NASIONAL
Waspada Terhadap PKI Itu Positif & Harus! (Bagian-1)
Tulisan ini hanyalah pendapat pribadi. Tidak mewakili siapa-siapa dan lembaga apapun. Boleh saja setuju, dan boleh juga tidak setuju. Maaf kalau agak panjang, sehingga dibagi menjadi dua tulisan! by Shamsi Ali Al-Kajangi New York City FNN – Jum’at (02/10). Setiap tanggal 30 September, dikenang sebagai salah satu hari kelam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sebab di hari itulah banyak Jenderal, tokoh bangsa dan agama yang dibunuh oleh kelompok orang berideologi Komunisme. Mereka tergabung dalam sebuah partai yang disebut PKI atau Partai Komunis Indonesia. Saya tidak perlu lagi membahas siapa dan apa itu PKI, ideologi dan agendanya. Karena saya yakin semua anak bangsa yang memiliki kepedulian pasti sudah tahu. Juga paham dan sadar akan apa yang pernah terjadi dengan PKI di negeri ini. Yang ingin saya sampaikan hanya sebuah kewaspadaan (al-hadzar). Sikap yang harusnya terbangun oleh setiap putra-putrì bangsa. Bahwa ada masa, dimana peristiwa kelam itu boleh saja terulang kembali. Sebab sejarah kerap terulang, walau dalam warna dan bentuk yang berbeda. Masihkah & Perlukah Diwaspadai? Ada sebagian yang mengatakan bahwa isu PKI atau faham komunisme harusnya tidak lagi perlu dibahas atau diributkan. Beberapa alasan yang disampaikan, antara lain, bahwa ideologi Komunisme telah selesai (berakhir). Komunis itu sudah mati terkubur. Dengan ambruknya Uni Soviet, seolah paham komunisme juga telah runtuh. Bahkan dengan perubahan konstalasi dunia, dimana Rusia dan Amerika dengan aliansi Uni Eropa mengakhiri perang dingin, juga berarti ideologi Komunis telah berakhir. China yang dikenal sebagai negara Komunis juga ternyata mengalami “shifting” atau pergeseran dari komunisme kepada paham yang nampaknya lebih dominan secara kapitalisme dan liberalisme. China semakin membuka diri secara ekonomi. Perkiraan di atas nampaknya terlalu menyederhanakan permasalahan. Karena sesungguhnya isu Komunis dalam konteks Indonesia tidak harusnya selalu dikaitkan dengan Rusia atau China. Tapi memiliki tendensi pemikiran dan karakternya sendiri. Selain itu, ideologi itu adalah faham atau pemikiran yang mempengaruhi karakter. Karenanya ideologi tidak selalu bubar dengan bubarnya sebuah institusi, termasuk organisasi atau negara. Begitu juga dengan PKI dan faham komunisme di Indonesia. Ideologi atau faham biasanya akan nampak melalui gejala-gejala (symptoms) yang kemudian berkembang dalam bentuk karakter dan aksi. Gejala ini terkadang sangat halus, sering menipu, bahkan tidak jarang dibungkus oleh teori-teori atau konsep-konsep yang menawan dan membuai. Saya jadi teringat kenapa Menteri Agama begitu “obsessed” dengan isu radikal? Tentu karena ada gejala-gejala, yang boleh jadi dicurigai sebagai gejala-gejala radikalisme. Sehingga berdasarkan gejala itu sang Menteri kemudian menghembuskan isu “radikal” agar terbangun kewaspadaan. Masalahnya kemudian, kenapa ketika isu PKI dihembuskan berdasarkan gejala-gejala untuk membangun kewaspadaan, justeru dituduh “mengganggu” bahkan membahayakan pemerintahan? Sehingga usaha-usaha mereka yang mengingatkan bangsa ini untuk waspada dihalangi di mana-mana. Saya menilai ini prilaku paradoks dari kekuasaan. Saya justeru khawtir jika prilaku “unfair” ini justeru menjadi bagian dari symptom yang ada. Semoga saja saya salah. Perlakuan “ketidak adilan” (unfair treatment) kekuasaan itu juga terlihat dalam menyikapi kelompok-kelompok yang dianggap mengancam negara atau ideologi negara. Salah satunya sebagai misal adalah kelompok dan jamaah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saya melihat ada sikap yang berbeda dari kekuasaan dalam menyikapi kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman itu. Ada yang ditindak dan dibumi hanguskan. Tapi ada yang seolah dirangkul dan dilindungi. Pilitik belah babmbu yang diterapkan. Tentu semua ini semakin membangun kecurigaan itu. Pastinya menjadikan Umat Islam semakin meningkatkan kewaspada. Kenapa ancaman yang dikaitkan dengan agama begitu dibenci? Sementara ancaman ideologi yang anti agama seolah hal yang biasa saja. Bahkan serasa mendapat perlindungan. Saya khawatir sekali lagi, jangan-jangan ini jadi bagian dari symptom itu. Gejala-Gejala itu... Sebuah gejala tentunya bukankah kesimpulan, sampai masanya bisa dibuktikan. Gejala hanya jembatan menju kepada realita. Karenanya sikap yang dibangun bukanlah “konklusi” (kesimpulan). Tetapi sekali lagi, lebih kepada membangun kewaspadaan. Sebagai ilustrasi saja. Jika saat ini saya terbang kembali ke Indonesia, pastinya setiba di bandara Soekarno Hatta suhu badan saya akan dicek. Kalau ternyata temperatur badan saya lebih dari normal, maka berarti saya ada “gejala” Covid. Tapi tingginya suhu badan itu belum tentu sebagai sebuah “kesimpulan” jika saya positif Covid. Namun demikian karena suhu badan tadi, maka wajar saja kalau saya dikarantina hingga ada pembuktian jika saya negatif atau memang postif Covid. Disinilah urgensi kewaspadaan terhadap gejala-gejala PKI dan faham komunisme itu. Karena dari gejala itulah nantinya akan nampak (terbukti) apa benar atau tidak benar jika memang PKI menggeliat di negeri ini. (bersambung) Penulis adalah Diaspora Indonesia di Amerika Serikat.
