NASIONAL
Ahong Yang Nginjak & Ngelunjak
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (03/10). Mobil Toyota Fortuner dengan plat nomer mobil dinas militer sangat viral di Medsos. Masalahnya mobil tersebut ditumpangi oleh warga sipil yang diduga suami istri warga negara "etnis keturunan cina". Terlihat dari profil hasil rekaman kamera hand phone seseorang yang mengaku wartawan. Tentu bukan bermaksud mengangkat aspek etnik, tetapi keadaan ini telah membuat sakit hati warga masyarakat. Netizen di media memberi berbagai komentar yang intinya "Cina nginjak dan ngelunjak". Menginjak pedal gas untuk kabur dan tidak melayani pertanyaan. Siapa dia? Itu mobil dinas yang biasa dipakai siapa? Gejala sosial apa? Tindakan apa yang bisa berefek jera? Akhirnya diketahui juga pengguna mobil Nomor Registrasi (Noreg) 3688-34 tersebut adalah Hendra Winata alias Ahong yang menurut keterangan bahwa Noreg itu sebenarnya telah ditarik oleh Puspomad atas nama Kolonel CPM Bagus Heru yang pensiun tahun 2016 lalu.Mengapa Mobil Dinas militer Noreg 3688-34 yang katanya sudah ditarik masih bisa " berkeliaran"? Memerlukan pengusutan lebih lanjut. Kaitan dengan peristiwa tahun 2016 kita teringat juga tertangkapnya mobil dinas tentara yang dikendarai dan dimiliki oknum etnis cina. Di Jawa Timur, persisnya di Genteng antara Surabaya Banyuwangi. Mobil Noreg 99457 V ternyata pemiliknya adalah Gavin Tjandra Laksana. Kasus ini menguap tak terusut jejaknya. Tentu masih banyak kasus serupa di berbagai daerah, hanya saja karena "tak terekam", maka sipengendara mobil lewat-lewat begitu saja. Entah ada proses atau selesai dengan damai atau sipetugas mendapat telepon dari "atas", lalu sitertangkap dilepas lagi. Urusan yang model memang bisa bervariasi. Satu kesamaan dalam kasus-kasus seperti ini adalah "Cina yang nginjak dan ngelunjak". Kesenjangan sosial antara "etnis keturunan cina" dan "pribumi" cukup tinggi. Sejarah memang telah mencatat cukup lama. Status ekonomi yang timpang menciptakan kecemburuan. Gaya berstatus "tuan" sering menjengkelkan. Eksklusif dan cenderung "menguasai". Dulu ada kebijakan pembauran dalam rangka menghindari perilaku seperti ini. Kini tak ada lagi. Ketika program investasi Cina meningkat, hubungan RI-RRC semakin erat, Partai Komunis Cina (PKC) menginjakkan kaki di Istana. Tenaga Kerja Asing (TKA) Cina datang dan sulit dihadang. Pemilikan tanah sampai ke desa, serta isu komunisme yang menghangat. Maka persoalan "Cina yang nginjak dan ngelunjak" menjadi bertambah rumit. Sentimen etnik dapat bereskalasi. Kejadian ini tentu saja sangat tidak bagus bagi harmoni masyarakat negeri ini yang sangat menghargai perbedaan etnis dan kebhinekaan. Namun yang menjaga sensivitas sosial sesasama warga masyarakat juga sangat diperlukan. Untuk menghindari gesekan dan kecemburuan sosoal yang memang ngata-nyata terbelah akibat perbedaan pendapatan dan penguasaan kue pembangunan. Harus Segera Bertindak Pertama, Polisi Militer TNI Angkatan Darat supaya mengusut terus Hendra Winata. Apa motif dan sanksi pelanggaran? Mengapa plat nomor reg milik Kolonel CPM Bagus Heru ada pada Ahong? Apakah ini modus "pembekingan" atau gaya-gayaan semata? Kedua, pemerintah harus redam emosi dan sentimen publik yang bagai api dalam sekam. Itu dengan kebijakan politik dan hukum yang tidak diskriminatif. Ketiga, pemerintah tinjau ulang pengentalan garis "persahabatan" RI-RRC yang berspektrum ekonomi, politik, dan ideologi. Kembalilah kepada politik luar negeri yang "bebas aktif". Keempat, pemerintah stop impor TKA Cina. Karena disamping menggeser lapangan kerja warga negara sendiri, juga rawan penyusupan tentara atau milisi Cina. Kelima, pemerintah harus lakukan sensus penduduk dan buat peta sebaran etnik. Karena dikhawatirkan ternyata totalitas etnik Cina meningkat tajam. Bhineka Tunggal Ika tidak boleh didalihkan untuk sesuatu yang dapat membahayakan negara. Kasus "tertangkap" kamera yang viral dari tuan Hendra Winata alias Ahong harus dijadikan awal dari pembenahan kebijakan ke depan. Tidak ada lagi perilaku menyakitkan kepada warga dan bangsa Indonesia. Jitaklah "Cina yang nginjak dan ngelunjak". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
KAMI Yang Pancasila Versus Neo PKI
by Anton Permana Jakarta FNN – Sabtu (03/10). Sahsudah! Akhirnya kita semua tahu bahwa yang sedang bertarung saat ini dalam konstalasi politik nasional itu adalah kelompok Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang Pancasila melawan gerombolan Neo Partai Komunis Indonesia (PKI) dan antek-antek budaknya. KAMI bertarung keras melawan gerombolan “Trisila dan Ekasila”. Gerombolan ini juga berjuang untuk mewujudkan Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Bukan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila yang diakui gerombolan akui adalah yang tanggal 1 Juni 1945. Melawan KAMI yang hanya mengakui Pancasila konsensus tanggal 18 Agustus 1945. Kenapa ? Karena hal utama yang dikumandangkan oleh KAMI itu adalah membela Pancasila dan melawan kebangkitan Neo PKI di Indonesia. Seperti gayung bersambut. Sejak dua persoalan itu dikumandangkan dengan lantang oleh Jendral TNI (Purn) Gatot Nurmantio sebagai dewan Presidium KAMI bersama Prof Din Syamsudin dan Prof KH Rachmad Wahab, langsung ada perlawanan keras yang super reaktif dalam menjegal setiap acara KAMI di beberapa kota. Artinya, kalau yang dimusuhi KAMI itu adalah kebangkitan Neo PKI, dan yang dibela KAMI itu adalah kedaulatan bangsa dan Pancasila, maka otomatis yang balik memusuhi dan menyerang KAMI secara sistematis itu adalah pengikut dan antek Neo PKI dan pengkhianat Pancasila. Jelas dan tegas bukan? Tidak hanya itu, macam cacing kepanasan dan uring-uringan. Bermunculan