NASIONAL
Ekonomi Indonesia Kuartal II-2020 Minus -25%
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Ahad (16/08). Pertumbuhan Kuartal I-2020 Lebih Buruk dari Jepang. Judul tulisan ini bukan fitnah. Bukan Hoaks. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 (Q2/2020) minus -25%, dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, Quarter-on-Quarter (QoQ) yang disetahunkan. Judul tulisan ini mengimbangi berita yang dimuat banyak di media massa Indonesia tentang pertumbuhan ekonomi dunia di masa resesi. Kompas.com pada 31 Juli menurunkan berita: Ekonomi AS Minus 32,9 Persen pada Kuartal II-2020, Terburuk sejak 1921: https://money.kompas.com/read/2020/07/31/084125926/ekonomi-as-minus-329-persen-pada-kuartal-ii-2020-terburuk-sejak-1921?page=all Bisnis.com juga menurunkan berita serupa: Ekonomi AS Terkoreksi 32,9 Persen, Penurunan Tertajam Sejak 1947: https://ekonomi.bisnis.com/read/20200730/9/1273344/ekonomi-as-terkoreksi-329-persen-penurunan-tertajam-sejak-1947 Dan banyak media online lainnya yang menurunkan berita dengan isi sejenis seperti republika.co.id, inews.id, tempo.co, cnnindonesia.com, cnbcindonesia.com dan banyak lagi. Inti isi berita tersebut adalah ekonomi AS turun 32,9 persen pada kuartal II-2020. Selain itu, banyak media massa Indonesia juga menurunkan berita ekonomi Singapore turun 42,9 persen pada kuartal II-2020. Pada 11 Agustus 2020, cnnindonesia.com menurunkan berita dengan judul Resesi Singapura, Ekonomi Minus 42,9 persen pada Kuartal II: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200811131634-532-534460/resesi-singapura-ekonomi-minus-429-persen-pada-kuartal-ii Dan kompas.com menurunkan berita Singapura Resesi, Ekonomi Kuartal II Minus 42,9 Persen Dibandingkan Sebelumnya : https://money.kompas.com/read/2020/08/11/090100126/singapura-resesi-ekonomi-kuartal-ii-minus-42-9-persen-dibandingkan-sebelumnya. Dan banyak media lainnya juga menurunkan berita sejenis. Apakah berita tersebut benar? Apakah ekonomi AS dan Singapore turun 32,9% dan 42,9%? Yang jelas, isi berita tersebut kurang tepat. Setidak-tidaknya penjelasannya tidak lengkap. Banyak kekurangan. sehingga pengertian dan substansi isi berita melenceng. Nampaknya, media yang mengutip berita luar negeri tersebut tidak menyimak isi berita dengan baik. Mungkin karena kurang paham masalah ekonomi, sehingga asal muat saja. Tetapi, akibatnya fatal. Karena data tersebut juga dikutip dan menjadi rujukan banyak pihak, termasuk pejabat. Para pejabat yang mengutip juga tidak paham soal apa yang dibicarakan, sehingga sempurnalah kekisruhan data ekonomi tersebut. Interpretasi yang benar adalah, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Singapore pada Q2/2020 masing-masing turun (minus) -9,5% dan -13,1 persen dibandingkan kuartal sebelumnya (Q1/2020), atau Quarter-on-Quarter (QoQ), setelah dikoreksi faktor musiman (seasonally adjusted). Pertumbuhan ekonomi AS pada Q2/2020 yang sebesar -9,5% ini, kalau disetahunkan (annualized), menjadi minus -32,9%. Maksudnya, kalau ekonomi AS pada tiga kuartal berikutnya juga tumbuh dengan minus -9,5%, maka pertumbuhan setahun ke depan akan menjadi -32,9% (compound). Hitungannya, (1+pertumbuhan) dipangkatkan 4 dikurangi 1: (1+(-9.5%)) ^ 4 -1. Sebagai ilustrasi, kalau pada awal periode, anda ada uang Rp 100, dan setiap kuartal berikutnya turun -9,5%, maka pada Q1 uang anda menjadi Rp 90,5 (berkurang 9,5%), pada Q2 menjadi Rp 81,9 {(100%-9,5%) x Rp 90,5}, pada Q3 menjadi Rp 74,1 dan pada Q4 menjadi Rp 67,1, atau 67,1% dari Rp 100. Artinya turun Rp 32,9 atau 32,9% dari Rp 100. Dengan demikian, berdasarkan perhitungan yang disetahunkan, annualized, ekonomi AS dan Singapore masing-masing terkontraksi minus -32,9% dan -42,9%. Berdasarkan perhitungan ini, maka ekonomi Indonesia pada Q2/2020 anjlok minus -25% (QoQ, SA, annualized), karena pada Q2/2020 ekonomi Indonesia minus -6,9%, QoQ-SA. Bagaimana dengan Q1/2020? Ekonomi Indonesia pada Q1/2020 minus 0,69% (QoQ-SA). Sedangkan ekonomi Jepang pada Q1/2020 minus 0,56% (QoQ-SA). Jadi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Q1/2020 sebenarnya lebih buruk dari Jepang, secara QoQ-SA. Semoga untuk ke depannya, media massa dapat menurunkan berita ekonomi secara lebih cermat. Para wartawan dan editor diharapkan mencerna sungguh-sungguh berita yang dikutip dari luar negeri, agar tidak menyesatkan publik. Dapat memberi informasi yang tepat kepada para pejabat serta pengguna data. Berikut ini adalah contoh berita yang memberi informasi secara lebih cermat dan benar: U.S. Economy Shrinks at 32.9% Annualized Pace: https://www.treasuryandrisk.com/2020/07/30/u-s-economy-shrinks-at-32-9-annualized-pace/?slreturn=20200715022946 Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
KAMI Sebagai Jembatan Aspirasi Rakyat
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (16/08). Pembentukan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) mendapat respon bagus di kalangan masyarakat. Ada harapan yang digantungkan masyarakat kepada koalisi tokoh-tokoh oposisi yang tergabung dalam KAMI tersebut. Masyarakat tidak bisa berharap banyak dari rezim yang sedang berkuasa sekarang. Dasar terbetuknya KAMI penyelamatan bangsa. Untuk menolong negara yang akan tenggelam akibat salah kelola dari para penyelenggara negara. Sebab di era Pemerintahan Jokowi, tercatat kondisi bangsa parah hampir di segala bidang, baik ekonomi, politik, budaya, maupun agama. Sulit untuk menyebut adanya prestasi dari kinerja yang baik dari kepemimpinan di pemerintahan Jokowi. Pandemi covid sebagai musibahpun masih dijadikan lahan untuk menggerus uang negara. Melalui pembentukan sejumlah peraturan perundang-undangan yang berbau rekayasa. Tujuanya untuk menolong korporasi dan oligarkis licik, picik, tamak dan culas yang sudah bangkrut sebelum datangnya Pendemi covid. KAMI nampaknya bukan untuk "kami" tetapi untuk kita semua. Untuk bangsa dan negara. Untuk menyelamatkan Indonesia dari kebangkrutan yang lebih parah. Kita sebagai rakyat sekarang ini merasa tersumbat aspirasi oleh hegemoni korporasi, oligarkhi, atau tirani kekuasaan. Tata kelola kekuasaan yang dikendalikan oleh korporasi dan konglomerasi semata. Para tokoh yang berhimpun dalam koalisi, sebagian besar diantaranya adalah para senior yang berkategori "sudah selesai dengan urusan