NASIONAL
75 Tahun Yang Gagal, Saatnya Untuk Moratorium NKRI
by Ikhsan Tualeka Jakarta FNN – Selasa (18/08). Arah dan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah 75 tahun, rupanya menunjukan tanda-tanda yang kurang memuaskan. Bahkan malah mengkhawatirkan. Sejumlah realitas memperlihatkan ada kekecewaan yang mendalam dari anak bangsa. Keadilan distributif yang jauh dari harapan. Sistem politik yang diskriminatif. Hingga oligarki yang mencengkeram kuat dari pusat kekuasaan sampai ke daerah. Semua ini adalah pangkal utama, dan sulit terbantahkan. Bisa dikonfirmasi dengan banyak data. Termasuk yang dikeluarkan oleh otoritas negara seperti dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Implikasinya jelas. Kekecewaan politik atau political disconten terus menguat dan mengental. Hampir semua terbentuk atau terjadi karena rasa persentuhan warga negara dengan negara, yang faktanya tidak sama. Keadilan distributif sangat tergantung pada dimana warga negara itu lahir dan dibesarkan. Jika terlahir sebagai anak Aru atau besar di Maluku Barat Daya, Seram Timur atau di banyak tempat di Papua dan Indonesia timur lainnya, tentu akan merasakan negara tak hadir dalam berbagai urusan publik. Padahal sejatinya adalah tanggungjawab negara. Itu setidaknya dapat dilihat dengan jelas dalam urusan pendidikan dan kesehatan. Jumlah anak-anak yang putus sekolah atau sekolah dengan fasilitas ala kadarnya dan memprihatinkan, sangat mencolok di Indonesia Timur. Ratusan anak-anak yang meninggal saat persalinan setiap tahunnya di Maluku, mengkonfirmasi realitas yang tidak menguntungkan itu. Pemerintah pusat dan daerah punya andil besar, tapi jangan-jangan kita ada dalam sistem bernegara yang tidak relevan. Membuat sebagian masyarakat Indonesia, khususnya di Maluku Raya, Nusa Tengara Raya dan Papua Raya susah keluar dari kondisi yang nyaris sama dengan saat masih berada di masa kolonial Belanda. Jangan-jangan pada masa itu jauh lebih baik dari sekarang. Negara kerap menyampaikan memiliki berbagai keterbatasan, tapi sulit untuk dimaklumi bila kebutuhan dasar warga negara saja masih jauh dari harapan untuk terpenuhi. Sentralisasi pengelolaan negara yang coba diatasi dengan otonomi daerah rupanya tidak menjawab persoalan. Adanya lima daerah otonomi khusus, yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh, Papua dan Papua Barat, justru memperlihatkan bahwa negara ini sudah sejak awal tidak relevan menggunakan sistem negara kesatuan. Diajukannya RUU provinsi atau daerah kepulauan oleh delapan provinsi, menunjukan kalau ada banyak daerah yang juga ingin diperlakukan secara khusus. Sebab memiliki karakter wilayah yang berbeda. Karena mengatur daerah kelautan sama dengan daerah lain berbasis daratan, justru hanya memupuk dan membiarkan ketidakadilan terus berlangsung. Wajah NKRI semakin mengarah pada federalisme yang malu-malu. Ada dalam praktik, tapi tak didukung oleh legitimasi konstitusi. Sehingga bila ada yang terkait dengan beban negara, maka logika otonomi yang dikembangkan. Sedangkan bila menyangkut keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam, maka paradigma negara kesatuan yang ditonjolkan. Kondisi ini tentu tak dapat dibiarkan. Kita tidak bisa terus berada dalam penerapan Negera Kesatuan bercita rasa federal semacam ini. Membiarkan situasi terus seperti ini, sejatinya sedang memasrahkan Indonesia diambang kehancuran dan perpecahan. Kekecewaan politik yang ibarat bisul tersebut, akan pecah pada waktunya. NKRI perlu segara “dimoratorium”. Kemudian mencari serta menerapkan format baru bernegara yang lebih relevan. Bila menginginkan Indonesia tatap ada dalam peta negara-negara dunia. Memaksakan diri untuk menjadi kesatuan, hanya menunda kematian alias sedang menuju jalan yang salah. Meminjam pendapat Raymond Gettel, Negara Kesatuan itu dapat terjadi bila terdiri dari pulau atau satu daratan. Wilayahnya relatif tidak luas. Relatif tidak banyak penduduknya. Juga relatif tidak majemuk masyarakatnya. Untuk semua syarat itu, hampir berseberangan dengan realitas NKRI. Tak salah kemudian bila ide federalisme telah muncul jauh sebelumnya. Dulu Bung Hatta yang menginisiasinya. Tentu dengan alasan dan padangan yang lebih maju. Meski akhirnya harus kalah dengan pilihan menjadi Negara Kasatuan, yang dalam perjalanan sejarah terbukti anomali. Melihat kondisi yang ada, ide negara federal perlu dihidupkan kembali. Tak boleh dimatikan begitu saja hanya dengan menunjuk ‘kegagalan’ era Republik Indonesia Serikat (RIS). Ide negara federasi bukanlah sesuatu yang ahistoris dalam peta pertarungan pemikiran politik di Indonesia. Ide yang pernah diusung oleh sejumlah founding fathers Indonesia. Terutama dengan munculnya perdebatan federalisme vs unitarisme adalah fakta sejarah yang tentu perlu dikembangkan kembali. Karena itu, menggali lagi pemikiran tentang negara federasi di Indonesia bukanlah sesuatu yang salah. Bisa saja jadi alternatif untuk menyelamatkan Indonesia yang besar ini. Rasanya setalah 75 tahun ini, perlu ada terobosan. Dengan cara melakukan “moratorium” NKRI. Langkah berikutnya, bisa jadi dengan menerapkan Negara Federal sacara kaffah. Untuk menyelamatkan tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pilihan yang lebih dapat untuk memastikan keberlanjutan Indonesia, ketimbang terus bertahan dalam status kesatuan. Namun menjalankan juga model federasi secara malu-malu kucing. Dengan demikian, NKRI mestinya menjadi Harga Hidup, agar bisa terus didiskusikan guna menemukan formula yang tepat dalam pengelolaan negara-bangsa. Penulis adalah Direktur IndoEast Network.
