NASIONAL

Cicero, "Salus Populi Suprema Lex Esto"

by Zainal Bintang We know how to bring the economy back to life, What we do not know is how to bring people back to life. "Kami tahu cara untuk menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang yang mati", kata Presiden Ghana, Nana Akufo Addo di twitternya yang viral 28 Maret lalu, terkait sikap tegasnya melockdown negaranya menghadapi wabah Covid19. Jakarta FNN – Sabtu (26/09). Jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 9 Desember 2020 direcoki kebisingan suara pro dan kontra. Pemerintah dalam hal ini presiden Jokowi melalui juru bicaranya Fadjroel Rahman dengan tegas menolak Pilkada ditunda! Sementara sejumlah tokoh Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) besar Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta MUI (Majelis Ulama Indonesia) plus Jusuf Kalla(JK) meminta Pilkada Serentak ditunda. Pemerintah beralasan akan terjadi kekosongan pemerintahan di daerah apabila Pilkada ditunda karena banyak pejabat yang akan berakhir masa jabatannya. Berdasarkan Data Satuan Tugas Penanganan Covid 19, Jumat (25/09) jumlah pasien yang positif Covid-19 sudah menjadi 266.845 orang. Penambahan 4.823 kasus dalam sehari kemarin. Kesembuhan mencapai 196.196 orang. Yang meninggal dunia sebanyak 10.218 orang. Grafik korban pasien positif Covid-19 melaju setiap hari. Pada saat yang sama kualitas layanan petugas maupun fasilitas kesehatan sangat kewalahan. Inilah yang mendorong ungkapan filsuf Romawi kuno Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM), “Salus Populi Suprema Lex Esto” (Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi) dikutip oleh siapa saja, ditulis dimana-mana dan viral kemana-mana. Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tidak hanya sebagai agenda rutin politik, tetapi juga berfungsi menjadi lokomotif penggerak ekonomi di tengah masyarakat. Tapi gawe Pilkada saat ini cukup dilematis. Terperangkap kasus pandemi Covid-19 yang meningkat setiap hari. Sesuai kodratnya sebagai pesta demokrasi lima tahunan, proses Pilkada sejak dari tahapan pendaftaran sampai pencoblosan memastikan adanya kerumunan massa pendukung para kontestan. Pahami kodratnya itu baik-baik. Pilkada serentak secara nasional pertama kali digelar 9 Desember 2015. Ironisnya perhelatan demokrasi itu sekaligus menjadi bursa transaksi jual-beli suara masyarakat kepada kandidat melalui jasa tim sukses atau relawan. Bukan rahasia umum terjadinya operasi “serangan fajar” praktik politik uang (money politics) untuk memastikan keterikatan suara calon pemilih. Praktek money politics itu bagian kecil dari skenario besar pragmatisme politik yang membudayakan percukongan. Politik yang menyandera kandidat terpilih memikul beban kewajiban, untuk memberikan kompensasi kemudahan perizinan dan lisensi kepada cukong yang mendanai biaya kandidat. Sejenis dengan “success fee”. Sebuah media cetak ibukota Kamis pagi (24/09) memuat berita berjudul “Kuasa Kapital Picu Regresi Demokrasi”, mengutip Prof. Emil Salim (90) yang mengakui, mencatat demokrasi di Indonesia memang mudur. Partai politik kehilangan legitimasinya. Kekritisan pers dan media yang dalam ancaman. Pelemahan institusi demokrasi dan negara hukum salah satunya KPK. Demokrasi yang berbasis kekuatan kapital, yang disebutnya sebagai “demokrasi cukong”. Mantan Menteri Perhubungan dan Lingkungan Hidup era Soeharto itu menjadi salah seorang pembicara di dalam suatu acara peluncuran buku. Istilah cukong itu sinonim dengan kata oligarki yang suka disebut oleh Jeffrey A.Winters (60). Ilmuwan politik Amerika di Northwestern University itu mengkhususkan diri dalam studi oligarki. Demokrasi di Indonesia, kata Winters, yang bertujuan untuk memeratakan kekuasaan dan ekonomi, nyatanya justru berjalan di arah yang sebaliknya. Winters menilai, demokrasi Indonesia dikuasai oleh kaum oligarki, sehingga makin jauh dari cita-cita untuk memakmurkan rakyat. Winters yang telah banyak menulis tentang Indonesia dan tentang oligarki di Amerika Serikat melanjutkan, demokrasi dikuasai kaum oligarki itu terlihat dengan makin dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin di Indonesia. Konsentrasi kekayaan meningkat dan ketimpangan juga meningkat. Indonesia jauh lebih merata antara yang kaya dan miskin pada 1945 daripada sekarang. Apa yang salah? Padahal partisipasi rakyat minimal harus membawa lebih banyak kemakmuran. Kenapa ini tidak terjadi? Yaa itu tadi, karena oligarki dan elite di Indonesia sudah menguasai sistem demokrasi dan mengontrol sehingga Indonesia punya “oligarki demokrasi”. Winters pengarang buku “Oligharcy” (2011) yang memenangkan Luebbert Award dari Asosiasi Ilmu Politik Amerika (2012) untuk “buku terbaik” dalam perbandingan politik. Kembali kepada “sengketa” jadwal Pilkada yang terjadi pada saat posisi demokrasi yang dilematis ini, state actor (pejabat negara) justru berkonfrontasi dengan non state actor (masyarakat sipil). Memperdebatkan model solusi mitigasi atas ancaman nyawa rakyat akibat transmisi pandemi di dalam proses tahapan Pilkada. Penyelenggara tetap ngotot Pilkada jalan terus. Hantu kekosongan pemerintahan di daerah jadi alasan tambahan. Dikarenakan banyak kandidat yang akan berakhir masa jabatannya. Itu memerlukan legitimasi baru. Sebagai Pjs (Pejabat Sementara) posisi itu tak memiliki kewenangan membuat kebijakan. Sehingga akan menghambat program pembangunan. Regulasi kampanye secara virtual (daring) dijanjikan disiapkan untuk mengganjal tradisi kerumunan. Kebutuhan belanja para kandidat untuk pernak-pernik seperti alat peraga, berbagai format sosialisasi, lembaga survei, operasional tim sukses dan relawan plus harga tiket rekomendasi beberapa partai politik termasuk dana “serangan fajar”, jumlahnya cukup besar. Merujuk informasi mutakhir KPU telah menerima pendaftaran sebanyak 741 paslon (pasangan calon) di seluruh Indonesia. Jumlah 741 pasangan calon itu meliputi 270 daerah. Dengan rincian 25 paslon 9 di propinsi, 224 di Kabupaten dan 37 di Kota. Dari jumlah tersebut, ada 25 kabupaten/kota yang menggelar pilkada dengan satu paslon calon. Melibatkan 105 juta orang pemilih yang akan mendatangi kurang lebih 312 ribu TPS (Tempat Pemungutan Suara). Sebuah asumsi obrolan warung kopi, jika itu memang benar , menyebutkan dana yang harus dikeluarkan setiap kandidat mencapai antara Rp 35 - Rp 50 miliar dikonversi 741 paslon, total uang yang berputar mencapai Rp 35 triliun - Rp 50 triliun. Jika merujuk teori ekonomi, angka itu dilipatkan dua kali jumlah dana yang akan beredar mendekati Rp 100 triliun. Katakanlah, hanya setengah dari jumlah itu yang kejadian, yaa tetap besar Rp 50 triliun! Merupakan mesin besar penggerak ekonomi di masa pandemi. Bagi pemerintah, anggaran tahapan Pilkada itu harus ditangkap untuk dijadikan agregator perputaran roda ekonomi rakyat yang mandek selama pandemi. Persolannya terpulang kepada kapasitas kemampuan dan kesiapan organisasi negara mengendalikan kerumunan orang, agar tidak terjadi ledakan klaster baru. Pemerintah harus cermat menghitung sebelum melangkah. Karena taruhannya keselamatan jiwa rakyat yang mutlak dilindungi sesuai amanat konstitusi. Banyak kalangan yang memperingatkan, bahwa mempertaruhkan nyawa rakyat untuk kepentingan politik sesaat adalah kejahatan atas kemanusiaan, “crimes against humanity”. Ingat dan fahami peringatan itu baik-baik. Sebab bisa saja menjadi persoalan kemanusiaan kelak. "Terima kasih atas pesan kuat untuk dunia saudaraku Nana Akufo Addo Presiden Ghana. Bersama untuk menciptakan dunia yang lebih sehat, aman, dan adil. Bersama untuk melawan Covid 19". Kata Dirjen WHO Ghebreyesus mengapresiasi ucapan presiden Ghana di twitternya. Ghana adalah negara kulit hitam Afrika pertama yang merdeka dari Britania Raya pada tahun 1957. Sebutan untuk negeri ini sebagai “Pesisir Emas” memang terpantul dari sikap Presiden Nana Akufo Addo yang memang berhati “emas” untuk melindungi rakyatnya. Pada layar WhatsApp saya ada tulisan cukup menggelitik, “di Ghana itu tidak ada hiruk pikuk kampanye soal Pancasila setiap hari lho”! Penulis adalah Wartawan Senior & Pemerhati Sosial Budaya.

