NASIONAL
Berharap Jokowi Jadi Negarawan Penyelamat NKRI
by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Rabu (25/08). Ini Persoalan yang sangat serius. Jokowi kemungkinan akan menghadapi dua keadan yang sangat tidak mengenakkan. Tetapi, Jokowi bisa dikenang sebagai negarawan yang menjadi teladan generasi mendatang. Pikiranku masih saja terganggu. Penilaian Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), bahwa kehidupan bangsa dan negara sudah menyimpang dari tujuan dibentuknya republik ini. Penyimpangan ini sesuatu yang sangat serius. Tidak bisa dipandang enteng alias sebelah mata. Sebab, ini berarti penyelenggara negara telah menyimpang dari Falsafah Negara, menyeleweng dari Pancasila. Berulang kali KAMI dalam maklumatnya, baik secara eksplisit maupun implisit, menuntut penyelengara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD, dan MPR untuk mengembalikan penyelenggaraan dan pengelolaan negara pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 sesuai Dekrit 5 Juli 1959. Khusus kepada Presiden, KAMI menuntut untuk bertanggungjawab sesuai dengan sumpah dan janji jabatannya. Mengelola negara meyimpang dari Pancasila? Itu adalah pengingkaran terhadap sumpah dan janji jabatan. Itu melalaikan kewajiban, melalaikan amanah rakyat atau dalam istilah agama disebut sebagai khianat. Itu betul-betul persoalan serius. Bicara Pancasila dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan Republik Indonesia. Bukan pula Republik Indonesia Serikat. Haruslah merujuk pada pembukaan UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 sebagaimana Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Bukan Pancasila lain, apalagi Pancasila 1 Juni 1945. Mengelola negara berdasarkan Pancasila yang bukan Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah penyelewengan, penghianatan terhadap rakyat dan konstitusi. Mari kita simak ulang aline ke empat Pembukaan UUD 1945 ini. “Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. “Sila-sila Pancasila” dalam alenia ke empat itu sesungguhnya adalah merupakan landasan negara untuk menjadi pedoman pemerintah menunaikan fungsinya, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Jadi, Pancasila itu adalah amanah rakyat kepada negara untuk dilaksanakan pemerintah dalam upaya mencapai tujuan dibentuknya negara. Ini harus digaris bawahi. Dalam kata lain, pemerintah berkewajiban melaksanakan Pancasila. Ada pun rakyat, sebagai pemberi amanah, adalah mereka yang harus menerima manfaat dari hasil kerja pemerintah mengelola negara sesuai dengan Pancasila. Hal ini dipertegas oleh anak kalimat terakhir dari alenia ke 4 itu, yakni : ”...serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosia bagi seluruh rakyat Indonesia.” Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tentulah tugas Pemerintah Indonesia. Bukan rakyatnya. Rakyat, malah sebaliknya, berwenang mengawasi pemerintah dalam melaksanakan Pancasila. Lain dari itu, tanda baca “koma” di antara sila-sila Pancasila, juga kata sambung “dan” setelah Persatuan Indonesia dan “serta” sebelum sila “dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia” menunjukan Pancasila adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahlkan. Dengan demikian, upaya memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila adalah suatu yang terlarang dan adalah merupakan upaya merongrong Pancasila itu sendiri. Ini pula yang membedakannya dengan Pancasila 1 Juni 1945 (Pancasila rumusan pribadi Soekarno). Bagi rakyat, alat ukur untuk menilai apakah pemerintah sedang menjalankan pemerintahan berdasarkan Pancasila atau tidak, sederhana saja, yakni apakah rakyat mendapatkan hak-haknya. Kembali merujuk alenia ke empat, hak-hak utama rakyat adalah mendapatkan perlindungan dari negara. Mendapat kesejahteraan, mendapat pendidikan, mendapat keadilan sosial (termasuk berserikat dan mengeluarkan pendapat di muka umum) dan bebas menjalankan agama yang diyakininya. Jika rakyat merasa semua terpenuhi, berarti pemerintahan sudah on the tract. Tetapi kalau tidak, berarti terjadi penyimpangan. Begitu pulalah KAMI menilai jalannya pemerintahan akhir-akhir ini. Kesimpulan KAMI, Pengelola Negara telah menyeleweng dari Pancasila. Dalam konteks RUU HIP dan RUU BPIP, pengelola negara bukan saja tidak menjalankan Pancasila. Dengan RUU HIP, DPR bahkan ingin mengganti pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan Pancasila rumusan Pribadi Soekarno. Menurut KAMI, ini adalah upaya nyata untuk meruntuhkan NKRI. Sementara RUU BIP dapat dipandang sebagai keinginan pemerintah untuk mengambil alih kewenangan rakyat sebagai pemberi mandat kepada pemerintah berupa Pancasila. Pemerintah ingin membentuk lembaga (pengganti rakyat) penafsir tunggal yang sah tentang mandat rakyat (Pancasila) itu. Maka, dengan ini rakyat bukan lagi menjadi pengawas pemerintah dalam menjalankan Pancasila, tetapi sebaliknya akan diawasi oleh pemerintah dengan Pancasila. Keadaannya menjadi terbalik, seolah-olah rakyatlah yang wajib menjalankan Pancasila. Pancasila menjadi alat pemukul bagi pemerintah terhadap rakyatnya ! Ngeri, akan berapa banyak lagi korban berjatuhan ? Memperhatikan betapa dahsyatnya kerusakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang akan ditimbulkan oleh RUU HIP dan RUU BIP, itulah maka KAMI secara khusus menuntut yang berkenaan dengan kedua RUU ini. Tuntutannya adalah, agar pemerintah mengusut secara sungguh-sungguh dan tuntas pihak-pihak yang berupaya melalui jalur konstitusi mengubah Dasar Negara Pancasila. Tetapi, persoalan besarnya adalah bagaimana tindak lanjut dari penyelewengan Pancasila yang dilakukan oleh pengelola negara itu? Sebagai bandingan dan sekaligus preseden, Hizbut Thahrir Indonesia (HTI) dicabut status badan hukumnya oleh Kemenkumham karena dinilai tidak sesuai dengan Pancasila. Demikian juga Front Pembela Islam (FPI), mengalami persoalan perpanjangan tanda terdaftarnya karena alasan yang lebih kurang sama. Maka, bagaimana kalau penyelenggara negara –yang memang berkewajiban mengelola negara berdasar Pancasila, melenceng dari Pancasila ? Mengingat Pemerintah adalah penerima mandat dari rakyat, maka logikanya, rakyat berhak menarik mandat dan membubarkan pemerintahan yang melenceng dari Pancasila. Azas Contrarius actus sungguh tepat dijadikan alasan. Sebab tanpa mandat, siapa pun tak berhak memerintah rakyat. Inilah persoalan sangat serius yang mengganggu pikiranku. Amin Rais, dalam Risalah yang disampaikannya 13 Agustus 2020, menawarkan pilihan untuk Pak Jokowi : mundur atau terus. Ada 13 persoalan besar “prestasi negatip” pemerintahan Jokowi. Ya, jika ditilik ke 13-nya, lebih kurang samalah dengan penilaian KAMI. Kalau mau terus, kata Amin Rais, “bersihkan istana dari elemen-elemen yang merusak kehidupan Bangsa Indonesia”. Jokowi jelas berada pada posisi sangat sulit. “Membersihkan Istana” sekaligus mengusut pihak-pihak yang terkait dengan RUU HIP dan RUU BPIP serta memperbaiki keadaan seperti yang dituntut KAMI bukanlah pekerjaan gampang. Jokowi akan berhadapan keras dengan kekuatan besar yang ada dibalik layar, termasuk partai-partai pendukungnya. Meneruskan apa yang ada sekarang, dan mengabaikan tuntutan KAMI, Jokowi akan berhadapan dengan rakyat. Harus diakaui, dengan semaraknya dukungan dari seluruh tanah air, KAMI saat ini menjadi corong suara rakyat. Tampaknya, gerakan semacam itu akan terus tumbuh dan berkembang pesat. Dengan kondisi demikian, Jokowi akan menghadapi dua keadaan. Dimundurkan oleh pendukungnya, atau dimundurkan oleh rakyat-rakyat yang menyabut mandat dengan caranya sendiri. Dua-duanya jelas tidak mengenakkan. Maka, yang enak dan terhormat itu adalah mengundurkan diri. Mundur dengan kesadaran. Melepaskan diri dari terlibat dalam penyelewengan dan terlepas dari berhadapan dengan rakyat. Jokowi akan dikenang sebagai negarawan, menjadi teladan bagi generasi mendatang : Jokowi penyelamat NKRI. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia Masyumi Reborn.
