NASIONAL

Kodok Peking Yang Mulut Comberan

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Mantan narapidana kasus penista Agama Ahok tidak berubah. Dia masih asal ngomong (asmong). Ngomong asal tanpa kendali. Bahaaa kerennya Ahok “asal negbacot”. Kata Ahok, “kalau saya Dirut Pertamina, kadrun demo mau bikin gaduh". Kadrun adalah panggilan untuk "kadal gurun" yang mengarah kepada umat Islam. Atau konteks Ahok mungkin saja peserta aksi demonstrasi 411 dan 212 yang telah berhasil "memenjarakan" Ahok, dan membrikan label “penista Agama”. Kadrun dinilai sebagai panggilan yang rasialis Ahok. Mereka yang biasa menjuluki kadrun adalah para Kodok Peking (Doking). Mereka itu pengabdi negara Cina di Indonesia. Meraka juga Islamophobis, serta agen yang hanya bisa berlindung di ketiak kekuasaan. Sebenarnya Ahok tak pantas menjadi pejabat apapun di negeri ini. Disamping kinerjanya yang memang sangat buruk, juga ngomongnya gede selangit. Ngebacotnya itu yang terlalu ketinggian. Ahok sulit untuk bisa memperbaiki karakter sompral bawaannya. Akibatnya, Ahok suka menciptakan kegaduhan di masyarakat. Karakter bawaan yang sangat tidak pantas dan layah untuk menyandang jabatan sekelas Komisaris Utama Pertamina. Komisaris Utama kok membongkar dapur Pertamina sendiri? Bukan itu saja. Malah menyeret-nyeret Menteri segala. Ahok memang sok jago, sok kuasa, dan sok paling bersih. Peran Komisaris itu bukan marah-marah atau berkeluh kesah. Bukan juga membongkar dapur sendiri Yang utama dan mesti dilakukan Ahok adalah membenahi dengan membuat langkah konkrit sesuai kewenangan sebagai Komisaris Utama Pertamkina. Apalagi cuma bisa teriak-teriak bahwa kadrun kadrunan dengan rasa yang penuh sentimen. Mau ngomong bersih bersih. Padahal orang juga sudah tahu kalau sapunya “kagak bersih”. Bahkan sangat kotor sapunya. Gaji gede, namun prestasi kerja tidak jelas dan kabur. Orang yang buruk track record begini bisa ditempatkan di Pertamina, Komisaris Utama lagi? Yang menempatkan Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina kemungkinan juga sudah mati rasa. Sikap masyarakat yang sangat keras menolak Ahok dengan berprilaku buruk, sudah tidak lagi diiandahkan pemerintah. Pemerintah menutup mata saja dengan semua prilaku Ahok. Tahun 2020, Pertamina mengalami kerugian sampai Rp 11,3 triliun. Kerugian itu terjadi pada saat Pertamina di bawah kendalinya Ahok. Padahal sebelumnya Ahok sesumbar kepada publik, “kalau Pertamina itu tidur saja masih bisa untung”. Faktanya Pertamina mengalami kerugian besar. Padahal keuntungan yang didapat Pertamina dari hasil memeras rakyat, melalui penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) sekitar Rp 60 triliun rupiah. Pemerasan dilakukan Pertamina sejak awal tahun sampai sekarang. Semua negara tentangga seperti Malaysia, Thailand, Philipina dan Vietnam sudah menunrunkan harga jual BBM di dalam negeri. Namun tidak untuk Pertamina Kalau sudah begini kondisinya, Presiden Jokowi juga harus ikut bertanggungjawab. Karena Ahok adalah kroni terdekat Presiden Jokowi. Publik sudah sangat mengetahui dan faham soal kedekatan Ahok dengan Presiden Jokowi tersebut. Tanpa campur tangan Presiden Jokowi, tidak bakalan Ahok menjadi Komisaris Utama Pertamina. Para doking si Kodok Peking selalu menyebut pihak yang kritis pada kebijakan pemerintah sebagai kadrun. Mereka bisa buzzer, bisa pula influencer. Seperti Kodok Peking asli yang melompat sana sini. Mereka mencari makan dari semak semak ke semak lain. Bersuara pun berisik melulu. Wahai para Kodok Peking, jangan lecehkan umat. Kalian telah banyak menikmati hasil tanah dan air bangsa ini. Menguras dan menguasai. Saatnya untuk lebih tahu diri dan berterimakasih. Bukan dengan petantang petenteng sok kaya dan sok kuasa. Pribumi telah lama disakiti. Kini saatnya bangkit. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Perlukah Pam Swakarsa?

