NASIONAL
Puan Perjelas Ungkapan Kampong “Maling Teriak Maling"
by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Selasa (08/09). Aku bukan Urang Minang. Aku Batak. Aku Sitanggang. Tapi aku benar-benar terusik (bisa juga dibilang marah) dengan ucapan Puan Maharani yang mengesankan bahwa orang Sumatera Barat (Sumbar) selama ini tidak mendukung Negara Pancasila. Bukannya aku ingin membela Urang Minang, karena tanpa kubela pun, setiap anak SD yang belajar sejarah pasti tahu kalau Urang Minang itu berjasa besar dalam mendirikan NKRI. Marahku tak lebih karena Puan Maharani adalah seorang Ketua PDIP. Seorang Ketua PDIP “menuduh” orang lain tidak mendukung negara Pancasila? Buat aku itu sebuah keanehan, kalau tidak dibilang sebagai kejahatan. Ada sesuatu atau maksud tertentu yang ingin disembunyikan dibalik “tuduhan” penghinaan tersebut. Partai Puan Maharani sekarang memang sedang menghadapi guncangan keras. Ini berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diusulkan oleh partai berlambang kepala kerbau itu. Masyarakat yang setia pada Pancasila di seluruh tanah air marah, menolak dan menuntut para penyusun naskah akademik dan pengusul RUU HIP supaya diusut secara hukum. Masrarakat mesti marah. Masalahnya RUU HIP tersebut, jelas-jelas ingin menggantikan falsafah Pancasila yang sah, yakni Pancasila 18 Agustus 1945 yang diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dengan Pancasila yang tidak ada dasar hukumnya, yaitu Pancasila 1 Juni 1945 yang merupakan ideologi PDIP. Ini makar yang nyata terhadap falsafah negara, tapi berselubung konstitusi. Apakah Puan ingin menghilangkan jejak partainya, yang tertuduh tidak mendukung Pancasila yang sah? Dengan melontarkan ungkapan “semoga Sumbar menjadi propinsi yang mendukung negara Panacasila”. Entahlah, tetapi di kampung-kampung memang populer istilah “maling teriak maling". Itu efektif untuk menyelamatkan seorang maling dari tuduhan “maling”. Setidaknya untuk sementara waktu. Di tahun 2017, tepatnya 18 Agustus 2017, di hadapan Anggota Komisi A DPRD Sumut, Syamsul Qodri (PKS) dan Brilian Muchtar (PDIP), aku mengatakan, “kalau nanti saya berkuasa, yang pertama saya bubarkan adalah PDIP”. Saat itu aku mengajukan tantangan debat soal Pancasila kepada PDIP, dan itu viral ral ral ral. Tapi tak seorang pun anggota PDIP yang mau menerima tantanganku, sampai hari ini. Waktu itu, aku dan sejumlah aktivis di Sumut melakukan aksi menolak Perppu no 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dijadikan dasar bagi pemerintah untuk mencabut badan hukum Hizbut Thahrir Indonesia (HTI). Organisasi ini, dengan isu khilafahnya, dianggap menyimpang dari Pancasila. Padahal, dalam AD/ART HTI jelas tercantum azasnya adalah Pancasila. Tidak ada khilafah. Aku bukan hendak membela HTI. Bukan itu. Tetapi semata-mata kerena menyangkut masalah yang paling mendasar dalam hidup berbangsa dan bernegara. Masalah Pancasila. Jangan sampai Pancasila diseret kemana-mana, sehingga bisa digunakan sebagai alat kekuasaan untuk menghabisi lawan-lawan politik seperti di masa Orla dan Orba. Negara ini akan mundur lagi dan recok terus, tak berkesudahan. Bicara soal Pancasila, dalam konteks falsafah NKRI, maka yang jadi pegangan kita adalah alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945 sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Inilah Pancasila yang sah, dan selanjutnya dalam tulisan ini digunakan istilah tersebut. Bukan yang lain. Berdasarkan Dekrit Presiden itu, “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945, dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Dalam hal ini sesuai penjelasan tertulis Perdana Mentri Djuanda kepada Ahmad Saichu (NU) dan Anwar Haryono (Masyumi), bahwa jiwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Pancasila adalah jiwa Piagam Jakarta. Dengan demikian, “Ketuhanan Yang Maha Esa” dimaknai sebagai “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (Deliar Noer : Partai Islam Di Pentas Nasional, Cet II, 2000 dan Lukman Hakirm : Biografi Mohammad Natsir, 2019). Dalam konteks ini HTI, dengan isu khilafahnya, masih punya landasan hukum, masih sesuai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Khilafah masih ada dalam koridor sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Sebaliknya PDIP, jauh lebih layak dibubarkan ketimbang HTI. Sebab, pidato Megawati pada HUT ke-44 PDIP, 10 Januari 2017, PDIP adalah partai ideologis dengan ideologi Pancasila 1 Juni 1945. Malah, berkaitan dengan ditetapkannya 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila, Megawati mengatakan, “maka segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945”. Jelas sakit ini barang. Jiwa dan semangat nilai-nila Pancasila 1 Juni 1945 yang dimaksud adalah “Trisila dan Ekasila”. Pada Trisila, ketuhanan berada dalam kerangkeng kebudayaan. Beragamalah sesuai dengan kebudayaan dan keberadaban. Sementara pada Ekasila ketuhanan tidak dipersoalkan lagi, yang penting “gotong royang”. Tentu ini bukan lagi sekedar, namun jauh bertentangan dengan Pancasila yang sah. Bermaksud hendak mengganti isi Pancasila yang sah. Lebih lanjut Megawati, dalam pidatonya, ingin menggunakan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai alat “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” (istilah Megawati) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini akan sangat berbahaya. Sebab, sudah pasti banyak hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini yang akan out of frame. Sifat akomodatif Pancasila yang sah jauh lebih luas dari pada Pancasila 1 Juni 1945. Fenomena ini dapat diibaratkan sebagai upaya memotret permukaan bumi dengan dua kamera yang berbeda. Pancasila yang sah ibarat kamera satelit, mampu memotret 34225 km persegi. Pancasila 1 Juni 1945 adalah kamera pesawat terbang, hanya mampu memotret seluas 25 km persegi. Jadinya, hanya sebahagian kecil saja dari citra satelit yang dapat dipotret oleh kamera pesawat terbang. Artinya, banyak persoalan kehidupan berbangsa yang ada (terakomodir) dalam frame Pancasila yang sah tanggal 18 Agustus 1945. Tetapi tidak masuk dalam frame Pancasila 1 Juni 1945. Itulah sebabnya mengapa Megawati dalam pidatonya, secara sinis, menyebut orang yang percaya kehidupan akhirat sebagai “self fulfilling prophecy” (peramal masa depan, termasuk kehidupan setelah dunia fana). Mereka yang membela kehormatan agamanya, atau memilih pemimpin berdasarkan perintah agamanya sebagai memaksakan kehendak. Anti demokrasi dan anti kebhinekaan. Pernyataan Megawati itu karena memang, semua tidak masuk dalam frame “kamera” Pancasila 1 Juni 1945, yaitu kamera Trisila, dan apalagi Ekasila. Padahal, ada dalam frame Pancasila yang sah. Maka, Pancasila 1 Juni 1945 sebagai pendeteksi sekaligus tameng proteksi kehidupan berbangsa akan menjadi sumber keributan yang tidak berujung. Boleh jadi, HTI adalah korban dari itu. Makanya ketika itu, aku berpendapat PDIP lebih layak untuk dibubarkan. PDIP nampaknya konsisten dengan tekad kuat Megawati sebagaimana yang dipidatokan pada HUT PDIP ke-44 itu. Periksalah AD/ART PDIP 2019-2024 Bab II Pasal lima. Di situ disebutkan, “Partai berasaskan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan jiwa dan semangat kelahirannya pada 1 Juni 1945.” Kemudian di dalam Mukaddimah AD dan ART disebutkan, “PDI Perjuangan memahami Partai sebagai alat perjuangan untuk membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Partai juga sebagai alat perjuangan untuk melahirkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ber-Ketuhanan, memiliki semangat sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi (TRI SILA), serta alat perjuangan untuk menentang segala bentuk individualisme dan untuk menghidupkan jiwa dan semangat gotong-royong dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (EKA SILA)”. Jelas kan? Harus diakui, PDIP cukup berhasil. Begitu meraih kemenangan dalam pemilu, dan kemudian berkuasa di 2014, PDIP mampu mendorong presiden untuk menerbitkan Keppres Nomor 24 tahun 2016 tentang hari lahirnya Pancasila. Keppres ini telah pula dimanfaatkan sebagai landasan menyusun Naskah Akademik dan RUU HIP, seolah dengan Keppres ini, Pancasila 1 Juni adalah Pancasila yang sah berlaku. Selanjutnya terbit pula Perpres Nomor 54 