NASIONAL

Ronnie Rusli, “Hanya Monyet Indonesia Yang Perlu Vaksin”

by Mochamad Toha Surabaya – Sabtu (24/10). Seorang relawan uji klinis vaksin COVID-19 AstraZeneca di Brazil meninggal dunia. Seperti keterangan para pejabat pada Rabu (21/10/2020), dikutip dari The Guardian, relawan yang meninggal dilaporkan bernama Dr. Joao Pedro Feitosa. Pedro petugas medis berusia 28 tahun yang merawat pasien Covid-19. Surat kabar Brasil, O Globo melaporkan, relawan itu telah diberi plasebo, bukan vaksin COVID-19 eksperimental. Uji klinis vaksin yang dikembangkan AstraZeneca bersama Universitas Oxford itu disebut-sebut akan tetap dilanjutkan. Sebelumnya, otoritas kesehatan Brasil, Anvisa mengabarkan seorang relawan yang turut serta dalam uji coba klinis vaksin Covid-19, yang dikembangkan AstraZeneca dan Universitas Oxford meninggal dunia. Seperti diikutip dari Reuters, CNN Brazil melaporkan bahwa dokter muda itu tinggal di Rio de Janeiro. Pedro meninggal karena komplikasi Covid-19. Sayangnya Anvisa tak merinci lebih lanjut. Pasalnya lembaga terikat kerahasiaan medis. Universitas Federal Sao Paulo, yang membantu mengordinasikan uji klinis di Brazil tersebut membenarkan relawan warga Brazil. Tetapi menolak memberi informasi detil. Pihak Universitas menyerahkan kelanjutan uji coba ke dewan peninjau independen. Mengutip dari AFP, relawan yang meninggal itu bekerja merawat pasien Covid-19 di ruang gawat darurat. Media lokal menyebut, Perdro adalah dokter muda, dan baru saja merampungkan studi tahun lalu. Sebelum tertular ia sehat dan tetap bekerja. Sementara itu, AstraZeneca menolak berkomentar. Namun, Universitas Oxford mengatakan, insiden itu sudah ditinjau secara independen, dan akan melanjutkan uji klinis. Setelah penilaian secara cermat atas kasus kematian di Brazil, tulis pernyataannya, tak ada kekhawatiran tentang keamanan uji klinis dan tinjauan independen, selain pemerintah telah merekomendasikan agar uji coba tetap dilanjutkan. Brazil sebelumnya memiliki rencana untuk membeli vaksin AstraZeneca dari Inggris tersebut dan memproduksinya. Sejauh ini sudah ada 8.000 relawan yang disuntik vaksin, dari target 20.000 orang. September 2020, vaksin eksperimental AstraZeneca dan Oxford ini sempat dihentikan pengujiannya. Pasalnya seorang relawan di Inggris mengalami sakit misterius. Tetapi, dalam penelitian vaksin biasanya memang tidak hanya vaksin yang diberikan. Relawan biasanya dibagi dalam dua kelompok, satu mendapat vaksin perusahaan penguji, dan satu lagi suntikan plasebo. Presiden Brazil Jair Bolsonaro menyatakan, tak akan beli vaksin Covid-19 buatan China. Sehari setelah itu Menteri Kesehatan Brasil menyebut vaksin asal China itu akan ditambahkan pada program imunisasi. Menanggapi pendukungnya di media sosial yang mendesaknya agar tidak membeli vaksin Sinovac, Bolsonaro mengatakan, “kami tidak membeli vaksin China”. Sang presiden menyebut vaksin tersebut belum merampungkan uji coba. Namun Brazil termasuk negara yang paling parah terkena dampak virus corona. Hampir 5,3 juta kasus positif di Brazil, tertinggi ketiga di dunia setelah AS dan India. Menurut data Universitas Johns Hopkins, Brazil juga tercatat pada peringkat kedua dunia setelah AS dalam hal angka kematian, yakni hampir 155.000 kematian hingga 21 Oktober 2020. Selasa (20/10/2020), Menteri Kesehatan Brazil Eduardo Pazuello mengatakan pemerintah federal telah mencapai kesepakatan dengan pemerintah Negara Bagian Sao Paulo untuk membeli 46 juta dosis vaksin CoronaVac yang sedang diuji pusat riset Brazil, Institut Butantan. Vaksin yang akan diproduksi Butantan tersebut masih harus disetujui oleh badan regulator kesehatan agar dapat digunakan masyarakat. Gubernur Sao Paulo Joao Doria mengatakan, program vaksinasi dapat dimulai pada Januari 2021, yang menjadikan program itu sebagai salah satu vaksinasi Covid-19 pertama di dunia. Akan tetapi, pada Rabu (21/10), Presiden Bolsonaro mencuit di Twitter bahwa setiap vaksin harus disetujui oleh badan regulator kesehatan dan diuji keampuhannya oleh kementerian kesehatan sebelum tersedia untuk masyarakat. “Rakyat Brazil tidak akan menjadi kelinci percobaan siapapun,” tegas Presiden Bolsonaro. Berbeda dengan Indonesia, Vaksin Sinovac sangat ditunggu-tunggu kedatangannya untuk segera disuntikkan pada warganya. Mengutip Gelora.co, Rabu (21/10/2020), Pemerintah Indonesia tengah melakukan tahap finalisasi pembelian tiga vaksin corona dari beberapa perusahaan vaksin di China Ketiga vaksin China tersebut Sinovac, Sinopharm, dan CanSino seperti disebut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto telah menyelesaikan uji klinis fase tiga di sejumlah negara. Tim finalisasi pembelian vaksin tersebut terdiri dari Kementerian Kesehatan, Kementerian BUMN, Kementerian Maritim dan Investasi, Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan BPOM. “Bahkan, vaksin ini sudah digunakan di negara asalnya,” kata Yuri dalam jumpa pers daring yang ditayangkan Kompas TV, Senin (19/10/2020). “Tujuannya, kita mencari vaksin yang bisa digunakan secara aman untuk penduduk kita. Aman dalam dua perspektif, dari sisi manfaat terhadap pencegahan untuk menjadi sakit karena Covid dan aman dari sisi kehalalan,” jelas Yuri. Dari ketiga vaksin corona China yang melakukan uji klinis yang dilakukan di luar negara asalnya, salah satunya Sinovac dilakukan di Indonesia. Vaksin Sinovac, kata Yuri, telah menyelesaikan uji klinis fase 3, selain di China juga di Brazil. Indonesia, lanjut Yuri, baru selesai pada Desember ini. Dilaksanakan di Bandung Bio Farma dan Universitas Padjajaran. Sementara, akademisi yang juga mantan Eselon 1 Kemenko Maritim dan Eselon 1 Kemenko Ekuin Ronnie Higuchi Rusli punya pandangan lain terkait rencana pembelian vaksin tersebut. Melalui akun Twitternya, @Ronnie_Rusli, dosen Universitas Indonesia tersebut menyatakan, pengadaan vaksin merupakan bisnis besar oleh kalangan tertentu. Rusli membuka pandangan tentang sistem impor vaksin yang menurutnya hanya dilakukan oleh importir, bukan pemerintah. “Catat, vaksin itu bisnis besar para taipan yang gelontorin duitnya untuk impor. Bukan uang dari Anggaran Kemenkes untuk impor Vaksin,” tulis Ronnie dikutip Wartakotalive.com, Rabu (21/10/2020). Karena Kemenkes bukan importir obat/vaksin. Jadi para importir itulah yang pakai tangan pemerintah untuk wajib vaksinasi. Kalau mau, liat Singapore dan Brunei. Statement Ronnie pun membuat sejumlah pengikutnya tercengang. Mereka bertanya untuk memastikan bahwa uang pembelian vaksin itu bukan dari Kemenkes. “Bukan uang dari Anggaran Kemenkes untuk Impor Vaksin?” tanya seorang warganet. “Bukan, Vaksin itu dibeli. Memangnya Kemekes yang menyediakan obat-obatan Kemotherapi di RSUP/RSUD atau obat sakit jantung, segala vaksin yang ada di RS? Kemekes hanyalah regulator kesehatan. Kalau obat-obatan itu urusan POM,” jelas Ronnie. Ronnie kemudian mengutip pernyataan pendiri Tesla, Elon Musk, yang dengan tegas mengungkapkan tak akan pernah menggunakan vaksin virus corona, meski nantinya vaksin itu tersedia. “Tesla founder Elon Musk has said that “neither he nor his family will likely take future coronavirus vaccines” even when they are readily available, saying the pandemic has “diminished [his] faith in humanity,” kutipnya. “Hanya monyet di Indonesia yang perlu divaksin, yang bukan monyet gak perlu,” ungkap Ronnie. Menariknya, Pemerintah China sendiri sudah menyatakan, China tidak akan menyuntik vaksin rakyatnya. Sasaran Vaksinasi Pemerintah Indonesia memberi prioritas sesuai dengan ketersediaan vaksin, penduduk dan wilayah berisiko, tahapan pemakaian dan indeks pemakaian. Idealnya: Seluruh Penduduk; Optimal: 80% Penduduk Berisiko Tertular. Pertama, Garda terdepan: Medis dan Paramedis contact tracing, pelayanan publik termasuk TNI/Polri, aparat hukum 3.497.737 orang dengan kebutuhan vaksin 6.995.474 dosis. Kedua, Masyarakat (tokoh agama/masyarakat), perangkat daerah (kecamatan, desa, RT/RW), sebagian pelaku ekonomi) 5.624.0106 orang dengan kebutuhan vaksin 11.248.020 dosis; Ketiga, Seluruh tenaga pendidik (PAUD/TK, SD, SMP, SMA dan sederajat PT) 4.361.197 orang dengan kebutuhan vaksin 8.772.3942 dosis. Keempat, Aparatur pemerintah (Pusat, Daerah dan Legislatif) 2.305.689 orang dengan kebutuhan vaksin 4.611.378 dosis. Kelima, Peserta BPJS PBI 86.622.867 orang dengan kebutuhan vaksin 173.245.734 dosis; Sub total jumlah di atas 102.451.500 orang dengan kebutuhan vaksin 204.903.000 dosis; Jika ditambah Masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya 57.548.500 orang dengan kebutuhan vaksin 115.097.000 dosis. Jadi, total suluruhnya 160.000.000 orang dengan kebutuhan vaksin 320.000.000 dosis. Wajar jika Ronnie tadi menyebut, pengadaan vaksin merupakan bisnis besar oleh kalangan tertentu. Yang perlu dicermati adalah kematian di Brazil itu disebabkan vaksin, patut dicurigai, vaksinasi itu tidak ubahnya menanam virus corona di tubuh warga. Itulah mengapa China tidak memvaksin rakyatnya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Jokowi, Presiden Yang Menggergaji Demokrasi

