NASIONAL

Pakaian Adat Dan Pencitraan Jokowi

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (20/08). Presiden Jokowi biasa menggunakan pakaian adat bukan pada acara biasa. Tetapi juga pada acara resmi. Pada tanggal 14 Agustus lalu, Presiden kembali menggunakan pakaian adat Sabu Nusa Tenggara Timur (NTT )saat berpidato dalam acara resmi Sidang Tahunan MPR. Rupanya Presiden lupa kalau 14 Agustus adalah Hari Pramuka. Jika mau, mestinya memakai pakaian Pramuka. Begitu juga pada tanggal 17 Agustus 2020 saat menjadi inspektur upacara HUT RI ke-75 di Istana Merdeka dengan memakai pakaian adat Timor Tengah Selatan NTT. Jualan citra adalah kebiasaannya. Entah siapa disainer pencitraannya tersebut. Yang jelas "mengadat-adatkan" diri yang demikian, belum tentu memunculkan sikap respek publik. Apalagi kekaguman. Sebaliknya, banyak nada sinis dan cemoohan yang terdengar dan terbaca, khususnya di media sosial. Bukan soal tidak bagusnya memakai pakaian adat yang dipakai. Akan tetapi penggunaannya yang tidak "nempat" dan mengada-ada, seperti karnaval anak-anak saja Taman Kanak-Kanak (TK). Ironinya sehari setelah penggunaan pakaian adat tersebut, masyarakat adat Basipae Timor Tengah Selatan mengalami nasib naas. Mereka mengalami intimidasi dan pemaksaan pengosongan lahan oleh Satpol PP, TNI, dan pasukan Brimob Polri. Rumah darurat yang dipakai masyarakat adat diobrak-abrik dan dirusak. Ibu-ibupun berteriak histeris karena terzalimi oleh Pemerintahan yang Presidennya memakai pakaian adat daerahnya. Tragis amat sih? Pakaian adat biasanya dipakai pada saat upacara adat atau festival-festival kebudayaan. Jarang sekali digunakan saat acara resmi. Apalagi saat menyampaikan pidato kenegaraan atau menjadi inspektur upacara. Jika ingin menunjukkan kecintaan pada adat dan budaya yang ada di negara Indonesia, maka ada tempat dan waktunya lebih pas Pak Jokowi. Bila sembarangan menggunakan pakaian adat, maka yang baik pun akan terihat buruk. Jangan marah jika ada yang menilai sebagai orang yang "tak tahu adat" atau "ada kelainan" atau "badut kampung" atau mungkin lainnya atas perilaku tak lazim itu. Bukan berniat mengejek pakaian adat, tetapi tidak terbayang, jika dalam acara Hari TNI nanti, Presiden menjadi Inspektur Upacara menggunakan pakaian adat ber "koteka". Tentu saja memalukan. Masalahnya bukan pada pakaian adatnya, tetapi waktu dan tempatnya itu yang memang tak pas. Makanya jangan asal pakai pakaian adat Pak Presiden. Mendidik dan memberi teladan bukan seperti yang sekarang dilakukan Presiden Jokowi. Kemarin saja ketika berpakaian adat Sabu Raijua yang disiapkan olrh istri Gubernur NTT Victor Laiskodat, para netizen mulai membandin-bandingkan dengan pakaian tentara Mongol. Ini dapat dimengerti, karena sentimen berbau Cina di kalangan publik sedang meningkat akibat masuknya banyak TKA Cina, dan eratnya hubungan Pemerintahan Jokowi dengan Pemerintah komunis RRC. Baiknya Pak Jokowi segera menghentikan budaya politik pencitraan tersebut. Ubah menjadi budaya kerja nyata yang lebih dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Rakyat sudah semakin bosan dengan tipu-tipu palsu yang seperti itu. Harus ada gerakan pemberantasan kultur munafik pada diri para pejabat publik. Nah Presiden yang harus memulai. Bisakah ? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

