NASIONAL

Republik Buzzer

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (07/09). Dunia medsos meniscayakan tumbuh suburnya infuencer atau buzzer. Dua kata yang nggak perlu dibedakan. Karena kerja dan fungsinya sama. Jauh sebelum era medsos, influincer atau buzzer itu dipakai di dunia usaha. Untuk iklan produk. Sebagai alat pemasaran. Di era medsos, buzzer lebih banyak dimanfaatkan jasanya untuk iklan politik. Buzzer saat ini jadi lahan pekerjaan baru yang cukup menggoda. Di sini, ada anggaran besar. Baik untuk buzzer asal-asalan, hingga buzzer kelas profesional. Terutama di tengah angka pengangguran yang semakin besar jumlahnya di masa pandemi, buzzer menjadi salah satu alternatif lapangan kerja yang menggiurkan. Tak semua buzzer itu negatif dan destruktif. Banyak orang yang "secara suka rela" menjadi buzzer atas nama keprihatinan dan moral. Tentu saja, gratisan. Namanya juga relawan. Aktifitas buzzer oleh para relawan dijadikan sebagai alat perjuangan. Buzzer 212 misalnya. Motifnya adalah menuntut keadilan. Ini, tentu positif. Selama tetap menjaga obyektifitas. Kalau kelompok buzzer diklasifikasi, setidaknya ada tiga jenis buzzer. Pertama, buzzer moral. Tidak terikat kecuali pada obyektifitas moral. Pembelaannya hanya pada kebenaran yang dianggapnya rasional. Kalau harus membela dan mendukung seseorang, itu karena secara moral orang tersebut layak dan perlu dibela. Baca, cocok, lalu share. Ini buzzer moral. Pembelaan dilakukan bukan karena faktor kedekatan, juga tidak ada motif uang dan jabatan. Tidak ada ikatan sosiologis karena satu etnis atau organisasi. Tidak pula ada ikatan psikologis, karena teman atau pernah mendapat bantuan. Murni karena yang bersangkutan itu tepat dan rasional untuk dibela. Fenomena dukungan masif terhadap Anies-Sandi di pilgub DKI 2017 menggambarkan hadirnya buzzer moral. Para buzzer tidak membela Anies-Sandi, tetapi melawan ketidakadilan penguasa yang dianggap terlalu jauh intervensinya di Pilgub DKI. Bukan semata-mata faktor Ahok, tapi kekhawatiran sejumlah pihak jika Anies nyapres 2019. Secara teoritis, semakin banyak model buzzer moral, negara akan menjadi lebih baik. Sebab, proses pengelolaan negara akan secara ketat mendapatkan kontrol atau pengawasan. Disinilah terjadi check and balances. Dengan begitu, negara "relatif" bisa diselamatkan dari segala bentuk penyalahgunaan. Buzzer model seperti ini diperlukan untuk menjaga moralitas bangsa. Kedua, buzzer fanatik. Buzzer macam ini sangat militan. Faktor psikologis dan sosiologis seringkali menjadi dasar bagi lahirnya buzzer fanatik. Karena satu kampung, sesama etnis, berada dalam satu partai atau organisasi, simpati berlebihan terhadap performence tokoh, terhipnotis oleh pencitraan, karena faktor "kegantengan" membuat para buzzer itu seringkali bersikap tidak rasional. Bahkan ada yang nggak peduli benar salah. Mereka militan dan membela mati-matian. Bahkan buzzer model ini rela berkorban dan siap mati untuk para tokoh yang dibela. Para buzzer fanatik ini lahir diantaranya karena kekagumannya terhadap kharisma seorang tokoh. Seperti Habib Rizieq di kalangan FPI, Megawati di mata kader PDIP, para tokoh agama bagi para jemaatnya. Tokoh-tokoh kharismatik umumnya berlimpah dukungan buzzer fanatik. Tidak berarti bahwa para pendukung tokoh kharismatik itu hanya dari kalangan orang-orang yang abai terhadap rasionalitas. Tidak juga. Jangan salah paham. Hanya saja, secara teoritis, orang yang tingkat rasionalitasnya tinggi biasanya tidak terlalu fanatik. Ketiga, buzzer komersial. Orang menyebutnya sebagai buzzerRp. Menjadi buzzer adalah profesi. Disini, mereka numpang hidup dan cari nafkah. Sistem kerjanya bervariasi. Mulai ngoceh di medsos, bikin akun palsu, produksi video dan meme, kerahkan demo, sampai menulis artikel. Tugas mereka hanya dua. Pertama membuat iklan untuk pihak yang mensponsori. Namanya juga iklan, pasti bagus-bagus. Mana ada kecap nomor dua. Kedua, melakukan counter attack, atau serangan balik. Untuk menjalankan tugas yang kedua, mereka bersikap reaktif. Muncul hanya ketika ada yang menyerang pihak pembayar. Ciri utama mereka, menyerang orang atau kelompok. Seringkali membabi buta. Kalau ada sedikit otak, mereka menggunakan data. Data yang digunakan kadang ngawur. Dipaksakan supaya analisisnya meyakinkan. Dan di dalam narasinya sering ada kebohongan, bahkan fitnah. Pokoknya, bebas moral. Yang penting dapat bayaran. Biasanya, buzzer komersial ini tidak banyak jumlahnya. Ini berkaitan dengan keterbatasan anggaran. Tapi, mereka profesional. Ini bisa dilihat pada buzzer penguasa sebagai samplenya. Yang bicara di tv, nge-vlog, bikin video, buat tulisan, komen di medsos, ya orang-orang itu aja. Yang pakai blankon, udeng-udeng, kaca mata, nulisnya keinggris-inggrisan. Jumlahnya nggak lebih dari 10 orang. Karena gencar, masif, terlatih dan ada fasilitas, akibatnya berisik juga. Seolah isi medsos hanya mereka. Mereka hanya muncul saat ada kritik pada kebijakan pemerintah. Sekali lagi, ini hanya sekedar sample. Sample yang lain adalah munculnya para konsultan politik berbungkus survei saat pemilu. Kalangan ini lebih banyak iklan. Dan mereka dibayar untuk terus beriklan. Ngecap, maksudnya. Sesekali bikin meme. Namanya juga lagi nyari duit. Inilah buzzer komersial juga. Maraknya dunia per-buzzer-an di Indonesia ini cukup menghawatirkan. Sebab, dunia persepsi rakyat akan dikendalikan oleh iklan. Tepatnya, pencitraan. Jadi, banyak pemimpin daerah, anggota DPR, boleh jadi juga presiden yang terpilih bukan karena integritas dan kemampuannya. Bukan pula karena track record kerjanya, tapi karena iklan. Ini bahaya. Dan inilah yang terjadi selama ini. Maka muncullah istilah "petruk dadi ratu". Jika banyak Bupati, Walikota, Gubernur, anggota DPR dan presiden lahir karena iklan buzzer, maka negeri ini sudah jadi "Republik Buzzer". Sungguh ini telah jadi petaka! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Politik “Setan” Dalam Pembentukan UU

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Sejak era 1660-an industri kain wol Inggris sudah menyiapkan segala langkah untuk memproteksi bisnisnya. Sebagai contoh, mereka berhasil memengaruhi parlemen untuk meratifikasi UU yang terkenal dengan nama Sumptuary Act. UU ini pada intinya melarang rakyat Ingris memakai pakaian dari bahan tekstil ringan. Pada tahun 1666-1678 mereka melobi parlemen untuk meloloskan sebuah UU. UU yang dilobi pembentukannya ini mewajibkan semua warga Inggris yang meninggal dunia untuk dibungkus dengan kain kafan dari wool (lihat Daron Acemoglu dan James A Robinson,2014). Jakarta FNN – Ahad (06/08). Politik oligarkis, korporasi dan konglomerasi khas abad ke-17 itu, terus menjadi model politik pembentukan hukum hingga kini. Postur politik itu membentang di sepanjang rute sejarah pembentukan hukum negara. Inggris, Prancis dan Amerika, negara tukang khutbah demokrasi ini menggungguli semua negara lain di dunia. Di Amerika politk itu telah bekerja sejak abad 18 lalu. Tepatnya pada awal pemerintahan George Washington. Melalui Alexander Hamilton, kelompok oligarkis itu bekerja meloloskan UU American First Bank pada tahun 1791. Sesudahnya, praktik ini menjadi tipikal politik pembentukan UU di Amerika. Tangan setan oligarki bekerja pada hampir semua UU di bidang keuangan dan ekonomi (tarif). Postur bobrok ini menyempurnakan panorama dunia hukum. Jangkauan tangan-tangan setan itu melebar hingga dunia penegakan hukum. Alhasil pembentukan dan penegakan tidak bisa lepas dari tangan-tangan setan