NASIONAL

Komunisme Dan Liberalisme Menjepit Pancasila

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto “Maafkan, Lord Russell. Saya kira tuan melupakan adanya lebih daripada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence”. (Bung Karno, 1960, Sidang Majelis Umum PBB). Jakarta FNN – Senin (28/09). Cuplikan pidato Bung Karno di atas, ketika mengenalkan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia. Bung Karno dengan gamblang dan berani mengatakan Indonesia tidak dipimpin oleh konsep komunis ataupun liberalis. Indonesia dipimpin oleh nila-nilai, gagasan, cita-cita yang terkandung dalam kehidupan bangsa Indonesia, dengan nama Pancasila. Genderang “beda ideologi” ditabuh Bung Karno dalam sidang bergengsi negara-negara dunia (Sidang Majelis Umum PBB). Walaupun sesungguhnya mereka atau asing sudah tahu sejak kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Negara Indonesia berdasarkan Pancasila. Komunisme Versus Pancasila Komunisme dibawa ke Hindia-Belanda (Indonesia) oleh J.F Marie Sneevliet, 1913. Mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), anggota 85 (delapan puluh lima) orang Belanda totok, dengan propaganda komunisme, pada 23/5/1914. Semaun, Darsono dan Alimin, anggota Sarikat Islam masuk ISDV. Pada 23 Mei 1920, ISDV berubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH) dengan Ketua Semaun dan Darsono sebagai Wakil. PKH berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1924. Pemberontakan PKI terhadap kolonial Belanda, 1926/1927, terkait perjuangan Komunisme Internasional. Setelah Indonesia merdeka, Peristiwa Madiun, pimpinan Muso, 18/9/1948, menghendaki satu kelas buruh aliran Marxisme-Leninisme dan mendirikan pemerintahan “Komite Front Nasional”, bekerjasama dengan Uni Soviet. Satu bukti pemberontakan PKI untuk mengganti Pancasila. Keterdekatan Bung Karno dengan Presiden Mao Zedong dan PM Chou Enlai tahun 1960-an, membentuk poros Jakarta-Peking. Hubungan PKI pimpinan DN. Aidit dengan Partai Komunis China, menambah catatan kegiatan menjelang G.30.S/PKI. PKI meniupkan isu Dewan Jenderal yang akan menculik Bung Karno. Tetapi didahului Komandan G.30.S/PKI Letkol Untung, Komandan Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden. Pasukan Letkol Untung menculik dan membunuh 7 (tujuh) Perwira AD, pada 30 September 1965 dan membuangnya ke dalam sumur secara biadab, di Lubang Buaya Halim. Korban penculikan itu kita kenal sebagai 7 (tujuh) Pahlawan Revolusi. Persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mengadili pentolan G.30.S/PKI secara terbuka, dokumen di Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional, Museum dan Monumen, yang berserakan di tanah air adalah bukti dan saksi. Tragedi 1965, jelas pemberontakan PKI, yang ingin mengganti Pancasila dengan faham komunisme adalah fakta sejarah. Tuntutan rakyat dan keputusan pembubaran PKI sebagai organisasi terlarang, dan larangan penyebaran ajaran komunisme/marxisme-Leninisme, langkah yang benar dan tepat. Tidak mungkin dalam satu negara ada dua ideologi yang bertentangan. (Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966). Peringatan Hari Kesaktian Pancasila Gerakan 30 September PKI gagal. Tanggal 1 Oktober 1965 adalah tonggak Hari Kesaktian Pancasila. Isu kelasik seputar G30S/PKI selalu muncul menjelang peringatan, terasa membosankan. Namun, bagi generasi muda, menjadi isu menarik, penting dan perlu agar generasi muda tidak termakan propaganda. Tidak termakan provokasi dan agitasi yang dibangun ideolog komunis dan simpatisannya. Film G30S/PKI tidak perlu diputar. Lho, kenapa? Itu film sejarah, seperti film 10 November. Film G30S/PKI itu rekayasa dan mengkultuskan orang. Siapa bilang? Kalau rekayasa, cocokkan saja dengan dokumen sejarah, sebut adegan apa, menit berapa yang tidak benar. Kalau kultuskan tokoh? Apa memang ada film tanpa tokoh dan peran utama? Film 10 November misalnya, tokoh dan peran uatamaya adalah Bung Tomo. Begitu juga dengan Film Tunggul Ametung, yang tokohnya ya Tunggul Ametung, Ken Dedes dan Ken Arok. Memanya ada yang aneh? Gaduh nasional dari tahun ke tahun terjadi. Satu pihak ingin melarang film G30S/PKI. Ingin menghapus sejarah G30S/PKI, dengan bilang PKI korban. Sedangkan Soeharto dalang PKI, dan lain sebagainya. Pihak lain, memperingati untuk mengingatkan bahaya laten PKI terhadap Pancasila. Gaduh nasional yang tak percaya sejarah, menunjukkan kekerdilan dalam memaknai sejarah. Bagaimana tidak? Negara pasti punya dokumen sebagai bukti sejarah. Tidak tepat jika kita bilang “sejarah itu milik penguasa atau pemenang”. Inilah contoh kekerdilan dalam berpikir dan penghargaan kepada pahlawan. Liberalisme Versus Pancasila Dalam pertarungan kepentingan politik global, mendemokratisasikan negara tidak hanya oleh aktor dalam negeri. Keikutcampuran aktor internasional negara-negara liberal kapitalis, melalui organisasi internasional seperti United Nations Develepment Program (UNDP) dan United State Agency for International Develepment (USAID) bisa saja terjadi. LSM asing seperti Institute of Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Internasional Foundation for Election System (IFES), National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institution (IRI) dan LSM domestik Centre for Electoral Reform (Cetro) terlibat dalam amandemen UUD 1945. (Valina Singka Subekti, 2007, Menyusun Konstitusi Transisi). Pilpres secara langsung ala Amerika, adalah hasil amandemen yang paling memprihatinkan. Demokrasi “one man, one vote” bukan demokrasi bangsa Indonesia. Bukan demokrasi dalam nilai-nilai Pancasila. Bung Karno saja, tahun 1960 sudah berani mengatakan kepada dunia, sila ke-4 Pancasila adalah dasar demokrasi bangsa Indonesia. Banyak pasal-pasal hasil amandemen UUD 1945 bertentangan dengan Pancasila. Bahkan cenderung ke liberal. Pilpres langsung yang membuat disharmoni kehidupan, robeknya persatuan dan konflik sepanjang masa, melahirkan pertanyaan kritis. Apakah itu semua bertujuan memecah belah, agar mereka bisa menguasai Indonesia tanpa menduduki untuk hidupnya? Ideologi Untuk Mencari Hidup Komunisme di dunia itu sudah mati. Begitu celoteh orang tertentu, bahkan dia pejabat yang intelektual. Ada apa dibalik celotehnya? Padahal dia yang tahu, namun yang pasti itu pernyataan ngawur dan nagco. Banyak negara-negara di dunia yang komunisnya masih hidup. Republik Rakyat China (RRC) dalam anatomi negaranya saja, ada yang disebut Communist Party of China (CPC), Central Military Commission (CMC), State Council (SC) dan National People Congres (NPC). Konon untuk militernya saja, sumpah kesetian yang pertama adalah kepada partai, baru kepada negara. Ideologi akan memberikan dasar paradigma, apa yang harus dilakukan negara. Kebutuhaan hidup papan, pangan, air, energi dan sumber kakayaan alam untuk rakyatnya menjadi lebih dominan dibanding sekedar mencari pengikut agar negara lain mengikuti ideologinya. Teritorial Indonesia yang luas dengan pantai yang landai, menggiurkan untuk direklamasi, menjadi incaran negara yang memiliki ledakan penduduk tinggi. Bagi negara yang miskin sumber daya alam, miskin sumber energi, akan tergiur dengan kekayaan Indonesia. Artinya, tidak berlebihan jika Indonesia menjadi incaran negara-negara dunia. Berpegang teguh kepada Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, akan mampu mencegah, agar tidak menjadi pengkhianat dan kompradornya asing yang mencari hidup di Indonesia. Mari kita bangkit, bersatu, bergerak, berubah agar kita tidak punah. Semoga Tuhan YME memberikan kejayaan bagi Indonesia. Amin. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2006-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Melawan Komunisme (Bagian-1)