komentar pedas, baik dari para buzzer dan yang katanya tokoh dalam menyerang KAMI dan personalnya. Sangat mirip pola Mao Tse Tung, dedengkot komunis China. Kata Mao, “apabila kamu tidak bisa mematahkan argumentasi musuhmu, maka seranglah pribadinya”. Ketika KAMI mengeluarkan gugatan dan tuntutan, ehh malah dibalas dengan caci maki dan fitnah. Bukannya dijawab dengan klarifikasi atau data akurat lainnya. Ini bertanda, wajah perpolitikan nasional kita hari ini sungguh telah dikotori oleh tangan-tangan biadab dan jahil. Jauh dari norma kesusilaan. Negeri ini seakan kembali lagi pada masa kelam tahun 1960-an, dimana PKI berkuasa. Yaitu, semakin maraknya aktivitas provokasi penuh kebencian dan fitnah terhadap tokoh agama dan TNI. Kalau dulu Buya Hamka, M Natsir, Masyumi menjadi korban. Saat ini lihatlah tak terhitung lagi para ustadz, ulama, Kiyai, dan Habaib yang juga mengalami hal yang hampir serupa. Kalau dulu isunya anti Nasakom kontra revolusi. Maka saat ini isunya radikalisasi dan intoleran. Padahal, para Neo PKI inilah yang super radikal dan super intoleran. Buktinya, pembantaian dan tindakan penjegalan, persekusi, kembali marak terjadi terhadap tokoh ulama. Sikap intoleran seperti sakit hati dan benci terhadap simbol dan peribadatan agama. Benci celana cingkrang dan cadar. Benci pada Habaib dan Ulama yang tidak sejalan. Dan selalu merecoki aktivitas ibadah agama orang lain penuh kedengkian. Begitulah cara asli PKI dulu bekerja tahun 1960-an. Begitu juga selanjutnya, kalau dulu tujuh orang Jendral TNI AD difitnah dan dibunuh dengan sadis di sumur Lubang Buaya, saat ini lihatlah sudah berapa para pensiunan Jendral TNI seperti Pak Mayjend TNI (Purn) Kivlan Zen, Kapt (Purn) Ruslan Buton yang dipenjara dengan alasan hukum. Padahal menurut para pakar hukum, sungguh pasal yang dipakai sangat mengada-ngada. Dan persidangannya pun sedang berjalan meski kita tidak tahu akan berujung kemana. Hari-hari ini dengan mata telanjang, rakyat se-nusantara menyaksikan bagaimana seorang Jendral mantan Panglima TNI yang jasa serta dedikasinya buat negara ini tak diragukan lagi, digelandang dan dipaksa turun dari mimbar saat lagi berbicara. Padahal yang bersangkutan sedang pidato dihadapan para Kiyai dan Ulama di suatu ruangan dengan tetap mengikuti protokol covid-19. Sungguh ini sebuah perbuatan yang tidak pantas. Juga sangat tak beretika, sombong, arogansi dan pelecehan terhadap keluarga besar TNI. Sontak hal ini semakin membakar dan membuat mendidih darah serta jiwa korsa keluarga besar TNI, baik yang aktif maupun yang pensiun. Perbuatan tak beretika ala preman oleh oknum yang seharusnya menjadi penegak hukum ini, juga inskonstitusional. Belum lagi seolah pembiaran kepada aktivitas kelompok bayaran yang mengeluarkan perkataan tidak senonoh, penuh dengan kebencian terhadap Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo. Mungkin tujuannya sengaja mempermalukan Jendral Gatot, dan memberikan shock terapi. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Sikap kenegarawan Jendral Gatot berakibat pada banjirnya simpati dari rakyat. Persekusi terhadap Jendral Gator justru semakin menyulut gelombang perlawanan rakyat. Ditandai dengan banyaknya Jendral dan purnawirawan turun gunung merapatkan barisan bersama KAMI. Pertanyaannya, kalau mereka pendemo bayaran itu mengaku taat hukum dan nasionalis, mengapa tidak menggunakan cara yang sedikit lebih beradab. Tidak dengan gaya yang arogan kepada Jendral GN yang sudah pensiun. Kalau mengaku peduli pada bangsa ini, kemana mereka ketika Pancasila mau diganti? Dimana mereka ketika TKA China membanjiri negeri ini? Korupsi dimana-mana. narkoba meraja lela, dan penanganan covid-19 oleh negara yang amburadul dan amatiran? Dengan kejadian ini, kita semua dapat menyimpulkan bahwa, KAMI yang Pancasila telah berhasil memancing keluar para kelompok Neo PKI dari sarangnya. Keluar dari ketiak kekuasaan. Neo PKI saat ini adalah ancaman nyata terhadap keutuhan bangsa ini. Neo PKI bagaikan duri dan racun dari tubuh bangsa yang saat ini kembali mendapatkan momentum untuk melanjutkan perjuangan ideologi orang tua mereka, yaitu menjadikan Indonesia menjadi negara berhaluan komunis. Dengan segala cara, berupaya mengganti Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Kehutanan yang berkebudayaan Semakin terang benderang semuanya saat ini. KAMI Pancasila yang mencoba melakukan gerakan moral, menyadarkan bangsa ini akan ancaman bahaya Neo PKI, kini mendapatkan serangan balasan berupa intimidasi, persekusi, teror, caci maki hingga fitnah yang luar biasa dari kelompok Neo PKI. Walaupun kelompok Neo PKI mendapatkan dukungan penuh dari China dan pusat kekuasaan. Saat ini, saya yakin, KAMI yang Pancasila bersama rakyat dan TNI tidak akan gentar. Tidak akan membiarkan dan merelakan negara ini dihancurkan dan diubah menjadi berhaluan komunis. Perang itu sudah mulai dan juga mulai terbuka. Neo PKI semakin berani dan merasa di atas angin, karena mendapat dukungan dari kekuasaan. Mereka yakin bakal kebal hukum. Bukti dan contohnya sudah banyak kita saksikan secara kasat mata. Bahkan telanjang mata. Tapi yakinlah, rakyat khususnya umat Islam tidak akan diam. TNI sebagai komponen utama dan lahir dari rakyat juga pasti tidak akan diam. Semua menunggu waktu. NKRI harga mati. Pancasila sudah final dan mengikat. Komunisme haram hukumnya hidup lagi di Indonesia. Sekarang kita mau pilih yang mana. Bergabung bersama KAMI yang Pancasila??? Atau bersama Neo PKI??? Semua bebas memilih. Dan ingat, semua tentu juga akan ada resiko dan konsekuensinya. Bangun dan berjuang, atau punah? Pancasila atau Komunis? Salam Indonesia Jaya! Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.