Kesadaran Palsu Dan Budaya Politik Kekerasan

by Radhar Tribaskoro Bandung FNN – Sabtu (26/09). Ancaman Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Surabaya untuk membubarkan acara deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) adalah salah satu contoh mengapa Indonesia harus diselamatkan. Ancaman itu menunjukkan budaya politik yang mengandalkan kekerasan massa dan kedekatan kepada kekuasaan untuk memaksakan kemauan. Baru saja berlalu ketika sebuah organisasi massa menyerbu sebuah pesantren. Mereka melakukan tindak pemaksaan dan kekerasan verbal kepada pimpinan pesantren yang notabene seorang ulama. Kita ingat saat pilpres yang lalu, kekerasan yang sama menimpa Ahmad Dhani dan Bunda Neno Warisman. Dalam situasi seperti itu aparat penegak hukum malah mengabaikan kewajiban konstitusional. Apara abai untuk melindungi kebebasan berbicara dan berkumpul. Mereka arapat memilih mengabaikan panggilan konstitusional itu dengan dalih khawatir adanya bentrokan massa. Apa yang terjadi? Sebab di seluruh dunia aparat penegak hukum mempertahankan konstitusi sampai titik darah penghabisan. Namun di sini, aparat hukum memilih mendukung kepentingan penguasa. Sekalipun harus mengabaikan kewajiban konstitusi melindungi rakyat. Kejadian yang berulang menjadikan kebiasaan. Kebiasaan yang berlangsung lama membentuk budaya. Budaya politik yang dicirikan oleh kekerasan massa (bukan cara-cara demokrasi dan konstitusi) sebetulnya sudah pernah terjadi dulu, yaitu pada era Demokrasi Terpimpin. Pada ketika itu PKI membangun aksi massa untuk membubarkan Organisasi Politik (Orpol) dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), yang notabene adalah musuh politik mereka. PKI tahu bahwa keinginan mereka itu akan mudah dipenuhi oleh Presiden Soekarno, sebab Soekarno pada akhirnya menganggap Muhammad Natsir, Bung Syahrir, bahkan Bung Hatta sebagai musuhnya. Makanya hasilnya mudah saja untuk ditebak. Presiden Soekarno akhirnya memenuhi tuntutan PKI. Soerkarno berturut-turut membubarkan Partai Masyumi, PSI, dan partai Murba. Hampir saja Soekarno juga membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Budaya politik kekerasan massa hilang di era Orde Baru, karena Soeharto tidak membutuhkan massa untuk menindas musuh-musuhnya. Soeharto langsung menggunakan aparat untuk keperluan itu. Tentara dari Angkatan Darat, dan intelijen yang bekerja untuk menjaga kekuasaan Soeharto. Sementara di era reformasi muncul kekerasan massa yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) terhadap Ahamdiyah dan Syi’ah. Aparat malah seperti mengipasi karena praktis mengiyakan tuntutan FPI untuk membubarkan pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi. Alasan aparat penegak hukum sama, untuk menghindari bentrok massa. Namun pada saat yang sama aparat mengabaikan kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi kebebasan berpendapat dan berkumpul. Sikap aparat yang tidak proper itu membakar kemarahan rakyat kepada FPI. Semakin sering FPI beraksi rakyat semakin marah. Rakyat kebanyakan tak menyadari bahwa banyaknya aksi FPI hanya bisa terjadi bila aparat membiarkan. Semakin membaranya kemarahan rakyat, besar kemungkinan adalah sebuah set-up atau sebuah cipta-kondisi dalam bahasa intelejen Indonesia. Dalam kenyataannya, kemarahan publik tersebut dimanfaatkan oleh suatu golongan politik. Mereka meniupkan isu kebangkitan politik identitas, radikalisme, anti-pluralisme dan sektarianisme. Pada awal pemerintahan Jokowi, isu itu semakin menguat terutama karena tidak ada tindakan kongkrit dari aparat untuk mencegah berulangnya kekerasan massa. Suatu elit politik dalam pemerintahan Jokowi membakar sentimen itu lebih hebat dengan menjadikan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai bukti adanya upaya mengganti Pancasila. HTI memang sering mengungkapkan, secara lisan maupun tulis, cita-cita mereka untuk membangun negeri khilafah di Indonesia. HTI adalah ormas damai, mereka tidak pernah melakukan kekerasan massa. Namun aksi damai HTI itu tidak mencegah pemerintah membubarkan HTI. Keberadaan HTI kemudian dijadikan prima causa bahwa ide-ide radikal dan anti-pancasila, telah merasuk ke dalam lembaga-lembaga negara, ormas, perguruan tinggi. Bahkan ke mesjid-mesjid. Semua itu dijadikan dalih untuk melakukan pembersihan orang-orang yang tidak mendukung penguasa, harus disingkirkan. Padahal sebetulnya hanya ada dua kasus. Pertama adalah kasus kekerasan massa FPI, dan kedua adalah kasus khilafah HTI. Kedua organisasi itu sangat kecil dalam perspektif Indonesia. Keduanya tidak mengangkat senjata. Keduanya juga tidak berhubungan satu sama lain. Tetapi keributan sosial-politik sengaja diciptakan begitu hebat. Seakan-akan Indonesia kini sedang berperang. Juga seakan-akan rakyat hanya dihadapkan kepada dua pilihan, menjadi negara Pancasila atau negara khilafah? Indonesia sudah seperti dalam keadaan darurat. Dalam situasi seperti itu, orang-orang yang tidak waspada didorong untuk mempercayai penguasa tanpa reserve. Orang-orang itu kemudian menjadi toleran terhadap kekerasan dan kecurangan penguasa. Mereka juga mengambil sikap tidak peduli terhadap tindakan pemerintah yang semakin otoriter dan mengkonsentrasikan kekuasaan dengan mengambil kewenangan legislatif maupun eksekutif. Mereka tidak peduli bahwa produk-produk hukum belakangan ini telah menimbulkan kerugian besar bagi generasi masa depan. Misalnya dari ekstraksi UU Minerba. Mereka masa bodoh terhadap potensi penjarahan yang mungkin terjadi akibat undang-undang yang menjadikan pemerintahan kebal hukum. Mereka juga tidak mau tahu bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnubus Law Cipta Kerja telah mengubah buruh dan tani menjadi budak. Tanah sepenuhnya dikomersialisasikan, sehingga jutaan petani hanya berpeluang menjadi buruh tani. Pesantren-pesantren berubah dari produk amal-ibadah menjadi produk pasar komersial, dan seterusnya dan sebagainya. Selian itu, realitas politik saat ini telah memperkuat cengkraman oligarki atas Indonesia. Dari RT/RW sampai presiden tidak ada tindakan yang bisa berjalan tanpa restu oligarki. Puncak dari semua kebobrokan yang berlangsung di tengah kesadaran palsu itu tercermin dalam kasus RUU HIP dan BPIP. Kedua RUU itu mau meletakkan kembali “Demokrasi Terpimpin”. RUU HIP dan BPIP menjadikan konsep “Demokrasi Terpimpin” yang dibangun Soekarno mau dihidupkan kembali. Mau menjadi pedoman kehidupan politik Indonesia. Dalam “Demokrasi Terpimpin”, demokrasi sebenarnya menjadi ambyar. Semua kekuasaan berada di tangan presiden. Trias Politica bubar jalan. Itulah agenda politik paling puncak saat ini. Untuk keberhasilan agenda tersebut, suatu kelompok elit di Istana memberi jalan bagi kaum oligarki merampok Indonesia. Juga menghancurkan martabat rakyat, sehingga sekadar menjadi budak kapitalis. Menjadikan Indonesia semakin tergantung kepada Cina dalam keuangan, ekonomi dan politik. Sekarang orang-orang yang tidak waspada, karena diliputi dengan kesadaran palsu, mau diperalat untuk menindas KAMI. Berbeda dengan mereka, KAMI adalah orang-orang yang waspada. KAMI membaca rencana dan perbuatan sampai jauh ke alam pikiran dan kebudayaan. KAMI tidak akan tertipu dan termakan kampanye kesadaran palsu tersebut. KAMI ingin menyelamatkan Indonesia. Pertama, menyelamatkan saudara-saudara kami dari kesadaran palsu. Demikian terjadi pada saudara-saudara kami dari FPI. Mereka telah membuang kesadaran palsu ketika melihat sendiri bahwa orang yang dulu memfasilitasi mereka sekarang justru menindas mereka. Mereka adalah pejuang Pancasila. Kedua, menunjukkan jalan kebenaran, yaitu jalan dimana tujuan tidak menghalalkan segala cara. Artinya, politik memang memiliki tujuan, tetapi tujuan itu hendaknya dicapai dengan basis moral. Kemenangan dalam politik bukan untuk kemenangan itu sendiri. Kemenangan, keberhasilan dan kemajuan harus juga berarti membawa seluruh rakyat ke tingkatan moral yang lebih tinggi. Itulah perilaku Pancasilais yang KAMI pahami. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Soal Pilkada, Mendagri Tito Jangan Ngaco & Ngawur

