NASIONAL
Gila, Sejarah Penghianatan PKI Akan Dihapus?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (20/09). Wacana penghapusan pelajaran sejarah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan menjadi pilihan di Sekolah Menengah Atas (SMA) oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudyaan (Kemendikbud) mengemuka. Tidak jelas apa yang menjadi motif dan argumennya. Hanya saja yang ramai di Medsos adalah kekhawatiran adanya upaya menghapus sejarah kelam Partai Komunis Indonesia (PKI) serta serangkaian pemberontakannya. Pembrontakan PKI mau dianggap sesuatu yang tidak pernah ada. Kalau benar, makaini rencana gila. Setelah sejarah Islam di Madrasah berhadil dibuldozer oleh kebijakan Kementerian Agama (Kemenag), kini giliran Mendikbud melakukan langkah yang serupa. Mengingat tidak adanya visi dan misi Menteri, maka kebijakan mendasar seperti ini tentu menjadi tanggungjawab Presiden. Di tengah eskalasi penyusupan faham komunisme dan bangkitnya Neo PKI, maka diskursus penghapusan pelajaran sejarah dalam program penyederhanaan kurikulum Sekolah Lanjutan Atas (SLA), akan menjadi isu yang sensitif. Akhir-akhir ini penayangan film G 30 S PKI pun menjadi pro dan kontra. Rezim Jokowi memang kurang peduli dengan kekhawatiran masyarakat terhadap keberadaan Neo PKI. Termasuk upaya pengembangan faham Komunisme. Keresahan publik direspon dingin oleh Pemerintah. Tidak ada sedikitpun "warning" bahaya atau ancaman Komunisme. Hal ini menjadi sinyal bahwa pemimpin memang tidak sedang memikirkan rakyatnya. Sejarah penghianatan PKI mesti diajarkan kepada anak-anak didik. Dari generasi ke generasi. Tidak boleh dihapus begitu saja. Kekejian fitnah dan adu dombanya harus diketahui generasi muda. Kepura-puraan dalam membela Pancasila harus menjadi pelajaran utama. PKI mahir dalam menyusup ke elit kekuasaan. Sekelas Presiden Soekarno pun dapat tersentuh dan terpengaruh. Soekarno mati-matian berjuang agar PKI masuk Kabinet Ali Satro Amidjojo pasca Pemilu 1955. Memaksa membentuk Kabinet Gotong Royong. Menggunakan otoritas dan wibawanya untuk membentuk Front Nasional menuju Nasakom. PKI ditarik menjadi bagian dari pilar kekuatan bangsa. Sejarah mencatat pidato Soekarno saat HUT PKI bulan Mei 1965 dengan judul "Subur subur suburlah PKI". Anak Sekolah Menengah tingkat Atas tidak boleh didoktrin "menghafalkan kategori-kategori" seolah-olah PKI adalah korban pembantaian. PKI diperlakukan dengan zalim. PKI adalah sasaran fitnah, atau komunisme faham yang layak hidup. Doktrin seperti itu penuh dengan kepalsuan dan kebohongan dalam rangka mengelabui generasi muda. Anak atau cucu PKI berada dimana-mana. Baik itu birokrasi atau parlemen. Menjadi pengusaha atau mungkin rohaniawan. Mereka potensial untuk membangkitkan spirit perjuangan orang tua atau leluhurnya. Apalagi dengan dukungan penuh Partai Komunis Cina, yang terasa semakin akrab saja dengan istana dan partai berkuasa. Bahaya bangkit Neo PKI dan Komunisme jangan diremehkan. Fenomena pelecehan agama yang semakin marak, isu radikalisme umat beragama, hingga RUU HIP dan BPIP adalah tanda kebangkitan komunisme itu. Sejarah penyusupan dan pemberontakan PKI tahun 1926, tahun 1948, dan tahun 1965 adalah bukti bahwa PKI dan Komunisme itu selalu gigih dalam berjuang. Pengulangan adalah hukum yang absolut. Pak Menteri, jangan hapus pelajaran sejarah Penghianatan PKI dari kurikulum SMK dan SMA, karena menghapus artinya membodohi generasi muda. Membuka peluang bagi pemutarbalikkan fakta sejarah. PKI yang penghianat dicitrakan sebagai korban. TNI dan umat Islam yang menjadi korban dipropaganda sebagai penindas. PKI memang pandai menipu. Sekarang buktinya. Menjelang mengenang sejarah hitam bangsa akibat penghianatan G 30 S PKI, maka Presiden sebaiknya berpidato resmi. Gumanakan mimbar bagus dan pemnting di Istana Kepresiden itu untuk meminta agar rakyat selalu waspada akan bangkitnya Neo PKI dan Komunisme. Bila tidak berbuat dan masa bodoh, atau bahkan sampai menyatakan bahwa PKI itu tidak ada . PKI tidak mungkin tumbuh kembali, maka jangan salahkan jika rakyat yang mungkin saja meragukan kebersihan dirinya dari pengaruh PKI dan Komunisme tersebut. Sejarah merupakan bukti dari suatu perbuatan yang membangun atau menghancurkan. PKI dan Komunisme adalah musuh agama, tentara, dan ideologi Pancasila. Musuh dari seluruh rakyat Indonesia. Ingat dan pahami itu baik-baik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Bagi Jenderal Gatot, KAMI Tidak Punya Persneling Mundur
by Asyari Usman Jakarta FNN - Sabtu (19/09). Gatot Nurmantyo (GN) mengutip pepatah Melayu tentang ‘Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.” Ini yang dikatakan oleh mantan Panglima TNI itu ketika menyampaikan orasi pada acara peresmian pengurus Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Magelang, Jumat (18/9/2020). Pepatah di atas tidak main-main. Salah satu artinya adalah bahwa, bagi Pak GN, KAMI “tidak punya persneling mundur”. Secara kebetulan pula, Pak Jenderal mengucapkan ini di “kota tentara”. Di Magelang. Di sinilah, tepatnya di akademi militer Magelang, GN menjalani penempaan karakter dan mentalitas “tanpa persneling mundur” itu. Tidak ada istilah surut bagi tentara ketika langkah maju telah diayunkan. Pernyataan GN itu merupakan “stern warning” (peringatan keras). Istilah “stern warning” adalah frasa bahasa diplomasi yang terlembut ketika pihak yang mengeluarkan peringatan itu melihat situasi yang sangat berbahaya menunggu di depan. Para tokoh KAMI teleh mendeteksi dan mengidentifikasi bahaya yang mengancam Indonesia. Jenderal Gatot setuju. Ada ancaman desintegrasi bangsa. Ada ancaman terhadap eksistensi Pancasila. Bahkan, Pak Jenderal menyebutkan ada upaya dari satu kelompok besar yang ingin menghilangkan Pancasila sebagai dasar negara. Ancaman serius juga sedang terarah pada kedaulatan negara. Banyak tokoh bangsa yang merasa negara berserta sumber daya alamnya akan diserahkan kepada orang asing. Khususnya kepada China. Ini bisa terlihat dari pengistimewaan terhadap negara komunis itu. Dalam segala hal. Inilah salah satu ancaman yang nyata. Ancaman-ancaman tsb bersinergi kuat ketika negara berada di bawah kelola pemerintahan yang lemah. Di bawah pimpinan yang minus kapabilitas dan kapasitas. Segala macam ancaman itu diperparah oleh kondisi minus ekonomi. Karena itu, Pak GN menyediakan diri untuk ikut berjuang menyelamatkan Indonesia. Ketika para mantan jenderal lain memilih untuk diam, atau didiamkan