NASIONAL
Menguliti KAMI
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Ahad (30/01). Kehadiran Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia(KAMI) mengejutkan Jokowi, Prabowo, Megawati dan publik secara luas. Dunia akademik juga terkejut, karena sebagian besar kelompok oposisi intelektual berkumpul dalam satu entitas koalisi untuk menyelamatkan Indonesia. KAMI muncul di banyak daerah, bahkan di sejumlah negara, terbaru saya dengar di Australia. Reaksi di luar KAMI cukup beragam dan menarik. Relawan Jokowi membentuk tandingan bernama Kerapatan Indonesia Tanah Air(KITA). Sejumlah politisi partainya Prabowo bersuara miring terhadap KAMI. Megawati juga merespon langsung bahwa KAMI kumpulan orang-orang yang ingin jadi Presiden. Publik dan media, baik mainstream maupun non mainstream berhari-hari mendiskusikan keberadaan KAMI dan sejumlah kritik-kritiknya pada pemerintah. Kelompok buzzer menyerang personal tokoh-tokoh KAMI. Bukannya mendebat gagasanya atau kritik-kritiknya. Bahkan peretasan terjadi pada akun media sosial Din Syamsudin, salah satu Deklarator KAMI. Buzzer menyebut KAMI ini kelompok orang-orang sakit hati. Rocky Gerung, salah satu Deklarator KAMI menyebut penguasa dan para buzzer sebagai kelompok sakit jiwa. Sakit hati adalah perbuatan melawan sakit jiwa. Keduanya sama-sama sakit. Entah mana yang sakitnya stadium satu, mana yang stadium empat. Bagaimana secara singkat fenomena ini dibaca dan dikuliti dengan menggunakan perspektif sosiologi politik? Sebagai akademisi, saya tidak ingin terjebak dalam tarikan analisis yang subyektif. Tentu pijakan analisisnya mesti scientifict. Berbasis data dan meminjam beberapa perspektif teori Sosiologi Politik. Cara membacanya bisa menggunakan indikator social movement yang beragam tidak tunggal. Menghindari cara menguliti dengan indikator tunggal sejenis seperti yang ditulis Zeng Wei Jian di akun facebook nya dengan judul "Tidak Ada Gerakan Moral", menguliti KAMI tetapi rujukanya political movement David S. Meyer dan Ralp W Nicholas. Ya, kesimpulanya jelas, karena paradigma analisisnya menggunakan analisis gerakan politik pasti kesimpulanya KAMI gerakan politik. Ini kutipan yang ditulis Zeng Wei Jian : A political movement is a collective attempt by a group of people to change government policy or society with mainly political goals. Jelas perspektifnya political movement, ya pasti kesimpulanya KAMI ditempatkan sebagai gerakan politik. Itu mirip ada satu gelas air putih lalu diberi setengah gelas garam. Lalu diaduk, dan buat kesimpulan itu air garam, padahal obyek asalnya adalah air putih. Coba kita kuliti KAMI dari perspektif yang berbeda. Menempatkan KAMI sebagaimana adanya. Diantaranya dengan menggunakan perspektif social movement theory, atau teori gerakan sosial. Ada banyak teori yang bisa digunakan. Tetapi dalam artikel singkat ini, cukup satu atau dua rujukan saja yang digunakan. Diantaranya perspektif Jurgen Habermas. Jurgen Habermas ketika menjelaskan fenomena gerakan sosial, mengemukakan bahwa social movement dipahami sebagai devensive relations to defend the public and private sphere of individuals againts the inroad of the state system and market economy (Gemma Edwards, Habermas and Social Movement Theory, 2009). Perspektif Habermas tersebut, menggambarkan bahwa sesuatu disebut gerakan sosial, jika terjadi relasi defensif antar anggota masyarakat yang terkonsolidasi untuk melindungi ruang publik dan private mereka. Akiabatnya, masyarakat melakukan perlawan, karena tekanan dari negara (state system) maupun ekonomi pasar (market economy). Sementara menurut Anthony Giddens ( Politics, Government and Social Movements , Sociology 7th Edition, 2013), gerakan sosial dimaknai sebagai upaya kolektif untuk mengejar kepentingan bersama. Juga gerakan untuk mencapai tujuan bersama atau gerakan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lembaga- lembaga formal yang mapan. Dari perspektif Habermas dan Giddens diatas, sudah cukup untuk menempatkan KAMI sebagai gerakan sosial. Karena telah terpenuhinya sarat. Diantaranya sebagai upaya kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Melindungi ruang publik dan privat (hak individu sebagai pribadi dan sebagai warga negara). Adanya tindakan kolektif (bergerak bersama). Dilakukan bukan oleh lembaga-lembaga formal mapan, tetapi oleh KAMI yang baru berdiri 18 Agustus 2020 lal. Entitasnya sangat cair, dan non formalistik. Bisa juga meminjam perspektif Sidney Tarrow dalam bukunya Power in Movement : Social Movements and Contentious Politics(2011). Sidney Tarrow yang menjelaskan bahwa sebuah gerakan sosial setidaknya memiliki empat indikator empirik penting. yaitu collective challenge, common purpose, social solidarity, and sustained interaction. Perspektif tersebut menegaskan bahwa dalam gerakan sosial, ada tantangan kolektif yang diyakini bersama. Juga ada tujuan bersama yang ingin dicapai, ada solidaritas sosial, dan adanya interaksi yang berkelanjutan antar mereka. Dengan meminjam perspektif Sydney Tarrow dan membaca fakta KAMI melalui analisis media, dan pengamatan langsung, maka KAMI memenuhi indikator sebagaimana yang ditulis SidneyTarrow sebagai gerakan sosial. Dalam indikator collective challenge, common purpose, social solidarity, and sustained interaction itulah moralitas gerakanya (misi besarnya) bisa dianalisis. KAMI bisa ditempatkan sebagai gerakan sosial berbasis pada kesamaan moralitas. Baik dalam melihat tantangan yang dihadapi, tujuan bersama yang ingin dicapai, solidaritas sosial yang dibangun dan kontinuitas jaringan yang terbentuk. Hal tersebut sesungguhnya juga terlihat jelas pada naskah jati diri KAMI dan Maklumat Deklarasi KAMI. Menganalisis isi dokumen secara mendalam dari sebuah entitas yang kita teliti adalah diantara cara scientifict