itu. Akuntabilitas, transparansi dan responsibilitas yang menjadi kekuatan inti struktural demokrasi pun, mati konyol. Kaum oligarkis, korporasi,konglomerasi dan cukong-cukong tahu lebih dari sarjana hukum tahu tentang hukum. Berkat bantuan ahli, kalangan oligarki, korporasi dan konglomerasi tahu hukum adalah sumber hak. Hukum juga sumber wewenang. Hak, wewenang, kewajiban dan semua tindakan pemerintahan, mengalir dari dan berdasarkan hukum. Konsep semua tindakan manusia dan pemerintah harus berdasarkan hukum, merupakan cara demokrasi bekerja mewujudkan impian tentang kesamaan derajat. Status civilian setiap orang sama. Equality Before the Law, dalam ajaran ngara hukum demokratis hanya dapat diwujudkan dengan dan melalui aturan hukum. Oligarki, korporasi dan korporasi dalam operasinya tak terlihat. Kekuatannya terasa mengangkangi Indonesia yang tahu cara berpikir itu. Kuncinya kuasai dunia hukum. Sesuai sejarahnya hukum adalah uang besar. Oligarki, korporasi dan konglomerasi yang memegang kunci itu. Bukan politisi. Sialnya dunia politik Indsonesia terlanjur menjadi pusat gravitasi relatifitas nilai. Dunia menegatur hukum itu menyediakan ruang kompromi tanpa ujung. Bekerja dengan teknik tinggi, mengakibatkan tampilan praktis cara kerja oligarkis, korporasi dan konglomerasi sulit didentifikasi. Bukti telanjang tentang eksistensinya tak berceceran. Itu sebabnya sulit menerangkan lolosnya politisi ke senayan, termasuk lolosnya UU Minerba yang baru dalam konteks kerja oligarki, korporasi dan konglomerasi. Panorama kecepatan proses pembentukan UU Minerba, UU Nomor 3 Tahun 2020, memanggil siapapun untuk mempertimbangkan sindrom oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Tetapi secepat kilatnya pembentukan UU MK yang baru saja diubah, tak cukup beralasan untuk dikerangkakan pada kekuatan kerja setan oligarki, korporasi dan konglomerasi. Paradoksnya saat ini UU Minerba dan Perpu Corona sedang diuji di MK. Mungkinkah kedua hal yang saling menyangkal ini menyulitkan MK menari secara mandiri? Tak ada jawaban yang otoritatif. Bukti telanjang tentang tangan oligarkis, korporasi dan konglomerasi bekerja dibalik Perpu Nomor 1 Tahun 2020, juga tak ada. Tak ada juga bukti telanjang tentang tangan oligarkis, korporasi, konglomerasi dan cukong bekerja dibalik DPR, sehingga menerima Perpu parah itu. Perpu ini mengalihkan hak budget DPR. Menabrak nyata-nyata dan telanjang bulat Konstitusi Negara UUD 1945. Pengalihan ini bermakna terjadi penyatuan eksistensi konstitusional DPR pada Presiden. Hebatnya soal fundamental ini tak mengusik cita rasa republikanisme DPR. Entah bagaimana rasionya, DPR malah mengonstitusionalitas imunitas hukum khas abad ke-17 tersebut kepada aparatur pemerintah. Legalisasi itu diatur dengan sangat jelas dalam pasal 27 Perpu Corona. Celakanya DPR mlah setuju saja. Tragis konstitusi bangsa ini. Hanya dengan satu pukulan kecil yang bernama “keadaan genting” konstitusi terpelanting. Konstitusi tersudut lalu jatuh tersungkur dalam keangkuhan interpretasi urakan tentang keadaan genting. Konsep konstitusi tentang “keadaan genting” diterima begitu saja. Ini disajikan sebagai mahkota konyol untuk dipakaikan kepada aparatur pelaksana APBN. Menariknya aparatur pemerintah yang diberi imunitas konyol itu, tidak percaya. Mereka tetap takut untuk dipenjara setelah kekuasaan ini berganti kelak. Kenyataan itu jelas menunjukan bahwa proses pemahkotaannya tak berkerangka pemetaan masalah primer. Padahal itu telah menjadi prosedur kerja standar dalam ilmu pembentukan UU. Menyedihkan sekali. Para pejabat Pengguna Anggaran (PPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) tidak mau masuk penjara. Mereka tak tergoda dengan pandangan fungsional ala Robert K. Merton, sosiolog kenamaan tentang hukum itu. Pandangan fungsional ala Merton ini, khas oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Kekhasan itu telah menjadi energi terbesar bekerjanya mesin politik pembentukan UU. Energi ini terlihat samar-samar dibalik kampanye konyol, yang cenderung manipulatif habis-habisan agar RUU Omnibus Cipta Kerja disambut dengan tangan terbuka oleh masyarakat. Padahal RUU ini begitu membahayakan petani dan rakyat kecil disatu sisi. Disisi lain RUU ini terlalu jelas memihak oligarki, korporasi dan konglomerasi. Itu terlihat menajdi alasan meyakinkan Profesor Din Sjamsudin, Presidium KAMI, meminta Presiden dan DPR mencabutnya. Pembaca FNN yang budiman. Apakah Presiden dan DPR akan mengapresiasi permintaan Prof Din Syamsudin dan teman-temanya? Atau malah sebaliknya menyepelekan? Apakah Presiden dan DPR akan mengidentifikasi permintaan itu sebagai hal yang beralasan? Permintaan ini, hemat saya, begitu bening. Esensi permintaan itu, hemat saya, mencegah petani Indonesia semakin jauh terjatuh ke dalam penderitaan. Juga agar sumberdaya ekonomi semakin tak terakumulasi dan terkonsentrasi pada kaum oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Presiden dan DPR, idealnya dapat segera mereorientasi energi politik pembentukan hukumnya. Energinya harus direorientasi mengikuti pandangan Profesor Din. Sekali lagi pandangan itu sejalan pengetahuan akademik tentang demokrasi yang telah begitu canggih memapipulasi hukum. Dengan cara yang rumit, demokrasi menyodorkan mahkotanya yang bernama Equality Before the Law, sebagai justifikasi folosofis UU diskriminatif. Justifikasi ini dibalut dengan justifikasi sosiologis acak kadut. Semuanya hanya bermuara pada satu hal, membenarkan produk hukum-hukum yang memihak pada oligarki, korporasdi dan konglomerasi. Bukan hukum yang memihak kepada rakyat. Balutan sosiologis khas Robert K. Merton, sosiolog kenamaan Amerika itu, membuat Syed Husen Alatas, profesor dan sosiolog kawakan, tak bisa mengerti. Dalam penilaian berkelas Syed Husen Alatas, perspektif sosiologis khas Merton itu korup pada semua aspeknya. Malah merupakan korupsi dalam watak aslinya yang sangat sangat dan sangat sempurna. Korupsi jenis ini memang tidak berakhir di penjara. Itu tidak. Tetapi tetap saja korupsi. Memang korupsi jenis itu tidak dapat dikualifikasi sebagai korupsi tipikal UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 199 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi, sekali lagi, tetap saja korupsi. Malah korupsi jenis ini jauh lebih berbahaya. Mengapa? Korupsi ini dilegalisasi, dibenarkan oleh hukum. Hukum yang dipakai untuk melegalkan struktur korup dalam bernegara. Malah melestarikan penyebab institusional timbulnya korupsi. Menyenangkan bila Presiden dan DPR memiliki energinya republik ini untuk mencegah hukum berfungsi di luar fungsi asasinya. Energi Presiden dan DPR harusnya dipakai untuk menghasilkan hukum yang tak jadi alat perusak negara. Jelas itulah yang dirindukan. Republik punya alaram untuk hukum yang digunakan sebagai instrumen ketidakadilan. Mesin dan energi politik republik Presiden, harus memastikan proses pembentukan UU berjarak sejauh mungkin dari cara-cara setan oligarki, korporasi dan konglomerasi. Mudah-mudahan saja dapat diwujudkan. Sebab Presiden hanya perlu memiliki keberanian bertindak mandiri. Itu saja. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Pemerintah Piara Buzzer