KAMI Datang, Tidak Bisa Lagi Berbalik Arah

by Dr. Masri Sitanggang Arah kehidupan bangsa dan negara akhir-akhir ini dinilai telah menyimpang dari nilai-nilai dasar dan cita-cita nasional. Melenceng dari tujuan bernegara. KAMI datang dengan delapan tuntutan. Bagaimana kalau tidak dipenuhi ? Suasana meriah di Tugu Proklamasi pagi itu mendadak hening. Semua mata tertuju pada Prof Sri Edi Swasono yang melangkah dengan tongkatnya menuju podium lalu memimpin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Wajah yang telah senja, 80-an tahun itu tampak tulus dan penuh semangat. Wajah yang menyiratkan tekad kuat untuk perubahan Indonesia ke arah lebih baik. Hidmad dan mengharukan sekali. Tidak sedikit hadirin yang menghapus linang air matanya. Ini bukan upaca nasional biasa. Sejumlah tokoh besar nasional, di antaranya Prof. Din Syamsuddin, Jendral (Purn) Gatot Nurmantiyo, Dr. MS Kaban, Prof. Rocmat Wahab, Titiek Suharto, Mutia Hatta dan Prof. Sri Edi Suwasono berkumpul-bersama lima ribuan massa. Ini upacara sangat serius yang dipersiapkan bukan karena rutinitas tahunan. Ini merupakan titik awal sebuah gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Indonesia saat ini, sudah melenceng dari nilai-nilai dasar dan cita-cita kemerdekaan. KAMI hadir untuk meluruskan kembali kiblat bangsa. Upacara Nasional pada Hari Konstituusi, 18 Agustus, di Tugu Proklamasi itu adala gebrakan perdana. Tampilnya ekonomi senior yang dikenal bersih dan kritis, Sri Edi Swasono, sebagai dirigen lagu Indonesia Raya, dan putri seorang proklamator Mohammad Hatta, Mutia Hatta, membacakan teks prolamasi memberikan suasana kebathinan tersindir yang sulit dilukiskan. Pilihan waktu, tempat dan petugas upacara sangat tepat untuk menggambarkan upaya gerakan moral meluruskan kembali arah bangsa yang telah melenceng. Inilah sari diantara hal-hal kehidupan berbangsa yang dinilai telah jauh melenceng dari nilai-nilai dasar dan cita-cita nasional yang dibacakan oleh sejumlah deklarator KAMI secara bergantian. Pembangunan ekonomi gagal menciptakan kesejahteraan rakyat. Gagal mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesenjangan kaya dan miskin semakin lebar. Indonesia menjadi negara nomor empar paling timpang. Segelintir orang menguasai kekayaan negara hampir secara mutlak. Satu persen penduduk terkaya menguasai separuh kekayaan negara. Semnatara empat orang terkaya memiliki kekayaan setara dengan kekayaan 100 juta penduduk termiskin. Anehnya lagi, dengan dalih menanggulangi Pandemi Covid-19, pemerintah justru mengucurkan dana untuk membantu korporasi besar dan BUMN yang sudah merugi sebelum datangnya pandemi Covid. Tragis, aneh tapi nyata. Orientasi pembangunan ekonomi yang mengandalkan hutang , baik luar negeri maupun dalam negeri, telah menyebabkan beban rakyat semakin berat. Generasi mendatang, sejak lahir, telah menanggung hutang yang banyak. Sementara kecanduan impor yang dikuasai oleh para mafia, telah menghancurkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Industri pangan nasional juga hancur berantakan. Pembangunan bidang politik, ditimbuni oleh praktik kekuasaan. Kebijakan penyelenggara negara tidak berkhidmat bagi kepentingan rakyat. Sebaliknya berkhidmat kepada bagi kepentingan oligarkhi politik, korporasi dan konglomerasi. Partai-Partai Politik dan DPR menjelma menjadi sekutu rezim penguasa dan pengusaha. Melakukan “persengkongkolan jahat” terhadap rakyat, bangsa dan negara. Demokrasi Indonesia jauh dari nilai kejujuran. Keadilan dan telah jatuh ke titik pragmatisme, oportunisme, transaksionalisme dan kriminalisme. Pilpres 2019 dinilai sangat curang dan paling berdarah dalam sejarah politik Indonesia. Sekitar 900 petugas Pemilu meninggal dunia tanpa penyidikan memadai. Unjuk rasa usai Pilpres di bulan Mei 2019 merenggut nyawa sembilan orang meninggal. Selain itu, 465 orang ditangkap, 74 diantaranya anak-anak dan informasi hilang 32 orang. Demikianlah kenyataan demokrasi kita. Sehingga pada tingkat global, demokrasi Indonesia anjlok 20 peringkat. Mendapat predikat sebagai negara dengan demokrasi cacat berkinerja paling buruk. Indonesia mengalami defisit kebebasan, dari status negara “bebas” menjadi “ bebas sebagian”. Tertinggal dibandingkan Timor Leste yang baru beberapa tahun lalu merdeka. Di bidang sosial budaya, masyarakat terbelah. Praktik politik belah bambu adalah penyebabnya. Demi kepentingan politik, penguasa cenderung mengadu domba antara kelompok masyarakat dengan mempertajam issue primordial dan sektarian. Melakukan diskriminasi dan provokasi atas dasar SARA. Menggunakan buzzer bayaran rupiah untuk menghancurkan lawan politik. Semua ini mengancam solidaritas sosial dan mengancam persatuan Indonesia. Pembentukan Hukum (Regulasi) terlihat karut-marut. Melenceng dari cita-cita hukum nasional, yaitu Pancasila sebagai filosofi grundslag (dasar Negara) dan Staat Fundamental Norm (sumber segala sumber hukum). Contoh sederhana adalah RUU HIP dan RUU BIP. RUU HIP jelas-jelas tidak hanya bertentangan dengan Pancasila. Malahan ingin mengganti Pancasila dengan Trisila dan Ekasila, yang membuka jalan lebar bagi bangkitnya Komunisme. Inilah tindakan makar terhadap Pancasila sesungguhnya. Perppu nomor 1/2020 yang telah menjadi Undang-undang nomor 2/2020 , bukan untuk melindungi dan menyelamatkan rakyat Indonesia dari pandemi covid-19. Melainkan justeru untuk menyelamatkan sistem keuangan, BUMN serta korporasi besar. Pandemi Covid-19 hanya dijadikan alasan pembenar. Demikian juga UU nomor 3/2020 tentang Minerba hanya untuk menyelamatkan korporasi tambang. Undang-undang nomor 19/2019 tentang KPK terbukti melemahkan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Saat ini nampak jelas, KPK mengalami kemandulan. KPK tak berdaya mengungkap kasus-kasus korupsi besar yang berkaitan dengan kekuasaan. RUU tentang Omnibus Law Cipta Kerja, dinilai sangat merugikan pekerja, petani, nelayan, masyarakat adat, UMKM dan Koperasi. Demikian juga praktek penegakan hukum, dinilai sangat diskriminastif. Hanya tajam ke bawah, dan tumpul ke atas. Hukum dijadikan alat pembungkam kalangan yang kritis atau mereka yang tidak sejalan dengan kekuasaan. Dalam prakteknya, dinilai terjadi transaksional. Masih banyak hal lain yang juga diungkapkan pada Upacara 18 Agustus itu. Misalnya, masalah pendidikan dan sumber daya alam. Untuk itu KAMI mengajukan 8 tuntutan kepada Pemerintah dan Penyelenggara Negara atau Lembaga Negara. Inti tuntutan itu antara lain agar para penyelenggara negara mengembalikan penyelenggaraan dan pengelolaan negara sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang disepakati pada 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali melalui Dekrit 5 Juli 1959. Penyelenggara negara dituntut untuk tidak memberi peluang bagi bangkitnya komunisme dan ideologi anti Pancasila lainnya. Tidak membiarkan aksi separatisme, serta menghentikan stigmatisasi kelompok keagamaan dengan isu intoleransi, radikalisme dan ekstrimisme serta menghentikan upaya memecah belah masyarakat. Menuntut penyelenggara negara untuk memperbaiki praktek pembentukan hukum yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah dituntut menghentikan penegakan hukum yang karut-marut dan diskriminatif. Memberantas mafia hukum, menghentikan kriminalisasi lawan-lawan politik, menangkap dan menghukum berat para penjarah kekayaan negara. Menuntut Presiden untuk bertanggung jawab sesuai sumpah dan janji jabatannya. Mendesak Lembaga-lembaga Negara untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya demi menyelamatkan rakyat, bangsa dan negara Indonesia. Pemerintah harus menegakkan kebijakan ekonomi dan politik luar negeri bebas aktif, dengan tidak condong bertekuk lutut kepada negara tertentu. Pemerintah harus bertanggung jawab mengatasi resesi ekonomi. Menyelamatkan rakyat miskin, petani dan nelayan, tenaga kerja bangsa sendiri, UMKM dan koperasi, serta sektor informal daripada membela kepentingan pengusaha besar dan asing. Pemerintah dituntut bersungguh-sungguh menanggulangi Pandemi COVID-19 untuk menyelamatkan rakyat Indonesia. Mengalokasikan anggaran yang memadai, termasuk untuk membantu langsung rakyat miskin yang terdampak secara ekonomi. Terakhir, yang tidak kalah pentingnya, menuntut pemerintah untuk secara sungguh-sungguh dan tuntas mengusut pihak-pihak yang melalui jalur konstitusi berupaya merubah Dasar Negara Pancasila. Sebab, yang demikian adalah upaya nyata-nyata untuk meruntuhkan NKRI hasil Proklamasi 17 Agustus 1945. Tuntutan KAMI itu jelas dan tegas. Tetapi bagaimana kalau pihak tertuntut tutup mata dan telinga? Ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu ? Soalnya, hal seperti itu sudah terjadi sebelumnya. Rakyat teriak menolak berbagai RUU seperti dipersoalkan di atas, tidak memberi pengaruh apa-apa. Bahkan suara Ormas Besar Islam, Muhammadiyah dan NU, dan MUI se Indonesia yang akan melaksanakan Masirah Qubra berkaitan RUU HIPP dan BIP pun tidak diperdulikan. Let’s see, kita tunggu saja, kata Din Syamsudin, salah seorang Presidium KAMI. “No point to turn”. Tidak ada tempat untuk berbalik arah. Maju terus ! KAMI datang bukan untuk pulang. Yang pasti, suara KAMI mendapat resonansi di seluruh Indonesia. Seperti berlomba. Setiap provinsi dan kabupaten ingin mendeklarasikan KAMI daerah. Jadi, what will be going on? Sangat terantung respon pengelola negara ini, kususnya Presiden Jokowi. Di tangannyalah sekarang bola panas itu. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia Masyumi Reborn.