Cukup Bilang "Anti PKI" , PDIP Selamat
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (25/08). Tak sedikit yang curiga bahwa keturunan PKI dan masyarakat yang berupaya untuk hidupkan kembali faham komunisme telah memilih untuk berafiliasi ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kecurigaan ini muncul terutama setelah salah seorang kader PDIP menulis buku dengan berjudul, "Aku Bangga Jadi Anak PKI". Kecurigaan makin menguat ketika ada sejumlah pihak yang mendesak Jokowi atas nama kepala negara meminta maaf kepada PKI. Alasannya, PKI itu korban. Bukan pelaku. Beruntung saja, Jokowi menolak. Jika tidak, akan ada gejolak yang tak perlu terjadi. Belakangan, muncul lagi usulan fraksi PDIP atas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila(RUU HIP). Gagasan RUU ini mengusung Pancasila 1 Juni 1945, yang memperjuangkan Pancasila Trisila dan Ekasila. Juga menolak TAP MPRS No 25 Tahun 1966 menjadi bagian dari konsederannya RUU HIP seperti anti klimaks terhadap kecurigaan itu. Jangan salah paham. Menuduh PDIP itu PKI tentu saja keliru. Tetapi, mencurigai bahwa ada orang-orang yang berpaham komunisme berdiam di PDIP memang tak mudah untuk dibuktikan secara hukum. Terlebih ketika hukum berada dalam kendali politik. Makanya, maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada poin kelima yang berisi tuntutan untuk mengusut tuntas konseptor dan pengusul RUU HIP nggak mudah untuk dipenuhi. Dengan kata lain “diabaikan atau didiamkan saja”. Tidak ada gelagat diproses oleh jajaran penegak hukum negeri ini. Dianggap seperti tidak ada tuntutan. Sebelumnya, keputusan Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) yang diselenggaran MUI di Pangkal Pinang Bangka Belitung, menuntut agar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dibubarkan, juga tak dipenuhi. Malah sebaliknya, pemerintah justru mengeluarkan usulan RUU BPIP. Ini adalah tamparan keras terhadap MUI dan semua ormas yang mengikuti KUII. Sekaligus menunjukkan bahwa MUI tak cukup kuat untuk menekan penguasa negeri ini. Beberapa pekan ini, isu HIP mulai meredup. Meski RUU HIP belum dicabut dari prolegnas. Mungkinkah Pemerintah dan DPR sengaja mengulur waktu dan berupaya melunakkan MUI dan pihak-pihak yang menolak HIP? Biar MUI yang jawab. Kembali pada PDIP, bahwa stigma terhadap partai yang dipimpin Megawati ini berkaitan dengan isu komunisme akhir-akhir ini memang semakin menguat. Apakah ini akan ada pengaruhnya terhadap elektabilitas partai banteng? Tunggu perkembangan lebih lanjut. Jika berpengaruh, maka PDIP hanya butuh satu kalimat saja. Melalui ketua umum, yaitu Megawati cukup membuat satu kalimat sebagai pernyataan resmi bahwa, "PDIP Anti PKI". Bisa juga PDIP cukup bilang”tidak kompromi dengan PKI atau tidak akan memberi ruang bagi tumbuh suburnya faham komunis di Indonesia”. Kalimat-kalimat ini mujarab. Cukup efektif untuk menghentikan stigma. Dengan kalimat ini saja, stigma PDIP terkait isu komunisme besar kemungkinan akan berangsur-angsur meredup. Apakah PDIP berani membuat pernyataanseperti itu? Biarlah Ibu Megawati yang menjawabnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Buzzer Dan Influencer Penyakit Demokrasi
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad 923/08). Konon dana yang dikeluarkan Pemerintah hingga Rp. 90 miliar untuk membiayai buzzer dan influencer. Dana itu berasal daru uang rakyat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tugas buzzer dan infulencer adalah membela, mengkampanyekan, membangun citra hingga memprovokasi. Buruknya jika sampai pada membohongi rakyat. Rakyat dibohongi pakai uang rakyat. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyatatakan buzzer dan influencer mengkampanyekan positif segala kerja pemerintah. Isinya bermacam-macam. Tergantung pada orderan. Tentu tidak gratis, tetapi ada sejumlah bayaran. Menurutnya dalam proses politik, hal ini dapat menurunkan kualitas dari demokrasi. Sebenarnya bukan hanya menurunkan. Tetapi telah menjadi penyakit demokrasi. Merusak demokrasi yang sangat dibanggakan rezim penguasa saat ini. Melanggengkan budaya politik transaksional, premanisme, serta menghalalkan kebohongan dan kecurangan dalam berpolitik. Penyakit buzzer dan influencer sangat berbahaya. Di negara komunis seperri Rusia, dan juga China, buzzer dan influencer dapat disetarakan dengan departemen agitasi dan propaganda (agitprop) pada partai komunis. Tugasnya adalah menyosialisasikan visi, misi, dan atau hasil-hasil kerja pemerintah. Bila perlu dengan memutarbalikkan fakta dari yang sebenarnya. Melemahkan hal-hal yang diungkap oposan atau pengeritik. Bahkan bila perlu mencari kelemahan dan kelasahan pribadi pengeritik. Setelah itu menyerang juga pribadi pengeritik. Tidak perduli benar atau. Sumua dana yang dipakai adalah uang rakyat. Agitprop tidak lain "is political propaganda especially the communist propaganda that is spread to the general public through popular media such as literature, plays, phamplets, film, and other art forms with an explicity political message". Keberadaan buzzer dan influencer bukan ciri dari negara demokratis. Prilaku seperti ini adalah ciri negara komunis. Dimana informasi dicengkeram Pemerintah. Hukum yang menjadi alat kekuasaan untuk menjerat semua lawan-kawan politik. Lawan-lawan politik dari kelompok sivil society yang kritis dibungkam. Juga dikriminalisasi dan dijebloskan ke dalam penjara. Untuk itu, adu-domba pun dilakukan. Opini publik dimainkan dan dibolak-balik. Opini yang benar dibang salah, dan sebaliknya yang salah dibilang nenar. Pemerintah sudah memiliki Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkoinfo). Kementerian ini diberikan beranggaran pasti dari APBN triliunan rupiah. Keberadaan buzzer dan influencer dengan anggaran tersendiri jelas merupakan bagian dari penyimpangan dan korupsi. Seharusnya anggota Dewan berteriak keras terhadap pelanggaran keuangan negara ini. DPR jangan hanya berdiam diri. Kalau DPR tidak berteriak, jangan berperilaku seolah-olah menjadi bagian dari buzzer dan influencer pula. Rezim yang menggunakan dan mengedepankan buzzer dan influencer adalah rezim yang kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Tidak menghormati rakyat, serta menghalalkan segala cara. Rezim seperti ini sulit dipercaya sebagai penyelenggara negara. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Buzzer Rupiah Dan Potensi Konflik Bangsa
