NASIONAL
Maaf, Pak Jokowi Apakah Sudah Siap Lengser?
by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Kamis (08/10). Saya berharap semoga tidak ada orang atau pihak-pihak tertentu yang baper membaca judul dan isi tulisan ini. Sebab jika melihat reaksi publik dalam berbagai aksi demo massif menolak UU Omnibus Law akhir-akhir ini, bukan mustahil Jokowi bisa lengser dari kursi kekuasaannya. Sampai hari kedua aksi mogok nasional para buruh, telah diikuti dengan aksi demo para mahasiswa. Ini terjadi di berbagai kota di Indonesia. Dari berbagai tayangan video viral di sejumlah grup WA yang saya ikuti, pada hari Selasa 6 Oktober 2020 aksi demo diawali bentrok antara para mahasiswa di Kota Bandung dengan aparat kepolisian. Aksi demo dan bentrokan para mahasiswa juga terjadi di Kampus UIN Serang Banten dan Makassar Sulawesi Selatan. Sehari kemudian, aksi massa semakin meluas tidak hanya melibatkan para buruh dan mahasiswa tetapi juga anak-anak STM. Dengan gagah berani, mereka sudah mulai merangsek masuk ke sekitar jalan-jalan menuju kawasan Gedung DPR/MPR-RI di Jl Gatot Subroto Jakarta. Aksi anak STM ini belum terlalu massif tapi keberanian mereka berhadapan dengan aparat di jalan umum telah mengundang emosi sejumlah aparat sehingga sebagian di antara oknum polisi ada yang sengaja megejar dan memukul anak STM di Jalan Pejompongan. Di daerah itu, anak-anak STM juga merusak sebuah mobil polisi. Sementara para buruh yang bekerja di kawasan Jababeka, Kabupaten Bekasi, dan Karawang, juga ikut ambil bagian. Mereka meninggalkan tempat kerjanya, kemudian bergabung dengan rombongan buruh lainnya. Sehingga sebagian ruas jalan di Bekasi dan Cikarang, dipadati para buruh. Mereka berjalan secara berombongan dengan mengendarai berbagai sepeda motor. Sedangkan dari Jambi, para mahasiswa berusaha untuk menguasai Gedung DPRD setempat. Dari tayangan video pendek, terlihat para mahasiswa juga terlibat bentrok dengan aparat polisi. Penolakan para buruh dan mahasiswa terhadap UU Omnibus Law dan produk UU lainnya yang merugikan rakyat, semakin massif terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Hari Kamis 8 Oktober 2020, rencananya para buruh dan mahasiswa akan menggeruduk Istana Kepresidenan. Jika aksi ini makin membesar dan meluas, diperkirakan aparat pun akan kewalahan dan sulit untuk menghadangnya. Jika aksi demo ke Istana Kepresidenan melibatkan banyak elemen masyarakat lainnya, akan sulit bagi aparat keamanan untuk bisa mencegahnya. Pembangkangan Sipil People Power tidak bisa dicegah. Masyarakat sudah muak dengan berbagai kebijakan rezim penguasa sekarang. Masyarakat sudah tidak tahan lagi dengan berbagai persoalan yang mendera mereka selama ini. Oleh karena itu sekarang merupakan momentum yang tepat untuk melampiaskan kekecewaan dan penderitaan yang selama ini mereka alami. UU Omnibus Law diprotes karena terkait dengan kepentingan semua elemen masyarakat, tidak hanya persoalan para buruh saat ini tetapi juga merupakan masalah para mahasiswa di masa datang saat mereka masuk ke dunia kerja. Di luar persoalan UU Omnibus Law sudah banyak persoalan yang mendera rakyat Indonesia termasuk pandemi global Virus Corona. Aksi para buruh menolak UU Omnibus Law telah menjadi pemantik elemen masyarakat lainnya khususnya mahasiswa untuk melakukan aksi demonstrasi menyuarakan ketidakpuasan terhadap DPR dan rezim penguasa di bawah Presiden Jokowi. Aksi demo para buruh dan mahasiswa ini akan diikuti dengan aksi pembangkangan sipil oleh elemen masyarakat lainnya. Salah satu yang menyerukan aksi pembangkangan sipil adalah ahli hukum dari UGM Zainal Arifin Mochtar. Menurut dia, pengesahan UU Cipta Kerja terkesan terburu-buru tanpa mempertimbangkan suara publik. Ini patut untuk diprotes. "UU Cipta Kerja dibuat dengan proses formil yang bermasalah. Selain itu substansi materiilnya juga begitu banyak catatan," kata Zainal Arifin sebagaimana dikutip SuaraJogja.id. Pembangkangan sipil dan perlawanan sosial sudah dimulai dari Kota Bandung yang dipelopori para mahasiswa pada hari Selasa lalu. Meski para pengunjuk rasa yang kebanyakan mahasiswa terlibat bentrok dengan aparat kepolisian, namun semangat perlawanan rakyat tidak kendor. Desingan suara senjata gas air mata dan water canon yang dimuntahkan pasukan polisi, tidak menyurutkan para pendemo untuk terus merangsek masuk ke Kawasan Gedung DPRD Jabar di Jl Diponegoro Bandung. Setelah berjuang keras akhirnya para mahasiswa berhasil memukul mundur aparat karena banyak di antara senjata gas air mata justru berbalik menuju arah polisi sehingga banyak di antara aparat yang kesakitan di bagian tenggorokan dan mata. Akhirnya aparat polisi pun mundur teratur. Setelah situasi tenang, perwakilan mahasiswa menyampaikan sejumlah tuntutan disaksikan aparat TNI di depan Gedung DPRD Jabar. Mereka menuntut agar UU Omnibus Law dan UU lainnya yang merugikan rakyat bisa segera dicabut. "Jika tidak, kami akan turun ke jalan lagi," kata seorang perwakilan mahasiswa dengan suara lantang. Gerakan aksi demo yang berakhir bentrok juga terjadi di depan kampus UIN Sultan Maulana Hasanudin (SMH), Serang, Banten. Ada beberapa mahasiswa yang mengalami luka karena mereka terperangkap di dalam kampus ketika aparat kepolisian berusaha para demonstran ke dalam kampus. Seruan untuk aksi besar-besaran dikemukakan Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Mereka berencana menggelar demonstrasi pada Kamis (8/10). Mereka juga akan menyuarakan penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja usulan pemerintah yang baru saja disahkan DPR hari Senin 5 Oktober 2020. "Rencananya tanggal 8 untuk aksi nasional," ungkap Koordinator Media Aliansi BEM SI Rizky Ramadhany kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/10). Rizky mengaku belum menentukan lokasi demonstrasi nanti. Ia hanya mengatakan bahwa aksi unjuk rasa bakal melibatkan mahasiswa dalam jumlah besar. Aksi demo ini diperkirakan akan menjalar ke kota-kota lain di Tanah Air karena buruknya perekonomian dan semakin sulitnya kehidupan masyarakat. Ekonomi Meledak Rakyat bawah lagi menunggu pemantik kerusuhan. Pemerintah dan DPR gagal memahami keinginan dan tuntutan rakyat. Pengesahan RUU Omnibus Law menjadi UU, terkesan dipaksakan dan membodohi rakyat dan buruh. Ini justru menjadi pemantik