di bidang ilmu-ilmu sosial. Itulah sebabnya KAMI dapat dibenarkan menyebut dirinya sebagai gerakan moral, karena pengakuan identitas dirinya dalam jati diri KAMI sebagai gerakan moral. Visi besarnya dalam Maklumat Deklarasi KAMI untuk membenahi negara melalui jalur oposisi non partai politik adalah juga moralitas gerakanya yang lebih memperjelas. Posisi KAMI sebagai gerakan moral nampaknya lebih menyulitkan kelompok penguasa dalam mematikan langkah KAMI. Apalagi kemudian dengan jejaring yang semakin luas. KAMI juga sesungguhnya bisa dikuliti dari sisi aktor atau tokoh-tokoh yang terlibat. Secara umum mayoritas tokoh KAMI adalah tokoh dari kalangan terpelajar, cendekiawan, tokoh agama, purnawirawan tentara atau polisi, kelompok profesional, pebisnis, pegawai BUMN, mantan pejabat, jurnalis, buruh, petani, nelayan, mahasiswa, dan rakyat jelata. Dari sisi aktor, sulit untuk memposisikan KAMI sebagai gerakan politik. KAMI hanya tepat ditempatkam sebagai gerakan sosial yang berbasis moralitas bersama (gerakan moral). Bukan gerakan politik. Jika posisi gerakan moral ini konsisten, maka kehadiran KAMI akan terus dirindukan rakyat banyak, terutama dirindukan oleh rakyat jelata. Penulis adalah Analis Sosial Politik UNJ & Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS)
Catatan Buat Pak Jokowi, "Bangsa Indonesia Dibelah"
by Prof. Dr. M. Amien Rais Jakarta FNN – Sabtu (29/08). Sudah seharusnya kita bangsa Indonesia melakukan kritik dan koreksi atas perjalanan bangsa yang telah kita lewati. Koreksi yang jujur, berani dan seobjektif mungkin. Agar kita mampu melihat apa saja masalah-masalah nasional yang perlu kita angkat ke permukaan, secara apa adanya. Namun segera harus kita catat, bahwa tulisan singkat ini hanyalah mengemukakan puncak- puncak masalah. Tentu diperlukan sebuah tulisan tebal bila kita ingin menyajikan telaah yang relatif lengkap tentang kondisi bangsa Indonesia dewasa InI. Saya sadar, tidak ada satu analisis atau gagasan mengenai apa saja, yang tidak menimbulkan sikap pro dan kontra. Saya tentu siap menerima kritik, koreksi dan bantahan serta masukan lain.Bahkan dengan senang hati saya ingin melakukan diskusi terbuka dengan siapa pun tentang apa yang saya kemukakan secara terbuka ini. Demokrasi sejati selalu membuka lebar kran pertukaran gagasan supaya muncul pilihan-pilihan alternatif bagi seluruh anak bangsa. Pilihan yang bersifat pro bono pub/ico. Pilihan yang menguntungkan kepentingan orang banyak, sepantasnya menjadi pilihan kita.Sedangkan pilihan yang bersifat eksklusif untuk sekelompok kecilyang cenderung memangsa (predatorik) kepentingan bangsa atau kepentingan nasional, biarlah terlempar ke sampah sejarah. Saya lihat dan cermati bahwa dalam pergaulan antar bangsa, dewasa ini Indonesia yang kita cintai bersama semakin tidak bersinar. Malahan semakin meredup. Kekuatan-kekuatan anti ke-Tuhanan nampak semakin beringas dan berani. Kemanusiaan kita bisa dikatakan cenderung menjadi kemanusiaan agak zalim dan tidak lagi beradab. Persatuan Indonesia semakin goyah. Ini karena politik rezim tidak memiliki kesadaran bahwa politik adu domba atar kekuatan sosial-politik dengan harapan rezim penguasa semakin kuat dan stabil, justru dapat menghancurkan bangsa seluruhnya. Kerakyatan kita kini cenderung membuang hikmah serta keunggulan prinsip permufakatan, permusyawaratan dan perwakilan. Mayoritas rakyat kecil kita belum merasakan keadilan sosial bagi seluruh bangsa. Tetapi lebih sering menderita dan menikmati kezaliman sosial dari mereka yang berkuasa dan berharta. Saya membaca perkembangan kehidupan politik, sosial, ekonomi, penegakan hukum serta kehidupan moral bangsa terus mengalami kemerosotan. Kehidupan yang tidak memiliki pijakan yang kokoh diatas akhlaq, moralitas atau etika dapat dipastikan akan meluncur ke bawah.Tidak mustahil pula proses kemerosotan multidimensional itu membuat semakin redup kehidupan bangsa kita. Menjadikan bangsa Indonesia seolah tanpa masa depan. Sejak Jokowi menjadi presiden pada periode pertama ( 2014-2019), dan diteruskan pada periode kedua sampai sekarang, perkembangan politik nasional bukan semakin demokratis. Malahan kian jauh dari spirit demokrasi. Tidak berlebihan bila dikatakan hasil pembangunan politik dimasa Jokowi telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kecurigaan dan ketakutan Jokowi terhadap umat Islam yang bersikap kritis dan korektif terhadap rezim begitu jelas kita rasakan. Kriminalisasi, demonisasi, dan persekusiterhadap para ulama yang beramar ma'ruf dan bernahi-munkar telah menjadi rahasia umum. Sebagai Presiden, seharusnya Jokowi berpikir, bekerja dan terus berusaha supaya tidak jadi pemimpin partisan. Membela sekitar separuh anak bangsa. Menjauhi, bahkan kelihatan memusuhi sekitar separuh anak bangsa lainnya. Politik partisan semacam ini tidak bisa tidak, cepat atau lambat membelah bangsa Indonesia. Tidak boleh seorang Presiden terjebak pada mentalitas "koncoisme”. Sekeping contoh bisa dikemukakan. Tatkala jutaan umat Islam berunjuk rasa secara damai, tertib, bersih dan bertanggung-jawab pada tanggal 4 November 2016, tiga orang utusan mereka ingin bertemu dengan Jokowi.Tetapi ditunggu dari pagi sampai larut senja, Jokowi pada hari itu seharian meninggalkan istana.Alasannya, ada satu urusan teknis harus diselesaikan di bandara Sukarno-Hatta. Sampai sekarang penyakit politik bernama partisanship itu tetap menjadi pegangan rezim Jokowi dalam menghadapi umat Islam yang kritis terhadap kekuasaannya. Para buzzers bayaran dan juga para jubir istana di berbagai diskusi atau acara di banyak stasiun televisi, semakin menambah kecurigaan banyak kalangan terhadap politik Jokowi yang beresensi politik belah bambu. Menginjak sebagian dan mengangkat sebagian yang lain. Penulis adalah Ketua MPR Periode 1999-2004.
