NASIONAL

Negara Tanpa Kekuatan "Checks and Balances"

by Sayuti Asyathri Jakarta FNN – Senin (05/10). Selama masa Pemerintahan SBY, saya kritik habis kepemimpinannya. Bahkan mengedarkan formulir di parlemen untuk rencana mengimpeachnya. Saya bangun wacana impeach atas presiden hampir sebulan di media nasional, tetapi tidak ada satupun pendukungnya yang menghadapinya dengan hujatan, apalagi dengan cara koor dalam satu barisan virtual penghujat. Pak E.E Mangindaan, yang Ketua Komisi II DPR waktu itu, bersama pimpinan Partai Demokrat, justru tidak sedikitpun mengurangi keakraban dan komunikasi dengan kawan-kawan di Komisi. Bahkan semakin banyak tugas dan tanggungjawab diserahkan kepada saya. Namun kini, kalau ada yang mengatakan kebijakan pemerintah salah saja, tidak lama kemudian langsung diserbu dengan hujatan dan cacian. Penguasa sekarang mempunyai punya suatu barisan hujatan dan cacian yang seperti siap menerkam dan merobek mangsa di belantara. Sesungguhnya kita sedang hidup di hutan mana? Sehingga tidak lagi menghargai kritik dan kontrol sosial? Padahal pada masa Soeharto yang dikenal kejam saja, mahasiswa bebas untuk kritik. Mereka yang kritik Soeharto dihormati dan dibanggakan sebagai calon pemimpin bangsa. Media massa nasional yang ketika itu dikontrol oleh pemerintah, selalu menyelipkan pesan perlunya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Juga pentingnya kontrol sosial dari warga masyarakat. Suara rakyat didengar. Kalau ada kenaikan tarif jasa publik, listrik, tarif toll,bis kota dan lain-lain, selalu disosialisakan dan meminta umpan balik dari masyarakat. Sehingga kenaikan dilakukan dengan sangat hati hati. Padahal kalau mau saja, Soeharto miliki kemampuan untuk memaksakan keinginannya. Pada masa reformasi, priinsip partsisipasi dan kontrol sosial menjadi inti dari pesan dan semangat reformasi. Ideologi Pancasila ditetapkan sebagai ideologi terbuka yang perlu memperoleh kajian dan timbangan kritis untuk keberhasilan dan keandalan dalam penerapannya. Reformasi digemakan agar nasib bangsa ini lebih baik dari keadaan di masa Pak Harto. Tetapi mengapa justru sekarang keadaan demokrasi dan perbedaan pendapat menjadi buruk di masa sekarang? Rakyat hanya menjadi objek hinaan dan kekerasan. Bukan lagi sebagai subjek dan objek pembangunan. Minimal posisi rakyat sebagaimana yang ditekankan media massa Orde baru dulu. Sesungguhnya untuk siapa pembangunan itu? Kalau rakyat dalam posisi kehilangan selera partisipasi dan hanya menjad objek pesakitan. Rakyat hari-hari hanya menjadi objek tuduhan penguasa dengan sebutan Islam radikal, taliban kadrun dan segala bentuk penyudutan lainya. Mila rakyat punya sedikit saja keinginan untuk menggugah pemerintah atas nasib mereka, atau bila mereka mengeluhkan keburukan yang mereka alami akibat kebijakan yang tidak menguntungkan mereka, maka mereka siap hadapi penerapan serangan model seperti Israel terhadap Palestina. Siapa yang memprotes penyerobotan tanah Palestina oleh Israel, maka mereka adalah Islam ektstrim. Termasuk dalam kategori bahwa semua orang Arab dan Islam ingin membunuh semua Yahudi. Itu cara terbaik Israel untuk memuluskan penyerobotan tanah dan merusak identitas Palestina. Kalau demikian, lantas mana itu kekuatan checks and balances yang menjadi sendi utama dari konstitusi kekuatan civil society? Ciri utama negara demokrasi adalah kuatnya civil society yang melahirkan keuatan checks and balances. Mana yang namanya the magnificient power of social control in solving national problems and crisis? Wajar saja kalai publik menyimpulkan bahwa memang pembangunan itu tidak otentik untuk rakyat. Tetapi untuk selain rakyat. Sangat boleh jadi untuk tuan asing dan penjajah bangsa ini. Karena itulah mengapa baja nasional kita, pabrik-pabrik semen, dan sumberdaya strategis kita justru rontok di saat ribuan trilyun dana infrastruktur digelontorkan. Mengapa produktivitas nasional kita merosot? Kelas menengah kita jadi terpelanting? Pengangguran meningkat dan matinya daya kreatif anak bangsa karena belenggu sub-ordinasi dan penistaan? Mementara Menkeu semakin kencang meneriakkan bahaya gagal bayar dan negara seperti sedang dilucuti martabat dan kehormatannya. Untuk semua itu, tidak ada cara lain, kecuali harus ada tindakan-tindakan besar untuk menyelematkan negeri ini. Sebagai negara, kita semua, bukan milik satu kelompok tertentu, apapun suku, agama, mazhab dan keyakinannya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kemasyarakatan.

Agum Gumelar Ngaco Soal Komunisme

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Senin (05/10). Pernyataan Ketua Umum Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri) Jendral Kehormatan TNI (Purn. ) Agum Gumelar yang dikutip sebuah media online mainstream keliru besar. Miris juga saya mendengar pernyataan dari seorang Jendral Purnawirawan yang sangat miskin data. Sudah salah, ngawur dan ngaco pula dalam membuat kesimpulan. Dampaknya bisa sangat menyesatkan. Sekelas Agum Gumelar menyebut bahwa PKI di Indonesia adalah bagian dari gerakan komunisme internasional, dan Republik Rakyat Cina (RRC ). Padahal secara ekonomi, RRC sudah sangat kapitalis. Kata Agum lagi, RRC kini telha menjadi negara kapitalis terbesar di dunia. Hanya dengan alasan itu, orang sekelas Agum Gumelar lantas menyimpulkan bahwa komunisme sudah basi dan sudah bubar. Ini bentuk kasimpulan dan asumsi yang ngwur, ngaco dan sangat menyesatkan. Kesimpulan yang tanpa berbasis pada data dan fakta. Hanya karena Agum Gumelar tidak detail dalam membaca permasalahan di RRC. Bahwa benar RRC merubah haluan ekonominya iya. RRC juga takluk pada kapitalisme dan liberalisme ekonomi, juga iya. Tetapi di wilayah politik RRC, tidak ada yang berubah satu centipun. Politik di RRC itu masih tetap saja berhaluan komunis. Bukti apa ? Bukti yang paling sederhana adalah Partai Politik Komunis masih menjadi partai tunggal di RRC. Hanya Partai Komunis Cina yang mengendalikan seluruh lili pemerintaha di RRC. Yang namanya demokrasi itu, tidak tumbuh dengan sehat disana. Sebagaimana demokrasi yang tumbuh dan berkembang di negara-negara liberal kapitalis lainya. Partai politik tunggal adalah salah satu ciri utama dari sitem komunisme dalam politik. Doktrin tentara RRC adalah taat dan tunduk kepada Partai Komunis Cina. Bukan taat dan tunduk kepada negara RRC. Bgitulah salah satu sistem dan cara komunisme dalam mengelola dan mengusai negera. Kellee S.Tsai dalam bukunya Capitalism without Democracy: The Private Sector in Contemporary China (2007) menyebutkan bahwa Chinese entrepreneurs are not agitating for democracy. Most are working eighteen-hour days to stay in business. Mereka para pebisnis tersebut menurut Kellee S.Tsai adalah anggota Partai Komunis China. Dan itu juga yang menjadi haluan politik Tiongkok. Bahwa politiknya tetap saja komunisme, meski ekonominya liberal kapitalis. Meskipun ekonominya kapitalisme, China juga pada titik tertentu tidak murni kapitalis. Bukti lainya adalah posisi RRC yang selalu berhad-hadapan dengan Amerika Serikat, dan sangat getol melakukan perang dagang dengan Amerika Serikat. Jika betul RRC kapitalis dan liberalis, mestinya bersahabat dengan Amerika Serikat. Faktanya tidak juga tuh. Mestinya Agum Gumelar minimal tau dua argumen di atas. Sehingga Agum yang Jendral Kehormatan TNI (Purn.) itu tidak bicara tanpa data yang akurat. Jadinya, komentar Agum Gumelar jelas-jelas keliru, ngawur dan berlebihan terhadap isu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan faham komunisme yang dilontarkan oleh mantan Panglima TNI, Jendral Purnawirawan benaran Gatot Nurmantyo. Apa yang disampaikan Gatot Nurmantyo itu sifatnya warning. Juga sebagai analisis tentang kemungkinan metamorfosis faham komunisme dimanapun, khususnya di Indonesia. Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta.