Tidak Perlu Resah Terhadap KAMI
by Asyari Usman Jakarta FNN - Selasa (19/08). Ada yang gelisah. Dan kelihatan sangat gelisah. Mungkin mereka punya firasat akan muncul kekuatan besar. Yang merasa gelisah itu, barangkali takut digoyang. Takut jatuh. Sebaiknya, jauhkanlah semua itu. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) hanya ingin menyadarkan rakyat tentang situasi bangsa dan negara yang sedang amburadul. Hanya itu. Hanya ingin menyadarkan rakyat bahwa kehidupan akan sangat berat. Dalam waktu dekat ini. KAMI bukan dimaksudkan untuk menggoyang pemerintah. Sekali lagi, rakyat perlu diingatkan. Agar mereka siap mental dan siap fisik. Sebab, krisis yang segera membentang di depan bukan sekadar hilang pekerjaan. Bukan sekadar kebangkrutan bisnis. Tetapi jauh lebih seram dari itu. Krisis yang sedang ‘unfolding’ (menghampar) di depan kita diprediksi akan menjadi sesuatu yang ‘unprecedented’ alias ‘belum pernah terjadi’. Dan bisa ‘unpredictable’ (liar) juga. Krisis itu pasti multi-dimensional. Sebab, kebangkrutan bisnis akan merambah ke semua kategori: besar-kecil-menengah, semua akan mengalami pukulan berat. Dan berlangsung meluas dalam waktu bersamaan. Setelah kebangkrutan massal, tentu akan ada krisis moneter. Krisis ‘cash-flow’. Krisis duit. Kalangan bisnis akan pontang-panting mencari sumber pendanaan. Nah, dari mana mau dicarikan uang untuk menahan agar kebangkrutan massal itu tidak berdampak fatal dan masif? Untuk saat ini, dengan kondisi global seperti sekarang, tidak mudah mencari dana segar. Di tengah kebangkrutan dahsyat itu, pastilah muncul krisis-krisis lain. Akan muncul masalah keamanan dan ketertiban. Tak bisa tidak. Tindak kejahatan yang terkait dengan kesulitan hidup hampir pasti akan muncul di mana-mana. Akan menjadi fenomena umum. Dalam situasi normal saja, tanpa gangguan ekonomi, angka kejahatan yang bermotifkan materi kehidupan berada di tingkat yang memprihatinkan. Apalagi seperti yang sedang kita alami ini. Itu yang membuat para tokoh bangsa berkumpul hari ini (18/8/2020) di Tugu Proklamasi, Jakarta. Mereka mendeklarasikan tekad untuk menjaga agar jalannya pemerintahan tidak keliru. Menjaga supaya negara tidak dikelola secara ugal-ugalan. Sebab, lumrah sekali dimunculkan alasan krisis untuk melakukan langkah yang sewenang-wenang. KAMI bukan organisasi pemberontak. KAMI dengan tegas menyatakan diri sebagai ‘moral force’. Hanya gerekan moral. Apakah tidak boleh ada gerakan yang berusaha mengawal hak-hak rakyat? Yang mengawasi sepak-terjang para penguasa agar mereka tidak sesuka hati? Seharusnya tidak perlu ada reaksi yang berlebihan terhadap kemunculan KAMI. Tidak perlu ada intimidasi. Mereka itu adalah para tokoh yang kebetulan memiliki keprihatinan terhadap situasi umum di negara ini. Dan kebetulan pula belum ada terlihat orang-orang lain yang merasa tergugah untuk menyelamatkan Indonesia dari berbagai ancaman. Ada ancaman ideologis, ada ancaman imperialis, dan ada ancaman terhadap eksistensi NKRI. KAMI melihat potensi besar ancaman-ancaman itu. Jika itu yang mendasari kebersamaan para tokoh bangsa di dalam gerakan moral ini, mengapa mereka harus diposisikan sebagai musuh? Mereka semua memahami konstitusi. Dari pemahaman itulah mereka melangkah. Mereka tahu apa yang mereka lakukan dan untuk siapa. Alangkah naifnya kalau mereka dijadikan musuh yang harus ditumpas. Lihat saja sambutan publik terhadap kehadiran KAMI. Memang gerakan ini pastilah akan membesar terus. Karena mereka tidak bermaksud mencari keuntungan pribadi melalui gerakan ini. KAMI menyatakan dengan tegas bahwa gerakan moral mereka itu akan diimplementasikan dengan cara yang persuasif. Mereka akan menginisiasi dialog dengan siapa pun. Dan siap melayani ajakan dialog dari mana pun juga asalkan itu dimaksudkan untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Kemunculan KAMI tidak dipicu oleh kebencian.Tekad para tokohnya hanya untuk menyelamatkan Indonesia. Tidak benar bunyi salah satu plakat yang dipajang di aksi tandingan di sekitar Tugu Proklamasi, pagi tadi. Orang-orang yang mengaku sebagai komponen milenial menulis: “Jangan Tulari Rakyat Dengan Virus Kebencian Pada Pemerintah”. Agak aneh aksi orang-orang yang mengaku kelompok milenial itu. Aksi yang rapi dan tampak mahal dan terawat. KAMI tak punya waktu untuk hal-hal yang disangkakan itu. KAMI tidak perlu menghasut agar rakyat membenci pemerintah. Sebab, rakyat Indonesia mampu melihat sendiri berbagai kejanggalan dan kesewenangan yang terjadi. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co
Deklarasi "Tugu Proklamasi"
by M Rizal Fadillah Jakarta FFN – Selasa (18/08). Hari ini 18 Agustus 2020 ada sejarah baru, yakni Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Rangkaian kegiatan deklarasi dilakuasanakan di Tugu Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur Jakarta. Waktu menuju Deklarasi berjalan. Persiapan telah rampung tinggal pelaksanaan saja. Peserta Deklarasi akan atau telah berdatangan. Siap untuk mengikuti acara pokok pembacaan Maklumat KAMI. Kegiatan ini memang bukan aksi mahasiswa. Akan tetapi aksi para tokoh dari berbagai elemen bangsa. Mdereka resah dengan situasi bangsa saat ini, yang sedang menuju sebagai negara gagal. Mereka umumnya berasal dari berbagai latar belakang, baik profesional, ulama, purnawirawan TNI, aktivis pergerakan, serta akademisi. Sebagian besar dari mereka dikenal sebagai tokoh-tokoh politik nasional, bahkan internasional. Ini merupakan fenomena baru. Terhitung sejak masa Soeharto dulu menjelang kejatuhannya. Peristiwa yang dikenal dengan Kelompok Kerja Petisi 50. Para anggota Petisi 50 terdiri dari berbabagi elemen masyarakat. Umunya purnawirawan TNI seperti Jendral (Purn.) Abdul Haris Nasution, Letjen Marinir (Purn.) Ali Sadikin, Letjen TNI (Purn.) HR. Dharsono, A.M Fatwa, Chrisa Siner Timmu dan lain-lain. Ada nilai strategis dari Deklarasi "Tugu Proklamasi" ini, yaitu : Pertama, berhimpun para tokoh dalam wadah koalisi menyatukan kekuatan yang asalnya berceraian. Tokoh-tokoh mana dikenal kritis dan korektif terhadap berbagai kebijakan Pemerintah yang dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tokoh (political