NASIONAL

Mengapa Rezim Dituduh Membuka Pintu Komunisme ?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN- Kamis (24/09). Publik kini menyorot kinerja Pemerintahan Jokowi sebagai rezim yang membuka pintu komunisme. Tentu saja agak aneh sorotan ini. Sebab bukankah Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 masih dinyatakan berlaku ? PKI itu adalah organisasi terlarang . Untuk mitu, terlarang pula menyebarkan faham Komunisme dan Marxisme/Leninisme di Indonesia. Persoalan muncul, dikarenakan sejak Pak Jokowi menjabat Presiden tidak satu patah katapun yang terucap bahwa PKI dan Komunisme itu ada dan atau mengancam. Sementara masyarakat, khususnya umat Islam merasakan aroma keberadaan pengembangan faham komunis terlarang ini. Bahkan dengan nada menantang, Pak Jokowi pernah meminta agar tolong ditunjukkan keberadaan PKI. Upaya untuk mencabut Ketetapan MPRS No XXV tahun 1966 pun ada meski dengan alasan bahwa aturan tersebut "out of date". Ada yang secara terang-terangan merasa bangga sebagai anak keturunan dari PKI. Pembelaan bahwa PKI itu korban. Simbol PKI palu arit juga marak di masyarakat. Terasa ada geliat rehabilitasi dan tuntutan rekonsiliasi. Panglima TNI waktu itu Jenderal Gatot Nurmantyo mensinyalir akan kebangkitan PKI dan Komunisme ini. Buku-buku kiri dibaca oleh para aktivis, dan partai kiri pun muncul. Kehadiran PRD (Partai Rakyat Demokratik) mengingatkan keberadaan FDR (Front Demokratik Rakyat) bentukan Muso. Kemudian "diaspora" aktivis kiri yang menyebar ke berbagai partai politik dengan indikasi terbanyak ke PDIP. Sebagai "the rulling party", pantas partai ini menjadi sorotan atas perilaku penguasa. Munculnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) membawa efek pada bongkar-bongkar. Pengusul awal RUU HIP ini adalah Rieke Dyah Pitaloka. Akhirnya diketuk oleh Puan Maharani Ketua DPR-RI sebagai RUU Hak Usul Inisiatif DPR-RI. Setelah menghadapi gempuran hebat, khususnya dari umat Islam, maka RUU berbau komunis tersebut akhirnya ditunda oleh Pemerintah. Bukan dicabut dari Program Legislasi nasional (Proglegnas) prioritas DPR-RI. Bola kemudian diambil oleh Pemerintah, dengan mengajukan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pansila (BPIP) yang platformnya masih berspirit RUU HIP. Kekusutan dan kepanikan dalam memaksakan aturan semakin nyata. Ternyata rezim adalah paduan Pemerintah dengan DPR yang terkooptasi. Mengambangkan status kedua RUU menambah kuat sorotan dan tuduhan bahwa pintu komunisme ingin tetap dibuka. Sikap Presiden adalah ajuan lagi RUU ke DPR. Manuver kader dalam membela kader PKI yang menjadi korban. Serangan masif terhadap Soeharto, dan kriminalisasi aktivis yang anti PKI. Hubungan yang erat dengan PKC, serta berbagai pernyataan keprihatinan para purnawirawan TNI menjadi sinyal akan keberadaan gerakan Neo PKI dan faham Komunisme. Sementara Pemerintah terlihat abai dalam memberi "warning" kepada rakyat. Pemuliaan agama merosot. Tuduhan terhadap intoleransi dan radikalisme dialamatkan kepada umat beragama, khususnya umat Islam dinilai berlebihan dan mencurigakan. Ada disain kekuatan komunisme berada dibelakang tuduhan tersebut. Agama yang diganggu dan dikacaukan stabilitasnya. Agar rezim tidak dituduh membuka pintu bagi bangkitnya PKI, dan pengembangan faham Komunisme dan Marxisme, maka penting empat langkah. Pertama, berpidato lah Presiden untuk memberi peringatan akan bahaya Neo PKI dan faham Komunisme. Kedua, cabut segera RUU HIP dan RUU BPIP serta bubarkan BPIP. Ketiga, pulihkan hubungan Pemerintah dengan umat Islam. Sadari bahwa Ulama dan pemuka agama adalah sokoguru bangsa ini. Keempat, kembali kepada politik luar negeri bebas aktif. Pembangunan poros Jakarta-Beijing harus dihentikan. TKA Cina segera dipulangkan. Keempat, Pancasila sebagai konsensus tidak perlu direinterpretasi atau diotak-atik lagi. Jangan tonjolkan Pancasila versi tanggal 1 Juni 1945, karena itu hanya memancing konflik dan kegaduhan. Sebab itu hanya akan berakibat pada instabilitas politik bangsa. Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 sudah final. Karenanya tinggal pelaksanaan atau pengamalan saja. Fahami itu baik-baik. Pemerintahan Jokowi harus menyadari pandangan rakyat pada rezimnya. Ubahlah pandangan buruk dengan bukti perubahan sikap, kinerja, dan budaya politik baru yang lebih memuliakan rakyat dan umat beragama, khususnya umat Islam. Bukan sebaliknya. Menjadikan umat Islam sebagai musuh adalah program PKI dan faham komunis dahulu dan sekarang ini. PKI sudah berubah bentuk dari waktu ke waktu. Kadang tidak terlihat, tetapi aroma busuknya tercium sangat menyengat. Perhatikan itu baik-baik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Tunda Itu Pilkada, "Keselamatan Rakyat Hukum Tertinggi"