pembangkangan sosial secara nasional. Dengan situasi seperti sekarang, paling tidak akan terjadi kerusuhan dan pembangkangan sosial di banyak kota di Indonesia. Yang bakal terjadi di hari-hari mendatang adalah aksi mogok buruh dan aksi demo mahasiswa secara nasional disertai aksi pembangkangan sipil. Suasana dan peristiwa ini bukan halusinasi tapi benar-benar sudah menggaung dan terjadi di mana-mana. Dalam kesempatan inj, saya ingin flash back ke belakang ke tàhun 1998. Semoga para elite politik di DPR terutama politisi dari partai oligarki serta rezim penguasa di bawah Presiden Jokowi bisa belajar dari peristiwa kerusuhan pada waktu itu. Seperti kita ketahui bersama, waktu itu kekuasaan Soeharto dalam keadaan sangat kuat. Hampir semua infrastruktur dan suprastruktur politik berada dibawah kendali Rezim Orde Baru yang dibangun Soeharto selama 32 tàhun. Namun toh pada akhirnya pada bulan Mei 1998, kekuasaan Soeharto tumbang juga. Krisis politik yang berakhir pada lengsernya Soeharto dari kursi kekuasaan pada awalnya dipicu oleh krisis moneter yang terjadi pada bulan Juli 1997. Kemudian persoalan finansial yang dialami perusahaan besar dan perbankan ini merembet pada kesulitan rakyat dalam mendapatkan kebutuhan sembako. Kalaupun ada harganya mahal sehingga kemudian menyebabkan terjadinya berbagai aksi penjarahan toko-toko supermarket. Di sisi lain, banyak perusahaan swasta besar dan perbankan yang mendadak bangkrut dan kesulitan keuangan. Akibatnya PHK massal terjadi di mana-mana. Meski bulan November 1997 pemerintah waktu itu sudah menutup sejumlah bank swasta nasional untuk memulihkan ekonomi, namun kepercayaan masyarakat tidak kunjung pulih. Bahkan ketidakpercayaan masyarakat tersebut bukan hanya terhadap perbankan tetapi juga pada rezim Soeharto yang dianggap telah melakukan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Akhirnya krisis moneter meluas menjadi krisis sosial dan krisis politik. Pergantian Presiden dari Soeharto ke BJ Habibie pada Mei 1998, tidak seketika memulihkan bangsa ini dari krisis multi dimensi. Ketika itu Habibie dianggap sebagai bagian dari rezim kekuasaan Orde Baru. Akhirnya melalui proses politik di MPR, Habibie digantikan oleh Gus Dur pada tàhun 2000. Selanjutnya pasca reformasi tersebut kita ketahui bersama berbagai pergantian Presiden ke Megawati, kemudian Susilo Bambang Yudhoyono hingga akhirnya kepada Jokowi tàhun 2014. Jokowi dan partai pendukungnya ingin mengulang sukses SBY yang menjadi Presiden dua periode yakni dari tàhun 2004 hingga 2014. Namun sayangnya, kapasitas dan kompetensi Jokowi sangat jauh dibandingkan SBY. Sehingga banyak janji Jokowi yang tidak bisa dipenuhi, demikian pula program pembangunan tidak fokus dan cenderung halusinasi. Hampir semua proyek-proyek infrastruktur dibangun dengan utang sementara penggunaan dan hasil pembanguman proyek tersebut tidak optimal. Menurut M. Said Didu, pengamat ekonomi yang juga mantan Sekretaris Menteri BUMN, semua indikator ekonomi semakin memburuk dan tidak ada tanda perbaikan dalam 3-5 tahun ke depan. Krisis ekonomi baru akan berdampak pada kekuasaan jika sudah menyangkut kehidupan rakyat secara langsung. Kondisi ekonomi sekarang sudah berada pada ekonomi siap "meledak". Dan ekonomi bisa meledak jika rakyat sudah mengalami kesulitan hidup sehari-hari. Dan itu sudah terjadi saat ini. Selain itu, ekonomi akan meledak jika pengusaha sudah tercekik utang dan keberlanjutan usahanya. Saat ini banyak perusahaan yang dililit utang dan sebagian sudah banyak pula yang melakukan PHK karyawan dan menutup pabriknya. Said Didu memperkirakan, "Ekonomi akan meledak pada bulan November-Desember 2020". Gelombang protes dan ketidakpuasan tidak hanya disuarakan para buruh dan mahasiswa, para guru besar dan dosen serta dekan dari 55 perguruan tinggi di Indonesia juga menyampaikan keprihatinan yang sama. Mereka juga menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Guru Besar Hukum Unpad Bandung, Susi Dwi Harijanti, membacakan pernyataan sikap para akademisi tersebut melalui virtual, Rabu, 7 Oktober 2020. Susi mengatakan, mereka menyatakan sikap penolakan lantaran melihat banyak penyimpangan dalam proses pembahasan hingga isi undang-undang yang disahkan dalam rapat paripurna DPR, Senin, 5 Oktober 2020. Sejumlah akademisi bidang hukum lainnya yang turut menolak UU Ciptaker seperti Guru Besar Hukum UGM Eddy Hiariej, Maria Sri Wulan Sumardjono dan Zainal Arifin Mochtar. Hampir semua elemen masyarakat menyatakan menolak terhadap UU Omnibus Law. Jika pemerintah dan DPR tetap berkeras mau memaksakan memberlakukan UU Cipta Lapangan Kerja, harus berhadapan dengan risiko terjadinya People Power. Dan Jokowi harus siap-siap untuk lengser dan melepaskan kekuasaannya. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id & Mantan Wartawan Kompas
Dari Revolusi Mental Menuju Revolusi Sosial (Bagian-1)
by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Kamis (08/10). "Revolusi Itu Akan Mencari Jalannya Sendiri". Begitu sebuah postingan di tweeter @el_macho90 yang link ke tweeter Dr. Dipo Alam, mantan ketua Dewan Mahasiswa UI, yang pernah dipenjara Orde Baru. Isi postingan di tweeter itu saya lihat kemarin. Apa itu revolusi sosial? Apakah benar demikian? Revolusi adalah perubahan sosial yang menggantikan struktur sosial. Juga mengganti struktur politik dan ekonomi, serta kadangkala struktur budaya masyarakat atau peradaban. Perubahan seperti ini pada umumnya diwarnai dengan kepemimpinan perubahan yang kuat dan perlawanan yang terorganisasi serta acapkali dengan kekerasan. Pembicaraan tentang revolusi ini perlu kita kaji, mengingat lima hal atau situasi sebagai berikut : Pertama, gerakan mahasiswa dan buruh sebagai garda terdepan telah memenuhi jalan-jalan beberapa kotas besar sepanjang beberapa hari terakhir ini. Kedua, gerakan Islam dan khususnya yang di bawah komando Imam Besar Habib Rizieq Shihab (HRS) telah mengepung terus ibukota, dengan tema Pancasila dan kembalikan Habib Rizieq. Ketiga, Pernyataan Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM), yang terkenal dengan isu pemerintahan bersih, Profesor Zainal Mochtar telah menyerukan adanya pembangkangan sipil (civil disobedience) atas situasi sosial paska pengesahan UU Omnibus Law kemarin. Keempat, adanya spirit kebangkitan