figure) adalah kekuatan infrastruktur politik yang berpengaruh. Kedua, deklarasi dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 2020 untuk mengenang sekaligus membangun dasar pemberangkatan. Bahwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari penetapan Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Semangat KAMI adalah kembali ke landasan Pancasila dan UUD 1945. Bukan yang disimpangkan atau telah diselewengkan. Misalnya, Pancasila 1 Juni 1945. Ketiga, deklarasi KAMI adalah komitmen awal dan konsolidasi untuk memulai agenda menyelamatkan Indonesia. Menyelamatkan negara yang hancur dan hampir tenggelam, sebagai akibat perilaku penyelenggara negara yang dinilai telah keluar dari rel cita cita tujuan mulia kita untuk berbangsa dan bernegara. Kondisi ekonomi, sosial, politik dan lainnya yang dirusak oleh kepentingan pragmatik dan koruptif. Penguasa negara yang dirusak oleh gerombolan oligarkis, korporasi dan konglomerasi licik, picik, tamak dan culas. Mereka tidak pernah merasa puas dengan menghisap darah rakyat melalui pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan yang hanya berpihak kepada oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Bukan yang berphak kepada rakyat atau kelompok UMKM (Usaha Menengah Kecil dan Mikro). Keempat, deklarasi menjadi sacara penyambung aspirasi rakyat yang tersumbat, karena tidak mau lagu didengar oleh DPR. Padahal rakyat telah berkeinginan untuk terjadinya perubahan pada segala bidang kehidupan, baik ekonomi, sosial, dan politik ke arah yang lebih baik. Melepas suasana "terjajah" untuk menjadi lebih merdeka di segala bidang. Tapat pada usia 75 tahun kemerdekaan lalu. Tugu Proklamasi adalah tempat pernyataan kemerdekaan dan semangat pemindahan segera kekuasaan "dalam tempo yang sesingkat-singkatnya". Koalisi aksi yang dilakukan oleh KAMI tentu saja bukan basa basi. Namun bukan pula subversi. Ada aksi moral nyata yang ditunggu-tunggu rakyat dalam rangka menyelamatkan bangsa dan negara Indonesia. KAMI yang memulai, KAMI juga yang mengakhiri, dan KAMI yang memulihkan Negeri. Para Deklarator tentu saja memiliki spirit perjuangan sebagaimana para pejuang kemerdekaan dahulu, yaitu “MERDEKA atau MATI”...! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Merawat Marwah Proklamasi
by Zainal Bintang Jakarta FNN – Senin (17/08). Perayaan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 75 tahun ini lain dari sebelumnya. Penyebabnya negara digelantungi dua masalah besar yang membuat masyarakat terbelah dua. Pertama, belum pulihnya konflik politik di tataran masyarakat sebagai residu pertarungan panas dua kubu pada masa kampanye Pemilu 2019. Yang kedua, adanya serangan mendadak wabah Covid 19 sejak bulan Maret 2020… Berbagai undang -undang yang dihasilkan oleh lembaga pembuat perundang-undangan (eksekutif dan legislatif) itu kelahirannya terindikasi “dipaksakan” dengan menegasikan aspirasi rakyat. Setidaknya ada dua UU sebagai contoh soal. Yang pertama UU No.19 Tahun 2019 hasil revisi UU KPK dan UU No.2 Tahun 2020 sebagai anak kandung dari Perppu No.1 Tahun 2020. Kelahiran kedua UU tersebut telah membuka jurang pemisah yang lebar antara pemerintah dengan masyarakat sipil kritis di luar pemerintahan. Terjadi ketegangan terbuka ke ruang publik, antara aktor negara berhadapan dengan warga negara non struktural. Ekses daripada konflik inilah yang membuat skenario mitigasi penanggulangan Pandemi Covid 19 kembang kempis. Aktor negara terlihat gamang. Skenario mitigasi Pandemi Covid 19 memerlukan payung hukum yang baru. Payung hukum yang cacat hukum itulah sumber konflik yang mendorong lahirnya “perlawnan”. Masyarakat civil society beranggapan, pruduk perundang-undangan yang dibuat pemerintah dan DPR hanya menyelamatkan oligarki, korporasi dan konglomerasi licik, picik, culas dan tamak. Bukan untuk menyelamat kementingan rakyat. Jauh dari tujuan bernegara. “Perlawanan” warganegara yang menganggap kedua UU itu cacat yuridis berlanjut ke MK (Mahkamah Konstitusi). Tetapi hasilnya nol. Menghadapi jalan buntu di jalur hukum di MK, Din Syamsuddin bersama mantan Panglima TNI Jenderal TNI AD (Purn.) Gatot Nurmantiyo dan Rizal Ramli plus Rachmawati Soekarno untuk menyebut beberapa nama tokoh, melangkah menggagas pembentukan wadah berhimpun yang diberi nama KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia). Koalisi ini didukung sejumlah tokoh yang berjumlah 150 orang. Mereka datang dari berbagai latar belakang usia dan profesi. Ada dari kalangan politisi, penguasa, mantan aktivis, pegiat hak azasi manusia, ekonom, toko agama seperti ulama dan habaib. Wadah berhimpun intelektual diberi nama KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) itu telah dimulai sosialisasinya pada hari Minggu (02/08) di Jakarta. Sebuah akronim simbolik mengingatkan gerakan mahasiswa yang menjatuhkan Presiden Soekarno tahun 1965/1966. Koalisi ini merencanakan mengadakan juga acara peringatan HUT RI ke -75 pada 18 Agustus 2020. Pilihan tanggal itu, selain tampak berbeda dengan pemerintah, juga sebagai pernyataan sikap tegas hari lahir Pancasila. Bahwa Pancasila yang benar itu adalah lahir pada tanggal 18 Agustus 1945. Bukan Pancasila 1 Juni 1945, seperti yang diputuskan oleh Pemrintah melalui Keputusan Presiden. Lalu, bagaimana membaca peta mutakhir konstalasi politik Indonesia hari ini? Sebagai sebuah bahan renungan, menarik untuk membaca ulang buah fikiran Henry David Thoreau. Penulis dan filsuf Amerika (1817 – 1862) yang terkenal dengan karyanya berjudul “Civil Disobedience” atau “Pembangkangan Sipil”. Thoreau yang dikenal pada zamannya gencar mengkritik kebijakan sosial Amerika, terkait dengan perbudakan dan Perang Meksiko-Amerika. Dia memulai esainya dengan menyatakan, “pemerintah sangat jarang membuktikan dirinya berguna bagi umat manusia secara universal. Pemerintah memperoleh kekuasaannya dari mayoritas karena mereka adalah kelompok terkuat dalam aspek tertentu. Bukan karena mereka memegang sudut pandang yang paling ideal , yaitu bertanggungjawab bagi umat manusia”. Hari ini di Indonesia, apa yang dilakukan pemerintah dan yang dilakukan masyarakat sipil di luar