by Anton Permana Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Dikeluarkannya Peraturan Kapolri nomor 4 Tahun 2020 tentang Pam Swakarsa ini cukup menarik perhatian publik. Karena, dalam memori publik istilah "Pam Swakarsa" adalah pasukan era orde baru yang dibentuk dengan tujuan 'insurgency' (pertahanan negara) bagian dari tugas-tugas TNI AD. Sementara itu, di masa awal reformasi sempat menjadi sasaran pro dan kontra tentang keberadaan Pam Swakarsa. Yang pro mengatakan, pasukan Pam Swakarsa ini adalah strategi pembinaan teritorial ABRI (TNI hari ini) pada penggalangan masyarakat sipil. Ketika itu, dalam menggalang partisipasi rakyat untuk menangkal upaya mobilisasi masyarakat, khususnya mahasiswa. Ketika itu, mahasiswa ditenggarai sudah diboncengi "gerakan kiri ekstrim" ( PKI dan simpatisannya) untuk menggulingkan pemerintah. Artinya, membuat pasukan sipil untuk menghadapi sipil. Dan ini murni konsep perperangan anti gerilya dalam dimensi pertahanan. Atau dalam istilah Wikipedia, kelompok sipil bersenjata tajam yang dibentuk ABRI yang menolak Sidang Istimewa (SI) MPR. Karena image ABRI saat itu memerlukan kekuatan pendukung untuk menangkal isu pelanggaran HAM. Bagi yang kontra, Pam Swakarsa ini dianggap melanggar HAM. Perbuatan melawan hukum dengan mengadu domba sesama masyarakat. Bertentangan dengan prinsip negara demokrasi. Berbagai kecaman muncul, baik dari dalam negeri dan luar negeri. Hal ini karena sesungguhnya dari kelompok kotran ini, penilaian Pam Swakarsa berasal dari posisi yang anti tesis dengan tujuan awal. Namanya sudah berbeda pandangan, maka akan sulit disamakan. Oleh sebab itu, publik tentu perlu penjelasan yang lebih jelas dan tegas. Untuk apa ujug-ujug di era reformasi ini, pemerintah khususnya melalui Polri perlu membentuk Pam Swakarsa ini kembali ? Jika negara pada masa Orde Baru sangat jelas meletakkan tujuannya dalam wilayah pertahanan. Bagaimana dengan era reformasi sekarang? Secara pribadi saya yakin, Kapolri Jendral Idham Azis tentu punya maksud baik dan strategi tertentu. Sehingga beliau mengeluarkan Peraturan Kapolri yang ditandatanganinya tanggal 5 Agustus 2020 kemaren. Tetapi hal ini, apakah hal ini telah dikonsultasikan dahulu dengan pihak Menkopolhukam, Kementrian Pertahanan bahkan TNI AD ? yang secara doktrin memiliki aspek pembinaan perlawanan wilayah atau ketahanan wilayah? Juga dikonsultasikan dengan para akademisi dan pakar-pakar? Dikonsultasikan dengan mereka yang selama ini telah banyak memberikan bantuannya untuk menegakkan pembangunan dan menjunjung demokrasi di era reformasi. Agar tidak terjadi "distorsi pemahaman" ? Jika ingin mengatakan nantinya bahwa tidak ada pihak yang salah dalam hal ini, Polri sebagai institusi yang bertanggung jawab tentang Kamtibmas pasti punya alasan untuk itu. Begitu juga masyarakat civil society. Tentu perlu juga penjelasan yang lebih jelas dan rinci dari pihak yang berwenang agar tidak menimbulkan keraguan dan kecurigaan yang tidak perlu. Untuk era digital sekarang, yang rentan terjadi "miss-understanding", penjelasan itu sangat diperlukan. Adapun beberapa pendapat yang saya tangkap di tengah masyarakat terkait dengan Pam Swakarsa tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, masyarakat tentu perlu mengetahui apa permasalahan paling substansial dari pembentukan Pam Swakarsa ini? Karena, ada yang berpendapat kenapa tidak memanfaatkan begitu banyak organisasi massa berbasis bela negara yang sudah ada saja? Yang setidaknya sudah mendapatkan pelatihan disiplin dan dasar-dasar militer dan keamanan. Misalnya FKPPI, PPM, Pemuda Pancasila, Laskar Merah Putih, HIPAKAD, KBP3, GBN, atau ormas yang tergabung dalam KNPI. Yang paling terakhir gerakan kader belanegara yang digagas oleh Jenderal Ryamizard (2015) saat menjabat Menhan? Padahal gagasan Ryamizard telah menghabiskan anggaran tidak kecil, dan para kadernya pun saat ini masih menunggu-nunggu kelanjutannya. Selain pemberdayaan wilayah pertahanan adalah tugas TNI, Organisasi Kemasyarakatan (Oramas) ini tentu sudah familiar dengan masyarakat. Saya yakin, para Ormas ini akan senang apabila mendapat kepercayaan dari pemerintah, khususnya kerjasama dengan komponen utama Pertahanan. Kedua, perlu juga dijelaskan, apa saja tugas pokok dan fungsi Pam Swakarsa ini? Apakah dibentuk untuk sementara dalam menangani PSBB pandemi covid19 saja? atau untuk permanen? Tentu perlu analisa serta jaminan bahwa pasukan Pam Swakarsa ini tidak akan disalahgunakan, yang akan menimbulkan konflik baru sesama masyarakat. Untuk itu diperlukan kejelasan batas waktunya. Karena tidak ada dasar hukum acuan dalam KUHP atas pembentukan Pan Swakarsa ini. Dimana bisa memangun sekelompok masyarkat tertentu dalam penegakan hukum. Atau setidaknya perlu terminologi nama lain dalam penyebutannya. Setidaknya dapat menjawab serta meyakinkan para pihak yang meragukan efektifitas, dan ketakutan penyalahgunaan pembentukan pasukan ala semi-milisi ini. Ketiga, perlu juga dijelaskan, apa spesifikasi dari persyaratan untuk menjadi anggota Pam Swakarsa ini? Karena banyak yang meragukan seberapa disiplin dan proteksi dari penyalahgunaan kewenangan di lapangan nantinya. Tentu yang dapat merugikan nama baik institusi kepolisian itu sendiri. Apakah "Preman" bisa masuk kategori Pam Swakarsa juga? Keempat, TNI sebagai alat pertahanan negara dan komponen utama negara, mempunyai juga binaan komponen cadangan. Komponen yang terlatih disamping sebagai kader bela negara. Yang sengaja dibentuk melalui UU PSDN Nomor 23 tahun 2019. Apakah ini sama atau berbeda? Atau timbul pertanyaan, kenapa tak bersinergi dengan TNI saja, kalau memang membutuhkan bantuan personil ? Kelima, bumi nusantara ini sangat beragam. Baik dari segi Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) dan kultur budaya. Pendekatan kultur budaya kepada masyarakat lebih baik dari pada pendekatan struktural pemerintahan. Apalagi kalau hal itu terkait dengan upaya penegakan budaya dan prilaku. Memanfaatkan ketokohan agama, tokoh adat, serta kearifan lokal setempat akan lebih baik dan efektif. Di dalam Perkap Kapolri tersebut, memang ada disebutkan bahwa anggota Pam Swakarsa ini bisa diambil dari kelompok pranata sosial kearifan lokal. Namun ini tentu perlu dijelaskan dan ditegaskan, apakah itu lembaga yang sudah ada diberdayakan? Atau membentuk yang baru? Kenapa hal ini diperlukan? Untuk menjawab keraguan dan asumsi negatif dari beberapa pengamat dan akademisi, yang ragu kalau ujungnya Pam Swakarsa . Karena nama ini rentan menimbulkan gesekan baru sesama masyarakat, bahkan dengan aparat TNI. Secara psikologis, pembentukan Pam Swakarsa ini juga bisa menimbulkan keluar image di mata publik internasional dan nasional. Bahwa pemerintah Indonesia hari ini seakan-akan ada "gap distrosi" (tidak harmonis) yang begitu dalam dengan rakyatnya sendiri. Sehingga perlu membentuk Pam Swakarsa, yang kalau dalam kaca mata internasional bisa diasumsikan sama dengan pasukan milisi. Wajar berbagai keraguan dan pertanyaan kritis keluar dari masyarakat, mengingat negara kita selama ini selalu menggaungkan sebagai negara demokrasi. Negara Pancasila dengan semangat persatuan Gotong Royong yang sangat hebat dan kuat. Namun, tetap saja masih mau menggunakan pola yang dulu di akhir Orde Baru banyak dikecam dan dicap negatif. Apakah ini tidak bertentangan juga dengan semangat reformasi? Ataukah hendak mengatakan bahwa Orde Baru itu benar adanya dan ingin kembali lagi? Kita berharap, semua keraguan dan kegelisahan negatif itu tidak terjadi. Semoga pemerintah, melalui Menko Polhukam sudah menganalisa semua ini dengan seksama. Sebagai masyarakat sipil, kita semua pasti mendukung program Pam Swakarsa kalau memang ditujukan untuk mengayomi, melayani, dan melindungi masyarakat. Agar tentram dan damai di tengah pandemic Covid-19 ini. insya Allah. Jawab keraguan ini. Salam Indonesia Jaya. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.