by Dr. Ahmad Yani SH. MH. Jakarta FNN – Rabu (23/09). Meminjam istilah Cicero, filsuf berkebangsaan Italia, “salus populi suprema lex esto”. Artinya, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara. Konsep itu juga tertuang dalam konstitusi atau UUD Negara Republik Indonesia 1945. Yaitu “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Peneyenggara negara harusnya pahami itu baik-baik. Hal itu sudah menjadi kaidah filosofis yang hidup dalam kehidupan bangsa Indonesia. Karena itu, tugas konstitusional negara adalah menyelamatkan rakyat Indonesia. Dalam konteks inilah pemerintah mengkaji pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020. Setelah itu menundanya. Juru bicara Istana, Fajroel Rahman memastikan pilkada akan tetap diselenggarakan. Meski desakan berbagai organisasi masyarakat agar menunda pilkada terus mengalir. Alasannya, pelaksanaan Pilkada untuk memastikan hak konstitusional warga negara. Fajroel ingin membenturkan antara keselamatan warga negara dan hak konstitusional warga negara. Padahal hak keselamatan jiwa itu juga merupakan hak konstitusional warga negara. Rapat bersama antara Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sepakat tidak ada penundaan Pilkada serentak 2020. Pilkada tetap akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Hal ini mengabaikan masukan dari masyarakat. Ciri negara kekuasaan. Sebelum keputusan diambil, penolakan telah datang dari berbagai pihak. Seperti dari Muhammadiyah dan NU yang menyatakan sikap. Juga memberikan masukan kepada pemerintah untuk serius mengatasi Pandemi corona. Menyarankan agar Pilkada serentak 2020 ditunda dulu. Sepertinya, sikap NU dan Muhammadiyah tak menjadi pertimbangan dalam memutuskan pilkada dilanjut atau tidak. Selain dua organisasi raksasa itu, ada Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Perludem dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang juga menyarankan agar pilkada 2020 ditunda. Alasanya serentak, karena pandemi covid-19 semakin meningkat dan penyebarannya sudah semakin mengkhawatirkan. Laju pergerakan covid-19 demikian dahsyat, hingga menteri agama Fachrul Razi dan Menteri Kelautan Edhy Prabowo positif terpapar. Komisioner KPU RI sendiri sudah dua orang dinyatakan positif Covid 19. Penyebaran diberbagai daerah juga menunjukan angka yang signifikan. Sebagian besar daerah menggambarkan laju penyebaran covid-19 yang meningkat. Belum lagi seperti yang dikatakan ketua KPU Arief Budiman. Sebanyak 37 Bakal Calon Kepala Daerah positif covid-19 Ini masalah serius Pak Presiden. Sebab keselamatan warga negara terancam. Sementara pilkada yang merupakan pesta demokrasi tetap digelar. Yang namanya pesta, mau tidak mau orang akan tetap berkumpul ramai dan ini mempercepat laju penyebaran covid-19. Meski pemerintah tetap pada pendirian untuk melanjutkan Proses Pilkada hingga pencoblosan 9 Desember nanti, namun masih ada harapan bagi masyarakat untuk terus memberikan masukan yang benar kepada Pemerintah untuk mengambil opsi lain. Meski sudah ada persetujuan bersama DPR, Pemerintah dan penyelenggara pemilu. Katro dan bebal. Tanggapan positif pemerintah datang jua. Adalah Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian memberikan harapan itu. Dalam pernyataan medianya memastikan, Presiden Joko Widodo mendengar serta mempertimbangkan usulan penundaan Pilkada Serentak 2020 yang disampaikan Pengurus Besar NU dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Walaupun Rapat bersama di DPR, sudah memutuskan, namun Mempertimbangkan dua masukan dari organisasi Besar itu tentu prioritas bagi presiden. Itu bukan sekedar masukan. Ini lebih substansial, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Ditengah kepungan pandemi, negara berkewajiban melindungi warga negara. Hal tersebut menjadi landasan sosiologis bagi pemerintah, DPR dan KPU untuk tidak melanjutkan pilkada. Masyarakat menghendaki pelaksanaan Pilkada 2020 ditunda. Sebab alasannya, Covid-19 belum teratasi dan pemerintah diminta untuk melakukan upaya pencegahan covid ketimbang melaksanakan pilkada yang berpotensi menjadi klaster covid19. Secara Hukum Opsi penundaan pun secara hukum sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pasal 201A ayat (3) memberikan opsi bahwa apabila bencana non alam (Pandemi Covid 19) belum berakhir, Pilkada bisa ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam berakhir. Payung hukum penundaan jelas sebagai acuan pemerintah. Selain itu, pilkada dalam situasi Pendemi bisa berakibat kurangnya pengawasan tahap pelaksanaan Pilkada. Ini menyebabkan semakin tertutupnya proses pelaksanaan. Karena itu, dalam menghadapi situasi yang demikian, sudah menjadi kaidah hukum bahwa setiap keputusan harus didasarkan pada akuntabilitas dan transparansi. Tanpa itu, akan melahirkan proses demokrasi yang lebih condong pada kepentingan oligarki dan dinasti kekuasaan. Pilkada hanya untuk mengejar kekuasaan sematar. Akibatnya, banyak tanggapan yang bermunculan, termasuk dari Mahfud MD yang menyebut pilkada dibiayai 82% oleh cukong. Angka itu memperlihatkan ada kepentingan besar oligarki dan korporasi memegang kendali dalam demokrasi. Maka apabila pilkada diteruskan, kemudian proses pelaksanaannya tidak terbuka, tidak menutup kemungkinan kekuatan oligarki dan korporasi akan berada dalam posisi puncak di Pilkada. Oleh sebab itu menunda Pilkada adalah jalan yang paling bijak untuk menyelamatkan demokrasi, dan hak konstitusional warga negara. Namun ada konsekuensi hukum lain apabila pilkada ditunda, yaitu berakhirnya masa jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota dibeberapa daerah akibat penundaan itu. Polemik ini muncul setelah ada desakan penundaan Pilkada. Perlu saya jelaskan sedikit tentang masalah pelaksana tugas (Plt), pejabat sementara (Pjs), pelaksana harian (Plh) dan pejabat (Pj) kepala daerah. Keempat istilah itu memiliki makna yang berbeda. Namun secara hukum apabila kepala daerah dalam hal ini Gubernur, Bupati dan Walikota berserta wakilnya sama-sama maju, maka mereka wajib cuti. Apabila keduanya cuti, maka diganti oleh Plt, Pjs dan Plh. Namun apabila kepala daerah berakhir masa jabatannya, dan belum ada kepala daerah yang baru, maka pejabat (Pj) yang akan mengisi kekosongan itu sampai menunggu kepala daerah diisi oleh pejabat tinggi madya. Pejabat tinggi madya di berbagai daerah di indonesia cukup banyak untuk mengisi kekosongan pemerintah daerah, apabila di berbagai daerah mengalami penundaan Pilkada dan kepala daerah telah selesai masa jabatannya. Hal seperti ini lazim dilakukan, apabila terjadi kekosongan, maka yang mengisi adalah Pj. Seperti juga ketika ada daerah yang melakukan pemekaran, pasti ditunjuk Pj kepala daerah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Karena itu, tidak ada alasan yang substansial tidak menunda Pilkada. Kalau alasannya hanya karena banyak kepala daerah selesai masa jabatan, tentu saja itu bukan menjadi alasan yang perlu dicari-cari. Sebab UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, sudah mengatur pergantian seperti itu. Perbaiki Sistem Pilkada Saya berpendapat, bahwa penundaan Pilkada menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah. Kita punya sejarah pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk merubah sistem pemilihan kepala daerah. Dari pemilihan langsung menjadi pemilihan tidak langsung atau lewat DPRD. Meski SBY sendiri yang akhirnya membatalakn UU yang baru diundangkan dengan Perppu. Pembatalan itu hanya karena desakan dari beberapa pengamat dan lembaga survey. Yang lebih ironis lagi, DPR menyetujui Perppu yang diajukan SBY Tersebut. Padahal tidak ada perintah konstitusi untuk melaksanakan pilkada secara langsung. UUD hanya menyebutkan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Demokratis itu artinya bisa secara langsung. Namun bisa juga melalui DPRD. Bahkan kalau kita ambil contoh di Daerah Istimewa seperti Yogyakarta, Gubernur diangkat melalui garis keturunan dan itu berlaku dalam sistem negara Indonesia. Atau kita lihat contoh di DKI Jakarta, Walikota dan Bupati diangkat oleh Gubernur berdasarkan pangkat eselon. Karena itu, Ditengah Pendemi ini saya kira dengan pemilihan langsung, sangat rentan penularan penyakit. Selain itu, juga rentan terhadap permainan oligarki. Seperti yang diungkapkan di atas, sebagian besar pilkada dibiayai pemodal. Lebih khusus lagi pilkada di daerah-daerah uang memiliki banyak sumber daya alam seperti Kalimantan Selatan, Kalimatan Timur, Sultera, Lampung, dan Maluku Utara. Dengan memberikan akses pemilihan langsung, maka biaya menjadi mahal. Akibatnya, biaya politik yang mahal itu, kepala daerah yang memenangkan pilkada akan berutang kepada cukong-cukong. Tetapi dengan pemilihan kembali ke DPRD, kita rakyat dapat melakukan pengawasan langsung dengan menggunakan lembaga penegak hukum. Biaya politik pun kecil. Potensi retak ditengah masyarakat juga menjadi kecil. Potensi penyebaran virus juga menjadi kecil. Sebab tidak ada pesta. Tidak ada kampanye akbar. Tidak ada konvoi orang dan kedaraan. Singkatnya, tidak lagi ada kerumunan massa. Dengan adanya penundaan ini, pemerintah bisa mengkaji atau mungkin mengeluarkan Perppu pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Sebagai penutup, etidaknya ada bebeapa alasan kenapa pilkada ditunda. Pertama, negara menjaga dan menjamin hak konstitusional rakyat tidak dirampas oleh kepentingan dan hasrat politik elit. Sebab Pilkada Ditengah pandemi sangat rentan terhadap keselamatan. Kedua, Pilkada sebagai ajang untuk mencari pemimpin yang bersih, jujur dan amanah serta adil. Tidak bisa dilaksanakan secara tertutup. Sebab itu akan memberi jalan bagi oligarki dan korporasi untuk mengambil kesempatan dalam pandemi. Ketiga, penundaan Pilkada bertujuan agar pemerintah konsentrasi menghadapi hantaman penyakit yang berefek hingga ke masalah ekonomi dan kesehatan. Efek besar ini tidak bisa diatasi dengan cara yang sederhana. Melainkan harus dengan cara yang serius. Keempat, anggaran dan biaya pilkada bisa dioptimalkan untuk menghadapi pandemi selama beberapa bulan kedepan. Sebab di tengah ancaman ekonomi dan kesehatan, kita juga menghadapi ancaman resesi yang dapat menjelaskan indonesia ke jurang krisis ekonomi. Kalau itu terjadi, maka krisis politik dan krisis sosial bisa terjadi lebih besar. Kelima, dengan penundaan Pilkada, pemerintah masih memiliki pejabat yang dapat mengisi kekosongan jabatan (Pj) kepala daerah. Mereka yang akan melaksanakan tugasnya sampai dilakukan pelantikan kepala daerah yang baru nantinya. Kelima, pemerintah dalam hal ini DPR dan presiden, dengan menunda pilkada, memiliki kesempatan untuk untuk mengkaji ulang sistem pemilihan kepala daerah yang potensi penyebaran covidnya kecil. Seperti pemilihan kepada Daerah melalui DPRD. Selain potensi penyebaran covidnya kecil, pemilihan melalui DPRD juga menghemat biaya pilkada dan memperkecil biaya politik paslon. Itulah sekilas pandangan saya untuk meminta pemerintah menunda pilkada ini. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Koordinator Komite Eksekutif KAMI, Dosen FH dan FISIP UMJ.