Ganggu Tabur Bunga Purnawirawan
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (02/10). Kasus kericuhan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata pada 30 September 2020 sore saat acara ziarah dan tabur bunga Purnawirawan TNI ini tidak mungkin tanpa disain. Aksi demo yang "menolak" sudah dapat diduga sebagai buatan, bayaran, dan teror. Pantas dan wajar jika aksi pelecehan seperti ini mendapat perlawanan. Untuk itu, baik peserta aksi demo maupun pembuat aksi semestinya ditindak oleh aparat Kepolisian. Tetapi selalu saja terkesan seperti dibiarkan. Sehingga wajar bila ada yang beranggapan bahwa, aksi ini bagian dari rekayasa penguasa untuk menekan dan menghalang-halangi tokoh-tokoh oposisi. Melihat kejadian di TMP Kalimata ini, kening jedi berkerut dengan seratus pertanyaan. Pemerintah sedang bermainkah? Betapa kasar permainannya. Jika model seperti ini masuk kategori operasi intelijen, maka betapa tidak cerdiknya operasi itu. Selera intelijen yang rendah, dan sangat tidak bermutu. Para purnawirawan TNI akhirnya turun gunung melakukan aksi moral. Purnawirawan adalah hati dan cermin dari TNI aktif yang masih terikat oleh disiplin komando. Fenomena kegelisahan ini semestinya ditangkap dengan sepenuh jiwa. karena kondisi ini tidak biasanya. Selain ulama, santri, dan aktivis Islam, maka TNI adalah sasaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan faham Komunisme. Kepekaan elemen ini cukup tinggi terhadap ancaman dan bahaya Neo PKI dan faham Komunisme. Oleh karenanya agenda ziarah dan tabur bunga pada tanggal 30 September ini menjadi sinyal dari kepekaan yang tinggi tersebut. Pemerintahan Jokowi semestinya memahami perasaan "old soldiers" yang sedang mengunggah memori anak-anak yang mencintai negeri ini dari bahaya dan ancaman Neo PKI dan faham Komunisme. Bukan malah sebaliknya, memberikan angin segar dan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya Neo PKI dan faham Komunisme yang mengancam ideologi Pancasila. Gagasan diajukannya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) adalah bukti nyata bahwa Neo PKI dan faham Komunisme itu ada dan nyata. Bukan fitnah dan mengarang bebas. Tragisnya, pemerintah Jokowi malah memberikan penguatan dengan mengajukan RUU Ban Pembinaan Ideologi Pancasila (BIP). Ini lebih ngawur dan ngaco. Ketika kasus laporan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) atas Muhammad Said Didu, maka dukungan Purnawirawan TNI kepada Didu yang biasa disapa Mosad mengalir deras. Demikian juga saat Ruslan Buton ditangkap, dan terlebih lebih lagi saat peradilan Mayjen TNI (Purn.) Kivlan Zen. Dukungan luar biasa dari ribuan Purnawirawan TNI, diantaranya ratusan mantan Pati memberi dukungan tertulis. Fenomena turun gunung para Purnawirawan TNI ini menjadi peristiwa politik yang menarik. Karena menggambarkan kegelusahan mereka yang dalam terhadap teta kelola negara yang kacau-balau, amatiran dan amburadul. Mantan Panglima TNI Jendaral TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo yang bersedia menjadi salah satu Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) adalah sebuah kejutan. KAMI sebuah gerakan yang sangat kritis terhadap penyelenggaraan negara pimpinan Presiden Jokowi. Gatot tentu tidak sendirian. Ada banyak barisan Purnawirawan di belakangnya. Aksi Purnawirawan di berbagai even tidak bisa dianggap lalu. Disamping wujud kekecewaan atas peran terlalu besar "angkatan" Kepolisian, dan pengecilan TNI pasca pemisahan, juga hal ini menjadi suara keras gerakan moral dan patriotisme. Arah pengelolaan negara dinilai telah jauh melenceng jauh. Kalau ibarat kapal, arah kapal melenceng jauh dari tujuan akan dituju. Negara juga sudah melenceng dari cita-cita dan tujuan bernegara sesuai perintah kontitusi Pembukaan UUD 1945. Bukan lagi untuki melindungi segenap bangsa tumpah darah Indonesia. Tetapi melindungi kepentinga para oligarki, korporasi dan konglomerat licik, picik, busuk dan tamak. Sikap Purnawirawan adalah hati dan cermin dari TNI aktif yang masih terikat oleh disiplin komando. Komando yang kadang dibelenggu oleh permainan politik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Din-Rachmat, Sinergi Muhammadiyah-NU di KAMI
by Tony Rosyid Jakarta FNN- Jum’at (02/10). Dua tokoh besar Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) tampil memimpin Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia0 (KAMI). Mereka adalah Din Syamsudin dan Rachmat Wahab. Keduanya Guru Besar di dua perguruan tinggi ternama negeri ini. Din Syamsudin Guru Besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Sedangkan Rachmat Wahab Guru Besar di Universitas Negeri Jogyakarta (UNY). Kedua tokoh Muhammadiyah dan NU ini didaulat menjadi Presidium KAMI. Dibantu tokoh dari mantan militer yaitu Gatot Nurmantyo. Muhammadiyah adalah organisasi terbesar kedua setelah NU. Meski kedua tokoh ini tidak secara resmi mewakili organisasi masing-masing, namun representasi dan pengaruhnya tidak bisa diabaikan. Keduanya mempunyai nama besar. Baik di Muhammadiyah maupun NU. Jika tokoh Muhammadiyah dan NU sudah bersatu dalam langkah yang sama, maka dukungan mayoritas rakyat lebih mudah untuk diperoleh. Sejarah mencatat kemenangan Gus Dur di sidang MPR 1999 atas Megawati setelah tokoh Muhammadiyah yaitu Amien Rais memberikan dukungan kepada Gus Dur. Padahal, nama Gus Dur nggak muncul dari awal sebagai Capres. Bersatunya NU dan Muhammadiyah dalam gerakan moral dan juga politik termasuk barang langka dalam sejarah negeri ini. Sebab, keduanya