NASIONAL

Gagal Atasi Covid-19, Kenapa Cari Kambing Hitam?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (13/09). Jadi ternget kembali cerita Abu Nawas? Cincin hilang di depan rumah, dicari di ruang tamu. Alasannya, karena depan rumah gelap. Sedang ruang tamu terang. Koplak dan katro kan! Nah, pemerintah pusat sekarang mirip seperti Abu Nawas. Awalnya, ketika Covid-19 masih jadi ancaman, siapin kunyit dan empon-empon. Saat covid-19 sudah betul-betul masuk dan menyerbu, panik soal ekonomi. Ekonomi collaps dan datang resesi. Lalu bicara kesehatan. Presiden mulai siuman, sindir Windhu Purnomo, epidemiolog Universitas Airlangga. Presiden mulai menyadari betapa bahayanya pandemi covid-19. Karena itu, presiden dalam pidatonya mengungkapkan pentingnya saat ini mengutamakan kesehatan. Menyadari penyebaran covid-19 yang makin masif, Anies Baswedan, Gubernur DKI mengambil langkah cepat. Injek rem dan memberlakukan lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara ketat. Para pembantu presiden teriak, "gara-gara Anies, Index Harga Daham Gabungan (IHSG) anjlok". Para buzzer pun dikerahkan. Piye iki toh mas? Sejumlah ekonom bilang, IHSG anjlok karena fundamen ekonomi lemah. Pertumbuhan ekonomi yang sudah minus -5,3 persen. Akibatnya, nilia tukar rupiah jatuh dengan terjun bebas terhadap dollar. Investasi juga menurun dengan sendirinya. Kenapa yang dusalahin Anies? Budayawan Emha Ainun Najib, yang biasa disapa Cak Nun ngetwitt: "Catat manusia-manusia yang lupa kemanusiaannya. Mereka diam ketika angka kematian dokter terus naik (109 orang). Dan teriak ketika angka indeks saham sekali turun". Negara ini mau dibawa kemana? Mengapa setiap ada masalah bukan fokus pada obyeknya saja. Setelah itu kerahkan buzzer untuk cari kambing hitam? Dampaknya, bukan penyelesaian masalah yang didapat, tapi kegaduhan yang bertambah. Mestinya, semua unsur yang ada di pemerintahan pusat, termasuk para menteri, fokus saja bekerja. Identifikasi berbagai masalah, lalu pikirkan dengan serius penyelesaiannya. Jangan kerja, kerja, kerja, tapi nggak tahu apa yang harus dikerjakan. Disinilah perlunya gagasan, strategi dan perencanaan yang matang sebelum kerja, kerja, kerja. Covid-19, ini masalah kesehatan. Menteri kesehatan mestinya berada di garda terdepan. Kenapa justru nggak kelihatan. Sementara pimpinan Satgas bukan dari orang kesehatan. Kalau memang Menkes dianggap tak mampu, ganti saja dong. Lakukan reshuffle. Toh, Presiden punya otoritas melakukan reshuffle. Nggak usah nunggu jadual reshuffle berjama'ah. Nggak mampu, ya ganti. Supaya mesin pemerintah bisa beroperasi dengan baik. Belum lagi soal anggaran. Sudah dibuat dasar regulasinya. Perppu corona diterbitkan. Diperkuat lagi dengan UU No 2/2020. Penanganan corona dan dampaknya, juga dianggarkan khusus. Bahkan terus dinaikkan berkali-kali sesuka hati. Dari Rp 405,1 tiliun menjadi 677,2 tiliun. Setelah itu naik lagi menjadi Rp 686,2 triliun. Dan sekarang Rp 905 tiliun. Tapi, kenapa covid-19 tak juga teratasi? Pertama, dari sisi anggaran menunjukkan pemerintah nggak fokus dan nggak serius tangani pandeminya. Dari sekitar Rp 905 tiliun itu, anggaran untuk kesehatan hanya Rp 87,5 triliun. Kurang dari 10 persen. Itupun yang lewat kemenkes hanya Rp 25,7 triliun. Dengan catatan, tidak ada korupsi. Mosok sih? Kedua, karena kerja pemerintah nggak terukur. Telat dua bulan terapkan PSBB. Ketika PSBB berlaku April-Mei, angka terinveksi relatif bisa ditekan. Rata-rata per hari 445 orang. Namun, buru-buru diumumkan wacana New Normal. Di bulan Juni, angka terinveksi langsung naik jadi 1.141 rata-rata per hari. Bulan Juli 1.714 per hari. Bulan Agustus naik lagi jadi 2.380 per hari. Dan bulan september ini sudah di atas 3000 rata-rata per hari. Begitu juga angka kematian. Bulan April-Mei, ada 26 orang mati rata-rata perhari. Eh, begitu muncul wacana New Normal, angka kematian jadi naik. Rata-rata perhari di bulan Juni 49 orang. Bulan Juli 73 orang. Bulan Agustus rata-rata 80 orang. September? Pasti naik. Tingkat kematian karena covid-19 di Indonesia itu 4,1 persen. Sementara rate kematian global hanya 3,3 persen. Artinya, Indonesia lebih tinggi dari rata-rata di dunia. Sudah melampaui rate angka kematian dunia, sejak berlakunya New Normal yang dikampenyekan Presiden Jokowi. Dari data ini, wajar jika pandemi covid-19 di Indonesia dianggap menghawatirkan masyarakat internasional. Akibatnya 59 negara telah melockdown Indonesia. Kabarnya sekarang sudah naik lagi menjadi 69 negara yang tidak menerima orang Indonesia ke negaranya. Lalu salahkan orang lain sebagai kambing hitamnya? Kebijakan Anies, Gubernur Jakarta hampir selalu jadi sasaran dan tumbal atas kegagalan pemerintah pusat. Kebijakan Anies injek rem dianggap jadi sumber anjloknya IHSG. Dituduh sengaja ingin membuat ekonomi terpuruk agar Jokowi jatuh. Macam-macam khayalan imajinasinya. Jangan cari cincin di ruang tamu kalau cincinnya hilang di depan rumah bung.... Layakkah Anies menjadi kambing hitam berkaitan dengan injek rem PSBB? Perlu data untuk menjawab hal ini. Sekaligus melihatnya dengan cara membandingkan antara data Jakarta dengan data nasional dan global. Dengan melihat data, kita bisa lebih obyektif. Tidak imajinatif! Menghadapi covid-19, selain meminta warga DKI melakukan 3 M, yaitu memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan, Anies juga membuat strategi 3 T: Testing (PCR), tracing (penelusuran) dan treatmen (penanganan di rumah sakit). Pada tanggal 6 september, sebanyak 716.776 orang warga DKI yang dites. Ini berarti per 1 juta orang penduduk Jakarta, ada 76.335 yang dites. Bandingkan di tingkat nasional, per 1 juta penduduk, hanya 5.348 yang dites. Setiap pekan, warga DKI yang dites PCR berjumlah 59.146 orang. Jauh di atas batas minimal yang rekomendasi olehWorld Health Organization (WHO) untuk Jakarta yaitu 10.645 per pekan. Hasil tes menunjukkan bahwa kenaikan kasus positif di tingkat nasional secara total rata-rata 14 persen. Di Jakarta jauh lebih rendah, yaitu 7 persen. Pekan terakhir terjadi kenaikan 19,5 persen di tingkat nasional, dan 12,2 persen di DKI. Melihat trend dan lonjakan angkanya yang makin tinggi, jika Jakarta tak injak rem, maka kenaikan terinveksi dan angka kematian akan semakin menghawatirkan. Data ini juga disadari betul oleh presiden. Hanya saja, presiden belum mengambil langkah. Berdasarkan data statistik, jika kenaikan positif Covid-19 di Jakarta tidak ada treatmen khusus, (berlaku juga untuk daerah yang lain), maka tanggal 17 september, diperkirakan rumah sakit di DKI tak akan lagi mampu menampung pasien. Anies segera ambil langkah cepat. Injek rem. Berlakukan PSBB ketat. Kalau begitu, kenapa nggak hentikan atau kurangi saja jumlah tes PCR, supaya nggak semakin banyak yang ketahuan terinveksi? Itu namanya "Ngabu Nawas" . Dan Anies bukan Abu Nawas. Lebih baik jadi obyek sasaran dari pada jadi Abu Nawas. Anies pernah bilang: "saya dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, salah langkah. Kedua, melangkahi. Saya pilih yang kedua". Rupanya, Anies sudah siap ambil risiko. Asal, tidak salah langkah. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Sikap Tegas Jenderal Gatot

