NASIONAL
Giliran Puan Versus Masyarakat Sumatera Barat
by M. RIzal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (04/09). "Semoga Sumatera Barat menjadi Provinsi yang mendukung Negara Pancasila". Begitu himbauan Puan Maharani saat mengumumkan rekomendasi PDIP pada pasangan Calon Gubernur (Cagub) Suametar Barat Mulyadi dan Ali Mukhni. Sontak ucapan Puan ini menimbulkan reaksi keras dari banyak pihak. Penyataan Puan dinilai sangat menyinggung, menyakiti perasaan masyarakat Sumatera Barat. Penyataan tersebut juga mengindikasikan kalau Puan telah meragukan kesetiaan masyarakat Sumatera Barat kepada Pancasila sebagai dasar negara. Bersamaan dengan itu, juga sangat merugikan pasangan Cagub yang diusung oleh PDIP sendiri. Menyinggung karena menganggap Sumatera Barat sebagai Provinsi yang tak setia atau tak mendukung Negara Pancasila. Padahal tokoh tokoh Sumatera Barat banyak yang menjadi loyalis, pejuang, bahkan perumus dasar negara Pancasila. Mohammad Hatta adalah Proklamator Negara Pancasila. Merugikan pasangan PDIP, karena menjadi beban berat bagi pasangan tersebut dimata pemilih atau rakyat Sumatera Barat. Pasangan PDIP bakal dimusuhi habis-habisan oleh banyak warga Sumatera Barat yang merasa dilecehkan oleh anak Ketum PDIP tersebut. Bukan mustahil bisa muncul "negative campaign" terhadap pasangan Cagub yang diusung oleh PDIP. Misalnya, akan muncul himbauan agar masyarakat Sumatera Barat silahkan pilih pasangan Cagub mana saja. Asal jangan pilih pasangan yang didukung oleh PDIP, karena pimpinan PDIP telah mengghina masyarakat Sumatera Barat. Puan bukan saja tidak taktis dalam memilih diksi sebagai politis sekelas Ketua DPR. Tetapi juga lucu, atau mungkin masih lugu sebagai politisi. Bisa juga belum matang, meski sudah menjadi Ketua DPR. Atau mungkin saja masih kelas, bahkan tipikal politisi karbitan dan kacangan. Apakah mungkin saja ada persoalan serius yang mengganjal atau perlu klarifikasi? Pancasila yang mana yang dimaksud oleh Puan? Sebab bila Pancasila yang kini diakui yaitu rumusan 18 Agustus 1945, maka warga Sumatera Barat tentu tidak diragukan loyalitasnya. Seperti uraian di atas, bahwa pendiri negara itu banyak dari kalangan tokoh Sumatera Barat. Nah, jangan-jangan yang dimaksud oleh Puan adalah Pancasila 1 Juni 1945. Pernyataan Puan ini tentu saja bukan hal mengada-ada. Ada basis argumen dan dasar pijakannya. Karena PDIP secara platform partainya memang berjuang untuk menegakan Pancasila 1 Juni 1945. Pada Pasal 10 butir g Anggaran Dasar PDIP berbunyi seperti ini : "mempengaruhi dan mengawasi jalannya penyelenggaraan negara agar senantiasa berdasarkan pada ideologi Pancasila 1 Juni 1945, UUD 1945 serta jalan Trisakti sebagai pedoman strategis dan tujuan kebijakan politik partai demi terwujudnya pemerintahan yang kuat dan efektif, bersih, dan berwibawa". Plaform Anggaran Dasar PDIP ini diperkuat oleh Pasal 6 sebagai aturan yang mendahuluinya. "(a) alat perjuangan guna membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945". Nah, jelas dan wajar jika muncul keraguan bahwa Pancasila yang diperjuangkan oleh PDIP beserta kader-kadernya adalah bukan Pancasila 18 Agustus 1945. Dalam keraguan seperti ini menjadi aneh jika Puan Maharani berharap pada masyarakat Sumbar agar menjadi pendukung Negara Pancasila. Kecuali jika Puan memaknai yang dimaksud adalah Pancasila 1 Juni 1945. Keceplosan atas "keluguan" atau "kelucuan" Puan ini mesti menjadi pelajaran bagi PDIP untuk berpolitik lebih konsisten dalam membela Pancasila. Bukan merasa yang paling ber-Pancasila dengan realita pemaknaan Pancasila yang kabur. Perlu evaluasi mendasar untuk meluruskan. Tanpa evaluasi dan koreksi PDIP akan menjadi sorotan sebagai partai yang perongrong Pancasila. Jadi, penilaian dari ucapan Puan bukan hanya melecehkan warga Sumatera Barat, dan merugikan pasangan PDIP, tetapi juga sikap yang merasa paling Pancasila di tengah upaya untuk pengaburan Pancasila. Megawati sang ibunda pernah menyebut saat ini kita tak perlu lagi memperdebatkan soal Pancasila. Setuju saja, jika itu adalah Pancasila 18 Agustus 1945, akan tetapi jika yang dimaksud dan diperjuangkan adalah Pancasila 1 Juni 1945, maka rakyat dan bangsa Indonesia harus dan wajib memperdebatkan dengan sekeras-kerasnya. Sekali lagi sekeras-kerasnya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Revolusi Beludru
by Zainal Bintang Sejarawan Lord Acton dalam suratnya kepada Mandell Creighton, tertanggal April 188, menulis, "Power tends to corrupt, and absolute power to corrupt absolutely" - orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, maka kecenderungan akan jahat itu semakin menjadi-jadi. Kejahatan paling buruk seorang pemimpin itu adalah apabila ia merasa sudah lebih dari orang lain. Menjadi manusia super, bahkan semidewa. Minta dipuja-puja, bahkan minta untuk dikultuskan. Jakarta FNN – Kamis (03/09). Pesan WhatsApp Denny JA masuk ke HP saya. Isinya rekaman video yang membahas topik “Penghianatan Kaum Intelektual”. Diberi pengantar teks dengan pertanyaan, “Apakah Intelektual Sudah Berkhianat? Salahkah Intelektual yang masuk ke dalam kekuasaan? Salahkah intelektual yang tak lagi peduli dengan riuh rendah ruang publik? 100 tahun setelah buku Julian Benda: Penghianatan Dunia Intelektual, kita menyaksikan perkembangan zaman yang berbeda”. Karya Benda yang dirujuk bung Denny JA judul aslinya dalam bahasa Perancis “La Trahison Des Clercs” (Penghianatan Kaum Intelektual). Terbit 1927. Diterjemahkan 1997. Drama pengkhianatan kaum intelektual atau cendekiawan adalah foto copy sejarah yang selalu terdaur ulang. Konsistensi komitmen intelektual dapat diukur ketika dirinya berani mengambil risiko mempertaruhkan nyawa untuk dan atas nama kepentingan (rakyat) yang lebih besar. Namun seiring dengan perjalanan waktu, daya tahan komitmen itu terus mengalami dinamika pasang surut manakala diuji oleh kemewahan dan kenyamanan yang ditawarkan kekuasaan. Tidak mudah melupakan sepotong kata magis dibaca Bung Karno dengan cepat mengguncang dunia abad ke 20. Teks proklamasi yang tertulis diatas sepotong kertas yang rada “kumal” : “….kami bangsa Indonesia, dengan ini….dan seterusnya dan seterusnya”. Kalimat pendek, tapi sakral itu dalam sekejap mengubah konstelasi kiblat kekuatan politik dunia internasional. Memori yang monumental ini muncul mendadak sesaat, ketika hari masih sangat pagi. Saya menjawab lewat hp seorang senior. Guru besar. Yang dikenal karena kepakarannya di bidang ekonomi. Mengeluhkan apa yang disebutnya “kondisi” tak menentu hari ini. Menyoal senyapnya suara anak muda kampus yang dinilainya tidak (lagi) sensitif dengan kondisi tanah air. Sang guru besar cemas dengan absennya kekuatan penggerak perubahan, kaum intelektual yang lagi tidak bunyi. Lewat proklamasi itu 75 tahun yang lalu, Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Bung Karno yang didampingi Bung Hatta dengan mantap penuh khidmat membaca teks itu di Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, 17 Agustus 1945. Didahului drama “penculikan” Soekarno-Hatta yang dikenal sebagai “Peristiwa Rengasdengklok”. Dilakukan oleh sejumlah pemuda. Diantaranya Soekarni, Wikana, Aidit dan Chaerul Saleh dari perkumpulan "Menteng 31". “Penculikan” itu berujung menjadi pendorong proklamasi kemerdekaan. Peristiwa bersejarah itu adalah fragmen konsistensi kaum intelektual terhadap komitmen pembebasan bangsanya dari belenggu penjajahan. Akan tetapi ketegaran keintelektualan tokoh proklamator itu berkelindan dan serap menyerap dengan gejolak