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (24/10). Tentu bukan Jokowi sendiri, tetapi bersama-sama dengan elemen rezim yang lain, apakah taipan, pengendali asing, partai politik ataupun lembaga perwakilan rakyat. Yang pasti, dibawah Pemerintahan Jokowi, demokrasi terancam terpotong-potong, bahkan tercabik-cabik. Kadang dengan bahasa "bertindak tegas". Namun pada hakekatnya adalah memaksakan kehendak. Sayangnya, meskipun dengan setuju ancaman datang bertubu-tubu, namun rakyat tidak takut untuk tampil menyatakan kebenaran. Tidak takut menuntut keadilan dari pemerintahan Jokowi. Juga tidak takut menyatakan, pemerintah Jokiwi telah salah dalam tate kelola negara. Semakin diancam, bukanya takut. Malah semakin berani menyatakan perlawanan. Masyarakar umum, besama-sama dengan para buruh, mahasiswa dan pelajar bahkan berani melakukan perlawanan. Bahkan kalangan Guru Besar yang tadinya mendukung Jokowi pada Pilpres kemarin, kini berbalik menyerukan pembangkangan sipil (civil disobedience) kepada pemerintahan Jokowi. Guru Besar Universitas Gajagh Mada (UGM), Profesor Dr. Zainal Mochtar terang-terangan menyatakan pembangan sipil diperlukan atau apalah namanya (tirto.id 06/10/2020). Aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) Haris Azhar malah menyerukan pembangkangan dengan tidak membayar pajak. Semua itu sebagai bentuk nyata ungkapan tidak takut kepada tekanan dari pemerintah. Majalah The Economist edisi 15 Oktober 2020 menyatakan, otoritarisme yang dibangun pemerintahan Jokowi, ditandai dengan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juga penggunaan institusi kepolisian untuk membungkam pengkritik. Kurang memperhatikan hak-hak perempuan, kelompok minoritas dan kebebasan masyarakat sipil. Kemudian pemerintah Jokowi, menurut Majalah The Economist yang bermarkas di Inggris yang terbit sejak tahun 1843 tersebut, juga mengebiri Mahkamah Konstitusi (MK). Mengurangi hak-hak buruh, mempersempit desentralisasi. Yang terakhir adalah mengancam independensi Bank Indonedia (BI). The Economist juga menyatakan "Indonesia is lurching back into authoritarianism with Joko Widodo at the helm". Gambar ilustrasinya adalah pilar penopang istana yang sedang digergaji menjadi beberapa bagian oleh seorang tukang kayu. Tentu saja tulisan The Economist ini dapat menjadikan istana kebakaran jenggot. Pilar demokrasi yang digergaji Jokowi dirasakan oleh sebagian masyarakat baik cendekiawan, buruh, purnawirawan, agamawan, mahasiswa, maupun aktivis lainnya. Banyak Perppu dan terbitnya aturan perundang-undangan yang acak-acakan seperti Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) adalah cermin dan bukti dari penggergajian tersebut. Tiga hasil dari penggergajian demokrasi itu. Pertama, democrazy yaitu rakyat yang menjadi gila karena kepemimpinan yang gila-gilaan. Kedua, mobokrasi yakni kekuasaan kaum gerombolan melalui tampilan premanisme hukum, politik, dan budaya. Ketiga, korporatokrasi tukang kayu yang hanya berfikir bisnis. Korparat harus diuntungkan dan rakyat menjadi obyek proposal investasi dan hutang luar negeri. Menurut media Inggris ini, Jokowi memang berubah dari tukang meubeul sederhana yang merakyat "man of the people" menjadi petahana yang terpencil dan jauh dari rakyat "surrounded by courtiers from capital's intertwined bussiness and political elites". Jokowi yang terkepung dan tersandera. Dalam sejarah perubahan politik, sebenarnya situasi ini adalah sinyal dari semakin dekatnya kejatuhan. Sulit membayangkan kemampuan Jokowi untuk dapat membalikkan "distrust" sekarang ini menjadi simpati dan kokoh berdiri di kaki sendiri. Melepas kendali jalinan bisnis dan tekanan elit politik. Menggergaji demokrasi bukan solusi. Tetapi justru jalan melawan konstitusi dalam mempercepat gerak menuju lokasi kuburan sendiri. "Jokowi sama dengan Soeharto," kata The Economist. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Menuju Kongres Pemuda Era Digital

by Chaerudin Affan Jakarta FNN – Jum’at (23/10). Pada era awal-awal pergerakan modern di tahun 1910-1920-an, terdapat banyak organisasi pendidikan atau organisasi kepemudaan di Indonesia. Semangat mereka adalah menuntut perbaikan hidup, keadilan, dan kesetaraan. Pada tahun-tahun itu pula para pendiri negara sudah mulai bergerilya hingga Eropa sana. Kaum pemuda terpelajar melakukan konsulidasi dan penyadaran kepada masyarakat. Diperlukan adanya kesadaran perlawanan terhadap penindasan yg dilakukan penjajah kala itu. Maka pergerakan pemuda dilakukan hampir di setiap daerah. Gerakan mogog kerja juga tercatat pernah dilakukan dalam sejarah penjajahan ketika itu. Hingga akhirnya konsepsi negara republik Indonesia berhasil di sounding oleh pemudan dan terpelajar di pertengahan 1920-1930. Tan Malaka yang tercatat pernah menyurukan melalui bukunya “Naar de Republike Indonesia” di tahun 1925. Setelah itu, berikutnya dilantangkan kembali oleh Soekarno. Konsepsi sebuah negara merdeka, menjadi nafas baru dari gerakan pemuda dan intelektual Nusantara. Dengan sigap para tokoh muda seperti Kartosoewirjo, Mohammad Roem, J. Leimena, Soegondo Djojopoespito, Djoko Marsaid, Adnan Kapau Gani, M. Yamin, Amir Syarifuddin Harahap, W.R Supratman, S. Mangoensarkoro, Sie Kong Liong, dan Kasman Singodimedjo merumuskan sumpah pemuda yang merupakan kristalisasi dari pembahasan dalam kongres pemuda kedua 1928. Kongres pemuda melibatkan organisasi-organisasi kepemudaan yang berbasis kesukuan dan organisasi pendidikan. Dalam kongeres tersebut hadir Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Borneo, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), dan Pemuda Kaum Betawi. Konsulidasi membunyikan gong persatuan perlawanan terhadap penindasan yg dilakukan penjajah. Lalu mendeklarasikan diri sebagai satu bangsa, terjadi pada tahun 1928. Dengan semangat persatuan, mereka berikrar, "Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia." Zaman terus berganti, hingga beberapa puluh tahun kemudian ikrar tersebut bertemu dengan ridho Tuhan. Kemerdekaan pun menjadi kenyataan. Malam itu sebelum pidato kemerdekaan Soekarno dan Hatta di bacakan, kaum muda mengambil peran untuk membujuk kedua tokoh nasional agar segera mendeklarasikan kemerdekaan. Sukarni, Yusuf Kunto, dan kawan-kawan yang menjadi tokoh muda saat itu berhasil membujuk Soekarno dan Hatta untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan. Berselang 25 tahun dari kemerdekaan Indonesia, situasi guncang ganjing. Kondisi sosial, ekonomi dan politik bermasalah. Lagi-lagi, kaum muda kembali menunjukan perannya. Keritik pedas terhadap situasi tersebut berlangsung bertahun-tahun mewarnai surat kabar nasional. Konsepsi-konsepsi pemikiran kaum terpelajar yang terpadu dengan kepekaan terhadap situasi masyarakat menjadi pendobrak, menuju harapan baru. Tidak juga kita lupa pada tahun 1974. Kalangan mahasiswa bersama rakyat melakukan keritik keras terhadap investasi besar-besaran dari luar negeri, khususnya Jepang. Dan tentu belum lekang dari ingatan kita pergolakan menuju reformasi 1998. Kaum muda juga menjadi motor dalam perubahan. Kini 92 tahun sudah sejak Ikrar para pemuda saat itu dikumandangkan 1928. Zaman juga sudah berganti berkali-kali. Negara tercinta sudah mengalami cobaan yang tidak sekali. Era digital katanya, saat dunia seolah dilipat dengan kemajuan teknologi. Saat ini siilaturahmi dan diskusi bisa dilakukan dari jarak jauh. Informasi yang dulunya hanya dimiliki kaum elit, kini bisa dengan terbuka diakses lewat internet. Konsepsi bisa disebarkan melalui media sosial. Namun tantangan yang dihadapi juga berbeda dengan zaman sebelunya. Tantangan semakin berat. Zaman yang sudah berganti lalu membawa kemajuan teknologi menjadi sebuah keniscayaan yang terbukti. Namun pokok-pokok permasalahan juga seling barganti tidak jarang terulang lagi. Keadilan, kesetaraan, kemiskinan, kelaparan, dan penindasan belum juga terselesaikan. Semangat kebersamaan untuk membawa Indonesia mencapai cita-citanya perlu lagi diingatkan. Memperingati Sumpah Pemuda 1928 adalah cara mencari spirit kebersamaan untuk menyelesaikan permasalahan yang kerap menyandra Indonesia untuk melangkah ke depan. Suara pemuda perlu lagi digaungkan. Gagasan-gagasan pemuda perlu lagi dipertemukan. Tentu tidak lagi dengan entitas kesukuan, karena sejak 1928 kita sudah berikrar menjadi satu bangsa. Perjalanan kekini sering memisahkan kaum muda atas profesinya. Hal itu digambarkan dengan besarnya ego sektoral yang kerap menjadi momok penghabat sinergisitas dan akselerasi pembangunan. Untuk itu, bersamaan tulisan ini, saya mengundang kawan-kawan pemuda dari lintas profesi untuk bergabung dalam diskusi merefleksikan Sumpah Pemuda yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Kepemudaan (PUSKAMUDA) FISIP Universitas Indonesia. Diskusi akan diselenggarakan secara online melalui media zoom, pada tanggal 28 Oktober 2020. Kami berharap suara anda bergabung di ruang diskusi. Salam Pemuda... Bahwa sesungguhnya pemuda adalah harapan untuk Indonesia mencapai cita-citanya, yang adil dan makmur. Amin Peulis adalah Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pusat Kajian Kepemudaan (PUSKAMUDA) FISIP Universitas Indonesia