purnawirawan militer untuk mewarnai perubahan sosial melalui jalur gerakan masyarakat sipil. Kelima, adanya respon negatif ormas Islam terbesar Muhammadiyah dan NU terhadap pemerintah dalam kasus Pilkada. Serta kaum ulama pada isu RUU HIP dan RUU BPIP. Tentu banyak fenomena sosial lainnya belakangan ini yang dapat dilihat sebagai fenomena penting dalam menganalisa situasi yang ada. Antara lain kegagalan pemerintah dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Administrasi pemerintahan negara yang melemah karena transformasi digital yang gagal, serta ekenomi yang semakin memburuk. Lalu mengapa perlu menganalisa revolusi itu? Pentingnya melakukan analisa atas hal ini karena jika revolusi datang pada sebuah bangsa, namun gagal “dibimbing", maka yang terjadi biasanya adalah kehancuran bangsa. Seperti kasus-kasus kegagalan revolusi di Afganistan, Filipina terkait penggulingan Ferdinan Marcos dan beberapa negara di Amerika latin. Sebaliknya, yang terjadi pada Revolusi Bolshevik di Rusia, Revolusi di Iran, Revolusi di China umpamanya hasil bagus yang membanggakan. itu karena revolusinya terlaksana dengan terarah dan terbimbing. Maka bangsa tersebut terselamatkan. Sebab-Sebab Revolusi Ilmu sosial telah melahirkan berbagai teori tentang revolusi. Baik mencari sebab-sebab munculnya revolusi maupun sejarah revolusi. Sebab-sebab revolusi dikaji oleh ahli-ahli sosiologi, seperti Skocpol, dalam bukunya "State and Social Revolution" Tahun 1979. Skocpol yang membandingkan revolusi Prancis, China dan Rusia. Sebagai seorang strukturalis fungsional, Skocpol melihat pergeseran equilibrium sebuah masyarakat yang terguncang (disequlibrium) akibat ada kemerosotan eksistensi negara dan pemberontakan petani di tiga negara yang dia bandingkan itu. Namun, kaum strukturalis, baik Marxis maupun fungsional, kurang memberi perhatian pada analisa agensi atau tokoh maupun ideologi gerakan. Sosiolog dan historian lainya, banyak yang juga melihat peranan ideologi, organsisasi aksi dan peranan tokoh dalam sebuah revolusi dan sebab-sebabnya. Misalnya, sebab-sebab revolusi dalam teori kenabian umumnya dikaitkan dengan adanya bala atau bencana yang ditimpakan kekuatan ilahiah pada sebuah rezim dan masyarakatnya. Lalu munculnya seorang pemimpin yang membawa perubahan peradaban. Melihat berbagai spektrum pemikiran dan analisa, maka secara umum sebuah revolusi itu terjadi karena meluasnya kekecewaan rakyat atas rezim yang berkuasa. Terjadinya kooptasi negara dengan melakukan politik tirani dan berbagi kekuasaan dengan kaum oligarki pemodal. Terjadi kemerosotan peran dan eksistensi negara akibat perang atau wabah ataupun keuangan negara. Munculnya tokoh-tokoh revolusioner, dan adanya ideologi yang mempersatukan gerakan perlawanan. Meluasnya kekecewaan rakyat Indonesia saat ini sudah meluas dan mendalam. Meluas itu terbukti dari kecaman dua ormas besar agama Islam atas sikap pemerintah yang mengorbankan nasib rakyat ditengah pandemi Covid-19 demi mendorong pilkada. Padahal MUI, NU dan Muhammadiyah, bahkan sesungguhnya hampir seluruh kekuatan masyarakat sudah menyatakan menolak pilkada. Penolakan ini ditambah dengan adanya sinyalamen Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Meamanan (Polhukan) bahwa Pilkada 92% dibiayai oleh cukong-cukong. Pernyataan yang diumumkam sendiri oleh tokoh sentral di pemerintahan. Angkanya cukup menghawatirkan. Kekecewaan dalam spektrum lainnya adalah kekecewaan buruh yang menolak UU Omnibus Law. Buruh sebagai kekuatan rakyat di perkotaan dan semi urban melihat bahwa pemaksaan secara cepat legalisasi UU ini adalah simbol kesombong rezim dan kaum kapitalis untuk mengekploitasi nasib mereka. Telah terjadi vis a vis secara kepentingan. Yang menariknya adalah, di luar buruh, kelompok-kelompok identitas, intelektual dan lingkungan ikut mengecam UU Omnibus ini. Seperti mahasiswa, kalangan dosen, ulama, pegiat dan pecinta lingkungan, masyarakat adat, dan terakhir lembaga-lembaga yang pro lingkungan hidup internasional. Selain itu, kekecewaan masyarakat terjadi karena kegagalan pemerintah menangani pandemi corona. Meskipun pemerintah beralibi telah menangani dengan baik, dengan membandingkan hasil faktual antar negara, namun rakyat sudah sedemikian jauh mengalami frustasi sosial dan kemerosotan hidup selama delapan bulan pandemi ini. Krisis kepercayaan meluas dan dalam kepada pemerintah. Krisis ini akibat adanya ketertutupan pemerintah soal pandemi ini di masa awal. Juga kegagalan dalam mengontrol penyebaran pandemi pada masa nasa yang disebut "golden time". Disamping publik melihat arogansi pemerintah dalam masa masa awal menyepelekan isu Covid-19 ini. Banyak lagi kekecewaan masyarakat yang muncul. Khususnya, kekecewaan ummat Islam dan eks militer (purnawirawan) atas isu di seputar bangkitnya PKI dan faham Komunisme. Dan klaim bahwa mayoritas masyarakat kecewa dengan Jokowi sudah pasti mempunyai landasan analitis. Dalam hal kooptasi negara atas semua kekuatan politik yang ada, sikap semena-mena itu ditunjukkan dengan upaya cepat pemerintah memberlakukan perpu corona, yang kemudian menjadi UU Corona No. 2/2020. Intinya pemusatan kekuasaan secara hampir mutlak pada pemerintah. Pada saat Jokowi mengkritik menteri menterinya yang dianggap gagal bekerja ekstra ordinary, setelah tiga bulan pandemi, Jokowi mengobral akan membuat Perpu Corona lainnya jika dianggap kurang dalam konsolidasi power. Ini menunjukkan sistem politik kita yang membagi kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, serta pemeriksaan keuangan independen telah terdistorsi. Bahkan terakhir adalah upaya rezim Jokowi membuat Dewan Moneter untuk mengendalikan Bank Indonesia. Tujuanya agar pemerintah bisa mencetak uang. Padahal selama ini dalam prakteknya bank Indonesia independen. Tidak dibawa kontrol dari pemerintah. Pemusatan kekuasaan di tangan Jokowi dan rezimnya bersamaan dengan rencana RUU HIP dan UU Omnibus Law. RUU HIP adalah upaya pemusatan tafsir ideologis atas Pancasila. Dengan genggaman itu maka pemerintah mempunyai alat pembungkaman lawan-lawan politik secara legal. Sedangkan Omnibus Law, yang luas ditentang saat ini, adalah upaya pemerintah membagi kesenangan kepada kaum kapitalis dan oligari modal. (bersambung). Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.
