NASIONAL
Cek Kosong, Ilusi & Hayalan Dari Omnibus Law
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Ahad (11/10). Sedih dan pilu nasib rakyat Indonesia. Kebijakan ekonomi berdasarkan coba-coba tanpa kajian menyeluruh dan masuk akal. Kebijakan coba-coba ini hanya berdasarkan intuisi. Yang ternyata salah arah. Atau memang tujuannya mau menguntungkan pihak tertentu saja? Mereka itu adalah oligarki, korporasi dan konglomerasi. Target pertumbuhan ekonomi 2015-2019 dipatok 7 persen. Realisasinya jauh di bawah itu. Jauh panggang ari api. Pertumbuhan ekonomi 2015 hanya 4,9 persen. Akibatnya, pemerintah kelihatan bingung dan penik. Jurus kebijakan coba-coba mulai dijalankan. Sejak 2015 pemerintah mulai menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE). Katanya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi menjadi 7 persen. Hasilnya? Silahkan cari di laut bebas. Tidak hanya satu kebijakan, tetapi berjilid-jilid. Puncaknya 16 November 2018, pemerintah menerbitkan PKE jilid XVI yang sangat absurd dan akhirnya harus direvisi atau dibatalkan. PKE intinya kebijakan insentif perpajakan untuk menarik investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tetapi, hasilnya nihil. Pertumbuhan ekonomi 2015-2019 rata-rata hanya 5 persen per tahun. Lebih rendah dari dua periode 5 tahun sebelumnya. Pertumbuhan rata-rata 2005-2009 dan 2010-2014 masing-masing 5,6 persen dan 5,8 persen per tahun. Kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan Tax Amnesty (TA) yang berlaku Juli 2016 hingga Maret 2017. Tax Amnesty lagi-lagi memberi janji angin surga. Janji manis ditebar pemerintah dan pengikut intelektualnya. Setara dengan pengikut yang aktif di medsos. Propagandanya sangat militan. Sampai mengancam bagi yang tidak ikut Tax Amnesty. Janji manis Tax Amnesty sebagai berikut. Pertama, Tax Amnesty akan membawa kembali uang penduduk Indonesia yang disimpan di luar negeri. Nilainya fantastis, sekitar Rp 4.000 triliun, bahkan sampai Rp 11.000 triliun. Kedua, dengan uang hasil Tax Amnesty itu, akan membuat pertumbuhan ekonomi meroket. Ketiga, Tax Amnesty membuat rasio penerimaan pajak terhadap PDB naik drastis. Dari 11 persen menjadi 14,6 persen pada 2019. Janji Tax Amnesty ternyata tidak terbukti. Pertumbuhan ekonomi hanya rata-rata 5 persen per tahun pada 2015-2019. Rasio penerimaan pajak 2019 malah turun menjadi 9,8 persen. Uang yang masuk (repatriasi) dari luar negeri hanya Rp 146 ,6 triliun. Jauh di bawah nilai propaganda. Yang menjadi “korban” Tax Amnesty malah penduduk di dalam negeri. Nilai harta dalam negeri yang dilaporkan sebesar Rp 3.633,1 triliun. Padahal banyak harta ini diperoleh dari hasil kerja yang sudah bayar pajak. Tetapi belum dilaporkan di SPT Tahunan yang memang sebelum tahun 2008 tidak diwajibkan untuk itu. Sedangkan harta luar negeri yang dilaporkan terkait Tax Amnesty hanya Rp 1.180 triliun, jauh di bawah nilai propaganda. Kebijakan PKE dan Tax Amnesty dapat dikatakan gagal. Tetapi, pelaku penggelapan pajak sudah terbebas dari ancaman pidana penggelapan pajak. Pemerintah, dan DPR yang menyetujui Tax Amnesty, aman-aman saja. Juga bebas dari segala konsekuensi akibat kegagalan dalam mengambil kebijakan yang merugikan masyarakat luas dan menguntungkan segelintir orang saja. Karena tidak sanksi atas kegagalan kebijakan ini. Karena tidak ada mekanisme pemberian tanggung jawab kepala negara kepada rakyat. Akibat hak konstitusi rakyat sudah dirampok dengan UUD “palsu”. Sebelumnya, presiden Soekarno turun karena pertanggung jawabannya tidak diterima MPR. Begitu juga presiden Habibie. Ooh betapa buruknya nasib rakyat Indonesia sekarang ini. Setelah Tax Amnesty, kini giliran Omnibus Law Cipta Kerja dimainkan. Maksudnya dikenalkan ke publik. RUU Cipta Kerja yang diumpan pemerintah sudah disahkan DPR menjadi UU pada 5 Oktober 2020. Pengesahan UU ini disambut gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat. Seperti biasa, pro dan kontra saling sikut menyikut. Pihak kontra mengatakan UU ini sangat merugikan masyarakat termasuk buruh, pekerja dan petani. Bahkan ada yang mengatakan UU ini membuat sistem perbudakan di Indonesia aktif kembali. Tragis mendengarnya. Selain itu, 35 investor global menyuarakan kekhawatirannya terhadap potensi kerusakan lingkungan hidup. Pemerintah tentu saja ada alasan mengapa begitu ngotot mau mengesahkan UU Cipta Kerja. Alasannya klasik, sama seperti alasan Tax Amnesty. Yaitu, untuk menarik investasi sebesar-besarnya. Investasi asing maupun dalam negeri. Menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Benarkah propaganda ini? Benarkah UU Cipta Kerja akan meningkatkan investasi? Jangan-jangan propaganda ini akan menjadi cek kosong belaka, seperti pada kebijakan Tax Amnesty. Maksudnya, semua janji manis hanya isapan jempol saja. Kalau ini sampai terjadi, apakah pemerintah dan DPR berani bertanggung jawab karena sudah begitu ngotot mengesahkan UU tersebut, meskipun diiringi protes dan korban jiwa? Misalnya, mengundurkan diri kalau gagal? Masalah ekonomi yang lemah saat ini bukan karena UU. Karena dengan menggunakan UU yang sama, pertumbuhan investasi pada periode 5 tahun sebelumnya (2010-2014) bisa lebih tinggi dari periode 5 tahun terakhir (2015-2019). Pertumbuhan investasi pada periode 2010-2014 rata-rata 27 persen per tahun. Jauh lebih tinggi dari periode 2015-2019 yang hanya 10,3 persen. Pertumbuhan PMA dan PMDN periode 2010-2014 masing-masing 21,4 persen dan 32,8 persen. Juga jauh lebih tinggi dari periode 2015-2019 yang masing-masing minus 0,23 persen dan plus 19,9 persen. Padahal pemerintahan SBY pada periode kedua tersebut juga menggunakan UU yang sama, dengan pemerintahan Jokowi, yaitu UU yang belum diganti dengan UU Cipta Kerja. Berdasarkan fakta ini, sangat tidak tepat menyalahkan UU atas pelambatan investasi. Oleh karena itu, solusinya bukan mengganti UU. Tapi seharusnya mengganti pengelola negara. Maksudnya, anggota kebinet yang tidak mampu. Selain itu, pemerintah dan DPR harus bertanggung jawab kalau kebijakan yang sudah makan korban nyawa ini ternyata gagal. Harus ada konsekuensinya. Berani? Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
Omnibus Law Ciptakan Hantu & Genderuwo
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (11/10). Draft final Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, disingkat Cilaka tidak ada di meja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terhormat. Bahkan tidak jelas rimba keberadaannya hingga kini. Jadi timbul pertanyaan benarkah RUU sialan itu dibahas ? Lalu materi apa saja yang telah dikritisi ? Wallahu a'lam bishawab. Saat diketuk pula dalam keadaan drafnya belum final. Baru dilakukan finalisasi setelah disahkan di rapat peripurna. Padahal rapat di tingkat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) saja tidak begini-begini amat rasanya. Karena draf final RUU tidak tampak di meja anggota DPR yang terhormat pada saat rapat peripurna pengesahan, maka ini bisa dikatagorikan UU hantu, kuntilanak dan genderuwo.UU paling amburadul sepanjang Indonesia merdeka sampai sekarang. Bahkan mungkin juga paling UU paling amburadul di dunia. Makanya harus diberikan rekor MURI dari Jaya Suprana RUU Omnibus menjadi RUU hantu, kuntilanak dan genderuwo. RUU yang barangnya tidak ada di meja anggota DPR. Keberadaannya hanya draft awal. Draf lengkap tidak ada. Malah ada anggota yang Dewan menyatakan kalau RUU Omnibus yang bertebaran sekarang banyak versi. Lalu ada lagi yang bilang salah ketik ini dan itu. RUU yang unik ini, tebalnya 906 halaman. Praktek pengesahan UU yang sangat kontroversial. Disajikan dengan telanjang seperti ini oleh lembaga perwakilan rakyat yang anggotanya bergaji tinggi. Mendapat fasilitas memadai, politisi