah Abdullah Hehamahua, Emha Ainun Najib, Din Syamsudin, Gus Najih, Habib Rizieq, Rizal Ramli, Refly Harun, Rocky Gerung dan Said Didu. Dari 9 tokoh itu, kini jumlahnya sudah semakin banyak. Ada dari militer seperti Gatot Nurmantyo. Ada juga Rahmawati Soekarnoputri. Ada ekonom Ichsanudfin Noersy. Ada aktifis seperti Syahganda Naenggolan, Ahmad Yani, Habib Muchsin, Habib Smith Alhadar, MS Ka'ban, Jumhur Hidayat, Sri Bintang Pamungkas dan Chusnul Mar'iyah. Ada juga dari tokoh NU yaitu Djoko Edy dan Rachmad Wahab. Berdirinya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apakah Indonesia dalam kondisi tidak selamat? Lalu, mau menyelamatkan Indonesia dengan cara apa? Dari banyak komentar, sejumlah tokoh yang tergabung dalam KAMI, nampak tegas kesimpulannya bahwa Indonesia sedang menuju ke arah yang salah. Bisa-bisa hancur akibat cara yang keliru dalam mengelola negara. Zig zag dan cenderung ugal-ugalan. Bermula dari ambisi pembangunan infrastruktur, yang membuat hutang negara mengalami pembengkakan yang luar biasa. Jumlahnya kini sekitar Rp 7.000 triliun. Hutang yang diperkirakan tidak mampu untuk dibayar oleh pemerintah. Menjadi beban untuk negara puluhan tahun ke depan. Korupsi yang semakin masif. Diantaranya mengakibatkan sejumlah BUMN bangkrut. Terbit UU yang "dicurigai" untuk melindungi para koruptor, konglomerat dan perampokan negara. Terutama revisi UU KPK, UU Corona dan UU Minerba. Belum lagi RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang semakin memangkas hak masyarakat bawah, dan memiskinkan kaum buruh. Maka, lahirnya KAMI adalah bagian dari bentuk keprihatinan atas bangsa yang semakin hari semakin terpuruk. Penguasa dengan semua aturan dan kebijakannya dianggap lebih berpihak pada korporasi, dari pada memikirkan nasib rakyatnya sendiri. Tanpa UU Corona, UU Minerba dan RUU Omnibus Law, kehidupan rakyat sudah sangat berat. Lahirnya sejumlah UU dan RUU tersebut membuat kehidupan rakyat semakin frustrasi. Belum lagi hukum yang cenderung berpihak kepada orang-orang seperti Djoko Tjandra, Harun Masiku dan Abu Janda. Representasi dari konglomerasi, partai pengusung dan kelompok pendukung. Halo E-KTP? Terkini adalah RUU HIP. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lebih dari 200 ormas menolak RUU ini. Karena dianggap sebagai upaya untuk memberi peluang bangkitnya komunisme. Tapi, pemerintah dan fraksi PDIP nampaknya kekeh dan tetap akan mensukseskan RUU HIP ini. Meski kali ini diwacanakan dengan nama baru RUU BPIP. Belum lagi praktek politik yang menganut asas "demokrasi terkendali". Semua serba dikontrol, baik melalui undang-undang maupun aparat. Saluran demokrasi tersumbat. Partai Politik berjalan sendiri sesuai selera penguasa dan korporasi. Penegak hukum dipakai sebagai alat untuk membungkam para aktivis yang kritis terhadap penguasa. Dari semua keprihatinan ini, lahirlah KAMI. Dari segi nama, gerakan ini fokus untuk menyelamatkan bangsa. Bagaimana cara menyelamatkannya? Menasehati dan kritik pemerintah? Sudah. Bahkan hampir tiap hari. Demo? Sering sekali. Apakah berpengaruh? Tidak! Lalu? Apakah mau ganti presiden dengan memintanya mundur? Pasti presiden gak bakal mau. Bisa-bisa akan dianggap makar. Tapi setidaknya, berkumpulnya para tokoh nasional dari berbagai unsur bangsa ini akan menjadi perhatian tersendiri bagi rakyat Indonesia saat ini. Apalagi jika jumlah tokoh semakin banyak dan mendapatkan semakin besar dukungan dari rakyat, maka segala kemungkinan bisa terjadi. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Indonesia Seperti Negara Bagian China (Bag. Pertama)