Istana Menyerang Anies, Karena Oon Membaca Data

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (05/10). Istana menyerang Anies, itu biasa. Sudah seperti sarapan pagi saja. Kalau nggak nyerang, justru publik nanya, kapan lagi ya? Tumben! Serangan Istana ke Anies sudah menjadi pekerjaan yang ritual. Sudah seperti sesajen yang harus dan mutlak ada. Kondisi ini sekaligus menegaskan posisi istana sebagai pihak yang opisisi kepada Anies. Sampai kapan ya? Sampai Anies tak lagi menjadi gubernur DKI dan pindah ke kursi di Istana. Kali ini aktor penyerangnya adalah Mahfuz MD dan Airlangga Hartarto. Posisi Mahfuz sebagai Menko Polhukam dan Airlangga Hartarto adalah Menko Perekonomian. Menko Polhukam dan Menko Perekonomian kok ikut-ikutan ngurus covid-19 DKI yaaaa??? Mungkin juga berbagi tugas dengan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Menko Maritim dan Investasi ngurus covid-19 tingkat nasional. Sedangn Manko Polhukam dan Menko Perekonomian kebagiandi wilayah DKI. Kalau Menhan? Biarkan beliau ngurus singkong saja. Sebab ini bagian dari ketahanan pangan. Entar kalau terjadi perang, kita bisa buat senjata dari singkong. Lalu kemana Menkes ya? Mungkin sedang sidak ke kerumunan yang pakai masker. Menurut beliau, ngapain pakai masker. Orang sehat gak perlu pakai masker. Pakai masker itu dikhususkan kepada mereka yang positif terkena pandemi corona saja. Kembali soal Mahfuz. Menko Polhukam ini bilang, "di DKI Jakarta yang tidak ada pilkada, justru angka infeksinya corona tinggi. Selalu menjadi juara satu soal penularannya"(2/10). Juara satu ya pak? Bisa dapat sepeda dong... Sejumlah daerah yang menggelar Pilkada 2020, justru turun status dan zona merah Covid-19, kata Mahfuz lagi. Dari 45 daerah berstatus zona merah, ada 16 daerah yang turun statusnya sehingga kini tinggal 29 daerah yang masih zona merah, lanjut Mahfuz. Sementara di daerah yang tak ada pilkadanya, zona merah naik, dari 25 menjadi 33, kata Mahfuz. Begitu ya pak? Data yang diungkap Mahfuz mungkin saja benar. Yang jadi soal adalah cara Mahfuz membaca data itu. Disitulah persoalannya. Kalau salah membaca, maka akan salah analisis dan salah pula menyimpulkan. Bisa kacau-balau, dan amburadul hasilnya. Untuk Indonesia, kemampuan negara melakukan tes PCR secara nasional itu sangat rendah. Hanya 1.799.563 dari total penduduk Indonesia yang jumlahnya 271.052.473. Nggak sampai 2%. Dari 1.799.563 penduduk yang dites itu, sebanyak 857.863 ada di Jakarta. Artinya, 48% penduduk Indonesia yang dites covid-19 itu adalah warga Jakarta. Sisanya, yaitu 941.700 itu warga di 33 propinsi. Penduduk Jakarta itu jumlahnya 10.944.986. Tapi telah melakukan tes PCR sebanyak 857.863. Sementara 33 provinsi di luar Jakarta, jumlah penduduknya 260.407.487. Yang dites PCR 941.700. Terus, gimana mau membandingkan Jakarta dengan 33 provinsi lain? Jumlah tes PCR jomplang banget dong??? Sekali lagi, 48% penduduk yang mendapatkan tes PCR secara nasional berada di Jakarta. Sisanya 52% tersebar di 33 provinsi. Wajar saja jika Jakarta lebih dulu berhasil melakukan tracing terhadap warga yang terinveksi covid-19. Kalau jumlahnya paling banyak, wajar! Karena yang dites jauh lebih banyak. Rupanya, ini bukan masalah data dan angka. Tetapi ini sudah masalah otak yang bekerja. Ada isinya apa nggak? Hehehe. Sebab kalau menggunakan standar WHO, dimana 1 orang dari 1.000 orang per minggu yang dites, maka tes di DKI itu 6x lipat lebih tinggi dari standar WHO. Faham nggak itu Pak Mahfud. Kalau kita menggunakan analisis mortality (tingkat kematian) karena covid-19, dimana rate mortality global 3,3% dan rate mortality nasional di kisaran 4%, maka rate mortality nasional jauh lebih tinggi dari rate mortality global. Sementara mortality di DKI hanya 2,8%. Fahami angkanya baik-baik Pak Mahfud. Mortality DKI Jakarta auh lebih rendah dari rate mortality nasional. Sedikit lebih rendah dari rate mortality global. Bandingkan dengan Jawa Timur yang 7,3%, Jawa Tengah di 6,3%, NTB 5,9%, Sumatera Selatan 5,6%, Bengkulu 4,9%, Sumatera Utara 4,2%, Kalimantan Selatan 4,1%, Sulawesi Utara 3,9% Aceh 3,9%, Kalimantan Timur 3,8% dan seterusnya. Kenapa tingkat kematian (rate mortality) nasional dan sejumlah daerah jauh melampaui batas mortality global? Jawabnya sederhana saja. Karena penduduk nasional yang dites masih terlalu amat sedikit. Jauh dibawah standar global. Kalah banyak dengan negara kecil di Afrika, Ghana. Kalau jumlah penduduk yang dites covid-19 itu sama prosentasinya dengan Jakarta misalnya, maka angka kematian nggak akan sebesar itu. Kalau toh selisih, nggak akan jauh dari angka kematian global. Masalahnya, daerah punya dana nggak untuk melakukan tes seperti yang dilakukan Anies di Jakarta? Atau dananya masih ngendap di Kementerian Keuangan? Gimana mau memperbanyak jumlah tes PCR, jika nggak punya dana? Ini masalah tersendiri. Jadi, data kematian (mortality) di berbagai wilayah Indonesia di atas rate mortality global 3,3%. Bahkan yang di atas 7%. Jangan sampai dibaca bahwa masyarakat di luar DKI itu lebih rentan mati. Belum tentu juga. Penyebabnya bukan karena meraka kurang gizi, banyak penyakit, daya tahan tubuhnya lemah. Tidak begitu. Apakah karena kepala daerahnya yang gak pecus atau nggak serius? Bisa iya, bisa enggak. Faktor yang pasti adalah karena jumlah penduduk yang dites jauh di bawah jumlah standar global. Ini menunjukkan bahwa banyak sekali orang Tanpa Gejala (OTG) yang belum mendapat tes PCR. Tanpa disadari, mereka terus menebar dan menjadi agen virus ke orang lain. Sesungguhnya ini yang akan memperpanjang masa pandemi di Indonesia. Makin kecil jumlah populasi yang dites, maka akan makin lama negeri ini hadapi pandemi. Lagi-lagi, ini diantaranya terkait soal kesungguhan dan kemampuan menyediakan anggaran, baik daerah maupun pusat. Sayangnya, hanya Rp 87,5 Ttriliun dari anggaran covid-19 yaitu Rp 905 triliun yang dipakai untuk tangani kesehatan. Kurang dari 10%. Terus sisanya dipakai untuk apa? Silahkan tanya ke Abu Janda dan Ade Armando. Uniknya, ada yang menyerang Anies soal anggaran ini. Katanya, Rp 10 triliun anggaran covid-19 di DKI, hasilnya banyak yang terpapar. Ini "guoblok kok yo nemen". Justru anggaran itu diantaranya digunakan untuk melakukan deteksi sebanyak mungkin warga yang terinfeksi. Setelah mereka sudah ketahuan positif, maka segera ditangani, agar penyebaran terkendali dan pandemi cepat selesai. Banyak daerah nggak mampu ngikutin langkah cepat dan agresif seperti di Jakarta, diantaranya karena keterbatasan anggaran. Jika kemampuan anggaran sama besar, dan prosentase populasi yang dites kurang-lebih jumlahnya sama dengan Jakarta dan kota-kota lain di dunia, maka angka terinveksi covid-19 di banyak daerah pasti akan naik tajam. Sebaliknya, prosentase kematian akan berangsur turun. Nah, data di atas hanya dipahami oleh mereka yang otaknya lurus. Waras maksudnya. Kesimpulanya, cara membaca yang benar akan melahirkan kesimpulan yang benar. Cara baca yang salah akan membuat kesimpulan salah. Kecuali, memang ada niat untuk membaca dan menyimpulkan dengan cara yang salah. Ya, silahkan tanya ke istana. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Waspada Terhadap PKI Itu Positif & Harus! (Bagian-2)