berpengalaman, serta tokoh-tokoh organisasi. Anehnya, ada yang salah urus di negara ini. Sehingga terlihat kerja DPR dan pemerintah sangat amatiran,amburadul dan primitif. Setelah diketuk palu, hantu, kuntilanak dan genderuwo pun masih bergentayangan. Terlihat ketika buruh dan mahasiswa, pelajar dan masyarakat melakukan aksi penolakan di hampir seluruh kota-kota besar Indonesia. Begitu juga dengan akademisi dan berbagai organisasi termasuk organisasi keagamaan yang juga bersikap menolak. Eh, Menko Polhukam Mahfud MD tiba-tiba nongol tengah malam. Lengkap dengan Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN dan Mendagri. Alih-alih mendengar aspirasi rakyat. Mahfud justru balik mengancam dengan tindakan keras. Malah menuduh bahwa aksi-aksi itu telah ditunggangi. Potensial sang hantu, kuntilanak dan genderuwo yang bergentayangan itu antara lain. Pertama, tentu saja arah tuduhan adalah oposisi pengkritik pemerintah yang radikal atau berbuat makar. Hantu ini sengaja diciptakan oleh ketakutan pada bayangan sendiri. Oposisi yang "ingin menjadi Presiden" bisa jadi sasaran. Dibuzzerkan diburu dan dizergap. Mungkin juga bakal diarahkan atau diakitakan kepada isu khilafah dan radikalisme serta good looking. Kedua, PKI dalam bentuk baru yang tanpa bentuk. Beberapa pejabat Pemerintah menyebut komunis sudah habis. Rakyat tidak percaya. Komunis biasa menyusup, fitnah dan adu domba. Kerusuhan adalah habitat yang membahagiakannya. Dimana ada aksi disitu setan hadir. Ketiga, pemerintah sendiri melalui para hantu, kuntilanak dan genderuwo memperlat aparat di lapangan untuk membuat rusuh. Ketika ada aksi yang "harus" dibuat rusuh, maka tugas "pasukan hitam" yang memulai lempar-lemparan batu, botol hingga molotov. Bakar-bakar juga masuk program. Hantu, kuntilanak dan genderuwo model ini hanya menggoda agar ada pengikut baru. Lalu tangkap. Memang semua serba mungkin. Namanya juga hantu pasti tak bisa dibuktikan. Cuma masalahnya adalah apakah kita rela negara kita ini menjadi wahana tempat bermain hantu, kuntilanak dan genderuwo itu. Sebagai persoalan serius, maka negeri ini memang harus segera diselamatkan. Ketika Presiden sembunyi dan menghindar dari tekanan aksi masaa, muncul berita konon sedang berupaya mencari pemburu hantu "ghost buster" sambil nyekar makam ibu. Praktisi spiritualis Ki Surau berujar bapa sedang butuh kekuatan spiritual agar tidak lengser. Kalau supranatural? wah urusan dengan hantu lagi, dong. Omnibus Law memang multi dimensi. Disana ada aspek ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, atau keagamaan. Ternyata muncul lagi spektrumnya yaitu kehantuan, kekuntilanakan dan kegendurewoan. Tidak percaya ? Buktinya draft final RUU juga tidak ada kan?. Abrakadabra! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Dihujani Banyak Protes, Jokowi Perintahkan Aparat
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (11/10). Bukan hanya DPR, presiden juga diprotes buruh, mahasiswa, pelajar dan ormas terkait disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja. Protes pertama, karena UU Cipta Kerja ini berasal dari usulan pemerintah. Protes kedua, Jokowi pergi dan meninggalkan istana saat mahasiswa, pelajar dan buruh minta ketemu. Demonstrasi terjadi tanggal 6-8 oktober di berbagai wilayah dan kota-kota besar tanah air. Terjadi serentak dan merata. Yang berdemo tidak saja buruh, para mahasiswa dan pelajar juga ikut ambil bagian. Mereka turun ke jalan-jalan kota-kota besar tanah air untuk melakukan protes. Pelajar tahu apa soal UU Omnibus Law. Kok mereka ikut-ikutan demo? Begitu keluh para pejabat dan menteri. “Kalau presiden dan DPR ingin tahu hati dan kondisi rakyat, tanya pada kami, jawab pelajar tegas. Hehe... Emang presiden dan DPR nggak tahu ya? Selasa tiga hari berdemo. Gelombang massa makin hari semakin membesar. Eskalasi ketegangan juga makin tinggi. Terutama antara aparat dengan mahasiswa. Puncaknya, dan ini sangat disayangkan, terjadi bentrokan. Banyak korban luka, bahkan ada yang kritis. Sebanyak 3.862 demonstran telah ditangkap. Kita berharap, mereka diperlakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Menindak yang salah, dan melepaskan yang tidak bersalah. Dan tidak berlebihan dalam memperlakukan pihak yang "dianggap bersalah" . Sejumlah fasilitas umum rusak. Mobil, pos polisi dan halte terbakar. Siapa pelakunya? Paduka Hamengku Buwono X bilang, “itu dilakukan oleh kelompok tertentu”. Pelakunya bukan demonstran. Gubernur DIY mengaku tahu siapa pelaku itu. Ini by design, kata beliau. Sangat yakin. Kalau by design, berarti kelompok itu bekerja profesional. Memang, viral sejumlah video yang sepertinya mendukung pernyataan gubernur DIY itu. Jika apa yang diungkap sang gubernur itu benar, maka muncul pertanyaan: pertama, siapa perusuh profesional itu? Kedua, apakah setiap terjadi demo besar-besaran selalu ada kelompok perusuh profesional yang dikirim untuk merusak demo? Ketiga, kenapa perusuh profesional itu tak pernah tersentuh hukum? Keempat, pasti ada target. Apa targetnya? Di Jakarta, ada halte busway yang dibakar. Siapa pembakarnya? Kelompok profesionalkah? Apakah ada kaitan dengan Anies, Gubernur Jakarta sebagai obyek sasarannya? Kalau fasilitas umum yang dibangun Anies dirusak, maka akan memberi kesan seolah-olah demonstran marah sama Anies. Beruntung Anies jumpai para demonstran. Dan skenario membagun "kesan kebencian" terhadap Anies hilang. Sebaliknya, dari pertemuan terseburt, justru memberi kesan bahwa Anies diapresiasi buruh, mahasiswa, dan pelajar. Bukan dibenci. Apalagi sampai dimusuhi. Pengrusakan fasilitas umum milik Pemprov DKI telah menyisakan persoalan tersendiri. Pemprov DKI terpaksa harus mengeluarkan anggaran cukup besar untuk membangun kembali fasilitas umum yang telah dirusak. Dalam kondisi anggaran di masa pandemi seperti sekarang, ini jadi persoalan tersendiri Sedih dan prihatin! Kenapa hampir setiap kali terjadi demo besar, selalu memakan korban dan terjadi pengrusakan. Tidak siapkah negara ini berdemokrasi? Di tengah jatuhnya banyak korban, Jokowi berpidato. Perintahkan aparat untuk menindak tegas siapapun yang melanggar hukum saat demo. Instruksi Jokowi benar. Nggak ada yang salah. Tapi, dalam situasi saat ini, instruksi itu justru akan menambah ketegangan. Apakah situasi sudah teramat gawat, sehingga presiden harus menunjukkan kekuatan aparatnya? Akan lebih bijak jika pidato presiden berisi himbauan agar buruh, mehasiswa dan pelajar menyampaikan aspirasinya dengan tertib. Tidak terprovokasi untuk melakukan tindakan yang melawan hukum. Kepada aparat keamanan, presiden bisa himbau untuk tetap disiplin menjalankan tugas dan tidak melampaui batas kewenangannya dalam menangani demonstran. Lebih mengedepankan dialog dan langkah persuasif dengan para demonstran. Jika himbauan ini yang disampaikan presiden, maka ketegangan bisa diredakan. Apalagi jika presiden juga memberi ruang bagi buruh, mahasiswa, akademisi dan perwakilan ormas untuk bertemu dan berdialog, mungkin situasi akan lebih tenang. Inilah yang seringkali menjadi kelemahan pemerintahan sekarang ini. Kurang pandai dalam mengakses jalur-jalur komunikasi yang tepat dengan kelompok-kelompok yang punya pengaruh terhadap rakyat. Akibatnya, bangsa ini terus dilanda kegaduhan. Jangan selalu mencari kambing hitam terkait dengan kegaduhan selama ini. Semua tetap kembali kepada leadership seorang pemimpin. Cara berkomunikasi, sikap dan kebijakan pemimpin menjadi faktor utama. Dalam konteks ini, presiden mesti mau melakukan evaluasi. Saat ini, rakyat butuh pemimpin yang menenangkan. Bukan pemimpin yang membuat rakyat makin kesal, marah dan berang. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Hoax Omnibus Law Versi Siapa? Penguasa atau Rakyat Jelata?