Mahfud MD Hanya Bisanya Ngalor-Ngidul

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (23/10). Dalam acara Karni Ilyas Indonesia Lawyers Club (ILC), Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keadamana (Polhukam) Mahfud MD kesannya menyalahkan publik atas kritik kepada Pemerintah dengan jalan pikiran bahwa semua Pemerintah selalu disalahkan. Mahfud MD berapologi bahwa siapapun yang duduk di Pemerintahan tidak akan mampu memperbaiki keadaan. Skeptisme sebagai alasan pembenar. Padahal ciri pemerintah demokrasi adalah kuanya masyarakat sipil (civil socety) melakukan kontrol sosial atas jalannya pemerintahan. Kecuali untuk bentuk pemerintahan yang otoritas, check and balances tidak dibutuhkan. Mahfud mencontohkan Amin Rais sebagai "Bapak Reformasi". Meskipun menjadi Ketua Mejelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tetapi tetap tidak mampu mengatasi korupsi dan kronisme. Gatot Nurmantyo yang Panglima TNI juga tidak dapat menangkap kader Partai Komunis Indonesia (PKI) atau yang berfaham komunis. Begitu juga dengan Rizal Ramli sampai mantan Hakim Agung Artijo Alkostar disebut-sebut oleh Mahfud. Kemudian Mahfud menunjukkan fakta bahwa semua Pemerintah dikritik. Bahkan ada pula yang sampai dijatuhkan. Karenanya dimaklumi, kalau Pemerintahan Jokowi juga selalu saja disalahkan. Konon hal ini menjadi konsekuensi dari pelaksanaan asas demokrasi, dan opsi sebaliknya adalah Pemerintahan yang otoriter. Sesuatu yang dapat ditafsirkan sebagai ancaman Mahfud. Yang lucu dan menggelikan lagi, secara sumier disebut semua Presiden turun atau diturunkan dengan tuduhan melanggar Pancasila. Entah data sejarah darimana Mahfud berkesimpulan sesederhana itu. Malah tidak ada satupun Presiden yang turun akibat melanggar Pancasila. Sekelas Soekarno pun diturunkan karena berhubungan dengan kasus G-30/S PKI. Soeharto turun soal krisis ekonomi dan korupsi. Rakyat marah karena otoritarisme pemrintahan Soeharto, dengan menjadikan ABRI penopang kekuasaan 32 tahun. Habibie diturunkan karena efek dari referendum Timur-Timor. Demikian pula Presiden yang lain lebih spesifik lagi. Bahkan ada yang lengser dengan normal seperti Megawati Soekarnoputri dan Soesila Bambang Yudhoyono. Bahwa rakyat melakukan kritik terhadap setiap Pemerintahan, bukan menjadi alasan pembenar dari Pemerintahan Jokowi sekarang. Bahwa seakan-akan pemerintahan Jokowi telah benar dalam melaksanakan tata kelola pemerintahan yang benar sesuai undang-undang yang berlaku. Presiden Jokowi lebih parah dari persiden-presiden sebelumnya. Apa yang dikemukakan Mahfud MD ini dinilai hanya ngalor-ngidul, apologetik saja. Tidak ilmiah, dan bukan pandangan yang rasional, apalagi solutif. Mahfud MD sebenarnya mengakui akan ketidakmampuan dirinya. Hanya saja Mahfud tampil dalam kepribadian yang terbelah, antara kepakaran di bidangnya dengan kedudukannya sebagai bagian dari Pemerintahan. Akibatnya, argumen yang dikemukakan menjadi naif dan cenderung menembak orang lain hanya untuk membenarkan dirinya dan pemerintah sekarang. Mahfud MD semakin tenggelam dalam kolam keruh kabinet pimpinan Jokowi. Terengah-engah mendalihkan pembenaran. Sayangnya, bukan berdasar pada dalil kebenaran. Kelu lidah untuk menyatakan kejujuran dan keadilan secara konsisten. Publik kini sedang melihat perkembangan politik yang semakin memanas akibat kebijakan yang tidak pro rakyat. Kebijakan yang hanyap bersikap pragmatik. Kebijakan yang hanya pro kepada oligarkis, korporasi dan konglomerasi busuk, licik, picik, culas dan tamak. Mahfud sang Menko Polhukam nampaknya terus dan senang berputar-putar ngalor-ngidul di pusaran air yang hampir menenggelamkan kekuasaan. Selamat atau tidaknya sang Guru Besar ini tergantung pada kesadaran dirinya untuk membelah atau tidak berkepribadian. Yang pasti Mahfud mulai kehilangan cara berpikir yang sehat sebagai seorang Guru Besar. Ilmuan yang mengabdi kepada kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan. Argumen yang tidak ajeg dan ngalor-ngidul membuat Mahfud MD kehilangan jati dirinya. Sementara lingkungan dan jabatan telah memenjarakan fikiran, fisik dan psikisnya. Kemudian, ia semakin jauh saja dari simpati publik. Oh, Mahfud yang malang. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