KAMI Dipersekusi, Tanda Imun Penguasa Bermasalah
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (02/10). Tanggal 18 Agustus Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) deklarasi di Tugu Proklamasi. Disambut dengan deklarasi di berbagai daerah. Lebih dari sebulan, dukungan ke KAMI terus mengalir. Permintaan deklarasi tak pernah berhenti. Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, NTB, bahkan luar negeri. Dukungan provinsi dan kabupaten/kota juga semakin rapat. Melihat perkembangan KAMI yang begitu masif, rupanya ada pihak yang khawatir, bahkan panik nggak karuan. Siapa mereka? Sebut saja penguasa yang panik. Cirinya sangat jelas dan sangat gamblang! Biar ini jadi sarana komunikasi yang dialogis. Ada pandangan yang berbeda antara KAMI dengan penguasa. Penguasa bilang “negara ini sedang baik-baik saja”. KAMI berpendapat ”negara sedang sakit”. Demokrasinya sakit, hukumnya sakit, ekonominya sakit, politiknya sakit dan banyak penyakit lainnya. Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ingat Harun Masiku, Novel Baswedan, Djoko Djandra dan perubahan UU KPK. Bicara aparat, teringat operasi mereka di pilpres 2019 lalu. Bicara ekonomi, sekarang anjlok, sudah minus -5,32? Resesi ekonomi yang di depan mata mengingatkan pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Tenaga Kerja Asing (TKA) China. Bertambah jumlah pengangguran dan orang-orang miskin. Bicara demokrasi, teringat banyak persekusi. Ini masalah, kata KAMI. Jadi, jangan pura-pura nggak ada masalah. KAMI lahir sebagai tuntutan tanggung jawab kebangsaan untuk membantu pemerintah menyelamatkan negeri dari berbagai masalah itu. Yang penting, pemerintah jujur, apa adanya. Jangan ditutup-tutupi. Jangan ada dusta diantara kita. KAMI lahir sebagai gerakan moral. Penguasa saja yang menganggap itu gerakan politik. Bukan memperbaiki, tetapi malah mau mengamputasi. Oh ya? Ngeri kali bahasanya. Bergantung penyakitnya. Kalau diare, perlu diobati. Tapi, kalau diabet, dan sebagian anggota tubuh sudah membusuk, dokter biasanya menyarankan untuk diamputasi. Maksudnya? Ini bicara medis lho. Tapi, teori medis sering pula berlaku di dunia sosial dan politik. Karena dianggap sebagai gerakan politik, maka penguasa merasa ini perlu diantisipasi. Takutnya, gerakan ini akan melakukan upaya amputasi. Satu sisi, berkumpul, berorganisasi dan menyatakan pendapat itu hak yang dilindungi konstitusi. Di sisi lain, menguatnya organisasi bisa jadi ancaman bagi penguasa yang sedang dililit masalah pandemi dan resesi ekonomi. KAMI, gerakan yang dipimpin oleh dua tokoh organisasi terbesar NU-Muhammadiyah, yaitu Din Syamsudin dan Rachmat Wahab. Dibantu oleh Gatot Nurmantyo dari mantan militer, semakin hari semakin kuat karena semakin besarnya dukungan. Sementara penguasa makin melemah karena pandemi covid-19 yang tak ditangani secara tepat membuat semakin sulit situasi ekonomi. Dilarang. Padahal deklarasi KAMI itu bagian dari hak berekspresi yang dilindungi konstitusi. Dibiarkan, makin menghantui. Posisi ini yang menyulitkan bagi penguasa. Maka, terjadilah kepanikan. Adanya kepanikan menunjukkan ketidakmampuan penguasa membangun komunikasi yang baik dengan pihak-pihak yang dianggap berseberangan. Termasuk dengan KAMI. Penguasa merasa huebaaattts Selama ini, penguasa merasa sangat kuat. Cukup percaya diri. Semua resources masih normal dan dibawah kendali. Instrumen kekuasaan ada di genggaman, dan bisa dimanfaatkan kapan saja untuk melakukan penekanan-penekanan. Pukul sana pukul sini, itu biasa saja. Upaya persekusi dengan cara "nabok nyilih tangan" hanya efektif jika dilakukan oleh penguasa, ketika masih dalam kondisi sangat kuat. Orla dan Orba melakukan yang sama ketika itu. Tepatnya, represi terhadap oposisi. Tetapi keduanya jatuh ketika ekonomi terpuruk. Ingat dan fahami itu baik-baik. Saat ini, kita bicara tentang ekonomi yang semakin terpuruk. Semua menyadarinya. Ini artinya, imun penguasa sedang rentan. Jika tak mampu menahan krisis, maka upaya persekusi dan tindakan represi akan menjadi senjata makan tuan. Menyerang balik di saat imun betul-betul melemah, karena dihajar krisis ekonomi. Situasi ini memungkinkan terjadinya amputasi. Beda jika penguasa melihat KAMI sebagai gerakan moral. Dirangkul dan diberi ruang untuk berdiskusi dan berekspresi. Tak ada persekusi. Tentu, ini akan menentramkan situasi. Sayangnya, selalu ada persekusi di setiap KAMI mengadakan deklarasi. Di Bandung dipersekusi. Di Surabaya, NTB, bahkan di Jakarta, terus terjadi persekusi. Sudahlah, rakyat juga tidak bodoh. Siapa pemain dibalik peristiwa persekusi terhadap deklarasi KAMI. Rakyat sudah tahu. Bahkan kuntilanak dan genderuwo juga tahu. Rakyat tahu siapa dibalik penusukan ulama, imam masjid dan perusakan mushalla. Rakyat tahu itu. Nggak usah menuduh PKI. Tidak! Itu kerja Intel. Peristiwanya berulang dan polanya sama. Gampang dikenali dan diidentifikasi. Tidak satu kejadian, tetapi banyak kejadian. Tidak satu tempat, tetapi banyak tempat. Waktunya berdekatan. Polanya sama dan sebangun. Itu kerja dan operasi orang-orang profesional. Kerjanya intel melayu. Mereka yang kendalikan gerombolan berbayar dan orang gila mendadak. Untungnya, KAMI nggak terpancing, meski terus diprovokasi. Ini sikap matang yang harus terus, dan mampu ditunjukkan oleh KAMI. Supaya publik tetap melihat bahwa KAMI betul-betul gerakan moral. Bukan gerakan politik. Bukan pula gerakan makar. Sekali terpancing, ada dasar hukum untuk membubarkan KAMI, dan menangkap para tokohnya. Ini pola lama yang sudah baku. Hampir setiap rezim yang lama berkuasa melakukan pola seperti ini. Tindakan represi dan praktek persekusi adalah bagian yang akan menguji ketahanan dan ketangguhan KAMI. Mampukah imun KAMI tetap bertahan di tengah lautan persekusi itu? Jika mampu, maka KAMI tidak saja akan terus berlimpah simpati, tetapi mampu menyiapkan diri jika "secara alamiah" jika terjadi proses amputasi nanti. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
KAMI Kebanjiran Kerkah Playing Victim Dari Penguasa
by Dr. Masri Sitanggang Medan FNN – Jum’at (02/10). Dihujani opini negatip, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) malah berlimpah simpati. Inilah dua hal yang membuat KAMI disambut dan sekaligus membuat penguasa gusar nggak karuan. Akankah Penguasa bertindak elegan? We are at the point of no return. Menyusul deklarasi KAMI Surabaya dan dukungan Purnawiran TNI pada acara Tabur Bunga di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata yang dipersekusi, Muldoko Kamis (1 Oktober 2020) mengeluarkan pernyataan bernada ancaman. Kepala Staf Presiden, yang menjelang Pilpres 2019 lalu menyerukan perang total melawan pasangan Capres/Cawapres 02, itu memperingatkan KAMI untuk menyampaikan aspirasinya lewat jalur hukum. Entahlah, apa Muldoko menganggap berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat di muka umum serta berkirim surat ke DPR RI seperti yang telah dilakaukan KAMI, dianggap tidak sesuai dengan hukum. Bagaimana cara Moeldoko memahami masalah hukum, terlihat enah dan amatiran. Luar biasa KAMI. Sejak dideklarasikan 18 Agustus 2020 lalu, KAMI tidak henti dihujani fitnah, cerca dan umpatan. Dinarasikan, malah didiskripsikan, seolah KAMI adalah kumpulan orang-orang yang sakit hati karena terlempar dari kekuasaan. Orang-orang