NASIONAL

Rezim PKI Kah?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (30/09). Rakyat dan umat Islam harus sudah mulai waspada. Bahkan mulai bersiap-siap dengan serius untuk menghadapi kebangkitan Partai Komusnis Indonesia PKI dan faham komunis. Persoalan bangsa dan negara tidak bisa dianggap enteng. Pernyataan petinggi negara bahwa PKI tidak ada. PKI sudah dilarang. Komunisme telah bangkrut atau narasi serupa lainnya, justru merupakan sinyal bahwa PKI memang ada dan siap bangkit. Untuk itu, semua langkah dan upaya antisipasi harus dilakan, dan disiapkan sejak sekarang. Negara dan pemerintah ini, tidak bisa terlalu diharapkan untuk berbuat menghalangi dan mencegah bangkit dan penyebaran PKI model baru dan faham komunis. Masyarakat, khususnya umat Islam yang harus bergerak dan betindak sejak sekarang. Konsolidasi ke arah itu, seharusnya dimulai dari sekarang. Jangan menunggu, sebab bisa kecolongan. PKI dan faham komunisme munculnya di lingkaran Pemerintah. Tersebar di Parlemen, serta menyusup di organisasi kemasyarakatan. PKI dan faham komunisme adalah sebutan untuk mereka yang anti agama, sekuler, pembela PKI, serta pendukung penggerusan ideologi Pancasila 18 Agustus 1945. Tentu saja sangat bodoh bila menganggap PKI itu hanya semata-mata partainya Diva Nusantara Aidit. PKI kini adalah pengelompokan diri faham yang selalu menyebut agama itu radikal dan intoleran. Ciri dan karakter mereka itu, anti terhadap kritik dan menjadi penjilat utama penguasa. Kasus acara Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Surabaya, yang bukan hanya dihalang-halang, tetapi juga dibubarkan. Lalu tokoh anti PKI Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo digiring keluar menjadi petunjuk bahwa PKI mulai beraksi. Aparat kepolisian pun nampaknya tidak sadar berada dalam pusaran permainan mereka. Meskipun telah terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi manusia (HAM), yakni dengan melanggar Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Namun arapat seperti sengaja, bahkan mebiarkan peristiwa itu terjadi di depan mata. Tadak ada upaya dari aparat untuk mencegahnya. Ini sangat tragis. Namun tidak membuat KAMI surut. Malah semakin mantap maju Aksi aksi tandingan di luar gedung ,yang dibiarkan adalah paru arit, arogansi dan pembunuhan moral bangsa. Modus kejahatan baru. Jawa Timur telah mendeklarasikan munculnya PKI. Dan akan ada susulan deklarasi PKI-PKI yang lain. Keberadaan KAMI rupanya menjadi even bagi PKI untuk keluar dari kandang npersembunyian. Meraka mulai terbuka, bahkan terang-terangan. Tidak lagi sembunyi-sembunyi. Nah, kalau sudah begini, Rezim diam atau terlibat? Pertanyaan yang sama saat terjadi peristiwa G 30 S PKI pada tahun 1965. Apakah PKI itu sendirian atas pembunuhan para Jenderal TNI ? Atau ada dalang lain yang turut menyertai PKI? Faktanya adalah bahwa PKI itu pandai menyusup dan mempengaruhi pusat kekuasaan, termasuk dengan mudah mempengaruhi Presiden Soekarno. PKI pandai menipu hingga Soekarno harus berpidato "aku berkata PKI, jo sanak ku, jo kadangku, jen mati aku melu kelangan" (tepuk tangan). Saking hebatnya PKI mempengaruhi Soekarno, sampai partai agama Masyumi pun bisa dibubarkan. Hampir saja Himpinan Mahasisw Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII) turut dibubarkan. Pada bulan Mei berakrab-akrab ria, namun bulan September PKI beraksi. Para perwira Tinggi TNI diculik dan dibunuh. Kita tidak boleh menuduh Rezim Jokowi terkait dengan PKI. Akan tetapi bolehlah kita sebagai rakyat Indonesia menanti sikap rezim yang tegas untuk mengingatkan rakyat akan bahaya PKI dan Komunisme? Tidak cukup dengan sekedar menunjuk pada aturan pelarangan. Karena terbukti aturan itu pernah diabaikan bahkan hendak dicabut. PKI dan faham komunisme tetap merupakan bahaya laten bangsa. Rakyat khususnya umat Islam melihat PKI dan Komunisme sebagai musuh yang bengis dan jahat. Mati lebih terhormat daripada membiarkan PKI dan faham komunisme bangkit dan hidup kembali di negeri ini. Apakah Pemerintah juga melihat dengan pandangan yang sama ? Semoga saja. Amin. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Din Syamsudin Dan Nasib KAMI Kedepan

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis 930/09). Bicara Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) tidak lepas dari sosok kharismatik Ini. Namanya Din Syamsudin. Secara historis, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini termasuk paling awal (Assaabiquunal Awwaluun) yang merintis gerakan ini sebelum akhirnya nama KAMI lahir. Semula ada sembilan tokoh. Yang belakangan dikenal dengan sembilan tokoh oposisi. Yaitu Din Syamsudin, Habib Rizieq, Abdullah Hehamahua, Emha Ainun Najib, Rizal Ramli, Refly Harun, Rocky Gerung, Kiyai Najih Maemoen dan Said Didu. Kepada sembilan tokoh ini, Din Syamsudin merajutnya. Melakukan komunikasi intens untuk menyamakan visi dan langkah. Rapat perdana dan ini akan jadi sejarah KAMI, diadakan di rumah Rizal Ramli. Lima dari sembilan tokoh hadir dalam rapat sangat terbatas itu. Membahas gerakan moral ini. Sekali lagi, gerakan moral. Bukan gerakan politik. Karena KAMI ini dilahirkan sebagai gerakan moral. Bukan menjadi lokomotif untuk politik praktis. Apalagi partai politik. Tidak! Dalam perkembangannya, tokoh-tokoh lain untuk ikut bergabung. KAMI adalah organisasi terbuka. Bagi siapa saja yang cinta negeri dan tanah air ini diberi ruang untuk bergabung. Termasuk para agen intelijen yang ingin belajar moral. Syaratnya satu, “punya visi menyelamatkan masa depan Indonesia”. Belakangan, nama KAMI ditempelkan di gerakan ini. Dan sekarang sedang populer. Nama KAMI berawal dari usulan Abdullah Hehamahua. Hasil ijtihad berbulan-bulan mantan Ketua Umum PB HMI dan penasehat KPK ini diterima secara aklamasi. Dalam perkembangannya, KAMI membesar. Rakyat menyambutnya dengan sangat antusias. Merasa mempunyai kendaraan untuk menyuarakan kebenaran secara bersama-sama. Mesti tetap harus menghadapi hambatan dan sejumlah persekusi. Semakin dihambat dan banyak persekusi, KAMI akan makin dikenal dan membesar. Semakin susah dibendung. Performence Din Syamsudin yang humble dan penuh senyum membuat KAMI relatif mudah masuk ke hati rakyat. Sikap dan senyum yang natural. Ini penting berkaitan dengan psikologi publik. Pengalaman organisasi dan kemampuan intelektual Guru Besar UIN Jakarta ini diyakini mampu membawa KAMI untuk hadir tidak saja elegan, tapi efektif sebagai sebuah gerakan moral. Din Syamsudin tidak sendiri. Belakangan ada sejumlah tokoh yang ikut bergabung. Diantaranya