dengan kenikmatan pribadi, Pak GN memilih untuk bersimbah keringat bersama para tokoh KAMI lainnya. Memilih untuk menghadapi banyak risiko ketimbang berpangku tangan. Pak GN tentu sadar betul tentang semua risiko perjuangan yang akan dihadapinya untuk menyelamatkan Indonesia. Jenderal “Tangkap Saya” ini siap menghadapi itu semua. Tentu sikap dan langkah GN membuat para penguasa sangat terganggu. Tapi, yang mengganggu bukan sembarang orang. Beliau, insyaAllah, bukan jenderal yang mudah ditipu dengan nasi goreng. Jalan KAMI bukanlah jalan orang-orang yang akan mengkhianati rakyat. Sebaliknya, KAMI akan memberikan pencerahan kepada rakyat tentang orang-orang yang sedang melakukan pengkhianatan terhadap bangsa, negara, kedaulatan, dan Pancasila. KAMI akan mengajak rakyat untuk ikut berjuang menghentikan pengkhianatan dan penzoliman. Jenderal Gatot akan tegak lurus bersama rakyat. Beliau tidak akan meluntur. Meskipun hari-hari ini para herder kekuasaan terus melengkingkan gonggongan untuk menakut-nakuti KAMI. Sebagai seorang tentara yang telah kenyang dengan intimidasi lawan tempur, kecil kemungkinan GN akan melangkah surut teratur. Apalagi beliau telah memberikan aba-aba bahwa KAMI tidak dilengkapi dengan persneling mundur. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
BPIP Segera Dibubarkan Saja
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Setelah penundaan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) maka Pemerintah mengajukan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Katanya sebagai pengganti RUU HIP. Namun hingga kini taidk jelas proses pembahasan RUU mana yang akan dilakukan. Semua masih mengambang. Sementara itu umat Islam dan juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah meminta, bahkan mendesak agar RUU HIP dicabut dari Pragram Legislasi Nasional (Prolegnas). Sedangkan RUU BPIP ditolak, sehingga BPIP juga sebaiknya dibubarkan saja. Tidak ada manfaatnya lagi. Hanya menghambur-hambirkan uang rakyat, ratusan miliar hingga triliun rupiah. Namun tidak jelas kerjanya apa? RUU BPIP meski disebut berbeda dengan RUU HIP, namun bila ditelaah sebenarnya substansinya masih tetap sama saja. Karenanya beralasan bahwa BPIP itu menjadi badan yang tidak diperlukan dan patut untuk segera dibubarkan. Ada enam alasan utama mengapa RUU BPIP harus ditolak, dan lembaga BPIP segera untuk dibubarkan : Pertama, RUU BPIP tidak masuk Prolegnas. Dengan demikian tidak menjadi agenda legislasi DPR RI. Bila alasannya hanya sekedar mengganti RUU HIP dengan adanya DIM dari Pemerintah, maka ini artinya Pemerintah yang mengajukan RUU jelas melanggar hukum. Adanya DIM memberi arti RUU HIP masih eksis dan tetap berlaku. Kedua, RUU BPIP menafsirkan Pancasila secara inkonsisten. Pada satu sisi, Pancasila disebut sebagai sesuai Pembukaan UUD 1945. NBamun di sisi lain, dalam konsideran a dan b mengaitkan dengan Pancasila Tanggal 1 Juni 1945. Asal-usul yang mesti dilestarikan dan dilanggengkan. Kepres Nomor 24 Tahun 2016 tentang hari lahir Pancasila dijadikan sebagai landasan. Ketiga, ketika Pancasila tanggal 1 Juni 1945 dijadikan sebagai landasan historis dan filosofis, maka Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 menjadi tulang-belulang yang berbungkus yuridis semata. RUU BPIP nyata-nyata telah membunuh Pancasila. Dengan jiwa kelahiran Pancasila tanggal 1 Juni 1945, maka masih melekat historika Trisila dan Ekasila. Keempat, ketika RUU BPIP yang hanya bermodal landasan yuridis, maka lahirnya pun menjadi cacat. Tidak memenuhi syarat yuridis. Mestinya UU dahulu baru Perpres. Ini terjadi terbalik, Justru Perpres dahulu baru UU. Disamping itu, anehnya lembaga BPIP yang sudah ada dan berjalan baru akan dibuat payung hukum berupa UU. Serba terbalik-balik. Kelima, tidak ada jaminan BPIP untuk tidak bergeser dari "pembina" Pancasila menjadi "penafsir" tunggal Pancasila. Bahkan dengan UU, maka BPIP mendapat legalitas sebagai "satu satunya" institusi yang dapat menafsirkan dan merumuskan hal-ihwal mengenai ideologi Pancasila. Keenam, BPIP menjadi konten juga dari RUU HIP yang terdahulu. RUU yang berbau komunis. Untuk itu, RUU BPIP tidak steril dari jiwa RUU HIP. Sebab HIP adalah akar dan BPIP itu hanya cabang. Kelahiran BPIP hanya untuk memperjelas misi RUU HIP yang gagal, karena ditolak umat Islam. Pemerintah dan DPR tidak boleh membuat kedua RUU mengambang, dan terus-meneru membodohi masyarakat. Karenanya pilihan terbaik adalah batalkan kedua RUU dan segera bubarkan saja BPIP. Keamanan dan kepastian hukum adalah prioritas. BPIP akan menjadi lembaga "trouble maker" bagi bangsa dan negara Indonesia. Lembaga yang "membina", tetapi sesungguhnya "mengacak-acak" Pancasila. Teringat dahulu PKI yang menyatakan "membela" Pancasila, tetapi realitanya justru "menghianati" Pancasila. Sejarah tak boleh terulang. Ingat itu baik-baik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Presiden Yang Hobinya Hipokrisi
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Sabtu (19/09). Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta yang semula akan berlangsung ketat berujung pada PSBB kompromistis non-total. Berdasar data terpercaya, Gubernur DKI Anies Basweda dan sejumlah pakar pandemi berkesimpulan, PSBB ketat harus segera berlaku, agar transmisi Cocid-19 yang naik 25% dalam dua minggu pertama September 2020 dapat ditekan. Anies bertambah confident menerapkan PSBB total karena yakin dengan sikap Presiden Jokowi yang menguatamakan kesehatan dibanding ekonomi. "Kesehatan yang baik akan menjadikan ekonomi kita baik. Artinya fokus kita tetap nomor satu adalah kesehatan," kata Jokowi di Istana Negara (7/9/2020). Tweets Presiden Jokowi “agar ekonomi kita baik, kesehatan harus baik. Ini artinya, fokus utama pemerintah dalam penanganan pandemi corona adalah kesehatan, dan keselamatan masyarakat. Jangan sampai urusan kesehatan ini belum tertangani dengan baik, namun kita sudah merestart ekonomi. Masalah kesehatan harus tetap nomor satu". Ternyata rencana Anies diprotes sejumlah menteri Jokowi. Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto rencana PSBB Anies menjadi penyebab turunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Menteri Perdagangan Agus Suparmanto bilang PSBB Jakarta menghalangi distribusi logistik yang bisa menghancurkan PDB. Sedangkan Menteri Perindustrian Agus G. Kartasasmita sebut PSBB dapat menghancurkan industri manufaktur yang tengah menggeliat. Sikap ketiga menteri yang pro ekonomi itu, ternyata dibiarkan saja oleh Presiden Jokowi. Karena pada dasarnya itulah sikap asli Presiden. Terbukti, tiga hari berselang, Presiden Jokowi mengatakan agar kepala daerah berhati-hati dalam menetapkan PSBB. Katanya, banyak aspek terkait, misalnya kondisi sosial dan ekonomi yang bisa terdampak akibat PSBB. Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM) atau komunitas lebih efektif diterapkan untuk disiplin protokol kesehatan dibanding PSBB total. Akibatnya, publik bertanya-tanya, mengapa Presiden cepat berubah? Presiden inkonsisten? Padahal, jika punya ingatan kuat, mereka tidak perlu banyak tanya. Selama ini memang demikian sikap kepala negara kita. Inkonsisten, lain kata dengan perbuatan atau hipokrit. Rakyat harusnya sudah terlatih untuk tidak lagi terkecoh akibat sudah seringnya hipokrisi Presiden terjadi. Terlepas dari itu, kita berharap semoga saja angka positif korona menurun. Hipokrisi terkait kororna itu pernah sekitar April-Mei 2020. Pemerintah pernah mengizinkan moda transportasi umum untuk beroperasi. Padahal sebelumnya dilarang, karena berhubungan dengan zona merah. Mudik dilarang, tetapi pulang kampung boleh. Begitu juga penerbangan domestik dilarang, tetapi penerbangan internasional dibolehkan. Kedatangan orang asing dilarang, tetapi Tenaga Kerja Asing dari Cina boleh masuk. Ujungnya, angka positif korona terus meningkat. Sekarang baru nyaho kan? Terkait pemberantasan korupsi, Jokowi bilang akan konsisten memberantas korupsi. Sikap ini sesuai janji kampanye Pilpres-2014 dan Pilpres-2019. Namun pada sisi hipokritnya, revisi UU KPK justru didukung. Akibatnya wewenang KPK diberangus, maka para terduga koruptor kakap lolos jerat hukum. Upaya pemberantasan korupsi justru mengalami langkah mundur. Ujung-ujungnya, korupsi semakin merajalela.Lihat saja yang terjadi pada kasus-kasus korupsi Jiwasraya, Asabri, Meikarta, dan Djoko Tjandara. Beginilah Presiden kita ini. Pagi tempe, namun sore sudah dele lagi. Pada 29 Mei 2017, Jokowi dengan heroik mengatakan, "Pancasila itu jiwa dan raga kita. Perekat keutuhan bangsa dan negara. Saya Jokowi, saya Indonesia, saya Pancasila". Ternyata pernyataan tersebut hanya slogan kosong. Lagi-lagi Presiden bersikap hipokrit. Lihat saja sila ke-5 Pancasila yang mengamanatkan keadilan sosial atas sumber daya alam milik negara bagi kemakmuran rakyat. Perintah konstitusi ini sesuai Pasal 33 UUD 1945. Namun justru dikangkangi dengan disahkannya UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020. Perampokan dan dominasi kelompok oligarkis, korporasi dan konglomerasi atas SDA rakyat akan terus berlanjut. Pancasila mengandung ajaran moral dan musyawarah. UUD 1945 menjadi dasar perumusan Indonesia sebagai negara hukum, persamaan warga negara di depan hukum dan tidak adanya tempat bagi pemerintahan yang otoriter. Ternyata Perppu Nomor 1 atau UU Nomor 2/2020 tentang Korona justru mengangkangi dasar negara dan amanat konstitusi. Pemerintahan Jokowi justru memberangus hak budget rakyat melalui DPR (lihat Pasal 2 UU Nomor 2/2020). Begitu juga eksekutif mendapat status kebal hukum (lihat Pasal 27), dan semakin otoriter dengan dieliminasinya sejumlah ketentuan dalam 12 UU yang berlaku (Pasal 28). Pasal 28 UU Korona Nomor 2/2020 dengan sadis menghapus berbagai UU yang disusun sebagai amanat reformasi, yakni UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia, UU Nomor 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), UU Nomor 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Semua UU ini dipersiapkan sebagai payung hukum dalam rangka mencegah perampokan uang rakyat oleh para taipan dan konglomerat seperti terjadi pada megaskandal BLBI dan Obligasi Rekapitalisasi. Megskandal BLBI ini mewariskan utang Rp 645 triliun bagi rakyat. Lalu, Pancasila mana yang dimaksud Jokowi? Inilah bukti lain tentang sikap hipokrit itu Saat menyambut kemenangan sengketa Pilpres 2019 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (27/6/2020), Jokowi mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu kembali. Bersama-sama membangun Indonesia. Katanya, tidak ada lagi 01 dan 02. Yang ada hanyalah persatuan Indonesia. Disampaikan, presiden dan wakil presiden terpilih adalah presiden dan wakil presiden bagi seluruh anak bangsa. Untuk seluruh rakyat Indonesia. Ternyata “pidato” rekonsiliasi tersebut hanya basa-basi bernuansa hipokrit. Sambil terus memainkan isu-isu radikalisme, intoleran, anti kebinnekaan dan anti Pancasila, anak bangsa terus dibelah dan terbelah. Bahkan pemerintah Saudi Arabia pun “dipengaruhi” untuk mencegah kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) ke Indonesia. HRS dicegah keluar Arab Saudi atas permintaan “satu pihak” dari Indonesia. Saat yang sama, sejumlah Menko dan petinggi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf ramai-ramai menyuarakan HRS pergi atas keinginan sendiri. Masih terjerat banyak kasus. Melanggar aturan overstay, dan terkena denda. Jokowi yang mengaku Presiden seluruh rakyat dan ingin rekonsiliasi. Namun terbukti diam saja terhadap fitnah dan manipulasi tentang kasus HRS yang disuarakan para Menko dan TKN. Terus dihalanginya kepulangan HRS hingga saat ini, sebagai sandiwara dan sikap hipokrit pemerintah yang memang nyata adanya. Sikap yang ironis dan memalukan. Gara-gara pandemi Covid-19, masyarakat global mengenal istilah baru yaitu new normal. Tatanan, kebiasaan dan perilaku hidup baru berbasis pada adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat. Agar dapat bertahan hidup, masyarakat bangsa-bangsa di dunia perlu menyesuaikan diri dengan budaya hidup baru. Kenormalan baru, terutama dalam bidang kesehatan, sosial dan ekonomi. Sebelum Covid-19 mewabah, di bawah kepemimipinan Presiden Jokowi, sebagian rakyat Indonesia telah hidup dalam suasana pelanggaran norma moral dan hukum. Kondisi ini berlangsung rutin. Berulang dan semakin menjadi-jadi dalam berbagai aspek kehidupan. Perlahan, sebagian rakyat telah beradaptasi, sehingga kondisi ini menjelma menjadi kebiasaan berbangsa dan bernegara yang baru, new normal. Bangsa ini digiring untuk biasa hidup di tengah pemerintahan yang semakin otoriter, inkonstitusional, inkonsisten atau hipokrit. Anda-anda para tokoh, aktivis, cerdik-pandai, kaum terdidik, pemimpin partai dan para mahasiswa hanya pasrah menunggu nasib? Penulis adalah Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Kodok Peking Yang Mulut Comberan