pemerintah, sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama. Untuk “merawat marwah proklamasi”. Proklamasi yang sederhana 75 tahun yang lalu itu, sejatinya bertenaga besar. Memiliki daya tendang yang melampaui zaman. Karena proklamasilah maka ada Pancasila sebagai ideologi. Karena proklamasilah, maka tersusun konstitusi. Karena proklamasilah maka ada Republik ini, sampai hari ini. Masih sekitar pemikiran Thoreau, dia dengan tegas menyebutkan, “kewajiban pertama rakyat adalah melakukan apa yang mereka yakini benar dan tidak mengikuti hukum yang ditentukan oleh mayoritas atau otoritas. Ketika pemerintah tidak adil, orang harus menolak untuk mengikuti hukum, menjauhkan diri dari pemerintah secara umum”. Lanjut dikatakannya, “seseorang tidak berkewajiban mengabdikan hidupnya untuk menghilangkan semua kejahatan di dunia, tetapi berkewajiban untuk tidak berpartisipasi dalam bentuk-bentuk kejahatan. Ini termasuk tidak menjadi anggota lembaga yang tidak adil (seperti pemerintah, atau lembaga negara)”. Thoreau secara ideologis memisahkan dirinya dengan pemerintah, "mencuci tangannya" dan menolak berpartisipasi dalam lembaga-lembaga negara. Dikatakan oleh Thoreau bahwa, “bentuk protes ini lebih disukai untuk mengadvokasi reformasi dalam pemerintahan”. Ditegaskan, “seseorang tidak dapat melihat pemerintah apa adanya ketika seseorang bekerja berpartisipasi di dalamnya”. Menurut Thoreu, "that government is best which governs least". Hal itu mengandung hakekat, “pemerintahan itu adalah yang terbaik, yang mengatur paling sedikit”. Memang, kata Thoreau, manusia suatu saat dapat memiliki pemerintahan yang tidak memerintah sama sekali. Karena itu, pemerintah jarang terbukti bermanfaat atau efisien. Ini sering "disalahgunakan, dan diselewengkan" sehingga tidak lagi mewakili kehendak rakyat. Perang antara Meksiko-Amerika mengilustrasikan fenomena ini. Thoreau berpendapat. “dalil mayoritas, pada demokrasi menjawab keinginan kelompok terkuat. Bukan yang paling berbudi luhur atau bijaksana. Pemerintah didirikan pada prinsip ini tidak dapat didasarkan pada keadilan. Pemerintahan tidak bisa menentukan apa itu benar salah, karena seharusnya tidak diputuskan oleh mayoritas tetapi oleh hati nurani”. Gagasan Din Syamsuddin dan kawan-kawan membentuk KAMI adalah sebuah langkah membuka ruang koreksi yang konstruktif. Uluran tangan merawat marwah proklamasi. Untuk menjaga proses demokratisasi. Hendaknya dilihat tetap berada di jalur dengan semangat yang menghormati konstitusi. Pemerintah tidak boleh terjebak di dalam lorong gelap represif. Sejatinya kita semua seyogyanya bisa tersenyum. Karena di luar Istana masih ada sumber oksigen yang dapat membantu merawat kesegaran wangi demokrasi. Pemerintah tidak boleh menari di gendang pecundang yang tidak pernah rela melihat negeri besar ini aman, harmonis, kompak dan tenteram. Mereka itu para “rent seekers” yang berjubah “nabi”. Dari Karet Bivak tempat pemakaman penyair legendaris Chairil Anwar, sayup-sayup terdengar penggalan puisinya yang berjudul “Kerawang-Bekasi”. Gaung puisinya itu menderu diantara debu dan deru jalanan : Teruskan, teruskan jiwa kami – Menjaga Bung Karno - menjaga Bung Hatta – menjaga-Bung Sjahrir - Kami sekarang mayat – Berikan kami arti – Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian – Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi….!!! Selamat HUT Prokamasi RI ke 75. Dirgahayu Bangsa Indonesia Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.
Ah, Dasar Boneka!
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (17/08). Merdeka! Pekiknya terasa di dada. Menggetarkan dan masuk ke setiap nurani anak bangsa. Pada saat itu. Iya, saat itu saat dimana rakyat menjelma jadi pejuang. Berjuang untuk nasib bangsa dan anak cucunya di masa depan. Itulah jejak para pahlawan. Darah dan nyawa jadi taruhan. Ketulusan dan integritas adalah persoalan utama yang mereka pertahankan dan perjuangkan. Sampai akhirnya, ujung usia memanggil mereka. Tapi, warisan kemerdekaan telah terhidang. Merdeka! Terdengar, tapi tak lagi menggetarkan. Jelas suaranya, tapi samar maknanya. Lantang, tapi tak lebih dari sekedar slogan. Itulah kata "Merdeka" pada hari ini. Kata “Merdeka” bukan lagi digunakan untuk melawan penjajah. Tapi seringkali untuk dipakai untuk membungkam siapa saja anak bangsa yang meneriakkan kebenaran. Merdeka! Dor! Satu persatu mayat bertumbangan. Ada mahasiswa. Namun ada remaja atau anam SMA yang sedang belajar menemukan demokrasi di lapangan. Ada pemuda yang tak lagi punya harapan, karena tak bisa pulang dan tak ditemukan dimana keberadaannya. Merdeka! Begitulah mulutnya para penipu negara ini yang tidak kalah fasih untuk melafazkan. Hilang segan, dan rasa malu telah terbungkam. Gemerlap nafsu dan syahwat kekuasaan tampak sangat transparan menguasai setiap kebijakan yang dibuat. Ada panggung depan, ada panggung di belakang. Kata "Merdeka" diteriakan, mesti pada makna sama, tapi beda dalam tekanan. Lakon di panggung belakang lebih mengerikan dari panggung depan. Itulah dramaturgi para preman. Di atas panggung politik, para penipu berteriak merdeka. Diam-diam, di panggung belakang mereka merampok dan habiskan kekayaan negara. Supaya legal, aturan perundang-undangan dimanipulasinya sesuai dengan kehendak mereka. Kadang mengatasnamakan pinjaman. Ada juga dibalik hutang, bahkan permainan upeti dijadikan lahan. Mereka kerahkan para petugas. Petugas ini petugas itu. Ada yang rapi dan berseragam. Punya jabatan dan pangkat yang luar biasa tingginya. Tak sedikit dari mereka yang berpakaian preman. Sebagian dibekali dengan aturan. Sebagian yang lain berperan menyandera dan menekan. Merdeka! Katanya sama, tapi punya getaran yang berbeda. Sangat gergantung kepada siapa yang meneriakkan kata itu. Mereka pahlawan, atau gerombolan para preman. Diucapkan demi bangsa, atau untuk memenuhi ambisi dan keserakahan mereka. Preman-preman itu terus bergentayangan di negeri ini. Memburu dan berebut warisan kemerdekaan yang ditinggalkan para Pahlawan. Siapa yang tak ikut? Sebab beramai-ramai akan disingkirkan. Mereka berada pada semua strata kekuasaan negara. Ada preman besar, ada preman kecil. Preman kakap dan preman teri. Preman kelas berdasi, sampai preman upeti. Bergantung peran dan bagian. Preman besar isinya para pemodal. Kerjanya membeli suara dan mengendalikan para boneka. Para boneka tak lagi sempat berpikir negara dan bangsa. Karena habis waktu dan sibuk membenahi kursi dan dasi. Setiap 17 Agustus mereka pura-pura teriak merdeka. Padahal rakyat semakin miskin, terpuruk dan menderita. Ah, dasar boneka! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Setelah 75 Tahun, Rakyat Masih Antri di Gerbang Kemerdekaan