by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Jum’at (25/09). Kerumunan orang dalam rangkain Pelihan Kepala Daerah (Pilkada) bukan hanya saat pendaftaran dan sosialisasi. Prakteknya kontestan juga lakukan distribusi "uang cendol". Para Tim Sukses (Timses) juga perlu mengamankan uang cendol agar dipastikan sampai ke pemilih. Jika saat normal saja praktek distribusi uang cendol selama ini terkesan dibiarkan oleh panitia Pilkada. Apalagi saat pandemi virus covid dan krisis ekonomi. Pemilih tentu saja berharap dapat uang cendol, yang meski sedikit sangat berarti di saat krisis ekonomi. Sedangkan siapa yg terpilih, saya yakin sebagian pemilih sudah tidak perduli lagi. Juga perlu dipertimbangkan berkumpulnya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara(KPPS) relawan atau saksi dari para kontestan. Pengumpulan dan pengelompokan relawan dan saksi ini sudah terjadi secara intensif sejak tahap sosialisasi hingga penghitungan suara. Jangan terulang lagi KPPS banyak meninggal (989 orang) saat bertugas seperti di Pemilu 2019 lalu. Jadinya, sangat sulit untuk menjamin protokol bisa dijalankan dengan disiplin penuh untuk masyarakat. Jangankan kita yang sudah dikenal sebagai bangsa yang kurang disiplin, masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat saja masih banyak yang tidak disiplin dalam memakai masker. Jika kita melihat kisah aturan tentang penggunaan helm pertama kali diterapkan, perlu berapa tahun masyarakat sadar mau pakai helm. Ini sebagai contoh saja. Sehingga mengharapkan masyarakat sadar dan disiplin dalam penggunaan masker, serta menjaga jarak dalam berinteraksi saat Pilkada nanti, sama dengan menyuruh masyarakat menyebarkan virus covid diantara sesama. Itulah yang harus dipikirkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Jangan asal negomong. Jangan juga ngawur kalau ngomong. Apalagi Mendagri mentakan bahwa “Pilkada bisa bangkitkan ekonomi”. Saya pikir itu pernyataan seperti itu bukan saja tidak tepat. Tetapi ngawur dan asal ngomong. Sebab omongan pejabat yang asal, bisa berakibat pada pemahaman yang keliru dan sesat. Supaya tidak gagal faham, Mendagri Tito sebaiknya baca lagi berulang-ulang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 01/2020 yang telah menjadi UU Nomor 02/2020. Sebab tidak ada satu pasalpun yang menjadikan alasan ekonomi sebagai dasar pelaksanaan Pilkada. Di luar rumah, ada virus corona yang bergentayangan. Masyarakat tidak bisa keluar rumah untuk bekerja, karena ada virus Corona yang bergentayangan. Banyak Pemerintah Daerah telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSPB) untuk mencegah penyebaran virus. Masyarakat tidak keluar rumah sebagian upaya mecegah dan memotong rantai penyebaran virus corona. Anehnya, Mendagri Tito malah terlihat ngaco dan ngawur ngomong mengenai alasan dilaksanakan Pilkada. Terlihat kalau Mendagri Tito tidak memahami tujuan kita bernegara, seperti diperintahkan oleh alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Sebab melindungi rakyat dari ancaman kematian (tumpah darah Indonesia) adalah hukum tertinggi kita dalam bernegara. Pahami itu baik Pak Tito. Daripada uang diedarkan ke daerah-daerah untuk Pilkada dengan alasan ekonomi bangkit, tetapi beresiko meningkatkan penyebadan pandemi corona, ya lebih baik dana Pilkada dibagikan kapada daerah untuk menaikkan daya beli masyarakat. Ini anggaran Pilkada ibarat pisau bermata dua. Satu sisi dianggap dapat bangkitkan ekonomi, sisi lain beresiko meningkatkan pandemi virus corona. Jadi pemerintah harus jelas, konsisten dan bijak. Jika ingin bangkitkan ekonomi di daerah, ya buatlah kebijakan yang tepat untuk itu. Yang didesign sedemikian rupa untuk tujuan ekonomi yang terukur. Bukan ditempel pada penyelenggaraan Pilkada. Seba Pilkada tujuannnya menjalankan demokrasi. Mana yang lebih pas dijalankan dalam kondisi normal? Yang terpenting adalah kejujuran dari pemerintah, DPR dan KPU. Sebenarnya separah apa masalahnya jika Pilkada ditunda tahun depan? Sampai pandemi virus corona mereda. Demi untuk kita semua dapat menjaga masyarakat dari penularan virus covid-19? Salah satu solusi yang paling tepat adalah Presiden segera menebitkan Perppu, yang memberikan kewenangan Pemerintah Daerah dijabat oleh Palksana Tugas (Plt) Kepala Daerah. Toh, itu sudah sering dilakukan, terutama untuk daerah-daerah yang baru dimekarkan dan kekosongan akibat Pilkada. Penulis adalah Anggota Komite Politik & Pemerintahan KAMI.

Belasan Tahun di Penjara Bersama Tokoh & Kader PKI (Bagian-2)

by Sudirman Timsar Zubil Jakarta FNN – Kamis (24/09). Aku bertemu lagi dengan Pak Isnanto di dalam acara Temu Raya mantan Tahanan Politik (Tanapol) pada tahu 2002 di Hotel Grand Cempaka, Jakarta Pusat. Para Tanapol yang dibebaskan oleh Presiden BJ. Habibie. Kami sama-sama masuk di Stering Comite (SC). Acara Temu Raya itu disponsori oleh saudara Yopi Lasut, Ketua Yayasan Hidup Baru yang dulu rajin dan selalu membesuk para Tanapol di penjara. Sehingga punya hubungan yang cukup akrab dengan para Tanapol dari semua aliran dan penjuru mata angin. Baik kiri, kanan maupun tengah. Aku berangkat lebih awal dari teman-teman lainnya, karena aku masuk di Stering Comite, sehingga perlu mengikuti pertemuan-pertemuan, yang menurutku semua itu merupakan skenario Tanapol kiri. Karena dari pokok-pokok pikiran yang mereka kemukakan, aku membaca target mereka adalah tercapainya kesepakatan dan pernyataan bersama minimal tentang dua hal. Pertama, tuntutan agar dibatalkannya TAP MPR Nomor 25 Tahun 1966 tentang larangan ajaran komunis, marxis dan lenin. Kedua, pelurusan sejarah, yang dimaksud mereka adalah sebagai pembentukan opini bahwa PKI adalah korban peristiwa 1965. Bukan sebagai pelaku. Tanapol kiri terlalu percaya diri dan memandang rendah peserta yang lain. Mereka juga tidak malu berbohong di hadapan ratusan peserta acara Temu Raya tersebut. Suatu pagi (hari keberapa aku lupa persisinya) panitia memintaku hadir di suatu ruangan untuk rapat Komisi Pelurusan Sejarah. Setiba di ruangan itu telah hadir sekitar 20 orang, dan tidak seorang pun Tanapol kanan. Semua Tanapol kiri. Aku dipersilakan duduk di depan. Sebagai pimpinan sidang kata "panitia" yang menjemputku ke kamar. Insting politisku begitu cepat menangkap maksud mereka hendak menjebakku. Akan tetapi aku ikuti saja permainan mereka. Setelah duduk sebagai pimpinan sidang, aku mempertanyakan adanya Komisi Pelurusan Sejarah yang dalam rapat-rapat Stering Comite tidak pernah dibicarakan. Tidak juga pada sidang pleno pengesahan Tata Tertib Acara. Beberapa dari mereka yang ada di ruangan itu angkat bicara. Mencoba meyakinkanku bahwa komisi itu ada disahkan dalam sidang pleno. Sungguh, aku baru kali itu bertemu dengan orang-orang yang di dalam rapat seperti itu mau dan berani berbohong secara bersama-sama begitu. Mungkin saja mereka pikir, dengan cara berbohong seperti itu, akan dapat mempengaruhi dan meyakinkan aku untuk percaya dan menerima apa yang mereka katakan. Menghadapi tekanan seperti itu, aku menyatakan dengan tegas, bahwa akan bertanya dulu kepada teman-temanku dari Tanapol kanan. Bila mereka mengatakan memang ada Komisi itu, aku akan kembali memimpin sidang. Tapi jika tidak, maka aku tidak akan kembali lagi. Ternyata teman-teman Tanapol kanan tidak seorangpun yang membenarkan adanya Komisi Pelurusan Sejarah itu. Aku tidak kembali lagi ke ruang rapat tadi. Aku segera berkoordinasi dan konsolidasi untuk menyikapi perkembangan itu. Ditetapkan di dalam pertemuan singkat itu, aku menjadi juru bicara Tanapol kanan pada sidang pleno terakhir. Benar juga sebagaimana perkiraan kami. Pada sidang pleno terakhir mereka yang hadir di ruang rapat "Komisi Pelurusan Sejarah" minta diberi kesempatan bicara untuk menyampaikan laporan mereka. Selesai wakil mereka bicara, aku langsung bicara (setelah ijin pimpinan sidang), membantah dan menolak adanya komisi tersebut. Itu terjadi sampai beberapa kali. Setiap mereka bicara meyakinkan peserta Temu Raya bahwa Komisi Pelurusan Sejarah itu memang ada, setelah itu aku terus membantahnya. Mereka baru berhenti setelah saudara Casman Prawiro, Tanapol kiri yang kukenal ketika sama-sama ditahan di Irehab Sukamulia Medan, berbicara meluruskan persoalan. Dinyatakannya bahwa Komisi Pelurusan Sejarah memang tidak ada. "Apa yang dikatakan saudara Timsar memang benar, "katanya di hadapan sekitar 800 orang peserta acara Temu Raya mantan Tanapol itu. Dari pengalaman yang kuceritakan di atas, aku menemukan bukti bahwa prinsip menghalalkan segala cara memang dianut oleh paham komunis. Tidak mengherankan bila mereka menyatakan bahwa mereka adalah korban di dalam peristiwa 1965 bukan pelaku. Kegigihan mereka berusaha patut diacungi jempol. Tetapi bohongnya tentu saja wajib untuk dihindari. Aku mengkhiri secercah catatan batinku ini dengan kesimpulan sebagai berikut : Pertama, kader komunis sangat militan. Kedua, mereka bekerja sistematis dan terencana. Ketiga, infiltrasi yang mereka lakukan seperti yang dikatakan Pak Tamat sejak tahun 1980 yang lalu ,telah membuahkan hasil nyata sekarang ini. Keempat, waspada, jangan terlena oleh suara-suara yang meremehkan mereka. Apalagi terhadap pernyataan PKI sudah mati, tidak mungkin bangkit lagi. Kelima, RUU HIP sangat kuat indikasi pengaruh kepentingan komunis, karenanya harus ditolak. Keenam, banyaknya TKA asal Cina yang umumnya berpostur seperti meliter. Juga banyaknya cerita tentang masuknya senjata ilegal, seperti yang pernah ditangkap Jenderal Gatot Nurmantiyo semasa jadi Panglima TNI amat patut diwaspadai. Ketujuh, konsolidasi, dan bekerja dengan berpedoman kepada tuntunan yang Allah SWR berikan di dalam firmanNYA pada S. Ali Imran ayat 200. Artinya “hai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan (kuatkan) kesabaran (itu) dan bersiaga (hati-hati, teliti, waspada), dan bertaqwalah kepada Allah, niscaya kamu beroleh kemenangan (keberuntungan, dunia dan akhirat). selesai... Penulis adalah Mantan Narapidana Mati.