Masirah Al Kubra Luruskan Kesesatan Penyelenggara Negara
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (28/08). Agak lama umat menunggu Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan Maklumat kembali yang berisi tahzir (peringatan). MUI yang menolak dengan tegas tanpa kompromi terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) karena substansi materi keduanya dinilai sama. Memberi ruang untuk berkembangnya neo PKI dan faham komunisme. Merujuk pada hasil Kongres Umat Islam 2020 di Pangkal Pinang , yang meminta kepada Presiden agar BPIP segera dibubarkan. Pernyataan tegas MUI yang sudah disiapkan itu bagus dan juga menggigit, terutama sikap tegas bahwa Kepres No 24 tahun 2016 tentang hari lahir Pancasila agar segera dicabut. Kepres ini menjadi sumber penyelewengan atas tafsir Pancasila. Hari lahir Pancasila itu bukan pada tanggal 1 Juni 1945, tetapi 18 Agustus 1945. Karenanya Pemerintah sepantasnya mengeluarkan Kepres baru yang menetapkan hari lahir Pancasila adalah 18 Agustus 1945. Pancasilan tanggal 1 Juni 1945 adalah Trisila dan Ekasila, serta Ketuhanan yang berkebudayaan. Bukan Ketunanan Yang Maha Esa seperti Pancasila 18 Agustus 1945. Bagi MUI yang sejak awal menegaskan penolakan RUU HIP, yang kemudian berubah menjadi RUU BPIP, itu memenuhi dua kewajiban. Pertama, kewajiban syar'i . Kedua, kewajiban kebangsaan dalam rangka penegakan kesepakatan. Ini artinya baik RUU HIP yang menjadi inisiatif DPR dan RUU BPIP yang menjadi usulan Pemerintah adalah bukti dan wujud penghianatan dari kesepakatan bangsa Indonesia. MUI sebagai lokomotif perjuangan umat Islam Indonesia, tentu sangat merasakan kegelisahan umat. Sekarang umat Islam merasa bahaya terhadap bangsa dan negara andai kedua RUU tersebut ditetapkan sebagai Undang Undang. Karenanya sedemikian serius MUI mewanti-wanti, bahkan sangat mungkin mengancam atas pengabaiannya. Bila sikap Pemerintah dan DPR tetap bersikukuh mempertahankan kedua RUU tersebut, maka tidak ada jalan lain, selain melakukan al masirah al kubra (parade akbar) sebagai jalan konstitusional untuk meluruskan kesesatan yang dilakukan para penyelenggara negara. Demikian sejak dini dikemukakan MUI. Bahkan telah menyebut persiapan panglima segala. Model "warning" yang seperti ini semestinya menjadi perhatian, baik Pemerintah maupun DPR, agar segera mengoreksi diri. Membuat keputusan untuk tidak melanjutkan pembahasan terhadap RUU HIP dan RUU BPIP. Bahkan sebaiknya batalkan dan cabut segera dari Program Legislasi nasional (Prolegnas) DPR tahun 2020 . Juga segera laksanakan pembubaran BPIP. Jika peringatan MUI dikeluarkan, maka hal itu merupakan peringatan keagamaan. Bukan peringatan politik atau lainnya. Karenanya pernyataan bahwa al masirah al kubra adalah "jalan untuk meluruskan kesesatan" menjadi peringatan yang bermuatan syar'i. Umat Islam tentu saja bersiap-siap untuk merespon secara konstruktif seruan MUI tersebut. Tentu dengan risiko dan semangat berkorban apapun untuk agama yang diyakini kebenarannya. Bangsa dan negara harus diselamatkan dari kemungkinan rencana penyelewengan terhadap ideologi Pancasila, yang dilakukan secara terselubung. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Kenapa Pemerintah Beroposisi Terhadap KAMI?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (28/08). Ketika Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia KAMI) muncul dengan maklumatnya, publik jadi ramai. Umumnya masyarakat positif menyambutnya. Bahkan cukup rakyat antusias. Ada dua indikator. Pertama, berita media. Sangat masif pra dan pasca deklarasi KAMI. Kedua, berdirinya sejumlah KAMI di daerah. Meski begitu, ada juga yang kontra. Terutama dari sejumlah elit dan pendukung pemerintah. Mereka nampak gerah dan merasa nggak nyaman. Tentu saja mereka punya alasan mengapa gerak dan nggak nyaman. Soal rasional tidaknya alasan ketidaknyamanan itu, biar rakyat yang akan menilai. Kegerahan itu terlihat dengan munculnya sejumlah statemen negatif. Bahkan juga muncul tandingan terhadap KAMI. Lahir komunitas yang mengatasnamakan KITA, KALIAN atau KAMI dengan singkatan yang berbeda-beda. Karena sifatnya reaktif, apalagi hanya sebagai tandingan, biasanya nggak lama. Muncul, lalu segera tenggelam. Gerakan tanpa militansi dan orientasi perjuangan biasanya nggak bertahan lama. Apalagi jika bergantung biayanya. Beberapa tokoh membuat tudingan yang cenderung menyudutkan KAMI. Mereka menganggap KAMI adalah kumpulan barisan sakit hati. Nggak siap menerima kekalahan. Pingin jadi presiden, dan makar. Tudingannya macam-macam. Anehnya, mereka yang melakukan kritik terhadap KAMI umumnya tidak bicara substansi. Lima hal yang menjadi bagian dari maklumat KAMI terkait persoalan ekonomi, politik, sosial budaya, hukum dan HAM serta Sumber Daya Alam, nyaris tak disinggung. Yang disorot justru organisasi dan para tokohnya dengan berbagai stigma dan tuduhan yang nggak perlu. Semacam tuduhan yang kekanak-kanakan. Sebaiknya perlu baca dulu maklumat KAMI. Pahami, lalu bahas dan diskusikan isi maklumatnya. Kalau sudah baca, lalu sengaja mengabaikan, karena dalam maklumat tersebut ada kebenaran data. Makanya tentu ini bukan saja nggak fair, tetapi juga gak mendidik bagi rakyat. Mestinya, para pengkritik KAMI membaca, lalu pelajari lebih dulu substansi dan konten maklumat KAMI. Jadikan konten itu sebagai tema diskusi. Adu data dan analisis yang jauh akan lebih konstruktif. Memberikan referensi yang baik dan dapat mencerdaskan rakyat. Tapi, jika yang disoal adalah organisasi gerakan dan para tokohnya saja. Apalagi dengan cara menyeebar fitnah, dan sibuk membuat tuduhan, maka hal ini hanya akan menjauhkan bangsa dari substansi persoalan yang sedang dihadapi. Tahu-tahu sudah krisis saja. Tahu-tahu bangkrut saja. Tahu-tahu meledak dan terjadi gejolak sosial saja. Tahu-tahu dan kemungkinan-kemungkinan itu dan inilah yang jauh lebih berbahaya untuk bangsa ini nantinya. Karena itu, gerakan seperti KAMI dan sejenisnya perlu hadir sebagai alarm. Sebelum negara ini semakin terpuruk dan terlambat untuk diatasi permasalahannya. Ada ungakapan, "orang bodoh selalu melihat siapa yang bicara. Orang pintar selalu melihat apa (konten) yang dibicarakan. Dan orang beradab selalu melihat nilai (value) di balik konten yang dibicarakan". Nah, silahkan pilih sendiri, anda mau masuk ke kelompok mana? Supaya tidak dianggap masuk yang "bodoh", maka sebaiknya semua pihak mestinya melihat maklumat KAMI sebagai