memang bukan partai politik. Terutama sejak NU kembali ke Khittoh tahun 1984. Masing-masing ormas besar ini punya lahan sosial dan garapan pendidikan yang berbeda. Namun pada kondisi tertentu, para tokoh kedua Oraganisasi Kemasyarakatn (Ormas) ini bisa saja bersatu. Misalnya, untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. NU menggarap masyarakat pedesaan dan pendidikan tradisional. Muhammadiyah lebih terkonsentrasi pada masyarakat perkotaan dan pendidikan modern. Selain menggarap juga bidang kesehatan. melalui rumah sakit. Semacam bagi-bagi tugas. Namun, di dalam KAMI, dua tokoh Muhammadiyah dan NU bersatu di garda terdepan. Memimpin gerakan moral, meski harus berhadap-hadapan dengan penguasa. Mirip di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jika ketuanya dari NU, maka sekjen dari Muhammadiyah. Begitu juga sebaliknya. Bersatunya unsur NU-Muhammadiyah di KAMI, mesti diwakili oleh para tokoh non struktural, akan memberi harapan bahwa gerakan KAMI ke depan punya potensi besar. Selama ini, susahnya menyatukan NU-Muhammadiyah dalam satu paket (kebersamaan) gerakan moral, karena adanya faktor psikologis yang disebabkan oleh perbedaan paham keagamaan dan ritual diantara mereka. Ketika kedua tokoh ormas besar ini bersatu, lenyap semua sekat-sekat itu. Inilah diantara faktor yang membuat penguasa cukup panik. Penguasa tentu saja tidak senang, kalau tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU bersama dalam gerakan moral yang beroposisi kepada yang sedang berkuasa. Dalam banyak peristiwa politik, kedua ormas ini seringkali sengaja dibenturkan satu dengan yang lain. Terutama jelang pemilu. Pelakunya adalah para politisi. Sebut saja "politisi busuk". Isunya selalu soal paham keagamaan, mazhab dan ritual. Klasik! Meski klasik, tapi seringkali efektif. Di KAMI, keduanya menyatu. Tak ada isu yang bisa membenturkannya. Isu Islam kanan, nggak mempan. Isu radikalisme dan Khilafah, juga nggak ngefek. Muhammadiyah dan NU dikenal ormas moderat. Nggak ke kanan, apalagi radikal. Isu Khilafah itu bukan khas NU dan Muhammadiyah. Jika di Surabaya Senin kemarin (28/9) demo menolak KAMI karena dianggap mengusung faham khilafah, itu tandanya para pendemo bangun kesiangan. Baru siuman. Sementara tuduhan kepada KAMI sebagai barisan sakit hati, itu salah sasaran. Nggak akan mempan juga. Sebab, Din Syamsudin dan Rachmat Wahab tak terlibat aktif di politik, terutama pilpres 2019. Anda mau nuduh kedua tokoh ini punya ambisi jadi presiden? Makin ngaco dan ngawur! Mereka lebih cocok sebagai bapak bangsa. Bukan politisi, apalagi agen dan broker politik. Mereka adalah berdua itu organisatoris, guru besar, akademisi, ilmuwan dan agamawan yang dalam pikiran mereka berdua hanya ingin bangsa ini selamat. Titik! Tidak lebih. Nggak ada keinginan lain kecuali hanya itu. Bersyukur KAMI lahir di tengah bangsa yang sedang carut-marut, berantakan dan amburadul begini. Bersyukur juga KAMI mendapatkan sosok pemimpin seperti Din Syamsudin dan Rachmat Wahab. Sosok yang berintegritas dan punya kapasitas. Karena itu, tak berlebihan jika mereka berdua dianggap telah merepresentasikan suara mayoritas rakyat Indonesia. Selamat berjuang, semoga di tangan dua sosok ini, KAMI mampu memberi arah bangsa yang lebih jelas dan terukur. Selamat dari gelombang masalah akibat kedunguan para nahkodanya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Selamat Hari Kesaktian Pencasila, "Suatu Saat Indonesia Akan Jaya"
Bangsa Indonesia kini sedang mendapatkan ujian dari Allah Sunhanahu Wa Ta'ala. Covid-19 semakin memporak-porandakan ekonomi nasional. Untungnya, ujian itu tidak hanya menimpa negara yang berdasarkan Pancasila ini. by Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - Kamis (1/10). Jayalah Negeriku. Jayalah Indonesiaku. Walaupun saat ini sedang carut-marut, akibat Corona Virus Disaesa 2019 (Covid-19), ditambah lagi pemerintahan yang carut-marut dalam menangani berbagai masalah ekonomi, sosial, kesehatan, hukum dan politik, saya percaya, suatu waktu Indonesia akan jaya, dan diperhitungkan kembali di kancah internasional. Saya percaya Indonesia akan bangkit dari keterpurukan. Pengorbanan para pahlawan kemerdekaan, pahlawan revolusi, dan pahlawan reformasi kelak tidak akan sia-sia. Kelak Indonesia akan menjadi macan Asia yang siap mengaum ke seluruh dunia. Ekonomi sudah terasa merosot dalam 5 tahun pertama pemerintahan Joko Widodo- M.Jusuf Kalla. Janji pertumbuhan ekonomi 7% per tahun dalam kampanyenya tahun 2014 tidak pernah tercapai. Jangankan 7%, 6% pun tidak tercapai. Akibatnya, daya beli masyarakat merosot. Saya yang juga ikut bermain di sektor kecil-kecilan, turut merasakannya. Penjualan tahun 2018 turun 50% lebih dibanding penjualan tahun 2019. Banyak yang mengeluh omset turun terus. Apalagi di masa Covid-19 ini. Dalam 5 tahun pertama itu (2014 sampai 2019), mungkin ada sektor yang tumbuh, bertahan, dan turun. Tapi, umumnya turun. Banyak kios dan toko di mal yang tutup. Katanya karena online. Tapi, pengaruh online masih sangat kecil. Buktinya, tidak hanya kios yang tutup, tetapi juga sejumlah gerai mini market dan tempat perbelanjaan modern banyak yang tutup. Sebut saja berapa banyak gerai Matahari, Robinson, Indomart, Alfamart yang tutup. Belum lagi toko-toko di pinggir jalan, banyak yang tutup. Bangsa Indonesia kini sedang mendapatkan ujian dari Allah Sunhanahu Wa Ta'ala. Covid-19 semakin memporak-porandakan ekonomi nasional. Untungnya, ujian itu tidak hanya menimpa negara yang berdasarkan Pancasila ini. Semua negara ikut meraskannya. Jepang yang merupakan negara maju misalnya, sudah mengalami pertumbuhan ekonomi minus 2,2% dalam dua semester pertama tahun ini (Januari sampai Juni). Demikian juga Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan Eropa, sudah menjerit. Ekonomi di kawasan Timur Tengah juga 'oleng', karena di masa Covid-19 ini harga minyak dunia terjun bebas. Padahal, pengasilan utama negara-negara kawasan ini adalah minyak. Pun juga di sejumlah negara Afrika yang mengandalkan sumber pendapatan dari minyak bumi. Di kawasan Asia jelas sudah terasa, seperti yang dialami Jepang. Singapura yang mengandalkan perekonomian dari sektor jasa, hampir saja bangkrut. Negara-negara anggota ASEAN merasakan tekanan ekonomi yang sangat dalam, meski tingkat tekanannya berbeda antara negara yang satu dengan lainnya. Indonesia diperkirakan mendapatkan tekanan berat. Perkiraan ekonomi Indonesia tahun 2020 ini yang diproyeksikan minis 0 sampai 2 persen akan berdampak lama dalam pemulihannya. Tahun 2021, merupakan masa sulit. Pemerintah memproyeksikan ekonomi tumbuh 5 persen tahun depan. Akan tetapi, proyeksi itu terlalu ambisius, terlalu manis buat menghibur rakyatnya. Semua berharap Covid-19 segera berlalu. Semua berharap ekonomi membaik. Akan tetapi menyodorkan angka 5 persen, itu terlalu.muluk-muluk, terlalu gombal dan terlalu membual . Sebab, jika tidak tercapai, sebagian masyarakat akan berkata miring, "Pemerintah berbohong." Saya lebih cenderung pada pertumbuhan angka 3 sampai 4 persen tahun depan. Angka itu pun masih terlalu optimis. Mungkin yang realistis adalah 2,5 sampai 3,5 persen. Lebih baik proyeksi pemerintah dalam kondisi sekarang di bawah 5 persen. Katakanlah 4 persen. Kalau kenyataannya lebih dari 4 persen koma sekian, atau bisa 5 persen, itu sebuah prestasi. Akan tetapi, jika proyeksi 5 persen, dan kenyataan akhir yang diperoleh di bawah angk itu, pemerintah akan menjadi bulan-bulanan pengamat dan menjadi tambahan sumber ketidakpercayasns sebagia besar rakyat. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Rezim PKI Kah?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (30/09). Rakyat dan umat Islam harus sudah mulai waspada. Bahkan mulai bersiap-siap dengan serius untuk menghadapi kebangkitan Partai Komusnis Indonesia PKI dan faham komunis. Persoalan bangsa dan negara tidak bisa dianggap enteng. Pernyataan petinggi negara bahwa PKI tidak ada. PKI sudah dilarang. Komunisme telah bangkrut atau narasi serupa lainnya, justru merupakan sinyal bahwa PKI memang ada dan siap bangkit. Untuk itu, semua langkah dan upaya antisipasi harus dilakan, dan disiapkan sejak sekarang. Negara dan pemerintah ini, tidak bisa terlalu diharapkan untuk berbuat menghalangi dan mencegah bangkit dan penyebaran PKI model baru dan faham komunis. Masyarakat, khususnya umat Islam yang harus bergerak dan betindak sejak sekarang. Konsolidasi ke arah itu, seharusnya dimulai dari sekarang. Jangan menunggu, sebab bisa kecolongan. PKI dan faham komunisme munculnya di lingkaran Pemerintah. Tersebar di Parlemen, serta menyusup di organisasi kemasyarakatan. PKI dan faham komunisme adalah sebutan untuk mereka yang anti agama, sekuler, pembela PKI, serta pendukung penggerusan ideologi Pancasila 18 Agustus 1945. Tentu saja sangat bodoh bila menganggap PKI itu hanya semata-mata partainya Diva Nusantara Aidit. PKI kini adalah pengelompokan diri faham yang selalu menyebut agama itu radikal dan intoleran. Ciri dan karakter mereka itu, anti terhadap kritik dan menjadi penjilat utama penguasa. Kasus acara Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Surabaya, yang bukan hanya dihalang-halang, tetapi juga dibubarkan. Lalu tokoh anti PKI Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo digiring keluar menjadi petunjuk bahwa PKI mulai beraksi. Aparat kepolisian pun nampaknya tidak sadar berada dalam pusaran permainan mereka. Meskipun telah terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi manusia (HAM), yakni dengan melanggar Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Namun arapat seperti sengaja, bahkan mebiarkan peristiwa itu terjadi di depan mata. Tadak ada upaya dari aparat untuk mencegahnya. Ini sangat tragis. Namun tidak membuat KAMI surut. Malah semakin mantap maju Aksi aksi tandingan di luar gedung ,yang dibiarkan adalah paru arit, arogansi dan pembunuhan moral bangsa. Modus kejahatan baru. Jawa Timur telah mendeklarasikan munculnya PKI. Dan akan ada susulan deklarasi PKI-PKI yang lain. Keberadaan KAMI rupanya menjadi even bagi PKI untuk keluar dari kandang npersembunyian. Meraka mulai terbuka, bahkan terang-terangan. Tidak lagi sembunyi-sembunyi. Nah, kalau sudah begini, Rezim diam atau terlibat? Pertanyaan yang sama saat terjadi peristiwa G 30 S PKI pada tahun 1965. Apakah PKI itu sendirian atas pembunuhan para Jenderal TNI ? Atau ada dalang lain yang turut menyertai PKI? Faktanya adalah bahwa PKI itu pandai menyusup dan mempengaruhi pusat kekuasaan, termasuk dengan mudah mempengaruhi Presiden Soekarno. PKI pandai menipu hingga Soekarno harus berpidato "aku berkata PKI, jo sanak ku, jo kadangku, jen mati aku melu kelangan" (tepuk tangan). Saking hebatnya PKI mempengaruhi Soekarno, sampai partai agama Masyumi pun bisa dibubarkan. Hampir saja Himpinan Mahasisw Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII) turut dibubarkan. Pada bulan Mei berakrab-akrab ria, namun bulan September PKI beraksi. Para perwira Tinggi TNI diculik dan dibunuh. Kita tidak boleh menuduh Rezim Jokowi terkait dengan PKI. Akan tetapi bolehlah kita sebagai rakyat Indonesia menanti sikap rezim yang tegas untuk mengingatkan rakyat akan bahaya PKI dan Komunisme? Tidak cukup dengan sekedar menunjuk pada aturan pelarangan. Karena terbukti aturan itu pernah diabaikan bahkan hendak dicabut. PKI dan faham komunisme tetap merupakan bahaya laten bangsa. Rakyat khususnya umat Islam melihat PKI dan Komunisme sebagai musuh yang bengis dan jahat. Mati lebih terhormat daripada membiarkan PKI dan faham komunisme bangkit dan hidup kembali di negeri ini. Apakah Pemerintah juga melihat dengan pandangan yang sama ? Semoga saja. Amin. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Din Syamsudin Dan Nasib KAMI Kedepan