by Shamsi Ali Al-Kajangi New York City FNN – Ahad (05/10), Pada tulisan bagian kedua ini saya ingin menyebutkan beberapa gejala yang bisa menjadi perhatian, sekaligus kewaspadaan bangsa Indonesia. Pertama, kebanggan anak keturunan dan keluarga mantan pelaku di tahun 1965. Kesalahan memang tidak diwariskan. Karenanya keturunan PKI tidak harus ikut bertanggung jawab dengan dosa orang-orang tua mereka. Yang menjadi masalah adalah keterbukaan mereka dengan kebanggan itu. Jika PKI adalah dosa besar dalam tatanan kenegaraan dan kebangsaan, lalu apa yang menjadikan mereka bangga dengan dosa besar itu? Kebanggan terbuka atas dosa besar itu justeru menjadi salah satu indikasi tumbuhnya kembali ideologi yang mengantar kepada prilaku dan aksi PKI saat itu. Dan ini perlu diwaspadai. Kedua, upaya penghapusan sejarah PKI. Sejak 2018 lalu pelajaran sejarah PKI ditiadakan dari sekolah-sekolah di Indonesia. Selain penghapusan pelajaran sejarah PKI, juga pelarangan atau minimal peniadaan urgensi menonton film PKI yang menggambarkan kekejaman mereka. Semua bangsa besar itu ada karena kebesaran sejarah yang mereka ketahui. Jepang maju karena sejarah perang Dunia kedua yang meluluh lantahkan Nagasaki dan Hiroshima. Demikian pula Jerman, karena sejarah kekalahan mereka di perang dunia kedua. Upaya penghapusan sejarah PKI dicurigai sebagai upaya penina bobokan anak-anak bangsa agar tak lagi paham dan peduli dengan peristiwa itu. Saya diingatkan bagaimana kehebatan Amerika dalam membangun imej sejarah itu. Salah satunya peristiwa 9/11 yang dislogankan, “we forgive, but never forget”. Dalam kasus PKI, saat ini ada upaya membalik kenyataan seolah Komunislah yang korban. Tujuannya melemparkan kesalahan kepada TNI dan Umat Islam sebagai bagian dari upaya marjinalisasi dua backbones (tulang punggung) bangsa itu. Ketiga, meningginya serangan terbuka kepada Ulama dan institusi agama (baca Islam). Dalam sejarahnya hanya ideologi yang anti agama akan menyerang agama secara terbuka. Telah banyak ulama dan Ustadz yang diserang. Mungkin yang paling heboh baru-baru ini adalah serangan kepada Syeikh Ali Jaber. Baru saja kemarin tgl 19 September sebuah masjid di Tengerang dirusak dan dicoret-coret oleh sekelompok orang dengan kata-kata “anti Islam”. Jika serangan itu hanya kepada para Ulama, boleh jadi karena memang ada Ulama yang keras. Tapi ini justeru institusi agama, bahkan agamanya itu sendiri begitu dibenci. Benci Ulama boleh jadi karena perbedaan politik. Tapi benci agama dan institusi agama? Siapa lagi kalau bukan mereka yang memang anti agama? Keempat, terjadi pelemahan institusi pertahanan negara. Tentu dalam hal ini TNI menjadi target utama. Saya tidak membahas secara vulgar dan detail Masalah ini. Saya hanya mengharap agar kita semua mencoba menganalisa kejadian-kejadian dalam tubuh TNI tahun-tahun terakhir. Kelima, proses pembangunan ekonomi yang massif, tapi sangat “centralized” pada segmen masyarakat tertentu. Pembangunan infrastruktur-infrastruktur tidak mengarah kepada keberpihakan kepada rakyat. Pembangunan itu seolah menjadi hiburan sesaat bagi rakyat luas. Hal itu akan nampak ketika melihat kepada pembangunan sektor pertanian. Kepemilikan lahan di Indonesia diakui terkonsentrasi pada segmen masyarakat tertentu. Sementara rakyat luas semakin termarjinalkan dengan masa depan yang semakin suram. Keenam, gerilya politik yang tidak lagi malu-malu. Jika diperhatikan secara seksama, perpolitikan di Indonesia akan nampak bahwa ada permainan cantik, tapi terkadang kasar, dalam memarjinalkan kekuatan Umat dan penduduk mayoritas Indonesia. Partai-partai yang berwawasan keislaman dan kerakyatan akan dipaksa atau terpaksa untuk melebur dengan kekuatan besar. Pemaksaan itu sering dengan cara yang cantik. Tapi sering juga dengan kekeraran politik dan intimidasi. Gerilya politik ini kemudian tanpa malu-malu mencoba untuk melakukan ronrongan kepada ideologi negara, Pancasila. Upaya mengganti Pancasila melalui RUU HIP jelas merupakan demonstrasi yang terbuka dari pihak-pihak yang anti negara. Dan itu melalui gerilya politik tanpa sunkan lagi. Ketujuh, “hidden player” atau pemain terselubung ada di semua negara. Bahkan biasanya mereka bukan sekedar pemain. Justeru mereka adalah “hidden power” (kekuatan atau kekuasaan di balik tirai). Sebagai contoh saja. Di Amerika ada yang kita kenal dengan “kekuatan lobby”. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di negara ini lobby terkuat adalah lobby Yahudi Israel. Inilah yang menjadikan kenapa semua pemimpin negara ini nampaknya harus atau diharuskan mendukung Israel? Dalam sejarah Indonesia juga tidak terlepas dari hidden player atau hidden power ini. Ada masa-masa di zaman Orde Baru Umat Kristiani Katolik berkuasa. Anggaplah di masa keemasan Murdani. Di akhir masa Soeharto ada penghijauan institusi negara dengan pemain-pemain yang tergabung dalam organisasi ICMI. Di saat itulah seorang Habibie naik ke puncak kepemimpinan bangsa sebagai Wapres, lalu kemudian menjadi Presiden RI. Saya khawatir saat ini di Indonesia ada “hidden player” atau “hidden power” yang mewarnai. Bahkan mengendalikan arah kebijakan negara. Siapa mereka itu dan bagaimana eksistensinya? Disinilah urgensinya kita membangun kewaspadaan itu. Kedelapan, kekuatan luar (foreign power) atau minimal pemain luar (foreign player). Kenyataan ini kerap kali tidak disadari oleh banyak orang. Apalagi kalau pihak luar ini berhasil menggoda pemain dalam yang punya kepentingan-kepentingan sempit. Untuk Indonesia, ini bukan baru, namun tidak juga mengejutkan. Upaya melemahkan bahkan memecah belah NKRI telah lama dimainkan oleh pihak-pihak luar yang punya kepentingan. Ada dua segmen bangsa yang menjadi target utama mereka, yaitu TNI dan Umat Islam. TNI akan ditampilkan dengan wajah buruk, zholim, anti HAM, dan seterusnya. Yang kemudian dilanjutkan dengan lobi-lobi internasional untuk menekan, baik ke dalam negeri dengan mengurangi anggaran, maupun keluar negeri dengan boikot. Dimasa lalu TNI pernah diboikot untuk membeli senjata atau pesawat Tempir F-16 dari Amerika misalnya. Diantara sekian foreign player (pemain luar) itu adalah East Timor Action Network (ETAN). Salah satu aktifisnya yang kita kenal di Indonesia dulu adalah Sidney John. ETAN telah lama bekerja untuk merusak NKRI dengan melemahkan TNI dan Umat Islam. Dari zaman Timor Timur, Aceh, dan juga Papua. Mereka berhasil di Timor Timur. Di Aceh kalah dengan kelihaian pak JK menyelesaikan kasus Aceh dengan baik. Kini ETAN bergerilya untuk meronrong NKRI melalui Papua Merdeka. Sangat aktif dan mendapat dukungan dari beberapa negara yang punya kepentingan melihat Indonesia pecah. ETAN kini juga memasuki isu PKI di Indonesia. Salah satu propaganda mereka adalah membuat film tentang kasus 30 September dengan membalik realita. Film yang mereka buat ditampilkan kekejaman TNI dan Umat Islam. Sementara PKI adalah korban kekerasan kedua segmen bangsa (TNI-Islam) itu. Hal itu kemudian mereka hiasi dengan memplintir seolah kebangkitan Umat Islam untuk menentang Komunisme sebagai bentuk intoleransi. Maka ibarat bertepuk tangan, kedua telapak tangan itu, dalam negeri dan luar negeri, melahirkan irama tepukan “radikalisme”. Penutup. Sebelum menutup goresan ini, saya juga ingin mengatakan bahwa kewaspadaan itu bukan menambah beban atau menyirma bensin ke dalam kobaran api. Justeru ingin menjadikan kewaspadan ini sebagai jalan menyatukan langkah dan membangun rekonsiliasi kebangsaan. Maka tentunya harus juga diakui adanya kemungkinan “mistreatments” yang terjadi ketika itu. Boleh jadi memang kaena dorongan politik, dan kepentingan lainnya termasuk kepentingan global saat itu, ada perlakuan-perlakukan yang salah kepada pihak-pihak tertentu. Tetapi ini harusnya tidak menjadi pembenaran untuk merubah narasi peristiwa, apalagi membalik realita yang sesungguhnya. Komunisme dan PKI bagaimanapun adalah musuh bangsa dan negara Indonesia. Bangkitnya sebagian anak bangsa untuk membangun kewaspadaan terhadap ancaman ideologi PKI ini tidak lain karena kecintaan, nasionalisme, dan patriotisme mereka terhadap negara. Karenanya jangan dianggap gangguan, apalagi ancaman terhadap pemerintah. Sebaliknya, justeru harus diapresiasi dan didukung. Keselamatan negara dan bangsa adalah tanggung jawab semua elemen bangsa. Secara khusus bagi umat Islam, semangat menentang kemungkinan bangkitnya PKI, karena didorong oleh kesadaran bahwa Islam dan negara Indonesia adalah dua hal yang senyawa. Kedua entitas itu tidak akan bisa dipisahkan. Mengobok-obok negara ini adalah juga mengobok-obok iman/Islam itu sendiri. Karenanya saya ingin berpesan kepada putra-putrì bangsa, khususnya Umat Islam agar bersatu menjaga NKRI. Jangan mudah dipecah belah oleh “hidden player” tadi. Jangan ada yang mudah dirangkul, lalu yang lain ditendang. Kekuatan negara Republik Indonesia ada pada kebersamaan TNI dan Umat. Hal yang telah dibuktikan sepanjang sejarah perjalanan negeri ini. Merdeka! (habis). Penulis adalah Diaspora Indonesia di Amerika Serikat.