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Pada tahunn 2007 makanan hewan buatan China dianggap sebagai penyebab kematian ratusan hewan di Amerika. Di tahun yang sama, serentetan kematian orang di Panama dikaitkan dengan bahan kimia buatan China yang dicampur dalam obat batuk. (Ben Chu, Editor Ecokonomi Harian Independen Inggris). Jakarta FNN – Senin (03/08). Menurut Ben Chu pada Maret 2013 ratusan ribu bangkai babi berpenyakit ditemukan mengapung di sungai Huangpu. Sungai yang merupakan sumber air bagi kota Shanghai. Asal bangkai babi tidak diketahui. Tetapi sebuah teori mengatakan bahwa penyelidikan perdagangan ilegal daging hewan yang berpenyakit telah menyebar luas. Mendorong para peternak untuk membuang babi-babi tersebut ke hulu sungai. Mengapa harus Indonesia? Mengapa bukan Malaysia, atau Philiphine yang dijadikan obyek uji coba vaksin buatan China? Apakah Malaysia dan Philipine tidak akrab seakrab Indonesia terhadap China? Apakah Malaysia dan Philipine telah tidak menyediakan diri sebagai tempat untuk mengujicobakan kandidat vaksin itu? Karena tindakan itu melukai harga diri mereka? Apakah dua negara itu telah menemukan kandidat vaksin hasil karya ahli-ahli mereka sendiri? Tidak tersedia informasi utuh soal ini. Apakah kedua negara itu telah mengetahui informasi yang ditulis Ben Chu, sehinga melihat bahaya nyata dibalik kandidat vaksin itu itu? Tidak jelas. Tetapi Indonesia, entah apa pertimbangan terbesar Presiden Joko Widodo, bersedia mengujicoba kandidat vaksin Sinovak itu. Sambutan Presiden Apakah informasi yang ditulis Ben Chu di atas tersedia di atas meja kebijakan presiden Joko Widodo? Kecuali pembantunya, tidak ada orang lain yang tahu.Kenyataannya Presiden Joko Widodo, bukan hanya menyambuat kandidat vaksin yang belum jelas efektifitasnya itu, tetapi bersikap lebih dari itu. Presiden terlihat antusias mempercepat uji coba kandidat vaksin yang belum jelas itu. Apakah sambutan bergairah itu disebabkan presiden dirangsang oleh kenyataan bahwa uji coba kali ini telah berada pada tahap ketiga? Tahapan yang sempurna? Tahapan yang menurut Profesor Kusnandi Rusmil, Ilmuan vaksin senior dari Universitas Padjajaran, aman (lihat Koran Tempo 23/7/2020). Bagaimana mendapatkan relawan? Apakah pemerintah menyediakan relawan untuk ujicoba vaksin Sinovak? Bila tidak, siapa yang menyediakan diri atau bagaimana cara mendapatkan mereka? Bagaimana bila kandidat vaksin yang disuntikan kepada para relawan itu memiliki efek samping atau gagal? Siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah Presiden dan para menterinya mau bertanggung jawab bial terjadi kegagalan? Dimana Presiden dan para pembantunya pahami pesan penting "melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia?" Soal ini jelas tak bisa disepelekan. Bila sukses atau berhasil, siapa yang paling berhak untuk mem-patenkannya? Apakah China atau Indonesia? Uji-coba kandidat vaksin Sinovak ini boleh jadi merupakan hasil kongkrit kemesraan relasi politik dan dagang Indonesia-China. Uji coba vaksin ini melengkapi kemesraan Indonesia-China, yang telah memungkinkan tenaga kerja berdatangan ke Indonesia di tengah Corona. Kerjasama yang bersumbu pada kemesraan hubungan kedua negara. Kemesraan itu, mungkin tak bakal dilihat sebagai kerjasama yang membutakan salah satu pihak. Kerjasama berkerangka kesetaraan, dimanapun dan dalam urusan apapun selalu disajikan sebagai kunci multifungsi dalam membendung penilaian bahwa salah satu pihak dalam kerjasama itu terlihat sebagai sub-ordinat. Konsep kesetaraan dapat menjadi kunci menghindari penilaian Indonesia terlihat sebagai konfederasi China, yang sejauh ini terlihat sangat cerdik dalam percaturan Internasional. China telah memiliki keberanian yang belum pernah diekspresikan dalam menghadapi Amerika, negeri imperial modern itu. China cukup tahu bahwa kesetaraan dalam lingkungan internasional hanya mungin tercipta bila kapasitas negara yan saling berhubungan itu setara dalam banyak aspek. Kekuatan ekonominya telah membuat China seolah mengatakan kepada Amerika, “anda menutup Konsul kami di Houston, kami juga menutup konsulat anda di Chengdu”. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia, untuk argumen apapun yang mungkin, jelas bukan negara tandingan China dalam banyak aspek. Di tengah Corona, China mengekspor beragam alat kesehatan ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di tengah Corona, tenaga kerja China terus saja masuk ke Indonesia dengan sangat mudah. Sepeti membetangkan karpet merah kepada tenaga kerja China. Malah para pekerja China itu bisa dengan leluasa menggunakan visa kunjungan untuk bekerja di pabrik nikel. Tidak hanya ke Konawe, Sulawesi Tenggara. Tetapi juga di Weda Halmahera Tengah dan Obi Halmahera Selatan, Maluku Utara. Pada dua daerah Halmahera ini, sejumlah perusahaan milik China menambang disana. Korporasi-korporasi itu mempekerjakan tenaga kerja China. Seperti pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara, Pemerintah Provinsi Maluku Utara juga tak bisa mengoreksi kebijakan pusat yang memungkinkan pekerja China bekerja di tambang-tambang itu. China Tak Bodoh Indonesia bukan negara bagian China. Juga sejauh ini, bukan provinsi ke sekian dari China.Indonesia negara merdeka. Seperti China, Indonesia juga punya konstitusi sendiri. Konstitusi ini memungkinkan Indonesia bermain di panggung internasional dengan nada dan nafas menciptakan dunia yang damai. Pembaca FNN yang budiman. Konstitusi dimanapun tidak bicara hal-hal deteilnya. Urusan deteilnya itu diserahkan kepada pemimpin negara, terutama Presiden. Tindak-tanduk Presidenlah yang menentukan yang detail-deteil itu. Rakyat Indonesia menyaksikan dengan cukup jelas Presiden telah menyambut kandidat vaksin Sinovak itu dengan bahasa yang lugas. Payah juga ya? China memang sempat dipusingkan oleh tuduhan Amerika. Tuduhan sebagai negara yang, kalau tidak menciptakan Virus Covid, justru mendahului semua pengetahuan dunia tentang covid. Tetapi China sejauh ini, tidak terlihat melemah di panggung internasional. Presiden Xi Jinping terlihat menyajikan diri di pangung politik dunia sebagai menejer krisis yang andal. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai oleh Presiden Joko Widodo. Seperti yang dilakukan oleh Zhu Rong Ji, Perdana Menteri China tahun 1998. Prefesor Zhu Rong Ji menolak skenario IMF untuk mendevaluasi Renmimbi (mata uang China), pada saat negara-negara Asia dipukul wabah Wall Street (krisis keuangan). Presiden Ping saat ini menydorokan diri dengan kebijakan khas mereka. Presiden Xi Jimping tidak membebek kepada Presiden Amerika. Bagaimana China bisa sedemikian leluasa dalam menanganai berbagai urusan? Apakah kelincahan China itu berkat seorang Presiden semata atau dituntun oleh faktor lain? (bersambung). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Dukungan Untuk Koalisi Menyelamatkan Indonesia