Bank Dunia : 90 Juta Orang Indonesia Hadapi Rawan Pangan
by Jusman Dalle Jakarta FNN – Kamis (08/10). Footage pekerja migran gagal terbang ke Saudi Arabia viral ,setelah saya posting di twitter @JusDalle. Twitter analytics mencatat, video itu telah ditonton lebih dari 278.000 kali. Jadi berita dan headline media nasional. Bahkan, mendapat respons dari dari Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Situasi paling dramatis video tersebut adalah pada bagian ketika sang Ibu pekerja migran mengucapkan kalimat “Selama tujuh bulan saya diam di rumah. Tidak pernah kemana-mana. Kita harus makan, anak-anak juga harus makan”. Suara sang ibu bergetar. Emosinya memuncak. Berusaha diredam, namun tak tertahan. Remuk redam rasanya hati ini mendengar kalimat tersebut. Curahan perasaan yang dilontarkan itu, bukan semata ekspresi kecewa seorang pekerja migran, karena gagal berangkat mencari nafkah akibat prosedur dan protokol yang ribet. Kekesalan itu, adalah common ground. Mewakili perasaan ratusan juta rakyat, yang marah kepada pemerintah. Video itu banjir komentar. Nadanya hampir mirip dan sama. Netizen umumnya kecewa, kesal dan marah atas situasi yang tidak menentu tersebut. Rakyat sangat merasakan adanya kesulitan ekonomi. Nasibnya tidak menentu dan tidak pasti. Hanya terjebak di rumah. Dalam situasi krisis yang mengunci seperti ini, kelompok masyarakat aspiring middle class yang menjadi korban paling besar. Namun mereka, luput dari perhatian media massa. Apalagi perhatian pejabat pembuat kebijakan. Tak masuk dalam radar dan data pemerintah untuk diselamatkan. Mereka sudah sangat dekat dengan tubir kemiskinan. Begitu terjadi sedikit saja gejolak ekonomi, mereka berjatuhan ke lembah kemelaratan. Jangankan Corona yang membekap, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan harga BBM dan inflasi, bahkan dapat menyeret mereka ke jurang kemiskinan. Posisi kelas menegah tanggung ini sangat rentan. Tidak punya determinasi ekonomi yang memadai (coeficcient of determination) kepada mereka. Semakin berbahaya, karena klasifikasi yang dibuat oleh negara menempatkan mereka seolah tidak miskin. Aspiring middle class ini adalah mayoritas masyarakat negeri ini yang tak terlihat pemerintah. Padahal jumlah sangat banyak. Bahkan mengagetkan. Menurut data Bank Dunia, per Januari 2020 jumlahnya mencapai 115 juta penduduk. Ini sangat menghawatirkan. Nasib ratusan juta rakyat tersebut mulai terkuak. Laporan anyar yang dipublikasikan Bank Dunia awal Oktober, menyebut jika saat ini sepertiga orang Indonesia makan lebih sedikit. Mereka kekurangan uang akibat Pandemi Covid-19. Artinya, sekitar 90 juta penduduk Indonesia menghadapi tekanan rawan pangan. Padahal, jumlah penduduk miskin cuma 26 juta jiwa. Itu data resmi BPS. Maka temuan sepertiga penduduk Indonesia kurang makan akibat dampak Corona, diinterpretasikan jika wabah ini telah melipatgandakan jumlah penduduk miskin. Naik sebanyak 300% cuma dalam tujuh bulan. Indikatornya sangat valid. Pemenuhan kebutuhan paling dasar, yaitu pangan. Rawan pangan itu, merupakan bom waktu yang siap meledak. Pasalnya, Corona masih sangat jauh dari kata dan kalimat terkendali. Indonesia bahkan jadi negara dengan penanganan Covid 19 yang terburuk di dunia. Setiap satu juta populasi, jumlah yang test cuma 10.760 orang. Sangat kecil. Bandingkan dengan AS sebanyak 298.423 tes per satu juta penduduk. India sebagai negara berpenduduk terbesar kedua di dunia, mencatatkan jumlah tes 47.000 per satu juta populasi. Karena itu, para pakar yakin jika kasus covid di Indonesia sebetulnya jauh lebih besar dari yang terungkap. Jumlah test sebagai dasar parameter, sama sekali tidak memenuhi standar WHO. Implikasinya penanganan Covid yang amburadul, berdampak masif terhadap perekonomian. Selama Covid tidak terkendali, maka aktivitas ekonomi tidak bakal beroperasi 100%. Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pelemahan daya beli, produksi dan konsumsi yang mandek, menciptakan lingkaran setan krisis ekonomi yang semakin babalieut. Masyarakat lapis bawah yang paling terkena dampaknya. Mereka sangat merasakan perihya kehidupan ekonomi sekarang. Persis kisah dramatis sang Ibu pekerja migran yang gagal berangkat ke Arab Saudi tersebut. Hanya bisa tinggal di rumah tanpa sumber pendapatan yang jelas. Tekanannya kian menyakitkan seiring perjalanan durasi waktu. Batas toleransi kian menipis. Maka satu dua bulan ke depan, rawan pangan dan kompleksitas problem ekonomi yang membelit bisa saja menjelma menjadi petaka kelaparan massal yang mengerikan. Semoga tidak terjadi. Amin Penulis adalah Direktur Ekskutif Tali Foundation.
DPR Licik & Pengecut, “Hobby Nyakiti Rakyat”
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (07/10). Ketuk palu pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, bagian dari Omnibus Law oleh DPR di luar agenda awal yang cukup mengejutkan. Bukan kejutan prestasi tetapi kejutan pelecehan aspirasi. DPR secara institusi telah mempermalukan dirinya sendiri. Ada yang dengan bernada nyinyir menyebut DPR pimpinan Puan Maharani "pembunuh mic" sebenarnya memang sudah tidak punya rasa malu. Di Medsos ada tayangan kalimat duka dari Senayan "innalillahi wa inna ilaihi roojiuun". Kalimat yang menggambarkan sedang terjadi musibah. Semula dikira ada yang meninggal. Namun ternyata yang wafat itu adalah "hati nurani" anggota dewan. Terlepas dari keberanian politik dan acungan jempol untuk dua fraksi yang menolak, maka DPR untuk kesekian kalinya menyakiti rakyat. Hobby dan kesenangan DPR yang terbaru sekarang adalah ngotot untuk membohongi rakyat. DPR ngotot untuk membuat keputusan dengan rekayasa yang terang benderang. Maka dengan berat hati, kita memang harus menilai bahwa DPR melakukan kebijakan yang licik dengan mengambil momen Covid 19 untuk memutus dengan tergesa-gesa RUU kontroversial yang menimbulkan kemarahan rakyat khususnya kelompok buruh. DPR dengan licik memindahkan waktu pengesahan RUU Cipta Kerja dari rencana semula tanggal 8 menjadi tanggal 5 Oktober 2020. Dipastikan ini adalah undangan kilat yang tidak layak untuk suatu persidangan penting. Persidangan yang hanya mengesahkan kepentingan pengusaha dan pemodal. Disamping licik, DPR juga pengecut. Karena menghindar dari aksi unjuk rasa buruh yang tersakiti. Agenda mogok nasional tanggal 6-7 dan 8 Oktober yang dibarengi dengan unjuk rasa terendus DPR. Diantisipasi dengan mempercepat Sidang Paripurna DPR. Nampaknya anggota Dewan Yang Terhormat gemetar ketakutan digeruduk masa massa aksi buruh. Hit and run. Putuskan dan lari untuk sembunyi. Sungguh memilukan. Sementara rakyat akan semakin muak dengan perilaku licik dan pengecut seperti ini. Dewan tidak mampu menampilkan wibawa yang sesuai dengan kehormatan dari panggilannya. DPR sekarang lebih parah perannya dari DPR di masa Orde Baru yang dicap tukang stempel. Eksekutif kini mengangkangi legislatif sebagai kantor cabang. Rakyat sedih dan marah harus membiayai mahal wakil-wakil yang dianggap telah menghianatinya. Stempel baru untuk DPR sekarang adalah Dewan Penghianat Rakyat. Ketika kedaulatan rakyat diabaikan dan menjadi bahan mainan, serta sarana sekedar untuk mengeruk kekayaan, maka hancurlah kepercayaan. Undang-Undang Omnibus Law yang tak lain adalah kemauan Pemerintah telah menghancurkan hukum dan politik. Sejak awal, kongkalikong antara Pemerintah dengan DPR sudah dirasakan dan dilihat oleh rakyat. Kini buruh marah. Buruh bersama elemen masyarakat lain memahami dan merasakan kemarahan tersebut. Kebodohan Pemerintah dan DPR akan terlihat akibatnya ke depan. Selamat berjudi dengan aspirasi dan kepura-puraan demokrasi. Gumpalannya adalah "mosi tak percaya" di tengah pandemi dan resesi ekonomi. Siapa menabur angin akan menuai badai. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Buruh Mogok Gegara? Koplak & Amatiran Amit!