by Edy Mulyadi Jakarta FNN - Minggu (11/10). Polisi menangkap orang yang mereka sebut penyebar konten-konten hoax seputar UU Omnibus Law. Pulang dari Kalteng setelah ketemu bebek, Presiden Jokowi juga bilang banyak hoax yang beredar di seputar UU Cipta Kerja. Menkopolhukam Mahfud MD pun bicara senada. Penguasa sedang membangun narasi, bahwa seolah-olah perlawanan dari begitu banyak elemen rakyat yang massif terhadap UU ini berbasis hoax, berdasar informasi keliru dan berita bohong. Pertanyaanya, apakah jutaan buruh yang terzalimi itu semuanya termakan hoax? Apakah anak-anak STM dan mahsiswa juga termakan hoax? Apakah NU, Muhammadiyah, MUI, puluhan guru besar dan ratusan dosen yang menolak UU ini adalah kumpulan orang-orang bodoh? Orang-orang yang tidak membaca dan tidak mampu menganalisis pasal-pasal yang ada di UU penuh bencana ini? Bagaimana dengan orang yang cuma terang-terangan mengaku tidak suka membaca buku-buku politik yang tebal? Yang jujur mengatakan cuma hobi membaca komik Sincan dan Doraemon? Apakah orang ini bisa dan mau membaca naskah UU setebal 1028 halaman? Mampukah dia menganalisis, sehingga kemudian punya otoritas untuk mengatakan rakyat termakan hoax dan berita bohong? Jadi, siapa sebenarnya penyebar hoax dan berita bohong? Penguasa atau rakyat jelata? Versi siapakah hoax dan berita bohong tentang UU Cipta Kerja ini? Jika ada orang yang mengatakan mobil Esemka sudah diproduksi 6.000 unit, itu hoax bukan? Bagaimana dengan janji akan menyetop impor beras, daging, buah, garam dan lainnya; itu hoax bukan? Bagaimana jika saya mengatakan para tukang ojek mendapat moratorium cicilan kredit kendaraannya selama setahun di awal pandemi, itu berita bohong bukan? Begitu banyak hoax dan berita bohong yang disampaikan penguasa. Akan sangat panjang tulisan singkat ini jika hoax dan berita bohong tersebut ditulis di sini. Seperti kata Rocky Gerung, produsen hoax yang paling sempurna adalah penguasa! Sebagai rakyat yang membayar pajak, saya dukung polisi menangkap para penyebar hoax dan berita bohong. Ayo tegakkan hukum secara adil. Ingat, di negara hukum ini, semua warga negara setara di depan hukum! (*) Edy Mulyadi adalah Presidium Aliansi Selamatkan Merah Putih (ASMaPi) https://youtu.be/NJHa5LANJnU
Civil Disobedience Dimulai
by Zainal Bintang “Saya dengan sepenuh hati menerima motto, pemerintahan yang terbaik yang mengatur paling sedikit, dan saya ingin melihatnya bertindak lebih cepat dan sistematis. Dilakukan, akhirnya mencapai ini, yang juga saya yakini pemerintahan yang terbaik yang tidak mengatur sama sekali, dan ketika orang-orang siap untuk itu, itu akan menjadi jenis pemerintahan yang akan mereka miliki. Saya minta, jangan seketika tidak ada pemerintah, tetapi sekaligus pemerintahan yang lebih baik”. Demikian Filusuf Amerika penggagas Civil Disobidience Henry David Thoreau ((12 Juli 1817 - 6 Mei 1862) Jakarta FNN – Sabtu (10/10). Pernyataan “keras” Profesor Zainal Abidin Mochtar, yang mengajak masyarakat menggugat UU Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan DPR RI pada tanggal 5 Oktober 2020 untuk menempuh jalur “Civil Disobedience”. Sikap “Pembangkangan Sipil” ini sempat mengejutkan. Soalnya pakar hukum tata negara yang akrab dipanggil Uceng itu satu almamater dengan presiden Jokowi di Universitas Gajah Mada(UGM) Yogyakarta. Menurut Uceng, yang kelahiran Makassar (1978), diperlukan teriakan bersama dari masyarakat sipil untuk menyuarakan penolakan terhadap undang-undang tersebut. “Pembangkangan sipil atau apalah bentuknya itu bisa dipikirkan. Tapi maksud saya ini cara kita melihat baik-baik UU ini. Jangan dibiarkan begitu saja. Kalau tekanan publik kuat, itu merupakan bagian dari partisipasi sipil”, ujarnya. Berbicara tentang “Civil Disobedience” membawa ingatan kita kepada penulisnya Henry David Thoreau (12 Juli 1817 - 6 Mei 1862). Filsuf Amerika itu juga dikenal sebagai, naturalis, esais, dan penyair terkemuka. Terkenal dengan esainya yang berjudul "Ketidaktaatan Sipil” (Civil Disobedience). Sebuah argumen untuk ketidaktaatan kepada keadaan yang tidak adil. Judul aslinya "Perlawanan Terhadap Pemerintah Sipil" (Resistance to Civil Government) yang ditulis pada 1848. Di dalam esainya, Thoreau menekankan, individu tidak boleh mengizinkan pemerintah untuk mengesampingkan atau menghilangkan hati nurani mereka. Karenanya mereka memiliki kewajiban untuk menghindari pemberian persetujuan semacam itu. Untuk memungkinkan pemerintah menjadikan mereka agen ketidakadilan. Sikap Thoreau itu lebih karena dipengaruhi dengan kemuakannya pada perbudakan dan Perang Meksiko-Amerika (1846–1848). Filsafat pembangkangan sipil Thoreau kemudian mempengaruhi pemikiran dan tindakan politik dari tokoh-tokoh terkenal seperti Leo Tolstoy (Sastrawan Rusia), Mahatma Gandhi (Pemimpin Spritual India) dan Martin Luther King Jr (tokoh kulit hitam dan Pemimpin Gerakan Hak Sipil di Amerika). Banyak kalangan beranggapan Thoreau sebagai anarkis. Dalam "Pembangkangan Sipil", Thoreau menulis, “saya dengan sepenuh hati menerima motto, pemerintahan yang terbaik yang mengatur paling sedikit, dan saya ingin melihatnya bertindak lebih cepat dan sistematis. Dilakukan, akhirnya mencapai ini, yang juga saya yakini pemerintahan yang terbaik yang tidak mengatur sama sekali, dan ketika orang-orang siap untuk itu, itu akan menjadi jenis pemerintahan yang akan mereka miliki. Saya minta, jangan seketika tidak ada pemerintah, tetapi sekaligus pemerintahan yang lebih baik”. Namun demikian definisi pembangkangan sipil yang paling diterima secara luas, yang ditulis oleh John Rawls (81) pada tahun 1971,- sebagai gerakan tanpa kekerasan dan dilakukan dengan hati-hati, dengan tujuan untuk membawa perubahan dalam hukum atau kebijakan pemerintah. Pengajar di Universitas Cornell dan Universitas Harvard itu yang meninggal 2002, menyebutkan, “pembangkangan publik” adalah gerakan yang dilakukan oleh warga secara terorganisasi, yang bisa jadi melawan hukum, dan digunakan untuk mengoreksi hukum atau kebijakan publik. Gagasan menempuh jalan “pembangkangan sipil” dalam konteks pro dan kontra atas UU Omnibus Law Cipta Kerja tentu bukanlah pekerjaan yang mudah. Mengingat pengesahan UU Cipta Kerja telah final. Palu telah diketuk 5 Oktober 2020 tengah malam. Meskipun konstitusi masih membuka pintu bagi masyarakat yang mau melakukan uji materi (Judicial Review) di Mahkamah Konstitusi (MK). Setidaknya