by Asyari Usman Jakarta FNN – Senin (17/08). Di bagian pembukaan UUD 1945, ada tertulis pengantar tentang perjuangan yang berdarah-darah. Yaitu, jihad rakyat untuk merebut kemerdekaan akhirnya mencapai hasil gemilang. Penjajahan dilenyapkan. Tapi, bagaimanakah kondisi rakyat saat ini? Sudahkah masalah kemiskinan dan ketidakadilan terhapuskan? Mari kita simak pengantar di pembukaan UUD 1945 itu. Bagian di bawah ini sangat penting dan menarik untuk dibicarakan di hari peringatan 75 kemerdekaan RI. “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Begitulah alinea (paragraf) kedua pembukaan UUD kita. Alinea ini menunjukkan kelegaan para pejuang dan pendiri NKRI. Kemerdekaan akhirnya tercapai. Tapi, bagaimana dengan keadilan? Apa yang terjadi dengan kemakmuran? Belum lagi soal kedaulatan dan persatuan. Hari ini, kita fokuskan saja perhatian ke soal keadilan dan kemakmuran. Sebab, dua hal inilah yang menjadi tujuan kemerdekaan itu. Di masa penjajahan, dua hal ini sengaja mereka tiadakan. Supaya penjajahan tetap bertahan. Sayangnya, logika kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sebagaimana digariskan di alinea kedua pembukaan UUD 1945 itu, masih jauh dari kenyataan. Keadilan tak dinikmati oleh seluruh rakyat. Lebih-lebih lagi kemakmuran. Segelintir orang mungkin telah merasakan keadilan. Dan segelintir lainnya telah menikmati kemakmuran. Bahkan supermakmur. Namun, “segelontor” lainnya rakyat Indonesia masih bekerja keras mencari di mana letak kedua janji kemerdekaan itu. Masih belum ketemu juga. Tapi, setelah alinea kedua UUD 1945 dibaca ulang, barulah ketahuan masalahnya. Rupanya, sebagian besar rakyat Indonesia masih berada di “pintu gerbang” kemerdekaan. Belum bisa masuk ke hamparan kemerdekaan itu. Sebab, puluhan juta hektar hamparan itu sedang dikontrak HGU jangka panjang oleh beberapa orang yang diberi prioritas. Kelihatanya, kontrak itu baru akan berakhir 75 tahun lagi. Begitu juga keadilan. Seluruh ruang keadilan hukum juga dikontrak jangka panjang oleh beberapa ratus penyewa gedung-gedung pengadilan rendah dan tinggi. Mereka adalah para penyewa gedung hukum yang mampu memberikan profit besar. Rakyat kebanyakan dimohon bersabar menunggu di “pintu gerbang” kemerdekaan. Kapan-kapan akan dipanggil. Simpan dulu nomor antriannya. Begitu juga keadilan sosial. Rakyat harus menunggu di “pintu gerbang”. Belum bisa masuk semuanya. Sebab, dana keadilan sosial sedang dipakai untuk mengaspal jalan menuju komplek para elit dan cukong. Begitulah kisah rakyat Indonesia. Masih terus berdiri di pintu gerbang kemerdekaan. Belum boleh masuk setelah menanti 75 tahun lamanya. Bersabarlah. Sampai hari ini mesin GPS Google Map untuk pencarian keadilan dan kemakmuran masih menampilkan koordinat terbatas. Ketika Anda tulis kata “keadilan dan kemakmuran”, yang keluar hanya Istana, KSP, kantor para menteri, BUMN, Sinar Mas, Podomoro, Agung Sedayu, Summarecon, Tommy Winata, James Riady, rekening gendut, Fadjroel Rahman, Ngabalin, Wiranto, Luhut, dan segelintir penikmat lainnya. Boleh jadi Anda akan mendapat giliran setelah proklamasi kemerdekaan berikutnya. Berjuanglah terus agar alinea kedua UUD 1945 itu menjadi milik Anda. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.
Sudahkah Kita Merdeka?
by M. Nigara Jakarta FNN – Senin (17/08). Pagi ini, pekik merdeka berkumandang di seantero tanah air. Bukan hanya dari kita manusia yang masih hidup, tapi jika diizinkan Allah, pekik merdeka itu juga pasti dikumandangkan oleh mereka para pahlawan. Pahlawan yang bertarung sejak 1908, 1928 bahkan para pahlawan jauh sebelum itu. Dan tentu pula pahlawan di tahun 1945 yang akhirnya berhasil memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kemerdekaan dunia yang seharusnya bisa dirasakan anak-cucu para pehlawan itu sekarang. Tidak, pasti tidak hanya mereka. Masih berjuta pahlawan lain yang memekik kemerdekaan. Malah, hingga kemarin bahkan ada pahlawan yang pagi ini baru gugur. Ya, mereka adalag pahlawan untuk keluarga sendiri. Setiap kita adalah calon-calon pahlawan meski untuk lingkungan terbatas. Pertanyaannya, benarkah kita sebagai pribadi sungguh-sungguh telah merdeka? Tak seorang pun yang bisa menjawab kecuali diri kita sendiri. Sungguh, jawabannya sangat sederhana dan kasat mata bisa kita lihat dan rasakan. Merdekakah kita, ketika hati ini bergolak, marah, saat melihat kesuksesan orang. Merdekakah kita? Jika lisan kita masih asyik memaki dan memfitnah orang. Merdekakah kita? Jika setiap desah napas terus menebar kebohongan. Merdekakah kita? Saat kedengkian masih memeluk erat hati kita. Merdekakah kita? Atau, Merdekakah kita saat takut untuk meneriakkan kebenaran? Merdekakah kita saat berpaling dari kesulitan orang? Merdekakah kita, saat terus mengamini kemudaratan? Atau, Merdekakah kita ketika takut kehilangan jabatan? Hari ini, sesungguhnya kita kembali masuk dalam uji kelayakan. Uji kepatutan, dan uji nyali tentang kemerdekaan. Atas nama kata merdeka, sesungguhnya kita sebagai pribadi, jauh dari merdeka. Entah dimana kemerdekaan itu? Hari ini, sesungguhnya kita kembali diuji untuk berani sungguh-sungguh meraih kemerdekaan itu sendiri. Sebelum ajal memerdekakan kita dari merdeka di dunia. Karena kemerdekaan yang hakiki, justru pada saat ruh dan raga kita mulai berpisah. Saat kita dan seluruh yang kita cintai berpisah. Saat seluruh yang telah kita capai dan kita miliki apa apapun itu, juga berpisah. Kemerdekaan yang sesungguhnya baru akan kita raih, jika kita bisa tersenyum dan bahagia ketika menyambut malaikat Munkar dan Nakir. Teruslah berusaha meraih kemerdekaan.... Selamat ulang tahun RI-75..Merdeka!!!! Penulis adalah Wartawan Senior.