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Kemudian berganti nama menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Badan ini berpotensi menjadi alat penguasa penafsir tunggal Pancasila. Salah satu tafsirnya yang menggungcang adalah –melalui Kepalanya Yudian Wahyudi, bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Yudian Wahyudi tampaknya sudah menjalankan isi pidato Megawati untuk menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 (entah Trisila atau Ekasila) sebagai “pendeteksi sekaligus tameng proteksi” dalam kehidupan beragama. Kemudian lahir RUU HIP yang secara fundamental ingin menggusur Pancasila yang sah sebagaimana telah dijelaskan di atas, diganti dengan Pancasila 1 Juni 1945. Terakhir, lahir RUU BPIP yang secara sah akan memiliki kekuatan hukum untuk menjadi penafsir tunggal Pancasila sesuai kehendak penguasa. Antara RUU HIP dan RUU BPIP itu satu paket, searah dengan kehendak Megawati yang diutarakannya dalam pidato 44 tahu PDIP. Bahwa “segala keputusan dan kebijakan politik yang kita produksi pun, sudah seharusnya bersumber pada jiwa dan semangat nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945”. Itulah sebabnya mengapa BPIP tidak berkomementar sedikit pun terhadap upaya penggantian Pancasila yang sah melalui RUU HIP. Jika RUU HIP dan RUU BIP berhasil diundangkan, maka selesailah sudah proyek “revolusi mental” membentuk dan membangun karakter bangsa berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945. Beragamalah secara berkebudayaan. Bukan dengan panduan wahyu. Bergotong royonglah tanpa memikirkan lagi soal Tuhan. Menteri Agama, Fachrul Razi, pun sudah mulai menerapkan kebijakan itu di lingkup apa saja yang beraroma Islam. Dengan isu menangkal faham radikal, ia sedang gencar menjalankan deislamisasi. Penolakan massif rakyat terhadap langkah-langkah PDIP, bahkan serangan gencar terhadap partai kepala kerbau itu, jelas sangat merisaukan para pemimpinnya. Maka, sekali lagi, apakah Puan ingin menghilangkan jejak partainya? Yang tertuduh tidak mendukung Pancasila yang sah? Dengan melontarkan ungkapan “semoga Sumbar menjadi propinsi yang mendukung negara Panacasila”, Puan sedang mempraktekan ungkapan kurang ielok orang kampong “maling teriak maling”. Itu mungkinsaja. Sebab mustahil Puan tidak tahu bahwa Bung Hatta itu orang Minang. Jadi, diduga kuat ada maksud lain dari “serangan” Puan itu. Yang pasti, “serangan” Puan telah membuat Urang Minang sibuk sekuat tenaga membuktikan bahwa mereka adalah Pancasilais sejati. Nanti, endingnya, dapat diperidiksi, apakah Puan Maharani atau PDIP (minta maaf) mengakui Urang Minang Pancasilais. Pengakuan ini adalah “sertifikat”. Bayangkan, kalau PDIP memberi sertifikat Pancasila kepada anak bangsa. Artinya apa ? Tampaknya Puan sedang memainkan dialektika yang luar biasa. Memang, dulu, ketika aku masih hobi catur, guruku berkata, “menyerang adalah cara bertahan yang baik”. Maka, hati-hatilah, jangan lupa RUU HIP dan RUU BIP. Walahu ‘Alam bisshawab. Penulis adalah Ketua #Masyumi Reborn.
Democracy For Sale
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Jumat 04 September 2020 beredar luas berita di berbagai media kalau, “Parpol Pendukung Berbelok. Akibatnya, Pasha Ungu Terancam Gagal Maju Jadi Cawagub Sulteng”. Hari itu juga melalui WhatsApp terkirim foto Pasha Ungu bersama Adhyaksa Dault mantan Menteri Pemuda Olah Raga era SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) 2004 – 2009. “Sudah pasti bang Pasha Ungu gagal maju” kata Adhyaksa dalam percakapan tilpon dengan saya. Semalam Pasha Ungu bertandang ke rumah mantan Ketua Kwartir Nasional Pramuka itu. Tentu banyak yang dibicarakan di rumah Adhiyaksa. Mengiringi kegagalan Pasha, bermunculan meme sindiran di sosial media “Pasha Korban Begal Politik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), begal artinya penyamun atau merampas di tengah jalan. Tidak mengherankan jika banyak pengamat maupun aktivis demokratis menunjuk Pasal 222 UU pemilu No. 7 Tahun 2017 sebagai biang kerok pembegalan nasional. Pasal 222 itu mensyaratkan parpol pengusung capres/cawapres kudu memenuhi perolehan kursi minimal 20 persen di parlemen yang disebut PR (Presidential Threshold) hasil Pemilu 2019. Sebuah persekongkolan jahat yang memungkin hanya dua pasangan calon presiden yang dapat maju bertarung. Dengan kata lain peluang figur yang kompeten dan bersih telah dibegal secara sistemik oleh elite politik. Ketatnya persaingan mengumpulkan suara sebanyak itu memaksa terbukanya jalan transaksional antar partai politik yang menguatkan praktik jual – beli suara. Harold Dwight Lasswell, ilmuwan politik terkemuka Amerika Serikat dan seorang pencetus teori komunikasi (lahir 13 Februari 1902) menyebutkan, proses politik sebagai konflik atas definisi dan distribusi nilai-nilai sosial dan sudah merumuskan kalimat terkenal "Politik adalah studi tentang siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana" ( Politics: Who Gets What, When, How). Buku dengan nama yang sama, diterbitkan pada tahun 1936, meringkas gagasan utama dari "Politik Dunia dan Ketidakamanan Pribadi". Lasswell mendefinisikan, “politik ini telah merangkum perilaku politik di seluruh dunia. Dengan politisi didorong oleh posisi politik, distribusi sumber daya, dan bersaing dengan pesaing mereka. Kenyataan ini telah menyebabkan banyak sikap apatis politik di seluruh dunia. Bersama korporatisasi negara, dengan kepentingan terselubung yang menembus sistem politik dan memiliki suara besar atas perumusan kebijakan dan undang-undang”. Menarik membaca buku “Democracy for Sale” (Demokrasi Untuk Dijual), ditulis oleh Ward Berenschot, Peneliti Koninklijk Institiuut Vor Taal – Land en Volkenkunde (KITLV) bersama Edward Aspinall, Profesor pada Departemen Perubahan Politik dan Sosial, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University. Secara garis besar, buku ini menggambarkan politik dan demokrasi di Indonesia dalam ruang informal. Pemfokusan pada ruang informal sengaja diambil karena jarangnya studi yang menelaah kondisi politik Indonesia pada ruang informal. Dalam buku yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Yogyakarta (2019) sang peneliti menulis, “Seringkali orang kalau bicara politik Indonesia, mereka bicara soal politik formal. Yang dibicarakan adalah pidato calon atau strategi mereka di media massa. Maka, kita bicara apa yang ada di belakang politik formal, seperti jaringan calon, masalah uang, dan politik transaksional,” jelas Ward pada acara bedah buku di Gedung Widya Graha Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gatot Subroto, Jakarta Selatan,10 April setahun lalu. Secara terang – terangan Ward mengatakan, dirinya menemukan tiga praktik yang khas dalam politik informal Indonesia. Pertama, politik transaksional yang salah satu kategorinya adalah jual beli suara. Ward menganalisis, jual beli suara yang dilakukan pada pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia tak hanya dilakukan melalui jaringan partai, melainkan juga oleh orang-orang yang merupakan bagian dari jaringan calon. Praktik ini tak ditemukan di India dan Argentina. Sebab jual beli suara di kedua negara tersebut hanya dilakukan melalui jaringan partai politik. Kekhasan kedua, yakni adanya tim sukses. Cerita mengenai tim sukses dan broker politik tak akan ditemukan pada politik India dan Argentina, sebab kampanye calon dilakukan oleh jaringan partai politik. Kekhasan ketiga, yaitu broker politik. Para kandidat di Indonesia membentuk jaringan broker politik mulai dari tingkat nasional hingga rukun tetangga. Jaringan inilah yang dimanfaatkan oleh kandidat untuk melakukan politik uang sebagai cara menjalin hubungan dan meraup dukungan dari masyarakat. Broker politik, barang asing bagi India dan Argentina, kata Ward, “sebabnya, partai politik di India dan Argentina yang memiliki akses terhadap sumber daya negara telah menjalin hubungan dengan masyarakat setempat. Masyarakat India dan Argentina mendatangi kantor partai politik untuk mengurus berbagai hak atas pelayanan publik. “Kalau anda mengunjungi kantor partai politik di daerah (Indonesia), sepi. Tidak ada banyak orang. Kenapa sepi? Karena di Indonesia, kalau anda mau mengurus pelayanan publik, seperti mengurus kamar rumah sakit, orang tidak datang ke partai