tema diskusi kebangsaan hari ini. Dari sinilah rakyat belajar dan bagaimana ikut ambil peran menghadapi persoalan negaranya. Dalam konteks ini, nampaknya KAMI lebih siap untuk beradu gagasan dan data. Kesiapan itu terlihat dari kredibilitas para tokohnya yang tampil ke permukaan. Soal ekonomi, ada Said Didu, Ichsanuddin Noersy, Budhiyanto dan Didik J. Rachbini. Ekonom Rizal Ramli, kendati tak berada di struktur KAMI, tapi selalu mendukung dan satu pandangan dengan KAMI dalam analisis ekonominya. Soal Hukum, ada Refly Harun, Abdullah Hehamahua, Joko Edy, Ahmad Yani dan sejumlah advokat. Soal politik, ada Gatot Nurmantyo, Husnul Mariyah, Ubaidillah Badrun, Bachtiar Hamzah dan Tamsil Linrung. Soal Sumber Daya Alam ada Marwan Batubara yang aktif menulis tentang persoalan minerba. Soal sosial budaya, ada Din Syamsuddin, Rachmat Wahab, dan Jeje Zainuddin. Tokoh-tokoh yang jumlahnya ada 150 ini punya kapasitas di bidangnya masing-masing. Jumlah tokoh yang bergabung ke KAMI terus bertambah. Apalagi ada program KAMI berbasis profesi. Kabarnya akan lahir KAMI mahasiswa, KAMI kedokteran, KAMI advokat, KAMI purnawirawan, KAMI buruh, KAMI petani, KAMI nelayan, dan KAMI-KAMI yang lain. Jika ini terealisir, tentu akan menjadi potensi yang besar untuk berkontribusi kepada bangsa, sesuai bidang masing-masing. Pemerintah bisa manfaatkan mereka sebagai sparing partner dalam membangun gagasan dan kebijakan. Bukan sebaliknya, sibuk mencari kesalahan dan melakukan pembunuhan karakter terhadap para tokohnya. Itu prilaku picik, amatiran, kacangan, kaleng-keleng, odong-odong dan beleng-beleng. Tentu, ini tidak baik bagi proses pembelajaran politik dan demokrasi kita. Pemerintah dan DPR mestinya berterima kasih kepada para tokoh dan anak bangsa yang ikut membantu secara aktif menyelamatkan Indonesia dari krisis, terutama ekonomi, hukum dan politik. Mereka adalah orang-orang yang peduli terhadap bangsa dan negaranya. Dengan jiwa nasionalismenya, gerakan semacam KAMI inilah yang dapat mencegah terjadinya deviasi, distorsi dan disorientasi pengelolaan negara, dari nilai dasar dan cita-cita bangsa. Terutama di tengah DPR yang sedang kehilangan spiritnya untuk menjalankan tugas kontrolnya. Jangan justru sebaliknya, pemerintah malah merasa gerah dan berupaya mengganjal KAMI. Nggak lucu kalau kemudian pemerintah mangambil sikap oposisi terhadap KAMI. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Presiden Dilarang Membual
by Dr. Margarito Kamis SH.M.Hum Jakarta FNN – Rabu (26/08). Peradaban manusia, yang di dalamnya termasuk peradaban hukum dan politik telah menulis takdirnya sendiri. Sesederhana apapun kehidupan itu, begitu takdirnya, selalu jatuh dalam kebutuhan untuk diorganisasikan. Langkah pengorganisasian itu dirangsang oleh banyak mimpi. Mimpi-mimpi itu semuanya indah. Tetapi seindah-seindahnya semua mimpi itu, tak lebih indah dari mimpi diperlukannya seorang saja sebagai pemimpin. Sekali lagi seorang saja. Bukan dua orang. Mengapa bukan dua, apalagi banyak orang? Begitu dua orang menjadi pemimpin dalam satu organisasi, maka kekacauan menjadi hasil yang pasti menyertai organisasi itu disepanjang waktu. Kekacauan itu jelas sejelas matahari mengawali sapaannya kepada dunia dari timur. Kasian Rakyat Tidak banyak yang dibicarakan tentang orang macam apa yang dapat menjadi presiden. Ini patut dikenali. Tetapi dari tidak banyak itu, terdapat dua hal hebat yang layak dipertimbangkan. Pertama, presiden harus dipilih. Kedua, presiden bukan malaikat. Dia punya kelemahan akal budinya, terlepas dari bobotnya dan siapapun orangnya. Mengandalkan “pemilihan” bukan penunjukan. Apalagi diwariskan sebagai cara menemukan seseorang menjadi presiden, diyakini sebagai cara tepat memperoleh orang yang masuk akal memegang kekuasaan menjalankan hukum. Kekuasaan inilah yang disebut kekuasaan pemerintahan. Berjualan ide. Begitu orang-orang yang berhasrat jadi presiden. Itu untuk meyakinkan masyarakat pemilih. Padahal acapkali jualan ide menjadi bualan. Tetapi dengan membual itulah dia terlihat secara transparan. Tetapi setransparan apapun, selalu ada yang disembunyikan. Selalu ada bualan dalam setiap aspeknya. Bisakah dikoreksi sesudah si kabualan itu jadi presiden? Tidak bisa. Sistem didunia ini tidak menunjuknya sebagai alasan hukum dan politik memberhentikannya. Jadi? Membuallah sehebat-hebatnya pada saat balapan capres. Bualan-mualan itu, idealnya harus dihentikan bersamaan dengan dirinya resmi menjalankan pemerintahan. Setidak-tidaknya tidak boleh lagi muncul pernyataan yang tidak memiliki pijakan fakta dan rasio. Juga tidak boleh muncul pernyataan yang satu dan lainnya saling menyangkal. Mengapa presiden harus berhenti membual dalam menjalankan pemerintahannya? Dalam kedudukanya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, semua tindakan presiden memiliki nilai. Setiap katanya dinilai otoritatif. Dalam kedudukan itu, presiden juga dinilai secara politik untuk disamakan dengan kepastian. Masa depan negara, postur politik di panggung internasional, tercermin dari setiap kata-katanya. Satu saja pernyataan yang dinilai tidak masuk akal, segalanya bisa berubah. Dunia ekonomi akan bergejolak. Pasar uang dan pasar saham bisa bergelombang naik atau terjun bebas hanya dengan satu kata dari presiden. Relasi sosial juga akan terguncang kencang hanya dengan satu kata presiden. Kekayaan negara dan aset perusahaan bisa turun ke dasar hanya dengan satu kata dari preiden. Hubungan dan diplomasi internasional bisa memburuk hanya dengan satu kata presiden. Presiden haruslah manusia paling cerdas di negara dalam penggunaan setiap penggal kata yang keluar dari mulutnya. Presiden jangan sampai asal bicara. Begitu aturan tidak tertulis yang mutlak untuk dipahami seorang presiden. Body language presiden itu punya makna sangat yang tinggi terhadap nasib rakyatnya. Kasian negara kalau presiden sampai asal-asalan. Presiden harus pandai menemukan pijakan faktual. Presiden juga harus, bahkan mutlak pandai merangkai fakta itu. Fakta yang telah dirangkai itu harus disajikan dengan kalimat yang tepat. Diksinya harus bernilai dan berkelas. Kalau presiden hendak mengeritik lawan-lawanya, pilihan diksinya yang harus menjelaskan kelasnya sebagai politisi top. Politisi kelas dunia. Bukan sebagai politisi yang abal-abal. Tak boleh membual, sekecil appun bualannya itu, dan dalam situasi apapun. Terlalu besar konsekuensinya. Bukan saja perkara bualannya