Financial Engineering, Doping Rupiah Semakin Tak Terkendali

by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Jum’at (25/09). Keuangan negara semakin tertekan. Penerimaan perpajakan (penerimaan pajak ditambah penerimaan bea dan cukai) sampai akhir Agustus 2020 turun 13,39 persen dibandingkan periode sama tahun 2019. Penerimaan pajak malah turun 15,64 persen. Semua komponen penerimaan negara turun kecuali cukai. Khususnya cukai rokok yang naik setiap tahun. Selama lima tahun belakangan ini, cukai rokok naik menjadi sekitar dua kali lipat. Sedangkan perokok kebanyakan terdiri dari masyarakat berpenghasilan rendah. Ironi memang. Pengeluaran dari kelompok masyarakat lapisan bawah ini yang justru meningkat. Defisit anggaran sampai dengan Agustus 2020 mencapai Rp 500,5 triliun. Defisit ini harus ditutupi dari utang. Namun, pemerintah ternyata menarik utang jauh lebih besar dari jumlah defisit tersebut, yaitu Rp 667,8 triliun. Sehingga ada kelebihan utang Rp 167,3 triliun, yang dinamakan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran atau SiLPA. Atau sekitar U$ 11,15 miliar. Sungguh jumlah yang sangat besar. Mencapai 33,4 persen dari total defisit anggaran. Pemborosan anggaran melalui utang yang berlebihan ini ditengarai untuk intervensi kurs rupiah. Alias doping. Jumlahnya semakin lama semakin besar. Dikhawatirkan akan overdosis, dan tumbang. Total SiLPA sampai akhir Agustus 2020 menjadi Rp 380 triliun. Mendekati 7 persen dari total utang pemerintah. Semuanya diperoleh dari utang, dan harus bayar bunga. Dengan suku bunga 8 persen, maka pemborosan beban bunga akibat penarikan kelebihan utang ini mencapai 30 triliun per tahun. Selain itu, pemerintah masih ada pengeluaran lain yang dikategorikan investasi. Misalnya, Penyertaan Modal Negara (PMN) di BUMN atau kementerian. Namanya investasi, tetapi uangnya juga dari utang. Sehingga total (pembiayaan) utang pemerintah sampai Agustus 2020 menjadi Rp 693,6 triliun. Artinya, ada tiga jenis utang terkait pengelolaan keuangan negara: utang terkait defisit anggaran sebesar Rp 500,5 triliun, utang terkait pembiayaan anggaran (termasuk SiLPA) sebesar Rp 667,8 triliun, dan utang secara keseluruhan (termasuk investasi) Rp 693,6 triliun. Berdasarkan perkiraan PDB sampai Agustus 2020, defisit anggaran mencapai sekitar 5 persen. Defisit pembiayaan anggaran sekitar 6,65 persen, dan pembiayaan utang sekitar 6,9 persen. Dari total utang Rp 693,6 triliun ini, yang dibeli Bank Indonesia mencapai Rp 188,8 triliun. Terdiri dari pembelian SBN (Surat Berharga Negara) di pasar perdana dan sebagai standby buyer Rp 45,3 triliun, pembelian SBN melalui private placement di pasar perdana untuk barang publik Rp 99,1 triliun, dan pembelian SBN untuk barang nonpublik (bantuan kepada UMKM dan Korporasi) Rp 44,4 triliun. Pola pembelian SBN di pasar perdana masih menjadi kontroversi hukum karena ada gugatan terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 yang telah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Jumlah yang diperlukan untuk doping rupiah semakin besar. Jumlah juga SiLPA semakin membengkak. Menjadi Rp 167,3 triliun atau sekitar U$ 11,15 miliar untuk 8 bulan pertama tahun 2020. Mengindikasikan fundamental ekonomi Indonesia semakin lemah. Transaksi berjalan masih defisit terus-menerus sejak triwulan IV/2011. Mencapai 111,7 miliar dolar AS selama periode 2015-2019. Defisit ini harus ditutupi dari investasi asing atau utang luar negeri. Seharusnya, pemerintah membiarkan kurs rupiah mencari nilainya sendiri tanpa intervensi, tanpa di-doping. Kalau kurs rupiah terdepresiasi, ekspor akan meningkat. Karena produk Indonesia akan lebih kompetitif. Neraca perdagangan akan membaik. Tanpa intervensi rupiah, pemerintah tidak perlu menarik utang luar negeri berlebihan. Beban bunga di APBN menjadi lebih ringan. Konsep doping atau memperkuat kurs rupiah di tengah fundamental ekonomi yang lemah akan menjadi bumerang. Suku bunga kredit tidak bisa turun karena tersandera menarik utang luar negeri untuk menutupi defisit transaksi berjalan. Rezim suku bunga tinggi ini mengakibatkan biaya ekonomi tinggi. Membuat daya saing produk Indonesia melemah. Membuat defisit transaksi berjalan semakin akut. Pada akhirnya, doping rupiah akan menempatkan pembangunan ekonomi nasional dalam bahaya. Financial engineering melalui doping rupiah yang berlebihan bisa membuat bubble pada kurs rupiah terus membesar. Kalau bubble ini pecah, kalau kurs rupiah pada akhirnya tergelincir, biaya kerusakan ekonomi yang harus ditanggung rakyat Indonesia sangat besar. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Tragedi Kelam Bawaslu 21-22 Mei Jangan Dilupakan

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (25/09). Saat kita mengingat tragedi berdarah September 1965 akibat aksi percobaan kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi "habitat" penumpahan darahnya. PKI yang ingin menggantikan ideologi negara Pancasila dengan ideologi Komunis. Maka petumpahan darah menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari oleh PKI. Namun dalam masa Pemerintahan Jokowi, kita ingat juga akan ingat pada tragedi penumpahan darah dari sebuah peristiwa unjuk rasa. Melengkapi fenomena kematian 989 orang penyelegara Pemilu 2019 yang biasa disebut Petugas Pemungutan Suara (PPS). Banyaknya juga sangat spektakuler, dan sampai sekarang tak terungkap penyebab dan jumlahnya. X Files. Peristiwa itu adalah demonstrasi penolakan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jalan M.H Thamrin pada tanggal 21 dan 22 Mei 2019. Sekurangnya 8 orang tewas dengan sebagian besar tubuhnya diterjang peluru tajam "penembak misterius". Sebagian besar diantaranya adalah anak-anak yang masih remaja. Penyiksaan dan pengeroyokan sadis oleh aparat terjadi kepolisian. Akibatnya 10 orang anggota polisi diperiksa akibat kerusuhan. Namun hanya dikenai sanksi hukum pelanggaran disiplin. Para pegiat kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (HAM) mengindikasi telah terjadinya pelanggaran HAM) berat pada peristiwa yang sangat tragis dan memilukan di ero demokrasi ini. Penyebabnya adalah pengunjuk rasa kecewa atas kecurangan Pilpres yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Oleh karenanya aksi dilakukan di depan Bawaslu. Atas sejulah pelanggaran HAM tersebut, masyarakat sivil society dan pegiat HAM menuntut pembentukan tim independen "fact finding". Namun tersebut tidak dipenuhi oleh Kapolri Muhammad Tito Karnavian. Kapolri Tito Karniawan hanya membentuk tim dari internal dari Polri. Tim internal Polri tersebut dipimpin Irwasum Polri yang ketika itu dijabat oleh Komjen Polisi Moegiharto. Padahal tindakan brutal Brimob Polri dipicu oleh adanya "kelompok preman" yang hingga kini tidak jelas buatan siapa. Tuduhan terarah pada pihak ketiga atau Polisi sendiri. Dipanggung orasi muncul tokoh-tokohseperti Amien Rais, Kivlan Zen, Eggi Sudjana, Neno Warisman dan lainnya. Mereka mengungkap ketidak adilan dan kecurangan nyata pada Pilpres 2019. Anehnya, Prabowo yang menjadi figur yang dibela oleh pendukung tidak muncul di Panggung. Padahal sebelumnya Prabowo dengan tegas menyatakan, “akan timbul dan tengelam bersama rakyat”. Selain itu, sepulang dari Hotel Sahid, Prabowo dikabarkan telah membuat surat wasiat. Isinya, kalau-kalau sesuatu akan terjadi dengan Prabowo, maka wasiat telah dibuat kepada ahli waris. Belakangan Prabowo justru mengambil langkah mengecewakan dengan bersedia menjadi Menterinya Jokowi, Presiden yang justru dituduh memenangkan pemilihan dengan cara curang. Keberadaan kelompok preman misterius dan tindakan brutal aparat yang mengakibatkan tewasnya pengunjuk rasa hingga kini dinilai belum tuntas. Menjadi tabungan kasus dari Pemerintahan Jokowi. Alih-alih Kapolri atau Kapolda Metro Jaya saat itu yang diperiksa atau bertanggungjawab, justru "lawan-lawan politik" yang kemudian menjadi pesakitan seperti Kivlan Zen, Eggi Sujana hingga mantan Danjen Kopassus Soenarko. Himbauan agar pada tanggal 30 September masyarakat mengibarkan bendera setengah tiang adalah pengingat atas sejarah kelam bangsa ini. Namun kitapun tidak boleh melupakan sejarah kelam Pemerintahan Jokowi 21-22 Mei yang menyebabkan melayangnya nyawa orang-orang tak berdosa. Nyawa para remaja yang menjadi harapan keluarga dan bangsa. Semua terjadi akibat ulah cara kerja aparat yang tak berbeda dengan gaya PKI di masa lalu. Untuk itu, pelanggaran HAM berat harus diusut tuntas sekarang atau nanti. Jejak kaki berdarah tak boleh menguap tanpa bekas. PKI dan gaya bertindaknya tetap hidup dalam cara pandang pejuang ideologi yang abai atas nilai moral dan agama. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Presiden Jokowi Tidak Kompeten Mengurus Hukum