dirinya". Artinya, mereka itu memiliki spirit pengabdian penuh dan tinggi. Mereka mengkontribusikan sisa usia bagi kemashlahatan rakyat, bangsa, dan negara. Mereka berikhtiar untuk suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Namun kekuatan infrastruktur politik juga tentu menentukan. Di saat partai politik terkooptasi oleh kekuasaan kapitalistik, korporasi dan konglomerasi, kelompok penekan tersandera oleh kekuatan represif, dan media yang menderita sesak nafas akut. Keberadaan tokoh politik (political figure) yang berhimpun di dalam KAMI untuk menyuarakan aspirasi rakyat menjadi sangat penting. Sangat dibutuhkan saat ini. Sebagai wujud dari gerakan moral politik yang aspiratif. Moral politik yang perduli terhadap kemiskinan rakyat. Moral politik yang perduli terhadap pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK). KAMI adalah koalisi masyarakat sivil (sivil society) yang resah dan perduli dengan petumbuhan ekonomi yang minus -10,34% bila dihitung dari awal Januari 2020. Koalisi civil society yang resah melihat pelanggaran terhadap konsitusi negara di depan mata. Contohnya nyata adalah dihilangkannya hak budgeting DPR untuk mengawasi APBN selama tiga tahun. Aspirasi publik bergaung untuk keyakinan bahwa menyelamatkan negeri harus dimulai dengan dialog dinatara anak-anak bangsa. Kebenaran bukan hanya milik penguasa. Dialog agar muncul kesadaran bahwa Presiden sebaiknya mundur dari jabatannya. Mundur sebagai bentuk kesasdaran untuk menyelamatkan bangsa dari krisisi multi demensi. Dengan adanya kepemimpinan bangsa baru, maka langkah dan upaya pembenahan dilakukan. Bisa bembangun kembali kepercayaan rakyat kepada bangsa dan negara. Mebangun kembali harapan dan cita-cita tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam alinea ke emapat Pembukaan UUD 1945. Mungkin dilakukan secara segmenter atau elementer. Seluruhnya berbasis Ideologi dan Konstitusi. KAMI adalah fenomena tersendiri. Wadah silaturahmi untuk menyelamatkan negeri. Kiprahnya dinanti oleh rakyat yang semakin terhimpit dan tereliminasi di negerinya sendiri. Koalisi aksi. Bukan sekedar basa-basi politik. Tetapi merealisasikan tugas, perintah dan amanat Proklamasi. "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain dilaksanakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya". Dua spirit Proklamasi, yaitu merdeka dari penjajahan dan pemindahan kekuasaan harus dilakukan secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. KAMI adalah koalisi cerdas, berani, dan berdaya guna. Berjuang demi kebaikan bangsa dan negara. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pidato Kenegaraan Jokowi, Harapan Hampa
by Ubadilah Badrun Jakarta FNN – Sabtu (15/08). Pidato Kenegaraan Jokowi seperti harapan hampa. Diantara ciri harapan hampa adalah pidato yang melangit, tapi lupa terhadap pijakan di bumi. Menghayal atau mimpi. Bermimpi bahwa Indonesia dalam beberapa bulan kedepan akan pulih, dan ekonomi tumbuh diatas 4 persen adalah harapan hampa. Tidak realistis. Jokowi lupa kalau kakinya ada di Solo. Lupa menginjakan kaki di bumi bahwa saat ini angka pertumbuhan ekonomi Indonesia minus lebih dari 5 %. Kalau lupa, sebaiknya Jokowi tengoklah rakyat miskin dan pengangguran di Solo, di Jawa, di Jakarta, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Bali, Lombok, hingga Papua. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada maret 2020 menyebutkan, penduduk miskin mengalami kenaikan menjadi 26,42 juta orang. Agustus ini tentu saja akan terus mengalami kenaikan. Sebab tidak ada tanda-tanda perbaikan ekonomi yang memberi harapan. Perumpamaan ekonomi saat ini sedang hang. Seperti perangkat komputer harus di re-start atau di re-booting ualng. Itu juga perumpamaan yang keliru. Sebab sama sekali tidak tepat, karena krisis ekonomi saat ini bukan sekedar diselesaikan dengan pencet tombol untuk re-start atau re-booting, tetapi kerusakanya ada pada sistem dan tata kelolanya yang kacau dan amburadul. Tidak terlihat tata kelola yang baik dan benar. Tata kelola itu hanya bisa berjalan dengan baik, jika ada pemimpin yang mampu memanajnya dengan baik. Secara sederhana berarti ada persoalan pada sistem yang keliru. Tragisya, kekeliruan tersebut sebagai akibat persoalan kepemimpinan. Jadi perumpamaan yang tepat adalah saat ini sistem komputer sedang rusak parah. Sementara operatornya gagal memahami kerusakannya. Tidak juga memehami sistem yang bekerja pada komputer. Operatornya menjadi bingung sana-sini. Akibatnya, tidak tau bagaimana cara untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi pada komputer. Bisanya hanya menyalahkan lingkungan sekitar. Padahal permasalahan utama adalah operator yang gagal faham. Akibat gagal faham, maka tidak bisa menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar. Peraturan dibuat saling bertabrakan antara satu dengan yang lain. Undang-undang bertabrakan dengan konstitusi. Hilangnya hak budgeting DPR sebagai salah satu contoh paling sederhana. Belom lagi peraturan-peraturan lain yang dibawahnya. Pidato kenegaraan Jokowi juga berlebihan. Tidak realistis terhadap kenyataan yang dialami masyarakat. Membangga-banggakan diri bahwa Indonesia sudah termasuk negara dengan kategori middle income country. Padahal sekarang ini ekonomi kita terpuruk dengan angka pertumbuhan minus 5 persen lebih. Dalam pidato kenegaraan yang hampa itu, Jokowi sengaja tidak menjelaskan bahwa status middle income country yang diberikan World Bank tersebut, didasari atas perhitungan Gross National Income (GNI) per capita Indonesia tahun 2019 lalu. Bukan pada GNI tahun 2020, dimana ekonomi Indonesia saat ini sedang terpuruk. Peernyataan Jokowi tentang tentang middle income country atas perhitungan GNI tahun 2019 tersebut, sama saja seperti Soeharto pidato tahun 1998 silam. Ketika itu Soeharto bercerita bla-bla tentang ekonomi Indonesia yang tumbuh sebesari 8,46%, namun tanpa menjelaskan perhitungan dan pertumbuhan ekonomi tahun 1997. Tapi Soeharto tidak hanya bisa berpidato seperti itu saja. Soeharto bersikap legowo dan kesatria. Seoharto mengerti betul sopan-santun bernegara dalam keadaan krisis. Sehingga Soeharto dengan berjiwa besar, rela mundur dari kursi Presiden. Sikap kesatria Soeharto inilah yang diharapkan muncul dari Jokowi. Penulis adalah Pengajar di Universitas Negeri Jakarta.