by Zeng Wei Jian Jakarta FNN – Ahad (05/09). Tempo panen caci-maki. Dua kontroversi. Nggak mutu. Soal buzzer pemerintah dan kartun garuda Pancasila. Ade Armando berulang kali menyebut reportase Tempo nggak jelas. Report soal buzzer banyak kata "diduga" dan sumber anonim. Jurnalisme katro. Punggawa PRD masa lalu, Mr Web "Kingkong" Warouw mensinyalir Tempo punya dua kemungkinan motif. Pertama, mau gabung dengan moduz ngencet dulu. Kedua, Tempo memang proxy yang anti-pemerintah. "When one says 'terrorism' in a democratic society, one also says 'media'," kata Paul Wilkinson dalam makalah "The media and terrorism: a reassessment". Kemungkinan ketiga, Tempo sebagai traditional-media berusaha survive dari digital revolution wave. Turunkan mutu. Tulis sesuatu yang disukai targeted group. Tulisan yang membuat "glorified chimps" bersorak. Konsolidasi digital crowds sebagai basis advertisement iklan. Tempo mengap-mengap. Hidup susah. Mati segan. Old fashion. Zadul. Readers males baca. Revolusi digital nggak bisa distop. "Dulu penting belajar dari masa lalu. Tapi saat ini, penting bisa belajar dari masa depan," kata Alm. Aristides Katoppo. Viral, buzz, memes, stickiness, dan form factor menjadi "lingua franca" today's e-political branding. Reportase "Kakak Pembina di Tengku Umar" menyerupai click-bait headlines. Moduz mengeksploitasi "curiosity gap" pembaca. The fourth Probability, Tempo mengorbankan diri menjadi "influencer" yang memback-up buzzer malu-malu macam Rocky Gerung dan Direktur YLBHI Asfinawati. Asfinawati klenger kena online harassment, virtual social flogging dan stoning. Nggak tahan serangan trolls dan keyboard warriors pro pemerintah. Nangis-nangis. Lalu tuding pemerintah pelihara buzzer. No hard-evidence. Nggak ada bukti. Validitas tudingan masuk kategori hoax. Tudingan adanya buzzer-peliharaan adalah defence mechanism dari defeated groupings. Strategi orang kalah. Mereka ciptakan "The Common Enemy" for the audiences. Tempo sebagai old media membantu mereka dengan berusaha membentuk social realities adanya "buzzer peliharaan pemerintah". Moduz ini disebut Gamson dan Modigliani dengan istilah "social constructivism". Divided society masuk cyber space. Pro-kontra pemerintah. E-politics marak di social media. Netizens dua kubu. Ketika mendengung, mereka adalah buzzer. Di zaman lekra ada adagium "Semua orang adalah seniman". Sekarang kenyataannya “semua orang adalah jurnalist”. Serangan buzzer anti-pemerintah trigger netizens bersuara di ruang open democracy. Dua kubu sama-sama punya trolls dan keyboard warriors. Fungsinya adalah down-grade orang dan denigrasi sebuah issue menjadi kekacauan anarkistik. Mereka suka membuat marah, pull your strings until you are pist. Beberapa trolls melihat aktivitas mereka sebagai "an art form". Para trolls dua kubu aktif di arena "Swinging Dick Contest". Nggak pake nalar. No intent of proving reasoning or logic to any debate. Code of conduct para trolls tingkat tinggi atau "witty troll" adalah never angry, never swear, be vulgar dan never overly obnoxious. Troll Pro Pemerintah seringkali menang. Yang kalah jangan cengeng dan tuding-tuding Pemerintah Piara Buzzer. Mereka itu netizens. Dasar Pecundang. What a nasty loosers… Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Budaya.

Jangan Menjadi Bangsa Kodok

by M. Rizal Fadillah Dalam artikel "A Nation of Frogs" , William A. Borst, Ph.D. menulis dengan pas tentang komunis yang "memasak" bangsa kodok. "The fact is Communism is still very much alive and thriving in this country. It has taken on a more subtle, destructive guise. The situation is analogous to the frog that is put into a pot of tepid water. If the cook were to quickly increase the temperature of the water, the frog would quickly jump out to safety. But the smart cook increases the temperature, only gradually, so that the poor frog does not realize it is being slowly but surely boiled to death. Jakarta FNN – Ahad (05/09). Hewan sering diajdikan sebagai perumpamaan. Manusia yang sering beriringan dan bertegur sapa, dan saling silaturahim dimisalkan seperti komunitas semut. Mereka yang selalu menjaga masukan dan bagus keluaran itulah lebah. Sedangkan anjing adalah tipe penista. Anjing kalau diusir menjulurkan lidah. Dipanggil juga menjulurkan lidah. Sementara babi itu hewan yang tak pedulian dan jorok. Bebek "ikhlas" untuk digiring giring. Macan ditakuti dan disegani. Macan Asia adalah gelar untuk pertumbuhan ekonomi negara di Asia yang dikagumi. Kodok hidupnya di dua alam, di air dan darat. Kalau kerenang di air dengan cara menendang, dan berjalan di darat dengan melompat sana-sini. Bersuara ramai tak berirama. Umumnya menjijikkan. Manusia dinilai aneh jika punya hobby memelihara kodok. Dimakan oleh orang-orang aneh pula. Anak kodok hanya kepala dan ekor Kodok berubah bentuknya saat dewasa. Cebong adalah sebutan anak kodok. Cebong hanya bisa hidup di air. Mati di jika berada di darat. Untuk itu, anak kodok harus selalu "berbasah-basahan" kalau mau hidup. Bangsa Indonesia yang beragama dan berbudaya jangan menjadi bangsa kodok. Bangsa inkonsisten yang diombang-ambing oleh "alam". Mudah berubah tergantung pada koloni atau hegemoni. Selalu maju ke depan tak bisa mundur. Aib rasanya untuk mundur. Ketika maju di tempat yang basah, perlu menendang sana-sini. Sedangkan di tempat kering, juga melompat-lompat cari makan dan keamanan. Kalau tidak nendang sana-sini. Lompat sana-sini, maka kematian telah menunggu bangsa kodok di depan mata. Bangsa kodok adalah bangsa yang nyaman dibodohi dan dininabobokan. Dibunuh pelan-pelan dengan "kehangatan". Dimakan ideologi asing secara halus dan sistematis tanpa terasa. Adapun yang mahir untuk membunuh tanpa belas kasihan adalah Komunis. Dalam artikel "A Nation of Frogs" , William A. Borst, Ph.D. menulis dengan pas tentang komunis yang "memasak" bangsa kodok. "The fact is Communism is still very much alive and thriving in this country. It has taken on a more subtle, destructive guise. The situation is analogous to the frog that is put into a pot of tepid water. If the cook were to quickly increase the temperature of the water, the frog would quickly jump out to safety. But the smart cook increases the temperature, only gradually, so that the poor frog does not realize it is being slowly but surely boiled to death. Nah begitulah cara Komunis untuk membuat nyaman. Namun secara pelan-pelan dan bertahap membunuh bangsa kodok. Indonesia harus waspada pada negara Komunis RRC yang mampu menghangatkan secara gradual hingga panas yang mematikan. Investasi dan debt trap adalah jalan "the poor frog doesn't realize it is being slowly but surely boiled to death". Sekali lagi penyelenggara negara jangan berupaya menciptakan kondisi rakyat menjadi bangsa kodok. Sadarlah bahwa sikap yang seperti itu sama saja dengan menjerumuskan rakyat dan bangsa Indonesia ke dalam panci besar "perebusan" kematian. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Giliran Puan Versus Masyarakat Sumatera Barat