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (07/10). Menanggapi mogok nasional buruh tanggal 6-8 Oktober, seorang politisi partai "anu" berkomentar. Begini komentarnya,"mau mogok bagaimana, wong sudah mogok otomatis, karena banyak buruh yang dirumahkan akibat dampak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat seperti yang dilakukan Anies Baswedan". Maksudnya, mogok nasional yang dilakukan buruh tanggal 6-8 Oktober itu gara-gara Anies ya? Kok demonya ke Senayan? Kok demonya di Gedung Sate Bandung? Kok demonya di Serang Banten? Ko demonya ada di banyak wilayah? Anies ini gubernur Jakarta atau presiden Indonesia? Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak anda berpikir lurus. Berpikir lurus itu memahami hukum kausalitas. Hukum sebab akibat. Ini standar yang normal-normal saja. Kecuali jika anda sudah nggak normal. Siapapun anda. Apalagi jika omongan anda laku untuk dikutip media. Anda yang saya maksudkan bukan sebagai personal. Tetapi semua rakyat Indonesia. Semua anak bangsa yang sedang dan akan menghadapi ancaman kesulitan ini. Makanya, tidak saya sebut nama dan partainya. Kalau saya sebut, hanya akan mengecilkan kualitas tulisan ini. Orang Jawa bilang, “ngono yo ngono, tapi yo ojo ngono”. Benci ya benci, tapi yang cerdas dikit gitu loh bencinya. Jangan primitif gitu loh. Mosok mogok buruh nasional tanggal 6-8 Oktober gara-gara Anies perketat PSBB. Yang bener aja ah! Anda pasti bercanda. Kalau bercanda, pinteran dikit napa! Rakyat semua tahu. Buruh demo, lalu mogok kerja akibat disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja pada hari senen tanggal 5 Oktober 2020. Siapa yang mengesahkan UU itu? Ya DPR dan Pemerintah. Mosok tukang gorengan. Kagak mungkinlah! Ada-ada aja. Buruh nggak terima, kecewa dan marah, makanya mereka demo ke DPR. Juga protes ke Jokowi, karena UU Omnibus Law Cipta Kerja ini usulan dari pemerintahan Jokowi. Ah, mosok harus dijelasin kayak anak kecil ah. Masa anggota partai politik nggak ngerti tentang tata cara pembuatan suatu UU? "Dimanapun yang namanya UU adalah sebuah produk politik. Karena itu, apapun hasilnya harus diterima", kata politisi ini lagi. Waduh.. Waduh... Mau ngomong apa lagi jal. Ikut komentar, takut dibilang "blo'on" yaa?. Nggak komentar, khawatir masyarakat ikut-ikutan blo'on. Sudahlah terpaksa saya harus komentar. Begini bung, UU memang produk politik. Tapi tidak setiap produk politik harus diterima. Anda pikir UU itu kitab suci apa? Bersifat mutlak apa? Sekali dibuat, nggak boleh dikritik begitu? Sehingga harus diterima, gitu? Ini ngaco, ngawur dan sesat cara berpikirnya bro. Bisa melalui Yudisial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ok, ini yang agak waras dikit. Tetapi, bahwa masyarakat banyak yang apatis terhadap lembaga hukum itu fakta. Ini nggak boleh terjadi, tentunya. Tetapi, pelaksanaan dan penegakan hukum di Indonesia itu betul-betul bermasalah. Apalagi jika berhadapan dengan penguasa dan kekuatan politik. Buruh mengukur diri. Anda pasti tahu itu. Kalau pelaksanaan dan penegakan hukum kita tertib, buruh dan mahasiswa mungkin tidak akan menempuh cara demo. Cukup dengan Yudisial Review ke MK. Kenapa mereka demo, karena mereka nggak begitu percaya dengan penegakan hukum di negeri ini. Anda bilang, "UU dibuat tidak selalu akan menciptakan sebuah keseimbangan dan kepuasan bagi sebagian kecil masyarakat". Anda anggap jumlah buruh itu sedikit apa? Lebih banyak jumlah borjuis dari pada proletar? Anda makin ngaco, ngawur dan amatiran saja! Jumlah buruh di Indonesia itu mayoritas. Hampir semua, jika tidak dikatakan semua, yang menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja. Kenapa? Karena UU ini jadi neraka bagi mereka para buruh. Terkait upah minimum, kontrak kerja, masa cuti, PHK, tenaga kerja asing, dan lain-lainsangat merugikan para buruh. Melihat masa depan buruh yang dipreteli hak-haknya oleh UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, mahasiswa pun ikut bergerak. Demo dan protes. Begitu juga dengan sejumlah ormas dan ulama. Ikut melakukan protes. Lalu, anda bilang, mereka minoritas? Koplak dan primitif sekali anda. Jumlah buruh di Indonesia itu 131.005.641 dari total jumlah penduduk Indonesia 271.053.473. (data BPS 27 April 2020). Belum ditambah dengan jumlah pendukungnya, yaitu mahasiswa dan ormas yang dibesarkan oleh orangtua mereka yang berstatus buruh. Bagaimana anda bilang minoritas? Mungkin anda nggak pernah lahir dari rahim orangtua yang berstatus buruh, sehingga nggak mampu membaca perasaan pedih hati mereka para buruh. Seandainya mereka minoritas sekalipun, harus juga diakomodir kepentingannya. Nggak boleh diabaikan. Sebab di Indonesia, non muslim itu minoritas. Tetapi nggak boleh diabaikan kepentingannya. Tetapi jangan malah anda balik datanya dan mengatakan muslim itu minoritas, maka nggak perlu diakomodir kepentingannya. Lalu, supaya masuk akal, dibuatlah narasinya, “yang dimaksud minoritas itu Islam radikal dan pengusung Khilafah. Itu minoritas. Ah, suka-suka anda aja. Semakin aneh lagi, anda menyimpulkan bahwa mogok nasional buruh tanggal 6-8 Oktober itu gara-gara Anies perketat PSBB. Alah maaak...... Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Kebangsaan
Panglima Tritura Sugengwaras Beri Ultimatum
by Sugengwaras Bandung FNN - Rabu (07/10). Malam itu, 5 Oktober 2020, tanpa hujan tanpa petir, telah menggelegar suara halilintar yang membahanakan di Syahkanya UU OMNIBUS LAW. Memang, bungkusnya sangat jitu dan menarik, karena menyangkut hajat hidup orang banyak, yang memberikan peluang untuk mendapatkan pekerjaan guna kelangsungan hidup kluarga Indonesia Namun setelah didalami, beberapa esensi pokok, menunjukkan kerugian martabat dan material bagi bangsa Indonesia Kini, rakyatmu bersusah payah mengadu nasib untuk memperjuangkan agar UU OMNIBUS law itu dicabut untuk disempurnakan secara layak bagi rakyat Indonesia Melalui video yang beredar, yang menurut saya sulit dikatakan rekayasa, saya sangat prihatin, pilu dan enas, melihat sikap, ucapan dan tindakan seorang tokoh nasional yang juga pimpinan rapat / sidang, apa lagi didampingi seorang tokoh sekaligus Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang seharusnya membela, melindungi dan membesarkan hati rakyatnya, justru menghentikan dan menutup nurani rakyat, meskipun ada upaya mencegah, yang diwakili oleh seorang peserta rapat bernama Beny K Harman. Mendidih dada saya menyaksikan video itu Hati saya berkata, hebat betul kau melihat dan merasakan dirimu sendiri, yang merasa paling bisa dan paling kuasa ! Cocoknya orang macam kalian harus berhadapan dengan saya, SUGENGWARAS, untuk mendapatkan pelajaran yang bermanfaat Saya khawatir, kalian akan tertawa terbahak bahak, memperhatikan rakyatmu yang berjuang kelelahan, kepanasan dan kehausan, untuk sekedar ingin ada pengertianmu, agar tidak melanjutkan / memberlakukan UU yang kontroversial itu, yang kalian sudah bisa mengukur apa ending dari perjuangan itu Ada apa dan kenapa UU itu kalian sahkan dan umumkan saat rakyatmu tidur lelap? Tidak perlu saya utarakan, tapi aku bisa meraba apa yang jadi tujuan dan maksudmu Oleh karenanya saya MENGINGATKAN: Kepada saudara saudara yang terhormat, anggota dan pimpinan DPR RI. Agar RUU HIP / BPIP yang saat ini masih tertuang dalam Proglegnas, dicabut dan dibatalkan / hilangkan. Apabila, ternyata kelak terjadi menjadi UU seperti proses UU OMNIBUS LAW ini, saya SUGENGWARAS, akan Memimpin langsung, untuk menangkap hidup hidup dan memidanakan siapapun yang terlibat. Kepada TNI POLRI, juga saya menghimbau : 1. Kawal, lindungi, ayomi dan kendalikan para pengunjuk rasa, yang menuntut dibatalkannya UU OMNIBUS LAW, karena itu hak mereka yang dilindungi dan dijamin oleh undang undang 2. TNI POLRI, hendaknya tetap teguh sebagai bhayangkara negara, garda terdepan dan benteng terakhir bangsa Indonesia, tak terseret dalam alat kekuasaan semata, tapi terlebih sebagai alat negara Saya SUGENGWARAS, Panglima TRITURA, bersama seluruh rakyat yang sepaham, senantiasa mendukung kepada Pemerintah, TNI POLRI, yang bekerja dan bertugas susuai amanat Rakyat yang Bhineka Tunggal Ika, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Merdeka!!! Penulis adalah Panglima TRITURA, dan Pemerhati Pertahanan dan Keamanan NKRI.
