NASIONAL
Alhamdulillah, Guru Besar Tidak Tolol Menilai UU Omnibus
by Dr. Margarito Kamis SH.Hum Jakarta FNN – Selasa (13/10). Para Guru Besar, yang mengeritik keras UU Omnibus Cipta Kerja yang baru saja disahkan itu sebagai tolol? Yang benar saja deh. Apa mereka semua berkacamata kuda dalam menimbang UU Omnibus Cipta Kerja? Jangan aneh-aneh deh. Para Guru Besar itu tidak mampu mengenal ambisi besar UU, yang saya nilai sialan ini, hendak menaruh monster pencegah korupsi di hulu semua proses berinvestasi? Jengan mengada-ada. Berpura-purakah mereka kritis? Aneh-aneh aja. Apakah Mereka yang biasa melahirkan para doktor, magister dan sarjana tak punya peralatan, metodologi berpikir? Enak aja. Lensa Keilmuan Kelewat konyol bila mengatakan Gara Buru besar kritis itu, tidak mengerti kelemahan dan kelebihan paradigma. Paradigma menentukan out put. Gambaran besar atau kecil diujung penalaran atas fakta. Fakta memiliki makna. Pemberian makna atas satu fakta, mungkin akan berbeda. Itu merupakan hal biasa, dan itu alamiah dalam khazanah ilmu. Satu Guru Besar dengan Guru Besar lain mungkin akan berbeda memaknai kenyataan anggota DPR tidak dibelakai RUU itu pada saat disahkan menjadi UU. Kenyataan itu defenitif. Kenyataan ini dapat diperiksa secara obyektif. Kenyataan itu tidak dikarang-karang. Para originalism seperti Antonio Scalia, hakim Agung Amerika Serikat, yang empat tahun lalu meninggal dunia di usia lebih 80 tahun itu, menjadikan teks sebagai determinative law. Law as text. Paradigma dominan ini, betapapun diagungkan Scalia, tetapi, bukan tak dapat dikritik. Paradigma interpretasi ini, dalam kenyataan keilmuan juga menjadi alamat kritik hebat. Dalam sifatnya ini sama dengan pradigma klasik yang berkembang di Perancis, yang dikenal bouse de la loi atau judges as mouth of law. Hakim itu mulut UU. Hukum itu adanya di undang-undang. Maknanya hakim jangan keluar dari UU dalam menemukan hukum. Hakim harus menganggap UU adalah hukum. Diluar itu tidak. Kelebihannya, begitulah dunia keilmuan, ternyata tidak mengubur munculnya kelemahan di sisi lain yang praktis. Tidak ada kata yang sungguh- sungguh mengekspresi, mewakili original intention pembentuk teks, law giver atau law makers. Itu kelemahannya, sehingga muncul paradigma penantang. Progresive paradigm muncul sebagai salah satu penantang produktif atas originlism paradigm. Paradigma ini, tidak memandang hukum sepenuhnya sebagai text dan hanya ada pada UU. Tidak begitu. Sebagai pantulan kombinatif dari hal-hal yang nyata terjadi dalam masyarakat, dan diabdikan untuk masyarakat, maka hukum harus dicari di tengah kehidupan masyarakat. Digunakan untuk mengenergizer masyarakat. Interpretasi tipikal ini, mengundang sanggahan hebat dengan argumentasi yang tak kalah mengagumkan. Misalanya, paradigma ini diidentifikasi sebagai instrumen korporat mengakali hukum untuk kepentingan mereka. Mereka menyodorkan para hakim sebagai hulu balangnya. Paradgima ini mengharuskan hakim pergi keluar dari teks hukum. Hakim keluar dari UU. Hakim diharamkan terpaku mati pada teks hukum. Cara ini, kata mereka, demi dan untuk keadilan sebanyak-banyak masyarakat. Bukan semua masyarakat. Dalam kenyataannya, pemeritahan tiranis menyukai dan mengandalkan paradigma ini memutar roda pemerintahan. Menjadi trade mark pemerintah totaliter. Paradigma ini membenarkan pemerintah menggunakan hukum sebagai tongkat pemukul bengis terhadap rakyat. Walau tidak selalu berbau komunistik, paradigm ini memungkinkan komunis bergerak masuk secara halus ke semua sudut kehidupan. Masuk dengan cara menjadikan hukum sebagai kuda manis tunggangannya. Dalam ilmu hukum, paradigma ini dikenal dengan progressivism. Dalam ilmu interpretasi ditransformasi menjadi judicial activism. Lawan tanding tangguh atas judicial restrain, khas Scalia. Mereka Sangat Bening Bodoh betul mengangap Guru Besar tidak mampu menganalogikan Omnibus Bills dengan code of act. Tidak ada ilmuan hukum yang tidak mengerti Omnibus mewakili lingkungan hukum anglo saxon. Disisi lain code of act (kitab UU semacam KUPH, KUH-Perdata Dagang, dan KUHAP) mewakili karakter hukum Eropa Kontinental. Undang-undang yang isinya meliputi banyak aspek, yang disebut Omnibus Bills atau law, memang bukan barang baru di dunia hukum. Kapan mulai dipraktikan? O’Brien and Bosc dalam kajiannya berjudul “Omnibus Bills in Theory and Practice “menyodorkan Amerika pada frontline penggunaan konsep ini. Profesor ilmu politik pada Laval University ini menunjuk tahun 1888 sebagai tahun awal penggunaan konsep itu. UU ini mengatur persetujuan pemisahan dua jalur kereta api. Disebabkan merupakan