memang, ada tiga jalur yang tersedia untuk menggugat UU itu. Pertama, jalur eksekutif dengan jalan mendesak presiden mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang). Atau meminta presiden tidak menanda tangani UU itu dalam 30 hari. Langkah ini tentu saja berat. Karena inisiator pembentukan UU Omnibus Law adalah pemerintah. Bahkan promotornya Jokowi sendiri ketika menyampaikan pidato pertamanya di MPR setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, Minggu (20/10/2019). Yang kedua melalui jalur yudikatif dengan uji materi (Judicial Review) di MK. Ataukah melalui jalur ketiga, “pembangkangan sipil”. Namun jalur yang manapun mau ditempuh, kelihatannya tetap saja rumit. Persoalannya keadaan sudah kadung kusut. Disebabkan adanya ledakan kerusuhan di awal perjalanan UU itu. Rentetan unjuk rasa buruh, mahasiswa dan pelajar yang masif untuk penolakan di hampir sebagian besar di Indonesia berujung kerusuhan di sejumlah daerah selama tiga hari berturut-turut. Mendorong negara, atas nama penegakan hukum-berhadap-hadapan dengan masyarakat dalam posisi adu kuat! Semangat konfrontatif itu tak terhindarkan. Kasus penangkapan ribuan pelajar dan mahasiswa pengunjuk rasa oleh kepolisian di berbagai daerah dengan kualifikasi sebagai provokator semakin memperkeruh keadaan. Efek destruktif dari konfrontasi itu melahirkan pula masalah baru, karena mendorong akumulasi kekecewaan rakyat lewat saluran dunia maya. Presiden dan wakil rakyat menjadi bahan olok-olok di media media sosial yang penyebarannya bagaikan kilat. Berindikasi tergerusnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan lembaga wakil rakyat secara bersamaan. Distrust! Terlihat upaya keras pemerintah mencoba merehabilitasi keadaan. Melalui banyak menteri dan dua menko, pemerintah menegaskan isu yang mengatakan UU Omnibus Law Cipta Kerja memihak pengusaha atau kapitalis adalah hoaks. Dihembuskan orang tak bertanggung jawab. Jika itu memang benar itu adalah hoaks, menjadi pertanyaan publik, apa saja yang dikerjakan selama ini tim “Public Relation” alias juru bicara negara? Meskipun memiliki sumber daya yang sangat besar nampaknya tidak mampu merembes ke jantung pemukiman masyarakat kelas bawah. Bukankah karena kegagalan tim itu harus dikatakan telah membuat masyarakat kecil menjadi korban dua kali? Pertama, mereka menjadi korban berita hoaks yang bebas tidak terpantau. Kedua, rakyat kecil itu yang buta informasi dan sedang terlilit kesulitan ekonomi orang tuanya, terseret menjadi korban kekerasan aparat atas nama penegakan hukum. Hari ini, bangsa Indonesia tidak bisa bersembunyi dari duka yang melanda negeri ini. Harapan indah tentang kedamaian dan kesejahteraan sebagai janji kampanye terhalang. Di atas segalanya, kerusuhan patut disesalkan. Terutama penyebab awalnya karena telah mengoyak rajutan semangat persatuan. Akankah jalan konstitusional uji materi yang tersedia di MK dapat berlangsung fair play memenuhi harapan masyarakat? Hakim Agung MK harus bisa membuktikan netralitasnya. Itu penting untuk menghapus stigma miring sebagai efek dari hasil revisi UU MK yang memberi perpanjangan masa jabatan kepada para Hakim Agung itu. Melebarnya kembali jurang disharmoni negara dengan masyarakat sipil memprihatinkan. Perlu waktu panjang, energi besar dan kerendahan hati semua pihak untuk memulihkan. Tentu saja tidak mudah. Karena pandemi Covid 19 telah mempersulitnya. Kemampuan negara telah menurun karena memikul beban baru. Disisi lain, kekecewaan masyarakat telah bereskalasi akibat lemahnya perhatian pemimpinnya. Rehabilitasi fasilitas umum yang rusak memang mudah. Tapi kekecewaan rakyat yang cedera adalah soal lain. Dengan hati teriris, rakyat dipaksa menyaksikan gedung wakil rakyat dan Istana tertutup bagi rakyat walaupun hanya beberapa hari. Dijaga pasukan bersenjata dilengkapi mobil penyemprot air atau water canon. Pertanyaan lain, apakah jalur “pembangkangan sipil” dapat memberi lebih banyak ruang aspirasi publik yang dijanjikan demokrasi dan dijamin konstitusi? Wallahualam bishawab! Penulis adalah Wartawan Senior & Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Pemerintah Sengaja Bakar Ilalang Sudah Lama Kering
by Anton Permana Jakarta FNN – Sabtu (10/10). Menko Perekopnomian Airlangga dalam press confrencenya mengatakan "tahu siapa yang mendanai aksi demonstrasi menolak UU Cilaka". Lalu Netizen menjawab, "kenapa tidak dibongkar dan tangkap saja siapa yang mendanai UU Cilaka ini, sehingga menimbulkan aksi amuk massa dari para buruh, mahasiswa dan pelajar"? Menko Polhukam Mahfud juga mengeluarkan ancaman "akan menindak tegas setiap pelaku rusuh dalam aksi demonstrasi kemaren". Netizen juga menjawab, "kenapa petugas yang anarkis yang menganiaya mahasiswa dan pelajar pendemo tidak juga ditindak tegas, karena melampaui tugas dan kewenangannya menganiaya demonstran"? Itulah wajah penguasa negeri kita hari ini. Selalu menganggap diri dan kelompoknyalah yang paling benar. Penguasa selalu paling benar. Paling berkuasa, sehingga timbullah berbagai macam komentar yang sungguh kadang penuh arogansi dan tidak lagi pakai akal sehat. Aksi besar-besaran tanggal 7-8 Oktober kemaren oleh gabungan mahasisswa, buruh, dan pelajar sungguh di luar dugaan semua pihak. Sebuah aksi serentak hampir di seluruh wilayah nusantara. Setidaknya beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Semarang, Yogjakarta, Surabaya, Malang, Makasar, Samarinda, Banjarmasin, Lampung, Lombok Sumbawa, bergelora dahsyat menyuarakan melawan dan menolak UU Cilaka yang baru saja disahkan oleh pemerintah. Ini sungguh aksi demonstrasi yang luar biasa. Meskipun nyaris tidak ada beritanya di TV Mainstream, karena dikuasai penguasa. Bahkan di beberapa daerah, aksi ini berhasil menguasai kantor DPRD setempat seperti di Padang Sumatera Barat, Sindrap, Yogjakarta. Membuat beberapa kepala daerah terpaksa berjanji akan menyurati Presiden secara resmi seperti Ridwan Kamil dan Irwan Prayitno bahwa atas nama pemerintah daerah akan menyampaikan aspirasi rakyat ini secara resmi. Tak ketinggalan Gubernur DKI Anies Baswedan juga turun langsung menenangkan massa aksi di bundaran Hotel Indonesia tadi malam. Didampingi Pangdam Jaya dan Kapolda Metero Jaya, Anies berjanji pagi ini (09/10/2020) akan menyampaikannya secara resmi dan tertulis kepada Presiden. Kenapa judul tulisan ini saya menyebutnya dengan istilah "ilalang yang sudah lama