by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Senin (28/09). Komunisme itu paham. Bukan organisasi dan bukan pula nasab. Orang bisa saja menjadi komunis tanpa harus terdaftar sebagai anggota organisasi komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI). Bukan pula dari keturunan atau anak komunis. Jadi, jangan salah sangka. Orang berfaham, lebih tepat lagi ideologi komunis bisa berada di organisasi apa saja. Mulai dari organisasi sosial kemasyarakatan, propesi , keagamaan sampai organisasi partai politik. Begitu juga soal nasab, anak yang lahir dari seorang alim pun bisa jadi terjangkit faham komunis. Sebaliknya, anak seorang komunis belum tentu juga sepaham dengan komunis. “Dik Gaffar, kamu ajari saya agama. Nanti kamu saya ajari Marxisme,” kata Sukarno satu ketika. Yang dipanggilnya “dik Gaffar” adalah A. Gaffar Ismail, ayah dari Taufiq Ismail, dokter hewan yang lebih dikenal sebagai penyair itu. Taufiq Ismail menceritakan kisah persahabatan Sokarno dengan ayahnya itu dalam “Katastrofi Mendunia” (2004). Sukarno, yang begitu menghargai ilmu, lebih dahulu dipenuhi oleh ajaran Karl Marx, “nabi” -nya orang-orang Sosialis-komunis. Dia bangga menguasai Marxisme, sehingga berani menawarkan barter dengan pengajaran”ilmu-ilmu” Islam. Boleh jadi, sebagai muslim yang belum “terisi” dengan hakikat islam, Soekarno memandang Islam sebagai sebuah cabang Ilmu yang setara degan Marxisme. Ya, hanya sebuah ilmu dalam tumpukan ilmu-ilmu sosial dan budaya. Maka, Soekarno yang rajin bertanya soal-soal Islam kepada Gaffar dan Hasan Bandung. Itu pun Soekarno tetap sebagai seorang nasionalis sekuler, dan memimpin Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Pemikiran Soekarno tentang ke-Islaman dan sosial kemasyarakatan tidak lepas dalam perspektif ilmu-ilmu sekuler itu, sehingga tulisan-tulisannya sering mengundang tanggapan kritis dari Mohammad Natsir, tokoh Partai Islam Masyumi. Begitu pun dalam langkah selanjutnya. Ketika menjadi Presiden Indonesia, Soekarno menggabungkan ideologi nasionalisme, agama dan komunisme yang dikenal dengan Nasakom. Masyumi menolak ideologi gabungan itu, sehingga Masyumi diultimatum untuk dibubarkan oleh Presiden Soekarno atas desakan PKI. Itulah Soekarno, lebih dekat ke komunis dari pada Islam. Bagaimana dengan ayah sang Penyair Taufiq Ismail? Meski pun di -coach langsung oleh mentor besar Marxisme, Soekarno, tetapi Gaffar tidak lantas jadi Komunis. Ikut Soekarno di Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pun tidak. Ia justeru aktif di Partai Islam Masyumi yang anti Komunis. Itu karena sikap dan pandangan hidupnya telah dibentuk oleh Islam terlebih dahulu. Putra Minang ini tamatan Sumatera Thawalib Parabek dan pernah nyantri di Padang Panjang. Sikap dan pandangan hidup seseorang itu sangat ditentukan oleh pengajaran. Ajaran apa yang lebih awal atau lebih intens diterima, lebih kuat mempengaruhi dan memenuhi pikirannya. Jadi, jangan main-main dengan pangajaran. Ia adalah mesin cetak keperibadian dan pandangan hidup seseorang. Semaoen, Darsono, Tan Malaka dan Alimin Prawirodirdjo (orang-orang Indonesia pertama yang jadi komunis) awalnya adalah pengikut H.O.S Tjokroaminoto, sebagai anggota Sarekat Islam (SI). Bahkan pernah menduduki jabatan penting di SI. Semaoen misalnya, menjadi Ketua SI Semarang. Tetapi mereka kemudian menjadi tokoh penting pula di Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang pernah beberapa kali menorehkan sejarah kelam bangsa ini, dan di pecat dari SI. Semaoen menjadi anggota SI pada 1914 di afdeeling Surabaya. Usianya terbilang masih terlalu muda, 14 tahun. Setahun kemudian, 1915, Samaoen berkenalan dan akrab dengan seorang sosialis Belanda, Sneevliet, ketua Indische Sosial Democratische Vereniging (ISDV) dan Persatuan Buruh Kereta Api dan Trem Vereniging van Spoor en Tramweg Personcel (VSTP) di Semarang. Semaoen bersimpati berat kepada Sneevliet dan menyapa orang Belanda itu sebagai “guru”. Tidak salah juga. Karena di tengah orang-orang Belanda bermental kolonial dan merasa superior, Sneevliet justeru menawarkan persamaan dan semangat revolusiner. Maka, Semaoen pun ikut aktif di dua organisasi beraliran komunisi itu. Alimin dan Darsono ikut pula di ISDV. Penguasaan bahasa Belanda yang baik, minat belajar yang sangat kuat dan hubungan dekatnya dengan Sneevliet membuat Semaoen dipercaya sebagai ketua propagandis VSTP dan mendapat gaji. Jabatan ini membuat Semaoen harus intens mempelajari ideologi Marxis, dan harus pindah pula ke Semarang, tempat kedudukan Pengurus besar VSTP, Juli 1916. Setahun kemudian, tepatnya 6 Mei 1917, dia terpilih pula menjadi ketua SI Semarang. Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia, 23 Mei 1920. Ia menduduki posisi ketua dan Darsono sebagai Wakil Ketua. Belakangan organisasi ini menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Semaoen adalah ketua pertama, sementara Alimin memimpin Wilayah Jakarta sejak 1918. Pada akhir tahun 1921, Semaoen meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow. Kedudukannya di PKI digantikan olehTan Malaka. Setelah kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922, dia mendapatkan kembali posisi Ketua Umum PKI dan mengganti nama SI yang dipimpinnya menjadi Sarekat Rakyat, bagian dari PKI, di tahun 1924. Dari sekilas perjalanan Semaoen dan kawan-kawannya, terbukti bahwa meski pun mereka aktivis SI, tetapi lebih intens mendapat asupan dan bergulat dengan pemikikiran Sosialisme-komunisme Marxis, dari pada Islam. Namun begitu, pada saat itu, Semaoen dan juga orang-orang SI lainnya, kemudian menjadi PKI tidak mengetahui bahwa di dalam ajaran sosialisme Marxisme itu terkandung prinsip-prinsip ateisme yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sukendar, Ketua Perwakilan PKI dalam Kongres SI tahun 1922, misalnya, ketika diminta tanggapannya terkait SI yang akan menjadi Partai Sarekat Islam, menyatakan bahwa menjadi komunis bukan berarti tidak percaya adanya Tuhan. Tetapi ia mengakui gerakan mereka netral dalam urusan agama. Orang-orang PKI tak ingin Islam di bawa-bawa ke ranah politik. Hal ini mengagetkan para peserta kongres. Betapa tidak, ada orang yang percaya kepada Allah tetapi netral agama! Jadi, ada yang tidak beres pada diri Semaoen dan kawan-kawannya. Kata Mohammad Hatta, “kalau ada orang komunis yang mengatakan ia percaya pada Tuhan, atau seorang muslim mengaku dirinya Marxis, maka ada yang tidak beres padanya.” Maka, “tidak sedikit orang yang tersinggung karena merasa banyak yang tak beres pada dirinya. Tetapi yang tak tersinggung karena tak tahu, lebih banyak lagi .”, kata Tufiq Ismail. Kalimat terakhir Taufiq Ismail itu justeru menjadi kekhawatiran terbesar kita sekarang ini. Lebih banyak yang tidak tersinggung karena tidak tahu. Betapa banyak orang tidak tahu kalau “netral dalam urusan agama” atau “mengharamkan agama dibawa ke ranah politik” berarti sudah kerasukan bibit faham komunis. Malah, mereka yang tidak tahu itu justeru banyak pula aktivis oraganisasi Islam. Banyak juga yang tidak tahu kemudian terhasut. Misalnya, seperti pemberontakan PKI tahun 1927 di Sumatera Barat. Taufiq Ismail mengutip Brackman menggambarkan pemberontakan itu sebagai, “more in the nature of a ‘holy war’ by Islamic zealots than Communist rebellion”. Pemberontakannya malah berciri Islami ketimbang komunis. Karena komunis adalah faham yang berasal dari pengajaran, maka ajaran yang berbau komunis dalam segala bentuknya memang wajib diharamkan. Yang paling dasar, misalnya ajaran yang merendahkan nilai agama atau ketuhanan. Memisahkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, atau ajaran netral agama. Sebab, anggapan ini adalah bagian dari ajaran komunis untuk tumbuh berkembangnya komunis lebih lanjut. Adalah tugas dan kewajiban negara mencerdaskan bangsa. Bukan menjadi kewajiban individu dan keluarga. Melalui pendidikan, baik formal mau pun non formal, pemerintah berkewajiban membangun anak bangsa menjadi insan cerdas. Cerdas yang dimaksud adalah cerdas berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan cita-cita pendirian negara ini. Oleh karena itu, semua materi ajar dan metode yang digunakan harus mampu mengarahkan anak didik pada pembentukan insan yang cerdas ber-Ketuhahan Yang Maha Esa. Secara khusus, mata pelajaran agama harus mendapat perhatian utama untuk senantiasa ditingkatkan kulitasnya. Mengurangi atau bahkan menghilangkan mata peajaran agama di sekolah, dan menyerahkan pendidikan agama kepada keluarga adalah ide yang sangat keliru. Ini dapat dilihat sebagai langkah melepaskan tanggungjawab negara/pemerintah terhadap pembangunan manusia Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, manusia yang bertaqwa. Upaya untuk melepaskan tanggungjawab negara/pemerintah dalam mencerdaskan bangsa berdasarkan Pancasila. Ini sebagai ide buruk mengingkari Pembukaan UUD 1945. Ide menumbuhkan generasi sekuler, generasi yang menjadi lahan subur tumbuh berkembangnya faham komunisme. Selanjutnya, paham komunis harus dilawan. Secara khusus, pendidikan Islam (Dakwah Islamiyah) harus membekali jemaah untuk mampu mematahkan argumentasi kaum komunis. Konstruksi berpikir Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Salallaahu Alaihi Wasallam yang demikian kuat harus dimiliki jemaah, sehingga mampu dengan mudah mematahkan dan membongkar habis pemikiran komunis. Faham dan pemikirankomunis dibangun berdasarkan “Madilog” (material-dialektika- logika). Demikian juga karakter pribadi jemaah harus sampai pada “Inna shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillah Rabbil ‘alamin”. Sehingga tak adalagi jemaah yang berpikir-laku sukuler dan netral agama. Dakwah Islamiyah harus segera keluar dari lingkup kamar mandi (bersuci) dan menakar pahala dan dosa. Dakwah Islamiyah harus segera memenuhi fungsinya memuaskan intelektualitas dan rohani manusia sekaligus. Jangan biarkan ada ruang kosong dalam kehidupan manusia ini, tanpa terisi oleh Islam. Sehingga faham apa pun tidak akan bisa masuk lagi. Wallah a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn & Ketua Komisi di MUI Medan.