by M. RIzal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (04/09). "Semoga Sumatera Barat menjadi Provinsi yang mendukung Negara Pancasila". Begitu himbauan Puan Maharani saat mengumumkan rekomendasi PDIP pada pasangan Calon Gubernur (Cagub) Suametar Barat Mulyadi dan Ali Mukhni. Sontak ucapan Puan ini menimbulkan reaksi keras dari banyak pihak. Penyataan Puan dinilai sangat menyinggung, menyakiti perasaan masyarakat Sumatera Barat. Penyataan tersebut juga mengindikasikan kalau Puan telah meragukan kesetiaan masyarakat Sumatera Barat kepada Pancasila sebagai dasar negara. Bersamaan dengan itu, juga sangat merugikan pasangan Cagub yang diusung oleh PDIP sendiri. Menyinggung karena menganggap Sumatera Barat sebagai Provinsi yang tak setia atau tak mendukung Negara Pancasila. Padahal tokoh tokoh Sumatera Barat banyak yang menjadi loyalis, pejuang, bahkan perumus dasar negara Pancasila. Mohammad Hatta adalah Proklamator Negara Pancasila. Merugikan pasangan PDIP, karena menjadi beban berat bagi pasangan tersebut dimata pemilih atau rakyat Sumatera Barat. Pasangan PDIP bakal dimusuhi habis-habisan oleh banyak warga Sumatera Barat yang merasa dilecehkan oleh anak Ketum PDIP tersebut. Bukan mustahil bisa muncul "negative campaign" terhadap pasangan Cagub yang diusung oleh PDIP. Misalnya, akan muncul himbauan agar masyarakat Sumatera Barat silahkan pilih pasangan Cagub mana saja. Asal jangan pilih pasangan yang didukung oleh PDIP, karena pimpinan PDIP telah mengghina masyarakat Sumatera Barat. Puan bukan saja tidak taktis dalam memilih diksi sebagai politis sekelas Ketua DPR. Tetapi juga lucu, atau mungkin masih lugu sebagai politisi. Bisa juga belum matang, meski sudah menjadi Ketua DPR. Atau mungkin saja masih kelas, bahkan tipikal politisi karbitan dan kacangan. Apakah mungkin saja ada persoalan serius yang mengganjal atau perlu klarifikasi? Pancasila yang mana yang dimaksud oleh Puan? Sebab bila Pancasila yang kini diakui yaitu rumusan 18 Agustus 1945, maka warga Sumatera Barat tentu tidak diragukan loyalitasnya. Seperti uraian di atas, bahwa pendiri negara itu banyak dari kalangan tokoh Sumatera Barat. Nah, jangan-jangan yang dimaksud oleh Puan adalah Pancasila 1 Juni 1945. Pernyataan Puan ini tentu saja bukan hal mengada-ada. Ada basis argumen dan dasar pijakannya. Karena PDIP secara platform partainya memang berjuang untuk menegakan Pancasila 1 Juni 1945. Pada Pasal 10 butir g Anggaran Dasar PDIP berbunyi seperti ini : "mempengaruhi dan mengawasi jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945, UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat dan efektif, bersih, dan berwibawa". Plaform Anggaran Dasar PDIP ini diperkuat oleh Pasal 6 sebagai aturan yang mendahuluinya. "(a) alat perjuangan guna membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945". Nah, jelas dan wajar jika muncul keraguan bahwa Pancasila yang diperjuangkan oleh PDIP beserta kader-kadernya adalah bukan Pancasila 18 Agustus 1945. Dalam keraguan seperti ini menjadi aneh jika Puan Maharani berharap pada masyarakat Sumbar agar menjadi pendukung Negara Pancasila. Kecuali jika Puan memaknai yang dimaksud adalah Pancasila 1 Juni 1945. Keceplosan atas "keluguan" atau "kelucuan" Puan ini mesti menjadi pelajaran bagi PDIP untuk berpolitik lebih konsisten dalam membela Pancasila. Bukan merasa yang paling ber-Pancasila dengan realita pemaknaan Pancasila yang kabur. Perlu evaluasi mendasar untuk meluruskan. Tanpa evaluasi dan koreksi PDIP akan menjadi sorotan sebagai partai yang perongrong Pancasila. Jadi, penilaian dari ucapan Puan bukan hanya melecehkan warga Sumatera Barat, dan merugikan pasangan PDIP, tetapi juga sikap yang merasa paling Pancasila di tengah upaya untuk pengaburan Pancasila. Megawati sang ibunda pernah menyebut saat ini kita tak perlu lagi memperdebatkan soal Pancasila. Setuju saja, jika itu adalah Pancasila 18 Agustus 1945, akan tetapi jika yang dimaksud dan diperjuangkan adalah Pancasila 1 Juni 1945, maka rakyat dan bangsa Indonesia harus dan wajib memperdebatkan dengan sekeras-kerasnya. Sekali lagi sekeras-kerasnya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Revolusi Beludru

by Zainal Bintang Sejarawan Lord Acton dalam suratnya kepada Mandell Creighton, tertanggal April 188, menulis, "Power tends to corrupt, and absolute power to corrupt absolutely" - orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, maka kecenderungan akan jahat itu semakin menjadi-jadi. Kejahatan paling buruk seorang pemimpin itu adalah apabila ia merasa sudah lebih dari orang lain. Menjadi manusia super, bahkan semidewa. Minta dipuja-puja, bahkan minta untuk dikultuskan. Jakarta FNN – Kamis (03/09). Pesan WhatsApp Denny JA masuk ke HP saya. Isinya rekaman video yang membahas topik “Penghianatan Kaum Intelektual”. Diberi pengantar teks dengan pertanyaan, “Apakah Intelektual Sudah Berkhianat? Salahkah Intelektual yang masuk ke dalam kekuasaan? Salahkah intelektual yang tak lagi peduli dengan riuh rendah ruang publik? 100 tahun setelah buku Julian Benda: Penghianatan Dunia Intelektual, kita menyaksikan perkembangan zaman yang berbeda”. Karya Benda yang dirujuk bung Denny JA judul aslinya dalam bahasa Perancis “La Trahison Des Clercs” (Penghianatan Kaum Intelektual). Terbit 1927. Diterjemahkan 1997. Drama pengkhianatan kaum intelektual atau cendekiawan adalah foto copy sejarah yang selalu terdaur ulang. Konsistensi komitmen intelektual dapat diukur ketika dirinya berani mengambil risiko mempertaruhkan nyawa untuk dan atas nama kepentingan (rakyat) yang lebih besar. Namun seiring dengan perjalanan waktu, daya tahan komitmen itu terus mengalami dinamika pasang surut manakala diuji oleh kemewahan dan kenyamanan yang ditawarkan kekuasaan. Tidak mudah melupakan sepotong kata magis dibaca Bung Karno dengan cepat mengguncang dunia abad ke 20. Teks proklamasi yang tertulis diatas sepotong kertas yang rada “kumal” : “….kami bangsa Indonesia, dengan ini….dan seterusnya dan seterusnya”. Kalimat pendek, tapi sakral itu dalam sekejap mengubah konstelasi kiblat kekuatan politik dunia internasional. Memori yang monumental ini muncul mendadak sesaat, ketika hari masih sangat pagi. Saya menjawab lewat hp seorang senior. Guru besar. Yang dikenal karena kepakarannya di bidang ekonomi. Mengeluhkan apa yang disebutnya “kondisi” tak menentu hari ini. Menyoal senyapnya suara anak muda kampus yang dinilainya tidak (lagi) sensitif dengan kondisi tanah air. Sang guru besar cemas dengan absennya kekuatan penggerak perubahan, kaum intelektual yang lagi tidak bunyi. Lewat proklamasi itu 75 tahun yang lalu, Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Bung Karno yang didampingi Bung Hatta dengan mantap penuh khidmat membaca teks itu di Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, 17 Agustus 1945. Didahului drama “penculikan” Soekarno-Hatta yang dikenal sebagai “Peristiwa Rengasdengklok”. Dilakukan oleh sejumlah pemuda. Diantaranya Soekarni, Wikana, Aidit dan Chaerul Saleh dari perkumpulan "Menteng 31". “Penculikan” itu berujung menjadi pendorong proklamasi kemerdekaan. Peristiwa bersejarah itu adalah fragmen konsistensi kaum intelektual terhadap komitmen pembebasan bangsanya dari belenggu penjajahan. Akan tetapi ketegaran keintelektualan tokoh proklamator itu berkelindan dan serap menyerap dengan gejolak darah generasi muda “sang penculik.” Seandainya tidak ada anak-anak muda itu yang nekat melakukan tindakan “penculikan”, tentu jalannya sejarah akan berbeda hari ini. Memang ada kekecewaan dari masyarakat setelah menyaksikan dan merasakan perjalanan sejarah keintelektualan dimana-mana , termasuk di Indonesia. Mencemaskan terkooptasinya independensi intelektual atau cendekiawan di dalam kekuatan kekuasaan. Mengulik pepatah lama yang menyebutkan, “honores mutant mores”, saat manusia mulai berkuasa, berubahlah pula tingkah lakunya. Maka itu, sejarawan Lord Acton dalam suratnya kepada Mandell Creighton, tertanggal April 188, menulis, "Power tends to corrupt, and absolute power to corrupt absolutely" - orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, maka kecenderungan akan jahat itu semakin menjadi-jadi. Kejahatan paling buruk seorang pemimpin itu adalah apabila ia merasa sudah lebih dari orang lain. Menjadi manusia super, bahkan semidewa. Juga minta dipuja-puja, bahkan minta untuk dikultuskan. Pada galibnya logika publik