kering"? Sebab aksi dahsyat dua hari ini adalah akumulasi dari semua kemarahan, protes, kekesalan, dan kepanikan masyarakat atas situasi kondisi yang terjadi saat ini. Dimana hampir dari segala lini telah terjadi kerusakan dan tekanan hidup. Ditambah dengan kondisi pandemic covid 19 ini. Anehnya justru di saat kegalauan ini, pemerintah tanpa ada rasa empati terus memaksakan (malah ambil kesempatan) dengan mengeluarkan sebuah kebijakan yang sangat menyakitkan dan merugikan rakyat. Makanya saya berani mengatakan, kok pemerintah yang sengaja membakar tumbuh ilalang-ilalang yang sudah lama mengering di negeri ini? Maka jadilah aksi dahsyat selama tiga hari lalu. Dan saya yakin, kalau penguasa masih tak peduli dan percaya diri, sombong dan angkuh dengan kekuasaannya, maka aksi yang lebih besar dan dahsyat lagi akan terjadi. Kenapa saya punya asumsi demikian ? Berikut analisanya. Pertama, saya melihat penguasa hari ini super confident. Begitu percaya diri dan terkesan menyepelekan riak-riak yang sedang terjadi di tengah masyarakat ini. Kenyataan ini menurut hemat saya, karena penguasa yakin sudah memegang kendali semua sektor dan lini front pertempuran. Kekuatan itu berupa mapping terhadap kekuatan politik legislasi yang hampir meliputi semua partai di luar PKS dan Demokrat yang telah berhasil dijinakkan. Lembaga yudikatif juga sudah under control. Media mainstream, alat negara, pusat logistik, inteligent, hingga aturan untuk justifikasi penindakan terhadap siapa saja yang berseberangan dengan penguasa bisa dieliminir. Apalagi dengan kecanggihan alat inteligent. Punya perangkat aparatur yang mampu melakukan penetrasi ke dalam sel-sel terkecil masyarakat untuk melakukan infiltarasi, cegah dini dan tangkal dini. Maka wajar saja penguasa hari ini boleh dikatakan tidak ada lagi celah untuk bibit perlawanan masyarakat yang tidak bisa diatasi. Kedua, tetap disahkannya UU Cilaka ini, menandakan penguasa tentu sudah mengkalkulasikan setiap resiko yang akan terjadi. Artinya, bisa saja elit penguasa berkesimpulan, yang penting sahkan dulu sesuai target politik. Bahwa urusan akan ada aksi demonstrasi, serahkan kepada petugas dan aparat negara yang mengatasinya. Dan semua itu faktanya kita lihat hari ini. Rakyat head to head baku hantam di lapangan hingga jatuh korban. Ketiga, saya yakin, aksi demonstrasi dua hari para buruh, mahasiswa dan pelajar, di luar ekspektasi penguasa, termasuk kita semua. Selama ini kita terlanjur menganggap dan mencemooh mahasiswa-pelajar adalah generasi millenial yang manja, sibuk main gadget, dan anak rumahan alias anak mami. Namun kejadian dua hari ini telah menjawab itu semua dan mempermalukan kita. Bahwa ternyata para mahasiswa dan pelajar STM /SMK tampil terdepan dengan gagah perkasa. Mereka luar biasa melakukan aksi serentak dengan begitu heroik dan sangat berani. Para mahasiswa dan pelajar ini membuktikan bahwa, meskipun badan mereka kecil, tangan mereka halus, kumispun kadang baru tumbuh. Tetapi ketika hak hidup dan kedaulatan orang tua, bapak, dan ibunya dirampas oleh penguasa, mereka maju kedepan bertaruh nyawa menghadapi aksi aparat yang tak henti-hentinya menembakkan peluru gas air mata. Tak terhitung lagi korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Tapi sebagai orang tua yang juga punya anak remaja, sungguh saya antara haru dan miris melihat tubuh-tubuh kecil yang seharusnya belajar menimba ilmu di kampus dan sekolah. Namun mereka berada di garda terdepan melawan aparat yang bersenjata lengkap. Demi memperjuangkan dan menyuarakan hak masyarakat. Keempat, aksi dua hari ini adalah bukti telah hilangnya rasa kebersamaan, rasa persaudaraan, rasa moral, etika, dan rasa malu dari pada penguasa hari ini terhadap nasib rakyatnya. Ilalang yang kering itu terjadi karena keringnya ketidakadilan. Kering dari dari rasa kasih sayang dan perlindungan. Kering dari air dan pupuk kesejahteraan yang seharusnya menjadi hak dari setiap rakyat. Yaitu untuk mendapatkan kesejahteraan umum serta keadilan sosial. UU Cilaka hanya salah satu aturan yang merampas hak hidup dan kedaulatan rakyat. Belum lagi RUU BPIP/HIP, UU Pesantren, UU Corona, dan UU Minerba. Yang semua itu ibarat front-front pertempuran yang seolah sengaja diciptakan oleh penguasa hari ini demi mewujudkan agenda elit oligharkinya untuk menjajah negeri ini. Kelima, saya yakin, kalau penguasa hari ini tidak mengevaluasi diri. Tidak instropeksi diri dan mengalah, maka ancaman gelombang aksi yang lebih besar bisa saja terjadi lagi. Setidaknya ada dua front besar lagi yang akan juga meletus. Yaitu front RUU BPIP/HIP, dimana penguasa akan berhadapan dengan ummat Islam dan TNI, karena Pancasila bagi dua entitas ini adalah harga mati. Selanjutnya UU Pesantren yang saat ini juga sedang menggalang kekuatan. Saya tidak bisa membayangkan, seandainya masing-masing front pertempuran ini bersatu. Akan ada yang mengkoneksasikannya. Misalnya para buruh, mahasiswa, pelajar bersatu dengan ummat Islam 212, FPI, Ormas Nasionalis, para santri, Ormas Islam (NU-MU). Bahkan dengan para purnawirawan TNI seperti PPKN yang kemarin di TMP Kalibata. Saya tak tahu dan ngeri membayangkan apa yang terjadi nantinya. Pasti akan terjadi pertumpahan darah dan kerusakan dimana-mana. Yang kasihan adalah rakyat pendemo yang berbenturan dengan petugas dan aparat di lapangan. Rakyat melawan karena memperjuangkan hak dan kedaulatannya. Petugas dan aparat 'terpaksa' juga melawan, karena tuntutan tugas dan perintah atasannya. Yang enak dan tertawa tentu para pemimpin dan elitnya. Yang mengambil keuntungan dari semua ini. Tak peduli entah berapa korban nyawa dan harta yang akan jatuh nantinya. Bagi kelompok yang ingin melihat Indonesia hancur-lebur, pasti juga akan tepuk tangan dan bahagia. Kita semua hanya bisa menghimbau dan berdo'a. Semoga di tengah kondisi yang semakin tak menentu ini, masih ada celah penyelesaian masalah yang lebih sedikit mudharatnya. Yang paling sedikit dampak kerugiannya. Tidak bisakan kita kembalikan semua ini kepada jati diri bangsa, yaitu musyawarah dan konstitusional??? Kalau penguasa tetap jemawa memaksakan kehendaknya. Mengabaikan hak dan kedaulatan rakyat, maka patut kita duga bahwa, kondisi hari ini memang kesengajaaan penguasa yang membakar tumbuhan ilalang di negeri ini yang sudah lama mengering. Wallahu'alam. Salam Indonesia Jaya! Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.