KAMI Itu Gerakan Moral, Bukan Makar

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (23/10). Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) itu gerakan moral. Karakter sebuah gerakan moral itu mengedepankan cecks and balances terhadap penguasa. Gerakan moral itu beradu data tentang pelaksanaan pembangunan dan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar. Nggak lebih dari itu. Ketika peran dan fungsi kontrol yang diberikan konstitusi kepada DPR yang makin lemah, maka KAMI lahir. Kelahiran KAMI diperlukan masyarakat untuk menjadi partner dan mitra diskusi yang kritis terhadap pemerintah. Pemerintah nggak boleh kerja tanpa pengawasan. Ngga boleh kerja yang menyusahkan dan menyengsarakan rakyat. Jika itu terjadi, maka sangat bahaya. Pemerintah berhak salah. Karena itu, perlu dikontrol, diingatkan, dikritik dan diberi masukan agar tidak semakin salah. Karena itu, pemerintah butuh mimbar kampus, kebebasan pers, Lembaga Swdaya Masyarakat (SM) dan organisasi seperti KAMI yang berfungsi injek rem kalau pemerintah ada kesalahan. Resikonya kalau rem blong, negara bisa nabrak sana sini. Sikat sana sikat sini. Siapapun yang lagi di depannya, bisa kena tabrak. Ini gawat. Nah, hukum yang baik bisa menjadi rem. Tetapi, itu gak cukup. Apalagi kalau produk, pelaksanaan dan penegakan hukum bermasalah. Dalam kondisi obyektif seperti itu, harus ada sejumlah orang atau kelompok yang ambil peran untuk injek rem. Kalau rem nggak pake, yang injak rem disingkirkan, ya blong. Pemerintah berjalan nggak terarah. Disini pentingnya kritik, masukan, bahkan demo dari para buruh, mahasiswa, pelajar dan masrakat umunya. Selama tidak anarkis, demo dilindungi undang-undang. Melihat KAMI, lihatlah sosok Din Syamsudin dan Rahmat Wahab. Nggak ada potongan makar. Nggak ada potongan untuk makar dan jatuhkan presiden. Din Syamsudin itu mantan Ketua MUI dan mantan Ketua PP Muhammadiyah. Hingga hari ini tercatat sebagai Guru Besar FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Begitu juga Rachmat Wahab. Tokoh NU dan Guru Besar Univeristas Islam Indonesia (UII) Jogyakarta. Keduanya akademisi. Manalah mungkin kedua sosok akademisi yang berlatarbelakang ormas moderat tersebut melakukan makar atau mau menjatuhkan Presiden? Jadi, kalau ada pihak yang menuduh KAMI itu berbahaya, tentu berlebihan. Begitu juga tuduhan KAMI berada di balik demo UU Omnibus Law Cipta Kerja itu sangat mengada-ada. Nggak ada atribut KAMI disitu. Nggak ada instruksi dan pernyataan, baik resmi maupun tidak resmi dari KAMI untuk turun dan melakukan demo. Sebaliknya kalau ada warna-warni KAMI di arena demo, bisa-bisa demonya batal. Sebab, baik buruh, mahasiswa dan pelajar, tidak mau ditunggangi oleh kepentingan lain. Pendemo itu inginnya gerakan mereka murni karena kesadaran sendiri. Bahkan yang terdengar malah himbauan dari senior-senior KAMI kepada seluruh anggota KAMI untuk tidak melakukan demo atas nama KAMI. Kalau kemudian ada sejumlah anggota KAMI yang demo, tentu KAMI secara organisatoris nggak bisa melarang. Karena itu hak individu masing-masing yang dijamin oleh undang-undang. Melarang anggota KAMI berdemo menentang UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) itu melanggar Undang-Undang. Tak boleh ada yang membajak KAMI yang mulai membesar ini untuk kepentingan politik individu. Apalagi sampai melakukan makar. Sebab, KAMI gerakan moral, dan menghindari gerakan yang berpotensi "dituduh" hendak melakukan makar. Lalu, kenapa sejumlah orang dari KAMI ditangkap? Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan lain-lain dalam tiga hari ditangkap. Pertanyaannya, mereka ditangkap atas kesalahan apa? Dilihat dari pasal yang dikenakan, mereka dituduh melanggar UU ITE. Bukan sebagai penggerak demo. Nggak ada pasal makar yang disangkakan. Yang pasti, mereka tidak ditangkap bukan karena alasan menjadi deklarator KAMI. Sebab, KAMI bukan perkumpulan dan organisasi terlarang. Kalau deliknya adalah pelanggaran UU ITE, kenapa delapan tokoh yang ditangkap itu semuanya adalah anggota KAMI? Malah sebagian adalah deklarator? Banyak pihak yang mengkritik bahwa penangkapan para tokoh KAMI itu politis. Mereka tidak layak ditahan, apalagi diborgol, kata Jimly Assidiqy, mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu yang sekarang jadi anggota DPD. Banyak koruptor yang tidak diborgol polisi. Memang, di publik, muncul banyak pertanyaan. Bandit koruptor tidak diborgol, kenapa beda pendapat harus diborgol? Begitulah opini yang sempat ramai beberapa hari terakhir ini. Namun itu adalah haknya penyidik untuk mau borgol atau tidak borgol tersangka. Namun lepas dari semua yang dianggap "janggal", kita berharap hukum kita tetap tegak. Dan hukum hanya tegak apabila di tangan penegak hukum yang tegak dan steril dari intervensi kekuasaan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Ahmad Yani, Muadzin Moral Bangsa

by Tamsil Linrung Jakarta FNN – Jum’at (23/10). Siatuasi krisis selalu memunculkan anomali. Dari rahim yang sama, lahir dua sosok di kutub yang berbeda.Yaitu sosok pahlawan yang berdiri di garis depan kebenaran, versus sosok pecundang yang bersembunyi di balik tirai kegelapan. Pecundang ini tak jarang menjadi bagian dari krisis tersebut. Begitu sejarah mencatat dan memberikan pembelajaran. Krisis ekonomi dan krisis politik tahun 1998 misalnya, memunculkan tokoh-tokoh pahlawan reformasi dari berbagai kalangan. Terutama mahasiswa, akademisi dan cendekiawan. Namun pada saat yang sama, kita juga melihat bagaimana konglomerat dan pengusaha hitam, memanfaatkan keadaan untuk mencari keuntungan. Mereka merampok uang negara. Mega skandal keuangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah catatan kelam yang berulang. Kisah kejahatan di tengah hamil besar bangsa meniti jalan demokrasi. Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan, megaskandal BLBI merugikan negara Rp 138,442 triliun. Itu kerugian langsung. Kerugian tidak langsung ditengarai mencapai Rp 640,9 triliun (Tempo). Hari-hari ini, di tengah krisis multidimensi, ada krisis kesehatan akibat Covid-19, krisis ekonomi, dan krisis politik, dua sosok itu kembali muncul. Saya tidak ingin berbicara tentang sosok bad guys. Komplotan yang memanfaatkan kebatinan krisis untuk meraup keuntungan itu, tanpa diungkap secara gamblang pun, publik sudah tahu siapa mereka. Di era keterbukaan informasi, masyarakat dengan mudah membaca dan menyaksikan di layar kaca. Transaksi informasi menciptakan transparansi di tengah dekadensi, sudah cukup sukses mengungkap siapa-siapa aktor yang berkelindan di depan mata. Yang pasti, akibat dari perbuatan bad guys tersebut, kita rasakan di hari-hari ini. Melalui tulisan yang ringkas ini, saya justru ingin berbicara tentang pahlawan. Sosok yang akan selalu lahir di tengah krisis. Suka atau tidak suka. Figur yang tak bisa dihindari. Meski tidak dikehendaki pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu, takdir akan tetap mengirim para pahlawan. Jadi pelita yang nyalanya menerangi. Para pahlawan menjelma jadi bara yang siap membakar angkara murka. Salah satu indikator bahwa pahlawan itu muncul, adalah ketika kita mulai menyaksikan ada yang merasa kepanasan. Gelisah dan tidak nyaman. Bahkan bereaksi berlebihan terhadap seseorang. Dari sederet tokoh yang mencuat di tengah badai krisis ini, Dr. Ahmad Yani merupakan figur yang mencolok. Dr. Ahamd Yani menjadi salah satu tokoh kunci yang dibalik sambutan masyarakat terhadap gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Didaulat sebagai Ketua Komite Eksekutif KAMI, menempatkan Dr. Ahmad Yani di front gerakan KAMI yang diimami tiga tokoh bangsa, yaitu Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo, Prof. Dr. Rochmat Wahab, dan Prof. Dr. Din Syamsuddin. Dr. Ahmad Yani, sang muadzin sebagai moral bangsa. Dia sosok pejuang sejati. Lantang menyerukan penegakan kebenaran di mimbar-mimbar demokrasi. Berdialog dengan kekuasaan, demi meluruskan kiblat bernegara agar tidak terjerumus ke dalam situasi yang semakin parah. Dr. Ahmad Yani menjelma jadi pahlawan di tengah krisis multidimensi. Tetap teguh memegang prinsip, meski ancaman jerat hukum membayang-bayangi. Penangkapan terhadap Yani yang akhirnya gagal, saya yakin tidak menciutkan nyali sosok aktivis ulung ini. Kepakarannya di bidang hukum tak diragukan lagi. Kiprahnya di dunia advokat sangat jelas. Yani sudah terbiasa menyerukan tegaknya keadilan. Yani tentu sudah sadar segala konsekuensi yang bakal menghadang. Memimpin lembaga sebesar KAMI. Apalagi, KAMI secara tegas dan lugas mengambil posisi berseberangan dengan kekuasaan. Menjadi oposisi moral yang berasis data terhadap kekuasaan. Berada di shaf gerakan ekstra parlemen dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil (sivil society) lintas gerakan dan ideologi. Meski mayoritas partai politik memilih berlabuh ke pangkuan kekuasaan. Presidium KAMI, Prof. Din Syamsudin bahkan sudah mengingatkan, bahwa setelah penangkapan Sekretaris Komite Eksekutif KAMI, Syahganda Nainggolan, bersama koleganya Jumhur Hidayat dan Anton Permana, bidikan juga akan menyasar dirinya. Serta orang-orang yang dipandang punya kekuataan moral menggerakkan rakyat. Lantunan seruan moral ini tidak bisa diredupkan. Meski dengan berbagai intrik. Kekuatan uang ada batasnya. Tetapi gema moralitas dan integritas yang menjulang tinggi, tidak bisa dibungkam. Yani tetap saja berkumandang, dan terus terpancar menembus ke relung hati rakyat. Tanpa mantra manipulasi mesin pembentukan opini. Itulah kekuatan kolektif moralitas yang tidak bisa dibendung. Penangkapan tokoh-tokoh KAMI dan upaya kriminalisasi, justru hanya akan memperkeruh suasana. KAMI dengan gerakan opisis moralnya ini tidak bisa digertak. Bukannya surut gerakan moral untuk beraduh data dengan pemerintah. Malah menciptakan gelombang pasang kesadaran rakyat tentang kezoliman dan ketidakadilan yang sedang dan akan terjadi atas bangsa ini. Berpikir menghentikan KAMI dengan memangkas pucuknya, seperti usaha menakut-nakuti Yani, hanya akan memunculkan pucuk-pucuk Yani Yani Yani yang baru. Secara kelembagaan dan kultural, akar KAMI sudah menghujam ke seluruh penjuru nusantara. Baik secara formal, maupun dukungan moral oleh mereka yang merasa nasib dan pikiran-pikirannya diperjuangkan oleh KAMI. Di level Presidium, ikatan komitmen kebangsaan KAMI sudah khatam. Mewakafkan diri untuk negeri tak bisa ditawar-tawar lagi. Begitupula di jajaran Eksekutif higga ke akar massa. Semua senada seirama. Maka bukan takabur, bila dalam meniti jalan terjal perjuangan moral ini, Prof. Din sudah mewanti-wanti untuk siaga menghadapi segala risiko dan kemungkinan terburuk. Prof. Din bahkan berseloroh, sudah menyiapkan satu koper yang terisi pakaian dan beberapa buku. Yang artinya bahwa, seluruh komponen gerakan moral ini harus dipastikan siap lahir batin. Hal yang sama, juga diingatkan oleh dua presidium lainnya. “Apa pun, kita hadapi dengan senyum,” Kata Jenderal Gatot. Dr. Ahmad Yani, sang muadzin moral bangsa itu sudah lantang menyerukan panggilan menyelamatkan bangsa. Tentu saja dengan barisan shaf yang tertata rapi. Barisan itu ada di KAMI, dan berbagai shaf pergerakan rakyat lintas elemen. Semua menyuarakan perlawanan secara moral. Sementara figur-figur sentral lain seperti Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, para aktivis siswa STM, buruh, dan mahasiswa, juga secara lantang bersahut-sahutan melantukan seruan moral merespons keadaan hari ini. Suara itu menggema di forum-forum diskusi, mimbar bebas, panggung jalanan dan ruang-ruang virtual. Kalangan terpelajar dari forum Guru Besar, Cendekiawan, Habib dan Ulama juga telah berada di barisan gerakan moral yang sama. Kemana lagi rakyat akan berdiri, kalau bukan di shaf yang terus memanjang ini? Pendapat siapa lagi yang mau kita dengar, kalau para Guru Besar dan Alim Ulama yang sudah mengeluarkan fatwa intelektual dan spiritual? Penulis adalah Anggota DPD RI.