politik, tetapi ke institusi negara seperti Pak RT, Pak RW, Pak Lurah dan Pak Camat. Jadi, semua akses terhadap kekayaan negara, itu lewat aparatur negara. Tapi kalau di India dan Argentina tidak begitu. Di sana, partai politik juga menguasai kekayaaan negara sehingga masyarakat mendekati partai politik,” urai Ward. Berbicara situasi dan kondisi perpolitikan hari ini di Indonesia, sungguh banyak narasi negatif yang mengotori udara demokrasi. Demokrasi hanya menjadi pajangan dan pemanis konstitusi. Demokrasi telah dibegal kekuatan hitam kuasa politik gelap. Dalam banyak kajian, sejumlah pakar menyebutkan, sejak era reformasi, demokrasi telah diambil alih para pembegal yang sejatinya adalah para kapitalis bersekutu dengan politisi pemburu rente yang menafikan dimensi moralitas. Menonjolnya praktik begal politik menjelang Pilkada serentak akhir 2020, sejatinya itu hanya bentuk repetitif rusaknya pondasi politik yang dibalut dengan jubah sarana berbasis moralitas. Demokrasi telah terjebak di dalam lingkaran setan daerah tak bertuan (terra in cognito). Para pembegal formal dan legal itu, bebas menetukan hitam putihnya regulasi sesuai kepentingan perkuatan kekuasaan politik dan perluasan wilayah kerajaan bisnis mereka. Dalam kenyataannya jalan demokrasi yang meniscayakan kehadiran partai politik sebagai penyalur aspirasi tetap saja jauh panggang dari api. Partai politik bermutasi menjadi hantu kejahatan koruptif yang begitu perkasa. Terlegitimasi lewat sakralisasi pemilihan umum yang diagung-agungkan sebagai panggung politik tertinggi daulat rakyat. Kekacauan perundang-undangan yang diproduksi eksekutif dan legislator sejak era reformasi ditandai banyaknya langkah Judicial Review (JR) atau uji materi yang dilakukan tokoh masyarakat sipil di Mahkamah Konstitusi (MK). Konsistensi hakim MK dipertanyakan. Mereka baru saja menerima “bonus” dari wakil rakyat. DPR mengesahkan UU Mahkamah Konstitusi yang baru pada rapat paripurna, Selasa (01/09/20). Masa jabatan hakim bisa sampai 15 tahun. Ada hakim MK saat ini yang bisa menjabat hingga 2034. Ada perpanjangan masa usia menjadi 70 tahun sebagai hakim MK. Rizal Ramli ekonom papan atas Indonesia dan aktivis demokratis tak kenal lelah menjadi salah seorang yang kini melakukan JR menggugat pasal 222 UU No.7/2017 itu. Rizal Ramli menyebutnya sebagai “Demokrasi Kriminal”. Pembegalan politik nampaknya terjadi di semua lembaga publik yang seharusnya melindungi kepentingan publik. Beberapa teman aktivis senior kembali mengirim pesan lewat group WhatsApp. “Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi gangguan pandemi lain yang bernama “Begal Politik” itu. Saya hanya terdiam. Membisu. Memandangi plafond yang serasa berputar mengejek kebisuan saya. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Membedah Dan Memetik Buah Amandemen UUD 1945 (Bagian-3)
by Mayjen TNI (Purn) Prijanto Jakarta FNN – Senin (07/09). Pembatasan. Untuk membedakan dan mempermudah dalam artikel berseri ini, hasil amandemen UUD 1945, kita sebut dengan UUD 2002. Baca membedah dan memetik buah amandemen UUD 1945 (2), “Generasi Muda Anton Permana cs Turun Gunung” (Google). Setelah Veteran Komisi Konstitusi Prof. Dr. Tjipta Lesmana, Prof. Dr. Maria Farida Indrati dan Dr. Laode Ida, dan dilanjutkan dengan Generasi Muda Anton Permana cs bicara dalam Webinar Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI)-Panji Masyarakat, pada 18/8/2020, tak ketinggalan senior pejuang ikut bicara. Apa kata mereka? Irjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruky, Mantan Ketua KPK. Untuk mengetahui situasi MPR waktu amandemen, sebelum Webinar, moderator minta gambaran kepada Irjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruky, yang ketika itu anggota MPR. Tersiar kabar bahwa perubahan pasal-pasal itu tidak didukung dokumen kajian dan tahapan sosialisasi. Benarkah ? Irjen Pol Ruky memberikan penjelasan, ketika perubahan pertama, dirinya masih anggota BP MPR RI. Secara diplomatis menjawab, seingat saya tidak ada seminar atau diskusi ilmiah untuk membahas dan mengkaji pasal yang diubah dengan pendekatan keilmuan. Apalagi pendekatan dengan ideologi Pancasila. Justru pada perubahan pertama, sudah muncul keinginan mengubah Pasal 29. Dengan menambah tujuh kata. Dari titik inilah amandemen “liar” bermunculan, termasuk perubahan Pasal 6, Pasal 33. Langkah ini diikuti dengan peniadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Situasi pada perubahan pertama sudah nampak. Adanya perbedaan pandang golongan nasionalis dengan golongan Islam. Golkar sepertinya tidak punya pegangan dan Fraksi ABRI membeku. Perubahan berikutnya tidak tahu persis, karena tahun 2000 sudah ke Polkam, kata Ruky menutup penjelasannya. Penjelasan Irjen Pol Taufiqurachman Ruky, dikuatkan pengakuan Dr. J. Sahetapy yang videonya viral di medsos. Dengan bangganya Sahetapy mengatakan dia satu-satunya orang yang usul dihilangkannya syarat Presiden orang Indonesia asli. Pertanyaanya, adakah kajiannya? Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, Lulusan Akademi Militer Yogyakarta 1948. Sebagai lulusan terbaik Akademi Militer Yogya, di usia 93 tahun, pengabdian Letjen Sayidiman kepada negara tiada putus. Pengalaman sebagai Wakasad, Gebernur Lemhannas, Dubes di Jepang dan Dubes Keliling untuk Wilayah Afrika, jelas memberikan ketajaman pengamatan atas situasi yang berkembang saat ini. Dikatakannya, ada indikasi campur tangan asing dalam amandemen UUD 1945, yakni National Democratic Institute (NDI). Sinyalemen ini seperti di artikel “Ada Campur Tangan Asing Dalam Amandemen UUD 1945”. (google). Jenderal Sayidiman memberikan dorongan, agar Indonesia di usia 100 tahun bisa menjadi negara yang kuat, maju, adil dan makmur. Untuk itu, diperlukan sikap dan sifat kepemimpinan bangsa Indonesia yang jujur dan tidak menjadi pengkhianat. Terkait konstitusi, juga tidak kalah penting. Diperlukan kaji ulang terhadap UUD 2002. Apabila hasil kaji ulang ternyata UUD 2002 membuahkan pecahnya persatuan Indonesia dan pemiskinan rakyatnya, maka perlu kita kembali ke UUD 1945. Selanjutnya, dalam menyongsong masa depan perlu penyempurnaan UUD 1945. Harus dilakukan secara adendum, kata Jenderal Sayidiman diakhir pendapatnya. Prof. Dr. Sofian Effendi, Ketua Forum Rektor Indonesia 2006-2007, Ketua Komisi Aparat Sipil Negara (ASN). Di awal pembicaraan, Prof. Sofian menunjukkan buku yang ditulis Prof. Donald D. Horowitz : “Constitutional Change and Democracy in Indonesia”. Dikatakannya, dalam buku itu menunjukkan betapa besar keterlibatan National Democratic Institute (NDI) dalam proses amandemen atau lebih pasnya penggantian UUD 1945. NDI menyusun pasal-pasal perubahan UUD 1945, yang diserahkan ke Panitia ad Hoc MPR yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar. NDI dapat tempat di Sekretariat MPR, dan mendapat kucuran dana dari pemerintah Amerika melalui Secretary of State America, Madeleine Albright, tutur Prof. Sofian. Dalam penelusurannya di surat kabar New York Times, tahun 1998, Prof Sofian menemui lima artikel yang menguatkan isi buku Donald Horowitz. Artinya, keterlibatan NDI menjatuhkan Presiden Soeharto dan mengganti sistem pemerintahan Indonesia. Isi buku Horowitz dan lima artikel di New York Times, tahun 1998, sebagai bukti empirisnya. Pembukaan UUD 1945 berisi “philosphische grondslag” tidak diubah. Pertanyaan kritisnya, apakah pasal-pasal perubahan sesuai dengan nilai-nilai “philosopische grondslag” Pancasila? Kalau sudah menyimpang jauh dari ruhnya, maka UUD 2002 tidak layak disebut UUD 1945. Apabila saat ini sistem pemerintahan dan sistem ekonomi kacau, itu semua akibat UUD 2002. Artinya, tujuan mereka atau asing mengganti sistem pemerintahan Indonesia berhasil, kata Prof. Sofian menutup pembicaraannya. Dubes Nurrachman Oerip, Duta Besar RI untuk Kerajaan Kamboja (2004-2007). Melihat jabatannya, Dubes Nurrachman tidak bisa lepas urusan luar negeri. Sebelum Dubes di Kamboja, Kepala Bidang Politik Perutusan RI untuk Masyarakat Eropa dan Wakil Kepala Perwakilan RI di Rusia. Karena itulah, melihat proses amandemen UUD 1945, juga tidak lepas dari perspektif hubungan internasional. Tumbangnya Orde Lama, mengandaskan konsep Tri Sakti Bung Karno. Ambruknya Orde Baru, telah merombak “sistem sendiri pemerintahan