itu, bisa menandai dirinya tak kompeten, tak bermutu, dan tak memiliki dari aspek kapasitas dan kapabilitas. Tetapi efeknya itu. Sangat bahaya bila presiden membual. Jangan, jangan itu terjadi. Kasian negara dan rakyat. Republik Melarang Menginginkan dengan sangat untuk meyakinkan sesuatu yang positif terjadi, tetapi dalam kenyataannya tidak terjadi, mungkin tidak dapat dinilai sebagai bualan. Menginginkan pertumbuhan ekonomi 7% dan kurs Rp 10.000 per dollar misalnya, tetapi dalam kenyataannya justru negatif sekian persen, mungkin juga tak bisa untuk sebagai disebut bualan. Berhasrat kuat mengubah pandemi corona menjadi peluang, dan melakukan lompatan jauh untuk menggenggam masa depan yang gemilang, itu hebat. Kalaupun dalam kenyataan, Indonesia hari ini sedang berupaya dan bekerja keras untuk mengimpor vaksin dari China, mungkin tak dapat dinilai sebagai bualan. Boleh jadi itu malah bagus. Itu malah dapat dilihat sebagai postur kongkrit tanggung jawab Presiden. Risikonya Indonesia jadi pasar vaksin China. Dan dalam skema itu Indonesia harus bayar patennya. Yang terakhir ini yang menjadi soal Pak Presiden. Sudah jadi pasar China, eh harus bayar pula patennya lagi. Tragis nasib bangsa ini. Bahwa korporasi-korporasi China mendapatkan untung. Itu memang logis. Negara itu memang menjadikan Marxisme sebagai fundasi politiknya, tetapi tidak untuk urusan untung. Urusan ini, China jagonya. Apa boleh buat. Toh Indonesia baru mampu menyerap anggaran penanganan Corona dan PEN tak lebih dari 45,69% dari pagu anggaran Corona dan PEN per 19 Agustus 2020. Sebagian PEN malah belum ada DIPA-nya (Lihat CNN Indonesia, 25/8/2020). Indonesia harus realistis. Juga harus bisa rendah diri. Ini memang bisa ditertawakan. Bahkan bisa diolok-olok, karena bertolak belakang dengan hasrat, entah serius atau tidak dari Presiden sendiri. Berhasrat mengubah tantangan pandemi ini menjadi kesempatan besar untuk meraih kemajuan, melakukan lompatan besar ke depan, tetapi jatuh di tengah keharusan mengimpor vaksin dari China. Apa boleh buat. Amerika yang top, jago dalam banyak hal, cemerlang dalam hal inovasi, sejauh ini belum menemukan vaksin anti corona. Apalagi Indonesia yang selalu kedodoran, tertatih-tatih dalam lomba inovasi. Ingat mobil Esemka? Mobil yang dipropagandakan sebagai mobil nasional itu, sejauh ini seperti barang bualan. China hebat, tanggap dan cekatan bergerak memenuhi kebutuhan Indonesia. China mungkin tahu Indonesia terkenal tahu diri. Harus selalu siap sedia menyediakan kebutuhan China. Indonesia akan cekatan menyediakan kebutuhan China untuk memperlancar investasinya. Presiden dan DPR sedang habis-habisan sediakan berbagai fasilitas investasi. Presiden dan DPR menyiapkan RUU Omnibus Cipta Kerja. Dalam RUU ini, telah disediakan pasal yang memberi kewenangan Presiden mengubah pasal-pasal dalam UU dengan Peraturan Pemerintah (PP). Itu ditulis dalam pasal 170 RUU Omnibus. Andai sukses, Presiden dan DPR secara bersama-sama membinasakan tatanan bernegara berdasarkan UUD 1945. Kelak presiden, siapapun orangnya, dengan pasal itu akan menjadi figur yang powerfull. Bahkan presiden dengan kewenangan baru itu, layak disamakan dengan raja-raja absolut abad ke-17. Apalagi bila partai-partai tetap mengelompok sedemikian rupa seperti saat ini. Partai saat telah menampilkan ciri layaknya partai tunggal. PKS dan Partai Demokrat, terbukti kalah canggih dari bekerjanya liberalisme ganas yang menghasilkan pengelompokan itu. Presiden memang tidak sedang membual dengan tekadnya menyajikan lingkungan persaingan terbuka dalam semua aspek. Tekad ini terlihat telah bekerja secara efektif. Semua orang bisa bersaing. Anaknya dan menantunya sendiri pun berhak bersaing menjadi calon walikota Solo dan Medan, kampung halamannya sendiri. Itu juga hebat. Tekad itu terlihat tak terkontrol. Pandangan itu mengandung bahaya ganas yang tersembunyi. Mengapa? UMKM, mau atau tidak, suka atau tidak, harus bersaing terbuka dengan korporasi. Ini bahaya tipikal kapitalisme yang ganas itu. Juga tak seirama dengan pasal 33 UUD 1945. Membahayakan demokrasi? Ya, untuk demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal yang impor. Demokrasi liberal terlalu kaya dengan bualan-bualan, yang setiap aspeknya canggih. Penyesatan adalah salah satunya. Penyesatan itu bualan. Tetapi secanggih itu sekalipun demokrasi liberal, nurani republik melarang presiden, siapapun orangnya untuk membual. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate
Kejaksaan Agung: Kebakaran yang Ideal dan Sempurna
by Asyari Usman Jakarta FNN - Selasa (25/08). Sabtu malam Minggu, jam 19.10. Hari libur. Dan dalam suasana Covid-19. Hampir pasti tidak ada yang bekerja. Pada saat itulah kebakaran dahsyat melenyapkan gedung Kejaksaan Agung. Inilah kebakaran yang ‘ideal’ dan ‘sempurna’. Ideal, dalam arti tidak ada korban jiwa. Yang korban ‘hanya’ berkas-berkas perkara saja. Sehebat apa pun berkas perkara itu akan dianggap ‘tak penting’ dibanding korban jiwa. Sempurna, dalam arti kobaran api leluasa merambat ke segala penjuru. Memangsa semua yang “diinginkan” api. Sempurna, juga dalam arti gedung yang ‘penuh kenangan indah’ bagi para VIP yang sering nongkrong dan berbagi macam-macam hal di situ, kini hanya tinggal tulang-belulang. Alhamdulillah, tidak ada korban nyawa dalam peristiwa 22 Agustus 2020 itu. Syukur sekali, Allah SWT “pilihkan” itu terjadi pada hari Sabtu. Bukan hari kerja. Kalau pun ada yang masuk, tentu tidak banyak. Andaikata ada yang masuk kerja Sabtu pagi itu, diperkirakan mereka sudah pulang semua sebelum malam tiba. Apalagi, Jakarta masih bergelut dengan Covid-19. Pastilah protokol ketat berlaku juga di Kejaksaan Agung. Hebat sekali “pilihan” Tuhan itu. Bayangkan kalau kebakaran terjadi pada hari kerja dan siang hari pula. Selasa atau Jumat, misalnya. Mungkin ratusan orang ada di gedung itu. Besar kemungkinan ada korban jiwa. Sangat menarik untuk merenungkan “pilihan” Tuhan ini. Pada hari Sabtu malam kebakaran dahsyat itu berkecamuk. Boleh jadi, libur itu menyebabkan tidak banyak ‘property’ penting Kejaksaan yang bisa diselamatkan. Kabarnya, memang tidak ada yang terselamatkan atau diselamatkan. Para penguasa Kejaksaan pantas bersyukur tak putus-putus karena kebakaran itu “dituliskan” Allah terjadi di hari libur. Luar biasa ‘kasih sayang’ Allah kepada orang-orang Kejaksaan Agung. Allah turunkan musibah itu ketika semua pegawai, tinggi dan rendah, tidak