Kekacauan Bernegara Di Eranya Jokowi

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (18/09). Negara sekarang jadi kacau. Kekacauan itu hampir terjadi di semua aspek. Kita mulai saja dari aspek hukum. Aparat, bahkan institusi hukum terlibat jauh dalam politik praktis. Nggak bisa dibantah itu. BIN pamer operasi kekuatan pasukan temput. KPK dimatikan untuk menyelamatkan orang-orang besar dan kasus besar. Secara beruntun RUU diusulkan, dan UU diterbitkan hanya untuk melindungi kepentingan korporasi, oligarki dan konglomerasi. Mau contohnya nyata? Lihat dan baca itu UU Minerba, UU Corona, RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan RUU HIP yang berubah menjadi RUU BPIP. RUU yang terakhir ini, meski telah secara masif mendatangkan gelombang penolakan dari rakyat, tetap saja dipaksakan. Kekacauan juga terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PT. Asuransi Jiwasraya kebobolan sampai belasan triliun. Pertamina rugi Rp 11,3 triliun. Komisaris Utama Ahok mencak-mencak. Sebelumnya Ahok sesumbar bilang “kalau Pertamina merem aja pasti untung”. Eh malah rugi besar. Sekarang bilang data dari Direktur Utama nggak bener. Kacau-balau, dan amburadul ini pemerintahan. Banyak BUMN yang dijaminkan untuk pinjaman pembangunan infrastruktur. Diantaranya infrastruktur komersial. Artinya, dibangun untuk dijual lagi. Total hutang luar negeri BUMN saat ini Rp 835 triliun, setara dengan U$ 57,8 miliar. Utang naik sekitar 15,1% dari bulan Juli lalu. Pada akhirnya, BUMN jalan megap-megap untuk bayar hutang. Pertumbuhan ekonomi minus sudah minus -5,32 persen. Berlanjut ke kuartal berikutnya. Artinya, bakal terjadi resesi di depan mata. Dampaknya, diantaranya pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Angka pengangguran diperkirakan bertambah sekitar 4,2 juta (data resmi Bappenas lho). Itupun kalau Bappenas jujur dan menggunakan standar wajar dalam menghitung pengangguran. Pemerintah dan DPR sepakat untuk cetak uang Rp 600 triliun. Untuk maksud cetak uang itu, lalu pakai bahasa yang agak sedikit keren, “burden sharing”. Mungkin supaya orang awam nggak paham dan tidak menimbulkan gejolak kalau itu adalah cetak uang. Cetak uang berlebihan, dengan menempatkan Bank Indonesia di bawah eksekutif rawan penyelahgunaan. Sangat berpotensi menciptakan inflasi. Kalau terjadi inflasi, siapa yang nanggung biayanya? Sudah rasti Rakyat. Anda saat ini beli kopi seharga Rp. 2000 per gelas. Pada tahun 2021 atau 2022, harganya "mungkin" bisa naik jadi Rp. 5.000 per gelas. Uang anda pasti bakal berkurang nilainya. Makanya, sejumlah orang kaya bakalan menukar uangnya ke emas atau dollar. Begitulah kalau terjadi inflasi. Dengan UU Corona Nomor 2 Tahun 2020, muncul anggaran Rp 905 triliun. Anggaran ini bakal digunakan secara bebas, karena dilindungi oleh UU No 2/2020. Bebas dari tuntutan pidana, perdata dan TUN. Tragisnya, bukannya anggaran tersebut lebih banyak dipakai untuk mengatasi pandemi (kurang dari 10%), tetapi justru digunakan untuk injeksi korporasi dan perbankan. Tragis kan? Pandemi coronanya cenderung diabaikan. Itu terlihat dari alokasi anggaran yang sangat kecil. Namun dampak ekonominya yang terus, dan sibuk diatasi oleh pemerintah Jokowi. Ya, seperti menuang air di ember yang bocor. Sia-sia saja. Sekarang baru pada siuman, termasuk Buya Syafi’i Maarif yang selama ini terkenal membela habis-habisan kebijakan pemerintahan Jokowi. Kenapa BI nggak beli saja Surat Berharga Negara (SBN) yang ada di tangan bank-bank itu. Lalu turunkan suku bunga (BI rate) hingga 0-1% saja seperti di Singapura (0%), Thailand (0,5%) dan Malaysia (1,75). BI rate sekarang ini masih terlalu tinggi dengan 4% itu. Meski sebelumnya BI rate sudah diturunkan 1%, dalam empat tahap, dari semula 5%. Tetapi tak mampu menahan laju resesi ekonomi di depan mata. Dunia usaha tersendat karena suplay liquiditas terhambat, padahal demand masih besar. Para pengusaha juga nggak mampu membayar cicilan bank, karena besarnya bunga, yang masih 8% hingga di atas 10%. Uniknya, uang nasabah bank terus bertambah. Artinya, masyarakat lebih memilih menyimpan di bank dari pada menggunakannya untuk biaya konsumsi. Makin parah lagi kondisinya. Sebab uang yang beredar di masyarakat makin kecil. Ini akan memicu naiknya angka kemiskinan. Kekacauan juga terjadi di panggung politik. Isinya para buzzer dan infulencer yang dianggarkan Rp 90.45 miliar. Masalah apapun sepertinya mau diselesaikan lewat buzzer dan infulencfer. Apapun penyakitnya, pasukan bodrek jadi obatnya. Ngeri sekali tata kelola bernegara di Era Jokowi ini. Belum lagi ketika datangnya musim orang gila beroperasi. Kini sebaran teror orang gila terjadi di berbagai wilayah negeri ini. Diantaranya di Lampung, Palembang dan Bogor, yang semakin menambah kekacauan sosial. Anehnya, orang gila bisa pilih-pilih sasara. Diutamakan para ulama atau ustadz. Di jajaran kementerian, terjadi overlaping yang akut. Menkes banyak diam, lahan corona diambil oleh TNI dan Menko Maritim. Kementerian Agama sibuk mengurus radikalisme dan sertifikasi muballigh. Menteri pertahanan diberi tugas untuk mengurusi ketahanan pangan. Lalu Wapres? Presiden saja lupa menyebut namanya saat pidato. Makin kacau tata kelolas pemerintahan di eranya Jokowi. Soal pandemi, pemerintah gagal mengatasinya. Negara lain mulai terbebas. Sementara di negeri ini covid-19 justru makin mengganas. Rata-rata perhari bertambah 3.000-an orang terinveksi. Rate mortality nasional adalah 4,1%. Ada 100 orang setiap hari meninggal. Akibatnya, sudah 68 negara yang lockdown Indonesia. Dalam sialtuasi ini, pemerintah bukannya fokus menyelesaikan, tetapi malah saling menyalahkan. Konyol bangat kan? Kekacauan bahkan sering muncul seiring dengan kebijakan Gubernur DKI. Dalam banyak kebijakan Gubernur, pemerintah pusat seringkali mengambil posisi sebagai oposisi. Bukan mendukung dan bersinergi untuk atasi mengganasnya pandemi. Ini hanyalah sebagian dari potret negara yang bernama Indonesia saat ini. Sebuah kekacauan yang belum ada tanda-tanda untuk berhenti. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