Kasihan Pak Prabowo, “Macan Yang Menjadi Beruang Sirkus”

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (27/09). Menteri Pertahanan (Menhan) boleh saja menjadi penting dan bergengsi. Apalagi diisi oleh eks puncak lawan politik. Cocok pula dengan latar belakang profesi sebagai mantan prajurit ketentaraan. Bahasa kerennya profesional, karena sesuai dengan keahlian. Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap, Menhan menjadi salah satu dari triumvirat yang menggantikannya. Juga tentu, terlepas dari kekecewaan para pendukung atas kesiapan Prabowo untuk menjadi menterinya Jokowi. Tetapi yang namanya jabatan, pendukung silahkan saja kecewa. Walaupun demikian, ada rasa kasihan ditinggalkan pendukung. Akan tetapi itu hak politik yang memang tidak bisa dihalangi. Toh segala risikonya sudah dikalkulasi. Apalagi Prabowo dengan surat wasiat yang terbang, dan gebrak-gebrak podium, yang tinggal hanya kenangan seperti macan yang sudah terkurung dalam kandang. Macan yang sudah terkurung di dalam kandang, andai mengaum pun, sekadar lucu-lucuan saja untuk membuat anak-anak tertawa. Sebab tidak juga bisa bebuat apa-apa. Kesangarannya sebagai macan hanya tinggal kenangan. Bahkan bisa menjadi catatan dan tontonan lucu-lucuan. Kini, dengan tidak bermaksud mengecilkan arti pangan bagi kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, namun ada rasa sedih dan duka yang mendalam melihat Pak Prabowo yang tadinya ibarat macan yang ditakuti, ternyata semakin menjadi macan yang dipermainkan. Bahkan berubah menjadi “Beruang Sirkus”. Beruang yang hanya mengikuti atraksi dan maunya tukang sirkus. Tersiar kabar, ada perintah Presiden agar Menhan Prabowo memperkuat ketahanan pangan. Salah satu program utama ketahanan pangan adalah menanam singkong. Akibatnya, masayarakat terpaksa harus menepuk jidat. Tanam singkong dan ketahanan pangan ini tugasnya Menhan atau Menteri Pertanian? Ada yang menjawab, “Oh tidak, pangan itu menjadi bagian penting dari benteng pertahanan lho, sehingga masih dalam ruang lingkup Menhan”. Nah, kalau begitu semua juga masuk dalam ruang lingkup, dan menjadi benteng pertahanan, termasuk urusan sandang dan pangan. Dengan demikian, nantinya Pak Prabowo juga bisa mengurus perumahan, pakaian, dan mungkin juga jalan tol dan pengolahan limbah produksi. Weleh, benar-benar menjadi anggota baru Luhut Binsar Panjaitan dong? Menteri Superman. Ada juga yang menyebut Luhut dengan Menteri Segala Urusan. Inilah kabinet "acak kadut" Menhan ngurus pertanian dan Menko Maritim urus kesehatan. Tetapi nggak aneh juga sih, karena ahli meubel juga ngurus negara ini. Lebih tidak aneh adalah tukang "taik" menjadi Komisaris Utama Pertamina. Negara memang diurus secara asal-asalan. Kasihan Pak Prabowo. Saat masyarakat memprotes rencana pemindahan ibukota, Prabowo diam saja. Reaksi ramai-ramai masyarakat soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Corona dan RUU Omnibus Law juga tak ada komentar. Nah, yang paling ironi ketika penolakan masif terhadap Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasil (RUU HIP) Prabowo "not clearly comment" dan "no action". Malah ikut "ngabring" mengantarkan RUU Badan Pembinaan Idewologi Pancasila (BPIP) ke Mbak Puan Maharani. Yang lebih tragis dan mengenaskan lagi, ketika Fraksi Partai Gerindra di Badan Legislasi (Baleg) DPR menjadi salah satu fraksi yang ikut menyetujui draf usulan agar RUU HIP diterima menjadi Hak Usul Inisiatif DPR. Fraksi DPR di Baleg yang menolak hanya PKS dan Demokrat. Sekarang betapa mandul dan tercengkeramnya Pak Menhan. Mulut yang bungkam mungkin "taktik" atau "strategi". Walaupun masyarakat, khususnya eks pendukung, hanya dapat mengurut dada. Tetapi ketika Prabowo menerima penugasan untuk tanam singkong, masyarakat terpaksa tepuk-tepuk jidat. Kata orang Sunda "kieu-kieu teuing" atau kata orang Betawi "gini-gini amat". "Dignity" itu barang mahal yang sulit untuk dilepas. Namun justru ini yang dikhawatirkan telah diserahkan demi kekuasaan. Juga demi jabatan Menhan. Hampir semua Menteri Jokowi menjadi ocehan publik. Ocehan yang menjadi goresan hitam untuk kabinet dan masa depan pribadi. Prabowo tampaknya sudah tak perlu berpikir karier politik. Kini bertekad saja untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat dengan membuat tapak. Mau menjadi Presiden dengan berlindung di bawah ketiak Pak Jokowi adalah keliru. Bagai berada di ruang tipu-tipu. Warisan dari cara dan pola curang dalam menggapai kekuasaan adalah kehinaan yang tiada akhir. Kekuasaan yang didapat dari hasil curang, hanya akan menempatkan diri menjadi musuh rakyat ke depannya. Hal ini sama saja dengan mengejar bayang-bayang kuasa yang sia-sia belaka. Kasihan memang Pak Prabowo. Macan yang berubah berprilaku menjdi “Beruang Sirkus”. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Aneh, Pemerintah Kok Beroposisi Kepada Rakyat?