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (13/09). Salah satu Presidium Nasional Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo menghadiri Deklarasi KAMI Jawa Barat bersama Presidium lainnya Prof. Dr. Din Syamsuddin dan Prof. Dr. Rochmat Wahhab. "Triumvirate" ini menyampaikan pidato "Menyelamatkan Indonesia" dalam acara tersebut. Yang menarik dari pidato Jend. TNI (Purn) Gatot Nurmantyo adalah sikap tegasnya terhadap gejala terjadinya perongrongan ideologi Pancasila serta pembelaan terhadap "penistaan" hafidz Qur'an. Dua dimensi yang terintegrasi antara aspek kebangsaan dan keumatan. Meski tidak menunjuk siapa perongrong Pancasila itu. Tetapi arahnya jelas kepada pihak-pihak yang meragukan Pancasila dengan rumusan yang telah ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Tentu sebagaimana selalu diingatkan Gatot saat menjadi Panglima TNI, maka pergerakan anasir PKI atau kelompok Komunis patut untuk semakin diwaspadai. Dengan merujuk pada peristiwa perlawanan TNI terhadap perintah dari Komandan Pengawal Presiden Soekarno Cakrabirawa (PKI) Kolonel Untung, maka bawahan boleh saja melawan atasan. Apalagi atasan yang berniat mengganggu, bahkan mengganti dasar negara Pancasila. Bahasanya adalah "membunuh atasan" yang berkaitan dengan pembelaan terhadap ideologi negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Sikap itu sebagai wujud dari Sumpah Prajurit. Meskipun resikonya adalah harus dengan mengorbankan nyawa sendiri. Aspek keumatan yang disentuh Jenderal Gatot adalah bentuk kekesalannya terhadap ungkapan Menteri Agama (Menag) Fachrul Rozi yang dinilai menistakan para hafidz Qur'an. Menurut Menag, ciri dari radikalisme diawali dengan penampilan yang "good looking". Apakah itu mereka yang hafidz atau menguasai penggunaan Bahasa Arab. Kecurigaan yang berlebihan dari Menag Fachrul Rozi ini yang mengingatkan Gatot pada saat menjadi Panglima TNI dulu. Ketika itu Gaot pernah mengadakan muroja'ah 1.000 hafidz Qur’an di Markas Besar (Mabes) TNI Cilangkap. Gatot sangat Menghormati dan memuliakan para hafridz tersebut. Untuk ini Gatot siap membela para hafidz Qur’an itu. Di tengah krisis kepemimpinan yang tidak berkarakter, kemunculan dan ketegasan sikap Jendral TNI Purnawirawan benaran (bukan jenderal kehormatan) Gatot Nurmantyo menjadi fenomena. Tanpa harus dicurigai punya keinginan untuk menjadi pemimpin, Jenderal Gatot memang seorang pemimpin sejati. Pemimpin khas militer yang memahami masalah krusial bangsa secara komperhensip dan menyeluruh. Pemahaman yang tidak asal ngomong. Juga pemahaman yang tidak hanya sepoting-sepotong. Jendral yang sangat faham dengan apa itu “proxy war”. Faham dengan hakekat ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan terhadap kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara ke depan. Juga sangat faham bagaimana cara menghadapi dan mensikapi semua ancaman, tantangan dan hambatan tersebut. Menjadi barisan KAMI, Gatot mengajak anak bangsa untuk menyelamatkan Indonesia. Jendral Gatot didaulat untuk memimpin KAMI bersama Prof. Din Syamsuddin dari Muhammadiyah dan Prof. Rochmat Wahhab dari Nahdlatul Ulama menjadi Presidium. Jika konsistensi untuk "menyelamatkan" bangsa dapat terjaga, maka gelindingan KAMI akan menjadi gumpalan bola salju. KAMI menjadi yang sangat efektif bagi perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan secara moral hal ini adalah suatu keniscayaan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Jokowi Melawan Anies, Itu Malapetaka

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN – Ahad 913/09). Lockdown itu apa sih? Karena (pemahamannya) harus sama," kata Presiden Jokowi setelah meninjau rumah sakit darurat di Pulau Galang, Kepulauan Riau, Rabu (01/04). Jokowi menjelaskan bahwa istilah lockdown dipakai apabila semua warga benar-benar tidak boleh keluar rumah. Hanya beraktivitas di rumah. Kebijakan lockdown juga otomatis membuat seluruh layanan transportasi seperti bus, kereta api, dan pesawat pun berhenti. "Nah, ini yang kita tidak ambil jalan yang itu. Kita tetap aktivitas ekonomi ada. Tetapi semua masyarakat harus menjaga jarak. Jaga jarak aman yang paling penting kita sampaikan sejak awal. Social physicial distancing, itu terpenting," katanya (lihat Republika.co.id 1/4/2020). Postur Inkonsistensi Diberitakan oleh CNBC Indonesia, Presiden Jokowi pada akhir Maret, menyatakan "kita harus belajar dari pengalaman negara lain. Kita tidak bisa menirunya begitu saja," kata Jokowi usai Ratas Kabinet. Jokowi juga mengatakan setiap negara memiliki ciri khas masing-masing. Baik itu luas wilayah, jumlah penduduk, kedisiplinan, hingga kondisi geografis. Presiden lebih jauh menyatakan kita juga harus memperhatikan kemampuan fiskal. Oleh karena itu, kata Jokowi kita tidak boleh gegabah dalam merumuskan strategi. Semua harus dihitung dikalkulasi dengan cermat. Dan inti kebijakan kita sangat jelas. yakni pertama adalah kesehatan masyarakat (lihat CNBC Indonesia, 31/03/2020). Tiga bulan yang hebat selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun menemui akhir. Jokowi muncul dengan gagasan pelonggaran PSBB. Gagasan itu dilukiskan oleh Wata Ekonomi dalam judul berita “Jokowi Mau Terapkan New Normal.” Kata Jokowi "Yang penting, masyarakat produktif dan aman dari Covid-19. Berdampingan itu justru tidak menyerah, tapi menyesuaikan diri. Kita lawan keberadaan Covid-19 dengan mewajibkan protokol kesehatan yang ketat” (lihat Warta Ekonomi.co.id, 1/6/2020). PSBB dipilih dan dilaksanakan. Tiga bulan yang menjanjikan itu, akhirnya tersingikir.Takanan pada ekonomi yang berlebihan menjadi trade mark pemerintahan Jokowi. Menariknya segera terbukti kebijakan new normal, sebuah istilah yang akrab dilidah Jokowi, merangsang membesarnya bara corona. Entah bara ini teridentifikasi dapat membakar pemerintahannya, atau hal lainnya, Presiden memberi respon. Dalam rapat paripurna kabinetnya pada tanggal 7 September 2020, Presiden menyatakan fokus utama pemerintah yaitu mengutamakan kesehatan. Pernyataan itu disambut Windhu Purnomo, epidemoplog Universitas Airlangga. Kata Windhu, sekarang ini pemerintah bilang fokus pada kesehatan. Dan itu Alhamdulillah. “Jadi, kalau bahasanya orang itu, Pak Presiden mulai siuman. Mulai sadar," kata Windhu Purnomo, epidemolog Universitas Airlangga saat dihubungi CNN Indonesia.com, Selasa (8/9). Siuman? Tunggu dulu. Akhir Maret yang lalu Presiden juga menyatakan hal yang sama. Fokus pada kesehatan, kata Presiden kala itu. Tetapi dalam kenyataannya tekanan kebijakannya terletak pada ekonomi. Ada inkonsistensi yang nyata. Akankah inkonsistensi ini berlanjut lagi? Inkonsistensi itu terlihat dari data realisasi anggaran yang dikemukakan Kementerian Keuangan. Pemerintah, begitu data Kemenkeu bicara, telah menganggarkan total biaya Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp. 695,20 triliun yang dialokasikan untuk enam sektor, dimana total realisasi hingga minggu pertama Agustus adalah Rp. 151,25 triliun sudah dilaksanakan atau 21,8% dari pagu program Pemulihan Ekonomi Nasional. Lebih rinci, realisasi di sektor kesehatan Rp7,1 triliun, sektor perlindungan sosial Rp86,5 triliun, sektoral Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemda Rp8,6 triliun, sektor dukungan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) Rp. 32,5 triliun, dan sektor insentif usaha sudah mencapai Rp. 16,6 triliun dan sektor pembiayaan korporasi masih belum terdapat realisasi. Dari total anggaran Rp. 695,20 triliun, realisasi untuk program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi dari DIPA sudah dikeluarkan sebesar Rp. 313,2 trilliun dan yang belum dimasukkan ke DIPA sebanyak Rp. 226,1 triliun dan anggaran yang tanpa DIPA sebesar Rp. 155,9 triliun dalam bentuk berbagai insentif pajak (http://www.kemenkeu.go.id. 10/08/2020). Realisasi anggaran, bukan pernyataan Presiden. Suka atau tidak menjadi parameter politik dan tata negara tentang postur pemerintahan. Apalagi data itu disajikan oleh Kemenkeu. Tidak ada kementerian, bahkan Presiden yang tahu detail realisasi anggaran, selain Kemenkeu, suka atau tidak. Ini Berbagaya Corona membara di Jakarta. Bisa sangat