Makna Jiwa Korsa Bagi Prajurit TNI

by Anton Permana Jakarta FNN – Ahad (04/10). Yang paling membedakan antara seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI)dari masyarakat sipil tidak saja baju seragam dan senjatanya. Tetapi yang paling sakral dan monumental adalah jiwa korsa. Sering disebut dengan "esprit de corps". Kalau hanya berbicara seragam, senjata, atau atribut, adalah sesuatu yang lazim bagi dunia militer. Tetapi berbicara tentang jiwa korsa adalah berbicara tentang urat nadi. Talian tarikan nafas, perasaan senasib seperjuangan, persatuan dan kesatuan cita, dan cinta antar sesama prajurit tentara. Yang semua itu sudah ditanamkan sejak masa pendidikan. Sebagai komponen utama sistem pertahanan negara, tentu seorang tentara itu harus selalu tampil prima, profesional, dan trengginas dalam setiap medan penugasan. Untuk itulah, setiap prajurit dibekali banyak keahlian, sikap kedisiplinan tinggi, kemampuan, cara berpikir, standar fisik yang semuanya harus rata-rata di atas masyarakat kebanyakan. Karena itulah, jiwa korsa ini sangat berperan penting dalam menyatukan psikologis kejiwaan seorang prajurit. Bagaimana agar dengan jiwa korsa ini, mereka akan selalu struggle dan kompak dalam menyelesaikan apapun bentuk tugas, kesulitan dalam medan pengabdian. Baik itu berupa operasi militer perang maupun selain perang. Penanaman jiwa korsa ini adalah semacam keistimewaan dan kekhas-san seorang tentara dari masyarakat sipil biasa. Tujuanya agar setiap tentara itu mempunyai daya tahan, daya gempur, daya soliditas yang kuat dalam melaksanakan tugas dan misi. Artinya, bagi seorang tentara, salah satu wujud jiwa korsa adalah tidak ada lagi nilai selain rasa loyalitas, penghormatan, dan pengabdian kepada negara. Mereka telah disumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa untuk setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Melaksanakannya secara murni dan konsekuen. Begitulah pentingnya dan sensitif posisi jiwa korsa ini dalam dinas militer. Maka ada pihak yang menjadikan jiwa korsa ini menjadi salah satu indikator utama mengukur kekuatan pertahanan negara. Jika jiwa korsa tentaranya kuat, maka kuatlah negara tersebut. Vietnam dan Afghanistan contohnya. Vietnam, meskipun tidak mempunyai angkatan laut dan udara, tetapi berhasil mengalahkan Perancis dan Amerika Serikat dalam perang. Begitu juga Taliban di Afghanistan yang bisa mengalahkan tentara Uni Soviet dan membuat Amerika menyerah dan mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan. Padahal kalau berbicara persenjataan, perbedaannya bagaikan bumi dan langit. Tetapi karena dua negara ini memiliki tentara yang tangguh, terkenal menyatu dengan rakyat. Tentaranya juga terkenal dengan jiwa korsanya yang tinggi, maka jadilah tentara mereka menakutkan bagi negara lain. Begitu juga dengan Indonesia dalam keberhasilan merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah. Berhasil membendung agresi militer Belanda sebanyak dua kali, dalam pertempuran Palagan Ambarawa Semarang dan pertempuran 10 November di Surabaya. Kedua pertempurean ini menjadi catatan sejarah penting. Bagaimana heroiknya prajurit TNI kita dalam menghadapi invasi musuh dari luar. Belum lagi ancaman pemberontakan dari dalam negeri yang hanya bisa dituntaskan melalui peran TNI serta rakyat. Namun kini, yang menjadi tantangan bagi TNI itu adalah dunia politik, ideologi, dan ekonomi. Karena ketiga unsur ini juga yang bisa memecah belah organisasi. Apalagi jika tentara kita dikuasai oleh oknum oknum politisi yang memanfaatkan situasi, terlepas dari sejarah dan jati diri TNI yang dibentuk oleh rakyat. Bahkan TNI telah ada bersama rakyat sebelum terbentuknya pemerintahan NKRI. Disinilah daya kekuatan jiwa korsa seorang prajurit tentara itu diuji. Antara setia pada nilai, setia pada korps kesatuan, setia pada atasan, atau pragmatis atas rayuan tawaran jabatan, harta dan ada juga karena ideologi. Menjadi tantangan serius bagi TNI ke depan. Khusus untuk prajurit TNI. Seorang prajurit sapta marga, yang setia kepada Pancasila dan UUD 1945, pasti tidak akan terpengaruh dan tergiur dengan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan ideologi di luar tugas pokok dan fungsinya.Namun dalam era supremasi sipil, dimana kadang politik lebih dominan dan berkuasa. Tidak jarang akhirnya para prajurit terseret kepada kepentingan politik pragmatis. Politik tentara adalah politik negara. Bukan dimaksudkan untuk mengikuti saja apa kata politisi yang sedang berkuasa. Politik bagi TNI adalah menjadi netral atau tidak berpihak dalam mengamankan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Itu harga mati yang menjiwai TNI! Disinilah dilematis itu bermula. Namanya politik, tentu tak mengenal ikatan jiwa korsa sebagaimana tentara. Yang ada hanya kepentingan. Akhirnya tak sedikit tentara yang mau tak mau terseret kepada pusaran politik kekuasaan. Karena penguasa tentu akan lihai memanfaatkan "tools" dan instrumen kekuasaan yang dibuatnya sendiri untuk mengendalikan tentara menjadi alat kekuasaan. Oke kalau seorang Panglimanya punya jiwa militansi sapta marga yang tinggi, sehingga tak terpengaruh dan bisa memisahkan mana yang politik negara dan mana yang politik kekuasaan. Maka TNI secara institusi akan aman dan terhormat berada di tengah-tengah. Tetapi kalau yang terjadi sebaliknya ??? Insiden TMP Kalibata, serta insiden di Gedung Juang DHD 45 Surabaya menjadi catatan penting bagi sejarah implementasi jiwa korsa di negeri ini. Bagaimana seorang mantan Panglima TNI dengan mudah digelandang aparat dan dikepung massa dengan caci maki yang sengaja dibiarkan? Selanjutnya insiden penghadangan dan perlakuan diskriminatif oleh seorang Dandim terhadap para senior purnawirawan TNI yang dipersulit untuk ziarah makam ke TMP Kalibata hanya dengan alasan Covid-19? Sementara upaya pelaksanaan Pilkada di tengah Covid -19 pun terus dilakukan? Dua insiden ini telah menampar wajah dan kehormatan keluarga besar TNI. Tak ada lagi penghormatan, tak ada lagi etika, apalagi kalau berbicara jiwa korsa seperti kita bahas di atas. Padahal sebagai prajurit yang sapta margais, meskipun para seniornya sudah pensiun, sejatinya tetaplah para senior yang wajib dihormati. Apalagi ada mantan Panglima serta mantan kepala staf dan puluhan jendral lainnya. Sungguh insiden ini telah mencoreng dan menjadi aib bagi kehormatan prajurit TNI. Padahal hanya karena prilaku seorang "oknum" yang disaksikan telanjang oleh ratusan juta mata rakyat Indonesia. Apapun alasan di balik semua itu, yang jelas muncul pertanyaan dalam benak publik. Kemana jiwa korsa antar angkatan sesama prajurit TNI di negeri ini??? Masihkah adakah jiwa korsa TNI itu??? Rakyat begitu bangga dan cinta terhadap TNI. Namun ketika melihat dua adegan itu, tentu akan banyak pertanyaan miris. Bagaimana TNI akan menjaga kedaulatan negara dan melindungi tumpah darah Indonesia, jika untuk melindungi sesama prajurit dan purnawirawan saja tidak bisa? Miris memang. Padahal, siapapun, apapun jabatannya, seorang tentara itu suatu saat pasti juga akan pensiun. Akan menjadi masyarakat sipil biasa. Lepas dari jabatan dan kembali kepada rakyat. Disitulah titik kritis dan ujian dari sebuah jiwa korsa seorang tentara utamanya dari para perwira. Terutama ketika berhadapan dengan kepentingan politik, ekonomi dan ideologi. Dari sanalah kita akan bisa melihat, mana prajurit yang sapta margais, patriot sejati, dan loyal kepada negara. Bukan loyalitas buta kepada penguasa. Jangan berbicara akan siap bertempur sampai mati demi bela negara, tetapi malah lebih takut dicopot dari jabatan atau tak dapat promosi pendidikan. Jangan berbicara patuh pada atasan, lalu loyalitas buta tanpa mementingkan nilai, sumpah setia, dan jiwa korsa. Semua itu pasti akan dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat. Akan menjadi catatan sejarah dan sosial bagi para junior selanjutnya. Sebagai rakyat biasa dan keluarga besar TNI, kita tentu banyak berharap kepada TNI untuk selalu setia, amanah, profesional dan loyal kepada Pancasila dan UUD 1945. Karena TNI itu lahir dari rakyat dan untuk rakyat. Bukan untuk mengabdi pada penguasa. Loyalitas TNI itu kepada konstitusi dan rakyat. Jiwa korsa TNI tercermin dari sikap mental para perwiranya terhadap para pendahulunya atau seniornya sebagai senjata utama yang paling ditakuti lawan. Jangan kotori itu dengan persoalan sepele, sikap arogan, berat sebelah, dan hal-hal berbau politik jabatan yang dapat merusak kehormatan prajurit TNI. Semoga TNI selalu jaya, kuat, tangguh, profesional dalam menjaga kedaulatan serta keutuhan NKRI. Dirgahayu TNI-ku, dan TNI kita ke 75! Salam Indonesia Jaya. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.

