NASIONAL

Berlakukan PSBB Lagi, Anies Diserang Buzzer

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (11/09). Baru-baru ini, presiden menyatakan "bahwa fokus utama pemerintah adalah kesehatan". Sepertinya, pernyataan presiden ini sebagai respon atas makin meluasnya penyebaran covid-19. Perhari di atas 3.000 orang terinveksi virus corona. Presiden siuman, kata epidemiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, Windhu Purnomo. Boleh jadi betul. Yang pasti, selama ini langkah pemerintah dalam menangani pandemi covid-19 zig zag. Sporadis dan tak terukur. Bahkan bisa dibilang suka-suka hati. Semula pemerintah nggak yakin covid-19 masuk ke Indonesia. Sangat meremehkan. Macam-macam guyonanya. Ternyata salah prediksi. Ini fatal sekali. Urusan nyawa rakyat diibuat jadi main-main. Setelah covid-19 masuk, pemerintah pusat panik dan gagap. Yang muncul berikutnya justru kegaduhan akibat ulah pasukan buzzer. Buzzer komersial yang makan anggaran Rp 90,45 miliar. Setelah beberapa bulan, pemerintah menemukan solusi, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ini memang ide jitu. Meski semula terlihat malu-malu. Karena secara substansi, usulan ini jauh-jauh hari sudah diajukan gubernur DKI. Tetapi malah ditolak. Katrok kan? Seandainya karantina wilayah diterapkan dari awal di Jakarta seperti usulan Anies, pemerintah cukup kasih makan 3,6 juta Kepala Keuarga (KK). Dua pekan sekali habis anggaran Rp 900 miliar. Sebulan Rp 1,8 triliun . Genapkan jadi Rp 2 triliun. Karantina enam bulan, cukup anggarkan Rp 12 triliun. Mungkin corona nggak nyebar kemana-kemana. Inilah yang diterapkan di Wuhan. Juga di beberapa negara. Nasi sudah jadi bubur. Kalau sukses tangani covid-19 dari awal, mungkin Perppu dan UU Corona nggak lahir. UU Mineral dan Batubara (Minerba) juga belum tentu diketuk palu. RUU Omnibus Law bisa mangkrak. RUU HIP boleh jadi akan layu sebelum diusulkan. Sejak PSBB dilaksanakan, penyebaran covid-19 mulai terkendali. Sayangnya, hanya beberapa saat saja. Ambyar setelah pemerintah mewacanakan New Normal. Rupa-rupanya, pemerintah setengah hati juga dalam memberlakukan PSPB. Sejak muncul wacana New Normal, masyarakat hilang kedisiplinan. Aturan PSBB tidak lagi efektif. Disana sini terjadi pelanggaran. Eforia berkerumun muncul kembali. Akibatnya, penyebaran covid-19 semakin meluas. Bahkan lebih gila dari awal pandemi masuk ke Indonesia. Lalu, presiden bilang kepada para menteri di sidang kabinet “kesehatan harus diutamakan”. Apakah pernyataan presiden ini murni karena keprihatinan terhadap mengganasnya penyebaran covid-19? Sebab, prioritas dan fokus pemerintah selama ini masih pada ekonomi. Pemerintah cenderung meremehkan angka kematian. Kok mendadak banting setir. Bicara kesehatan di saat dampak ekonomi betul-betul nyata dan mulai dirasakan oleh rakyat. Saat Indonesia dihajar resesi ekonomi. Dua kuartal pertumbuhan ekonomi minus, dan kehidupan rakyat makin susah. Mendadak fokus ke kesehatan. Halllooo... selama ini kemana? Wajar jika kemudian ada yang menduga pernyataan presiden hanya pengalihan isu. Dari isu ekonomi yang sudah mencapai "ngeri-ngeri sedap" ke isu kesehatan. Seolah ada kesan pemerintah pusat sayang terhadap nyawa rakyatnya. Yang bener aja boosss? Situasi menggilanya penyebaran covid-19 mau tidak mau juga harus dihadapi oleh para kepala daerah. Terutama Jakarta. Mobilitas sosial akibat tuntutan ekonomi di Ibu kota tak terkendali. Kerja keras para kepala daerah, termasuk gubernur DKI untuk menerapkan transisi PSBB, tak lagi mampu menghadang eforia New Normal yang digaungkan sendiri oleh Presiden Jokowi. Data di Ibu Kota, tentu juga sejumlah daerah lain, menyebutkan bahwa penyebaran covid-19 menghawatirkan. Kekhawatiran ini mendorong Anies, gubernur ibu kota Jakarta, mengambil sikap tegas. Anies memberlakukan kembali PSBB secara ketat. Anies meyakinkan publik bahwa kebijakannya ini berbasis pada data dan kajian. Anies konsisten pada prinsip yang selama ini dipegang. Yaitu, mengutamakan keselamatan nyawa dan kesehatan rakyat di atas segalanya, termasuk ekonomi. Kebijakan ini tentu nggak populer. Sebab, hadir di saat rakyat sudah merasa merdeka dari covid-19. Akibat kebijakan yang nggak populer, Anies harus siap hadapi kritik. Ini sudah risiko jabatan. Buat lawan politik dan para buzzer, isu ini cukup menggairahkan. Mereka seolah dapat lahan kering untuk bakar kegaduhan. Begitulah yang selama ini terjadi. Sebuah konsekuensi demokrasi di era digital. Menko perekonomian, Airlangga Hartarto teriak. Anies dianggap menjadi penyebab IHSG anjlok. Bahkan ada yang bilang bahwa keputusan Anies menerapkan PSBB membuat 59 negara mengeluarkan travel warning. Yang lebih gila lagi, ada yang minta Anies dibebastugaskan. Ngeri bro! Hebat sekali Gubernur Anies ini. Selain menteri yang selalu menjadi oposisi, kebijakan Anies mendapat respon dari 68 negara, yang membuat kebijakan lockdown terhadap Indonesia. Ini artinya, masyarakat internasional lebih percaya pada data Anies tentang Indonesia, dari pada data dari pihak yang lain. Disinilah pentingnya kejujuran bila menyangkut data. Sebab, akurasi data menjadi bagian penting dari kredibilitas sebuah bangsa ketika bicara di hadapan dunia internasional. Untuk sebuah kejujuran, seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan tidak populer. Meski punya risiko politik. Itulah yang dulu dilakukan Habibi dan Gus Dur. Hanya orang yang pintar, jujur, tegas dan berani ambil risiko yang layak menjadi seorang pemimpin. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

"Radikalisme" Upaya Pengalihan Kegagalan Penguasa

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (10/09). Tuduhan radikalisme telah menyasar kepada umat beragama, khususnya umat Islam. Radikal selalu dikonotasikan buruk, destruktif dan main labrak. Radikalisme menjadi stigma baru setelah tetorisme yang "life time"nya sudah usai. Stigma buruk yang disandangkan pada umat Islam, bahkan berpintu pada "good looking" hafidz dan "menguasai" bahasa arab. Inilah stigma yang sangat konyol, ngawur menyakitkan perasaan umat Islam. Stigma ini keluar setelah pemerintah terlihat gagal dan amburadul dalam tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik kepada masyarakat. Pemerintah gagal mengelola persoalan ekonomi, politik, hukum dan sosoal budaya. Yang paling terakhir adalah penaggulangan pendemi Covid-19 gagal dan buruk. Indonesia berhasil naik ranking empat terburuk penaggulangan Covid-19. Akkibatnya, Indonesia sekarang dilockdown oleh 68 negara di dunia. Juga sebagai upaya pengalihan isu Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasilan (RUU HIP), yang sekarang menajdi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Menurut Kamus Besar Bahsa Indonesia (KBBI) radikal mengandung makna 1) secara mendasar (sampai kepada yang prinsip). 2) amat keras menuntut perubahan. 3) maju dalam berfikir atau bertindak. Dari ketiga makna tersebut tidak ada yang mengarah pada tindakan destruktif. Butir dua "amat keras" tersebut pun dapat mengacu pada aspek jiwa atau semangat. Secara etimologi radikal berasal dari kata latin radix atau radici yang artinya "akar". Jadi tidak perlu produksi persoalan baru di tengah banyak masalah bangsa yang sudah menumpuk. Saking banyak masalah, pemerintah sepertinya bingung keluar dari berbagai masalah tersebut. Beragama kalau harus radikal, artinya harus kokoh dan berprinsip. Berakar kuat pada kebenaran yang diyakininya. Menjalankan segala ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Konsisten dan konsekuen. Nabi Ibrahim As dan para Nabi lain mencontohkan sikap berprinsip dalam beragama. Doktrin dan kalamnya dikenal dengan "kalimah thoyyibah". "Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan “kalimah yang baik” (kalimah thoyyibah) seperti “pohon yang baik”. Akarnya kokoh terhujam (ashluhaa tsaabit) dan cabangnya menjulang ke langit (far'uhaa fis samaa-i) "berbuah" setiap musim dengan izin Allah. Perumpamaan tersebut Allah buat bagi manusia, agar mereka ingat" (QS Ibrahim 24-25). Kalimah dzikrullah, taushiyah, amar ma'ruf nahi munkar adalah "kalimah thoyyibah". Begitu pula dengan konsep arau program ekonomi, budaya, dan politik yang sehat dan halal. Meluruskan penyimpangan adalah kalimah baik yang berakar kokoh. Menegur Imam salah, instruksi meluruskan barisan atau meminta keluar yang mengganggu ibadah itu semua kalimah thoyyibah. Jadi ucapan atau sikap yang berbasis nilai kebenaran adalah kalimah yang dapat dikategorikan radikal dalam beragama. Maka tak ada yang salah jika kita harus radikal dalam beragama. Fanatik dan berprinsip, tentu tanpa mesti mengganggu keyakinan orang lain. Jika sikap radikal beragama dinafikan, bahkan menjadi agenda yang harus ditiadakan, maka itu sama saja dengan membiarkan kemaksiatan berkembang apakah judi, zina, hasud, dengki hingga korupsi merajalela. Kezaliman yang ditoleransi. Mereka yang toleran pada kemaksiatan, kesesatan, atau kesewenang-wenangan adalah orang yang tercabut dari akar (radix) keyakinan kebenarannya. Tak berpendirian dan goyah keimanannya. Buzzer dan influencer dari kepemimpinan yang kriminal. Dan perumpamaan dari “kalimah yang buruk” (kalimah khobiitsah) adalah bagaikan "pohon yang buruk” yang tercabut akarnya dari tanah (ijtutsat min fauqil ardli) dan tidak memiliki ketetapan (maa lahaa min qaraar)-- QS Ibrahim 26. Doktrin kalimah buruk (kalimah khobiitsah) dalam konteks agama dan politik adalah bid'ah-bid'ah, mistisisme, sekularisme, liberalisme dan komunisme. Narasi perjuangan yang anti moral dan kebenaran. Menuduh agama candu, agama steril dari politik, atau hafidz sebagai pintu radikalisme adalah kalimah buruk yang menunjukkan sikap mengambang dan jahat. Menteri Agama yang tak memiliki sikap radikal dalam beragama bukanlah Menteri Agama. Dia bisa menjadi Menteri Mistisisme, Menteri Sekularisme, Menteri Liberalisme ataupun Menteri Komunisme. Buang saja agama untuk suatu perjuangan yang selalu anti dan menista agama... Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