mengkhwatirkan. Kapasitas rumah sakit, kata Gubernur Anies Baswedan bakal tak mampu menampung orang terinfeksi corona. Hebatnya, Anies mengerti tanggung konstitusional yang disandangnya dan tanggung jawab moral sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala. Tidak berwacana seperti Presiden. Tetapi lebih banyak bertindak. Itulah Anies, dan itulah pemimpin. Begitulah pemerintahan yang efektif. Rakyat tidak bisa dibiarkan terjatuh semakin dalam pada keadaan yang lebih parah. Mereka tidak bisa dibiarkan sakit dan mati konyol akibat salah kelola pemerintahan. Anies memperlihatkan pemerintahan yang dipimpinnya tidak berwatak korporatis yang selalu totaliter. Bergairah menyepelekan aspirasi. Setelah mengidentifikasi masalah dan memproyeksinya secara ternalar, Anies bertindak. PSBB total hasilnya. Pasar saham terguncang seketika. Airlangga Hartarto, Menko Ekonomi segera mengarahkan rasio kejatuhan pasar saham itu pada putusan Anies. Kejatuhan pasar saham memang acap berakibat fatal. Tetapi para ilmuan tahu kejatuhan pasar saham tidak pernah jadi faktor tunggal kekacauan ekonomi. Itu ditunjukan pada depresi ekonomi tahun 1929-1933. Kejatuhan pasar saham itu hanya melengkapi resesi ekonomi yang telah terjadi setahun sebelumnya. Presiden Herbert Hoveer yang ogah-ogahan mengambil tindakan radikal menangani ekonomi adalah penyebab utamanya. Apakah Jokowi akan mengirim menteri lagi untuk menekan Anies? Itu urusan Presiden. Apakah Presiden akan memaksa Anies melakukan PSBB Komunitas, mikro, sebuah gagasan yang muncul tiba-tiba? Itu juga urusan Presiden. Tetapi secara tata negara status Jakarta sebagai daerah yang diberlakukan PSBB, sampai sekarang belum dicabut. Presiden harus tahu itu. Pelonggaran PSBB, tidak sama hukumnya dengan mencabut PSBB. Pelonggaran tidak lebih dari sekadar menurunkan level PSBB. Bukan pencabutan PSBB. Itu hukumnya. Anies dengan demikian sah mengambil tindakan menghidupkan lagi PSBB seperti sedia kala. Presiden boleh punya mesin kekuasaan. Boleh dihidupkan mesin itu untuk melawan Anies. Tetapi Anies terlalu pintar untuk dipukul. Anies tahu bara corona saat ini merupakan buah pelonggaran PSBB. Anies juga pasti memiliki imajinasi politik tak terlihat. Dia tahu pelonggaran PSBB itu kebijaan Presiden. Sekarang Anies mencegah membesarnya bara itu. Lalu Prersiden mau melarang? Presiden jangan panggil bara politik dan tata negara. Presiden jangan terus-terusan memperlihatkan kekeliruan dalam mengelola negara. Sebab bisa menimbulkan masalah yang belum sempat diperkirakan sebelumnya. Mengutamakan kesehatan, melarang orang berkerumun, menunjuk Pilkada sebagai klaster corona, tetapi membiarkannya tetap berlangsung Pilkada, juga jelas tidak masuk akal sehat Pak Presiden. Tidakkah tabiat pilkada adalah orang berkerumun? Itu inkonsisten yang nya-nyata inkonsistensi. Melawan Anies itu akan terlihat masuk akal, kalau Presiden membungkus pemerintahannya dengan konsistensi. Sayangnya itu tidak terlihat Pak Presiden. Pada saat yang sama faksin anti coronanya tidak oke. Obat yang efektif juga tidak oke. Sekalipun telah berpartner dengan China, vaksinnya belum jelas. Vaksin merah putih, vaksin nasionalisme ini juga baru 50%. Tes Swap juga mahal. Itu karena watak korporatis yang menonjol pada pemerintahan ini. Dalam Raker dengan DPR, Pelaksana Tugas Badan Nasional Penggulangan Bencana (BNPB) menyatakan mahalnya biaya Test Swap karena rumah sakit swasta terlalu mencari untung. Ada yang mengenakan tarif sampai Rp. 2,2 juta, bahkan ada juga yang Rp. 5 juta (CNN Insdonesia, 9/9/2020). Awan panas RUU HIP belum mereda. Pemerintah sedang memanaskan langit politik dengan sertifikasi penceramah Agama Islam. Harga jual minyak pertamina di dalam negeri juga sama. Masih tidak bisa dimengerti orang. UU Corona dan RUU Omnibus, masih terus menyimpang antipati ke pemerintah. Kombinasi tampak tak beraturan. Semua faktor diatas menjadi alasan mendekatnya malapetaka bila Presiden memindahkan gigi kekuasaan menghentikan kebijakan Anies. Semua inkonsistensi Presiden akan silih berganti disajikan. Dan itu sama dengan memanggil malapetaka politik dan tata negara atas pemerintahan Presiden Jokowi. Ingat itu baik-baik. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Kenangan Bersama Jacob Oetama

by Zainal Bintang Jakarta FNN – Sabtu (12/09). Hari Rabu siang (09/09/20) mata saya tertancap berita penting di Kompas Tv. Berita duka : Jacob Oetama dalam usia 88 tahun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun. Lahir di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah 27 September 1931. Delapan belas hari lagi akan berulang tahun yang ke 89. Tidak akan saya nambah lagi komentar tentang keistimewaan sosok almarhum. Kiprahnya di dunia jurnalistik, di pergaulan sosial, wartawan yang sangat berintegritas, maupun sebagai pengusaha media yang piawai. Semuanya sudah diberitakan. Yang saya mau paparkan sisi “human interest” (kemanusiaan) almarhum. Sisinya yang bersahaja. Sesungguhnya disitulah tersembunyi kekuatannya. Persentuhan saya yang mengesankan dengan pak Jacob, terjadi tahun 1987. Kalau saya tidak salah ingat, waktu itu ada acara “Pertemuan Akbar Pemimpin Redaksi dan Pengurus PWI Se- Indonesia” bertempat di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Entah ini, sudah acara PWI se-Indonesia yang ketiga atau keempat. Hanya boleh diikuti kurang lebih 257 media cetak yang punya izin. Di era Orba (Orde Baru) kehidupan pers, khususnya media cetak dikontrol ketat oleh pemerintah melalui Deppen (Departemen Penerangan) dengan Menteri Penerangannya adalah Harmoko (1983 – 1993). Tampil sebagai pembicara di hari terakhir (hari kelima) acara itu adalah Penglima ABRI/Pengkopkamtib Benny Moerdani. Saya mendapat giliran sebagai penanya pertama. Malam itu Benny tampak malas dan suntuk. Mungkin kurang tidur, karena baru tiba di Jakarta beberapa jam yang lalu, selesai mendampingi Presiden Soeharto dalam kunjungan kerja ke luar negeri. Jendral bintang empat yang anti senyum itu kurang semangat. Benny bertanya dengan ketus kepada peserta yang datang dari seluruh Indonesia, “ngapain saudara-saudara ada disini? Ini kan malam minggu. Mestinya anda ada di tengah keluarga”. Suasana langsung kaku dan tegang. Pimpinan sidang Zulharmans Said yang Ketua Umum PWI Pusat, segera membuka acara tanya jawab. Dia menyebut nama saya sebagai penanya pertama. Itupun setelah saya angkat tangan tinggi-tinggi dan setengah menjulurkan kepala ke depan. Maklum, mungkin koran saya “Barata Minggu” tergolong koran kecil (oplag), jadi kurang “diwongke”. Maklum baru delapan tahun di tangan saya. Tanpa sponsor pemodal pula. Juga tanpa kredit bank. Biaya pribadi pula. Hidupnya sangat susah, karena harus bersaing koran raksasa harian seperti “Kompas” dan “Sinar Harapan”. Saya pertanyakan kepada Benny Moerdani, mengapa isi ceramahnya yang hampir sejam lebih itu banyak mengeritik pemberitaan di media cetak yang dianggapnya sering free kick? Mengapa bapak Jendral tidak menyinggung juga belakangan ini banyaknya acara di televisi yang bertentangan kepribadian dan nilai luhur budaya Indonesia? kata saya. Waktu itu satu-satunya televisi yang ada hanya TVRI. Punya pemerintah dan masih hitam putih. Serial di televisi yang saya gugat itu berjudul “Return To Eden” produksi Australia. Apakah pak Jendral tidak menonton acara itu di televisi? kata saya mantap. “Tidak! Saya tidak nonton yang begituan. Saya cuma nonton “Losmen”, jawab Benny tangkas. “Losmen” adalah film seri Indonesia tahun 1980-an yang menceritakan tentang kehidupan sehari-hari keluarga Broto yang mengelola sebuah losmen. Ditulis dan disutradarai pasangan Tatiek Maliyati dan Wahyu Sihombing. Bintangnya