masuk kerja. Tidak salah kalau dikatakan ‘doa’ para petinggi Kejaksaan selalu didengar. Mungkin juga doa mustajab orang-orang yang ‘terzolimi’. Misalnya, orang seperti Tuan Joko Tjandra. Beliau ini bisa disebut sebagai orang yang ‘terzolimi’. Mengapa? Karena Tuan Joko terkenal sangat baik. Pemurah. Dermawan. Suka dan cepat bagi-bagi rezeki. Tapi, tiba-tiba sekarang dia ‘dimusuhi’ oleh orang-orang yang dekat dengannya. Dijebloskan ke penjara. Cuma, memang perlu dikorfirmasikan dulu apakah dia benar mendekam di penjara. Ketika perkara si Tuan mau dibongkar habis dan dia dimasukkan ke tahanan, tentu itu termasuk bentuk penzoliman kepada JT. Barangkali saja beliu berdoa agar ‘kasus zolim’ itu bisa lenyap. Benar saja. Kasus Tuan Joko dilenyapkan pada hari Sabtu. Tanpa korban jiwa. Sekarang, kita menunggu hasil investigasi Pak Polisi. Untuk membuktikan apakah musibah di Kejaksaan Agung itu kebakaran ‘pilihan’ Tuhan. Ataukah mirip cerita-cerita Bollywood yang selalu serba kebetulan. Selalu rapi, timely, dan dengan presisi yang tinggi. Ingat, jangan berspekulasi. Curiga dan menduga tentu boleh-boleh saja. Dilindungi oleh UU. Tapi, lebih baik Polisi kita beri kesempatan untuk mendalami kebakaran yang ‘tematis’ dan ‘sistematis’ itu.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID
Berharap Jokowi Jadi Negarawan Penyelamat NKRI
by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Rabu (25/08). Ini Persoalan yang sangat serius. Jokowi kemungkinan akan menghadapi dua keadan yang sangat tidak mengenakkan. Tetapi, Jokowi bisa dikenang sebagai negarawan yang menjadi teladan generasi mendatang. Pikiranku masih saja terganggu. Penilaian Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), bahwa kehidupan bangsa dan negara sudah menyimpang dari tujuan dibentuknya republik ini. Penyimpangan ini sesuatu yang sangat serius. Tidak bisa dipandang enteng alias sebelah mata. Sebab, ini berarti penyelenggara negara telah menyimpang dari Falsafah Negara, menyeleweng dari Pancasila. Berulang kali KAMI dalam maklumatnya, baik secara eksplisit maupun implisit, menuntut penyelengara negara, khususnya pemerintah, DPR, DPD, dan MPR untuk mengembalikan penyelenggaraan dan pengelolaan negara pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 sesuai Dekrit 5 Juli 1959. Khusus kepada Presiden, KAMI menuntut untuk bertanggungjawab sesuai dengan sumpah dan janji jabatannya. Mengelola negara meyimpang dari Pancasila? Itu adalah pengingkaran terhadap sumpah dan janji jabatan. Itu melalaikan kewajiban, melalaikan amanah rakyat atau dalam istilah agama disebut sebagai khianat. Itu betul-betul persoalan serius. Bicara Pancasila dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan Republik Indonesia. Bukan pula Republik Indonesia Serikat. Haruslah merujuk pada pembukaan UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 sebagaimana Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Bukan Pancasila lain, apalagi Pancasila 1 Juni 1945. Mengelola negara berdasarkan Pancasila yang bukan Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah penyelewengan, penghianatan terhadap rakyat dan konstitusi. Mari kita simak ulang aline ke empat Pembukaan UUD 1945 ini. “Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. “Sila-sila Pancasila” dalam alenia ke empat itu sesungguhnya adalah merupakan landasan negara untuk menjadi pedoman pemerintah menunaikan fungsinya, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Jadi, Pancasila itu adalah amanah rakyat kepada negara untuk dilaksanakan pemerintah dalam upaya mencapai tujuan dibentuknya negara. Ini harus digaris bawahi. Dalam kata lain, pemerintah berkewajiban melaksanakan Pancasila. Ada pun rakyat, sebagai pemberi amanah, adalah mereka yang harus menerima manfaat dari hasil kerja pemerintah mengelola negara sesuai dengan Pancasila. Hal ini dipertegas oleh anak kalimat terakhir dari alenia ke 4 itu, yakni : ”...serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosia bagi seluruh rakyat Indonesia.” Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tentulah tugas Pemerintah Indonesia. Bukan rakyatnya. Rakyat, malah sebaliknya, berwenang mengawasi pemerintah dalam melaksanakan Pancasila. Lain dari itu, tanda baca “koma” di antara sila-sila Pancasila, juga kata sambung “dan” setelah Persatuan Indonesia dan “serta” sebelum sila “dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia” menunjukan Pancasila adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahlkan. Dengan demikian, upaya memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila adalah suatu yang terlarang dan adalah merupakan upaya merongrong Pancasila itu sendiri. Ini pula yang membedakannya dengan Pancasila 1 Juni 1945 (Pancasila rumusan pribadi Soekarno). Bagi rakyat, alat ukur untuk menilai apakah pemerintah sedang menjalankan pemerintahan berdasarkan Pancasila atau tidak, sederhana saja, yakni apakah rakyat mendapatkan hak-haknya. Kembali merujuk alenia ke empat, hak-hak utama rakyat adalah mendapatkan perlindungan dari negara. Mendapat kesejahteraan, mendapat pendidikan, mendapat keadilan sosial (termasuk berserikat dan mengeluarkan pendapat di muka umum) dan bebas menjalankan agama yang diyakininya. Jika rakyat merasa semua terpenuhi, berarti pemerintahan sudah on the tract. Tetapi kalau tidak, berarti terjadi penyimpangan. Begitu pulalah KAMI menilai jalannya pemerintahan akhir-akhir ini. Kesimpulan KAMI, Pengelola Negara telah menyeleweng dari Pancasila. Dalam konteks RUU HIP dan RUU BPIP, pengelola negara bukan saja tidak menjalankan Pancasila. Dengan RUU HIP, DPR bahkan ingin mengganti pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan Pancasila rumusan Pribadi Soekarno. Menurut KAMI, ini adalah upaya nyata untuk meruntuhkan NKRI. Sementara RUU BIP dapat dipandang sebagai keinginan pemerintah untuk mengambil alih kewenangan rakyat sebagai pemberi mandat kepada pemerintah berupa Pancasila. Pemerintah ingin membentuk lembaga (pengganti rakyat) penafsir tunggal yang sah tentang mandat rakyat (Pancasila) itu. Maka, dengan ini rakyat bukan lagi menjadi pengawas pemerintah dalam menjalankan Pancasila, tetapi sebaliknya akan diawasi oleh pemerintah dengan Pancasila. Keadaannya menjadi terbalik, seolah-olah rakyatlah yang wajib menjalankan Pancasila. Pancasila menjadi alat pemukul bagi pemerintah terhadap rakyatnya ! Ngeri, akan berapa banyak lagi korban berjatuhan ? Memperhatikan