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis 930/09). Bicara Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) tidak lepas dari sosok kharismatik Ini. Namanya Din Syamsudin. Secara historis, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini termasuk paling awal (Assaabiquunal Awwaluun) yang merintis gerakan ini sebelum akhirnya nama KAMI lahir. Semula ada sembilan tokoh. Yang belakangan dikenal dengan sembilan tokoh oposisi. Yaitu Din Syamsudin, Habib Rizieq, Abdullah Hehamahua, Emha Ainun Najib, Rizal Ramli, Refly Harun, Rocky Gerung, Kiyai Najih Maemoen dan Said Didu. Kepada sembilan tokoh ini, Din Syamsudin merajutnya. Melakukan komunikasi intens untuk menyamakan visi dan langkah. Rapat perdana dan ini akan jadi sejarah KAMI, diadakan di rumah Rizal Ramli. Lima dari sembilan tokoh hadir dalam rapat sangat terbatas itu. Membahas gerakan moral ini. Sekali lagi, gerakan moral. Bukan gerakan politik. Karena KAMI ini dilahirkan sebagai gerakan moral. Bukan menjadi lokomotif untuk politik praktis. Apalagi partai politik. Tidak! Dalam perkembangannya, tokoh-tokoh lain untuk ikut bergabung. KAMI adalah organisasi terbuka. Bagi siapa saja yang cinta negeri dan tanah air ini diberi ruang untuk bergabung. Termasuk para agen intelijen yang ingin belajar moral. Syaratnya satu, “punya visi menyelamatkan masa depan Indonesia”. Belakangan, nama KAMI ditempelkan di gerakan ini. Dan sekarang sedang populer. Nama KAMI berawal dari usulan Abdullah Hehamahua. Hasil ijtihad berbulan-bulan mantan Ketua Umum PB HMI dan penasehat KPK ini diterima secara aklamasi. Dalam perkembangannya, KAMI membesar. Rakyat menyambutnya dengan sangat antusias. Merasa mempunyai kendaraan untuk menyuarakan kebenaran secara bersama-sama. Mesti tetap harus menghadapi hambatan dan sejumlah persekusi. Semakin dihambat dan banyak persekusi, KAMI akan makin dikenal dan membesar. Semakin susah dibendung. Performence Din Syamsudin yang humble dan penuh senyum membuat KAMI relatif mudah masuk ke hati rakyat. Sikap dan senyum yang natural. Ini penting berkaitan dengan psikologi publik. Pengalaman organisasi dan kemampuan intelektual Guru Besar UIN Jakarta ini diyakini mampu membawa KAMI untuk hadir tidak saja elegan, tapi efektif sebagai sebuah gerakan moral. Din Syamsudin tidak sendiri. Belakangan ada sejumlah tokoh yang ikut bergabung. Diantaranya adalah Rachmat Wahab dari Nahdatul Ulama (NU) garis lurus, Syahganda Nainggolan, dan Gatot Nurmantyo dari militer. Bersama Din Syamsudin, keduanya didaulat sebagai Presidium. Presidium ini diback up oleh tokoh-tokoh besar. Sebut saja Abdullah Hehamahua, Bachtiar Nasir, Refly Harun, Said Didu, Rocky Gerung, Chusnul Mar'iyah, Kiyai Abdurrasyid Syafi'i Profesor Anthony Budiawan, Ikhsanudin Noersy, Edwin Sukawati dan banyak lagi. Meski Emha Ainun Najib, Rizal Ramli, Kiai Najih Maemoen, Sobri Lubis (Ketua FPI), Yusuf Martak (Ketua GNPF), Selamet Ma'arif (Ketua PS 212) tidak berada di dalam struktur KAMI, mereka tetap mendukung, selama KAMI konsisten menjadi gerakan moral. Dengan pola gerakan yang soft dan komposisi para tokoh yang cukup ideal ini, Din Syamsudin cs, telah sukses membawa gerbong KAMI diterima oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Tugas berikutnya adalah bagaimana KAMI ini mampu mengfungsikan dirinya lebih efektif di tengah berbagai krisis yang sedang dialami oleh bangsa ini. Ini pekerjaan tidak ringan. Selama ini, KAMI on the track sebagai gerakan moral. Menjadi kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat dan membahayakan nasib masa depan bangsa. Tidak hanya sampai disitu, Din Syamsuddin cs atas nama KAMI juga memberikan data, hasil riset dan terobosan solusi untuk perbaikan bangsa ke depan. Di tengah kegagalan pemerintah yang begitu sering dalam menghadapi problem bangsa, dan kebebalannya dalam merespon setiap masukan rakyat, akankah menggoda KAMI yang dikomandoi Din Syamsudin cs ini untuk merubah pola gerakannya? Apalagi jika krisis ekonomi berkepanjangan dan telah menciptakan gejolak sosial, maka godaan politik akan sangat kuat. Apalagi, jaringan KAMI di daerah sudah makin meluas. Ini akan jadi ujian moral bagi Din Syamsudin dan seluruh anggota KAMI. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Makin Diserang, KAMI Makin Terbang