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (03/08). Hari Ahad tanggal 2 Agustus 2020 kemarin tokoh bangsa berkumpul di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Mereka mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia, disingkat KAMI. Beberapa tokoh yang hadir antara lain Prof. Dr. Din Syamsuddin, Dr. Ichsanuddin Noorsy, Dr. Said Didu, Prof. Rocky Gerung, Prof. Dr. Refly Harun, Prof. Dr. Husnul Mar’iyah, Dr. Marwan Batubara, Dr. Masri Sitanggang, Habib Mukhsin Alatas, Edwin Sukawati, dan lainnya. Pembentukan koalisi para tokoh ini tentu berangkat dari keprihatinan atas kondisi bangsa Indonesia saat ini. Tata kelola dan penyelenggaraan negara yang telah salah arah. Tidak lagi negara dikelola dan diurus sesuai dengan konstitusi UUD 1945. Tidak lagi berpedoman pada cita-cita dan tujuan bernegara. KAMI patut didukung karena tujuan mulia yang melandasinya. Rakyat Indonesia merasakan bahwa kondisi kini sangat parah. Kondisi ekonomi sudah parah sebelum datangnya corona. Sekarang bertambah parah. Pengguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi dimana-mana. Tekanan terhadap kemampuan daya beli masyarakat sangat miris. Pertumbuhan ekonomi jadi minus, karena pemerintah tidak mengertti dan paham cara menciptakan pertumbuhan ekonomi. Pemandangan yang sangat memeprihatinkan terjadi para penegakan hukum. Para penegak hukum semakin parah moralnya. Penegak hukum negeri bisa dengan diatur dan dikendalikan oleh buronan yang berstatus terhukum Djoko Tjandra. Dia bisa dengan mudah mengatur tiga institusi penegak hukum, yaitu Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Kemenkumham (Imigrasi). Dua institusi lainnya juga diatur dengan mudah oleh Djoko Tjandara, yaitu Ditjen Dikcapil Kemendari dan Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Warwatan senior Asyari Usman menyebut Djoko Tjandra sebagai pembeli kekuasaan dengan predikat best buyer (FNN.co.id 23 Juli 2020). Artinya, pembeli kekuasaan terbaik. Buronan yang bisa masuk dan keluar dari Indonesia dengan sangat bebas tanpa ditahan oleh aparat penegak hukum. Malah mendapat fasilitas surat jalan untuk kesana-kemari. Keadilan bagi semua semakin jauh dari kehidupan kita. “Kemanusian Yang Adil dan Deradab serta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” enteh disumbunyikan dimana? Keadilan hanya bisa dengan mudah dinikmati oleh pemilik kekuasaan dan pembeli kekuasaan terbaik (best buyer). Kondisi politik lebih para lagi. Presiden nyata-nyata telah melanggar konstitusi negara UUD 1945, dengan memutilasi hak budgeting DPR. Namun oleh para politisi kacangan, tengih, kaleng-kelang dan beleng-beleng dianggap sebagai hal yang biasa saja. Sepertinya tidak ada pelanggaran apa-apa terhadap konstitusi UUD 1945. Tragedi politik paling tragis adalah DPR meloloskan usulan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi RUU hak usul inisiatif DPR untuk dibahas bersama pemerintah. Namun setelah mendapat penolakan keras dari masyarakat, khususnya umat Islam, giliran pemerintah yang mengusulkan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Ngaco dan ngawur. Sayangnya RUU BPIP masih dengan misi dan tujuan yang sama dengan RUU HIP. Bernapsi sekali untuk menjadikan Pancasila tanggal 1 Juni 1945 sebagai dasar pijakan. Bukan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 yang berbasis pada konsensus tanggal 22 Juli 1945. Salain itu, RUU BPIP juga bermaksud untuk menepatkan pemerintah dan BPIP sebagai panafsir kebenaran mutlak dari Pancasila. Ini sangat tragis, dan miris wajah perpolitikan kita di bawah pemerintahan sekarang. Wajah sosial kemasyarakatan kita bertambah parah dan kusam. Nilai etika dan kepatutan tidak menjadi hal tabuh dan mamalukan bagi penguasa. Sabaliknya, penguasa dengan enteng melakukan prostitusi politik, kata Rocky Gerung di pertemuan KAMI Ahad kemarin, di kawasan Cilandak Jakrata Selatan. Tragisnya, prostitusi politik itu dilakukan dengan telanjang di depan rakyat. Tidak perlu risih dan malu. Prostitusi politik paling yahud hit dan hot adalah tawaran jabatan penting, di