PKI Memperalat Pancasila

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (16/09). Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bermisi membentuk masyarakat sosialis Indonesia untuk kemudiannya menjadikan masyarakat Komunis dalam proses perjuangannya tidak terang-terangan menentang Pancasila. Mereka bahkan berkoar-koar menjadi pembela Pancasila. Tidak tanggung-tanggung pada tahun 1964 DN Aidit Ketua CC PKI membuat buku yang berjudul "Aidit Membela Pantja Sila". Semua slogan itu ternyata palsu dan hanya kamuflase. Hanya tipu-tupa semata. Terbukti pada bulan September 1965 PKI mencoba melakukan kudeta. PKI mencoba menguasai pemerintahan, dan mengganti ideologi Pancasila. Aidit sendiri memang jujur menyatakan bahwa Pancasila hanya "alat pemersatu". Jika masyarakat sosialisme Indonesia sudah terwujud, maka Pancasila tidak diperlukan lagi. Soal Agama sama saja diposisikan sebagai alat. Aidit menyatakan PKI tidak anti Agama, dan anggotanya mayoritas beragama Islam. Tetapi PKI bersikap tergantung posisi Agama itu. Jika sama dengan pandangannya yaitu progresif, anti kapitalisme dan menuju masyarakat tanpa kelas maka Agama bukanlah candu. Sebaliknya, jika menjadi berbeda makna, apalagi samapai memusuhi PKI, maka Agama adalah candu. Agama ditempatkan sebagai alat mainan PKI menuju masyarakat Komunis. Pancasila sebagai sebuah alat memiliki tafsir dan tempat tersendiri bagi Aidit dan PKI. Karenanya PKI mampu berteriak lantang soal "Membela Pantja Sila". Dan bersama Soekarno akhirnya membubarkan Partai yang berjuang untuk bangsa dan Agama, yaitu Masyumi. "Konsepsi Presiden" yang berujung "Nasakom" menjadi fase nyaman bagi penguatan PKI menuju kudeta. Menurut Aidit PKI bisa bermetamorfosis menjadi partai lain asal revolusioner dan berprinsip untuk mengubah hal yang stagnan. Tujuannya adalah masyarakat tanpa kelas. Mungkin ini yang dimaksud oleh seorang kader anak PKI yang menyatakan PKI boleh bubar tetapi ideologi Komunisme tetap hidup. Ia pun berada di partai lain untuk terus berjuang. Kita kini sering melihat tokoh bahkan pemimpin politik yang berteriak lantang tentang membela Pancasila seolah dia yang paling Pancasilais. Tetapi prakteknya ia dan partainya memiliki perspektif lain tentang Pancasila itu. Menunjuk orang lain yang anti dan ingin mengganti Pancasila. Padaha sadar atau tidak dialah perongrong Pancasila. Pancasila pun diperalat sebagaimana PKI dahulu memperalat. Bangsa dan rakyat Indonesia harus bangun dan sadar akan metamorfosa PKI yang bisa saja menjadi PKI Reformasi, PKI Perjuangan atau Partai lainnya. Bagi mereka tak penting nama dari partai itu karena yang pokok adalah tujuan dan untuk mencapai tujuan itu maka dihalalkan segala cara. PKI adalah partai yang mampu bermanuver dengan memperalat semua, termasuk partai politik dan ideologi Negara. Karenanya kita harus semakin waspada pada penjahat yang memang pandai mengadu domba, memfitnah dan menipu ini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Lawan Taipan, PSBB Anies Soal Keberpihakan