by Tony Rosyid Jakarta FNN- Kamis (30/09). Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) terus bergaung di sejumlah daerah. Tanpa henti KAMI terus bergerak. Dari satu daerah ke daerah yang lain. Bagi mereka yang kecewa terhadap pemerintahan Jokowi, KAMI menjadi tempat yang tepat untuk berkumpul menyuarakan idealisme dan keprihatinan terhadap bangsa. Seiring berjalannya waktu, KAMI semakin membesar. Membesar jumlah pengikutnya, juga pengaruhnya. Pelan tapi pasti. Namun sebelum benar-benar membesar, ada upaya dari "pihak-pihak tertentu" untuk menghambat, bahkan menghalangi. Publik tahu siapa pihak-pihak ini. Baca pola dan isunya, itu khas. Polanya selalu menggunakan pengerahan massa antara 50-100 orang. Ini berkaitan dengan anggaran. Terdiri dari anak-anak muda. Teriak-teriak di atas mobil dengan toa yang lumayan lantang. Dan isu yang terus diangkat adalah Khilafah, anti Pancasila dan pemecah belah bangsa. Ditambah satu tuduhan “barisan sakit hati”. Perhatikan gaya mereka! Nggak akan keluar dari isu itu. Dilengkapi dengan sejumlah spanduk yang dipasang di sekelilingnya. Demo macam ini terjadi Senen (28/9) di Surabaya. Mirip dengan demo yang terjadi saat awal deklarasi KAMI di Tugu Proklamasi Jakarta 18 Agustus lalu. Juga di sejumlah tempat lain. Pola dan isunya masih tetap sama. Kalau anda menemukan pola demo macam ini, mudah untuk menunjuk jidat mana yang menggerakkan demo ini. Apakah dengan demo penolakan ini mental KAMI makin ciut? Lalu rencana deklarasi di berbagai daerah berhenti? Tidak! Anda salah kalau berpikir seperti itu. Perlu belajar teori "The functions of social conflicts" nya Lewis Coser. Teori ini mengungkapkan betapa penolakan itulah yang dibutuhkan KAMI. Siapin panggung kecil, dapat panggung besar. Ini ungkapan yang tepat untuk menggambarkan KAMI dalam banyak peristiwa persekusi di beberapa daerah. Sesungguhnya, tak banyak orang dan media tahu momen deklarasi di Surabaya. Begitu juga di daerah-daerah lain. Gara-gara ditolak, ramai dan publik menjadi tahu. Media blow up besar-besaran. Bagi KAMI, ini adalah hadiah. Bahkan anugerah. Ada momen untuk iklan gratis. Dengan penolakan ini, konsolidasi KAMI di seluruh Indonesia juga makin kuat. Gelombang empati dan pembelaan semakin membesar. Senin lalu, media dan medsos ramai. Dipenuhi berita deklarasi KAMI di Surabaya Jawa Timur. Lahan subur bagi KAMI untuk beriklan dan mensosialisasikan diri. Dari peristiwa ini, KAMI berlimpah simpati. Mengambil momentum ini dengan sangat cerdas. Diam tak membalas. Cukup klarifikasi secukupnya. Memberi pemahaman publik tentang identitasnya. Inilah KAMI. Cukup itu saja. Dan rakyat paham. Di KAMI, ada banyak tokoh yang punya daya tarik dan kemampuan bernarasi. Mereka punya kelas dan klaster pendukung masing-masing. Ada Gatot Nurmantyo, Din Syamsudin, Rocky Gerung, Refly Harun, Said Didu, Abdullah Hehamahua, Chusnul Mariyah, dan lain-lain. KAMI menjadi tempat berkumpul para tokoh dari hampir semua ormas dan profesi. Di KAMI juga berkumpul banyak penulis dan wartawan militan. Hampir, kalau tidak dikatakan semua penulis aktif media Online berkumpul di KAMI. Mungkin 99,9% penulis aktif ada di KAMI. Hanya 1% yang berada di kubu pemerintah. Ini sekaligus untuk membedakan mana militan, mana bayaran. Terkesan berlebihan. Tapi mudah untuk dibuktikan. Dengan peristiwa Surabaya tersebut, justru jadi bensin yang membuat gerakan KAMI semakin nyala di negeri ini. Semakin banyak penolakan, maka semakin banyak trigger pula yang membuat KAMI semakin melambung dan terbang. Mendapatkan keuntungan besar. Dalam setiap peristiwa penolakan, ada simbiosis multualisme. Ini yang menarik. Deklarasi KAMI mendatangkan project bagi para penolaknya. Masih ingat proposal organisasi mahasiswa yang beredar dan viral? Hanya dengan Rp 16 juta sekian anggaran untuk menolak deklarasi KAMI di Surabaya. Kecil bagi anda, tapi besar bagi para mahasiswa itu. Di sisi lain, kehadiran para penolak membuat nama KAMI semakin melambung tinggi. Keduanya saling membutuhkan. KAMI dan para penolaknya. Mereka dapat uang, KAMI dapat iklan. Jika sinergi ini terus terjaga, maka akan mempercepat situasi menjadi matang. Maksudnya? Jangan berlagak bego lu! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
KAMI Beruntung, Semakin Dibesarkan Oleh Demo Penolakan
by Asyari Usman Jakarta FNN - Senin (28/09). Tidak banyak ormas yang bisa cepat besar seperti KAMI. Begitu dideklarasikan kelahirannya, ormas ini langsung masuk kategori yang dianggap sebagaia ancaman. Kalau tidak dianggap begitu, tentunya deklarasi mereka tidak akan diganggu. Tidak akan dibubarkan. Itulah yang dialami KAMI ketika menyelenggarakan deklarasi pembentukan pengurus di Surabaya, Senin (28/9/2020). Massa yang diyakini sebagai gerombolan orang-orang bayaran, melarang warga KAMI mengikuti acara. Alasan mereka, deklarasi itu sifatnya politis. Lho, kalau politis, kenapa rupanya? Apa tidak boleh orang berkumpul untuk menyatakan pendapat politik, pendapat ekonomi atau pendapat apa pun itu? Tentu sah-sah saja, bukan? Kenapa harus ditekan? Untuk apa dihalang-halangi? Memangnya KAMI itu punya apa? Punya duit banyak? Betul-betul sangat mengherankan. Tetapi, sesungguhnya KAMI beruntung. Bisa langsung dianggap sebagai rival. Itu pertanda yang sangat positif. Beruntung bisa melejit tinggi akibat demo-demo penolakan yang dilakukan oleh yang diduga sebagai massa bayaran. Karena itu, saya perkirakan orang-orang KAMI akan semakin bersemangat untuk meluaskan jaringan nasional. Sikap bermusuhan yang ditunjukkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai “massa rakyat asli” itu pasti akan semakin memperkuat citra KAMI. Sebab, permusuhan itu mengisyaratkan KAMI berhasil menjadi ormas yang diperhitungkan. Tinggal sekarang, KAMI bekerja keras untuk memperbanyak jaringan. Yaitu kerja keras dalam menggelar deklarasi di sebanyak mungkin daerah di Indonesia. Saya menduga, pegurus KAMI akan mendorong para pendukungnya di daerah-daerah agar segera melasanakan acara deklarasai. Dengan tujuan agar ada massa bayaran yang menolak. Begitu ditolak akan langsung masuk berita media massa, baik televisi maupun media online. Penolakan akan menjadi viral. Nama KAMI disebut seharian. Dari siang sampai malam. Bahkan sampai besok, lusa, dst. Namun, tentu saja penyelenggaraan deklarasi KAMI dengan tujuan supaya diganggu, tidaklah baik. Sebab, pola seperti itu menunjukkan bahwa pihak yang mengganggu adalah orang-orang pengecut. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Apologi Itu Bernama "Out of The Box"