KAMI Datang, Mengapa Pada Blingsatan?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (19/08). Hari selasa, tanggal 18 Agustus 2020, "Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia" (KAMI) deklarasi. Pilihan tempatnya adalah Tugu Proklamasi. Tak kurang dari 150 tokoh menjadi deklarator. Diantaranya adalah Din Syamsudin, Gatot Nurmantyo, Rachmat Wahab, Rocky Gerung, Refly Harun, Gus Aam, dan lain-lain. Deklarasi dihadiri ribuan massa, baik dari Jakarta maupun luar Jakarta. Muncul pertanyaan mendasar, ada masalah apa dengan Indonesia sehingga harus diselamatkan? Ekonomi minus 5,32 persen. Hutang tembus Rp 6.376 riliun. Indonesia rangking ke-4 negara paling timpang di dunia setelah Rusia, India dan Thailand. Apakah ini bukan masalah? Satu persen orang kaya Indonesia menguasai 50 persen aset negara.Sepuluh persennya kuasai 70 persen kekayaan negara. Sebanyak 60 persen kekayaan mereka peroleh melalui akal-akalan dengan akses kekuasaan. Jelas ini masalah. Harus diselamatkan bangsa ini. Riset bank dunia, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh 20 persen orang terkaya di Indonesia. Kalau masih kurang kaya lagi, terbitkan UU Minerba dan RUU Omnibus Law. Gile bener! Belum soal hukum. Acak kadut dan amburadul. Harun Masiku kemana nasibnya? Djoko Tjandra, buronan Rp 904 miliar disambut seperti sang raja. Legalitas lengkap dan dikawal aparat. Halo E-KTP dan skandal asuransi Jiwasraya? Lama tak ada beritanya. Ruang gerak KPK lumpuh setelah direvisi undang-undang KPK. Novel Baswedan jadi tumbal. Hukum tegak ke lawan, lumpuh ke kawan. Tajam ke rakyat, tak berdaya melawan oligaki, korporasi dan konglomerat. Kurang puas juga? Institusi-institusi hukum pun dikudeta. Di bidang politik, negeri ini bising dan gaduh. Yang disalahkan Islam garis keras. Khilafah dibawa-bawa. Mereka tak bisa membedakan mana Islam garis keras, mana Islam garis tegas. Keras dan tegas, tentu punya terminologi yang berbeda. Yang tegas dituduh keras agar bisa masuk katagori anti Pancasila. Para buzzer rupiah dikerahkan untuk menviralkan Islam keras dan tegas sebagai anti Pancasila, anti NKRI, anti Bhineka Tunggal Ika dan anti pluralisme. Klasik dan nggak kreatif! Kalau begini cara berpolitiknya, sampai kiamat Indonesia nggak akan berhenti dalam kecemasan. Apalagi kalau bicara Pemilu. Sarat intervensi dan intimidasi. Biasa terjadi manipulasi. Pemilu telah jadi ladang para pemodal untuk bermain judi. Mereka klaim itu investasi. Suara rakyat jadi komoditi. Pemilu telah berubah fungsi jadi pasar transaksi. Di bidang ini, hukum lumpuh dan sama sekali tak punya gigi. Belum lagi kalau lihat nasib kampus. Mereka kehilangan hak berdemokrasi. Rektor ditunjuk oleh menteri. Akibatnya, dosen dan mahasiswa berada dalam kendali. Kalau sampai berani macam-macam kepada penguasa? Bisa masuk daftar DO anda! Pers, terutama media mainstream pun menggigil. Tak bebas tayangkan berita. Banyak pemilik media tersandera macam-macam kasus. Ruang jurnalistik makin sempit. Sesempit telinga elit. Beda pendapat dianggap hianat. Setiap kritik akan dilaknat. Ini hanya sekelumit permasalahan bangsa hari ini. Soal intimidasi ini, para deklarator KAMI ikut mencicipi. Masing-masing dijapri. Kirim gambar bahwa KAMI dianggap makar. Makar gundulmu! Meeting Zoom diganggu, WA diretas, akun dihack. Spanduk penolakan dibentang di berbagai sudut jalan bertulis penolakan. Sekitar 50 orang dikirim untuk orasi. Coba-coba menandingi dan ganggu deklarasi. Demokrasi macam apa ini? Jangan cengeng bung! Nggak perlu takut! KAMI lahir sebagai gerakan moral politik. Bukan makar! Bukan juga politik praktis. Kalau setiap kritik dianggap makar, bangsa ini bisa kelar! Bisa juga bangsa ini jadi bangsa makar kepada kekasaan. Deklarasi KAMI untuk menyuarakan kembali pertama, cita-cita bangsa. Spirituality, humanity, nasionality, kerakyatan dan keadilan yang tertuang dalam lima sila Pancasila harus jadi dasar dalam mengelola negara. Prinsip Ketuhanan jangan diutak-atik dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Sekarang jadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Persatuan jangan diporak-porandakan dengan gemar membuat tuduhan. Kerakyatan artinya suara rakyat harus didengar dan jadi pijakan penguasa dalam melaksanakan pembangunan. Keadilan sosial mesti jadi orientasi setiap aturan dan kebijakan. Makarnya dimana bung? Kedua, menyuarakan harapan dan keinginan rakyat yang sudah lama terabaikan oleh suguhan tiatrikal politik di panggung eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga, mengingatkan pemangku kekuasaan bahwa bangsa ini sedang berjalan ke arah yang salah. Terjadi deviasi, distorsi dan disorientasi. KAMI hadir untuk mengingatkan dan meluruskan. Pakai data dan analisis fakta. KAMI deklarasi dan sampaikan delapan maklumat ini, agar kalian dengar. Kenapa kalian gusar? Kenapa nggak bicara substansi? Baca dan pelajari isi maklumat, lalu diskusikan. Delapan maklumat KAMI dihiraukan. Tuntannya tak dibicarakan. Malah tudah sana-sini. Lah, anda ini pejabat atau preman? Kalau macam ini elit kita merespon setiap protes dan perbedaan, pantas saja Indonesia terus dilanda kegaduhan. Mereka perlu ambil kursus demokrasi, agar lebih matang dan siap berdiskusi. Tidak melihat perbedaan dalam mengelola negara sebagai bentuk permusuhan. KAMI anggotanya terdiri dari anak-anak bangsa. Apapun latarbelakang etnis, agama, profesi dan politiknya, mereka datang dengan niat baik. Juga menawarkan konsep keselamatan bangsa. Kenapa anda pada blingsatan? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Sinergi KAMI Dan MUI