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan Undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”. Inilah lafal sumpah Presidenyang diatur secara tegas dalam pasal 9 UUD 1945. ** Jakarta FNN - Kamis (24/09). Demokrasi boleh saja diagung-agungkan sebagai temuan kemanusiaan paling manakjubkan. Itu boleh-boleh saja. Tidak salah, tetapi cara pandang itu, juga terlalu jelas untuk menyembunyikan kelemahan sangat fatal yang terkandung dalam demokrasi. Demokrasi itu tak memiliki bentuk defenitif. Disebabkan demokrasi tak memiliki bentuk devenitif. Maka, pengembangannya, pengisian dan penggunaannya dapat dilakukan secara serampangan. Tetapi, dan inilah hebatnya. Sekalipun begitu, kaum aristokrat, kaum oligarkis yang menemukan demokrasi itu, cermat dan sistimatis dalam merencanakannya. Itulah mereka. Demokrasi memang mengenal etika. Kekuatannya luar biasa besar. Sama besarnya dengan kelemahannya. Hebatnya demokrasi juga mengenal dinamika. Dinamika tidak pernah lain selain fleksibel. Itu sebabnya demokrasi memiliki kemampuan mengentengkan berbagai persoalan berat. Soal berat itu datang silih berganti, tetapi selalu hanya menjadi bahan cerita yang asyik diwaktu senggang. Demokrasi Alatnya Korporasi Menariknya dengan agak naïf, para filsuf hendak menjinakan demokrasi dengan hukum. Itu yang dikenal dengan nomokrasi. Hukum diketengahkan, dalam makna diandalkan sebagai instrumen menjinakan watak membinasakan yang inheren dalam demokrasi. Para perencana demokrasi, yang tidak pernah lain adalah kaum oristokrat, termasuk korporasi, selalu memiliki cara membuat rakyat tak berdaya dalam semua aspek. Demokrasi berhasil dengan gemilang menjadikan korporasi yang selalu berwatak otokrat, sebagai subyek hukum. Sama dengan manusia. Dimanapun dinegeri-negeri yang melembagakan sistem pemerintahan presidensial, presiden ditakdirkan sebagai pelaksana hukum. Itu aksioma sistem presidernsial. Persis demokrasi, dimanapun di semua negeri demokrasi, hukum tak pernah tak punya lubang hitam. Hukum dan konstitusi sekelas UUD sekalipun memiliki kelemahan. Ini aksioma hukum. Presiden bisa bertindak berbeda untuk kasus yang sama. Demokrasi memungkinkan tindakan-tindakan Presiden tersebut. Itu jadinya normal-normal saja. Konstitusi Amerika misalnya, tidak mengatur kewenangan Presiden membentuk Bank Sentral, yang biasa mereka sebut dengan The Federal Reserve,atau The Fed. Itu kenyataan kelemahan konstitusi. Lalu bagimana cara untuk menutupnya? Alexander Hamilton, menteri pro bank ini, muncul dengan argumen presiden memiliki Implied Power. Dapat membentuknya. Tetapi pada waktu lain, Andrew Jackson, yang mengikuti pandangan Thomas Jefferson, dan menolak Bank National, juga menolak untuk melanjutkan eksistensi Bank National yang telah diperpanjang untuk kedua kalinya pada tahun 1816. Bagi kedua orang ini bank dengan kewenangan meminjamkan uang kepada pemerintah dan rakyat justru mengalihkan kedaulatan dari rakyat ke pemilik uang. Para pemilik uang akan muncul sebagai pendefenisi real demokrasi. Rakyat akan tertindas oleh sepak terjang mereka. Itulah yang diyakini oleh Thomas Jefferson. Pikiran itulah yang diamini oleh Andrew Jackson. Pikiran ini juga diikuti oleh William Howard Taft, Presiden Amerika 1908-1912. Begitu Taft kalah dalam pemilu dan digantikan oleh Wodroow Wilson, professor Princeton University, dan mantan gubernur New Jersy ini, justru menandatangani The Federal Reserve Act 1913. Nama The Federal Rserve dipakai untuk mengelabui masyarakat yang tidak menyukai nama Bank Sentral. Lain Presiden, lain tindakannya. Presiden Eishenhower pada tanggal 2 September 1957 mengirimkan National Guard ke Arkansas. Tindakan itu dimaksudkan untuk mendisiplinkan sikap Osval Faubus. Gubernur Arkansas ini membangkang terhadap putusan Mahkamah Agung yang diputus tahun 1954. Putusan ini tegas menyatakan segregasi atau pemisahan kulit putih dan hitam di sekolah-sekolah di Litle Rock Arkansas inkonstitusional. Putusan ini memaksa Osval Faubus mengintegrasikan kulit putih dan hitam ke dalam sekolah. Eishenhower bersikap tegas, kendati Vaubus telah menemuinya, untuk mencegah pengerahan pasukan National Guard. Dalam kasus lain, yang menggambarkan sikap dan respon politisi sebagai penentu lurus atau benkoknya hukum terjadi dalam soal pengisian jabatan hakim agung di Amerika Serikat. Mitch McConnel, pimpinan Senator dari Republik misalnya, habis-habisan menentang rencana Presiden Obama mengisi kursi hakim Agung kosong yang ditinggal oleh Antonio Scalia. Scalia mengingal dunia pada tanggal 13 Februari 2016 pada usia 79 tahun. Argumen McConeel dalam menolak kebijakan Presiden Obama, karena masa jabatan Obama segera berakhir. Karena waktu yang tersisa pendek, maka Presiden Obama tidak bisa menggunakan kewenangannya lagi. Menurutnya, biarkan Presiden baru nanti yang mengisinya. Tetapi ketika presiden dipegang oleh partai republic, McConnel berubah sikap. Dalam kasus Ruth Bader Ginsburg, yang meninggal dunia pada tanggal tanggal 18 September 2020, pada usia 87 tahun, McConnel akan mengelar sidang senat yang republic menjadi mayoritas, memberi persetujuan bila Presiden Trump mengajukan calon hakim agung, menggantikan Ginsburg. Risiko Terima Nasib Begitulah demokrasi yang dipandu oleh hukum bekerja secara empiris. Selalu dalam setiap kesempatan nomokrasi bekerja secara antagonistik. Keadaan yang sama ditangani dengan cara yang satu dan lainnya saling bertolak belakang. Bertekad membereskan kebobrokan hukum pada satu kesempatan. Namun pada kesempatan lain menyatakan sebaliknya. Itu tidak aneh dalam nomokrasi. Mendendangkan kesetaraan status dalam kerja konstitusi, tetapi orang kulit hitam di Amerika tetap terdiskriminasi. Itu nomokrasi namanya. Buruknya penegakan hukum di Indonesia diakui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, juga merupakan refleksi praktis nomokrasi itu. Profesor Mahfud mengatakan penegakan hukum di Indonesia terkesan jelek di mata masyarakat. Menko Mahfud ini menyebut banyak warga menganggap akan diperas hingga ditangkap oleh penegak hukum dalam suatu perkara. Dalam kata-katanya yang decisive Pak Menko menyatakan “saya, tidak bisa melakukan apa-apa, presiden tak bisa melakukan apa-apa, karena semua punya batasan kewenangan”. Karena itu perlunya pembinaan dan moralitas," kata Profesor Mahfud melalui rilis yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (17/9/2020). Ya wassalam. Presiden tidak bisa apa-apa terhadap buruknya hukum. Mau apalagi. Pahami saja penegakan hukum yang buruk itu. Pahami saja kenyataan Presiden responsif terhadap kasus yang menimpa Syekh Ali Jaber, tetapi tidak memberi instruksi terukur dalam kasus Tjoko Tjandra. Harus diakui demokrasi dan hukum tidak mengurung Presiden dengan kewajiban mengekspresikan responnya secara terbuka terhadap sebuah kasus. Jelas itu. Itu sebabnya bila diam-diam Presiden memberi respon, yang bersifat instruktif kepada Jaksa Agung dalam menangani kasus Tjoko Tjandra itu, termasuk kebakaran gedung Kejaksaan Agung, jelas dapat dimengerti. Tetapi bilapun tidak, itupun dapat dimengerti. Jaksa Agung harus dianggap tahu apa yang harus dilakukan untuk kasus yang bertali-temali eksplosive itu. Jaksa Agung harus dianggap tahu penegakan hukum. Tidak boleh dipandu dengan persepsi. Jaksa Agung harus dianggap tahu juga bahwa faktalah yang menentukan hukum. Bukan hukum menentukan fakta. Pembaca FNN yang budiman. Kalaupun keadaan ini dianggap menyedihkan dan menyakitkan, ya sudah berharap saja pada Allah Subhanahu Wata’ala untuk memperbaikinya. Mau bagaimana lagi. Pemerintah telah cukup jujur mengatakan tak punya kompetensi membenahinya. Menaruh sumpahnya dimeja Presiden, memintanya memenuhi sumpah itu, sangat tidak lagi masuk akal. Menyodorkan konsep konstitusi tentang jangkaun kewajiban dan Presiden, juga tak ada gunanya. Presiden melalalui Menko Polhukam Mahfud menyatakan “tidak bisa berbuat apa-apa”. Lantas siapa yang harus pimpin penegakan hukum di negeri ini? Pungut dan jadikan saja kenyataan itu sebagai basis konsep baru. Baik dalam lapangan ilmu tata negara maupun ilmu politik tentang jangkauan kewenangan Presiden. Cara itu yang akan menghadirkan perspektif baru dalam khasanah ilmu pengetahuan politik dan tata negara Indonesia. Jangan aneh-aneh. Hukum yang buruk, memungkinkan siapa saja diterkam dengan cara yang buruk pula. Industri hukum mungkin akan maju pesat. Itu risiko lain. Namun satu hal, rakyat harus membiasakan diri hidup dengan hukum yang buruk itu. Tentu saja berdampingan dengan corona. Inilah risiko yang harus diterima dari pemerintah yang tidak punya kompetensi untuk membereskan hukum yang terkesan jelek, buruk dan sejenisnya. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Pilkada 2020 Dalam Bayangan Kematian