menjabarkan, kaum intelektual harus balik badan mengambil jarak untuk memelihara kemurnian cita-cita “clean government”. Suatu sikap yang ditujukan untuk mencegah praktik penyimpangan kekuasaan yang berselempang jubah konstitusi, mengatasnamakan bangsa dan negara. Jika diukur dari sisi jarak waktu terjadinya drama “Rengasdengklok” sampai kepada pembacaan Proklamasi di Pegangsaan Timur, itu memakan waktu kurang dari dua puluh empat jam. Jauh lebih cepat daripada waktu yang digunakan Vaclav Havel ketika memerdekakan Cekoslawakia tahun 1989. Melalui gerakan “Revolusi Beludru” (Velvet Revolution) kurang lebih empat puluh dua hari (17 November - 29 Desember 1989). Meskipun harus diakui, terbukanya ruang kemerdekaan bagi Indonesia disebabkan ada pengaruh eskalasi politik internasional, karena Jepang bertekuk lutut kepada sekutu setelah negerinya dibombardir bom atom di Hiroshima. Demikian juga yang dialami Cekoslawakia, pengaruh perang dingin dan perubahan kebijakan politik dalam negeri Uni Soviet oleh presiden barunya Gorbachev dengan memperkenalkan konsep glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi). Menelusuri sejumlah kajian terkait dengan kiprah Vaclac Havel, harus diakui namanya sampai hari ini selalu dikenang sebagai salah seorang tokoh intelektual yang terjun dalam pergerakan yang berhasil membebaskan negaranya dari penindasan kekuasaan pemerintahan Uni Soviet yang mencaplok Cekoslawakia sebagai Komandan Pakta Warsawa tahun 1968. Revolusi Beludru (Velvet Revolution) atau Revolusi Tenang yang digerakkan Havel adalah revolusi tanpa kekerasan. Sebuah jalan intelektual yang bersemangat revolusi (perlawanan) yang mendasari fikiran di dalam esai atau berbagai karya filsafat, maupun melalui jalan kesenian. Sesuai kodratnya sebagai seorang seniman, jalan intelektual yang substansial bertujuan menentang pemerintahan otoriter itulah yang dipilih dan berhasil. Keberhasilan revolusi (beludru) itu menjadikan Havel sebagai Presiden Cekoslovakia (1989-1992) yang ke-10 dan Presiden Republik Ceko yang pertama (1993-2003). Havel adalah penulis, politikus, dan dramawan Ceko. Ia menjadi sangat terkenal setelah menulis sebuah esai yang diberi judul “The Power Of The Powerless (Kekuatan Mereka yang Tidak Berdaya) Melukiskan rezim "normalisasi" Cekoslawakia paska 1968 sebagai sistem yang bangkrut yang bertumpu pada kebohongan yang menyeluruh. Memang menarik membahas topik “pengkhianatan intelektual” hari ini. Banyak yang menyebutkan jalan intelektual sebagai media perlawanan kritis terhadap kesewenang – wenangan pemerintah di era ini dirasakan telah mengalami distrosi nilai. Di era pemerintahan SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) tahun 2005 pernah juga terjadi “geger inetelektual”. Pro kontra yang tajam antara intelektual non pemerintahan dengan intelektual pendukung kekuasaan terkait adanya iklan kebijakan pemerintah soal pencabutan subsisdi BBM. Kalangan intelektual “bebas” kekuasaan menganggap kebijakan itu merugikan rakyat. Apalah arti sebuah nama. Seperti kata William Shakesepeare What’s in a name? “That which we call a rose. By any other name would smell as sweet”. Dalam cerita love story yang melegenda “Romeo & Juliet”, Shakespeare mengatakan : “bunga mawar itu kalaupun diberi nama selain mawar, bau wanginya akan tetap sama”. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Membedah Dan Memetik Buah Amandemen UUD 1945 (Bagian-2)

by Mayjen TNI (Purn) Prijanto Jakarta FNN – Kamis (03/09). Pembatasan. Untuk membedakan dan mempermudah, maka dalam artikel berseri ini, hasil amandemen UUD 1945, kita sebut dengan UUD 2002. Baca membedah dan memetik buah amandemen UUD 1945 (1) : “Veteran Komisi Konstitusi Turun Gunung” (Google). Setelah Veteran Komisi Konstitusi Prof. Dr. Tjipta Lesmana, Prof. Dr. Maria Farida Indrati, dan Dr. Laode Ida bicara dalam Webinar Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI)-Panji Masyarakat, 18/8/2020, tak ketinggalan generasi muda ikut bicara. “Generasi muda seperti Anton Permana cs Turun Gunung”. Apa kata mereka? Dr. H. Anton Permana, S.IP, MH, Ketua FKPPI Batam, Alumni Lemhannas RI PPRA 58 Th. 2018. Anton Permana, melecutkan pikirannya atas situasi negara selepas kursus Lemhannas. Tulisannya aktual, tajam, menggelitik dan mengena. Namanya melejit, favorit nitizen bak selebriti. Sampai-sampai ada satu artikel, sehingga Biro Humas Settama Lemhannas membuat penjelasan, bahwa tulisannya tidak ada hubungannya dengan Lemhannas. Anton menyampaikan masalah : (1) Kedaulatan rakyat (2) Presiden orang Indonesia asli, dan (3) Kesejahteraan sosial, khususnya pengelolaan sumber kekayaan alam. Identifikasi persoalannya tepat. Pokok bahasannya sama dengan pembicara sebelumnya, para Veteran Komisi Konstitusi. Apakah Anton membebek pembicara terdahulu? Tidak mungkin, sebab Anton menjelaskan menggunakan slide yang sudah disiapkan. Artinya, tiga pokok bahasan itulah yang di mata para pembicara sebagai masalah bangsa yang penting untuk dibahas. Masalah kedaulatan rakyat Anton Permana berpendapat saat ini : (1) Rakyat sudah kehilangan kedaulatannya. (2) Demokrasi seharusnya sesuai nilai Pancasila berubah menjadi demokrasi liberal (3) Kedaulatan rakyat cenderung berubah menjadi kedaulatan partai politik, sehingga terbentuklah oligarki. (4) Indonesia dari negara hukum cenderung menjadi negara kekuasaan. (5) Negara berdasarkan Pancasila cenderung menjadi negara individualistis, kapitalis dan liberalis (6) Negara kesatuan cenderung menjadi semi federal, sistem presidensial menjadi semi parlementer dan negara kebangsaan cenderung menjadi negara korporasi. Masalah Presiden orang Indonesia asli (pribumi), Anton sependapat, Presiden harus orang Indonesia asli. Sebab dalam konstruksi konstitusi negara, kita kita kenal adanya suku bangsa, negara dan pemerintah. Sedang pribumi atau orang Indonesia asli inilah identitas kebangsaan negara kita. Jati diri kita sebagai bangsa. Pendapat Anton sangat beralasan. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) saja mengakui hak-hak pribumi, tentang hak kedaulatan politik, ekonomi dan kebudayaan. Mengapa kita mesti alergi dengan pribumi? Apabila tidak kita kunci dari sekarang, maka anasir asing akan langkah tegap menguasai Indonesia tanpa harus menduduki. Masalah kesejahteraan sosial, terkait Pasal 33 ayat (4) UUD 2002, Anton sejalan dengan Prof. Tjipta Lesmana dan Dr. Laode Ida. Ayat ini telah membuat liberalisasi ekonomi, ketidakmandirian dalam pengelolaan sumber kekayaan alam dan pemiskinan negara kita. Perubahan UUD 1945, Pasal 1 ayat (2) tentang kedaulatan rakyat, Pasal 6 tentang Presiden orang Indonesia asli dan Pasal 33 ayat (4), akan membawa Indonesia menuju neo leberalisme, neo kolonialisme dan neo komunisme. Penekanan dan pentingnya kewaspadaan terhadap bahaya neo komunisme, sebagai penutup pendapat Anton. Ir. Heppy Trenggono, President of Indonesian Islamic Business Forum, Inisiator Gerakan Beli Indonesia. Sejak awal, Heppy Trenggono mengaku betapa sulit mengajak kembali ke UUD 1945. Amien Rais pernah menyampaikan kepada dirinya, bahwa kita itu dijajah tanpa senjata karena Undang-undang Dasar dan sebagainya. Amien mengutip sebuah buku, yang menurut Heppy seperti penyesalan. Setelah sekian tahun, menjelang Pilpres 2019 bertemu lagi, Heppy berbicara perlunya tokoh yang bisa membawa kembali ke UUD 1945, tetapi, Amien Rais mengatakan, “mas, kalau itu saya bertahan”. Jadi Amien Rais masih meyakini amandemen itu benar. Heppy berpendapat, Undang-undang Dasar itu cara mencapai