adalah Rachmat Wahab dari Nahdatul Ulama (NU) garis lurus, Syahganda Nainggolan, dan Gatot Nurmantyo dari militer. Bersama Din Syamsudin, keduanya didaulat sebagai Presidium. Presidium ini diback up oleh tokoh-tokoh besar. Sebut saja Abdullah Hehamahua, Bachtiar Nasir, Refly Harun, Said Didu, Rocky Gerung, Chusnul Mar'iyah, Kiyai Abdurrasyid Syafi'i Profesor Anthony Budiawan, Ikhsanudin Noersy, Edwin Sukawati dan banyak lagi. Meski Emha Ainun Najib, Rizal Ramli, Kiai Najih Maemoen, Sobri Lubis (Ketua FPI), Yusuf Martak (Ketua GNPF), Selamet Ma'arif (Ketua PS 212) tidak berada di dalam struktur KAMI, mereka tetap mendukung, selama KAMI konsisten menjadi gerakan moral. Dengan pola gerakan yang soft dan komposisi para tokoh yang cukup ideal ini, Din Syamsudin cs, telah sukses membawa gerbong KAMI diterima oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Tugas berikutnya adalah bagaimana KAMI ini mampu mengfungsikan dirinya lebih efektif di tengah berbagai krisis yang sedang dialami oleh bangsa ini. Ini pekerjaan tidak ringan. Selama ini, KAMI on the track sebagai gerakan moral. Menjadi kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat dan membahayakan nasib masa depan bangsa. Tidak hanya sampai disitu, Din Syamsuddin cs atas nama KAMI juga memberikan data, hasil riset dan terobosan solusi untuk perbaikan bangsa ke depan. Di tengah kegagalan pemerintah yang begitu sering dalam menghadapi problem bangsa, dan kebebalannya dalam merespon setiap masukan rakyat, akankah menggoda KAMI yang dikomandoi Din Syamsudin cs ini untuk merubah pola gerakannya? Apalagi jika krisis ekonomi berkepanjangan dan telah menciptakan gejolak sosial, maka godaan politik akan sangat kuat. Apalagi, jaringan KAMI di daerah sudah makin meluas. Ini akan jadi ujian moral bagi Din Syamsudin dan seluruh anggota KAMI. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Makin Diserang, KAMI Makin Terbang

by Tony Rosyid Jakarta FNN- Kamis (30/09). Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) terus bergaung di sejumlah daerah. Tanpa henti KAMI terus bergerak. Dari satu daerah ke daerah yang lain. Bagi mereka yang kecewa terhadap pemerintahan Jokowi, KAMI menjadi tempat yang tepat untuk berkumpul menyuarakan idealisme dan keprihatinan terhadap bangsa. Seiring berjalannya waktu, KAMI semakin membesar. Membesar jumlah pengikutnya, juga pengaruhnya. Pelan tapi pasti. Namun sebelum benar-benar membesar, ada upaya dari "pihak-pihak tertentu" untuk menghambat, bahkan menghalangi. Publik tahu siapa pihak-pihak ini. Baca pola dan isunya, itu khas. Polanya selalu menggunakan pengerahan massa antara 50-100 orang. Ini berkaitan dengan anggaran. Terdiri dari anak-anak muda. Teriak-teriak di atas mobil dengan toa yang lumayan lantang. Dan isu yang terus diangkat adalah Khilafah, anti Pancasila dan pemecah belah bangsa. Ditambah satu tuduhan “barisan sakit hati”. Perhatikan gaya mereka! Nggak akan keluar dari isu itu. Dilengkapi dengan sejumlah spanduk yang dipasang di sekelilingnya. Demo macam ini terjadi Senen (28/9) di Surabaya. Mirip dengan demo yang terjadi saat awal deklarasi KAMI di Tugu Proklamasi Jakarta 18 Agustus lalu. Juga di sejumlah tempat lain. Pola dan isunya masih tetap sama. Kalau anda menemukan pola demo macam ini, mudah untuk menunjuk jidat mana yang menggerakkan demo ini. Apakah dengan demo penolakan ini mental KAMI makin ciut? Lalu rencana deklarasi di berbagai daerah berhenti? Tidak! Anda salah kalau berpikir seperti itu. Perlu belajar teori "The functions of social conflicts" nya Lewis Coser. Teori ini mengungkapkan betapa penolakan itulah yang dibutuhkan KAMI. Siapin panggung kecil, dapat panggung besar. Ini ungkapan yang tepat untuk menggambarkan KAMI dalam banyak peristiwa persekusi di beberapa daerah. Sesungguhnya, tak banyak orang dan media tahu momen deklarasi di Surabaya. Begitu juga di daerah-daerah lain. Gara-gara ditolak, ramai dan publik menjadi tahu. Media blow up besar-besaran. Bagi KAMI, ini adalah hadiah. Bahkan anugerah. Ada momen untuk iklan gratis. Dengan penolakan ini, konsolidasi KAMI di seluruh Indonesia juga makin kuat. Gelombang empati dan pembelaan semakin membesar. Senin lalu, media dan medsos ramai. Dipenuhi berita deklarasi KAMI di Surabaya Jawa Timur. Lahan subur bagi KAMI untuk beriklan dan mensosialisasikan diri. Dari peristiwa ini, KAMI berlimpah simpati. Mengambil momentum ini dengan sangat cerdas. Diam tak membalas. Cukup klarifikasi secukupnya. Memberi pemahaman publik tentang identitasnya. Inilah KAMI. Cukup itu saja. Dan rakyat paham. Di KAMI, ada banyak tokoh yang punya daya tarik dan kemampuan bernarasi. Mereka punya kelas dan klaster pendukung masing-masing. Ada Gatot Nurmantyo, Din Syamsudin, Rocky Gerung, Refly Harun, Said Didu, Abdullah Hehamahua, Chusnul Mariyah, dan lain-lain. KAMI menjadi tempat berkumpul para tokoh dari hampir semua ormas dan profesi. Di KAMI juga berkumpul banyak penulis dan wartawan militan. Hampir, kalau tidak dikatakan semua penulis aktif media Online berkumpul di KAMI. Mungkin 99,9% penulis aktif ada di KAMI. Hanya 1% yang berada di kubu pemerintah. Ini sekaligus untuk membedakan mana militan, mana bayaran. Terkesan berlebihan. Tapi mudah untuk dibuktikan. Dengan peristiwa Surabaya tersebut, justru jadi bensin yang membuat gerakan KAMI semakin nyala di negeri ini. Semakin banyak penolakan, maka semakin banyak trigger pula yang membuat KAMI semakin melambung dan terbang. Mendapatkan keuntungan besar. Dalam setiap peristiwa penolakan, ada simbiosis multualisme. Ini yang menarik. Deklarasi KAMI mendatangkan project bagi para penolaknya. Masih ingat proposal organisasi mahasiswa yang beredar dan viral? Hanya dengan Rp 16 juta sekian anggaran untuk menolak deklarasi KAMI di Surabaya. Kecil bagi anda, tapi besar bagi para mahasiswa itu. Di sisi lain, kehadiran para penolak membuat nama KAMI semakin melambung tinggi. Keduanya saling membutuhkan. KAMI dan para penolaknya. Mereka dapat uang, KAMI dapat iklan. Jika sinergi ini terus terjaga, maka akan mempercepat situasi menjadi matang. Maksudnya? Jangan berlagak bego lu! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

KAMI Beruntung, Semakin Dibesarkan Oleh Demo Penolakan