Sebentar Lagi Jokowi Rontok
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (15/08). Semangat perubahan di kalangan rakyat, sejauh ini terlihat sudah mulai merata. Keberanian untuk menyatakan bahwa pemerintahan ini lemah, otoriter, gagal, bahkan bobrok sudah tumbuh. Gumpalan perlawanan politik secara politik juga mulai terbentuk. Merata hampir para semua kelompok masyarakat. Seruan agar Jokowi mundur akan terus bergaung. Pemerintahan Jokowi bakal kesulitan untuk bertahan, karena jika rakyat sudah berteriak mundur, maka tak akan ada kekuatan yang mampu untuk meredam. Semua pendukung termasuk elit kekuasaan akan berlompatan sana-sini untuk menyelamatkan diri masing-masing. Mencari sekoci sendiri-sendiri, yang bersama “sekoci keselamatan”. Lahirnya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) akan menjadi "trigger" perubahan tersebut. Kumpulan tokoh yang bersatu menyerukan kebenaran dan keadilan akan menumbuhkan kepercayaan rakyat. Akan tumbuh kekuatan cifil society untuk membebaskan diri dari belenggu ketidakberdayaan dan keterpinggiran. Ada harapan baru yang dapat digantungkan. Kebersamaan dan konsolidasi kekuatan yang efektif dan efisien mulai terbentuk. Hampir merata di seluruh Indonesia. Bahkan ada yang di luar negeri, termasuk beberapa negara Eropa dan Skandinavia. Momentum perubahan tersebut akan segera datang. Dari aspek spiritualitas itu dinamakan "ajal telah tiba" sebagaimana Qur'an mengingatkan "idzaa jaa-a ajaluhum laa yasta'khiruuna saa'atan wa laa yastaqdimuun"---Jika momen telah tiba, maka tak ada yang mampu mempercepat atau mengundurkan (QS Al Al'raf 34). Pesan inilah yang dalam bahasa konstitusi terkenal dalam penggalan kalimat "Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa" yang kemudian menyebabkan "rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya". Kemerdekaan yang diperjuangkan dari tangan pemerintahan yang tidak melaksanakan amanah dan perintah konstitusi. Pemerintahan yang tidak melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Namun melindungi kepentingan bangsa lain. Tidak memajukan kesejahteraan umum. Namun memajukan kesejahteraan bangsa lain. Juga tidak mencedaskan kehidupan bangsa. Namun mencerdaskan kehidupan bangsa lain. Seorang Jokowi sebagaimana penguasa-penguasa lainnya, akan gentar jika teriakan terus menggema. Konsekuensi pilihan hanya dua, yaitu mempertahankan singgasana dengan segala cara melalui pengerahan kekuatan represif atau menyerah dan mengalah demi keselamatan bersama. Keselamatan seluruh rakyat negeri ini. Tentu saja pilihan kedua adalah yang lebih arif dan bijaksana. Langkah dan keputusan untuk mengundurkan dirim walau dengan terpaksa itu lebih baik dan berkekals. Bakal dikenang sepanjang masa sebagai bapak bangsa. Mengutamakan kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Pukulan telah dilancarkan berulang-ulang, baik "jab-jab" maupun "hook". Terutama diarahkan kepada kebijakannya yang elitis tidak populis. Ketika populis pun ternyata bermotif pencitaan. Tinggal menunggu langkah "blunder" yang emosional, agar rakyat melepaskan pukulan "upper cut" yang menggoyahkan. TKO atau KO. Jokowi pun rontok dan rakyat bernafas lega. Selanjutnya merencanakan pemulihan untuk masa depan yang lebih baik. Tanggal 17 Agustus nanti adalah hari kemerdekaan kita. Tanggal 18 Agustus adalah hari kelahiran ideologi dan konstitusi kita. Mari bersama-sama menyelamatkan Indonesia. Jangan biarkan rakyat dijajah oleh pemimpin dari bangsanya sendiri. Allahu Akbar-Allahu Akbar. Merdeka ! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pemerintahan Jokowi Sudah Terlilit Resesi
by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – Sabtu (15/08). Indonesia sedang terlilit resesi ekonomi? Para ekonom masih terus berbeda pendapat soal ini. Terlepas dari itu, satu hal pasti resesi ekonomi tidak dapat disamakan dengan depresi, apalagi great depression. Itu jelas. Skala kerusakan yang dibawanya tidak sedahsyat kerusakan yang dibawa great depression. Itu juga jelas. Masalahnya resesi ekonomi itu merupakan wujud dari salah urus di pemerintahan. Indonesia memiliki sejarah tentang itu. Performa pemerintahanlah yang memicu resesi ekonomi. Dan perpaduan keduanya justru menenggelamkan pemerintah yang sedang berkuasa. Resesi Pemerintahan Tepat dititik itulah masalah yang sedang melilit Indonesia saat ini? Tindakan-tindakan pemerintahan yang telah diambil sejauh ini, terlihat memperbesar spektrum masalah. Bukan menyelesaikan masalah. Dinamikan masalah itu terus membesar sejauh ini. Tidak mau mendeklarasikan negara berada dalam “keadaan darurat Kesehatan” nyatanya malah menghasilkan masalah baru. Memberlakukan PSBB, dengan asumsi ekonomi dapat terus bergerak positif, nyatanya malah negatif dalam banyak aspek. Salah dan salah lagi. Corona menggila dan menyebar hampir ke seluruh Indonesia. Kenyataan ini direspon dengn cara, bukan karantina wilayah, tetapi pembatasan pergerakan orang. Nyatanya corona malah menggila, dan ekonomi terpukul sangat fatal. Uang susah, PHK dimana-mana, produksi dan distribusi barang kelimpungan. Negara harus dapat memberi kepastian bahwa rakyatnya tetap bisa makan. Sialnya kas negara ternyata tak sehebat yang digambarkan pemerintah. Kenyataan itu memaksa Presiden Jokowi menggunakan senjata tata negara daruratnya. Terbitlah Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2020, yang judulnya kelewat panjang itu. Berambisi menggunakan Perpu membereskan masalah keuangan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Bukan hanya uang semakiin sulit tersedia, tetapi juga muncul masalah baru yang jauh lebih mendasar. Perpu ini mencincang dan memberangus habis kewenangan hak budgeting DPR, dan mengonslidasi diskriminasi. Tetapi apapun itu, Presiden harus terus bergerak dalam citarasa negara kesejahteraan. Tidak boleh salah. Entah berapa triliun digelontorkan untuk bantuan sosial. Sialnya bantuan ini berbentuk barang, bukan duit. Ada pengelolanya. Adakah margin pada setiap pembelian barang? Itulah persoalnya. Tak berhenti disitu. Dua puluh tirliun rupiah dialokasikan pemerintah untuk menangani derita kredit Usaha Kemengah Kecil dan Mikro (UMKM). Mirip Bansos, alokasi ini dilakukan melalui Bank BUMN. Kalau UMKM itu punya utang di Bank, apa bank tidak memotong jatah jatah yang harus diterima UMKM? Itu juga soal lain. Tertolongkah UMKM? Rasanya yang lebih tertolong adalan bank kreditor dan korporasi besar yang punya bank. Belakangan muncul kebijakan bnaru. Pemerintah memberi subsidi tunai sebesar Rp. 600,- kepada pekerja swasta bergaji dibawah lima juta. Hebatkah itu? Tunggu dulu. Mengapa? Kebijakan itu dapat tafsir sebagai pemerintah mengambil alih tanggung jawab korporasi. Ini sisi buruk negara kesejahteraan khas liberal. Pemerintah menolong korporasi, tetapi agar tak terlihat persis seperti itu, maka alokasinya langsung diberikan kepada pekerja. Korporasi terus