by Anton Permana Jakarta FNN – Ahad (27/09). Praktek politik seperti ini mungkin baru terjadi di negeri ini. Pemerintah atau penguasa, yang seharusnya menjadi bahagian dari struktur bernegara dan entitas utama dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, justru lebih banyak menghabiskan energinya seolah "berseberangan" dengan rakyatnya sendiri. Ketika negara ini sudah disepakati bersama menjadi Negara berPancasila, ehh tiba-tiba mau diubah menjadi Tri Sila dan Eka Sila. Juga ketika negara ini hidup harmonis tenang dan damai karena mayoritas rakyatnya beragama Islam, ehh tiba-tiba pemerintah sibuk membangun narasi-narasi radikal-radikul, redikel, redikil dan radikol. Tak peduli hal itu menyakiti hati rakyatnya. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Palang Merah Indonesia (PMI), sebagai reseprentasi suara civil society, meminta Pilkada diundur atas nama nyawa, kemanusiaan dan keterpurukan ekonomi, ehh penguasa tetap bersikukuh memaksakan Pilkada tetap berjalan di tengah badai wabah corona yang mematikan ini. Ketika rakyat butuh pekerjaan, ekonomi sulit harga-harga semakin tinggi, dan minyak dunia turun, ehh pemerintah malah bombardir mendatangkan TKA China. Terlihat pemerintah tanpa rasa malu dan keberpihakan terhadap nasib rakyat yang banyak menganggur dan susah hidup. Belum lagi kenaikan iuran BPJS, tarif listrik dan tidak menurunkan harga pejualan BBM di dalam negeri sebagaimana negara lain, yang semakin mencekik kehidupan rakyat yang sekarat. Rakyat juga haus akan nilai keadilan dan penegakan hukum, ehh semua dikotori dengan kasus Tjoko Chandra, Harun Masiku. Malah teror penganiayaan kepada para ulama dan imam masjid yang seolah terjadi biasa-biasa saja. Hari ini harmonisasi kehidupan terasa pahit. Keadilan hukum semakin mahal. Rasa kebersamaan dan persatuan telah dicabik-cabik oleh prilaku penguasa yang semakin tak jelas arah tujuannya mau kemana? Yang jelas, negeri ini semakin rusak parah menuju titik kehancuran. Inilah out put dari kepemimpinan yang dikendalikan oligharki, korporasi dan konglomerasi. Yang dijiwai oleh paham liberalisme dan neo kolonialisme. Ditambah lagi dengan semakin "semena-menanya" para anak keturunan PKI yang menyusup dalam sendi-sendi negara, dan memproduksi aturan serta kebijakan yang menyakitkan hati rakyat. Tidak sedikit yang sebenarnya menabrak berbagai macam aturan hukum. Tapi begitulah. Rakyat hari ini merasa kecolongan. Rakyat hari ini seakan tertipu dengan bahasa manis reformasi. Ternyata, hari ini semua menjadi lebih buruk dan rusak parah. Yang namanya rakyat, pasti akan tetap setia dengan nilai-nilai kebenaran, sesuai yang telah diajarkan dan hidup berkembang dalam kehidupan. Disitulah ada norma, nilai, adat budaya, dan agama. Dimana semua terkristalisasi dengan indah dalam Pancasila dan UUD 1945. Cuma sayang, pondasi indah ini yang saat ini mereka rusak dan langkahi dengan semena-mena. Maka jadilah seolah pemerintah yang beroposisi terhadap rakyatnya. Karena tak pernah lagi bertindak dan bekerja untuk rakyatnya. Semua kalah dan tunduk di bawah ketiak politik kepentingan pribadi dan kelompok golongan. Konstitusi dan aturan hukum yang secara prinsip seharusnya jadi alat untuk mengekang kekuasaan, justru hari ini menjadi alat utamakekuasaan. Bahkan parahnya lagi, aturan hukum dan kekuasaan dijadikan alat untuk mengintimidasi rakyatnya sendiri. Kekuasaan digunakan untuk membunuh kebenaran. Lalu apa bedanya kita hari ini dengan masa penjajahan terdahulu??? Kita tidak tahu sampai kapan ini akan terjadi. Tetapi yakinlah, tidak ada kekuasaan yang bertahan lama kalau terus menekan, menindas, semena-mena dan beroposisi terhadap rakyatnya. Apalagi, kalau kekuasaan itu digunakan untuk merubah total tatanan nilai yang sudah hidup berurat dan berakar bersama rakyatnya turun temurun. Semoga, kondisi buruk hari ini menemukan titik cahaya kebaikan esok atau di kemudian hari. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Negeri ini lahir dan berdiri dari hasil perjuangan rakyat. Sekali khianati dan sakiti rakyat, yakinlah akan ada massanya rakyat bangkit untuk mengambil alih hak dan kedaulatannya kembali secara konstitusional. Ini hanya masalah waktu saja. InsyaAllah. Salam Indonesia Jaya! Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.

Pengkhinatan Terhadap NKRI dan Pancasila

by Dr. Ahmad Yani SH. MH. Jakarta FNN – Ahad (27/09). Sejarah harus tetap ada, terutama dalam ruang-ruang kehidupan masyarakat. Sejarah harus hidup dalam ruang-ruang pendidikan. Menjadi bahan diskusi maupun perdebatan. Sejarah harus tetap dipelajari, karenamengandung makna kebudayaan yang besar. Memotong atau menghilangkan sejarah, bisa dikatakan sebagai kejahatan terhadap bangsa dan negara. Karena di dalam sejarah, kita dapat mengetahui, siapa pengkhianat dan siapa pahlawan. Sebab di sana ada kearifan budaya, jejak peradaban, dan nilai luhur bangsa yang menjadi spirit dari generasi ke generasi. Maka sejarah sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memiliki sejarah yang begitu kaya. Semenjak zaman perjuangan, zaman pergerakan, zaman revolusi dan zaman kemerdekaan, selalu menampilkan keunikan cerita. Dari cerita yang paling heroik, dramatis, hingga yang paling tragis. Maka sejarah menjadi penting bagi generasi muda untuk memahami karakter, sifat dan kepribadian bangsanya. Apabila sejarah dihilangkan maka identitas nasional kita akan didominasi oleh budaya-budaya luar yang menggempur budaya Indonesia. Bahkan sudah ada yang mengagumi budaya K-POP, seperti Wakil Presiden yang menyarankan generasi muda untuk membangkitkan spiritnya dengan belajar K-POP. Ini berbahaya. Sebab selain budaya generasi dari negeri Korea, K-POP juga dalam bahasa kritisnya "menciptakan generasi borjuis". Generasi yang tidak punya kepedulian pada jatidiri bangsanya sendiri. Sehingga sejarah perjuangan bangsanya sendiri bisa dilupakan. Begitu juga dengan keinginan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim untuk menghilangkan pelajaran sejarah dalam kurikulum pendidikan nasional kita. Ini menteri sangat ngawur dan ngoco. Sebab lebih berbahaya sekali. Bahkan bisa meruntuhkan bangsa dan negara. Keinginan Merubah Pancasila Dengan menghilangkan sejarah, maka sejarah perjuangan kemerdekaan dan perumusan falsafah bangsa Indonesia juga akan mulai dilupakan sedikit demi sedikit. Kenyataan itu dapat kita tangkap dari skenario RUU HIP dan RUU BPIP. Ada penyelundupan sejarah yang mencoba menghilangkan peran tokoh bangsa dalam merumuskan Pancasila. Ini juga ngoco dan ngawur. Pancasila yang dipahami oleh RUU tersebut adalah pancasila yang merupakan pidato Seorang Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Pidato itu berupa usulan seperti juga tokoh-tokoh Bangsa dalam BPUPK. Namun peran kolektif tokoh bangsa itu ingin dihilangkan dengan cara merumuskan Pancasila dalam pandangan seorang saja. Akhirnya sejarah Pancasila dirubah, dan isi Pancasila pun ikut dirubah pula. Pancasila yang dimaksud oleh RUU itu adalah Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Sebenarnya itu bukan Pancasila, itu hanya pidato Soekarno pada 1 Juni 1945. Tidak lebih, dan tidak kurang. Hari itu banyak tokoh bangsa yang berpidato tentang Pancasila. Bukan hanya Soekarno. Pancasila yang sesungguhnya itu lahir tanggal 22 Juni 1945 melalui Satu Panitia Kecil yang berisi 9 orang. Panitia itu berhasil merumuskan satu Staat fundamental Norm atau Filosofiche Groundslaag Indonesia Merdeka. Kemudian dokumen itu diberi Nama Piagaman Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Meski pada tanggal 18 Agustus 1945 terjadi perubahan dari Piagam Jakarta dengan mencoret 7 anak kalimat yaitu “Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun yang dimaksud adalah kesepakatan luhur bangsa Indonesia yang diwakili oleh pendiri bangsa. Tidak ada kesepakatan Ekasila dan Trisila. Melainkan kesepakatan Pancasila 18 Agustus 1945. Piagam Jakarta adalah Pancasila itu sendiri. Hal tersebut dirangkum dan ditegaskan kembali dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Artinya, Pancasila itu adalah lima dasar bangsa Indonesia. Jadi tidak ada tafsiran lain selain Pancasila sebagaimana yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Apabila yang ingin merubah Pancasila, berarti sedang merongrong NKRI. Hanya PKI dan faham Komunis yang ingin merubah Pancasila secara total. Ingin mengganti negara Indonesia menjadi negara komunis, dengan ideologi komunis. PKI Menghina NKRI dan Pancasila Tidak bisa dipungkiri bahwa Komunisme adalah musuh utama Pancasila. Peristiwa sejarah tahun 1948 dimana terjadi pemberontakan di Madiun yang menewaskan Ulama dan Santri adalah penghinatan PKI terhadap NKRI dan Pancasila. Ketika bangsa Ini berjuang melawan agresi militer Belanda, PKI justru memanfaatkan keadaan itu untuk memecah belah bangsa dari dalam. Pemberontakan Madiun menjadi bukti permulaan PKI yang anti terhadap NKRI dan Pancasila. Usaha PKI mendekat dan mempengaruhi Presiden Soekarno memanen keberhasilan, yaitu Soekarno memberikan jalan bagi ideologi komunis dengan NASAKOM. Tipu muslihat PKI dengan menghalalkan segala cara, hingga pada tahun 1959 setelah berhasil mempraktikkan demokrasi terpimpin. Soekarno justru menjadikan PKI sebagai Partai politik yang dekat dengan Soekarno. Sepanjang periode itu, umat Islam mengalami masa-masa kelam. Setelah Partai Masyumi dipaksa membubarkan diri pada tahun 1960. Sejak itu, PKI tidak lagi memiliki kekuatan tandingan, hingga bebas melakukan apa saja. Termasuk berhianat pada tahun 1965. Organisasi Islam seperti Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan mahasiswa Islam (HMI) menjadi bulan-bulanan PKI. Setiap saat organisasi-organisasi Islam itu mendapat ancaman, bahkan ancaman pembubaran akibat politik adu domba PKI. Sebab PKI berhasil mendapatkan kedudukan kuat di kekuasaan Demokrasi Terpimpin Soekarno. Dengan memanfaatkan kedekatan dengan Soekarno, dan keleluasaannya memainkan politik tanpa tandingan, maka pada Tahun 1965 tepatnya 30 September 1965, waktu dini hari, PKI melakukan pemberontakan. PKI menculik para Jenderal dan membunuhnya secara kejam. Peristiwa itu begitu tragis, yang terkenal dengan Kudeta PKI itu, hampir saja membuat bangsa Indonesia dikuasai oleh ideologi Komunis. Pancasila hampir saja hilang ditelan oleh pengkhianatan PKI itu. Sejarah kelam dan tragis itukah yang mau dihilangkan dari kurikulum pendidikan sejarah Indonesia? Gebleg… Atas pertolongan dan perlindungan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan PKI gagal total. Meski pemberontakan itu begitu kuat. Namun kekuatan pembela Pancasila bangkit. Rakyat mengambil bagian membantu ABRI untuk menumpas gerakan musuh Pancasila itu. Maka Gerakan 30 September 1965 adalah hari bersejarah yang menggambarkan penghinaan dan pengkhianatan terhadap NKRI dan Pancasila. Maka peristiwa tanggal 30 September itu adalah hari berkabung nasional. Hari dimana kita hampir saja tidak lagi menjadi NKRI yang berdasarkan Pancasila. Namun kita bersyukur. Pembela Pancasila lebih kuat dan banyak daripada musuh Pancasila itu. Ketika Pancasila dirongrong Rakyat bangkit untuk mempertahankannya. Itu dapat dibuktikan pada tahun 1965. Memperingati G30S PKI Untuk memperingati perakan pengkhianatan itu, maka Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menyerukan masyarakat untuk memutar kembali film G30SPKI. Kegiatan ini sebagai pelajaran bagi generasi muda untuk mengetahui kekejian kaum komunis terhadap bangsa Indonesia. Pemutaran film tersebut, tidak hanya untuk membuka kembali sejarah kelam itu. Tetapi juga menjadi pelajaran penting bagi generasi muda, bahwa meski beberapa kali PKI melakukan pemberontakan untuk merubah NKRI dan Pancasila, namun selalu saja gagal. Peristiwa berdarah itu kita rayakan dengan mengibarkan bendera setengah tiang pada tanggal terjadinya pemberontakan tanggal 30 September nanti. Dan tanggal 1 Oktober sebagai rasa syukur kita kepada Allah SWT, dan terima kasih dan penghormatan kita pada para pejuang yang menjadi korban keganasan PKI. Untuk mengingatkan peristiwa itu, kita kibarkan bendera satu ruang penuh. Selain rasa syukur dan terima kasih, pengibaran bendera satu ruang penuh sebagai bukti bahwa Pancasila tetap menjadi falsafah bangsa yang teruji oleh zaman. Maka KAMI mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk memutar film G 30S PKI dan mengibarkan bendera setengah tiang pada tanggal 30 September 2020. Pada tanggal 1 Oktober 2020 kita mengibarkan bendera satu ruang penuh. Demikian, semoga Allah menjadikan Indonesia sebagai negara Pancasila, yaitu negara yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Koordinator Komite Eksekutif KAMI dan Dosen FH dan FISIP UMJ.