bawah atau setingkat menteri kepada Achamad Purnomo agar tidak maju sebagai Calon Walikota Solo pada Pilkada Desember 2020 nanti. Pasalnya, Achmad Purnomo yang sekarang Wakil Walikota Solo itu menjadi pesaing paling kuat untuk anak Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming. Padahal anak Presiden Jokowi belum punya kapasitas dan kapabilitas untuk jabatan setingkat Walikota Solo. Masih perlu waktu untuk membaca dan belajar yang banyak. Jangan juga hanya komik yang dibaca. Mendingan matangkan diri untuk jualan martabak dululah. Toh, nanti bisa meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sambil jualan martabak. Jangan sampai baru mau belajar tentang tata kelola pemerintahan saat sudah menjabat Walikota Solo nanti. Penguasa sekarang, KKN sepertinya menjadi hal yang biasa dan wajar saja. Tidak lagi hal yang tabuh dan memalukan. Mendukung anak dan menantu untuk Pilkada Walikota Solo dan Walikota Medan tidak dianggap melanggar etika dan norma kapatutan. Sikap yang sangat ditentang oleh Soekarno, Soeharto, Habibie dan Megawati. Terlalu mudah dan gampang untuk Soekarno, Soeharto dan Habibie menjadikan ana-anak mereka menjabat Gubernur, Bupati dan Walikota. Soekarno bisa saja menunjuk anaknya tanpa melalui pemilihan di DPRD. Ali Sadikin jadi Gubenur DKI pertama kali tanpa pemilihan di DPRD. Begitu juga dengan Soeharto dan Habibie. Dengan hanya suara Fraksi Golkar dan ABRI di DPRD saja, sudah lebih dari cukup untuk menjadikan anak-anak Soeharto dan Habibie menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota. Namun itu tidak dilakukan Soekarno, Soeharto dan Habibie, karena ada hambatan norma etika dan kepantasan. Begitu juga dengan Megawati. Pada tahun 1999 itu, DPRD DKI Jakarta dikuasai oleh Fraksi PDIP. Namun Megawati tidak mendorong anaknya, Pranda Probowo dan Puan Maharani menjadi Gubernur DKI Jakarta. Yang dijagokan Fraksi PDIP malah pasangan Sutiyoso-Fauzi Bowo. Padahal keduanya adalah produk Orde Baru. Begitulah soal norma etika dan kepantasan itu berbicara. Untuk soal etika ini, kita harus memberikan apresiasi dan penghormatan kepada Soekarno, Soeharto, Habibie dan Megawati. Beda antara langit dan bumi dengan Rezim Jokowi yang memang oligarkhis, bahkan otokratis. Makanya, sangat tepat para tokoh bersikap untuk berkoalisi. Koreksi memang harus dilakukan oleh kekuatan yang solid. Pemerintah Sudah Out Of Orde. Di kalangan umat Islam, semangat korektif sudah terbentuk dengan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang jelas dan tegas. Maklumat dan dalam waktu dekat "tahdzir" akan dikeluarkan MUI. Koreksi atas penyimpangan ideologi oleh kekuatan komunis yang diduga menyusup di pemerintahan dan Partai Politik. MUI sampai pada ancaman aksi besar-besaran (masirah qubro). Sikap MUI tersebut mendapat dukungan luas dari masyarakat, khususnya umat Islam. Pemerintahan Jokowi dinilai sudah "out of order" bertindak berlebihan. Prinsip "negara adalah aku" telah menyuburkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ekonomi politik, dan hukum terasa semakin amburadul dan tak jelas arah. Bak kendaraan yang melaju tak terkendali, karena rem blong dan supir tak mengerti arah mau kemana. Pasrah menuju kecelakaan fatal. Negara harus diselamatkan. Sinyal "SOS" telah berbunyi. Sebenarnya saat tepat untuk Presiden Jokowi mundur dengan terhormat. Demi untuk kebaikan bangsa ke depan. Beri kepercayaan kepada nakhoda atau driver lain yang lebih segar, paham dan mahir. Atau menunggu dahulu koreksi yang lebih keras? Belajarlah dari sejarah. Sebab sejarah mencatat bahwa keterlambatan dalam pengambilan keputusan dapat berakibat pada penyesalan. Bisa