persetujuan dua korporasi yang bersifat privat, maka omnibus ini disifatkan sebagai private ominibus bill. Tetapi Profesor ini, mengakui pertama kali mendengar konsep ini tahun 1967. Ini ketika Pierre Trudeau, Menteri Kehakiman Canada merancang, sungguh sangat baru dan mengagumkan, landmark, mengamandemen hukum pidana. Hukum pidana baru ini berisi beragam materi. Materi Hukum pidana yang baru diamandemen itu meliputi, dalam kata-katanya, homosexuality, abortion, contraception, lotteries, gun ownership, drinking-and-driving penalties, harassing phone calls, regulated misleading advertising and even cruelty to animals. Jelas penalarannya. Ilmu hukum, yang diketahui para Guru Besar bahwa politik menjadi golden views pada pembahasan RUU. Materi yang mau diatur, sepenuhnya berdasarkan penilaian dan ekspektasi politik. Itu sebabnya, apa saja bisa diatur dalam satu RUU dan diputuskan menjadi UU. Ini terjadi di Irlandia, negeri dalam rumpun tradisi anglo saxon. Dalam Omnibus mereka yang belum lama diputuskan, berisi ragam hal, meliputi ribuan UU. Omnibus mereka mencabut ribuan undang-undang eksisting. Salahkah ini? Tidak. Pada titik ini, yang menjadi takarannya adalah politik, bukan hukum. Mengagungkan UU hanya berdasarkan namanya. Misalnya Omnibus Cipta Kerja, juga hal-hal umum yang ada didalamnya, jelas bukan pekerjaan ilmuan hukum. Menunjuk penyederhanaan proses perolehan izin usaha, yang dipropagandakan politisi sebagai hal mengagumkan dari UU sialan ini, tak mungkin diterima ilmuan hukum. Penyederhanaan izin, sama sekali tidak bermakna tidak perlu izin usaha. Izin usaha tetap ada. Izin harus diurusi oleh setiap pengusaha. Karena izin usaha tetap ada, maka semudah apapun prosedurnya, beralasan bila ilmuan hukum mengajukan hipotetis tentang kemungkinan terjadi hal buruk. Korupsi misalnya, pada saat mengurus izin. Ilmuan hukum tahu teks hukum. Yang didalamnya norma hukum dinyatakan, bersifat hipotetis. Norma hukum tidak dapat disamakan dengan kenyataan atau fakta. Norma hukum atau teks hukum, hanya mewakili kehendak pembentuknya, bersifat hipotetis. Bukan menggambarkan kenyataan faktual. Mengagungkan satu UU hanya, sekali lagi, berdasarkan judul UU itu, tak mungkin bukan merupakan pekerjaan konyol. Ini banyolan dahsyat. Ahli hukum tahu, korupsi disebabkan salah satunya teks hukum yang memiliki beragam makna. Teks yang memiliki ragam makna alias tak tunggal adalah panggilan terhadap korupsi. Teks yang memiliki ragam makna justru pencipta utama ketidakpastian hukum. UU Omnibus ini diwarnai dengan teks jenis ini. Sekadar ilustrasi, upah buruh yang dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, misalnya. Bagaimana membaca teks itu? Pertumbuhan per semester, per triwulan atau per kwartal atau apa? Bodoh sekali bila berpendapat UU Omnibus menghapus PHK. Sekali lagi bodoh. Ahli hukum tidak akan bernalar seperti ini. Mereka tahu nalar itu mencerminkan kebodohan paripurna. Tidak ada pekerja, apapun pekerjaan itu, dimanapun, yang tidak bisa diberhentikan. Ahli hukum tahu semua pekerja bisa diberhentikan sebelum waktunya. Ini logis. Itu sebabnya ahli hukum akan menyelidiki syarat dan prosedur pemberhentian pekerja. Dari situ barulah ahli hukum tiba pada pernyataan kongklusif. Misalnya, pemberhentian kerja dipersulit atau dipermudah oleh UU Omnibus ini. Pembaca FNN yang budiman. Sejarah kelimuan secara umum merekam sejumlah fakta adanya ahli yang bertindak sebagai corong dan kaki tangan korporasi. Mereka melegitimasi sebuah gagasan pembentukan UU yang ditolak rakyat. Ini juga terjadi di Amerika. Terjadi sejumlah korporasi oligarki wall street menghendaki pembentukan UU Bank Sentral. Ilmuan ikut menyamarkan nama Bank Sentral itu menjadi The Federal Reserve Act. Praktris ilmuan ikut menyesatkan, mengakali masyarakat yang mati-matian menolak bank jenis ini. Kembali ke kasus UU Omnibus Cipta Kerja. Namanya oke, cipta kerja. Tetapi ilmuan hukum tahu betul nama ini bersifat hipotetik. Konsekuensinya tidak serta-merta terwujud. Alhamdulillah ilmuan hukum, bahkan ratusan dari mereka, tidak berenang di lautan politik busuk khas politisi picisan, licik, culas dan picik. Juga tidak mengikuti maunya korporasi oligarkis keleng-kaleng, odong-odong dan beleng-beleng. Alhamdulillah, ahli-ahli hukum dan Guru Besar lainnya di sejumlah kampus tidak ikut-ikutan mempropagandakan UU Omnibus, yang saya nilai sangat membinasakan ini. Alhamudlillah, mereka masih menempatkan nurani intelektualnya di jantung hidupnya. Bersyukur pada nurani mereka bening, sebening janji Allah Subhanahu Wata’ala yang akan mengangkat derajat merela orang-orang yang berilmu dan beramal lebih tinggi dari yang tidak berilmu dan tidak beramal. Allah Subhanahu Wata’ala juga akan membalas kebaikan dengan kebaikan. Alhamudlillah. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Negara "Sekarepmu Dewek” Pak Presiden