darah generasi muda “sang penculik.” Seandainya tidak ada anak-anak muda itu yang nekat melakukan tindakan “penculikan”, tentu jalannya sejarah akan berbeda hari ini. Memang ada kekecewaan dari masyarakat setelah menyaksikan dan merasakan perjalanan sejarah keintelektualan dimana-mana , termasuk di Indonesia. Mencemaskan terkooptasinya independensi intelektual atau cendekiawan di dalam kekuatan kekuasaan. Mengulik pepatah lama yang menyebutkan, “honores mutant mores”, saat manusia mulai berkuasa, berubahlah pula tingkah lakunya. Maka itu, sejarawan Lord Acton dalam suratnya kepada Mandell Creighton, tertanggal April 188, menulis, "Power tends to corrupt, and absolute power to corrupt absolutely" - orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, maka kecenderungan akan jahat itu semakin menjadi-jadi. Kejahatan paling buruk seorang pemimpin itu adalah apabila ia merasa sudah lebih dari orang lain. Menjadi manusia super, bahkan semidewa. Juga minta dipuja-puja, bahkan minta untuk dikultuskan. Pada galibnya logika publik menjabarkan, kaum intelektual harus balik badan mengambil jarak untuk memelihara kemurnian cita-cita “clean government”. Suatu sikap yang ditujukan untuk mencegah praktik penyimpangan kekuasaan yang berselempang jubah konstitusi, mengatasnamakan bangsa dan negara. Jika diukur dari sisi jarak waktu terjadinya drama “Rengasdengklok” sampai kepada pembacaan Proklamasi di Pegangsaan Timur, itu memakan waktu kurang dari dua puluh empat jam. Jauh lebih cepat daripada waktu yang digunakan Vaclav Havel ketika memerdekakan Cekoslawakia tahun 1989. Melalui gerakan “Revolusi Beludru” (Velvet Revolution) kurang lebih empat puluh dua hari (17 November - 29 Desember 1989). Meskipun harus diakui, terbukanya ruang kemerdekaan bagi Indonesia disebabkan ada pengaruh eskalasi politik internasional, karena Jepang bertekuk lutut kepada sekutu setelah negerinya dibombardir bom atom di Hiroshima. Demikian juga yang dialami Cekoslawakia, pengaruh perang dingin dan perubahan kebijakan politik dalam negeri Uni Soviet oleh presiden barunya Gorbachev dengan memperkenalkan konsep glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi). Menelusuri sejumlah kajian terkait dengan kiprah Vaclac Havel, harus diakui namanya sampai hari ini selalu dikenang sebagai salah seorang tokoh intelektual yang terjun dalam pergerakan yang berhasil membebaskan negaranya dari penindasan kekuasaan pemerintahan Uni Soviet yang mencaplok Cekoslawakia sebagai Komandan Pakta Warsawa tahun 1968. Revolusi Beludru (Velvet Revolution) atau Revolusi Tenang yang digerakkan Havel adalah revolusi tanpa kekerasan. Sebuah jalan intelektual yang bersemangat revolusi (perlawanan) yang mendasari fikiran di dalam esai atau berbagai karya filsafat, maupun melalui jalan kesenian. Sesuai kodratnya sebagai seorang seniman, jalan intelektual yang substansial bertujuan menentang pemerintahan otoriter itulah yang dipilih dan berhasil. Keberhasilan revolusi (beludru) itu menjadikan Havel sebagai Presiden Cekoslovakia (1989-1992) yang ke-10 dan Presiden Republik Ceko yang pertama (1993-2003). Havel adalah penulis, politikus, dan dramawan Ceko. Ia menjadi sangat terkenal setelah menulis sebuah esai yang diberi judul “The Power Of The Powerless (Kekuatan Mereka yang Tidak Berdaya) Melukiskan rezim "normalisasi" Cekoslawakia paska 1968 sebagai sistem yang bangkrut yang bertumpu pada kebohongan yang menyeluruh. Memang menarik membahas topik “pengkhianatan intelektual” hari ini. Banyak yang menyebutkan jalan intelektual sebagai media perlawanan kritis terhadap kesewenang – wenangan pemerintah di era ini dirasakan telah mengalami distrosi nilai. Di era pemerintahan SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) tahun 2005 pernah juga terjadi “geger inetelektual”. Pro kontra yang tajam antara intelektual non pemerintahan dengan intelektual pendukung kekuasaan terkait adanya iklan kebijakan pemerintah soal pencabutan subsisdi BBM. Kalangan intelektual “bebas” kekuasaan menganggap kebijakan itu merugikan rakyat. Apalah arti sebuah nama. Seperti kata William Shakesepeare What’s in a name? “That which we call a rose. By any other name would smell as sweet”. Dalam cerita love story yang melegenda “Romeo & Juliet”, Shakespeare mengatakan : “bunga mawar itu kalaupun diberi nama selain mawar, bau wanginya akan tetap sama”. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Membedah Dan Memetik Buah Amandemen UUD 1945 (Bagian-2)
by Mayjen TNI (Purn) Prijanto Jakarta FNN – Kamis (03/09). Pembatasan. Untuk membedakan dan mempermudah, maka dalam artikel berseri ini, hasil amandemen UUD 1945, kita sebut dengan UUD 2002. Baca membedah dan memetik buah amandemen UUD 1945 (1) : “Veteran Komisi Konstitusi Turun Gunung” (Google). Setelah Veteran Komisi Konstitusi Prof. Dr. Tjipta Lesmana, Prof. Dr. Maria Farida Indrati, dan Dr. Laode Ida bicara dalam Webinar Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI)-Panji Masyarakat, 18/8/2020, tak ketinggalan generasi muda ikut bicara. “Generasi muda seperti Anton Permana cs Turun Gunung”. Apa kata mereka? Dr. H. Anton Permana, S.IP, MH, Ketua FKPPI Batam, Alumni Lemhannas RI PPRA 58 Th. 2018. Anton Permana, melecutkan pikirannya atas situasi negara selepas kursus Lemhannas. Tulisannya aktual, tajam, menggelitik dan mengena. Namanya melejit, favorit nitizen bak selebriti. Sampai-sampai ada satu artikel, sehingga Biro Humas Settama Lemhannas membuat penjelasan, bahwa tulisannya tidak ada hubungannya dengan Lemhannas. Anton menyampaikan masalah : (1) Kedaulatan rakyat (2) Presiden orang Indonesia asli, dan (3) Kesejahteraan sosial, khususnya pengelolaan sumber kekayaan alam. Identifikasi persoalannya tepat. Pokok bahasannya sama dengan pembicara sebelumnya, para Veteran Komisi Konstitusi. Apakah Anton membebek pembicara terdahulu? Tidak mungkin, sebab Anton menjelaskan menggunakan slide yang sudah disiapkan. Artinya, tiga pokok bahasan itulah yang di mata para pembicara sebagai masalah bangsa yang penting untuk dibahas. Masalah kedaulatan rakyat Anton Permana berpendapat saat ini : (1) Rakyat sudah kehilangan kedaulatannya. (2) Demokrasi seharusnya sesuai nilai Pancasila berubah menjadi demokrasi liberal (3) Kedaulatan rakyat cenderung berubah menjadi kedaulatan partai politik, sehingga terbentuklah oligarki. (4) Indonesia dari negara hukum cenderung menjadi negara kekuasaan. (5) Negara berdasarkan Pancasila cenderung menjadi negara individualistis, kapitalis dan liberalis (6) Negara kesatuan cenderung menjadi semi federal, sistem presidensial menjadi semi parlementer dan negara kebangsaan cenderung menjadi negara korporasi. Masalah Presiden orang Indonesia asli (pribumi), Anton sependapat, Presiden harus orang Indonesia asli. Sebab dalam konstruksi konstitusi negara, kita kita kenal adanya suku bangsa, negara dan pemerintah. Sedang pribumi atau orang Indonesia asli inilah identitas kebangsaan negara kita. Jati diri kita sebagai bangsa. Pendapat Anton sangat beralasan. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) saja mengakui hak-hak pribumi, tentang hak kedaulatan politik, ekonomi dan kebudayaan. Mengapa kita mesti alergi dengan pribumi? Apabila tidak kita kunci dari sekarang, maka anasir asing akan langkah tegap menguasai Indonesia tanpa harus menduduki. Masalah kesejahteraan sosial, terkait Pasal 33 ayat (4) UUD 2002, Anton sejalan dengan Prof. Tjipta Lesmana dan Dr. Laode Ida. Ayat ini telah membuat liberalisasi ekonomi, ketidakmandirian dalam pengelolaan sumber kekayaan alam dan pemiskinan negara kita. Perubahan UUD 1945, Pasal 1 ayat (2) tentang kedaulatan rakyat, Pasal 6 tentang Presiden orang Indonesia asli dan Pasal 33 ayat (4), akan membawa Indonesia menuju neo leberalisme, neo kolonialisme dan neo komunisme. Penekanan dan pentingnya kewaspadaan terhadap bahaya neo komunisme, sebagai penutup pendapat Anton. Ir. Heppy Trenggono, President of Indonesian Islamic Business Forum, Inisiator Gerakan Beli Indonesia. Sejak awal, Heppy Trenggono mengaku betapa sulit mengajak kembali ke UUD 1945. Amien Rais pernah menyampaikan kepada dirinya, bahwa kita itu dijajah tanpa senjata karena Undang-undang Dasar dan sebagainya. Amien mengutip sebuah buku, yang menurut Heppy seperti penyesalan. Setelah sekian tahun, menjelang Pilpres 2019 bertemu lagi, Heppy berbicara perlunya tokoh yang bisa membawa kembali ke UUD 1945, tetapi, Amien Rais mengatakan, “mas, kalau itu saya bertahan”. Jadi Amien Rais masih meyakini amandemen itu benar. Heppy berpendapat, Undang-undang Dasar itu cara mencapai cita-cita sebagai bangsa. Kita itu akan dan mau kemana? Sejak reformasi, dengan UUD 2002, kita semakin jauh dari cita-cita, kata Heppy. Ada 3 (tiga) hambatan yang disorotinya. Pertama, semakin jauh dari cita-cita untuk adil dan makmur. Masyarakat tersingkir dari partisipasi ekonomi. Petani tidak tahu apa yang harus ditanam. Sentra ekonomi mati. Jualan di pasar tergusur. Tukang ojek pun tergusur ojek online yang berbasis kapitalisme. Kedua, figur pemimpin di semua tingkat, kualitasnya memprihatinkan, akibat kapitalisme dalam proses rekrutmen pemimpin dengan biaya tinggi. Pembangunan karakter nyaris tidak terjadi. “One man, one vote” walau nabrak nilai-nilai Pancasila tetap dipertahankan. Ketiga, kepemimpin tidak berkualitas, berakibat tidak sensitif terhadap ancaman kedaulatan. Tidak ngerti ancaman komunisme, ancaman China dan dari luar lainnya karena ledakan penduduk dan pencari sumber daya alam. Semua bangsa di dunia itu tahu “Red Peril” dan “Yellow Peril” itu apa? Balik kita, tanya Heppy menutup pendapatnya. Samuel Lengkey, SH, MH, Advokat & Konsultan Hukum. Samuel Lengkey yang menggeluti filsafat, hukum, politik dan lintas agama. Pikirannya cenderung akademis dan realistis. Kata Samuel, perdebatan kembali ke UUD 1945, sulit dicerna masyarakat. Masyarakat menjadi paranoid, seolah-olah kembali ke masa lalu. Padahal, selama ini UUD 1945 belum pernah dilaksanakan secara benar. Lalu bagaimana caranya? Kita harus masuk ruang pemikiran “the founding fathers” untuk memahami pengalaman dan pengetahuan yang dipaparkan dalam sidang BPUPKI-PPKI. Karena Bapak Bangsa Indonesia itu lebih tahu bagaimana membentuk negara ini, yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Dengan membaca risalah sidang BPUPKI-PPKI, kita gali pemikiran Bapak Bangsa Indonesia. Kita bisa melihat historinya, cakrawala peradaban, kekayaan intelektual dan kekhawatiran di masa depan “the founding fathers”, sehingga kita bisa merasakannya. Melalui proses kontekstualisasi dan rasionalisasi, kita bisa menyempurnakan UUD 1945 dengan cara adendum, untuk menyongsong masa depan. Sehingga nilai-nilai, cita-cita dan tujuan didirikannya Indonesia Merdeka tetap lestari. Tetap abadi ke depan. Buah amandemen ini bak buah terlarang yang dimakan Siti Hawa, sehingga Adam dan Siti Hawa keluar dari sorga. Buah amandemen dengan pemilihan presiden secara langsung telah memecah belah bangsa. Ditambah Pilkada langsung yang bikin cerai-berai. Apakah masih kita pertahankan? tanya Samuel Lengkey menutup pendapatnya. Tidak hanya Veteran Komisi Konstitusi dan Genersi Muda yang bicara amandemen UUD 1945. Senior Pejuang pun ikut bicara. Apa kata mereka, silakan baca “Membedah dan Memetik Buah Amandemen UUD 1945 (3) : “Apa Kata Senior Pejuang?”. Semoga bermanfaat, amin. (bersambung). Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Kebebasan Pers Kian Terancam
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Kamis (03/08). Tanpa pers yang bebas, negara tidak bisa disebut sebagai demokratis. Itu prasyarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar. Kebebasan pers dan demokrasi adalah dua sisi mata uang. Tidak bisa dipisahkan. Tanpa itu, sebuah negara jelas bukanlah negara demokratis. Kalau toh tetap mengklaim, ngaku-ngaku sebagai negara demokratis, kualifikasinya adalah pseudo democracy. Demokrasi semu. Dari sisi itu tanda-tanda Indonesia menjadi demokrasi semu, kian kuat. Tim Lindsay, seorang akademisi dan peneliti dari Universitas Melbourne, Australia malah menilai Indonesia di bawah rezim Jokowi telah berubah menjadi “Neo New Order.” Penilaian semacam itu merupakan sebuah ironi. Neo Orde Baru, mengacu pada pemerintahan otoriter Indonesia di bawah rezim Soeharto selama 32 tahun. Sementara Indonesia harusnya jauh lebih maju dalam praktik demokrasi. Era Reformasi sudah memasuki dua dasa warsa (21 tahun). Harus lebih mapan dan dewasa secara demokrasi. Rabu (2/9) malam di sejumlah platform pertemanan heboh. Tulisan akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun di tempo.co tiba-tiba menghilang. Tak bisa dibuka. Tulisan tersebut semula tampil di kolom opini dengan judul “Kejahatan Besar Sedang terjadi di Indonesia.” Ubed, begitu biasa dipanggil menyoroti secara tajam dan keras berbagai praktik penyimpangan dalam kepemimpinan Jokowi. Namun ketika tautan kolom itu dibuka, opini Ubed menghilang. Tidak bisa dibuka. Keterangan yang muncul : Page Not found. Sorry you have accesed a page that does not exist or was moved. Halaman tidak ditemukan. Akses halaman sudah tidak ada, atau dipindahkan. Beberapa saat kemudian artikel tersebut muncul kembali di kolom “Indonesiana.” Judulnya sudah berubah menjadi “Persoalan Besar Sedang Terjadi di Indonesia.” Tempo Ditekan? Menghilangnya dan kemudian dipindahkan artikel Ubed dari Kolom Opini ke kolom Indonesiana, menimbulkan tanda tanya. Pasti sedang terjadi “apa-apa” pada Tempo.co Kolom opini adalah halaman resmi dari media. Diisi oleh para penulis opini yang kredibel. Memenuhi standar, value media yang bersangkutan. Tulisan bisa datang dari si penulis, atau atas permintaan redaksi. Secara hukum media ikut bertanggung jawab atas publikasi opini tersebut. Sementara kolom Indonesiana masuk dalam kategori user generated content. Sebuah platform yang disediakan oleh media online untuk menarik dan menampung tulisan pembaca. Mereka bebas menulis, memilih topik apapun dan mengunggahnya. Ada yang melalui moderasi redaksi. Tapi banyak pula yang bebas tanpa moderasi. Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konsekuensi hukum dari konten tersebut. Sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengunggah. Tulisan-tulisan tersebut juga bisa dimuat di berbagai media lain, tanpa hak eksklusif. Jadi bebas merdeka! Satu catatan lagi. Pada kolom opini, si penulis mendapat honorarium dari media. Pada user generated content tidak disediakan honor. Gratis! Biasanya para penulis pemula banyak memanfaatkan fitur ini. Namun banyak juga penulis senior yang memanfaatkannya, sebagai outlet untuk menyebarkan pikiran dan pendapatnya tentang berbagai hal. Dengan muncul di kolom opini, sesungguhnya tulisan Ubed tidak masuk dalam kategori user generated content. Bahwa kemudian artikel tersebut dipindahkan ke tempat yang “lebih aman” menunjukkan tempo.co dalam tekanan. Penjelasan redaksi tempo.co bahwa artikel tersebut “lebih cocok di sana” tidak cukup memadai. Spekulasi semacam itu tidak bisa dihindari. Publik pasti tidak percaya. Cukup diterima dengan senyum, sembari mencoba memakluminya. tempo.co bersama tirto.id beberapa pekan lalu menjadi pembicaraan publik . Situsnya diretas dan tampilannya diubah oleh hacker. Serangan terhadap tempo.co dan tirto.id diduga erat kaitannya dengan sikap kritis kedua media terhadap berbagai kebijakan pemerintah di masa pandemi. Tempo Group belakangan sangat kritis menyoroti kegagalan pemerintahan Jokowi menangani pandemi Covid-19. Mereka juga menyoroti penggunaan influencer dan buzzer yang menghabiskan anggaran negara. Sementara tirto.id menyoroti langkah TNI AD dan BIN yang bekerjasama dengan Universitas Airlangga menemukan “obat” Covid-19. Apakah diubah dan digesernya kolom Ubed di tempo.co karena tekanan pemerintah? Atau karena self censorship dari internal redaksi? Dua-duanya menunjukkan semakin tidak bebasnya pers di Indonesia. Masih mau mengklaim pers Indonesia bebas? Masih mau menepuk dada bahwa Indonesia adalah negara demokratis? End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO
Ruhut Tuduh Umat Islam Merongrong Pemerintah?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (03/09). Ruhut Sutompul muncul lagi, horeee. Cuma saja kali ini Ruhut tidak lagi minta atau menantang bertarung dengan jaminan potong kupingnya kalau kalah bertarung. Seperti yang diumbar-umbar Ruhut ketika ingin mempertahankan sipenista Agama Islam Ahok bertarung di Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2017 lalu. Kemunculan Ruhut kali ini hanya untuk menggambarkan kondisi dan peta politik nasional kekinian. Huebat kan Ruhut? Menurut gambaran politik Ruhut, tiga kelompok yang sekarang merongrong pemerintahan Jokowi. Ada kelompok Din Syamsuddin, kelompok 212, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Wuiiiih, huebat sekali analisanya Ruhut, he he he. Ruhut menyatakan siap berjuang untuk Jokowi habis habisan. Tunggu perintah dari bossnya, Megawati. Jadinya sekarang tiga kelompok lawan tiga Ruhut. Rehut pertama adalah Ruhut PDIP, Ruhut kedua adalah Ruhut Demokrat, dan Ruhut ketiga adalah Ruhut Golkar. Mati-matian sekarang Ruhut membela PDIP, serasa kader "aseli". Ruhut bukan lagi kader PDIP indekost atau imigran. Sama seperti dulu ketiks Rhut menjadi kader paling Demokrat dan paling Golkar. Walaupun demikian, wajarlah memang, kondisi bangsa ini sedang dilanda “politik angin anginan, politik jilat-menjilat dan politik mencari selamat kepada kekuasaan". Kemana angin bergerak ke situ sang oknum berpijak eh berpihak. Lagi musimnya mencari sandaran untuk merapat ke penguasa. Kebetulan penguasa juga lagi membutuhkan pelampung penyelamat untuk menyelamatkan kapal yang hampir tenggelam di tengah badai dan ombak besar. Mengerikan budaya politik menjilat yang tengah melanda bangsa ini dengan dahsyatnya. Seperti serasan para demang yang sedang membela penguasa kumpeni. Tidak peduli tingkat kejahatannya seperti apa? Termasuk menindas bangsanya sendiri. Persetan dengan harga diri, karena yang penting adalah “diri ada harga". Mau menjadi "buzzer" atau "influencer" sama saja. Yang jelas semua ada pembina yang mengorder. Sentimen kepada oposisi atau Islam kah tuan Ruhut sekarang ini ? Sebab Ruhut sebut Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) kelompok Din Syamsuddin yang tokoh Islam. Ruhut juga menyebut 212 juga aksi umat Islam terhadap penista agama Ahok. Lalu HTI juga pergerakan Islam. Apakah Ruhut mau bicara dan menyatakan bahwa yang merongrong pemerintahan Jokowi-Ma'ruf itu adalah umat Islam? Kalau itu yang hendak dimaui oleh Ruhut, maka mungkin saja umat Islam akan memberikan predikat kepada Ruhut sebagai "musuh besar umat" hari ini. Jika demikian adanya, maka umat Islam tentu saja sangat siap untuk menghadapi apa saja yang dimaui oleh Ruhut. Bertarung di semua lini pun boleh. Toh, cuma sekedar menghadapi seorang Ruhut ini. Sebagai orang yang mengerti hukum, tentu Ruhut faham bahwa menyebut Din Syamsudin dan kelompoknya sebagai perongrong Pemerintah itu harus dibuktikan. Jika tidak, maka berbalik menjadi delik yang menjerat Ruhut. Delik fitnah dan pencemaran. Lalu benarkah Pemerintah merasa terongrong ? Mahfudz, Luhut, Moeldoko atau "tokoh" Pemerintah lainnya pada diam, dan tidak ada ungkapan merasa terongrong. Lagi pula apakah agar tidak terongrong, maka Pemerintah tidak boleh dikritik ? Suara beda dibungkam dan semua harus menurut patuh pada Pemerintah? Of course, no. Pemimpin yang tidak kompeten tidak boleh dibiarkan. Apalagi sewenang-wenang menguras kekayaan negara dan memeras warga negara. Hancur bangsa jika tidak ada pengawasan dan koreksi. Ruhut mesti sadar bahwa negara ini sedang sakit. Mungkin juga sekarat. Kondisi ini terjadi sekarang disebabkan oleh merajalelanya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Juga tingginya tingkat kesenjangan sosial, serta negara yang dikuasai kepentingan asing dan aseng. Benar bahwa "covid 19" merupakan ancaman bagi semua, baik pemimpin maupun rakyat. Tetapi pemimpin "stupid" adalah penyakit yang jauh lebih berbahaya. Ruhut boleh saja memetakan berdasarkan asumsi sendiri tentang kelompok yang merongrong pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, tetapi rakyat, khususnya umat Islam juga dapat memetakan dan mencatat dimana Ruhut Sitompul berada. Tak ada kekuasaan yang abadi. Kita lihat saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pemerintahan Jokowi Semakin Rapuh
by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum Jakarta FNN – Rabu (02/090. Fokus, sekali lagi fokus, teridentifikasi menjadi ciri paling menonjol pada setiap pemerintahan yang sedang dililit masalah-masalah krusial. Tahu penyebab terbesar dari masalah yang melilit negara, lalu menemukan pemecahan yang tepat. Begitulah yang ditampilkan oleh berbagai pemerintahan di dunia. Indonesia maupun di dunia Internasional menunjukannya. Tidak bisa diluar itu. Bekerja di luar kerangka itu, dipastikan masalah semakin tambah membesar. Pemerintahan akan rapuh dan semakin rapuh. Pemerintahan jenis ini akan menemui akhir yang menyakitkan. Pemerintahan Jokowi hari-hari ini terlihat sedang dan terus mengalami kerapuhan itu. Dari waktu ke waktu terlihat semakin dalam. Dari waktu ke waktu pemerintah ini terlihat sulit menemukan fokus permasalahan untuk menyelesaikan masalah. Faktual Sulit Yakinkan Rakyat Sri Mulyani Lempar Penyelesaian DIPA PEN ke Komite Covid-19. Ini judul berita CNN Indonesia tanggal 26/8/2020. Di dalamnya diuraikan, saya kutip secara lengkap. "PEN yang belum ada DIPA ditangani oleh Pak Menko, Pak Erick (Ketua Pelaksana Penanganan Covid-19 dan PEN), dan BNPB (Doni Monardo). Tapi kami dari Kemenkeu bantu sepenuhnya yang butuh tambahan DIPA," ujar Ani, sapaan akrabnya, saat konferensi pers virtual APBN Kita, Selasa (25/8). Dari pagu itu, Ibu Menteri ini menambahkan anggaran yang sudah terpakai baru mencapai Rp. 174,79 triliun per 19 Agustus 2020. Jumlah itu setara 25,1 persen dari pagu anggaran (Lihat CNN Indonesia, 26/8/2020). Sangat menarik. Siapa yang menurut hukum keuangan negara menyediakan DIPA? Diseberang dekat dengan Ibu Menteri, CNN Indonesia melansir pernyataan Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Airlangga mengatakan realisasi penyerapan dana penanganan pandemi virus corona baru Rp. 182,55 triliun per 26 Agustus 2020. Ini artinya, pemerintah baru menggunakan dana tersebut sebesar 26,2 persen dari total alokasi yang sebesar Rp. 695,2 triliun. Dijelaskan lebih jauh "perkembangan sampai dengan hari ini 26 Agustus 2020 realisasi anggaran dari enam kelompok program PEN