by Jusman Dalle Jakarta FNN – Rabu (16/09). Pembatasan Sosiak Berskala Besar (PSBB) total kali ini, merupakan ujian keberpihakan. Antara menyelamatkan nyawa rakyat, atau justru terburu-buru menggenjot dunia usaha mengikuti irama tekanan para oligark ekonomi. Beredar spucuk surat dari salah satu taipan. Orang terkaya di Indonesia, berpesan kepada Presiden Jokowi. Secara gamblang menyebut PSBB DKI tidak tepat atau salah. Inilah bukti omnipresent dalam teori relasi kuasa Michael Focault. Kekuasaan yang tersebar. Tidak terpusat pada satu simbol struktural. Surat taipan itu, merupakan ekspresi superioritas. Seolah mempertontonkan komunikasi antara majikan dan bawahan. Ditampilkan vulgar di panggung depan. Diekspos ke publik. Meski dengan kemasan yang tampak sopan. Credit Suisse menyebut mereka sebagai 1% penduduk yang mengontrol dan menguasai 47% kekayaan ekonomi nasional. Atau, 10% penduduk yang menguasai 75% ekonomi nasional. Bagi kaum ultra kaya itu, ancaman Covid-19 masih sangat jauh. Mereka lebih khawatir pada bisnis dan kekayaannya. Bagaimana tidak, mereka dilayani berbagai fasilitas yang memungkinkan beraktivitas dengan aman, nyaman dan higienis. Tinggal di dalam mansion super mewah. Dengan akses lift pribadi. Minim kontak. Tamu-tamu diseleksi. Virus pun, bahkan dapat disaring dengan peralatan canggih yang dimiliki. Mereka tak khawatir terinfeksi Covid-19. Kaum ultra kaya itu, jelas punya dunianya sendiri. Tinggal di kutub berlawanan, bukan representasi nasib masyarakat kebanyakan. Yang harus berjibaku naik KRL, angkot dan bis kota. Berdesak-desakan bertaruh nyawa. Berjudi keberuntungan. Meski cemas terinfeksi Covid-19 di tengah kehidupan kota yang menekan. Kelompok ultra kaya ini, bahkan tidak bisa membayangkan ketegangan di garis depan. Bagi mereka, tenaga medis yang berguguran hanyalah deretan angka, data, bahan bacaan semata. Layanan kesehatan yang sudah di tubir jurang dan terancam kolaps bahkan ingin diakali. Dengan memborong kamar hotel sebagai tempat karantina. Mereka mungkin menyangka, hotel dan rumah sakit punya tabung oksigen dan ruang ICU. Mereka lupa, kalau customer services, atau house keeper hotel bukan petugas medis yang terlatih memasng ventilator. Mendengarkan seruan para taipan melalui surat, ataupun via lidah Menteri dan pejabat negara, tidak akan menyelamatkan masyarakat di bawah. Kita tidak mengabaikan, para konglomerat menyisihkan sedikit dana CSR untuk penanganan Covid-19. Tapi sumbangan itu, tidak mampu menghidupkan para ayah dan kepala keluarga yang wafat akibat kebijakan yang tidak tegas dan mengancam nyawa. Dunia usaha, jelas sudah tidak sabar ingin ekonomi segera dipacu. Semua juga begitu. Masalahnya, Covid-19 makin tidak terbedung. Penanganan Covid-19 amburadul. Tidak ada garis komando dan akur kerja yang jelas. Tumpang tindih. Semua ingin jadi pahlawan. Memanfaatkan krisis sebagai panggung politik. Ini akibat dari lemahnya kepemimpinan. Sejak awal rencana, lockdown dihalang-halangi. Jadi drama politik yang pelik. Dengan alasan yang sama. Demi ekonomi. Anehnya, ada saja yang berargumen serampangan. Menilai PSBB ini bias kelas. Cuma cocok untuk pekerja kantoran. Tapi tidak memihak ke pekerja informal. Pekerja yang berpendapatan harian. Statemen itu prematur. Memang tampak membela masyarakat kecil. Nyatanya salah kaprah. Komentar itu muncul karena pandangan parsial. Melihat PSBB semata sebagai kewajiban warga negara untuk diam di rumah. Padahal di balik PSBB, ada kewajiban negara. Konstitusi jelas mengamanatkan pemerintah untuk menjamin kebutuhan warga selama masa PSBB. Jika UU Karantina Wilayah diterapkan. Konstitusi tegas melindungi hak paling asasi warga negara. Hak untuk hidup. Selamat dari ancaman terinfeksi Covid-19. Namun UU ini dihindari pemerintah. Bikin undang-undang kok tidak dipakai. Ketika pekerja informal, seperti pedagang kaki lima dan ojek online libur, negara semestinya menyiapkan kebutuhan pokok mereka. Bahkan bila perlu, ada ekstra stimulus ekonomi. Lagipula, PSBB atau tidak, APBN tetap tersedot. Rp 690 triliun dianggarkan untuk Covid-19. Sebagian besar, malah mengalir jadi subsidi ke korporasi. Jelas ini mengusik rasa keadilan rakyat. Sekali lagi. PSBB total adalah soal keberpihakan. Saatnya negara berdiri tegas. Memilih di sisi rakyat. Bukan malah benaung di ketiak cukong politik. Seperti istilah yang baru saja dipopulerkan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD. Menyoal fenomena bandar politik di Pilkada. Sektor ekonomi memang meradang. Namun begitu, sejarah mengajari. Sejak tragedi Black Death yang menewaskan 200 juta orang di Eropa, hingga wabah Flu Spanyol pada awal abad 20, ekonomi harus rela dikorbankan demi nyawa manusia. Ini Humanitarian Action. PSBB atau bahkan lokcdown, justru jadi solusi tercepat keluar dari jerat krisis ini. Semakin PSBB dihalang-halangi, semakin lama bencana Corona mendera. Pelonggaran aktivitas dan new normal sudah terbukti gagal. Bahkan berakibat fatal pada penanganan Covid-19 yang kian berlarut-larut. Sementara ekonomi tetap bangkrut. Penulis adalah Direktur Ekskeutif Tali Foundation.

Pembujuk Tersembunyi Yang Merusak Demokrasi

by Zainal Bintang Jakarta FNN –Rabu (16/09). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. Rata-rata setelah terpilih para calon kepala daerah ini akan memberi timbal balik berupa kebijakan, “melahirkan korupsi kebijakan”, “kata Mahfud, Jumat (11/09/20). Pada hari yang sama, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, “berdasarkan kajian KPK, lebih dari 80 persen calon kepala daerah dibiayai oleh sponsor”. Dari sumber mata air yang keruh inilah lahir kebijakan “jual beli” lisensi SDA potensial di sebuah daerah. Sebagai kompensasi atas “bridging finance” sang cukong kepada pejabat daerah yang terpilih. Kejadian yang tidak menyenangkan itu, mengingatkan pada karya Vance Packard, jurnalis dan kritikus sosial Amerika yang berjudul “Pembujuk-Pembujuk Tersembunyi” (The Hidden Persuaders). Karyanya itu pertama kali diterbitkan tahun 1957. Vackard mengeksplorasi penggunaan riset motivasi konsumen dan teknik psikologis lainnya oleh pengiklan. Termasuk psikologi mendalam dan taktik subliminal. Bertujuan memanipulasi ekspektasi dan mendorong keinginan akan produk, terutama di era paska perang Amerika. Menurut Packard, kebutuhan ini begitu kuat sehingga orang terpaksa membeli produk hanya untuk memuaskannya. Buku ini juga membahas teknik manipulatif dalam mempromosikan politisi ke pemilih. Selain itu, buku ini mempertanyakan moralitas penggunaan teknik-teknik ini. Meskipun buku itu laris manis diantara khalayak kelas menengah, buku itu secara luas dikritik oleh peneliti pemasaran dan eksekutif periklanan karena membawa nada sensasional dan dianggap mengundang pernyataan yang tidak berdasar. Berbicara adanya keterlibatan cukong yang melancarkan praktik “money politics” (politik uang) tentu tidak berdiri sendiri. Publik punya banyak bukti adanya dukungan dari unit lain yang, termasuk lembaga survei. Bergabung menjadi sebuah konspirasi untuk memaksakan perubahan pandangan dan nilai moralitas masyarakat. Konspirasi itu leluasa beroperasi melumpuhkan nalar masyarakat. Memunculkan unit baru, “tim relawan” yang powerfull. Tapi, kesemuanya itu, yaa diperoleh tentu saja dengan doktrin “tidak ada makan siang gratis” (there is no free lunch). Secara umum banyak dibicarakan keberadaan kebijakan Otda (Otonomi Daerah) sejak 2004, yang ditengarai menjadi mesin penggerak “penyimpangan” kebijakan di daerah. Meskipun pemerintah telah beberapa kali merevisi UU No 22 Tahun 1999, menjadi UU No 32 Tahun 2004. Tapi UU itu telah kadung menjadi mesin provokator bangkitnya semangat berkuasa elite yang mau menempuh jalan pintas memanipulasi sentimen masyarakat lokal. Memaksakan pemekaran wilyah. Menjadi pintu masuk lahirnya aktor baru korupsi yang berselancar di atas kompensasi lisensi-lisensi potensi daerah. Didalam berbagai kajian ditemukan, kontestasi politik Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) menjadi bursa pemasaran hasil survei lembaga survei yang merangkap sebagai tim pemenangan. Mereka bekerja sistematis menawarkan hasil polesan “mantra” politik trisakti : popularitas (keterkenalan), elektabilitas (keterpilihan) dan akseptabiltas (keterterimaan) dari publik kepada publik. Metode survei pendapat masyarakat dikampanyekan sebagai cabang ilmu pengetahuan masyarakat moderen Dipaksakan melalui kampanye masif menggedor syaraf publik. Diboncengi ideologi baru “money politics” (politik uang). Sejak melembaganya kontestasi politik perebutan kekuasaan setiap ada Pilkada dan Pemilu era reformasi, telah terjadi peralihan lokasi aliran uang dari dunia ekonomi ke dunia politik. Jabatan politik laris manis dan diburu karena menjadi semacam kunci Inggris membuka pintu kemudahan mengalirnya upeti-upeti tak bernama. Efek lain yang muncul sebagai ekses produk “pembujuk-pembujuk tersembunyi” dapat dilihat merujuk tulisan Sarah Perucci yang disiarkan oleh Freedom House 2020 berjudul “Democracy And pluralism Are Under Assault” (Demokrasi Dan Keberagaman Sedang Diserang). Nampaknya apa yang terjadi di Indonesia, sepertinya terdapat benang merah dengan apa yang terjadi di negara lain. Menurut Perucci, “diktator bekerja keras untuk membasmi sisa-sisa perbedaan pendapat domestik, dan menyebarkan pengaruhnya yang berbahaya ke penjuru dunia yang baru”. Perucci yang juga Direktur Senior Riset dan Analisis Freedom House. Pada saat yang sama, banyak pemimpin yang dipilih secara bebas dan dramatis, mempersempit perhatian mereka ke interpretasi kepentingan nasional. Faktanya, para pemimpin seperti itu, termasuk kepala eksekutif Amerika Serikat dan India, dua negara demokrasi terbesar di dunia-semakin bersedia untuk mendobrak perlindungan institusional dan mengabaikan hak-hak kritik dan minoritas saat mereka mengejar agenda populis mereka. Kebrutalan rezim otokratis yang tidak terkendali dan kerusakan etika dari kekuatan demokrasi bergabung untuk membuat dunia semakin memusuhi tuntutan baru untuk pemerintahan yang lebih baik," ujar Perucci sambil menyebut , "bidang kemunduran yang paling umum, terjadi dalam fungsi pemerintahan, kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, dan aturan negara hukum." “Sejumlah gerakan protes warga baru yang mencolok telah muncul selama setahun terakhir. Yang mencerminkan keinginan universal yang tidak ada habisnya untuk hak-hak fundamental. Namun, gerakan-gerakan ini dalam banyak kasus menghadapi kepentingan yang mengakar kuat yang mampu menanggung tekanan yang cukup besar dan bersedia menggunakan kekuatan mematikan untuk mempertahankan kekuasaan," ujar Perucci. Protes tahun 2019 sejauh ini gagal menghentikan penurunan kebebasan global secara keseluruhan. Tanpa dukungan dan solidaritas yang lebih besar dari negara-negara demokrasi mapan, mereka cenderung menyerah pada pembalasan otoriter," sebut Perucci menutup tulisannya. Mau tidak mau apa yang disampaikan Mahfud MD dan Ghufron itu, mengingatkan publik pada pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang pernah menyebut “Pemodal cukup merogoh ongkos Rp 1 triliun untuk menguasai partai politik di Indonesia”. Menurut Bamsoet panggilan akrab mantan Ketua DPR RI itu, nominal itu berdasarkan pengalamannya selama berkiprah di dunia politik di Indonesia. “Semahal-mahalnya Rp1 Triliun sudah bisa menguasai partai politik, ini pengalaman. Boleh dibantah atau tidak, tapi inilah kenyataan sistem yang masih dipertahankan," ungkapnya pada pertengahan Februari yang lalu di Jakarta. Kasus pembegalan politik yang dialami penyanyi Pasha Ungu di Palu, Sulawesi Tengah dan keributan dalam proses Pilwalikota Makassar yang menyeruakan pemberitaan pengusiran pimpinan lembaga survei Polmark Eep Saifulloh oleh kliennya, Erwin Aksa ketua tim calon walikota Appi- Rahman menunjukkan bagaimana elemen “manipulasi” ikut menjadi sumber sengketa. Tidak jelas siapa yang memanipulasi siapa. Meskipun kasus ini masih gelap dan masih memerlukan klarifikasi dan tranparansi kedua belah pihak. Yang menjadi pertanyaan publik adalah, mengapa pernyataan Bamsoet serta Menko Polhukam dan pimpinan KPK hanya berhenti menjadi cerita belaka. Tapi hanya sebatas menjadi trending topik dalam forum seminar. Tidak terlihat adanya langkah konkret preventif berbentuk regulasi penindakan, untuk menghentikan operasi kriminal dan penjahat demokrasi yang bernama cukong. Kebaikan macam apa yang diperoleh rakyat dari negara yang dikelola melalui budaya percukongan? Sebuah sistem politik yang mematikan harapan. Rakyat hanya menjadi angka-angka elektoral pemimpin politik dari pemilu ke pemilu. Akan tahankah mereka, Rakyat itu? Ataukah pemerintah lebih memilih membiarkan topik itu menjadi bagian dari skenario pengalihan isu belaka. Lalu menyerahkan urusan ini ditangani gerakan masyarakat sipil yang dikenal dengan sebutan “parlemen jalanan” : yang selalu memenuhi panggilan sejarahnya ketika tuntutan perubahan sudah tak tertahankan? Wallahualam bishawab! Penulis dalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.