Bermimpi Menjadi Kepala Negara Negeri Dongeng
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Jum’at (09/10). Saya bermimpi menjadi Kepala Negara di Negeri Dongeng. Ketika itu, keadaan negara dan kondisi sosial sangat menyedihkan. Amburadul. Perbedaan sosial sangat menyolok. Di satu sisi, rumah gubuk tidak layak huni terpampang sejauh mata memandang. Di lain sisi, gedung bagaikan istana berjejeran dijaga petugas penjaga keamanan. Ekonomi Negeri Dongeng dikuasai sekelompok kecil kapitalis. Jumlahnya di bawah 1 persen penduduk. Bahkan mungkin hanya 0,5 persen. Mereka menguasai seluruh sektor ekonomi, termasuk sumber daya alam. Dari sumber daya mineral sampai sumber daya perkebunan. Jumlahnya berjuta-juta hektar. Kapitalis di Negeri Dongeng menguasai hampir 60 persen pendapatan nasional. Padahal jumlah mereka paling hanya ratusan ribu orang saja. Sedangkan pekerja yang jumlahnya sangat besar hanya menikmati sekitar 30 persen pendapatan nasional. Jumlah pekerja bisa sampai seratus juta orang lebih. Maklum, Negeri Dongeng yang padat penduduk. Kaum pekerja hanya mendapat remah-remah ekonomi. Kondisi ini terbalik dengan di Negeri Seberang. Di sana pekerja menikmati 50 hingga 70 persen pendapatan nasional. Pengusaha hanya dapat 20 hingga 30 persen saja. Memang Negeri Dongeng menyedihkan. Daya saing ekonomi Negeri Dongeng sangat lemah. Neraca perdagangan defisit, neraca transaksi berjalan defisit. Devisa mengalir keluar. Kurs RND (Mata Uang Negeri Dongeng) seharusnya terdepresiasi. Tapi di-doping terus dengan utang luar negeri untuk menutupi devisa yang mengalir ke luar negeri akibat defisit transaksi berjalan menahun. Tidak heran, utang luar negeri meningkat tajam. Keuangan Negeri Dongeng sangat lemah. Penerimaan pajak sangat rendah. Anggaran keuangan negara defisit terus menerus. Utang negara pun membengkak. Untuk bayar bunga harus dari utang lagi. Keuangan negara praktis bangkrut. Makanya, kepala negara Negeri Dongeng mendikte Bank Dongeng, nama Bank Sentral Negeri Dongeng, untuk membantu keuangan negara melalui cetak uang. Masyarakat berpendapat para kapitalis Negeri Dongeng sangat serakah. Mereka menguasai semua elemen negara. Dari eksekutif, legislatif sampai yudikatif. Sistem politik ini mencerminkan sistem kekuasaan. Selain membagi-bagi kekuasaan, rakyat curiga mereka membagi-bagi uang anggaran negara. Tentu saja melalui mega proyek. Sedangkan hukum hanya tajam ke rakyat jelata, tetapi tumpul kepada penjilat kekuasaan. Kapitalis dan kartel penguasa sangat serakah. Pekerja yang hanya menikmati remah-remah ekonomi masih mau diperas lagi. Hak mereka masih mau dirampas, untuk kembali ke era perbudakan. Dalam kondisi ekonomi dan politik yang kacau seperti itu, saya berhasil memenangi pemilihan kepala negara. Karena sepertinya rakyat sudah muak terhadap rezim oligarki kekuasaan, oligarki- tirani. Pada saat kampanye saya hanya berjanji tiga hal saja. Tidak banyak. Tidak sampai 60 janji. Pertama mengembalikan kedaulatan rakyat yang terampas. Kedua, menegakkan hukum seadil-adilnya bagi semua orang tanpa kecuali. Termasuk penegakan hukum bagi pejabat dan penguasa. Ketiga, memberi keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat yang sekarang hanya menerima remah-temah ekonomi. Fungsi legistor dikembalikan seutuhnya sebagai wujud kedaulatan rakyat. Legislator harus bekerja demi kepentingan rakyat dan bangsa. Pemilihan anggota legislator yang bermain uang akan diproses hukum, dengan ancaman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Partai yang minta mahar didiskualifikasi dengan ancaman dibubarkan. Pemimpinnya akan diproses hukum dengan ancaman hukuman mati. Dalam debat pemilihan kepala negara saya ditanya bagaimana memberantas korupsi yang sudah masif di Negeri Dongeng. Saya mengatakan, saya akan mengusulkan hukuman mati bagi pejabat hukum yang terbukti melakukan korupsi. Ancaman hukuman mati bagi pejabat hukum yang memainkan hukum demi uang, alias memperdagangkan hukum. Ancaman hukuman mati juga berlaku bagi pembela hukum swasta yang mencoba menyuap pejabat hukum negara. Ancaman hukuman mati juga belaku bagi pejabat pembuat perangkat hukum, atau legislator, yang menerima imbalan materi untuk membuat peraturan hukum yang merampok hak rakyat dan negara. Karena hukum adalah segalanya bagi kehidupan bangsa dan negara. Penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan penegakan hak azasi manusia yang hakiki, tanpa melihat status sosial. Seketika saya mendapat aplaus hangat dari para penonton. Pembangunan ekonomi fokus pada tiga hal utama. Perbaikan transaksi berjalan, perbaikan keuangan negara atau fiskal, perbaikan kesejahteraan rakyat dan kesenjangan pendapatan. Pembangunan ekonomi dimulai dengan mewujudkan kedaulatan industri. Artinya, bahan baku (input) produksi pada setiap tahapan industri dan kebutuhan konsumsi domestik sebisa mungkin dipenuhi dari dalam negeri. Pengusaha dalam negeri yang harus berperan lebih besar dalam pembangunan ekonomi. Ekspor juga harus ditingkatkan, khususnya ekspor berbasis produk manufaktur. Kedaulatan industri membuat neraca transaksi berjalan membaik. Tekanan utang luar negeri berkurang. Pajak penghasilan harus ditata ulang untuk mewujudkan kedaulatan fiskal dan memperbaiki kesenjangan sosial. Reformasi pajak penghasilan perlu segera dijalankan. Pajak penghasilan progresif perlu diberlakukan sehingga orang kaya dan super kaya dapat membayar pajak lebih adil. Reformasi pajak penghasilan akan meningkatkan pendapatan negara, membuat keuangan negara menjadi lebih mandiri. Saat ini pajak penghasilan orang kaya dan super kaya yang berasal dari laba perusahaan relatif rendah. Hal ini membuat penerimaan pajak negara rendah. Kedaulatan fiskal akan mengurangi kesenjangan sosial. Kedaulatan fiskal memungkinkan pemerintah melakukan transfer payment, yaitu subsidi pendapatan kepada masyarakat miskin dan masyarakat berpendapatan rendah. Pemusatan kekuatan ekonomi, monopoli dan oligopoli, sangat merugikan konsumen dan rakyat. Oleh karena itu, praktek monopoli dan oligopoli harus dilarang. Persaingan yang lebih sehat diharapkan membangkitkan ratusan ribu pengusaha kelas menengah. Semoga Negeri Dongeng menjadi lebih manusiawi dan lebih sejahtera bagi seluruh rakyatnya. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Anies Bukan Pengecut!