Kalau Bukan PKI, Nyatakan Terbuka Kalau PKI Itu Penghianat

by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Sabtu (26/09). Banyak kalangan dari pejabat negara, bahkan Presiden yang meragukan keberadaan atau kebangkitan kembali Neo PKI dan faham Komunisme. Bahkan dengan sinis menyatakan bahwa itu hanyalah koar-koar untuk kepentingan politik semata. Namun ketika indikasi tuduhan mengarah padanya, maka semua cepat-cepat menyakal. Membantah bahwa dirinya bukan PKI dan faham komunisme, baik itu sebagai simpatisan ataupun keturunan. Keberadaan aturan tentang larangan pengembangan PKI dan faham Komunisme, sekarang dijadikan tameng untuk "bersih diri". Masyarakat pada sisi lain, khususnya umat Islam, merasakan adanya peningkatan pengaruh faham komunisme dalam kehidupan kemasyarakatan atau kenegaraan. Tercium aroma kemunculan gerakan Neo-PKI dan faham komunisme itu sangat kental. Anak tokoh sentral PKI DN Aidit saja sudah berani tampil mengecam Jndral TNI (Punr.) Gatot Nurmantyo dan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Memang "like father like son". Sama saja ayah dan anak. Kalau Gibran sama dengan Jokowi, ya Ilham Aidit juga pasti sama dengan DN Aidit. Kebangkinan PKI dan faham Komunisme itu tak bisa dianggap remeh. Ketika sulit untuk membantah adanya peningkatan eskalasi, namun pada saat itu juga bantahan tentu saja meningkat frekwensinya. Misalnya, mana itu PKI? Komunis kan sudah punah dan sudah mati. PKI dulu hanya sebagai korban. Film G 30 S PKI manipulatif dan seribu dalih lain dilemparkan. Semburan fitnah pun diarahkan pada elemen-elemen keagamaan. Dituduh sebagai kelompok yang radikal dan intoleran. Ini persis seperti gaya-gaya khas Komunis dulu yang dikenal dengan sebutan "firehose of falsehood". Nembak orang, lalu sembunyi diri. Sudahlah, sekarang ambil gampangnya saja. Nyatakan secara terbuka bahwa “PKI adalah penjahat dan penghianat bangsa”. Aapalagi kalau merasa diri bukan PKI dan faham komunisme. Bukan juga sebagai simpatisan. Bukan sebagai anak-cucu keturunan PKI dan faham komunis. Kalau Aada juga bukan sebagai penyebar faham komunisme, lalu sadar sebagai patriot yang cinta bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, maka sampaikanlah secara tegas dan nyatakan terbuka saja bahwa “PKI itu adalah penjahat dan penghianat bangsa. Ajak masyarakat waspada akan kejahatan dan penghianatannya. Nah itu kan gampang, atau gamang? Bila tak mau dan tak berani terbuka, berarti ada rasa simpati atau yakin akan kebenaran perjuangan PKI dan faham Komunisme. Masih "ada rasa" dalam dada. Jika iya, maka konsekuensinya tentu harus siap-siap untuk berhadap-hadapan dengan semangat kerakyatan yang telah muak dengan ulah PKI dan faham Komunisme di negeri ini. Penghianat yang pandai pura-pura sebagai membela Pancasila. Padahal dengan berbagai cara, masih punya keinginan untuk mengubah ideologi negara Pancasila. Sebagai contoh, adanya inisiator untuk membuat Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang disahkan menjadi RUU Hak Inisiatif DPR. Sekarang menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Jangan salahkan rakyat, khususnya umat islam jika punya tekad yang membara untuk membasmi PKI dan faham Komunisme sampai keakar-akarnya. Tak peduli dengan tuduhan intoleran atau radikal sekalipun. PKI dan Komunis adalah musuh TNI, musuh Polisi, musuh Rakyat, dan musuh umat beragama. Aparat TNI dan Polisi harusnya berpihak pada rakyat dan negara. Bukan pada Pemerintah yang Pro PKI dan faham Komunis. Dimana dan kapanpun itu. Penulsia adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Cicero, "Salus Populi Suprema Lex Esto"