KAMI Yang Lincah Dan Berkelas
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN –Selasa (06/10). Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) terus memacu langkah-langkah di tengah himpitan-himpitan politik tipikal negara korporasi sejauh ini. Menancapkan kiblatnya untuk Indonesia yang hebat, yang beres dalam semua aspek, dan dipandu dengan kesadaran religisunya yang tuntas, KAMI terlihat asyik menikmati impiannya. Kami, kata Profesor Din, pria murah senyum yang sejuk wajahnya itu memikat harapan. Bukan orang-orang pengecut. Kami hanya takut pada Allah Subhanahu Wata’ala, begitu penggalan kalimat profesor Din selanjutnya. Kalimat itu memang cukup pendek. Tetapi sependek itu sekalipun, kalimat itu terlalu jelas menjelaskan kemana KAMI akan mengarungi laut hitam politik korporatis Indonesia dihari-hari mendatang. Jelas betul kalimat profesor Din tersebut menggambarkan tekad orisinilnya. Masuk Akal Tak ada jalan mundur atau berbelok di tikungan perjuangan dalam mengarungi impian. Mungkin kalimat itu dapat disematkan sebagai intisari kalimat professor Din tersebut. Ini kekuatan terbesar. Lebih besar dari kekuatan apapun yang dimiliki oleh negara yang telah terkorporatisasi. Siapapun yang berada dititik relijiusitas itu, dia melupakan semua keganasan politik korporasi dipelupuk matanya. Cahaya pengetahuan terlihat jelas menyinari mereka memandang, mengidentifikasi dan mendefenisikan masalah bangsa besar ini. Cahaya ini membawa mereka pada terminal defenitif. Negara ini sedang terbawa untuk diabdikan pada segelintir orang kaya. Bukan pada kebanyakan orang miskin. Soal-soal yang beginian, dibelahan dunia manapun hanya dapat dimengerti oleh segelintir orang yang dihikmahi pengetahuan dan kesadaran relijius. Disepanjang sejarah manusia soal-soal beginian selalu dan hanya menjadi santapan orang-orang terbatas. KAMI, untuk alasan apapun, jelas adalah orang-orang yang berkatagori terbatas itu. Terbiasa dalam khsanah ilmu pengetahuan dan problem kehidupan bernegara, KAMI tak mungkin tak mengerti bahwa demokrasi sudah sangat sering dikebiri. Demokrasi direduksi dengan berbagai cara. Stabilitas politik, sudah terlalu terbiasa digunakan oleh rejim korporasi berbaju demokrasi untuk mengebiri demokrasi dan mengisolasi orang-orang kritis. Keamanan nasional, juga sama. Ini telah menjadi metodologi standar politik rejim korporasi berbaju demokrasi. Ini mainan khas negara-negara demokratis sekelas Amerika. Rejim-rejim tipikal itu selalu dapat sesuka-sukanya menembakan peluru-peluru korporatis, yang selalu berkarakter fasistik. Menyudutkan siapapun yang teridentifikasi mengusik mereka. Baik di negara-negara liberalistik maupun komunistik, keamanan nasional dan stabilitas politik, dua entitas yang seiring sejalan ini pertama-tama diperuntukan untuk kaum kaya, khususnya para korporat dan oligarkis. Mereka yang utama dan terutama tersudut disetiap kritik terhadap tampilan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang mengorbankan rakyat. Itu karena, mereka para kaum kaya-korporat dan oligarkis inilah real goverment. Pemerintah yang sedang berkuasa, tidak pernah sungguh-sungguh dapat membuat kebijakan secara imparsial. Diakui secara halus oleh Presiden Woodrow Wilson diakhir masa jabatan kedua tahun 1921, kalau ada tangan-tangan non pemerintahan yang mengarahkan kebijakan pemerintahan. KAMI, saya yakin, tidak mungkin tak mengerti bahwa korporasi, yang sejak satu setengah abad silam telah diterima sebagai subyek hukum, adalah jenis mahluk politik paling ganas sejak saat itu hingga kini. Berstatus seperti itu ditengah demokrasi, korporasi bebas mengtatakan mereka punya hak sebagaimana haknya manusia natural untuk ikut merancang arah kebijakan pemerintah. Itu demokrasi namanya. Kalau impian mereka berbeda dengan impian kebanyakan orang, tidak apa-apa. Itulah demokrasi. Itulah indahnya demokrasi. Mereka untung, dan rakyat buntung, itu namanya demokrasi. Dan itulah indahnya demokrasi dalam pandangan mereka. Politik di alam demokrasi, saya yakin orang-orang KAMI mengerti lebih dari siapapun. Tidak pernah jauh urusan investasi diri dan meraih untung. Bukan tentang pengabdian, sebagaimana orang-orang Masyumi dulu mendefenisikan politik. Tidak. Politik adalah investasi diri, kembali modal lalu untung. Titik. Teruslah Bersuara Pemerintahan demokratis dimanapun di dunia ini, tidak pernah benar-benar dapat mengenali, apalagi mengimplementasi akutabilitas materil. Tidak. Selalu begitu dimanapun di setiap pemeritahan demokratis. Tidak pernah benar-benar bisa menarik garis batas dengan korporasi. Persis pemerintahan komunistik dimanapun, pemerintahan demokratis juga sama canggihnya dalam menyebar propaganda. Amerika, negara pengekspor utama demokrasi ke berbagai belahan dunia ini, menggila dengan propaganda kebebasan tahun 1917. Ini dilakukan pemerintahan Woodrow Wilson. Itu sebabnya merupakan merupakan master utama dalam urusan propaganda. Walter Lippman, jurnalis kawakan, yang juga penasihat Woodrow Wilson itu adalah otaknya. Ia tahu manusia tak benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itu sebabnya pengetahuan mereka harus dibentuk. Caranya? Menyebarkan dan mengulan-ulang sebuah isu, tentu untuk menyesatkan. Rakyat orang kebanyakan akan berpikir dan bertindak sesuai pesan menyesatkan yang diulang-ulang itu. KAMI tentu mengerti kemana arah, dan apa yang dimaui dari pesan terus- menerus, dalam nada negatif yang dialamatkan kepada mereka. Perlakuan kontras terhadap protocol covid, tentu layak ditertawakan sebagai lelucon kecil nan murah meriah. Disana boleh, dan KAMI tidak boleh, mungkin hanya disambut KAMI dengan tawa kecil yang menggelikan. Dalam politik korporatis, menganolagi dua hal yang mirip, sepadang dan seimbang secara particular dalam sekuen kualitatifnya, bukan sesuatu yang perlu. Ini sia-sia saja. Tidak ada faedahnya. Itu karena kebenaran telah diletakan dihulu bahwa sesuatu sebut saja A, pasti pecah-belah bangsa, sehingga otomatis salah, dan disana tidak. KAMI mengerti, dan bersuara tegas bahwa bail out Jiwasraya, sebagai kebijakan yang melukai rakyat. Korporasi ngaco, rugi, lalu uang rakyat dipakai menutupi kerugian itu, jelas tak masuk akal. Rakyat dibebankan tanggung jawab untuk hal yang tidak mereka lakukan. Angkuh betul cara berpikir ini. Rakyat kebanyakan memang tidak bersuara, tentu tak perlu menemukan alasannya. Dimana pun didunia ini selalu begitu. Itu telah diidentifikasi secara akurat oleh Walter Lippman. Tetapi tragis kalau orang-orang berpengetahuan tidak bersuara. Dititik ini bangsa harus mensyukuri adanya suara kritis KAMI. KAMI terlihat tak mau tergulung akal-akalan korporasi oligarkis yang menyertai RUU Omnibus yang superkilat