Mengapa Harus Takut Dengan Revolusi?

by Asyari Usman Jakarta FNN - Kamis (22/10). Sekarang ini, kata “revolusi” menjadi sangat sensitif. Banyak yang takut mengucapkan atau menuliskannya. Takut dituduh melakukan makar. Padahal, “revolusi” ada di dalam sejarah perjuangan bangsa dan juga ada di dalam kosa kata bahasa Indonesia. Dari sudut pandang tertentu, bisa dipahami ketakutan terhadap kata “revolusi”. Sebab, kata ini bermakna “perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata)”. Seperti inilah definisi “revolusi” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tetapi, apakah setiap kali orang mengucapkan atau menuliskan kata “revolusi”, langsung bisa disebut orang itu sedang merencanakan atau berbuat makar, dan karena itu harus dikenai pasal-pasal kejahatan? Tentu tidak. Sebab, kalau mengucapkan dan menuliskan “revolusi” bisa dianggap merencanakan atau melakukan makar, maka para penyusun KBBI pun bisa kena pasal pidana. Bagaimana dengan orang-orang yang berpikir tentang “revolusi”? Apakah mereka bisa disebut sedang merencanakan perbuatan makar? Jawabannya juga tidak. Mereka tidak sedang merencanakan revolusi. Berpikir tentang “revolusi” adalah kontemplasi seseorang tentang suasana seperti apa yang akan berkembang jika “revolusi” terjadi. Lantas, bagaimana dengan seseorang yang mendambakan “revolusi”? Untuk ini, tergantung revolusi apa yang ia inginkan. Kalau “revolusi teknologi komunikasi”, maka semua pihak harus mendukungnya supaya menjadi kenyataan. Juga “revolusi angkutan umum”. Kita semua memerlukan perubahan yang lebih radikal di bidang komunikasi dan transportasi publik. Lebih-lebih lagi “revolusi mental”. Kita semua jangan hanya sekadar mendambakan, melainkan juga harus ikut mengkampanyekannya. Cuma, sayangnya, “revolusi mental” yang dideklarasikan Pak Jokowi pada awal masa jabatan pertama beliau tidak pernah lagi dibicarakan. Sebab, “revolusi mental” adalah revolusi yang antara lain bertujuan membasmi budaya korupsi, oligarkis, dan destruksi sumber daya alam (SDA). Dengan “revolusi mental” diharapkan pelayanan umum menjadi kelas dunia. Jokowi menghadapi tembok raksasa yang menghadang “revolusi mental”. Akhirnya, beliau lupakan itu sekarang. Walhasil, korupsi, oligarkis, destruksi SDA, dan pelayanan buruk tak bisa dihapus. Malah berkembang semakin pesat. Sehingga, Jokowi dibuat tak berkutik. Bahkan, tidak hanya tak berkutik. Jokowi cenderung memperlihatkan pemahaman bahwa budaya ini “entertaining” dan “beneficial”. Menyenangkan dan menguntungkan. Seterusnya, bagaimana kalau seseorang mendambakan “revolusi”? Lagi-lagi, kalau sekadar mendambakan tentulah boleh-boleh saja. Mendambakan itu ‘kan cuma mengimpikan. Mengimpikan “revolusi kekuasaan” bukanlah perbuatan makar. Sebab, kembali lagi, semua itu hanya berupa angan-angan saja. Baru menjadi masalah kalau seseorang menyusun rencana dan mencoba mengeksekusi rencana itu. Begini. Revolusi itu banyak jenisnya. Revolusi kekuasaan hanya satu di antaranya. Memang benar, revolusi kekuasaan –yang bisa juga disebut sebagai revolusi untuk mengambil alih kekuasaan— akan menimbulkan perkelahian. Pertumpahan darah, tepatnya. Yang berkuasa pastilah akan memperthankan diri. Dan akan melakukan penumpasan jika ada pihak yang mencoba melancarkan revolusi itu. Sebaliknya, pihak yang melancarkan revolusi kekuasaan (disingkat saja menjadi “revolusi”) pasti akan berusaha sekerasnya untuk menggulingkan penguasa. Bagi mereka, sudah cukup alasan untuk mengambil alih kekuasaan. Satu hal, bahwa revolusi tidak akan terjadi kalau tidak ada “discontent” (perasaan tak senang) yang meluas dan akut terhadap pihak yang berkuasa. Ini biasanya disulut oleh kebijakan penguasa yang menyusahkan rakyat. Atau, para penguasa telah melampaui batas dalam kesewenangannya. Kezoliman semakin merajalela. Salah satu ciri khas revolusi ialah kemunculannya yang tidak bisa dibendung. Pasti akan ada saja jalan menuju ke situ. Dengan syarat bahwa semua ramuan (ingredients) menuju revolusi itu memang telah lengkap ada di tengah rakyat. Tidak banyak orang yang bisa bersembunyi atau melarikan diri dari revolusi. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Diberi Raport Merah, Jokowi Mesti Dievaluasi