Indonesia” melalui amandemen UUD 1945. Menurut Nurrachman, dalam upaya mencapai tujuan nasional, UUD 2002 lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Itu semua tidak lepas dari pertarungan kepentingan politik global. Dubes Nurrahman mencermati isi buku Donald D. Horowitz : “Constitutional Change and Democracy in Indonesia” terbitan Cambridge University Press, 2013. Dikatakannya ada indikasi intervensi kekuatan asing, yakni LSM Amerika, National Democratic Institute (NDI), yang berkolaborasi dengan LSM lokal dalam amandemen UUD 1945. Keikutcampuran asing dalam amandemen UUD 1945 dikuatkan artikel Tim Weiner pada surat kabar “New York Times, 20 Mei 1998” : “Unrest in Indonesia : The Opposition; U.S. Has Spent $ 26 Million since ’95 on Soeharto Oppenents”. Dalam artikel ini tampak keterlibatan United State Agency for International Development (USAID), kata Nurrachman menutup pendapatnya. Menyimak artikel seri-1, seri-2 dan seri-3 ini, dapat ditarik kesimpulan : (1) Pasal-pasal perubahan UUD 1945 tidak koheren dengan nilai-nilai falsafah bangsa, Pancasila. (2) Buah amandemen tidak terasa manis. UUD 2002 banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. (3) Ada indikasi kuat keterlibatan asing, berkolaborasi dengan LSM lokal. Penulis, sebagai moderator, menutup dengan menyampaikan pendapat : “Undang Undang Dasar yang buruk, jauh dari nilai-nilai falsafah bangsanya, akan menghancurkan bangsa dan negaranya”. Semoga hasil Webinar pada peringatan Hari Konstitusi Indonesia, 18/8/2020 yang diselenggarakan Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) – Panji Masyarakat bermanfaat. Amin. (selesai). Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Karena Puan Setitik, Rusak Suara Se-Minang Raya
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Senin (07/09). Nasib PDIP di Sumatera Barat sungguh tragis. Partai Moncong Putih itu bak penyakit menular yang harus dihindari. Tak cukup hanya mengenakan masker. Apapun bentuknya, hubungan, afiliasi, bahkan hanya “bau-bau” PDIP harus dijauhi. Cut off. Tak ada hubungan apapun! PKB yang semula bersama PDIP mendukung pasangan Mulyadi-Ali Mukhni mengambil langkah seribu. Mereka mencabut dukungan dan mengalihkan ke pasangan cagub yang lain. PKB tak mau tertular virus. Terkena penyakit menular bernama PDIP. Risikonya berat dan tidak sebanding. Paling dramatis justru langkah yang diambil oleh Mulyadi-Ali Mukhni. Tanpa ba-bi-bu, mereka mengembalikan mandat PDIP. Jadilah pasangan ini tinggal diusung oleh Partai Demokrat dan PAN. Meninggalkan PDIP sepi sendiri. Tak ada pilihan lain bagi PDIP. Menarik diri dari gelanggang perebutan kursi gubernur-wagub. Tak ada cagub, dan partai politik yang mau dekat, apalagi bersekutu dengan PDIP. Untuk mengusung calon sendiri, tidak mungkin. Kursi PDIP di DPRD Sumbar hanya seuprit. Tiga kursi tidak memenuhi syarat. “Melihat dinamika seperti ini, kita tidak lagi ikut Pilgub. Kita tidak mengusung siapa-siapa lagi,” kata Ketua DPD PDIP Sumbar Alex Indra Lukman. Keputusan teramat sulit yang harus diambil oleh pimpinan daerah PDIP. Semua gegara ucapan Puan Maharani. Putri Mahkota PDIP itu dinilai melecehkan karena pernyataannya sangat jelas terkesan mempertanyakan dukungan warga Sumbar terhadap Pancasila. Puan pasti tidak pernah mengira bila ucapannya itu berdampak begitu besar. Menjadi kado pahit ulang tahunnya yang ke 47, Ahad (6/9). Upaya para petinggi PDIP menyodorkan fakta, bahwa Puan dari sisi darah masih keturunan Minang, tidak mungkin menghina negeri para leluhurnya, tidak bisa menghapus luka. Ibarat nasi telah menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi. Benarlah seperti dikatakan banyak orang, Puan tidak pernah membaca sejarah. Terlebih lagi, kalau benar dia masih merasa keturunan Minang, tidak tahu apa-apa tentang sumbangsih dan peran besar para ninik mamak dalam ikut mendirikan bangsa ini. Puan telah tercerabut dari akar budaya dan sejarah. Dia tak paham petatah petitih: Kato mandaki, kato Manurun. Kato malareang, kato mandata. Tata krama dalam tradisi Minang yang sangat ketat aturannya. Berpengaruh ke Bobby Nasution Kehebohan di Sumbar jangan hanya dipandang sebagai persoalan lokal. Dampaknya bisa menyebar cepat seperti bola salju. Di berbagai daerah lain yang banyak bermukim warga Minang, ucapan Puan bisa mengubah konstelasi politik. Calon-calon yang didukung PDIP dan tengah berlaga di Pilkada, bisa terkena dampaknya. Yang paling dekat adalah Bobby Nasution, menantu Presiden Jokowi tengah berlaga di Pilwakot Medan. Di Medan komunitas Minang perantauan jumlahnya cukup besar. Mereka juga memegang peran penting dalam sektor perekonomian. Bobby diusung oleh PDIP. Caranya memperoleh tiket dari partai moncong putih itu juga tak elok. Melalui lobi-lobi politik tingkat tinggi dan istana, dia menyingkirkan Plt Walikota Medan Akhyar Nasution. Akhyar dipecat dari PDIP. Dia kini menjadi calon walikota Medan diusung oleh Partai Demokrat dan PKS. Dia akan menjadi pesaing berat Bobby. Diaspora Minang di seluruh Indonesia juga tidak bisa diremehkan. Secara populasi kecil. Namun mereka sangat solid. Dampak lain dari ucapan Puan yang sangat serius adalah mempertajam pembelahan di tengah masyarakat. Sangat jelas Puan mempertontonkan sikap merasa paling Pancasilais. Di luar pendukung PDIP, dinilainya tidak Pancasilais. Sebuah cara pandang yang sangat berbahaya dan tengah dipertontonkan oleh rezim dan para pendukungnya. Ucapan Puan menunjukkan trah Soekarno dan PDIP, merasa diri mereka satu-satunya pewaris sah negeri ini. Satu-satu-satunya yang bernasab sambung kepada pencetus Pancasila. Hal itu dipertegas dengan peresmian Hari Lahir Pancasila 1 Juni oleh Presiden Jokowi. Padahal sejarah mencatat secara resmi, Pancasila lahir pada tanggal 18 Agustus 1945. Saat para perumus di BPUPKI mensahkannya sebagai dasar negara Indonesia yang merdeka. Tidak berhenti sampai disitu. Melalui Fraksi PDIP di DPR RI mereka mengusulkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Dalam RUU tersebut mereka memasukkan formula Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Persis sebagai mana usulan Soekarno pada sidang pertama BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Pandangan dan cara berpolitik semacam ini sangat berbahaya. Mereka mencoba menegasikan peran kekuatan politik dan kelompok yang berseberangan, dengan stigma anti Pancasila. Seakan hanya keluarga Soekarno dan para pendukungnya yang paling Pancasilais. Merekalah bangsa pilihan Tuhan di republik ini. Selain mereka, bukan penganut dan pengikut Pancasila. Dalam konteks politik semacam inilah mengapa reaksi dari warga Minang mendapat dukungan begitu luas. Bukan hanya dari mereka yang berasal dari Minang. Tapi juga mereka yang merasa disingkirkan dengan stigma: anti Pancasila, radikal, dan intoleran. Miri-mirip seperti bunyi pepatah: Karena Puan setitik, rusak suara se-Minang Raya……End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
KAMI Gerakan Moral, Dihalangi “Gerakan Tidak Bermoral”
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (07/09). Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) memang fenomenal. Sambutan masyarakat luas cukup besar. Dukungan juga sangat luar biasa. Mungkin karena menaruh harapan ada gerakan moral yang diusung oleh KAMI. Situasi politik, ekonomi, budaya hingga ideologi yang sedang bergoyang-goyang mungkin sekali segara goyah. Penegakan hukum juga amburadul. Makelar Kasus (Markus) bermunculan di kantor-kantor yang menjadi simbol penegakan hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Terakhir asus Joko Tjandra sebagai contoh paling telanjang. Hukum hanya tajam ke bawah, dan tumpul ke atas. Masyarakat khawatir terhadap resesi ekonomi, budaya atau politik di kalangan penyelenggara negara. Baik itu yang di Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Teta kelola negara kacau-balau, matiran dan amburadul. Baca tulisan Margarito Kamis, “Politik Setan Dalam Pembentukan UU” (FNN.co. edisi 06/09). Untuk itu, harus ada koreksi kepada penyelenggara negara. KAMI yang mau deklarasi di Jawa Barat ternyata tidak mudah. Rencana akan dilaksanakan deklarasi di Gedung Bikasoga sudah "clear". Tapi entah tekanan dari mana "ujug-ujug" melakukan pembatalan sepihak. Begitu juga dengan pemindahan ke Hotel Grand Pasundan, pada H-1 tiba tiba juga dibatalkan sepihak dengan alasan adanya Surat Satgas Covid 19 Provinsi Jawa Barat. KAMI Jawa Barat mempertimbangkan untuk melakukan tuntutan hukum. Rupanya ada hambatan dan penghalangan dari pelaksanaan asas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Polanya mempersulit kegiatan yang dinilai tidak sejalan dengan pandangan dan kebijakan Pemerintah. Demo-demo murahan juga dimunculkan. Covid 19 selalu menjadi alasan bahkan tunggangan dari kepentingan. KAMI sebagai gerakan moral tidak boleh menyerah. Kebenaran dan keadilan harus terus diperjuangkan walaupun menghadapi seribu kesulitan. Tekanan politik biasa dilakukan oleh penguasa yang takut terusik akan kemapanannya. Penguasa yang mengalami sindroma berat penyakit takut diturunkan dari singgasana. Menghantui siang dan malam. KAMI sebagai Gerekan Moral dipastikan bakal dihalang-halangi oleh “Gerakan Yang Tidak Bermoral”. KAMI di daerah-daerah terus bermunculan. Tumbuh sebagai kekuatan yang ingin meluruskan arah kiblat berbangsa dan bernegara. Buzzer, influencer, maupun "covider" (mereka yang menunggangi pandemi covid) boleh berusaha untuk mengotak-atik dan melemahkan. Sayangnya, dimana dan kapanpun gerakan moral itu sulit untuk ditangkal. Karena suara langit yang ikut menggemakan. KAMI memang dipersulit, tetapi tidak akan lari terbirit-birit. Apalagi hanya didasarkan pada alasan covid. Walaupun protokol sudah dinyatakan siap dijalankan dengan tertib. Masih saja dicari-cari alasan untuk mempersempit. Makin dipersulit, makan betrsemangat KAMI. KAMI berjuang untuk agama, bangsa, dan negara bukan untuk menduduki kursi kekuasaan. Bukan pula untuk menjatuhkan siapapun. Meski kursi kekuasaan yang diduduki itu semakin lapuk atau tak terawat. Keyakinan KAMI adalah penguasa itu akan jatuh disebabkan oleh perbuatannya sendiri, oleh kebodohannya sendiri, dan oleh penghianatannya sendiri kepada rakyat. Sekali lagi KAMI memang terpisah dari KAMU. Apalagi KALIAN yang bukan saja beda nama, tetapi beda haluan perjuangan. KAMI Jawa Barat yang dizalimi tidak dendam pada siapapun. Tetapi secara ksatria mengajak untuk bertarung gagasan, konsep, maupun program dengan siapapun. Mari beradu gagasan, konsep dan program untuk menyelamatkan Indonesia. Marilah kita memulai langkah itu dengan berkoalisi dalam aksi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Narasi Islamphobia, Instrumen Pemecah Belah Bangsa
by Anton Permana Jakarta FNN – Senin (07/09). Berhentilah menuduhkan hal yang sangat tidak baik kepada ummat Islam Indonesia. Apalagi dengan narasi basi seperti isu radikalisme, khilafah, dan intoleransi. Tak ada gunanya. Hasilnya pasti akan mengecewakan. Lambat laun, ummat Islam akhirnya tahu juga ada apa dibalik semua narasi itu. Semua tak lain hanyalah agenda Islamphobia. Agenda membangun kebencian dan ketakutan terhadap agama Islam. Ummat Islam semua sudah tahu, bahwa agenda Islamphobia ini adalah "pesanan" asing para globalis yang ingin secepatnya menguasai negeri ini. Stigma Islamphobia ini sudah terjadi berulang kali sejak fase zaman kolonial dulu. Hanya corak dan polanya saja yang berbeda. Kenapa pentingnya agenda Islamphobia ini semakin menjadi-jadi belakangan ini ? Jawabannya adalah : Pertama, sejak masa penjajahan, kelompok yang paling terdepan melawan dan mengusir penjajahan adalah ummat Islam. Mayoritas pejuang tangguh, pemberani, pahlawan, dan konseptor negara ini dari dari dulu adalah ummat Islam. Kedua, dari masa ke masa, dari orde ke orde, yang selalu terdepan menentang setiap penyelewengan terhadap negara ini adalah ummat Islam. Baik itu orde lama dalam melawan PKI, orde baru menentang azas tunggal dan KKN, maupun orde reformasi hari ini dalam menentang upaya mengganti Pancasila dan upaya menjadikan negeri ini berhaluan komunis. Ketiga, ummat Islam selalu sensitif terhadap nilai ketidakadilan, penjajahan, dan kesewenang-wenangan hingga menjaga kedaulatan bangsa. Ummat Islam juga sangat peduli terhadap pembangunan akhlak generasi bangsa agar jauh dari segala perbuatan maksiat yang dapat melemahkan bangsa dari dalam. Artinya, Ummat Islam sebagai mayoritas 88 persen di negeri ini mempunyai tanggung jawab moral dan peran penting secara kolektif untuk menjaga negeri tetap berjalan dengan baik menggapai tujuan bernegara. Islam adalah sejatinya benteng utama dan terakhir negeri ini. Namun ternyata, hal ini menjadi masalah besar bagi kelompok yang ingin sekali mengusai secara total negeri ini. Ternyata ada kelompok orang yang menganggap Islam adalah "benteng utama" yang menjadi penghalang untuk agenda mereka menjajah dan menjarah negeri kaya raya ini. Karena, secara ekonomi, politik, hukum, sosial budaya dan Hankam, kelompok ini hampir total dikuasai. Melalui kekuasaan politik yang secara halus sistematis sudah mereka ambil alih. Ini adalah fakta buruk hari ini. Sejenak, mari kita lihat secara logika jernih dan akal sehat. Yang menjadi permasalahan utama di negeri ini adalah korupsi, ketidak adilan hukum, narkoba, LGBT, penjarahan terhadap sumber kekayaan alam oleh negara asing. Juga hilangnya identitas dan karakter asli bangsa Indonesia menjadi latah tidak berjati diri. Belum lagi rusaknya tata kelola dalam pemerintahan. Betul bukan? Tak terhitung hasil kekayaan alam negeri ini disedot keluar, baik lewat udara, darat, dan lautan. Tak terhitung triliunan dolar Amerika uang negara menguap untuk kepentingan para elit oligharki, korporasi dan konglomerasi bersama cukong-cukongnya. Akibat semua itu, hari ini negara bangkrut. Hutang menggunung. Kemiskinan menjadi-jadi. Lapangan kerja sulit, harga sembako melambung, keharmonisan antar masyarakat terpecah belah. BUMN tergadai dan terancam lepas. Kedaulatan negara hilang di bawah dikte negara asing. Sarana prasarana kehidupan rakyat lebih banyak di kuasai asing dari pada negara dengan kedok investasi. Namun anehnya, semua permasalahan itu seolah diabaikan saja. Jarang dijadikan isu untuk sebuah perbaikan agar negeri ini menjadi lebih baik. Bagaimana bayar hutang yang menembus angka Rp 6.000 triliun ini? Kemana hasil sumber kekayaan alam kita yang luar biasa ini? Kemana uang hasil hutang Rp. 1.000 triliun UU Corona, karena faktanya rakyat tetap mesti bayar rapid-swab test dan beli masker? Kemana Harun Masiku? Apa penyebab terjadinya kebakaran kantor Kejagung? Siapa dalang di balik kasus memalukan Tjoko Chandra? Siapa aktor kuat di balik banjir narkoba di negeri ini? Kenapa pesta sex gay LGBT bisa leluasa? Kenapa semakin banyak TKA China masuk? Banyak lagi permasalahan kritis negeri ini kalau mau kita urai. Namun faktanya. Penguasa justru berupaya sebaliknya. Penguasa menyeret permasalahan agama seolah yang menjadi penyebab segala kerusakan bangsa hari ini. Apa hubungannya? Sangat aneh bukan? Jauh panggang dari api. Agama seolah dipaksa jadi sasaran kondikte otentik yang wajib dipersalahkan untuk menutupi semua kebusukan yang terjadi. Kenapa ini mereka melakukan? Ini jawaban dan analisanya Pertama, narasi Islamphobia sangat ampuh untuk mengalihkan perhatian publik dari "kejahatan" yang mereka lakukan terhadap negara. Sekalian membungkam duluan para kelompok agama khususnya Islam yang mau protes (melawan). Kedua, untuk menguasai negeri ini, berarti harus menaklukan Islam terlebih dahulu. Caranya? buatlah ummat Islam itu benci, takut, jijik, dan meninggalkan ajaran agamanya. Buat opini seolah Islam itu sumber segala sumber masalah di negeri ini. Bukan menjadi sumber segala nilai kebaikan lagi. Balikan semua persepsi itu dengan sihir media dan kekuasaan. Strateginya? Agenda Islamphobia dengan isu narasi radikalisme, khilafah, dan intoleransi. Termasuk pembunuhan karakter terhadap para tokoh bangsa yang beragama Islam di buat seburuk-buruknya. Congkel dan publish segala keburukan tokoh Islam. Kalau tidak ada keburukan, ciptakan fitnah atau jebak dengan berbagai cara. Tujuannya apa? Agar terbentuk opini tak ada satupun tokoh bangsa yang beragama Islam yang baik di negeri ini. Semua rusak dan bermasalah. Ada saja salah dan buruknya. Hanya tokoh dari kelompok mereka saja yang baik. Dilakukan melalui bombardir media, buzze rupiah, dan influencer yang di biayai. Ketiga, kuasai politik, ekonomi dan pemerintahannya. Ketika Islam mayoritas, jual dengan indah bahasa toleransi dan buat agama itu sakral agar jauh dari politik. Agar ummat Islam terbuai dan tidak peduli akan politik dan ekonomi. Namun setelah kekuasaan di tangan, baru buat aturan untuk menghabisi setiap sendi-sendi ajaran Islam tanpa basa-basi. Keempat, angkat dan jadikan para pejabat yang lemah iman, korup dan bisa diatur. Sebagai jagal (pelayan) untuk menghabisi sesama ummat Islam sendiri. Yang patuh diberi uang, fasilitas dan jabatan. Yang tidak patuh diisolasi dan dihabisi kariernya. Kalau perlu dipenjarakan apapun alasannya. Kelima, sudah terbukti bahwa yang selalu terdepan menentang setiap kezaliman dan ketidak adilan itu adalah tipikal ummat Islam yang taat ibadah, berilmu pengetahuan dan dekat dengan Al Quran. Untuk itu, identifikasi tipikal seperti ini harus dibalik seolah ummat Islam yang taat dan sholeh ini adalah bayangan penjahat dan berbahaya. Caranya beri stigma negatif bahwa identifikasi ummat Islam yang rajin ibadah, hafiz Qur'an, berilmu pengetahuan itu punya motivasi ke-Islaman tinggi adalah para calon teroris radikal dan berbahaya. Tetapi bagi ummat Islam yang sekuler, liberal, opportunis, suka maksiat, bahkan penjahat, dipelihara dan berikan fasilitas jabatan dan uang. Agar terdepan mengisi pos-pos strategis dalam kemasyarakatan. Sebagai corong kekuasaan. Keenam, pecah belah ummat Islam dengan cara merebut jabatan penting organisasi dan lembaga-lembaga ke-Islaman. Pecahkan mereka menjadi banyak kubu, dan selalu provokasi dengan adu domba sesama Ummat Islam agar kemudian saling cakar, saling habisi, dan saling bunuh (devide at ampera). Setelah semua kelompok ini hancur dalam pertikaian, baru terakhir ketika mereka sudah lemah terpecah belah dihabisi sampai ke akar-akarnya. Agenda Islamphobia di negeri ini semakin sporadis dan sistematis. Melalui regulasi dan lembaga negara (kementrian) mereka membuat aturan regulasi yang mempreteli dan memporak-porandakan tatanan keagamaan Islam. Mulai dari pendidikan, pesantren, kurikulum, sejarah, dan politik ekonomi. Pokoknya, mereka selalu berupaya dengan gigih bagaimana membuang sejauh-jauhnya agama Islam dari kehidupan bernegara hari ini. Pengaruh Islam tidak boleh ada dalam pusaran kekuasaan. Yang ujungnya tentu kita semua sudah tahu, yaitu menjadikan negara ini menuju berhaluan komunis dan super liberalis (tanpa agama lagi). Lalu apakah semua ini akan berhasil mulus seperti Andalusia, Singapura dan Manila? Dimana dulunya negeri itu semua adalah negeri Islam. Lihatlah hari ini. Islam menjadi minoritas dan tertindas. Menjadi penonton, bahkan babu di negerinya sendiri? Apakah kondisi ini bisa terjadi di Indonesia? Jawabannya pada diri kita semua. Apakah tetap diam? Tetap jadi pengecut? Atau bangkit dan berjuang membela Negara, Pancasila, dan Agama? Semua kembali kepada diri kita masing-masing. Yang jelas negeri ini sudah sekarat dan selangkah lagi menjadi negara super otoriter berhaluan komunis. Arah dan langkahnya sudah semakin jelas dan nyata. Sudah terang benderang bak matahari di siang bolong. Dan jawaban terakhinya adalah, "Bangkit berjuang, atau punah!". Wallahu'alam. Penulis adalah Dikrektur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.
Republik Buzzer
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (07/09). Dunia medsos meniscayakan tumbuh suburnya infuencer atau buzzer. Dua kata yang nggak perlu dibedakan. Karena kerja dan fungsinya sama. Jauh sebelum era medsos, influincer atau buzzer itu dipakai di dunia usaha. Untuk iklan produk. Sebagai alat pemasaran. Di era medsos, buzzer lebih banyak dimanfaatkan jasanya untuk iklan politik. Buzzer saat ini jadi lahan pekerjaan baru yang cukup menggoda. Di sini, ada anggaran besar. Baik untuk buzzer asal-asalan, hingga buzzer kelas profesional. Terutama di tengah angka pengangguran yang semakin besar jumlahnya di masa pandemi, buzzer menjadi salah satu alternatif lapangan kerja yang menggiurkan. Tak semua buzzer itu negatif dan destruktif. Banyak orang yang "secara suka rela" menjadi buzzer atas nama keprihatinan dan moral. Tentu saja, gratisan. Namanya juga relawan. Aktifitas buzzer oleh para relawan dijadikan sebagai alat perjuangan. Buzzer 212 misalnya. Motifnya adalah menuntut keadilan. Ini, tentu positif. Selama tetap menjaga obyektifitas. Kalau kelompok buzzer diklasifikasi, setidaknya ada tiga jenis buzzer. Pertama, buzzer moral. Tidak terikat kecuali pada obyektifitas moral. Pembelaannya hanya pada kebenaran yang dianggapnya rasional. Kalau harus membela dan mendukung seseorang, itu karena secara moral orang tersebut layak dan perlu dibela. Baca, cocok, lalu share. Ini buzzer moral. Pembelaan dilakukan bukan karena faktor kedekatan, juga tidak ada motif uang dan jabatan. Tidak ada ikatan sosiologis karena satu etnis atau organisasi. Tidak pula ada ikatan psikologis, karena teman atau pernah mendapat bantuan. Murni karena yang bersangkutan itu tepat dan rasional untuk dibela. Fenomena dukungan masif terhadap Anies-Sandi di pilgub DKI 2017 menggambarkan hadirnya buzzer moral. Para buzzer tidak membela Anies-Sandi, tetapi melawan ketidakadilan penguasa yang dianggap terlalu jauh intervensinya di Pilgub DKI. Bukan semata-mata faktor Ahok, tapi kekhawatiran sejumlah pihak jika Anies nyapres 2019. Secara teoritis, semakin banyak model buzzer moral, negara akan menjadi lebih baik. Sebab, proses pengelolaan negara akan secara ketat mendapatkan kontrol atau pengawasan. Disinilah terjadi check and balances. Dengan begitu, negara "relatif" bisa diselamatkan dari segala bentuk penyalahgunaan. Buzzer model seperti ini diperlukan untuk menjaga moralitas bangsa. Kedua, buzzer fanatik. Buzzer macam ini sangat militan. Faktor psikologis dan sosiologis seringkali menjadi dasar bagi lahirnya buzzer fanatik. Karena satu kampung, sesama etnis, berada dalam satu partai atau organisasi, simpati berlebihan terhadap performence tokoh, terhipnotis oleh pencitraan, karena faktor "kegantengan" membuat para buzzer itu seringkali bersikap tidak rasional. Bahkan ada yang nggak peduli benar salah. Mereka militan dan membela mati-matian. Bahkan buzzer model ini rela berkorban dan siap mati untuk para tokoh yang dibela. Para buzzer fanatik ini lahir diantaranya karena kekagumannya terhadap kharisma seorang tokoh. Seperti Habib Rizieq di kalangan FPI, Megawati di mata kader PDIP, para tokoh agama bagi para jemaatnya. Tokoh-tokoh kharismatik umumnya berlimpah dukungan buzzer fanatik. Tidak berarti bahwa para pendukung tokoh kharismatik itu hanya dari kalangan orang-orang yang abai terhadap rasionalitas. Tidak juga. Jangan salah paham. Hanya saja, secara teoritis, orang yang tingkat rasionalitasnya tinggi biasanya tidak terlalu fanatik. Ketiga, buzzer komersial. Orang menyebutnya sebagai buzzerRp. Menjadi buzzer adalah profesi. Disini, mereka numpang hidup dan cari nafkah. Sistem kerjanya bervariasi. Mulai ngoceh di medsos, bikin akun palsu, produksi video dan meme, kerahkan demo, sampai menulis artikel. Tugas mereka hanya dua. Pertama membuat iklan untuk pihak yang mensponsori. Namanya juga iklan, pasti bagus-bagus. Mana ada kecap nomor dua. Kedua, melakukan counter attack, atau serangan balik. Untuk menjalankan tugas yang kedua, mereka bersikap reaktif. Muncul hanya ketika ada yang menyerang pihak pembayar. Ciri utama mereka, menyerang orang atau kelompok. Seringkali membabi buta. Kalau ada sedikit otak, mereka menggunakan data. Data yang digunakan kadang ngawur. Dipaksakan supaya analisisnya meyakinkan. Dan di dalam narasinya sering ada kebohongan, bahkan fitnah. Pokoknya, bebas moral. Yang penting dapat bayaran. Biasanya, buzzer komersial ini tidak banyak jumlahnya. Ini berkaitan dengan keterbatasan anggaran. Tapi, mereka profesional. Ini bisa dilihat pada buzzer penguasa sebagai samplenya. Yang bicara di tv, nge-vlog, bikin video, buat tulisan, komen di medsos, ya orang-orang itu aja. Yang pakai blankon, udeng-udeng, kaca mata, nulisnya keinggris-inggrisan. Jumlahnya nggak lebih dari 10 orang. Karena gencar, masif, terlatih dan ada fasilitas, akibatnya berisik juga. Seolah isi medsos hanya mereka. Mereka hanya muncul saat ada kritik pada kebijakan pemerintah. Sekali lagi, ini hanya sekedar sample. Sample yang lain adalah munculnya para konsultan politik berbungkus survei saat pemilu. Kalangan ini lebih banyak iklan. Dan mereka dibayar untuk terus beriklan. Ngecap, maksudnya. Sesekali bikin meme. Namanya juga lagi nyari duit. Inilah buzzer komersial juga. Maraknya dunia per-buzzer-an di Indonesia ini cukup menghawatirkan. Sebab, dunia persepsi rakyat akan dikendalikan oleh iklan. Tepatnya, pencitraan. Jadi, banyak pemimpin daerah, anggota DPR, boleh jadi juga presiden yang terpilih bukan karena integritas dan kemampuannya. Bukan pula karena track record kerjanya, tapi karena iklan. Ini bahaya. Dan inilah yang terjadi selama ini. Maka muncullah istilah "petruk dadi ratu". Jika banyak Bupati, Walikota, Gubernur, anggota DPR dan presiden lahir karena iklan buzzer, maka negeri ini sudah jadi "Republik Buzzer". Sungguh ini telah jadi petaka! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Politik “Setan” Dalam Pembentukan UU
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Sejak era 1660-an industri kain wol Inggris sudah menyiapkan segala langkah untuk memproteksi bisnisnya. Sebagai contoh, mereka berhasil memengaruhi parlemen untuk meratifikasi UU yang terkenal dengan nama Sumptuary Act. UU ini pada intinya melarang rakyat Ingris memakai pakaian dari bahan tekstil ringan. Pada tahun 1666-1678 mereka melobi parlemen untuk meloloskan sebuah UU. UU yang dilobi pembentukannya ini mewajibkan semua warga Inggris yang meninggal dunia untuk dibungkus dengan kain kafan dari wool (lihat Daron Acemoglu dan James A Robinson,2014). Jakarta FNN – Ahad (06/08). Politik oligarkis, korporasi dan konglomerasi khas abad ke-17 itu, terus menjadi model politik pembentukan hukum hingga kini. Postur politik itu membentang di sepanjang rute sejarah pembentukan hukum negara. Inggris, Prancis dan Amerika, negara tukang khutbah demokrasi ini menggungguli semua negara lain di dunia. Di Amerika politk itu telah bekerja sejak abad 18 lalu. Tepatnya pada awal pemerintahan George Washington. Melalui Alexander Hamilton, kelompok oligarkis itu bekerja meloloskan UU American First Bank pada tahun 1791. Sesudahnya, praktik ini menjadi tipikal politik pembentukan UU di Amerika. Tangan setan oligarki bekerja pada hampir semua UU di bidang keuangan dan ekonomi (tarif). Postur bobrok ini menyempurnakan panorama dunia hukum. Jangkauan tangan-tangan setan itu melebar hingga dunia penegakan hukum. Alhasil pembentukan dan penegakan tidak bisa lepas dari tangan-tangan setan itu. Akuntabilitas, transparansi dan responsibilitas yang menjadi kekuatan inti struktural demokrasi pun, mati konyol. Kaum oligarkis, korporasi,konglomerasi dan cukong-cukong tahu lebih dari sarjana hukum tahu tentang hukum. Berkat bantuan ahli, kalangan oligarki, korporasi dan konglomerasi tahu hukum adalah sumber hak. Hukum juga sumber wewenang. Hak, wewenang, kewajiban dan semua tindakan pemerintahan, mengalir dari dan berdasarkan hukum. Konsep semua tindakan manusia dan pemerintah harus berdasarkan hukum, merupakan cara demokrasi bekerja mewujudkan impian tentang kesamaan derajat. Status civilian setiap orang sama. Equality Before the Law, dalam ajaran ngara hukum demokratis hanya dapat diwujudkan dengan dan melalui aturan hukum. Oligarki, korporasi dan korporasi dalam operasinya tak terlihat. Kekuatannya terasa mengangkangi Indonesia yang tahu cara berpikir itu. Kuncinya kuasai dunia hukum. Sesuai sejarahnya hukum adalah uang besar. Oligarki, korporasi dan konglomerasi yang memegang kunci itu. Bukan politisi. Sialnya dunia politik Indsonesia terlanjur menjadi pusat gravitasi relatifitas nilai. Dunia menegatur hukum itu menyediakan ruang kompromi tanpa ujung. Bekerja dengan teknik tinggi, mengakibatkan tampilan praktis cara kerja oligarkis, korporasi dan konglomerasi sulit didentifikasi. Bukti telanjang tentang eksistensinya tak berceceran. Itu sebabnya sulit menerangkan lolosnya politisi ke senayan, termasuk lolosnya UU Minerba yang baru dalam konteks kerja oligarki, korporasi dan konglomerasi. Panorama kecepatan proses pembentukan UU Minerba, UU Nomor 3 Tahun 2020, memanggil siapapun untuk mempertimbangkan sindrom oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Tetapi secepat kilatnya pembentukan UU MK yang baru saja diubah, tak cukup beralasan untuk dikerangkakan pada kekuatan kerja setan oligarki, korporasi dan konglomerasi. Paradoksnya saat ini UU Minerba dan Perpu Corona sedang diuji di MK. Mungkinkah kedua hal yang saling menyangkal ini menyulitkan MK menari secara mandiri? Tak ada jawaban yang otoritatif. Bukti telanjang tentang tangan oligarkis, korporasi dan konglomerasi bekerja dibalik Perpu Nomor 1 Tahun 2020, juga tak ada. Tak ada juga bukti telanjang tentang tangan oligarkis, korporasi, konglomerasi dan cukong bekerja dibalik DPR, sehingga menerima Perpu parah itu. Perpu ini mengalihkan hak budget DPR. Menabrak nyata-nyata dan telanjang bulat Konstitusi Negara UUD 1945. Pengalihan ini bermakna terjadi penyatuan eksistensi konstitusional DPR pada Presiden. Hebatnya soal fundamental ini tak mengusik cita rasa republikanisme DPR. Entah bagaimana rasionya, DPR malah mengonstitusionalitas imunitas hukum khas abad ke-17 tersebut kepada aparatur pemerintah. Legalisasi itu diatur dengan sangat jelas dalam pasal 27 Perpu Corona. Celakanya DPR mlah setuju saja. Tragis konstitusi bangsa ini. Hanya dengan satu pukulan kecil yang bernama “keadaan genting” konstitusi terpelanting. Konstitusi tersudut lalu jatuh tersungkur dalam keangkuhan interpretasi urakan tentang keadaan genting. Konsep konstitusi tentang “keadaan genting” diterima begitu saja. Ini disajikan sebagai mahkota konyol untuk dipakaikan kepada aparatur pelaksana APBN. Menariknya aparatur pemerintah yang diberi imunitas konyol itu, tidak percaya. Mereka tetap takut untuk dipenjara setelah kekuasaan ini berganti kelak. Kenyataan itu jelas menunjukan bahwa proses pemahkotaannya tak berkerangka pemetaan masalah primer. Padahal itu telah menjadi prosedur kerja standar dalam ilmu pembentukan UU. Menyedihkan sekali. Para pejabat Pengguna Anggaran (PPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) tidak mau masuk penjara. Mereka tak tergoda dengan pandangan fungsional ala Robert K. Merton, sosiolog kenamaan tentang hukum itu. Pandangan fungsional ala Merton ini, khas oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Kekhasan itu telah menjadi energi terbesar bekerjanya mesin politik pembentukan UU. Energi ini terlihat samar-samar dibalik kampanye konyol, yang cenderung manipulatif habis-habisan agar RUU Omnibus Cipta Kerja disambut dengan tangan terbuka oleh masyarakat. Padahal RUU ini begitu membahayakan petani dan rakyat kecil disatu sisi. Disisi lain RUU ini terlalu jelas memihak oligarki, korporasi dan konglomerasi. Itu terlihat menajdi alasan meyakinkan Profesor Din Sjamsudin, Presidium KAMI, meminta Presiden dan DPR mencabutnya. Pembaca FNN yang budiman. Apakah Presiden dan DPR akan mengapresiasi permintaan Prof Din Syamsudin dan teman-temanya? Atau malah sebaliknya menyepelekan? Apakah Presiden dan DPR akan mengidentifikasi permintaan itu sebagai hal yang beralasan? Permintaan ini, hemat saya, begitu bening. Esensi permintaan itu, hemat saya, mencegah petani Indonesia semakin jauh terjatuh ke dalam penderitaan. Juga agar sumberdaya ekonomi semakin tak terakumulasi dan terkonsentrasi pada kaum oligarkis, korporasi dan konglomerasi. Presiden dan DPR, idealnya dapat segera mereorientasi energi politik pembentukan hukumnya. Energinya harus direorientasi mengikuti pandangan Profesor Din. Sekali lagi pandangan itu sejalan pengetahuan akademik tentang demokrasi yang telah begitu canggih memapipulasi hukum. Dengan cara yang rumit, demokrasi menyodorkan mahkotanya yang bernama Equality Before the Law, sebagai justifikasi folosofis UU diskriminatif. Justifikasi ini dibalut dengan justifikasi sosiologis acak kadut. Semuanya hanya bermuara pada satu hal, membenarkan produk hukum-hukum yang memihak pada oligarki, korporasdi dan konglomerasi. Bukan hukum yang memihak kepada rakyat. Balutan sosiologis khas Robert K. Merton, sosiolog kenamaan Amerika itu, membuat Syed Husen Alatas, profesor dan sosiolog kawakan, tak bisa mengerti. Dalam penilaian berkelas Syed Husen Alatas, perspektif sosiologis khas Merton itu korup pada semua aspeknya. Malah merupakan korupsi dalam watak aslinya yang sangat sangat dan sangat sempurna. Korupsi jenis ini memang tidak berakhir di penjara. Itu tidak. Tetapi tetap saja korupsi. Memang korupsi jenis itu tidak dapat dikualifikasi sebagai korupsi tipikal UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 199 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi, sekali lagi, tetap saja korupsi. Malah korupsi jenis ini jauh lebih berbahaya. Mengapa? Korupsi ini dilegalisasi, dibenarkan oleh hukum. Hukum yang dipakai untuk melegalkan struktur korup dalam bernegara. Malah melestarikan penyebab institusional timbulnya korupsi. Menyenangkan bila Presiden dan DPR memiliki energinya republik ini untuk mencegah hukum berfungsi di luar fungsi asasinya. Energi Presiden dan DPR harusnya dipakai untuk menghasilkan hukum yang tak jadi alat perusak negara. Jelas itulah yang dirindukan. Republik punya alaram untuk hukum yang digunakan sebagai instrumen ketidakadilan. Mesin dan energi politik republik Presiden, harus memastikan proses pembentukan UU berjarak sejauh mungkin dari cara-cara setan oligarki, korporasi dan konglomerasi. Mudah-mudahan saja dapat diwujudkan. Sebab Presiden hanya perlu memiliki keberanian bertindak mandiri. Itu saja. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Pemerintah Piara Buzzer
by Zeng Wei Jian Jakarta FNN – Ahad (05/09). Tempo panen caci-maki. Dua kontroversi. Nggak mutu. Soal buzzer pemerintah dan kartun garuda Pancasila. Ade Armando berulang kali menyebut reportase Tempo nggak jelas. Report soal buzzer banyak kata "diduga" dan sumber anonim. Jurnalisme katro. Punggawa PRD masa lalu, Mr Web "Kingkong" Warouw mensinyalir Tempo punya dua kemungkinan motif. Pertama, mau gabung dengan moduz ngencet dulu. Kedua, Tempo memang proxy yang anti-pemerintah. "When one says 'terrorism' in a democratic society, one also says 'media'," kata Paul Wilkinson dalam makalah "The media and terrorism: a reassessment". Kemungkinan ketiga, Tempo sebagai traditional-media berusaha survive dari digital revolution wave. Turunkan mutu. Tulis sesuatu yang disukai targeted group. Tulisan yang membuat "glorified chimps" bersorak. Konsolidasi digital crowds sebagai basis advertisement iklan. Tempo mengap-mengap. Hidup susah. Mati segan. Old fashion. Zadul. Readers males baca. Revolusi digital nggak bisa distop. "Dulu penting belajar dari masa lalu. Tapi saat ini, penting bisa belajar dari masa depan," kata Alm. Aristides Katoppo. Viral, buzz, memes, stickiness, dan form factor menjadi "lingua franca" today's e-political branding. Reportase "Kakak Pembina di Tengku Umar" menyerupai click-bait headlines. Moduz mengeksploitasi "curiosity gap" pembaca. The fourth Probability, Tempo mengorbankan diri menjadi "influencer" yang memback-up buzzer malu-malu macam Rocky Gerung dan Direktur YLBHI Asfinawati. Asfinawati klenger kena online harassment, virtual social flogging dan stoning. Nggak tahan serangan trolls dan keyboard warriors pro pemerintah. Nangis-nangis. Lalu tuding pemerintah pelihara buzzer. No hard-evidence. Nggak ada bukti. Validitas tudingan masuk kategori hoax. Tudingan adanya buzzer-peliharaan adalah defence mechanism dari defeated groupings. Strategi orang kalah. Mereka ciptakan "The Common Enemy" for the audiences. Tempo sebagai old media membantu mereka dengan berusaha membentuk social realities adanya "buzzer peliharaan pemerintah". Moduz ini disebut Gamson dan Modigliani dengan istilah "social constructivism". Divided society masuk cyber space. Pro-kontra pemerintah. E-politics marak di social media. Netizens dua kubu. Ketika mendengung, mereka adalah buzzer. Di zaman lekra ada adagium "Semua orang adalah seniman". Sekarang kenyataannya “semua orang adalah jurnalist”. Serangan buzzer anti-pemerintah trigger netizens bersuara di ruang open democracy. Dua kubu sama-sama punya trolls dan keyboard warriors. Fungsinya adalah down-grade orang dan denigrasi sebuah issue menjadi kekacauan anarkistik. Mereka suka membuat marah, pull your strings until you are pist. Beberapa trolls melihat aktivitas mereka sebagai "an art form". Para trolls dua kubu aktif di arena "Swinging Dick Contest". Nggak pake nalar. No intent of proving reasoning or logic to any debate. Code of conduct para trolls tingkat tinggi atau "witty troll" adalah never angry, never swear, be vulgar dan never overly obnoxious. Troll Pro Pemerintah seringkali menang. Yang kalah jangan cengeng dan tuding-tuding Pemerintah Piara Buzzer. Mereka itu netizens. Dasar Pecundang. What a nasty loosers… Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Budaya.
Jangan Menjadi Bangsa Kodok
by M. Rizal Fadillah Dalam artikel "A Nation of Frogs" , William A. Borst, Ph.D. menulis dengan pas tentang komunis yang "memasak" bangsa kodok. "The fact is Communism is still very much alive and thriving in this country. It has taken on a more subtle, destructive guise. The situation is analogous to the frog that is put into a pot of tepid water. If the cook were to quickly increase the temperature of the water, the frog would quickly jump out to safety. But the smart cook increases the temperature, only gradually, so that the poor frog does not realize it is being slowly but surely boiled to death. Jakarta FNN – Ahad (05/09). Hewan sering diajdikan sebagai perumpamaan. Manusia yang sering beriringan dan bertegur sapa, dan saling silaturahim dimisalkan seperti komunitas semut. Mereka yang selalu menjaga masukan dan bagus keluaran itulah lebah. Sedangkan anjing adalah tipe penista. Anjing kalau diusir menjulurkan lidah. Dipanggil juga menjulurkan lidah. Sementara babi itu hewan yang tak pedulian dan jorok. Bebek "ikhlas" untuk digiring giring. Macan ditakuti dan disegani. Macan Asia adalah gelar untuk pertumbuhan ekonomi negara di Asia yang dikagumi. Kodok hidupnya di dua alam, di air dan darat. Kalau kerenang di air dengan cara menendang, dan berjalan di darat dengan melompat sana-sini. Bersuara ramai tak berirama. Umumnya menjijikkan. Manusia dinilai aneh jika punya hobby memelihara kodok. Dimakan oleh orang-orang aneh pula. Anak kodok hanya kepala dan ekor Kodok berubah bentuknya saat dewasa. Cebong adalah sebutan anak kodok. Cebong hanya bisa hidup di air. Mati di jika berada di darat. Untuk itu, anak kodok harus selalu "berbasah-basahan" kalau mau hidup. Bangsa Indonesia yang beragama dan berbudaya jangan menjadi bangsa kodok. Bangsa inkonsisten yang diombang-ambing oleh "alam". Mudah berubah tergantung pada koloni atau hegemoni. Selalu maju ke depan tak bisa mundur. Aib rasanya untuk mundur. Ketika maju di tempat yang basah, perlu menendang sana-sini. Sedangkan di tempat kering, juga melompat-lompat cari makan dan keamanan. Kalau tidak nendang sana-sini. Lompat sana-sini, maka kematian telah menunggu bangsa kodok di depan mata. Bangsa kodok adalah bangsa yang nyaman dibodohi dan dininabobokan. Dibunuh pelan-pelan dengan "kehangatan". Dimakan ideologi asing secara halus dan sistematis tanpa terasa. Adapun yang mahir untuk membunuh tanpa belas kasihan adalah Komunis. Dalam artikel "A Nation of Frogs" , William A. Borst, Ph.D. menulis dengan pas tentang komunis yang "memasak" bangsa kodok. "The fact is Communism is still very much alive and thriving in this country. It has taken on a more subtle, destructive guise. The situation is analogous to the frog that is put into a pot of tepid water. If the cook were to quickly increase the temperature of the water, the frog would quickly jump out to safety. But the smart cook increases the temperature, only gradually, so that the poor frog does not realize it is being slowly but surely boiled to death. Nah begitulah cara Komunis untuk membuat nyaman. Namun secara pelan-pelan dan bertahap membunuh bangsa kodok. Indonesia harus waspada pada negara Komunis RRC yang mampu menghangatkan secara gradual hingga panas yang mematikan. Investasi dan debt trap adalah jalan "the poor frog doesn't realize it is being slowly but surely boiled to death". Sekali lagi penyelenggara negara jangan berupaya menciptakan kondisi rakyat menjadi bangsa kodok. Sadarlah bahwa sikap yang seperti itu sama saja dengan menjerumuskan rakyat dan bangsa Indonesia ke dalam panci besar "perebusan" kematian. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.