cita-cita sebagai bangsa. Kita itu akan dan mau kemana? Sejak reformasi, dengan UUD 2002, kita semakin jauh dari cita-cita, kata Heppy. Ada 3 (tiga) hambatan yang disorotinya. Pertama, semakin jauh dari cita-cita untuk adil dan makmur. Masyarakat tersingkir dari partisipasi ekonomi. Petani tidak tahu apa yang harus ditanam. Sentra ekonomi mati. Jualan di pasar tergusur. Tukang ojek pun tergusur ojek online yang berbasis kapitalisme. Kedua, figur pemimpin di semua tingkat, kualitasnya memprihatinkan, akibat kapitalisme dalam proses rekrutmen pemimpin dengan biaya tinggi. Pembangunan karakter nyaris tidak terjadi. “One man, one vote” walau nabrak nilai-nilai Pancasila tetap dipertahankan. Ketiga, kepemimpin tidak berkualitas, berakibat tidak sensitif terhadap ancaman kedaulatan. Tidak ngerti ancaman komunisme, ancaman China dan dari luar lainnya karena ledakan penduduk dan pencari sumber daya alam. Semua bangsa di dunia itu tahu “Red Peril” dan “Yellow Peril” itu apa? Balik kita, tanya Heppy menutup pendapatnya. Samuel Lengkey, SH, MH, Advokat & Konsultan Hukum. Samuel Lengkey yang menggeluti filsafat, hukum, politik dan lintas agama. Pikirannya cenderung akademis dan realistis. Kata Samuel, perdebatan kembali ke UUD 1945, sulit dicerna masyarakat. Masyarakat menjadi paranoid, seolah-olah kembali ke masa lalu. Padahal, selama ini UUD 1945 belum pernah dilaksanakan secara benar. Lalu bagaimana caranya? Kita harus masuk ruang pemikiran “the founding fathers” untuk memahami pengalaman dan pengetahuan yang dipaparkan dalam sidang BPUPKI-PPKI. Karena Bapak Bangsa Indonesia itu lebih tahu bagaimana membentuk negara ini, yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Dengan membaca risalah sidang BPUPKI-PPKI, kita gali pemikiran Bapak Bangsa Indonesia. Kita bisa melihat historinya, cakrawala peradaban, kekayaan intelektual dan kekhawatiran di masa depan “the founding fathers”, sehingga kita bisa merasakannya. Melalui proses kontekstualisasi dan rasionalisasi, kita bisa menyempurnakan UUD 1945 dengan cara adendum, untuk menyongsong masa depan. Sehingga nilai-nilai, cita-cita dan tujuan didirikannya Indonesia Merdeka tetap lestari. Tetap abadi ke depan. Buah amandemen ini bak buah terlarang yang dimakan Siti Hawa, sehingga Adam dan Siti Hawa keluar dari sorga. Buah amandemen dengan pemilihan presiden secara langsung telah memecah belah bangsa. Ditambah Pilkada langsung yang bikin cerai-berai. Apakah masih kita pertahankan? tanya Samuel Lengkey menutup pendapatnya. Tidak hanya Veteran Komisi Konstitusi dan Genersi Muda yang bicara amandemen UUD 1945. Senior Pejuang pun ikut bicara. Apa kata mereka, silakan baca “Membedah dan Memetik Buah Amandemen UUD 1945 (3) : “Apa Kata Senior Pejuang?”. Semoga bermanfaat, amin. (bersambung). Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Kebebasan Pers Kian Terancam

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Kamis (03/08). Tanpa pers yang bebas, negara tidak bisa disebut sebagai demokratis. Itu prasyarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar. Kebebasan pers dan demokrasi adalah dua sisi mata uang. Tidak bisa dipisahkan. Tanpa itu, sebuah negara jelas bukanlah negara demokratis. Kalau toh tetap mengklaim, ngaku-ngaku sebagai negara demokratis, kualifikasinya adalah pseudo democracy. Demokrasi semu. Dari sisi itu tanda-tanda Indonesia menjadi demokrasi semu, kian kuat. Tim Lindsay, seorang akademisi dan peneliti dari Universitas Melbourne, Australia malah menilai Indonesia di bawah rezim Jokowi telah berubah menjadi “Neo New Order.” Penilaian semacam itu merupakan sebuah ironi. Neo Orde Baru, mengacu pada pemerintahan otoriter Indonesia di bawah rezim Soeharto selama 32 tahun. Sementara Indonesia harusnya jauh lebih maju dalam praktik demokrasi. Era Reformasi sudah memasuki dua dasa warsa (21 tahun). Harus lebih mapan dan dewasa secara demokrasi. Rabu (2/9) malam di sejumlah platform pertemanan heboh. Tulisan akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun di tempo.co tiba-tiba menghilang. Tak bisa dibuka. Tulisan tersebut semula tampil di kolom opini dengan judul “Kejahatan Besar Sedang terjadi di Indonesia.” Ubed, begitu biasa dipanggil menyoroti secara tajam dan keras berbagai praktik penyimpangan dalam kepemimpinan Jokowi. Namun ketika tautan kolom itu dibuka, opini Ubed menghilang. Tidak bisa dibuka. Keterangan yang muncul : Page Not found. Sorry you have accesed a page that does not exist or was moved. Halaman tidak ditemukan. Akses halaman sudah tidak ada, atau dipindahkan. Beberapa saat kemudian artikel tersebut muncul kembali di kolom “Indonesiana.” Judulnya sudah berubah menjadi “Persoalan Besar Sedang Terjadi di Indonesia.” Tempo Ditekan? Menghilangnya dan kemudian dipindahkan artikel Ubed dari Kolom Opini ke kolom Indonesiana, menimbulkan tanda tanya. Pasti sedang terjadi “apa-apa” pada Tempo.co Kolom opini adalah halaman resmi dari media. Diisi oleh para penulis opini yang kredibel. Memenuhi standar, value media yang bersangkutan. Tulisan bisa datang dari si penulis, atau atas permintaan redaksi. Secara hukum media ikut bertanggung jawab atas publikasi opini tersebut. Sementara kolom Indonesiana masuk dalam kategori user generated content. Sebuah platform yang disediakan oleh media online untuk menarik dan menampung tulisan pembaca. Mereka bebas menulis, memilih topik apapun dan mengunggahnya. Ada yang melalui moderasi redaksi. Tapi banyak pula yang bebas tanpa moderasi. Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konsekuensi hukum dari konten tersebut. Sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengunggah. Tulisan-tulisan tersebut juga bisa dimuat di berbagai media lain, tanpa hak eksklusif. Jadi bebas merdeka! Satu catatan lagi. Pada kolom opini, si penulis mendapat honorarium dari media. Pada user generated content tidak disediakan honor. Gratis! Biasanya para penulis pemula banyak memanfaatkan fitur ini. Namun banyak juga penulis senior yang memanfaatkannya, sebagai outlet untuk menyebarkan pikiran dan pendapatnya tentang berbagai hal. Dengan muncul di kolom opini, sesungguhnya tulisan Ubed tidak masuk dalam kategori user generated content. Bahwa kemudian artikel tersebut dipindahkan ke tempat yang “lebih aman” menunjukkan tempo.co dalam tekanan. Penjelasan redaksi tempo.co bahwa artikel tersebut “lebih cocok di sana” tidak cukup memadai. Spekulasi semacam itu tidak bisa dihindari. Publik pasti tidak percaya. Cukup diterima dengan senyum, sembari mencoba memakluminya. tempo.co bersama tirto.id beberapa pekan lalu menjadi pembicaraan publik . Situsnya diretas dan tampilannya diubah oleh hacker. Serangan terhadap tempo.co dan tirto.id diduga erat kaitannya dengan sikap kritis kedua media terhadap berbagai kebijakan pemerintah di masa pandemi. Tempo Group belakangan sangat kritis menyoroti kegagalan pemerintahan Jokowi menangani pandemi Covid-19. Mereka juga menyoroti penggunaan influencer dan buzzer yang menghabiskan anggaran negara. Sementara tirto.id menyoroti langkah TNI AD dan BIN yang bekerjasama dengan Universitas Airlangga menemukan “obat” Covid-19. Apakah diubah dan digesernya kolom Ubed di tempo.co karena tekanan pemerintah? Atau karena self censorship dari internal redaksi? Dua-duanya menunjukkan semakin tidak bebasnya pers di Indonesia. Masih mau mengklaim pers Indonesia bebas? Masih mau menepuk dada bahwa Indonesia adalah negara demokratis? End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO

Ruhut Tuduh Umat Islam Merongrong Pemerintah?