by Zainal Bintang We know how to bring the economy back to life, What we do not know is how to bring people back to life. "Kami tahu cara untuk menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang yang mati", kata Presiden Ghana, Nana Akufo Addo di twitternya yang viral 28 Maret lalu, terkait sikap tegasnya melockdown negaranya menghadapi wabah Covid19. Jakarta FNN – Sabtu (26/09). Jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 9 Desember 2020 direcoki kebisingan suara pro dan kontra. Pemerintah dalam hal ini presiden Jokowi melalui juru bicaranya Fadjroel Rahman dengan tegas menolak Pilkada ditunda! Sementara sejumlah tokoh Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) besar Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta MUI (Majelis Ulama Indonesia) plus Jusuf Kalla(JK) meminta Pilkada Serentak ditunda. Pemerintah beralasan akan terjadi kekosongan pemerintahan di daerah apabila Pilkada ditunda karena banyak pejabat yang akan berakhir masa jabatannya. Berdasarkan Data Satuan Tugas Penanganan Covid 19, Jumat (25/09) jumlah pasien yang positif Covid-19 sudah menjadi 266.845 orang. Penambahan 4.823 kasus dalam sehari kemarin. Kesembuhan mencapai 196.196 orang. Yang meninggal dunia sebanyak 10.218 orang. Grafik korban pasien positif Covid-19 melaju setiap hari. Pada saat yang sama kualitas layanan petugas maupun fasilitas kesehatan sangat kewalahan. Inilah yang mendorong ungkapan filsuf Romawi kuno Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM), “Salus Populi Suprema Lex Esto” (Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi) dikutip oleh siapa saja, ditulis dimana-mana dan viral kemana-mana. Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 tidak hanya sebagai agenda rutin politik, tetapi juga berfungsi menjadi lokomotif penggerak ekonomi di tengah masyarakat. Tapi gawe Pilkada saat ini cukup dilematis. Terperangkap kasus pandemi Covid-19 yang meningkat setiap hari. Sesuai kodratnya sebagai pesta demokrasi lima tahunan, proses Pilkada sejak dari tahapan pendaftaran sampai pencoblosan memastikan adanya kerumunan massa pendukung para kontestan. Pahami kodratnya itu baik-baik. Pilkada serentak secara nasional pertama kali digelar 9 Desember 2015. Ironisnya perhelatan demokrasi itu sekaligus menjadi bursa transaksi jual-beli suara masyarakat kepada kandidat melalui jasa tim sukses atau relawan. Bukan rahasia umum terjadinya operasi “serangan fajar” praktik politik uang (money politics) untuk memastikan keterikatan suara calon pemilih. Praktek money politics itu bagian kecil dari skenario besar pragmatisme politik yang membudayakan percukongan. Politik yang menyandera kandidat terpilih memikul beban kewajiban, untuk memberikan kompensasi kemudahan perizinan dan lisensi kepada cukong yang mendanai biaya kandidat. Sejenis dengan “success fee”. Sebuah media cetak ibukota Kamis pagi (24/09) memuat berita berjudul “Kuasa Kapital Picu Regresi Demokrasi”, mengutip Prof. Emil Salim (90) yang mengakui, mencatat demokrasi di Indonesia memang mudur. Partai politik kehilangan legitimasinya. Kekritisan pers dan media yang dalam ancaman. Pelemahan institusi demokrasi dan negara hukum salah satunya KPK. Demokrasi yang berbasis kekuatan kapital, yang disebutnya sebagai “demokrasi cukong”. Mantan Menteri Perhubungan dan Lingkungan Hidup era Soeharto itu menjadi salah seorang pembicara di dalam suatu acara peluncuran buku. Istilah cukong itu sinonim dengan kata oligarki yang suka disebut oleh Jeffrey A.Winters (60). Ilmuwan politik Amerika di Northwestern University itu mengkhususkan diri dalam studi oligarki. Demokrasi di Indonesia, kata Winters, yang bertujuan untuk memeratakan kekuasaan dan ekonomi, nyatanya justru berjalan di arah yang sebaliknya. Winters menilai, demokrasi Indonesia dikuasai oleh kaum oligarki, sehingga makin jauh dari cita-cita untuk memakmurkan rakyat. Winters yang telah banyak menulis tentang Indonesia dan tentang oligarki di Amerika Serikat melanjutkan, demokrasi dikuasai kaum oligarki itu terlihat dengan makin dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin di Indonesia. Konsentrasi kekayaan meningkat dan ketimpangan juga meningkat. Indonesia jauh lebih merata antara yang kaya dan miskin pada 1945 daripada sekarang. Apa yang salah? Padahal partisipasi rakyat minimal harus membawa lebih banyak kemakmuran. Kenapa ini tidak terjadi? Yaa itu tadi, karena oligarki dan elite di Indonesia sudah menguasai sistem demokrasi dan mengontrol sehingga Indonesia punya “oligarki demokrasi”. Winters pengarang buku “Oligharcy” (2011) yang memenangkan Luebbert Award dari Asosiasi Ilmu Politik Amerika (2012) untuk “buku terbaik” dalam perbandingan politik. Kembali kepada “sengketa” jadwal Pilkada yang terjadi pada saat posisi demokrasi yang dilematis ini, state actor (pejabat negara) justru berkonfrontasi dengan non state actor (masyarakat sipil). Memperdebatkan model solusi mitigasi atas ancaman nyawa rakyat akibat transmisi pandemi di dalam proses tahapan Pilkada. Penyelenggara tetap ngotot Pilkada jalan terus. Hantu kekosongan pemerintahan di daerah jadi alasan tambahan. Dikarenakan banyak kandidat yang akan berakhir masa jabatannya. Itu memerlukan legitimasi baru. Sebagai Pjs (Pejabat Sementara) posisi itu tak memiliki kewenangan membuat kebijakan. Sehingga akan menghambat program pembangunan. Regulasi kampanye secara virtual (daring) dijanjikan disiapkan untuk mengganjal tradisi kerumunan. Kebutuhan belanja para kandidat untuk pernak-pernik seperti alat peraga, berbagai format sosialisasi, lembaga survei, operasional tim sukses dan relawan plus harga tiket rekomendasi beberapa partai politik termasuk dana “serangan fajar”, jumlahnya cukup besar. Merujuk informasi mutakhir KPU telah menerima pendaftaran sebanyak 741 paslon (pasangan calon) di seluruh Indonesia. Jumlah 741 pasangan calon itu meliputi 270 daerah. Dengan rincian 25 paslon 9 di propinsi, 224 di Kabupaten dan 37 di Kota. Dari jumlah tersebut, ada 25 kabupaten/kota yang menggelar pilkada dengan satu paslon calon. Melibatkan 105 juta orang pemilih yang akan mendatangi kurang lebih 312 ribu TPS (Tempat Pemungutan Suara). Sebuah asumsi obrolan warung kopi, jika itu memang benar , menyebutkan dana yang harus dikeluarkan setiap kandidat mencapai antara Rp 35 - Rp 50 miliar dikonversi 741 paslon, total uang yang berputar mencapai Rp 35 triliun - Rp 50 triliun. Jika merujuk teori ekonomi, angka itu dilipatkan dua kali jumlah dana yang akan beredar mendekati Rp 100 triliun. Katakanlah, hanya setengah dari jumlah itu yang kejadian, yaa tetap besar Rp 50 triliun! Merupakan mesin besar penggerak ekonomi di masa pandemi. Bagi pemerintah, anggaran tahapan Pilkada itu harus ditangkap untuk dijadikan agregator perputaran roda ekonomi rakyat yang mandek selama pandemi. Persolannya terpulang kepada kapasitas kemampuan dan kesiapan organisasi negara mengendalikan kerumunan orang, agar tidak terjadi ledakan klaster baru. Pemerintah harus cermat menghitung sebelum melangkah. Karena taruhannya keselamatan jiwa rakyat yang mutlak dilindungi sesuai amanat konstitusi. Banyak kalangan yang memperingatkan, bahwa mempertaruhkan nyawa rakyat untuk kepentingan politik sesaat adalah kejahatan atas kemanusiaan, “crimes against humanity”. Ingat dan fahami peringatan itu baik-baik. Sebab bisa saja menjadi persoalan kemanusiaan kelak. "Terima kasih atas pesan kuat untuk dunia saudaraku Nana Akufo Addo Presiden Ghana. Bersama untuk menciptakan dunia yang lebih sehat, aman, dan adil. Bersama untuk melawan Covid 19". Kata Dirjen WHO Ghebreyesus mengapresiasi ucapan presiden Ghana di twitternya. Ghana adalah negara kulit hitam Afrika pertama yang merdeka dari Britania Raya pada tahun 1957. Sebutan untuk negeri ini sebagai “Pesisir Emas” memang terpantul dari sikap Presiden Nana Akufo Addo yang memang berhati “emas” untuk melindungi rakyatnya. Pada layar WhatsApp saya ada tulisan cukup menggelitik, “di Ghana itu tidak ada hiruk pikuk kampanye soal Pancasila setiap hari lho”! Penulis adalah Wartawan Senior & Pemerhati Sosial Budaya.