by Tony Rosyid Jakartta FNN – Jum’at (09/10). Tengah malam, tanggal 5 oktober 2020 RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) diketuk dan disahkan menjadi UU. Kenapa tengah malam? Kenapa harus di luar waktu yang berlaku untuk orang umum orang bekerja? Sangat mendesakkah? Pertanyaan-pertanyaan itu terus ada di pikiran rakyat hari ini. Rakyat protes. Terutama kaum buruh, mahasiswa, pelajar, dan ormas Islam. Esok harinya, tanggal 6 Oktober 2020, demo terjadi di berbagai wilayah. Serentak. Tumpah ruah mahasiswa, pelajar, buruh dan sebagian aktifis di depan istana, kantor kepala daerah, DPR dan DPRD. Di sejumlah wilayah, para pendemo bersitegang dengan aparat kepolisian. Saling dorong, dan lempar batu. Sejumlah demonstran kena gebuk, tonjokan dan tendangan aparat. Entah sudah berapa korban berjatuhan. Mobil dan fasilitas umum juga ada yang terbakar. Rusuh! Siapa pemicunya? Demonstran selalu disalahkan! Satu tuntutan mereka, “Omnibus Law dibatalkan”. Titik! Kenapa? Pertama, cacat prosedur. Memang ada diskusi. Panggil buruh, perwakilan ormas dan para akademisi yang kompeten untuk ikut membahasnya. Tetapi, semua hasil diskusi dicatat, dijanjikan, tapi setelah itu dibuang ke tong sampah. Pasal-pasal yang diprotes tetap masih ada saat diketuk menjadi UU. Kedua, sejumlah pasal UU Omnibus Law Cipta Kerja merugikan rakyat. Diantaranya kaum buruh dan lembaga pendidikan. Hak-hak mereka dipreteli. Pesangon ada, tapi berkurang. Upah minimum ada, tapi disesuaikan dengan korporasi. Soal PHK, perusahaan lebih leluasa. Kontrak kerja bisa diperpanjang terus-menerus. Belum lagi soal cuti dan seterusnya. Dua sasaran protes demo kali ini. Pertama, DPR. DPR lah yang mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Kedua, presiden. Sebab, UU Omnibus Law Cipta Kerja berasal dari pemerintah. Pemerintah yang mengusulkan ke DPR. Dalam pembahasan di DPR, presiden utus sejumlah menteri untuk hadir dan mengawalnya. Disinilah tampak kerjasama yang kompak antara pemerintah dan DPR. Antara eksekutif dan legislatif. Irama kekompakan ini sebenarnya sudah terbaca saat keduanya bersepakat "matikan KPK" melalui revisi UU. Saat itu, demo meluas dan dua mahasiswa kendari jadi korban. Peristiwa itu seolah sudah terlupakan. Para pendemo minta presiden menemui mereka, dengarkan aspirasii dan tuntutanya. Tapi, presiden tak ada di tempat. Mungkin bagi presiden, UU Omnibus Law Cipta Kerja sudah diketuk dan disahkan. Jadi, untuk apa dibahas lagi. Kehadiran perwakilan mahasiswa, buruh dan ormas untuk ketemu presiden sepertinya dianggap tidak terlalu penting. Jokowi justru memilih ke Kalimantan Tengah, setelah lebih dulu ke Jogja dan nginep di Gedung Agung. Sempat berziarah ke makam ibu dan bapaknya. Peristiwa ini dimaknai Ki Surau sebagai langkah untuk ambil kekuatan Spiritual, agar nggak lengser. Rakyat nggak kenal siapa Ki Surau ini. Validkah fatwanya? Kepergian Jokowi ini mengingatkan memori kita pada demo 411 (4 november 2016) terkait penistaan agama (Ahok). Perwakilan ulama minta ketemu Jokowi di Istana. Tapi, karena dianggap nggak terlalu penting, Jokowi lebih memilih pergi ke Cengkareng, menengok project kereta bandara. Para ulama kecewa, dan meledaklah demo 212. Sekitar tujuh juta umat Islam hadir. Apakah mahasiswa, pelajar, buruh dan ormas yang kecewa karena ditinggal pergi Jokowi ke Jogja dan Kalimantan Tengah? Apakah mereka akan datang lagi dengan massa yang jauh lebih besar sebagaimana demo 212? Seberapa besarkah spirit dan semangat para mahasiswa, buruh dan ormas ini memperjuangkan aspirasinya? Ini akan sangat bergantung seberapa besar keteguhan para pimpinan mahasiswa, sebagai pihak yang mengkonsolidasikan massa, baik BEM maupun organisasi ekstranya seperti HMI dan PMII untuk tetap konsisten menjaga idealismenya dalam memperjuangkan nasib rakyat. Tidak "nglokro" dan masuk angin. Sebab, penguasa tidak akan diam dan intel akan terus bergerilya. Tawaran dan ancaman boleh jadi ddatang silih berganti. Di tengah kekecewaan buruh, pelajar, terutama mahasiswa yang gagal menemui Jokowi di Istana, Anies, gubernur DKI Jakarta turun ke lapangan. Di malam hari. Saat kekecewaan mereka membucah dan sempat menaikkan eskalasi ketegangan antara para demonstran dengan aparat keamanan. Di tengah ratusan, mungkin ribuan massa, Anies yang didampingi Kapolda Metro Jaya dan Pangdam Jaya minta kepada mereka menyampaikan aspirasinya. Satu persatu hingga tuntas. Para mahasiswa yang hadir malam itu antusias menyampaikan harapannya. Mahasiswa keluarkan semua uneg-unegnya. Detil dan lengkap dengan data pendukung . Mantan ketua BEM UGM yang sudah jadi orang nomor satu di DKI ini dengan serius dan sabar mendengarkannya. Setelah semua aspirasi tersampaikan, Anies dengan tenang bicara kepada mereka. "Semua aspirasi ini sudah direkam dan dipastikan akan disampaikan. Mohon untuk dikawal dan dipantau. Ini bagian dari hak demokrasi kita". Begitu kata Anies. Anies juga sarankan kepada yang hadir malam itu untuk pulang dengan tertib. "Memperjuangkan hak rakyat harus dengan menjaga rasa aman bagi seluruh rakyat. Pastikan masyarakat merasa aman dan nyaman. Maka, Anies minta para demonstran tetap tertib. Sebelum mengajak para mahasiswa itu pulang, Anies meminta semua yang hadir berdiri dan menyanyikan lagu "padamu negeri". Kenapa lagu "padamu Negeri"? Apa pesan dari ajakan Anies dengan lagu ini? "Bahwa kita semua hadir disini berjuang untuk negeri ini. Berjuang dengan jiwa raga yang dimiliki". Begitulah kira-kira pesannya. Anies ingin para mahasiswa menjaga Komitmennya dan terus berjuang dengan segenap jiwa dan raga untuk negeri ini. Baik ketika masih mahasiswa, atau kelak ketika lulus dan punya posisi sebagai pejabat. Lagu "Padamu Negeri" harus bergelora dan menjadi nafas serta jiwa pengabdian. Itu intinya. Diterima dan didengarkan aspirasinya, mahasiswa tenang dan senang. Merasa didengarkan, diperhatikan, dihargai dan diayomi. Begitulah semestinya seorang pemimpin bersikap. Inilah yang dilakukan Anies ketika menghadapi setiap protes rakyat. Tidak pergi, lari dan meninggalkan warganya. Sebab, Anies bukan Pengecut. Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Jokowi Di Ujung Tanduk