mencapai Rp. 182,55 triliun atau 26,2 persen," ungkap Airlangga dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (26/2). Ia menjelaskan realisasi penyerapan meningkat cukup signifikan dari Juli dan Agustus 2020. Tercatat, penyerapan pada akhir semester I 2020 sebesar Rp. 124,62 triliun. Kemudian, total penyerapan pada Juli 2020 naik menjadi Rp. 147,67 triliun. Kami, Airlangga menambahkan, ingin memastikan bahwa semua alokasi anggaran sudah ada programnya. Sudah bisa dipastikan realisasinya. Kalau ada program yang berpotensi tidak terealisasi dan tidak terserap anggarannya, kami sudah siapkan beberapa usulan program baru dengan kriteria yang berdampak signifikan terhadap ekonomi. (Lihat CNN Indonesia, 26/8/2020). Begitulah postur otoritatif pemerintahan Jokowi mengelola anggaran corona dan pemulihan ekonomi nasional. Postur ini terlihat menjadi penyumbang terbesar Indonesia berada pada keadaan yang benar-benar tidak produktif. Hari demi hari, semakin menyusahkan. Resesi ekonomi menanti dengan pasti. Pemerintah tak bisa lagi menemukan argumen manis untuk meyakinkan rakyat. Keadaan ekonomi nyata yang begitu pahit, tak mungkin dilukiskan dengan kata-kata manis, apalagi optimisme. Kata para ekonom keadaan ekonom, postur ekonomi pada triwulan ketiga ini benar-benar menakutkan. Ditengah kenyataan itu, muncul lagi kenyataan lain yang tidak kalah pahit sekaligus merobek-robek akal sehat. Pertamina, perusahaan negara itu menderita kerugian sebesar Rp 11 triliun lebih. Pertamina memang sempat menyodorkan argumen justifikatif terhadap kenyataan itu. Sayangnya argumen Pertamina terlalu rapuh. Bahkan konyol untuk dapat diyakini oleh masyarakat. Beli minyak dengan harga murah, lalu jual dengan harga mahal, tetapi rugi, jelas tidak bisa diterangkan dengan logis. Tidak ada nalar yang dapat menerimanya. Begitulah postur faktual pemerintahan saat ini. Hanguskan Harapan Untuk Bangkit Apakah DIPA belum tercetak merupakan akibat dari kebijakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang lainnya? Apakah DIPA belum tercetak, sehingga anggaran tidak bisa digunakan? Menggambarkan negara ini tidak punya uang? Tidakkah DIPA memiliki basis atau hanya dapat dirancang setelah program dan kegiatan tuntas tersedia? DIPA tidak pernah tidak berbasis program dan kegiatan kementerian atau lembaga atau Gugus Tugas, atau apapun itu. Itu sebabnya soal ini, tidak bisa dipecahkan dengan mengubah UU BI, OJK dan sejenisnya. Untuk alasan apapun, DIPA sama sekali tidak ada kaitannya dengan sistem keuangan. Tidak ada kaitannya dengan nilai tukar mata uang. DIPA selalu merupakan masalah teknis. Apa programnya, dan apa kegiatan dalam program itu. Itulah DIPA. Program dan kegiatan yang di-DIPA-kan inilah yang dibiayai dengan APBN. Membiayai program dan kegiatan itulah cara anggaran diserap, dibelanjakan atau digunakan. Praktis, serapan anggaran tidak ada kaitannya dengan sistem nilai tukar. Tidak ada hubungannya dengan jual-beli SUN. Ketidakmampuan menyediakan DIPA, tidak dapat disiasati dengan menyebar isu resufle misalnya. Soal ini juga tak dapat diatasi dengan menyebarkan berita-berita propaganda tentang ini dan itu. Sama sekali tidak. Melokalisir masalah dengan cara itu justru semakin menelanjangi kerapuhan pemerintahan ini. Ditengah keadaan sebagian DIPA belum tersedia, Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan membagi-bagi pulsa untuk PNS yang bekerja dari rumah. Ini menarik. Mengapa? DIPA kementerian mana atau pada bagian mana pada DIPA Komite Penanganan corona dan PEN yang menyediakan kegiatan seperti itu? Akankah kebijakan ini bekerja segera setelah keputusan dibuat atau akan sama dengan kebijakan subsidi terhadap pekerja berpendapatan dibawah lima juta? Pekerja yang sampai saat ini datanya belum benar-benar tersedia? Sampai saat ini pemerintah melalui Menteri Erick Tohir masih meminta bantuan pengusaha menyetor nama calon penerima BLT. Termasuk mengimbau pekerja yang layak mendapat BLT, tetapi tdak punya rekening agar segera membuat rekening bank (CNN Indonesia, 2/9/2020). Terlalu rapuh, kebijakan telah diresmikan dan dilaksanakan, tetapi data yang diperlukannya belum juga tersedia utuh. Dilansir CNN Indonesia, (2/9/2020), sejauh ini baru 1,9 juta pekerja yang menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Menariknya di tengah keadaan itu, pemerintah juga memproyeksi calon pekerja yang layak mendapat BLT. Kerapuhan dan tertatih-tatih, tanda lain dari pemerintah yang kehabisan gagasan. Kondisi itu semakin jelas menandai pemerintah ini. Tidak menyenangkan, bahkan mengkhawatirkan. Mengapa? Dalam kenyataannya corona terlihat belum akan berdamai dengan manusia dalam waktu dekat. Proyeksi pemerintah tentang penyediaan vaksin, sejauh yang dapat diverifikasi efektif tersedia dan direalisasikan pada awal 2021. Logikanya, tiga hingga empat bulan kedepan, Indonesia belum bisa keluar dengan leluasa dari lilitan corona. Efek mematikan ekonomipun akan terus menakutkan. Presiden harus menemukan, selain style baru kebijakan. Juga fokus dalam rincian. Jernih harus pandai dan membaca gelagat masalah juga mutlak dilakukan Presiden. Sebab Presiden harus dilarang untuk menutupi kerapuhan pemerintahan dengan cara-cara yang ditawarkan demokrasi urakan (menyebar isu, mengkapitalisasi isu-isu kecil). Itu sangat tak bermutu dan amatiran. Juga tidak berkelas sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Cara itu justru semakin mempercepat bangsa ini tenggelam dalam masalah. Model itu terlalu kuno dan konyol untuk kondisi sekarang. Temukan fokus dan kebijakan yang rinci, supaya akan menjadi air yang mendinginkan kenyataan panasnya ekonomi. Apalagi fakta ekonomi yang kini kian menghanguskan kearifan. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Kejahatan Besar Sedang Terjadi di Indonesia
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Rabu (202/09). Pada September 2019 lalu ratusan ribu mahasiswa, buruh dan rakyat jelata demonstrasi besar menolak pelemahan KPK. Hingga kini ada dua mahasiswa yang ditembak mati dalam demonstrasi tidak jelas proses hukumnya. Siapa saja pelaku penembakan? Masih kabur sampai sekarang. Nyawa mahasiswa seperti sampah yang tidak ada harganya di negeri ini. Tadinya saya mengira langkah-langkah jahat rezim seperti ini tidak lagi terjadi di Republik ini. Sebagai akademisi, saya berharap republik ini makin membaik menjalankan roda negara ke jalur demokrasi yang benar untuk membawa rakyat sejahtera. Negara yang menjunjung tinggi keadilan, menjunjung tinggi kemanusiaan, dan merawat harmoni. Namun semua perkiraan saya rupanya meleset. Hari demi hari harapan itu pupus seiring langkah rezim eksekutif berkolaborasi dengan rezim legislatif melakukan kejahatan sistemik. Kejahatan yang dibingkai regulasi, itulah kejahatan besar hari ini. Sebab secara sistemik kejahatan besar tersebut berbahaya bagi masa depan demokrasi. Berbahaya untuk masa depan kesejahteraan rakyat, masa depan keadilan, dan masa depan harmoni sosial kita sebagai bangsa. Saya mencatat, dalam waktu singkat kejahatan besar ini semakin sempurna. Kejahatan yang membawa republik ini ke arah jurang negara yang akan menyengsarakan rakyat dimasa depan. Merusak rantai dan tatanan demokrasi, serta membuat rakyat menderita ke depan. Secara akademik, kejahatan besar tersebut mesti dibuka. Harus dibongkar dengan argumen faktual, teoritik maupun dasar konstitusional yang kokoh. Setidaknya ada empat sektor kejahatan besar yang sudah dan sedang dilakukan oleh rezim saat ini. Diantaranya kejahatan