yang ingin merebut kekauasaan. Kumpulan orang-orang yang penya kepentingan. Antek Orde Baru yang ingin come back dan lain-lain lagi, yang pada pokoknya menggambarkan KAMI itu jelek dan sejenisnya. Sepertinya kian terang bahwa, kutup demokrasi di negeri ini berangsur berubah. Dalam demokrasi yang sehat, kutup itu adalah pemerintah/penguasa di satu sisi, dan partai oposisi serta pers dan perangkat lainnya di sisi lain. Kini, kutub itu akan berubah menjadi pemerintah/penguasa di satu sisi dan KAMI di sisi lain. Ini terjadi karena partai-partai dan pers mainstream sudah berasa bagian dari penguasa. Hebatnya lagi, yang jadi oposisi sepertinya justeru adalah pemerintah, bukan KAMI. Wajar, memang, penguasa merasa gusar. Soalnya, KAMI lahir di saat-saat penguasa sudah merasa berada di zona nyaman. Ibarat berkenderaan, penguasa sudah merasa di jalan arteri. Jalan ringkas mencapai tujuan tanpa hambatan. Tinggal tancap gas saja. Partai-partai bukan lagi halangan. Malah sudah menjadi tenaga pendorong sehingga kenderaan memiliki mesin turbo. Kalau pun ada hambatan, diperkirakan itu tak lebih dari sobekan kertas di tepi jalan yang akan melayang diterpa angin kencang kenderaan. Itulah sebabnya DPR RI dan pemerintah, yang kita sebut saja sama-sama sebagai penguasa, sangat percaya diri untuk tidak menghiraukan suara yang minta penghentian pembahasan atau judicial review sejumlah RUU/UU yang tidak berpihak pada rakyat . Misalnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Perppu Nomor 1/2020 yang telah menjadi UU Nomor 2/2020. Aada juga Minerba, RUU HIP, RUU BIP dan lain-lain. Bahklan Majelis Ulama se-Indonesia (MUI) yang berteriak keras menolak RUU HIP dan RUU BIP, dianggap angin lalu saja. Menyedihkan memang, di negara yang mayoritas Islam, lembaga Ulama tidak digubris. Tetapi, itulah kenyataannya. Malah, sudah ada yang berani coba melempar ide untuk membubarkan lembaga itu dengan nada melecehkan kekuasaan. KAMI hadir untuk maksud meluruskan kiblat berbangsa yang dinilai sudah melenceng. Kiblat bangsa yang dimaksud adalah cita-cita dan tujuan bernegara sesuai dengan UUD 1945 yang diberlakukan berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Apa saja yang telah melenceng? Seberapa jauh melencengnya? Dituangkan dengan jelas dalam Maklumat KAMI. Termasuk dalam Maklumat tersebut adalah delapan tuntutan. Maklumat itu pun telah pula dikirimkan ke para pemegang kekuasaan di negerei ini. Hebatnya, meski bukan organisasi struktural, dari sejak akan dideklarisika, koalisi yang dibidani antara lain oleh Din Syamsuddinini, MS Kaban, Ahmad Yani, Abdullah Hehamahua, Syahganda Nainggolan, Marwan Batubara. Kemudian merangkul Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantio dan KH Rokhmat Wahab, Rocky Gerung serta sejumlah aktivis ini, sudah mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Sambutan masyarakat ini sangat mungkin karena setidaknya dua hal. Pertama, deklarator KAMI dikenal sebagai orang yang relative dapat dipercaya mewakili pikiran masyarakat. Mewakili kelompok Islam dan bukan Islam. Tokohnya mewakili kelompok dari arus utama Islam Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Ada juga kelompok sipil dan TNI (Purnawirawan), kelompok intlektual dan berbagai profesi. Dengan demikian, KAMI tepat menyandang Gerakan Moral. Kedua, apa yang dituangkan dalam Maklumat Menyelamatkan Indonesia, secara khusus delapan tuntutan yang ditujukan kepada pengelola negara, senada dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan rakyat. Artinya, delapan tuntutan KAMI itu dirasakan rakyat persis mewakili tuntutan mereka. Dengan demikian, delapan tuntuntan KAMI itu bisa disebut PANTURA (Delapan Tuntutan Rakyat). Begitulah sehingga pertumbuhan dan dukungan terhadap KAMI serasa mengejutkan. Tanpa ada yang mengarah-arahkan, tanpa ada yang mendorong-dorong. Tapa pula ada aliran dana, namun berbagai daerah berebut deklarasi dan menyatakan dukungan. Kalau saja ini oraganisasi struktural biasa dan formal, tentulah untuk membentuk kepengurusan sampai ke tingklat Kabupaten/kota di seluruh Indonesia, memerlukan waktu bertahun-tahun. Juga biaya yang tidak sedikit. Tapi KAMI tumbuh dari hati dan jiwa rakyat, sehingga segalanya di luar kebiasaan. Boleh jadi dua hal itu pula yang menimbulkan kegusaran bagi penguasa. KAMI dianggap sebagai sebuah kekuatan yang muncul di luar dugaan. Sekaligus juga sulit dikendalikan. KAMI menjadi penghalang bagi arah dan laju kenderaan yang sedang dipacu. Setidaknya, kelahiran KAMI menyadarkan penguasa bahwa mereka tidak lagi sedang berada di jalan arteri tanpa hambatan. Penguasa mencoba menyingkirkan KAMI. Caranya, itu tadi, labelisasi KAMI dengan yang jelek-jelek. Ada pula upaya-upaya melahirkan “KAMI” tandingan ,dengan narasi dukungan kepada penguasa dan mengecam KAMI Gerakan Moral yang di deklarisikan di tugu proklamasi. Lebih dari itu, ada upaya-upaya yang terasa dirancang untuk melakukan persekusi terhadap kegiatan KAMI di daerah-daerah. Moeldoko sudah pula bersuara sedikit mengancam. Tetapi ini sungguh di luar dugaan. Tindakan-indakan upaya “menyingkirkan” itu bukannya megecilkan KAMI. Malah sebaliknya membesarkan KAMI. Akibatnya, KAMI semakin populer dan menuai banjir simpati dan dukungan. Sepertinya KAMI sedang kebanjiran berkah playing victim dari penguasa. Permintaaan deklarasi sudah hamper meliputi semua Kabupaten/Kota. Entahlah, apakah “oposisi” terhadap KAMI ini satu saat nanti berubah jadi tindakan repressif penguasa. KSP Moeldoko yang tahu persis. Tapi jika ini terjadi, negara ini akan hancur sehancur-hancurnya. Percayalah ! KAMI telah menjadi gerakan kekuatan rakyat yang dahsyat. Menurut hematku, penguasa negeri ini harus memiliki political will untuk mendengar suara rakyat. Cuma itu yang bisa menghindari kekacauan negeri ini. Penguasa harus tampil elegan. Menghadapi gerakan moral KAMI, penguasa harus menunjukkan sikap lebih bermoral. Dengan demikian, moral penguasa berada di atas moral KAMI. Jangan melontarkan pernyataan-pernyataan atau melakukan tindakan yang justeru menunjukkan rendahnya moralitas penguasa. Adalah elegan bila penguasa menjawab secara akademis dan melakukan tindakan praktis berkenaan dengan PANTURA. Mendengar, mendiskusikan pandangan dan memenuhi aspirasi rakyat, tidaklah akan menjatuhkan wibawa penguasa. Itu justeru meningkatkan moralitas penguasa, meningkatkan trust rakyat kepada penguasa serta menumbuhkuatkan dukungan terhadap penguasa. Bukankah pemerintah (penguasa) ini diamanahkan konstitusi untuk melindungi segenap tumbah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan serta keadilan sosial ? Bagaimana pemerintah dapat mengukur apakah tugas itu sudah dijalankan dengan baik? Atau malah sudah menyimpang kalau tidak mendengar jeritan rakyatnya? Suara rakyat itu telah dituangkan dalam bentuk PANTURA (Delapan Tuntutan Rakyat). Mendengar PANTURA adalah tindakan penguasa yang elegan dan bermoral tinggi. Itu kalau pemerintah memang bermaksud berkeja untuk rakyat. Kalau bekerja untuk kepentingan yang lain, aku tidak punya jawaban. Tetapi KAMI sudah menentukan sikap, “we are at the point of no return”. KAMI berada pada posisi yang tidak ada tempat untuk kembali. KAMI datang bukan untuk pulang! Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn & Ketua Komisi di MUI Medan.
Waspada Terhadap PKI Itu Positif & Harus! (Bagian-1)
Tulisan ini hanyalah pendapat pribadi. Tidak mewakili siapa-siapa dan lembaga apapun. Boleh saja setuju, dan boleh juga tidak setuju. Maaf kalau agak panjang, sehingga dibagi menjadi dua tulisan! by Shamsi Ali Al-Kajangi New York City FNN – Jum’at (02/10). Setiap tanggal 30 September, dikenang sebagai salah satu hari kelam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sebab di hari itulah banyak Jenderal, tokoh bangsa dan agama yang dibunuh oleh kelompok orang berideologi Komunisme. Mereka tergabung dalam sebuah partai yang disebut PKI atau Partai Komunis Indonesia. Saya tidak perlu lagi membahas siapa dan apa itu PKI, ideologi dan agendanya. Karena saya yakin semua anak bangsa yang memiliki kepedulian pasti sudah tahu. Juga paham dan sadar akan apa yang pernah terjadi dengan PKI di negeri ini. Yang ingin saya sampaikan hanya sebuah kewaspadaan (al-hadzar). Sikap yang harusnya terbangun oleh setiap putra-putrì bangsa. Bahwa ada masa, dimana peristiwa kelam itu boleh saja terulang kembali. Sebab sejarah kerap terulang, walau dalam warna dan bentuk yang berbeda. Masihkah & Perlukah Diwaspadai? Ada sebagian yang mengatakan bahwa isu PKI atau faham komunisme harusnya tidak lagi perlu dibahas atau diributkan. Beberapa alasan yang disampaikan, antara lain, bahwa ideologi Komunisme telah selesai (berakhir). Komunis itu sudah mati terkubur. Dengan ambruknya Uni Soviet, seolah paham komunisme juga telah runtuh. Bahkan dengan perubahan konstalasi dunia, dimana Rusia dan Amerika dengan aliansi Uni Eropa mengakhiri perang dingin, juga berarti ideologi Komunis telah berakhir. China yang dikenal sebagai negara Komunis juga ternyata mengalami “shifting” atau pergeseran dari komunisme kepada paham yang nampaknya lebih dominan secara kapitalisme dan liberalisme. China semakin membuka diri secara ekonomi. Perkiraan di atas nampaknya terlalu menyederhanakan permasalahan. Karena sesungguhnya isu Komunis dalam konteks Indonesia tidak harusnya selalu dikaitkan dengan Rusia atau China. Tapi memiliki tendensi pemikiran dan karakternya sendiri. Selain itu, ideologi itu adalah faham atau pemikiran yang mempengaruhi karakter. Karenanya ideologi tidak selalu bubar dengan bubarnya sebuah institusi, termasuk organisasi atau negara. Begitu juga dengan PKI dan faham komunisme di Indonesia. Ideologi atau faham biasanya akan nampak melalui gejala-gejala (symptoms) yang kemudian berkembang dalam bentuk karakter dan aksi. Gejala ini terkadang sangat halus, sering menipu, bahkan tidak jarang dibungkus oleh teori-teori atau konsep-konsep yang menawan dan membuai. Saya jadi teringat kenapa Menteri Agama begitu “obsessed” dengan isu radikal? Tentu karena ada gejala-gejala, yang boleh jadi dicurigai sebagai gejala-gejala radikalisme. Sehingga berdasarkan gejala itu sang Menteri kemudian menghembuskan isu “radikal” agar terbangun kewaspadaan. Masalahnya kemudian, kenapa ketika isu PKI dihembuskan berdasarkan gejala-gejala untuk membangun kewaspadaan, justeru dituduh “mengganggu” bahkan membahayakan pemerintahan? Sehingga usaha-usaha mereka yang mengingatkan bangsa ini untuk waspada dihalangi di mana-mana. Saya menilai ini prilaku paradoks dari kekuasaan. Saya justeru khawtir jika prilaku “unfair” ini justeru menjadi bagian dari symptom yang ada. Semoga saja saya salah. Perlakuan “ketidak adilan” (unfair treatment) kekuasaan itu juga terlihat dalam menyikapi kelompok-kelompok yang dianggap mengancam negara atau ideologi negara. Salah satunya sebagai misal adalah kelompok dan jamaah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saya melihat ada sikap yang berbeda dari kekuasaan dalam menyikapi kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman itu. Ada yang ditindak dan dibumi hanguskan. Tapi ada yang seolah dirangkul dan dilindungi. Pilitik belah babmbu yang diterapkan. Tentu semua ini semakin membangun kecurigaan itu. Pastinya menjadikan Umat Islam semakin meningkatkan kewaspada. Kenapa ancaman yang dikaitkan dengan agama begitu dibenci? Sementara ancaman ideologi yang anti agama seolah hal yang biasa saja. Bahkan serasa mendapat perlindungan. Saya khawatir sekali lagi, jangan-jangan ini jadi bagian dari symptom itu. Gejala-Gejala itu... Sebuah gejala tentunya bukankah kesimpulan, sampai masanya bisa dibuktikan. Gejala hanya jembatan menju kepada realita. Karenanya sikap yang dibangun bukanlah “konklusi” (kesimpulan). Tetapi sekali lagi, lebih kepada membangun kewaspadaan. Sebagai ilustrasi saja. Jika saat ini saya terbang kembali ke Indonesia, pastinya setiba di bandara Soekarno Hatta suhu badan saya akan dicek. Kalau ternyata temperatur badan saya lebih dari normal, maka berarti saya ada “gejala” Covid. Tapi tingginya suhu badan itu belum tentu sebagai sebuah “kesimpulan” jika saya positif Covid. Namun demikian karena suhu badan tadi, maka wajar saja kalau saya dikarantina hingga ada pembuktian jika saya negatif atau memang postif Covid. Disinilah urgensi kewaspadaan terhadap gejala-gejala PKI dan faham komunisme itu. Karena dari gejala itulah nantinya akan nampak (terbukti) apa benar atau tidak benar jika memang PKI menggeliat di negeri ini. (bersambung) Penulis adalah Diaspora Indonesia di Amerika Serikat.