by Tony Rosyid Jakarta FNN - Ahad (23/08). Sepekan ini ramai pembicaraan soal buzzer rupiah. Yang disoal adalah anggaran negara. Dana puluhan miliaran rupiah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipakai untuk biayai operasi buzzer. Sejumlah institusi negara terlibat. Infonya dana untuk buzzer dan infulencer itu senilai Rp 90.45 miliar . Sangat kecil jika diukur dari prosentase besaran APBN 2020 atau 2019. Tapi, cukup besar jika melihat keadaan pertumbuhan ekonomi minus -5,32 persen. Di saat rakyat sedang sulit karena efek pandemi covid-19 dan defisit APBN yang mencapai 3,38 persen, bahkan lebih dan tidak terbatas defisit APBN. Suka-suka pemerintah menetapkan defisit APBN, buzzer mendapatkan suntikan dana senilai Rp 90.45 muliar. Luar biasa kan? Sebenarnya bukan soal besar atau kecil dana yang dikeluarkan pemerintah itu. Ada persoalan yang lebih mendasar. Pertama, apa manfaat buzzer buat bangsa atau rakyat negeri ini? Kedua, ini lebih serius, ada dampak yang cukup menghawatirkan akibat operasi buzzer. Menjawab pertanyaan pertama, kalau ada manfaat dari operasi buzzer, itu manfaat buat siapa? Yang pasti bukan untuk negara. Bukan untuk rakyat. Bukan pula untuk bangsa. Sesuai dengan design operasinya, buzzer dipakai untuk menghadapi lawan politik penguasa dan orang atau kelompok civil society yang kritis kepada penguasa. Buzzer bekerja untuk kepentingan penguasa, lebih dari kepentingan untuk negara. Karenanya, tak memiliki institusi dan kelembagaan khusus. Maka, anggarannya pun nempel ke program-program di berbagai kementerian dan institusi lainnya. Fokus buzzer adalah mengcounter segala bentuk kritik terhadap program dan kebijakan pemerintah. Stigmatisasi makar, bahaya khilafah, Islam garis keras, ekstremisme dan radikalisme adalah bagian narasi yang terus dikelola oleh para buzzer untuk membunuh karakter dan gerakan kelompok civil society yang diidentifikasi sangat kritis kepada pemerintah. Swiping, intimidasi dan persekusi oleh kelompok swasta berseragam juga seringkali menjadi bagian dari operasi buzzer. Tentu, ada anggarannya sendiri. Kalau nggak ada anggaran, ya nggak akan jalan. Nggak ada kerjaan juga Operasi buzzer diduga menjadi salah satu sebab utama kegaduhan sosial dan politik selama ini. Sejumlah aktor yang selalu muncul ketika datang kritik kepada pemerintah adalah bagian dari salah satu model operasi buzzer yang selalu membuat kegaduhan situasi politik di negeri ini. Lu lagi… Lu lagi... Lu lalgi… Orang-orang itu aja. Kalau dilihat aktornya, macam-macam jenis buzzer. Dari yang ecek-ecek, buzzer kelas kampung yang hanya cukup diprovokasi, hingga yang paling canggih dan profesional. Kalau sudah berurusan dengan IT, maka buzzer yang diterjunkan dan beroperasi adalah dari kalangan profesional. Sebagaimana yang dialami oleh sejumlah deklarator KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) beberapa waktu lalu. Ada sejumlah akun deklarator KAMI diretas, rapat wibinar diganggu, nomor WA dicloning, dan seterusnya. Anggaran senilai Rp 90.45 miliar, sesungguhnya terlalu kecil jika dibandingkan dengan dampak dan potensi social-destruction yang diakibatkan oleh operasi para buzzer. Yaitu potensi konflik sosial-horisontal di masyarakat. Hubungan antar kelompok dan agama dirusak. Kehidupan sosial dan berbangsa menjadi tak nyaman. Kegaduhan selama ini sumbernya bukan ada tidaknya kaum radikal dan makar. Tetapi problem utamanya adalah adanya kelompok-kelompok bayaran yang bekerja secara sistemik menggaungkan isu radikalisme dan makar. Dari sinilah potensi konflik yang sangat menghawatirkan itu. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Kutukan Sisifus
by Zainal Bintang Jakarta FNN – Ahad (23/08). Peringatan ulang tahun ke 75 Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 2020 ditandai dua kegiatan yang serupa, tapi tak sama. Acara rutin yang diselenggarakan sebagai tradisi negara berlangsung pada tanggal 17 Agustus 2020 di Istana Merdeka. Keesokan harinya 18 Agustus diadakan pula acara yang sama di Tugu Proklamasi , Pegangsaan, Jakarta Pusat. Penyelenggara di Tugu Proklamasi adalah Deklarator KAMI (Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia). Koalisi yang dibentuk oleh Din Syamsuddin, Gatot Nurmantiyo dan Rochmat Wahab bersama sejumlah tokoh ilmuawan, agamawan, budayawan, aktifis lintas agama, profesi, gender dan usia. Hakekat dibalik kelahiran KAMI nampaknya lebih banyak terkait dengan kekecewaan atas sinyalemen terjadinya kemunduran kehidupan demokrasi dalam beberapa tahun belakangan ini. Berbicara kemunduran demokrasi di dunia dewasa ini, perlu membaca laporan Freedom in The World 2020. Lembaga tersebut memberikan peringkat terhadap 195 negara, dan menyatakan bahwa 83 dari negara tersebut sebagai "bebas", 63 negara sebagai "bebas sebagian”, dan 49 negara sebagai "tidak bebas”. Sementara di banyak negara lainnya, orang-orang turun ke jalan dan mengekspresikan ketidakpuasan terhadap sistem politik yang ada. Mereka menuntut perubahan dan perbaikan agar negara menjadi lebih baik dan lebih demokratis. Gerakan-gerakan demonstrasi antara lain terjadi di Hong Kong, Aljazair, Bolivia, Chili, Ethiopia, Indonesia, Irak, Iran, Lebanon, dan Sudan. Gerakan-gerakan ini sering kali bertentangan dengan kepentingan kekuasaan yang telah mengakar kuat. Kekuasaan yang gagal menghasilkan perubahan yang signifikan, tulis laporan itu. Jumlah keseluruhan negara dengan status sebagai negara bebas telah menurun sebesar tiga persen dalam dekade terakhir. Indeks ini memperhitungkan berbagai faktor seperti fungsi pemerintah, transparansi, supremasi hukum, pluralisme serta kebebasan berekspresi dan berkeyakinan. Laporan tahun ini menunjukkan penurunan yang tajam dalam skala global terkait komitmen pemerintah terhadap pluralisme. Kelompok etnis, agama, dan minoritas lainnya telah banyak mengalami persekusi di negara-negara demokrasi dan otoriter. Laporan itu juga menuliskan menurun kebebasan di negara-negara demokrasi. Adanya penurunan kebebasan di sejumlah negara yang terkenal demokratis. Apa yang dilaporkan lembaga think tank Freedom House tahun 2020, cukup suram. “Demokrasi dan pluralisme sedang diserang. Diktator berupaya keras membasmi perbedaan pendapat yang tersisa, dan menyebarkan pengaruh berbahaya ke sudut-sudut baru di dunia”. Lembaga ini menyoroti menurunnya demokrasi di berbagai penjuru dunia, termasuk Amerika Serikat dan India. Freedom House yang merupakan lembaga swadaya masyarakat yang didanai pemerintah Amerika Serikat, menyoroti tanda bahaya atas memburuknya indeks kebebasan di negara-negara otoriter dan demokratis. Kaburnya koridor kekuasaan antara legislatif dengan eksekutif, termasuk di Indonesia paska reformasi, menimbulkan ketimpangan yang melemahkan check and balances di parlemen. Perwujudan demokrasi tidak bekerja sebagaimana teori “trias politica” hasil rumusan Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan kepada tiga lembaga berbeda, “Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif”. Berdasarkan sejumlah kajian, dikatakan sistem pemilu multipartai di Indonesia yang dilaksanakan secara langsung sejak tahun 2004, mengakibatkan persebaran kekuasaan kepada banyak partai. Mendorong partai mengambil langkah berkoalisi dan membuka ruang kompromi, yang berujung pragmatisme. Jika mau kuat di parlemen, maka eksekutif (presiden) dipaksa membangun mitra koalisi partai pendukung. Meskipun sistem presidensial membuat posisi politik presiden cukup kuat, namun karena bukan ketua umum partai, mau tidak mau Jokowi dituntut untuk membayar “ongkos” koalisi yang lebih mahal. Komposisi menteri kabinet “pelangi” saat ini yang warna-warni, banyak dikritik karena dinilai mengabaikan kompetensi. Itu adalah refleksi fragmentasi kekuatan politik sistem multi partai. Presiden tidak memiliki kekuatan komando tunggal. Berbeda dengan Soeharto yang mengendalikan penuh komando Golkar di tangannya. Selama 32 tahun pemerintahan Orba (Orde Baru), Golkar sebagai kendaraan politik pemerintah memenangkan enam kali pemilu berturut-turut dengan perolehan suara masif diatas 70 persen. Menempatkannya sebagai peraih suara terbanyak yang disebut “single mayority” (mayoritas tunggal). Sementara dua partai kontestan lainnya, yakni PPP dan PDI hanya dijadikan pelengkap penderita demokratisasi. Tragedi “kabinet pelangi” minim kompetensi sebagai ekses dari sistem pemilu multi partai yang dialami SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) dua priode (2004 – 2014). Ini adalah contoh soal betapa lemahnya “bargaining power” hasil pemilu multi partai. Karena hanya mampu melahirkan “simple mayority” (mayoritas sederhana) melalui praktik “jual-beli” suara di pasar koalisi. Ujung-ujungnya SBY tidak berhasil membuat program terobosan sebagai legasi bangsa. Meskipun dia berposisi sebagai ketua umum partai, akan tetapi koalisi memaksanya menari mengikuti irama gendang mereka yang yang sarat dengan “pemerasan” politik. Akibatnya, SBY kehilangan banyak waktu untuk berkompromi untuk banyak hal yang tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat. Kedigdayaan legislator sebagai kelompok penekan eksekutif, membuat mereka lupa daratan. Terjebak di dalam perburuan kekuasaan politik dan materiel. Biaya kontestasi politik yang mahal (money politic) untuk menjadi legislator, memaksa mereka mendewakan budaya transaksional. Butuh transaksi politik untuk mengembalikan biaya investasi dan memupuk sumber daya investasi baru untuk kontestasi ke depannya. Fungsi check and balances digeser ke nomor dua. Tidak mengherankan jika akhirnya yang terjadi adalah kendornya komitmen aktor politik di parlemen. Banyak politisi kacangan, odong-odong, kaleng-kelang dan beleng-beleng berkantor di senayan. Sejumlah kajian menyebutkan melalui jalan reformasi, bangsa besar ini terjebak dalam lingkaran setan kejahatan regulasi dan kejahatan korupsi. Apa yang menimpa dunia perpolitikan Indonesia paska reformasi? Ketika membuka kiriman pesan WhatsApp dari teman seniman teater yang kesohor, dia menganalogikan bangsa Indonesia kini bagaikan sedang terjebak di dalam perangkap “nasib buruk” seorang raja dalam legenda mitologi Yunani yang bernama Sisifus (Sisiphus). Alkisah, tersebab oleh sebuah pembangkangan, dewa Zeus menghukum Sisifus untuk terus-menerus mendorong sebuah bongkahan batu besar ke atas puncak bukit. Setelah sempat merasakan kelegaan sedikit saat di puncak, batu besar itu menggelinding kembali ke kaki bukit. Dan setelah itu batu itupun harus didorongnya kembali. Demikian dilakukan berulang-ulang. Sistem politik hasil reformasi dianalogikan mengkerangkeng kekuatan politik (koalisi) di parlemen. Sehingga menjalani "penderitaan" serupa kutukan nasib buruk Sisifus. Jika Sisifus tak berkutik oleh tekanan hukuman Zeus sang dewa. Sementara koalisi di parlemen ditengarai masyarakat juga tidak berdaya dibawah tekanan semacam dewa lain yang bernama "Oligarkis, Korporasi dan Konglomerasi" yang terkenal dengan prilaku licik, picik, tamak dan culas. Sang oligarkis, korporasi dan konglomerasi itu bisa sangat powerfull. Karena di dalam tubuhnya menyatu perpaduan kekuatan politik dan kekuatan pendanaan. Meskipun tanpa bentuk nyata oligarikis telah menjebak bangsa ke dalam perangkap politik “lari berputar". Mereka berhasil membangun pusat kekuasaan tanpa alamat dan kartu nama. Mempunyai kekuatan lobi yang mengalahkan partai politik formal. Mengatur jalannya pemerintahan bahkan arah negara. Tragisnya karena berhasil mendegradasi fungsi aktor “trias politica” turun ke tingkat yang rendah dan nista, menjadi instrument legitimasi regulasi yang menjauh dari cita – cita proklamsi. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.
Ngapain Gus Nabiel Uring-Uringan?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (22/08). FKP2B menyampaikan sikap penolakan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) dengan seperangkat argumen hukum, politik, dan akademik. Namun sikap ini dikomentari negatif oleh Muchamad Nabiel Haroen, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP. FKP2B diminta untuk membaca utuh isi RUU oleh Nabiel. Meski demikian, tentu saja Gus Nabiel juga bisa diminta untuk membaca utuh tuangan sikap dan argumen FKP2B dalam surat terbukanya tersebut. Sebab menurut Gus Nabiel, RUU BPIP adalah respons pemerintah atas aspirasi warga yang ingin perubahan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Nah rupanya anggota DPR ini tidak mampu untuk membaca secara utuh aspirasi warga masyarakat soal RUU HIP yang berbau komunis tersebut. Warga bukannya ingin perubahan atas RUU HIP. Melainkan warga ingin pencabutan atau pembatalan. Tak ada artinya perubahan atas RUU dengan paradigma yang sama. Sebab RUU HIP adalah akar atau fondamen. Sedangkan RUU BPIP adalah cabang. Bukankah Gus Nabiel sangat mengetahui bahwa BPIP itu menjadi bagian dari konten RUU HIP? Justru yang terjadi adalah kekacauan berfikir atau berlogika dalam hukum. Bagaimana RUU cabang dibuat tanpa akar. Goyah kan jadinya. Inilah model dari sebuah RUU yang manipulatif, asal-asalan, serta berisi selundupan misi menghidupkan faham komunis. Faham komunis yang dikemas dalam Trisila dan Ekasila, serta kebudayaan yang berketuhanan. Keliru menilai FKP2B itu melakukan argumentasi a historis. Justru FKP2B mengungkap fakta-fakta tentang argumentasi historis. RUU BPIP historisnya adalah RUU HIP. Dan kedua RUU tersebut dalam konteks Pancasila tidak dapat melepaskan dari basis Pancasila 1 Juni 1945. Tolong dibaca dengan utuh RUU BPIP oleh Gus Nabiel, terutama pada konsideran butir a dan b. Historis Pancasila 1 Juni 1945 itu tertuang apik. Ini paradigma. Ini juga selundupan ide, ini yang sangat berbahaya itu. Publik tidak perlu dibohongi bahwa RUU BPIP adalah perpanjangan misi dan duplikasi dari RUU HIP. Publik, khususnya umat Islam sangat memahami renacan busuk tersebut. Baiknya Gus Nabiel juga membaca dengan utuh AD/ART PDIP. Maka nantinya akan ketemu antara misi perjuangan partai dalam kaitan dengan Pancasila yang adalah Pancasila 1 Juni 1945. Bukan berjuang membela atau memurnikan Pancasila 18 Agustus 1945, yaitu Pancasila kini yang berlaku. Pancasila yang telah menjadi hasil konsensus bersama itu 18 Agustus 19445. Wajar pula jika FKP2B mengkritisi kompetensi pimpinan atau personal Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Ketua BPIP Yudian Wahyudi telah "babak belur" dikritik soal pernyataan-pernyataannya dari mulai salam Pancasila hingga agama yang dianggap musuh Pancasila. Ibu Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP juga harus introspeksi. Jangan hanya menjadi "pejuang" dan "pengarah" untukk Pancasila 1 Juni 1945. BPIP harus "full" berpijak pada Pancasila 18 Agustus 1945. Jika tidak, dikhawatirkan menjadi krisis pilitik. Padahal seluruh komponen bangsa sedang berjuang melawan pandemi covid 19. Dampak pendemi covid 19 hampir melumpuhkan seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Hari ini sektor ekonomi lumpuh hampir sempurna. Sektor politik juga lumpuh. Itu ditandai dengan kerja DPR dalam pembuatan beberapa Undang-Undang, yang tidak mendengarkan masukan dari masyarakat. Sektor sosial dan budaya juga ikut lumpuh. Sebaiknya DPR RI mau mendengar aspirasi rakyat. Tampung dan olah dengan obyektif dan seksama. Bukan menjadi penanggap parsial atas aspirasi. Mohon baca utuh jika ada surat terbuka yang mungkin agak panjang. Renungkan dan sikapi dengan baik. RUU BPIP adalah RUU usulan Pemerintah. Telah mengabaikan inisiatif DPR. RUU berbalas RUU. Kacau sekali DPR periode ini. DPR adalah wakil Rakyat. Bukan wakil Pemerintah. Anggota DPR harus berani mengoreksi kesalahan politik atau hukum dari Pemerintah. RUU BPIP memang harus ditolak. Tidak layak untuk dilanjutkan pemebahasannya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Resufle Bisa Memperbesar Krisis Kabinet
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Jakarta FNN – Sabtu (22/08). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan sejumlah tantangan dalam serapan anggaran penanganan covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Salah satu tantangan yang dihadapi adalah “perubahan kebijakan” dalam tiga bulan terakhir. Selain itu juga “soal orang yang baru menjabat menteri dan tak punya pengalaman birokrasi” (tanda petik dari saya). Beberapa menteri, tulis CNNIndonesia mengutip Sri Mulyani, benar-benar baru menjabat (sebagai menteri). Saya selalu berpikir seandainya semua oran seperti saya, berharap mereka sudah tahu tentang birokrasi, kebijakan, dokumen anggaran. Tapi tidak, beberapa dari mereka benar-benar baru (menjadi menteri), mereka belum pernah bekerja dipemerintahan sebelumnya (CNNIndonesia, 19/8/2020). Merosot Terus Kepingan lain dalam pernyataan Sri MUlyani, menteri keuangan ini, sangat menarik. Pernyataannya nyata-nyata menunjukan, entah apa namanya, dari cabinet ini. Ibu Sri menyatakan lebih jauh menyalurkan dana tersebut tidak semudah menyiram air di toilet. Pasalnya, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap penyalurannya melalui audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Presiden meminta menyiram dana tersebut kepada masyarakat. Tetapi menyiram dana ke masyarakat ini tidak semudah menyiram air ditoilet. Ketika menyalurkan dana diaudit mengenai siapa target penerimanya, alamatnya. Jadi ini bicara tentang data (CNNIndonesia, 19/8/2020). Cukup jelas pernyataan otoritatif Ibu Menteri ini. Ini Negara. Ada sistem. Ada hukum. Presiden tidak bisa main perintah siram duit kepada rakyat. Tidak bisa. Ada sistem, denghan semua konsekuensi hukumnya. Suka atau tidak, sistem itu mutlak ditaati oleh. Tidak hanya hanya para menteri dan pejabat-pejabatnya, tetapi juga Presiden sendiri. Tidak ada administrasi negara, khususnya subsistem administrasi keuangan negara, yang bisa digerakan dengan perintah verbal. Satu diantara tipikal administrasi negara adalah tindakan administrasi itu memiliki bentuk. Bentuk mesti tetulis. Sistem hukum mengharuskannya begitu. Subsistem adminsitrasi negara dalam tatanan yang sedang dilanda krisis, dalam batas perspektif data tersaji oleh Ibu Sri, sejauh ini tak dirancang dengan meyakinkan. Rincian teknisnya gagal dipetakan. Terciptalah lobang besar kelemahan. Ini tentu semakin menyulitkan menteri yang tidak kompeten. Rumit dan sulitkah untuk memetakan deteilnya? Rasanya tidak. Buktinya Ibu Sri dapat mengidentifikasinya. Nalarnya Presiden, dengan alasan apapun, harus bisa tampil melebihi Ibu Sri. Tetapi itulah kenyataannya. Akibatnya jelas. Pemerintahan jadinya tidak efektif. Praktis kelemahan memetakan detail ini, menambah daftar kelemahan yang sama sebelumnya. Keluhan elemen kecil strategis di BUM mengenai alat impor alat kesehatan. Hal yang sama tercermin dalam implementasi gagasan Kartu Prakerja buat para pengangguran. Gambaran lebih mutakhir terlihat juga pada sikap pemerintah yang menyodorkan perubahan RUU HIP menjadi RUU BPIP. Respon Presiden atas penolakan keras berbagai kalangan terhadap RUU HIP ini, terasa kelewat aneh. Pemerintah memang terus bekerja. Disana sini pemerintah terus bergerak mengusahakan tindakan-tindakan pemerintahan dalam menghadapi corona dan memulihkan ekonomi nasional. Termasuk dalam usaha besar itu adalah menyambut calon vaksin China untuk dikembangkan menjadi vaksin di Indonesia. Kritik menyertainya dari berbagai kalangan. Tetapi pemerintah terus jalan. Oke. Penyakit yang dibawa virus corona ini tidak mengenal negara. Obat juga tak mengenal negara. Tabiatnya sama dengan uang, yang juga tak punya nasionalisme. Tetapi tetap saja keduanya menyediakan perbedaan kecil yang fundamental. Vaksin menyediakan potensi derita bagi mereka menggunakannya. Tentu bila vaksin itu tidak cukup layak menurut standar ilmu kedokteran. Itu yang para dokter ingatkan. Menariknya jauh sebelum kandidat vaksin itu diuji coba, Presiden malah telah memiliki skema waktu untuk produksi. Hebat betul. Dalam isu pemulihan ekonomi, pemerintah memang terus menempatkan diri dengan serangkaian kebijakan. Resentralisasi sejumlah kewenangan ternyata mengundang masalah. Beralasan kebijakan ini justru dinilai oleh beberapa ekonom tak menjanjikan kesuksesan usaha pemulihan ekonomi. Celakanya modal terbesar setiap pemerintahan adalah kepercayaan masyarakat, justru terus merosot. Pembelahan ditengah masyarakat terus melebar. Sayang sekali tak ada seruan menyejukan dari pemerintah mengalir membasahi dahaga persatuan. Itu masalah besar. Lensa Sejarah Apa yang harus dilakukan Presiden? Resufle cabinet? Mengganti sebagian menteri? Ini sepenuhnya hak Presiden. Terserah Presiden. Mau menggunakannya, kapan dan siapa yang dipanggil, terserah Presiden. Ini bukan soal dari segi tata negara. Bung Karno selalu sukses menyudahi permasalahan kabinet sejak kabinet Sjarir pertama, hingga pembentukan kabinet kerja Juanda ditahun 1958. Itu karena Bung Karno ada dan hidup dalam denyut cinta rakyat. Ia begitu hangat terasa disetiap nurani rakyat. Itulah kunci sukses dan kekuatan Bung Karno. Keduanya kunci itu tidak terletak pada hukum. Kekuatannya terletak pada legitimasi. Kecintaan raktyat padanya, menjadi sungai politik yang mengalirkan legitimasi untuk pria yang tampan nan cerdas ini. Tetapi ketika Bung Karno dengan semua hasrat untuk kemuliaan bangsa ini memasuki kekuasaan eksekutif segera setelah tahun 1959, sungai legitimasinya perlahan-lahan mengering. Dari ke waktu air sungai legitimasi terus susut hingga benar-benar mengering. Mirip keadaan sekarang, kehidupan sosial politik begitu antagonisk. Sangat eksplosif. Terlalu banyak pikiran kalangan non pemerintah yang dianggap salah. Kontra revolusi, istilah zaman itu. Sanjungan dan kritik bertalu-talu. Sama intensnya. Benar-benar mirip keadaan sekarang. Sungai legitimasi akhirnya benar-benar mengering menyusul peristiwa pembunuhan para jendral. Dikenal dengan peristiwa G. 30 S PKI. Ditengah sungai legitimasi yang telah mengering, tanggal 24 Februari 1966 Bung Karno sodorkan kabinet Dwikora II. Jelas tak mendapat sambutan. Kabinet ini dirancang sebagai respon Bung Karno terhadap keadaan politik empiris. Itu tercermin, tidak hanya dari jumlah menteri lebih dari 100 orang, dengan 76 Kementerian Portofolio, tetapi lebih dari itu. Ada kementerian Agama. Tetapi untuk menjembatani pemerintah dengan Alim Ulama, Bung Karno ciptakan juga Menteri Hubungan Pemerintah dengan Alim Ulama. Kementerian ini dipimpin oleh Marzuki Yatim. Faktanya kabinet ini tak jalan. Pembaca FNN yang budiman. Legitimasi Bung Karno justru berpndah ke Pak Harto. Itu juga menjadi salah satu faktor terbesar Pak Harto sukses mengemban Supersemar, dan akhirnya membentuk kabinet sendiri. Sukses untuk waktu yang lama, tetapi menjelang pernyataan berhenti sebagai Presiden, sungai legitimasi Pak Harto juga mengering. Pukulan bertubi-tubi pada pengeritiknya, terutama mahasiswa, justru memakan pemerintahannya. Keraguan berbagai kalangan terhadap beberapa anggota kabinet, disepelekan. Sialnya sikap itu disajikan ditengah keadaan ekonomi yang terus memburuk. Mirip betul keadaan sekarang. Apa yang perlu dilakukan Pak Jokowi? Pak Jokowi mungkin harus memanggil para penasihat politiknya. Para penasihat harus jernih menganalisis detail situasi. Keliru memetakan detail situasi, sama dengan memperbesar spektrum krisis pemerintahan ini.* Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Menanti Lahirnya Gerbong-gerbong Oposisi
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Sabtu (22/08). Matinya Demokrasi. Kualitas demokrasi di Indonesia hancur di era rezim Jokowi. Kehancuran demokrasi dapat dilihat dari fakta-fakta tidak lagi efektifnya fungsi kontrol parlemen terhadap eksekutif akibat grand coalition yang diciptakan rezim Jokowi untuk membentuk kabinet. Hanya tersisa partai PKS yang secara teorities dianggap kritis dan obyektif pada pemerintah. Tetapi sangat mungkin, dengan ketidakberdayaan mengimbangi kekuatan parpol pemerintah di parlemen, maka PKS akan bersikap pragmatis-realistis ikut meloloskan semua agenda pemerintah. Keluarnya UU Nomor 2/2020 melengkapi UU Minerba dan Omnibus Law Cipta Kerja adalah bukti yang bahwa parlemen saat ini hanya mewakili kepentingannya sendiri, Tidak mewakili kehendak mayoritas masyarakat. Belum lagi lolosnya kenaikan iuran BPJS disaat masyarakat sedang terpukul ekonominya dan program-program yang kontroversial seperti Kartu Pra Kerja yang berpotensi korupsi dan melanggar prosedur tata kelola pengadaan barang dan jasa. Bukti kuat lainnya adalah tetap dipaksakannya Pilkada serentak di tahun ini. Padahal rakyat sedang membutuhkan bantuan pemerintah untuk bertahan hidup selama Pandemi Covid 19. Meskipun kita belum tahu kapan pandemi akan berakhir mengingat saat ini pertambahan kasus setiap hari menyentuh angka antara 1.500-2.000-an kasus. Disatu sisi pemerintah menambah utang demi menyelamatkan ekonomi dan mengendalikan pandemi covis 19. Tetapi disisi lain menggunakan anggaran untuk Pilkada yang saat ini sebenarnya bukan prioritas. Lebih baik anggaran Pilkada sebesar Rp. 15 triliun digunakan misalnya untuk membantu kebutuhan internet siswa dalam belajar daring. Faktanya hanya kurang dari 20% siswa yang mampu mengikuti belajar daring (Wakil Ketua Komisi X Abdul Fikri Faqih, 4 April). Padahal kewajiban konstitusional pemerintah adalah mencerdaskan anak-anak bangsa. Sedangkan Pilkada adalah agenda Parpol. Sangat mungkin, Jokowi dan parpol tidak memiliki sense of crisis dalam menghadapi pandemi secara total. Sudah menjadi rahasia umum bahwa momen Pilkada adalah masa panen raya Parpol dari mahar tiket para calon kepala daerah. Kepentingan parpol ini selaras dengan kepentingan Jokowi. Hanya untuk menempatkan anak dan mantu Jokowi menjadi orang nomor satu di Solo dan Medan. Walhasil, tidak ada parpol di parlemen yang mengupayakan Pilkada serentak ditunda. Hiruk pikuk yang terjadi di kalangan elit penguasa dan parpol hanya berkisar pada rebutan kursi dan jabatan. Siapa dapat apa. Padahal rakyat mengharapkan terjadi diskursus besar mengenai kehidupan ekonomi rakyat kecil sebagai fundamental ekonomi nasional. Misalnya dikembangkan wacana tentang bagaimana koperasi yang selama ini hanya jadi pemain ekonomi pinggiran, agar bisa naik kelas menjadi korporasi yang mampu mengerjakan proyek-proyek besar pemerintah. Diskursus ini membutuhkan political will rezim agar dapat terwujud nyata. Atau bagaimana keberpihakan negara pada jalur distribusi ritel rakyat, yang kini dikuasai jaringan korporasi dan konglomerasi hingga ke desa-desa. Kenyataan ini juga perlu political will rezim untuk membatasi ekspansi distribusi ritel korporasi masuk ke desa-desa. Gerbong Oposisi Extra Parlementer Menyikapi situasi negara yang carut marut. Negara yang berjalan tanpa arah. Yang tidak sesuai tujuan pada konstitusi, maka lahirlah Koalisi Aksi Menyelamtkan Indonesia (KAMI). Koalisi yang digagas oleh sejumlah tokoh yang prihatin atas nasib rakyat dan masa depan negeri ini. Disambut meriah oleh berbagai elemen masyarakat di penjuru pelosok tanah air, KAMI diharapkan dapat menjadi kekuatan extra parlementer dalam bingkai pembangunan demokrasi di Indonesia. KAMI telah menjadi pelopornya. Menjadi inspirasi bagi masyarakat lainnya yang punya keprihatinan dan perspektif sama untuk bergabung dengan KAMI. Walaupun demikian, KAMI tetap saja terbuka, dan mengilhami masyarakat lainnya untuk membentuk gerbong-gerbong oposisi extra parlemen lainnya. Ini baik bagi penguatan civil society agar masyarakat tetap dapat menjalankan kontrol terhadap pemerintah di saat parlemen tidak lagi efektif. Biarkan gerbong-gerbong oposisi extra parlemen lahir dan tumbuh dari akar masyarakatnya sendiri. Dan tidak perlu saling mengganggu.Saya yakin, kemunculan gerbong-gerbong oposisi ekstra parlemen selain memperkuat civil society, juga akan membawa semangat perubahan. Biarkan semua ide-ide baru yang merupakan anti-tesa dari situasi saat ini disemai secara alamiah hingga menjadi suatu ide besar. Ide yang akan menyatuan semua kepentingan masyarakat. Kepentingan yang sesuai dengan tujuan bernegara. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS)
Peretasan Terhadap Tempo.co “Pembredelan Gaya Baru”
by Tjahja Gunawan Jakarta FNN – Sabtu (22/08). Pada Jumat dini hari, pukul 00.30 WIB, 21 Agustus 2020, situs berita tempo.co dari Tempo Media Group diretas atau cyber attack. Tampilan situs tersebut hilang dan berganti dengan layar hitam bertuliskan kata Hoax berwarna merah. Sebelum peretasan, situs Tempo hanya menampilkan layar putih dengan tulisan Error 403 sejak pukul 00.01. Di dalam layar hitam ini, tertulis "Stop Hoax, Jangan BOHONGI Rakyat Indonesia, Kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja. Deface By @xdigeeembok." Ketika diklik, maka akan beralih langsung ke akun twitter @xdigeeembok. Di twitter, sang pemilik akun menuliskan cuitan #KodeEtikJurnalistikHargaMati pada pukul 00.51 WIB. Cuitan pertama ini juga diikuti dengan cuitan kedua bertuliskan, "Malam Jumat ada yg lembur. Mampus... db bye... bye... bye..." Pukul 00.54 WIB, salah seorang netizen merespon cuitan pertama dengan menggunggah tampilan layar yang sudah diretas. Akun @xdigeeembok pun mengomentarinya dengan menuliskan "Peringatan Mesra". Akun @xdigeeembok yang memiliki 465 ribu pengikut ini selama ini menyuarakan dukungannya pada kampanye omnibus law yang sedang digalang pemerintah. Sementara Tempo membuat laporan dengan narasumber sejumlah pesohor yang terlibat dalam aksi penggalangan dukungan omnibus law di media sosial. Menjelang waktu Subuh Hari Jumat (21/8), situs Tempo sudah pulih kembali. Meski cepat teratasi namun peretasan tersebut dikecam Pemimpin Redaksi Tempo.co, Setri Yasra. Dia menganggap aksi ini merupakan salah satu upaya menggangu kerja jurnalistik yang diatur dalam Undang-undang Pers. "Kami mengecam siapapun yang berupaya mengganggu tugas media dalam memenuhi hak publik atas informasi yang relevan dan terpercaya," katanya seperti dikutip dari Tempo.co. Hingga saat ini tidak ada yang mengetahui dengan pasti orang yang berada dibalik peretasan terhadap Tempo. Yang jelas motif peretasan tersebut diduga bertujuan untuk menakut-nakuti media yang kritis terhadap pemerintah. Loh kok nuduh pemerintah melakukan cyber attack terhadap Tempo ? Ya memang yang melakukan bukan pemerintah (cq. Kementerian Komunikasi dan Informatika-Kemeninfo). Tapi peretasan tersebut sangat boleh jadi dilakukan olah ahli IT yang merupakan kepanjangan kepentingan rezim penguasa. Apalagi kalau memperhatikan anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk ragam aktivitas digital, jumlahnya sangat besar. Berdasarkan temuan dan kajian Indonesian Corruption Watch (ICW), Sejak 2014 hingga tàhun 2020, pemerintah telah menggelontorkan uang sebesar Rp 1,29 triliun untuk belanja terkait aktivitas digital. Aktivitas digital yang dimaksud ialah paket program pengadaan melalui media sosial, YouTube, maupun menggandeng influencer (baca : buzzeRp). Sebagaimana diungkapkan peneliti ICW, Egi Primayogha, Kamis (20/8/2020) siang, lembaganya telah melakukan penelusuran aktivitas pengadaan barang dan jasa (PBJ) di kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) di masing-masing situs LPSE. Ada total 34 kementerian, lima LPNK, dan dua institusi penegak hukum--Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian RI--yang ditelusuri oleh ICW. Dengan demikian, peretasan terhadap situs Tempo tentu tidak berdiri sendiri, terkait dengan kepentingan kekuasaan. Ketika saya tanya kepada seorang teman di Tempo, dia mengaku para pihak yang terlibat dalam aktivitas peretasan itu susah diidentifikasi karena jumlahnya banyak. "Partikelirnya sangat banyak. Kita sampai susah menebak ini permainan siapa," katanya. Di era rezim Orde Baru, pembredelan media dilakukan melalui otoritas Menteri Penerangan. Alasan pembredelan biasanya terkait dengan pemberitaan yang menjurus kepada sesuatu atau banyak hal yang sangat menyinggung penguasa dan atau lapisan masyarakat tertentu. Majalah Berita Mingguan Tempo pernah mengalami pembredelan pada 21 Juni 1994. Selain Tempo, media lain yang dibredel waktu itu Majalah Editor dan Tabloid Detik. Pembredelan tersebut menjadi momentum dan tonggak awal perlawanan memperjuangkan kebebasan pers. Waktu itu pembredelan diumumkan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko. Pemerintah Orde Baru beralasan pemberitaan Tempo mengenai indikasi korupsi dalam pembelian kapal perang eks Jerman Timur bisa membahayakan stabilitas nasional. Kini zaman dan rezim penguasa sudah berubah, media massa pun sebagian besar sudah beralih ke platform digital. Sistem pemerintahan sudah beralih dari zaman pemerintahan otoriter ke era reformasi dan demokrasi. Demikian pula media massa telah mengalami perpindahan (shifting) yakni dari era media konvensional (cetak) ke dunia digital (online). Meskipun saat ini kita sudah berada di zaman demokrasi dan hidup di era keterbukaan, namun rezim penguasa sekarang berada dibawah cengkraman oligarki politik dan ekonomi. Kini sekelompok taipan pemilik modal mampu mengendalikan birokrasi dan elite kekuasaan di negeri ini. Oleh karena itu, peretasan terhadap Tempo patut diduga terkait dengan laporan tentang RUU Omnibus Law yang saat ini sedang dibahas di DPR. RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini ditentang para buruh karena dianggap merugikan kelangsungan kerja mereka di perusahaan. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesi (KSPI) Said Iqbal mengatakan, undang-undang yang mengatur bisnis seharusnya juga mengandung unsur perlindungan. "Draf RUU Omnibus Law ini kebalikannya. Bicara investasi, tapi malah mereduksi kesejahteraan buruh. Bukan perlindungan," kata Iqbal sebagaimana dikutip KataData. Ada sembilan alasan mengapa para buruh menolak keras draft RUU Omnibus Law. Pertama, upah minimum Kabupaten/Kota akan dihilangkan. Kedua, pesangon menurun dan tanpa kepastian. Ketiga, pihak perusahaan bisa seenaknya dalam melakukan PHK. Keempat, tenaga ahli daya semakin bebas. Kelima, penghapusan sanksi pidana perusahaan yang melanggar UU Omnibus Law. Keenam, aturan jam kerja yang eksploitatif. Ketujuh, hilangnya jaminan sosial. Kedelapan, karyawan dikontrak tanpa batas. Kesembilan, penggunaan tenaga kerja asing. Jadi sangat masuk akal jika peretasan ini dipicu oleh laporan Tempo soal RUU Omnibus Law karena kalau sampai RUU ini batal disahkan DPR para taipan pemilik modal akan mengalami kerugian besar. Sepanjang RUU ini belum dicabut nampaknya para buruh akan terus melakukan berbagai aksi demo guna menggedor DPR agar bisa membatalkan RUU tersebut. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Peretasan Terhadap Tempo Pembredelan Gaya Baru?