Kesadaran Palsu Dan Budaya Politik Kekerasan

by Radhar Tribaskoro Bandung FNN – Sabtu (26/09). Ancaman Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Surabaya untuk membubarkan acara deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) adalah salah satu contoh mengapa Indonesia harus diselamatkan. Ancaman itu menunjukkan budaya politik yang mengandalkan kekerasan massa dan kedekatan kepada kekuasaan untuk memaksakan kemauan. Baru saja berlalu ketika sebuah organisasi massa menyerbu sebuah pesantren. Mereka melakukan tindak pemaksaan dan kekerasan verbal kepada pimpinan pesantren yang notabene seorang ulama. Kita ingat saat pilpres yang lalu, kekerasan yang sama menimpa Ahmad Dhani dan Bunda Neno Warisman. Dalam situasi seperti itu aparat penegak hukum malah mengabaikan kewajiban konstitusional. Apara abai untuk melindungi kebebasan berbicara dan berkumpul. Mereka arapat memilih mengabaikan panggilan konstitusional itu dengan dalih khawatir adanya bentrokan massa. Apa yang terjadi? Sebab di seluruh dunia aparat penegak hukum mempertahankan konstitusi sampai titik darah penghabisan. Namun di sini, aparat hukum memilih mendukung kepentingan penguasa. Sekalipun harus mengabaikan kewajiban konstitusi melindungi rakyat. Kejadian yang berulang menjadikan kebiasaan. Kebiasaan yang berlangsung lama membentuk budaya. Budaya politik yang dicirikan oleh kekerasan massa (bukan cara-cara demokrasi dan konstitusi) sebetulnya sudah pernah terjadi dulu, yaitu pada era Demokrasi Terpimpin. Pada ketika itu PKI membangun aksi massa untuk membubarkan Organisasi Politik (Orpol) dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), yang notabene adalah musuh politik mereka. PKI tahu bahwa keinginan mereka itu akan mudah dipenuhi oleh Presiden Soekarno, sebab Soekarno pada akhirnya menganggap Muhammad Natsir, Bung Syahrir, bahkan Bung Hatta sebagai musuhnya. Makanya hasilnya mudah saja untuk ditebak. Presiden Soekarno akhirnya memenuhi tuntutan PKI. Soerkarno berturut-turut membubarkan Partai Masyumi, PSI, dan partai Murba. Hampir saja Soekarno juga membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Budaya politik kekerasan massa hilang di era Orde Baru, karena Soeharto tidak membutuhkan massa untuk menindas musuh-musuhnya. Soeharto langsung menggunakan aparat untuk keperluan itu. Tentara dari Angkatan Darat, dan intelijen yang bekerja untuk menjaga kekuasaan Soeharto. Sementara di era reformasi muncul kekerasan massa yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) terhadap Ahamdiyah dan Syi’ah. Aparat malah seperti mengipasi karena praktis mengiyakan tuntutan FPI untuk membubarkan pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi. Alasan aparat penegak hukum sama, untuk menghindari bentrok massa. Namun pada saat yang sama aparat mengabaikan kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi kebebasan berpendapat dan berkumpul. Sikap aparat yang tidak proper itu membakar kemarahan rakyat kepada FPI. Semakin sering FPI beraksi rakyat semakin marah. Rakyat kebanyakan tak menyadari bahwa banyaknya aksi FPI hanya bisa terjadi bila aparat membiarkan. Semakin membaranya kemarahan rakyat, besar kemungkinan adalah sebuah set-up atau sebuah cipta-kondisi dalam bahasa intelejen Indonesia. Dalam kenyataannya, kemarahan publik tersebut dimanfaatkan oleh suatu golongan politik. Mereka meniupkan isu kebangkitan politik identitas, radikalisme, anti-pluralisme dan sektarianisme. Pada awal pemerintahan Jokowi, isu itu semakin menguat terutama karena tidak ada tindakan kongkrit dari aparat untuk mencegah berulangnya kekerasan massa. Suatu elit politik dalam pemerintahan Jokowi membakar sentimen itu lebih hebat dengan menjadikan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai bukti adanya upaya mengganti Pancasila. HTI memang sering mengungkapkan, secara lisan maupun tulis, cita-cita mereka untuk membangun negeri khilafah di Indonesia. HTI adalah ormas damai, mereka tidak pernah melakukan kekerasan massa. Namun aksi damai HTI itu tidak mencegah pemerintah membubarkan HTI. Keberadaan HTI kemudian dijadikan prima causa bahwa ide-ide radikal dan anti-pancasila, telah merasuk ke dalam lembaga-lembaga negara, ormas, perguruan tinggi. Bahkan ke mesjid-mesjid. Semua itu dijadikan dalih untuk melakukan pembersihan orang-orang yang tidak mendukung penguasa, harus disingkirkan. Padahal sebetulnya hanya ada dua kasus. Pertama adalah kasus kekerasan massa FPI, dan kedua adalah kasus khilafah HTI. Kedua organisasi itu sangat kecil dalam perspektif Indonesia. Keduanya tidak mengangkat senjata. Keduanya juga tidak berhubungan satu sama lain. Tetapi keributan sosial-politik sengaja diciptakan begitu hebat. Seakan-akan Indonesia kini sedang berperang. Juga seakan-akan rakyat hanya dihadapkan kepada dua pilihan, menjadi negara Pancasila atau negara khilafah? Indonesia sudah seperti dalam keadaan darurat. Dalam situasi seperti itu, orang-orang yang tidak waspada didorong untuk mempercayai penguasa tanpa reserve. Orang-orang itu kemudian menjadi toleran terhadap kekerasan dan kecurangan penguasa. Mereka juga mengambil sikap tidak peduli terhadap tindakan pemerintah yang semakin otoriter dan mengkonsentrasikan kekuasaan dengan mengambil kewenangan legislatif maupun eksekutif. Mereka tidak peduli bahwa produk-produk hukum belakangan ini telah menimbulkan kerugian besar bagi generasi masa depan. Misalnya dari ekstraksi UU Minerba. Mereka masa bodoh terhadap potensi penjarahan yang mungkin terjadi akibat undang-undang yang menjadikan pemerintahan kebal hukum. Mereka juga tidak mau tahu bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnubus Law Cipta Kerja telah mengubah buruh dan tani menjadi budak. Tanah sepenuhnya dikomersialisasikan, sehingga jutaan petani hanya berpeluang menjadi buruh tani. Pesantren-pesantren berubah dari produk amal-ibadah menjadi produk pasar komersial, dan seterusnya dan sebagainya. Selian itu, realitas politik saat ini telah memperkuat cengkraman oligarki atas Indonesia. Dari RT/RW sampai presiden tidak ada tindakan yang bisa berjalan tanpa restu oligarki. Puncak dari semua kebobrokan yang berlangsung di tengah kesadaran palsu itu tercermin dalam kasus RUU HIP dan BPIP. Kedua RUU itu mau meletakkan kembali “Demokrasi Terpimpin”. RUU HIP dan BPIP menjadikan konsep “Demokrasi Terpimpin” yang dibangun Soekarno mau dihidupkan kembali. Mau menjadi pedoman kehidupan politik Indonesia. Dalam “Demokrasi Terpimpin”, demokrasi sebenarnya menjadi ambyar. Semua kekuasaan berada di tangan presiden. Trias Politica bubar jalan. Itulah agenda politik paling puncak saat ini. Untuk keberhasilan agenda tersebut, suatu kelompok elit di Istana memberi jalan bagi kaum oligarki merampok Indonesia. Juga menghancurkan martabat rakyat, sehingga sekadar menjadi budak kapitalis. Menjadikan Indonesia semakin tergantung kepada Cina dalam keuangan, ekonomi dan politik. Sekarang orang-orang yang tidak waspada, karena diliputi dengan kesadaran palsu, mau diperalat untuk menindas KAMI. Berbeda dengan mereka, KAMI adalah orang-orang yang waspada. KAMI membaca rencana dan perbuatan sampai jauh ke alam pikiran dan kebudayaan. KAMI tidak akan tertipu dan termakan kampanye kesadaran palsu tersebut. KAMI ingin menyelamatkan Indonesia. Pertama, menyelamatkan saudara-saudara kami dari kesadaran palsu. Demikian terjadi pada saudara-saudara kami dari FPI. Mereka telah membuang kesadaran palsu ketika melihat sendiri bahwa orang yang dulu memfasilitasi mereka sekarang justru menindas mereka. Mereka adalah pejuang Pancasila. Kedua, menunjukkan jalan kebenaran, yaitu jalan dimana tujuan tidak menghalalkan segala cara. Artinya, politik memang memiliki tujuan, tetapi tujuan itu hendaknya dicapai dengan basis moral. Kemenangan dalam politik bukan untuk kemenangan itu sendiri. Kemenangan, keberhasilan dan kemajuan harus juga berarti membawa seluruh rakyat ke tingkatan moral yang lebih tinggi. Itulah perilaku Pancasilais yang KAMI pahami. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Soal Pilkada, Mendagri Tito Jangan Ngaco & Ngawur