Ganggu Tabur Bunga Purnawirawan
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (02/10). Kasus kericuhan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata pada 30 September 2020 sore saat acara ziarah dan tabur bunga Purnawirawan TNI ini tidak mungkin tanpa disain. Aksi demo yang "menolak" sudah dapat diduga sebagai buatan, bayaran, dan teror. Pantas dan wajar jika aksi pelecehan seperti ini mendapat perlawanan. Untuk itu, baik peserta aksi demo maupun pembuat aksi semestinya ditindak oleh aparat Kepolisian. Tetapi selalu saja terkesan seperti dibiarkan. Sehingga wajar bila ada yang beranggapan bahwa, aksi ini bagian dari rekayasa penguasa untuk menekan dan menghalang-halangi tokoh-tokoh oposisi. Melihat kejadian di TMP Kalimata ini, kening jedi berkerut dengan seratus pertanyaan. Pemerintah sedang bermainkah? Betapa kasar permainannya. Jika model seperti ini masuk kategori operasi intelijen, maka betapa tidak cerdiknya operasi itu. Selera intelijen yang rendah, dan sangat tidak bermutu. Para purnawirawan TNI akhirnya turun gunung melakukan aksi moral. Purnawirawan adalah hati dan cermin dari TNI aktif yang masih terikat oleh disiplin komando. Fenomena kegelisahan ini semestinya ditangkap dengan sepenuh jiwa. karena kondisi ini tidak biasanya. Selain ulama, santri, dan aktivis Islam, maka TNI adalah sasaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan faham Komunisme. Kepekaan elemen ini cukup tinggi terhadap ancaman dan bahaya Neo PKI dan faham Komunisme. Oleh karenanya agenda ziarah dan tabur bunga pada tanggal 30 September ini menjadi sinyal dari kepekaan yang tinggi tersebut. Pemerintahan Jokowi semestinya memahami perasaan "old soldiers" yang sedang mengunggah memori anak-anak yang mencintai negeri ini dari bahaya dan ancaman Neo PKI dan faham Komunisme. Bukan malah sebaliknya, memberikan angin segar dan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya Neo PKI dan faham Komunisme yang mengancam ideologi Pancasila. Gagasan diajukannya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) adalah bukti nyata bahwa Neo PKI dan faham Komunisme itu ada dan nyata. Bukan fitnah dan mengarang bebas. Tragisnya, pemerintah Jokowi malah memberikan penguatan dengan mengajukan RUU Ban Pembinaan Ideologi Pancasila (BIP). Ini lebih ngawur dan ngaco. Ketika kasus laporan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) atas Muhammad Said Didu, maka dukungan Purnawirawan TNI kepada Didu yang biasa disapa Mosad mengalir deras. Demikian juga saat Ruslan Buton ditangkap, dan terlebih lebih lagi saat peradilan Mayjen TNI (Purn.) Kivlan Zen. Dukungan luar biasa dari ribuan Purnawirawan TNI, diantaranya ratusan mantan Pati memberi dukungan tertulis. Fenomena turun gunung para Purnawirawan TNI ini menjadi peristiwa politik yang menarik. Karena menggambarkan kegelusahan mereka yang dalam terhadap teta kelola negara yang kacau-balau, amatiran dan amburadul. Mantan Panglima TNI Jendaral TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo yang bersedia menjadi salah satu Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) adalah sebuah kejutan. KAMI sebuah gerakan yang sangat kritis terhadap penyelenggaraan negara pimpinan Presiden Jokowi. Gatot tentu tidak sendirian. Ada banyak barisan Purnawirawan di belakangnya. Aksi Purnawirawan di berbagai even tidak bisa dianggap lalu. Disamping wujud kekecewaan atas peran terlalu besar "angkatan" Kepolisian, dan pengecilan TNI pasca pemisahan, juga hal ini menjadi suara keras gerakan moral dan patriotisme. Arah pengelolaan negara dinilai telah jauh melenceng jauh. Kalau ibarat kapal, arah kapal melenceng jauh dari tujuan akan dituju. Negara juga sudah melenceng dari cita-cita dan tujuan bernegara sesuai perintah kontitusi Pembukaan UUD 1945. Bukan lagi untuki melindungi segenap bangsa tumpah darah Indonesia. Tetapi melindungi kepentinga para oligarki, korporasi dan konglomerat licik, picik, busuk dan tamak. Sikap Purnawirawan adalah hati dan cermin dari TNI aktif yang masih terikat oleh disiplin komando. Komando yang kadang dibelenggu oleh permainan politik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Din-Rachmat, Sinergi Muhammadiyah-NU di KAMI
by Tony Rosyid Jakarta FNN- Jum’at (02/10). Dua tokoh besar Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) tampil memimpin Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia0 (KAMI). Mereka adalah Din Syamsudin dan Rachmat Wahab. Keduanya Guru Besar di dua perguruan tinggi ternama negeri ini. Din Syamsudin Guru Besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Sedangkan Rachmat Wahab Guru Besar di Universitas Negeri Jogyakarta (UNY). Kedua tokoh Muhammadiyah dan NU ini didaulat menjadi Presidium KAMI. Dibantu tokoh dari mantan militer yaitu Gatot Nurmantyo. Muhammadiyah adalah organisasi terbesar kedua setelah NU. Meski kedua tokoh ini tidak secara resmi mewakili organisasi masing-masing, namun representasi dan pengaruhnya tidak bisa diabaikan. Keduanya mempunyai nama besar. Baik di Muhammadiyah maupun NU. Jika tokoh Muhammadiyah dan NU sudah bersatu dalam langkah yang sama, maka dukungan mayoritas rakyat lebih mudah untuk diperoleh. Sejarah mencatat kemenangan Gus Dur di sidang MPR 1999 atas Megawati setelah tokoh Muhammadiyah yaitu Amien Rais memberikan dukungan kepada Gus Dur. Padahal, nama Gus Dur nggak muncul dari awal sebagai Capres. Bersatunya NU dan Muhammadiyah dalam gerakan moral dan juga politik termasuk barang langka dalam sejarah negeri ini. Sebab, keduanya memang bukan partai politik. Terutama sejak NU kembali ke Khittoh tahun 1984. Masing-masing ormas besar ini punya lahan sosial dan garapan pendidikan yang berbeda. Namun pada kondisi tertentu, para tokoh kedua Oraganisasi Kemasyarakatn (Ormas) ini bisa saja bersatu. Misalnya, untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. NU menggarap masyarakat pedesaan dan pendidikan tradisional. Muhammadiyah lebih terkonsentrasi pada masyarakat perkotaan dan pendidikan modern. Selain menggarap juga bidang kesehatan. melalui rumah sakit. Semacam bagi-bagi tugas. Namun, di dalam KAMI, dua tokoh Muhammadiyah dan NU bersatu di garda terdepan. Memimpin gerakan moral, meski harus berhadap-hadapan dengan penguasa. Mirip di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jika ketuanya dari NU, maka sekjen dari Muhammadiyah. Begitu juga sebaliknya. Bersatunya unsur NU-Muhammadiyah di KAMI, mesti diwakili oleh para tokoh non struktural, akan memberi harapan bahwa gerakan KAMI ke depan punya potensi besar. Selama ini, susahnya menyatukan NU-Muhammadiyah dalam satu paket (kebersamaan) gerakan moral, karena adanya faktor psikologis yang disebabkan oleh perbedaan paham keagamaan dan ritual diantara mereka. Ketika kedua tokoh ormas besar ini bersatu, lenyap semua sekat-sekat itu. Inilah diantara faktor yang membuat penguasa cukup panik. Penguasa tentu saja tidak senang, kalau tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU bersama dalam gerakan moral yang beroposisi kepada yang sedang berkuasa. Dalam banyak peristiwa politik, kedua ormas ini seringkali sengaja dibenturkan satu dengan yang lain. Terutama jelang pemilu. Pelakunya