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (03/09). Ruhut Sutompul muncul lagi, horeee. Cuma saja kali ini Ruhut tidak lagi minta atau menantang bertarung dengan jaminan potong kupingnya kalau kalah bertarung. Seperti yang diumbar-umbar Ruhut ketika ingin mempertahankan sipenista Agama Islam Ahok bertarung di Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2017 lalu. Kemunculan Ruhut kali ini hanya untuk menggambarkan kondisi dan peta politik nasional kekinian. Huebat kan Ruhut? Menurut gambaran politik Ruhut, tiga kelompok yang sekarang merongrong pemerintahan Jokowi. Ada kelompok Din Syamsuddin, kelompok 212, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Wuiiiih, huebat sekali analisanya Ruhut, he he he. Ruhut menyatakan siap berjuang untuk Jokowi habis habisan. Tunggu perintah dari bossnya, Megawati. Jadinya sekarang tiga kelompok lawan tiga Ruhut. Rehut pertama adalah Ruhut PDIP, Ruhut kedua adalah Ruhut Demokrat, dan Ruhut ketiga adalah Ruhut Golkar. Mati-matian sekarang Ruhut membela PDIP, serasa kader "aseli". Ruhut bukan lagi kader PDIP indekost atau imigran. Sama seperti dulu ketiks Rhut menjadi kader paling Demokrat dan paling Golkar. Walaupun demikian, wajarlah memang, kondisi bangsa ini sedang dilanda “politik angin anginan, politik jilat-menjilat dan politik mencari selamat kepada kekuasaan". Kemana angin bergerak ke situ sang oknum berpijak eh berpihak. Lagi musimnya mencari sandaran untuk merapat ke penguasa. Kebetulan penguasa juga lagi membutuhkan pelampung penyelamat untuk menyelamatkan kapal yang hampir tenggelam di tengah badai dan ombak besar. Mengerikan budaya politik menjilat yang tengah melanda bangsa ini dengan dahsyatnya. Seperti serasan para demang yang sedang membela penguasa kumpeni. Tidak peduli tingkat kejahatannya seperti apa? Termasuk menindas bangsanya sendiri. Persetan dengan harga diri, karena yang penting adalah “diri ada harga". Mau menjadi "buzzer" atau "influencer" sama saja. Yang jelas semua ada pembina yang mengorder. Sentimen kepada oposisi atau Islam kah tuan Ruhut sekarang ini ? Sebab Ruhut sebut Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) kelompok Din Syamsuddin yang tokoh Islam. Ruhut juga menyebut 212 juga aksi umat Islam terhadap penista agama Ahok. Lalu HTI juga pergerakan Islam. Apakah Ruhut mau bicara dan menyatakan bahwa yang merongrong pemerintahan Jokowi-Ma'ruf itu adalah umat Islam? Kalau itu yang hendak dimaui oleh Ruhut, maka mungkin saja umat Islam akan memberikan predikat kepada Ruhut sebagai "musuh besar umat" hari ini. Jika demikian adanya, maka umat Islam tentu saja sangat siap untuk menghadapi apa saja yang dimaui oleh Ruhut. Bertarung di semua lini pun boleh. Toh, cuma sekedar menghadapi seorang Ruhut ini. Sebagai orang yang mengerti hukum, tentu Ruhut faham bahwa menyebut Din Syamsudin dan kelompoknya sebagai perongrong Pemerintah itu harus dibuktikan. Jika tidak, maka berbalik menjadi delik yang menjerat Ruhut. Delik fitnah dan pencemaran. Lalu benarkah Pemerintah merasa terongrong ? Mahfudz, Luhut, Moeldoko atau "tokoh" Pemerintah lainnya pada diam, dan tidak ada ungkapan merasa terongrong. Lagi pula apakah agar tidak terongrong, maka Pemerintah tidak boleh dikritik ? Suara beda dibungkam dan semua harus menurut patuh pada Pemerintah? Of course, no. Pemimpin yang tidak kompeten tidak boleh dibiarkan. Apalagi sewenang-wenang menguras kekayaan negara dan memeras warga negara. Hancur bangsa jika tidak ada pengawasan dan koreksi. Ruhut mesti sadar bahwa negara ini sedang sakit. Mungkin juga sekarat. Kondisi ini terjadi sekarang disebabkan oleh merajalelanya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Juga tingginya tingkat kesenjangan sosial, serta negara yang dikuasai kepentingan asing dan aseng. Benar bahwa "covid 19" merupakan ancaman bagi semua, baik pemimpin maupun rakyat. Tetapi pemimpin "stupid" adalah penyakit yang jauh lebih berbahaya. Ruhut boleh saja memetakan berdasarkan asumsi sendiri tentang kelompok yang merongrong pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, tetapi rakyat, khususnya umat Islam juga dapat memetakan dan mencatat dimana Ruhut Sitompul berada. Tak ada kekuasaan yang abadi. Kita lihat saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pemerintahan Jokowi Semakin Rapuh

by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum Jakarta FNN – Rabu (02/090. Fokus, sekali lagi fokus, teridentifikasi menjadi ciri paling menonjol pada setiap pemerintahan yang sedang dililit masalah-masalah krusial. Tahu penyebab terbesar dari masalah yang melilit negara, lalu menemukan pemecahan yang tepat. Begitulah yang ditampilkan oleh berbagai pemerintahan di dunia. Indonesia maupun di dunia Internasional menunjukannya. Tidak bisa diluar itu. Bekerja di luar kerangka itu, dipastikan masalah semakin tambah membesar. Pemerintahan akan rapuh dan semakin rapuh. Pemerintahan jenis ini akan menemui akhir yang menyakitkan. Pemerintahan Jokowi hari-hari ini terlihat sedang dan terus mengalami kerapuhan itu. Dari waktu ke waktu terlihat semakin dalam. Dari waktu ke waktu pemerintah ini terlihat sulit menemukan fokus permasalahan untuk menyelesaikan masalah. Faktual Sulit Yakinkan Rakyat Sri Mulyani Lempar Penyelesaian DIPA PEN ke Komite Covid-19. Ini judul berita CNN Indonesia tanggal 26/8/2020. Di dalamnya diuraikan, saya kutip secara lengkap. "PEN yang belum ada DIPA ditangani oleh Pak Menko, Pak Erick (Ketua Pelaksana Penanganan Covid-19 dan PEN), dan BNPB (Doni Monardo). Tapi kami dari Kemenkeu bantu sepenuhnya yang butuh tambahan DIPA," ujar Ani, sapaan akrabnya, saat konferensi pers virtual APBN Kita, Selasa (25/8). Dari pagu itu, Ibu Menteri ini menambahkan anggaran yang sudah terpakai baru mencapai Rp. 174,79 triliun per 19 Agustus 2020. Jumlah itu setara 25,1 persen dari pagu anggaran (Lihat CNN Indonesia, 26/8/2020). Sangat menarik. Siapa yang menurut hukum keuangan negara menyediakan DIPA? Diseberang dekat dengan Ibu Menteri, CNN Indonesia melansir pernyataan Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Airlangga mengatakan realisasi