by Asyari Usman Jakarta FNN - Senin (28/09). Tidak banyak ormas yang bisa cepat besar seperti KAMI. Begitu dideklarasikan kelahirannya, ormas ini langsung masuk kategori yang dianggap sebagaia ancaman. Kalau tidak dianggap begitu, tentunya deklarasi mereka tidak akan diganggu. Tidak akan dibubarkan. Itulah yang dialami KAMI ketika menyelenggarakan deklarasi pembentukan pengurus di Surabaya, Senin (28/9/2020). Massa yang diyakini sebagai gerombolan orang-orang bayaran, melarang warga KAMI mengikuti acara. Alasan mereka, deklarasi itu sifatnya politis. Lho, kalau politis, kenapa rupanya? Apa tidak boleh orang berkumpul untuk menyatakan pendapat politik, pendapat ekonomi atau pendapat apa pun itu? Tentu sah-sah saja, bukan? Kenapa harus ditekan? Untuk apa dihalang-halangi? Memangnya KAMI itu punya apa? Punya duit banyak? Betul-betul sangat mengherankan. Tetapi, sesungguhnya KAMI beruntung. Bisa langsung dianggap sebagai rival. Itu pertanda yang sangat positif. Beruntung bisa melejit tinggi akibat demo-demo penolakan yang dilakukan oleh yang diduga sebagai massa bayaran. Karena itu, saya perkirakan orang-orang KAMI akan semakin bersemangat untuk meluaskan jaringan nasional. Sikap bermusuhan yang ditunjukkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai “massa rakyat asli” itu pasti akan semakin memperkuat citra KAMI. Sebab, permusuhan itu mengisyaratkan KAMI berhasil menjadi ormas yang diperhitungkan. Tinggal sekarang, KAMI bekerja keras untuk memperbanyak jaringan. Yaitu kerja keras dalam menggelar deklarasi di sebanyak mungkin daerah di Indonesia. Saya menduga, pegurus KAMI akan mendorong para pendukungnya di daerah-daerah agar segera melasanakan acara deklarasai. Dengan tujuan agar ada massa bayaran yang menolak. Begitu ditolak akan langsung masuk berita media massa, baik televisi maupun media online. Penolakan akan menjadi viral. Nama KAMI disebut seharian. Dari siang sampai malam. Bahkan sampai besok, lusa, dst. Namun, tentu saja penyelenggaraan deklarasi KAMI dengan tujuan supaya diganggu, tidaklah baik. Sebab, pola seperti itu menunjukkan bahwa pihak yang mengganggu adalah orang-orang pengecut. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Apologi Itu Bernama "Out of The Box"

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN- Senin (28/09). Ketika mengkritisi atau mengoreksi suatu kebijakan atau sikap politik pejabat publik yang dinilai secara kepatutan, bahkan aturan dianggap keliru, maka semestinya diterima dan direnungkan. Bila tak sesuai dapat diklarifikasi ataupun diabaikan. Anehnya, tak sedikit pendukung membuat pembelaan apologetik bahwa kebijakan atau sikap politik yang tak layaknya itu sebagai kebenaran yang "out of the box". Sampai ada pandangan bahwa keberanian Luhut Binsar Panjaitan menjadi garda depan kerjasama dengan China termasuk Partai Komunis Cina (PKC) adalah inovasi yang "out of the box". Tak perlu kuatir soal komunisme. Prabowo menanam singkong juga "out of the box". Hueeebat kan Mneteri Pertahanan (Menhan) menjadi Menteri Pertanian (Mentan). Jokowi juga mensupport anak, mantu, besan untuk maju Pilkada, dan itu bukan sebagai nepotisme atau politik dinasti. Tetapi langkah brilyan "out of the box". Sampai-sampai pengumumannya disampaikan di istana negara. Ketika Peraturan Pemerintah Penggabti Undang-Undang (Perppu) Corona dibuat dengan memporak-porandakan hukum dan perundang-undangan, dianggap bukan merampok dana APBN. Tetapi langkah terobosan yang "out of the box". Begitu juga Pemerintah yang ngotot untuk melaksanakan Pilkada di tengah meningkatnya korban pandemi Covid 19 adalah "out of the box". Jika nanti saat Pelikada berlangsung, korban berjatuhan maka itupun lumrah sebagai korban yang "out of the box". Sekarang "out of the box" menjadi seolah terobosan padahal itu adalah kenekadan. Bahkan nyata-nyata penyimpangan dari nilai kebenaran dan keadilan. Siapapun oranngnya yang sudah berada dalam "box” yang benar maka ia tidak boleh "out". Begitu yang seharusnya. Namun kepentingan politik mampu membingkai seribu alasan untuk melakukan perbuatan di luar kebiasaan atau kewajaran teta kelola pemerintahan yang benar, menjadi "out of the box". Dengan alasan bahwa Orde Baru lah yang anti Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Komunis, maka ketika muncul sikap perlunya mewaspadai bahaya bangkitnya Neo PKI dan Komunisme, dituduhlah itu sebagai anasir Orde Baru. Lalu dibuatlah argumen Pemerintah harus membuat langkah "out of the box" dengan rekonsialisasi, rehabilitasi, dan meminta maaf kepada pengikut atau keluarga PKI. "Out of the box" dalam makna kreatif harus berbasis aturan. Bukan menginjak-injak atau memperalat aturan untuk kepentingan kelompok dan keluarga. Apalagi mengeliminasi Tap. MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 itu bukan "out of the box". Berkreasi tentang Pasal Trisila dan Ekasila atau mengecilkan porsi Agama di Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) bukan pula "out of the box". Begitu juga dengan Pancasila berbasis tanggal 1 Juni 1945. Membuka celah bangkit Neo PKI dan Komunisme absolut bukan "out of the box". Aspek-aspek yang menginjak-injak atau memperalat aturan bukanlah "out of the box". Melainkan kunci pembuka dari "Pandora's box" yang membuka sebaran penyakit virus PKI dan Komunisme. RUU HIP dan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasil (BPIP) adalah "Pandora's box". Zeus menghadiahi puterinya Pandora kotak yang tak boleh dibuka. Tapi perempuan ini melanggarnya. Akibatnya tersebarlah penyakit di muka bumi. Makanya PKI dan Komunisme akan tersebar menjadi penyakit di bumi Pertiwi, hanya karena sang Puteri melanggar amanat. Kotak Pandora berusaha untuk dibuka. Maka RUU HIP dan RUU BPIP yang seharusnya ditutup rapat, masih terus saja dicari-cari celah agar dapat terkuak. Seolah pekerjaan itu bagus "out of the box". Padahal yang bakal terjadi adalah "out from the box". Penyakit yang tersebar lalu merusak dan membahayakan rakyat, bangsa, dan negara memlalui faham komunisme. Penghianat telah mencoba membuka "Pandora's box". Virus Komunisme akan disebarkan. Karenanya sebelum tersebar maka cegah dan basmi sampai ke akar-akarnya. Apapun resikonya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kebangkitan PKI Itu Keniscayaan