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (12/10). Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja bikinan Pemerintah mendapat reaksi keras masyarakat. Aspirasi rakyat menghendaki segera ada pembatalan atas Undang-Undang hantu dan kutilanak tersebut. Sebab Undang-Undang yang prosedur dan kontennya tidak adil, dan sarat kepentingan ini buruk secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Terburuk dalam sejarah perundang-undangan Negara Republik Indonesia. Akibatnya perlawanan datang tiak hanya dari para buruh, mahasiswa dan pelajar. Tetapi tantangan atas Undang-Undang ini datang juga dari ahli hukum dan ratusan Guru Besar puluhan Perguruan Tinggi di Indonesia Atas aksi-aksi penentangan baik oleh buruh, mahasiswa, cendekiawan, ormas keagamaan, maupun beberapa Kepala Daerah. Namun Presiden telah mengumumkan langkah dengan memberikan instruksi kepada Kapolri untuk bertindak tegas. Presiden juga melarang para Gubernur untuk menolak UU Cipta Kerja tersebut. Emangnya Gubernur anak buah Presiden ya??? Ada lagi tuduhan, bahkan penangkapan terhadap penyebar hoax RUU Cipta Kerja. Sementara RUU otentik yang ditetapkan oleh DPR pun tidak ada. Darimana Polisi bisa punya data, sehingga bisa menyatakan bahwa konten RUU yang disebarkan itu hoaks? Sementara sampai hari ini belum ditemukan draf RUU yang otentik dan absah pada saat pengesahan di sidang peripurna DPR. Ah, Presiden dan Polisi ada-ada saja. Kalau mau ngancam dan nakut-nakuti itu, yang berklas sedikitlah. Masa penetapan pidana kepada penyebar hoaks, namun UU Omnibus Law Cipta Kerja ini belum jelas wujudnya seperti apa? Tapi ya "sekarepmu" saja. Pokoknya suka-suka hati Presiden dan Polisi sajalah. Ada tiga hal penting bahwa Presiden telah bertindak "sekarep dewek", seolah-olah hanya dirinya sebagai pemilik negara . Pertama, apapun alasan, rakyat harus terima Omnibus Law ini. Karena dalihnya demi kepentingan penciptaan kerja. Lupa bahwa impor tenaga kerja asing adalah ikutan utama dari proyek produk Omnibus Law ini. Kedua, instruksi bertindak tegas dapat ditafsirkan oleh Polisi untuk bertindak keras, brutal, dan abai soal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena "demi menyelamatkan negara" versi instruksi Presiden. Lupa bahwa Polisi adalah alat negara. Bukan alat Pemerintah atau Presiden. Polisi itu pelindung, pengaman dan pengayom maysrakat. Bukan pembantai masyarakat. Ketiga, Gubernur atau Kepala Daerah tidak semata-mata kepanjangan tangan Pemerintah Pusat. Apalagi anak buah Presiden. Apa Presiden sudah lupa bahwa Gubernur dipilih oleh rakyat di Provinsinya. Bukan sebagai pembantu Presiden yang bisa disuruh-suruh. Presiden Jokowi tanpa disadari telah menerapkan prinsip Negara adalah Aku. Ini negara demokrasi berdasar "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan". Jadi no way otokrasi. Apalagi merasa kuasa sendiri. Tidak boleh "sekarepmu” pak Presiden. Harus diingat bahwa kekuasaan itu selalu berputar. Sekarang boleh saja di atas, tetapi besok juga di bawah. Sekarang mulia, besok bisa terhina lho. Allah Subhaanahu Watala mengingatkan manusia tentang kekuasaan itu pada saatnya akan berakhir juga. "Katakanlah (Wahai Muhammad) : Wahai Allah pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan pada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS Ali Imron 26). Tidak percaya? Tidak beriman? Silahkan tunggu pembuktian. "Wantadhiruu Inna muntadhiruun". Dan tunggulah (akibat perbuatanmu). Sesungguhnya kami pun sedang menunggu. (QS Huud 122). Penulis dalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Konyol Kalau Bawa UU Omnibus ke MK
by Dr.Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN – Senin (12/10). Dari namanya UU Omnibus Cipta Kerja, yang telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 lalu. Jangkauan materi muatannya mencakup 79 undang-undang, dengan 1.244 pasal ini, mengagumkan. Bahkan amat sangat mengagumkan. UU ini berambisi besar memberi kerja kepada 2,3 juta warga negara Indonesia, yang setiap tahun masuk ke pasar kerja. Bukan DPR, tetapi Presiden adalah pemrakarsa UU ini. Prakarsanya itu dinyatakan pada pidato pelantikannya untuk masa jabatan kedua. Ambisinya besar. Presiden hendak membawa bangsa ini berjaya pada tahun 2045. Kejayaan itu harus sudah mulai diproses dari sekarang. Hebat kan? Tidak Ada di Meja Paripurna