dalam bidang Sosial Ekonomi, Sumber Daya Alam, Hukum, dan Politik. Namun demi efektifitas, narasi empat kejahatan tersebut hanya diurai pokok-pokoknya saja. Kejahatan Sosial Ekonomi Pemaksaan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah bersama DPR. RUU Omnibus Law ini adalah kejahatan besar yang sangat menyolok dibidang sosial ekonomi. Selain prosedurnya yang minim pelibatan publik, korbannya akan menimpa pada jutaan buruh dan jutaan generasi milenial. Padahal mereka penentu masa depan republik ini. Pemerintah dan DPR terlihat tutup mata, tutup telinga dan tutup nurani terhadap masa depan dan penderitaan buruh. Juga terhadap masa depan generasi milenial. Soal yang tidak kalah pentingnya adalah kelestarian lingkungan yang berdampak pada jutaan rakyat jelata. Selain RUU Omnibus Law, pemerintah dan DPR juga sebelumnya menyetujui Perpu No 1 tahun 2020 menjadi Undang-Undang No 2 tahun 2020. UU yang hanya untuk menguntungkan oligarki, dan memberikan kekebalan pada semua kebijakan ekonomi pemerintah. Padahal meskipun bertentangan dengan UU Keuangan Negara, ugal-ugalan, dan pada akhirnya merugikan rakyat banyak. Rencana pembentukan Dewan Moneter yang diketuai Menteri Keuangan juga bentuk kejahatan baru. Bersembunyi dibalik regulasi. Saat ini sedang dibahas di DPR untuk merevisi Undang-Undang Bank Indonesia (BI). Pemerintah terlihat ngotot agar Dewan Moneter dibentuk dengan kekuasaan dan wewenangnya di atas Bank Indonesia (BI). Dewan Moneter harus memiliki kekuasaan mengontrol Bank Indonesia. Ini bentuk kejahatan yang direncanakan oleh penguasa. Padahal bertentangan dengan UUD 1945 pasal 23 yang didalamnya memuat tentang Bank Sentral dan Independensi BI yang tidak boleh dikendalikan oleh siapapun. Kejahatan Sumber Daya Alam DPR dan Pemerintah ditengah situasi Covid-19 mengesahkan UU Minerba (Mineral dan Batu Bara) Nomor 3 Tahun 2020. Undang-Undang ini merugikan rakyat banyak. Juga mempreteli kewenangan daerah. Hanya menguntungkan oligarki ekonomi, mengaibaikan otoritas tanah adat, dan merusak lingkungan. Mengapa? Ini terkait dengan sentralisasi izin pertambangan dan lain-lain yang ada dalam undang-undang tersebut. Daya rusak UU ini sangat luar biasa. Kejahatan menggunakan UU. Urusan tata kelola sumberdaya alam yang buruk akan semakin bertambah buruk. Korbannya pasti rakyat. Rakyatlah banyak yang akan dirugikan. Contoh BUMN yang mengelola sumber daya alam (BBM) dan bermasalah adalah Pertamina. Sebuah BUMN yang diandalkan, ternyata telah melakukan kesalahan besar yang berdampak pada kerugian triliunan rupiah. Kesalahan besar Pertamina tersebut terjadi karena kepentingan oligarki. Misalnya terjebak dalam beban keuangan Signature Bonus (SB) Blok Rokan Rp. 11,3 triliun. Membeli crude domestic dengan harga mahal Rp 9,25 triliun, sampai biaya bunga akibat kebijakan populis jelang Pilpres 2019 lalu dengan nilai Rp 3 tiriliun. Akibat semua itu Pertamina harus menanggung beban keuangan sekitar Rp 23,55 triliun. Ujungnya Pertamina harus merugi lebih dari Rp 11,13 triliun. Kejahatan Hukum Tata Negara Lagi, pola rezim eksekutif dan legislatif menetapkan Undang-undang secara sembunyi-sembunyi disaat Covid-19. Kali ini tidak kalah bahayanya karena menyangkut tata kelola negara di bidang kekuasaan yudikatif, khususnya soal Mahkamah Konstitusi (MK). Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah diam-diam telah mengesahkan RUU Mahkamah Konstitusi menjadi undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dalam rapat paripurna DPR pada Selasa, 1 September 2020. Prosesnya berlangsung tertutup tanpa melibatkan partisipasi publik secara luas. UU MK tersebut bermasalah bukan hanya dari segi prosedurnya. Tetapi materinya juga tidak substantif. Tak mendesak dan terlihat sarat kepentingan politik. Buru-buru disahkan saat kebanyakan rakyat sibuk atasi dampak sosial ekonomi akibat Covid-19. Saat rakyat sedang menderita, saat rakyat sedang lapar. Diantara isinya yang bermasalah adalah soal penghapusan periodesasi jabatan, perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga usia pensiun 70 tahun, serta masa jabatan ketua dan wakil ketua MK. Ini mirip barter jabatan untuk para hakim MK yang saat ini menjabat. Ini bisa berdampak pada independensi hakim MK dalam memutus perkara dikemudian hari. Sejumlah UU dan RUU bermasalah dari DPR dan pemerintah seperti UU KPK, UU Keuangan Negara untuk Covid-19, UU Minerba serta RUU Omnibuslaw Cipta Kerja yang berpotensi diujikan ke MK akan dengan mudah diputuskan hakim MK demi memuluskan kepentingan oligarki politik dan oligarki ekonomi. Bentuk kejahatan yang sangat luar biasa bahanya untuk keselamatan negara. Kejahatan Politik Kejahatan besar politik juga masih akan terus terjadi, diantaranya soal ngototnya rezim berkuasa untuk mempertahankan Presidential Threshold dalam Undang-Undang Pemilihan Umum, padahal sudah ada Parliamentary Threshold. Oligarki politik dan dinasti politik yang dicontohkan keluarga istana dan dilindungi rezim juga adalah praktik jahat politik Indonesia saat ini yang vulgar dan tak malu-malu turut merusak kualitas demokrasi. Dinamika turunan kejahatan politik juga masih ada dan terus dilakukan rezim. Mulai dari menjerat lawan politik dengan UU ITE, menggunakan uang rakyat puluhan miliar untuk membiayai influencer dan buzzer yang merusak demokrasi. Juga merusak harmoni sosial, hingga praktek korupsi yang masih terus saja dilakukan elit berkuasa saat ini atau bahkan dilindungi elit berkuasa. Jika semua praktek kejahatan pemerintah dan DPR diurai tak akan cukup ditulis dalam narasi artikel yang terbatas ini. Apa yang terjadi, yang saya nilai sebagai kejahatan besar karena korbanya besar yaitu rakyat banyak tersebut secara teoritik semua itu bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi modern. Bertentangan dengan prinsip open government, bertentangan dengan prinsip negara kesejahteraan. Lebih dari itu, bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Bukankah Indonesia sejak berdirinya memilih sebagai negara Republik (res publica, kembali ke kepentingan publik), bukan monarki atau kerajaan. Sejak awal bukankah kita sudah memilih menjadi negara demokrasi modern yang mengutamakan kepentingan publik. Kepentingan rakyat banyak (demos cratos). Kepentingan kebaikan bersama (common good)? Itu semua tertuang dalam pembukaan UUD 1945 secara jelas sebagai tujuan negara. Semua praktik jahat itu, sesungguhnya juga bersumber dari miskinnya moralitas para penyelenggara negara dan anggota parlemen. Moralitas dalam bernegara diabaikan. Etika politik disingkirkan. Kepentingan publik disingkirkan. Padahal ketika para pendiri bangsa ini memilih jalan negara Republik, maknanya negara ini ingin menghadirkan kesejahteraan, demokrasi, keadilan, kemanusiaan, dan harmoni sosial. Saya jadi teringat salah satu filsuf besar Cicero dalam bukunya On the Republic (51 SM) yang ditulis di sebuah gulungan daun lontar bahwa kemerosotan jiwa dan rendahnya moralitas elit politik suatu negara adalah penyumbang utama rusaknya sebuah negara republik. Saatnya Episode gelap Republik? Kejahatan besar sedang terjadi! Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
1 Juni 1945 Hari Lahir “Trisila Dan Ekasila”