byTony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (22/10). Tanggal 20 Oktober 2020, genap setahun pemerintahan Jokowi periode kedua. Publik menyoroti bagaimana kebijakan dan kinerjanya. Agak bersemangat mengingat cukup banyak isu yang acapkali menciptakan ketegangan. Setidaknya ada tiga hal untuk mengukur dan menilai secara obyektif kinerja Jokowi di periode kedua. Pertama, terkait program berkelanjutan dari periode pertama. Kedua, mengenai janji politik. Ketiga, seberapa besar tingkat kepuasan publik terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah. Kalau ditanya, apa program berkelanjutan Jokowi? Jawabnya, ya infrastruktur. Jalan tol, bandara dan kereta cepat yang masih terus berlanjut. Bahkan mimpi untuk membangun "Ibu Kota Baru" di Provinsi Kalimantan Tengah. Harus diakui, pembangunan infrastruktur era Jokowi cukup gencar dan masif. Ini harus diapresiasi. Infrastruktur inilah yang diantaranya berjasa membuat Jokowi terpilih kembali untuk periode kedua. Kendati penuh kontroversi dan menyisakan sejumlah persoalan. Meski demikian, pembangunan infrastruktur Jokowi meninggalkan setidaknya empat catatan. Pertama, tidak sesuai target sebagaimana yang dituangkan dalam janji politiknya. Terutama soal tol laut. Kedua, pembangunan infrastruktur yang "ugal-ugalan" mengakibatkan tingginya hutang negara. Bahkan melebihi hutang gabungan era presiden-presiden sebelumnya. Ketiga, pembangunan infrastruktur tidak linier dengan pertumbuhan ekonomi. Tercatat, pertumbuhan ekonomi di periode pertama hanya 5%. Jauh dari target yang dijanjikan yaitu 7%. Di periode kedua, ekonomi makin terpuruk, dihajar pula dengan pandemi corona. Terjadilah resesi. Dua kuartal minus. Keempat, pembangunan infrastruktur tidak punya efek terhadap peningkatan ekonomi, baik langsung atau tidak langsung. Apalagi yang berkaitan dengan program revolusi mental yang jadi tageline pemerintahan Jokowi. Mengenai janji Jokowi di periode kedua publik nampak apatis. Abai dan tak lagi memperhatikan apa saja janjinya. Mengingat puluhan janji di periode pertama sebagian besar meleset. Stop impor, bay back Indosat, sudahlah masih banyak lagi... lupakan saja. Dan Jokowi sendiri tak pernah memberi penjelasan terkait melesetnya janji-janji tersebut. Gampang lupa, karena bisa berubah pagi dan sore. Terlepas apapun penilaian publik terhadap janji Jokowi di periode pertama, janji di periode kedua tetap harus diingatkan. Janji itu road map. Orang luar bilangnya menifesto. Baik bagi kebijakan pemerintah, maupun jadi unsur penting bagi rakyat untuk mengukur dan menilai kinerja pemerintahan Jokowi Diantara janji itu adalah sinergi pemerintah daerah, penegakan sistem hukum bebas korupsi, pemberian rasa aman bagi setiap warga, dan masih banyak lagi. Ini jadi bagian dari misi Jokowi periode kedua. Melihat KPK terkapar, pencabutan kewenangan Pemerintah Daerah dalam UU Minerba, segala bentuk persekusi dan represi terhadap kebebasan berpendapat, membuat misi ini harus mendapatkan koreksi. Selanjutnya, apa opini publik terhadap kebijakan Jokowi? Survei Litbang Kompas terbaru mengungkap bahwa hanya 45,2% rakyat yang puas terhadap kinerja Jokowi. Ini nggak linier dengan jumlah pemilih Jokowi di Pilpres 2019. Survei ini telah memberi penilaian negatif untuk setahun kinerja Jokowi. Akankah ada survei tandingan yang bakal mencounter survei Litbang Kompas? Kita tunggu saja. Diaisi lain, buruh memberi kartu merah terhadap kinerja Jokowi. Bagaimana dengan mahasiswa dan pelajar? Bagaimana pula dengan Majelis Ulama Indonesia MUI dan ormas? Ini juga penting, agar bisa jadi catatan untuk kinerja pemerintah ke depan. Ketidakpuasan terhadap kebijakan dan kinerja Jokowi bisa dilihat dari sejumlah persoalan. Diantaranya soal politik. Dikotomi pendukung non pendukung tidak selesai. Maaf, "Cebong-Kadrun" menjadi istilah yang terus dipelihara eksistensinya. Nggak bener! Tiga faktor yang menjadi sebab mengapa pendukung dan non-pendukung terus eksis. Pertama, perlakuan hukum yang berbeda terhadap pendukung dan pengkritik pemerintah. Borgol yang sedang ramai dibicarakan seolah menjadi simbol ketidakadilan itu. Kedua, influencer yang terus bekerja merawat keterbelahan sosial. Mengumandangkan istilah "Kadrun" untuk lawan politik dan pihak yang kritis terhadap pemerintah adalah sebuah ironi berbangsa. Setiap yang kritik pemerintah dianggap barisan yang sakit hati, atau politisi yang kecewa karena nggak dapat jatah di pemerintahan Jokowi. Stigma Islam ideologi, radikal dan khilafah semakin memperkeruh situasi. Ketiga, minimnya ruang dialog dengan pihak yang berbeda pendapat, dan dianggap berseberangan secara politik dengan pemerintah. Pemerintah dengan struktur pendukungnya seringkali membangun sikap dan narasi permusuhan terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapat dengen pemerintah. Bukan pendekatan dialogis yang dikedepankan. Kalau soal hukum, ada masalah serius di produk, pelaksanaan dan penegakan. Sejumlah undang-undang yang ditolak dan diprotes rakyat diketuk palu. Diantaranya ada UU KPK, UU Minerba, UU Corona, RUU HIP dan terakhir UU Omnibus Law Cipta Kerja. Entah berapa banyak demonstran yang telah jadi korban. Semua UU tersebut mendapatkan penolakan masif dari masyarakat. Tetapi, tetap saja diundangkan. Terkecuali RUU HIP. Itupun belum dicabut dari Prolegnas. Pemerintah dan DPR budeg dan tuli. Kaya negara ini hanya punya pemerintah dan DPR. Sehingga suara rakyat harus dianggap tidak ada. Terakhur UU Ciptaker. Gelombang protes dan demo nggak berhenti. UU Ciptaker dianggap cacat formil dan materiil. Cacat formil, karena ada kesalahan prosedural. Tidak transparan, kurang sosialisasi, banyak anggota fraksi yang terlibat dalam sidang paripurna tidak mendapat materinya. Jumlah halamannya pun berubah-ubah. Cacat materiil, karena sejumlah pasal dianggap tumpang tindih. Dari aspek demokrasi, ada tindakan berlebihan aparat yang dianggap sebagai upaya membungkam kebebasan berpendapat. Ancaman administratif terhadap pelajar dan mahasiswa yang demo merupakan bentuk pembungkaman yang sepatutnya nggak perlu ada. Penyelenggara negara tidak faham konstitusi tentang kebebasan berpendapat yang diatur pasal 28 UUD 45. Belum juga terhadap pers. ILC rehat berulangkali. Ini dibaca publik sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers. Halo Bang Karni Ilyas. Apa kabar??? Ko ILC banyak banyak cuti??? Semoga Bang Karni, ILC dan TV One sehat-sehat saja, dan dilindungi Allah Subhanahu Wa’ala. Amin. Apalagi soal ekonomi. Selama dua kuartal pertumbuhan ekonomi minus. Ini pertanda resesi ekonomi akan terjadi. Beban hutang begitu besar dan jatuh tempo bayar di bulan November nanti. Dimana devisa (cadangan uang negara) kabarnya sangat minim. Yang harus dibayar pada November nanti mendekati U$ 60 miliar. Jumlah itu hampit separuh dari devisa kita saat ini. Mengandalkan pinjaman luar negeri tak sepenuhnya bisa diandalkan disaat banyak negara mengalami masalah ekonomi. Jual SBN (Surat Berharga Negara) juga tak mudah. Kecuali jika Bank Indonesia yang membeli dengan sistem burden sharing (cetak uang). Sayangnya, undang-undang melarang BI membeli SBN di pasar primer. Ini PR sekaligus tantangan presiden di sisa empat tahun pemerintahannya. Jika ingin mendapatkan kembali opini positif dari rakyat, Jokowi sebagai kepala negara, harus berani melakukan perubahan. Apa yang harus dirubah? Ya, pikir sendiri. Kok nanya gue. Entar kalau gue kasih masukan, gue di....... dong. Ogah ah! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Dr. Ahmad Yani SH. MH Sudah Benar