Demi Anak & Mantu, Rezim Ini Rela Korbankan Rakyat

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (23/09). Tiga kekuatan besar Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, dan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) telah meminta Pemerintah untuk menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sedianya dilaksanakan tanggal 9 Desember 2020. Dasar permintaan tersebut adalah masalah kemanusiaan, yakni pandemi Covid 19 yang belum ada tanda-tanda akan segera mereda. Sebaliknya, mempelihatkan kecenderungan yang meningkat. Buktinya, sekarang sudah 68 negara di dunia yang menutup pintu (lockdown) bagi masuknya warga negara Indonesia ke negaranya. Alih-alih mendengar seruan yang beralasan tersebut, justru pemerintah menegaskan untuk tidak akan menunda Pilkada serentak 9 Desember nanti. Inilah wujud dan bukti dari kenekadan dan tulinya rezim yang sedang berkuasa atas ancaman kesehatan bagi rakyat Indonesia. Kepentingan jangka pendek yang dominan di kepala penguasa ini. Tugas negara yang diwakili oleh pemerintah, sesuai perintah konstitusi adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah (rakyat) Indonesia. Untuk itu, sangatlah berbohong pernyataan bahwa kesehatan adalah yang utama. Faktanya, justru syhawat dan nafsu untuk berkuasa menjadi Walikota Solo dan Walikota Medan yang paling diutamakan, sehingga Pilkada harus tetap jalan dengan alasan apapun. Banyak sekali nada sinis bahwa urusan anak dan mantu yang menjadi prioritas utama Pilkada. Bahkan menjadi segala-galanya bagi pemerintah dan kekuasaan sekarang ini. Bukan lagi urusan bagaimana melindungi rakyat dari ancaman penyebaran pandemi Covid-19. Rakyat mau bertambah yang terjangkit dan positif Covid-19, tidak perduli. Begitu juuga dengan yang meninggal karena posotif Covid-19. Yang terpenting adalah Pilkada tetap dilaksanakan. Sehingga hasilnya adalah anak dan menantu menjadi Walikota Solo dan Walikota Medan. Itu yang terpenting. Kepedulian rezim pada penanggulangan Covid 19 memang rendah dan acak-acakan. Ketika masyarakat keras mendesak "lockdown", PSBB yang diberlakukan. Belum beres PSBB sudah canangkan New Normal. Anggaran kesehatan masih tertinggal dibanding infrastruktur. Tenaga medis yang banyak gugur, namun tidak dihargai. Malah menyebut masih banyak stock katanya. Sungguh menyakitkan. Pilkada adalah proses politik yang bukan darurat pelaksanaannya. Hanya sebagai alat menuju terlaksananya tujuan bernegara, sebagaimana diperintahkan pada alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Sementara melindungi segenap bangsa dan tumpahh darah Indonesia dari ancaman virus laknat Covid-19 adalah kewajiban negara kepada rakyat. Bagitu aturannya Pak Jokowi. Penundaan pelaksanaan Pilkada adalah biasa dan bijaksana. Berbagai penghelatan besar masyarakat seperti kongres atau muktamar telah ditunda. Pilkada memiliki tahapan rawan penyebaran Covid-19, baik saat kampanye maupun pemungkutan suara. Jikapun protokol ketat diterapkan, maka ini akan menghilangkan nilai demokrasi. Rekayasa dipastikan mudah sekali terjadi. Indonesia dinilai buruk dalam penanganan pandemi covid 19 oleh masyarakat dunia internasional. Sudah 68 negara menutup pintu masuk untuk warga negara Indonesia. Pada saat negara lain menurun penyebaran Covid-19, justru kita meningkat. Kini dengan pelaksanaan "pesta demokrasi" yang dipaksa kan untuk dijalankan, maka bertambah lagi bahan bagi kecaman dunia. Indonesia ini negara pemberani, nekad, atau sudah memang gila menghadapi penyebaran Covid-19? Desakan dari masyarakat melalui Muhammadiyah, NU, KAMI, dan organisasi lain, bukan untuk membatalkan Pilkada 2020. Tetapi hanya untuk menunda sampai pendemi Covid-19 mereda. Apa salahnya untuk dapat dipertimbangkan dan diterima? Covid 19 itu sangat berbahaya. Satgas telah dibentuk, dan berganti berkali-kali. Sekitar lima kali Kepres atau Perpres tentang Satgas diganti-ganti. Tujuannya untuk menunjukan bahwa situasi memang benar-benar darurat. Bongkar pasang penanggungjawab pengendali pun telah dilakukan. Luhut Panjaitan kini menjadi komandan tertinggi. Huueebaat kan? Bila pemerintah teta ngotot. Tidak mau menunda Pilkada serentak 2020, maka pertanggungjawaban dari segala risiko yang diakibatkannya harus ditanggung. Termasuk siap untuk dinyatakan bahwa perbuatannya telah melanggar Konstitusi. Siap mundur atau dimundurkan jika gagal atas kebijakan "nekad dan tuli" nya tersebut. Nah, sebagai penyelenggara negara maka Pemerintah wajib untuk mendahulukan perlindungan kepada warga negara. Bukan ngotot untuk memaksakan Pilkada. Sebab Pilkada itu sesuatu yang sangat bisa ditunda. Kecuali jika hanya demi kepentingan keluarga. Dan itu adalah fikiran gila dan tuli. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Gara-Gara "New Normal", Indonesia Tak Kunjung Normal

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (22/09). Memang, tak mudah bagi setiap negara menghadapi wabah covid-19. Terutama yang telat menyadarinya. Indonesia misalnya, tergopoh-gopoh saat virus menyerang. Bayangkan musuh datang dan anda nggak punya persiapan. Empon-empon model apapun, nggak akan tahan. Yang jengkelin, sudah salah prediksi, telat antisipasi, keliru kalkulasi, gagap, bingung dan panik, lalu kirim pasukan buzzer dan infulencer untuk membuat narasi-narasi pembenaran. Sudah begitu, narasinya kampungan dan primitif lagi. Yang penting dapat bayaran. Koplak. Tak perlu ada dilema antara pandemi dan ekonomi. Semua program bisa bersinergi. Kuncinya asal mengerti masalah dan serius menangani. Bukan dengan mengganti tim berkali-kali. Jangan masalahnya dan sakitnya berada di selatan, sementara yang diobati di utara. Ya pasti nggak nyambung. Karantina wilayah, itu ide jitu. Pandemi bisa dibatasi, ekonomi akan segera dapat diatasi. Di awal pandemi, ada kepala daerah yang mengusulkan gagasan karantina ini. Tepatnya tanggal 29 Maret. Tanggal 30 Maret diterima, langsung ditolak. Buru-buru sekali. Pada hari itu juga. Itu otoritas pusat, katanya. Tahu! Itu memang otoritas pusat. Makanya, diusulin, bukan diputusin. Akhirnya, ketemulah istilah PSBB. Mirip karantina juga sih. Meski telat, ini kebijakan sangat tepat. April-Mei, ketika PSBB diberlakukan, kasus terinveksi covid-19 bisa ditekan. Rata-rata perhari 445, dengan tingkat kematian rata-rata 26 orang setiap hari. Tanggal 14 April, Jokowi posting video. Wacanakan tatanan hidup baru. Bahasa inggrisnya "New Normal" dipidatokan Jokowi 15 Mei di Istana. Diantara isi pidato Jokowi, "Dan kita memang harus berkomprimi dengan covid, bisa hidup berdampingan dengan covid, yang kemarin saya bilang kita harus berdamai dengan covid, karena informasi dari WHO yang saya terima meskipun kurvanya agak melandai, atau nanti berkurang, tapi virus ini tak akan hilang. Artinya, sekali lagi kita harus berdampingan hidup dengan covid. Sekali lagi yang penting masyarakat produktif dan aman dari covid". Entah dapat ide dan gagasan dari mana, pemerintah membuat wacana New Normal. Nggak sabar. Terlalu terburu-buru. Panik yang nggak perlu. Berlebihan takutnya terhadap "bayangan" dampak ekonomi, tanpa dikalkulasi dari banyak sisi. Ingin segera normal tanpa rasionalitas untuk antisipasi. Apa yang terjadi? Semua ambyar! Saat itu saya bilang, "ini Herd Imunity". Siapa yang kuat akan hidup, siapa yang lemah, bakal kelar. Terbukti! Kasus covid-19 naik drastis. Juni naik jadi 1.141 perhari. Juli naik 1.714 perhari. Agustus naik 2300 perhari. Dan September di atas 3000. 16 September kemarin kasus naik hampir 4000 sehari. Tepatnya 3.963 orang. Jika April-Mei yang mati perhari 26 orang, Juni naik jadi 49 orang. Juli 73 orang. Agustus 80 orang. September ini, tingkat kematian di atas 100 orang per hari. Tanggal 16 September kemarin, ada 135 orang mati karena covid-19. Dan trend angkanya terus naik. Ngeri dah! Anehnya, ketika kasus covid-19 naik signifikan di bulan Juni, persis pasca New Normal dimunculkan, dan terus naik di bulan juli, kenapa pemerintah nggak melakukan evaluasi? Mengapa tidak segera tarik rim darurat? Lalu apa gunanya data kalau nggak dievaluasi dan jadi referensi kebijakan? Sampai disini, rakyat betul-betul nggak paham. Dan ketika di bulan September kenaikan kasus covid-19 semakin tak terkendali, ada kepala daerah melakukan evaluasi dan berinisiatif tarik rim darurat, justru diberi peringatan. Dibully dan diserang habis-habisan. Ini ada apa? Saat berlakukan New Normal, apakah pemerintah tidak mempertimbangkan watak "tidak disiplin" masyarakat? Kok salahkan masyarakat? Tidak! Mereka juga korban dari elit dan pemimpin yang terbiasa tidak disiplin. Sudah jadi tabiat dari rezim ke rezim. Turun temurun. Masyarakat tidak disiplin hampir dalam semua hal. Diantaranya hukum. Kalau penegak hukum nggak disiplin, bagaimana masyarakat bisa disiplin? Teorinya, "Hukum yang tidak ditegakkan dengan baik, akan melahirkan masyarakat yang tidak disiplin" . Makanya pemimpin harus pahami itu. Coba saja "tilang" diberlakukan dengan ketat di jalan raya, pelanggaran lalu lintas "pasti" akan berkurang drastis. Jika tak ada makelar kasus, kriminalitas akan turun. Kalau UU Pemilu ditegakkan, pelanggaran pemilu akan surut. Belum lagi praktek hukum "tebang pilih", yang makin merusak kedisplinan masyarakat. Andai saja New Normal dibarengi dengan operasi yustisi, hukum ditegakkan dengan memberi sanksi kepada masyarakat yang mengabaikan protab kesehatan covid-19, maka Indonesia saat ini nggak perlu banyak jatuh korban. Nggak perlu juga dilockdown oleh 68 negara di dunia. Setelah ratusan orang mati perhari, baru bicara UU No 4/1984 tentang kemungkinan penerapan sanksi pidana dan denda bagi yang mengabaikan protab kesehatan. Minta pergub, perbup dan perwali dijadikan perda, supaya ada sanksi. Apa anda sedang bercanda pak? Bukannya kalau kasus covid-19 naik, itu lahan bisnis yang menggiurkan? Tidakkah ini menguntungkan untuk bisnis masker dan APD (Alat Pelindung Diri), dengan semua turunannya? Terutama bagi penyedia vaksin. Sudah keluar modal dan investasi besar, lalu nggak ada yang terpapar corona, bandar bisa tekor dooong??? Au ah gelap. Jangan ada yang memancing lagi di air keruh. Ora elok! Disiplin, ini jadi masalah bagi masyarakat akibat penegakan hukum yang bermasalah. Terhadap masyarakat yang sedang belajar disiplin karena covid-19, New Normal muncul. Mendadak semuanya berubah. Anjuran 3 M: Memakai masker, Menjaga jarak dan Mencuci tangan mulai diabaikan. Saat kasus covid-19 perhari dibawah 500 orang, sekitar bulan Maret-Mei, masyarakat waspada dan takut terhadap corona. Orang-orang nggak keluar rumah kecuali kebutuhan urgent. Gang-gang RT dan RW diportal. New Normal muncul. PSBB diperlonggar. Kasus naik. Semakin hari makin tinggi jumlahnya. Bertambah hampir 4000-an orang perhari, dengan tingkat kematian di atas 100 orang setiap harinya. Meski semakin besar ancaman penyebarannya, masyarakat merasa aman-aman saja. Ramai beraktifitas di luar rumah. No masker. No cuci tangan. No jaga jarak. Cafe-Cafe dan restoran penuh. Mall-mall berjejal orang belanja. Jalanan padat. Orang-orang berkerumun lagi. Normal kembali, seperti gak ada penyebaran covid-19. Ini terjadi sejak makhluk bernama "New Normal" lahir. Dan saat itu, nyawa rakyat seperti tak penting lagi. Dihiraukan! Gagasan New Normal telah mengakibatkan pertama, angka kasus covid-19 naik terus, bahkan sangat tinggi. Kedua, ekonomi tetap terpuruk. Tangani ekonominya, tapi abaikan kesehatannya. Gagal! Semua langkah ekonomi seperti sia-sia. Ketiga, Indonesia dilockdown 68 negara. Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini? Nggak ada satupun pejabat yang legowo minta maaf kepada rakyat yang telah menjadi korban. Dasar….. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Pemimpin Yang Dibenci Rakyatnya