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (02/09). Klaim hari lahir Pancasila adalah tanggal 1 Juni 1945 masih alot diperdebatkan. Meskipun sudah distempel dengan Keputusan Presiden (Kepres). Masyarakat boleh saja menggungat keabsahan Kepres tentang penetapan Pancasila 1 Juni 1945 ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Biarkan PTUN yang menguji keasahan Kepresnya. Pandangan bahwa hari lahir Pancasila adalah 18 Agustus 1945 jauh lebih kuat. Baik itu alasan hukum maupun politiknya. Tanggal 1 Juni 1945 hanya sekedar pidato Soekarno dan tokoh-tokoh bangsa lainnya pada Sidang BPUPKI semata. Pidoto yang tanpa kesepakatan apapun tentang Pancasila. Yang disepakati justru Pancasila "Piagam Jakarta" 22 Juni 1945 atau finalnya Pancasila 18 Agustus 1945 tersebut. Jika tanggal 1 Juni 945 disebut sebagai hari lahir Pancasila, maka dokumen otentik ini dapat menegaskan dan membuktikan bahwa 1 Juni1945 adalah hari lahir Trisila. Juga kelahiran Ekasila. Hal ini karena, baik Pancasila rumusan 1 Juni 1945 dan rumusan sila-sila Trisila lahirnya pada menit yang sama. Begitu juga dengan Ekasila. Lahirnya di tanggal yang sama. Kepres Nomor 24 Tahun 2016 tersebut sejatinya bukan menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahir Pancasila. Tetapi hari lahir “Trisila dan Ekasila”. Disinilah kita melihat kekacauan dan bahaya ketatanegaraan. Makanya kalau ada kelompok masyarakat yang menggunggat Kepres Nomor 24 Tahun 2016 ini ke PTUN untuk dibatalkan, maka itu sah-sah saja. Trisila adalah sila yang berbau Komunis, atau sekurang-kurangnya Sosialis. Trisila yang berarti "tiga sila" diambil Soekarno dari filosofi kenegaraan Republik Rakyat Tiongkok, yaitu San Min Chu I karya Dr. Sun Yat Sen. Min Tsu (Nasionalisme), Min Chuan (Demokrasi), dan Min Sheng (Sosialisme). Dengan menjadikan sila ketiga "Ketuhanan", maka sosialisme ditempelkan pada kedua sila lainnya yaitu Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Trisila adalah konsepsi negara sosialis yang berpotensial untuk menuju Komunis. Faham Komunis inilah yang ditentang, bahkan dilawan habis-habisan oleh masyarakat, khususnya umat Islam. Tidak bakal ada kompromi. Akar ideologi pengaruh Sun Yat Sen ini diakui sendiri oleh Soekarno sendiri yang mengatakan, "yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat sehormat-hormatnya, merasa berterimakasih kepada Dr. Sun Yat Sen sampai ke liang kubur". Tanggal 1 Juni 1945 adalah juga hari lahir Ekasila karena "perasan" Soekarno terakhir adalah "Gotong Royong". Inilah yang dimaknai dengan "Communalism" atau mungkin juga "Communism". Kebersamaan tanpa adanya kejelasan batas. Dapat saja "sama rata sama rasa" (the same taste). Dalam pidatonya, Soekarno menyatakan, "gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjoangan bantu membantu bersama, amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua, ho lopis kuntul baris, buat kepentingan bersam. Itulah gotong royong". Mengingat Pancasila tanggal 1 Juni 1945 saat itu masih terus dibahas dan digodog, maka Pancasila mutlak belum lahir. Berbeda dengan Trisila dan Ekasila yang tidak berlanjut ke pembahasan. Artinya final. Maka keluarlah dan lahirlah. Jadinya tanggal 1 Juni 1945 adalah hari kelahiran Trisila dan Ekasila. Bukan kelahiran Pancasila. Pemerintah harus mencabut Kepres 24 tahun 2016 tentang hari lahir Pancasila. Kepres ini telah membodohi rakyat. Tidak bermakna bagi kepentingan rakyat secara keseluruhan. Hanya memihak pada kelompok atau partai tertentu saja. Kepres ini kemudiannya telah menjadi landasan bagi penyesatan ideologi Pancasila yang sebenarnya. Pancasila tanggal 1 Juni 1945 adalah Pancasila yang invalid. Proses yang belum tuntas. Jika terus diperjuangkan maka menjadi "makar ideologi". Catat dan ingat itu. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Tempo Telanjangi Buzzer dan Influencer Istana
by Jusman Dalle Jakarta FNN – Rabu 02/09). Tempo kembali Bikin heboh! Sorotan terhadap buzzer dan influencer berlanjut. Kali ini, bahkan diangkat khusus sebagai cover story. Jadi headline majalah Tempo edisi 31 Agustus-6 September 2020. Dalam investigasi terbarunya, Tempo menguliti pasukan buzzer dan influencer yang dipekerjakan pemerintah. Tempo juga memuat pengakuan salah satu koordinator buzzer yang bergerak menyiapkan suplai konten tulisan. Orksetra pendengung. Demikian judul yang tertulis di sampul Majalah Tempo. Diantara beberapa angle berita yang diangkat Tempo yaitu : *Kakak Sepupu Jokowi, Andi Wibowo disebut memimpin salah satu tim media sosial. **Tim media sosial itu, menyusun narasi untuk menggaungkan satu isu di jagat maya. ***Beberapa isu titipan digaungkan untuk mendapatkan dukungan publik. Pepih Nugraha, jadi narasumber kunci dalam liputan terbaru Tempo tersebut. Pepih banyak bercerita tentang aktivitas tim media sosial pemerintah yang dipimpin oleh Andi Wibowo. Sepupu Jokowi. Pepih juga mengisahkan pertemuannya dengan Andi Wibowo, hingga bagaimana ia direkrut dan bergabung dengan tim tersebut. “Pepih mengaku mendapat bayaran menjadi anggota tim media sosial Jokowi. Sebagian digunakan untuk membayar sejumlah penulis” tulis Majalah Tempo dalam salah satu paragrafnya. Di paragraf lain, Tempo melanjutkan “Pepih mengatakan penulis yang dia himpun dan menggunakan akun anonim inilah yang berfungsi menjadi Buzzer atau pendengung”. Pepih nugraha merupakan sosok yang sudah familiar di kalangan penulis. Khususnya blogger. Pepih adalah jurnalis senior Kompas yang mendirikan platform blogging Kompasiana. Lantas, berapa bayaran menjadi buzzer atau influencer istana? Pepih, menurut laporan Tempo tersebut, tidak menyebutkan jumlahnya. Namun menurut hasil penelitian yang dikutip Tempo dari Oxford University, seorang buzzer atau influencer di Indonesia bisa mendapatkan bayaran dari Rp. 1 juta hingga Rp. 50 juta rupiah. Bahkan bisa lebih. Pengakuan selebritas Ardhito Pramono yang dibayar Rp. 10 juta untuk satu unggahan, sedikit membuka tabir besaran tarif seorang influencer dan buzzer di Indonesia. Ardhito, sempat jadi jadi sorotan. Ketika penyanyi muda itu mengunggah propaganda RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Belakangan, Ardhito mengklarifikasi dan mengaku unggahan itu merupakan pesanan. “Saya merasa ditipu”, kilah Ardhito dikutip dari Tempo. Dunia buzzer atau influencer sebetulnya bukan barang baru. Dunia ini diperkenalkan oleh pakar strategi pemasaran, Jay Conard Levinson pada tahun 1984. Lahir dari dunia bisnis. Tepatnya sebagai strategi gerilya pemasaran (guirella marketing). Belakangan, strategi menggunakan buzzer dan influencer diadopsi ke dunia politik. Maka muncullah buzzer dan influencer politik. Mulai populer di Indonesia sejak Pilkada DKI tahun 2012 lalu. Penting untuk memilah buzzer bisnis dan buzzer politik. Pasalnya, stigma buzzer politik kadung kotor. Akibat perilaku aktor-aktornya dan dalangnya. Sementara buzzer dan influencer untuk bisnis, adalah lumrah. Lahir secara otentik tanpa misi manipulatif. Pertanyaan berikutnya, mengapa pemerintah pakai buzzer dan influencer? Padahal mereka punya sumber daya komunikasi yang melimpah. Strukturnya berjenjang. Dari pusat hingga daerah. Apakah resources itu tidak cukup? Ada lima alasan di balik pengerahan buzzer politik oleh pemerintah. Pertama, pemeerintah tidak percaya diri atau merasa inferior terhadap kebijakan publik yang diputuskan. Kedua, pemerintah yakin jika mereka menerapkan kebijakan yang salah. Tidak populis. Menuai penolakan dari masyarakat. Sehingga harus berlindung di balik tangan pihak ketiga. Para influencer yang dianggap punya pengaruh, lalu dikerahkan. Diplot khusus untuk mengkondisikan opini melalui bermacam-macam propaganda. Solah-olah dukungan murni dari masyarakat. Padahal, diseminasi informasi itu sudah dimanipulasi sedemkian rupa. Ketiga, kuasa uang. Menganggap semua bisa