Hancurnya Pidato Kenegaraan Presiden
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Senin (17/08). Jum'at 14 Agustus 2020 lalu, Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan Sidang Tahunan di hadapan anggota MPR RI, di kompleks Parlemen Gedung DPR/MPR. Sayangnya hanya memberikan harapan hampa. Pidato yang penuh dengan hayalan, bakan masuk katagori halusinasi. To the point, bagi saya, pidato kenegaraan Jokowi adalah pidato kenegaraan terburuk yang pernah saya dengar di negeri ini. Bukan hanya sangat normatif dan tidak punya visi. Tetapi juga sangat miskin dengan literasi. Juga miskin dalam pilihan diksi dan tidak inspiratif. Saya akan membahasnya satu per satu. Miskin dalam pilihan diksi. Karena Jokowi menggunakan kata "membajak" momentum krisis untuk mencapai lompatan kemajuan. Ini sangat aneh menggunakan kata membajak untuk memanfaatkan momentum krisis menjadi sebuah peluang kemajuan. Dalam diskusi kecil dengan staf kedubes asing, sang diplomat menyatakan bingung kata english apa yang paling tepat dipakai untuk translasi kata membajak? Seharusnya yang digunakan adalah "to take advantage" atau "to convert" sehingga maknanya menjadi mengubah atau memanfaatkan momentum krisis untuk lompatan kemajuan. Persoalan ini bukanlah yang pertama kali terjadi penggunaan diksi yang sangat dangkal. Juga sangat memprihatikan dari ucapan atau pridato kenegaraan presiden. Belum lama ini juga terjadi pada penggunaan diksi sense of crisis (rasa krisis) diterjemahkan sebgai aura krisis. Saya kuatir, para Menteri Jokowi akan melakukan totok aura ke salon kecantikan agar aura krisisnya bisa keluar di wajah mereka. Tanpa Visi, Prioritas dan Harapan Pidato kenegaran Presiden di hadapan para wakil rakyat bukanlah pidato yang biasa-biasa saja. Pidato ini selain menyampaikan capaian negara melalui kerja pemerintah selama satu tahun. Juga menyampaikan evaluasi atas tantangan saat ini. Apa saja yang mau dituju dan dicapai bangsa di masa depan? Dengan berbagai keterbatasan sumber daya yang ada, maka solusi dan visi yang disampaikan pemerintah akan menjadi prioritas kerja yang harus dilakukan oleh jajaran pemerintahan. Selain itu, untuk mendorong tubuhnya partisipasi rakyat. Pidato yang menginspirasi rakyat untuk mendukung visi yang ditetapkan pemerintah. Saya ambil contoh, dengan kondisi krisis dan kelemahan-kelemahan di sektor ekonomi saat ini, pemerintah menyampaikan pidato kenegaraan dengan thema "Membangun Kembali Manufaktur Indonesia". Thema ini akan menjadi haluan dan panduan bagi negara dan rakyat untuk menjalani hati esok yang penuh tantangan. Membangun kembali manufaktur, juga berarti menjadi prioritas negara untuk memperbaiki fundamental ekonomi nasional. Itu juga memberikan harapan rakyat untuk perubahan yang nyata. Harapan bagi para tenaga kerja yang saat ini kena PHK atau dirumahkan. Harapan bagi para petani untuk diserap hasil produksinya oleh manufaktur pertanian. Selian itu, harapan bagi bank untuk memutar kembali kredit usaha di sektor riil yang produktif. Harapan bagi para kontraktor membangun pabrik-pabrik baru. Harapan bagi para ahli IT untuk membangun sistem-sistem dan aplikasi bagi pabrik-pabrik baru tersebut. Dengan pidato normatif presiden, yang tidak berbeda dengan pidato-pidato sebelumnya, apakah memberikan rakyat harapan baru bahwa Indonesia akan keluar dari krisis? Sekaligus juga mengubahnya menjadi peluang melakukan lompatan besar? Saya kira tidak. Jika memilih diksinya saja sudah ngawur, bagaimana dengan isinya? Hancurnya pidato kenegaraan presiden ini sebagai pertanda bahwa, ada krisis pada pemerintah dan rakyat dalam membaca harapan ke depan. Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS).