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN- Senin (28/09). Ketika mengkritisi atau mengoreksi suatu kebijakan atau sikap politik pejabat publik yang dinilai secara kepatutan, bahkan aturan dianggap keliru, maka semestinya diterima dan direnungkan. Bila tak sesuai dapat diklarifikasi ataupun diabaikan. Anehnya, tak sedikit pendukung membuat pembelaan apologetik bahwa kebijakan atau sikap politik yang tak layaknya itu sebagai kebenaran yang "out of the box". Sampai ada pandangan bahwa keberanian Luhut Binsar Panjaitan menjadi garda depan kerjasama dengan China termasuk Partai Komunis Cina (PKC) adalah inovasi yang "out of the box". Tak perlu kuatir soal komunisme. Prabowo menanam singkong juga "out of the box". Hueeebat kan Mneteri Pertahanan (Menhan) menjadi Menteri Pertanian (Mentan). Jokowi juga mensupport anak, mantu, besan untuk maju Pilkada, dan itu bukan sebagai nepotisme atau politik dinasti. Tetapi langkah brilyan "out of the box". Sampai-sampai pengumumannya disampaikan di istana negara. Ketika Peraturan Pemerintah Penggabti Undang-Undang (Perppu) Corona dibuat dengan memporak-porandakan hukum dan perundang-undangan, dianggap bukan merampok dana APBN. Tetapi langkah terobosan yang "out of the box". Begitu juga Pemerintah yang ngotot untuk melaksanakan Pilkada di tengah meningkatnya korban pandemi Covid 19 adalah "out of the box". Jika nanti saat Pelikada berlangsung, korban berjatuhan maka itupun lumrah sebagai korban yang "out of the box". Sekarang "out of the box" menjadi seolah terobosan padahal itu adalah kenekadan. Bahkan nyata-nyata penyimpangan dari nilai kebenaran dan keadilan. Siapapun oranngnya yang sudah berada dalam "box” yang benar maka ia tidak boleh "out". Begitu yang seharusnya. Namun kepentingan politik mampu membingkai seribu alasan untuk melakukan perbuatan di luar kebiasaan atau kewajaran teta kelola pemerintahan yang benar, menjadi "out of the box". Dengan alasan bahwa Orde Baru lah yang anti Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Komunis, maka ketika muncul sikap perlunya mewaspadai bahaya bangkitnya Neo PKI dan Komunisme, dituduhlah itu sebagai anasir Orde Baru. Lalu dibuatlah argumen Pemerintah harus membuat langkah "out of the box" dengan rekonsialisasi, rehabilitasi, dan meminta maaf kepada pengikut atau keluarga PKI. "Out of the box" dalam makna kreatif harus berbasis aturan. Bukan menginjak-injak atau memperalat aturan untuk kepentingan kelompok dan keluarga. Apalagi mengeliminasi Tap. MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 itu bukan "out of the box". Berkreasi tentang Pasal Trisila dan Ekasila atau mengecilkan porsi Agama di Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) bukan pula "out of the box". Begitu juga dengan Pancasila berbasis tanggal 1 Juni 1945. Membuka celah bangkit Neo PKI dan Komunisme absolut bukan "out of the box". Aspek-aspek yang menginjak-injak atau memperalat aturan bukanlah "out of the box". Melainkan kunci pembuka dari "Pandora's box" yang membuka sebaran penyakit virus PKI dan Komunisme. RUU HIP dan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasil (BPIP) adalah "Pandora's box". Zeus menghadiahi puterinya Pandora kotak yang tak boleh dibuka. Tapi perempuan ini melanggarnya. Akibatnya tersebarlah penyakit di muka bumi. Makanya PKI dan Komunisme akan tersebar menjadi penyakit di bumi Pertiwi, hanya karena sang Puteri melanggar amanat. Kotak Pandora berusaha untuk dibuka. Maka RUU HIP dan RUU BPIP yang seharusnya ditutup rapat, masih terus saja dicari-cari celah agar dapat terkuak. Seolah pekerjaan itu bagus "out of the box". Padahal yang bakal terjadi adalah "out from the box". Penyakit yang tersebar lalu merusak dan membahayakan rakyat, bangsa, dan negara memlalui faham komunisme. Penghianat telah mencoba membuka "Pandora's box". Virus Komunisme akan disebarkan. Karenanya sebelum tersebar maka cegah dan basmi sampai ke akar-akarnya. Apapun resikonya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Kebangkitan PKI Itu Keniscayaan
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (28/09). Kita bisa lihat Partai Komunis Indonesia (PKI) dari dua hal. Pertama, dilihat secara ideologis. PKI itu berideologi komunis. Komunis anti Tuhan. Berarti anti Pancasila. Sebab itu, nggak layak hidup di negara Pancasila. Karena dipaksakan, lahirlah banyak benturan. Terutama benturan terhadap masyarakat yang beragama dan ber-Tuhan. Bubarkan Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), pembantaian terhadap para kiai dan ulama, pembakaran masjid, madrasah serta pesantren itu bagian niscaya dari tuntutan revolusi PKI. Kalau tidak begitu, itu bukan komunis. Lahirnya NASAKOM yang berupaya menyatukan kelompok nasionalis, agama dan komunis boleh jadi karena ketiga kelompok ini merupakan fakta sosial dan politik di Indonesia saat itu. Namun, Soekarno tidak menyadari bahwa NASAKOM pada kenyataannya absurd, ambigu dan kontradiktif. Sebab, komunis