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (19/08). Antara Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentu berbeda. KAMI adalah koalisi dari berbagai elemen bangsa, termasuk yang berbeda keyakinan agama. Sedangkan MUI merepresentasi umat Islam saja. Ulama yang tugasnya menjaga keamanan dan kemurnian agama. KAMI memprihatinkan segala hal yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik ekonomi, budaya, maupun politik. Meski berbeda pada fokus perhatian dan kompetensi, tetapi terhadap permasalahan aktual yang dihadapi pada beberapa hal terdapat persamaan. Satu contoh adalah keberadaan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Apalagi RUU HIP yang berhubungan dengan ideologi negara, yang berspektrum luas, baik politik maupun hukum, termasuk keagamaan. RUU HIP yang kemudian berganti menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mendapat sorotan serius dari MUI. RUU HIP ini dinilai bukan saja merongrong ideologi Pancasila, yang telah disepakati bersama. Tetapi juga dapat meminggirkan aspek keagamaan. Melalui RUU HIP, komunisme memiliki pintu untuk menerkam agama dan ideologi negara. Dua hal yang mendapat sorotan MUI dalam Maklumatnya, yaitu pencabutan RUU berbau komunis ini. Selain itu, pengusutan inisiator atau konseptor RUU. MUI mencurigai konseptor RUU adalah oknum yang ingin membangkitkan PKI dan komunisme. Meminta yang berwajib untuk mengusutnya. Alih-alih DPR mencabut RUU HIP. Justru faktanya yang muncul adalah diajukannya RUU BPIP dari Pemerintah. Karenanya bagi MUI, masalah RUU HIP dan juga RUU BPIP masih menjadi "piutang" yang menjadi tuntutan. Ancaman adalah adanya "masirah kubro" dan "penunjukan panglima" tetap menjadi agenda utama dari MUI. Sementara itu, KAMI dalam Maklumat yang dibuat sebagai "bacaan" Deklarasinya, menyinggung kedua RUU tersebut sebagai langkah yang "jelas-jelas tidak hanya bertentangan dengan Pancasila. Tetapi mau mengganti Pancasila dengan Trisila dan Ekasila, serta agama yang berkebudaan, telah membuka jalan lebar untuk bangkitnya komunisme". Menjadi tuntutan yang butirnya dibacakan berulang-ulang oleh Rocky Gerung untuk "telinga kiri" dan "telinga kanan", yakni butir 7 yang berbunyi ,"Menuntut Pemerintah untuk mengusut secara sungguh-sungguh dan tuntas terhadap pihak yang berupaya melalui jalur konstitusi mengubah Dasar Negara Pancasila sebagai upaya nyata untuk meruntuhkan NKRI hasil Proklamasi 17 Agustus 1945, agar tidak terulang upaya sejenis di masa yang akan datang". Kini menjadi jelas bahwa ada kepentingan dan "concern" yang sama antara KAMI dan MUI, berupa tuntutan kepada Pemerintah untuk mengusut tuntas pihak yang melalui RUU HIP. Juga RUU BPIP berupaya mengubah Pancasila 18 Agustus 1945. KAMI menyebut bahwa Deklarasi adalah langkah awal dari gerakan moral politik. MUI menyiapkan langkah aksi dari gerakan keagamaan. Ada sinergitas antara keduanya dalam menyelamatkan ideologi negara Pancasila yang dinilai terancam oleh upaya penggerogotan dan pengubahan oleh para Gerombolan Trisila dan Ekasila. Artinya, baik KAMI maupun MUI melihat negara tengah dihadapkan pada persoalan mendasar, yakni penggoyahan Dasar Negara Psancasila. Umat Islam dan bangsa Indonesia menghadapi persoalan yang sangat serius. Gerakan komunisme ternyata bukan isapan jempol. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

75 Tahun Yang Gagal, Saatnya Untuk Moratorium NKRI

by Ikhsan Tualeka Jakarta FNN – Selasa (18/08). Arah dan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah 75 tahun, rupanya menunjukan tanda-tanda yang kurang memuaskan. Bahkan malah mengkhawatirkan. Sejumlah realitas memperlihatkan ada kekecewaan yang mendalam dari anak bangsa. Keadilan distributif yang jauh dari harapan. Sistem politik yang diskriminatif. Hingga oligarki yang mencengkeram kuat dari pusat kekuasaan sampai ke daerah. Semua ini adalah pangkal utama, dan sulit terbantahkan. Bisa dikonfirmasi dengan banyak data. Termasuk yang dikeluarkan oleh otoritas negara seperti dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Implikasinya jelas. Kekecewaan politik atau political disconten terus menguat dan mengental. Hampir semua terbentuk atau terjadi karena rasa persentuhan warga negara dengan negara, yang faktanya tidak sama. Keadilan distributif sangat tergantung pada dimana warga negara itu lahir dan dibesarkan. Jika terlahir sebagai anak Aru atau besar di Maluku Barat Daya, Seram Timur atau di banyak tempat di Papua dan Indonesia timur lainnya, tentu akan merasakan negara tak hadir dalam berbagai urusan publik. Padahal sejatinya adalah tanggungjawab negara. Itu setidaknya dapat dilihat dengan jelas dalam urusan pendidikan dan kesehatan. Jumlah anak-anak yang putus sekolah atau sekolah dengan fasilitas ala kadarnya dan memprihatinkan, sangat mencolok di Indonesia Timur. Ratusan anak-anak yang meninggal saat persalinan setiap tahunnya di Maluku, mengkonfirmasi realitas yang tidak menguntungkan itu. Pemerintah pusat dan daerah punya andil besar, tapi jangan-jangan kita ada dalam sistem bernegara yang tidak relevan. Membuat sebagian masyarakat Indonesia, khususnya di Maluku Raya, Nusa Tengara Raya dan Papua Raya susah keluar dari kondisi yang nyaris sama dengan saat masih berada di masa kolonial Belanda. Jangan-jangan pada masa itu jauh lebih baik dari sekarang. Negara kerap menyampaikan memiliki berbagai keterbatasan, tapi sulit untuk dimaklumi bila kebutuhan dasar warga negara saja masih jauh dari harapan untuk terpenuhi. Sentralisasi pengelolaan negara yang coba diatasi dengan otonomi daerah rupanya tidak menjawab persoalan. Adanya lima daerah otonomi khusus, yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh, Papua dan Papua Barat, justru memperlihatkan bahwa negara ini sudah sejak awal tidak relevan menggunakan sistem negara kesatuan. Diajukannya RUU provinsi atau daerah kepulauan oleh delapan provinsi, menunjukan kalau ada banyak daerah yang juga ingin diperlakukan secara khusus. Sebab memiliki karakter wilayah yang berbeda. Karena mengatur daerah kelautan sama dengan daerah lain berbasis daratan, justru hanya memupuk dan membiarkan ketidakadilan terus berlangsung. Wajah NKRI semakin mengarah pada federalisme yang malu-malu. Ada dalam praktik, tapi tak didukung oleh legitimasi konstitusi. Sehingga bila ada yang terkait dengan beban negara, maka logika otonomi yang dikembangkan. Sedangkan bila menyangkut keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam, maka paradigma negara kesatuan yang ditonjolkan. Kondisi ini tentu tak dapat dibiarkan. Kita tidak bisa terus berada dalam penerapan Negera Kesatuan bercita rasa federal semacam ini. Membiarkan situasi terus seperti ini, sejatinya sedang memasrahkan Indonesia diambang kehancuran dan perpecahan. Kekecewaan politik yang ibarat bisul tersebut, akan pecah pada waktunya. NKRI perlu segara “dimoratorium”. Kemudian mencari serta menerapkan format baru bernegara yang lebih relevan. Bila menginginkan Indonesia tatap ada dalam peta negara-negara dunia. Memaksakan diri untuk menjadi kesatuan, hanya menunda kematian alias sedang menuju jalan yang salah. Meminjam pendapat Raymond Gettel, Negara Kesatuan itu dapat terjadi bila terdiri dari pulau atau satu daratan. Wilayahnya relatif tidak luas. Relatif tidak banyak penduduknya. Juga relatif tidak majemuk masyarakatnya. Untuk semua syarat itu, hampir berseberangan dengan realitas NKRI. Tak salah kemudian bila ide federalisme telah muncul jauh sebelumnya. Dulu Bung Hatta yang menginisiasinya. Tentu dengan alasan dan padangan yang lebih maju. Meski akhirnya harus kalah dengan pilihan menjadi Negara Kasatuan, yang dalam perjalanan sejarah terbukti anomali. Melihat kondisi yang ada, ide negara federal perlu dihidupkan kembali. Tak boleh dimatikan begitu saja hanya dengan menunjuk ‘kegagalan’ era Republik Indonesia Serikat (RIS). Ide negara federasi bukanlah sesuatu yang ahistoris dalam peta pertarungan pemikiran politik di Indonesia. Ide yang pernah diusung oleh sejumlah founding fathers Indonesia. Terutama dengan munculnya perdebatan federalisme vs unitarisme adalah fakta sejarah yang tentu perlu dikembangkan kembali. Karena itu, menggali lagi pemikiran tentang negara federasi di Indonesia bukanlah sesuatu yang salah. Bisa saja jadi alternatif untuk menyelamatkan Indonesia yang besar ini. Rasanya setalah 75 tahun ini, perlu ada terobosan. Dengan cara melakukan “moratorium” NKRI. Langkah berikutnya, bisa jadi dengan menerapkan Negara Federal sacara kaffah. Untuk menyelamatkan tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pilihan yang lebih dapat untuk memastikan keberlanjutan Indonesia, ketimbang terus bertahan dalam status kesatuan. Namun menjalankan juga model federasi secara malu-malu kucing. Dengan demikian, NKRI mestinya menjadi Harga Hidup, agar bisa terus didiskusikan guna menemukan formula yang tepat dalam pengelolaan negara-bangsa. Penulis adalah Direktur IndoEast Network.