Mieke Widjaja, Mang Udel, Mathias Muchus, Ida Lemandan Dewi Yull. “Return To Eden” ditayangkan serial tiap minggu beberapa tahun oleh TVRI. Dibintangi artis seksi Rebecca Giling. Menampilkan gambar nyaris tanpa sensor. Intrik, free seks, adegan porno dan kekerasan serta aneka ragam adegan pembunuhan hingga adegan panas di ranjang pun tidak disensor. Mengaku hal itu bukan kompetensinya, Benny kemudian meminta penanggung jawab televisi untuk menjelaskan. Harmoko malam itu tidak ada. Yang diminta maju adalah Dirjen PPG (Penerbitan, Pers Dan Grafika) Soekarno SH. Dengan tergopoh-gopoh menuju meja sidang. Dia terlihat seperti baru bangun tidur. Mungkin tertidur duduk karena kelelahan sebagai panitia inti. “Maaf, tolong pak Zainal Bintang mengulangi pertanyaannya”, katanya. Pejabat yang satu ini terkenal sangat santun dan lembut. Ketika itu suara peserta menjadi gaduh dan bergantian berteriak, “nah awas lo Bintang, izin kamu dicabut”. Ada juga yang bilang “mampus deh kamu kawan. Izin kamu pasti dicabutlah. Ke laut lah koran kau Bintang “, suara rekan wartawan dari Medan itu pastinya. Teriakan itu sebenarnya adalah sindiran terhadap banyaknya pembreidelan ataupun teguran lewat “sensor” telipon pejabat Deppen (Departemen Penerangan) terhadap beberapa media karena merugikan citra pemerintah. Bahkan masih banyak koran yang izinnya belum dikeluarkan seiring adanya keharusan mengurus izin baru sebagai pengganti izin lama SIT (Surat Izin Terbit) menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) berdasarkan UU Pokok Pers Tahun 1985. Koran saya Barata Minggu izinnya masih ditahan oleh Departemen Penerangan. Karena beritanya dianggap sering “offside” menyindir pemerintah. Dengan tenang saya menjawab, “maaf pak Dirjen dan Pak Benny. Atas nama keselamatan saya, maka pertanyaan saya tarik”. Suasana dalam ruangan tiba-tiba bergemuruh. Heboh. Tidak terduga. Dan mungkin terasa lucu. Sesungguhnya suasana malah menjadi cair karenanya. Itu membuat Benny Moerdani dan rombongan punya alasan untuk segera mengundurkan diri dari acara. Malam itu berlalu tanpa tanya jawab lagi. Sebagian besar peserta menuduh saya “pengacau”. Tapi, nyatanya ada juga yang memuji. Diantara yang memuji adalah Jacob Oetama. Hal itu baru saya ketahui keesokan harinya menjelang penutupan acara. Pak Jacob memanggil saya. Kami bicara sebelum acara dimulai. “Bung Zainal”, katanya memulai pembicaraan dengan dentuman huruf “B” yang “njawani” ketika mengucapkan kata “Bung”. Medok betul. Dan itulah ciri khas Pak Jacob. “Saya mau tahu bung, apa yang ada di fikiran anda, maka tiba-tiba memilih sebuah jawaban yang singkat dan cerdas begitu”. Haahh…?? Saya kaget dan heran dalam hati. Saya tatap wajah Pak Jacob yang terlihat serius, tapi tetap dengan senyum lembutnya. Terlihat butuh jawaban yang jujur. Entah, substansi apa yang ditangkapnya dengan dalam perkataan saya ketika memutuskan membatalkan pertanyaan. “Pak Jacob, maaf saya ini kan pemain teater dan juga film pak. Jadi sebagai seniman, saya memutuskan cepat memberi jawaban yang teateral”, kata saya merendah. Setengah bercanda. Ternyata Pak Jacob ikut tertawa tergelak-gelak, tapi berusaha mengendalikannya. “Oh ya yaa. Saya mengerti. Saya mengerti. Pemain teater sih yaa”, katanya sambil mengangguk-angguk. Humoris juga orang ini yaa. Saya membatin. Agenda tahunan “Pertemuan Akbar Pemred & Pengurus PWI se-Indonesia” itu adalah sebuah tradisi yang digagas Harmoko setelah beberapa kali menjabat Ketua Umum PWI, integrasi hasil kongres pengurus “kembar” di Tretes, Malang, Jawa Timur (1971). Dimulai akhir 1979 dan berakhir setelah beberapa tahun Harmoko diangkat menjadi Menteri Penerangan oleh Soeharto (1983 – 1993). Kongres PWI di Tretes berlangsung kurang dari setahun setelah kasus pengurus “kembar” di Palembang. Kongres itu dilabel dengan frasa “integarsi” untuk menyatukan pengurus PWI yang terbelah dua pada saat kongres ke XIV di Palembang (1970) yang melahirkan dua pengurus, yakni PWI Diah dan PWI Rosihan. Kedua kubu dedengkot wartawan itu berbeda pilihan. Yang satu mendukung BM Diah (Harian Merdeka) yang lainnya memihak Rosihan Anwar (Harian Pedoman) Saya salah satu anggota delegasi dari PWI Sulawesi Selatan bersama beberapa senior, antara lain almarhum Rahman Arge tokoh wartawan dan seniman terkenal ke Tretes waktu itu. Dalam usia 24 tahun. Disitulah saya berkenalan dengan banyak tokoh pers nasional, termasuk Jacob Utama. Beberapa tahun kemudian(1992), saya bertemu lagi pak Jacob di kantor PWI Pusat di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Waktu itu saya pengurus Bidang Hukum PWI Jaya. Karena suatu keperluan organisasi, saya ke kantor PWI Pusat. Pak Jacob mengajak masuk ke ruangannya. ”Bung Zainal, anda ini bahagia sekali yaa. Anda bebas, anda hiasi korannya dengan foto berwarna dan layout huruf-hurufnyapun berwarna juga”. Saya kaget lagi. Ternyata Pak Jacob sangat detil sekali pencermatannya. Sebagai generasi muda, dalam hati saya salut pada kerendahan hati pemilik koran besar yang mau memperhatikan dengan saksama koran “kecil”. Almarhum menjelaskan dengan mimik sedikit “sedih” mengatakan koran “Kompas” agak “cemburu”. Karena tidak bisa seenaknya merubah layout. Terikat secara kebatinan dengan pembaca tradisionalnya yang masih “konservatif”. Mayoritas pembaca “Kompas” adalah eksekutif papan atas. Termasuk presiden Soeharto dan jajarannya. Almarhum merasa terikat secara moralitas untuk tetap bertahan dengan wajah “Kompas” yang hitam putih. Yang klasik. Era perkembangan teknologi modern beberapa tahun kemudian, memaksakan kompetisi pembaharuan perwajahan media cetak. “Kompas”pun terpicu menjawab permintaan pasar pembaca yang berubah. Generasi muda pembaca yang lebih modis dan trendi mendorong “Kompas” mulai terlihat “agresif”. Kompas mulai berimprovisasi menggunakan tata warna pada perwajahannya. Meski masih terkesan “malu-malu” . “Ohh…Ok..Ok pak Jacob, akhirnya tercapai jugalah cita-citamu”, kata saya dalam hati ketika setiap hari menemukan wajah “Kompas” sudah mulai “berani” warna-warni. Saya “mendekati” sosok seorang Jacob Oetama lebih menggunakan teori teater atau ilmu peran. Saya lebih suka menangkap dimensi lain yang disebut sebagai “gesture” (gerak – gerak kecil) kecil. Gerak-gerak kecil almarhum yang saya ungkapkan itu justru adalah pertanda kekuatan besar yang sejatinya ada pada semua manusia. Tapi tidak banyak yang mampu mengelolanya menjadi energi positif. Dan Pak Jacob ada disitu. Beliau mampu mengelolanya. Menatap upacara pemakaman almarhum di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata di layar televisi, wajah pak Jacob berkelebat dalam ingatan saya ketika mendengarkan ratapan lirih lirik lagu “Ibu Pertiwi”. Lagu sedih yang patriotik favorit Pak Jacob. “Kulihat wajah Pak Jacob. Menekan hatinya yang sedih. Tapi tetap senyum. Air matanya tertahan. Pesan moralnya tergenang”. Selamat jalan pak Jacob. Kehadiran dan kepergianmu dikenang. Pesan moralmu terkenang. Penulis adalah Wartawan Senior & Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Jokowi Sudah Tak Efektif Sebagai Pemimpin