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Mantan narapidana kasus penista Agama Ahok tidak berubah. Dia masih asal ngomong (asmong). Ngomong asal tanpa kendali. Bahaaa kerennya Ahok “asal negbacot”. Kata Ahok, “kalau saya Dirut Pertamina, kadrun demo mau bikin gaduh". Kadrun adalah panggilan untuk "kadal gurun" yang mengarah kepada umat Islam. Atau konteks Ahok mungkin saja peserta aksi demonstrasi 411 dan 212 yang telah berhasil "memenjarakan" Ahok, dan membrikan label “penista Agama”. Kadrun dinilai sebagai panggilan yang rasialis Ahok. Mereka yang biasa menjuluki kadrun adalah para Kodok Peking (Doking). Mereka itu pengabdi negara Cina di Indonesia. Meraka juga Islamophobis, serta agen yang hanya bisa berlindung di ketiak kekuasaan. Sebenarnya Ahok tak pantas menjadi pejabat apapun di negeri ini. Disamping kinerjanya yang memang sangat buruk, juga ngomongnya gede selangit. Ngebacotnya itu yang terlalu ketinggian. Ahok sulit untuk bisa memperbaiki karakter sompral bawaannya. Akibatnya, Ahok suka menciptakan kegaduhan di masyarakat. Karakter bawaan yang sangat tidak pantas dan layah untuk menyandang jabatan sekelas Komisaris Utama Pertamina. Komisaris Utama kok membongkar dapur Pertamina sendiri? Bukan itu saja. Malah menyeret-nyeret Menteri segala. Ahok memang sok jago, sok kuasa, dan sok paling bersih. Peran Komisaris itu bukan marah-marah atau berkeluh kesah. Bukan juga membongkar dapur sendiri Yang utama dan mesti dilakukan Ahok adalah membenahi dengan membuat langkah konkrit sesuai kewenangan sebagai Komisaris Utama Pertamkina. Apalagi cuma bisa teriak-teriak bahwa kadrun kadrunan dengan rasa yang penuh sentimen. Mau ngomong bersih bersih. Padahal orang juga sudah tahu kalau sapunya “kagak bersih”. Bahkan sangat kotor sapunya. Gaji gede, namun prestasi kerja tidak jelas dan kabur. Orang yang buruk track record begini bisa ditempatkan di Pertamina, Komisaris Utama lagi? Yang menempatkan Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina kemungkinan juga sudah mati rasa. Sikap masyarakat yang sangat keras menolak Ahok dengan berprilaku buruk, sudah tidak lagi diiandahkan pemerintah. Pemerintah menutup mata saja dengan semua prilaku Ahok. Tahun 2020, Pertamina mengalami kerugian sampai Rp 11,3 triliun. Kerugian itu terjadi pada saat Pertamina di bawah kendalinya Ahok. Padahal sebelumnya Ahok sesumbar kepada publik, “kalau Pertamina itu tidur saja masih bisa untung”. Faktanya Pertamina mengalami kerugian besar. Padahal keuntungan yang didapat Pertamina dari hasil memeras rakyat, melalui penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) sekitar Rp 60 triliun rupiah. Pemerasan dilakukan Pertamina sejak awal tahun sampai sekarang. Semua negara tentangga seperti Malaysia, Thailand, Philipina dan Vietnam sudah menunrunkan harga jual BBM di dalam negeri. Namun tidak untuk Pertamina Kalau sudah begini kondisinya, Presiden Jokowi juga harus ikut bertanggungjawab. Karena Ahok adalah kroni terdekat Presiden Jokowi. Publik sudah sangat mengetahui dan faham soal kedekatan Ahok dengan Presiden Jokowi tersebut. Tanpa campur tangan Presiden Jokowi, tidak bakalan Ahok menjadi Komisaris Utama Pertamina. Para doking si Kodok Peking selalu menyebut pihak yang kritis pada kebijakan pemerintah sebagai kadrun. Mereka bisa buzzer, bisa pula influencer. Seperti Kodok Peking asli yang melompat sana sini. Mereka mencari makan dari semak semak ke semak lain. Bersuara pun berisik melulu. Wahai para Kodok Peking, jangan lecehkan umat. Kalian telah banyak menikmati hasil tanah dan air bangsa ini. Menguras dan menguasai. Saatnya untuk lebih tahu diri dan berterimakasih. Bukan dengan petantang petenteng sok kaya dan sok kuasa. Pribumi telah lama disakiti. Kini saatnya bangkit. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Perlukah Pam Swakarsa?
by Anton Permana Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Dikeluarkannya Peraturan Kapolri nomor 4 Tahun 2020 tentang Pam Swakarsa ini cukup menarik perhatian publik. Karena, dalam memori publik istilah "Pam Swakarsa" adalah pasukan era orde baru yang dibentuk dengan tujuan 'insurgency' (pertahanan negara) bagian dari tugas-tugas TNI AD. Sementara itu, di masa awal reformasi sempat menjadi sasaran pro dan kontra tentang keberadaan Pam Swakarsa. Yang pro mengatakan, pasukan Pam Swakarsa ini adalah strategi pembinaan teritorial ABRI (TNI hari ini) pada penggalangan masyarakat sipil. Ketika itu, dalam menggalang partisipasi rakyat untuk menangkal upaya mobilisasi masyarakat, khususnya mahasiswa. Ketika itu, mahasiswa ditenggarai sudah diboncengi "gerakan kiri ekstrim" ( PKI dan simpatisannya) untuk menggulingkan pemerintah. Artinya, membuat pasukan sipil untuk menghadapi sipil. Dan ini murni konsep perperangan anti gerilya dalam dimensi pertahanan. Atau dalam istilah Wikipedia, kelompok sipil bersenjata tajam yang dibentuk ABRI yang menolak Sidang Istimewa (SI) MPR. Karena image ABRI saat itu memerlukan kekuatan pendukung untuk menangkal isu pelanggaran HAM. Bagi yang kontra, Pam Swakarsa ini dianggap melanggar HAM. Perbuatan melawan hukum dengan mengadu domba sesama masyarakat. Bertentangan dengan prinsip negara demokrasi. Berbagai kecaman muncul, baik dari dalam negeri dan luar negeri. Hal ini karena sesungguhnya dari kelompok kotran ini, penilaian Pam Swakarsa berasal dari posisi yang anti tesis dengan tujuan awal. Namanya sudah berbeda pandangan, maka akan sulit disamakan. Oleh sebab itu, publik tentu perlu penjelasan yang lebih jelas dan tegas. Untuk apa ujug-ujug di era reformasi ini, pemerintah khususnya melalui Polri perlu membentuk Pam Swakarsa ini kembali ? Jika negara pada masa Orde Baru sangat jelas meletakkan tujuannya dalam wilayah pertahanan. Bagaimana dengan era reformasi sekarang? Secara pribadi saya yakin, Kapolri Jendral Idham Azis tentu punya maksud baik dan strategi tertentu. Sehingga beliau mengeluarkan Peraturan Kapolri yang ditandatanganinya tanggal 5 Agustus 2020 kemaren. Tetapi hal ini, apakah hal ini telah dikonsultasikan dahulu dengan pihak Menkopolhukam, Kementrian Pertahanan bahkan TNI AD ? yang secara doktrin memiliki aspek pembinaan perlawanan wilayah atau ketahanan wilayah? Juga dikonsultasikan dengan para akademisi dan pakar-pakar? Dikonsultasikan dengan mereka yang selama ini telah banyak memberikan bantuannya untuk menegakkan pembangunan dan menjunjung demokrasi di era reformasi. Agar tidak terjadi "distorsi pemahaman" ? Jika ingin mengatakan nantinya bahwa tidak ada pihak yang salah dalam hal ini, Polri sebagai