by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN – Jum’at (25/09). Kerumunan orang dalam rangkain Pelihan Kepala Daerah (Pilkada) bukan hanya saat pendaftaran dan sosialisasi. Prakteknya kontestan juga lakukan distribusi "uang cendol". Para Tim Sukses (Timses) juga perlu mengamankan uang cendol agar dipastikan sampai ke pemilih. Jika saat normal saja praktek distribusi uang cendol selama ini terkesan dibiarkan oleh panitia Pilkada. Apalagi saat pandemi virus covid dan krisis ekonomi. Pemilih tentu saja berharap dapat uang cendol, yang meski sedikit sangat berarti di saat krisis ekonomi. Sedangkan siapa yg terpilih, saya yakin sebagian pemilih sudah tidak perduli lagi. Juga perlu dipertimbangkan berkumpulnya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara(KPPS) relawan atau saksi dari para kontestan. Pengumpulan dan pengelompokan relawan dan saksi ini sudah terjadi secara intensif sejak tahap sosialisasi hingga penghitungan suara. Jangan terulang lagi KPPS banyak meninggal (989 orang) saat bertugas seperti di Pemilu 2019 lalu. Jadinya, sangat sulit untuk menjamin protokol bisa dijalankan dengan disiplin penuh untuk masyarakat. Jangankan kita yang sudah dikenal sebagai bangsa yang kurang disiplin, masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat saja masih banyak yang tidak disiplin dalam memakai masker. Jika kita melihat kisah aturan tentang penggunaan helm pertama kali diterapkan, perlu berapa tahun masyarakat sadar mau pakai helm. Ini sebagai contoh saja. Sehingga mengharapkan masyarakat sadar dan disiplin dalam penggunaan masker, serta menjaga jarak dalam berinteraksi saat Pilkada nanti, sama dengan menyuruh masyarakat menyebarkan virus covid diantara sesama. Itulah yang harus dipikirkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Jangan asal negomong. Jangan juga ngawur kalau ngomong. Apalagi Mendagri mentakan bahwa “Pilkada bisa bangkitkan ekonomi”. Saya pikir itu pernyataan seperti itu bukan saja tidak tepat. Tetapi ngawur dan asal ngomong. Sebab omongan pejabat yang asal, bisa berakibat pada pemahaman yang keliru dan sesat. Supaya tidak gagal faham, Mendagri Tito sebaiknya baca lagi berulang-ulang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 01/2020 yang telah menjadi UU Nomor 02/2020. Sebab tidak ada satu pasalpun yang menjadikan alasan ekonomi sebagai dasar pelaksanaan Pilkada. Di luar rumah, ada virus corona yang bergentayangan. Masyarakat tidak bisa keluar rumah untuk bekerja, karena ada virus Corona yang bergentayangan. Banyak Pemerintah Daerah telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSPB) untuk mencegah penyebaran virus. Masyarakat tidak keluar rumah sebagian upaya mecegah dan memotong rantai penyebaran virus corona. Anehnya, Mendagri Tito malah terlihat ngaco dan ngawur ngomong mengenai alasan dilaksanakan Pilkada. Terlihat kalau Mendagri Tito tidak memahami tujuan kita bernegara, seperti diperintahkan oleh alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Sebab melindungi rakyat dari ancaman kematian (tumpah darah Indonesia) adalah hukum tertinggi kita dalam bernegara. Pahami itu baik Pak Tito. Daripada uang diedarkan ke daerah-daerah untuk Pilkada dengan alasan ekonomi bangkit, tetapi beresiko meningkatkan penyebadan pandemi corona, ya lebih baik dana Pilkada dibagikan kapada daerah untuk menaikkan daya beli masyarakat. Ini anggaran Pilkada ibarat pisau bermata dua. Satu sisi dianggap dapat bangkitkan ekonomi, sisi lain beresiko meningkatkan pandemi virus corona. Jadi pemerintah harus jelas, konsisten dan bijak. Jika ingin bangkitkan ekonomi di daerah, ya buatlah kebijakan yang tepat untuk itu. Yang didesign sedemikian rupa untuk tujuan ekonomi yang terukur. Bukan ditempel pada penyelenggaraan Pilkada. Seba Pilkada tujuannnya menjalankan demokrasi. Mana yang lebih pas dijalankan dalam kondisi normal? Yang terpenting adalah kejujuran dari pemerintah, DPR dan KPU. Sebenarnya separah apa masalahnya jika Pilkada ditunda tahun depan? Sampai pandemi virus corona mereda. Demi untuk kita semua dapat menjaga masyarakat dari penularan virus covid-19? Salah satu solusi yang paling tepat adalah Presiden segera menebitkan Perppu, yang memberikan kewenangan Pemerintah Daerah dijabat oleh Palksana Tugas (Plt) Kepala Daerah. Toh, itu sudah sering dilakukan, terutama untuk daerah-daerah yang baru dimekarkan dan kekosongan akibat Pilkada. Penulis adalah Anggota Komite Politik & Pemerintahan KAMI.

Belasan Tahun di Penjara Bersama Tokoh & Kader PKI (Bagian-2)

by Sudirman Timsar Zubil Jakarta FNN – Kamis (24/09). Aku bertemu lagi dengan Pak Isnanto di dalam acara Temu Raya mantan Tahanan Politik (Tanapol) pada tahu 2002 di Hotel Grand Cempaka, Jakarta Pusat. Para Tanapol yang dibebaskan oleh Presiden BJ. Habibie. Kami sama-sama masuk di Stering Comite (SC). Acara Temu Raya itu disponsori oleh saudara Yopi Lasut, Ketua Yayasan Hidup Baru yang dulu rajin dan selalu membesuk para Tanapol di penjara. Sehingga punya hubungan yang cukup akrab dengan para Tanapol dari semua aliran dan penjuru mata angin. Baik kiri, kanan maupun tengah. Aku berangkat lebih awal dari teman-teman lainnya, karena aku masuk di Stering Comite, sehingga perlu mengikuti pertemuan-pertemuan, yang menurutku semua itu merupakan skenario Tanapol kiri. Karena dari pokok-pokok pikiran yang mereka kemukakan, aku membaca target mereka adalah tercapainya kesepakatan dan pernyataan bersama minimal tentang dua hal. Pertama, tuntutan agar dibatalkannya TAP MPR Nomor 25 Tahun 1966 tentang larangan ajaran komunis, marxis dan lenin. Kedua, pelurusan sejarah, yang dimaksud mereka adalah sebagai pembentukan opini bahwa PKI adalah korban peristiwa 1965. Bukan sebagai pelaku. Tanapol kiri terlalu percaya diri dan memandang rendah peserta yang lain. Mereka juga tidak malu berbohong di hadapan ratusan peserta acara Temu Raya tersebut. Suatu pagi (hari keberapa aku lupa persisinya) panitia memintaku hadir di suatu ruangan untuk rapat Komisi Pelurusan Sejarah. Setiba di ruangan itu telah hadir sekitar 20 orang, dan tidak seorang pun Tanapol kanan. Semua Tanapol kiri. Aku dipersilakan duduk di depan. Sebagai pimpinan sidang kata "panitia" yang menjemputku ke kamar. Insting politisku begitu cepat menangkap maksud mereka hendak menjebakku. Akan tetapi aku ikuti saja permainan mereka. Setelah duduk sebagai pimpinan sidang, aku mempertanyakan adanya Komisi Pelurusan Sejarah yang dalam rapat-rapat Stering Comite tidak pernah dibicarakan. Tidak juga pada sidang pleno pengesahan Tata Tertib Acara. Beberapa dari mereka yang ada di ruangan itu angkat bicara. Mencoba meyakinkanku bahwa komisi itu ada disahkan dalam sidang pleno. Sungguh, aku baru kali itu bertemu dengan orang-orang yang di dalam rapat seperti itu mau dan berani berbohong secara bersama-sama begitu. Mungkin saja mereka pikir, dengan cara berbohong seperti itu, akan dapat mempengaruhi dan meyakinkan aku untuk percaya dan menerima apa yang mereka katakan. Menghadapi tekanan seperti itu, aku menyatakan dengan tegas, bahwa akan bertanya dulu kepada teman-temanku dari Tanapol kanan. Bila mereka mengatakan memang ada Komisi itu, aku akan kembali memimpin sidang. Tapi jika tidak, maka aku tidak akan kembali lagi. Ternyata teman-teman Tanapol kanan tidak seorangpun yang membenarkan adanya Komisi Pelurusan Sejarah itu. Aku tidak kembali lagi ke ruang rapat tadi. Aku segera berkoordinasi dan konsolidasi untuk menyikapi perkembangan itu. Ditetapkan di dalam pertemuan singkat itu, aku menjadi juru bicara Tanapol kanan pada sidang pleno terakhir. Benar juga sebagaimana perkiraan kami. Pada sidang pleno terakhir mereka yang hadir di ruang rapat "Komisi Pelurusan Sejarah" minta diberi kesempatan bicara untuk menyampaikan laporan mereka. Selesai wakil mereka bicara, aku langsung bicara (setelah ijin pimpinan sidang), membantah dan menolak adanya komisi tersebut. Itu terjadi sampai beberapa kali. Setiap mereka bicara meyakinkan peserta Temu Raya bahwa Komisi Pelurusan Sejarah itu memang ada, setelah itu aku terus membantahnya. Mereka baru berhenti setelah saudara Casman Prawiro, Tanapol kiri yang kukenal ketika sama-sama ditahan di Irehab Sukamulia Medan, berbicara meluruskan persoalan. Dinyatakannya bahwa Komisi Pelurusan Sejarah memang tidak ada. "Apa yang dikatakan saudara Timsar memang benar, "katanya di hadapan sekitar 800 orang peserta acara Temu Raya mantan Tanapol itu. Dari pengalaman yang kuceritakan di atas, aku menemukan bukti bahwa prinsip menghalalkan segala cara memang dianut oleh paham komunis. Tidak mengherankan bila mereka menyatakan bahwa mereka adalah korban di dalam peristiwa 1965 bukan pelaku. Kegigihan mereka berusaha patut diacungi jempol. Tetapi bohongnya tentu saja wajib untuk dihindari. Aku mengkhiri secercah catatan batinku ini dengan kesimpulan sebagai berikut : Pertama, kader komunis sangat militan. Kedua, mereka bekerja sistematis dan terencana. Ketiga, infiltrasi yang mereka lakukan seperti yang dikatakan Pak Tamat sejak tahun 1980 yang lalu ,telah membuahkan hasil nyata sekarang ini. Keempat, waspada, jangan terlena oleh suara-suara yang meremehkan mereka. Apalagi terhadap pernyataan PKI sudah mati, tidak mungkin bangkit lagi. Kelima, RUU HIP sangat kuat indikasi pengaruh kepentingan komunis, karenanya harus ditolak. Keenam, banyaknya TKA asal Cina yang umumnya berpostur seperti meliter. Juga banyaknya cerita tentang masuknya senjata ilegal, seperti yang pernah ditangkap Jenderal Gatot Nurmantiyo semasa jadi Panglima TNI amat patut diwaspadai. Ketujuh, konsolidasi, dan bekerja dengan berpedoman kepada tuntunan yang Allah SWR berikan di dalam firmanNYA pada S. Ali Imran ayat 200. Artinya “hai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan (kuatkan) kesabaran (itu) dan bersiaga (hati-hati, teliti, waspada), dan bertaqwalah kepada Allah, niscaya kamu beroleh kemenangan (keberuntungan, dunia dan akhirat). selesai... Penulis adalah Mantan Narapidana Mati.