tidak mungkin bisa hidup dalam masyarakat yang mayoritas beragama, terutama Islam. Sampai disini, gagasan NASAKOM dan kedekatan Soekarno dengan PKI menyisakan sejumlah pertanyaan. Apakah NASAKOM itu bagian dari bentuk idealisme Soekarno dalam menyatukan semua kelompok bangsa? Atau sekedar pencitraan Soekarno di mata dunia? Dimana kapitalisme dan komunisme tidak pernah akur, bahkan terjadi perang dingin saat itu? Atau ada skenario lain? Kalau urusan skenario itu, hanya Soekarno dan Tuhan yang tahu. Pembantaian terhadap para Jenderal terjadi, karena para Jenderal dianggap sebagai penghalang revolusi yang menjadi ciri khas perjuangan komunisme. Peristiwa ini, lebih bersifat politis. Walaupun demikian, sesungguhnya, para Jenderal yang dihabisi itu juga sangat ideologis dan Pancasilais. Bagaimanapun, menghabisi Dewan Jenderal secara struktural telah mewariskan luka sejarah yang sangat mendalam, terutama bagi TNI AD. Jadi, jika sepanjang sejarah TNI AD marah terhadap PKI, itu wajar dan natural saja. Jika para tokoh, senior dan pimpinan organisasi anda dibantai secara terstruktur, luka di hati anda dan semua kader organisasi tidak akan pernah sembuh. Ini juga yang dialami oleh NU ketika tahun 1948 para Kiai NU dibantai PKI di Jawa Timur. Jadi, isu kebangkitan PKI bukan hanya menyinggung emosi Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo, Jenderal TNI (Purn.) Ryamizard Ryacudu dan Mayjen TNI (Purn.) Kivlan Zen saja. Ini bagian dari perasaan dan emosi seluruh anggota TNI, terutama TNI-AD. Jendral TNI Kehormatan (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan dan Jendral TNI Kehormatan (Purn.) Abdullah Mahmyud Hendropriyono juga bagian dari TNI AD. Dua Jenderal Kehormatan ini adalah prajurit Komando Kopassus. Barangkali perlu juga untuk diminta mengungkapkan perasaannya soal pemberontakan PKI tersebut Dilihat dari sisi historis. Setidaknya ada dua protes dari eks PKI dan anak-anak biologisnya. Pertama, protes terhadap film G 30 S PKI. Dianggap manipulatif. Penuh rekayasa. Mereka minta kepada pemerintah untuk tidak lagi ditayangkan. Dihapus semua file-nya. Mendesak presiden Jokowi buat film G 30 S PKI versi baru. Terkait usul tersebut, sempat ada wacana dari istana. Tapi, sampai sekarang belum terealisasi. Kedua, menuntut kepada presiden Jokowi atas nama bangsa Indonesia agar meminta maaf secara resmi kepada PKI. Jika ini dilakukan, maka akan mengubah jalannya sejarah bangsa Indonesia. Poinnya, PKI korban, bukan pelaku. Setelah itu, akan ada project besar untuk menulis buku sejarah PKI yang akan menjadi referensi dalam kurikulum sekolah. Kedua tuntutan ini, tidak atau belum mampu dipenuhi Jokowi. Sebab, ini akan sangat berisiko secara politik. Jokowi tidak, bukan hanya akan berhadapan dengan TNI, tetapi juga dengan umat Islam. Muncul pertanyaan publik, apakah lahirnya RUU HIP adalah bagian dari alternatif perjuangan PKI setelah gagal mendesak Jokowi meminta maaf kepada PKI dan menghapus film G 30 S PKI? Atau itu bagian yang menyatu dan menjadi satu kesatuan strategi? Menjawab ini perlu sedikit riset dan diskusi lebih panjang. Tak seperti biasanya, tahun ini dinamika ke-PKI-an ramai, jauh sebelum bulan september. Bulan dimana PKI selalu jadi tema utama. Bulan dimana keluarga para Jenderal revolusi itu menahan emosi. Dan bulan dimana para eks PKI dan anak-anak biologisnya sedang dapat panggung untuk branding diri di media. Hal ini telah memunculkan tanda tanya, bahkan kecurigaan publik, apakah PKI akan bangkit kembali? Setelah era reformasi membuka ruang bagi eks dan anak-anak biologis PKI untuk memdapatkan hak politik dan sosialnya, "wajar jika" kemudian mereka menggunakan kesempatan itu untuk bangkit. Hidup dalam tekanan dan dendam biasanya akan memicu lahirnya perlawanan. Secara psikologis, masyarakat yang lama tertekan karena hak-hak politik dan sosialnya dicabut akan bangkit dan melakukan perlawanan saat kesempatan datang. Mereka tak ingin semua penderitaannya selama ini sia-sia. Tak ubahnya dengan apa yang dilakukan para eks tahanan politik (tapol). Mereka terus berusaha untuk berdiri, bangkit dan mengisi sejumlah posisi strategis. Hanya saja, sebelum TAP MPRS No 25 Tahun 1966 yang melarang PKI dicabut, siapapun yang ingin bengkitkan PKI harus melakukannya dengan pola gerakan bawah tanah. Jangan coba-coba terang-terangan. Sebab pastinya akan berhadap-hadapan dengan TNI dan umta Islam. Sulit membayangkan mereka bisa terima semua penderitaan selama 32 tahun itu, lalu pasrah saja. Sementara kesempatan untuk melakukan konsolidasi dan memulai perlawanan sudah sangat terbuka saat ini. Mereka bisa membangun gerakan bawah tanah, menyusupkan para anggotanya di partai dan berbagai kelembagaan/institusi negara. Sekali lagi, ini hanya cara berpikir dan pemahaman logis. Menarik jika dicari dan diinvestigasi datanya. Anggap saja ini hipotesis. Perlu pembuktian. Namun jika kita memahaminya dengan pendekatan teori marxisme dan gerakan leninisme, maka akan semakin sulit menyimpulkan bahwa PKI mati. Maaf! Jadi agak berat diskusinya. Munculnya kecurigaan dan kewaspadaan terhadap kebangkitan PKI sesungguhnya berbasis pada pengetahuan ilmiah yang diambil dari teori komunisme ala marxis itu sendiri. Juga gerakan revolusioner komunisme di berbagai negara, serta trauma sejarah pemberontakan PKI di Indonesia. Jika Marx berani bilang bahwa hukum sejarahnya itu ilmiah, maka kecurigaan terhadap kebangkitan PKI di Indonesia itu juga ilmiah. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.