jatuh dalam keadaan yang tidak terhormat. KAMI telah terbentuk. Semangat perubahan semakin menguat. Gumpalan perlawanan tidak bisa lagi dianggap ringan. Sebagaimana dukungan kepada MUI untuk menjadi lokomotif perjuangan umat Islam, maka dukungan kepada KAMI pun akan membesar dengan sendirinya. Dekkarasi KAMI Ahad kemarin, mengingatkan publik pada KAMI saat gerakan perubahan politik tahun 1966-an dahulu. KAMI kini adalah untuk masa depan yang lebih baik dan bermartabat. Sejarah selalu berulang. Biasanya kebenaran selalu di pihak yang menang. Kami semua mendukung KAMI. Selamat berjuang. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Menanti Datangnya Panglima Masirah Qubra (Bag. Kedua)
by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Ahad (02/08). Mari kembali melihat jejak sejarah. Sebab Perumusan falsafah negara RI mengikuti proses dialektika. Pada masa sidang BPUPK, golongan sekuler menghendaki negara ini berdasar sekulerisme, dimana Tuhan menjadi urusan pribadi. Tuhan tidak dibawa dalam urusan bernegara. Ini dapat dipandang sebagai tesa. Golongan Islamis menghendaki negara ini berdasa Islam. Dimana hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak lepas dari nilai-nilai agama. Gagasan ini dapat dipandang sebagai anti tesa. Maka lahirlah Piagam Jakarta sebagai sintesa (Pancasila rumusan resmi I). Sebuah naskah kompromi yang tepat disebut “gentlemen’s agreement”. Sebagaimana yang diberikan Sukiman, “RI tidak berdasar sekuler dan bukan berdasar Islam”. Namun Agama diletakkan di tempat terhormat. Pada masa pencoretan tujuh kata dari Piagam Jakarta untuk ditetapkan pada 18 Agustus 1945 ((Pancasila rumusan resmi II), sulit untuk disebut proses dialektika. Sebab, prosesnya berjalan kurang wajar. Namun perlu diingat, setelah pengakuan Belanda terhadap Indonesia, konstitusi 18 Agustus 1945 ini hanya berlaku di satu negara RIS (Pancasila rumusan resmi III). Selanjutnya, tidak berlaku sama sekali setelah RI bersama negara-negara bagian lainnya membubarkan diri untuk membentuk NKRI berkat Mosi Integral Natsir yang menandai berlakunya UUDS 1950 (Rumusan IV). Padahal perdebatan di Konstituante, bolehlah. Anggota konstituante kembali terbelah dua. Golongan sekuler mendukung Pancasila, yang bisa di sebut sebagai tesa. Tetapi perlu diingat pula, Pancasila yang dimaksud oleh golongan sekuler tidak merujuk pada rumusan tertentu. Tidak soal apakah rumususan pribadi Sukarno tanggal 1 Juni 1945, atau rumusan resmi II, III atau IV. Yang pasti, bukan rumusan Piagam Jakarta. Rumusan Piagam Jakarta mereka tolak keras seolah bukan rumusan Pancasila. Padahal, itulah rumusan resmi I tentang falsafah negara. Ini dibuktikan oleh pidato tokoh-tokoh PNI di Dewan Konstituante. Ketua Umum PNI, Soewirjo, misalnya, mengatakan, “saya tidak hendak membicarakan runtutan sila-sila atau susunan kata-katanya. Soal ini bagi PNI tidak merupakan soal yang prinsipil”. Tokoh PNI lainnya, Roeslan Abdoelgani menyatakan, “Ketuhanan disebut belakangan hendaknya jangan kemudian ditarik menjadi kesimpulan, seakan-akan dasar ini hendak kita belakangkan. Jauh daripada itu dia sekadar menuruti sistematik penjelasan saja”. Pidato Roeslan Abdoelgani tentu saja merujuk pada rumusan Pribadi Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Sedangkan Golongan Islamis menghendaki kembali ke Piagam Jakarta (Pancasila rumusan resmi I). Ini dapat dipandang sebagai anti tesa. Rasio perimbangan suara antara sekuler (tesa) dan Islamis (anti tesa) adalah 5 : 4 (dalam angka kongkrit, 264 : 204). Di dalam suara golongan sekuler ada 80 suara angota PKI, yang sebenarnya sebagbagai atheis. PKI adalah