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (22/09). Menjadi pemimpin itu berisiko mendapatkan rahmat atau laknat. Tergantung dari apakah menunaikan amanat atau berkhianat. Pemimpin juga harus betul-betul memperhatikan kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Sebaliknya bukan berorientasi pada kepentingan dirinya sendiri yang hanya untuk menumpuk kekuasaan atau kekayaan. Pemimpin yang hanya mementingkan dirinya dan keluarganya pasti dibenci oleh rakyat. Apalagi setelah tidak berkuasa. Bakalan dicemoh oleh rakyatnya sendiri. Keluar dari rumah saja, seperti dibayang-bayangi oleh ketakutan mendapatkan cemohan dari masyarakat. Ketika terjadi situasi yang menimpa pada diri pemimpin apakah kesulitan atau sakit atau penderitaan lainnya, maka rakyat bukan simpati dengan mendoakan agar lepas dari kesulitannya, melainkan mengolok-olok, menghukumi, bahkan mungkin akan mendoakan yang buruk. Betapa celakanya urusan dunia dan akherat pemimpin yang dibenci oleh rakyatnya. Di musim covid 19 ketika pejabat tertular maka lihat bagaimana reaksi publik. Tak peduli dengan kondisi yang mungkin akan membaik atau sembuh. Sumpah serapah bertebaran di media sosial. Mengaitkan dengan perilakunya yang selalu menyakiti rakyat atau umat. Kasus Menteri Agama (Menag) Fachrul Rozi yang terberitakan terkena covid 19 suatu hal yang biasa ,dan mungkin saja sembuh. Tetapi jagad dunia maya menjadi heboh. Ada yang mengaitkan sebagai peringatan agar segera bertobat, hingga ada yang nyeletuk kalau ini juga adzab. Berbagai macam penilaian bisa bisa saja bermunculan. Mengapa Menteri yang mengurusi agama dicaci, hingga urusan tobat segala? Ini semua akibat dari ulahnya sendiri. Menteri Agama itu fungsinya menjaga Agama. Bukan merusak dan memyakiti umat beragama. Ributnya cuma radikalisme dan intoleransi. Akibatnya ya itulah dibenci umat. Ingat itu baik-baik, supaya disayang dan didoakan oleh umat beragama, khususnya umat Islam. Banyak Menteri yang tidak amanah. Tidak disukai sikap dan kebijakannya oleh rakyat sendiri. Menteri Pendidikan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kesehatan, Mendagri, Menko Maritim dan Investasi, dan Menteri lain yang rawan dibenci oleh rakyatnya sendiri. Jika banyak Menteri yang tak disukai, maka sudah pasti bermuara kepada Presiden. Sedikit sekali puja-puji kepada Presiden. Kalaupun ada puja-puji, itu pun dilakukan oleh orang yang dikualifikasikan sebagai pendukung buta. Tetapi yang mengolok-olok atau membully justru jauh lebih banyak. Ketika media mainstream dibungkam, media sosial menjadi cermin. Lihat dan rasakan saja kontennya. Positif ataukah negatif? Terlepas dari konteks aktual kekinian. Namun menjadi pelajaran sejarah bahwa pemimpin yang dibenci oleh rakyatnya bukan saja dipastikan jatuh dengan sakit. Tetapi juga kenangan pasca jatuhnya penuh dengan ceritra kenistaan dan keburukan. Tinta hitam mengenai masa kelam kepimpinannya. Pemimpin yang dibenci karena ketidakadilan diancam adzab pedih di hari kiamat. Rasulullaah salallaahu alaihi wasallam mengingatkan tentang datangnya siksaan yang pedih terhadap pemimpin yang zalim atau curang, "asyaddunnaasi 'adzaban yaumil qiyamati imamun ja-ir". Artinya, orang yang paling pedih siksa di hari kiamat adalah pemimpin yang zalim/curang (HR Thabrani). Allah SWT mengingatkan, akan adanya pemimpin yang pura-pura bercitra baik. Bahkan dalam beragama, sehingga orang pun kagum dan terkecoh, padahal dia orang yang paling keras dalam kezaliman. "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, bahkan dipersaksikan kepada Allah, padahal ia adalah penentang (agama) yang paling keras" (QS Al Baqarah 204). Kebencian umat kepada perilaku zalim tidak serta-merta menghentikan kezaliman. Dapat saja waktunya Allah tangguhkan dan adzab itu datang kelak dengan tiba tiba pada momen yang pas dan tepat. Tanpa disadari. "Dan ikutilah sebaik-baik yang diturunkan Allah sebelum datang adzab bagimu tiba-tiba (baghtatan) sedang kamu tidak menyadari" (QS Az Zumar 55). Oleh karenanya, hendaklah pemimpin itu tidak bermain-main dalam melaksanakan peran dan amanat dalam kepemimpinannya. Adalah keliru untuk masa bodoh dengan kejengkelan atau kebencian dari rakyatnya sendiri. Sebab sangat mungkin terhinan di dunia dan akhirat. Sadarlah bahwa semua amal bumi berdampak langit. Tuhan itu Maha Mendengar dan Maha Melihat. Adzab-Nya dapat datang dengan cepat dan tiba-tiba. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

Menepis Amien Rais Soal Implikasi “Kembali ke UUD 1945”

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto “…… Di samping banyak yang mendukung, tentu saja ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan amandemen tersebut, dan isi amandemen yang dibuat. Perbedaan pendapat seperti itu adalah bagian dari proses berdemokrasi”. (Prof. Dr. Maswadi Rauf, M.A, 2007, buku Valina Singka Subekti “Menyusun Konstitusi Transisi”). Jakarta FNN – Senin (22/09). Untuk membedakan dan mempermudah pemahaman dalam artikel “Menepis Pendapat Amien Rais” yang akan ditulis secara berseri, maka perlu permbatasan. Hasil amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR sebanyak empat kali, kita sebut “UUD 2002”. Keterlibatan Asing Dalam Amandemen UUD 1945 dapat dibaca dalam Bukunya Valina Singka Subekti, dengan judul “Menyusun Konstitusi Transisi” enak dibaca. Penggambaran situasi saat amandemen UUD 1945 patut dipercaya, karena Valina Singka sebagai anggota PAH III dan PAH I BP MPR 1999-2001. Saat ini Prof. Dr. Valina Singka Subekti sebagai Guru Besar di Uiversitas Indonesia. Beberapa tokoh mengatakan, amandemen UUD 1945 sebagai “Hasil Karya” bangsa Indonesia untuk membangun kehidupan kenegaraan yang lebih demokratis. Pertanyaanya, benarkah UUD 2002 murni “Hasil Karya” bangsa Indonesia? Benarkah untuk kehidupan yang demokratis? Apabila kita cermati, UUD 2002 bukan hasil murni bangsa Indonesia, dan belum mencerminkan kehidupan yang demokratis. Hal ini terungkap jelas dalam buku “Menyusun Konstitusi Transisi”. Amin Arjoso dari PDIP mencurigai dan menulisnya dalam “Jangan Sampai MPR Keblinger” mengatakan, “lebih menyedihkan lagi karena perubahan yang disebut dalam amandemen UUD 1945 dan oleh MPR dinyatakan mulai berlaku 10 Agustus 2002. Itu sesudah diamandemen empat kali, dan dilakukan atas intervensi LSM asing yang ikut menghadiri sidang-sidang PAH I”. LSM asing juga ikut memberikan fasilitas dan konsep-konsep selama proses penyusunan amandemen. Tujuannya untuk memastikan bahwa amandemen tersebut patut diduga keras sesuai dengan pemikiran “democratic values and an America self-interst”. (‘Menyusun Konstitusi Transisi’ halaman 81). Dugaan Amin Arjoso dikuatkan A.S.S. Tambunan. Adanya fakta bahwa amandemen UUD 1945 disusupi kekuatan asing. Namun, Jacob Tobing membantahnya. Walau demikian, kaum intelektual faham, sistem parlemen bikameral, Pilpres langsung, susunan dan kedudukan MPR dan alain-lain, patut dinilai sebagai penyesuaian dengan sistem di Amerika. Koalisi untuk Konstitusi Baru (KKB), merupakan Koalisi Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang berisi lebih dari lima puluh LSM. KKB ditambah kalangan perguruan tinggi, menyoroti proses amandemen yang tidak partisipatoris, sangat elitis, dan dipenuhi kepentingan politik. Artinya, ada keanehan. Jargon amandemen agar kehidupan lebih demokratis, tetapi prosesnya justru tidak demokratis. Koalisi Ornop pada ST MPR 2001 menyatakan, “meskipun telah ada perubahan terhadap UUD 1945 oleh MPR, perubahan itu banyak menimbulkan masalah baru. Misalnya, kerancuan dan pertentangan satu dengan lainnya. Dilihat dari prosesnya, perubahan ini hanya dilakukan dan ditentukan sendiri oleh MPR tanpa melibatkan rakyat Prosesnya yang tidak terbuka, dan sepotong-potong. Lebih banyak diwarnai kepentingan politik sempit fraksi-fraksi di MPR. Perubahan ini lebih condong memberi penguatan kepada kepentingan elite-elite politik di DPR/MPR yang menghasilkan kontrol antar lembaga tidak seimbang. Bahkan diduga memberi perlindungan hukum bagi pelanggar HAM”. (Menyusun Konstitusi Transisi, halaman 75). Catatan Prof. Dr. Amien Rais MA. Dalam kaitan reaksi anak bangsa yang ingin Kembali ke UUD 1945, Amien Rais dalam Kata Pengantar buku Valina Singka menyatakan, Kembali ke UUD 1945, seperti memutar jarum jam searah ke belakang. Sesuatu yang mustahil dan tidak boleh terjadi. Amien Rais menyebut ada sepuluh implikasi yang harus dicamkan jika kembali ke UUD 1945. Pertama, DPD otomatis hilang. Kedua, DPA muncul kembali. Ketiga, Otonomi Daerah dibatalkan. Pemerintah pusat kembali memegang sentralisasi kekuasaan. Keempat, MPR terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Kelima, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Bukan lagi dipilih oleh rakyat. Keenam, pasal HAM dengan sepuluh ayat yang melindungi hak asasi manusia Indonesia menjadi hilang. Ketujuh, tidak ada pasal yang menjamin kelestarian NKRI. Pasal 1 ayat (1) tidak dapat diubah. Kedelapan, tidak ada ketentuan sekurang-kurangnya 20 persen APBN dan APBD dialokasikan untuk bidang pendidikan nasional. Kesembilan, undang-undang yang dibuat oleh eksekutif. Sedangkan legislatif hanya menyetujui saja. Ini sangat ironis, karena DPR tidak membuat legislasi, namun pemerintah yang membuat legislasi. Kesepuluh, Presiden dapat dipilih berulang kali tanpa batas. Analisa dan Diskusi Bagaimana mungkin Amien Rais bisa bilang Kembali ke UUD 1945 sesuatu yang mustahil. Tidak boleh terjadi. Pernyataan yang antagonistis dengan pernyataannya sendiri. Amien dalam berbagai kesempatan bilang, hasil amandemen sebagai “living constitution” yang selalu terbuka untuk diubah. Menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Konstitusi bukan “Kitab Suci” yang tidak bisa diubah, kata para pengamandemen. Sejarah juga mencatat, Bung Karno pernah memutar balik pikiran bangsa Indonesia. Misalnya, kembali ke UUD 1945, pada 5 Juli 1959. Jadi, apa dasarnya Amien Rais bilang mustahil dan tidak boleh terjadi? Bukankah perubahan itu bisa “kembali ke UUD 1945 dulu”. Selanjutnya dilakukan penyempurnaan dengan cara adendum? Sinyalemen Amin Arjoso dan Koalisi Ornop di atas dikuatkan Donald D. Horowitz dalam bukunya “Constitutional Change and Democracy in Indonesia” terbitan Cambridge Univercity Press, 2013. Dikuatkan artikel Tim Weiner pada surat kabar New York Times, 20 Mei 1998, “Unrest in Indonesia, The Opposition U.S. Has Spent $ 26 Million since’95 on Soeharto Oppenents”. Keterlibatan asing sangat kasatmata. Tidak hanya dana yang digelontorkan, tetapi juga konsep pemikiran ala Amerika, masuk ke PAH 1 MPR. Akibatnya, intervensi asing itulah sehingga proses amandemen meninggalkan sifat partisipatoris. Tidak melibatkan rakyat secara luas. Tidak terbuka, sehingga tidak demokratis. PAH 1 dalam perubahan ketiga memang membentuk Tim Ahli dari berbagai disiplin ilmu. Namun aktivis LSM menolak, karena dinilai sebagai manipulasi untuk legitimasi BP MPR saja. Kewenangan Tim Ahli tidak jelas, masukannya bisa diubah, yang diduga adanya intervensi asing. Nah, apakah kita masih bangga, UUD 2002 sebagai murni “Hasil Karya” bangsa Indonesia? Yang prosesnya juga tak demokratis? Perbedaan UUD 2002 dengan UUD 1945, dijadikan implikasi oleh Amien. Narasinya sangat normatif, seperti iklan. Seolah-olah Kembali ke UUD 1945 membawa kerugian. Bagi yang cerdas, tidak akan terkecoh, karena sudah merasakan pahitnya UUD 2002. Sederetan pertanyaan kritis muncul. Pertanyaan terpenting, apakah pasal-pasal dalam UUD 2002 sesuai dengan nilai-nilai Pancasila? Pada seri-seri berikutnya, akan dikupas sepuluh implikasi di atas dengan pendekatan kualitas, karena UUD 2002 sudah 18 tahun kita gunakan. Ke arah mana kita akan berjalan? Seri ke-2 akan mengupas DPD, DPA dan Otonomi Daerah. Semoga bermanfaat dan masyarakat memahami. Amin. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Catatan Belasan Tahun Bersama Tokoh & Kader PKI (Bagian-1)

by Sudirman Timsar Zubil Jakarta FNN – Selasa (22/09). Sejak ditangkap dan ditahan Laksus Pangkopkamtibda Sumatera Utara pada tengah malam menjelang Shububh, tanggal 17 Januari 1977 aku mulai bersentuhan dengan kader dan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Ini disebabkan kami ditempatkan di tahanan yang sama dengan para kader dan tokoh PKI. Saya bersama-sama dengan kader dan tokoh PKI sejak dari Satgas Intel di Jalan Gandhi Medan, sampai ke Inrehab. Terakhir di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Lapas Kls I Tanjung Gusta Medan pada tahun 1986 hingga aku dibebaskan oleh Presiden B.J. Habibie pada 5 Januari 1999. Jadi, kebersamaanku dengan mereka selama 22 tahun kurang 15 hari. Mungkin dikarenakan aku divonis dengan pidana mati oleh PN Medan, para kader dan tokoh PKI yang sama-sama ditahan denganku tidak merasa khawatir untuk bicara terbuka kepadaku. Tentu bisa menjadi buku yang cukup tebal bila aku menuliskan semua "catatan batin" selama berinteraksi dengan mereka. Namun, aku hanya menorehkan secercah dari catatan batin mereka. Catatan yang aku kupikir dan kurasa relevan dengan situasi dan kondisi di tanah air saat ini. Dimana gonjang-ganjing kebangkitan kembali PKI begitu heboh di hampir semua media. Ada yang membenarkan dan ada pula yang menafikannya. Aku menegaskan di awal tulisan ini dengan menyatakan bahwa, PKI memang berusaha untuk kembali bangkit. Dasar atau alasan saya menyatakan seperti itu sebagai berikut. Pertama, pernyataan Kolonel Maliki, mantan Komandan Brigif (?) Kodam II Bukit Barisan, sekarang Kodam I Bukit Barisan. Ketika kami berdialog, aku bertanya kepada Kolonel Maliki. Kenapa Bapak memilih ditangkap padahal pada waktu itu pasukan Brigif di bawah komando Bapak? “Inilah gara-gara mengikuti cakap si Aidit, tunggu perintah Bung Karno baru bergerak". Keterangan pak Maliki itu merupakan bukti bagiku bahwa PKI dan tentara binaannya Kolonel Untung, dan lain-lain adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Tidak bisa dikatakan bahwa gerakan Kolonel Untung menculik dan membunuh para Jenderal di Lubang Buaya sebagai persoalan internal TNI/AD semata. Kedua, ketika bincang-bincang dengan pak Tamat, kader PKI yang tidak divonis tapi menjalani masa tahanan cukup lama (belasan tahun) beliau mengeluarkan uneg-unegnya kepadaku. Dia dan kawan-kawannya (istilah mereka menyebut sesama mereka dengan sebutan "kawan") sangat benci dan dendam kepada TNI/AD terutama kepada Suharto yang menumpas PKI sampai ke akar-akarnya. Antara lain katanya "...sekarang kami tidak bisa bikin apa-apa. Tetapi nanti ada saatnya kami akan balas semua yang dibikin mereka kepada kami. Sekarang kami sudah masuk (infiltrasi) ke mana-mana. Sudah ada yang Ormas, Parpol, Angkatan di dalam ABRI, termasuk Polisi dan lain-lain. Mendengar keterangan pak Tamat itu aku membatin di hatiku, "mimpi aja lah terus..." Akan tetapi melihat keadaan serta apa yang terjadi sekarang, ternyata pak Tamat bukan bermimpi. Apa yang diucapkannya ketika itu hampir terbukti semua menjadi kenyataan bahwa, sepertinya mereka telah ada di mana-mana. Masuk pada semua lini kehidupan berbangsa. Dengan senyap maupun dengan arogan meraka tampil penuh percaya diri. Sehingga menjadi aneh jika orang-orang pintar mengatakan PKI sudah mati tidak mungkin hidup kembali. Jadinya benar, kata Prof Din Syamsudin bahwa yang bilang komunis tak mungkin bangkit lagi, sesungguhnya komunis itu sendiri. Oleh karena itu saya ingatkan kepada kita semua, terutama generasi muda. Untuk tidak boleh terlena oleh ucapan yang seolah-olah meremehkan PKI. Namun sesungguhnya ucapan-ucapan seperti itu hanya untuk meredam gejolak kewaspadaan masyarakat, terutama umat Islam yang tersentak sadar melihat indikasi kebangkitan PKI memang begitu nyata. Apalagi penulis buku "Aku bangga jadi anak PKI", secara terbuka menyatakan bahwa anak cucu PKI sudah berjumlah 20 juta orang. Ditambah dengan kedatangan Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Cina dengan perwakan militer dalam jumlah begitu besar yang diperkirakan ratusan ribu atau sudah jutaan itu? Alhamdulillah pengalaman selama belasan tahun di penjara dan kenyataan hari ini telah membangunkan kesadaran tentang ancaman bahaya komunis, meski tidak lagi bernama PKI. Ketiga, Pak Isnanto adalah temanku bermain catur, dan juga teman dialog yang kritis. Beliau mengaku sebagai anggota CC PKI yang dipindahtugaskan dari daerah asalnya, Solo. Kata beliau, tugasnya adalah membina para pejabat dari semua lapisan yang mendukung atau bersimpati pada PKI. Pak Isnanto divonis hukuman mati. Permohonan grasinya telah ditolak oleh Presiden Suharto. Artinya, tinggal menanti pelaksanaan eksekusi. Beliau adalah kader dan tokoh PKI sejati. Namun, dalam setahun beliau mau juga ikut shalat yaitu, shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Bulan Ramadhan ikut shaum, tetapi alasannya untuk kesehatan. Bukan untuk ibadah. Yang penting dari kusampaikan tentang Pak Isnanto ini adalah militansia beliau. Meski dalam keadaan menanti dieksekusi mati, beliau masih bisa menjawab komentar dan pertanyaanku dengan tegas. Tanpa sedikitpun tampak kebimbangan pada Pak Isnanto. Aku bilang padanya begini, "... komunis terbukti telah gagal di dalam menyejahterakan umat manusia. Uni Sovyet bubar berantakan, begitu pula Eropa Timur, dan simbol yang fenomenal, Tembok Berlin, juga telah rubuh". Dengan enteng dan tenangnya Pak Isnanto berkata, "biasa, mundur selangkah untuk maju seribu langkah lagi" Itu membuktikan bahwa PKI sebagai organisasi (partai) memang telah mati atau dibubarkan. Akan tetapi komunis sebagai ideologi tetap hidup di jiwa penganut-penganut setianya. Mereka tetap setia dan bergelirya semua semua lini kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Aku salut dengan militansinya Pak Isnanto. Tetapi beliau tidak kalah salut kepadaku. Itu dikarenakan aku minta "laksanakan segera eksekusi mati, dan saya minta laksanakan di depan umum". Permintaan itu aku sampaikan kepada hakim ketua majelis yang juga Ketua PN Medan, Koeswandi SH, ketika menjawab pertanyaannya. Apakah aku menerima, atau banding? Atau akan meminta grasi atas vonis hukuman mati) yang baru saja dibacakannya? Pak Isnanto semakin hormat kepadaku. Apalagi setelah aku menyelamatkannya terlebih dahulu dari napi yang lain, dengan cara membuka pintu kamar dan mengeluarkannya dari kamarnya yang terkunci. Itu terjadi ketika peristiwa Iwan Dukun yang tewas terbakar di kamarnya yang dikuncinya sendiri untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan-lawannya. Eksekusi terhadap Pak Isnanto tidak terlaksana karena, beliau termasuk yang turut dibebaskan oleh Presiden B.J. Habibie. Semoga ALLAH ampuni dosanya dan ditempatkan pada tempat yang terbaik di alam sana. Aamiin aamiin dan aamiin... (bersambung). Penulis adalah Mantan Napi Yang Divonis Hukuman Mati.

Prasiden Nekad Pilkada, Untuk Apa?