Tidak Perlu Resah Terhadap KAMI

by Asyari Usman Jakarta FNN - Selasa (19/08). Ada yang gelisah. Dan kelihatan sangat gelisah. Mungkin mereka punya firasat akan muncul kekuatan besar. Yang merasa gelisah itu, barangkali takut digoyang. Takut jatuh. Sebaiknya, jauhkanlah semua itu. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) hanya ingin menyadarkan rakyat tentang situasi bangsa dan negara yang sedang amburadul. Hanya itu. Hanya ingin menyadarkan rakyat bahwa kehidupan akan sangat berat. Dalam waktu dekat ini. KAMI bukan dimaksudkan untuk menggoyang pemerintah. Sekali lagi, rakyat perlu diingatkan. Agar mereka siap mental dan siap fisik. Sebab, krisis yang segera membentang di depan bukan sekadar hilang pekerjaan. Bukan sekadar kebangkrutan bisnis. Tetapi jauh lebih seram dari itu. Krisis yang sedang ‘unfolding’ (menghampar) di depan kita diprediksi akan menjadi sesuatu yang ‘unprecedented’ alias ‘belum pernah terjadi’. Dan bisa ‘unpredictable’ (liar) juga. Krisis itu pasti multi-dimensional. Sebab, kebangkrutan bisnis akan merambah ke semua kategori: besar-kecil-menengah, semua akan mengalami pukulan berat. Dan berlangsung meluas dalam waktu bersamaan. Setelah kebangkrutan massal, tentu akan ada krisis moneter. Krisis ‘cash-flow’. Krisis duit. Kalangan bisnis akan pontang-panting mencari sumber pendanaan. Nah, dari mana mau dicarikan uang untuk menahan agar kebangkrutan massal itu tidak berdampak fatal dan masif? Untuk saat ini, dengan kondisi global seperti sekarang, tidak mudah mencari dana segar. Di tengah kebangkrutan dahsyat itu, pastilah muncul krisis-krisis lain. Akan muncul masalah keamanan dan ketertiban. Tak bisa tidak. Tindak kejahatan yang terkait dengan kesulitan hidup hampir pasti akan muncul di mana-mana. Akan menjadi fenomena umum. Dalam situasi normal saja, tanpa gangguan ekonomi, angka kejahatan yang bermotifkan materi kehidupan berada di tingkat yang memprihatinkan. Apalagi seperti yang sedang kita alami ini. Itu yang membuat para tokoh bangsa berkumpul hari ini (18/8/2020) di Tugu Proklamasi, Jakarta. Mereka mendeklarasikan tekad untuk menjaga agar jalannya pemerintahan tidak keliru. Menjaga supaya negara tidak dikelola secara ugal-ugalan. Sebab, lumrah sekali dimunculkan alasan krisis untuk melakukan langkah yang sewenang-wenang. KAMI bukan organisasi pemberontak. KAMI dengan tegas menyatakan diri sebagai ‘moral force’. Hanya gerekan moral. Apakah tidak boleh ada gerakan yang berusaha mengawal hak-hak rakyat? Yang mengawasi sepak-terjang para penguasa agar mereka tidak sesuka hati? Seharusnya tidak perlu ada reaksi yang berlebihan terhadap kemunculan KAMI. Tidak perlu ada intimidasi. Mereka itu adalah para tokoh yang kebetulan memiliki keprihatinan terhadap situasi umum di negara ini. Dan kebetulan pula belum ada terlihat orang-orang lain yang merasa tergugah untuk menyelamatkan Indonesia dari berbagai ancaman. Ada ancaman ideologis, ada ancaman imperialis, dan ada ancaman terhadap eksistensi NKRI. KAMI melihat potensi besar ancaman-ancaman itu. Jika itu yang mendasari kebersamaan para tokoh bangsa di dalam gerakan moral ini, mengapa mereka harus diposisikan sebagai musuh? Mereka semua memahami konstitusi. Dari pemahaman itulah mereka melangkah. Mereka tahu apa yang mereka lakukan dan untuk siapa. Alangkah naifnya kalau mereka dijadikan musuh yang harus ditumpas. Lihat saja sambutan publik terhadap kehadiran KAMI. Memang gerakan ini pastilah akan membesar terus. Karena mereka tidak bermaksud mencari keuntungan pribadi melalui gerakan ini. KAMI menyatakan dengan tegas bahwa gerakan moral mereka itu akan diimplementasikan dengan cara yang persuasif. Mereka akan menginisiasi dialog dengan siapa pun. Dan siap melayani ajakan dialog dari mana pun juga asalkan itu dimaksudkan untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Kemunculan KAMI tidak dipicu oleh kebencian.Tekad para tokohnya hanya untuk menyelamatkan Indonesia. Tidak benar bunyi salah satu plakat yang dipajang di aksi tandingan di sekitar Tugu Proklamasi, pagi tadi. Orang-orang yang mengaku sebagai komponen milenial menulis: “Jangan Tulari Rakyat Dengan Virus Kebencian Pada Pemerintah”. Agak aneh aksi orang-orang yang mengaku kelompok milenial itu. Aksi yang rapi dan tampak mahal dan terawat. KAMI tak punya waktu untuk hal-hal yang disangkakan itu. KAMI tidak perlu menghasut agar rakyat membenci pemerintah. Sebab, rakyat Indonesia mampu melihat sendiri berbagai kejanggalan dan kesewenangan yang terjadi. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co