institusi yang bertanggung jawab tentang Kamtibmas pasti punya alasan untuk itu. Begitu juga masyarakat civil society. Tentu perlu juga penjelasan yang lebih jelas dan rinci dari pihak yang berwenang agar tidak menimbulkan keraguan dan kecurigaan yang tidak perlu. Untuk era digital sekarang, yang rentan terjadi "miss-understanding", penjelasan itu sangat diperlukan. Adapun beberapa pendapat yang saya tangkap di tengah masyarakat terkait dengan Pam Swakarsa tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, masyarakat tentu perlu mengetahui apa permasalahan paling substansial dari pembentukan Pam Swakarsa ini? Karena, ada yang berpendapat kenapa tidak memanfaatkan begitu banyak organisasi massa berbasis bela negara yang sudah ada saja? Yang setidaknya sudah mendapatkan pelatihan disiplin dan dasar-dasar militer dan keamanan. Misalnya FKPPI, PPM, Pemuda Pancasila, Laskar Merah Putih, HIPAKAD, KBP3, GBN, atau ormas yang tergabung dalam KNPI. Yang paling terakhir gerakan kader belanegara yang digagas oleh Jenderal Ryamizard (2015) saat menjabat Menhan? Padahal gagasan Ryamizard telah menghabiskan anggaran tidak kecil, dan para kadernya pun saat ini masih menunggu-nunggu kelanjutannya. Selain pemberdayaan wilayah pertahanan adalah tugas TNI, Organisasi Kemasyarakatan (Oramas) ini tentu sudah familiar dengan masyarakat. Saya yakin, para Ormas ini akan senang apabila mendapat kepercayaan dari pemerintah, khususnya kerjasama dengan komponen utama Pertahanan. Kedua, perlu juga dijelaskan, apa saja tugas pokok dan fungsi Pam Swakarsa ini? Apakah dibentuk untuk sementara dalam menangani PSBB pandemi covid19 saja? atau untuk permanen? Tentu perlu analisa serta jaminan bahwa pasukan Pam Swakarsa ini tidak akan disalahgunakan, yang akan menimbulkan konflik baru sesama masyarakat. Untuk itu diperlukan kejelasan batas waktunya. Karena tidak ada dasar hukum acuan dalam KUHP atas pembentukan Pan Swakarsa ini. Dimana bisa memangun sekelompok masyarkat tertentu dalam penegakan hukum. Atau setidaknya perlu terminologi nama lain dalam penyebutannya. Setidaknya dapat menjawab serta meyakinkan para pihak yang meragukan efektifitas, dan ketakutan penyalahgunaan pembentukan pasukan ala semi-milisi ini. Ketiga, perlu juga dijelaskan, apa spesifikasi dari persyaratan untuk menjadi anggota Pam Swakarsa ini? Karena banyak yang meragukan seberapa disiplin dan proteksi dari penyalahgunaan kewenangan di lapangan nantinya. Tentu yang dapat merugikan nama baik institusi kepolisian itu sendiri. Apakah "Preman" bisa masuk kategori Pam Swakarsa juga? Keempat, TNI sebagai alat pertahanan negara dan komponen utama negara, mempunyai juga binaan komponen cadangan. Komponen yang terlatih disamping sebagai kader bela negara. Yang sengaja dibentuk melalui UU PSDN Nomor 23 tahun 2019. Apakah ini sama atau berbeda? Atau timbul pertanyaan, kenapa tak bersinergi dengan TNI saja, kalau memang membutuhkan bantuan personil ? Kelima, bumi nusantara ini sangat beragam. Baik dari segi Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) dan kultur budaya. Pendekatan kultur budaya kepada masyarakat lebih baik dari pada pendekatan struktural pemerintahan. Apalagi kalau hal itu terkait dengan upaya penegakan budaya dan prilaku. Memanfaatkan ketokohan agama, tokoh adat, serta kearifan lokal setempat akan lebih baik dan efektif. Di dalam Perkap Kapolri tersebut, memang ada disebutkan bahwa anggota Pam Swakarsa ini bisa diambil dari kelompok pranata sosial kearifan lokal. Namun ini tentu perlu dijelaskan dan ditegaskan, apakah itu lembaga yang sudah ada diberdayakan? Atau membentuk yang baru? Kenapa hal ini diperlukan? Untuk menjawab keraguan dan asumsi negatif dari beberapa pengamat dan akademisi, yang ragu kalau ujungnya Pam Swakarsa . Karena nama ini rentan menimbulkan gesekan baru sesama masyarakat, bahkan dengan aparat TNI. Secara psikologis, pembentukan Pam Swakarsa ini juga bisa menimbulkan keluar image di mata publik internasional dan nasional. Bahwa pemerintah Indonesia hari ini seakan-akan ada "gap distrosi" (tidak harmonis) yang begitu dalam dengan rakyatnya sendiri. Sehingga perlu membentuk Pam Swakarsa, yang kalau dalam kaca mata internasional bisa diasumsikan sama dengan pasukan milisi. Wajar berbagai keraguan dan pertanyaan kritis keluar dari masyarakat, mengingat negara kita selama ini selalu menggaungkan sebagai negara demokrasi. Negara Pancasila dengan semangat persatuan Gotong Royong yang sangat hebat dan kuat. Namun, tetap saja masih mau menggunakan pola yang dulu di akhir Orde Baru banyak dikecam dan dicap negatif. Apakah ini tidak bertentangan juga dengan semangat reformasi? Ataukah hendak mengatakan bahwa Orde Baru itu benar adanya dan ingin kembali lagi? Kita berharap, semua keraguan dan kegelisahan negatif itu tidak terjadi. Semoga pemerintah, melalui Menko Polhukam sudah menganalisa semua ini dengan seksama. Sebagai masyarakat sipil, kita semua pasti mendukung program Pam Swakarsa kalau memang ditujukan untuk mengayomi, melayani, dan melindungi masyarakat. Agar tentram dan damai di tengah pandemic Covid-19 ini. insya Allah. Jawab keraguan ini. Salam Indonesia Jaya. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.
Kekacauan Bernegara Di Eranya Jokowi
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (18/09). Negara sekarang jadi kacau. Kekacauan itu hampir terjadi di semua aspek. Kita mulai saja dari aspek hukum. Aparat, bahkan institusi hukum terlibat jauh dalam politik praktis. Nggak bisa dibantah itu. BIN pamer operasi kekuatan pasukan temput. KPK dimatikan untuk menyelamatkan orang-orang besar dan kasus besar. Secara beruntun RUU diusulkan, dan UU diterbitkan hanya untuk melindungi kepentingan korporasi, oligarki dan konglomerasi. Mau contohnya nyata? Lihat dan baca itu UU Minerba, UU Corona, RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan RUU HIP yang berubah menjadi RUU BPIP. RUU yang terakhir ini, meski telah secara masif mendatangkan gelombang penolakan dari rakyat, tetap saja dipaksakan. Kekacauan juga terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PT. Asuransi Jiwasraya kebobolan sampai belasan triliun. Pertamina rugi Rp 11,3 triliun. Komisaris Utama Ahok mencak-mencak. Sebelumnya Ahok sesumbar bilang “kalau Pertamina merem aja pasti untung”. Eh malah rugi besar. Sekarang bilang data dari Direktur Utama nggak bener. Kacau-balau, dan amburadul ini pemerintahan. Banyak BUMN yang dijaminkan untuk pinjaman pembangunan