dibeli. Uang kini bukan sekadar untuk beli suara dalam pemilu seperti yang diulas pakar politik Burhanudin Muhtadi dalam bukunya. Uang, juga sudah jadi senjata untuk menggiring dan membentuk opini. Uang, dipakai membeli dan memborong pencitraan di tengah ledakan informasi yang semakin buram dan tidak jelas. Uang membuat yang otentik dan yang manipulatif semakin sulit dibedakan. Keempat, karena produk politik yang ditawarkan memang tidak laku. Daya saing dan mutunya rendah, dan amatiran. Bisa juga kelas odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-beleng. Produk politiknya adalah sosok ide-idenya politisi kacangan, yang menggambarkan kebijakan politik dari pemerintah. Kelima, ini alasan yang agak rasional. Menggunakan buzzer dan influencer lebih efektif dan efisien daripada menggunakan media maisntream. Bandingkan dengan beriklan di TV misalnya. Video berdurasi 10 detik harus dibayar ratusan juta hingga miliaran rupiah. tergantung frekuensi penayangan. Itu juga belum tentu bisa mempengaruhi audiens. Namun dengan modal di bawah 100 juta, seorang politisi atau satu institusi pemerintah dapat memperoleh publisitas luas dan terukur dari seorang buzzer dan influencer. Makanya saat membaca laporan ICW bahwa pemerintah mengeluarkan Rp. 90 miliar untuk publisitas digital melalui influencer dan buzzer, saya malah berpikir, itu kok murah banget?. Apalagi budget Rp. 90 miliar tersebut dikeluarkan sejak tahun 2014. Lalu kenapa kita marah? Kenapa publik antipati ketika pemerintah pakai buzzer dan influencer? Meski cost Rp. 90 miliar itu terbilang murah untuk sebuah program komunikasi selama enam tahun. Kemarahan dan sinisme publik, bukan soal besaran APBN yang dikeluarkan. Tteapi akibat dari perilaku dan ulah para buzzer tersebut. Propaganda mereka memecah belah masyarakat. Manipulasi informasi dan penggiringan opini yang dilakukan, berakibat buruk bagi kepentingan bangsa. Bayangkan, pelemahan KPK diglorifikasi sebagai penguatan sistem presidensial. Eksploitasi pekerja oleh korporasi dan perusakan lingkungan digiring seolah menciptakan lapangan kerja. Dasar, argumentasi berakal pendek, picisan dan kacangan. Maka buzzer politik ini lebih mirip pasukan perang yang mencari musuh, ketimbang menjalankan fungsi humas yang mestinya menjadi diplomat. Komunikator di garis depan, seharusnya bersikap ramah kepada audiens. Saya mau memberikan saran kepada para buzzer politik itu. Jika tujuannya untuk berkomunikasi dengan masyarakat, maka ubahlah pola komunikasi yang diterapkan. Gunakan pendekatan public relation. Pakai formula humanis. Berbicara sebagai humas pemerintah dengan narasi afirmatif. Esensi dan filosofi platform digital ini, hadir sebagai saluran komunikasi untuk mengirim informasi jernih. Informasi Tanpa distorsi. Jangan dibolak-balik. Kecuali memang plotnya sudah dipesan pengguna jasa. Bertujuan membangun atmosfer peperangan. Ya, itu pilihan. Yang pasti, kita sama-sama tahu. Banyak bisnis yang bergulir jika terjadi perang. Misalnya, di balik perang melawan terorisme di Timur Tengah, ada agenda perburuan minyak dan bisnis logistik perang. Termasuk bisnis senjata oleh korporasi global. Di balik konflik sektarian pengusiran Rohingnya di Myanmar, ada aktor perusahaan minyak multinasional China (CNPC) yang berburu minyak di Rakhine. Maka dalam perang-perangan ala buzzer dan influencer binaan pemerintah, tentu juga ada agenda yang diemban. Ada pihak-pihak yang diuntungkan. Setidak-tidaknya, jadi ajang panen bagi bisnis buzzer. Maka jangan kebakaran jenggot, jika sepak terjang anda, para buzzer disoroti. Bahkan dikuliti hingga ke jeroan. Seperti investigasi majalah Tempo. Hal itu bagian dari upaya keterbukaan informasi publik. Pertangunggjawaban penggunaan pajak rakyat. APBN yang dipakai membayai aktivitas buzzer. Setiap rupiah APBN harus dipertanggunjawabkan secara konstitusional. Karena anda berperang dan melontarkan peluru komunikasi ke publik pakai APBN. Maka rakyat pasti selalu monitor. Bahkan melawan lebih ganas jika diusik Pahami itu. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tali Foundation & Praktisi Ekonomi Digital.
PDIP Gelisah Adanya KAMI
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (31/08). Sekurangnya tiga tokoh PDIP berkomentar nyinyir menggapi keberadaan Koalisi Aksi Manyelamatkan Indonesia (KAMI). Adian Napitupulu bagai kebakaran bulu hidung. Adian lalu berkicau soal KAMI yang katanya menggalang kekuatan pasca deklarasi Solo. Demikian juga dengan tokoh yang baru lompat ke PDIP Kapitra Ampera, yang mencak-mencak bahwa KAMI makar. Disebutnya KAMI berbahaya dengan mengutip butir ke-delapan Maklumat KAMI. Kapitra seperti awam dan seperti bukan Sarjana Hukum menyatakan makar atas narasi butir delapan. "Menuntut Presiden untuk bertanggungjawab sesuai sumpah dan janji jabatannya serta mendesak lembaga-lembaga negara (MPR, DPR, DPD, dan MK) untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya demi menyelamatkan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia". Dua hal yang jelas bukan makar dari butir ini, pertama bahwa menuntut Presiden bertanggungjawab atas sumpah dan janji jabata ini sah-sah saja. Tidak melabrak Konstitusi. Bahkan mendorong kewajjban konstitusional seorang Presiden untuk merealisasikan Pasal 9 UUD 1945. Kedua, bahwa mendesak MPR, DPR, DPD dan Makmahah Kontitusi (MK) untuk melaksanakan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya. Ini merupakan desakan yang bagus sekali. Desakan anak bangsa yang mengingatkan para penyelenggara negara untuk bekerja sesuai sumpah dan janjinya. Lembaga-lembaga negara tersebut sudah semestinya berjalan optimal sesuai dengan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya. Lalu apa yang salah dari narasi Maklumat itu ? Tidak ada !. Dimana makarnya ? Tidak ada juga. Hanya inferioritas dan ketakutanlah yang menciptakan pandangan negatif atas butir Maklumat tersebut. Dasar pemikiran Kapitra Ampera dapat dikategorikan "obscuur libel" jika dalam sebuah gugatan. Tokoh puncak PDIP yang gamang dan gelisah adalah Megawati Soekarnoputri. Pidatonya menyinggung KAMI soal banyak yang ingin menjadi Presiden. Entah tudingannya tertuju pada siapa? Tidakl jelas jelas. Namun yang jelas banyak. Nah seorang politisi kawakan yang berpandangan "childish" seperti ini, jelas sangatlah memalukan. Terkurung wawasan tentang perbedaan pendapat. Jikapun benar, jika dan hanya jika, maka keinginan menjadi Presiden itu sah-sah saja. Keinginan yang dilarang atau diharmkan oleh konstitusi negara kita. Seorang sekelas Giring saja telah mendeklarasikan diri sebagai Capres untuk tahun 2024. Tak peduli banyak yang menertawakan. Apakah nyinyirannya bu Mega itu karena didasarkan takut anaknya tersaingi dalam Pilpres? Yah kalau itu wajar PDIP meradang. Menyeret isu makar segala pada KAMI. Padahal PDIP lupa bahwa platform perjuangan yang menginginkan Pancasila 1 Juni 1945 mempengaruhi dan menjiwai para penyelenggara negara itu bukan makar ? Berjuang untuk mewujudkan Pancasila 1 Juni 1945 adalah makar yang nyata. Apalagi dengan semangat Trisila dan Ekasila serta Ketuhanan yang berkebudayaan. Pancasila 1 Juni 1945 adalah bagian dari semangat kudeta terhadap konsesus Pancasila 18 Agustus 1945. Para petinggi PDIP tak perlu tunjuk-tunjuk hidung orang lainlah. Aapalagi untuk suatu pekerjaan yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Rakyat sudah sangat faham akan kebobrokan rezim yang di "back up" sepenuhnya oleh "the rulling party". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.