Deklarasi "Tugu Proklamasi"

by M Rizal Fadillah Jakarta FFN – Selasa (18/08). Hari ini 18 Agustus 2020 ada sejarah baru, yakni Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Rangkaian kegiatan deklarasi dilakuasanakan di Tugu Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur Jakarta. Waktu menuju Deklarasi berjalan. Persiapan telah rampung tinggal pelaksanaan saja. Peserta Deklarasi akan atau telah berdatangan. Siap untuk mengikuti acara pokok pembacaan Maklumat KAMI. Kegiatan ini memang bukan aksi mahasiswa. Akan tetapi aksi para tokoh dari berbagai elemen bangsa. Mdereka resah dengan situasi bangsa saat ini, yang sedang menuju sebagai negara gagal. Mereka umumnya berasal dari berbagai latar belakang, baik profesional, ulama, purnawirawan TNI, aktivis pergerakan, serta akademisi. Sebagian besar dari mereka dikenal sebagai tokoh-tokoh politik nasional, bahkan internasional. Ini merupakan fenomena baru. Terhitung sejak masa Soeharto dulu menjelang kejatuhannya. Peristiwa yang dikenal dengan Kelompok Kerja Petisi 50. Para anggota Petisi 50 terdiri dari berbabagi elemen masyarakat. Umunya purnawirawan TNI seperti Jendral (Purn.) Abdul Haris Nasution, Letjen Marinir (Purn.) Ali Sadikin, Letjen TNI (Purn.) HR. Dharsono, A.M Fatwa, Chrisa Siner Timmu dan lain-lain. Ada nilai strategis dari Deklarasi "Tugu Proklamasi" ini, yaitu : Pertama, berhimpun para tokoh dalam wadah koalisi menyatukan kekuatan yang asalnya berceraian. Tokoh-tokoh mana dikenal kritis dan korektif terhadap berbagai kebijakan Pemerintah yang dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tokoh (political figure) adalah kekuatan infrastruktur politik yang berpengaruh. Kedua, deklarasi dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 2020 untuk mengenang sekaligus membangun dasar pemberangkatan. Bahwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari penetapan Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Semangat KAMI adalah kembali ke landasan Pancasila dan UUD 1945. Bukan yang disimpangkan atau telah diselewengkan. Misalnya, Pancasila 1 Juni 1945. Ketiga, deklarasi KAMI adalah komitmen awal dan konsolidasi untuk memulai agenda menyelamatkan Indonesia. Menyelamatkan negara yang hancur dan hampir tenggelam, sebagai akibat perilaku penyelenggara negara yang dinilai telah keluar dari rel cita cita tujuan mulia kita untuk berbangsa dan bernegara. Kondisi ekonomi, sosial, politik dan lainnya yang dirusak oleh kepentingan pragmatik dan koruptif. Penguasa negara yang dirusak oleh gerombolan oligarkis, korporasi dan konglomerasi licik, picik, tamak dan culas. Mereka tidak pernah merasa puas dengan menghisap darah rakyat melalui pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan yang hanya berpihak kepada oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Bukan yang berphak kepada rakyat atau kelompok UMKM (Usaha Menengah Kecil dan Mikro). Keempat, deklarasi menjadi sacara penyambung aspirasi rakyat yang tersumbat, karena tidak mau lagu didengar oleh DPR. Padahal rakyat telah berkeinginan untuk terjadinya perubahan pada segala bidang kehidupan, baik ekonomi, sosial, dan politik ke arah yang lebih baik. Melepas suasana "terjajah" untuk menjadi lebih merdeka di segala bidang. Tapat pada usia 75 tahun kemerdekaan lalu. Tugu Proklamasi adalah tempat pernyataan kemerdekaan dan semangat pemindahan segera kekuasaan "dalam tempo yang sesingkat-singkatnya". Koalisi aksi yang dilakukan oleh KAMI tentu saja bukan basa basi. Namun bukan pula subversi. Ada aksi moral nyata yang ditunggu-tunggu rakyat dalam rangka menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia. KAMI yang memulai, KAMI juga yang mengakhiri, dan KAMI yang memulihkan Negeri. Para Deklarator tentu saja memiliki spirit perjuangan sebagaimana para pejuang kemerdekaan dahulu, yaitu “MERDEKA atau MATI”...! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Merawat Marwah Proklamasi