Presiden, dengan segala hormat, jelas bukan sarjana hukum. Bahkan mungkin juga tidak memiliki pengetahuan hukum. Presiden tak terlatih berpikir ala yuris, think like juris seperti para guru besar hukum dan doktor, ahli hukum lainnya. Para guru besar dan ahli hukum di kampus-kampus yang terlatih bernalar menurut ilmu hukum, telah secara terbuka menolak UU Omnibus Cipta Kerja ini. Desakan mereka, ternyata tidak berbuah. Desakan dan deskan para demonstran, semuanya melayang ke angkasa. Berlau dalam kehampaan. Presiden tidak sudi memenuhi permintaan mereka. Presiden tak memilih pencabutan UU itu sebagai jawabannya. Presiden tetap di posisi politiknya melaksanakan UU. Presiden memang tidak mengatakan bahwa para Guru Besar, mahasiswa, buruh dan pelajar demonstran tersebut berotak udang. Jelas itu tidak. Presiden juga dipastikan tidak mengatakan para Guru Besar telah memperoleh informasi hoax terkait UU ini. Tetapi identifikasinya bahwa demontsran dirangsang, dipicu oleh informasi hoax. Ini terlihat sepertinya menyepelekan, untuk tak mengatakan Presiden telah mengidentifikasi para demonstran berotak udang. Celakanya, Preiden tak mampu menjelaskan secara detil pasal demi pasal UU ini. Untuk hal paling sepele, yakni draf UU yang hingga paripurna itu tak tersaji di meja. Jangankan anggota DPR, Ketua Fraksi pun tidak itu punya. Peristiwa ini tidak dapat dijelaskan oleh Presiden. Celakanya, Presiden menyodorkan hoax, disinformasi sebagai pemicu demonstrasi. Jangan begitu Pak Presiden. Permasalahan hukum apa yang disahkan Pak Presiden dan DPR? Mengesahkan hal yang hanya ada di kepala? Apakah Presiden sedang menciptakan tatanan baru pembentukan UU dalam ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945? Apakah Pak Presiden hendak menjadikan Baleg sebagai organ baru menggantikan DPR? Apakah ekspresi DPR sebagai lembaga negara, sekarang diwakilkan kepada Baleg? Bukan pada rapat paripurna DPR? Ini ilmu apa Pak Presiden? Presiden harus diberi tahu perbaikan tipo, titik koma, bentuk huruf, itu bukan pekerjaan yang hanya sah secara konstitusi dilakukan dalam pembahasan. Bukan setelah disepakati paripurna Pak Presiden. Tahukah Presiden hukum ada pada setiap kata, bentuk huruf, rangkaian kata-kata dan tanda-tanda baca dalam pasal, ayat, dan huruf? Hukum apa yang dibekali kepada Presiden kala menyampaikan sikapnya, pada tanggal 9 Oktober, sehari setelah demonstrasi? Politik memang tidak sama dengan perang yang tidak bisa jauh dari gerak tipuan. Tetapi apa yang Presiden dapat sajikan kepada rakyat? Misalnya nalar dibalik konsep perhitungan upah buruh yang dipertalikan pada pertumbuhan ekonomi setiap daerah? Pak Presiden anak SD juga bisa baca teks UU. Tetapi mereka tak bakal mengerti nalar dibalik teks itu. Andai Presiden mau buka sedikit lembaran sejarah pembangunan republik tercinta ini, Presiden pasti akan menemukan rangkaian bukti lapuknya paradigma penciptaan lapangan kerja. Paradigma bersandar pada korporasi. Orde baru mengawali eksistensinya dengan cara pandang itu. Hasilnya? Pertumbuhan ekonomi hanya mengagumkan dan membesarkan segelintir korporasi. Presiden memang tidak bersentuhan dengan Orde Baru. Paradigma liberal klasik itu, sayangnya dihidupkan secar ugal-ugalan lagi pada saat ini. Paradigma itu bertransformasi menjadi metode korporasi memperbesar cengkeraman mereka atas seluruh tatanan bernegara. Sayang sekali Presiden tidak menenggelamkan nalarnya ke dalam falacy konsep itu. Menyedihkan betul. Dilarang Terpukau Presiden telah mendemonstrasikan sikapnya, entah demokratis atau angkuh dengan membuka diri, mempersilahkan warga negara yang jengkel dengan UU ini, membawanya ke MK. Hebatkah ini? Tidak. Ini malah payah. Mengapa? Orang-orang pintar tahu kalau mengikuti imbauan Presiden sama dengan membuat UU Omnibus Ciptaker yang sialan itu, tetap menjadi buih. Berada diatas permukaan ombak. Orang-orang pintar akan menemukan diri tenggelam dalam politik tak berkelas Presdien. Itu satu. Kedua, ke MK itu konsekuensi sistem ketatanegaraan eksisting. Dengan atau tanpa sikap Presiden, sistem bekerja dengan cara itu. Tidak bisa lain. Bawaan lautan adalah asin. Itu alamiah. Tanpa perlu digarami pun lautan tetap saja asin. Jadi untuk apa mempersilahkan rakyat membawa UU ini ke MK? Menyuruh orang ke MK, tetapi pada saat yang sama membuka dialog, jelas akan terlihat sebagai ejekan. Apa yang mau didialogkan setelah menjadi UU? Mau akomodasi gagasan baru ke dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden? Para Guru Besar akan merasa diakali. Mengapa? UU sudah disahkan. PP dan Perpres tidak bisa memuat norma yang tidak