Makin Belepotan Menteri Fahrul Rozi

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (09/09). Ketika isu reshuffle kabunet mengemuka, Menteri Agama Fahrul Rozi termasuk yang dinilai pantas untuk diganti. Barangkali dalam rangka meningkatkan kepercayaan dari Presiden, maka pak Menteri Fahrul sekarang bermanuver. Isu radikalisme yang menjadi modal dan andalannya di "up date" dengan program deradikalisasi melalui sertifikasi da'i. Sertifikasi da'i sama saja dengan pengawasan atau pengendalian terhadap aktivitas ceramah para da'i. Paradigmanya mencurigai dan memata-matai para da’i. Cara pandang buruk Pemerintah disampaikan melalui Menteri Agama. Bila semakin tak terkendali, Pemerintahan setahap demi setahap akan bergeser menjadi model dari rezim otoriter komunis. Sebelumnya Menteri Agama juga setuju dengan persekusi seorang ustadz yang disinyalir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh kelompok Banser di Pasuruan. Aneh jika atas nama tabayun, maka persekusi, bahkan penistaan terhadap ustadz dibenarkan dan didukung oleh Menteri Agama. Khilafah dan terma Islam lain seperti jihad lalu dimasalahkan. Umat Islam memandang bahwa program deradikalisasi telah berubah menjadi deislamisasi. Menteri Agama memposisikan diri berada di garda terdepan dalam proyek bedar deislamisasi dan deradikalisasi. Deradikalisasi atau deislamisasi seperti ini adalah perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila. Pancasila dirumuskan ketat atas prestasi dan pengorbanan umat Islam. Kini umat seolah menjadi tertuduh atau pesakitan di negeri Pancasila. Ini sangat tragis. Tuduhan anti Pancasila yang selalu ditujukan kepada umat Islam, atau rakyat sesungguhnya adalah bias politik. Sebab fakta yang terjadi justru para penentang Pancasila itu berada di lingkaran Pemerintah sendiri. Mereka merencanakan merubah Pancasila melalui pengajuan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasiial (RUU HIP). RUU HIP yang sekarang telah berubah menadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP gtersebut, menempatkan Pancasila tanggal 1 Juni 1945 dasar negara. Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Bukan Pancasila konsesnsus tangga 18 Agustus 1945. Padahal munculnya RUU HIP atau BPIP nyata-nyata merupakan perbuatan makan kepada negara. Kementrian Agama yang didirikan dengan semangat perjuangan umat Islam, oleh pak Menteri Fahrul Rozi kini digunakan untuk mengacak-acak syari'at agama. Sertifikasi da'i adalah konsep yang sangat menyakitkan umat Islam. Bahkan sangat menyesatkan. Menteri Agama hanya satu fikiran yang ada dalam benaknya bahwa umat Islam itu berbahaya, radikal, dan intoleran. Bagaimana seorang Menteri Agama yang seorang muslim dapat menempatkan umat Islam sedemikian negatifnya? Jangan-jangan ada kelainan? Atau memang dangkal pemahaman terhadap Islam, sehingga harus berhadap-hadapan dengan umat Islam? Pernyataan bahwa radikalis diawali dengan performa "good looking" adalah ungkapan yang sangat, sanagat, dan sangat bodoh. Ungkapan yang mengada-ada, dan hanya mencari-cari dalih. Menteri Agama tidak berfikir positif dari yang dia sebut "good looking". Menteri Agamma sepertinya menempatkan diri sebagai agen dari kepentingan yang berniat untuk mengacak-acak stabilitas umat Islam. Menteri Agama sebagai seorang muslim, selayaknya menjadi pembela terdepan dari agama Islam. Menjadi pelindung utama kepentingan umat Islam. Bukan sebaliknya, yang selalu membuat dan memproduksi keresahan terhadap umat Islam. Bukan pula untuk menggerogoti nilai-nilai agama Islam. Menteri Agama kini menjadi "vampire agama" yang tak berguna. Bahkan sangat berbahaya. Penulis adalah Pemerhati Keagamaan dan Kebangsan.

Ketika Jenderal Purnawirawan Benaran Ikut Demonstrasi

by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Rabu (09/09). Jumhur Hidayat, mantan aktifis ITB yang pernah dipenjarakan rezim militer Orde Baru ke Nusa Kambangan, khusus bertanya kepada saya, "kenapa Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo mau ikut demonstrasi kemarin di depan Gedung Sate, Bandung?" Saya berjanji untuk membuat tulisan ini untuk menjawab alasan psikologis dan sosiologis partisipasi Gatot Nurmantyo (GN) itu dalam kacamata ilmu. Karena memang baru sekali dalam sejarah Bangsa Indonesia, seorang Jenderal (asli) Bintang Empat ikut dalam aksi demo. Bukan Jendral Kehormatan. Biasanya para jenderal-jenderal purnawirawan menikmati "comfort zone" sebagai anggota masyarakat yang terhormat di bumi pertiwi ini. Selain umumnya banyak diantara mereka menjadi komisaris-komisaris di perusahan raksasa, dengan gaji yang besar. Demonstrasi menyelamatkan Indonesia yang digelar kelompok massa rakyat, yang dipimpin Kolonel (purn) Sugeng Waras, Senin, 7/9, kemarin di Bandung. Intinya adalah mengutuk krisis demokrasi yang terjadi saat ini. Aksi itu disebabkan adanya kemunduran demokrasi, di mana Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), dupersulit oleh aparatur negara, dalam hal ini yang tersurat adalah Satgas Covid-19. Satgar Covid-19 yang mencabut rekomendasi perlengkapan ijin acara Deklarasi KAMI Jabar, yang sedianya dilakukan di Hotel Gran Pasundan, Senin, 7 /9/2020. Padahal, seminggu sebelumnya, pihak hotel menjamin acara Deklarasi KAMI Jabar tidak masalah. Karena baru saja hotel tersebut dipakai oleh kelompok bisnis air minum yang berkumpul hampir 1.000 orang. Sedangkan KAMI hanya untuk 500 orang. Di luar urusan tersurat, tentu urusan tersirat, kita melihat rangkaian konvoi-konvoi calon calon kepala daerah, baik Bupati/Walikota, maupun Cagub, bebas berdesak-desakan tanpa protokol Covid-19. Sebaiknya, acara di hotel, karena bisnis profesional, pasti protokol Covid-19 dilakukan serius oleh pihak hotel tersebut. Tersirat artinya pula, pasti bukan urusan Satgas Covid-19 yang ngotot melarang acara KAMI tersebut. Lalu siapa? Itulah yang ingin dikejar aksi demo KAMI Jabar tersebut. Gatot Dalam Perspektif Maslow Ahli-ahli kepribadian telah mengembangkan ilmu "psychodynmic theory, Social Learning Theory, Situation-person interaction theory dan Need Theory" untuk melihat kepribadian seseorang. Berbagai ilmu tersebut di atas sebagian besar bersumber pada Sigmund Freud, sebagai guru mereka. Freud melihat staging atau tahapan perkembangan kepribadian terkait dengan masa awal kehidupan manusia, yakni fase oral, anal dan phallic. Namun, dalam perkembangan dewasa ini, para ahli menawarkan kombinasi interaksi sosial pada fase fisikal yang dilontarkan Freud. Perkembangan Gatot Nurmantyo dalam analisa kepribadian (the ID, Ego and Super Ego) yang mengikutkan analisa interaksi sosial, di mana GN hidup dalam keluarga dan asrama militer. Tentu berpengaruh pada sifat dasar GN, terkait dengan heroisme, tanggung jawab dan disiplin. Keluarga memberi moralitas dasar, serta lingkungan militer (asrama) menambahkan tentang yang salah vs benar. Maslow dalam "Hierarchy of Needs" mendekati analisa dari kebutuhan hidup seseorang untuk mengetahui level manusia tersebut. Menurutnya, manusia terendah berada pada level kebutuhan fisik. Setelah itu kebutuhan keamanan, di atasnya lagi kehidupan sosial. Lalu kebutuhan kenyamanan (penghormatan). Terakhir kebutuhan aktualisasi diri (menyangkut keagungan dan moralitas). Dalam perspektif Maslow ini, Gatot Nurmantyo, sebagai jenderal penuh. Bukan seperti beberapa jenderal yang bintang empat karena kehormatan telah mencapai tahapanlevel ke empat, yakni penghargaan. Baik penghargaan negara maupun berbagai kenyamanan hidup lainnya.Namun apa yang mengganggu Gatot Nurmantyo sehingga tidak berhenti pada kenyamanan level empat hirarki Maslow? Dalam berbagai kesempatan, GN sudah menyampaikan bahwa dia sudah berusaha menghindari politik selama hampir tiga tahun sejak pensiun. Dalam keluarga yang super mapan, ditandai dengan harta, anak-anak yang sukses, dan tidak ada beban hukum di masa lalu, selama ini GN menghabiskan waktunya mengurus cucu dan bertani. Namun, ketika menurutnya ada gejala ingin mengubah Pancasila dari kekuasan yang sedang berlangsung, khususnya sejak RUU HIP diupayakan untuk diundangkan di DPR-RI beberapa waktu lalu, GN terganggu. Menurutnya, sejak dia melakukan Sumpah Prajurit di bawah Al Quran, ketika lulus Akademi Militer, tanggung jawab mempertahankan Pancasila adalah persoalan moralitas dasar yang dia akan pertahankan hidup atau mati. Menurutnya, rencana pengubahan Pancasila yang bisa diperas menjadi Trisila dan Ekasila adalah upaya makar yang nyata. Upayayang akan membubarkan negara. Dan ini menjadi gangguan kejiwaan yang mendorong moral politiknya kembali menunjukkan tanggung jawab. Inilah penjelasan level ke lima teori Maslow. Bahwa GN harus menapaki level hirarki Maslow dengan meninggalkan kenyamanan level keempat dan tentu saja mempunyai resiko besar. Resiko tersebut telah diperhitungkan dengan sangat matang oleh GN. Perspektif Sosiologis Membaca sosok Gatot Nurmantyo dari personality theory dapat menggambarkan gelora hati dan moralitas GN tersebut. Penjelasan sosiologis akan membantu lebih dalam lagi akan hal tersebut. Ahli-ahli sosiologi dalam perspektif Durkhemian, Marxian dan interaksi Sosial menjelaskan bagaimana perjalanan individu dalam konteks sosial. Memakai Durkheim, kita melihat lingkungan militer dalam kehidupan GN seumur hidupnya membuat perspektif GN melihat situasi terikat pada lingkungan itu. Gatot misalnya, secara tegas meyakini bahwa Komunis dan Komunisme adalah ancaman sentral di Indonesia. Hal ini sesuai dengan realitas lingkungan militer yang melihat Komunis sebagai ideologi paling berbahaya. Khususnya ketika pada tahun 1965, banyak jenderal yang dibunuh Komunis kala itu. GN berbeda dengan pemerintah ketika rezim Jokowi melakukan berbagai deislamisasi. Baik secara keras dengan kriminalisasi ulama, maupun propaganda media, Gatot malah berkali-kali membuat langkah berlawanan. Misalnya dengan mengundang Ustad Abdul Somad ke Markas TNI, mengadakan pengajian 1.000 hafiz dan hafizah di Mabes TNI. Melakukan nonton bareng film anti Komunis (G/30S PKI). Gatot bukan saja memperlihatkan kedekatannya pada ulama.Namun GN juga meyakini bahwa Indonesia ini hanya akan aman dan besar kalau NU dan Muhammadiyah bersatu. Lalu bagaimana melihat oligarki alias penguasaan asset-asset negara di tangan cukong-cukong? Menariknya, dalam pidato GN di Tugu Proklamasi, dia mengutuk oligarki ekonomi yang berlindung "dibalik" ketiak konstitusi. Gatot malah menginginkan sila kelima Pancasila tentang keadilan sosial dijalankan dengan sungguh -sungguh. Disini, analisa Durkhemian yang strukturalis harus digeser pada teori interaksi sosial, dimana struktur dan agen sama kuatnya berpengaruh. Sebagai agen (tokoh), GN mempunyai "free will" dalam hidupnya, di mana dia bermaksud mengubah struktur atau lingkungan atau sistem. Disini pertanyaan Jumhur Hidayat terjawab, bahwa meskipun GN hidup sepenuhnya dalam lingkungan militer, namun dia ingin demokrasi tak dipermainkan. GN marah dengan demokrasi yang dipermainkan itu. Dia meninggalkan kenyamanannya sebagai orang sukses. Mau berdemonstrasi, dengan resiko. Penutup Mengapa Gatot Nurmantyo mau ikut demo kemarin di Gedung Sate? Bukankah dia mantan Jenderal bintang empat asli? Bukan seperti banyak bintang empat kehormatan? Mantan Panglima TNI yang hidupnya nyaman? Apakah dia "post power syndrome"? Menurut teori kepribadian dan sosiologi yang saya jelaskan di atas, GN memang telah meninggalkan kenyamannannya sebagai orang terhormat pada level Self Esteem yang disebut Maslow of Hierarchy of Needs. Moralitas GN terganggu dengan adanya rencana mengubah Pancasila, sebagaimana yang sedang diupayakan pada RUU Pancasila beberapa bulan lalu. Sebagai prajurit dan anak prajurit yang besar dalam asrama militer, GN mempunya "super ego" yang sensitif atas isu Pancasila tersebut. Selain isu Pancasila sebagai utama, akhirnya merembet pada isu-isu lainnya yang terkait dengan degradasi negara dan bangsa yang menuju kehancuran. Ini ditandai dengan isu-isu deislamisasi, oligarki dan kesalahan penanganan pandemi Covid-19. Dalam orasi politiknya, sebagai demonstran, GN telah menyatakan siap mati atau ditangkap rezim ini. Sikap itu, jika upaya politik moral yang dia jalankan untuk mengkoreksi kehidupan berbangsa dan bernegara direspon sebagai kejahatan. Namun, essai yang saya tulis ini sesungguhnya kembali untuk menjawab pertanyaan Mohammad Jumhur Hidayat. Mantan tokoh aktifis ITB legendaris yang ditangkap militer di masa Orde Baru, yang bertanya pada saya, “kenapa seorang Jenderal mau ikutan demo”? Mungkin Jumhur cemburu, bahwa ada sosok (eks) militer yang juga mau demonstrasi. Bukan lagi hanya kaum buruh atau mahasiswa atau anak STM. Cemburu karena ada manusia yang mau meninggalkan semua kemewahan menjadi seorang demonstran, demi menyelamatkan negara ini. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.

Puan Perjelas Ungkapan Kampong “Maling Teriak Maling"

by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Selasa (08/09). Aku bukan Urang Minang. Aku Batak. Aku Sitanggang. Tapi aku benar-benar terusik (bisa juga dibilang marah) dengan ucapan Puan Maharani yang mengesankan bahwa orang Sumatera Barat (Sumbar) selama ini tidak mendukung Negara Pancasila. Bukannya aku ingin membela Urang Minang, karena tanpa kubela pun, setiap anak SD yang belajar sejarah pasti tahu kalau Urang Minang itu berjasa besar dalam mendirikan NKRI. Marahku tak lebih karena Puan Maharani adalah seorang Ketua PDIP. Seorang Ketua PDIP “menuduh” orang lain tidak mendukung negara Pancasila? Buat aku itu sebuah keanehan, kalau tidak dibilang sebagai kejahatan. Ada sesuatu atau maksud tertentu yang ingin disembunyikan dibalik “tuduhan” penghinaan tersebut. Partai Puan Maharani sekarang memang sedang menghadapi guncangan keras. Ini berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diusulkan oleh partai berlambang kepala kerbau itu. Masyarakat yang setia pada Pancasila di seluruh tanah air marah, menolak dan menuntut para penyusun naskah akademik dan pengusul RUU HIP supaya diusut secara hukum. Masrarakat mesti marah. Masalahnya RUU HIP tersebut, jelas-jelas ingin menggantikan falsafah Pancasila yang sah, yakni Pancasila 18 Agustus 1945 yang diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dengan Pancasila yang tidak ada dasar hukumnya, yaitu Pancasila 1 Juni 1945 yang merupakan ideologi PDIP. Ini makar yang nyata terhadap falsafah negara, tapi berselubung konstitusi. Apakah Puan ingin menghilangkan jejak partainya, yang tertuduh tidak mendukung Pancasila yang sah? Dengan melontarkan ungkapan “semoga Sumbar menjadi propinsi yang mendukung negara Panacasila”. Entahlah, tetapi di kampung-kampung memang populer istilah “maling teriak maling". Itu efektif untuk menyelamatkan seorang maling dari tuduhan “maling”. Setidaknya untuk sementara waktu. Di tahun 2017, tepatnya 18 Agustus 2017, di hadapan Anggota Komisi A DPRD Sumut, Syamsul Qodri (PKS) dan Brilian Muchtar (PDIP), aku mengatakan, “kalau nanti saya berkuasa, yang pertama saya bubarkan adalah PDIP”. Saat itu aku mengajukan tantangan debat soal Pancasila kepada PDIP, dan itu viral ral ral ral. Tapi tak seorang pun anggota PDIP yang mau menerima tantanganku, sampai hari ini. Waktu itu, aku dan sejumlah aktivis di Sumut melakukan aksi menolak Perppu no 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dijadikan dasar bagi pemerintah untuk mencabut badan hukum Hizbut Thahrir Indonesia (HTI). Organisasi ini, dengan isu khilafahnya, dianggap menyimpang dari Pancasila. Padahal, dalam AD/ART HTI jelas tercantum azasnya adalah Pancasila. Tidak ada khilafah. Aku bukan hendak membela HTI. Bukan itu. Tetapi semata-mata kerena menyangkut masalah yang paling mendasar dalam hidup berbangsa dan bernegara. Masalah Pancasila. Jangan sampai Pancasila diseret kemana-mana, sehingga bisa digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menghabisi lawan-lawan politik seperti di masa Orla dan Orba. Negara ini akan mundur lagi dan recok terus, tak berkesudahan. Bicara soal Pancasila, dalam konteks falsafah NKRI, maka yang jadi pegangan kita adalah alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945 sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Inilah Pancasila yang sah, dan selanjutnya dalam tulisan ini digunakan istilah tersebut. Bukan yang lain. Berdasarkan Dekrit Presiden itu, “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945, dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Dalam hal ini sesuai penjelasan tertulis Perdana Mentri Djuanda kepada Ahmad Saichu (NU) dan Anwar Haryono (Masyumi), bahwa jiwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Pancasila adalah jiwa Piagam Jakarta. Dengan demikian, “Ketuhanan Yang Maha Esa” dimaknai sebagai “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (Deliar Noer : Partai Islam Di Pentas Nasional, Cet II, 2000 dan Lukman Hakirm : Biografi Mohammad Natsir, 2019). Dalam konteks ini HTI, dengan isu khilafahnya, masih punya landasan hukum, masih sesuai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Khilafah masih ada dalam koridor sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Sebaliknya PDIP, jauh lebih layak dibubarkan ketimbang HTI. Sebab, pidato Megawati pada HUT ke-44 PDIP, 10 Januari 2017, PDIP adalah partai ideologis dengan ideologi Pancasila 1 Juni 1945. Malah, berkaitan dengan ditetapkannya 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila, Megawati mengatakan, “maka segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945”. Jelas sakit ini barang. Jiwa dan semangat nilai-nila Pancasila 1 Juni 1945 yang dimaksud adalah “Trisila dan Ekasila”. Pada Trisila, ketuhanan berada dalam kerangkeng kebudayaan. Beragamalah sesuai dengan kebudayaan dan keberadaban. Sementara pada Ekasila ketuhanan tidak dipersoalkan lagi, yang penting “gotong royang”. Tentu ini bukan lagi sekedar, namun jauh bertentangan dengan Pancasila yang sah. Bermaksud hendak mengganti isi Pancasila yang sah. Lebih lanjut Megawati, dalam pidatonya, ingin menggunakan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai alat “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” (istilah Megawati) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini akan sangat berbahaya. Sebab, sudah pasti banyak hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini yang akan out of frame. Sifat akomodatif Pancasila yang sah jauh lebih luas dari pada Pancasila 1 Juni 1945. Fenomena ini dapat diibaratkan sebagai upaya memotret permukaan bumi dengan dua kamera yang berbeda. Pancasila yang sah ibarat kamera satelit, mampu memotret 34225 km persegi. Pancasila 1 Juni 1945 adalah kamera pesawat terbang, hanya mampu memotret seluas 25 km persegi. Jadinya, hanya sebahagian kecil saja dari citra satelit yang dapat dipotret oleh kamera pesawat terbang. Artinya, banyak persoalan kehidupan berbangsa yang ada (terakomodir) dalam frame Pancasila yang sah tanggal 18 Agustus 1945. Tetapi tidak masuk dalam frame Pancasila 1 Juni 1945. Itulah sebabnya mengapa Megawati dalam pidatonya, secara sinis, menyebut orang yang percaya kehidupan akhirat sebagai “self fulfilling prophecy” (peramal masa depan, termasuk kehidupan setelah dunia fana). Mereka yang membela kehormatan agamanya, atau memilih pemimpin berdasarkan perintah agamanya sebagai memaksakan kehendak. Anti demokrasi dan anti kebhinekaan. Pernyataan Megawati itu karena memang, semua tidak masuk dalam frame “kamera” Pancasila 1 Juni 1945, yaitu kamera Trisila, dan apalagi Ekasila. Padahal, ada dalam frame Pancasila yang sah. Maka, Pancasila 1 Juni 1945 sebagai pendeteksi sekaligus tameng proteksi kehidupan berbangsa akan menjadi sumber keributan yang tidak berujung. Boleh jadi, HTI adalah korban dari itu. Makanya ketika itu, aku berpendapat PDIP lebih layak untuk dibubarkan. PDIP nampaknya konsisten dengan tekad kuat Megawati sebagaimana yang dipidatokan pada HUT PDIP ke-44 itu. Periksalah AD/ART PDIP 2019-2024 Bab II Pasal lima. Di situ disebutkan, “Partai berasaskan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan jiwa dan semangat kelahirannya pada 1 Juni 1945.” Kemudian di dalam Mukaddimah AD dan ART disebutkan, “PDI Perjuangan memahami Partai sebagai alat perjuangan untuk membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Partai juga sebagai alat perjuangan untuk melahirkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ber-Ketuhanan, memiliki semangat sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi (TRI SILA), serta alat perjuangan untuk menentang segala bentuk individualisme dan untuk menghidupkan jiwa dan semangat gotong-royong dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (EKA SILA)”. Jelas kan? Harus diakui, PDIP cukup berhasil. Begitu meraih kemenangan dalam pemilu, dan kemudian berkuasa di 2014, PDIP mampu mendorong presiden untuk menerbitkan Keppres Nomor 24 tahun 2016 tentang hari lahirnya Pancasila. Keppres ini telah pula dimanfaatkan sebagai landasan menyusun Naskah Akademik dan RUU HIP, seolah dengan Keppres ini, Pancasila 1 Juni adalah Pancasila yang sah berlaku. Selanjutnya terbit pula Perpres Nomor 54 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Kemudian berganti nama menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Badan ini berpotensi menjadi alat penguasa penafsir tunggal Pancasila. Salah satu tafsirnya yang menggungcang adalah –melalui Kepalanya Yudian Wahyudi, bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Yudian Wahyudi tampaknya sudah menjalankan isi pidato Megawati untuk menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 (entah Trisila atau Ekasila) sebagai “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” dalam kehidupan beragama. Kemudian lahir RUU HIP yang secara fundamental ingin menggusur Pancasila yang sah sebagaimana telah dijelaskan di atas, diganti dengan Pancasila 1 Juni 1945. Terakhir, lahir RUU BPIP yang secara sah akan memiliki kekuatan hukum untuk menjadi penafsir tunggal Pancasila sesuai kehendak penguasa. Antara RUU HIP dan RUU BPIP itu satu paket, searah dengan kehendak Megawati yang diutarakannya dalam pidato 44 tahu PDIP. Bahwa “segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945”. Itulah sebabnya mengapa BPIP tidak berkomementar sedikit pun terhadap upaya penggantian Pancasila yang sah melalui RUU HIP. Jika RUU HIP dan RUU BIP berhasil diundangkan, maka selesailah sudah proyek “revolusi mental” membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Beragamalah secara berkebudayaan. Bukan dengan panduan wahyu. Bergotong royonglah tanpa memikirkan lagi soal Tuhan. Menteri Agama, Fachrul Razi, pun sudah mulai menerapkan kebijakan itu di lingkup apa saja yang beraroma Islam. Dengan isu menangkal faham radikal, ia sedang gencar menjalankan deislamisasi. Penolakan massif rakyat terhadap langkah-langkah PDIP, bahkan serangan gencar terhadap partai kepala kerbau itu, jelas sangat merisaukan para pemimpinnya. Maka, sekali lagi, apakah Puan ingin menghilangkan jejak partainya? Yang tertuduh tidak mendukung Pancasila yang sah? Dengan melontarkan ungkapan “semoga Sumbar menjadi propinsi yang mendukung negara Panacasila”, Puan sedang mempraktekan ungkapan kurang ielok orang kampong “maling teriak maling”. Itu mungkinsaja. Sebab mustahil Puan tidak tahu bahwa Bung Hatta itu orang Minang. Jadi, diduga kuat ada maksud lain dari “serangan” Puan itu. Yang pasti, “serangan” Puan telah membuat Urang Minang sibuk sekuat tenaga membuktikan bahwa mereka adalah Pancasilais sejati. Nanti, endingnya, dapat diperidiksi, apakah Puan Maharani atau PDIP (minta maaf) mengakui Urang Minang Pancasilais. Pengakuan ini adalah “sertifikat”. Bayangkan, kalau PDIP memberi sertifikat Pancasila kepada anak bangsa. Artinya apa ? Tampaknya Puan sedang memainkan dialektika yang luar biasa. Memang, dulu, ketika aku masih hobi catur, guruku berkata, “menyerang adalah cara bertahan yang baik”. Maka, hati-hatilah, jangan lupa RUU HIP dan RUU BIP. Walahu ‘Alam bisshawab. Penulis adalah Ketua #Masyumi Reborn.

Democracy For Sale

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Jumat 04 September 2020 beredar luas berita di berbagai media kalau, “Parpol Pendukung Berbelok. Akibatnya, Pasha Ungu Terancam Gagal Maju Jadi Cawagub Sulteng”. Hari itu juga melalui WhatsApp terkirim foto Pasha Ungu bersama Adhyaksa Dault mantan Menteri Pemuda Olah Raga era SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) 2004 – 2009. “Sudah pasti bang Pasha Ungu gagal maju” kata Adhyaksa dalam percakapan tilpon dengan saya. Semalam Pasha Ungu bertandang ke rumah mantan Ketua Kwartir Nasional Pramuka itu. Tentu banyak yang dibicarakan di rumah Adhiyaksa. Mengiringi kegagalan Pasha, bermunculan meme sindiran di sosial media “Pasha Korban Begal Politik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), begal artinya penyamun atau merampas di tengah jalan. Tidak mengherankan jika banyak pengamat maupun aktivis demokratis menunjuk Pasal 222 UU pemilu No. 7 Tahun 2017 sebagai biang kerok pembegalan nasional. Pasal 222 itu mensyaratkan parpol pengusung capres/cawapres kudu memenuhi perolehan kursi minimal 20 persen di parlemen yang disebut PR (Presidential Threshold) hasil Pemilu 2019. Sebuah persekongkolan jahat yang memungkin hanya dua pasangan calon presiden yang dapat maju bertarung. Dengan kata lain peluang figur yang kompeten dan bersih telah dibegal secara sistemik oleh elite politik. Ketatnya persaingan mengumpulkan suara sebanyak itu memaksa terbukanya jalan transaksional antar partai politik yang menguatkan praktik jual – beli suara. Harold Dwight Lasswell, ilmuwan politik terkemuka Amerika Serikat dan seorang pencetus teori komunikasi (lahir 13 Februari 1902) menyebutkan, proses politik sebagai konflik atas definisi dan distribusi nilai-nilai sosial dan sudah merumuskan kalimat terkenal "Politik adalah studi tentang siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana" ( Politics: Who Gets What, When, How). Buku dengan nama yang sama, diterbitkan pada tahun 1936, meringkas gagasan utama dari "Politik Dunia dan Ketidakamanan Pribadi". Lasswell mendefinisikan, “politik ini telah merangkum perilaku politik di seluruh dunia. Dengan politisi didorong oleh posisi politik, distribusi sumber daya, dan bersaing dengan pesaing mereka. Kenyataan ini telah menyebabkan banyak sikap apatis politik di seluruh dunia. Bersama korporatisasi negara, dengan kepentingan terselubung yang menembus sistem politik dan memiliki suara besar atas perumusan kebijakan dan undang-undang”. Menarik membaca buku “Democracy for Sale” (Demokrasi Untuk Dijual), ditulis oleh Ward Berenschot, Peneliti Koninklijk Institiuut Vor Taal – Land en Volkenkunde (KITLV) bersama Edward Aspinall, Profesor pada Departemen Perubahan Politik dan Sosial, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University. Secara garis besar, buku ini menggambarkan politik dan demokrasi di Indonesia dalam ruang informal. Pemfokusan pada ruang informal sengaja diambil karena jarangnya studi yang menelaah kondisi politik Indonesia pada ruang informal. Dalam buku yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Yogyakarta (2019) sang peneliti menulis, “Seringkali orang kalau bicara politik Indonesia, mereka bicara soal politik formal. Yang dibicarakan adalah pidato calon atau strategi mereka di media massa. Maka, kita bicara apa yang ada di belakang politik formal, seperti jaringan calon, masalah uang, dan politik transaksional,” jelas Ward pada acara bedah buku di Gedung Widya Graha Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gatot Subroto, Jakarta Selatan,10 April setahun lalu. Secara terang – terangan Ward mengatakan, dirinya menemukan tiga praktik yang khas dalam politik informal Indonesia. Pertama, politik transaksional yang salah satu kategorinya adalah jual beli suara. Ward menganalisis, jual beli suara yang dilakukan pada pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia tak hanya dilakukan melalui jaringan partai, melainkan juga oleh orang-orang yang merupakan bagian dari jaringan calon. Praktik ini tak ditemukan di India dan Argentina. Sebab jual beli suara di kedua negara tersebut hanya dilakukan melalui jaringan partai politik. Kekhasan kedua, yakni adanya tim sukses. Cerita mengenai tim sukses dan broker politik tak akan ditemukan pada politik India dan Argentina, sebab kampanye calon dilakukan oleh jaringan partai politik. Kekhasan ketiga, yaitu broker politik. Para kandidat di Indonesia membentuk jaringan broker politik mulai dari tingkat nasional hingga rukun tetangga. Jaringan inilah yang dimanfaatkan oleh kandidat untuk melakukan politik uang sebagai cara menjalin hubungan dan meraup dukungan dari masyarakat. Broker politik, barang asing bagi India dan Argentina, kata Ward, “sebabnya, partai politik di India dan Argentina yang memiliki akses terhadap sumber daya negara telah menjalin hubungan dengan masyarakat setempat. Masyarakat India dan Argentina mendatangi kantor partai politik untuk mengurus berbagai hak atas pelayanan publik. “Kalau anda mengunjungi kantor partai politik di daerah (Indonesia), sepi. Tidak ada banyak orang. Kenapa sepi? Karena di Indonesia, kalau anda mau mengurus pelayanan publik, seperti mengurus kamar rumah sakit, orang tidak datang ke partai politik, tetapi ke institusi negara seperti Pak RT, Pak RW, Pak Lurah dan Pak Camat. Jadi, semua akses terhadap kekayaan negara, itu lewat aparatur negara. Tapi kalau di India dan Argentina tidak begitu. Di sana, partai politik juga menguasai kekayaaan negara sehingga masyarakat mendekati partai politik,” urai Ward. Berbicara situasi dan kondisi perpolitikan hari ini di Indonesia, sungguh banyak narasi negatif yang mengotori udara demokrasi. Demokrasi hanya menjadi pajangan dan pemanis konstitusi. Demokrasi telah dibegal kekuatan hitam kuasa politik gelap. Dalam banyak kajian, sejumlah pakar menyebutkan, sejak era reformasi, demokrasi telah diambil alih para pembegal yang sejatinya adalah para kapitalis bersekutu dengan politisi pemburu rente yang menafikan dimensi moralitas. Menonjolnya praktik begal politik menjelang Pilkada serentak akhir 2020, sejatinya itu hanya bentuk repetitif rusaknya pondasi politik yang dibalut dengan jubah sarana berbasis moralitas. Demokrasi telah terjebak di dalam lingkaran setan daerah tak bertuan (terra in cognito). Para pembegal formal dan legal itu, bebas menetukan hitam putihnya regulasi sesuai kepentingan perkuatan kekuasaan politik dan perluasan wilayah kerajaan bisnis mereka. Dalam kenyataannya jalan demokrasi yang meniscayakan kehadiran partai politik sebagai penyalur aspirasi tetap saja jauh panggang dari api. Partai politik bermutasi menjadi hantu kejahatan koruptif yang begitu perkasa. Terlegitimasi lewat sakralisasi pemilihan umum yang diagung-agungkan sebagai panggung politik tertinggi daulat rakyat. Kekacauan perundang-undangan yang diproduksi eksekutif dan legislator sejak era reformasi ditandai banyaknya langkah Judicial Review (JR) atau uji materi yang dilakukan tokoh masyarakat sipil di Mahkamah Konstitusi (MK). Konsistensi hakim MK dipertanyakan. Mereka baru saja menerima “bonus” dari wakil rakyat. DPR mengesahkan UU Mahkamah Konstitusi yang baru pada rapat paripurna, Selasa (01/09/20). Masa jabatan hakim bisa sampai 15 tahun. Ada hakim MK saat ini yang bisa menjabat hingga 2034. Ada perpanjangan masa usia menjadi 70 tahun sebagai hakim MK. Rizal Ramli ekonom papan atas Indonesia dan aktivis demokratis tak kenal lelah menjadi salah seorang yang kini melakukan JR menggugat pasal 222 UU No.7/2017 itu. Rizal Ramli menyebutnya sebagai “Demokrasi Kriminal”. Pembegalan politik nampaknya terjadi di semua lembaga publik yang seharusnya melindungi kepentingan publik. Beberapa teman aktivis senior kembali mengirim pesan lewat group WhatsApp. “Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi gangguan pandemi lain yang bernama “Begal Politik” itu. Saya hanya terdiam. Membisu. Memandangi plafond yang serasa berputar mengejek kebisuan saya. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Membedah Dan Memetik Buah Amandemen UUD 1945 (Bagian-3)

by Mayjen TNI (Purn) Prijanto Jakarta FNN – Senin (07/09). Pembatasan. Untuk membedakan dan mempermudah dalam artikel berseri ini, hasil amandemen UUD 1945, kita sebut dengan UUD 2002. Baca membedah dan memetik buah amandemen UUD 1945 (2), “Generasi Muda Anton Permana cs Turun Gunung” (Google). Setelah Veteran Komisi Konstitusi Prof. Dr. Tjipta Lesmana, Prof. Dr. Maria Farida Indrati dan Dr. Laode Ida, dan dilanjutkan dengan Generasi Muda Anton Permana cs bicara dalam Webinar Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI)-Panji Masyarakat, pada 18/8/2020, tak ketinggalan senior pejuang ikut bicara. Apa kata mereka? Irjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruky, Mantan Ketua KPK. Untuk mengetahui situasi MPR waktu amandemen, sebelum Webinar, moderator minta gambaran kepada Irjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruky, yang ketika itu anggota MPR. Tersiar kabar bahwa perubahan pasal-pasal itu tidak didukung dokumen kajian dan tahapan sosialisasi. Benarkah ? Irjen Pol Ruky memberikan penjelasan, ketika perubahan pertama, dirinya masih anggota BP MPR RI. Secara diplomatis menjawab, seingat saya tidak ada seminar atau diskusi ilmiah untuk membahas dan mengkaji pasal yang diubah dengan pendekatan keilmuan. Apalagi pendekatan dengan ideologi Pancasila. Justru pada perubahan pertama, sudah muncul keinginan mengubah Pasal 29. Dengan menambah tujuh kata. Dari titik inilah amandemen “liar” bermunculan, termasuk perubahan Pasal 6, Pasal 33. Langkah ini diikuti dengan peniadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Situasi pada perubahan pertama sudah nampak. Adanya perbedaan pandang golongan nasionalis dengan golongan Islam. Golkar sepertinya tidak punya pegangan dan Fraksi ABRI membeku. Perubahan berikutnya tidak tahu persis, karena tahun 2000 sudah ke Polkam, kata Ruky menutup penjelasannya. Penjelasan Irjen Pol Taufiqurachman Ruky, dikuatkan pengakuan Dr. J. Sahetapy yang videonya viral di medsos. Dengan bangganya Sahetapy mengatakan dia satu-satunya orang yang usul dihilangkannya syarat Presiden orang Indonesia asli. Pertanyaanya, adakah kajiannya? Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, Lulusan Akademi Militer Yogyakarta 1948. Sebagai lulusan terbaik Akademi Militer Yogya, di usia 93 tahun, pengabdian Letjen Sayidiman kepada negara tiada putus. Pengalaman sebagai Wakasad, Gebernur Lemhannas, Dubes di Jepang dan Dubes Keliling untuk Wilayah Afrika, jelas memberikan ketajaman pengamatan atas situasi yang berkembang saat ini. Dikatakannya, ada indikasi campur tangan asing dalam amandemen UUD 1945, yakni National Democratic Institute (NDI). Sinyalemen ini seperti di artikel “Ada Campur Tangan Asing Dalam Amandemen UUD 1945”. (google). Jenderal Sayidiman memberikan dorongan, agar Indonesia di usia 100 tahun bisa menjadi negara yang kuat, maju, adil dan makmur. Untuk itu, diperlukan sikap dan sifat kepemimpinan bangsa Indonesia yang jujur dan tidak menjadi pengkhianat. Terkait konstitusi, juga tidak kalah penting. Diperlukan kaji ulang terhadap UUD 2002. Apabila hasil kaji ulang ternyata UUD 2002 membuahkan pecahnya persatuan Indonesia dan pemiskinan rakyatnya, maka perlu kita kembali ke UUD 1945. Selanjutnya, dalam menyongsong masa depan perlu penyempurnaan UUD 1945. Harus dilakukan secara adendum, kata Jenderal Sayidiman diakhir pendapatnya. Prof. Dr. Sofian Effendi, Ketua Forum Rektor Indonesia 2006-2007, Ketua Komisi Aparat Sipil Negara (ASN). Di awal pembicaraan, Prof. Sofian menunjukkan buku yang ditulis Prof. Donald D. Horowitz : “Constitutional Change and Democracy in Indonesia”. Dikatakannya, dalam buku itu menunjukkan betapa besar keterlibatan National Democratic Institute (NDI) dalam proses amandemen atau lebih pasnya penggantian UUD 1945. NDI menyusun pasal-pasal perubahan UUD 1945, yang diserahkan ke Panitia ad Hoc MPR yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar. NDI dapat tempat di Sekretariat MPR, dan mendapat kucuran dana dari pemerintah Amerika melalui Secretary of State America, Madeleine Albright, tutur Prof. Sofian. Dalam penelusurannya di surat kabar New York Times, tahun 1998, Prof Sofian menemui lima artikel yang menguatkan isi buku Donald Horowitz. Artinya, keterlibatan NDI menjatuhkan Presiden Soeharto dan mengganti sistem pemerintahan Indonesia. Isi buku Horowitz dan lima artikel di New York Times, tahun 1998, sebagai bukti empirisnya. Pembukaan UUD 1945 berisi “philosphische grondslag” tidak diubah. Pertanyaan kritisnya, apakah pasal-pasal perubahan sesuai dengan nilai-nilai “philosopische grondslag” Pancasila? Kalau sudah menyimpang jauh dari ruhnya, maka UUD 2002 tidak layak disebut UUD 1945. Apabila saat ini sistem pemerintahan dan sistem ekonomi kacau, itu semua akibat UUD 2002. Artinya, tujuan mereka atau asing mengganti sistem pemerintahan Indonesia berhasil, kata Prof. Sofian menutup pembicaraannya. Dubes Nurrachman Oerip, Duta Besar RI untuk Kerajaan Kamboja (2004-2007). Melihat jabatannya, Dubes Nurrachman tidak bisa lepas urusan luar negeri. Sebelum Dubes di Kamboja, Kepala Bidang Politik Perutusan RI untuk Masyarakat Eropa dan Wakil Kepala Perwakilan RI di Rusia. Karena itulah, melihat proses amandemen UUD 1945, juga tidak lepas dari perspektif hubungan internasional. Tumbangnya Orde Lama, mengandaskan konsep Tri Sakti Bung Karno. Ambruknya Orde Baru, telah merombak “sistem sendiri pemerintahan Indonesia” melalui amandemen UUD 1945. Menurut Nurrachman, dalam upaya mencapai tujuan nasional, UUD 2002 lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Itu semua tidak lepas dari pertarungan kepentingan politik global. Dubes Nurrahman mencermati isi buku Donald D. Horowitz : “Constitutional Change and Democracy in Indonesia” terbitan Cambridge University Press, 2013. Dikatakannya ada indikasi intervensi kekuatan asing, yakni LSM Amerika, National Democratic Institute (NDI), yang berkolaborasi dengan LSM lokal dalam amandemen UUD 1945. Keikutcampuran asing dalam amandemen UUD 1945 dikuatkan artikel Tim Weiner pada surat kabar “New York Times, 20 Mei 1998” : “Unrest in Indonesia : The Opposition; U.S. Has Spent $ 26 Million since ’95 on Soeharto Oppenents”. Dalam artikel ini tampak keterlibatan United State Agency for International Development (USAID), kata Nurrachman menutup pendapatnya. Menyimak artikel seri-1, seri-2 dan seri-3 ini, dapat ditarik kesimpulan : (1) Pasal-pasal perubahan UUD 1945 tidak koheren dengan nilai-nilai falsafah bangsa, Pancasila. (2) Buah amandemen tidak terasa manis. UUD 2002 banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. (3) Ada indikasi kuat keterlibatan asing, berkolaborasi dengan LSM lokal. Penulis, sebagai moderator, menutup dengan menyampaikan pendapat : “Undang Undang Dasar yang buruk, jauh dari nilai-nilai falsafah bangsanya, akan menghancurkan bangsa dan negaranya”. Semoga hasil Webinar pada peringatan Hari Konstitusi Indonesia, 18/8/2020 yang diselenggarakan Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) – Panji Masyarakat bermanfaat. Amin. (selesai). Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Karena Puan Setitik, Rusak Suara Se-Minang Raya

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Senin (07/09). Nasib PDIP di Sumatera Barat sungguh tragis. Partai Moncong Putih itu bak penyakit menular yang harus dihindari. Tak cukup hanya mengenakan masker. Apapun bentuknya, hubungan, afiliasi, bahkan hanya “bau-bau” PDIP harus dijauhi. Cut off. Tak ada hubungan apapun! PKB yang semula bersama PDIP mendukung pasangan Mulyadi-Ali Mukhni mengambil langkah seribu. Mereka mencabut dukungan dan mengalihkan ke pasangan cagub yang lain. PKB tak mau tertular virus. Terkena penyakit menular bernama PDIP. Risikonya berat dan tidak sebanding. Paling dramatis justru langkah yang diambil oleh Mulyadi-Ali Mukhni. Tanpa ba-bi-bu, mereka mengembalikan mandat PDIP. Jadilah pasangan ini tinggal diusung oleh Partai Demokrat dan PAN. Meninggalkan PDIP sepi sendiri. Tak ada pilihan lain bagi PDIP. Menarik diri dari gelanggang perebutan kursi gubernur-wagub. Tak ada cagub, dan partai politik yang mau dekat, apalagi bersekutu dengan PDIP. Untuk mengusung calon sendiri, tidak mungkin. Kursi PDIP di DPRD Sumbar hanya seuprit. Tiga kursi tidak memenuhi syarat. “Melihat dinamika seperti ini, kita tidak lagi ikut Pilgub. Kita tidak mengusung siapa-siapa lagi,” kata Ketua DPD PDIP Sumbar Alex Indra Lukman. Keputusan teramat sulit yang harus diambil oleh pimpinan daerah PDIP. Semua gegara ucapan Puan Maharani. Putri Mahkota PDIP itu dinilai melecehkan karena pernyataannya sangat jelas terkesan mempertanyakan dukungan warga Sumbar terhadap Pancasila. Puan pasti tidak pernah mengira bila ucapannya itu berdampak begitu besar. Menjadi kado pahit ulang tahunnya yang ke 47, Ahad (6/9). Upaya para petinggi PDIP menyodorkan fakta, bahwa Puan dari sisi darah masih keturunan Minang, tidak mungkin menghina negeri para leluhurnya, tidak bisa menghapus luka. Ibarat nasi telah menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi. Benarlah seperti dikatakan banyak orang, Puan tidak pernah membaca sejarah. Terlebih lagi, kalau benar dia masih merasa keturunan Minang, tidak tahu apa-apa tentang sumbangsih dan peran besar para ninik mamak dalam ikut mendirikan bangsa ini. Puan telah tercerabut dari akar budaya dan sejarah. Dia tak paham petatah petitih: Kato mandaki, kato Manurun. Kato malareang, kato mandata. Tata krama dalam tradisi Minang yang sangat ketat aturannya. Berpengaruh ke Bobby Nasution Kehebohan di Sumbar jangan hanya dipandang sebagai persoalan lokal. Dampaknya bisa menyebar cepat seperti bola salju. Di berbagai daerah lain yang banyak bermukim warga Minang, ucapan Puan bisa mengubah konstelasi politik. Calon-calon yang didukung PDIP dan tengah berlaga di Pilkada, bisa terkena dampaknya. Yang paling dekat adalah Bobby Nasution, menantu Presiden Jokowi tengah berlaga di Pilwakot Medan. Di Medan komunitas Minang perantauan jumlahnya cukup besar. Mereka juga memegang peran penting dalam sektor perekonomian. Bobby diusung oleh PDIP. Caranya memperoleh tiket dari partai moncong putih itu juga tak elok. Melalui lobi-lobi politik tingkat tinggi dan istana, dia menyingkirkan Plt Walikota Medan Akhyar Nasution. Akhyar dipecat dari PDIP. Dia kini menjadi calon walikota Medan diusung oleh Partai Demokrat dan PKS. Dia akan menjadi pesaing berat Bobby. Diaspora Minang di seluruh Indonesia juga tidak bisa diremehkan. Secara populasi kecil. Namun mereka sangat solid. Dampak lain dari ucapan Puan yang sangat serius adalah mempertajam pembelahan di tengah masyarakat. Sangat jelas Puan mempertontonkan sikap merasa paling Pancasilais. Di luar pendukung PDIP, dinilainya tidak Pancasilais. Sebuah cara pandang yang sangat berbahaya dan tengah dipertontonkan oleh rezim dan para pendukungnya. Ucapan Puan menunjukkan trah Soekarno dan PDIP, merasa diri mereka satu-satunya pewaris sah negeri ini. Satu-satu-satunya yang bernasab sambung kepada pencetus Pancasila. Hal itu dipertegas dengan peresmian Hari Lahir Pancasila 1 Juni oleh Presiden Jokowi. Padahal sejarah mencatat secara resmi, Pancasila lahir pada tanggal 18 Agustus 1945. Saat para perumus di BPUPKI mensahkannya sebagai dasar negara Indonesia yang merdeka. Tidak berhenti sampai disitu. Melalui Fraksi PDIP di DPR RI mereka mengusulkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Dalam RUU tersebut mereka memasukkan formula Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Persis sebagai mana usulan Soekarno pada sidang pertama BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Pandangan dan cara berpolitik semacam ini sangat berbahaya. Mereka mencoba menegasikan peran kekuatan politik dan kelompok yang berseberangan, dengan stigma anti Pancasila. Seakan hanya keluarga Soekarno dan para pendukungnya yang paling Pancasilais. Merekalah bangsa pilihan Tuhan di republik ini. Selain mereka, bukan penganut dan pengikut Pancasila. Dalam konteks politik semacam inilah mengapa reaksi dari warga Minang mendapat dukungan begitu luas. Bukan hanya dari mereka yang berasal dari Minang. Tapi juga mereka yang merasa disingkirkan dengan stigma: anti Pancasila, radikal, dan intoleran. Miri-mirip seperti bunyi pepatah: Karena Puan setitik, rusak suara se-Minang Raya……End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

KAMI Gerakan Moral, Dihalangi “Gerakan Tidak Bermoral”

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (07/09). Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) memang fenomenal. Sambutan masyarakat luas cukup besar. Dukungan juga sangat luar biasa. Mungkin karena menaruh harapan ada gerakan moral yang diusung oleh KAMI. Situasi politik, ekonomi, budaya hingga ideologi yang sedang bergoyang-goyang mungkin sekali segara goyah. Penegakan hukum juga amburadul. Makelar Kasus (Markus) bermunculan di kantor-kantor yang menjadi simbol penegakan hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Terakhir asus Joko Tjandra sebagai contoh paling telanjang. Hukum hanya tajam ke bawah, dan tumpul ke atas. Masyarakat khawatir terhadap resesi ekonomi, budaya atau politik di kalangan penyelenggara negara. Baik itu yang di Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Teta kelola negara kacau-balau, matiran dan amburadul. Baca tulisan Margarito Kamis, “Politik Setan Dalam Pembentukan UU” (FNN.co. edisi 06/09). Untuk itu, harus ada koreksi kepada penyelenggara negara. KAMI yang mau deklarasi di Jawa Barat ternyata tidak mudah. Rencana akan dilaksanakan deklarasi di Gedung Bikasoga sudah "clear". Tapi entah tekanan dari mana "ujug-ujug" melakukan pembatalan sepihak. Begitu juga dengan pemindahan ke Hotel Grand Pasundan, pada H-1 tiba tiba juga dibatalkan sepihak dengan alasan adanya Surat Satgas Covid 19 Provinsi Jawa Barat. KAMI Jawa Barat mempertimbangkan untuk melakukan tuntutan hukum. Rupanya ada hambatan dan penghalangan dari pelaksanaan asas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Polanya mempersulit kegiatan yang dinilai tidak sejalan dengan pandangan dan kebijakan Pemerintah. Demo-demo murahan juga dimunculkan. Covid 19 selalu menjadi alasan bahkan tunggangan dari kepentingan. KAMI sebagai gerakan moral tidak boleh menyerah. Kebenaran dan keadilan harus terus diperjuangkan walaupun menghadapi seribu kesulitan. Tekanan politik biasa dilakukan oleh penguasa yang takut terusik akan kemapanannya. Penguasa yang mengalami sindroma berat penyakit takut diturunkan dari singgasana. Menghantui siang dan malam. KAMI sebagai Gerekan Moral dipastikan bakal dihalang-halangi oleh “Gerakan Yang Tidak Bermoral”. KAMI di daerah-daerah terus bermunculan. Tumbuh sebagai kekuatan yang ingin meluruskan arah kiblat berbangsa dan bernegara. Buzzer, influencer, maupun "covider" (mereka yang menunggangi pandemi covid) boleh berusaha untuk mengotak-atik dan melemahkan. Sayangnya, dimana dan kapanpun gerakan moral itu sulit untuk ditangkal. Karena suara langit yang ikut menggemakan. KAMI memang dipersulit, tetapi tidak akan lari terbirit-birit. Apalagi hanya didasarkan pada alasan covid. Walaupun protokol sudah dinyatakan siap dijalankan dengan tertib. Masih saja dicari-cari alasan untuk mempersempit. Makin dipersulit, makan betrsemangat KAMI. KAMI berjuang untuk agama, bangsa, dan negara bukan untuk menduduki kursi kekuasaan. Bukan pula untuk menjatuhkan siapapun. Meski kursi kekuasaan yang diduduki itu semakin lapuk atau tak terawat. Keyakinan KAMI adalah penguasa itu akan jatuh disebabkan oleh perbuatannya sendiri, oleh kebodohannya sendiri, dan oleh penghianatannya sendiri kepada rakyat. Sekali lagi KAMI memang terpisah dari KAMU. Apalagi KALIAN yang bukan saja beda nama, tetapi beda haluan perjuangan. KAMI Jawa Barat yang dizalimi tidak dendam pada siapapun. Tetapi secara ksatria mengajak untuk bertarung gagasan, konsep, maupun program dengan siapapun. Mari beradu gagasan, konsep dan program untuk menyelamatkan Indonesia. Marilah kita memulai langkah itu dengan berkoalisi dalam aksi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Narasi Islamphobia, Instrumen Pemecah Belah Bangsa

by Anton Permana Jakarta FNN – Senin (07/09). Berhentilah menuduhkan hal yang sangat tidak baik kepada ummat Islam Indonesia. Apalagi dengan narasi basi seperti isu radikalisme, khilafah, dan intoleransi. Tak ada gunanya. Hasilnya pasti akan mengecewakan. Lambat laun, ummat Islam akhirnya tahu juga ada apa dibalik semua narasi itu. Semua tak lain hanyalah agenda Islamphobia. Agenda membangun kebencian dan ketakutan terhadap agama Islam. Ummat Islam semua sudah tahu, bahwa agenda Islamphobia ini adalah "pesanan" asing para globalis yang ingin secepatnya menguasai negeri ini. Stigma Islamphobia ini sudah terjadi berulang kali sejak fase zaman kolonial dulu. Hanya corak dan polanya saja yang berbeda. Kenapa pentingnya agenda Islamphobia ini semakin menjadi-jadi belakangan ini ? Jawabannya adalah : Pertama, sejak masa penjajahan, kelompok yang paling terdepan melawan dan mengusir penjajahan adalah ummat Islam. Mayoritas pejuang tangguh, pemberani, pahlawan, dan konseptor negara ini dari dari dulu adalah ummat Islam. Kedua, dari masa ke masa, dari orde ke orde, yang selalu terdepan menentang setiap penyelewengan terhadap negara ini adalah ummat Islam. Baik itu orde lama dalam melawan PKI, orde baru menentang azas tunggal dan KKN, maupun orde reformasi hari ini dalam menentang upaya mengganti Pancasila dan upaya menjadikan negeri ini berhaluan komunis. Ketiga, ummat Islam selalu sensitif terhadap nilai ketidakadilan, penjajahan, dan kesewenang-wenangan hingga menjaga kedaulatan bangsa. Ummat Islam juga sangat peduli terhadap pembangunan akhlak generasi bangsa agar jauh dari segala perbuatan maksiat yang dapat melemahkan bangsa dari dalam. Artinya, Ummat Islam sebagai mayoritas 88 persen di negeri ini mempunyai tanggung jawab moral dan peran penting secara kolektif untuk menjaga negeri tetap berjalan dengan baik menggapai tujuan bernegara. Islam adalah sejatinya benteng utama dan terakhir negeri ini. Namun ternyata, hal ini menjadi masalah besar bagi kelompok yang ingin sekali mengusai secara total negeri ini. Ternyata ada kelompok orang yang menganggap Islam adalah "benteng utama" yang menjadi penghalang untuk agenda mereka menjajah dan menjarah negeri kaya raya ini. Karena, secara ekonomi, politik, hukum, sosial budaya dan Hankam, kelompok ini hampir total dikuasai. Melalui kekuasaan politik yang secara halus sistematis sudah mereka ambil alih. Ini adalah fakta buruk hari ini. Sejenak, mari kita lihat secara logika jernih dan akal sehat. Yang menjadi permasalahan utama di negeri ini adalah korupsi, ketidak adilan hukum, narkoba, LGBT, penjarahan terhadap sumber kekayaan alam oleh negara asing. Juga hilangnya identitas dan karakter asli bangsa Indonesia menjadi latah tidak berjati diri. Belum lagi rusaknya tata kelola dalam pemerintahan. Betul bukan? Tak terhitung hasil kekayaan alam negeri ini disedot keluar, baik lewat udara, darat, dan lautan. Tak terhitung triliunan dolar Amerika uang negara menguap untuk kepentingan para elit oligharki, korporasi dan konglomerasi bersama cukong-cukongnya. Akibat semua itu, hari ini negara bangkrut. Hutang menggunung. Kemiskinan menjadi-jadi. Lapangan kerja sulit, harga sembako melambung, keharmonisan antar masyarakat terpecah belah. BUMN tergadai dan terancam lepas. Kedaulatan negara hilang di bawah dikte negara asing. Sarana prasarana kehidupan rakyat lebih banyak di kuasai asing dari pada negara dengan kedok investasi. Namun anehnya, semua permasalahan itu seolah diabaikan saja. Jarang dijadikan isu untuk sebuah perbaikan agar negeri ini menjadi lebih baik. Bagaimana bayar hutang yang menembus angka Rp 6.000 triliun ini? Kemana hasil sumber kekayaan alam kita yang luar biasa ini? Kemana uang hasil hutang Rp. 1.000 triliun UU Corona, karena faktanya rakyat tetap mesti bayar rapid-swab test dan beli masker? Kemana Harun Masiku? Apa penyebab terjadinya kebakaran kantor Kejagung? Siapa dalang di balik kasus memalukan Tjoko Chandra? Siapa aktor kuat di balik banjir narkoba di negeri ini? Kenapa pesta sex gay LGBT bisa leluasa? Kenapa semakin banyak TKA China masuk? Banyak lagi permasalahan kritis negeri ini kalau mau kita urai. Namun faktanya. Penguasa justru berupaya sebaliknya. Penguasa menyeret permasalahan agama seolah yang menjadi penyebab segala kerusakan bangsa hari ini. Apa hubungannya? Sangat aneh bukan? Jauh panggang dari api. Agama seolah dipaksa jadi sasaran kondikte otentik yang wajib dipersalahkan untuk menutupi semua kebusukan yang terjadi. Kenapa ini mereka melakukan? Ini jawaban dan analisanya Pertama, narasi Islamphobia sangat ampuh untuk mengalihkan perhatian publik dari "kejahatan" yang mereka lakukan terhadap negara. Sekalian membungkam duluan para kelompok agama khususnya Islam yang mau protes (melawan). Kedua, untuk menguasai negeri ini, berarti harus menaklukan Islam terlebih dahulu. Caranya? buatlah ummat Islam itu benci, takut, jijik, dan meninggalkan ajaran agamanya. Buat opini seolah Islam itu sumber segala sumber masalah di negeri ini. Bukan menjadi sumber segala nilai kebaikan lagi. Balikan semua persepsi itu dengan sihir media dan kekuasaan. Strateginya? Agenda Islamphobia dengan isu narasi radikalisme, khilafah, dan intoleransi. Termasuk pembunuhan karakter terhadap para tokoh bangsa yang beragama Islam di buat seburuk-buruknya. Congkel dan publish segala keburukan tokoh Islam. Kalau tidak ada keburukan, ciptakan fitnah atau jebak dengan berbagai cara. Tujuannya apa? Agar terbentuk opini tak ada satupun tokoh bangsa yang beragama Islam yang baik di negeri ini. Semua rusak dan bermasalah. Ada saja salah dan buruknya. Hanya tokoh dari kelompok mereka saja yang baik. Dilakukan melalui bombardir media, buzze rupiah, dan influencer yang di biayai. Ketiga, kuasai politik, ekonomi dan pemerintahannya. Ketika Islam mayoritas, jual dengan indah bahasa toleransi dan buat agama itu sakral agar jauh dari politik. Agar ummat Islam terbuai dan tidak peduli akan politik dan ekonomi. Namun setelah kekuasaan di tangan, baru buat aturan untuk menghabisi setiap sendi-sendi ajaran Islam tanpa basa-basi. Keempat, angkat dan jadikan para pejabat yang lemah iman, korup dan bisa diatur. Sebagai jagal (pelayan) untuk menghabisi sesama ummat Islam sendiri. Yang patuh diberi uang, fasilitas dan jabatan. Yang tidak patuh diisolasi dan dihabisi kariernya. Kalau perlu dipenjarakan apapun alasannya. Kelima, sudah terbukti bahwa yang selalu terdepan menentang setiap kezaliman dan ketidak adilan itu adalah tipikal ummat Islam yang taat ibadah, berilmu pengetahuan dan dekat dengan Al Quran. Untuk itu, identifikasi tipikal seperti ini harus dibalik seolah ummat Islam yang taat dan sholeh ini adalah bayangan penjahat dan berbahaya. Caranya beri stigma negatif bahwa identifikasi ummat Islam yang rajin ibadah, hafiz Qur'an, berilmu pengetahuan itu punya motivasi ke-Islaman tinggi adalah para calon teroris radikal dan berbahaya. Tetapi bagi ummat Islam yang sekuler, liberal, opportunis, suka maksiat, bahkan penjahat, dipelihara dan berikan fasilitas jabatan dan uang. Agar terdepan mengisi pos-pos strategis dalam kemasyarakatan. Sebagai corong kekuasaan. Keenam, pecah belah ummat Islam dengan cara merebut jabatan penting organisasi dan lembaga-lembaga ke-Islaman. Pecahkan mereka menjadi banyak kubu, dan selalu provokasi dengan adu domba sesama Ummat Islam agar kemudian saling cakar, saling habisi, dan saling bunuh (devide at ampera). Setelah semua kelompok ini hancur dalam pertikaian, baru terakhir ketika mereka sudah lemah terpecah belah dihabisi sampai ke akar-akarnya. Agenda Islamphobia di negeri ini semakin sporadis dan sistematis. Melalui regulasi dan lembaga negara (kementrian) mereka membuat aturan regulasi yang mempreteli dan memporak-porandakan tatanan keagamaan Islam. Mulai dari pendidikan, pesantren, kurikulum, sejarah, dan politik ekonomi. Pokoknya, mereka selalu berupaya dengan gigih bagaimana membuang sejauh-jauhnya agama Islam dari kehidupan bernegara hari ini. Pengaruh Islam tidak boleh ada dalam pusaran kekuasaan. Yang ujungnya tentu kita semua sudah tahu, yaitu menjadikan negara ini menuju berhaluan komunis dan super liberalis (tanpa agama lagi). Lalu apakah semua ini akan berhasil mulus seperti Andalusia, Singapura dan Manila? Dimana dulunya negeri itu semua adalah negeri Islam. Lihatlah hari ini. Islam menjadi minoritas dan tertindas. Menjadi penonton, bahkan babu di negerinya sendiri? Apakah kondisi ini bisa terjadi di Indonesia? Jawabannya pada diri kita semua. Apakah tetap diam? Tetap jadi pengecut? Atau bangkit dan berjuang membela Negara, Pancasila, dan Agama? Semua kembali kepada diri kita masing-masing. Yang jelas negeri ini sudah sekarat dan selangkah lagi menjadi negara super otoriter berhaluan komunis. Arah dan langkahnya sudah semakin jelas dan nyata. Sudah terang benderang bak matahari di siang bolong. Dan jawaban terakhinya adalah, "Bangkit berjuang, atau punah!". Wallahu'alam. Penulis adalah Dikrektur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.