betapa dahsyatnya kerusakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang akan ditimbulkan oleh RUU HIP dan RUU BIP, itulah maka KAMI secara khusus menuntut yang berkenaan dengan kedua RUU ini. Tuntutannya adalah, agar pemerintah mengusut secara sungguh-sungguh dan tuntas pihak-pihak yang berupaya melalui jalur konstitusi mengubah Dasar Negara Pancasila. Tetapi, persoalan besarnya adalah bagaimana tindak lanjut dari penyelewengan Pancasila yang dilakukan oleh pengelola negara itu? Sebagai bandingan dan sekaligus preseden, Hizbut Thahrir Indonesia (HTI) dicabut status badan hukumnya oleh Kemenkumham karena dinilai tidak sesuai dengan Pancasila. Demikian juga Front Pembela Islam (FPI), mengalami persoalan perpanjangan tanda terdaftarnya karena alasan yang lebih kurang sama. Maka, bagaimana kalau penyelenggara negara –yang memang berkewajiban mengelola negara berdasar Pancasila, melenceng dari Pancasila ? Mengingat Pemerintah adalah penerima mandat dari rakyat, maka logikanya, rakyat berhak menarik mandat dan membubarkan pemerintahan yang melenceng dari Pancasila. Azas Contrarius actus sungguh tepat dijadikan alasan. Sebab tanpa mandat, siapa pun tak berhak memerintah rakyat. Inilah persoalan sangat serius yang mengganggu pikiranku. Amin Rais, dalam Risalah yang disampaikannya 13 Agustus 2020, menawarkan pilihan untuk Pak Jokowi : mundur atau terus. Ada 13 persoalan besar “prestasi negatip” pemerintahan Jokowi. Ya, jika ditilik ke 13-nya, lebih kurang samalah dengan penilaian KAMI. Kalau mau terus, kata Amin Rais, “bersihkan istana dari elemen-elemen yang merusak kehidupan Bangsa Indonesia”. Jokowi jelas berada pada posisi sangat sulit. “Membersihkan Istana” sekaligus mengusut pihak-pihak yang terkait dengan RUU HIP dan RUU BPIP serta memperbaiki keadaan seperti yang dituntut KAMI bukanlah pekerjaan gampang. Jokowi akan berhadapan keras dengan kekuatan besar yang ada dibalik layar, termasuk partai-partai pendukungnya. Meneruskan apa yang ada sekarang, dan mengabaikan tuntutan KAMI, Jokowi akan berhadapan dengan rakyat. Harus diakaui, dengan semaraknya dukungan dari seluruh tanah air, KAMI saat ini menjadi corong suara rakyat. Tampaknya, gerakan semacam itu akan terus tumbuh dan berkembang pesat. Dengan kondisi demikian, Jokowi akan menghadapi dua keadaan. Dimundurkan oleh pendukungnya, atau dimundurkan oleh rakyat-rakyat yang menyabut mandat dengan caranya sendiri. Dua-duanya jelas tidak mengenakkan. Maka, yang enak dan terhormat itu adalah mengundurkan diri. Mundur dengan kesadaran. Melepaskan diri dari terlibat dalam penyelewengan dan terlepas dari berhadapan dengan rakyat. Jokowi akan dikenang sebagai negarawan, menjadi teladan bagi generasi mendatang : Jokowi penyelamat NKRI. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia Masyumi Reborn.
Cukup Bilang "Anti PKI" , PDIP Selamat
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (25/08). Tak sedikit yang curiga bahwa keturunan PKI dan masyarakat yang berupaya untuk hidupkan kembali faham komunisme telah memilih untuk berafiliasi ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kecurigaan ini muncul terutama setelah salah seorang kader PDIP menulis buku dengan berjudul, "Aku Bangga Jadi Anak PKI". Kecurigaan makin menguat ketika ada sejumlah pihak yang mendesak Jokowi atas nama kepala negara meminta maaf kepada PKI. Alasannya, PKI itu korban. Bukan pelaku. Beruntung saja, Jokowi menolak. Jika tidak, akan ada gejolak yang tak perlu terjadi. Belakangan, muncul lagi usulan fraksi PDIP atas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila(RUU HIP). Gagasan RUU ini mengusung Pancasila 1 Juni 1945, yang memperjuangkan Pancasila Trisila dan Ekasila. Juga menolak TAP MPRS No 25 Tahun 1966 menjadi bagian dari konsederannya RUU HIP seperti anti klimaks terhadap kecurigaan itu. Jangan salah paham. Menuduh PDIP itu PKI tentu saja keliru. Tetapi, mencurigai bahwa ada orang-orang yang berpaham komunisme berdiam di PDIP memang tak mudah untuk dibuktikan secara hukum. Terlebih ketika hukum berada dalam kendali politik. Makanya, maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada poin kelima yang berisi tuntutan untuk mengusut tuntas konseptor dan pengusul RUU HIP nggak mudah untuk dipenuhi. Dengan kata lain “diabaikan atau didiamkan saja”. Tidak ada gelagat diproses oleh jajaran penegak hukum negeri ini. Dianggap seperti tidak ada tuntutan. Sebelumnya, keputusan Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) yang diselenggaran MUI di Pangkal Pinang Bangka Belitung, menuntut agar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dibubarkan, juga tak dipenuhi. Malah sebaliknya, pemerintah justru mengeluarkan usulan RUU BPIP. Ini adalah tamparan keras terhadap MUI dan semua ormas yang mengikuti KUII. Sekaligus menunjukkan bahwa MUI tak cukup kuat untuk menekan penguasa negeri ini. Beberapa pekan ini, isu HIP mulai meredup. Meski RUU HIP belum dicabut dari prolegnas. Mungkinkah Pemerintah dan DPR sengaja mengulur waktu dan berupaya melunakkan MUI dan pihak-pihak yang menolak HIP? Biar MUI yang jawab. Kembali pada PDIP, bahwa stigma terhadap partai yang dipimpin Megawati ini berkaitan dengan isu komunisme akhir-akhir ini memang semakin menguat. Apakah ini akan ada pengaruhnya terhadap elektabilitas partai banteng? Tunggu perkembangan lebih lanjut. Jika berpengaruh, maka PDIP hanya butuh satu kalimat saja. Melalui ketua umum, yaitu Megawati cukup membuat satu kalimat sebagai pernyataan resmi bahwa, "PDIP Anti PKI". Bisa juga PDIP cukup bilang”tidak kompromi dengan PKI atau tidak akan memberi ruang bagi tumbuh suburnya faham komunis di Indonesia”. Kalimat-kalimat ini mujarab. Cukup efektif untuk menghentikan stigma. Dengan kalimat ini saja, stigma PDIP terkait isu komunisme besar kemungkinan akan berangsur-angsur meredup. Apakah PDIP berani membuat pernyataanseperti itu? Biarlah Ibu Megawati yang menjawabnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Buzzer Dan Influencer Penyakit Demokrasi