diperintahkan UU. Jadi apa faedahnya dialog? Pernyataan Presiden itu seperti menyuruh Guru Besar menjaring angin. Sudahlah, tak ada faedah untuk diratapi. Nestapa, suka atau tidak, sudah muncul menemani bangsa ini disepanjang jalan berliku dihari-hari mendatang. Marilah melihat pernyataan itu sebagai cara Presiden menghindar Perpu mencabut UU itu. Perpu pencabutan UU itu tak tersedia di meja kebijakan Presiden. Presiden mempersilakan siapapun membawa UU ini ke MK, dapat diduga mungkin dirangsang oleh pengetahuan kecilnya tentang preseden pasal tentang presdensial threshold pada UU Pilpres. Hantu blau ini tidak dikenal dalam pasal 6A UUD 1945. Ini ciptaan DPR dan Presiden, dan dibenarkan oleh MK. Jatuh hati pada sikap demokratis Presiden, terasa sama dengan terjatuh ke dalam parit dan gorong-gorong. Mengejarnya terasa sama dengan membentangkan pelangi dilangit usai ba’da Azhar. Mustahil. Sehebat apapun angkuhmu, mustahil kau bentangkan pelangi di langit ujung ba’da Ashar. Sudahlah, menjauhlah dari pergi ke MK. Jangan rindukan datangnya luka hati. Presiden, dapat diandaikan, tidak mengerti konsep unintended consequences atas hukum dalam pasal, ayat dan huruf. Terlalu berlebihan meminta Presien mengerti kenyataan sejarah yang dihasilkan dari konsekuensi itu. Amandemen ke-14 Konstitusi Amerika Serikat pada tahun 1868 usai perang saudara, sejenak terlihat mengagumkan. Amandemen itu tegas mengatur, dalam sifatnya konsolidasi prinsip kesamaan derajat untuk semua jenis subyek hukum. Untuk Amerika yang hebat. Apa yang terjadi sesudahnya? Aturan itu menjadi dasar korporasi diterima sebagai subyek hukum dalam sistem hukum Amerika sejak itu. Itulah konsekuensi tak dikehendaki unintended consequences. Mau apa? Begitulah hukum bekerja dalam alam demokrasi korporasi yang dipandu dengan hukum, nomokrasi urakan. Keuangkuhan Monster Mayoritas Terpukaulah dengan kenyataan yang disodorkan PKS dan Demokrat, yaitu tidak adanya UU yang disahkan itu diatas meja paripurna. Luka besar konstitusi ini, cukuplah diratapi, bila tak mampu tertawakan. Namun tak usah kecil hati dengan kenyataan konstitusional bahwa Presiden punya tiga hakim MK. Begitu juga DPR. Itu konstrain UUD 1945. Itu determinative, bukan indeterminative. Berbesar hati pulalah, sistem konstitusi di bawah UUD 1945 memungkinkan MK berkreasi menemukan argumen-argumen pembenar atas kenyataan sebusuk itu. Kreasi mereka tak bisa dikoreksi. Itu hebatnya sistem tata negara reformasi. Begitu MK membenarkan kenyataan busuk itu, maka terkunci, dalam arti terformalisasi sudah hal busuk itu. Putusan itu menjadi hukum dan tatanan bernegara dimasa datang. Itulah konsekuensi sistem. Konsekuensi lainnya? Dimasa depan sistem ketatanegaraan kita membenarkan Presiden dan DPR mengesahkan RUU tanpa rancangan final tersaji diatas meja anggota DPR dalam paripurna. Berbahaya memang, karena ini menjadi panggilan mengerikan hidupnya monster bernama keangkuhan mayoritas. Selalu ada waktu untuk kebenaran berbicara dengan cara yang tak dapat dilawan oleh penguasa sekaliber Fir’aun sekalipun. Hukum politik mengajarkan kebenaran selalu punya cara menyapa dan menggoyahkan, bahkan menggulung penguasa yang memonopoli semua aspek semau-maunya. Terpukau untuk pergi ke MK menguji UU ini, bisa jadi akan ditertawakan kera putih kecil. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Tak usah menyusahkan diri sendiri. Meminta Perpu kepada yang terhormat Presiden mencabut UU ini, sekalipun terlihat sebagai hayalan, tetapi mungkin bisa diusahakan. Itu pilihan yang paling mungkin, dan satu-satunya. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Omnibus Law Hanya Obat Nyamuk, Bukan Kemenyan
by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Ahad (11/10). Kalau salah menempuh jalan yang dilalui, maka ekonomi pasti masuk jung. Kalau liberalisasi dan neoliberal bisa menyelamatkan ekonomi pemerintahan Jokowi, seharusnya paling tidak dalam enam tahun terakhir ekonomi sudah membaik. Mengapa yang terjadi sebaliknya? Ekonomi Indonesia di bawah Jokowi stagnan. Malah cenderung ke memburuk, dan semakin memburuk dari hari ke hari. Ternyata jalan yang di pakai para ekonomi dan pemikir ekonomi pemerintah Jokowi sudah tidak relevan lagi. Dunia sudah rame-rame meninggalkan leberalisasi dan neoliberal. Lalu mengapa pemerintah malah menggunakan jalan liberalisasi neoliberal Omnibus Law? Ternyata ini karena tukang keuangan Jokowi tak mengerti keadaan dunia saat ini. Masih hidup di bawah tempurung. Mereka pikir jalan liberalisasi neoliberal bisa menjadi kemenyan untuk jampi-jampi agar uang masuk. Ternyata liberalisasi