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jangan lupa bahwa orang yang berlaku tidak adil berarti dia tidak takwa. Selalu awaslah terhadap hal-hal yang perlu bagi pengurusan kerajaan. Setiap saat tetaplah berpikir seperti mukmin sejati dalam masalah-masalah yang anda hadapi dengan keluhuran yang sempurna, dan sederhana serta perasaan kasih sayang dan keadilan (Al-Ghazali 1058–1111). Jakarta FNN – Kamis (22/10). Awal malam yang dingin dan mengasyikan di Kantor Dr. Ahmad Yani SH. MH, mendadak berubah. Memanas dan menyentak, merobek akal sehat. Sebab di kantor yang tengah berlangsung pertemuan membicarakan Masyumi Reborn, mendadak kedatangan tamu tak biasa. Tak biasa, bukan karena jumlah yang datang itu bukan aktivis politik. Tetapi maksud kedatangannya tak bisa dientengkan. Itu sebabnya siapapun yang mengukir hidupnya dengan kesantunan dan keluhuran martabat, tak mungkin tak dirundung tanya atas keadaan aneh itu. Apa gerangan orang-orang ini malam-malam datang? Apa yang mau dicari? Untuk urusan sepenting apa? Pertanyaan seterusnya pasti berceceran dialam pikir setiap orang santun untuk merespon peristiwa tiba-tiba itu. Tetapi semua tanya itu segera jelas sesaat kemudian. Urusannya berinduk pada hukum, dan Dr. Ahmad Yani yang sedang dicari. Oke. Ngobrol atau Coba Tangkap? Apakah doktor ini pernah dipanggil secara resmi, tetapi tidak pernah mau penuhi panmggilan itu sehingga harus ditangkap? Polri melalui Kadiv Humasnya, punya pendapat sendiri. Tidak menangkap. Hanya komunikasi. Polri seperti dilansir RMol 20/10/2020 mengklaim, datangnya penyidik Bareskrim Polri ke kantor Ahmad Yani di Matraman, Jakarta Pusat pada Senin (19/10) malam sekadar komunikasi. “Enggak ada. Kita baru datang dengan komunikasi ngobrol-ngobrol saja. Jadi ngobrol-ngobrol yang bersangkutan bersedia sendiri untuk hari ini hadir ke Bareskrim,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Argo Yuwono (RMol, 20/10/2020). Ngobrol-ngobrol soal apa? Sebab dari penuturan Kadiv Humas yang dilansir RMol 21/10/2020 kedatangan mereka malam itu untuk melakukan penyelidikan. Untuk kasus apa? Kasusnya berkaitan dengan adanya tindakan anarkis saat aksi menolak omnibus law UU Cipta Kerja tanggal 8 Oktober 2020 yang lalu. Menariknya, Dr. Ahmad Ahmad Yani memiliki cerita sendiri atas peristiwa itu. Saat dihubungi wartawan Republika.co.id pada Selasa (20/10) pagi, Ahmad Yani membenarkan upaya penangkapan atas dirinya, yang terjadi sekitar pukul 19.15 WIB. Iya benar seperti itu (ada percobaan penangkapan). Saya ada di kantor dan saya tanya apa dasarnya perbuatan melanggar hukum apa yang saya lakukan? kata Ahmad Yani pada Republika.co.id. Menurut Ahmad Yani, petugas kepolisian tak bisa menjelaskan apa alasan upaya penangkapan itu. Polisi yang datang, kata dia, hanya menjelaskan soal keterlibatan Ahmad Yani terkait narasi video Youtube yang disebut oleh aktivis KAMI, Dr. Anton Permana dalam pemeriksaan. Anton Permana sendiri sebelumnya telah ditangkap terlebih dahulu oleh polisi. Namun, penjelasan penyidik Bareskrim Polri ini tidak dapat diterima Ahmad Yani. Sebab, narasi yang dimaksud, menurutnya adalah sikap resmi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang telah disiarkan pada publik secara luas. (Republika. Co.id, 20/10/2020). Bagaimana ujung kasus ini? Berhenti hingga dititik senin malam yang lucu itu? Dilansir CNNIndonesia.com (21/10/2020) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri segera memanggil Ketua Komite Eksekutif KAMI Ahmad Yani untuk diperiksa. Namun, jadwal pasti pemeriksaan Ahma Yani belum diketahui. "Rencana akan dipanggil, kita tunggu pelaksanaannya," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono saat dikonfirmasi, Rabu (21/10). Ngobrol-ngobrol atau mau menangkap Ahmad Yani? Kalau sekadar ngobrol-ngobrol, mengapa maksud itu tidak disampaikan sedari awal kedatangan kepada Ahmad Yani? Mengapa video yang dimasalahkan itu, baru diperlihatkan kepada Yani setelah Yani bereaksi? Apakah mereka dibekali surat penangkapan? Bila ya, akan terasa konyol sekali. Bukankah kedatangan itu untuk sekadar ngobrol-ngobrol? Bagaimana nalarnya? Apakah percobaan penangkapan hanya karangan Dr. Ahmad Yani? Bila ya, untuk apa? Ahmad Yani yang mantan anggota Komisi Hukum DPR itu kan sangat terlatih berpikir khas Yuris, dan mengerti konsekuensi hukum bila mengarang cerita itu. Pertanyaan-pertanyaan kecil yang menggelikan itu, pasti dikemukakan siapapun yang mengikuti peristiwa itu. Soal-soal itu tidak memerlukan penalaran hukum yang ketat dan cermat. Cukup hanya dengan akal sehat saja, pertanyaan-pertanyaan itu bisa ditemukan. Sangat sederhana. Apakah pertanyaan atau masalah yang lahir dari penalaran akal sehat itu, mengandung konsekuensi hukum? Ah sudahlah. Nantilah. Perlukah menimbang secara serius “panggilan” kepada Dr. Ahmad Yani? Panggilan pertama, panggilan kedua atau panggilan ketiga? Ah nanti saja. Pasal 28D UUD 1945 Apakah disitu masalahnya? Jelas tidak. Masalahnya ya isi video Youtube, yang merupakan pernyataan resmi KAMI. Apakah isi video itu dapat dikualifikasi pidana? Bila ya, soalnya bagaimana penalarannya? Andai isi video itu berisi pernyataan dukungan terhadap demonstrasi buruh, apakah pernyataan dukungan itu memiliki sifat pidana? Kalau iya, tolong tunjukan dalam hukum mana, di muka bumi ini atau di planet mana, demonstrasi dapat dikualifikasi sebagai pidana? Mau menganalisis dengan menggunakan semua peralatan dan sarana interpretasi ilmu hukum atas hal sesepele itu? Untuk saat ini, itu pekerjaan sangat membuang-buang waktu. Suatu hari nanti mungkin analisis semacam itu diperlukan. Tetapi tidak untuk saat ini. Pembaca FNN yang budiman. Hari-hari ini akan jadi hari yang begitu hebat, bila sejenak saja Ahmad Yani, yang ahli hukum ini, menelusuri lembaran-lembaran hitam hukum rezim otoriter Orde Lama dan Orde baru dulu. Kisah keangkuhan dan kesombongan hukum khas rezim revolusioner itu, layak untuk diselami. Dipenjaranya Pak Sjafruddin Prawiranegara, dan lainnya, termasuk Buya Hamka dimasa rezim revolusi orde lama, manis untuk dikenali. Politik dan hukum revolusi bekrja dengan cara yang tak bisa diprediksi. Manis diawal, mencemaskan di tengah dan menjijikan di ujung. Begitu tipikalnya. Almarhum Pak Sjaf, Presiden Republik Persatuan Indonesia (PRI) yang diproklamasikan pada tanggal 1 Februari 1960 di Bonjol dan kawan-kawan di PRRI/Pemesta diberi amnesti dan abolisi. Amnesti dan abolisi itu diatur dalam 449 tahun 1961. Mereka dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi. Manis. Amnesti? Ini pengecohan. Pak Sjaf dan kawan-kawan malah ditahan. Mula-mula ditahan di Cipayung, sebelum akhirnya tahun 1962 dipindahkan ke Colo, desa kecil dekat Kudus, terletak di lereng gunung Muria. Pak Sjaf ditempatkan pada sebuah rumah peristirahatan milik satu perusahaan rokok. Tanggal 1 Mei 1963 kedaan bahaya perang dinyatakan berakhir. Mengira pencabutan keadaan bahaya perang menandai naiknya ufuk cerah dipagi hari, Pak Sjaf girang. Ternyata demokrasi terpimpin, yang membimbing revolusi, punya hukum sendiri. Pak Sjaf tak bisa segera menghirup udara bebas layaknya warga negara bebas. Tidak. Pak Sjaf malah mengalami nasib yang lebih buruk. Kalau sebelumnya ditahan dirumah peristirahatan, kali ini malah ditahan di Rumah Tahanan Militer ( RTM) Jakarta. Revolusi ini benar ditopang dengan hukum. Selain Penetapan Presiden (Pen. Pres) Nomor 3 Tahun 1962 juga Penpres Nomor 11 Tahun 1963. Pada penpres Nomor 3 Tahun 1962 diatur pemberian kuasa kepada Jaksa Agung atas petunjuk Presiden/Pimpinan Besar Revolusi menunjuk orang yang “dianggap membahayakan tujuan revolusi” ditahan di satu tempat tertentu sebagai tempat berdiam sementara. Pen. Pres buruk ini akhirnya dicabut, dan diganti dengan Pen. Pres yang lebih buruk, yakni Pen.Pres Nomor 11 Tahun 1963, tentang Pemberantasan Subversi. Dengan Pen. Pres inilah drama penahanan permanen Pak Sjaf berawal. Pak Sjaf dikeluarkan dari Culo, di Lereng Gunung Muria, untuk dipindahkan dan ditahan di RTM di Jalan Budi Utomo. Di RTM itu Pak Sjaf menjalani joroknya hukum revolusi. Terus berada di RTM hingga tanggal 17 Mei 1966 (Lihat Ajib Rosidi, 2011, hal 340-373). Pak Sjaf bebas setelah Presiden Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi itu kehilangan kekuasannya secara materil. Mengarang bebas kasus, tangkap dan penjara, begitulah hukum rezim revolusi Orde Lama itu memukul Buya Hamka. Kasusnya dikarang-karang, lalu Ulama ini ditangkap, ditahan dan diperlakukan kasar oleh Soegondo dan Muljo Kosoemo, dua penyidik dalam kasusnya, (Lihat Haidar Musyafa, 2018, hal 661-665). Bagaimana dengan Orde Baru? Yang dikenal umum dengan orde pembangunan itu? Sama dalam banyak aspek. UU Subversi tersebut, tetap saja dipertahankan dan Pak Harto untuk membimbing dan mengawal pelaksanaan pembangunan. Persis seperti Orde Lama, ada saja orang yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Orang-orang yang dikenal sebagai fungsionaris Petisi 50 adalah satu elemennya. Kawakan secara individual, mereka menerbitkan buku putih tentang Peristiwa Priok Desember 1984. Tetapi seperti Orde Lama, beberapa diantara mereka berakhir di penjara. Politik punya cara sendiri mengoreksi keangkuhan penguasa. Mirip Presiden Soekarno, Pak Harto, pria murah senyum ini, harus mundur dari kekuasaan yang telah lama digenggamnya. Demonstrasi berkepanjangan dan berdarah kalangan mahasiswa menjadi sebab terbesar pengunduran diri itu. Manis betul politik mengukir eksistensi pada waktu lain. Wakil Presiden Habibie, naik jadi Presiden menggantikan Pak harto. Pria kecil yang sangat rasional ini membelah keangkeran politik. Kebesaran akal sehat dan jiwa demokratisnya membawa pemerintahannya membebaskan semua tahanan politik. Berbeda pendapat ko dipenjara? Itulah hembusan jiwa demokratisnya. Habibie top marco top. Hal hebat itu, terluka bahkan tercampakan malam itu. Tetapi beruntung Dr. Ahmad Yani, yang ahli hukum ini, mempertanyakan hal-hal teknis kepada polisi yang mendatanginya. Sangat refleksif untuk sejumlah aspek. Demokrasi yang terbimbing dengan UUD 1945 dan KUHAP, membenarkannya. KUHAP yang secara partikular dapat dianalogikan sebagai Habes Corpus Act itu, jelas mengatur kaidah menemukan perbuatan pidana, pemanggilan, pemeriksaan, penahan, penangkapan, dan lainnya. Habes Corpus Act yang mengawali eksistensi dalam sistem hukum Inggris tahun 1679, pada masa raja Charles II. Ini sangat hebat. Habes Corpus Act punya tujuan mulia. Untuk mencegah kewewenang-wenangan penguasa, karena kesewenang-wenangan bukan hanya menandai keangkuhan yang bodoh. Tetapi menghina harkat dan martabat kemanusiaan yang berakal menjadi terhina-dina. Itulah yang mau dipromosikan Habes Corpus. Dr Ahmad Yani benar mengambil titik pijak pada pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal ini, khususnya ayat (1) berakikat sebagai petition of right. Aparatur hukum harus menjelaskan secara spesifik dan detail perbuatan apa yang dituduhkan kepada warga negara? Tanpa kecuali siapapun orangnya. Tidak boleh sewenang-wenang. Akhirnya, suka atau tidak Dr. Yani telah menghidupkan elemen esensial rule of law. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