berjaya. Relaksasi kredit dan perpanjangan masa klaim restitusi pajak, dan perlakuan khusus lainnya kepada mereka, semuanya diotorisasi Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Liberalisasi perdagangan, pengistimewaan korporasi sawit dan tambang, juga terus menjadi aroma tak sedap pemerintahan ini. Berstatus konstitusi sebagai penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah pusat malah membolehkan pemerintah daerah berutang ke pemerintah pusat. Malang betul rakyat daerah. Pemerintah daerah itu bukan negara bagian. Di negara Serikat sekalipun, pemerintah pusat akan menangani masalah-masalah berat di negara bagian. Tentu beratnya masalah itu melampaui kapasitas pemerintah Negara bagian. Ini negara kesatuan, tetapi pemerintah pusat malah mengutangi pemerintah daerah. Konyol, ngawur dan amburadul sekali. Persis pemerintah pusat, pemerintah daerah juga sedang berada dalam keadaan yang, untuk alasan apapun, memiliki pertalian ketat dengan pusat. Siapa yang mengotorisasi pemerintah daerah mengubah postur peruntukan anggaran pada APBD-nya? Siapa yang memberikan otorisasi kepada daerah untuk menetapkan PSBB? Terlihat seperti beralih dari satu kekeliruan ke kekeliruan. Proyeksi anggaran pemulihan ekonomi, dalam kenyataannya terus-terusan meleset. Berubah-rubah hampir setiap bulan. Begitu juga dengan Perpres tentang organiasi penangangan Corona. Paling sedikit sudah tiga kali berubah. Sialnya itu terjadi dalam waktu berdekatan. Tak mampu mendefenisikan masalah, terasa menjadi ciri paling jelas dari pemerintahan ini. Entah bagaimana argumennya, rakyat diingatkan jangan sampai Indonesia terjatuh pada pandemi corona gelombang kedua. Padahal sejauh ini tidak ada tindakan administrasi yang menyatakan etape-etape itu. Payah sekali pemerintah ini. Terus Merosot Pemerintah memang terus berusaha menemukan fokus dalam menangani keadaan mutakhir. Tetapi pemerintah malah menjauh dari fokus itu. Kebijakan-kebijakan yang terus berdatangan hingga hari ini, selalu seperti biasa, jauh dari penalaran yang logis. Asal-asalan, ngawur, ngaco, amatiran dan amburadul. Menggemakan hasrat membuat bangsa hebat, tetapi mengutamakan kandidat vaksin dari China. Andai saja kandidat ini sukses jadi vaksin untuk disuntikan kepada jutaan rakyat Indonesia, maka Indonesia menjadi pasar utama vaksin temuan China ini. Yang seperti ini, konyol apa hebat? Bukannya mengambil tindakan kepada menteri, malah bergairah menyalahkan mereka secara terbuka. Cara ini layak dan patutu untuk ditertawakan. Tidak begini cara menangani masalah internal pemerintahan. Tetapi memang tidak ada jalan berkelas dan membanggakan yang bisa dilalui pemerintahan yang telah terlilit resesi. Memimpikan persatuan nasional, tetapi kehidupan sosial dan agama terbelah secara kasar dan primitif di disepanjang rute perjalanan pemerintahan ini. Kenyataan ini terhubung, bahkan memiliki akar kuat dalam kebijakan politik dan hukum pemerintah. Postur Indonesia mutakhir menjadi seperti lautan ganas buat ummat beragama. Betul-betul menakutkan. Dalam pidato kenegaraan di MPR, Presiden Jokowi memang tidak menujuk ummat Islam yang gigih menolak RUU HIP, yang belakangan hendak diganti dengan RUU BPIP. Betul itu. Tetapi pernyataan resminya bahwa jangan ada yang merasa paling benar, paling agamis dan Pancasilais, jelas tertuju pada ummat Islam. Sekurang-kurangnya tertuju kepada MUI. Ini karena MUI dan ummat Islam berada di barisan paling depan penolakan terhadap RUU HIP konyol dan ngawur itu. Padahal tak ada tokoh MUI dan ummat Islam yang secara terbuka menyatakan saya Pancasila. Tak ada itu. Tetapi itulah kenyataannya. Politik pembentukan dan penegakan hukum bergerak menjauh dari citarasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Politik pembentukan hukum dibidang ekonomi digemakan dengan cita rasa ekonomi kapitalistik. Politik pemihakan kepada kepentingan korporasi dan oligarki. Rakyat seperti berjuang sendiri menghadapi terkaman korporasi licik, picik, tamak dan culas. UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Umum dan Batumabara, RUU Omnibus Cipta Kerja dan adalah contohnya. RUU Omnibus saat ini malah dikampanyekan secara serampangan sebagai permata UMKM. Terus-terusan UMKM yang ditonjolkan. Padahal semangat RUU Omnibus Cipta Kerja untuk kepentingan korporasi dan oligarki. Tahukah bahwa itu adalah cara kaum kaya ganas menyembunyikan kepentingan mereka? UMKM dijadikan tameng menyembunyikan konsep sentralisasi perizinan untuk hampir semua urusan tambang, tata ruang, dan bangunan yang saat ini diletakan di daerah. Namun kalau dalam RUU Omnibus konyol itu, semua urusan akan berpindah dan terkonsentrasi di pusat. Begitulah ganasnya kaum kaya dan politisi pas-pasan, picisan, kacangan, odong-odong, keleng-kaleng dan beleng-beleng berkolaborasi merencanakan kejahatan kepada rakyat. Baca di RUU Omnubis Law Cipta Kerja. Isi kepala kaum kaya adalah sentralisasikan semua izin. Korporasi Tunggangi UMKM Itulah cara mereka orang kaya memberi bentuk terhadap efisiensi dan menciptakan iklim investasi yang menguntungkan mereka. Supaya sukses, maka konsep-konsep yang bergelimang uang, yang menjadi permata untuk mereka, disembunyikan dibalik kepentingan UMKM. UMKM dijadikan sebagai bumpar menghadapi perlawanan terhadap RUU ngawur ini. Tidak seperti bangsa lain yang tahu cara mencapai kemajuan. Bangsa ini terus didayung ke lautan kapitalisme. Tahukah cara kerjanya? Mengontrol pembentukan dan penegakan hukum. Juga mengontrol atau menempatkan orang pemerintahan adalah salah satu cara mereka. Itulah formula proteksi sekaligus kartel. Ini cara klasik. Dimana-mana, kartel tumbuh dengan mengandalkan perlindungan gelap dari aparatur kotor. Agar tak terlihat kotor, maka proteksi itu diatur dengan hukum. Itulah yang sadar atau tidak, sedang terkonsolidasi dalam dunia hukum ekonomi Indonesia saat ini. Optimisme mengamankan masa depan memang disajikan pemerintah. Tetapi cara dan rute yang diandalkan berjarak jutaan mil dari Pancasila. Orisinalitas gagasan ekonomi dan hukum yang bersumber dari Pancasila, harus diakui, tak terlihat sejauh ini. Pragmatisme memang bukan hantu. Pragmatisme diperlukan, dan harus diadaptasikan dalam citarasa idologis. Keberanian inovatif dan kecemerlangan mengadaptasikan cara-cara hebat yang mengunggulkan bangsa lain dengan haluan idiologis, itulah kuncinya. Tidak mudah, itu pasti. Tetapi justru tepat dititik itulah letak berjayanya kapasitas leradership. Sayangnya sejauh ini Presiden terlihat tak dapat bergerak ke titik itu. Tahun depan utang diproyeksikan berjumlah Rp. 971,2 triliun rupiah. Praktis impian Presiden yang disajikan dalam pidato kenegaraan kemarin, menandai segalanya masih bussines as usual. Kemerosotan di berbagai aspek berbangsa terlihat masih terus menemani bangsa ini ditahun depan. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Duo Fahri dan Fadli Memang Beda?