neoliberal Omnibus Law ini hanya obat nyamuk asap. Asapnya banyak, dan hanya bisa untuk membuat sesak nafas. Para tukang ekonomi, keuangan, politik, dan sosial budaya yang ada di sekitar Jokowi sekarang umumnya adalah alumni krisis 98. Mereka tidak memiliki kemampuan dalam memahami tema baru yang tengah menggerakkan dunia saat ini. Isi kepala dan otaknya alumni 98 terpenjara dalam mainstream ideologi yang sudah tak relevan lagi dalam menganalisis dan memecahkan situasi yang tengah berlangsung. Sayangnya, mereka masih coba-coba juga untuk dipaksakan mazhab yang sudah lapuk dan usang itu. Bahkan alumni krisis 98 ini hanya memahami bahwa ilmu ekonomi ini adalah liberalisasi neoliberal macam Omnibus Law. Malah ilmu ekonomi mereka hanya seputar pada bagaimana memberikan dana talangan kepada perusahaan, bailout bank, Penyertaan Modal Negara (PMN), menutup defisit dengan hutang baru dan sejenisnya. Tidak lebih dari itu. Alumni krisis 98 ini hanya memahami bagaimana menimbun utang dan mengambil pajak rakyat. Target akhirnya untuk mempertahankan supremasi oligarki, korporasi dan konglomerasi licik, picik, tamak dan culas atas kekuasaan politik dan ekonomi. Tragisnya faham dan mazhab yang sudah lapuk dan usang ini dilakukan dengan bangga berulang-ulang. Mereka Alumni krisis ekonomi dan politik 98 ini hanya kaki tangan oligarki, korporadi dan konglomerasi busuk. Padahal kemampuan dan kredibilitas mereka tidak lebih dan istimewa. Bahkan hanya menjadi parasit negara. Memakan uang negara. Hidup dari proyek proyek pemerintah dan BUMN. Namun tampil di depan publik tepuk dada sebagai penyangga ekonomi negara. Sayangnya mereka sekarang, hmapir seluruhnya tidak lagi dipandang relevan oleh arsitektur keuangan global dalam menata masa depan. Oligarki, korporasi dan konglomerasi busuk, licik, picik, dan tamak ini malah dipandang dan diposisikan sebagai penyakit global saat ini. Kebaradaan mereka hendak disingkirkan dalam percaturan global. Sebab keberadaan mereka menjadi residu untuk sejarah manusia manusia. Uang mereka hilang, perusahaan mereka ambruk, institusi penopang mereka roboh. Mereka terjatuh seperti pelepah pohon kelapa kering. Pemerintahan Jokowi sekarang telah kehilangan kesempatan. Jalan yang ditempuh sudah menyimpang jauh dari tema perubahan saat ini. Tema utama yang tengah memaksa dunia untuk berubah. Tema yang datang menerjang tak bisa dihalangi oleh siapapun. Apalagi oligarki, korporasi dan konglomerasi Indonesia, yang selama ini terkenal busuk, picik, licik dan tamak. Dunia tampaknya memang lupa memberi nama tema yang tengah berlangsung. Dunia sekarang gigerakkan oleh tools utama, yakni transparansi dengan tiga elemen kunci, yaitu ICT, digitalisasi, financial technology. Selain itu, penghapusan uang kotor melalui Automatic of Exchange Information (AoI). Penghapusan uang ktor ini bekejasama dengan Mutual legal Assitance (MLA). Terakhir, penghapusan energi kotor, industri kotor melalui Conference Of The Parties (COP) 21 dan Covid 19. Inilah elemen yang akan menyapu bersih dunia faham dan mazhab liberalisasi dan neoliberal model Omnibus Law. Siapa yang bisa berselancar di atasnya, akan bisa sampai ke tepi lautan Hindia. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Dari Revolusi Mental Menuju Revolusi Sosial (Bagian-2)
by Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta FNN – Ahad (11/10). Dalam tafsir pemikiran Marxian, model negara dengan pemusatan kekuasan di tangan Jokowi seperti ini adalah negara proxy kapitalis. Bukan sebuah negara ala Weberian atau ala Leviathan Hobbes yang melihat adanya eksistensi negara. Tafsir Marxian memperlihatkan bahwa cita cita Jokowi dengan Revolusi Mental yang ke kiri-kirian hanyalah seperti "Violin Obama". Sebuah term yang pernah dituduhkam pada Obama, yang berpura-pura kiri, tapi faktanya kapitalis habis. Namun, perjalan situasi saat ini tidak menguntungkan rezim Jokowi. Krisis pandemi Covid-19 telah menghancurkan negara, baik ekonomi maupun sektor kesehatan. Ekonomi mengalami krisis dan depresi tanpa jalan keluar. Harapan bantuan "teman baik" RRC tidak terjadi. Karena RRC juga mengalami kemerosotan ekonomi, yang membuat ratusan juta pengangguran di sana. Mengandalkan lembaga lembaga multilateral untuk menolong atau hutang juga sulit. Karena IMF misalnya, harus membantu 150-an negara anggotanya. Beberapa bulan lalu IMF hanya berhasil memberikan pinjaman rera-rata U$ 0,3 miliar per negara. Bandingkan Indonesia pada krisis moneter tahun 98, mendapat bantuan U$ 75 miliar. Kemerosotan negara akan terus memperburuk adminsistrasi dan pelayanan, serta kemampuan aparatur militer menjaga negara. Memperkuat peranan polisi pada social order, belum tentu efektif, jika keresahan dan perlawanan rakyat menguat. Selanjutnya munculnya tokoh-tokoh revolusioner ke depan. Dalam gejolak sosial seperti saat ini, kelompok-kelompok sosial terus memproduksi "tokoh-tokoh baru". Maksudnya tokoh-tokoh yang menjadi revolusioner. Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin misalnya, dua tokoh baru dari masyarakat sipil dan eks militer. Kedua tokoh ini muncul membawa pesan-pesan revolusioner serta solidaritas. Tokoh seperti Agus Harimurti Yudhoyono misalnya, yang acap sebelumnya dianggap sepele, namun karena keberaniannya melawan rezim dalam kasus UU Omnibus Law, telah berubah menjadi sosok heroik. Tentu saja akan muncul banyak tokoh-tokoh baru lainnya ke depan. Tokoh-tokoh revolusioner baru ini akan bersinergi dengan tokoh revolusioner lama, Habib Rizieq Sihab. Situasi dan momentum akan membuat mereka membangun front bersama dalam membimbing perubahan. Terakhir soal ideologi perjuangan. Ideologi dalam pengertian sederhana adalah alat untik sebuah tujuan. Pengertian dapat dikembangkan bahwa ideologi adalah seperangkat nilai-nilai yang mengikat dan mewarnai sebuah gerakan sosial untuk mencapai tujuannya. Nilai-nilai itu adalah yang berkontestasi dengan nilai-nilai "establishment" dari penguasa. Saat ini ideologi perjuangan dan perlawanan telah melahirkan nilainilai yang mengikat collective ideas, yakni anti kapitalisme, anti Oligarki dan cukong-cukong dan mendorong nilai-nilai sosialistik menggantikan kapitalis liberal. Habib Rizieq yang dulu sendirian menggelegarkan anti terhadap “Sembilan Naga”, sebagai anti cukong alias anti kapitalis telah mendapatkan sekutu perlawanan dari berbagai tokoh-tokoh dan elemen perjuangan. Dengan pernyataan yang sama dari Gatot Nurmantyo dan Din Syamsuddin, misalnya, persekutuan ideologis terjadi dalam suasana perlawanan sosial mereka. Sebab-sebab munculnya sebuah revolusi telah terlihat sebagai sebuah fenomena sosial kita. Ketegangan sosial dan keruntuhan sosial lama telah dan akan menjadi kenyataan. Dalam situasi keruntuhan sebuah sistem sosial lama, sebab-sebab tersebut tidak dapat dipersepsikan sebagai sebuah kejahatan bernegara. Sebab-sebab tersebut adalah sebuah konsekwensi sosial dalam situasi dan momentum yang terjadi karena berbagai sebab-sebab sebelumnya. Suatu rangkaian peristiwa sosial yang terhubung sata sama lain. Ketika kita memaknai seorang Profesor ahli Hukum UGM, yang menyerukan pembangkangan sosial, tentunya bukan sebuah kejahatan. Sebab, seruan itu adalah reaksi atas aksi. Dan UGM selama ini dikenal sebagai kampus loyalis pendukung Jokowi. Namun sekarang menjadi berbalik. Mengapa Revolusi Mental Gagal? Revolusi yang digaungkan Jokowi sebagai upaya perubahan besar ketika berkuasa adalah Revolusi Mental. Revolusi ini adalah gagasan untuk menghancurkan kehidupan materialistik dan memperkaya diri dalam masyarakat. Selain itu, sebagaimana tulisan Jokowi di Kompas, April 2014, gagasan lainnya adalah menghancurkan budaya korupsi di Indonesia. Dua tahun setelah berkuasa, Jokowi melembagakan gerakan revolusi itu melalui Inpres 12/2016. Inpres itu menyatakan ada lima program Gerakan Nasional Revolusi Mental. Yaitu Program Gerakan Indonesia Melayani, Program Gerakan Indonesia Bersih, Program Gerakan Indonesia Tertib, Program Gerakan Indonesia Mandiri, dan Program Gerakan Indonesia Bersatu. Namun, sebagaimana kita ketahui, gagasan Indonesia bersih itu telah gagal total saat ini. Setelah Jokowi dan sekutu partainya "melumpuhkan" KPK tahun lalu, maka pembicaraan dan keraguan tentang rezim Jokowi yang semakin korup menjadi semakin nyata. Gerakan sipil dibidang pemberantasan korupsi melihat pelumpuhan KPK itu sebagai situasi terburuk upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai korupsi besar seperti skandal Asuransi Jiwasraya dan ketua KPK menggunakan fasilitas swasta untuk kepentingan pribadi, serta banyak lainnya, menandai membesarnya prkatek korupsi di Indonesia. Skandal perlindungan kasus korupsi Djoko Tjandra oleh petinggi kepolisian dan kejaksaan, menunjukkan situasi tidak berdaya rezim Jokowi dalam penegakan hukum. Mahfud MD, sebagai pemerintah, mengakui ketidakmampuan dan ketidakberdayaan pemerintah itu. Bahkan ketidakberdayaan presiden soal penegakan hukum ini. Bulan lalu, berbagai media mengungkap tanggapan atas pernyataan Mahfud ini sebagai sebuah kekalahan negara. Meskipun dia beralasan adanya pembagian kewenangan yang terpisah. Lalu mengapa Revolusi Mental Jokowi gagal? Setidaknya penyebabnya karena tiga hal. Pertama, jokowi