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (28/09). Kita bisa lihat Partai Komunis Indonesia (PKI) dari dua hal. Pertama, dilihat secara ideologis. PKI itu berideologi komunis. Komunis anti Tuhan. Berarti anti Pancasila. Sebab itu, nggak layak hidup di negara Pancasila. Karena dipaksakan, lahirlah banyak benturan. Terutama benturan terhadap masyarakat yang beragama dan ber-Tuhan. Bubarkan Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pembantaian terhadap para kiai dan ulama, pembakaran masjid, madrasah serta pesantren itu bagian niscaya dari tuntutan revolusi PKI. Kalau tidak begitu, itu bukan komunis. Lahirnya NASAKOM yang berupaya menyatukan kelompok nasionalis, agama dan komunis boleh jadi karena ketiga kelompok ini merupakan fakta sosial dan politik di Indonesia saat itu. Namun, Soekarno tidak menyadari bahwa NASAKOM pada kenyataannya absurd, ambigu dan kontradiktif. Sebab, komunis tidak mungkin bisa hidup dalam masyarakat yang mayoritas beragama, terutama Islam. Sampai disini, gagasan NASAKOM dan kedekatan Soekarno dengan PKI menyisakan sejumlah pertanyaan. Apakah NASAKOM itu bagian dari bentuk idealisme Soekarno dalam menyatukan semua kelompok bangsa? Atau sekedar pencitraan Soekarno di mata dunia? Dimana kapitalisme dan komunisme tidak pernah akur, bahkan terjadi perang dingin saat itu? Atau ada skenario lain? Kalau urusan skenario itu, hanya Soekarno dan Tuhan yang tahu. Pembantaian terhadap para Jenderal terjadi, karena para Jenderal dianggap sebagai penghalang revolusi yang menjadi ciri khas perjuangan komunisme. Peristiwa ini, lebih bersifat politis. Walaupun demikian, sesungguhnya, para Jenderal yang dihabisi itu juga sangat ideologis dan Pancasilais. Bagaimanapun, menghabisi Dewan Jenderal secara struktural telah mewariskan luka sejarah yang sangat mendalam, terutama bagi TNI AD. Jadi, jika sepanjang sejarah TNI AD marah terhadap PKI, itu wajar dan natural saja. Jika para tokoh, senior dan pimpinan organisasi anda dibantai secara terstruktur, luka di hati anda dan semua kader organisasi tidak akan pernah sembuh. Ini juga yang dialami oleh NU ketika tahun 1948 para Kiai NU dibantai PKI di Jawa Timur. Jadi, isu kebangkitan PKI bukan hanya menyinggung emosi Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo, Jenderal TNI (Purn.) Ryamizard Ryacudu dan Mayjen TNI (Purn.) Kivlan Zen saja. Ini bagian dari perasaan dan emosi seluruh anggota TNI, terutama TNI-AD. Jendral TNI Kehormatan (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan dan Jendral TNI Kehormatan (Purn.) Abdullah Mahmyud Hendropriyono juga bagian dari TNI AD. Dua Jenderal Kehormatan ini adalah prajurit Komando Kopassus. Barangkali perlu juga untuk diminta mengungkapkan perasaannya soal pemberontakan PKI tersebut Dilihat dari sisi historis. Setidaknya ada dua protes dari eks PKI dan anak-anak biologisnya. Pertama, protes terhadap film G 30 S PKI. Dianggap manipulatif. Penuh rekayasa. Mereka minta kepada pemerintah untuk tidak lagi ditayangkan. Dihapus semua file-nya. Mendesak presiden Jokowi buat film G 30 S PKI versi baru. Terkait usul tersebut, sempat ada wacana dari istana. Tapi, sampai sekarang belum terealisasi. Kedua, menuntut kepada presiden Jokowi atas nama bangsa Indonesia agar meminta maaf secara resmi kepada PKI. Jika ini dilakukan, maka akan mengubah jalannya sejarah bangsa Indonesia. Poinnya, PKI korban, bukan pelaku. Setelah itu, akan ada project besar untuk menulis buku sejarah PKI yang akan menjadi referensi dalam kurikulum sekolah. Kedua tuntutan ini, tidak atau belum mampu dipenuhi Jokowi. Sebab, ini akan sangat berisiko secara politik. Jokowi tidak, bukan hanya akan berhadapan dengan TNI, tetapi juga dengan umat Islam. Muncul pertanyaan publik, apakah lahirnya RUU HIP adalah bagian dari alternatif perjuangan PKI setelah gagal mendesak Jokowi meminta maaf kepada PKI dan menghapus film G 30 S PKI? Atau itu bagian yang menyatu dan menjadi satu kesatuan strategi? Menjawab ini perlu sedikit riset dan diskusi lebih panjang. Tak seperti biasanya, tahun ini dinamika ke-PKI-an ramai, jauh sebelum bulan september. Bulan dimana PKI selalu jadi tema utama. Bulan dimana keluarga para Jenderal revolusi itu menahan emosi. Dan bulan dimana para eks PKI dan anak-anak biologisnya sedang dapat panggung untuk branding diri di media. Hal ini telah memunculkan tanda tanya, bahkan kecurigaan publik, apakah PKI akan bangkit kembali? Setelah era reformasi membuka ruang bagi eks dan anak-anak biologis PKI untuk memdapatkan hak politik dan sosialnya, "wajar jika" kemudian mereka menggunakan kesempatan itu untuk bangkit. Hidup dalam tekanan dan dendam biasanya akan memicu lahirnya perlawanan. Secara psikologis, masyarakat yang lama tertekan karena hak-hak politik dan sosialnya dicabut akan bangkit dan melakukan perlawanan saat kesempatan datang. Mereka tak ingin semua penderitaannya selama ini sia-sia. Tak ubahnya dengan apa yang dilakukan para eks tahanan politik (tapol). Mereka terus berusaha untuk berdiri, bangkit dan mengisi sejumlah posisi strategis. Hanya saja, sebelum TAP MPRS No 25 Tahun 1966 yang melarang PKI dicabut, siapapun yang ingin bengkitkan PKI harus melakukannya dengan pola gerakan bawah tanah. Jangan coba-coba terang-terangan. Sebab pastinya akan berhadap-hadapan dengan TNI dan umta Islam. Sulit membayangkan mereka bisa terima semua penderitaan selama 32 tahun itu, lalu pasrah saja. Sementara kesempatan untuk melakukan konsolidasi dan memulai perlawanan sudah sangat terbuka saat ini. Mereka bisa membangun gerakan bawah tanah, menyusupkan para anggotanya di partai dan berbagai kelembagaan/institusi negara. Sekali lagi, ini hanya cara berpikir dan pemahaman logis. Menarik jika dicari dan diinvestigasi datanya. Anggap saja ini hipotesis. Perlu pembuktian. Namun jika kita memahaminya dengan pendekatan teori marxisme dan gerakan leninisme, maka akan semakin sulit menyimpulkan bahwa PKI mati. Maaf! Jadi agak berat diskusinya. Munculnya kecurigaan dan kewaspadaan terhadap kebangkitan PKI sesungguhnya berbasis pada pengetahuan ilmiah yang diambil dari teori komunisme ala marxis itu sendiri. Juga gerakan revolusioner komunisme di berbagai negara, serta trauma sejarah pemberontakan PKI di Indonesia. Jika Marx berani bilang bahwa hukum sejarahnya itu ilmiah, maka kecurigaan terhadap kebangkitan PKI di Indonesia itu juga ilmiah. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Komunisme Dan Liberalisme Menjepit Pancasila