pendukung Pancasila yang palsu, tulis Endang Saifuddin Anshari. Maka jika pihak sekuler dikurangi suara komunis, perbandingan menjadi 184 : 204 atau 9 : 10. Dalam sidang-sidang Konsituante, PKI sangat gigih menolak segala sesuatu yang berbau Islam. Ketuhanan, kata Aidit, adalah berarti kebebasan beragama. Yang berti pula kebebsan untuk tidak beragama. Juga kebebasan untuk mengajak orang untuk tidak beragama. Maka dari itu Dekrit Presiden 5 Juli 1959, meski atas dasar kekuasaan, dapat dipandang sebagai sintesa. Sebab, dekrit menyatakan kembali ke UUD 1945 dengan menyebut, “bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Satu konsideran yang tentu saja sangat tidak disukai oleh PKI. Jadi, Dekrit Prsiden menjadi Pancasila rumusan resmi V, atau rumusan terakhir adalah Pancasila 18 Agustus 1945 yang jiwanya adalah Piagam Jakarta. Bukan Pancasila tanggal 1 Juni 1945, sebab itu berarti menolak Dekrit 5 Juli 1959. Tampaknya para pengusung RUU HIP yang sekarang berlanjut dengan RUU BPIP mengajak bangsa ini kembali kepada dialektika awal. Diakletika masa-masa perdebatan di BPUPK. Mereka memperjuangkan sekulerisme sebagai tesa. Maka, agar terlahir sintesa baru, Gerakan Masirah Qubra, yang sedang menanti kedatangan Panglimanya. Tidak ada pilihan lain. Panglima Masirah Qubra harus dengan gigih memperjuangkan negara ini berdasar Pancasila 18 Agustus 19454. Ini tidak bisa terelakan. Sebab kalau Umat Islam kalah, atau tidak melakukan perlawanan, Indonesia akan menjadi sekuler-komunis. Kalau Umat Islam menang, negara tetap berdasarkan Pancasila konsensus 18 Agustus 1945. Dimana Piagam Jakarta, yang setidaknya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipertahankan. Selanjutnya, mengingat pertarungan dialektika ini menyangkut Falsafah NKRI. Bukan RI, maka segala yang berkaitan dengan Pancasila, baik itu rancangan produk hukum maupun lembaga, yang diusung oleh pihak lawan tarung harus dipandang sebagai satu kesatuan yang ditolak. Sebab, tidak sesuai dengan Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Peta jalan menuju sempurnanya penggusuran Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu dimulai dari terbitnya Keppres no 24 tahun 2016 tentang hari lahirnya Pancasila. Keppres ini telah digunakan sebagai landasan dalam menyusun Naskah Akademik dan RUU HIP, seolah dengan Keppres ini, Pancasila 1 Juni adalah Pancasila yang sah berlaku. Selanjutnya terbit lagi Perpres no 54 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, yang kemudian berganti nama menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Penguasa telah menjurus pada penafsir tunggal Pancasila. Bahkan secara terang-terangan melalui Ketua BPIP yang menyatakan musuh Pancasila adalah agama. Kemudian lahir RUU HIP yang secara fundamental menggusur Pancasila yang sah sebagaimana telah jelaskan di atas. Terakhir, lahir RUU BPIP yang akan memiliki kekuatan hukum untuk menjadi penafsir tunggal Pancasila sesuai kehendak lawan tarung. RUU HIP dan RUU BPIP itu satu paket. Makanya, BPIP tidak berkemomentar terhadap upaya penggantian Pancasila dalam RUU HIP. Oleh karena itu, sekali lagi, semua gagasan dan niat busuk yang ada di peta jalan penggusuran Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu harus ditolak. Ini memerlukan Panglima Masirah Qubra yang tidak saja berani, tetapi juga cerdas dan tangkas yang didukung oleh semua lapisan umat Islam. Selamat berjuang Panglima Masirah Qubra. Selamat dan silahkan memimpin pertempuran yang berat, dan sangat menentukan ini. Tantang paling berat untuk bangsa dan negara menanti Panglima. (habis) Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn.