NASIONAL
Catatan Belasan Tahun Bersama Tokoh & Kader PKI (Bagian-1)
by Sudirman Timsar Zubil Jakarta FNN – Selasa (22/09). Sejak ditangkap dan ditahan Laksus Pangkopkamtibda Sumatera Utara pada tengah malam menjelang Shububh, tanggal 17 Januari 1977 aku mulai bersentuhan dengan kader dan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Ini disebabkan kami ditempatkan di tahanan yang sama dengan para kader dan tokoh PKI. Saya bersama-sama dengan kader dan tokoh PKI sejak dari Satgas Intel di Jalan Gandhi Medan, sampai ke Inrehab. Terakhir di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Lapas Kls I Tanjung Gusta Medan pada tahun 1986 hingga aku dibebaskan oleh Presiden B.J. Habibie pada 5 Januari 1999. Jadi, kebersamaanku dengan mereka selama 22 tahun kurang 15 hari. Mungkin dikarenakan aku divonis dengan pidana mati oleh PN Medan, para kader dan tokoh PKI yang sama-sama ditahan denganku tidak merasa khawatir untuk bicara terbuka kepadaku. Tentu bisa menjadi buku yang cukup tebal bila aku menuliskan semua "catatan batin" selama berinteraksi dengan mereka. Namun, aku hanya menorehkan secercah dari catatan batin mereka. Catatan yang aku kupikir dan kurasa relevan dengan situasi dan kondisi di tanah air saat ini. Dimana gonjang-ganjing kebangkitan kembali PKI begitu heboh di hampir semua media. Ada yang membenarkan dan ada pula yang menafikannya. Aku menegaskan di awal tulisan ini dengan menyatakan bahwa, PKI memang berusaha untuk kembali bangkit. Dasar atau alasan saya menyatakan seperti itu sebagai berikut. Pertama, pernyataan Kolonel Maliki, mantan Komandan Brigif (?) Kodam II Bukit Barisan, sekarang Kodam I Bukit Barisan. Ketika kami berdialog, aku bertanya kepada Kolonel Maliki. Kenapa Bapak memilih ditangkap padahal pada waktu itu pasukan Brigif di bawah komando Bapak? “Inilah gara-gara mengikuti cakap si Aidit, tunggu perintah Bung Karno baru bergerak". Keterangan pak Maliki itu merupakan bukti bagiku bahwa PKI dan tentara binaannya Kolonel Untung, dan lain-lain adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Tidak bisa dikatakan bahwa gerakan Kolonel Untung menculik dan membunuh para Jenderal di Lubang Buaya sebagai persoalan internal TNI/AD semata. Kedua, ketika bincang-bincang dengan pak Tamat, kader PKI yang tidak divonis tapi menjalani masa tahanan cukup lama (belasan tahun) beliau mengeluarkan uneg-unegnya kepadaku. Dia dan kawan-kawannya (istilah mereka menyebut sesama mereka dengan sebutan "kawan") sangat benci dan dendam kepada TNI/AD terutama kepada Suharto yang menumpas PKI sampai ke akar-akarnya. Antara lain katanya "...sekarang kami tidak bisa bikin apa-apa. Tetapi nanti ada saatnya kami akan balas semua yang dibikin mereka kepada kami. Sekarang kami sudah masuk (infiltrasi) ke mana-mana. Sudah ada yang Ormas, Parpol, Angkatan di dalam ABRI, termasuk Polisi dan lain-lain. Mendengar keterangan pak Tamat itu aku membatin di hatiku, "mimpi aja lah terus..." Akan tetapi melihat keadaan serta apa yang terjadi sekarang, ternyata pak Tamat bukan bermimpi. Apa yang diucapkannya ketika itu hampir terbukti semua menjadi kenyataan bahwa, sepertinya mereka telah ada di mana-mana. Masuk pada semua lini kehidupan berbangsa. Dengan senyap maupun dengan arogan meraka tampil penuh percaya diri. Sehingga menjadi aneh jika orang-orang pintar mengatakan PKI sudah mati tidak mungkin hidup kembali. Jadinya benar, kata Prof Din Syamsudin bahwa yang bilang komunis tak mungkin bangkit lagi, sesungguhnya komunis itu sendiri. Oleh karena itu saya ingatkan kepada kita semua, terutama generasi muda. Untuk tidak boleh terlena oleh ucapan yang seolah-olah meremehkan PKI. Namun sesungguhnya ucapan-ucapan seperti itu hanya untuk meredam gejolak kewaspadaan masyarakat, terutama umat Islam yang tersentak sadar melihat indikasi kebangkitan PKI memang begitu nyata. Apalagi penulis buku "Aku bangga jadi anak PKI", secara terbuka menyatakan bahwa anak cucu PKI sudah berjumlah 20 juta orang. Ditambah dengan kedatangan Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Cina dengan perwakan militer dalam jumlah begitu besar yang diperkirakan ratusan ribu atau sudah jutaan itu? Alhamdulillah pengalaman selama belasan tahun di penjara dan kenyataan hari ini telah membangunkan kesadaran tentang ancaman bahaya komunis, meski tidak lagi bernama PKI. Ketiga, Pak Isnanto adalah temanku bermain catur, dan juga teman dialog yang kritis. Beliau mengaku sebagai anggota CC PKI yang dipindahtugaskan dari daerah asalnya, Solo. Kata beliau, tugasnya adalah membina para pejabat dari semua lapisan yang mendukung atau bersimpati pada PKI. Pak Isnanto divonis hukuman mati. Permohonan grasinya telah ditolak oleh Presiden Suharto. Artinya, tinggal menanti pelaksanaan eksekusi. Beliau adalah kader dan tokoh PKI sejati. Namun, dalam setahun beliau mau juga ikut shalat yaitu, shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Bulan Ramadhan ikut shaum, tetapi alasannya untuk kesehatan. Bukan untuk ibadah. Yang penting dari kusampaikan tentang Pak Isnanto ini adalah militansia beliau. Meski dalam keadaan menanti dieksekusi mati, beliau masih bisa menjawab komentar dan pertanyaanku dengan tegas. Tanpa sedikitpun tampak kebimbangan pada Pak Isnanto. Aku bilang padanya begini, "... komunis terbukti telah gagal di dalam menyejahterakan umat manusia. Uni Sovyet bubar berantakan, begitu pula Eropa Timur, dan simbol yang fenomenal, Tembok Berlin, juga telah rubuh". Dengan enteng dan tenangnya Pak Isnanto berkata, "biasa, mundur selangkah untuk maju seribu langkah lagi" Itu membuktikan bahwa PKI sebagai organisasi (partai) memang telah mati atau dibubarkan. Akan tetapi komunis sebagai ideologi tetap hidup di jiwa penganut-penganut setianya. Mereka tetap setia dan bergelirya semua semua lini kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Aku salut dengan militansinya Pak Isnanto. Tetapi beliau tidak kalah salut kepadaku. Itu dikarenakan aku minta "laksanakan segera eksekusi mati, dan saya minta laksanakan di depan umum". Permintaan itu aku sampaikan kepada hakim ketua majelis yang juga Ketua PN Medan, Koeswandi SH, ketika menjawab pertanyaannya. Apakah aku menerima, atau banding? Atau akan meminta grasi atas vonis hukuman mati) yang baru saja dibacakannya? Pak Isnanto semakin hormat kepadaku. Apalagi setelah aku menyelamatkannya terlebih dahulu dari napi yang lain, dengan cara membuka pintu kamar dan mengeluarkannya dari kamarnya yang terkunci. Itu terjadi ketika peristiwa Iwan Dukun yang tewas terbakar di kamarnya yang dikuncinya sendiri untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan-lawannya. Eksekusi terhadap Pak Isnanto tidak terlaksana karena, beliau termasuk yang turut dibebaskan oleh Presiden B.J. Habibie. Semoga ALLAH ampuni dosanya dan ditempatkan pada tempat yang terbaik di alam sana. Aamiin aamiin dan aamiin... (bersambung). Penulis adalah Mantan Napi Yang Divonis Hukuman Mati.