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Sabtu (12/09). Indonesia dihebohkan oleh pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) seketika rontok. Kamis 10 September kemarin, IHSG anjlok 5% ke level 4.891. Otoritas bursa sampai menghentikan sementara perdagangan saham, karena anjloknya bursa tergolong parah. Menariknya, selevel Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto langsung merespon. Namun Airlangga mengatakan, rontoknya IHSG disebabkan karena announcement Gubernur DKI Jakarta terkait akan kembali memberlakukan PSBB. Bagaimana perspektif politik membaca fenomena ini. Saya narasikan secara sederhana saja dalam artikel singkat ini. Ini semacam membenarkan tesisnya Berry Clark dalam Political economy : A Comparative Approach (2016) yang meyakini pendekatan interdisipliner dalam praktik tata kelola negara. Bahwa ada relasi kuat antara politik dan ekonomi, atau sebaliknya. Dalam konteks itu, justru narasi Airlangga Hartarto semakin memperkeruh relasi antara politik dan ekonomi Indonesia saat ini. Saya termasuk yang meyakini bahwa Anies Baswedan sebagai Gubernur membuat kebijakan kembali terapkan PSBB itu pasti berbasis data. Tidak mungkin Gubernur buat kebijakan tanpa data. Nah yang paham data terakhir Jakarta terkait Covid-19 tentu saja Anies Baswedan. Pasti bukan Airlangga Hartarto. Anies Baswedan menyampaikan data sebenarnya. Apa yang disampaikan kepada publik pada 9 September malam tersebut sudah cukup untuk menggambarkan situasi covid-19 di Jakarta saat ini. Bahwa situasi wabah di Jakarta saat ini berada dalam kondisi darurat. Ambang batas kapasitas rumah sakit untuk ruang isolasi dan Intensive Care Unit (ICU) sudah melampaui angka batas aman. Sehingga diperkirakan akan mencapai kapasitas maksimal di 17 September 2020, dan setelah itu fasilitas kesehatan di DKI Jakarta akan kolaps. Selama 6 bulan terakhir, kasus Covid-19 di Jakarta didominasi 50% kasus Orang Tanpa Gejala (OTG). Sekitar 35% lagi adalah kasus gejala ringan-sedang. Demikian data yang disampaikan dalam pernyataan Gubernur DKI tersebut untuk mengambil langkah kembali melakukan PSBB. Pernyataan Gubernur Anies Baswedan di atas dalam perspektif politik sebenarnya itu pernyataan yang biasa-biasa saja. Bukan pernyataan yang luar biasa. Pernyataan yang menunjukan tanggungjawab seorang Gubernur kepada publik. Memang seharusnya begitu Gubernur bekerja. Untuk mengingatkan publik, dan mengambil langkah yang tepat dalam beberapa hari ke depan. Dalam perspektif politik yang dilakukan Anies Baswedan juga menunjukan cara kerja dalam prinsip-prinsip Open Government. Diantaranya prinsip transparansi. Jadi saya justru heran, ko respon menteri-menteri Jokowi tidak support upaya transparansi data dan sikap Gubernur DKI tersebut. Bukankah Jokowi terakhir meski terlambat mengatakan bahwa kesehatan rakyat harus diutamakan daripada ekonomi? Yang dilakukan Anies Baswedan itu tidak bertentangan dengan Jokowi. Ada apa ini justru para menterinya yang nyinyir? Apakah sikap menteri tersebut atas perintah Jokowi? Fenomena respon dari Menko Perekonomian tersebut sesungguhnya adalah suatu pintu untuk membuka, bahwa kekacauan tata kelola pemerintah dalam menangani pandemi covid-19 sedang benar-benar terjadi. Tidak ada kepemimpinan yang solid dalam menangani covid-19. Upaya jujur dan langkah cepat Gubernur DKI terlihat sangat tidak didukung Pemerintah Pusat. Sikap Pemerintah Pusat ini terlihat karena terjadi beberapa kali sejak awal kasus positif covid-19 ditemukan. Beberapa kali langkah cepat DKI Jakarta dibatalkan Presiden Jokowi. Misalnya dalam soal publikasi data, soal keinginan lockdown, dan kini soal rencana kembali berlakukan PSBB. Saat Presiden Jokowi tidak menyetujui langkah Gubernur DKI saat itu, saya berasumsi bahwa Presiden Jokowi mungkin punya kapasitas lebih untuk mengelola situasi pandemi covid ini. Tetapi setelah 6 bulan berlalu, Jokowi ternyata lebih sibuk mengeluarkan aturan yang ternyata tidak efektif dilaksanakan. Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang saling bertabrakan. Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang dikeluarkan Jokowi, dan kemudian menjadi UU Nomor 2 tahun 2020 terlihat dominan untuk memenuhi kepentingan oligarki ekonomi. Namun tidak efektif di lapangan. Jokowi juga terlihat sibuk mendorong RUU Omnibus Law Cipta Kerja agar disahkan DPR, padahal ditolak rakyat. Juga mengesahkan UU Minerba yang juga ditolak rakyat. Sibuk merevisi UU Bank Indonesia yang juga diolak rakyat. Semuanya dilakukan saat rakyat lapar akibat covid-19. Saat seratusan dokter berguguran. Saat rakyat makin susah. Saat ekonomi makin memburuk dengan angka pertumbuhan minus -5 % lebih. Jokowi sibuk marah-marah nggak karuan. Semua menterinya dimarahi karena daya serap APBN-nya yang rendah. Jokowi juga memarahi para Gubernur yang daya serapnya rendah. Tragisnya, ternyata perintah Jokowi sudah tidak bisa ditaati para menterinya. Fenomena regulasi yang ditolak rakyat. Daya serap APBN yang rendah. Angka pertumbuhan ekonomi yang sudah minus -5% lebih. Sering marah-marah kepada para menteri. Para menterinya makin lama makin sering membuat gaduh dengan kebijakan yang aneh-aneh. Para menteri juga sibuk dengan urusan masing-masing. Lebih taat pada Ketua Umum partainya. Koordinasi juga mulai terlihat berantakan. Pembagian kerja dengan Wakil Presiden juga sering tidak sinkron. Bahkan terlihat kalau wapres cenderung untuk diabaikan. Itu semua adalah indikator paling nyata bahwa kepemimpinan Jokowi sudah tidak lagi efektif. Kepemimpinan Jokowi tidak lagi mampu untuk mencapai tujuan bernegara yang telah ditetapkan di Pembukaan UUD 1945. Tetapi justru semakin terlihat kacau balau. Apakah itu semua harus dibiarkan berlanjut dan terus berlanjut? Rakyat dan pemimpin yang otentik sudah waktunya hadir? Negara harus diselamatkan dengan menghadirkan pemimpin yang otentik. Bukan pemimpinan yang suka lupa dengan omongannya sendiri. Penulis adalah Pengamat Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Menteri Agama Ngawur, Presiden Kok Diam?

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (11/09). Ketika Menteri Agama Fachrul Razi direaksi karena ngomong tentang radikalisme melulu, Presiden diam seribu bahasa. Apakah Presiden sengaja membiarkan Menteri Agama babak belur dihajar oleh kebijakan penghapusan "ajaran radikal" dari buku pelajaran agama Islam? Begitu juga dengan omongan Menteri Fachrul Rozi soal celana cadar dan celana cingkrang. Rencana pendaftaran majelis ta'lim, serta hafidz dan mahir bahasa arab sebagai pintu radikalisme. Sehingga diduga sampai akhir jabatan Menteri Agama hanya akan berkhidmah pada "radikalisme". Dengan bekal ilmu agama Pak Menteri Fachrul sangat yang sangat minim, pas-pasan, atau nyaris kosong, tetapi berani dan bangga bicara tentang radikalisme. Hanya dengan berbekal modal dasar sebagai Menteri Agama, ngomongnya seperti orang sudah menjadi mufassir dan muhaddits. Padahal semakin banyak ngomong, Menteri Agama semakin menelajangi diri sendiri soal pengetahuan agamanya. Menteri diangkat dan diberhentikan Presiden. Oleh karenanya menteri dalam sistem ketata negaraan yang berlaku disebut menjadi pembantu Presiden. Menteri bertanggungjawab kepada Presiden, dan hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan. Satu, sebagian atau seluruhnya. Reshuffle adalah kewenangan ketatanegaraan Presiden. Makanya menteri itu menjadi "wajahnya" Presiden pada tataran pelaksanaan. Ketika Menteri Agama gonjang-ganjing dengan kebijakan kontroversi, mulai celana cingkrang hingga "otak cingkrang" bahwa hafidz atau penguasaan bahasa arab menjadi pintu radikalisme, semestinya Presiden bersuara atau bersikap. Presiden seharusnya mengoreksi, meluruskan atau mungkin menegur setiap perbuatan yang menyakiti perasaan rakyatnya. Khususnya rakyat yang beragama Islam sebagai mayoritas di negeri ini. Lebih tegas lagi Presiden harus menggantikannya dengan pejabat yang lain. Diganti dengan pejabat yang tidak punya hobby memproduksi kegaduhan di tenagh menguatnya dua jenis tekanan kepada masyarakat. Pertama adalah tekanan pandemi covid-19, dan kedua adalah tekanan ekonomi yang semakin meberatkan. Jika Presiden diam saja maka rakyat berhak memberikan penilaian kepada Presiden. Pertama, Presiden