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (24/09). Setiap rezim di negara manapun berada, selalu akan mendengar dan mempertimbangkan suara mayoritas rakyatnya. Ini hukum dalam berpolitik. Mayoritas adalah kekuatan yang menentukan. Kecuali jika kelompok mayoritas rapuh dan berada dalam kendali kekuasaan. Seperti rakyat India yang hindu di era kerajaan Mughol. Untuk di Indonesia, ada dua Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) peling besar, yaitu Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pengikut dua Ormas ini sekitar 150 juta sampai 170 juta orang. Dengan ciri, cara, karakter dan klaster yang berbeda, keduanya mewakili suara mayoritas penduduk Indonesia. Rezim sekuat Orde Lama dan Orde Baru sekalipun, kendor ketika dua ormas besar itu "secara resmi" memprotes kebijakannya. Begitu juga rezim-rezim setelahnya. Namun berbeda dengan para rezim pendahulunya, Jokowi cenderung lebih percaya diri dan berani. Tak saja NU dan Muhammadiyah, suara MUI juga nggak didengarkan. Terkait dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), MUI, NU dan Muhammadiyah sudah menyatakan sikap protes dan menolak. Didukung oleh ratusan ormas lainnya, meminta RUU HIP dibatalkan. Cabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR-RI. Namun tak juga digubris. Baik oleh DPR maupun pemerintah. Tidak saja soal RUU HIP. Baru-baru ini, NU dan Muhammadiyah juga meminta pemerintah menunda Pilkada serentak 9 Desember 2020 nanti. Sebab, rawan terhadap penyebaran virus covid-19 yang akhir-akhir ini semakin menghawatirkan. Tingkat penyebaran yang positif sudah di atas 4.000 orang perhari. Angka kematian juga sudah di atas 100 orang perhari. Sementara pemerintah selama ini tidak cukup bisa dipercaya untuk mampu mengendalikan dan mengatasi penyebaran viruas covid-19. Ini catatan dan fakta yang obyektif. Bukan mereka-reka, mengada-ada atau fitanah sana-sani. Binilah kinerja pemerintah dalam mengendalikan sebaran virus corona. Kerjanya payah dan mengkhatirkan. Tidak bisa diandalkan untuk melindungi rakyat. Meski diprotes banyak pihak, tak ada tanda-tanda Jokowi akan menunda pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember 2020. Berbeda dengan rakyat, pemerintah merasa yakin bahwa penyebaran covid bisa dikendalikan. Karena itu, tidak harus menunda pilkada. Ini perkiraaan yang ngawur dan edun. Belum tahu apa strategi pemerintah, sehingga begitu yakin mampu mengendalikan penyebaran covid-19 saat pilkada. Apakah pemerintah hanya akan mengijinkan kampanye digital via media dan medsos? Atau akan melakukan operasi yustisi di musim kampanye dan saat pencoblosan? Pemerintah harus memberi alasan yang"masuk akal" terhadap perasaan rakyat yang sedang panik dihajar covid-19 gelombang kedua ini. Jangan hanya asal ngebacot. Kalau pejabat pemerintah yang menjadi korban penyebaran virus covid-19, mungkin nggak apa-apa. Tetapi kalau rakyat yang harus menjadi korban, disitu masalah utamanya. Bagitu Pak Presiden. Pertama, pemerintah harus meyakinkan rakyat bahwa Pilkada memang sangat urgent. Karena itu, Pilkada tidak bisa ditunda. Kalau ditunda akan mengakibatkan dampak yang sangat serius. Pemerintah harus menjelaskan "dampak yang sangat serius" yang akan terjadi itu, jika Pilkada ditunda. Jika Pilkada ditunda, maka akan ada 270 Plt kepala daerah. Para Ptl kepala daerah tidak bisa ambil kebijakan strategis. Padahal, saat pandemi dibutuhkan kebijakan strategis, kata Mahfuz MD. Ini alasan yang ngawur, ngaco, dan mengada-ada. Sama sekali tidak meyakinkan. Kalau terpaksa, apa susahnya bikin aturan baru untuk mengatur kewenangan para Plt tersebut? Kedua, pemerintah harus menjamin bahwa penyebaran virus covid-19 tidak akan terjadi saat Pilkada diselenggarakan nanti. Strategi apa yang pemerintah akan lakukan? Perlu segera diungkapkan, agar rakyat bisa percaya dan menjadi tenang. Strategi itu mesti terukur. Bukan tebak-tebak buah semangka. Jika pemerintah nggak mampu memberi dua alasan di atas, atau gagal membeberkan analisis statistik yang meyakinkan, ini sama artinya menantang maut. Wajar jika kemudian rakyat menduga-duga bahwa kebijakan ini diambil lantaran anak dan menantu presiden ikut pilkada. Yaitu Gibran Rakabuming di Kota Solo dan Bobby Nasution di Kota Medan. Alur pikiran rakyat sangat sederhana. Bahwa ongkos (cost) politik untuk menjadi calon kepala daerah itu sangat mahal. Semakin diundur, semakin besar ongkos yang harus dikeluarkan. Padahal Pilkada 2020 sedianya digelar pada 23 September. Lalu diundur menjadi 9 desember 2020. Mau diundur lagi? Ya ampiiuuun, kata para calon. Bandar bisa tekor banyak dong? Jelang Pilkada desember 2020, para calon sudah keluarkan dana cukup besar. Setidaknya untuk bayar mahar partai politik. Biaya survei dan konsolidasi, serta biaya pemanasan kampanye. Kalau ditunda lagi, semua biaya-biaya itu dipastikan akan semakin membengkak. Tentu, semua biaya itu bukan seluruhnya dari kocek pribadi calon. Sekitar 92 persen melibatkan bohir, kata Pak Mahfuz MD. Keterlibatan bohir disini menjadi faktor penting. Sebab, para bohir, terutama kelas kakap, punya akses untuk bisa menekan dan bahkan mengendalikan kebijakan di daerah. Itu baru dana pencalonan. Belum lagi kalau bicara anggaran untuk penyelenggara KPU. Pasti akan ikut bengkak. Di tengah defisit APBN, penundaan pilkada akan membuat negara makin berat saja. Sekarang aja sudah berat. Saking beratnya, bikin aturan baru agar bisa cetak uang. Kalau Pilkada ditunda, itu sampai kapan? Adakah yang menjamin bahwa awal tahun 2021 pandemi nanti, pandemi covid-19 berakhir? Makin lama Pilkada ditunda, makin besar pula biaya yang harus dikeluarkan para calon dan para bohir itu. Dalam pilkada yang berlarut-larut, Herd Imunity berlaku. Tidak saja untuk kesehatan, tapi juga politik. Siapa yang kuat dananya akan besar peluangnya jadi pemenang. Calon yang logistiknya cekak akan megap-megap. Yang menang, bakal balik modal nggak ya? Dilematis memang! Satu sisi ada anak, menantu dan para bohir. Juga pentingnya menyelamatkan negara dari defisit anggaran. Disisi lain, nyawa rakyat terancam virus covid-19. Sebagai seorang negarawan, Jokowi mestinya tak perlu terjebak dalam dilema itu. Utamakan saja nyawa rakyat. Begitu harusnya tugas seorang negarawan. Kecuali jika ingin jadi pecundang. Kalau dari awal pandemi covid-19, Jokowi punya pilihan dan ketegasan keberpihakan pada nyawa rakyat, maka tak perlu banyak jiwa melayang. Juga tidak perlu alami resesi ekonomi berkepanjangan. Artinya, kebijakan pemerintah selama ini keliru menaruh pilihan. Sebelum pemerintah memiliki keyakinan mampu menjamin keselamatan rakyat dari ancaman virus covid-19 akibat kerumunan kampanye dan pencoblosan di Pilkada, maka menunda itu jauh lebih bijak. Ini sekaligus sebagai langkah akomodatif terhadap harapan rakyat, yang diantaranya disuarakan oleh dua Ormas besar NU dan Muhammadiyah. Jika Pilkada dipaksakan, dan terbukti nanti terbentuk cluster penyebaran, maka pemerintah, dalam hal ini Jokowi, akan semakin defisit kepercayaan. Apalagi bila pasca pilkada nanti, jumlah terinfeksi makin banyak dan angka kematian akibat covid-19 bertambah, ini bisa jadi anti klimaks di tengah krisis ekonomi yang sedang melanda. Saat itulah, nasib Jokowi akan menjadi taruhan. Sebaiknya pertimbangkan itu baik-baik. Menyesal kemudian tidak ada gunannya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Mengapa Rezim Dituduh Membuka Pintu Komunisme ?