by Zainal Bintang Jakarta FNN – Senin (17/08). Perayaan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 75 tahun ini lain dari sebelumnya. Penyebabnya negara digelantungi dua masalah besar yang membuat masyarakat terbelah dua. Pertama, belum pulihnya konflik politik di tataran masyarakat sebagai residu pertarungan panas dua kubu pada masa kampanye Pemilu 2019. Yang kedua, adanya serangan mendadak wabah Covid 19 sejak bulan Maret 2020… Berbagai undang -undang yang dihasilkan oleh lembaga pembuat perundang-undangan (eksekutif dan legislatif) itu kelahirannya terindikasi “dipaksakan” dengan menegasikan aspirasi rakyat. Setidaknya ada dua UU sebagai contoh soal. Yang pertama UU No.19 Tahun 2019 hasil revisi UU KPK dan UU No.2 Tahun 2020 sebagai anak kandung dari Perppu No.1 Tahun 2020. Kelahiran kedua UU tersebut telah membuka jurang pemisah yang lebar antara pemerintah dengan masyarakat sipil kritis di luar pemerintahan. Terjadi ketegangan terbuka ke ruang publik, antara aktor negara berhadapan dengan warga negara non struktural. Ekses daripada konflik inilah yang membuat skenario mitigasi penanggulangan Pandemi Covid 19 kembang kempis. Aktor negara terlihat gamang. Skenario mitigasi Pandemi Covid 19 memerlukan payung hukum yang baru. Payung hukum yang cacat hukum itulah sumber konflik yang mendorong lahirnya “perlawnan”. Masyarakat civil society beranggapan, pruduk perundang-undangan yang dibuat pemerintah dan DPR hanya menyelamatkan oligarki, korporasi dan konglomerasi licik, picik, culas dan tamak. Bukan untuk menyelamat kementingan rakyat. Jauh dari tujuan bernegara. “Perlawanan” warganegara yang menganggap kedua UU itu cacat yuridis berlanjut ke MK (Mahkamah Konstitusi). Tetapi hasilnya nol. Menghadapi jalan buntu di jalur hukum di MK, Din Syamsuddin bersama mantan Panglima TNI Jenderal TNI AD (Purn.) Gatot Nurmantiyo dan Rizal Ramli plus Rachmawati Soekarno untuk menyebut beberapa nama tokoh, melangkah menggagas pembentukan wadah berhimpun yang diberi nama KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia). Koalisi ini didukung sejumlah tokoh yang berjumlah 150 orang. Mereka datang dari berbagai latar belakang usia dan profesi. Ada dari kalangan politisi, penguasa, mantan aktivis, pegiat hak azasi manusia, ekonom, toko agama seperti ulama dan habaib. Wadah berhimpun intelektual diberi nama KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) itu telah dimulai sosialisasinya pada hari Minggu (02/08) di Jakarta. Sebuah akronim simbolik mengingatkan gerakan mahasiswa yang menjatuhkan Presiden Soekarno tahun 1965/1966. Koalisi ini merencanakan mengadakan juga acara peringatan HUT RI ke -75 pada 18 Agustus 2020. Pilihan tanggal itu, selain tampak berbeda dengan pemerintah, juga sebagai pernyataan sikap tegas hari lahir Pancasila. Bahwa Pancasila yang benar itu adalah lahir pada tanggal 18 Agustus 1945. Bukan Pancasila 1 Juni 1945, seperti yang diputuskan oleh Pemrintah melalui Keputusan Presiden. Lalu, bagaimana membaca peta mutakhir konstalasi politik Indonesia hari ini? Sebagai sebuah bahan renungan, menarik untuk membaca ulang buah fikiran Henry David Thoreau. Penulis dan filsuf Amerika (1817 – 1862) yang terkenal dengan karyanya berjudul “Civil Disobedience” atau “Pembangkangan Sipil”. Thoreau yang dikenal pada zamannya gencar mengkritik kebijakan sosial Amerika, terkait dengan perbudakan dan Perang Meksiko-Amerika. Dia memulai esainya dengan menyatakan, “pemerintah sangat jarang membuktikan dirinya berguna bagi umat manusia secara universal. Pemerintah memperoleh kekuasaannya dari mayoritas karena mereka adalah kelompok terkuat dalam aspek tertentu. Bukan karena mereka memegang sudut pandang yang paling ideal , yaitu bertanggungjawab bagi umat manusia”. Hari ini di Indonesia, apa yang dilakukan pemerintah dan yang dilakukan masyarakat sipil di luar pemerintah, sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama. Untuk “merawat marwah proklamasi”. Proklamasi yang sederhana 75 tahun yang lalu itu, sejatinya bertenaga besar. Memiliki daya tendang yang melampaui zaman. Karena proklamasilah maka ada Pancasila sebagai ideologi. Karena proklamasilah, maka tersusun konstitusi. Karena proklamasilah maka ada Republik ini, sampai hari ini. Masih sekitar pemikiran Thoreau, dia dengan tegas menyebutkan, “kewajiban pertama rakyat adalah melakukan apa yang mereka yakini benar dan tidak mengikuti hukum yang ditentukan oleh mayoritas atau otoritas. Ketika pemerintah tidak adil, orang harus menolak untuk mengikuti hukum, menjauhkan diri dari pemerintah secara umum”. Lanjut dikatakannya, “seseorang tidak berkewajiban mengabdikan hidupnya untuk menghilangkan semua kejahatan di dunia, tetapi berkewajiban untuk tidak berpartisipasi dalam bentuk-bentuk kejahatan. Ini termasuk tidak menjadi anggota lembaga yang tidak adil (seperti pemerintah, atau lembaga negara)”. Thoreau secara ideologis memisahkan dirinya dengan pemerintah, "mencuci tangannya" dan menolak berpartisipasi dalam lembaga-lembaga negara. Dikatakan oleh Thoreau bahwa, “bentuk protes ini lebih disukai untuk mengadvokasi reformasi dalam pemerintahan”. Ditegaskan, “seseorang tidak dapat melihat pemerintah apa adanya ketika seseorang bekerja berpartisipasi di dalamnya”. Menurut Thoreu, "that government is best which governs least". Hal itu mengandung hakekat, “pemerintahan itu adalah yang terbaik, yang mengatur paling sedikit”. Memang, kata Thoreau, manusia suatu saat dapat memiliki pemerintahan yang tidak memerintah sama sekali. Karena itu, pemerintah jarang terbukti bermanfaat atau efisien. Ini sering "disalahgunakan, dan diselewengkan" sehingga tidak lagi mewakili kehendak rakyat. Perang antara Meksiko-Amerika mengilustrasikan fenomena ini. Thoreau berpendapat. “dalil mayoritas, pada demokrasi menjawab keinginan kelompok terkuat. Bukan yang paling berbudi luhur atau bijaksana. Pemerintah didirikan pada prinsip ini tidak dapat didasarkan pada keadilan. Pemerintahan tidak bisa menentukan apa itu benar salah, karena seharusnya tidak diputuskan oleh mayoritas tetapi oleh hati nurani”. Gagasan Din Syamsuddin dan kawan-kawan membentuk KAMI adalah sebuah langkah membuka ruang koreksi yang konstruktif. Uluran tangan merawat marwah proklamasi. Untuk menjaga proses demokratisasi. Hendaknya dilihat tetap berada di jalur dengan semangat yang menghormati konstitusi. Pemerintah tidak boleh terjebak di dalam lorong gelap represif. Sejatinya kita semua seyogyanya bisa tersenyum. Karena di luar Istana masih ada sumber oksigen yang dapat membantu merawat kesegaran wangi demokrasi. Pemerintah tidak boleh menari di gendang pecundang yang tidak pernah rela melihat negeri besar ini aman, harmonis, kompak dan tenteram. Mereka itu para “rent seekers” yang berjubah “nabi”. Dari Karet Bivak tempat pemakaman penyair legendaris Chairil Anwar, sayup-sayup terdengar penggalan puisinya yang berjudul “Kerawang-Bekasi”. Gaung puisinya itu menderu diantara debu dan deru jalanan : Teruskan, teruskan jiwa kami – Menjaga Bung Karno - menjaga Bung Hatta – menjaga-Bung Sjahrir - Kami sekarang mayat – Berikan kami arti – Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian – Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi….!!! Selamat HUT Prokamasi RI ke 75. Dirgahayu Bangsa Indonesia Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.

Ah, Dasar Boneka!