by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Sabtu (22/7). Pada Jumat dini hari, pukul 00.30 WIB, Jumat 21 Agustus 2020, situs berita tempo.co dari Tempo Media Group diretas atau cyber attack. Tampilan situs tersebut hilang dan berganti dengan layar hitam bertuliskan kata Hoax berwarna merah. Sebelum peretasan, situs Tempo hanya menampilkan layar putih dengan tulisan Error 403 sejak pukul 00.01. Di dalam layar hitam ini, tertulis "Stop Hoax, Jangan BOHONGI Rakyat Indonesia, Kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja. Deface By @xdigeeembok." Ketika diklik, maka akan beralih langsung ke akun twitter @xdigeeembok. Di twitter, sang pemilik akun menuliskan cuitan #KodeEtikJurnalistikHargaMati pada pukul 00.51 WIB. Cuitan pertama ini juga diikuti dengan cuitan kedua bertuliskan, "Malam Jumat ada yg lembur. Mampus... db bye... bye... bye..." Pukul 00.54 WIB, salah seorang netizen merespon cuitan pertama dengan menggunggah tampilan layar yang sudah diretas. Akun @xdigeeembok pun mengomentarinya dengan menuliskan "Peringatan Mesra". Akun @xdigeeembok yang memiliki 465 ribu pengikut ini selama ini menyuarakan dukungannya pada kampanye omnibus law yang sedang digalang pemerintah. Sementara Tempo sendiri membuat laporan dengan narasumber sejumlah pesohor yang terlibat dalam aksi penggalangan dukungan omnibus law di media sosial. Menjelang waktu Subuh Hari Jumat (21/8), situs Tempo sudah pulih kembali. Meski cepat teratasi namun peretasan tersebut dikecam Pemimpin Redaksi Tempo.co, Setri Yasra. Dia menganggap aksi ini merupakan salah satu upaya menggangu kerja jurnalistik yang diatur dalam Undang-undang Pers. "Kami mengecam siapapun yang berupaya mengganggu tugas media dalam memenuhi hak publik atas informasi yang relevan dan terpercaya," katanya seperti dikutip dari Tempo.co. Hingga saat ini tidak ada yang mengetahui dengan pasti orang yang berada dibalik peretasan terhadap Tempo. Yang jelas motif peretasan tersebut diduga bertujuan untuk menakut-nakuti media yang kritis terhadap pemerintah. Loh kok nuduh pemerintah melakukan cyber attack terhadap Tempo ? Ya memang yang melakukan bukan pemerintah (cq. Kementerian Komunikasi dan.Informatika-Kemeninfo). Tapi peretasan tereebut sangat boleh jadi dilakukan olah ahli IT yang merupakan kepanjangan kepentingan rezim penguasa. Apalagi kalau memperhatikan anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk ragam aktivitas digital, jumlahnya sangat besar. Berdasarkan temuan dan kajian Indonesian Corruption Watch (ICW), Sejak 2014 hingga tàhun 2020, pemerintah telah menggelontorkan uang sebesar Rp 1,29 triliun untuk belanja terkait aktivitas digital. Aktivitas digital yang dimaksud ialah paket program pengadaan melalui media sosial, YouTube, maupun menggandeng influencer (baca : buzzeRp). Sebagaimana diungkapkan peneliti ICW, Egi Primayogha, Kamis (20/8/2020) siang, lembaganya telah melakukan penelusuran aktivitas pengadaan barang dan jasa (PBJ) di kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) di masing-masing situs LPSE. Ada total 34 kementerian, lima LPNK, dan dua institusi penegak hukum--Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian RI--yang ditelusuri oleh ICW. Dengan demikian, peretasan terhadap situs Tempo tentu tidak berdiri sendiri, terkait dengan kepentingan kekuasaan. Ketika saya tanya kepada seorang teman di Tempo, dia mengaku para pihak yang terlibat dalam aktivitas peretasan itu susah diidentifikasi karena jumlahnya banyak. "Partikelirnya sangat banyak. Kita sampai susah menebak ini permainan siapa," katanya. Di era rezim Orde Baru, pembredelan media dilakukan melalui otoritas Menteri Penerangan. Alasan pembredelan biasanya terkait dengan pemberitaan yang menjurus kepada sesuatu atau banyak hal yang sangat menyinggung penguasa dan atau lapisan masyarakat tertentu. Majalah Berita Mingguan Tempo pernah mengalami pembredelan pada 21 Juni 1994. Selain Tempo, media lain yang dibredel waktu itu Majalah Editor dan Tabloid Detik. Pembredelan tersebut menjadi momentum dan tonggak awal perlawanan memperjuangkan kebebasan pers. Waktu itu pembredelan diumumkan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko. Pemerintah Orde Baru beralasan pemberitaan Tempo mengenai indikasi korupsi dalam pembelian kapal perang eks Jerman Timur bisa membahayakan stabilitas nasional. Kini zaman dan rezim penguasa sudah berubah, media massa pun sebagian besar sudah beralih ke platform digital. Sistem pemerintahan sudah beralih dari zaman pemerintahan otoriter ke era reformasi dan demokrasi. Demikian pula media massa telah mengalami perpindahan (shifting) yakni dari era media konvensional (cetak) ke dunia digital (online). Meskipun saat ini kita sudah berada di zaman demokrasi dan hidup di era keterbukaan, namun rezim penguasa sekarang berada dibawah cengkraman oligarki politik dan ekonomi. Kini sekelompok taipan pemilik modal mampu mengendalikan birokrasi dan elite kekuasaan di negeri ini. Oleh karena itu, peretasan terhadap Tempo patut diduga terkait dengan laporan tentang RUU Omnibus Law yang saat ini sedang dibahas di DPR. RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini ditentang para buruh karena dianggap merugikan kelangsungan kerja mereka di perusahaan. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesi (KSPI) Said Iqbal mengatakan, undang-undang yang mengatur bisnis seharusnya juga mengandung unsur perlindungan. "Draf RUU Omnibus Law ini kebalikannya, bicara investasi, tapi malah mereduksi kesejahteraan buruh, bukan perlindungan," kata Iqbal sebagaimana dikutip KataData. Ada 9 alasan mengapa para buruh menolak keras draft RUU Omnibus Law. Pertama, upah minimum Kabupaten/Kota akan dihilangkan. Kedua, pesangon menurun dan tanpa kepastian. Ketiga, pihak perusahaan bisa seenaknya dalam melakukan PHK. Keempat, tenaga ahli daya semakin bebas. Kelima, penghapusan sanksi pidana perusahaan yang melanggar UU Omnibus Law. Keenam, aturan jam kerja yang eksploitatif. Ketujuh, hilangnya jaminan sosial. Kedelapan, karyawan dikontrak tanpa batas. Kesembilan, penggunaan tenaga kerja asing. Jadi sangat masuk akal jika peretasan ini dipicu oleh laporan Tempo soal RUU Omnibus Law karena kalau sampai RUU ini batal disahkan DPR para taipan pemilik modal akan mengalami kerugian besar. Sepanjang RUU ini belum dicabut nampaknya para buruh akan terus melakukan berbagai aksi demo guna menggedor DPR agar bisa membatalkan RUU tersebut. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah wartawan senior.