pembahasannya itu. RUU yang telah disetuju bersama DPR-Presiden jadi UU yang mentorpedo 79 UU eksisting. Luar biasa. Lalu, sekedar ilustrasi kecil, pemerintah ikut menanggung beban PHK bagi pekerja. PHK dibayar, tetapi persentasenya dibagi antara perusahaan dan pemerintah. Menyertakan Pemerintah ikut menanggung biaya PHK, jelas ini skema khas korporasi. Korporasi jelas berpesta dengan skema ini. Bukan puncak kebodohan, tetapi konsep itu jelas merupakan puncak cinta terhadap sosialisme ekstrim dalam konsep penguasaan tanah. Cara buruk itu diagungkan secara serampangan sebagai investmen drive. Ini inferensi angkuh khas corporasi. Inferensi ini sangat khas sosialisme ekstrim. Konsekuensi konsep itu adalah pemilik tanah tidak boleh menggunakan hak yang melekat padanya mempertahankan tanah itu. Demi investasi, pemilik tanah harus melepas kepemilikannya. Titik. Investasi adalah segala-galanya. Inilah napas dan jiwa pasal 33 UUD 1945 khas korporasi. Pemerintah, harus diakui, memiliki begitu banyak senjata yang setiap waktu dapat dimobilisir untuk mengisolasi pemilik tanah. Semua senjata hukum dan lainnya juga bisa digerakan mengisolasi KAMI. Menariknya, KAMI terus bersuara dengan nadanya yang amat berkelas. Surat Terbuka Profesor Din yang ditujukan kepada Presiden, yang hari ini berkibar ditengah masyarakat, jelas kelasnya. Isunya jelas. Manis kalimatnya memikat dengan bingkai kesantunan khas ulama. Ya Allah Ya Rab, Rahmatilah mereka dengan keagungan-MU yang tak terbatas. Insya Allah. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Mogok Mogok Dan Mogok
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Selasa (06/10). Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja segera dibawa ke Sidang Paripurna DPR untuk dapat persetujuan dewan. Pandangan Fraksi telah terpetakan, hanya dua Fraksi yang menolak yaitu Fraksi PKS dan Fraksi Demokrat. Sedangkan fraksi lainnya koor "setujuu". Memang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) realitanya sudah terkooptasi oleh Pemerintah. Maklum saja mayoritas adalah partai koalisi partai pendukung Presiden. Kenyataan ini mengindikasikan ada yang tidak beres dalam sistem dan pranata ketatanegaraan kita. DPR menjadi Dewan Perwakilan Rezim. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) mendukung seruan dan rencana mogok nasional para buruh. Sepakat bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja adalah aturan yang dibuat hanya untuk menguntungkan pengusaha atau pemilik kapital. Undang-Undang yang sama-sekali tidak berpihak kepada pekerja. Karenanya sangat layak untuk ditolak. Banyak elemen yang juga menolak, termasuk PP Muhammadiyah yang menyerahkan hasil kajian Omnibus Law RUU Cipta Kerja kepada Pimpinan DPR. Muhammadiyah meminta DPR menghentikan pembahasan. Kegaduhan politik telah menjadi cipta kerja Pemerintah dan DPR. Mogok adalah hak konstitusional pekerja dan undang undang memberi perlindungan adanya unjuk rasa buruh yang bermodel mogok. Mogok adalah suara keras buruh terhadap ketidakadilan dan ancaman atas hajat hidup orang banyak khususnya tenaga kerja di berbagai bidang usaha. Mogok mogok dan mogok untuk melawan kerja kerja kerja. Kerja yang menyimpang dari nilai-nilai hubungan industrial yang sehat. Kerja yang hanya memperbudak tenaga kerja dengan meminimalisasi hak-hak yang dimilikinya. Kerja yang berorientasi untuk lebih menggemukan pemilik modal yang memang sudah gemuk. Kerja yang sekedar slogan dari konten pidato. Menjadi tidak jelas arah dan pelaksanaan. Hanya kerja pencitraan politik. Seruan mogok nasional dari para buruh adalah perlawanan efektif untuk menembus ketidakadilan dan ketidakpedulian penguasa dan DPR. Hubungan Industrial Pancasila yang telah dibantai oleh Hubungan Industrial Kapitalisme. Mogok adalah senjata buruh untuk menjaga martabat diri dari penindasan kaum borjuasi. Pengorbanan berat untuk berpuasa demi membela marwah komunitas yang berimplikasi pada diri dan keluarga. Mogok menjadi alat perjuangan menuju perubahan. RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah menjadi hantu yang menakutkan, dan mengganggu kenyamanan serta kebahagiaan kerja. RUU Omnibus Law Cipta Kerja harus disingkirkan. Rakyat dan kaum buruh tidak butuh Omnibus Law. Seorang Guru Besar menyatakan bahwa Omnibus Law akan menjadikan rakyat Indonesia menjadi bangsa jongos. Semangat buruh untuk mogok nasional jangan dibaca dengan kacamata negatif. Tetapi ini adalah pengingat bahwa semakin kecil peluang upaya alokasi aspirasi melalui negoisasi. Anggota Dewan, meski tidak seluruhnya, sulit untuk mandiri. Kungkungan Fraksi begitu kuat dan Partai memiliki kepentingan yang terlalu pragmatis dan transaksional. Mogok melawan RUU Omnibus Law Cipta Kerja tiada lain adalah perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Strike is a hard struggle to continue justice. Mogok mogok mogok. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Makna Jiwa Korsa Untuk Prajuri TNI (Bagian-2)
by Anton Permana Jakarta FNN- Selasa (06/10). Dalam rangka memperingati HUT TNI yang ke75, maka sebagai anak bangsa Indonesia, kita semua tentu bangga karena mempunyai tentara yang hebat, dan termasuk paling terbaik di dunia. Yaitu Tentara Nasional Indonesia. Tentara rakyat yang setia loyal kepada Pancasila dan UUD 1945. Karena jati diri TNI itu lahir dari rakyat, untuk rakyat. Sebagai tentara kebanggaan kita semua, yang diamanahkan sebagai komponen utama sistem pertahanan negara, tentu tidak heran apabila yang menjadi tentara itu adalah para putera-puteri terbaik bangsa. Mereka direkrut melalui seleksi yang sangat ketat, kemudian dilatih, dididik, dibina, dan disumpah agar menjadi tentara yang tangguh. Tentara yang terampil, profesioal, dan militan sebagai kebanggaan kita semua. Untuk itulah TNI selalu dibekali dengan kemampuan, doktrin, kedisiplinan, standar fisik, cara berpikir, serta semangat patriotik yang wajib di atas rata-rata masyarakat sipil biasa. Sebagai komponen utama alat pertahanan negara, TNI tidak cukup hanya dibekali dengan seragam loreng dan persenjataan saja. Ada satu kekuatan utama di dalam diri setiap personil TNI yang juga harus WAJIB menjadi kekuatan utama dirinya, baik secara individu, secara korps kesatuan, maupun secara institusi, yaitu “Jiwa Korsa”. Le'espirit de corps. Karena, dengan jiwa korsa inilah akan bisa terjalin kuat sebuah ikatan loyalitas, persaudaraan, rasa senasib dan seperjuangan, semangat kehormatan, antar sesama prajurit. Jiwa korsa ini bagaikan urat nadi, talian nafas, yang mengikat kuat jiwa-jiwa seorang prajurit, agar seolah menjadi satu bahagian tubuh yang kuat tangguh tak terpisahkan. Satu bahagian yang sakit, maka bahagian yang lainnya juga akan merasa sakit. Itulah