Pemerintahan Jokowi Sudah Oleng

by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum Jakarta FNN – Rabu (16/09). Kedaulatan ada ditangan rakyat. Begitu kata konstatasi konstitusi. Tetapi praktek bernegara dan pemerintahan memberi batas defenitif. Kedaulatan itu hanya bernilai tidak lebih dari limamenit. Pada saat mereka berada dalam bilik suara, untuk memilih anggota DPR dan Presiden dalam pemilu. Tidak lebih dari itu. Memberi suara menjadi akhir kedaulatan rakyat. Urusan selanjutnya? Jatuh sepenuhnya ke tangan pembesar politik dan kaum oligarki, korporasi, konglomderasi . Di dalam dan diluar kekuasaan formal. Kekuasaan jadi begitu impersonal. Loyalis intelek sekelas Pak Safii Maarif pun hanya bisa bermohon. Apalagi rakyat biasa. Kebijakan dan tindakan presiden terlalu rumit dan mewah untuk diserahkan dan disinkronkan dengan kehendak loyalis intelek. Apalagi pemilih biasa. Mau apa? Begitulah pemerintahan bekerja secara empiris. Kontraksi Terus Pembaca FNN yang budiman. Pilkada yang hanya butuh ratusan miliyar saja dicukongi oleh para cukong. Lalu pilpres yang butuh triliunan tidak? Triliunan rupiah dipakai selama kampanye keluar dari kantong capres sendiri? Yang benar saja. Tidak logis mengalamatkan efek cukong hanya pada kepala-kepala daerah. Mengapa? Hukum konstitusi cukup jelas mengatur syarat seseorang bisa jadi calon kepala daerah dan presiden. Mereka harus waras. Itu syarat materilnya. Kepala daerah waraslah yang terpilih. Mau tak mau harus merancang, membuat dan menyajikan kebijakan bersifat balas budi, quid pro quo, kepada para cukong. Bagaimana dengan presiden terpilih? Kalau di Amerika jelas. Di Indonesia, hal itu masih tetap gelap. Tidak ada data valid yang tersaji. Tetapi sudahlah. Lupakan saja dulu soal quid pro quo itu. Soal-soal pemerintahan nyata tidak kalah penting untuk dikenali. Dokter, tenaga medis mati, dan rakyat biasa yang terus mati diinfeksi corona, resesi ekonomi, menteri yang tidak mengerti birokrasi, pelemahan DPR, RUU HIP, RUU Omnibus, mekanisme bansos yang tidak beres, insentif pada pekerja yang datanya tak valid, sekedar beberapa contoh, semunya eksplosif. Keadaan faktual menungkalkan argumentasi pemerintah untuk menyatakan ekonomi tidak akan resesi. Dalam Rapat Kabinet Terbatas Senin (14/9/2020) "Jokowi menyatakan pemulihan ekonomi nasional kita masih punya waktu sampai akhir September dalam meningkatkan daya ungkit ekonomi kita (Lihat Detik Finance, 14/9/2020). Bagus Presiden menyadari keadaan ini. Tetapi mengandalkan dua minggu yang tersisa pada September ini untuk mencegah melebarnya kontraksi itu. Jelas tak masuk akal. Kaidah administrasi keuangan negara tidak memungkinkannya. Ditengah usaha itu, Gubernur Anies malah menerapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kota Bogor dan Depok malam menerapkan jam malam. Begitu PSBB dibunyikan, terjadilah kegoncangan pasar modal. Menko Ekonomi, Airlangga Hartarto, dengan gayanya yang lembut menunjuk kebijakan menjadi penyebabnya. Sayangnya menurut para ekonom goncangan itu merupakan respon atas gagasan pembentukan Dewan Moneter. Dewan moneter? Apalagi barang itu? Institusi mau digunakan sebagai jembatan penghubung pemerintah dengan BI dalam merancang kebijakan sistem keuangan? Tampaknya iya begitu. Pemerintah akan menempatkan orangnya dalam Dewan Moneter itu. Logiskah itu? Mungkin iya. Tetapi apa argumentasi konstitusionalnya? Itu yang tak disajikan pemerintah, entah karena apa. Tetapi apapun itu, ini menunjukan pemerintah menyangsikan keandalan. Bukan hanya sistem keuangan, tetapi sistem bernegara. Ini mirip Amerika tahun 1933 pada saat depresi ekonomi melilit mereka. Alhasil pemerintah, seperti biasa, memasuki isu Dewan Moneter dengan argumentasi yang tidak meyakinkan. Kalaupun benar terdapat masalah design sistem keuangan sejauh ini, soalnya mengapa baru dirasakan sekarang? Argumentasi pemerintahan jelas lemah. Dimana letak kelemahannya? Realisasi anggaran tanpa Daftar Isian Pagu Anggaran (DIPA) sama sekali tidak ada hubungannya dengan moneter. Kalau hanya main catat anggaran yang keluar, itu sih warung kecil dipinggir jalan juga mencatat pengeluaran mereka. Minimnya realisasi anggaran juga tidak ada hubungannya dengan soal moneter. Ini soal ada atau tidak uang yang tersedia. Dan mampu atau tidak mampunya menyediakan program dan kegiatan. Bantuan Sosial (Bansos) tidak tepat sasaran. Juga tidak punya korelasi dengan moneter. Ini soal teknis. Sama teknisnya dengan rekening pekerja penerima bantuan pemerintah. Fokuslah Presiden Ditengah keadaan itu Budi Hartono, Bos Group Jarum, menilai kebijakan PSBB Gubernur Anies tidak masuk akal. "Menurut kami, kata Budi dalam suratnya, keputusan memberlakukan PSBB (total) kembali itu tidak tepat. Hal ini disebabkan PSBB di Jakarta telah terbukti tidak efektif. Menurut Budi alasan Anies memberlakukan kembali PSBB karena khawatir daya tampung Rumah Sakit di Jakarta, kurang masuk akal (Lihat CNBC Indonesia, 13/9/2020). Kurang masuk akal? Masuk akalkah ratusan dokter, kalau tidak salah telah mencapai 115 orang mati? Masuk akalkah puluhan tenaga medis mati? Masuk akalkah membiarkan ribuan rakyat kecil mati? Apakah Budi Hartono hendak mengajak Presiden Jokowi memperdalam Indonesia ke dalam cengkeraman gerombolan korporasi licik, picik, tamak dan culas? Siapa yang akan mengerjakan, misalnya penyediaan infrastruktur khas Budi Hartono? Usaha Mengeha Kecil dan Mikro (UMKM) atau korporasi besar? Siapa yang menyediakan semua peralatan pelengkap yang diperlukan itu? UMKM atau korporasi, macam Group Jarum? Budi cukup berani dengan suratnya itu. Mengapa? Surat itu muncul ditengah KAMI memberi perhatian begitu signifikan terhadap oligarki. Mungkin saja Group Jarum bukan termasuk gerombolan oligarki, dan korporasi culas, licik, picik dan tamak. Tetapi tampilan Budi jelas sangat menarik. Sekarang tergantung Presiden. Akankah Presiden menyediakan karpet merah atas usulan Budi Hartono? Kota Bogor berstatus zona merah atau daerah dengan risiko tinggi penularan Covid-19 sejak Senin (14/9) pagi, setelah sepekan sebelumnya berstatus zona oranye atau daerah dengan risiko sedang penularan Covid-19 seperti dilansir dari Antara (CNN Indonesia, 14/9/2020). Sumatera Selatan (Sumsel), setidaknya Nias juga mengkwatirkan. Jawa Timur dan Jawa Tengah tidak beda jauh. Tiga puluh kecaatan di jawa Barat juga mulai mengkhawatirkan. Menariknya, respon Presiden terhadap PSBB Jakarta, cukup khas korporatis. Presiden menyediakan hotel. Ada hotel yang berbintang ada yang tidak, untuk isolasi pasien corona. Apakah hotel-hotel itu bisa digunakan pasien dari Depok, yang menurut Ridwan Kamil rumah sakitnya sudah terisi sekitar 60% (Lihat CNBC Indonsia, 14/9/2020). Tidak jelas juga. Celakanya pemerintan tidak bisa serta-merta menyediakan makan minum untuk rakyat. Kaidah administrasi keuangan mengharuskan pemerintah tidak mengimajinaksikan calon penerima bantuan. Tidak bisa dikarang-karang begitu saja. Dalam realisasi bantuan, apakah pemerintah masih memberi warna korporatis, yakni melibatkan korporasi menyalurkan bantuan itu? Semuanya akan jadi obyek pemeriksaan BPK. Adakah pejabat yang mau bekerja sembarangan? Penjara akan menantikan pejabat yang kerja sembarangan. Itu pasti. Pemerintah ini terlihat tidak mampu menarik jarak sejauh mungkin dari sifat korporatis kebijakan-kebijakannya. Ditengah situasi ini, pemerintahan malah merancanakan penambahan pembangunan tol mencapai panjang total 18.850 kilometer. Rencana tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Bina Marga Hedy Rahadian dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi V DPR RI, Senin (14/9/20). "Jadi ini kami sampaikan rencana program jalan tol kita dalam rencana kami adalah 18,8 ribu kilometer," kata Hedy Rahadian dalam rapat tersebut (CNBC Indonesia, 14/9/2020). Utang lagi? Berapa banyak dan darimana? China, Amerika, Jepang, Singapura atau IMF dan World Bank? Korporasi plat merah atau kuning yang akan mengerjakannya? Siapapun yang mengerjakannya, dapat dipastikan tidak serta memulihkan ekonomi yang semakin sakit ini. Manfaat seketika pun tidak akan dirasakan rakyat miskin saat ini. Terlilit masalah sekrusial itu, tetapi Alim Ulama malah ditusuk orang gila di Lampung. Ini dialami Syekh Ali Jaber dan seorang imam masjid di Ogan Komering Ilir (Lihat Rmol, 15/9/2020). Sialnya ini terjadi ditengah hiruk-pikuk kritik atas rencana pemerintah menyertifikatkan para ustad penceramah. Tumpukan kenyataan empiris diatas, suka atau tidak, menandai bangsa ini benar-benar sedang, bukan akan oleng. Presiden, karena itu tidak boleh kehilangan fokus. Negara yang semakin oleng tidak bisa dijinakan dengan propaganda. Propaganda menyalahkan berbagai kalangan disatu sisi, dan disisi lain membenarkan semua kebijakan pemerintah, justru semakin membuat negara ini oleng. Fakta, sesuai sifatnya akan terus menemukan cara untuk dilihat orang. Tidak bisa diputarbalikan, secanggih apapun metodenya. Hitler yang memiliki Josef Goble, menteri penerangan yang jago propaganda itu, justru tergulung habis. Kebaikan dan kebatilan tidak bisa disatukan. Waktu punya cara memenangkan kebaikan. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khiarun Ternate.

Rezim Telah Melakukan Kerusakan Dan Kedzaliman?