infrastruktur. Diantaranya infrastruktur komersial. Artinya, dibangun untuk dijual lagi. Total hutang luar negeri BUMN saat ini Rp 835 triliun, setara dengan U$ 57,8 miliar. Utang naik sekitar 15,1% dari bulan Juli lalu. Pada akhirnya, BUMN jalan megap-megap untuk bayar hutang. Pertumbuhan ekonomi minus sudah minus -5,32 persen. Berlanjut ke kuartal berikutnya. Artinya, bakal terjadi resesi di depan mata. Dampaknya, diantaranya pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Angka pengangguran diperkirakan bertambah sekitar 4,2 juta (data resmi Bappenas lho). Itupun kalau Bappenas jujur dan menggunakan standar wajar dalam menghitung pengangguran. Pemerintah dan DPR sepakat untuk cetak uang Rp 600 triliun. Untuk maksud cetak uang itu, lalu pakai bahasa yang agak sedikit keren, “burden sharing”. Mungkin supaya orang awam nggak paham dan tidak menimbulkan gejolak kalau itu adalah cetak uang. Cetak uang berlebihan, dengan menempatkan Bank Indonesia di bawah eksekutif rawan penyelahgunaan. Sangat berpotensi menciptakan inflasi. Kalau terjadi inflasi, siapa yang nanggung biayanya? Sudah rasti Rakyat. Anda saat ini beli kopi seharga Rp. 2000 per gelas. Pada tahun 2021 atau 2022, harganya "mungkin" bisa naik jadi Rp. 5.000 per gelas. Uang anda pasti bakal berkurang nilainya. Makanya, sejumlah orang kaya bakalan menukar uangnya ke emas atau dollar. Begitulah kalau terjadi inflasi. Dengan UU Corona Nomor 2 Tahun 2020, muncul anggaran Rp 905 triliun. Anggaran ini bakal digunakan secara bebas, karena dilindungi oleh UU No 2/2020. Bebas dari tuntutan pidana, perdata dan TUN. Tragisnya, bukannya anggaran tersebut lebih banyak dipakai untuk mengatasi pandemi (kurang dari 10%), tetapi justru digunakan untuk injeksi korporasi dan perbankan. Tragis kan? Pandemi coronanya cenderung diabaikan. Itu terlihat dari alokasi anggaran yang sangat kecil. Namun dampak ekonominya yang terus, dan sibuk diatasi oleh pemerintah Jokowi. Ya, seperti menuang air di ember yang bocor. Sia-sia saja. Sekarang baru pada siuman, termasuk Buya Syafi’i Maarif yang selama ini terkenal membela habis-habisan kebijakan pemerintahan Jokowi. Kenapa BI nggak beli saja Surat Berharga Negara (SBN) yang ada di tangan bank-bank itu. Lalu turunkan suku bunga (BI rate) hingga 0-1% saja seperti di Singapura (0%), Thailand (0,5%) dan Malaysia (1,75). BI rate sekarang ini masih terlalu tinggi dengan 4% itu. Meski sebelumnya BI rate sudah diturunkan 1%, dalam empat tahap, dari semula 5%. Tetapi tak mampu menahan laju resesi ekonomi di depan mata. Dunia usaha tersendat karena suplay liquiditas terhambat, padahal demand masih besar. Para pengusaha juga nggak mampu membayar cicilan bank, karena besarnya bunga, yang masih 8% hingga di atas 10%. Uniknya, uang nasabah bank terus bertambah. Artinya, masyarakat lebih memilih menyimpan di bank dari pada menggunakannya untuk biaya konsumsi. Makin parah lagi kondisinya. Sebab uang yang beredar di masyarakat makin kecil. Ini akan memicu naiknya angka kemiskinan. Kekacauan juga terjadi di panggung politik. Isinya para buzzer dan infulencer yang dianggarkan Rp 90.45 miliar. Masalah apapun sepertinya mau diselesaikan lewat buzzer dan infulencfer. Apapun penyakitnya, pasukan bodrek jadi obatnya. Ngeri sekali tata kelola bernegara di Era Jokowi ini. Belum lagi ketika datangnya musim orang gila beroperasi. Kini sebaran teror orang gila terjadi di berbagai wilayah negeri ini. Diantaranya di Lampung, Palembang dan Bogor, yang semakin menambah kekacauan sosial. Anehnya, orang gila bisa pilih-pilih sasara. Diutamakan para ulama atau ustadz. Di jajaran kementerian, terjadi overlaping yang akut. Menkes banyak diam, lahan corona diambil oleh TNI dan Menko Maritim. Kementerian Agama sibuk mengurus radikalisme dan sertifikasi muballigh. Menteri pertahanan diberi tugas untuk mengurusi ketahanan pangan. Lalu Wapres? Presiden saja lupa menyebut namanya saat pidato. Makin kacau tata kelolas pemerintahan di eranya Jokowi. Soal pandemi, pemerintah gagal mengatasinya. Negara lain mulai terbebas. Sementara di negeri ini covid-19 justru makin mengganas. Rata-rata perhari bertambah 3.000-an orang terinveksi. Rate mortality nasional adalah 4,1%. Ada 100 orang setiap hari meninggal. Akibatnya, sudah 68 negara yang lockdown Indonesia. Dalam sialtuasi ini, pemerintah bukannya fokus menyelesaikan, tetapi malah saling menyalahkan. Konyol bangat kan? Kekacauan bahkan sering muncul seiring dengan kebijakan Gubernur DKI. Dalam banyak kebijakan Gubernur, pemerintah pusat seringkali mengambil posisi sebagai oposisi. Bukan mendukung dan bersinergi untuk atasi mengganasnya pandemi. Ini hanyalah sebagian dari potret negara yang bernama Indonesia saat ini. Sebuah kekacauan yang belum ada tanda-tanda untuk berhenti. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
PKI Memperalat Pancasila
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (16/09). Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bermisi membentuk masyarakat sosialis Indonesia untuk kemudiannya menjadikan masyarakat Komunis dalam proses perjuangannya tidak terang-terangan menentang Pancasila. Mereka bahkan berkoar-koar menjadi pembela Pancasila. Tidak tanggung-tanggung pada tahun 1964 DN Aidit Ketua CC PKI membuat buku yang berjudul "Aidit Membela Pantja Sila". Semua slogan itu ternyata palsu dan hanya kamuflase. Hanya tipu-tupa semata. Terbukti pada bulan September 1965 PKI mencoba melakukan kudeta. PKI mencoba menguasai pemerintahan, dan mengganti ideologi Pancasila. Aidit sendiri memang jujur menyatakan bahwa Pancasila hanya "alat pemersatu". Jika masyarakat sosialisme Indonesia sudah terwujud, maka Pancasila tidak diperlukan lagi. Soal Agama sama saja diposisikan sebagai alat. Aidit menyatakan PKI tidak anti Agama, dan anggotanya mayoritas beragama Islam. Tetapi PKI bersikap tergantung posisi Agama itu. Jika sama dengan pandangannya yaitu progresif, anti kapitalisme dan menuju masyarakat tanpa kelas maka Agama bukanlah candu. Sebaliknya, jika menjadi berbeda makna, apalagi samapai memusuhi PKI, maka Agama adalah candu. Agama ditempatkan sebagai alat mainan PKI menuju masyarakat Komunis. Pancasila sebagai sebuah alat memiliki tafsir dan tempat tersendiri bagi Aidit dan PKI. Karenanya PKI mampu berteriak lantang soal "Membela Pantja Sila". Dan bersama Soekarno akhirnya membubarkan Partai yang berjuang untuk bangsa dan Agama, yaitu Masyumi. "Konsepsi Presiden" yang berujung "Nasakom" menjadi fase nyaman