adalah para politisi. Sebut saja "politisi busuk". Isunya selalu soal paham keagamaan, mazhab dan ritual. Klasik! Meski klasik, tapi seringkali efektif. Di KAMI, keduanya menyatu. Tak ada isu yang bisa membenturkannya. Isu Islam kanan, nggak mempan. Isu radikalisme dan Khilafah, juga nggak ngefek. Muhammadiyah dan NU dikenal ormas moderat. Nggak ke kanan, apalagi radikal. Isu Khilafah itu bukan khas NU dan Muhammadiyah. Jika di Surabaya Senin kemarin (28/9) demo menolak KAMI karena dianggap mengusung faham khilafah, itu tandanya para pendemo bangun kesiangan. Baru siuman. Sementara tuduhan kepada KAMI sebagai barisan sakit hati, itu salah sasaran. Nggak akan mempan juga. Sebab, Din Syamsudin dan Rachmat Wahab tak terlibat aktif di politik, terutama pilpres 2019. Anda mau nuduh kedua tokoh ini punya ambisi jadi presiden? Makin ngaco dan ngawur! Mereka lebih cocok sebagai bapak bangsa. Bukan politisi, apalagi agen dan broker politik. Mereka adalah berdua itu organisatoris, guru besar, akademisi, ilmuwan dan agamawan yang dalam pikiran mereka berdua hanya ingin bangsa ini selamat. Titik! Tidak lebih. Nggak ada keinginan lain kecuali hanya itu. Bersyukur KAMI lahir di tengah bangsa yang sedang carut-marut, berantakan dan amburadul begini. Bersyukur juga KAMI mendapatkan sosok pemimpin seperti Din Syamsudin dan Rachmat Wahab. Sosok yang berintegritas dan punya kapasitas. Karena itu, tak berlebihan jika mereka berdua dianggap telah merepresentasikan suara mayoritas rakyat Indonesia. Selamat berjuang, semoga di tangan dua sosok ini, KAMI mampu memberi arah bangsa yang lebih jelas dan terukur. Selamat dari gelombang masalah akibat kedunguan para nahkodanya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Selamat Hari Kesaktian Pencasila, "Suatu Saat Indonesia Akan Jaya"
Bangsa Indonesia kini sedang mendapatkan ujian dari Allah Sunhanahu Wa Ta'ala. Covid-19 semakin memporak-porandakan ekonomi nasional. Untungnya, ujian itu tidak hanya menimpa negara yang berdasarkan Pancasila ini. by Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - Kamis (1/10). Jayalah Negeriku. Jayalah Indonesiaku. Walaupun saat ini sedang carut-marut, akibat Corona Virus Disaesa 2019 (Covid-19), ditambah lagi pemerintahan yang carut-marut dalam menangani berbagai masalah ekonomi, sosial, kesehatan, hukum dan politik, saya percaya, suatu waktu Indonesia akan jaya, dan diperhitungkan kembali di kancah internasional. Saya percaya Indonesia akan bangkit dari keterpurukan. Pengorbanan para pahlawan kemerdekaan, pahlawan revolusi, dan pahlawan reformasi kelak tidak akan sia-sia. Kelak Indonesia akan menjadi macan Asia yang siap mengaum ke seluruh dunia. Ekonomi sudah terasa merosot dalam 5 tahun pertama pemerintahan Joko Widodo- M.Jusuf Kalla. Janji pertumbuhan ekonomi 7% per tahun dalam kampanyenya tahun 2014 tidak pernah tercapai. Jangankan 7%, 6% pun tidak tercapai. Akibatnya, daya beli masyarakat merosot. Saya yang juga ikut bermain di sektor kecil-kecilan, turut merasakannya. Penjualan tahun 2018 turun 50% lebih dibanding penjualan tahun 2019. Banyak yang mengeluh omset turun terus. Apalagi di masa Covid-19 ini. Dalam 5 tahun pertama itu (2014 sampai 2019), mungkin ada sektor yang tumbuh, bertahan, dan turun. Tapi, umumnya turun. Banyak kios dan toko di mal yang tutup. Katanya karena online. Tapi, pengaruh online masih sangat kecil. Buktinya, tidak hanya kios yang tutup, tetapi juga sejumlah gerai mini market dan tempat perbelanjaan modern banyak yang tutup. Sebut saja berapa banyak gerai Matahari, Robinson, Indomart, Alfamart yang tutup. Belum lagi toko-toko di pinggir jalan, banyak yang tutup. Bangsa Indonesia kini sedang mendapatkan ujian dari Allah Sunhanahu Wa Ta'ala. Covid-19 semakin memporak-porandakan ekonomi nasional. Untungnya, ujian itu tidak hanya menimpa negara yang berdasarkan Pancasila ini. Semua negara ikut meraskannya. Jepang yang merupakan negara maju misalnya, sudah mengalami pertumbuhan ekonomi minus 2,2% dalam dua semester pertama tahun ini (Januari sampai Juni). Demikian juga Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan Eropa, sudah menjerit. Ekonomi di kawasan Timur Tengah juga 'oleng', karena di masa Covid-19 ini harga minyak dunia terjun bebas. Padahal, pengasilan utama negara-negara kawasan ini adalah minyak. Pun juga di sejumlah negara Afrika yang mengandalkan sumber pendapatan dari minyak bumi. Di kawasan Asia jelas sudah terasa, seperti yang dialami Jepang. Singapura yang mengandalkan perekonomian dari sektor jasa, hampir saja bangkrut. Negara-negara anggota ASEAN merasakan tekanan ekonomi yang sangat dalam, meski tingkat tekanannya berbeda antara negara yang satu dengan lainnya. Indonesia diperkirakan mendapatkan tekanan berat. Perkiraan ekonomi Indonesia tahun 2020 ini yang diproyeksikan minis 0 sampai 2 persen akan berdampak lama dalam pemulihannya. Tahun 2021, merupakan masa sulit. Pemerintah memproyeksikan ekonomi tumbuh 5 persen tahun depan. Akan tetapi, proyeksi itu terlalu ambisius, terlalu manis buat menghibur rakyatnya. Semua berharap Covid-19 segera berlalu. Semua berharap ekonomi membaik. Akan tetapi menyodorkan angka 5 persen, itu terlalu.muluk-muluk, terlalu gombal dan terlalu membual . Sebab, jika tidak tercapai, sebagian masyarakat akan berkata miring, "Pemerintah berbohong." Saya lebih cenderung pada pertumbuhan angka 3 sampai 4 persen tahun depan. Angka itu pun masih terlalu optimis. Mungkin yang realistis adalah 2,5 sampai 3,5 persen. Lebih baik proyeksi pemerintah dalam kondisi sekarang di bawah 5 persen. Katakanlah 4 persen. Kalau kenyataannya lebih dari 4 persen koma sekian, atau bisa 5 persen, itu sebuah prestasi. Akan tetapi, jika proyeksi 5 persen, dan kenyataan akhir yang diperoleh di bawah angk itu, pemerintah akan menjadi bulan-bulanan pengamat dan menjadi tambahan sumber ketidakpercayasns sebagia besar rakyat. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Rezim PKI Kah?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (30/09). Rakyat dan umat Islam harus sudah mulai waspada. Bahkan mulai bersiap-siap dengan serius untuk menghadapi kebangkitan Partai Komusnis Indonesia PKI dan faham komunis. Persoalan bangsa dan negara tidak bisa dianggap enteng. Pernyataan petinggi negara bahwa PKI tidak ada. PKI sudah dilarang. Komunisme telah bangkrut atau narasi serupa lainnya, justru merupakan sinyal bahwa PKI memang ada dan siap bangkit. Untuk itu, semua langkah dan upaya antisipasi harus dilakan, dan disiapkan sejak sekarang. Negara dan pemerintah ini, tidak bisa terlalu diharapkan untuk berbuat menghalangi dan mencegah bangkit dan penyebaran PKI model baru dan faham komunis. Masyarakat, khususnya umat Islam yang harus bergerak dan betindak sejak sekarang. Konsolidasi ke arah itu, seharusnya dimulai dari sekarang. Jangan menunggu, sebab bisa kecolongan. PKI dan faham komunisme munculnya di lingkaran Pemerintah. Tersebar di Parlemen, serta menyusup di organisasi kemasyarakatan. PKI dan faham komunisme adalah sebutan untuk mereka yang anti agama, sekuler, pembela PKI, serta pendukung penggerusan ideologi Pancasila 18 Agustus 1945. Tentu saja sangat bodoh bila menganggap PKI itu