jiwa korsa. Karena dengan jiwa korsa ini juga, para prajurit ini akan mempunyai daya gempur, daya tahan, daya soliditas yang kuat dalam menyelesaikan setiap tugas berat dan misinya. Artinya, jiwa korsa sejatinya adalah kehormatan bagi seorang prajurit. Jiwa korsa adalah identitas utama seorang prajurit. Jiwa korsa adalah parameter batin dan degub jantung setiap prajurit TNI. Karena jiwa korsa inilah yang menjadi pembeda antara TNI dengan masyarakat sipil lainnya. Jiwa korsa seorang prajurit TNI itu dimulai dari kesetiaannya kepada negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Kemudian baru kepada atasan dan pimpinan, kepada para senior, kakak asuh, pelatih, dan seterusnya. Sedangkan di dalam Konstitusi kita dalam pembukaan UUD 1945 jelas tertulis bahwasanya, negara Republik Indonesia ini berkedaulatan rakyat. Induk semang" TNI itu adalah rakyat. Karena TNI lahir dari rahim rakyat. Bukan cukong atau partai politik. Jadi sangat disayangkan apabila, kekuatan utama jiwa korsa seorang prajurit TNI ini sampai dikotori oleh tangan-tangan jahil politik kekuasaan. Ataupun juga campur tangan pihak luar yang sengaja mengobok-ngobok, memperalat, mengadu domba sesama prajurit. Apapun alasannya. Karena, sejatinya prajurit itu pasti akan selalu menjaga kehormatan dan wibawanya. Salah satu caranya itu adalah dengan loyal terhadap atasan, pimpinan, senior, pelatih, kakak asuh, bahkan sampai kepada anak buah dan para juniornya. Walaupun sudah pensiun sekalipun. Tradisi ini terjaga kuat selama ini, dan tradisi ini jugalah yang menjadi puncak kehormatan dan wibawa TNI di mata masyarakat. Namun sayang, semua ini tercoreng oleh tindakan oknum-oknum yang terjebak oleh sifat loyalitas buta. Pada insiden Gedung Juang DHD 45 Surabaya dan insiden ziarah purnawirawan di TMP Kalibata. Dimana dalam era pasca reformasi ini, TNI berada di bawah kendali supremasi sipil harus pandai menempatkan diri agar berdiri di tengah. Jangan sampai mau diperalat oleh politik kekuasaan golongan tertentu. Perbuatan yang menjadi aib bagi seluruh keluarga besar TNI, yaitu ketika melihat seorang mantan Panglima TNI, jendral bintang penuh, digelandang sedemikian rupa oleh petugas karena alasan yang tidak sesuai dengan fakta. Begitu juga insiden TMP Kalibata. Bagaimana seorang Dandim menghadang para seniornya dengan arogansi dan sikap diskriminatif. Padahal para purnawirawan itu ada yang mantan kepala staf (bintang empat), bintang tiga, bintang dua dan Pamen. Sungguh sebuah peringatan keras bagi semua keluarga besar TNI. Apakah masih ada semangat dan jiwa korsa itu dalam jati diri prajurit TNI hari ini ??? Apakah politik kekuasaan, iming-iming posisi jabatan, dan politik kepentingan ideologis partai politik tertentu telah berhasil merubuhkan apa yang selama ini menjadi kekuatan dan kebanggaan utama prajurit TNI ?? Semua geram, semua marah, melihat kejadian ini yang dilihat jutaan rakyat Indonesia secara telanjang. Satu pertanyaan seragam dari rakyat sekarang ini. Apakah masih ada jiwa korsa itu dalam diri prajurit TNI ? Bagaimana mau menjaga kedaulatan negara, sedangkan menjaga kehormatan keluarga besar TNI saja tidak mampu? Secara pribadi saya menjawab masih ada. Saya juga yakin masih ada dan kuat. Kejadian Surabaya dan TMP Kalibata hanyalah perbuatan oknum yang atas nama tugas, telah diperalat oleh sebuah kekuatan yang besar, sehingga kejadian memalukan itu terjadi. Untuk itulah, di hari yang penuh sejarah ini, mari kita semua merenung. mendalami lagi semangat patriotik dan jati diri seorang prajurit TNI yang telah ditanamkan oleh para pendahulu kita. Mari kita juga instropeksi, agar TNI ke depan jangan mau diperalat dan "dikerjain" lagi oleh kekuatan luar TNI. Mengadu domba sesama prajurit TNI antara senior dan junior ? Ini sama saja menepuk air di dulang. Mari kembalikan semangat dan jiwa korsa sesama prajurit TNI. Karena hanya dengan itu, wibawa dan kehormatan TNI kembali berdiri tegak. Untuk menjadi tentara kebanggan seluruh rakyat Indonesia, jiwa korsa TNI adalah untuk negara, rakyat, dan keluarga besar TNI. Bukan untuk cukong dan politisi. Dirgahayu TNI ku yang ke-75. Harapan dan do'a rakyat Indonesia akan selalu menyertaimu. Jaga negeri ini dengan jiwa ragamu. Salam Indonesia Jaya! Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.
UU Omnibus Law, Perbudakan Buruh Di Negeri Sendiri
by Edy Mulyadi Jakarta FNN - Senin (05/10). Sabtu malam, 3 Oktober 2020, DPR dan pemerintah sepakat meloloskan RUU Omnibus Law dibawa ke Sidang Paripurna DPR, 8 Oktober untuk disahkan. Tragedi tengah malam kembali terjadi. Tengah malam itu, kembali para elit bersekongkol secara jahat untuk menindas rakyatnya sendiri. Tampaknya DPR dan Pemerintah untuk kesekian kalinya kembali mengkhianati rakyat dengan menyepakati RUU Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja. Persis sama seperti KPU yang mengumumkan hasil Pemilu bermasalah yang sarat dengan kecurangan. Beberapa pasal UU Cipta Kerja yang dipastikan bakal menyengsarakan buruh antara lain, dihilangkannya pesangon , dihapuskannya UMP, UMK, dan UMSP serta upah buruh yang dihitung per jam. "Selain itu, RUU ini juga menghapuskan semua hak cuti tanpa ada kompensasi. Di antaranya cuti sakit, cuti kawinan, khitanan, cuti kematian, dan cuti melahirkan hilang dan tidak ada kompensasi. Hal lain yang tidak kalah memprihatinkannya, UU Omnibus Law ini akan memberi hak kepada pengusaha untuk mengganti _outsourcing_ dengan kontrak seumur hidup. Buruh akan berstatus kontrak, yang terus-menerus diperpanjang. Masih banyak pasal lain yang sangat mengeksploitasi dan menindas buruh. Antara lain, semua karyawan berstatus tenaga kerja harian, libur hari raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti. Selain itu, tenaga kerja asing bebas masuk, dan istirahat hari Jumat hanya satu jam, termasuk sholat Jumat. Dengan semua penindasan itu, buruh dilarang protes. Pasalnya, RUU Cipta Kerja memberi hak kepada pengusaha untuk melakukan PHK kapan saja, tanpa ada kewajiban memberi pesangon. Semua sanksi bagi pengusaha di RUU ini juga dihapuskan. Dengan konten yang menindas buruh seperti itu, pada hakekatnya RUU ini adalah pintu masuk bagi perbudakan terhadap buruh kita. DPR dan Pemerintah sudah kehilangan nurani dan akal budinya. Entah rakyat mana yang diwakili para anggota Dewan itu. Sementara para pejabat pemerintah yang gaji dan segala fasilitasnya dibiayai rakyat, ternyata justru secara kejam menyengsarakan buruh yang jelas-jelas bagian dari rakyat itu sendiri. Tak pelak lagi, UU ini adalah perbudakan gaya baru di era modern. Kita harus lawan. Kita dukung penuh perjuangan buruh menolak RUU Cipta Kerja. Penulis adalah Presidium Aliansi Selamatkan Merah Putih (ASMaPi)