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Selasa (22/09). Apakah jiwa dan hati terhenyak? Atau memang sudah membeku dan membatu. Jiwa dan hati sudah kering-kerontang. Hilang empati terhadap nasib rakyat. Bernafsu untuk berkuasa sebagai Walikota Solo dan Medan telah menyumpal cahaya bening pada jiwa yang seharusnya menjadi pelindung atas keselamatan rakyat. Ada tabir hitam apa yang telah menggumpal dan membelenggu jiwa yang seharusnya bening tersebut? Bukankah fakta bahwa orang-orang terbaik negeri ini banyak yang telah meninggal saat negara membutuhkan mereka? Negara telah abai dan gagal untuk menyelamatkan mereka. Karena sejak awal pemerintah menganggap enteng persoalan pandemi Covid-19. Kini, lebih dari 180 tenaga medis yang meninggal dunia. Dari jumlah itu 119 diantaranya adalah para dokter. Lebih dari 9.600 rakyat Indonesia meninggal dalam 6 bulan terakhir. Senin 21 September, yang positif Covid-19 dalam sehari mencapai 4.176 orang. Angka yang sangat fantastis. Berdasarkan data Satgas Covid-19 tertanggal 21 September 2020, sebanyak 27 orang positif di Markas Komando Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres). Ini sebagai akibat, selama enam bulan terakhir, pemerintah lebih fokus selamatkan ekonomi. Ratusan triliun uang rakyat dipakai untuk selamatkan ekonomi. Namun hasilnya, ekonomi tetap ambruk minus -5,3 % (Kemenkeu,2020). Virus Corona terus menyebar ke semua provinsi. Korbanya kebanyakan rakyat jelata. Kini ada bupati, sekretaris daerah, ketua KPU, bahkan menteri bertambah yang positif Covid-19. Tata kelola negara makin tidak efektif, disfungsional, tumpang tindih tugas, sering buat gaduh, dan lemah koordinasi. Coba kita tengok kapabilitas Republik ini mengatasi pandemi covid-19 seperti apa? Ternyata hanya ada enam provinsi yang sesuai standar WHO. Dengan jumlah penduduk 260 juta lebih, kita hanya mempunyai 232 laboratorium untuk RT-PCR, 80 laboratorium untuk TCM, dan 31 laboratorium untuk semua jenis tes (Kemenkes,2020). Kapasitas testing Covid-19 di Indonesia masih sangat rendah. Bahkan lebih rendah dibandingkan dengan Nepal. Hanya bisa melakukan 10.660 tes per satu juta populasi. Sementara Nepal mampu lakukan 30.932 tes per satu juta populasi. Kapasitas testing antar wilayah kita juga timpang. Tenaga medis makin terbatas. Soal disiplin warga? Jangan tanya soal ini. Sebab di kota-kota besar yang notabene tingkat pendidikanya cukup tinggi saja masih susah untuk disiplin. Apalagi yang di daerah. Mereka berdalih New Normal sesuai dengan anjuran Presiden, berdamai dengan Corona. Dalam situasi seperti itu, kita disuguhkan dengan tontonan besarnya hasrat dan syahwat untuk berkuasa melalui kontestasi Pilkada. Padahal belum ada simulasi utuh tentang kesiapan KPU menyelenggarakan Pilkada dalam situasi pandemi. Yang jelas dalam pilkada tahun ini dinasti politik makin semarak. Ada juga legitimasi dari yang berkuasa di Istana. Karena bangga memberi contoh. Sebagaimana diketahui bersama, ada 270 daerah yang akan selenggarakan Pilkada. Dari jumlah tersebut, 9 Pilkada Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota. Akan ada sekitar 106 juta lebih pemilih yang terlibat. Mereka akan mendatangi TPS di hari pemilihan. Orang-orang baik sudah mengingatkan, tak kurang dari ormas terbesar NU dan Muhammadiyah ikut bicara. Minta agar Pilkada 2020 ditunda beberapa bulan, sampai pandemi covid-19 mereda. Kelompok oposisi gerakan moral sepeti Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) juga sudah mengingatkan pemerintah dengan suara yang sama. Para intelektual, ahli pandemi, dan akademisi tak bosan-bosannya mewanti-wanti pemerintah terkait penundaan Pilkada 2020. Demi menyelamatkan sumber daya manusia Indonesia. Mereka semua mengingatkan betapa bahayanya Pilkada dilakukan di tengah pandemi covid-19 yang sudah mencapai tahap darurat dan sangat menghawatirkan. Jika nalar sudah berteriak, hati sudah menjerit, rakyat sudah menangis, tak juga didengar oleh tuan-tuan pendamba kekuasaan, maka apa yang disebut Machiaveli dalam II Principe (1513) sebagai pengabaian moralitas dalam kekuasaan adalah empirik di negeri ini. Lalu, untuk apa Pilkada diadakan di tengah situasi pandemi yang menghawatirkan ini? Apa sudah tidak sabar lagi ingin melihat anak dan menantunya berkuasa menjadi Walikota Solo dan Medan? Atau... Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta.

“Perlawanan” Pak JK

by Zainal Bintang Jakarta FNN – Senin (21/09). Wakil Presiden dua kali JK (Jusuf Kalla) melakukan “perlawanan”. Begitu pesan yang saya terima melalui WhatsApp dari teman-teman aktifis “civil society” (masyarakat sipil). "Saya kira KPU harus membikin syarat-syarat berkumpul atau apa. Kalau terjadi pelanggaran syarat-syarat, katakanlah kampanye hanya 50 (orang), tetapi terjadi 200 (orang). Kalau terjadi kecenderungan itu, ya lebih baik dipertimbangkan kembali waktunya," kata JK di sela-sela acara donor darah di gedung BPMJ Polda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (19/09/20). JK yang akrab dipanggil Daeng Ucu, hari ini, kini, mau merepresentasikan sosok dirinya sebagai tokoh bangsa yang “pedulian” . Pak JK yang tidak kenal diam. “JK tidak ada matinya”, begitu tertulis di WhatsApp tentang diri Daeng Ucu. Seperti diketahui, JK meminta keselamatan dan kesehatan masyarakat lebih diutamakan pada kondisi saat ini. Berbekal “senjata” dobel lop, yakni sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) dan Dewan Mesjid Indonesia, JK memang tidak kenal istirahat. Dua jabatan pada lembaga sosial kemanusiaan dan religius itu merupakan sumber oksigen dan imunitasnya untuk terus menyuarakan “perlawanan” itu. Dengan logat yang khas Bugisnya, mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan era Presiden Gus Dur itu, menghimbau agar Pilkada Serentak ditunda dulu hingga vaksin virus Corona ditemukan. Kalau memang sulit, dan ternyata susah untuk mencegah perkumpulan orang hanya 50 sesuai aturan yang dikeluarkan oleh masing-masing gubernur, lebih manfaat ke masyarakat itu bisa ditunda pilkada. "Saya sarankan ditunda dulu sampai beberapa bulan. Sampai dengan vaksinnya ditemukan. Kalau vaksin ditemukan nanti, langsung menurun itu", ujarnya. Subuah keinginan yang mulia untuk lebih mengutamkan kesahatan dan keselamatan masyarakat. JK tidak sendiri bersuara serupa. Ada Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Titik Anggraeni (Perludem), Gubernur Banten Wahidin Halim, Wakil Ketua Komite I DPD RI Ir H Djafar Alkatiri, Tim Pemantau Pilkada 2020 Komnas HAM, Hairansyah dan pakar Pemilu Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim dan belakangan menyusul Prof. K.H Said Aqil Siroj (PBNU). Pada umumnya tokoh-tokoh itu sepakat agar Pilkada 2020 ditunda! Setelah viral berita itu, jutaan orang yang mendukung saran JK itu meramaikan lalu lintas percakapan dunia maya di media sosial (medsos). Bagaimanapun gawe itu melibatkan 105 juta orang pemilih. Dikhawatirkan akan timbul klaster baru, karena setiap TPS ada 500 orang pemilih. “Perlawanan” Daeng Ucu menarik perhatian publik secara luas. Tepat ketika masyarakat saat ini merasa kurang sreg dengan berbagai kebijakan pemerintah. Yang kalau tidak tumpang-tindih, malah saling tabrakan. Tepat waktu ketika masyarakat sedang memerlukan kepedulian “civil society” yang belakangan ini serasa menyusut. Kegesitan Daeng Ucu bergerak kesana-kemari membuat keberadaan dan kiprah Wapres Maruf Amin dipertanyakan. “Yang menjabat malah pasif. Tapi yang mantan kok malah super aktif”? begitu isi pesan WhatsApp menyentil. Entah siapa yang dimaksud? Ada yang mempertanyakan, kemana perginya kelincahan Maruf Amin? Kiayai yang sangat menonjol ketika menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa yang ditandatanganinya telah menyeret Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) ke pengadilan, dan berujung dalam penjara di Mako Brimob, dengan dakwaan penistaan agama. Menarik menelusuri pernyataan JK yang dianggap “berhadap-hadapan” dengan negara. Muncul tepat ditengah banjir protes dan luapan kecemasan masyarakat. Pemandangan akhir-akhir ini menunjukkan tingginya angka korban pasien postif Covid 19. Masyarakat meminta pelaksanaan Pilkada serentak yang ditetapkan 9 Desember 2020 diutunda! Kasus positif virus corona (Covid-19) di Indonesia per Sabtu (19/09/20) bertambah 4.168 orang, sehingga total kasus positif di Indonesia mencapai 240.687 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 174.350 orang dinyatakan telah sembuh dan 9.448 meninggal dunia. Penambahan kasus positif itu merupakan rekor tertinggi harian sejak awal kasus Covid 19 muncul di Indonesia pada 02 Maret 2020. Sebelumnya, rekor tercipta pada 16 September 2020 dengan 3.963 kasus. Memecahkan rekor sebelumnya pada 10 September dengan jumlah 3.861 kasus. Sejak pertengahan Maret yang lalu, ketika itu wabah corona (Covid 9) masih kecil baru mencapai 172 orang dan meninggal dunia 7 orang, JK sudah mewanti-wanti pemerintah supaya lebih serius. Bukan tidak mungkin, jumlahnya jauh lebih besar di lapangan karena banyaknya yang belum terdeteksi. “Indonesia seharusnya lebih menggencarkan pendeteksian Covid 19 kepada masyarakat, agar angka yang tercatat lebih banyak lagi”, kata JK. Jalan fikiran JK sebagai Ketua PMI kini, dibaca masyarakat lebih dominan berorientasi kepada faktor kesehatan, alias keselamatan nyawa manusia. Menarik, karena darah saudagar yang kental dalam diri mantan Menko Kesra Presiden Megawati itu bisa dikalahkan oleh tanggung jawab pada kemanusiaan. Lebih dari enam bulan sudah berlalu, negara ini gonjang-ganjing mengurus penanggulangan kekacauan tatanan kehidupan ekonomi dan kesehatan akibat serangan wabah virus Covid 19. Pemerintah boleh dikata telah jatuh bangun bekerja keras mencari jalan terbaik. Mungkinkah langkah “nekat” JK yang melakukan “perlawanan” dengan mengonsolidasi potensi internal di non negara akan berhasil? Paling tidak mampu memberi secercah harapan ketenangan kepada masyarakat plus mengurangi kegamangan dan kegugupan aparat negara yang terlihat terkadang seperti kebingungan dan terkesan hampir kehabisan akal. Jangan salah disalahfahami. Yang dimaknai dengan istilah “perlawanan” dalam konteks JK adalah terhadap progresifitas penyebaran wabah virus Covid 19. Manver JK memang menarik. Sebagai mantan Wapres yang cukup setahun meninggalkan Istana, dipastikan mempunyai jaringan informasi “bawah tanah” yang up to date tentang suasana kebatinan elite-elite Istana itu sekarang. Sebagai alumnus pemerintahan pertama kabinet Jokowi, sebaliknya diyakini JK memiliki sejumlah informasi yang akurat tentan “jeroan” Istana. Inilah yang membedakan JK secara kualitatif dengan pemimpin masyarakat sipil yang belum pernah punya pengalaman di pemerintahan selengkap JK. Berdasarkan penelusuran media, teriakan JK nampaknya telah merebut perhatian publik maupun elite. Diperkirakan terdorong oleh dua hal. Pertama, dipengaruhi rasa percaya diri JK yang bergerak secara independen tanpa sumber daya negara. Yang kedua, lantaran kepasifan Maruf Amin yang tidak terlihat ada geliatnya. Padahal sumber daya negara sangat besar dan banyak di tangannya. Ada juga yang berharap “perlawanan” JK mampu menggelinding menjadi faktor pemotivasi gerakan “civil society” agar mereka lebih percaya diri. Meskipun tanpa topangan sumber daya negara, mereka tetap konsisten menjalankan peran kritisnya. Mengontrol perjalanan pemerintahan agar tetap di atas koridor konstitusi sesuai dengan amanat proklamasi. Kasus Covid 19 ini dapat dibaca dari perspektif yang lain. Dapat menjadi panggung “perlawanan” JK terhadap adanya sejumlah tuduhan miring yang menganggapnya selama ia menjadi Wapres dua kali. Dia lebih banyak membesarkan kerajaan bisnisnya dan keluarganya. Publik sedang menanti-nanti, apakah “perlawanan” JK dapat menjadi pintu masuk terkonsolidasinya kekuatan masyarakat sipil yang masih berserak-serak tanpa sentral komando? Sivil Socisty yang dibawah sebuah komando “ideologi” kebangsaan yang konsisten berkomitmen kepada keutuhan NKRI. Penulis adalahWartawan Senior & Pemerhati Sosial Budaya.