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (15/08). Duo Fahri Hamzah dan Fadli Zon akhirnya bertemu dengan Presiden Jokowi. Kamis (13/8) keduanya menerima penghargaan Bintang Mahaputera Nararya di Istana Merdeka. Kehadiran keduanya menyudahi spekulasi yang berkembang dalam minggu ini. Apakah mereka akan menerima atau tidak? Sekaligus membuka sebuah operasi politik, yang dikemas secara kurang apik oleh pihak istana. Sejak muncul informasi Duo F akan menerima Bintang Mahaputera, pro kontra bermunculan. Kubu pendukung Presiden Jokowi sangat kecewa dan menyatakan keberatan. Maklumlah keduanya selama ini dikenal sangat kritis dan sering menyerang secara tajam berbagai kebijakan pemerintah Jokowi. Mereka menjadi bintang media. Berbagai pernyataannya sering membuat panas telinga. Apalagi kubu pendukung pemerintah yang berkuping tipis. Duet keduanya sangat menonjol ketika masih sama-sama menjabat sebagai Wakil Ketua DPR (2014-2019). Oleh kubu pendukung Jokowi, dijuluki sebagai Duo Gaduh. Pada saat bersamaan kubu oposisi juga menyatakan keberatan atas penghargaan ini. Mereka khawatir penghargaan ini merupakan sogokan agar keduanya diam, atau setidaknya lebih jinak. Akhirnya, Fahri dan Fadli dibully di kedua kubu, dengan motif yang berbeda. Pencitraan Istana Heboh itu bermula Senin (10/8). Melalui akun twitternya Menko Pulhukam Mahfud MD mengumumkan Fahri dan Fadli akan mendapat Bintang Mahaputera Nararya. Pilihan Mahfud menyebut dua nama itu pasti bukan tidak disengaja. Benar saja. Tak lama setelah cuitan Mahfud, media ramai-ramai memblow-up. Pro kontra di media sosial bermunculan, melibatkan nama-nama besar. Tak kurang petinggi media Tempo Group Goenawan Mohammad mengekspresikan kekecewaan. Demikian juga sejumlah buzzer pendukung pemerintah. Mereka menggunakan kata “izinkan kami tidak ikhlas.” Penjelasan Fahri dan Fadli bahwa penghargaan itu diberikan dalam kapasitas mereka sebagai mantan Wakil Ketua DPR tidak meredakan kehebohan. Sementara kubu oposisi mendorong agar keduanya menolak penghargaan tersebut. Jika menerima, berarti pengkhianat. Belakangan ketika penghargaan diserahkan, ternyata bukan hanya Fahri dan Fadli yang menerima. Sejumlah mantan pimpinan lembaga negara, mulai dari DPD, MPR juga menerimanya. Semua pimpinan DPR, termasuk mantan Ketua DPR Bambang Soesatyo dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Demokrat Agus Hermanto juga menerima bintang. Hanya mantan Wakil Ketua DPR dari Fraksi PAN Taufik Kurniawan yang tidak. Taufik saat ini tengah menjalani hukuman. Dia divonis 6 tahun penjara setelah dicokok KPK dalam kasus suap. Jadi harusnya clear. Penghargaan ini diberikan dalam kapasitas keduanya sebagai mantan pimpinan DPR. Tidak ada kait-mengait dengan sikap kritis mereka selama ini. Pertanyaannya, mengapa Mahfud hanya menyebut keduanya? Pemerintah juga terkesan membiarkan isu tersebut berkembang liar. Saat bertemu di Istana, Jokowi juga terkesan memanfaatkan panggung tersebut. Dia secara khusus memberikan penjelasan kepada pers bersama Wapres Ma’ruf Amin didampingi Duo F. Jokowi juga mempersilakan Fahri dan Fadli bicara ke media. Terkesan spesial. Agak sulit untuk membantah bahwa pemerintah, dalam hal ini istana mencoba memanfaatkan momen tahunan itu sebagai ajang pencitraan. Mereka ingin membangun kesan bahwa pemerintahan Jokowi sangat demokratis. Menghargai perbedaan. Tidak alergi terhadap kritik. Bahkan terhadap yang sangat keras seperti biasa dilakukan oleh duet Fahri dan Fadli. Pemeritahan Jokowi selama ini mendapat banyak kecaman dari dalam dan luar negeri sebagai pemerintahan yang anti kritik. Pengamat dari Universitas Melbourne, Australia Tim Lindsey bahkan menyebutnya sebagai “Neo New Order”. Neo Orde Baru mengingatkan kita pada pemerintahan yang represif di masa Soeharto. Sampai batas tertentu operasi public relation itu cukup berhasil. Duo F menjadi pelengkap penderita. Mereka menolak salah. Menerima juga salah. Publik, terutama kalangan oposisi kini tengah menunggu. Apakah setelah mendapat penghargaan, Duo F akan menjadi lebih jinak? Bila benar, maka kecurigaan mereka bahwa Bintang Mahaputera Nararya itu berupa sogokan. Suap agar keduanya diam, atau setidaknya lebih jinak, mendapat pembenaran. Namun melihat track record keduanya, kalau toh benar itu merupakan upaya rasuah politik, efektivitasnya sangat diragukan. Fadli Zon secara formil bagian dari pemerintah. Partai Gerindra pendukung pemerintah. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pembantu Jokowi. Namun dia tetap bersikap kritis. Sikapnya tidak berubah. Bagimana dengan Fahri? Ini masih perlu dibuktikan. Publik mulai curiga ketika dia bersama pengurus DPN Partai Gelora bertandang ke istana dan berselfie ria bersama Jokowi. Namun bila kita tengok ke beberapa tahun silam, Fahri juga sudah membuktikan sebagai pribadi yang konsisten. Kukuh pada prinsip. Menjadi bagian dari pemerintah, tidak harus kehilangan sikap kritis. Ketika PKS selama dua periode menjadi bagian dari pemerintahan SBY (2004-2014) Fahri juga tetap kritis. Dia menjadi “anak nakal” yang sering merepotkan petinggi PKS. Apalagi dengan posisinya sekarang sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gelora. Bukan pendukung pemerintah maupun oposisi. Bukan 01, bukan 02. Tidak ada beban apapun untuk Fahri. Waktu yang akan membuktikan. Apakah keduanya jenis politisi yang berbeda? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Amien Rais: Jokowi Aktifkan Reseptor Ekspansionisme China
by Asyari Usman Jakarta FNN – Sabtu (15/08). Rabu kemarin (13/8/2020), tokoh Reformasi yang terkenal vokal, Prof. Amin Rais, menyampaikan semacam “pledoi” politik. Ini sebagai tanggapan terhadap kebijakan berbagai Presiden Jokowi. Acara berlangsung di komplek kuliner Pulau Dua, Senayan Jakarta. Tokoh politik yang tak pernah ‘kapok’ ini memberikan judul pledoinya “Pilihan Buat Pak Jokowi: Mundur atau Terus”. Pak Amien menamakan pledoi politik ini sebagai “Risalah Enteng-entengan”. Tapi, kontennya sangat berat. Inilah serangan politik dengan ‘lethal weapons’ (senjata maut). Risalah ringan Pak Amien ini berisi 13 poin. Beliau menyebutnya “bab”. Di antara ke-13 bab itu, ada beberapa poin penting yang secara kolektif berisi kesimpulan bahwa, sengaja atau tidak, Presiden Jokowi telah mengaktifkan reseptor untuk ambisi ekspansionisme China atas Indonesia. Resptor itu besar jumlahnya. Pak Amien memperkirakan ada sekitar 10 juta ‘cell’. Dan semua reseptor itu sangat ‘compatible’ (cocok) dengan virus kolonial China. Pak Amien tampaknya tidak berlebihan. Reseptor ekspansionisme