KAMI Sangat Ditakuti Gerombolan Penista Moral

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (22/10). Gagasan perlunya ada koalisi masyarakat sipil (civil society) melalui kebersamaan tokoh-tokoh yang memiliki komitmen untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan teralisasi dengan Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamta Indonesia (KAMI) pada tanggal 18 Agustus 2020 di Tugu Proklamasi Jakarta. Tiga orang tokoh bangsa didaulat untuk memimpin KAMI sebagai Presidium. Mereka adalah Profesor DR. Din Syamsuddin, Profesor DR. Rochmat Wahhab, dan Jenderal TNI (Purn.) Benaran Gatot Nurmantyo. Maksud saya Gatot bukanlah Jenderal Purnawirawan Kehormatan (Hor). Meskipun tampil dengan jati diri "tidak ada hubungan organisasional atau struktural" geliat keberadaan dan kehadiran KAMI di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota tetap terasa. Deklarasi dilakukan dimana-mana. Meskipun selalu saja ada gangguan dan hambatan dari arapat dan penguasa di daerah. Anjing menggonggong kafila terus saja berlalu. KAMI tetap saja deklarasi di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan kegigihan yang berbasis tawakkal kepada Allah, maka KAMI terus terbentuk di berbagai daerah. KAMI yang isinya adalah lintas faham, lintas eksponen, bahkan lintas agama. Karena punya cita-cita dan keinginginan yang sama, yaitu menyelamatkan bangsa dari kerterpurukan yang lebih dalam. Spirit menyelamatkan bangsa adalah aksi dialogis, aksi kritis, aksi memperkuat nilai-nilai moral ideologis. Gerakan moral hadir bukan untuk membuat rusuh atau merusak. Bukan pula gerakan yang merekayasa kerusuhan dan kerusakan. Sebab yang seperti itu adalah gerakan yang nir-moral. Fondasi berdirinya KAMI bukan untuk itu. Tidak juga yang seperti itu. Karena KAMI yang tampil sebagai kekuatan moral inilah yang kemudian sangat ditakuti oleh mereka yang tergabung dalam gerombolan penista moral. Baik itu gerombolan penista moral di bidang ekonomi maupun politik, dan sosial budaya. Ujung-ujunganya KAMI harus difitnah sebagai dalam kerusahan. Tidak sampai disitu saja. Gerombolan penista moral juga menyudutkan dan menuduh KAMI sebagai aktor atau dalang dibalik demonstrasi besar-besaran para buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat yang merata di seluruh tanah air belakangan ini. Demonstrasi yang menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka). UU yang hanya untuk menguntungkan pengusaha, korporasi, dan konglomerasi busuk, licik, picik, tamak dan culas. Padahal tanpa difitnahpun sikap KAMI sama dengan para buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat yang menolak disahkannnya UU Cilaka. Akibatnya, beberap deklataror dan Komite Eksekutif KAMI ditangkap-tangkapin, dengan alasan yang sangat ecek-ecek dan picisan. Alasan yang dibuat-buat hanya untuk mengekang, menekan dan menakut-nakuti kekuatan civil society yang berbeda pendapat dengan penguasa dalam hal pengelolaan negara. Penangkapan yang sangat "bermuatan politis" terjadi. Sejumlah Deklarator dan Komite Eksekutif KAMI yang ditangkap adalah Dr. Syahganda Nainggolan, Muhammad Jumhur Hidayat, dan Dr. Anton Permana dan lain-lain. Begitu juga di Sumatera Utara 4 aktivis KAMI ditangkap. Sementara di Jawa Barat Posko Kesehatan KAMI diobrak-abrik. Simpatisan KAMI ada juga yang menjadi tersangka. KAMI Jawa Barat di framing mendanai demo. Hal yang tentu saja telah dibantah. Landasan hukum yang dipakai aparat kepolisian untuk menangkap-nangkapin aktivis KAMI adalah UU ITE. Murip dengan pola yang dipakai oleh penguasa Orde Lama dan Orde Baru yang menggunakan UU Suversif untuk menekan dan menakut-nakuti kelompok oposisi dan kekuatan sivl society yang tergabung dalam kelompok kerja “Petisi 50”. Siapa saja yang tampil mengkritik penguasa Orde Lama dan Orde Baru dianggap sebagai subversif. Makanya harus ditangkap, ditahan dan dipernjarakan. Tragisnya, ada ditahan bertahun-tahun tanpa diadili seperti Pak Buya Hamka dan Profesor Syafrudin Prawiranegara. KAMI kini adalah kekuatan baru yang menjadi sasaran pelumpuhan dari penguasa. Ini akibat dari suara kritis KAMI kepada Pemerintah. Penguasa juga menambah target pelumpuhan dari yang sudah lama seperti HTI dan FPI. KAMI itu fenomenal, karena disamping usianya baru dua bulan, juga merupakan koalisi dari banyak figur terbaik anak bangsa. Isinya para cendekiawan, purnawirawan, agamawan, maupun aktivis perjuangan yang cukup berpengaruh. Terhadap tekanan yang juga berbau fitnah, mungkin berdampak bagi KAMI yang secara opsional atau beberapa kemungkinan. Pertama, KAMI mungkin saja goyah dan menurun daya dukung publik akibat serangan pembusukan pihak tertentu. KAMI juga mungkin mengalami goncangan akibat turbulensi. Kedua, KAMI tetap bergerak, namun tidak berlari cepat. Dukungan publik kepada KAMI masih cukup besar. Ada sebagian yang awalnya mendukung terang-terangan menjadi diam-diam. Ketiga, KAMI semakin memiliki daya dukung yang lebih kuat. Tekanan-tekanan yang berbau fitnah atau penzaliman justru memberi hikmah, simpati dan penguatan support untuk tetap melakukan perlawanan moral kepada penguasa dalam mengkritisi tata kelola negara. KAMI tetap kritis dalam suasana apapun. Dari opsi atau kemungkinan yang dapat terjadi, potensi pengembangan KAMI jauh lebih dominan. KAMI tidak akan runtuh. KAMI insya Allah tidak akan kalah oleh fitnah. KAMI harus dan akan terus melangkah. Kedzaliman mungkin saja mampu berkacak pinggang untuk waktu sesaat. Tetapi tidak akan mampu sepanjang waktu. Ingat itu baik-baik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.