tidak mengerti apa yang dinyatakan oleh sang Menterinya. Ini artinya kualitas Presiden berada di bawah menteri. Kecuali Presiden bersikap lain. Misalnya, dengan mengoreksi, meluruskan atau menegur menterinya. Kedua, Presiden mengerti tetapi tak bisa mengendalikan menterinya. Maka nyatalah bahwa menteri tersebut jalan sendiri. Menteri tak lagi menjadi pembantu Presiden. Apa saja yang mau diomongin suka-suka hati pada menterinya. Tidak lagi perduli dengan apa kata Presiden. Ketiga, kebijakan menteri adalah suara dan isi hati dari Presiden. Maka tuntutan agar menteri diganti sama saja dengan meminta Presiden yang diganti. Salah sebesar apapun yang dilakukan oleh menteri, presiden bakal diam saja. Bahkan bisa saja disuruh oleh Presiden secara diam-diam. Hampir semua Menteri Jokowi tidak ada yang berprestasi. Pilihannya hanya dua, yaitu diam atau berprilaku aneh-aneh dengan membuat pernyataan yang kontroversi. Jika di era parlementer, semestinya kondisi ini menyebabkan bubarnya Kabinet. Mungkin untuk yang kelima kali. Presiden yang hanya bisa diam saja disaat menterinya salah, menggambarkan dan mengkonfirmasi kepada masyarakat bahwa Pemerintahan sudah kehilangan wibawa. Kepercayaan kepada pemerintah sudah runtuh. Pemerintah mendeklarasi dirinya tentang ketidakmampuan mengelola pemerintahan. Lalu apa yang bisa diharapkan oleh rakyat lagi? Pilihan konstitusional hanya dua, yaitu mundur atau dimundurkan. UUD 1945 mengatur cara melakukan penyegaran dalam pemerintahan, demi kebaikan besama dalam berbangsa dan bernegara. Bukan mengada-ada. Apalagi makar atau kudeta. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Berlakukan PSBB Lagi, Anies Diserang Buzzer

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (11/09). Baru-baru ini, presiden menyatakan "bahwa fokus utama pemerintah adalah kesehatan". Sepertinya, pernyataan presiden ini sebagai respon atas makin meluasnya penyebaran covid-19. Perhari di atas 3.000 orang terinveksi virus corona. Presiden siuman, kata epidemiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, Windhu Purnomo. Boleh jadi betul. Yang pasti, selama ini langkah pemerintah dalam menangani pandemi covid-19 zig zag. Sporadis dan tak terukur. Bahkan bisa dibilang suka-suka hati. Semula pemerintah nggak yakin covid-19 masuk ke Indonesia. Sangat meremehkan. Macam-macam guyonanya. Ternyata salah prediksi. Ini fatal sekali. Urusan nyawa rakyat diibuat jadi main-main. Setelah covid-19 masuk, pemerintah pusat panik dan gagap. Yang muncul berikutnya justru kegaduhan akibat ulah pasukan buzzer. Buzzer komersial yang makan anggaran Rp 90,45 miliar. Setelah beberapa bulan, pemerintah menemukan solusi, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ini memang ide jitu. Meski semula terlihat malu-malu. Karena secara substansi, usulan ini jauh-jauh hari sudah diajukan gubernur DKI. Tetapi malah ditolak. Katrok kan? Seandainya karantina wilayah diterapkan dari awal di Jakarta seperti usulan Anies, pemerintah cukup kasih makan 3,6 juta Kepala Keuarga (KK). Dua pekan sekali habis anggaran Rp 900 miliar. Sebulan Rp 1,8 triliun . Genapkan jadi Rp 2 triliun. Karantina enam bulan, cukup anggarkan Rp 12 triliun. Mungkin corona nggak nyebar kemana-kemana. Inilah yang diterapkan di Wuhan. Juga di beberapa negara. Nasi sudah jadi bubur. Kalau sukses tangani covid-19 dari awal, mungkin Perppu dan UU Corona nggak lahir. UU Mineral dan Batubara (Minerba) juga belum tentu diketuk palu. RUU Omnibus Law bisa mangkrak. RUU HIP boleh jadi akan layu sebelum diusulkan. Sejak PSBB dilaksanakan, penyebaran covid-19 mulai terkendali. Sayangnya, hanya beberapa saat saja. Ambyar setelah pemerintah mewacanakan New Normal. Rupa-rupanya, pemerintah setengah hati juga dalam memberlakukan PSPB. Sejak muncul wacana New Normal, masyarakat hilang kedisiplinan. Aturan PSBB tidak lagi efektif. Disana sini terjadi pelanggaran. Eforia berkerumun muncul kembali. Akibatnya, penyebaran covid-19 semakin meluas. Bahkan lebih gila dari awal pandemi masuk ke Indonesia. Lalu, presiden bilang kepada para menteri di sidang kabinet “kesehatan harus diutamakan”. Apakah pernyataan presiden ini murni karena keprihatinan terhadap mengganasnya penyebaran covid-19? Sebab, prioritas dan fokus pemerintah selama ini masih pada ekonomi. Pemerintah cenderung meremehkan angka kematian. Kok mendadak banting setir. Bicara kesehatan di saat dampak ekonomi betul-betul nyata dan mulai dirasakan oleh rakyat. Saat Indonesia dihajar resesi ekonomi. Dua kuartal pertumbuhan ekonomi minus, dan kehidupan rakyat makin susah. Mendadak fokus ke kesehatan. Halllooo... selama ini kemana? Wajar jika kemudian ada yang menduga pernyataan presiden hanya pengalihan isu. Dari isu ekonomi yang sudah mencapai "ngeri-ngeri sedap" ke isu kesehatan. Seolah ada kesan pemerintah pusat sayang terhadap nyawa rakyatnya. Yang bener aja boosss? Situasi menggilanya penyebaran covid-19 mau tidak mau juga harus dihadapi oleh para kepala daerah. Terutama Jakarta. Mobilitas sosial akibat tuntutan ekonomi di Ibu kota tak terkendali. Kerja keras para kepala daerah, termasuk gubernur DKI untuk menerapkan transisi PSBB, tak lagi mampu menghadang eforia New Normal yang digaungkan sendiri oleh Presiden Jokowi. Data di Ibu Kota, tentu juga sejumlah daerah lain, menyebutkan bahwa penyebaran covid-19 menghawatirkan. Kekhawatiran ini mendorong Anies, gubernur ibu kota Jakarta, mengambil sikap tegas. Anies memberlakukan kembali PSBB secara ketat. Anies meyakinkan publik bahwa kebijakannya ini berbasis pada data dan kajian. Anies konsisten pada prinsip yang selama ini dipegang. Yaitu, mengutamakan keselamatan nyawa dan kesehatan rakyat di atas segalanya, termasuk ekonomi. Kebijakan ini tentu nggak populer. Sebab, hadir di saat rakyat sudah merasa merdeka dari covid-19. Akibat kebijakan yang nggak populer, Anies harus siap hadapi kritik. Ini sudah risiko jabatan. Buat lawan politik dan para buzzer, isu ini cukup menggairahkan. Mereka seolah dapat lahan kering untuk bakar kegaduhan. Begitulah yang selama ini terjadi. Sebuah konsekuensi demokrasi di era digital. Menko perekonomian, Airlangga Hartarto teriak. Anies dianggap menjadi penyebab IHSG anjlok. Bahkan ada yang bilang bahwa keputusan Anies menerapkan PSBB membuat 59 negara mengeluarkan travel warning. Yang lebih gila lagi, ada yang minta Anies dibebastugaskan. Ngeri bro! Hebat sekali Gubernur Anies ini. Selain menteri yang selalu menjadi oposisi, kebijakan Anies mendapat respon dari 68 negara, yang membuat kebijakan lockdown terhadap Indonesia. Ini artinya, masyarakat internasional lebih percaya pada data Anies tentang Indonesia, dari pada data dari pihak yang lain. Disinilah pentingnya kejujuran bila menyangkut data. Sebab, akurasi data menjadi bagian penting dari kredibilitas sebuah bangsa ketika bicara di hadapan dunia internasional. Untuk sebuah kejujuran, seorang pemimpin harus berani mengambil keputusan tidak populer. Meski punya risiko politik. Itulah yang dulu dilakukan Habibi dan Gus Dur. Hanya orang yang pintar, jujur, tegas dan berani ambil risiko yang layak menjadi seorang pemimpin. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

"Radikalisme" Upaya Pengalihan Kegagalan Penguasa