China yang berjumlah 10 juta itu sudah lama mendominasi Indonesia. Mereka menguasai bisnis. Mereka menguasai matarantai produksi dan distribusi. Mereka juga menjadi pemain utama ekspor-impor. Dominasi ekonomi itu membuat jutaan reseptor memiliki kesempatan untuk menguasai percaturan politik Indonesia. Mereka mampu mendikte para pemegang kuasa di semua cabang kekuasaan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Di bab ke-6 dengan judul “Tunduk Pada Mafia, Taipan, dan Cukong”. Prof Amien Rais selanjutnya menulis bahwa para penguasa negeri lebih fokus melayani para mafia, taipan dan cukong. Bahkan, kata penggerak Reformasi 1998 ini, mereka itu berlindung atau dilundungi oleh kekuasaan. Dalam kenyataannya, tidaklah keliru ketika Pak Amien mengatakan bahwa mereka bisa mengendalikan para penguasa untuk meloloskan rencana jahat di banyak aspek kehidupan nasional. Di poin sebelumnya, Bab 4, Pak Amien menguraikan tentang gaya otoriter yang sekarang diadopsi oleh Jokowi. Semua orang terperangah. Orang baik (good guy) bisa berubah menjadi “tangan besi”. Pak Amien menyebutnya dengan istilah “sosok populis yang bersubstansikan otoritarianisme”. Tetapi, menurut Pak Amien, Jokowi menerapkan kekuasaan otoriter untuk membungkam rakyat. Untuk menumpas kritik dan protes. Sedangkan terhadap kelompok-kelompok yang dia perlukan, dia cenderung ramah atau protektif. Yang sangat menarik adalah paparan di Bab 5 tentang pertumbuhan subur oligarkhi. Sekelompok elit, kata Pak Amien, pada hakekatnya memegang kekuasaan besar sampai-sampai bisa mengontrol dan mendiktekan kebijakan pemerintah. Kekuasaan otoriter adalah lahan subur oligarkhi. Sehingga, oligarkhi tidak lagi terbatas dalam jumlah kecil, melainkan beranak-pinak menjadi ratusan orang. Mereka ini, menurut Pak Amien, sengaja ‘dipelihara’ oleh rezim untuk menstabilkan situasi politik. Tak dapat disangkal uraian Pak Amien. Oligakrhi di Indonesia ini mengikuti teori piramida organisasional. Posisi-posisi puncak piramida oligarkhi ada di tangan beberapa penguasa kuat. Yaitu, kuat di pemerintahan dan kuat secara finansial. Namun, ada lagi lapisan oligarkhi di bawahnya yang diberi kesempatan untuk menikmati bayaran besar. Mereka oligarkhi itu jumlahnya, sesuai pelacakan sejumlah lembaga, mencapai lebih 350 orang. Mereka yang memegang posisi-posisi penting di institusi bidang hankam. Oligarkhi kelas menengah ini ditempatkan di meja-meja basah ratusan BUMN. Bagian yang paling menohok di dalam risalah enteng-entengan Pak Amien adalah Bab 1. Mantan Ketua MPR ini blak-blakan menyebut Jokowi sebagai pemecah belah bangsa. Perpecahan sesama anak bangsa terlihat sangat nyata dan mencolok. “Tak berlebihan bila dikatakan hasil pembangunan politik di masa Jokowi telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia”. Pak Amien menyimpulkan, kecurigaan dan ketakutan Jokowi terhadap sikap kritis umat Islam sangat nyata terlihat. Dia bagian yang menjelaskan tentang nepotisme yang selama ini dianggap tak akan mungkin dilakukan oleh Jokowi, Prof. Amien Rais mengecam dukungan Jokowi dalam pencalonan anaknya di Pilkada Solo dan menantunya di Pilkada Medan. Keluarga presiden ikut pilkada memang tidak melanggar konstitusi. Tetapi, sangat jelas melanggar etika kepemimpinan, menurut Pak Amien. Yang menjadi masalah ialah, Prof Amien Rais terlalu lama menyadari bahwa etika tidak lagi menjadi tuntunan. Sebab, kekuasaan terlalu gurih untuk diganggu oleh zat penetral yang disebut etika. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Jokowi atau Ma'ruf Amin Yang Lengser?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (14/08). Sejumlah pihak ingin Jokowi lengser. Ini hal biasa di alam demokrasi. Sah-sah saja. Asal, jangan makar. Sekedar ingin, berucap dan menuntut, tak dilarang oleh konstitusi. Di negara hukum, semua harus berbasis konstitusi. Kenapa minta Jokowi mundur? Tentu, mereka punya alasan. Baik alasan hukum, ekonomi maupun politik. Hukum dianggap terlalu tajam ke lawan dan memihak konglomerasi. Pertumbuhan ekonomi sudah minus -5,32 persen. Bahkan lebih parah kalau dhitung dari awal Januari 2020, ekonomi nyungsep sudah -10,34 persen. Kegaduhan politik tak ada tanda-tanda akan berhenti. Macam-macam kegaduhan yang timbul. Intinya, mereka nggak puas dipimpin oleh Jokowi. Negara jadi kacau balau dan amburadul, kata mereka. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Salah satu cara untuk mengatasi masalah bangsa adalah dengan meminta Jokowi lengser atau mundur. Tak hanya terbatas Jokowi. Ada juga pihak yang ingin Ma'ruf Amin mundur. Pertama, ada celah konstitusional, yaitu mundur dengan alasan uzur. Kedua, dicari-cari salahnya agar bisa didesak untuk mundur. Tentu dengan berbagai kompensasi. Ketiga, posisi wapres saat ini sangat strategis untuk maju di pilpres 2024. Semua kemungkinan selalu terbuka. Pada akhirnya, apakah Jokowi yang akan lengser? Atau Ma'ruf Amin yang terpaksa mundur? Atau kedua-keduanya lengser? Atau sebaliknya, keduanya tetap bertahan dan bersinergi sebagai Presiden dan Wapres hingga 2024. Hitung-hitungan politiknya, siapa yang paling potensial untuk bertahan? Jokowi, atau Ma'ruf Amin? Namanya juga kalkulasi. Bisa tepat, bisa juga meleset. Sebab, politik selalu dinamis. “Segala kemungkinan bisa terjadi”, kata wartawan senior FNN.co.id Tjahya Gunawan mengutip pendiri dan pemilik Kompas Grup, Jacob Oetama. Covid-19 yang efeknya sangat terasa di bidang ekonomi telah membuat pemerintahan Jokowi tampak semakin melemah dan kehilangan legitimasi. Rakyat fokus pada Jokowi sebagai obyek, karena Jokowi kepala pemerintahan. Semua kebijakan ada di tangannya. Terutama terkait penanganan covid-19, Ma'ruf nyaris sama sekali tak dilibatkan. Suaranya Ma’tuf Amin tak terdengar di media. Kecuali hanya sekali darling dengan Anies Baswedan dan Ridwan Kamil selama masa pandemi. Makantya wajar saja kalau masyarakat bertanyata-tanya, kemana saja Wapres Ma’ruf Amin. Apakah sehat-sehat atau sakit? Penanganan covid-19 sangat mengecewakan, kata pihak oposisi. Baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi. Segala hal-ihawal terkait dengan kekecewaan rakyat atas gagalnya penanganan covid-19 otomatis dibebankan kepada Jokowi. Belum lagi munculnya Perppu Corona yang jadi UU Nomor 2/2020 dituding publik sebagai ajang bancakan uang negara oleh korporasi dengan memanfaatkan situasi pandemi. Hebatnya, meskipun bancakan, mereka tak bisa dituntut hukum, baik pidana, perdata maupun TUN. Apa indikator gagalnya? Juni lalu, Indonesia masuk rangking ke 97 dari 100 negara dalam menghadapi covid-19. Rangking