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (09/10). Ulang tahun satu tahun bagi Jokowi menjabat Presiden periode kedua bulan Oktober ini, tidak dalam posisi "happy anniversary". Tetapi sebaliknya justru "unhappy anniversary". UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) yang diketuk DPR sebagai hadiah ulang tahun pertama priode kedua menjadi palu godam politik yang membuat Jokowi pusing dan ruwet. Berjalan pun Jokowi nampaknya bakal limbung. Demonstrasi masif yang menandai "Oktober Prihatin". Jengkel, kecewa bahkan mungkin muak pada cara Jokowi mengelola negeri. Tata kelola pemerintahan yang terlihat amburadul, amatiran, kacangan. Bahkan cenderung primitif. Jauh dari tata kelola pemerintahan mendekati benar. Apalagi sampai profesional. Perencanaan dan kebijakan yang asal-asalan dan amatiran telah memberi bukti bahwa manajemen pemerintahan Jokowi tanpa perencanaan yang matang dan konsisten. UU Omnibus Law Cilaka hanyalah salah satu cara mempermainkan hukum demi kepentingan politik. Disangkanya dengan otak-atik legitimasi Pilpres, maka segalanya beres. Nampaknya Jokowi tidak mengenal apa dan bagaimana yang namanya sejarah. Mengabaikan dan memusuhi rakyat adalah hitungan mundur untuk dimundurkan. Manggali kolam atau lobang besar untuk menguburkan sendiri pemerintahan. Jokowi sebaiknya belajar dari sejarah. Paling kurang dari belajar dari sejarah kegagalan Soekarno dan Soeharto. Jokowi goyah di ujung tanduk, karena bermain-main untuk merealisasikan misi sesat. Diawali dengan memusuhi umat Islam melalui rekayasa Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), yang digagas atau diprakarsai oleh kader PDIP melalui kadernya Rieke Dyah Pitaloka. Akibatnya umat Islam melalui Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam meradang. Umat Islam tampil memberikan perlawanan.hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada biasanya berada di "tengah" pun membuat "political distancing" dengan pemerintah. MUI mngeluarkan produk Maklumat yang cukup keras. Bahkan menyaipkan Panglima Masiroh Qubro. Umat Islam telah memukul keras RUU HIP agar masuk gorong-gorong. Sementara RUU badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) layu sebelum berkembang. Keduanya dalam keadaan "hidup segan mati tak mau". Mundur kena maju kena. Hal ini adalah akibat dari ulah DPR yang mempersetankan aspirasi rakyat, dan terjebak pada domein kekuasaan dan mungkin juga besaran bayaran. Banteng coba menanduk rakyat dengan beringas. Tanduk satu RUU HIP-BPIP yang berbau komunis. Setelah itu tanduk lagi RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang berbau kapitalis. Lagi-lagi Ideologi Pancasila dicoba untuk digoyahkan. Presiden yang loncat-loncat dari tanduk kiri ke tanduk kanan. Mencoba berpegangan erat untuk tidak jatuh. Ada saatnya rakyat melawan rezim. Rezim yang menganggap aspirasi rakyat sesuatu yang enteng. Sejarah bergulir menuju ke arah perubahan. UU Omnibus Law Cilaka adalah pintu pembuka gelombang rakyat melawan kesewenang-wenangan. Jokowi semakin di ujung tanduk. Banteng Puan lesu tertunduk. Cari celah simpati dengan aturan turunan. Tapi itu mempertontonkan kebodohan. Aturan derivasi tak boleh bertentangan dengan undang-undang. UU Omnibus Law membawa malapetaka. Tanduk Joko dan tanduk Puan mulai retak hampir patah. Saat ini Jokowi berada di ujung tanduk, dari banteng yang dikendarainya. Mungkinkah Esok bakal terpeleset? Terinjak-injak kah? Atau terjatuh ke pasir hisap yang menenggelamkan kekuasaannya dengan pelan-pelan? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Jokowi Lebi Pentingkan Bebek Dari Persoalan Rakyat
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Jum’at (09/10). Semestinya hari Kamis kemarin 8 Oktober 2020, Presiden Jokowi menemui mahasiswa yang hendak berunjuk rasa memprotes ke istana negara terkait pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) yang telah disahkan DPR. Undangan aksi yang telah disosialisasikan beberapa hari sebelumnya melalui media sosial dan media online. Tentu kabar ini juga sudah diketahui pihak Istana. Tetapi pada hari yang sama Presiden Joko memutuskan tetap melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Pagi harinya, di akun Instagram @jokowi pada Kamis 8 Oktober 2020 Jokowi menegaskan acaranya. “Selamat pagi. Hari ini saya menuju Kalimantan Tengah untuk kunjungan sehari. Setiba di Bandara Tjilik Riwut, Kota Palangka Raya, saya melanjutkan perjalanan dengan helikopter menuju Kabupaten Pulang Pisau...Di sana saya hendak meninjau kawasan lumbung pangan yang sedang kita kembangkan, berikut penanaman padi, keramba ikan, serta peternakan bebek yang terletak di Kecamatan Pandih Batu”. Ya, mungkin acara Kunker itu sudah disusun jauh-jauh hari. Dan Jokowi tetap menjalankan rencananya, meski situasi di masyarakat berubah sejak UU OmnibusLaw Cipta Kerja disahkan DPR. Hal itu bisa dilihat dari keterangan yang disampaikan pihak istana bahwa Kunker Jokowi tak ada hubungannya dengan rencana aksi mahasiswa ke istana negara. Kesimpulannya, memang Jokowi tidak pernah ingin menemui mahasiswa yang berunjuk rasa hari ini. Seperti pernah terjadi dalam peristiwa demontrasi 411. Saat itu, Jokowi meninggalkan Istana, justru di saat jutaan masyarakat mendatangi istana untuk menemui presidennya. Padahal sebagai presiden, Jokowi seharusnya mampu memilah mana yang prioritas untuk ditemui dan diselesaikan. Sila ke-4 Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah narasi kepemimpinan yang berpengetahuan luas. Pemimpin yang berpengalaman hidup, sehingga memiliki kebijaksanaan. Bukan hanya memutuskan sesuatu masalah, tetapi juga mengajak rakyat berdialog dalam proses pengambilan keputusannya melalui musyawarah perwakilan. Kepemimpinan sama tuanya dengan sejarah manusia. Khalifah Umar bin Khattab Radiallahu Anhu pernah memberikan nasihat kepada kita. Amirul Mukminin mengajarkan, bagaimana seorang pemimpin harus mengambil sikap yang tegas untuk menyelesaikan sebuah masalah. Untuk menyelesaikan suatu masalah, seorang pemimpin hendaknya tidak menyepelekan masalah. Karena, jika masalah itu disepelekan dan tidak diselesaikan, maka dampaknya akan terus menerus. Melihat foto-foto Jokowi hari ini yang menikmati pemandangan bebek-bebek, amatlah ironis dengan pemandangan aksi mahasiswa di berbagai daerah. Apalagi jika foto Jokowi bersama bebek disandingkan dengan kebakaran dan kerusakan yang terjadi saat aksi mahasiswa. Bayangkan saja berapa puluh milyar kerugian material dalam aksi mahasiswa ini, yang sangat mungkin bisa dihindari jika Jokowi bersedia menemui mahasiswa. Peristiwa ini tentunya akan dilihat di berbagai daerah yang dapat menenangkan mahasiswa. Seperti dicontohkan oleh Gubernur Anies Baswedan dan Ridwan Kamil menenangkan para demonstran. Saya kuatir Jokowi telah kehilangan akal sehatnya. Bahkan hilang hati nuraninya sebagai seseorang yang diberikan oleh rakyatnya kepercayaan untuk menyelesaikan seluruh permasalahan bangsa dan negara. Dalam Alkitab, Ayub 12:24 juga tentang kepemimpinan. "Dia menyebabkan para pemimpin dunia kehilangan akal, dan membuat mereka tersesat di padang belantara yang tidak ada jalannya". Jokowi mungkin saja menganggap remeh aksi mahasiswa. Ya mereka memang sekumpulan remaja, tak bersenjata pula. Mengapa harus ditakuti. Ibarat sekumpulan domba-domba yang jinak. Tapi Jokowi harus membaca quote Alexander The Great, "Aku tidak takut pada pasukan singa yang dipimpin oleh domba. Aku takut akan pasukan domba yang dipimpin oleh seekor singa.” Penulis adalah Direktur Eksekurif Indonesian Future Studies (INFUSS)