Kebijakan Penguasa Munafik Yang Picik

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (04/10). Kebijakan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid 19 bukan saja gamang. Tetapi juga tidak konsisten. Bahasa sederhananya banyak akal-akalan. Bahkan lebih parahnya Covid 19 dijadikan alat kepentingan politik untuk merangkul, mencangkul dan memukul. Mencoba merangkul dengan solidaritas yang penuh kepalsuan. Mencangkul sebanyak-banyak dana dari masyarakat. Misalnya, rencana penjualan vaksin rapid test yang mahal. Covid 19 juga dijadikan sebagai alasan untuk memukul lawan-lawan politik. Kekuasaan yang picik, licik dan culas kepada rakyatnya. Kebijakan yang akal akalan dan tidak konsisten pantas jika disebut dengan “kebijakan yang munafik”. Pemerintah secara mencolok menerapkan pilihan model ini. Di samping "esuk dele sore tempe" pada kebijakan umum seperti awal Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB), yang kemudian berubah menjadi New Normal, dan yang terakhir Mini Lockdown. Penerapan kebijakan, baik itu PSBB, New Normal dan Mini Lockdown, dalam pelaksanaannya, sangat digantungkan pada situasi dan kepentingan. Kalau kegiatan yang berlawanan dengan kepentingan penguasa, maka alasan pembubarannya menggunakan protokol Covid 19. Namun kalau kegiatan pengumpulan orang menguntungkan kepentingan penguasa, maka tidak berlaku protokol Covid 19. Contohnya, pengumpulan orang oleh menantu Presiden Jokowi Bobby Nasution di Medan. Kejadian paling mutakhir dan telanjang adalah "Kalibata Gate". Kejadian di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata sebagai upaya sistematik memperalat Covid 19 untuk menyerang Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmatyo dan para Purnawirawan TNI lain yang sedang menyelenggarakan ziarah dan tabur bunga ke Pahlawan Revolusi korban kebiadaban PKI. Dandim Jakarta Selatan dan Pangdam Jaya dijadikan sebagai alat untuk menyerang terhadap lawan politik penguasa. Belom lagi dengan menggunakan massa buatan dan bayaran khas rezim penguasa. Meminjam istilah yang digunakan Mas Anton Permana “Pemerintah menjadi oposisi buar rakyat sendiri” Dengan senjata "Kesaktian Covid 19" Pemerintah menyerang Deklarasi KAMI di berbagai daerah. Modusnya seragam, yakni dibuat aksi penolakan oleh "massa yang menjadi tangan kekuasaan". Kemudian aparat kepolisian masuk membubarkan acara. Meski sedikit saja, namun upaya ini berhasil. Tetapi cara-cara licik, picik, culas dan represif dalam memukul lawan telah dipertontonkan secara telanjang tanpas malu-malu. Dalam prakteknya "massa kpanjangan tangan kekuasaan" ini juga dibuat kocar kacir oleh keberanian dan heroisme Purnawirawan maupun peserta Deklarasi, seperti terjadi di TMP Kalibata. Begitu juga dengan yang terjadi pada Deklarasi di Bandung, Solo, Karawang, dan lainnya. Opini artifisial akan keberhasilan membubarkan berbeda dengan fakta yang terjadi. Sebab seluruh Deklarasi telah sukses dan berhasil. KAMI terbentuk dimana-mana. Kebijakan berbeda diambil Pemerintah untuk Pilkada. Kepentingan politik pragmatis dalam penguatan jaringan kekuasaan di daerah menjadikan Covid 19 lumpuh dan potensial membahayakan masyarakat banyak. "Kampanye" pengumpulan ribuan massa tanpa mengindahkan protokol Covid 19 terjadi di Muna, Muna Barat, dan Wakatobi dan Medan. Pengumpulan massa dalam jumlah banyak tak akan terhindarkan untuk proses Pilkada dimana-mana ke depan. Melanjutkan agenda Pilkada adalah kebijakan nyata-nyata munafik dari Pemerintahan Jokowi. Mendagri hanya bisa menegur untuk acara yang semestinya harus dibubarkan. Teguran dipastikan tidak akan membawa efek jera terhadap pengumpulan orang. Sebagaima dalam video yang viral nampak acara meriah "kampanye" Pilkada di Wakatobi. Dominan massa berkaus merah dan kibaran bendera PDIP di baris depan dengan panggung diisi "petinggi koalisi partai". Tentu ada PDIP, Nasdem, Golkar, Bulan Bintang, dan lainnya. Acaranya adalah hiburan dangdutan. Penyanyi secara atraktif tengah membawa massa bergoyang dangdutan. Covid 19 pun ikut bergoyang gembira dan bahagia bersama massa. Dengan ngototnya Pemerintah memaksakan pelaksanaan Pilkada serentak pada Desember 2020 di masa pandemi Covid 19 ini, maka secara terang benderang Pemerintah telah ngotot untuk menerapkan kebijakan politik yang munafik, licik, cipik dan culas kepada rakyatnya. Tragis memang negeri +62 ini. Punya Pemerintah yang tampil menjadi oposisi utama kepada rakyatnya sendiri. Dari semula PSBB ke New Normal, dan menjadi Mini Lockdown, akan berujung pada Smackdown. Gulat yang akan dimenangkan oleh Mr Covid 19. Bravo Mr. Covid 19, yang menjadi pahlawan dari kebijakan “Penguasa Munafik yang picik". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Ahong Yang Nginjak & Ngelunjak

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (03/10). Mobil Toyota Fortuner dengan plat nomer mobil dinas militer sangat viral di Medsos. Masalahnya mobil tersebut ditumpangi oleh warga sipil yang diduga suami istri warga negara "etnis keturunan cina". Terlihat dari profil hasil rekaman kamera hand phone seseorang yang mengaku wartawan. Tentu bukan bermaksud mengangkat aspek etnik, tetapi keadaan ini telah membuat sakit hati warga masyarakat. Netizen di media memberi berbagai komentar yang intinya "Cina nginjak dan ngelunjak". Menginjak pedal gas untuk kabur dan tidak melayani pertanyaan. Siapa dia? Itu mobil dinas yang biasa dipakai siapa? Gejala sosial apa? Tindakan apa yang bisa berefek jera? Akhirnya diketahui juga pengguna mobil Nomor Registrasi (Noreg) 3688-34 tersebut adalah Hendra Winata alias Ahong yang menurut keterangan bahwa Noreg itu sebenarnya telah ditarik oleh Puspomad atas nama Kolonel CPM Bagus Heru yang pensiun tahun 2016 lalu.Mengapa Mobil Dinas militer Noreg 3688-34 yang katanya sudah ditarik masih bisa " berkeliaran"? Memerlukan pengusutan lebih lanjut. Kaitan dengan peristiwa tahun 2016 kita teringat juga tertangkapnya mobil dinas tentara yang dikendarai dan dimiliki oknum etnis cina. Di Jawa Timur, persisnya di Genteng antara Surabaya Banyuwangi. Mobil Noreg 99457 V ternyata pemiliknya adalah Gavin Tjandra Laksana. Kasus ini menguap tak terusut jejaknya. Tentu masih banyak kasus serupa di berbagai daerah, hanya saja karena "tak terekam", maka sipengendara mobil lewat-lewat begitu saja. Entah ada proses atau selesai dengan damai atau sipetugas mendapat telepon dari "atas", lalu sitertangkap dilepas lagi. Urusan yang model memang bisa bervariasi. Satu kesamaan dalam kasus-kasus seperti ini adalah "Cina yang nginjak dan ngelunjak". Kesenjangan sosial antara "etnis keturunan cina" dan "pribumi" cukup tinggi. Sejarah memang telah mencatat cukup lama. Status ekonomi yang timpang menciptakan kecemburuan. Gaya berstatus "tuan" sering menjengkelkan. Eksklusif dan cenderung "menguasai". Dulu ada kebijakan pembauran dalam rangka menghindari perilaku seperti ini. Kini tak ada lagi. Ketika program investasi Cina meningkat, hubungan RI-RRC semakin erat, Partai Komunis Cina (PKC) menginjakkan kaki di Istana. Tenaga Kerja Asing (TKA) Cina datang dan sulit dihadang. Pemilikan tanah sampai ke desa, serta isu komunisme yang menghangat. Maka persoalan "Cina yang nginjak dan ngelunjak" menjadi bertambah rumit. Sentimen etnik dapat bereskalasi. Kejadian ini tentu saja sangat tidak bagus bagi harmoni masyarakat negeri ini yang sangat menghargai perbedaan etnis dan kebhinekaan. Namun yang menjaga sensivitas sosial sesasama warga masyarakat juga sangat diperlukan. Untuk menghindari gesekan dan kecemburuan sosoal yang memang ngata-nyata terbelah akibat perbedaan pendapatan dan penguasaan kue pembangunan. Harus Segera Bertindak Pertama, Polisi Militer TNI Angkatan Darat supaya mengusut terus Hendra Winata. Apa motif dan sanksi pelanggaran? Mengapa plat nomor reg milik Kolonel CPM Bagus Heru ada pada Ahong? Apakah ini modus "pembekingan" atau gaya-gayaan semata? Kedua, pemerintah harus redam emosi dan sentimen publik yang bagai api dalam sekam. Itu dengan kebijakan politik dan hukum yang tidak diskriminatif. Ketiga, pemerintah tinjau ulang pengentalan garis "persahabatan" RI-RRC yang berspektrum ekonomi, politik, dan ideologi. Kembalilah kepada politik luar negeri yang "bebas aktif". Keempat, pemerintah stop impor TKA Cina. Karena disamping menggeser lapangan kerja warga negara sendiri, juga rawan penyusupan tentara atau milisi Cina. Kelima, pemerintah harus lakukan sensus penduduk dan buat peta sebaran etnik. Karena dikhawatirkan ternyata totalitas etnik Cina meningkat tajam. Bhineka Tunggal Ika tidak boleh didalihkan untuk sesuatu yang dapat membahayakan negara. Kasus "tertangkap" kamera yang viral dari tuan Hendra Winata alias Ahong harus dijadikan awal dari pembenahan kebijakan ke depan. Tidak ada lagi perilaku menyakitkan kepada warga dan bangsa Indonesia. Jitaklah "Cina yang nginjak dan ngelunjak". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