hanya semata-mata partainya Diva Nusantara Aidit. PKI kini adalah pengelompokan diri faham yang selalu menyebut agama itu radikal dan intoleran. Ciri dan karakter mereka itu, anti terhadap kritik dan menjadi penjilat utama penguasa. Kasus acara Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Surabaya, yang bukan hanya dihalang-halang, tetapi juga dibubarkan. Lalu tokoh anti PKI Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo digiring keluar menjadi petunjuk bahwa PKI mulai beraksi. Aparat kepolisian pun nampaknya tidak sadar berada dalam pusaran permainan mereka. Meskipun telah terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi manusia (HAM), yakni dengan melanggar Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Namun arapat seperti sengaja, bahkan mebiarkan peristiwa itu terjadi di depan mata. Tadak ada upaya dari aparat untuk mencegahnya. Ini sangat tragis. Namun tidak membuat KAMI surut. Malah semakin mantap maju Aksi aksi tandingan di luar gedung ,yang dibiarkan adalah paru arit, arogansi dan pembunuhan moral bangsa. Modus kejahatan baru. Jawa Timur telah mendeklarasikan munculnya PKI. Dan akan ada susulan deklarasi PKI-PKI yang lain. Keberadaan KAMI rupanya menjadi even bagi PKI untuk keluar dari kandang npersembunyian. Meraka mulai terbuka, bahkan terang-terangan. Tidak lagi sembunyi-sembunyi. Nah, kalau sudah begini, Rezim diam atau terlibat? Pertanyaan yang sama saat terjadi peristiwa G 30 S PKI pada tahun 1965. Apakah PKI itu sendirian atas pembunuhan para Jenderal TNI ? Atau ada dalang lain yang turut menyertai PKI? Faktanya adalah bahwa PKI itu pandai menyusup dan mempengaruhi pusat kekuasaan, termasuk dengan mudah mempengaruhi Presiden Soekarno. PKI pandai menipu hingga Soekarno harus berpidato "aku berkata PKI, jo sanak ku, jo kadangku, jen mati aku melu kelangan" (tepuk tangan). Saking hebatnya PKI mempengaruhi Soekarno, sampai partai agama Masyumi pun bisa dibubarkan. Hampir saja Himpinan Mahasisw Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII) turut dibubarkan. Pada bulan Mei berakrab-akrab ria, namun bulan September PKI beraksi. Para perwira Tinggi TNI diculik dan dibunuh. Kita tidak boleh menuduh Rezim Jokowi terkait dengan PKI. Akan tetapi bolehlah kita sebagai rakyat Indonesia menanti sikap rezim yang tegas untuk mengingatkan rakyat akan bahaya PKI dan Komunisme? Tidak cukup dengan sekedar menunjuk pada aturan pelarangan. Karena terbukti aturan itu pernah diabaikan bahkan hendak dicabut. PKI dan faham komunisme tetap merupakan bahaya laten bangsa. Rakyat khususnya umat Islam melihat PKI dan Komunisme sebagai musuh yang bengis dan jahat. Mati lebih terhormat daripada membiarkan PKI dan faham komunisme bangkit dan hidup kembali di negeri ini. Apakah Pemerintah juga melihat dengan pandangan yang sama ? Semoga saja. Amin. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Din Syamsudin Dan Nasib KAMI Kedepan
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis 930/09). Bicara Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) tidak lepas dari sosok kharismatik Ini. Namanya Din Syamsudin. Secara historis, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini termasuk paling awal (Assaabiquunal Awwaluun) yang merintis gerakan ini sebelum akhirnya nama KAMI lahir. Semula ada sembilan tokoh. Yang belakangan dikenal dengan sembilan tokoh oposisi. Yaitu Din Syamsudin, Habib Rizieq, Abdullah Hehamahua, Emha Ainun Najib, Rizal Ramli, Refly Harun, Rocky Gerung, Kiyai Najih Maemoen dan Said Didu. Kepada sembilan tokoh ini, Din Syamsudin merajutnya. Melakukan komunikasi intens untuk menyamakan visi dan langkah. Rapat perdana dan ini akan jadi sejarah KAMI, diadakan di rumah Rizal Ramli. Lima dari sembilan tokoh hadir dalam rapat sangat terbatas itu. Membahas gerakan moral ini. Sekali lagi, gerakan moral. Bukan gerakan politik. Karena KAMI ini dilahirkan sebagai gerakan moral. Bukan menjadi lokomotif untuk politik praktis. Apalagi partai politik. Tidak! Dalam perkembangannya, tokoh-tokoh lain untuk ikut bergabung. KAMI adalah organisasi terbuka. Bagi siapa saja yang cinta negeri dan tanah air ini diberi ruang untuk bergabung. Termasuk para agen intelijen yang ingin belajar moral. Syaratnya satu, “punya visi menyelamatkan masa depan Indonesia”. Belakangan, nama KAMI ditempelkan di gerakan ini. Dan sekarang sedang populer. Nama KAMI berawal dari usulan Abdullah Hehamahua. Hasil ijtihad berbulan-bulan mantan Ketua Umum PB HMI dan penasehat KPK ini diterima secara aklamasi. Dalam perkembangannya, KAMI membesar. Rakyat menyambutnya dengan sangat antusias. Merasa mempunyai kendaraan untuk menyuarakan kebenaran secara bersama-sama. Mesti tetap harus menghadapi hambatan dan sejumlah persekusi. Semakin dihambat dan banyak persekusi, KAMI akan makin dikenal dan membesar. Semakin susah dibendung. Performence Din Syamsudin yang humble dan penuh senyum membuat KAMI relatif mudah masuk ke hati rakyat. Sikap dan senyum yang natural. Ini penting berkaitan dengan psikologi publik. Pengalaman organisasi dan kemampuan intelektual Guru Besar UIN Jakarta ini diyakini mampu membawa KAMI untuk hadir tidak saja elegan, tapi efektif sebagai sebuah gerakan moral. Din Syamsudin tidak sendiri. Belakangan ada sejumlah tokoh yang ikut bergabung. Diantaranya adalah Rachmat Wahab dari Nahdatul Ulama (NU) garis lurus, Syahganda Nainggolan, dan Gatot Nurmantyo dari militer. Bersama Din Syamsudin, keduanya didaulat sebagai Presidium. Presidium ini diback up oleh tokoh-tokoh besar. Sebut saja Abdullah Hehamahua, Bachtiar Nasir, Refly Harun, Said Didu, Rocky Gerung, Chusnul Mar'iyah, Kiyai Abdurrasyid Syafi'i Profesor Anthony Budiawan, Ikhsanudin Noersy, Edwin Sukawati dan banyak lagi. Meski Emha Ainun Najib, Rizal Ramli, Kiai Najih Maemoen, Sobri Lubis (Ketua FPI), Yusuf Martak (Ketua GNPF), Selamet Ma'arif (Ketua PS 212) tidak berada di dalam struktur KAMI, mereka tetap mendukung, selama KAMI konsisten menjadi gerakan moral. Dengan pola gerakan yang soft dan komposisi para tokoh yang cukup ideal ini, Din Syamsudin cs, telah sukses membawa gerbong KAMI diterima oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Tugas berikutnya adalah bagaimana KAMI ini mampu mengfungsikan dirinya lebih efektif di tengah berbagai krisis yang sedang dialami oleh bangsa ini. Ini pekerjaan tidak ringan. Selama ini, KAMI on the track sebagai gerakan moral. Menjadi kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat dan membahayakan nasib masa depan bangsa. Tidak hanya sampai disitu, Din Syamsuddin cs atas nama KAMI juga memberikan data, hasil riset dan terobosan solusi untuk perbaikan bangsa ke depan. Di tengah kegagalan pemerintah yang begitu sering dalam menghadapi problem bangsa, dan kebebalannya dalam merespon setiap masukan rakyat, akankah menggoda KAMI yang dikomandoi Din Syamsudin cs ini untuk merubah pola gerakannya? Apalagi jika krisis ekonomi berkepanjangan dan telah menciptakan gejolak sosial, maka godaan politik akan sangat kuat. Apalagi, jaringan KAMI di daerah sudah makin meluas. Ini akan jadi ujian moral bagi Din Syamsudin dan seluruh anggota KAMI. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.