ke-3 dari bawah. Artinya? Sangat Parah! Di bulan Juli Indonesia urutan ke 143 dari 215 negara. Inilah kenyataannya. Dinilai oleh banyak tokoh bangsa, bahwa di bawah kepemimpinan Jokowi negara penuh dengan masalah. Faktor inilah yang kemudian mendorong para tokoh bangsa tersebut berkumpul dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Berkumpul disitu Abdullah Hehamahua, Din Syamsudin, Gatot Nurmantyo, Gus Aam, Habib Rizieq, Refly Harun, Rizal Ramli, Rocky Gerung, Said Didu, dan ratusan tokoh lintas agama, etnis dan profesi lainnya. Mereka semua sepakat, Jokowi harus diingatkan! Kalau nggak mau? Semula hanya 9 tokoh oposisi yang gerah. Lalu berkembang dan melibatkan puluhan hingga ratusan tokoh nasional dari semua elemen bangsa. Selasa tanggal 18 Agustus nanti mereka akan membacakan maklumatnya di tugu proklamasi. Dalam waktu yang sama, para tokoh lokal akan berkumpul di berbagai daerah untuk memberi dukungan kepada KAMI dan maklumat yang akan dibacakan. Gerakan moral KAMI cepat menyebar dan telah masif menjadi gerakan nasional. Munculnya KAMI sangat menguntungkan bagi Ma'ruf Amin. Ini peluang besar. Lepas Ma'ruf punya keinginan atau tidak untuk memanfaatkan peluang itu. Yang pasti, peluang sangat besar bagi Ma'ruf Amin untuk merefresh kekuatan dan posisioning dirinya. Terlebih ketika NU saat ini dalam kondisi kecewa terhadap Jokowi. Terutama ketika Menteri Agama lepas dari genggaman NU. Ini bukan soal jatah-menjatah. Tapi, orang NU merasa lebih paham dalam mengelola Kementerian Agama daripada Fahrul Rozi yang yang pensiunan Jendral Angkatan Darat. Ma'ruf Amin dari NU, dan majunya Ma'ruf Amin sebagai Wapres salah satu rekomendasinya dari PBNU. Selain KAMI dan NU, Ma'ruf juga bisa bersinergi dengan Prabowo yang kabarnya masih berambisi untuk nyapres lagi di 2024. Bagaimana dengan PDIP? Dalam politik, semua berbasis kalkulasi pragmatis. Selama ini, PDIP seringkali dikecewakan oleh Jokowi. Misalnya, Jokowi lebih nyaman dengan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dari pada dengan ketua umumnya sendiri, yaitu Megawati. Kondisi obyektif PDIP yang kecewa terhadap Jokowi memungkinkan untuk membangun sinergi politik dengan Ma'ruf Amin. Apalagi, terpilihnya Ma'ruf Amin sebagai Cawapres Jokowi kabarnya atas endorse langsung dari Megawati ke Jokowi. Kloplah! Jadi, jika dikalkulasi secara politik, posisi Ma'ruf Amin saat ini bisa lebih diuntungkan dari pada Jokowi. Tapi, semua dikembalikan kepada kemampuan Ma'ruf Amin memanfaatkan puzzle-puzzle kekuatan yang tersedia itu untuk memperkuat posisioningnya dirinya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Jangan Lengah, Komunis Masih Merayap
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (14/08). Ketika Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) didiskusikan, maka isu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan faham Komunisme mengemuka. Ada Ketetapan MPRS yang tidak dicantumkan. Adapula soal Trisila dan Ekasila, yang ditambah dengan posisi agama yang dikerdilkan. Reaksi keras atas RUU HIP membuat pengusung "lempar handuk". Pemerintah cepat-cepat menerapkan langkah "cari aman" dengan menunda pembahasan. Namun tidak berhenti sampai disitu. Langkah cadangan dipersiapkan dengan tergesa-gesa. Maka majulah RUU Badan Ideologi Pancasila (BPIP) ke DPR. RUU BPIP diajukan. Konon sebagai mengganti RUU HIP. Anehnya tanpa ada pencabutan terlebih dahulu terhadap RUU HIP. Meskipun berbeda, tetapi tetap bertautan. BPIP sebenarnya juga menjadi bagian terpenting dari rencana besar isi RUU HIP sebelumnya. RUU HIP adalah akar masalah, "al ashlu lil masail". Sedangkan RUU BPIP merupakan cabang "al far'u". Buahnya adalah makna Pancasila yang disimpangkan dan diperalat. Pancasila yang kebenarannya hanya yang ditafsirkan berdasarkan selera penguasa atau BPIP. Rakyat memahami Pancasila yang berlawanan dengan selera penguasa, bisa saja dikasih label makar terhadap dasar negara. Jembatan dari kedua RUU adalah pengakuan dan filosofi dari rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Pancasila yang adaTrisila dan Ekasila. Agama bagian dari kebudayaan. Inilah pintu masuk komunisme itu. Ini sama dengan membuka jalan atau pintu yang selebar-lebar untuk penafsiran terhadap faham komunisme dan marxisme. Setidaknya untuk ke depan, ideologi kebangsaan yang berpadu dengan komintern (internasionalisme), demokrasi rakyat, kesejahteraan kaum proletar, dan ketuhanan sebagai produk budaya. Beginilah rencana besar dari RUU HIP, yang sekarang disempurnakan dengan casing baru, dan diberina nama “RUU BPIP”. Kader komunis meyakini bahwa lembaga atau organisasi PKI bisa saja bubar. Tetapi ideologi komunis tidak. Ideologi komunis tetap melekat, dan potensial untuk dikembangkan melalui Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Penyusupan merupakan model gerakan aktual. Perjuangannya utama adalah meminggirkan musuh utama komunis, yaitu TNI dan umat Islam dalam pembuatan keputusan politik negara. Salah satu kesuksesan besar adalah lahirnya Ketetapan MPR Nomor VI tahun 2000 yang memisahkan TNI dengan Polri. Ketetapan MPR ini menjadi landasan bagi kebijakan politik yang diskriminatif. Semua sudah tahu kalau pengembangan dan peran politik Polri lebih kental dan agresif ketimbang TNI. Aktualnya TNI "disawahkan", dan dengan Inpres 6 tahun 2020 "dicovidkan". Sementara untuk umat Islam dibangun stigma intoleran, radikal, ekstrim, khilafah, atau lainnya. Sebelumnya teroris dan ISIS. Kurikulum berbau jihad dan qital (perang) dihapuskan. Moderasi terhadap isu deradikalisasi dipropagandakan. Agama disekulerkan. Pelecehan dan kriminalisi terhadap ulama masif dilakukan. Komunis sangat mahir dalam mengadu domba antar umat beragama. Rezim dan penguasa sendiri tidak berupaya mencegah perkembangan komunisme. Bahkan terkesan seperti membiarkan. Tidak ada "aware" terhadap bahaya gerakan komunis. Dengan enteng menyatakan "mana ada PKI ?" dan "komunisme itu sudah dilarang". Wajar saja jika rakyat, khususmya umat Islam menduga-duga bahwa penyusupan faham komunis disamping terjadi di parlemen, juga sudah masuk sampai ke pusat kekuasaan. Apalagi Partai Komunis Cina di masa rezim ini sudah bisa bekerjasama erat dengan partai politik dan institusi resmi negara. Demikian juga pejabat komunis Cina telah sukses untuk menginjakan kaki di ruang istana negara. Kader-kader komunis saat ini sangat mahir. Mereka bergerak dengan pola tiarap dan merayap. Mereka berusahamenghindarkan diri dari posisi sasaran tembak. Bahkan berlindung dibalik ideologi Pancasila. Mengumumkan kalau merekalah yang paling Pancasilais. Seolah-olah menjadi pembela dan pengembang Pancasila. Bangsa Indonesia harus siaga setaip saat menghadapi penyusupan faham komunisme. Sebaiknya umat Islam dan rakyat Indonesia tidak boleh puas hanya dengan keberadaan Ketetapan MPR yang melarang PKI dan Komunisme. Atau keberadaan perundang-undangan lainnya. Mereka kader-kader neo komunis selalu bergerak di lapangan dengan bertiarap dan merayap. Infiltrasi di berbagai institusi dengan proteksi ideologi. Berstrategi model katak yang menendang dan melompat. Katak tidak pernah bergerak mundur. Katak bergerak hanya untuk beranak pinak menciptakan cebong-cebong baru. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