penyerapan dana penanganan pandemi virus corona baru Rp. 182,55 triliun per 26 Agustus 2020. Ini artinya, pemerintah baru menggunakan dana tersebut sebesar 26,2 persen dari total alokasi yang sebesar Rp. 695,2 triliun. Dijelaskan lebih jauh "perkembangan sampai dengan hari ini 26 Agustus 2020 realisasi anggaran dari enam kelompok program PEN mencapai Rp. 182,55 triliun atau 26,2 persen," ungkap Airlangga dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (26/2). Ia menjelaskan realisasi penyerapan meningkat cukup signifikan dari Juli dan Agustus 2020. Tercatat, penyerapan pada akhir semester I 2020 sebesar Rp. 124,62 triliun. Kemudian, total penyerapan pada Juli 2020 naik menjadi Rp. 147,67 triliun. Kami, Airlangga menambahkan, ingin memastikan bahwa semua alokasi anggaran sudah ada programnya. Sudah bisa dipastikan realisasinya. Kalau ada program yang berpotensi tidak terealisasi dan tidak terserap anggarannya, kami sudah siapkan beberapa usulan program baru dengan kriteria yang berdampak signifikan terhadap ekonomi. (Lihat CNN Indonesia, 26/8/2020). Begitulah postur otoritatif pemerintahan Jokowi mengelola anggaran corona dan pemulihan ekonomi nasional. Postur ini terlihat menjadi penyumbang terbesar Indonesia berada pada keadaan yang benar-benar tidak produktif. Hari demi hari, semakin menyusahkan. Resesi ekonomi menanti dengan pasti. Pemerintah tak bisa lagi menemukan argumen manis untuk meyakinkan rakyat. Keadaan ekonomi nyata yang begitu pahit, tak mungkin dilukiskan dengan kata-kata manis, apalagi optimisme. Kata para ekonom keadaan ekonom, postur ekonomi pada triwulan ketiga ini benar-benar menakutkan. Ditengah kenyataan itu, muncul lagi kenyataan lain yang tidak kalah pahit sekaligus merobek-robek akal sehat. Pertamina, perusahaan negara itu menderita kerugian sebesar Rp 11 triliun lebih. Pertamina memang sempat menyodorkan argumen justifikatif terhadap kenyataan itu. Sayangnya argumen Pertamina terlalu rapuh. Bahkan konyol untuk dapat diyakini oleh masyarakat. Beli minyak dengan harga murah, lalu jual dengan harga mahal, tetapi rugi, jelas tidak bisa diterangkan dengan logis. Tidak ada nalar yang dapat menerimanya. Begitulah postur faktual pemerintahan saat ini. Hanguskan Harapan Untuk Bangkit Apakah DIPA belum tercetak merupakan akibat dari kebijakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang lainnya? Apakah DIPA belum tercetak, sehingga anggaran tidak bisa digunakan? Menggambarkan negara ini tidak punya uang? Tidakkah DIPA memiliki basis atau hanya dapat dirancang setelah program dan kegiatan tuntas tersedia? DIPA tidak pernah tidak berbasis program dan kegiatan kementerian atau lembaga atau Gugus Tugas, atau apapun itu. Itu sebabnya soal ini, tidak bisa dipecahkan dengan mengubah UU BI, OJK dan sejenisnya. Untuk alasan apapun, DIPA sama sekali tidak ada kaitannya dengan sistem keuangan. Tidak ada kaitannya dengan nilai tukar mata uang. DIPA selalu merupakan masalah teknis. Apa programnya, dan apa kegiatan dalam program itu. Itulah DIPA. Program dan kegiatan yang di-DIPA-kan inilah yang dibiayai dengan APBN. Membiayai program dan kegiatan itulah cara anggaran diserap, dibelanjakan atau digunakan. Praktis, serapan anggaran tidak ada kaitannya dengan sistem nilai tukar. Tidak ada hubungannya dengan jual-beli SUN. Ketidakmampuan menyediakan DIPA, tidak dapat disiasati dengan menyebar isu resufle misalnya. Soal ini juga tak dapat diatasi dengan menyebarkan berita-berita propaganda tentang ini dan itu. Sama sekali tidak. Melokalisir masalah dengan cara itu justru semakin menelanjangi kerapuhan pemerintahan ini. Ditengah keadaan sebagian DIPA belum tersedia, Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan membagi-bagi pulsa untuk PNS yang bekerja dari rumah. Ini menarik. Mengapa? DIPA kementerian mana atau pada bagian mana pada DIPA Komite Penanganan corona dan PEN yang menyediakan kegiatan seperti itu? Akankah kebijakan ini bekerja segera setelah keputusan dibuat atau akan sama dengan kebijakan subsidi terhadap pekerja berpendapatan dibawah lima juta? Pekerja yang sampai saat ini datanya belum benar-benar tersedia? Sampai saat ini pemerintah melalui Menteri Erick Tohir masih meminta bantuan pengusaha menyetor nama calon penerima BLT. Termasuk mengimbau pekerja yang layak mendapat BLT, tetapi tdak punya rekening agar segera membuat rekening bank (CNN Indonesia, 2/9/2020). Terlalu rapuh, kebijakan telah diresmikan dan dilaksanakan, tetapi data yang diperlukannya belum juga tersedia utuh. Dilansir CNN Indonesia, (2/9/2020), sejauh ini baru 1,9 juta pekerja yang menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Menariknya di tengah keadaan itu, pemerintah juga memproyeksi calon pekerja yang layak mendapat BLT. Kerapuhan dan tertatih-tatih, tanda lain dari pemerintah yang kehabisan gagasan. Kondisi itu semakin jelas menandai pemerintah ini. Tidak menyenangkan, bahkan mengkhawatirkan. Mengapa? Dalam kenyataannya corona terlihat belum akan berdamai dengan manusia dalam waktu dekat. Proyeksi pemerintah tentang penyediaan vaksin, sejauh yang dapat diverifikasi efektif tersedia dan direalisasikan pada awal 2021. Logikanya, tiga hingga empat bulan kedepan, Indonesia belum bisa keluar dengan leluasa dari lilitan corona. Efek mematikan ekonomipun akan terus menakutkan. Presiden harus menemukan, selain style baru kebijakan. Juga fokus dalam rincian. Jernih harus pandai dan membaca gelagat masalah juga mutlak dilakukan Presiden. Sebab Presiden harus dilarang untuk menutupi kerapuhan pemerintahan dengan cara-cara yang ditawarkan demokrasi urakan (menyebar isu, mengkapitalisasi isu-isu kecil). Itu sangat tak bermutu dan amatiran. Juga tidak berkelas sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Cara itu justru semakin mempercepat bangsa ini tenggelam dalam masalah. Model itu terlalu kuno dan konyol untuk kondisi sekarang. Temukan fokus dan kebijakan yang rinci, supaya akan menjadi air yang mendinginkan kenyataan panasnya ekonomi. Apalagi fakta ekonomi yang kini kian menghanguskan kearifan. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.