Pak Jokowi Yang Semakin Goyah?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (17/08). Sejak pelantikan, Presiden Jokowi terus-menerus menerima pukulan. Serangan itu, baik dari pendukung Prabowo sebagai pesaing, maupun dari lingkungan internal yang kecewa, dan tak puas dalam menikmati kue kemenangan. Isu kecurangan terus digaungkan meskipun telah mendapat legalitas dari Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan kubu Prabowo. Agak tenang setelah memberi jabatan Menhan kepada Prabowo yang "sok ksatria". Prabowo juga sok berlaga seolah-olah demi persatuan bangsa, sehingga bersedia menjadi "pembantu" Presiden. Kekecewaan para pendukung sangat nyata sampai tidak sedikit yang menggelarinya sebagai "ayam sayur" atau "bermental kacung". Ada pula yang menyebut Prabowo sang macan telah berubah menjadi meong, bahkan cebong. Sementara yang lain menyebutnya sebagai mancan sirkus. Macan hanya untuk menjadi mainan sirkus. Tidak lebih dari itu. Dijanjikan seolah-olah Prabowo akan diberikan kewenangan yang melebihi para jendral pendukung pendukung Jokowi dari awal. Prabowo juga dijanjikan bakal diberikan jabatan Wakil Presiden menggantikan KH, Ma’ruf Amin di tahun pertama pemerintahan berjalan (FNN.co.id, senin 10 Agustus 2020). Rencana tersebut diulas dengan sangat gamblang oleh Wartawan Senior FNN, Tjahya Gunawan dan Pemerhati Politik dan Kebangsaan, Tony Rosyid, juga di Portal Berita FNN di hari yang sama. Sekarang kebijakan pemerintahan Jokowi yang oligarkhis dan otoriter mulai ditunjukkan. Diawali dengan revisi UU KPK yang meski sebagai inisiatif DPR, tapi semua tahu siapa yang berniat melumpuhkannya. Dewan Pengawas yang memiliki kewenangan besar itu berada di bawah "kendali" Presiden. Begitu juga para staf KPK yang diberi status ASN. Mahasiswa melakukan aksi dan perlawanan yang keras. Ini merupakan pukulan awal. UU Minerba, RUU Omnibus Law, serta rencana pemindahan ibukota telah menuai protes. Buruh dan elemen rakyat lainnya berunjuk rasa. Masyarakat menolak dengan keras kebijakan yang ngaco, ngawur dan amburadul tersebut. Setiap produk dari kebijakan Jokowi selalu mendulang kritik, dan protes. Diantaranya unjuk rasa masyarakat, mahasiswa dan buruh. Penolakan tersebut karena kualifikasi manajerial dan kompetensi kepemimpinan lainnya yang lemah dan "ugal-ugalan". Akibatnya, membuat kebijakan yang jauh dan tidak berpedoman pada tujuan serta cita-cita para pendiri bangsa. Padahal cita-cita dan tujuan bernegara itu dapat dibaca dengan sangat jelas di alinea ke empat pembukaan UUD 1945. Pukulan demi pukulan didaratkan kepada pemerintahan Jokowi. RUU HIP dan RUU BPIP adalah cukup telak. Pidato dengan berbaju adat yang "tak nempat" pun dipersoalkan. Terasa bagaikan sebuah karnaval anak-anak Taman Kanak-Kanak. Isi pidatonya yang menuduh agar jangan "sok agamis dan Pancasilais" melayang tak jelas. Padahal dahulu Jokowi sendiri yang menyatakan dengan lantang "Saya Pancasila". Jejak digitalnya masih ada. Pidato karnavalnya itu bicara juga soal memberantas korupsi. Orangpun tertawa terbahak-bahak mendengarkannya. Ketika optimisme digembor-gemborkan, maka rakyat tak percaya pada ramalan yang tak berbasis fakta. Beda tipis antara prediksi dengan halusinasi. Pak Jokowi sedang berhalusinasi. Pandangan myopsis dari Presiden yang diduga tertekan atau stress. Para tokoh nasional yang berhimpun dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) merasa prihatin dengan kinerja buruk Pemerintahan Jokowi sebagai fenomena baru. Maklumat "Tugu Proklamasi" yang akan dibacakan menjadi "palu godam" yang dapat saja membuat Jokowi bertambah goyah. Bila saja Pak Presiden masih dapat berdiri. Namun posisi berdirinya sudah tidak ajeg lagi, tetapi malah bergerak-gerak "sempoyongan". Kalau sudah begitu, Pak Jokowi, sebaiknya Bapak mundur saja deh. Kurang baik kalau dimundurkan oleh rakyat. Kalau Pak Jokowi mundur dengan sukarela, maka rakyat pasti akan senang dan bahagia. Rakyat akan berterimakasih atas pengorbanan Bapak yang telah memberikan "kado ultah 75 tahun RI" untuk rakyat. Pekik rakyat atas turunnya Bapak..Merdeka...! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
KAMI Itu Konstitusional
by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum Jakarta FNN - Senin (17/08). Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), segera dideklarasikan. Kabarnya deklarasi akan dilangsungkan di Tugu Proklamasi pada tanggal 18 Agustus ini. Dilihat dari sudut ilmu konstitusi, koalisi ini merupakan gabungan dan berkumpulnya sejumlah orang yang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kehidupan yang dijanjikan UUD 1945. Hak dan kepentingan konstitusional itulah yang diekspresikan secara terbuka. Mereka yang sebarisan dengan ini, jelas memiliki isi kepala, kecintaan terhadap Indonesia dan moralitas politik yang bening sebening hasrat para pendiri bangsa ini. Tak ada alasan untuk meragukan mereka. Juga tak ada alasan hukum sekecil apapun untuk menekan dan mengitimidasi, apalagi sampai menindas mereka. Orang Kaya Cengkeraman liberalisme, kapitalisme bahkan komunisme berbaju kapitalisme telah begitu dalam di negeri ini. Makin lama makin utuh lilitannya. Sudah sangat berbahaya sekali. Mengapa? Karena ketiga isme itu menomorsatukan kelompok orang kaya. Bahkan mereka mengendalikan negara. Inilah bahaya terbesar bangsa ini ke depan. Oligarki, korporasi dan konglomerasi dimanapun, selalu berbenteng dan berjaya dengan uangnya. Mengarahkan pembangunan negara, merencanakan hukum, ekonomi dan politik, menjadi tabiat bawaan mereka. Itu pula yang menjadi keterampilan terbaik mereka. Efek catastropik sederhananya adalah hukum tak bisa lurus. Hukum selalu miring mengikuti tiupan angin oligarki, korporasi dan konglomerasi. Untuk alasan apapun, oligarki, korporasi dan konglomerasi ini tak dapat ditandingi oleh UMKM (Usaha Menengah, Kecil dan Mikro). UMKM terlalu kecil untuk diperhitungkan. Pengusaha bermodal 2,5 juta rupiah, sekali lagi, tak masuk dalam hitungan mereka. Sekadar perbandingan, oligarkilah (bankers) yang merancang pembentukan Bank of England. Beberapa bankers, dalam kasus Amerika, yang merancang The Federal Reserve Bank sebagai bank sentral. Rockeffeler, J.P. Morgan Frank Fanderlip, Paul Warburg sekedar menyebut beberapa nama dan otaknya sebagai contoh. Administrative agency, executive agency, independent state organ atau independent state agency, regulatory