PDIP Tak Fahami Manajemen Krisis Birokrasi Pemda

by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Senin (21/09). Sekretaris Jendral (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto yang ngotot Pilkada Serentak 2020 harus tetap diselenggarakan tahun ini. Alasan Harto akan menciptakan ketidakpastian politik. Selain itu, konsekuensinya daerah dipimpin Palaksana Tugas (Plt) adalah pandangan yang tidak berdasar dan tidak empiris. Agak miris jika petinggi partai di level Sekjen tidak, bahkan dalam memahami bagaimana birokrasi daerah bekerja selama ini. Saya ingin menjabarkan tentang apa yang dibutuhkan birokrasi dalam menghadapi krisis. Yang paling utama adalah kecepatan birokrasi daerah dalam merespon krisis. Kecepatan birokrasi merespon krisis inilah yang diperlukan adanya adaptasi atas krisis yang sedang dihadapi. Misalnya, dalam hal ini pandemi Covid19. Kemudian birokrasi harus meningkatkan respon mereka terhadap krisis-krisis lain yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian birokrasi daerah perlu di setup ulang untuk menjalankan dua tugas sekaligus, yaitu pelayanan masyarakat yang rutin dan mengatasi pandemi. Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi terkait dengan sumber daya manusia, pengalaman dan anggaran. Birokrasi sebenarnya telah memiliki nilai (value) dan ketahanan (resilience) yang dapat mempengaruhi kemampuan birokrasi beradaptasi dengan tantangan krisis untuk kinerja dan efiesiensi. Dalam praktek rekrutmen kepala daerah misalnya, realitasnya pengaruh kepala daerah secara politik dalam birokrasi hanya sebagai pemimpin yang memberi visi bagi pembangunan daerah. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23/2014, tugas kepala daerah antara lain memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Tugas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Tugas kepala daerah lainnya adalah memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Menyusun dan mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang daerah (RPJPD) dan Rperda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD. Selain itu, kepala daerah menyusun dan menetapkan (Rencna Kerja Pembangunan Daerah) RKPD. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD. Dari uraian di atas, jelas bahwa tugas kepala daerah itu untuk memimpin. Yaitu memimpin birokrasi yang telah lama ada, agar berjalan dengan sistematis. Ibarat supir menjalankan bus yang masih laik jalan. Bukan menjalankan bus yang mogok. Sebenarnya dalam kondisi khusus, siapapun supirnya bus tetap akan bisa jalan. Begitu juga birokrasi. Agar tetap berjalan baik, meski dipimpin Plt karena telah dipagari oleh UU dan peraturan lainnya. Apalagi jika Plt yang ditugaskan berasal dari Kemendagri yang tentunya sudah sangat paham karakter birokrasi di masing-masing daerah. Lalu apa yang masih kurang dari birokrasi saat krisis pandemi ini? Dalam proses penyesuain terhadap krisis, seringkali terjadi deviasi. Dalam hal ini sinergisitas dan konsistensi dengan pemerintah pusat. Ini tentu saja dapat memperlambat respon terhadap krisis. Bahkan dapat menimbulkan kebingungan dalam sistem birokrasi. Hasilnya sudah jelas yaitu inefketifitas dan inefisiensi. Yang paling urgen saat ini adalah kembali fokus pada krisis dan menjalankan apa yang seharusnya dilakukan. Misalnya, mekanisme yang lebih responsif dalam koridor tata kelola pemerintahan daerah yang berlaku. Lalu apa masalah-masalah yang timbul ketika Pilkada dilaksanakan dan terbentuk rezim baru di Pemda saat krisis? Pertama, selama proses Pilkada para ASN daerah kehilangan fokusnya terhadap pandemi. Setidaknya terpecah bakal. Kedua, kepala daerah terpilih perlu menyesuaikan diri lagi dengan persoalan pandemi. Juga dalam hal kordinasi dengan bawahannya. Ketiga, fokus kepala daerah pun terpecah dengan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan DPRD seperti anggaran dan Perda. Mungkin bisa saja kepala daerah baru membawa perspektif baru dalam menghadapi pandemi. Namun tetap saja efektifitasnya akan ditentukan bagaimana koordinasi dan implementasinya. Itu masih butuh penyesuaian lagi antara ASN dan kepala daerah baru. Terakhir, saya ingin mengingatkan PDIP juga bahwa sudah banyak lembaga internasional yang mengeluarkan "policy brief on elections during Civid19". Isinya tentu saja untuk mengingatkan dan mempertimbangkan resiko dan ancaman dalam pelaksanaan Pemilihan selama pandemia, yaitu ancaman peningkatan penularan Covid. Selain itu, saya juga ingin mengingatkan bahwa persoalan kualitas Pilkada itu sendiri, yaitu potensi ketidak hadiran pemilih saat pencoblosan karena takut Covid. Ini untuk pemilih yang tidak peduli siapa terpilih, asalkan dapat uang di tengah kesulitan ekonomi (wani piro). Bung Hasto, ini bukan lagi soal pro pemerintah atau oposisi. Juga bukan soal kampret cebong. Ini soal moral dan akal sehat kita yang katanya punya falsafah Pancasila. Dimana nalarmu ketika korban berjatuhan, kau bikin pesta demokrasi berjudul Pilkada? Tengoklah wajah petugas medis dan pemakaman yang bekerja sudah melampaui batas. Benar tidak ada yang tahu kapan Covid berakhir. Bisa saja jika Pilkada diputuskan ditunda, ternyata bulan depan Covid berakhir. Tapi itu pun tak perlu menyalahkan pihak lain. Setidaknya bung Hasto sudah menunjukkan empati kepada para petugas medis, petugas makam, korban meninggal dan masyarakat yang masih sakit. Karena saat ini, itulah yang diperlukan untuk menyatukan perspektif kita semua untuk bersama melawan Covid19. Wassalaam. Penulis adalah Komite Politik & Pemerintahan KAMI .