KAMI Yang Pancasila Versus Neo PKI

by Anton Permana Jakarta FNN – Sabtu (03/10). Sahsudah! Akhirnya kita semua tahu bahwa yang sedang bertarung saat ini dalam konstalasi politik nasional itu adalah kelompok Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang Pancasila melawan gerombolan Neo Partai Komunis Indonesia (PKI) dan antek-antek budaknya. KAMI bertarung keras melawan gerombolan “Trisila dan Ekasila”. Gerombolan ini juga berjuang untuk mewujudkan Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Bukan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila yang diakui gerombolan akui adalah yang tanggal 1 Juni 1945. Melawan KAMI yang hanya mengakui Pancasila konsensus tanggal 18 Agustus 1945. Kenapa ? Karena hal utama yang dikumandangkan oleh KAMI itu adalah membela Pancasila dan melawan kebangkitan Neo PKI di Indonesia. Seperti gayung bersambut. Sejak dua persoalan itu dikumandangkan dengan lantang oleh Jendral TNI (Purn) Gatot Nurmantio sebagai dewan Presidium KAMI bersama Prof Din Syamsudin dan Prof KH Rachmad Wahab, langsung ada perlawanan keras yang super reaktif dalam menjegal setiap acara KAMI di beberapa kota. Artinya, kalau yang dimusuhi KAMI itu adalah kebangkitan Neo PKI, dan yang dibela KAMI itu adalah kedaulatan bangsa dan Pancasila, maka otomatis yang balik memusuhi dan menyerang KAMI secara sistematis itu adalah pengikut dan antek Neo PKI dan pengkhianat Pancasila. Jelas dan tegas bukan? Tidak hanya itu, macam cacing kepanasan dan uring-uringan. Bermunculan komentar pedas, baik dari para buzzer dan yang katanya tokoh dalam menyerang KAMI dan personalnya. Sangat mirip pola Mao Tse Tung, dedengkot komunis China. Kata Mao, “apabila kamu tidak bisa mematahkan argumentasi musuhmu, maka seranglah pribadinya”. Ketika KAMI mengeluarkan gugatan dan tuntutan, ehh malah dibalas dengan caci maki dan fitnah. Bukannya dijawab dengan klarifikasi atau data akurat lainnya. Ini bertanda, wajah perpolitikan nasional kita hari ini sungguh telah dikotori oleh tangan-tangan biadab dan jahil. Jauh dari norma kesusilaan. Negeri ini seakan kembali lagi pada masa kelam tahun 1960-an, dimana PKI berkuasa. Yaitu, semakin maraknya aktivitas provokasi penuh kebencian dan fitnah terhadap tokoh agama dan TNI. Kalau dulu Buya Hamka, M Natsir, Masyumi menjadi korban. Saat ini lihatlah tak terhitung lagi para ustadz, ulama, Kiyai, dan Habaib yang juga mengalami hal yang hampir serupa. Kalau dulu isunya anti Nasakom kontra revolusi. Maka saat ini isunya radikalisasi dan intoleran. Padahal, para Neo PKI inilah yang super radikal dan super intoleran. Buktinya, pembantaian dan tindakan penjegalan, persekusi, kembali marak terjadi terhadap tokoh ulama. Sikap intoleran seperti sakit hati dan benci terhadap simbol dan peribadatan agama. Benci celana cingkrang dan cadar. Benci pada Habaib dan Ulama yang tidak sejalan. Dan selalu merecoki aktivitas ibadah agama orang lain penuh kedengkian. Begitulah cara asli PKI dulu bekerja tahun 1960-an. Begitu juga selanjutnya, kalau dulu tujuh orang Jendral TNI AD difitnah dan dibunuh dengan sadis di sumur Lubang Buaya, saat ini lihatlah sudah berapa para pensiunan Jendral TNI seperti Pak Mayjend TNI (Purn) Kivlan Zen, Kapt (Purn) Ruslan Buton yang dipenjara dengan alasan hukum. Padahal menurut para pakar hukum, sungguh pasal yang dipakai sangat mengada-ngada. Dan persidangannya pun sedang berjalan meski kita tidak tahu akan berujung kemana. Hari-hari ini dengan mata telanjang, rakyat se-nusantara menyaksikan bagaimana seorang Jendral mantan Panglima TNI yang jasa serta dedikasinya buat negara ini tak diragukan lagi, digelandang dan dipaksa turun dari mimbar saat lagi berbicara. Padahal yang bersangkutan sedang pidato dihadapan para Kiyai dan Ulama di suatu ruangan dengan tetap mengikuti protokol covid-19. Sungguh ini sebuah perbuatan yang tidak pantas. Juga sangat tak beretika, sombong, arogansi dan pelecehan terhadap keluarga besar TNI. Sontak hal ini semakin membakar dan membuat mendidih darah serta jiwa korsa keluarga besar TNI, baik yang aktif maupun yang pensiun. Perbuatan tak beretika ala preman oleh oknum yang seharusnya menjadi penegak hukum ini, juga inskonstitusional. Belum lagi seolah pembiaran kepada aktivitas kelompok bayaran yang mengeluarkan perkataan tidak senonoh, penuh dengan kebencian terhadap Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo. Mungkin tujuannya sengaja mempermalukan Jendral Gatot, dan memberikan shock terapi. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Sikap kenegarawan Jendral Gatot berakibat pada banjirnya simpati dari rakyat. Persekusi terhadap Jendral Gator justru semakin menyulut gelombang perlawanan rakyat. Ditandai dengan banyaknya Jendral dan purnawirawan turun gunung merapatkan barisan bersama KAMI. Pertanyaannya, kalau mereka pendemo bayaran itu mengaku taat hukum dan nasionalis, mengapa tidak menggunakan cara yang sedikit lebih beradab. Tidak dengan gaya yang arogan kepada Jendral GN yang sudah pensiun. Kalau mengaku peduli pada bangsa ini, kemana mereka ketika Pancasila mau diganti? Dimana mereka ketika TKA China membanjiri negeri ini? Korupsi dimana-mana. narkoba meraja lela, dan penanganan covid-19 oleh negara yang amburadul dan amatiran? Dengan kejadian ini, kita semua dapat menyimpulkan bahwa, KAMI yang Pancasila telah berhasil memancing keluar para kelompok Neo PKI dari sarangnya. Keluar dari ketiak kekuasaan. Neo PKI saat ini adalah ancaman nyata terhadap keutuhan bangsa ini. Neo PKI bagaikan duri dan racun dari tubuh bangsa yang saat ini kembali mendapatkan momentum untuk melanjutkan perjuangan ideologi orang tua mereka, yaitu menjadikan Indonesia menjadi negara berhaluan komunis. Dengan segala cara, berupaya mengganti Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Kehutanan yang berkebudayaan Semakin terang benderang semuanya saat ini. KAMI Pancasila yang mencoba melakukan gerakan moral, menyadarkan bangsa ini akan ancaman bahaya Neo PKI, kini mendapatkan serangan balasan berupa intimidasi, persekusi, teror, caci maki hingga fitnah yang luar biasa dari kelompok Neo PKI. Walaupun kelompok Neo PKI mendapatkan dukungan penuh dari China dan pusat kekuasaan. Saat ini, saya yakin, KAMI yang Pancasila bersama rakyat dan TNI tidak akan gentar. Tidak akan membiarkan dan merelakan negara ini dihancurkan dan diubah menjadi berhaluan komunis. Perang itu sudah mulai dan juga mulai terbuka. Neo PKI semakin berani dan merasa di atas angin, karena mendapat dukungan dari kekuasaan. Mereka yakin bakal kebal hukum. Bukti dan contohnya sudah banyak kita saksikan secara kasat mata. Bahkan telanjang mata. Tapi yakinlah, rakyat khususnya umat Islam tidak akan diam. TNI sebagai komponen utama dan lahir dari rakyat juga pasti tidak akan diam. Semua menunggu waktu. NKRI harga mati. Pancasila sudah final dan mengikat. Komunisme haram hukumnya hidup lagi di Indonesia. Sekarang kita mau pilih yang mana. Bergabung bersama KAMI yang Pancasila??? Atau bersama Neo PKI??? Semua bebas memilih. Dan ingat, semua tentu juga akan ada resiko dan konsekuensinya. Bangun dan berjuang, atau punah? Pancasila atau Komunis? Salam Indonesia Jaya! Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.