bagi penguatan PKI menuju kudeta. Menurut Aidit PKI bisa bermetamorfosis menjadi partai lain asal revolusioner dan berprinsip untuk mengubah hal yang stagnan. Tujuannya adalah masyarakat tanpa kelas. Mungkin ini yang dimaksud oleh seorang kader anak PKI yang menyatakan PKI boleh bubar tetapi ideologi Komunisme tetap hidup. Ia pun berada di partai lain untuk terus berjuang. Kita kini sering melihat tokoh bahkan pemimpin politik yang berteriak lantang tentang membela Pancasila seolah dia yang paling Pancasilais. Tetapi prakteknya ia dan partainya memiliki perspektif lain tentang Pancasila itu. Menunjuk orang lain yang anti dan ingin mengganti Pancasila. Padaha sadar atau tidak dialah perongrong Pancasila. Pancasila pun diperalat sebagaimana PKI dahulu memperalat. Bangsa dan rakyat Indonesia harus bangun dan sadar akan metamorfosa PKI yang bisa saja menjadi PKI Reformasi, PKI Perjuangan atau Partai lainnya. Bagi mereka tak penting nama dari partai itu karena yang pokok adalah tujuan dan untuk mencapai tujuan itu maka dihalalkan segala cara. PKI adalah partai yang mampu bermanuver dengan memperalat semua, termasuk partai politik dan ideologi Negara. Karenanya kita harus semakin waspada pada penjahat yang memang pandai mengadu domba, memfitnah dan menipu ini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Lawan Taipan, PSBB Anies Soal Keberpihakan
by Jusman Dalle Jakarta FNN – Rabu (16/09). Pembatasan Sosiak Berskala Besar (PSBB) total kali ini, merupakan ujian keberpihakan. Antara menyelamatkan nyawa rakyat, atau justru terburu-buru menggenjot dunia usaha mengikuti irama tekanan para oligark ekonomi. Beredar spucuk surat dari salah satu taipan. Orang terkaya di Indonesia, berpesan kepada Presiden Jokowi. Secara gamblang menyebut PSBB DKI tidak tepat atau salah. Inilah bukti omnipresent dalam teori relasi kuasa Michael Focault. Kekuasaan yang tersebar. Tidak terpusat pada satu simbol struktural. Surat taipan itu, merupakan ekspresi superioritas. Seolah mempertontonkan komunikasi antara majikan dan bawahan. Ditampilkan vulgar di panggung depan. Diekspos ke publik. Meski dengan kemasan yang tampak sopan. Credit Suisse menyebut mereka sebagai 1% penduduk yang mengontrol dan menguasai 47% kekayaan ekonomi nasional. Atau, 10% penduduk yang menguasai 75% ekonomi nasional. Bagi kaum ultra kaya itu, ancaman Covid-19 masih sangat jauh. Mereka lebih khawatir pada bisnis dan kekayaannya. Bagaimana tidak, mereka dilayani berbagai fasilitas yang memungkinkan beraktivitas dengan aman, nyaman dan higienis. Tinggal di dalam mansion super mewah. Dengan akses lift pribadi. Minim kontak. Tamu-tamu diseleksi. Virus pun, bahkan dapat disaring dengan peralatan canggih yang dimiliki. Mereka tak khawatir terinfeksi Covid-19. Kaum ultra kaya itu, jelas punya dunianya sendiri. Tinggal di kutub berlawanan, bukan representasi nasib masyarakat kebanyakan. Yang harus berjibaku naik KRL, angkot dan bis kota. Berdesak-desakan bertaruh nyawa. Berjudi keberuntungan. Meski cemas terinfeksi Covid-19 di tengah kehidupan kota yang menekan. Kelompok ultra kaya ini, bahkan tidak bisa membayangkan ketegangan di garis depan. Bagi mereka, tenaga medis yang berguguran hanyalah deretan angka, data, bahan bacaan semata. Layanan kesehatan yang sudah di tubir jurang dan terancam kolaps bahkan ingin diakali. Dengan memborong kamar hotel sebagai tempat karantina. Mereka mungkin menyangka, hotel dan rumah sakit punya tabung oksigen dan ruang ICU. Mereka lupa, kalau customer services, atau house keeper hotel bukan petugas medis yang terlatih memasng ventilator. Mendengarkan seruan para taipan melalui surat, ataupun via lidah Menteri dan pejabat negara, tidak akan menyelamatkan masyarakat di bawah. Kita tidak mengabaikan, para konglomerat menyisihkan sedikit dana CSR untuk penanganan Covid-19. Tapi sumbangan itu, tidak mampu menghidupkan para ayah dan kepala keluarga yang wafat akibat kebijakan yang tidak tegas dan mengancam nyawa. Dunia usaha, jelas sudah tidak sabar ingin ekonomi segera dipacu. Semua juga begitu. Masalahnya, Covid-19 makin tidak terbedung. Penanganan Covid-19 amburadul. Tidak ada garis komando dan akur kerja yang jelas. Tumpang tindih. Semua ingin jadi pahlawan. Memanfaatkan krisis sebagai panggung politik. Ini akibat dari lemahnya kepemimpinan. Sejak awal rencana, lockdown dihalang-halangi. Jadi drama politik yang pelik. Dengan alasan yang sama. Demi ekonomi. Anehnya, ada saja yang berargumen serampangan. Menilai PSBB ini bias kelas. Cuma cocok untuk pekerja kantoran. Tapi tidak memihak ke pekerja informal. Pekerja yang berpendapatan harian. Statemen itu prematur. Memang tampak membela masyarakat kecil. Nyatanya salah kaprah. Komentar itu muncul karena pandangan parsial. Melihat PSBB semata sebagai kewajiban warga negara untuk diam di rumah. Padahal di balik PSBB, ada kewajiban negara. Konstitusi jelas mengamanatkan pemerintah untuk menjamin kebutuhan warga selama masa PSBB. Jika UU Karantina Wilayah diterapkan. Konstitusi tegas melindungi hak paling asasi warga negara. Hak untuk hidup. Selamat dari ancaman terinfeksi Covid-19. Namun UU ini dihindari pemerintah. Bikin undang-undang kok tidak dipakai. Ketika pekerja informal, seperti pedagang kaki lima dan ojek online libur, negara semestinya menyiapkan kebutuhan pokok mereka. Bahkan bila perlu, ada ekstra stimulus ekonomi. Lagipula, PSBB atau tidak, APBN tetap tersedot. Rp 690 triliun dianggarkan untuk Covid-19. Sebagian besar, malah mengalir jadi subsidi ke korporasi. Jelas ini mengusik rasa keadilan rakyat. Sekali lagi. PSBB total adalah soal keberpihakan. Saatnya negara berdiri tegas. Memilih di sisi rakyat. Bukan malah benaung di ketiak cukong politik. Seperti istilah yang baru saja dipopulerkan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD. Menyoal fenomena bandar politik di Pilkada. Sektor ekonomi memang meradang. Namun begitu, sejarah mengajari. Sejak tragedi Black Death yang menewaskan 200 juta orang di Eropa, hingga wabah Flu Spanyol pada awal abad 20, ekonomi harus rela dikorbankan demi nyawa manusia. Ini Humanitarian Action. PSBB atau bahkan lokcdown, justru jadi solusi tercepat keluar dari jerat krisis ini. Semakin PSBB dihalang-halangi, semakin lama bencana Corona mendera. Pelonggaran aktivitas dan new normal sudah terbukti gagal. Bahkan berakibat fatal pada penanganan Covid-19 yang kian berlarut-larut. Sementara ekonomi tetap bangkrut. Penulis adalah Direktur Ekskeutif Tali Foundation.