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto “Maafkan, Lord Russell. Saya kira tuan melupakan adanya lebih daripada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence”. (Bung Karno, 1960, Sidang Majelis Umum PBB). Jakarta FNN – Senin (28/09). Cuplikan pidato Bung Karno di atas, ketika mengenalkan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia. Bung Karno dengan gamblang dan berani mengatakan Indonesia tidak dipimpin oleh konsep komunis ataupun liberalis. Indonesia dipimpin oleh nila-nilai, gagasan, cita-cita yang terkandung dalam kehidupan bangsa Indonesia, dengan nama Pancasila. Genderang “beda ideologi” ditabuh Bung Karno dalam sidang bergengsi negara-negara dunia (Sidang Majelis Umum PBB). Walaupun sesungguhnya mereka atau asing sudah tahu sejak kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Negara Indonesia berdasarkan Pancasila. Komunisme Versus Pancasila Komunisme dibawa ke Hindia-Belanda (Indonesia) oleh J.F Marie Sneevliet, 1913. Mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), anggota 85 (delapan puluh lima) orang Belanda totok, dengan propaganda komunisme, pada 23/5/1914. Semaun, Darsono dan Alimin, anggota Sarikat Islam masuk ISDV. Pada 23 Mei 1920, ISDV berubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH) dengan Ketua Semaun dan Darsono sebagai Wakil. PKH berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1924. Pemberontakan PKI terhadap kolonial Belanda, 1926/1927, terkait perjuangan Komunisme Internasional. Setelah Indonesia merdeka, Peristiwa Madiun, pimpinan Muso, 18/9/1948, menghendaki satu kelas buruh aliran Marxisme-Leninisme dan mendirikan pemerintahan “Komite Front Nasional”, bekerjasama dengan Uni Soviet. Satu bukti pemberontakan PKI untuk mengganti Pancasila. Keterdekatan Bung Karno dengan Presiden Mao Zedong dan PM Chou Enlai tahun 1960-an, membentuk poros Jakarta-Peking. Hubungan PKI pimpinan DN. Aidit dengan Partai Komunis China, menambah catatan kegiatan menjelang G.30.S/PKI. PKI meniupkan isu Dewan Jenderal yang akan menculik Bung Karno. Tetapi didahului Komandan G.30.S/PKI Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden. Pasukan Letkol Untung menculik dan membunuh 7 (tujuh) Perwira AD, pada 30 September 1965 dan membuangnya ke dalam sumur secara biadab, di Lubang Buaya Halim. Korban penculikan itu kita kenal sebagai 7 (tujuh) Pahlawan Revolusi. Persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mengadili pentolan G.30.S/PKI secara terbuka, dokumen di Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional, Museum dan Monumen, yang berserakan di tanah air adalah bukti dan saksi. Tragedi 1965, jelas pemberontakan PKI, yang ingin mengganti Pancasila dengan faham komunisme adalah fakta sejarah. Tuntutan rakyat dan keputusan pembubaran PKI sebagai organisasi terlarang, dan larangan penyebaran ajaran komunisme/marxisme-Leninisme, langkah yang benar dan tepat. Tidak mungkin dalam satu negara ada dua ideologi yang bertentangan. (Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966). Peringatan Hari Kesaktian Pancasila Gerakan 30 September PKI gagal. Tanggal 1 Oktober 1965 adalah tonggak Hari Kesaktian Pancasila. Isu kelasik seputar G30S/PKI selalu muncul menjelang peringatan, terasa membosankan. Namun, bagi generasi muda, menjadi isu menarik, penting dan perlu agar generasi muda tidak termakan propaganda. Tidak termakan provokasi dan agitasi yang dibangun ideolog komunis dan simpatisannya. Film G30S/PKI tidak perlu diputar. Lho, kenapa? Itu film sejarah, seperti film 10 November. Film G30S/PKI itu rekayasa dan mengkultuskan orang. Siapa bilang? Kalau rekayasa, cocokkan saja dengan dokumen sejarah, sebut adegan apa, menit berapa yang tidak benar. Kalau kultuskan tokoh? Apa memang ada film tanpa tokoh dan peran utama? Film 10 November misalnya, tokoh dan peran uatamaya adalah Bung Tomo. Begitu juga dengan Film Tunggul Ametung, yang tokohnya ya Tunggul Ametung, Ken Dedes dan Ken Arok. Memanya ada yang aneh? Gaduh nasional dari tahun ke tahun terjadi. Satu pihak ingin melarang film G30S/PKI. Ingin menghapus sejarah G30S/PKI, dengan bilang PKI korban. Sedangkan Soeharto dalang PKI, dan lain sebagainya. Pihak lain, memperingati untuk mengingatkan bahaya laten PKI terhadap Pancasila. Gaduh nasional yang tak percaya sejarah, menunjukkan kekerdilan dalam memaknai sejarah. Bagaimana tidak? Negara pasti punya dokumen sebagai bukti sejarah. Tidak tepat jika kita bilang “sejarah itu milik penguasa atau pemenang”. Inilah contoh kekerdilan dalam berpikir dan penghargaan kepada pahlawan. Liberalisme Versus Pancasila Dalam pertarungan kepentingan politik global, mendemokratisasikan negara tidak hanya oleh aktor dalam negeri. Keikutcampuran aktor internasional negara-negara liberal kapitalis, melalui organisasi internasional seperti United Nations Develepment Program (UNDP) dan United State Agency for International Develepment (USAID) bisa saja terjadi. LSM asing seperti Institute of Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Internasional Foundation for Election System (IFES), National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institution (IRI) dan LSM domestik Centre for Electoral Reform (Cetro) terlibat dalam amandemen UUD 1945. (Valina Singka Subekti, 2007, Menyusun Konstitusi Transisi). Pilpres secara langsung ala Amerika, adalah hasil amandemen yang paling memprihatinkan. Demokrasi “one man, one vote” bukan demokrasi bangsa Indonesia. Bukan demokrasi dalam nilai-nilai Pancasila. Bung Karno saja, tahun 1960 sudah berani mengatakan kepada dunia, sila ke-4 Pancasila adalah dasar demokrasi bangsa Indonesia. Banyak pasal-pasal hasil amandemen UUD 1945 bertentangan dengan Pancasila. Bahkan cenderung ke liberal. Pilpres langsung yang membuat disharmoni kehidupan, robeknya persatuan dan konflik sepanjang masa, melahirkan pertanyaan kritis. Apakah itu semua bertujuan memecah belah, agar mereka bisa menguasai Indonesia tanpa menduduki untuk hidupnya? Ideologi Untuk Mencari Hidup Komunisme di dunia itu sudah mati. Begitu celoteh orang tertentu, bahkan dia pejabat yang intelektual. Ada apa dibalik celotehnya? Padahal dia yang tahu, namun yang pasti itu pernyataan ngawur dan nagco. Banyak negara-negara di dunia yang komunisnya masih hidup. Republik Rakyat China (RRC) dalam anatomi negaranya saja, ada yang disebut Communist Party of China (CPC), Central Military Commission (CMC), State Council (SC) dan National People Congres (NPC). Konon untuk militernya saja, sumpah kesetian yang pertama adalah kepada partai, baru kepada negara. Ideologi akan memberikan dasar paradigma, apa yang harus dilakukan negara. Kebutuhaan hidup papan, pangan, air, energi dan sumber kakayaan alam untuk rakyatnya menjadi lebih dominan dibanding sekedar mencari pengikut agar negara lain mengikuti ideologinya. Teritorial Indonesia yang luas dengan pantai yang landai, menggiurkan untuk direklamasi, menjadi incaran negara yang memiliki ledakan penduduk tinggi. Bagi negara yang miskin sumber daya alam, miskin sumber energi, akan tergiur dengan kekayaan Indonesia. Artinya, tidak berlebihan jika Indonesia menjadi incaran negara-negara dunia. Berpegang teguh kepada Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, akan mampu mencegah, agar tidak menjadi pengkhianat dan kompradornya asing yang mencari hidup di Indonesia. Mari kita bangkit, bersatu, bergerak, berubah agar kita tidak punah. Semoga Tuhan YME memberikan kejayaan bagi Indonesia. Amin. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2006-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Melawan Komunisme (Bagian-1)