KAMI Dipersekusi, Tanda Imun Penguasa Bermasalah

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (02/10). Tanggal 18 Agustus Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) deklarasi di Tugu Proklamasi. Disambut dengan deklarasi di berbagai daerah. Lebih dari sebulan, dukungan ke KAMI terus mengalir. Permintaan deklarasi tak pernah berhenti. Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, NTB, bahkan luar negeri. Dukungan provinsi dan kabupaten/kota juga semakin rapat. Melihat perkembangan KAMI yang begitu masif, rupanya ada pihak yang khawatir, bahkan panik nggak karuan. Siapa mereka? Sebut saja penguasa yang panik. Cirinya sangat jelas dan sangat gamblang! Biar ini jadi sarana komunikasi yang dialogis. Ada pandangan yang berbeda antara KAMI dengan penguasa. Penguasa bilang “negara ini sedang baik-baik saja”. KAMI berpendapat ”negara sedang sakit”. Demokrasinya sakit, hukumnya sakit, ekonominya sakit, politiknya sakit dan banyak penyakit lainnya. Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ingat Harun Masiku, Novel Baswedan, Djoko Djandra dan perubahan UU KPK. Bicara aparat, teringat operasi mereka di pilpres 2019 lalu. Bicara ekonomi, sekarang anjlok, sudah minus -5,32? Resesi ekonomi yang di depan mata mengingatkan pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Tenaga Kerja Asing (TKA) China. Bertambah jumlah pengangguran dan orang-orang miskin. Bicara demokrasi, teringat banyak persekusi. Ini masalah, kata KAMI. Jadi, jangan pura-pura nggak ada masalah. KAMI lahir sebagai tuntutan tanggung jawab kebangsaan untuk membantu pemerintah menyelamatkan negeri dari berbagai masalah itu. Yang penting, pemerintah jujur, apa adanya. Jangan ditutup-tutupi. Jangan ada dusta diantara kita. KAMI lahir sebagai gerakan moral. Penguasa saja yang menganggap itu gerakan politik. Bukan memperbaiki, tetapi malah mau mengamputasi. Oh ya? Ngeri kali bahasanya. Bergantung penyakitnya. Kalau diare, perlu diobati. Tapi, kalau diabet, dan sebagian anggota tubuh sudah membusuk, dokter biasanya menyarankan untuk diamputasi. Maksudnya? Ini bicara medis lho. Tapi, teori medis sering pula berlaku di dunia sosial dan politik. Karena dianggap sebagai gerakan politik, maka penguasa merasa ini perlu diantisipasi. Takutnya, gerakan ini akan melakukan upaya amputasi. Satu sisi, berkumpul, berorganisasi dan menyatakan pendapat itu hak yang dilindungi konstitusi. Di sisi lain, menguatnya organisasi bisa jadi ancaman bagi penguasa yang sedang dililit masalah pandemi dan resesi ekonomi. KAMI, gerakan yang dipimpin oleh dua tokoh organisasi terbesar NU-Muhammadiyah, yaitu Din Syamsudin dan Rachmat Wahab. Dibantu oleh Gatot Nurmantyo dari mantan militer, semakin hari semakin kuat karena semakin besarnya dukungan. Sementara penguasa makin melemah karena pandemi covid-19 yang tak ditangani secara tepat membuat semakin sulit situasi ekonomi. Dilarang. Padahal deklarasi KAMI itu bagian dari hak berekspresi yang dilindungi konstitusi. Dibiarkan, makin menghantui. Posisi ini yang menyulitkan bagi penguasa. Maka, terjadilah kepanikan. Adanya kepanikan menunjukkan ketidakmampuan penguasa membangun komunikasi yang baik dengan pihak-pihak yang dianggap berseberangan. Termasuk dengan KAMI. Penguasa merasa huebaaattts Selama ini, penguasa merasa sangat kuat. Cukup percaya diri. Semua resources masih normal dan dibawah kendali. Instrumen kekuasaan ada di genggaman, dan bisa dimanfaatkan kapan saja untuk melakukan penekanan-penekanan. Pukul sana pukul sini, itu biasa saja. Upaya persekusi dengan cara "nabok nyilih tangan" hanya efektif jika dilakukan oleh penguasa, ketika masih dalam kondisi sangat kuat. Orla dan Orba melakukan yang sama ketika itu. Tepatnya, represi terhadap oposisi. Tetapi keduanya jatuh ketika ekonomi terpuruk. Ingat dan fahami itu baik-baik. Saat ini, kita bicara tentang ekonomi yang semakin terpuruk. Semua menyadarinya. Ini artinya, imun penguasa sedang rentan. Jika tak mampu menahan krisis, maka upaya persekusi dan tindakan represi akan menjadi senjata makan tuan. Menyerang balik di saat imun betul-betul melemah, karena dihajar krisis ekonomi. Situasi ini memungkinkan terjadinya amputasi. Beda jika penguasa melihat KAMI sebagai gerakan moral. Dirangkul dan diberi ruang untuk berdiskusi dan berekspresi. Tak ada persekusi. Tentu, ini akan menentramkan situasi. Sayangnya, selalu ada persekusi di setiap KAMI mengadakan deklarasi. Di Bandung dipersekusi. Di Surabaya, NTB, bahkan di Jakarta, terus terjadi persekusi. Sudahlah, rakyat juga tidak bodoh. Siapa pemain dibalik peristiwa persekusi terhadap deklarasi KAMI. Rakyat sudah tahu. Bahkan kuntilanak dan genderuwo juga tahu. Rakyat tahu siapa dibalik penusukan ulama, imam masjid dan perusakan mushalla. Rakyat tahu itu. Nggak usah menuduh PKI. Tidak! Itu kerja Intel. Peristiwanya berulang dan polanya sama. Gampang dikenali dan diidentifikasi. Tidak satu kejadian, tetapi banyak kejadian. Tidak satu tempat, tetapi banyak tempat. Waktunya berdekatan. Polanya sama dan sebangun. Itu kerja dan operasi orang-orang profesional. Kerjanya intel melayu. Mereka yang kendalikan gerombolan berbayar dan orang gila mendadak. Untungnya, KAMI nggak terpancing, meski terus diprovokasi. Ini sikap matang yang harus terus, dan mampu ditunjukkan oleh KAMI. Supaya publik tetap melihat bahwa KAMI betul-betul gerakan moral. Bukan gerakan politik. Bukan pula gerakan makar. Sekali terpancing, ada dasar hukum untuk membubarkan KAMI, dan menangkap para tokohnya. Ini pola lama yang sudah baku. Hampir setiap rezim yang lama berkuasa melakukan pola seperti ini. Tindakan represi dan praktek persekusi adalah bagian yang akan menguji ketahanan dan ketangguhan KAMI. Mampukah imun KAMI tetap bertahan di tengah lautan persekusi itu? Jika mampu, maka KAMI tidak saja akan terus berlimpah simpati, tetapi mampu menyiapkan diri jika "secara alamiah" jika terjadi proses amputasi nanti. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