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad 923/08). Konon dana yang dikeluarkan Pemerintah hingga Rp. 90 miliar untuk membiayai buzzer dan influencer. Dana itu berasal daru uang rakyat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tugas buzzer dan infulencer adalah membela, mengkampanyekan, membangun citra hingga memprovokasi. Buruknya jika sampai pada membohongi rakyat. Rakyat dibohongi pakai uang rakyat. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyatatakan buzzer dan influencer mengkampanyekan positif segala kerja pemerintah. Isinya bermacam-macam. Tergantung pada orderan. Tentu tidak gratis, tetapi ada sejumlah bayaran. Menurutnya dalam proses politik, hal ini dapat menurunkan kualitas dari demokrasi. Sebenarnya bukan hanya menurunkan. Tetapi telah menjadi penyakit demokrasi. Merusak demokrasi yang sangat dibanggakan rezim penguasa saat ini. Melanggengkan budaya politik transaksional, premanisme, serta menghalalkan kebohongan dan kecurangan dalam berpolitik. Penyakit buzzer dan influencer sangat berbahaya. Di negara komunis seperri Rusia, dan juga China, buzzer dan influencer dapat disetarakan dengan departemen agitasi dan propaganda (agitprop) pada partai komunis. Tugasnya adalah menyosialisasikan visi, misi, dan atau hasil-hasil kerja pemerintah. Bila perlu dengan memutarbalikkan fakta dari yang sebenarnya. Melemahkan hal-hal yang diungkap oposan atau pengeritik. Bahkan bila perlu mencari kelemahan dan kelasahan pribadi pengeritik. Setelah itu menyerang juga pribadi pengeritik. Tidak perduli benar atau. Sumua dana yang dipakai adalah uang rakyat. Agitprop tidak lain "is political propaganda especially the communist propaganda that is spread to the general public through popular media such as literature, plays, phamplets, film, and other art forms with an explicity political message". Keberadaan buzzer dan influencer bukan ciri dari negara demokratis. Prilaku seperti ini adalah ciri negara komunis. Dimana informasi dicengkeram Pemerintah. Hukum yang menjadi alat kekuasaan untuk menjerat semua lawan-kawan politik. Lawan-lawan politik dari kelompok sivil society yang kritis dibungkam. Juga dikriminalisasi dan dijebloskan ke dalam penjara. Untuk itu, adu-domba pun dilakukan. Opini publik dimainkan dan dibolak-balik. Opini yang benar dibang salah, dan sebaliknya yang salah dibilang nenar. Pemerintah sudah memiliki Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkoinfo). Kementerian ini diberikan beranggaran pasti dari APBN triliunan rupiah. Keberadaan buzzer dan influencer dengan anggaran tersendiri jelas merupakan bagian dari penyimpangan dan korupsi. Seharusnya anggota Dewan berteriak keras terhadap pelanggaran keuangan negara ini. DPR jangan hanya berdiam diri. Kalau DPR tidak berteriak, jangan berperilaku seolah-olah menjadi bagian dari buzzer dan influencer pula. Rezim yang menggunakan dan mengedepankan buzzer dan influencer adalah rezim yang kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Tidak menghormati rakyat, serta menghalalkan segala cara. Rezim seperti ini sulit dipercaya sebagai penyelenggara negara. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Buzzer Rupiah Dan Potensi Konflik Bangsa
by Tony Rosyid Jakarta FNN - Ahad (23/08). Sepekan ini ramai pembicaraan soal buzzer rupiah. Yang disoal adalah anggaran negara. Dana puluhan miliaran rupiah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipakai untuk biayai operasi buzzer. Sejumlah institusi negara terlibat. Infonya dana untuk buzzer dan infulencer itu senilai Rp 90.45 miliar . Sangat kecil jika diukur dari prosentase besaran APBN 2020 atau 2019. Tapi, cukup besar jika melihat keadaan pertumbuhan ekonomi minus -5,32 persen. Di saat rakyat sedang sulit karena efek pandemi covid-19 dan defisit APBN yang mencapai 3,38 persen, bahkan lebih dan tidak terbatas defisit APBN. Suka-suka pemerintah menetapkan defisit APBN, buzzer mendapatkan suntikan dana senilai Rp 90.45 muliar. Luar biasa kan? Sebenarnya bukan soal besar atau kecil dana yang dikeluarkan pemerintah itu. Ada persoalan yang lebih mendasar. Pertama, apa manfaat buzzer buat bangsa atau rakyat negeri ini? Kedua, ini lebih serius, ada dampak yang cukup menghawatirkan akibat operasi buzzer. Menjawab pertanyaan pertama, kalau ada manfaat dari operasi buzzer, itu manfaat buat siapa? Yang pasti bukan untuk negara. Bukan untuk rakyat. Bukan pula untuk bangsa. Sesuai dengan design operasinya, buzzer dipakai untuk menghadapi lawan politik penguasa dan orang atau kelompok civil society yang kritis kepada penguasa. Buzzer bekerja untuk kepentingan penguasa, lebih dari kepentingan untuk negara. Karenanya, tak memiliki institusi dan kelembagaan khusus. Maka, anggarannya pun nempel ke program-program di berbagai kementerian dan institusi lainnya. Fokus buzzer adalah mengcounter segala bentuk kritik terhadap program dan kebijakan pemerintah. Stigmatisasi makar, bahaya khilafah, Islam garis keras, ekstremisme dan radikalisme adalah bagian narasi yang terus dikelola oleh para buzzer untuk membunuh karakter dan gerakan kelompok civil society yang diidentifikasi sangat kritis kepada pemerintah. Swiping, intimidasi dan persekusi oleh kelompok swasta berseragam juga seringkali menjadi bagian dari operasi buzzer. Tentu, ada anggarannya sendiri. Kalau nggak ada anggaran, ya nggak akan jalan. Nggak ada kerjaan juga Operasi buzzer diduga menjadi salah satu sebab utama kegaduhan sosial dan politik selama ini. Sejumlah aktor yang selalu muncul ketika datang kritik kepada pemerintah adalah bagian dari salah satu model operasi buzzer yang selalu membuat kegaduhan situasi politik di negeri ini. Lu lagi… Lu lagi... Lu lalgi… Orang-orang itu aja. Kalau dilihat aktornya, macam-macam jenis buzzer. Dari yang ecek-ecek, buzzer kelas kampung yang hanya cukup diprovokasi, hingga yang paling canggih dan profesional. Kalau sudah berurusan dengan IT, maka buzzer yang diterjunkan dan beroperasi adalah dari kalangan profesional. Sebagaimana yang dialami oleh sejumlah deklarator KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) beberapa waktu lalu. Ada sejumlah akun deklarator KAMI diretas, rapat wibinar diganggu, nomor WA dicloning, dan seterusnya. Anggaran senilai Rp 90.45 miliar, sesungguhnya terlalu kecil jika dibandingkan dengan dampak dan potensi social-destruction yang diakibatkan oleh operasi para buzzer. Yaitu potensi konflik sosial-horisontal di masyarakat. Hubungan antar kelompok dan agama dirusak. Kehidupan sosial dan berbangsa menjadi tak nyaman. Kegaduhan selama ini sumbernya bukan ada tidaknya kaum radikal dan makar. Tetapi problem utamanya adalah adanya kelompok-kelompok bayaran yang bekerja secara sistemik menggaungkan isu radikalisme dan makar. Dari sinilah potensi konflik yang sangat menghawatirkan itu. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.