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN- Kamis (24/09). Publik kini menyorot kinerja Pemerintahan Jokowi sebagai rezim yang membuka pintu komunisme. Tentu saja agak aneh sorotan ini. Sebab bukankah Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 masih dinyatakan berlaku ? PKI itu adalah organisasi terlarang . Untuk mitu, terlarang pula menyebarkan faham Komunisme dan Marxisme/Leninisme di Indonesia. Persoalan muncul, dikarenakan sejak Pak Jokowi menjabat Presiden tidak satu patah katapun yang terucap bahwa PKI dan Komunisme itu ada dan atau mengancam. Sementara masyarakat, khususnya umat Islam merasakan aroma keberadaan pengembangan faham komunis terlarang ini. Bahkan dengan nada menantang, Pak Jokowi pernah meminta agar tolong ditunjukkan keberadaan PKI. Upaya untuk mencabut Ketetapan MPRS No XXV tahun 1966 pun ada meski dengan alasan bahwa aturan tersebut "out of date". Ada yang secara terang-terangan merasa bangga sebagai anak keturunan dari PKI. Pembelaan bahwa PKI itu korban. Simbol PKI palu arit juga marak di masyarakat. Terasa ada geliat rehabilitasi dan tuntutan rekonsiliasi. Panglima TNI waktu itu Jenderal Gatot Nurmantyo mensinyalir akan kebangkitan PKI dan Komunisme ini. Buku-buku kiri dibaca oleh para aktivis, dan partai kiri pun muncul. Kehadiran PRD (Partai Rakyat Demokratik) mengingatkan keberadaan FDR (Front Demokratik Rakyat) bentukan Muso. Kemudian "diaspora" aktivis kiri yang menyebar ke berbagai partai politik dengan indikasi terbanyak ke PDIP. Sebagai "the rulling party", pantas partai ini menjadi sorotan atas perilaku penguasa. Munculnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) membawa efek pada bongkar-bongkar. Pengusul awal RUU HIP ini adalah Rieke Dyah Pitaloka. Akhirnya diketuk oleh Puan Maharani Ketua DPR-RI sebagai RUU Hak Usul Inisiatif DPR-RI. Setelah menghadapi gempuran hebat, khususnya dari umat Islam, maka RUU berbau komunis tersebut akhirnya ditunda oleh Pemerintah. Bukan dicabut dari Program Legislasi nasional (Proglegnas) prioritas DPR-RI. Bola kemudian diambil oleh Pemerintah, dengan mengajukan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pansila (BPIP) yang platformnya masih berspirit RUU HIP. Kekusutan dan kepanikan dalam memaksakan aturan semakin nyata. Ternyata rezim adalah paduan Pemerintah dengan DPR yang terkooptasi. Mengambangkan status kedua RUU menambah kuat sorotan dan tuduhan bahwa pintu komunisme ingin tetap dibuka. Sikap Presiden adalah ajuan lagi RUU ke DPR. Manuver kader dalam membela kader PKI yang menjadi korban. Serangan masif terhadap Soeharto, dan kriminalisasi aktivis yang anti PKI. Hubungan yang erat dengan PKC, serta berbagai pernyataan keprihatinan para purnawirawan TNI menjadi sinyal akan keberadaan gerakan Neo PKI dan faham Komunisme. Sementara Pemerintah terlihat abai dalam memberi "warning" kepada rakyat. Pemuliaan agama merosot. Tuduhan terhadap intoleransi dan radikalisme dialamatkan kepada umat beragama, khususnya umat Islam dinilai berlebihan dan mencurigakan. Ada disain kekuatan komunisme berada dibelakang tuduhan tersebut. Agama yang diganggu dan dikacaukan stabilitasnya. Agar rezim tidak dituduh membuka pintu bagi bangkitnya PKI, dan pengembangan faham Komunisme dan Marxisme, maka penting empat langkah. Pertama, berpidato lah Presiden untuk memberi peringatan akan bahaya Neo PKI dan faham Komunisme. Kedua, cabut segera RUU HIP dan RUU BPIP serta bubarkan BPIP. Ketiga, pulihkan hubungan Pemerintah dengan umat Islam. Sadari bahwa Ulama dan pemuka agama adalah sokoguru bangsa ini. Keempat, kembali kepada politik luar negeri bebas aktif. Pembangunan poros Jakarta-Beijing harus dihentikan. TKA Cina segera dipulangkan. Keempat, Pancasila sebagai konsensus tidak perlu direinterpretasi atau diotak-atik lagi. Jangan tonjolkan Pancasila versi tanggal 1 Juni 1945, karena itu hanya memancing konflik dan kegaduhan. Sebab itu hanya akan berakibat pada instabilitas politik bangsa. Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 sudah final. Karenanya tinggal pelaksanaan atau pengamalan saja. Fahami itu baik-baik. Pemerintahan Jokowi harus menyadari pandangan rakyat pada rezimnya. Ubahlah pandangan buruk dengan bukti perubahan sikap, kinerja, dan budaya politik baru yang lebih memuliakan rakyat dan umat beragama, khususnya umat Islam. Bukan sebaliknya. Menjadikan umat Islam sebagai musuh adalah program PKI dan faham komunis dahulu dan sekarang ini. PKI sudah berubah bentuk dari waktu ke waktu. Kadang tidak terlihat, tetapi aroma busuknya tercium sangat menyengat. Perhatikan itu baik-baik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Tunda Itu Pilkada, "Keselamatan Rakyat Hukum Tertinggi"

by Dr. Ahmad Yani SH. MH. Jakarta FNN – Rabu (23/09). Meminjam istilah Cicero, filsuf berkebangsaan Italia, “salus populi suprema lex esto”. Artinya, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara. Konsep itu juga tertuang dalam konstitusi atau UUD Negara Republik Indonesia 1945. Yaitu “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Peneyenggara negara harusnya pahami itu baik-baik. Hal itu sudah menjadi kaidah filosofis yang hidup dalam kehidupan bangsa Indonesia. Karena itu, tugas konstitusional negara adalah menyelamatkan rakyat Indonesia. Dalam konteks inilah pemerintah mengkaji pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020. Setelah itu menundanya. Juru bicara Istana, Fajroel Rahman memastikan pilkada akan tetap diselenggarakan. Meski desakan berbagai organisasi masyarakat agar menunda pilkada terus mengalir. Alasannya, pelaksanaan Pilkada untuk memastikan hak konstitusional warga negara. Fajroel ingin membenturkan antara keselamatan warga negara dan hak konstitusional warga negara. Padahal hak keselamatan jiwa itu juga merupakan hak konstitusional warga negara. Rapat bersama antara Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sepakat tidak ada penundaan Pilkada serentak 2020. Pilkada tetap akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Hal ini mengabaikan masukan dari masyarakat. Ciri negara kekuasaan. Sebelum keputusan diambil, penolakan telah datang dari berbagai pihak. Seperti dari Muhammadiyah dan NU yang menyatakan sikap. Juga memberikan masukan kepada pemerintah untuk serius mengatasi Pandemi corona. Menyarankan agar Pilkada serentak 2020 ditunda dulu. Sepertinya, sikap NU dan Muhammadiyah tak menjadi pertimbangan dalam memutuskan pilkada dilanjut atau tidak. Selain dua organisasi raksasa itu, ada Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Perludem dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang juga menyarankan agar pilkada 2020 ditunda. Alasanya serentak, karena pandemi covid-19 semakin meningkat dan penyebarannya sudah semakin mengkhawatirkan. Laju pergerakan covid-19 demikian dahsyat, hingga menteri agama Fachrul Razi dan Menteri Kelautan Edhy Prabowo positif terpapar. Komisioner KPU RI sendiri sudah dua orang dinyatakan positif Covid 19. Penyebaran diberbagai daerah juga menunjukan angka yang signifikan. Sebagian besar daerah menggambarkan laju penyebaran covid-19 yang meningkat. Belum lagi seperti yang dikatakan ketua KPU Arief Budiman. Sebanyak 37 Bakal Calon Kepala Daerah positif covid-19 Ini masalah serius Pak Presiden. Sebab keselamatan warga negara terancam. Sementara pilkada yang merupakan pesta demokrasi tetap digelar. Yang namanya pesta, mau tidak mau orang akan tetap berkumpul ramai dan ini mempercepat laju penyebaran covid-19. Meski pemerintah tetap pada pendirian untuk melanjutkan Proses Pilkada hingga pencoblosan 9 Desember nanti, namun masih ada harapan bagi masyarakat untuk terus memberikan masukan