by Deddy S. Budiman Bandung FNN - Rabu (16/09). Pilpres, Pilkada, Pileg langsung berbiaya mahal, melalui sistim ambang batas, dilakukan dengan TSM untuk tidak Jurdil, dan dibiayai para pemodal /taipan, menghasilkan Wakil Rakyat dan Pemimpin Boneka dan Koruptor. "Menurut Menkopolhukam Mahfud MD 92% calon pemimpin, dibiayai oleh pemodal". Akhirnya sama-sama kita ketahui berapa banyak para pemimpin daerah yang terlibat korupsi, dan sekitar 80% tanah dan perijinan sudah diambil oleh para pengusaha Asing dan Aseng. Akan halnya RUU Omnibuslaw, UU Minerba, UU Covid dan beberapa Perpu secara kasat mata hanya berpihak kepada pengusaha, ditenggarai sebagai bayaran jasa para pengusaha/Taipan, untuk memenangkan Pemilu termasuk Pilpres. Sehingga jangan berharap para pejabat dan wakil rakyat akan berpihak kepada rakyat terutama bagi Bumiputera. Rejim penguasa membentuk Tim mengatasi Ekonomi dan Krisis Pandemi, yang di jabat oleh banyak menteri. Semua Menko duduk dijajaran Pimpinan yang dinakhodai oleh Airlangga, Menko Perekonomian/ Ketum Golkar, dan Menteri BUMN Erick Tohir sebagai ketua harian. Yang terjadi malah korban Covid-19 sejak awal semakin hari semakin meningkat, grafiknya tidak pernah melandai, dikuatirkan malah akan terjadi ledakan korban pada periode pertama ini. Patut diduga sebagai upaya genosida kepada Bumiputera. Bidang Ekonomi, yang dijanjikan meroket oleh Presiden Jokowi, malah kenyataannya nyungsep, sebelum terkena Covid-19 di kuartal pertama dari 5% turun drastis menjadi 2.7%. Covid melanda dari awal dibawa canda, akhirnya ekonomi nyungsep lebih dalam lagi minus 5,3%. Karena tetap mengutamakan mengatasi ekonomi di kuartal ketiga dan selanjutnya akan tetap minus. Hutang menggunung, BUMN Pertamina yang dibanggakan akan berjaya menandingi Petronas Malaysia, malah merugi dengan hutang menggunung dikuatirkan akan gagal bayar. Begitu juga PLN merugi, hutang gede, harga BBM seharusnya turun karena minyak dunia anjlog, malah tidak turun-turun, aneh bin ajaib Pertamina merugi. BPJS walau telah dikembalikan dengan harga awal oleh MA, Presiden Jokowi tetap ngotot menaikan dan tentunya mahal bagi bumiputera. Pengangguran dimana-mana, yang usia bekerja tidak bisa bekerja dalam kondisi perusahaan merana, TKA asing terutama TKA Cina tetap deras mengalir, sementara tenaga kerja di dalam negeri deras di PHK. Negara dalam pembukaan UUD 45 harus menjamin kesejahteraan dan pekerjaan buat rakyat, malah mengutamakan tenaga kerja asing. Pertanyaannya apa kita telah menjadi negara boneka asing. Pembangunan infrastruktur jalan terus walau BUMN sudah megap-megap, hutang BUMN diperbanyak terutama kepada RRC akan berakibat ketergantungan bagi generasi penerus untuk membayar. Dipihak lain pembangunan moral merosot, terbukti semangkin menjamurnya Korupsi, Narkoba, begal Gang Motor, dan LGBT dibiarkan membentuk komunitas termasuk di kampus-kampus. Walaupun Pemerintah Presiden Jokowi sudah masuk pada periode kedua. Mafia di berbagai bidang kehidupan tetap saja belum dimusnahkan. Mafia Impor Sandang, Pangan dan Energi, termasuk mafia pengadilan tetap merajalela. Rakyat terbelah menjadi Cebong dan Kampret/ Kadrun, terus di adu domba oleh Buzzer dan Influenser atas biaya negara dan berkantor di Kominfo. Hukum tebang pilih dan rekomendasi Covid-19 serta UU ITE di jadikan alat untuk membungkam demokrasi. WNI seperti Kapten Purn Ruslan Buton, ustadz, kiyai yang kritis di kriminalisasi dan dipersekusi. Umat Islam dijadikan sasaran fitnah dengan label radikalisme, intoleransi, khilafah, dan fitnah mau mendirikan Negara Islam dsbnya. Perang urat saraf sedang berlangsung dengan menakut-nakuti Ulama-ulama dengan penusukan dipengajian dan mesjid serta Pesantren ditakut-takuti dengan isu Good Looking pandai berbahasa Arab, hafal Alqur’an di cap sebagai kader teroris. Puncaknya Rezim secara sistimatis, melalui skenario yang dirancang secara matang sedang melakukan Makar Ideologi dengan merubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila, melalui RUU HIP dan RUU BPIP, menjadi paham Neo Komunisme yang bertentangan dengan TAP MPR RI XXV/ 1966. Visi KAMI adalah menjaga kedaulatan, keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI tahun 1945 dan menyelamatkan bangsa dari segala macam ancaman. Inti dari UUD NRI tahun 1945 adalah Pancasila inti dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Merubah Pancasila jadi Trisila dan Ekasila adalah termasuk merubah sumber segala sumber hukum NKRI dan merubah hukum-hukum Allah SWT, juga dapat diartikan memerangi Allah SWT. Merubah Pancasila jadi Trisila dan Ekasila adalah perbuatan Makar yang mengancam kedaulatan, keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI tahun 1945 serta keselamatan bangsa, dapat diancam pidana menurut UU Nomor 27 tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan KejahatanTerhadap Keamanan Negara. Sebagai seorang prajurit tua yang pernah disumpah atas nama Allah SWT saya akan tetap menghimbau kepada para patriot bangsa, tokoh bangsa dan agama, para perwira TNI dan Polisi aktif yang di amanahkan menjadi pemimpin, untuk tetap waspada terhadap segala bentuk ancaman. Ancaman terhadap Negara tidak saja melalui perang pisik akan tetapi ancaman non militer sedang berada didepan mata, terutama ancaman terhadap ideologi Pancasila. Waspada dan jangan lengah, NKRI bisa masuk kelembah hina kembali di jajah oleh Neo Komunisme, Kapitalisme, Liberalisme, Sekulerisme dan Hedonisme. Ancaman non militer, terutama ancaman terhadap ideologi Pancasila berimplikasi kepada tugas pokok dan fungsi TNI dalam menjaga kedaulatan keutuhan NKRI dan keselamatan bangsa. Menurut buku Strategi Pertahanan, untuk menghadapi ancaman non militer adalah dengan strategi berlapis dan Strategi Penangkalan, Rakyat di depan TNI di belakang membantu. TNI harus manunggal bersama rakyat, karena rakyat lah pemilik Negara, pemimpin bisa berganti akan tetapi Negara kesatuan republik Indonesia harus tetap dipertahankan untuk merdeka bersatu berdaulat adil dan makmur. Sebagai seorang PATRIOT TUA yang percaya terhadap kekuasaan Allah, saya ingin mengutip beberapa ayat-ayat Allah, mudah-mudahan dapat dipahami bagi para pemimpin bangsa sebagai berikut; "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang melakukan perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (An-Nahl 16:90). "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi, setelah diciptakan dengan baik,"(Al-Araf 7:56). "agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu."(Ar-Rahman 55:8). "Dan janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melampaui batas, yang berbuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan." QS. Asy-Syu'ara'[26]: 151-152. "Hukum bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh dan di salib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu adalah kehinaan bagi mereka di dunia, dan akhirat mereka mendapat azab yang besar."(Al-Maidah 5:33). Tugas TNI dan Rakyat menurut UUD NRI tahun 1945 dan UU Pertahanan adalah mejaga Keutuhan, Kedaulatan NKRI serta Menyelamatkan Bangsa dari berbagai bentuk Ancaman. Untuk menyelamatkan NKRI dari ancaman neo komunisme, kapitalisme, liberalisme, sekulerisme dan hedonisme dibutuhkan kemanunggalan TNI dan Rakyat. Semoga Allah melindungi bangsa Indonesia dan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI yang ditetapkan thl 18 Agustus 1945. Aamin ya robbal aalamiin. Penulis adalah Mayjen TNI Purnawirawan (FKP2B).