Pembujuk Tersembunyi Yang Merusak Demokrasi
by Zainal Bintang Jakarta FNN –Rabu (16/09). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. Rata-rata setelah terpilih para calon kepala daerah ini akan memberi timbal balik berupa kebijakan, “melahirkan korupsi kebijakan”, “kata Mahfud, Jumat (11/09/20). Pada hari yang sama, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, “berdasarkan kajian KPK, lebih dari 80 persen calon kepala daerah dibiayai oleh sponsor”. Dari sumber mata air yang keruh inilah lahir kebijakan “jual beli” lisensi SDA potensial di sebuah daerah. Sebagai kompensasi atas “bridging finance” sang cukong kepada pejabat daerah yang terpilih. Kejadian yang tidak menyenangkan itu, mengingatkan pada karya Vance Packard, jurnalis dan kritikus sosial Amerika yang berjudul “Pembujuk-Pembujuk Tersembunyi” (The Hidden Persuaders). Karyanya itu pertama kali diterbitkan tahun 1957. Vackard mengeksplorasi penggunaan riset motivasi konsumen dan teknik psikologis lainnya oleh pengiklan. Termasuk psikologi mendalam dan taktik subliminal. Bertujuan memanipulasi ekspektasi dan mendorong keinginan akan produk, terutama di era paska perang Amerika. Menurut Packard, kebutuhan ini begitu kuat sehingga orang terpaksa membeli produk hanya untuk memuaskannya. Buku ini juga membahas teknik manipulatif dalam mempromosikan politisi ke pemilih. Selain itu, buku ini mempertanyakan moralitas penggunaan teknik-teknik ini. Meskipun buku itu laris manis diantara khalayak kelas menengah, buku itu secara luas dikritik oleh peneliti pemasaran dan eksekutif periklanan karena membawa nada sensasional dan dianggap mengundang pernyataan yang tidak berdasar. Berbicara adanya keterlibatan cukong yang melancarkan praktik “money politics” (politik uang) tentu tidak berdiri sendiri. Publik punya banyak bukti adanya dukungan dari unit lain yang, termasuk lembaga survei. Bergabung menjadi sebuah konspirasi untuk memaksakan perubahan pandangan dan nilai moralitas masyarakat. Konspirasi itu leluasa beroperasi melumpuhkan nalar masyarakat. Memunculkan unit baru, “tim relawan” yang powerfull. Tapi, kesemuanya itu, yaa diperoleh tentu saja dengan doktrin “tidak ada makan siang gratis” (there is no free lunch). Secara umum banyak dibicarakan keberadaan kebijakan Otda (Otonomi Daerah) sejak 2004, yang ditengarai menjadi mesin penggerak “penyimpangan” kebijakan di daerah. Meskipun pemerintah telah beberapa kali merevisi UU No 22 Tahun 1999, menjadi UU No 32 Tahun 2004. Tapi UU itu telah kadung menjadi mesin provokator bangkitnya semangat berkuasa elite yang mau menempuh jalan pintas memanipulasi sentimen masyarakat lokal. Memaksakan pemekaran wilyah. Menjadi pintu masuk lahirnya aktor baru korupsi yang berselancar di atas kompensasi lisensi-lisensi potensi daerah. Didalam berbagai kajian ditemukan, kontestasi politik Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) menjadi bursa pemasaran hasil survei lembaga survei yang merangkap sebagai tim pemenangan. Mereka bekerja sistematis menawarkan hasil polesan “mantra” politik trisakti : popularitas (keterkenalan), elektabilitas (keterpilihan) dan akseptabiltas (keterterimaan) dari publik kepada publik. Metode survei pendapat masyarakat dikampanyekan sebagai cabang ilmu pengetahuan masyarakat moderen Dipaksakan melalui kampanye masif menggedor syaraf publik. Diboncengi ideologi baru “money politics” (politik uang). Sejak melembaganya kontestasi politik perebutan kekuasaan setiap ada Pilkada dan Pemilu era reformasi, telah terjadi peralihan lokasi aliran uang dari dunia ekonomi ke dunia politik. Jabatan politik laris manis dan diburu karena menjadi semacam kunci Inggris membuka pintu kemudahan mengalirnya upeti-upeti tak bernama. Efek lain yang muncul sebagai ekses produk “pembujuk-pembujuk tersembunyi” dapat dilihat merujuk tulisan Sarah Perucci yang disiarkan oleh Freedom House 2020 berjudul “Democracy And pluralism Are Under Assault” (Demokrasi Dan Keberagaman Sedang Diserang). Nampaknya apa yang terjadi di Indonesia, sepertinya terdapat benang merah dengan apa yang terjadi di negara lain. Menurut Perucci, “diktator bekerja keras untuk membasmi sisa-sisa perbedaan pendapat domestik, dan menyebarkan pengaruhnya yang berbahaya ke penjuru dunia yang baru”. Perucci yang juga Direktur Senior Riset dan Analisis Freedom House. Pada saat yang sama, banyak pemimpin yang dipilih secara bebas dan dramatis, mempersempit perhatian mereka ke interpretasi kepentingan nasional. Faktanya, para pemimpin seperti itu, termasuk kepala eksekutif Amerika Serikat dan India, dua negara demokrasi terbesar di dunia-semakin bersedia untuk mendobrak perlindungan institusional dan mengabaikan hak-hak kritik dan minoritas saat mereka mengejar agenda populis mereka. Kebrutalan rezim otokratis yang tidak terkendali dan kerusakan etika dari kekuatan demokrasi bergabung untuk membuat dunia semakin memusuhi tuntutan baru untuk pemerintahan yang lebih baik," ujar Perucci sambil menyebut , "bidang kemunduran yang paling umum, terjadi dalam fungsi pemerintahan, kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, dan aturan negara hukum." “Sejumlah gerakan protes warga baru yang mencolok telah muncul selama setahun terakhir. Yang mencerminkan keinginan universal yang tidak ada habisnya untuk hak-hak fundamental. Namun, gerakan-gerakan ini dalam banyak kasus menghadapi kepentingan yang mengakar kuat yang mampu menanggung tekanan yang cukup besar dan bersedia menggunakan kekuatan mematikan untuk mempertahankan kekuasaan," ujar Perucci. Protes tahun 2019 sejauh ini gagal menghentikan penurunan kebebasan global secara keseluruhan. Tanpa dukungan dan solidaritas yang lebih besar dari negara-negara demokrasi mapan, mereka cenderung menyerah pada pembalasan otoriter," sebut Perucci menutup tulisannya. Mau tidak mau apa yang disampaikan Mahfud MD dan Ghufron itu, mengingatkan publik pada pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang pernah menyebut “Pemodal cukup merogoh ongkos Rp 1 triliun untuk menguasai partai politik di Indonesia”. Menurut Bamsoet panggilan akrab mantan Ketua DPR RI itu, nominal itu berdasarkan pengalamannya selama berkiprah di dunia politik di Indonesia. “Semahal-mahalnya Rp1 Triliun sudah bisa menguasai partai politik, ini pengalaman. Boleh dibantah atau tidak, tapi inilah kenyataan sistem yang masih dipertahankan," ungkapnya pada pertengahan Februari yang lalu di Jakarta. Kasus pembegalan politik yang dialami penyanyi Pasha Ungu di Palu, Sulawesi Tengah dan keributan dalam proses Pilwalikota Makassar yang menyeruakan pemberitaan pengusiran pimpinan lembaga survei Polmark Eep Saifulloh oleh kliennya, Erwin Aksa ketua tim calon walikota Appi- Rahman menunjukkan bagaimana elemen “manipulasi” ikut menjadi sumber sengketa. Tidak jelas siapa yang memanipulasi siapa. Meskipun kasus ini masih gelap dan masih memerlukan klarifikasi dan tranparansi kedua belah pihak. Yang menjadi pertanyaan publik adalah, mengapa pernyataan Bamsoet serta Menko Polhukam dan pimpinan KPK hanya berhenti menjadi cerita belaka. Tapi hanya sebatas menjadi trending topik dalam forum seminar. Tidak terlihat adanya langkah konkret preventif berbentuk regulasi penindakan, untuk menghentikan operasi kriminal dan penjahat demokrasi yang bernama cukong. Kebaikan macam apa yang diperoleh rakyat dari negara yang dikelola melalui budaya percukongan? Sebuah sistem politik yang mematikan harapan. Rakyat hanya menjadi angka-angka elektoral pemimpin politik dari pemilu ke pemilu. Akan tahankah mereka, Rakyat itu? Ataukah pemerintah lebih memilih membiarkan topik itu menjadi bagian dari skenario pengalihan isu belaka. Lalu menyerahkan urusan ini ditangani gerakan masyarakat sipil yang dikenal dengan sebutan “parlemen jalanan” : yang selalu memenuhi panggilan sejarahnya ketika tuntutan perubahan sudah tak tertahankan? Wallahualam bishawab! Penulis dalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.