by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Senin (28/09). Komunisme itu paham. Bukan organisasi dan bukan pula nasab. Orang bisa saja menjadi komunis tanpa harus terdaftar sebagai anggota organisasi komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI). Bukan pula dari keturunan atau anak komunis. Jadi, jangan salah sangka. Orang berfaham, lebih tepat lagi ideologi komunis bisa berada di organisasi apa saja. Mulai dari organisasi sosial kemasyarakatan, propesi , keagamaan sampai organisasi partai politik. Begitu juga soal nasab, anak yang lahir dari seorang alim pun bisa jadi terjangkit faham komunis. Sebaliknya, anak seorang komunis belum tentu juga sepaham dengan komunis. “Dik Gaffar, kamu ajari saya agama. Nanti kamu saya ajari Marxisme,” kata Sukarno satu ketika. Yang dipanggilnya “dik Gaffar” adalah A. Gaffar Ismail, ayah dari Taufiq Ismail, dokter hewan yang lebih dikenal sebagai penyair itu. Taufiq Ismail menceritakan kisah persahabatan Sokarno dengan ayahnya itu dalam “Katastrofi Mendunia” (2004). Sukarno, yang begitu menghargai ilmu, lebih dahulu dipenuhi oleh ajaran Karl Marx, “nabi” -nya orang-orang Sosialis-komunis. Dia bangga menguasai Marxisme, sehingga berani menawarkan barter dengan pengajaran”ilmu-ilmu” Islam. Boleh jadi, sebagai muslim yang belum “terisi” dengan hakikat islam, Soekarno memandang Islam sebagai sebuah cabang Ilmu yang setara degan Marxisme. Ya, hanya sebuah ilmu dalam tumpukan ilmu-ilmu sosial dan budaya. Maka, Soekarno yang rajin bertanya soal-soal Islam kepada Gaffar dan Hasan Bandung. Itu pun Soekarno tetap sebagai seorang nasionalis sekuler, dan memimpin Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Pemikiran Soekarno tentang ke-Islaman dan sosial kemasyarakatan tidak lepas dalam perspektif ilmu-ilmu sekuler itu, sehingga tulisan-tulisannya sering mengundang tanggapan kritis dari Mohammad Natsir, tokoh Partai Islam Masyumi. Begitu pun dalam langkah selanjutnya. Ketika menjadi Presiden Indonesia, Soekarno menggabungkan ideologi nasionalisme, agama dan komunisme yang dikenal dengan Nasakom. Masyumi menolak ideologi gabungan itu, sehingga Masyumi diultimatum untuk dibubarkan oleh Presiden Soekarno atas desakan PKI. Itulah Soekarno, lebih dekat ke komunis dari pada Islam. Bagaimana dengan ayah sang Penyair Taufiq Ismail? Meski pun di -coach langsung oleh mentor besar Marxisme, Soekarno, tetapi Gaffar tidak lantas jadi Komunis. Ikut Soekarno di Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pun tidak. Ia justeru aktif di Partai Islam Masyumi yang anti Komunis. Itu karena sikap dan pandangan hidupnya telah dibentuk oleh Islam terlebih dahulu. Putra Minang ini tamatan Sumatera Thawalib Parabek dan pernah nyantri di Padang Panjang. Sikap dan pandangan hidup seseorang itu sangat ditentukan oleh pengajaran. Ajaran apa yang lebih awal atau lebih intens diterima, lebih kuat mempengaruhi dan memenuhi pikirannya. Jadi, jangan main-main dengan pangajaran. Ia adalah mesin cetak keperibadian dan pandangan hidup seseorang. Semaoen, Darsono, Tan Malaka dan Alimin Prawirodirdjo (orang-orang Indonesia pertama yang jadi komunis) awalnya adalah pengikut H.O.S Tjokroaminoto, sebagai anggota Sarekat Islam (SI). Bahkan pernah menduduki jabatan penting di SI. Semaoen misalnya, menjadi Ketua SI Semarang. Tetapi mereka kemudian menjadi tokoh penting pula di Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang pernah beberapa kali menorehkan sejarah kelam bangsa ini, dan di pecat dari SI. Semaoen menjadi anggota SI pada 1914 di afdeeling Surabaya. Usianya terbilang masih terlalu muda, 14 tahun. Setahun kemudian, 1915, Samaoen berkenalan dan akrab dengan seorang sosialis Belanda, Sneevliet, ketua Indische Sosial Democratische Vereniging (ISDV) dan Persatuan Buruh Kereta Api dan Trem Vereniging van Spoor en Tramweg Personcel (VSTP) di Semarang. Semaoen bersimpati berat kepada Sneevliet dan menyapa orang Belanda itu sebagai “guru”. Tidak salah juga. Karena di tengah orang-orang Belanda bermental kolonial dan merasa superior, Sneevliet justeru menawarkan persamaan dan semangat revolusiner. Maka, Semaoen pun ikut aktif di dua organisasi beraliran komunisi itu. Alimin dan Darsono ikut pula di ISDV. Penguasaan bahasa Belanda yang baik, minat belajar yang sangat kuat dan hubungan dekatnya dengan Sneevliet membuat Semaoen dipercaya sebagai ketua propagandis VSTP dan mendapat gaji. Jabatan ini membuat Semaoen harus intens mempelajari ideologi Marxis, dan harus pindah pula ke Semarang, tempat kedudukan Pengurus besar VSTP, Juli 1916. Setahun kemudian, tepatnya 6 Mei 1917, dia terpilih pula menjadi ketua SI Semarang. Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia, 23 Mei 1920. Ia menduduki posisi ketua dan Darsono sebagai Wakil Ketua. Belakangan organisasi ini menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Semaoen adalah ketua pertama, sementara Alimin memimpin Wilayah Jakarta sejak 1918. Pada akhir tahun 1921, Semaoen meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow. Kedudukannya di PKI digantikan olehTan Malaka. Setelah kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922, dia mendapatkan kembali posisi Ketua Umum PKI dan mengganti nama SI yang dipimpinnya menjadi Sarekat Rakyat, bagian dari PKI, di tahun 1924. Dari sekilas perjalanan Semaoen dan kawan-kawannya, terbukti bahwa meski pun mereka aktivis SI, tetapi lebih intens mendapat asupan dan bergulat dengan pemikikiran Sosialisme-komunisme Marxis, dari pada Islam. Namun begitu, pada saat itu, Semaoen dan juga orang-orang SI lainnya, kemudian menjadi PKI tidak mengetahui bahwa di dalam ajaran sosialisme Marxisme itu terkandung prinsip-prinsip ateisme yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sukendar, Ketua Perwakilan PKI dalam Kongres SI tahun 1922, misalnya, ketika diminta tanggapannya terkait SI yang akan menjadi Partai Sarekat Islam, menyatakan bahwa menjadi komunis bukan berarti tidak percaya adanya Tuhan. Tetapi ia mengakui gerakan mereka netral dalam urusan agama. Orang-orang PKI tak ingin Islam di bawa-bawa ke ranah politik. Hal ini mengagetkan para peserta kongres. Betapa tidak, ada