body, yang ahli hukum tata negara Indonesia sombongkan sebagai hal hebat tata negara modern, sepenuhnya ciptaan kelompok kaya dan oligarkis ini. Rokceffeler berada jauh dibalik penciptaan Interstate Commerce Commission 1887 sebagai pionernya. Organisasi pemerintah jenis ini mulai diandalkan pada pemerintahan Presiden Woodrow Wilson, profesor administrasi negara dari Wisconsin University ini. Pada pemerintahannya tercipta Food Administration dan National War Labour Bord, United State on Tariff Commission dan War Industries Board. Yang terakhir ini dipimpin oleh Bernard Baruch, terkoneksi langsung pada J.P. Morgan. Sedangkan J.P. Morgan acap kali disebut American Rothschild. Dipenghujung perang dunia pertama, masih dalam pemerintahan Woodrow Wilson, dibentuk apa yang dikenal dengan Court of Internal Revenue Tax Appeal. Ini diotaki oleh Roper dan Leffingsweel. Nama yang disebut terakhir terkoneksi kuat dengan Ford Company. Lima belas tahun kemudian, organisasi sejenis mewabah. Ini terjadi pada pemerintahan Presiden Franklin Delano Rosevelt. Orang ini dikenal sebagai bankers friend. Pada pemerintahan ini, tercipta puluhan organisasi serupa. Seperti biasa, executive agency ini diotaki pendiriannya oleh oligarki, korporasi dan konglomerasi. Konstitusional Indonesia? Pembaca FNN yang budiman. Studi tata negara Indonesia terlalu miskin untuk dihormati layaknya kajian tata negara khas Amerika. Tetapi KAMI, saya percaya tahu ribuan, bahkan jutaan hektar tanah dikuasai hanya oleh beberapa orang. KAMI juga tahu isi perut bumi berupa nikel, batubara, tembaga, emas, bauksit, biji besi dan lainnya dikuasai oleh segelintir korporasi dalam negeri dan global. Perdagangan beras, gula, garam, kedele, bawang bombai, dan lainnya juga tak jauh dari cengkeraman korporasi besar. Kartel terlihat samar-samar berada di rute ini. KAMI saya percaya tahu persis persoalan itu. Dari kepingan-kepingan pernyataan eksponen KAMI, terlihat mereka mengerti pemerintah ini mengitimewakan korporasi besar. Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang telah menjadi UU Nomor 2/2020 ini, sangat jelas bemain dan berselancar soal itu. KAMI tak mungkin tidak mengerti bangsa ini memiliki impian besar untuk berjaya di masa depan. Terlalu bodoh dan tolol bila mengangap KAMI tak mengerti rute dan cara untuk sampai ke impian tersebut, terus saja bermasalah. Performa politik dan tata kelola administrasi negara disepanjang rute ini terlalu ugal-ugalan. Parah, payah, ngaco, ngawur dan amburadul. Sialnya sistem politik, khusus pemilihan umum yang diatur dalam konstitusi, sepenuhnya menyenangklan kaum kaya ini. Pemilihan presiden model UUD 1945 hasil amandemen, sepenuhnya fungsional sebagai instrumen politik dan ekonomi orang kaya. Hanya mereka saja. Bukan UMKM, yang memiliki kesanggupan memberi sumbangan besar kepada Capres. Panorama busuk sistem pemilu ini, entah apa penyebabnya, terbukti tidak mengusik kesadaran terdalam politisi. Padahal itulah salah satu penyebab terbesar Indonesia terus bergerak keluar dari cita-cita pendiri negara yang tertuang dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945. Ini soal besar. Sistem itu menjadi ladang tumbuhan tatanan praktis yang bersifat leviatan. Sistem ini sudah sangat menjijikan sekali. Sama menjijikannya dengan politik RUU Omnibus Cipta Kerja. Mengapa? RUU ini sepenuhnya mengadaptasikan politik liberalistik khas oligarkis, korporasi dan konglomerasi untuk meliberalisasi Indonesia. Jauh dari panggang dari api, jika disandarkan pada pasal 33 UUD 1945. Perizinan dilihat oleh oligarki, korporasi dan konglomerasi adalah barir terbesar. Ini sangat khas prilaku mereka. Ini yang diidentifikasi Amerika pada awal abad 20. Kikonsolidasikan dengan sangat sistimatis pada krisis ekoniomi besar tahun 1929-1933, dan berlanjut hingga sekarang. Mengamankan pasar dalam negeri di satu sisi, dan disisi lain memaksa negara lain membebaskan pasarnya. Harus membuka akses sepenuhnya kepada oligarki internasional itulah dasar pikiran fikirannya. Itu yang ditrafsormasik ke dalam berbagai UU, hingga tahun 2015. Undang-undang itu, antara lain, Rerciprocal Trade Act (RTA) 1933, Ajustded Trade Act (ATA) 1937, Trade Act (TA) 1963, Trade Act of 1974, dan Trade Acgreement Act (TAA) 1979, Tariff and Trade Act (TTA) 1984, Omnibus Trade and Competitivenes Act (OTCA) 1988, The Bipartisan Trade Promotion Authority Act (BPTA) 2002, dan terakhir The Bipartisan Comprehensive Trade Priorities Act (BCTPA) 2015. Semuanya sekali lagi, dengan segala argumen khasnya, difungsikan sebagai instrumen pemaksa negara lain untuk meliberaklisasi pasar domestiknya. Instrumen proteksi utama adalah izin dan tarif. Izin ini yang harus diliberalkan, setidaknya dilonggarkan selonggar longgarnya. Politik RUU Omnibus Law ini, untuk alasan apapun, jelas liberalistik. Ini politik lerviatan. Mengapa? Politik RUU ini tidak bersensi lain, selain meliberalisasi dan tatanan ekonomi dan sumberdaya alam untuk oligarki, korporasi dan konglomerasi domestic dan global. Investor China akan tertawa terbahak-bahak atas kebodohan bangsa ini. Politisi boleh saja menyodorkan bahwa panorama politik investasi (global) sebagai basis RUU itu. Tetapi pragmatisme jelas ngawur, picisan, odong-odong, kaleng-keleng dan beleng-beleng. Memang kompleks, untuk mengambil sikap politik hitam atau putih “Pancasila atau liberalistik, kapitalistik atau sosialistik”. Tetapi bukan disitu soalnya. Tidak ada negara yang tidak memproteksi dirinya. Tidak ada negara yang tidak menjadikan idiologi sebagai panduan berbangsa dan bernegara. Pemahaman seperti itulah yang harus dimengerti oleh politisi, lebih dari siapapun. Politisi harus mengerti kalau pragmatisme bisa diambil. Tetapi politisi juga harus diingatkan pragmatism harus diadaptasikan dengan batasan-batasan idilogis dan cita-cita nasional. Dimanapun dalam semua sistem politik, pragmatisme itu harus diadaptasikan pada klaim idiologis negara. Pada tujuan dan cita-cita bernegara. KAMI terlihat sangat bening mengenalnya. Konstitusional sekali mereka. Kabarnya mreka akan menyampaikan pikiran-pikiran orisinilnya itu ke DPR, DPD dan MPR. Itu bagus, konstitusional dan hebat. Karena diusia kemerdekaan yang ke-75, warga negara mengingatkan pemegang kekuasaan formal adanya kekeliruan dalam rute dan cara bangsa ini memburu mimpinya. Penulis adalah Pengajar HTN Univeristas Khairun Ternate.