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (17/08). Merdeka! Pekiknya terasa di dada. Menggetarkan dan masuk ke setiap nurani anak bangsa. Pada saat itu. Iya, saat itu saat dimana rakyat menjelma jadi pejuang. Berjuang untuk nasib bangsa dan anak cucunya di masa depan. Itulah jejak para pahlawan. Darah dan nyawa jadi taruhan. Ketulusan dan integritas adalah persoalan utama yang mereka pertahankan dan perjuangkan. Sampai akhirnya, ujung usia memanggil mereka. Tapi, warisan kemerdekaan telah terhidang. Merdeka! Terdengar, tapi tak lagi menggetarkan. Jelas suaranya, tapi samar maknanya. Lantang, tapi tak lebih dari sekedar slogan. Itulah kata "Merdeka" pada hari ini. Kata “Merdeka” bukan lagi digunakan untuk melawan penjajah. Tapi seringkali untuk dipakai untuk membungkam siapa saja anak bangsa yang meneriakkan kebenaran. Merdeka! Dor! Satu persatu mayat bertumbangan. Ada mahasiswa. Namun ada remaja atau anam SMA yang sedang belajar menemukan demokrasi di lapangan. Ada pemuda yang tak lagi punya harapan, karena tak bisa pulang dan tak ditemukan dimana keberadaannya. Merdeka! Begitulah mulutnya para penipu negara ini yang tidak kalah fasih untuk melafazkan. Hilang segan, dan rasa malu telah terbungkam. Gemerlap nafsu dan syahwat kekuasaan tampak sangat transparan menguasai setiap kebijakan yang dibuat. Ada panggung depan, ada panggung di belakang. Kata "Merdeka" diteriakan, mesti pada makna sama, tapi beda dalam tekanan. Lakon di panggung belakang lebih mengerikan dari panggung depan. Itulah dramaturgi para preman. Di atas panggung politik, para penipu berteriak merdeka. Diam-diam, di panggung belakang mereka merampok dan habiskan kekayaan negara. Supaya legal, aturan perundang-undangan dimanipulasinya sesuai dengan kehendak mereka. Kadang mengatasnamakan pinjaman. Ada juga dibalik hutang, bahkan permainan upeti dijadikan lahan. Mereka kerahkan para petugas. Petugas ini petugas itu. Ada yang rapi dan berseragam. Punya jabatan dan pangkat yang luar biasa tingginya. Tak sedikit dari mereka yang berpakaian preman. Sebagian dibekali dengan aturan. Sebagian yang lain berperan menyandera dan menekan. Merdeka! Katanya sama, tapi punya getaran yang berbeda. Sangat gergantung kepada siapa yang meneriakkan kata itu. Mereka pahlawan, atau gerombolan para preman. Diucapkan demi bangsa, atau untuk memenuhi ambisi dan keserakahan mereka. Preman-preman itu terus bergentayangan di negeri ini. Memburu dan berebut warisan kemerdekaan yang ditinggalkan para Pahlawan. Siapa yang tak ikut? Sebab beramai-ramai akan disingkirkan. Mereka berada pada semua strata kekuasaan negara. Ada preman besar, ada preman kecil. Preman kakap dan preman teri. Preman kelas berdasi, sampai preman upeti. Bergantung peran dan bagian. Preman besar isinya para pemodal. Kerjanya membeli suara dan mengendalikan para boneka. Para boneka tak lagi sempat berpikir negara dan bangsa. Karena habis waktu dan sibuk membenahi kursi dan dasi. Setiap 17 Agustus mereka pura-pura teriak merdeka. Padahal rakyat semakin miskin, terpuruk dan menderita. Ah, dasar boneka! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Setelah 75 Tahun, Rakyat Masih Antri di Gerbang Kemerdekaan

by Asyari Usman Jakarta FNN – Senin (17/08). Di bagian pembukaan UUD 1945, ada tertulis pengantar tentang perjuangan yang berdarah-darah. Yaitu, jihad rakyat untuk merebut kemerdekaan akhirnya mencapai hasil gemilang. Penjajahan dilenyapkan. Tapi, bagaimanakah kondisi rakyat saat ini? Sudahkah masalah kemiskinan dan ketidakadilan terhapuskan? Mari kita simak pengantar di pembukaan UUD 1945 itu. Bagian di bawah ini sangat penting dan menarik untuk dibicarakan di hari peringatan 75 kemerdekaan RI. “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Begitulah alinea (paragraf) kedua pembukaan UUD kita. Alinea ini menunjukkan kelegaan para pejuang dan pendiri NKRI. Kemerdekaan akhirnya tercapai. Tapi, bagaimana dengan keadilan? Apa yang terjadi dengan kemakmuran? Belum lagi soal kedaulatan dan persatuan. Hari ini, kita fokuskan saja perhatian ke soal keadilan dan kemakmuran. Sebab, dua hal inilah yang menjadi tujuan kemerdekaan itu. Di masa penjajahan, dua hal ini sengaja mereka tiadakan. Supaya penjajahan tetap bertahan. Sayangnya, logika kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sebagaimana digariskan di alinea kedua pembukaan UUD 1945 itu, masih jauh dari kenyataan. Keadilan tak dinikmati oleh seluruh rakyat. Lebih-lebih lagi kemakmuran. Segelintir orang mungkin telah merasakan keadilan. Dan segelintir lainnya telah menikmati kemakmuran. Bahkan supermakmur. Namun, “segelontor” lainnya rakyat Indonesia masih bekerja keras mencari di mana letak kedua janji kemerdekaan itu. Masih belum ketemu juga. Tapi, setelah alinea kedua UUD 1945 dibaca ulang, barulah ketahuan masalahnya. Rupanya, sebagian besar rakyat Indonesia masih berada di “pintu gerbang” kemerdekaan. Belum bisa masuk ke hamparan kemerdekaan itu. Sebab, puluhan juta hektar hamparan itu sedang dikontrak HGU jangka panjang oleh beberapa orang yang diberi prioritas. Kelihatanya, kontrak itu baru akan berakhir 75 tahun lagi. Begitu juga keadilan. Seluruh ruang keadilan hukum juga dikontrak jangka panjang oleh beberapa ratus penyewa gedung-gedung pengadilan rendah dan tinggi. Mereka adalah para penyewa gedung hukum yang mampu memberikan profit besar. Rakyat kebanyakan dimohon bersabar menunggu di “pintu gerbang” kemerdekaan. Kapan-kapan akan dipanggil. Simpan dulu nomor antriannya. Begitu juga keadilan sosial. Rakyat harus menunggu di “pintu gerbang”. Belum bisa masuk semuanya. Sebab, dana keadilan sosial sedang dipakai untuk mengaspal jalan menuju komplek para elit dan cukong. Begitulah kisah rakyat Indonesia. Masih terus berdiri di pintu gerbang kemerdekaan. Belum boleh masuk setelah menanti 75 tahun lamanya. Bersabarlah. Sampai hari ini mesin GPS Google Map untuk pencarian keadilan dan kemakmuran masih menampilkan koordinat terbatas. Ketika Anda tulis kata “keadilan dan kemakmuran”, yang keluar hanya Istana, KSP, kantor para menteri, BUMN, Sinar Mas, Podomoro, Agung Sedayu, Summarecon, Tommy Winata, James Riady, rekening gendut, Fadjroel Rahman, Ngabalin, Wiranto, Luhut, dan segelintir penikmat lainnya. Boleh jadi Anda akan mendapat giliran setelah proklamasi kemerdekaan berikutnya. Berjuanglah terus agar alinea kedua UUD 1945 itu menjadi milik Anda. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.