orang yang percaya kepada Allah tetapi netral agama! Jadi, ada yang tidak beres pada diri Semaoen dan kawan-kawannya. Kata Mohammad Hatta, “kalau ada orang komunis yang mengatakan ia percaya pada Tuhan, atau seorang muslim mengaku dirinya Marxis, maka ada yang tidak beres padanya.” Maka, “tidak sedikit orang yang tersinggung karena merasa banyak yang tak beres pada dirinya. Tetapi yang tak tersinggung karena tak tahu, lebih banyak lagi .”, kata Tufiq Ismail. Kalimat terakhir Taufiq Ismail itu justeru menjadi kekhawatiran terbesar kita sekarang ini. Lebih banyak yang tidak tersinggung karena tidak tahu. Betapa banyak orang tidak tahu kalau “netral dalam urusan agama” atau “mengharamkan agama dibawa ke ranah politik” berarti sudah kerasukan bibit faham komunis. Malah, mereka yang tidak tahu itu justeru banyak pula aktivis oraganisasi Islam. Banyak juga yang tidak tahu kemudian terhasut. Misalnya, seperti pemberontakan PKI tahun 1927 di Sumatera Barat. Taufiq Ismail mengutip Brackman menggambarkan pemberontakan itu sebagai, “more in the nature of a ‘holy war’ by Islamic zealots than Communist rebellion”. Pemberontakannya malah berciri Islami ketimbang komunis. Karena komunis adalah faham yang berasal dari pengajaran, maka ajaran yang berbau komunis dalam segala bentuknya memang wajib diharamkan. Yang paling dasar, misalnya ajaran yang merendahkan nilai agama atau ketuhanan. Memisahkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, atau ajaran netral agama. Sebab, anggapan ini adalah bagian dari ajaran komunis untuk tumbuh berkembangnya komunis lebih lanjut. Adalah tugas dan kewajiban negara mencerdaskan bangsa. Bukan menjadi kewajiban individu dan keluarga. Melalui pendidikan, baik formal mau pun non formal, pemerintah berkewajiban membangun anak bangsa menjadi insan cerdas. Cerdas yang dimaksud adalah cerdas berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan cita-cita pendirian negara ini. Oleh karena itu, semua materi ajar dan metode yang digunakan harus mampu mengarahkan anak didik pada pembentukan insan yang cerdas ber-Ketuhahan Yang Maha Esa. Secara khusus, mata pelajaran agama harus mendapat perhatian utama untuk senantiasa ditingkatkan kulitasnya. Mengurangi atau bahkan menghilangkan mata peajaran agama di sekolah, dan menyerahkan pendidikan agama kepada keluarga adalah ide yang sangat keliru. Ini dapat dilihat sebagai langkah melepaskan tanggungjawab negara/pemerintah terhadap pembangunan manusia Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, manusia yang bertaqwa. Upaya untuk melepaskan tanggungjawab negara/pemerintah dalam mencerdaskan bangsa berdasarkan Pancasila. Ini sebagai ide buruk mengingkari Pembukaan UUD 1945. Ide menumbuhkan generasi sekuler, generasi yang menjadi lahan subur tumbuh berkembangnya faham komunisme. Selanjutnya, paham komunis harus dilawan. Secara khusus, pendidikan Islam (Dakwah Islamiyah) harus membekali jemaah untuk mampu mematahkan argumentasi kaum komunis. Konstruksi berpikir Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Salallaahu Alaihi Wasallam yang demikian kuat harus dimiliki jemaah, sehingga mampu dengan mudah mematahkan dan membongkar habis pemikiran komunis. Faham dan pemikirankomunis dibangun berdasarkan “Madilog” (material-dialektika- logika). Demikian juga karakter pribadi jemaah harus sampai pada “Inna shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillah Rabbil ‘alamin”. Sehingga tak adalagi jemaah yang berpikir-laku sukuler dan netral agama. Dakwah Islamiyah harus segera keluar dari lingkup kamar mandi (bersuci) dan menakar pahala dan dosa. Dakwah Islamiyah harus segera memenuhi fungsinya memuaskan intelektualitas dan rohani manusia sekaligus. Jangan biarkan ada ruang kosong dalam kehidupan manusia ini, tanpa terisi oleh Islam. Sehingga faham apa pun tidak akan bisa masuk lagi. Wallah a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn & Ketua Komisi di MUI Medan.

Kasihan Pak Prabowo, “Macan Yang Menjadi Beruang Sirkus”

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (27/09). Menteri Pertahanan (Menhan) boleh saja menjadi penting dan bergengsi. Apalagi diisi oleh eks puncak lawan politik. Cocok pula dengan latar belakang profesi sebagai mantan prajurit ketentaraan. Bahasa kerennya profesional, karena sesuai dengan keahlian. Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap, Menhan menjadi salah satu dari triumvirat yang menggantikannya. Juga tentu, terlepas dari kekecewaan para pendukung atas kesiapan Prabowo untuk menjadi menterinya Jokowi. Tetapi yang namanya jabatan, pendukung silahkan saja kecewa. Walaupun demikian, ada rasa kasihan ditinggalkan pendukung. Akan tetapi itu hak politik yang memang tidak bisa dihalangi. Toh segala risikonya sudah dikalkulasi. Apalagi Prabowo dengan surat wasiat yang terbang, dan gebrak-gebrak podium, yang tinggal hanya kenangan seperti macan yang sudah terkurung dalam kandang. Macan yang sudah terkurung di dalam kandang, andai mengaum pun, sekadar lucu-lucuan saja untuk membuat anak-anak tertawa. Sebab tidak juga bisa bebuat apa-apa. Kesangarannya sebagai macan hanya tinggal kenangan. Bahkan bisa menjadi catatan dan tontonan lucu-lucuan. Kini, dengan tidak bermaksud mengecilkan arti pangan bagi kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, namun ada rasa sedih dan duka yang mendalam melihat Pak Prabowo yang tadinya ibarat macan yang ditakuti, ternyata semakin menjadi macan yang dipermainkan. Bahkan berubah menjadi “Beruang Sirkus”. Beruang yang hanya mengikuti atraksi dan maunya tukang sirkus. Tersiar kabar, ada perintah Presiden agar Menhan Prabowo memperkuat ketahanan pangan. Salah satu program utama ketahanan pangan adalah menanam singkong. Akibatnya, masayarakat terpaksa harus menepuk jidat. Tanam singkong dan ketahanan pangan ini tugasnya Menhan atau Menteri Pertanian? Ada yang menjawab, “Oh tidak, pangan itu menjadi bagian penting dari benteng pertahanan lho, sehingga masih dalam ruang lingkup Menhan”. Nah, kalau begitu semua juga masuk dalam ruang lingkup, dan menjadi benteng pertahanan, termasuk urusan sandang dan pangan. Dengan demikian, nantinya Pak Prabowo juga bisa mengurus perumahan, pakaian, dan mungkin juga jalan tol dan pengolahan limbah produksi. Weleh, benar-benar menjadi anggota baru Luhut Binsar Panjaitan dong? Menteri Superman. Ada juga yang menyebut Luhut dengan Menteri Segala Urusan. Inilah kabinet "acak kadut" Menhan ngurus pertanian dan Menko Maritim urus kesehatan. Tetapi nggak aneh juga sih, karena ahli meubel juga ngurus negara