Pesan Dibalik Good Looking, Preman, & Sipenusuk Gila

by Anton Permana Jakarta FNN – Selasa (15/09). Belum reda operasi “kubah putih” dan symbol “klepon”. Sebuah isyarat dalam dunia inteligent yang terungkap kepada publik. Isyarat itu dalam bentuk kode serangan terhadap ummat Islam, kembali terjadi serangan fisik berupa penusukan terhadap Ulama Syekh Ali Jaber di Lampung dan Imam Masjid di Ogam Kemilir Ulu (OKU) Sumatera Selatan. Insiden penusukan ini kembali mudah untuk ditebak, yaitu sipelaku atas pengakuan orang tuanya yang tak sampai 1 x 24 jam dinyatakan "gila". Tentu pengakuan ini kembali membuat geram banyak pihak. Modus seperti ini sudah berulang kali terjadi. Jika korban penganiayaan adalah ulama, selalu berakhirnya dengan pernyataan bahwa si pelaku adalah orang gila. Sehingga kemudian tidak bisa diproses hukum dan bebas. Silahkan searching beritanya di google. Sudah sangat banyak berita serupa terjadi sebelumnya. Banyak analisis konspirasi dan analisis inteligent menyikapi insiden itu. Termasuk saya yang juga membahasnya intens dengan beberapa kolega yang paham dan punya ilmu tentang persoalan itu. Dan hasil analisa sementaranya adalah : Pertama, insiden ini bukan insiden biasa. Ada dugaan motif lain di balik semua itu. Ujung dari rangkaian beberapa peristiwa sebelumnya. Kalau kita jeli dan teliti melihat kejadiannya, maka ada keterkaitan khusus satu sama lainnya. Ada hubungan benang yang menyambungnya. Kedua, keterkaitannya itu berhubungan dengan isu yang juga heboh atas pernyataan salah satu menteri yang mengatakan bahwa berpenampilan “good looking” itu adalah salah satu indikator masuknya paham radikalisme. Seperti fasih bahasa arab, hafidz Qur'an, serta berpakaian rapi dan Islami. Dan radikalisme itu adalah musuh negara. Sontak pernyataan sentimentil ini mematik kemarahan ummat. Sebuah komentar yang dianggap nyata-nyata sebagai bentuk kebencian dan permusuhan terhadap agama Islam. Meskipun akhirnya simenteri minta maaf. Namun pernyataan beliau sudah terlanjur menyakiti dan menoreh luka ummat Islam. Ketiga, selanjutnya, tak lama berselang juga keluar sebuah komentar dari salah satu petinggi institusi negeri ini, yang punya rencana untuk melibatkan para preman di barisan depan sebagai penegak disiplin covid-19. Tak ayal, komentar ini juga menuai protes dan kecaman dari banyak akademisi, praktisi dan tokoh masyarakat. Bagaimana seorang 'preman' mau dijadikan penegak disiplin di tengah masyarakat ? Apa ini tidak sama saja mengadu domba sesama masyarakat ? Kenapa tidak memberdayakan Ormas Bela Negara yang begitu banyak dan sudah terlatih? Tentu secara wibawa dan performance akan lebih diterima masyarakat dari pada preman. Karena preman dari pandangan umum itu cenderung negatif. Dan ini pasti akan menimbulkan masalah baru. Keempat, lalu muncullah insiden penikaman oleh Aldian terhadap Syekh Ali Jaber ini. Anehnya dalam hitungan jam, juga beredar photo sipenusuk di dalam akun sosial medianya dengan berbagai pose yang terkesan waras namun terlihat "style” premannya. Setelah ditelusuri, akun tersebut juga baru dan terkesan memang sengaja ditampilkan dan dikonsumsi publik. Lalu beredar juga postingan- postingan komentar dari yang mengaku tetangganya yang mengatakan sipenusuk tidak gila dan punya istri baru melahirkan. Terlepas apakah semua berita jagad sosial media itu akurat atau tidak, bagi saya fenomena symbol dan pesan-pesan tersirat dari rangkaian informasi itu yang menarik kita teliti dan cermati. Karena kalau berbicara tentang operasi dunia inteligent, semua bisa terjadi. Bahkan ada kemungkinan saling keterkaitan. Dimana itu kadang dikomunikasikan melalui symbol dan kata sandi tertentu. Kelima, kalau kita hubungkan antara kata “good looking” itu adalah symbol kelompok radikal, preman sebagai penegak kedisiplinan covid-19 (eksekutor), lalu insiden penusukan terhadap ulama, ini ibarat rangkaian sebuah symbol (kata sandi) perintah dari user kepada agen lapangan. Good looking adalah symbol dari target, yaitu kelompok yang radikal, preman adalah symbol dari eksekutor. Maka terjadilah sipreman menusuk “good looking” ulama atau da'i. Keenam, ada banyak kemungkinan motif dan orientasi dari skenario ini. Yaitu bisa berupa teror ancaman terhadap ulama atau da'i yang beroposisi terhadap penguasa. Bisa juga upaya provokasi adu domba, baik itu sesama ummat Islam, maupun ummat dengan aparat. Namun bisa juga upaya memancing reaksi ummat Islam agar bertindak liar atau radikal, kemudian tindakan ini digoreng dalam rangka amunisi stigmanisasi radikal, atau bisa juga pengalihan isu. Terakhir bisa juga berupa membangun image bahwa Islam dimusuhi dan memberi sugesti terhadap kelompok pembenci Islam untuk melakukan hal yang sama dimanapun berada. Yaitu untuk menghadapi kelompok Islam yang dicap radikal cukup dilawan menggunakan tangan preman. Mirip pola zaman Belanda menggunakan tangan "centeng" untuk memerangi pejuang pribumi. (Mirip film Si Pitung). Kalau kita berbicara tentang dunia inteligent, maka segala kemungkinan dan keterkaitan itu ada dan bisa terjadi. Dunia inteligent itu bisa berupa by order dari "state" atau "non-state" sebagai user terhadap agen atau elemen di bawahnya. Dan untuk menelusuri keabsahan sebuah operasi inteligent, juga harus menggunakan operasi kontra inteligent. Tidak bisa pakai cara normatif "kijang 1, kijang 2, target bergerak... grzkk..grzkk..". Untuk itulah, kita sebagai masyarakat civil society, khususnya ummat Islam Indonesia harus hati-hati menyikapinya. Jangan terlalu reaktif dan mudah terpancing. Yang bisa menggiring kita semua masuk dalam perangkap skenario inteligent. Kitapun tak bisa menyalahkan siapa-siapa di negeri ini. Karena ibarat dalam sebuah rumah, sebuah operasi inteligent bisa membuat rumah dan kamar rahasia lagi dalam rumah itu. Di dalam sebuah institusi negara sekalipun bisa terjadi infiltrasi inteligent dari pihak tertentu (invisible hand), yang mereka sendiri kadang tidak sadar (tidak tahu) sedang dimanfaatkan. Artinya, yang paling utama ditingkatkan adalah kewaspadaan. Pahami akar masalah bahwa ada motif provokasi dan teror di sini. Lalu meningkatkan sinergitas dengan para aparat dan pihak terkait yang masih merah-putih dan profesional, untuk upaya cegah dini dan tangkal dini. Juga untuk menemukan formulasi agar segala skenario inteligent apapun itu motifnya gagal di tengah jalan. Namun, untuk prosesi hukum terhadap sipelaku, tetap kita minta, dukung, dan desak aparat kepolisian untuk memprosesnya secara hukum. Membongkar siapa dalang dan pelakunya. Meskipun berat dan semoga akan maksimal. Tidak seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Semoga ke depan, semua insiden ini tidak terulang kembali. Ada saatnya nanti semua akan terbongkar dengan sendirinya kepada publik. Siapa dalang dan apa motif dari insiden ini. Karena dalam sejarah, modus dan motif penganiayaan terhadap para ulama ini juga pernah terjadi. Bahkan lebih sadis dan kejam di tanah air ini. Sejarah kebiadaban yang dilakukan para kader PKI tahun 1948 dan tahun 1965. Apakah semua ini berhubungan? Dan ada keterkaitannya dengan hari ini? Wallahu'alam bishawab. Kita tidak tahu. Biarkan waktu yang akan menjawabnya. Mari kita jaga Ulama kita. Jaga para tokoh pejuang kita. Dan mari kita jaga Indonesia. Salam Indonesia Jaya. Penulis adalah Pemerhari Militer dan Sosial Budaya.

Salah Kaprah BIN & Ancaman Pidana

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (14/09). BIN adalah Badan Intelijen Negara yang bertugas mencari data, mengolah, menganalisis dan mengalokasikan info atau analisisnya kepada penyelenggara Negara seperti Presiden, Kementrian, atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian lain yang berkompeten dan berkepentingan. BIN bukan lembaga Kepolisian dan Ketentaraan yang bersandarkan pada kekuatan fisik atau persenjataan. Anehnya BIN di era Pemerintahan Jokowi justru menunjukkan pergeseran paradigma. Di masa pandemi Covid-19 ini, lucunya BIN seperti lompat ke kiri kanan, sehingga urusan penyemprotan desinfektan di Bandara juga pernah di bawah kendalinya. Yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini adalah saat BIN pamer pasukan khusus yang bersenjata lengkap. Pasukan Rajawali sebutannya. Kemunculan tiba-tiba pasukan bersenjata lengkap seperti Brimob atau Densus, bahkan Kopasus ini tentu saja mengejutkan. Tampilannya seperti sulap saja "ujug-ujug" Abrakadabra atau Bim Salabim. Itu terjadi karena di arena BIN menjadi Bin Salabin. Pamer aksi di depan petinggi berbagai Angkatan tersebut, dalam rangka Inaugurasi peningkatan statuta Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) di Sentul Bogor Jawa Barat. Kontroversi tentu saja terjadi. Persoalan utama adalah apakah layak atau haruskah BIN memiliki pasukan khusus bersenjata lengkap untuk pelaksanaan tugas operasinya. Adakah dasar hukumnya? Jika tidak ada dasar hukumnya, maka apa yang menjadi konsekuensi hukum yang diakibatkannya? Semua tata kelola organisasi BIN harus mengacu pada UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Tidak bisa hanya berdasarkan kemauan dan keinginan pimpinan BIN semata. BIN sebagai institusi negara, tidak bisa diselenggaran dengan suka-suka hati pimpinannya. Harus berdasarkan undang-udang. Bisa ngawur jadinya. Dan itu berbahaya. Prinsip kerja BIN adalah kerahasiaan tingkat tinggi. Segala kekuatan yang dimiliki BIN tidak boleh diketahui umum. Asasnya adalah profesionalitas, kerahasiaan, kompartementasi, koordinasi, integritas, netralitas, akuntabilitas, dan obyektivitas (vide Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2011). Adapun tujuan intelijen negara bukan berbasis pada pengerahan kekuatan bersenjata. Melainkan untuk "mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalis, menafsirkan, dan menyajikan intelijen dalam rangka peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai ancaman terhadap negara" (vide Pasal 5). Sudah pasti setiap orang atau badan hukum dilarang membuka dan/atau membocorkan rahasia intelijen. Dan atas pembocor tersebut, dapat dikenakan pidana, dengan ancaman hukman sepuluh tahun penjara dan/atau denda 500 juta rupiah. Menunjukkan atau memamerkan kekuatan dapat dikualifikasi membocorkan kekuatan yang dipunyai oleh BIN. Seperti "fasilitas khusus, alat peralatan dan perlengkapan khusus, dukungan dan atau personel intelijen negara". Hal ini merupakan perbuatan melawan hukum yang dalam Pasal 46 UU No. 17 tahun 2011 terancam pidana 10 tahun penjara dan/atau denda 500 juta tersebut. Oleh karenanya keberadaan pasukan Rajawali yang dipertontonkan BIN sudah jelas perbuatan salah kaprah. BIN bukan POLRI atau TNI yang berhak memiliki pasukan keamanan atau kombatan. Orang bertanya fungsi pasukan ini apa? Asumsi ekstrim sampai pada komentar jangan-jangan ini adalah "Angkatan Kelima" atau pasukan khusus model "Cakra Birawa". Perlu ada klarifikasi. Sementara itu memamerkan kekuatan BIN dapat dikualifikasin sebagai perbuatan "pembocoran" yang dapat dikenakan delik pidana. Kepala BIN harus bertanggungjawab. Presiden selayaknya memberi sanksi pencopotan dan segera memerintahkan untuk dilakukan pengusutan. Jika Presiden adalah pihak yang memerintahkan, maka Presiden dapat ditarik sebagai turut serta dalam perbuatan pidana tersebut (doen plegen) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.