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (10/09). Tuduhan radikalisme telah menyasar kepada umat beragama, khususnya umat Islam. Radikal selalu dikonotasikan buruk, destruktif dan main labrak. Radikalisme menjadi stigma baru setelah tetorisme yang "life time"nya sudah usai. Stigma buruk yang disandangkan pada umat Islam, bahkan berpintu pada "good looking" hafidz dan "menguasai" bahasa arab. Inilah stigma yang sangat konyol, ngawur menyakitkan perasaan umat Islam. Stigma ini keluar setelah pemerintah terlihat gagal dan amburadul dalam tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik kepada masyarakat. Pemerintah gagal mengelola persoalan ekonomi, politik, hukum dan sosoal budaya. Yang paling terakhir adalah penaggulangan pendemi Covid-19 gagal dan buruk. Indonesia berhasil naik ranking empat terburuk penaggulangan Covid-19. Akkibatnya, Indonesia sekarang dilockdown oleh 68 negara di dunia. Juga sebagai upaya pengalihan isu Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasilan (RUU HIP), yang sekarang menajdi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Menurut Kamus Besar Bahsa Indonesia (KBBI) radikal mengandung makna 1) secara mendasar (sampai kepada yang prinsip). 2) amat keras menuntut perubahan. 3) maju dalam berfikir atau bertindak. Dari ketiga makna tersebut tidak ada yang mengarah pada tindakan destruktif. Butir dua "amat keras" tersebut pun dapat mengacu pada aspek jiwa atau semangat. Secara etimologi radikal berasal dari kata latin radix atau radici yang artinya "akar". Jadi tidak perlu produksi persoalan baru di tengah banyak masalah bangsa yang sudah menumpuk. Saking banyak masalah, pemerintah sepertinya bingung keluar dari berbagai masalah tersebut. Beragama kalau harus radikal, artinya harus kokoh dan berprinsip. Berakar kuat pada kebenaran yang diyakininya. Menjalankan segala ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Konsisten dan konsekuen. Nabi Ibrahim As dan para Nabi lain mencontohkan sikap berprinsip dalam beragama. Doktrin dan kalamnya dikenal dengan "kalimah thoyyibah". "Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan “kalimah yang baik” (kalimah thoyyibah) seperti “pohon yang baik”. Akarnya kokoh terhujam (ashluhaa tsaabit) dan cabangnya menjulang ke langit (far'uhaa fis samaa-i) "berbuah" setiap musim dengan izin Allah. Perumpamaan tersebut Allah buat bagi manusia, agar mereka ingat" (QS Ibrahim 24-25). Kalimah dzikrullah, taushiyah, amar ma'ruf nahi munkar adalah "kalimah thoyyibah". Begitu pula dengan konsep arau program ekonomi, budaya, dan politik yang sehat dan halal. Meluruskan penyimpangan adalah kalimah baik yang berakar kokoh. Menegur Imam salah, instruksi meluruskan barisan atau meminta keluar yang mengganggu ibadah itu semua kalimah thoyyibah. Jadi ucapan atau sikap yang berbasis nilai kebenaran adalah kalimah yang dapat dikategorikan radikal dalam beragama. Maka tak ada yang salah jika kita harus radikal dalam beragama. Fanatik dan berprinsip, tentu tanpa mesti mengganggu keyakinan orang lain. Jika sikap radikal beragama dinafikan, bahkan menjadi agenda yang harus ditiadakan, maka itu sama saja dengan membiarkan kemaksiatan berkembang apakah judi, zina, hasud, dengki hingga korupsi merajalela. Kezaliman yang ditoleransi. Mereka yang toleran pada kemaksiatan, kesesatan, atau kesewenang-wenangan adalah orang yang tercabut dari akar (radix) keyakinan kebenarannya. Tak berpendirian dan goyah keimanannya. Buzzer dan influencer dari kepemimpinan yang kriminal. Dan perumpamaan dari “kalimah yang buruk” (kalimah khobiitsah) adalah bagaikan "pohon yang buruk” yang tercabut akarnya dari tanah (ijtutsat min fauqil ardli) dan tidak memiliki ketetapan (maa lahaa min qaraar)-- QS Ibrahim 26. Doktrin kalimah buruk (kalimah khobiitsah) dalam konteks agama dan politik adalah bid'ah-bid'ah, mistisisme, sekularisme, liberalisme dan komunisme. Narasi perjuangan yang anti moral dan kebenaran. Menuduh agama candu, agama steril dari politik, atau hafidz sebagai pintu radikalisme adalah kalimah buruk yang menunjukkan sikap mengambang dan jahat. Menteri Agama yang tak memiliki sikap radikal dalam beragama bukanlah Menteri Agama. Dia bisa menjadi Menteri Mistisisme, Menteri Sekularisme, Menteri Liberalisme ataupun Menteri Komunisme. Buang saja agama untuk suatu perjuangan yang selalu anti dan menista agama... Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

Makin Belepotan Menteri Fahrul Rozi

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (09/09). Ketika isu reshuffle kabunet mengemuka, Menteri Agama Fahrul Rozi termasuk yang dinilai pantas untuk diganti. Barangkali dalam rangka meningkatkan kepercayaan dari Presiden, maka pak Menteri Fahrul sekarang bermanuver. Isu radikalisme yang menjadi modal dan andalannya di "up date" dengan program deradikalisasi melalui sertifikasi da'i. Sertifikasi da'i sama saja dengan pengawasan atau pengendalian terhadap aktivitas ceramah para da'i. Paradigmanya mencurigai dan memata-matai para da’i. Cara pandang buruk Pemerintah disampaikan melalui Menteri Agama. Bila semakin tak terkendali, Pemerintahan setahap demi setahap akan bergeser menjadi model dari rezim otoriter komunis. Sebelumnya Menteri Agama juga setuju dengan persekusi seorang ustadz yang disinyalir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh kelompok Banser di Pasuruan. Aneh jika atas nama tabayun, maka persekusi, bahkan penistaan terhadap ustadz dibenarkan dan didukung oleh Menteri Agama. Khilafah dan terma Islam lain seperti jihad lalu dimasalahkan. Umat Islam memandang bahwa program deradikalisasi telah berubah menjadi deislamisasi. Menteri Agama memposisikan diri berada di garda terdepan dalam proyek bedar deislamisasi dan deradikalisasi. Deradikalisasi atau deislamisasi seperti ini adalah perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila. Pancasila dirumuskan ketat atas prestasi dan pengorbanan umat Islam. Kini umat seolah menjadi tertuduh atau pesakitan di negeri Pancasila. Ini sangat tragis. Tuduhan anti Pancasila yang selalu ditujukan kepada umat Islam, atau rakyat sesungguhnya adalah bias politik. Sebab fakta yang terjadi justru para penentang Pancasila itu berada di lingkaran Pemerintah sendiri. Mereka merencanakan merubah Pancasila melalui pengajuan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasiial (RUU HIP). RUU HIP yang sekarang telah berubah menadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP gtersebut, menempatkan Pancasila tanggal 1 Juni 1945 dasar negara. Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Bukan Pancasila konsesnsus tangga 18 Agustus 1945. Padahal munculnya RUU HIP atau BPIP nyata-nyata merupakan perbuatan makan kepada negara. Kementrian Agama yang didirikan dengan semangat perjuangan umat Islam, oleh pak Menteri Fahrul Rozi kini digunakan untuk mengacak-acak syari'at agama. Sertifikasi da'i adalah konsep yang sangat menyakitkan umat Islam. Bahkan sangat menyesatkan. Menteri Agama hanya satu fikiran yang ada dalam benaknya bahwa umat Islam itu berbahaya, radikal, dan intoleran. Bagaimana seorang Menteri Agama yang seorang muslim dapat menempatkan umat Islam sedemikian negatifnya? Jangan-jangan ada kelainan? Atau memang dangkal pemahaman terhadap Islam, sehingga harus berhadap-hadapan dengan umat Islam? Pernyataan bahwa radikalis diawali dengan performa "good looking" adalah ungkapan yang sangat, sanagat, dan sangat bodoh. Ungkapan yang mengada-ada, dan hanya mencari-cari dalih. Menteri Agama tidak berfikir positif dari yang dia sebut "good looking". Menteri Agamma sepertinya menempatkan diri sebagai agen dari kepentingan yang berniat untuk mengacak-acak stabilitas umat Islam. Menteri Agama sebagai seorang muslim, selayaknya menjadi pembela terdepan dari agama Islam. Menjadi pelindung utama kepentingan umat Islam. Bukan sebaliknya, yang selalu membuat dan memproduksi keresahan terhadap umat Islam. Bukan pula untuk menggerogoti nilai-nilai agama Islam. Menteri Agama kini menjadi "vampire agama" yang tak berguna. Bahkan sangat berbahaya. Penulis adalah Pemerhati Keagamaan dan Kebangsan.