KAMI Kebanjiran Kerkah Playing Victim Dari Penguasa

by Dr. Masri Sitanggang Medan FNN – Jum’at (02/10). Dihujani opini negatip, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) malah berlimpah simpati. Inilah dua hal yang membuat KAMI disambut dan sekaligus membuat penguasa gusar nggak karuan. Akankah Penguasa bertindak elegan? We are at the point of no return. Menyusul deklarasi KAMI Surabaya dan dukungan Purnawiran TNI pada acara Tabur Bunga di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata yang dipersekusi, Muldoko Kamis (1 Oktober 2020) mengeluarkan pernyataan bernada ancaman. Kepala Staf Presiden, yang menjelang Pilpres 2019 lalu menyerukan perang total melawan pasangan Capres/Cawapres 02, itu memperingatkan KAMI untuk menyampaikan aspirasinya lewat jalur hukum. Entahlah, apa Muldoko menganggap berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat di muka umum serta berkirim surat ke DPR RI seperti yang telah dilakaukan KAMI, dianggap tidak sesuai dengan hukum. Bagaimana cara Moeldoko memahami masalah hukum, terlihat enah dan amatiran. Luar biasa KAMI. Sejak dideklarasikan 18 Agustus 2020 lalu, KAMI tidak henti dihujani fitnah, cerca dan umpatan. Dinarasikan, malah didiskripsikan, seolah KAMI adalah kumpulan orang-orang yang sakit hati karena terlempar dari kekuasaan. Orang-orang yang ingin merebut kekauasaan. Kumpulan orang-orang yang penya kepentingan. Antek Orde Baru yang ingin come back dan lain-lain lagi, yang pada pokoknya menggambarkan KAMI itu jelek dan sejenisnya. Sepertinya kian terang bahwa, kutup demokrasi di negeri ini berangsur berubah. Dalam demokrasi yang sehat, kutup itu adalah pemerintah/penguasa di satu sisi, dan partai oposisi serta pers dan perangkat lainnya di sisi lain. Kini, kutub itu akan berubah menjadi pemerintah/penguasa di satu sisi dan KAMI di sisi lain. Ini terjadi karena partai-partai dan pers mainstream sudah berasa bagian dari penguasa. Hebatnya lagi, yang jadi oposisi sepertinya justeru adalah pemerintah, bukan KAMI. Wajar, memang, penguasa merasa gusar. Soalnya, KAMI lahir di saat-saat penguasa sudah merasa berada di zona nyaman. Ibarat berkenderaan, penguasa sudah merasa di jalan arteri. Jalan ringkas mencapai tujuan tanpa hambatan. Tinggal tancap gas saja. Partai-partai bukan lagi halangan. Malah sudah menjadi tenaga pendorong sehingga kenderaan memiliki mesin turbo. Kalau pun ada hambatan, diperkirakan itu tak lebih dari sobekan kertas di tepi jalan yang akan melayang diterpa angin kencang kenderaan. Itulah sebabnya DPR RI dan pemerintah, yang kita sebut saja sama-sama sebagai penguasa, sangat percaya diri untuk tidak menghiraukan suara yang minta penghentian pembahasan atau judicial review sejumlah RUU/UU yang tidak berpihak pada rakyat . Misalnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Perppu Nomor 1/2020 yang telah menjadi UU Nomor 2/2020. Aada juga Minerba, RUU HIP, RUU BIP dan lain-lain. Bahklan Majelis Ulama se-Indonesia (MUI) yang berteriak keras menolak RUU HIP dan RUU BIP, dianggap angin lalu saja. Menyedihkan memang, di negara yang mayoritas Islam, lembaga Ulama tidak digubris. Tetapi, itulah kenyataannya. Malah, sudah ada yang berani coba melempar ide untuk membubarkan lembaga itu dengan nada melecehkan kekuasaan. KAMI hadir untuk maksud meluruskan kiblat berbangsa yang dinilai sudah melenceng. Kiblat bangsa yang dimaksud adalah cita-cita dan tujuan bernegara sesuai dengan UUD 1945 yang diberlakukan berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Apa saja yang telah melenceng? Seberapa jauh melencengnya? Dituangkan dengan jelas dalam Maklumat KAMI. Termasuk dalam Maklumat tersebut adalah delapan tuntutan. Maklumat itu pun telah pula dikirimkan ke para pemegang kekuasaan di negerei ini. Hebatnya, meski bukan organisasi struktural, dari sejak akan dideklarisika, koalisi yang dibidani antara lain oleh Din Syamsuddinini, MS Kaban, Ahmad Yani, Abdullah Hehamahua, Syahganda Nainggolan, Marwan Batubara. Kemudian merangkul Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantio dan KH Rokhmat Wahab, Rocky Gerung serta sejumlah aktivis ini, sudah mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Sambutan masyarakat ini sangat mungkin karena setidaknya dua hal. Pertama, deklarator KAMI dikenal sebagai orang yang relative dapat dipercaya mewakili pikiran masyarakat. Mewakili kelompok Islam dan bukan Islam. Tokohnya mewakili kelompok dari arus utama Islam Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Ada juga kelompok sipil dan TNI (Purnawirawan), kelompok intlektual dan berbagai profesi. Dengan demikian, KAMI tepat menyandang Gerakan Moral. Kedua, apa yang dituangkan dalam Maklumat Menyelamatkan Indonesia, secara khusus delapan tuntutan yang ditujukan kepada pengelola negara, senada dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan rakyat. Artinya, delapan tuntutan KAMI itu dirasakan rakyat persis mewakili tuntutan mereka. Dengan demikian, delapan tuntuntan KAMI itu bisa disebut PANTURA (Delapan Tuntutan Rakyat). Begitulah sehingga pertumbuhan dan dukungan terhadap KAMI serasa mengejutkan. Tanpa ada yang mengarah-arahkan, tanpa ada yang mendorong-dorong. Tapa pula ada aliran dana, namun berbagai daerah berebut deklarasi dan menyatakan dukungan. Kalau saja ini oraganisasi struktural biasa dan formal, tentulah untuk membentuk kepengurusan sampai ke tingklat Kabupaten/kota di seluruh Indonesia, memerlukan waktu bertahun-tahun. Juga biaya yang tidak sedikit. Tapi KAMI tumbuh dari hati dan jiwa rakyat, sehingga segalanya di luar kebiasaan. Boleh jadi dua hal itu pula yang menimbulkan kegusaran bagi penguasa. KAMI dianggap sebagai sebuah kekuatan yang muncul di luar dugaan. Sekaligus juga sulit dikendalikan. KAMI menjadi penghalang bagi arah dan laju kenderaan yang sedang dipacu. Setidaknya, kelahiran KAMI menyadarkan penguasa bahwa mereka tidak lagi sedang berada di jalan arteri tanpa hambatan. Penguasa mencoba menyingkirkan KAMI. Caranya, itu tadi, labelisasi KAMI dengan yang jelek-jelek. Ada pula upaya-upaya melahirkan “KAMI” tandingan ,dengan narasi dukungan kepada penguasa dan mengecam KAMI Gerakan Moral yang di deklarisikan di tugu proklamasi. Lebih dari itu, ada upaya-upaya yang terasa dirancang untuk melakukan persekusi terhadap kegiatan KAMI di daerah-daerah. Moeldoko sudah pula bersuara sedikit mengancam. Tetapi ini sungguh di luar dugaan. Tindakan-indakan upaya “menyingkirkan” itu bukannya megecilkan KAMI. Malah sebaliknya membesarkan KAMI. Akibatnya, KAMI semakin populer dan menuai banjir simpati dan dukungan. Sepertinya KAMI sedang kebanjiran berkah playing victim dari penguasa. Permintaaan deklarasi sudah hamper meliputi semua Kabupaten/Kota. Entahlah, apakah “oposisi” terhadap KAMI ini satu saat nanti berubah jadi tindakan repressif penguasa. KSP Moeldoko yang tahu persis. Tapi jika ini terjadi, negara ini akan hancur sehancur-hancurnya. Percayalah ! KAMI telah menjadi gerakan kekuatan rakyat yang dahsyat. Menurut hematku, penguasa negeri ini harus memiliki political will untuk mendengar suara rakyat. Cuma itu yang bisa menghindari kekacauan negeri ini. Penguasa harus tampil elegan. Menghadapi gerakan moral KAMI, penguasa harus menunjukkan sikap lebih bermoral. Dengan demikian, moral penguasa berada di atas moral KAMI. Jangan melontarkan pernyataan-pernyataan atau melakukan tindakan yang justeru menunjukkan rendahnya moralitas penguasa. Adalah elegan bila penguasa menjawab secara akademis dan melakukan tindakan praktis berkenaan dengan PANTURA. Mendengar, mendiskusikan pandangan dan memenuhi aspirasi rakyat, tidaklah akan menjatuhkan wibawa penguasa. Itu justeru meningkatkan moralitas penguasa, meningkatkan trust rakyat kepada penguasa serta menumbuhkuatkan dukungan terhadap penguasa. Bukankah pemerintah (penguasa) ini diamanahkan konstitusi untuk melindungi segenap tumbah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan serta keadilan sosial ? Bagaimana pemerintah dapat mengukur apakah tugas itu sudah dijalankan dengan baik? Atau malah sudah menyimpang kalau tidak mendengar jeritan rakyatnya? Suara rakyat itu telah dituangkan dalam bentuk PANTURA (Delapan Tuntutan Rakyat). Mendengar PANTURA adalah tindakan penguasa yang elegan dan bermoral tinggi. Itu kalau pemerintah memang bermaksud berkeja untuk rakyat. Kalau bekerja untuk kepentingan yang lain, aku tidak punya jawaban. Tetapi KAMI sudah menentukan sikap, “we are at the point of no return”. KAMI berada pada posisi yang tidak ada tempat untuk kembali. KAMI datang bukan untuk pulang! Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Ketua Panitia #Masyumi Reborn & Ketua Komisi di MUI Medan.