ini. Lebih tidak aneh adalah tukang "taik" menjadi Komisaris Utama Pertamina. Negara memang diurus secara asal-asalan. Kasihan Pak Prabowo. Saat masyarakat memprotes rencana pemindahan ibukota, Prabowo diam saja. Reaksi ramai-ramai masyarakat soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Corona dan RUU Omnibus Law juga tak ada komentar. Nah, yang paling ironi ketika penolakan masif terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasil (RUU HIP) Prabowo "not clearly comment" dan "no action". Malah ikut "ngabring" mengantarkan RUU Badan Pembinaan Idewologi Pancasila (BPIP) ke Mbak Puan Maharani. Yang lebih tragis dan mengenaskan lagi, ketika Fraksi Partai Gerindra di Badan Legislasi (Baleg) DPR menjadi salah satu fraksi yang ikut menyetujui draf usulan agar RUU HIP diterima menjadi Hak Usul Inisiatif DPR. Fraksi DPR di Baleg yang menolak hanya PKS dan Demokrat. Sekarang betapa mandul dan tercengkeramnya Pak Menhan. Mulut yang bungkam mungkin "taktik" atau "strategi". Walaupun masyarakat, khususnya eks pendukung, hanya dapat mengurut dada. Tetapi ketika Prabowo menerima penugasan untuk tanam singkong, masyarakat terpaksa tepuk-tepuk jidat. Kata orang Sunda "kieu-kieu teuing" atau kata orang Betawi "gini-gini amat". "Dignity" itu barang mahal yang sulit untuk dilepas. Namun justru ini yang dikhawatirkan telah diserahkan demi kekuasaan. Juga demi jabatan Menhan. Hampir semua Menteri Jokowi menjadi ocehan publik. Ocehan yang menjadi goresan hitam untuk kabinet dan masa depan pribadi. Prabowo tampaknya sudah tak perlu berpikir karier politik. Kini bertekad saja untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat dengan membuat tapak. Mau menjadi Presiden dengan berlindung di bawah ketiak Pak Jokowi adalah keliru. Bagai berada di ruang tipu-tipu. Warisan dari cara dan pola curang dalam menggapai kekuasaan adalah kehinaan yang tiada akhir. Kekuasaan yang didapat dari hasil curang, hanya akan menempatkan diri menjadi musuh rakyat ke depannya. Hal ini sama saja dengan mengejar bayang-bayang kuasa yang sia-sia belaka. Kasihan memang Pak Prabowo. Macan yang berubah berprilaku menjdi “Beruang Sirkus”. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Aneh, Pemerintah Kok Beroposisi Kepada Rakyat?

by Anton Permana Jakarta FNN – Ahad (27/09). Praktek politik seperti ini mungkin baru terjadi di negeri ini. Pemerintah atau penguasa, yang seharusnya menjadi bahagian dari struktur bernegara dan entitas utama dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, justru lebih banyak menghabiskan energinya seolah "berseberangan" dengan rakyatnya sendiri. Ketika negara ini sudah disepakati bersama menjadi Negara berPancasila, ehh tiba-tiba mau diubah menjadi Tri Sila dan Eka Sila. Juga ketika negara ini hidup harmonis tenang dan damai karena mayoritas rakyatnya beragama Islam, ehh tiba-tiba pemerintah sibuk membangun narasi-narasi radikal-radikul, redikel, redikil dan radikol. Tak peduli hal itu menyakiti hati rakyatnya. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Palang Merah Indonesia (PMI), sebagai reseprentasi suara civil society, meminta Pilkada diundur atas nama nyawa, kemanusiaan dan keterpurukan ekonomi, ehh penguasa tetap bersikukuh memaksakan Pilkada tetap berjalan di tengah badai wabah corona yang mematikan ini. Ketika rakyat butuh pekerjaan, ekonomi sulit harga-harga semakin tinggi, dan minyak dunia turun, ehh pemerintah malah bombardir mendatangkan TKA China. Terlihat pemerintah tanpa rasa malu dan keberpihakan terhadap nasib rakyat yang banyak menganggur dan susah hidup. Belum lagi kenaikan iuran BPJS, tarif listrik dan tidak menurunkan harga pejualan BBM di dalam negeri sebagaimana negara lain, yang semakin mencekik kehidupan rakyat yang sekarat. Rakyat juga haus akan nilai keadilan dan penegakan hukum, ehh semua dikotori dengan kasus Tjoko Chandra, Harun Masiku. Malah teror penganiayaan kepada para ulama dan imam masjid yang seolah terjadi biasa-biasa saja. Hari ini harmonisasi kehidupan terasa pahit. Keadilan hukum semakin mahal. Rasa kebersamaan dan persatuan telah dicabik-cabik oleh prilaku penguasa yang semakin tak jelas arah tujuannya mau kemana? Yang jelas, negeri ini semakin rusak parah menuju titik kehancuran. Inilah out put dari kepemimpinan yang dikendalikan oligharki, korporasi dan konglomerasi. Yang dijiwai oleh paham liberalisme dan neo kolonialisme. Ditambah lagi dengan semakin "semena-menanya" para anak keturunan PKI yang menyusup dalam sendi-sendi negara, dan memproduksi aturan serta kebijakan yang menyakitkan hati rakyat. Tidak sedikit yang sebenarnya menabrak berbagai macam aturan hukum. Tapi begitulah. Rakyat hari ini merasa kecolongan. Rakyat hari ini seakan tertipu dengan bahasa manis reformasi. Ternyata, hari ini semua menjadi lebih buruk dan rusak parah. Yang namanya rakyat, pasti akan tetap setia dengan nilai-nilai kebenaran, sesuai yang telah diajarkan dan hidup berkembang dalam kehidupan. Disitulah ada norma, nilai, adat budaya, dan agama. Dimana semua terkristalisasi dengan indah dalam Pancasila dan UUD 1945. Cuma sayang, pondasi indah ini yang saat ini mereka rusak dan langkahi dengan semena-mena. Maka jadilah seolah pemerintah yang beroposisi terhadap rakyatnya. Karena tak pernah lagi bertindak dan bekerja untuk rakyatnya. Semua kalah dan tunduk di bawah ketiak politik kepentingan pribadi dan kelompok golongan. Konstitusi dan aturan hukum yang secara prinsip seharusnya jadi alat untuk mengekang kekuasaan, justru hari ini menjadi alat utamakekuasaan. Bahkan parahnya lagi, aturan hukum dan kekuasaan dijadikan alat untuk mengintimidasi rakyatnya sendiri. Kekuasaan digunakan untuk membunuh kebenaran. Lalu apa bedanya kita hari ini dengan masa penjajahan terdahulu??? Kita tidak tahu sampai kapan ini akan terjadi. Tetapi yakinlah, tidak ada kekuasaan yang bertahan lama kalau terus menekan, menindas, semena-mena dan beroposisi terhadap rakyatnya. Apalagi, kalau kekuasaan itu digunakan untuk merubah total tatanan nilai yang sudah hidup berurat dan berakar bersama rakyatnya turun temurun. Semoga, kondisi buruk hari ini menemukan titik cahaya kebaikan esok atau di kemudian hari. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Negeri ini lahir dan berdiri dari hasil perjuangan rakyat. Sekali khianati dan sakiti rakyat, yakinlah akan ada massanya rakyat bangkit untuk mengambil alih hak dan kedaulatannya kembali secara konstitusional. Ini hanya masalah waktu saja. InsyaAllah. Salam Indonesia Jaya! Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.