Ketika Jenderal Purnawirawan Benaran Ikut Demonstrasi

by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Rabu (09/09). Jumhur Hidayat, mantan aktifis ITB yang pernah dipenjarakan rezim militer Orde Baru ke Nusa Kambangan, khusus bertanya kepada saya, "kenapa Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo mau ikut demonstrasi kemarin di depan Gedung Sate, Bandung?" Saya berjanji untuk membuat tulisan ini untuk menjawab alasan psikologis dan sosiologis partisipasi Gatot Nurmantyo (GN) itu dalam kacamata ilmu. Karena memang baru sekali dalam sejarah Bangsa Indonesia, seorang Jenderal (asli) Bintang Empat ikut dalam aksi demo. Bukan Jendral Kehormatan. Biasanya para jenderal-jenderal purnawirawan menikmati "comfort zone" sebagai anggota masyarakat yang terhormat di bumi pertiwi ini. Selain umumnya banyak diantara mereka menjadi komisaris-komisaris di perusahan raksasa, dengan gaji yang besar. Demonstrasi menyelamatkan Indonesia yang digelar kelompok massa rakyat, yang dipimpin Kolonel (purn) Sugeng Waras, Senin, 7/9, kemarin di Bandung. Intinya adalah mengutuk krisis demokrasi yang terjadi saat ini. Aksi itu disebabkan adanya kemunduran demokrasi, di mana Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), dupersulit oleh aparatur negara, dalam hal ini yang tersurat adalah Satgas Covid-19. Satgar Covid-19 yang mencabut rekomendasi perlengkapan ijin acara Deklarasi KAMI Jabar, yang sedianya dilakukan di Hotel Gran Pasundan, Senin, 7 /9/2020. Padahal, seminggu sebelumnya, pihak hotel menjamin acara Deklarasi KAMI Jabar tidak masalah. Karena baru saja hotel tersebut dipakai oleh kelompok bisnis air minum yang berkumpul hampir 1.000 orang. Sedangkan KAMI hanya untuk 500 orang. Di luar urusan tersurat, tentu urusan tersirat, kita melihat rangkaian konvoi-konvoi calon calon kepala daerah, baik Bupati/Walikota, maupun Cagub, bebas berdesak-desakan tanpa protokol Covid-19. Sebaiknya, acara di hotel, karena bisnis profesional, pasti protokol Covid-19 dilakukan serius oleh pihak hotel tersebut. Tersirat artinya pula, pasti bukan urusan Satgas Covid-19 yang ngotot melarang acara KAMI tersebut. Lalu siapa? Itulah yang ingin dikejar aksi demo KAMI Jabar tersebut. Gatot Dalam Perspektif Maslow Ahli-ahli kepribadian telah mengembangkan ilmu "psychodynmic theory, Social Learning Theory, Situation-person interaction theory dan Need Theory" untuk melihat kepribadian seseorang. Berbagai ilmu tersebut di atas sebagian besar bersumber pada Sigmund Freud, sebagai guru mereka. Freud melihat staging atau tahapan perkembangan kepribadian terkait dengan masa awal kehidupan manusia, yakni fase oral, anal dan phallic. Namun, dalam perkembangan dewasa ini, para ahli menawarkan kombinasi interaksi sosial pada fase fisikal yang dilontarkan Freud. Perkembangan Gatot Nurmantyo dalam analisa kepribadian (the ID, Ego and Super Ego) yang mengikutkan analisa interaksi sosial, di mana GN hidup dalam keluarga dan asrama militer. Tentu berpengaruh pada sifat dasar GN, terkait dengan heroisme, tanggung jawab dan disiplin. Keluarga memberi moralitas dasar, serta lingkungan militer (asrama) menambahkan tentang yang salah vs benar. Maslow dalam "Hierarchy of Needs" mendekati analisa dari kebutuhan hidup seseorang untuk mengetahui level manusia tersebut. Menurutnya, manusia terendah berada pada level kebutuhan fisik. Setelah itu kebutuhan keamanan, di atasnya lagi kehidupan sosial. Lalu kebutuhan kenyamanan (penghormatan). Terakhir kebutuhan aktualisasi diri (menyangkut keagungan dan moralitas). Dalam perspektif Maslow ini, Gatot Nurmantyo, sebagai jenderal penuh. Bukan seperti beberapa jenderal yang bintang empat karena kehormatan telah mencapai tahapanlevel ke empat, yakni penghargaan. Baik penghargaan negara maupun berbagai kenyamanan hidup lainnya.Namun apa yang mengganggu Gatot Nurmantyo sehingga tidak berhenti pada kenyamanan level empat hirarki Maslow? Dalam berbagai kesempatan, GN sudah menyampaikan bahwa dia sudah berusaha menghindari politik selama hampir tiga tahun sejak pensiun. Dalam keluarga yang super mapan, ditandai dengan harta, anak-anak yang sukses, dan tidak ada beban hukum di masa lalu, selama ini GN menghabiskan waktunya mengurus cucu dan bertani. Namun, ketika menurutnya ada gejala ingin mengubah Pancasila dari kekuasan yang sedang berlangsung, khususnya sejak RUU HIP diupayakan untuk diundangkan di DPR-RI beberapa waktu lalu, GN terganggu. Menurutnya, sejak dia melakukan Sumpah Prajurit di bawah Al Quran, ketika lulus Akademi Militer, tanggung jawab mempertahankan Pancasila adalah persoalan moralitas dasar yang dia akan pertahankan hidup atau mati. Menurutnya, rencana pengubahan Pancasila yang bisa diperas menjadi Trisila dan Ekasila adalah upaya makar yang nyata. Upayayang akan membubarkan negara. Dan ini menjadi gangguan kejiwaan yang mendorong moral politiknya kembali menunjukkan tanggung jawab. Inilah penjelasan level ke lima teori Maslow. Bahwa GN harus menapaki level hirarki Maslow dengan meninggalkan kenyamanan level keempat dan tentu saja mempunyai resiko besar. Resiko tersebut telah diperhitungkan dengan sangat matang oleh GN. Perspektif Sosiologis Membaca sosok Gatot Nurmantyo dari personality theory dapat menggambarkan gelora hati dan moralitas GN tersebut. Penjelasan sosiologis akan membantu lebih dalam lagi akan hal tersebut. Ahli-ahli sosiologi dalam perspektif Durkhemian, Marxian dan interaksi Sosial menjelaskan bagaimana perjalanan individu dalam konteks sosial. Memakai Durkheim, kita melihat lingkungan militer dalam kehidupan GN seumur hidupnya membuat perspektif GN melihat situasi terikat pada lingkungan itu. Gatot misalnya, secara tegas meyakini bahwa Komunis dan Komunisme adalah ancaman sentral di Indonesia. Hal ini sesuai dengan realitas lingkungan militer yang melihat Komunis sebagai ideologi paling berbahaya. Khususnya ketika pada tahun 1965, banyak jenderal yang dibunuh Komunis kala itu. GN berbeda dengan pemerintah ketika rezim Jokowi melakukan berbagai deislamisasi. Baik secara keras dengan kriminalisasi ulama, maupun propaganda media, Gatot malah berkali-kali membuat langkah berlawanan. Misalnya dengan mengundang Ustad Abdul Somad ke Markas TNI, mengadakan pengajian 1.000 hafiz dan hafizah di Mabes TNI. Melakukan nonton bareng film anti Komunis (G/30S PKI). Gatot bukan saja memperlihatkan kedekatannya pada ulama.Namun GN juga meyakini bahwa Indonesia ini hanya akan aman dan besar kalau NU dan Muhammadiyah bersatu. Lalu bagaimana melihat oligarki alias penguasaan asset-asset negara di tangan cukong-cukong? Menariknya, dalam pidato GN di Tugu Proklamasi, dia mengutuk oligarki ekonomi yang berlindung "dibalik" ketiak konstitusi. Gatot malah menginginkan sila kelima Pancasila tentang keadilan sosial dijalankan dengan sungguh -sungguh. Disini, analisa Durkhemian yang strukturalis harus digeser pada teori interaksi sosial, dimana struktur dan agen sama kuatnya berpengaruh. Sebagai agen (tokoh), GN mempunyai "free will" dalam hidupnya, di mana dia bermaksud mengubah struktur atau lingkungan atau sistem. Disini pertanyaan Jumhur Hidayat terjawab, bahwa meskipun GN hidup sepenuhnya dalam lingkungan militer, namun dia ingin demokrasi tak dipermainkan. GN marah dengan demokrasi yang dipermainkan itu. Dia meninggalkan kenyamanannya sebagai orang sukses. Mau berdemonstrasi, dengan resiko. Penutup Mengapa Gatot Nurmantyo mau ikut demo kemarin di Gedung Sate? Bukankah dia mantan Jenderal bintang empat asli? Bukan seperti banyak bintang empat kehormatan? Mantan Panglima TNI yang hidupnya nyaman? Apakah dia "post power syndrome"? Menurut teori kepribadian dan sosiologi yang saya jelaskan di atas, GN memang telah meninggalkan kenyamannannya sebagai orang terhormat pada level Self Esteem yang disebut Maslow of Hierarchy of Needs. Moralitas GN terganggu dengan adanya rencana mengubah Pancasila, sebagaimana yang sedang diupayakan pada RUU Pancasila beberapa bulan lalu. Sebagai prajurit dan anak prajurit yang besar dalam asrama militer, GN mempunya "super ego" yang sensitif atas isu Pancasila tersebut. Selain isu Pancasila sebagai utama, akhirnya merembet pada isu-isu lainnya yang terkait dengan degradasi negara dan bangsa yang menuju kehancuran. Ini ditandai dengan isu-isu deislamisasi, oligarki dan kesalahan penanganan pandemi Covid-19. Dalam orasi politiknya, sebagai demonstran, GN telah menyatakan siap mati atau ditangkap rezim ini. Sikap itu, jika upaya politik moral yang dia jalankan untuk mengkoreksi kehidupan berbangsa dan bernegara direspon sebagai kejahatan. Namun, essai yang saya tulis ini sesungguhnya kembali untuk menjawab pertanyaan Mohammad Jumhur Hidayat. Mantan tokoh aktifis ITB legendaris yang ditangkap militer di masa Orde Baru, yang bertanya pada saya, “kenapa seorang Jenderal mau ikutan demo”? Mungkin Jumhur cemburu, bahwa ada sosok (eks) militer yang juga mau demonstrasi. Bukan lagi hanya kaum buruh atau mahasiswa atau anak STM. Cemburu karena ada manusia yang mau meninggalkan semua kemewahan menjadi seorang demonstran, demi menyelamatkan negara ini. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.