yang benar kepada Pemerintah untuk mengambil opsi lain. Meski sudah ada persetujuan bersama DPR, Pemerintah dan penyelenggara pemilu. Katro dan bebal. Tanggapan positif pemerintah datang jua. Adalah Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian memberikan harapan itu. Dalam pernyataan medianya memastikan, Presiden Joko Widodo mendengar serta mempertimbangkan usulan penundaan Pilkada Serentak 2020 yang disampaikan Pengurus Besar NU dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Walaupun Rapat bersama di DPR, sudah memutuskan, namun Mempertimbangkan dua masukan dari organisasi Besar itu tentu prioritas bagi presiden. Itu bukan sekedar masukan. Ini lebih substansial, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Ditengah kepungan pandemi, negara berkewajiban melindungi warga negara. Hal tersebut menjadi landasan sosiologis bagi pemerintah, DPR dan KPU untuk tidak melanjutkan pilkada. Masyarakat menghendaki pelaksanaan Pilkada 2020 ditunda. Sebab alasannya, Covid-19 belum teratasi dan pemerintah diminta untuk melakukan upaya pencegahan covid ketimbang melaksanakan pilkada yang berpotensi menjadi klaster covid19. Secara Hukum Opsi penundaan pun secara hukum sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pasal 201A ayat (3) memberikan opsi bahwa apabila bencana non alam (Pandemi Covid 19) belum berakhir, Pilkada bisa ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam berakhir. Payung hukum penundaan jelas sebagai acuan pemerintah. Selain itu, pilkada dalam situasi Pendemi bisa berakibat kurangnya pengawasan tahap pelaksanaan Pilkada. Ini menyebabkan semakin tertutupnya proses pelaksanaan. Karena itu, dalam menghadapi situasi yang demikian, sudah menjadi kaidah hukum bahwa setiap keputusan harus didasarkan pada akuntabilitas dan transparansi. Tanpa itu, akan melahirkan proses demokrasi yang lebih condong pada kepentingan oligarki dan dinasti kekuasaan. Pilkada hanya untuk mengejar kekuasaan sematar. Akibatnya, banyak tanggapan yang bermunculan, termasuk dari Mahfud MD yang menyebut pilkada dibiayai 82% oleh cukong. Angka itu memperlihatkan ada kepentingan besar oligarki dan korporasi memegang kendali dalam demokrasi. Maka apabila pilkada diteruskan, kemudian proses pelaksanaannya tidak terbuka, tidak menutup kemungkinan kekuatan oligarki dan korporasi akan berada dalam posisi puncak di Pilkada. Oleh sebab itu menunda Pilkada adalah jalan yang paling bijak untuk menyelamatkan demokrasi, dan hak konstitusional warga negara. Namun ada konsekuensi hukum lain apabila pilkada ditunda, yaitu berakhirnya masa jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota dibeberapa daerah akibat penundaan itu. Polemik ini muncul setelah ada desakan penundaan Pilkada. Perlu saya jelaskan sedikit tentang masalah pelaksana tugas (Plt), pejabat sementara (Pjs), pelaksana harian (Plh) dan pejabat (Pj) kepala daerah. Keempat istilah itu memiliki makna yang berbeda. Namun secara hukum apabila kepala daerah dalam hal ini Gubernur, Bupati dan Walikota berserta wakilnya sama-sama maju, maka mereka wajib cuti. Apabila keduanya cuti, maka diganti oleh Plt, Pjs dan Plh. Namun apabila kepala daerah berakhir masa jabatannya, dan belum ada kepala daerah yang baru, maka pejabat (Pj) yang akan mengisi kekosongan itu sampai menunggu kepala daerah diisi oleh pejabat tinggi madya. Pejabat tinggi madya di berbagai daerah di indonesia cukup banyak untuk mengisi kekosongan pemerintah daerah, apabila di berbagai daerah mengalami penundaan Pilkada dan kepala daerah telah selesai masa jabatannya. Hal seperti ini lazim dilakukan, apabila terjadi kekosongan, maka yang mengisi adalah Pj. Seperti juga ketika ada daerah yang melakukan pemekaran, pasti ditunjuk Pj kepala daerah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Karena itu, tidak ada alasan yang substansial tidak menunda Pilkada. Kalau alasannya hanya karena banyak kepala daerah selesai masa jabatan, tentu saja itu bukan menjadi alasan yang perlu dicari-cari. Sebab UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, sudah mengatur pergantian seperti itu. Perbaiki Sistem Pilkada Saya berpendapat, bahwa penundaan Pilkada menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah. Kita punya sejarah pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk merubah sistem pemilihan kepala daerah. Dari pemilihan langsung menjadi pemilihan tidak langsung atau lewat DPRD. Meski SBY sendiri yang akhirnya membatalakn UU yang baru diundangkan dengan Perppu. Pembatalan itu hanya karena desakan dari beberapa pengamat dan lembaga survey. Yang lebih ironis lagi, DPR menyetujui Perppu yang diajukan SBY Tersebut. Padahal tidak ada perintah konstitusi untuk melaksanakan pilkada secara langsung. UUD hanya menyebutkan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Demokratis itu artinya bisa secara langsung. Namun bisa juga melalui DPRD. Bahkan kalau kita ambil contoh di Daerah Istimewa seperti Yogyakarta, Gubernur diangkat melalui garis keturunan dan itu berlaku dalam sistem negara Indonesia. Atau kita lihat contoh di DKI Jakarta, Walikota dan Bupati diangkat oleh Gubernur berdasarkan pangkat eselon. Karena itu, Ditengah Pendemi ini saya kira dengan pemilihan langsung, sangat rentan penularan penyakit. Selain itu, juga rentan terhadap permainan oligarki. Seperti yang diungkapkan di atas, sebagian besar pilkada dibiayai pemodal. Lebih khusus lagi pilkada di daerah-daerah uang memiliki banyak sumber daya alam seperti Kalimantan Selatan, Kalimatan Timur, Sultera, Lampung, dan Maluku Utara. Dengan memberikan akses pemilihan langsung, maka biaya menjadi mahal. Akibatnya, biaya politik yang mahal itu, kepala daerah yang memenangkan pilkada akan berutang kepada cukong-cukong. Tetapi dengan pemilihan kembali ke DPRD, kita rakyat dapat melakukan pengawasan langsung dengan menggunakan lembaga penegak hukum. Biaya politik pun kecil. Potensi retak ditengah masyarakat juga menjadi kecil. Potensi penyebaran virus juga menjadi kecil. Sebab tidak ada pesta. Tidak ada kampanye akbar. Tidak ada konvoi orang dan kedaraan. Singkatnya, tidak lagi ada kerumunan massa. Dengan adanya penundaan ini, pemerintah bisa mengkaji atau mungkin mengeluarkan Perppu pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Sebagai penutup, etidaknya ada bebeapa alasan kenapa pilkada ditunda. Pertama, negara menjaga dan menjamin hak konstitusional rakyat tidak dirampas oleh kepentingan dan hasrat politik elit. Sebab Pilkada Ditengah pandemi sangat rentan terhadap keselamatan. Kedua, Pilkada sebagai ajang untuk mencari pemimpin yang bersih, jujur dan amanah serta adil. Tidak bisa dilaksanakan secara tertutup. Sebab itu akan memberi jalan bagi oligarki dan korporasi untuk mengambil kesempatan dalam pandemi. Ketiga, penundaan Pilkada bertujuan agar pemerintah konsentrasi menghadapi hantaman penyakit yang berefek hingga ke masalah ekonomi dan kesehatan. Efek besar ini tidak bisa diatasi dengan cara yang sederhana. Melainkan harus dengan cara yang serius. Keempat, anggaran dan biaya pilkada bisa dioptimalkan untuk menghadapi pandemi selama beberapa bulan kedepan. Sebab di tengah ancaman ekonomi dan kesehatan, kita juga menghadapi ancaman resesi yang dapat menjelaskan indonesia ke jurang krisis ekonomi. Kalau itu terjadi, maka krisis politik dan krisis sosial bisa terjadi lebih besar. Kelima, dengan penundaan Pilkada, pemerintah masih memiliki pejabat yang dapat mengisi kekosongan jabatan (Pj) kepala daerah. Mereka yang akan melaksanakan tugasnya sampai dilakukan pelantikan kepala daerah yang baru nantinya. Kelima, pemerintah dalam hal ini DPR dan presiden, dengan menunda pilkada, memiliki kesempatan untuk untuk mengkaji ulang sistem pemilihan kepala daerah yang potensi penyebaran covidnya kecil. Seperti pemilihan kepada Daerah melalui DPRD. Selain potensi penyebaran covidnya kecil, pemilihan melalui DPRD juga menghemat biaya pilkada dan memperkecil biaya politik paslon. Itulah sekilas pandangan saya untuk meminta pemerintah menunda pilkada ini. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Koordinator Komite Eksekutif KAMI, Dosen FH dan FISIP UMJ.