Prasiden Nekad Pilkada, Untuk Apa?
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Selasa (22/09). Apakah jiwa dan hati terhenyak? Atau memang sudah membeku dan membatu. Jiwa dan hati sudah kering-kerontang. Hilang empati terhadap nasib rakyat. Bernafsu untuk berkuasa sebagai Walikota Solo dan Medan telah menyumpal cahaya bening pada jiwa yang seharusnya menjadi pelindung atas keselamatan rakyat. Ada tabir hitam apa yang telah menggumpal dan membelenggu jiwa yang seharusnya bening tersebut? Bukankah fakta bahwa orang-orang terbaik negeri ini banyak yang telah meninggal saat negara membutuhkan mereka? Negara telah abai dan gagal untuk menyelamatkan mereka. Karena sejak awal pemerintah menganggap enteng persoalan pandemi Covid-19. Kini, lebih dari 180 tenaga medis yang meninggal dunia. Dari jumlah itu 119 diantaranya adalah para dokter. Lebih dari 9.600 rakyat Indonesia meninggal dalam 6 bulan terakhir. Senin 21 September, yang positif Covid-19 dalam sehari mencapai 4.176 orang. Angka yang sangat fantastis. Berdasarkan data Satgas Covid-19 tertanggal 21 September 2020, sebanyak 27 orang positif di Markas Komando Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres). Ini sebagai akibat, selama enam bulan terakhir, pemerintah lebih fokus selamatkan ekonomi. Ratusan triliun uang rakyat dipakai untuk selamatkan ekonomi. Namun hasilnya, ekonomi tetap ambruk minus -5,3 % (Kemenkeu,2020). Virus Corona terus menyebar ke semua provinsi. Korbanya kebanyakan rakyat jelata. Kini ada bupati, sekretaris daerah, ketua KPU, bahkan menteri bertambah yang positif Covid-19. Tata kelola negara makin tidak efektif, disfungsional, tumpang tindih tugas, sering buat gaduh, dan lemah koordinasi. Coba kita tengok kapabilitas Republik ini mengatasi pandemi covid-19 seperti apa? Ternyata hanya ada enam provinsi yang sesuai standar WHO. Dengan jumlah penduduk 260 juta lebih, kita hanya mempunyai 232 laboratorium untuk RT-PCR, 80 laboratorium untuk TCM, dan 31 laboratorium untuk semua jenis tes (Kemenkes,2020). Kapasitas testing Covid-19 di Indonesia masih sangat rendah. Bahkan lebih rendah dibandingkan dengan Nepal. Hanya bisa melakukan 10.660 tes per satu juta populasi. Sementara Nepal mampu lakukan 30.932 tes per satu juta populasi. Kapasitas testing antar wilayah kita juga timpang. Tenaga medis makin terbatas. Soal disiplin warga? Jangan tanya soal ini. Sebab di kota-kota besar yang notabene tingkat pendidikanya cukup tinggi saja masih susah untuk disiplin. Apalagi yang di daerah. Mereka berdalih New Normal sesuai dengan anjuran Presiden, berdamai dengan Corona. Dalam situasi seperti itu, kita disuguhkan dengan tontonan besarnya hasrat dan syahwat untuk berkuasa melalui kontestasi Pilkada. Padahal belum ada simulasi utuh tentang kesiapan KPU menyelenggarakan Pilkada dalam situasi pandemi. Yang jelas dalam pilkada tahun ini dinasti politik makin semarak. Ada juga legitimasi dari yang berkuasa di Istana. Karena bangga memberi contoh. Sebagaimana diketahui bersama, ada 270 daerah yang akan selenggarakan Pilkada. Dari jumlah tersebut, 9 Pilkada Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota. Akan ada sekitar 106 juta lebih pemilih yang terlibat. Mereka akan mendatangi TPS di hari pemilihan. Orang-orang baik sudah mengingatkan, tak kurang dari ormas terbesar NU dan Muhammadiyah ikut bicara. Minta agar Pilkada 2020 ditunda beberapa bulan, sampai pandemi covid-19 mereda. Kelompok oposisi gerakan moral sepeti Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) juga sudah mengingatkan pemerintah dengan suara yang sama. Para intelektual, ahli pandemi, dan akademisi tak bosan-bosannya mewanti-wanti pemerintah terkait penundaan Pilkada 2020. Demi menyelamatkan sumber daya manusia Indonesia. Mereka semua mengingatkan betapa bahayanya Pilkada dilakukan di tengah pandemi covid-19 yang sudah mencapai tahap darurat dan sangat menghawatirkan. Jika nalar sudah berteriak, hati sudah menjerit, rakyat sudah menangis, tak juga didengar oleh tuan-tuan pendamba kekuasaan, maka apa yang disebut Machiaveli dalam II Principe (1513) sebagai pengabaian moralitas dalam kekuasaan adalah empirik di negeri ini. Lalu, untuk apa Pilkada diadakan di tengah situasi pandemi yang menghawatirkan ini? Apa sudah tidak sabar lagi ingin melihat anak dan menantunya berkuasa menjadi Walikota Solo dan Medan? Atau... Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta.
“Perlawanan” Pak JK
by Zainal Bintang Jakarta FNN – Senin (21/09). Wakil Presiden dua kali JK (Jusuf Kalla) melakukan “perlawanan”. Begitu pesan yang saya terima melalui WhatsApp dari teman-teman aktifis “civil society” (masyarakat sipil). "Saya kira KPU harus membikin syarat-syarat berkumpul atau apa. Kalau terjadi pelanggaran syarat-syarat, katakanlah kampanye hanya 50 (orang), tetapi terjadi 200 (orang). Kalau terjadi kecenderungan itu, ya lebih baik dipertimbangkan kembali waktunya," kata JK di sela-sela acara donor darah di gedung BPMJ Polda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (19/09/20). JK yang akrab dipanggil Daeng Ucu, hari ini, kini, mau merepresentasikan sosok dirinya sebagai tokoh bangsa yang “pedulian” . Pak JK yang tidak kenal diam. “JK tidak ada matinya”, begitu tertulis di WhatsApp tentang diri Daeng Ucu. Seperti diketahui, JK meminta keselamatan dan kesehatan masyarakat lebih diutamakan pada kondisi saat ini. Berbekal “senjata” dobel lop, yakni sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) dan Dewan Mesjid Indonesia, JK memang tidak kenal istirahat. Dua jabatan pada lembaga sosial kemanusiaan dan religius itu merupakan sumber oksigen dan imunitasnya untuk terus menyuarakan “perlawanan” itu. Dengan logat yang khas Bugisnya, mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan era Presiden Gus Dur itu, menghimbau agar Pilkada Serentak ditunda dulu hingga vaksin virus Corona ditemukan. Kalau memang sulit, dan ternyata susah untuk mencegah perkumpulan orang hanya 50 sesuai aturan yang dikeluarkan oleh masing-masing gubernur, lebih manfaat ke masyarakat itu bisa ditunda pilkada. "Saya sarankan ditunda dulu sampai beberapa bulan. Sampai dengan vaksinnya ditemukan. Kalau vaksin ditemukan nanti, langsung menurun itu", ujarnya. Subuah keinginan yang mulia untuk lebih mengutamkan kesahatan dan keselamatan masyarakat. JK tidak sendiri bersuara serupa. Ada Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Titik Anggraeni (Perludem), Gubernur Banten Wahidin Halim, Wakil Ketua Komite I DPD RI Ir H Djafar Alkatiri, Tim Pemantau Pilkada 2020 Komnas HAM, Hairansyah dan pakar Pemilu Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim dan belakangan menyusul Prof. K.H Said Aqil Siroj (PBNU). Pada umumnya tokoh-tokoh itu sepakat agar Pilkada 2020 ditunda! Setelah viral berita itu, jutaan orang yang mendukung saran JK itu meramaikan lalu lintas percakapan dunia maya di media sosial (medsos). Bagaimanapun gawe itu melibatkan 105 juta orang pemilih. Dikhawatirkan akan timbul klaster baru, karena setiap TPS ada 500 orang pemilih. “Perlawanan” Daeng Ucu menarik perhatian publik secara luas. Tepat ketika masyarakat saat ini merasa kurang sreg dengan berbagai kebijakan pemerintah. Yang kalau tidak tumpang-tindih, malah saling tabrakan. Tepat waktu ketika masyarakat sedang memerlukan kepedulian “civil society” yang belakangan ini serasa menyusut. Kegesitan Daeng Ucu bergerak kesana-kemari membuat keberadaan dan kiprah Wapres Maruf Amin dipertanyakan. “Yang menjabat malah pasif. Tapi yang mantan kok malah super aktif”? begitu isi pesan WhatsApp menyentil. Entah siapa yang dimaksud? Ada yang mempertanyakan, kemana perginya kelincahan Maruf Amin? Kiayai yang sangat menonjol ketika menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa yang ditandatanganinya telah menyeret Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) ke pengadilan, dan berujung dalam penjara di Mako Brimob, dengan dakwaan penistaan agama. Menarik menelusuri pernyataan JK yang dianggap “berhadap-hadapan” dengan negara. Muncul tepat ditengah banjir protes dan luapan kecemasan masyarakat. Pemandangan akhir-akhir ini menunjukkan tingginya angka korban pasien postif Covid 19. Masyarakat meminta pelaksanaan Pilkada serentak yang ditetapkan 9 Desember 2020 diutunda! Kasus positif virus corona (Covid-19) di Indonesia per Sabtu (19/09/20) bertambah 4.168 orang, sehingga total kasus positif di Indonesia mencapai 240.687 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 174.350 orang dinyatakan telah sembuh dan 9.448 meninggal dunia. Penambahan kasus positif itu merupakan rekor tertinggi harian sejak awal kasus Covid 19 muncul di Indonesia pada 02 Maret 2020. Sebelumnya, rekor tercipta pada 16 September 2020 dengan 3.963 kasus. Memecahkan rekor sebelumnya pada 10 September dengan jumlah 3.861 kasus. Sejak pertengahan Maret yang lalu, ketika itu wabah corona (Covid 9) masih kecil baru mencapai 172 orang dan meninggal dunia 7 orang, JK sudah mewanti-wanti pemerintah supaya lebih serius. Bukan tidak mungkin, jumlahnya jauh lebih besar di lapangan karena banyaknya yang belum terdeteksi. “Indonesia seharusnya lebih menggencarkan pendeteksian Covid 19 kepada masyarakat, agar angka yang tercatat lebih banyak lagi”, kata JK. Jalan fikiran JK sebagai Ketua PMI kini, dibaca masyarakat lebih dominan berorientasi kepada faktor kesehatan, alias keselamatan nyawa manusia. Menarik, karena darah saudagar yang kental dalam diri mantan Menko Kesra Presiden Megawati itu bisa dikalahkan oleh tanggung jawab pada kemanusiaan. Lebih dari enam bulan sudah berlalu, negara ini gonjang-ganjing mengurus penanggulangan kekacauan tatanan kehidupan ekonomi dan kesehatan akibat serangan wabah virus Covid 19. Pemerintah boleh dikata telah jatuh bangun bekerja keras mencari jalan terbaik. Mungkinkah langkah “nekat” JK yang melakukan “perlawanan” dengan mengonsolidasi potensi internal di non negara akan berhasil? Paling tidak mampu memberi secercah harapan ketenangan kepada masyarakat plus mengurangi kegamangan dan kegugupan aparat negara yang terlihat terkadang seperti kebingungan dan terkesan hampir kehabisan akal. Jangan salah disalahfahami. Yang dimaknai dengan istilah “perlawanan” dalam konteks JK adalah terhadap progresifitas penyebaran wabah virus Covid 19. Manver JK memang menarik. Sebagai mantan Wapres yang cukup setahun meninggalkan Istana, dipastikan mempunyai jaringan informasi “bawah tanah” yang up to date tentang suasana kebatinan elite-elite Istana itu sekarang. Sebagai alumnus pemerintahan pertama kabinet Jokowi, sebaliknya diyakini JK memiliki sejumlah informasi yang akurat tentan “jeroan” Istana. Inilah yang membedakan JK secara kualitatif dengan pemimpin masyarakat sipil yang belum pernah punya pengalaman di pemerintahan selengkap JK. Berdasarkan penelusuran media, teriakan JK nampaknya telah merebut perhatian publik maupun elite. Diperkirakan terdorong oleh dua hal. Pertama, dipengaruhi rasa percaya diri JK yang bergerak secara independen tanpa sumber daya negara. Yang kedua, lantaran kepasifan Maruf Amin yang tidak terlihat ada geliatnya. Padahal sumber daya negara sangat besar dan banyak di tangannya. Ada juga yang berharap “perlawanan” JK mampu menggelinding menjadi faktor pemotivasi gerakan “civil society” agar mereka lebih percaya diri. Meskipun tanpa topangan sumber daya negara, mereka tetap konsisten menjalankan peran kritisnya. Mengontrol perjalanan pemerintahan agar tetap di atas koridor konstitusi sesuai dengan amanat proklamasi. Kasus Covid 19 ini dapat dibaca dari perspektif yang lain. Dapat menjadi panggung “perlawanan” JK terhadap adanya sejumlah tuduhan miring yang menganggapnya selama ia menjadi Wapres dua kali. Dia lebih banyak membesarkan kerajaan bisnisnya dan keluarganya. Publik sedang menanti-nanti, apakah “perlawanan” JK dapat menjadi pintu masuk terkonsolidasinya kekuatan masyarakat sipil yang masih berserak-serak tanpa sentral komando? Sivil Socisty yang dibawah sebuah komando “ideologi” kebangsaan yang konsisten berkomitmen kepada keutuhan NKRI. Penulis adalahWartawan Senior & Pemerhati Sosial Budaya.
PDIP Tak Fahami Manajemen Krisis Birokrasi Pemda
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Senin (21/09). Sekretaris Jendral (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto yang ngotot Pilkada Serentak 2020 harus tetap diselenggarakan tahun ini. Alasan Harto akan menciptakan ketidakpastian politik. Selain itu, konsekuensinya daerah dipimpin Palaksana Tugas (Plt) adalah pandangan yang tidak berdasar dan tidak empiris. Agak miris jika petinggi partai di level Sekjen tidak, bahkan dalam memahami bagaimana birokrasi daerah bekerja selama ini. Saya ingin menjabarkan tentang apa yang dibutuhkan birokrasi dalam menghadapi krisis. Yang paling utama adalah kecepatan birokrasi daerah dalam merespon krisis. Kecepatan birokrasi merespon krisis inilah yang diperlukan adanya adaptasi atas krisis yang sedang dihadapi. Misalnya, dalam hal ini pandemi Covid19. Kemudian birokrasi harus meningkatkan respon mereka terhadap krisis-krisis lain yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian birokrasi daerah perlu di setup ulang untuk menjalankan dua tugas sekaligus, yaitu pelayanan masyarakat yang rutin dan mengatasi pandemi. Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi terkait dengan sumber daya manusia, pengalaman dan anggaran. Birokrasi sebenarnya telah memiliki nilai (value) dan ketahanan (resilience) yang dapat mempengaruhi kemampuan birokrasi beradaptasi dengan tantangan krisis untuk kinerja dan efiesiensi. Dalam praktek rekrutmen kepala daerah misalnya, realitasnya pengaruh kepala daerah secara politik dalam birokrasi hanya sebagai pemimpin yang memberi visi bagi pembangunan daerah. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23/2014, tugas kepala daerah antara lain memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Tugas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Tugas kepala daerah lainnya adalah memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Menyusun dan mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang daerah (RPJPD) dan Rperda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD. Selain itu, kepala daerah menyusun dan menetapkan (Rencna Kerja Pembangunan Daerah) RKPD. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD. Dari uraian di atas, jelas bahwa tugas kepala daerah itu untuk memimpin. Yaitu memimpin birokrasi yang telah lama ada, agar berjalan dengan sistematis. Ibarat supir menjalankan bus yang masih laik jalan. Bukan menjalankan bus yang mogok. Sebenarnya dalam kondisi khusus, siapapun supirnya bus tetap akan bisa jalan. Begitu juga birokrasi. Agar tetap berjalan baik, meski dipimpin Plt karena telah dipagari oleh UU dan peraturan lainnya. Apalagi jika Plt yang ditugaskan berasal dari Kemendagri yang tentunya sudah sangat paham karakter birokrasi di masing-masing daerah. Lalu apa yang masih kurang dari birokrasi saat krisis pandemi ini? Dalam proses penyesuain terhadap krisis, seringkali terjadi deviasi. Dalam hal ini sinergisitas dan konsistensi dengan pemerintah pusat. Ini tentu saja dapat memperlambat respon terhadap krisis. Bahkan dapat menimbulkan kebingungan dalam sistem birokrasi. Hasilnya sudah jelas yaitu inefketifitas dan inefisiensi. Yang paling urgen saat ini adalah kembali fokus pada krisis dan menjalankan apa yang seharusnya dilakukan. Misalnya, mekanisme yang lebih responsif dalam koridor tata kelola pemerintahan daerah yang berlaku. Lalu apa masalah-masalah yang timbul ketika Pilkada dilaksanakan dan terbentuk rezim baru di Pemda saat krisis? Pertama, selama proses Pilkada para ASN daerah kehilangan fokusnya terhadap pandemi. Setidaknya terpecah bakal. Kedua, kepala daerah terpilih perlu menyesuaikan diri lagi dengan persoalan pandemi. Juga dalam hal kordinasi dengan bawahannya. Ketiga, fokus kepala daerah pun terpecah dengan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan DPRD seperti anggaran dan Perda. Mungkin bisa saja kepala daerah baru membawa perspektif baru dalam menghadapi pandemi. Namun tetap saja efektifitasnya akan ditentukan bagaimana koordinasi dan implementasinya. Itu masih butuh penyesuaian lagi antara ASN dan kepala daerah baru. Terakhir, saya ingin mengingatkan PDIP juga bahwa sudah banyak lembaga internasional yang mengeluarkan "policy brief on elections during Civid19". Isinya tentu saja untuk mengingatkan dan mempertimbangkan resiko dan ancaman dalam pelaksanaan Pemilihan selama pandemia, yaitu ancaman peningkatan penularan Covid. Selain itu, saya juga ingin mengingatkan bahwa persoalan kualitas Pilkada itu sendiri, yaitu potensi ketidak hadiran pemilih saat pencoblosan karena takut Covid. Ini untuk pemilih yang tidak peduli siapa terpilih, asalkan dapat uang di tengah kesulitan ekonomi (wani piro). Bung Hasto, ini bukan lagi soal pro pemerintah atau oposisi. Juga bukan soal kampret cebong. Ini soal moral dan akal sehat kita yang katanya punya falsafah Pancasila. Dimana nalarmu ketika korban berjatuhan, kau bikin pesta demokrasi berjudul Pilkada? Tengoklah wajah petugas medis dan pemakaman yang bekerja sudah melampaui batas. Benar tidak ada yang tahu kapan Covid berakhir. Bisa saja jika Pilkada diputuskan ditunda, ternyata bulan depan Covid berakhir. Tapi itu pun tak perlu menyalahkan pihak lain. Setidaknya bung Hasto sudah menunjukkan empati kepada para petugas medis, petugas makam, korban meninggal dan masyarakat yang masih sakit. Karena saat ini, itulah yang diperlukan untuk menyatukan perspektif kita semua untuk bersama melawan Covid19. Wassalaam. Penulis adalah Komite Politik & Pemerintahan KAMI .
Abrakadabra! Penanganan Covid-19 Indonesia Terbaik di Dunia!
by Hersubeno Arief Jakarta FNN – Senin (21/09). Tak lama lagi, Indonesia akan segera dinobatkan sebagai negara terbaik di dunia dalam penanganan Covid-19. Tingkat kematian (case fatality rate) Indonesia sangat rendah. Bisa jadi terendah di dunia. Padahal sebelumnya tingkat kematian akibat Covid-19 di dunia, selalu berada di peringkat atas. Bahkan di atas Amerika Serikat. Kemajuan dahsyat Indonesia dalam penanganan Covid-19 itu berkat jasa Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Bersama dengan delapan orang kepala daerah lainnya, Senin (14/9) Khofifah diundang Menko Maritim dan Investasi Luhut Panjaitan melakukan rapat koordinasi secara virtual. "Presiden perintahkan dalam waktu dua minggu kita harus bisa mencapai tiga sasaran, yaitu penurunan penambahan kasus harian, peningkatan recovery rate (tingkat kesembuhan) dan penurunan mortality rate (tingkat kematian)," kata Luhut dalam keterangan tertulis Selasa (15/9). Khofifah yang sejak lama dikenal sebagai orang dekat Luhut, bergerak cepat dan sigap. Jauh lebih cepat dibandingkan kepala daerah lainnya. Termasuk bila dibandingkan dengan Gubernur DKI Anies Baswedan. Padahal Anies selama ini dinilai paling sigap menangani Covid-19. Hanya selang sehari kemudian, Khofifah segera menyurati Menkes Terawan. Khofifah mengusulkan klasifikasi pelaporan kasus kematian karena Covid-19 diubah. Alasannya, klasifikasi kematian dalam Peraturan Menkes tidak jelas. Terlebih lagi tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan lembaga kesehatan dunia WHO. "Kalau WHO itu ada dua. Jadi death with Covid-19, atau death cause due Covid-19. Yang mau dilaporkan itu yang mana,” ujar Ketua Rumpun Kuratif Satgas Penanganan Covid-19 Jatim, dr. Joni Wahyuhadi dalam perbincangan dengan CNNIndonesia (17/9). Menurut Joni, kasus kematian Covid-19 perlu diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Yakni kematian dengan Covid-19, yang ini disertai dengan komorbid alias penyakit bawaan. Satu, dan kematian karena Covid-19. Hal itu sebagaimana pedoman WHO. Jika hal itu dilakukan, Joni yakin, angka kematian di Jatim akan turun. Dari total 2.922 kasus kematian atau 7,31 persen case fatality rate di Jatim, sebanyak 91,1 persen di antaranya meninggal karena komorbid. Dahsyat! Selama ini Jatim tercatat sebagai provinsi dengan tingkat kematian tertinggi. Jika usulan Khofifah ke Menkes ini disetujui, dan nampaknya akan segera disetujui, maka datanya akan berubah total. Angka kematian karena Covid-19 di Jatim akan turun drastis. Bila menggunakan data yang disodorkan Joni. Kanya sekitar 0,09 persen. Rendah banget! Jadi Provinsi Jatim bisa kembali panen penghargaan. Sebelumnya Jatim pernah mendapat penghargaan dari Kementerian Agama karena melakukan pendekatan menggabungkan sains dan spiritual dalam menangani Covid. Penghargaan yang mendapat banyak cibiran. Diberikan pada saat Jatim secara konsisten prosentase angka kematiannya selalu tertinggi. Bukan hanya Jatim yang datanya berubah. Secara keseluruhan data kematian di Indonesia juga berubah total. Usulan Khofifah membuat Luhut hanya memerlukan waktu kurang dari sepekan untuk menekan angka kematian karena Covid. Jauh Lebih cepat dari target yang diberikan Presiden Jokowi selama dua pekan. Hebaaattt…. khan? Otak-Atik Angka Statistik Apa yang diusulkan oleh Khofifah, adalah upaya mengotak-atik angka statistik. Tidak mengubah fakta jumlah kematian sebenarnya. Berdasarkan data statistik Johns Hopkins University Medicine Kamis (17/9) Indonesia termasuk jawara baik dalam penyebaran maupun tingkat kematian. Dalam sisi penyebaran, dari 188 negara, Indonesia menempati peringkat 23. Sementara angka kematian mencapai 9.222 jiwa. 0,97 persen dari angka kematian secara global yakni 941.862 jiwa. Dengan jumlah angka kematian tersebut Indonesia menempati urutan ke-20 terbanyak dari keseluruhan negara yang terpapar virus corona. Usulan Khofifah ini seperti merias wajah seorang korban yang meninggal. Tampak cantik, tampan, namun tidak mengubah fakta bahwa dia sudah mati. Implikasinya bisa sangat serius. Pemerintah bisa menyimpulkan dan mengumumkan, corona sama sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah penyakit bawaan (komorbid). Masyarakat bisa menjadi abai, dan meremehkan. Apalagi mereka yang merasa sehat dan tidak punya penyakit bawaan. Pemerintah juga mendapat justifikasi untuk membatalkan PSBB. Kembali membuka aktivitas bisnis, pasar, mall, perkantoran, tempat-tempat pariwisata dan hiburan, penerbangan, publik transportasi, dan semua sektor publik yang selama ini ditutup. Pilkada serentak juga bisa terus berjalan. Tak peduli banyak desakan dari berbagai kalangan agar ditunda. Toh kematian karena Covid tidak berbahaya. Yang penting tidak punya penyakit bawaan. Cara pejabat berpikir dan mengambil kesimpulan seperti Khofifah adalah cermin dari pemerintah Indonesia dalam menangani Covid. Memandang remeh dan enteng masalah kesehatan. Tetap lebih mengutamakan kepentingan korporasi dan para taipan. Buku klasik yang ditulis Darrell Huff (1954) How to Lie With Statistics ternyata terus berlaku sepanjang zaman. Selamat datang di negeri Abrakadabra!!! End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Tanpa Peran Soeharto, Indonesia Jadi Negara Komunis
by Basir Al-Haddad Jakarta FNN – Senin (21/09). Nasakom adalah sebuah gagasan populer yang tak pernah dilupakan oleh sejarah di Indonesia. Nasakom singkatan dari Nasionalis, Agama dan Komunis. Penggagasnya adalah Presiden Soekarno. Memang terkesan aneh. Indonesia berideologi Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Beda dengan komunisme, sebuah ideologi trans-nasional anti terhadap Tuhan Yang Esa, pernah diberi ruang untuk hidup di negara Pancasila. Ada kesan dipaksakan. Pancasila itu dasar utamanya Ketuhanan, sementara komunis itu anti Tuhan. Dua ideologi yang bertolak belakang antara langit dan bumi. Tidak bisa menyatu, tetapi dipaksakan untuk bersatu. Pada akhirnya, tak bisa bersatu juga. Tahun 1948 Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan. Tetapi gagal. Tahun 1965, dimana presiden Soekarno sakit-sakitan dan dianggap sudah mulai uzur, PKI mengulang lagi pemberontakan yang kedua kalinya. Dalam pemberontakan kali ini, sejumlah Jenderal Angkatan Darat yang selama ini dianggap menentang PKI dibantai. Mereka dibunuh dan mayatnya di buang kedalam sumur di Lubang Buaya. Lepas dari kontroversinya, terlalu banyak bukti dan saksi-saksi terpercaya ,yang membenarkan sejarah pemberontakan dan kekejaman PKI. TNI dan umumnya umat Islam meyakini kebenaran peristiwa ini. Walaupun ada juga yang berkeinginan untuk mengaburkan fakta pembrontakan itu. Dalam waktu yang tak begitu lama, tampillah seorang Mayor Jenderal Soeharto, Pangkostrad saat itu, yang tak diperhitungkan oleh PKI. Dalam situasi nasional yang kacau balau, Soeharto mendapat mandat dari Soekarno untuk mengatasi dan menormalkan kembali situasi keamanan nasional saat itu. Mandat itu kemudian dikenal dengan Supersemar. Langkah paling penting yang ditempuh Soeharto adalah membubarkan PKI. Meski Soekarno seperti merasa kecolongan. Langkah pembubaran PKI itu, di kemudian hari ditindaklanjuti dengan keluarnya TAPMPRS No 25 Tahun 1966. Inti dari TAP MPRS itu adalah tidak memberi ruang kepada paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme hidup di Indonesia. Artinya, PKI dimatikan. Tanggal 12 Maret 1967, ketika Soeharto diangkat menjadi presiden melalui sidang MPRS, ia kemudian membuat keputusan fundamental. Soeharto melarang seluruh keluarga, anak turun dan semua yang memiliki hubungan dengan PKI menjadi bagian dari pengelolaan negara. Mereka tak boleh menjabat apapun di negara ini. Tidak boleh jadi presiden, tentara, polisi, PNS, pemimpin daerah, anggota DPR dan semua jabatan kenegaraan lainnya. Atas keputusan tegas, konsistensi dan kebijakan yang diambil Soeharto sebagai kepala negara saat itu, telah berhasil mematikan peran PKI. Dengan didukung oleh TNI, terutama Angkatan Darat, maka Soeharto betul-betul membuat PKI tiarap. Satu generasi PKI mati. Pada masa Orde Baru berkuasa, PKI tidak bisa bernapas. Seluruh keluarga, anak cucu dan kelompok yang pernah punya hubungan dengan PKI terpantau. Soeharto sukses mengebiri seluruh kekuatan PKI serta pengikut-pengikutnya. PKI tidak bisa bergerak apa-apa. Dengan kata lain, Soeharto berhasil menyelamatkan Pancasila dari PKI yang berupaya menggantinya dengan komunisme. Jika PKI bilang bahwa komunisme itu pro Pancasila, atau tidak bertentangan dengan pancasila, secara ideologis itu tidak bisa diterima akal. Karena Pancasila berbasis pada Ketuhanan Yang Maha Esa, sementara yang komunisme itu anti Tuhan. Jika konsep "Tri Sila dan Eka Sila" ingin ditawarkan di Indonesia, maka harus memiliki arti Ketuhanan Yang Maha Esa. Diambil dari Sila pertama Pancasila. Bukan gotong royong atau yang lain. Sebab "Tri Sila dan Eka Sila" yang berujung di gotong-royong, maka itu jelas ngaco, ngawur dan bebal terhadap Pancasila. Pancasila menjadi tempat bersemai semua agama dan pemeluknya di Indonesia. Sementara PKI tak bisa hidup dalam satu ideologi dengan masyarakat yang beragama. Akan selalu terjadi benturan ideologis. Pemberontakan Tahun 1948 dan Tahun 1965 adalah bukti benturan ideologis yang dibungkus dan dinarasikan dalam perebuatan kekuasaan politik. Pemberontakan PKI ini sesuai dengan fitrah komunisme yaitu revolusi. Kalau boleh kita berandai, jika tanpa Soeharto yang dengan sangat tegas dan disiplin menjaga Pancasila dari ancaman PKI selama 32 tahun masa kekuasaannya, mungkin Indonesia sudah menjadi negara komunis. Kesimpulan ini tentu tidak terlalu berlebihan. Mengingat PKI pernah menjadi partai besar. Mempunyai kekuatan sosial dan dukungan internasional, serta memiliki pendukung yang solid dan militan. PKI juga punya pasukan berani mati. Jika PKI terus dibiarkan bergerilya. Apalagi pada akhirnya berhasil menguasai Indonesia, dengan cara revolusi, maka Indonesia bukan hanya berideologi Nasakom, tapi akan jadi negara komunis. Disinilah langkah tegas Soeharto terhadap PKI sangat tepat. Situasi obyektif saat itu memang menghendaki untuk diambil ketegasan seperti itu. Lepas dari apapun kekurangan dan kelebihan. Pro-kontra terkait kekuasaan Orde Baru, namun Soeharto adalah orang yang paling berjasa menyelamatkan Indonesia dan Pancasila dari bahaya komunisme. Jasa Soeharto itu fakta. Juga nyata terjadi. Dapat disaksikan dqan dibaca. Setelah Pancasila selamat, agama terjamin hidupnya di Indonesia, akankah kita beri peluang PKI bangkit kembali? PKI bangkit dengan cara membuat stigma negatif terus-menerus terhadap Soeharto dan Orde Baru? Ini namanya bangsa yang nggak tahu berterima kasih. Penulis adalah Pemerhati Indonesia.
Gila, Sejarah Penghianatan PKI Akan Dihapus?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (20/09). Wacana penghapusan pelajaran sejarah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan menjadi pilihan di Sekolah Menengah Atas (SMA) oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudyaan (Kemendikbud) mengemuka. Tidak jelas apa yang menjadi motif dan argumennya. Hanya saja yang ramai di Medsos adalah kekhawatiran adanya upaya menghapus sejarah kelam Partai Komunis Indonesia (PKI) serta serangkaian pemberontakannya. Pembrontakan PKI mau dianggap sesuatu yang tidak pernah ada. Kalau benar, makaini rencana gila. Setelah sejarah Islam di Madrasah berhadil dibuldozer oleh kebijakan Kementerian Agama (Kemenag), kini giliran Mendikbud melakukan langkah yang serupa. Mengingat tidak adanya visi dan misi Menteri, maka kebijakan mendasar seperti ini tentu menjadi tanggungjawab Presiden. Di tengah eskalasi penyusupan faham komunisme dan bangkitnya Neo PKI, maka diskursus penghapusan pelajaran sejarah dalam program penyederhanaan kurikulum Sekolah Lanjutan Atas (SLA), akan menjadi isu yang sensitif. Akhir-akhir ini penayangan film G 30 S PKI pun menjadi pro dan kontra. Rezim Jokowi memang kurang peduli dengan kekhawatiran masyarakat terhadap keberadaan Neo PKI. Termasuk upaya pengembangan faham Komunisme. Keresahan publik direspon dingin oleh Pemerintah. Tidak ada sedikitpun "warning" bahaya atau ancaman Komunisme. Hal ini menjadi sinyal bahwa pemimpin memang tidak sedang memikirkan rakyatnya. Sejarah penghianatan PKI mesti diajarkan kepada anak-anak didik. Dari generasi ke generasi. Tidak boleh dihapus begitu saja. Kekejian fitnah dan adu dombanya harus diketahui generasi muda. Kepura-puraan dalam membela Pancasila harus menjadi pelajaran utama. PKI mahir dalam menyusup ke elit kekuasaan. Sekelas Presiden Soekarno pun dapat tersentuh dan terpengaruh. Soekarno mati-matian berjuang agar PKI masuk Kabinet Ali Satro Amidjojo pasca Pemilu 1955. Memaksa membentuk Kabinet Gotong Royong. Menggunakan otoritas dan wibawanya untuk membentuk Front Nasional menuju Nasakom. PKI ditarik menjadi bagian dari pilar kekuatan bangsa. Sejarah mencatat pidato Soekarno saat HUT PKI bulan Mei 1965 dengan judul "Subur subur suburlah PKI". Anak Sekolah Menengah tingkat Atas tidak boleh didoktrin "menghafalkan kategori-kategori" seolah-olah PKI adalah korban pembantaian. PKI diperlakukan dengan zalim. PKI adalah sasaran fitnah, atau komunisme faham yang layak hidup. Doktrin seperti itu penuh dengan kepalsuan dan kebohongan dalam rangka mengelabui generasi muda. Anak atau cucu PKI berada dimana-mana. Baik itu birokrasi atau parlemen. Menjadi pengusaha atau mungkin rohaniawan. Mereka potensial untuk membangkitkan spirit perjuangan orang tua atau leluhurnya. Apalagi dengan dukungan penuh Partai Komunis Cina, yang terasa semakin akrab saja dengan istana dan partai berkuasa. Bahaya bangkit Neo PKI dan Komunisme jangan diremehkan. Fenomena pelecehan agama yang semakin marak, isu radikalisme umat beragama, hingga RUU HIP dan BPIP adalah tanda kebangkitan komunisme itu. Sejarah penyusupan dan pemberontakan PKI tahun 1926, tahun 1948, dan tahun 1965 adalah bukti bahwa PKI dan Komunisme itu selalu gigih dalam berjuang. Pengulangan adalah hukum yang absolut. Pak Menteri, jangan hapus pelajaran sejarah Penghianatan PKI dari kurikulum SMK dan SMA, karena menghapus artinya membodohi generasi muda. Membuka peluang bagi pemutarbalikkan fakta sejarah. PKI yang penghianat dicitrakan sebagai korban. TNI dan umat Islam yang menjadi korban dipropaganda sebagai penindas. PKI memang pandai menipu. Sekarang buktinya. Menjelang mengenang sejarah hitam bangsa akibat penghianatan G 30 S PKI, maka Presiden sebaiknya berpidato resmi. Gumanakan mimbar bagus dan pemnting di Istana Kepresiden itu untuk meminta agar rakyat selalu waspada akan bangkitnya Neo PKI dan Komunisme. Bila tidak berbuat dan masa bodoh, atau bahkan sampai menyatakan bahwa PKI itu tidak ada . PKI tidak mungkin tumbuh kembali, maka jangan salahkan jika rakyat yang mungkin saja meragukan kebersihan dirinya dari pengaruh PKI dan Komunisme tersebut. Sejarah merupakan bukti dari suatu perbuatan yang membangun atau menghancurkan. PKI dan Komunisme adalah musuh agama, tentara, dan ideologi Pancasila. Musuh dari seluruh rakyat Indonesia. Ingat dan pahami itu baik-baik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Bagi Jenderal Gatot, KAMI Tidak Punya Persneling Mundur
by Asyari Usman Jakarta FNN - Sabtu (19/09). Gatot Nurmantyo (GN) mengutip pepatah Melayu tentang ‘Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.” Ini yang dikatakan oleh mantan Panglima TNI itu ketika menyampaikan orasi pada acara peresmian pengurus Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Magelang, Jumat (18/9/2020). Pepatah di atas tidak main-main. Salah satu artinya adalah bahwa, bagi Pak GN, KAMI “tidak punya persneling mundur”. Secara kebetulan pula, Pak Jenderal mengucapkan ini di “kota tentara”. Di Magelang. Di sinilah, tepatnya di akademi militer Magelang, GN menjalani penempaan karakter dan mentalitas “tanpa persneling mundur” itu. Tidak ada istilah surut bagi tentara ketika langkah maju telah diayunkan. Pernyataan GN itu merupakan “stern warning” (peringatan keras). Istilah “stern warning” adalah frasa bahasa diplomasi yang terlembut ketika pihak yang mengeluarkan peringatan itu melihat situasi yang sangat berbahaya menunggu di depan. Para tokoh KAMI teleh mendeteksi dan mengidentifikasi bahaya yang mengancam Indonesia. Jenderal Gatot setuju. Ada ancaman desintegrasi bangsa. Ada ancaman terhadap eksistensi Pancasila. Bahkan, Pak Jenderal menyebutkan ada upaya dari satu kelompok besar yang ingin menghilangkan Pancasila sebagai dasar negara. Ancaman serius juga sedang terarah pada kedaulatan negara. Banyak tokoh bangsa yang merasa negara berserta sumber daya alamnya akan diserahkan kepada orang asing. Khususnya kepada China. Ini bisa terlihat dari pengistimewaan terhadap negara komunis itu. Dalam segala hal. Inilah salah satu ancaman yang nyata. Ancaman-ancaman tsb bersinergi kuat ketika negara berada di bawah kelola pemerintahan yang lemah. Di bawah pimpinan yang minus kapabilitas dan kapasitas. Segala macam ancaman itu diperparah oleh kondisi minus ekonomi. Karena itu, Pak GN menyediakan diri untuk ikut berjuang menyelamatkan Indonesia. Ketika para mantan jenderal lain memilih untuk diam, atau didiamkan dengan kenikmatan pribadi, Pak GN memilih untuk bersimbah keringat bersama para tokoh KAMI lainnya. Memilih untuk menghadapi banyak risiko ketimbang berpangku tangan. Pak GN tentu sadar betul tentang semua risiko perjuangan yang akan dihadapinya untuk menyelamatkan Indonesia. Jenderal “Tangkap Saya” ini siap menghadapi itu semua. Tentu sikap dan langkah GN membuat para penguasa sangat terganggu. Tapi, yang mengganggu bukan sembarang orang. Beliau, insyaAllah, bukan jenderal yang mudah ditipu dengan nasi goreng. Jalan KAMI bukanlah jalan orang-orang yang akan mengkhianati rakyat. Sebaliknya, KAMI akan memberikan pencerahan kepada rakyat tentang orang-orang yang sedang melakukan pengkhianatan terhadap bangsa, negara, kedaulatan, dan Pancasila. KAMI akan mengajak rakyat untuk ikut berjuang menghentikan pengkhianatan dan penzoliman. Jenderal Gatot akan tegak lurus bersama rakyat. Beliau tidak akan meluntur. Meskipun hari-hari ini para herder kekuasaan terus melengkingkan gonggongan untuk menakut-nakuti KAMI. Sebagai seorang tentara yang telah kenyang dengan intimidasi lawan tempur, kecil kemungkinan GN akan melangkah surut teratur. Apalagi beliau telah memberikan aba-aba bahwa KAMI tidak dilengkapi dengan persneling mundur. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
BPIP Segera Dibubarkan Saja
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (19/09). Setelah penundaan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) maka Pemerintah mengajukan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Katanya sebagai pengganti RUU HIP. Namun hingga kini taidk jelas proses pembahasan RUU mana yang akan dilakukan. Semua masih mengambang. Sementara itu umat Islam dan juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah meminta, bahkan mendesak agar RUU HIP dicabut dari Pragram Legislasi Nasional (Prolegnas). Sedangkan RUU BPIP ditolak, sehingga BPIP juga sebaiknya dibubarkan saja. Tidak ada manfaatnya lagi. Hanya menghambur-hambirkan uang rakyat, ratusan miliar hingga triliun rupiah. Namun tidak jelas kerjanya apa? RUU BPIP meski disebut berbeda dengan RUU HIP, namun bila ditelaah sebenarnya substansinya masih tetap sama saja. Karenanya beralasan bahwa BPIP itu menjadi badan yang tidak diperlukan dan patut untuk segera dibubarkan. Ada enam alasan utama mengapa RUU BPIP harus ditolak, dan lembaga BPIP segera untuk dibubarkan : Pertama, RUU BPIP tidak masuk Prolegnas. Dengan demikian tidak menjadi agenda legislasi DPR RI. Bila alasannya hanya sekedar mengganti RUU HIP dengan adanya DIM dari Pemerintah, maka ini artinya Pemerintah yang mengajukan RUU jelas melanggar hukum. Adanya DIM memberi arti RUU HIP masih eksis dan tetap berlaku. Kedua, RUU BPIP menafsirkan Pancasila secara inkonsisten. Pada satu sisi, Pancasila disebut sebagai sesuai Pembukaan UUD 1945. NBamun di sisi lain, dalam konsideran a dan b mengaitkan dengan Pancasila Tanggal 1 Juni 1945. Asal-usul yang mesti dilestarikan dan dilanggengkan. Kepres Nomor 24 Tahun 2016 tentang hari lahir Pancasila dijadikan sebagai landasan. Ketiga, ketika Pancasila tanggal 1 Juni 1945 dijadikan sebagai landasan historis dan filosofis, maka Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 menjadi tulang-belulang yang berbungkus yuridis semata. RUU BPIP nyata-nyata telah membunuh Pancasila. Dengan jiwa kelahiran Pancasila tanggal 1 Juni 1945, maka masih melekat historika Trisila dan Ekasila. Keempat, ketika RUU BPIP yang hanya bermodal landasan yuridis, maka lahirnya pun menjadi cacat. Tidak memenuhi syarat yuridis. Mestinya UU dahulu baru Perpres. Ini terjadi terbalik, Justru Perpres dahulu baru UU. Disamping itu, anehnya lembaga BPIP yang sudah ada dan berjalan baru akan dibuat payung hukum berupa UU. Serba terbalik-balik. Kelima, tidak ada jaminan BPIP untuk tidak bergeser dari "pembina" Pancasila menjadi "penafsir" tunggal Pancasila. Bahkan dengan UU, maka BPIP mendapat legalitas sebagai "satu satunya" institusi yang dapat menafsirkan dan merumuskan hal-ihwal mengenai ideologi Pancasila. Keenam, BPIP menjadi konten juga dari RUU HIP yang terdahulu. RUU yang berbau komunis. Untuk itu, RUU BPIP tidak steril dari jiwa RUU HIP. Sebab HIP adalah akar dan BPIP itu hanya cabang. Kelahiran BPIP hanya untuk memperjelas misi RUU HIP yang gagal, karena ditolak umat Islam. Pemerintah dan DPR tidak boleh membuat kedua RUU mengambang, dan terus-meneru membodohi masyarakat. Karenanya pilihan terbaik adalah batalkan kedua RUU dan segera bubarkan saja BPIP. Keamanan dan kepastian hukum adalah prioritas. BPIP akan menjadi lembaga "trouble maker" bagi bangsa dan negara Indonesia. Lembaga yang "membina", tetapi sesungguhnya "mengacak-acak" Pancasila. Teringat dahulu PKI yang menyatakan "membela" Pancasila, tetapi realitanya justru "menghianati" Pancasila. Sejarah tak boleh terulang. Ingat itu baik-baik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Presiden Yang Hobinya Hipokrisi
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Sabtu (19/09). Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta yang semula akan berlangsung ketat berujung pada PSBB kompromistis non-total. Berdasar data terpercaya, Gubernur DKI Anies Basweda dan sejumlah pakar pandemi berkesimpulan, PSBB ketat harus segera berlaku, agar transmisi Cocid-19 yang naik 25% dalam dua minggu pertama September 2020 dapat ditekan. Anies bertambah confident menerapkan PSBB total karena yakin dengan sikap Presiden Jokowi yang menguatamakan kesehatan dibanding ekonomi. "Kesehatan yang baik akan menjadikan ekonomi kita baik. Artinya fokus kita tetap nomor satu adalah kesehatan," kata Jokowi di Istana Negara (7/9/2020). Tweets Presiden Jokowi “agar ekonomi kita baik, kesehatan harus baik. Ini artinya, fokus utama pemerintah dalam penanganan pandemi corona adalah kesehatan, dan keselamatan masyarakat. Jangan sampai urusan kesehatan ini belum tertangani dengan baik, namun kita sudah merestart ekonomi. Masalah kesehatan harus tetap nomor satu". Ternyata rencana Anies diprotes sejumlah menteri Jokowi. Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto rencana PSBB Anies menjadi penyebab turunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Menteri Perdagangan Agus Suparmanto bilang PSBB Jakarta menghalangi distribusi logistik yang bisa menghancurkan PDB. Sedangkan Menteri Perindustrian Agus G. Kartasasmita sebut PSBB dapat menghancurkan industri manufaktur yang tengah menggeliat. Sikap ketiga menteri yang pro ekonomi itu, ternyata dibiarkan saja oleh Presiden Jokowi. Karena pada dasarnya itulah sikap asli Presiden. Terbukti, tiga hari berselang, Presiden Jokowi mengatakan agar kepala daerah berhati-hati dalam menetapkan PSBB. Katanya, banyak aspek terkait, misalnya kondisi sosial dan ekonomi yang bisa terdampak akibat PSBB. Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM) atau komunitas lebih efektif diterapkan untuk disiplin protokol kesehatan dibanding PSBB total. Akibatnya, publik bertanya-tanya, mengapa Presiden cepat berubah? Presiden inkonsisten? Padahal, jika punya ingatan kuat, mereka tidak perlu banyak tanya. Selama ini memang demikian sikap kepala negara kita. Inkonsisten, lain kata dengan perbuatan atau hipokrit. Rakyat harusnya sudah terlatih untuk tidak lagi terkecoh akibat sudah seringnya hipokrisi Presiden terjadi. Terlepas dari itu, kita berharap semoga saja angka positif korona menurun. Hipokrisi terkait kororna itu pernah sekitar April-Mei 2020. Pemerintah pernah mengizinkan moda transportasi umum untuk beroperasi. Padahal sebelumnya dilarang, karena berhubungan dengan zona merah. Mudik dilarang, tetapi pulang kampung boleh. Begitu juga penerbangan domestik dilarang, tetapi penerbangan internasional dibolehkan. Kedatangan orang asing dilarang, tetapi Tenaga Kerja Asing dari Cina boleh masuk. Ujungnya, angka positif korona terus meningkat. Sekarang baru nyaho kan? Terkait pemberantasan korupsi, Jokowi bilang akan konsisten memberantas korupsi. Sikap ini sesuai janji kampanye Pilpres-2014 dan Pilpres-2019. Namun pada sisi hipokritnya, revisi UU KPK justru didukung. Akibatnya wewenang KPK diberangus, maka para terduga koruptor kakap lolos jerat hukum. Upaya pemberantasan korupsi justru mengalami langkah mundur. Ujung-ujungnya, korupsi semakin merajalela.Lihat saja yang terjadi pada kasus-kasus korupsi Jiwasraya, Asabri, Meikarta, dan Djoko Tjandara. Beginilah Presiden kita ini. Pagi tempe, namun sore sudah dele lagi. Pada 29 Mei 2017, Jokowi dengan heroik mengatakan, "Pancasila itu jiwa dan raga kita. Perekat keutuhan bangsa dan negara. Saya Jokowi, saya Indonesia, saya Pancasila". Ternyata pernyataan tersebut hanya slogan kosong. Lagi-lagi Presiden bersikap hipokrit. Lihat saja sila ke-5 Pancasila yang mengamanatkan keadilan sosial atas sumber daya alam milik negara bagi kemakmuran rakyat. Perintah konstitusi ini sesuai Pasal 33 UUD 1945. Namun justru dikangkangi dengan disahkannya UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020. Perampokan dan dominasi kelompok oligarkis, korporasi dan konglomerasi atas SDA rakyat akan terus berlanjut. Pancasila mengandung ajaran moral dan musyawarah. UUD 1945 menjadi dasar perumusan Indonesia sebagai negara hukum, persamaan warga negara di depan hukum dan tidak adanya tempat bagi pemerintahan yang otoriter. Ternyata Perppu Nomor 1 atau UU Nomor 2/2020 tentang Korona justru mengangkangi dasar negara dan amanat konstitusi. Pemerintahan Jokowi justru memberangus hak budget rakyat melalui DPR (lihat Pasal 2 UU Nomor 2/2020). Begitu juga eksekutif mendapat status kebal hukum (lihat Pasal 27), dan semakin otoriter dengan dieliminasinya sejumlah ketentuan dalam 12 UU yang berlaku (Pasal 28). Pasal 28 UU Korona Nomor 2/2020 dengan sadis menghapus berbagai UU yang disusun sebagai amanat reformasi, yakni UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia, UU Nomor 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), UU Nomor 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Semua UU ini dipersiapkan sebagai payung hukum dalam rangka mencegah perampokan uang rakyat oleh para taipan dan konglomerat seperti terjadi pada megaskandal BLBI dan Obligasi Rekapitalisasi. Megskandal BLBI ini mewariskan utang Rp 645 triliun bagi rakyat. Lalu, Pancasila mana yang dimaksud Jokowi? Inilah bukti lain tentang sikap hipokrit itu Saat menyambut kemenangan sengketa Pilpres 2019 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (27/6/2020), Jokowi mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu kembali. Bersama-sama membangun Indonesia. Katanya, tidak ada lagi 01 dan 02. Yang ada hanyalah persatuan Indonesia. Disampaikan, presiden dan wakil presiden terpilih adalah presiden dan wakil presiden bagi seluruh anak bangsa. Untuk seluruh rakyat Indonesia. Ternyata “pidato” rekonsiliasi tersebut hanya basa-basi bernuansa hipokrit. Sambil terus memainkan isu-isu radikalisme, intoleran, anti kebinnekaan dan anti Pancasila, anak bangsa terus dibelah dan terbelah. Bahkan pemerintah Saudi Arabia pun “dipengaruhi” untuk mencegah kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) ke Indonesia. HRS dicegah keluar Arab Saudi atas permintaan “satu pihak” dari Indonesia. Saat yang sama, sejumlah Menko dan petinggi Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf ramai-ramai menyuarakan HRS pergi atas keinginan sendiri. Masih terjerat banyak kasus. Melanggar aturan overstay, dan terkena denda. Jokowi yang mengaku Presiden seluruh rakyat dan ingin rekonsiliasi. Namun terbukti diam saja terhadap fitnah dan manipulasi tentang kasus HRS yang disuarakan para Menko dan TKN. Terus dihalanginya kepulangan HRS hingga saat ini, sebagai sandiwara dan sikap hipokrit pemerintah yang memang nyata adanya. Sikap yang ironis dan memalukan. Gara-gara pandemi Covid-19, masyarakat global mengenal istilah baru yaitu new normal. Tatanan, kebiasaan dan perilaku hidup baru berbasis pada adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat. Agar dapat bertahan hidup, masyarakat bangsa-bangsa di dunia perlu menyesuaikan diri dengan budaya hidup baru. Kenormalan baru, terutama dalam bidang kesehatan, sosial dan ekonomi. Sebelum Covid-19 mewabah, di bawah kepemimipinan Presiden Jokowi, sebagian rakyat Indonesia telah hidup dalam suasana pelanggaran norma moral dan hukum. Kondisi ini berlangsung rutin. Berulang dan semakin menjadi-jadi dalam berbagai aspek kehidupan. Perlahan, sebagian rakyat telah beradaptasi, sehingga kondisi ini menjelma menjadi kebiasaan berbangsa dan bernegara yang baru, new normal. Bangsa ini digiring untuk biasa hidup di tengah pemerintahan yang semakin otoriter, inkonstitusional, inkonsisten atau hipokrit. Anda-anda para tokoh, aktivis, cerdik-pandai, kaum terdidik, pemimpin partai dan para mahasiswa hanya pasrah menunggu nasib? Penulis adalah Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).