UUD 45 10 Agustus 2002 Beda Dengan UUD 18 Agustus 45
by Mayjen TNI (Purn) Prijanto “Bismillaahirrohmaanirrohiim. Petisi tolak UUD ‘45 palsu. Tanggal 10 Agustus 2002, delapan belas tahun yang lalu, di tempat ini telah terjadi kudeta konstitusi, sehingga melahirkan UUD ‘45 palsu. Kami yang tergabung dalam Gerakan Alumni Mahasiswa 77/78 dari tempat yang sama mengajak seluruh rakyat Indonesia bersatu dalam usaha menolak UUD ‘45 palsu. Tertanda eksponen Gema 77/78. Jakarta 10 Agustus 2020”. (Gema 77/78, DPR RI, 10 Agustus 2020). Jakarta FNN – Kamis (13/08). Selain Gerakan Mahasiswa 77/78, penolakan juga terjadi di Pengadilan Negeri Jakpus oleh emak-emak, dengan spanduk “Tolak UUD 1945 Palsu”. Mengapa di PN Jakpus ? Pasalnya, sedang berproses gugatan dari LBH Solidaritas Indonesia, atas nama dr. Zulkifli S. Ekomei terhadap amandemen UUD ’45. Pada 10 Agustus 2020, Patriot Proklamasi menggelar Webinar, pembicara utama dr. Zulkifli S. Ekomei. Secara umum sepakat amandemen UUD ’45 bukanlah UUD ’45 yang disahkan 18 Agustus 1945. Saat ini, banyak pakar dan tokoh berpendapat sama. Kita bisa melakukan argumentasi dan perbandingan seperti di bawah ini. Pertama. Adanya argumentasi, amandemen UUD 1945 berdasarkan Pasal 37 UUD 1945. Padahal, Mr. Soepomo menjawab usul Iwa Koesoema Soemantri pada sidang PPKI, 18 Agustus 1945, bahwa Bab XVI Perubahan Undang Undang Dasar Pasal 37, hanya untuk penyempurnaan yang bersifat tehnis. (Sekneg RI, 1998, Risalah Sidang BPUPKI – PPKI, halaman 546). Pakar Hukum Tata Negara Maria Farida mengatakan sesungguhnya Indonesia sudah membuat konstitusi baru. Sedang Jimly Asshiddiqie juga mengakui, UUD 1945 setelah empat kali amandemen mengalami perubahan sampai 300 persen. (Yop Pandie, Polemik Cabut Mandat SBY, halaman 132). Dengan demikian, argumentasi menggunakan Pasal 37 UUD 1945 tidaklah benar. Sebab, bukan perubahan tehnis, tetapi sudah mengganti UUD 1945. Kedua. Penetapan Perubahan Keempat UUD 1945, oleh Ketua MPR RI Prof. Dr. H.M. Amien Rais dengan Wakil Ketua Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita, Ir. Sutjipto, K.H. Cholil Bisri, Drs. H.M. Husnie Thamrin, Agus Widjojo, Prof. Dr. Jusuf Amir Feisal, S.PD, Drs. H.A. Nazri Adlani, antara lain berbunyi : (a) “Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga dan perubahan keempat ini adalah Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat”. Benarkah hasil amandemen adalah UUD 1945, 18/8/1945? Penetapan tersebut perlu diuji dengan cara membandingkan. Agar mudah, untuk selanjutnya, hasil amandemen kita sebut UUD 2002. Ketiga. UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Sedangkan UUD 2002 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. UUD 2002 tidak ada penjelasan. Padahal, ‘penjelasan’ sangatlah penting untuk mengetahui nilai-nilai, cita-cita dan tujuan didirikannya Indonesia Merdeka, yang dirumuskan “The founding fathers and mothers”. Keempat. UUD 1945 memiliki Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sedangkan UUD 2002, tidak memiliki Bab IV. Bab III lompat ke Bab V. Postur semacam ini tidak lazim. Skripsi saja, jika ada Bab yang terlewat pasti tidak diterima. DPA dalam ketatanegaraan sangatlah penting untuk menjawab pertanyaan Presiden dan usul kepada pemerintah dalam bernegara. DPA berisi tokoh yang kredibel, bukan tim sukses urusan pembangunan citra dan pemenangan Pilpres. Kelima. UUD 1945 Pasal 6 (1) : Presiden adalah orang Indonesia asli. Sedangkan UUD 2002, calon Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya. Nilai-nilai dan suasana kebatinan ketika Pasal 6 (1) UUD 1945 disusun sangatlah berbeda dengan Pasal 6 UUD 2002. ‘The founding fathers and mothers’ menyusun atas dasar perjuangan, peran dan posisi kaum boemipoetra dalam merebut kemerdekaan, dan prediksi jauh ke depan, untuk memertahankan NKRI. Karena itulah Presiden adalah orang Indonesia asli. Video Dr. J. Sahetapy dihadapan komunitas etnis dan agama tertentu dengan bangganya mengaku dirinyalah satu-satunya orang yang mengusulkan kata ‘asli’ dihapus. Artinya, tanpa kajian akademis, bukan usul dari Fraksi dan patut diduga memiliki tujuan tertentu, agar warga negara dari etnis dan agama tertentu bisa menjadi Presiden. Keenam. Pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB tahun 1960 memperkenalkan Sila ke-4 Pancasila sebagai ‘Demokrasi Indonesia’. Nilai-nilai Pancasila ditransformasikan dalam demokrasi ala Indonesia dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 6 (2) UUD 1945. Sedangkan dalam UUD 2002, Demokrasi ala Indonesia tersebut berubah total. MPR bukan Lembaga Tinggi Negara yang tertinggi. MPR bukan lagi penjelmaan rakyat Indonesia. Utusan Golongan dan Utusan Daerah tidak ditemui di MPR. Calon Presiden dan Wapres hanya Parpol yang bisa mengusulkan. Kedaulatan rakyat ditangan rakyat hanya selama menit di bilik coblosan. Selebihnya kedaulatan sudah berpindah memnadi milik Parpol. Ketujuh. Secara umum, banyak pakar dan tokoh menilai pasal-pasal dalam UUD 2002 tidak koheren dengan nilai-nilai Pancasila. Berbeda dengan pasal-pasal dalam UUD 1945, yang hakikatnya penjabaran dari nilai-nilai Pancasila yang ada di Pembukaan UUD 1945. Ibaratnya tidak perlu menguji di Laboratorium Forensik Polri. Menggunakan nalar akademis yang dibatasi dinding-dinding kejujuran dan kepentingan bangsa dan negara, perbandingan di atas menunjukan, UUD 1945 (10/8/2002) tidak identik dengan UUD 1945 (18/8/1945). Bahasa populernya UUD ‘palsu’. Dengan menggunakan ilmu kriminalistik, melalui Laboratorium Kriminal akan bisa ditentukan apakah obyek itu asli atau palsu. Lalu bagaimana dengan dokumen Undang-Undang Dasar? Dimana bisa diuji? Sebab saat ini sebagian rakyat mengatakan hasil amandemen UUD 1945 bukanlah UUD 1945 alias “palsu” dan sudah masuk gugatan di Pengadilan Negeri Jakpus. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 dab Rumah Kebangkitan Indonesia.