terjerat pada persekutuan oligarki partai dan pemilik modal yang sebagiannya sudah terbiasa korupsi. Ditenggarai seorang mantan direktur Jiwasraya yang terlibat skandal Jiwasraya adalah pejabat di kantor Staf Presiden (KSP). Sekutu partai Jokowi lainnya, seperti Romi PPP, Setya Novanto dan Idrus Marham Golkar, serta Imam Nachrowi PKB juga koruptor. Kedua, Jokowi tidak punya basis sosial yang kuat dalam gagasan revolusi mental. Ini ditandai dengan tidak adanya kekuatan masyarakat yang mengusung tema ini secara besar besaran dan serius. Ketiga, Gagasan ini mungkin bersifat artifisial. Jokowi hanya ingin gagah-gagahan unjuk gagasan dalam menuju kekuasaan. Sebab pada pilpres 2019, Jokowi tidak lagi mempersoalkan keberadaan gagasan ini. Penutup Kekecewaan rakyat meluas dan mendalam. Spektrum kekecewaan itu datang dari berbagai persoalan bangsa, seperti isu kebangkitan Komunisme, isu Omnibus Law, isu Pilkada, isu krisis ekonomi, kesehatan, serta berbagai isu terkait pelanggaran HAM dan anti demokrasi. Kekecewaan ini telah meliputi ormas-ornas besar. Misalnya dalam kasus penolakan pilkada, dan elemen progresif revolusioner, yakni kaum buruh dan mahasiswa, dalam kasus Omnibus Law. Sebagai manifestasi kekecewaan itu, maka buruh dan mahasiswa sudah melakukan aksi perlawanan pada rezim Jokowi. Padahal mereka juga mengetahui adanya resiko pandemi yang mematikan. Dan diperkirakan kekecewaan ini tidak mudah berhenti, dan sangat sulit untuk dikendalikan. Krisis ekonomi dan sektor kesehatan, di sisi lainnya, telah menggerogoti negara. Skocpol, seorang sosiolog America misalnya, melihat faktor kegagalan negara menjadi salah satu sebab lain terjadinya revolusi sosial, ketika pemberontakan rakyat terjadi. Dua hal ini, perlawanan dan krisis negara menjadi syarat adanya sebuah revolusi sosial. Sebagaimana studi Theda Skocpol pada revolusi Prancis, Rusia dan China. Namun, berbagai ahli tentang revolusi lainnya mengaitkan adanya tokoh-tokoh atau "social agent" dan ideologi bersama. Dari sisi ini ideologi, norma anti "establishment", anti kapitalis, anti neo liberal dan anti komunisme telah mewarnai ruh berbagai gerakan yang ada. Dapat menjadi ideologi bersama. Tokoh seperti Habib Rizieq, Din Syamsuddin dan Gatot Nurmantyo, telah menjadi tokoh nasional yang terlibat dalam perlawanan. Bisa juga Agus Harimurti Yudhoyono dan Said Iqbal yang menolak UU Omnibus Law, serta Profesor Zainal Mochtar Arifin yang menyerukan pembangkangan sosial bergeser menjadi tokoh-tokoh revolusioner pula. Berbagai tokoh gerakan tentu saja akan muncul beberapa atau banyak lainnya dalam momentum revolusioner, di manapun dalam sejarah. Itulah situasi sosial kita saat ini. Sebuah situasi besar pergeseran "Dari Revolusi Mental Menuju Revolusi Sosial". Memang Revolusi akan selalu mencari jalannya sendiri. (selesai). Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle.
Tidak Belajar Dari Orla & Orba, Malapetaka Pak Jokowi
by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Ahad (11/10). Presiden telah mengambil sikap. Presiden tidak mau menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk mencabut UU Omnibus Cipate Kerja, yang sialan itu. Para guru besar hukum, dan lainnya dari berbagai Perguruan Tinggi, juga pelajar, pekerja dan siswa yang berdemonstrasi di seluruh Indonesia, disepelekan saja. Presiden punya hitung-hitungan? Itu pasti. Paling tidak Presiden menganggap penolakan berbagai kalangan atas UU sialan ini, sebagai ekspresi biasa dalam dunia demokrasi. Sampai disini oke. Tetapi bagaimana kalau rakyat, sekalipun hanya sebagian menganggap Presiden angkuh, sombong, ngaco ngawur, amburadul, asal-asalan dan picisan? Keangkuhan Seokarno & Soaharto Orde Lama dan Orde Baru, diketahui berbagai kalangan, dulu dan sekarang sebagai dua orde yang sangat memonopli kebenaran publik. Kebenaran hanya datang dari penguasa. Di luar penguasa, itu ngaco dan ngawur semua. Suara-suara kebenaran di luar penguasa Orde baru dan Ode Lama dianggap menggoyan stabilitas politik, mengganggu pemerintah dan lain sebagainya. Begitulah catatan beta sebagai wartawan yunior sejak awal 1990 dulu. Pemerintah tak boleh dikritik. Praktis pemerintah menjadi lumbung kebenaran yang mutlak-mutlakan. Kebenaran hanya punya mereka yang di kekasaan. Kenyataan itu juga yang menguat, tak terbandingi diujung kejayaan palsu Orde Lama. Siapapun yang merasa bahwa kritiknya itu benar dan masuk akal. Sehingga ada alasan yang kuat untuk tetap mengeritik pemerintah, maka harus berakhir dipenjara. Tragisnya lagi, dipenjara tanpa proses pemeriksaan di pengadilan. Orde Baru juga sama. Gampang untuk melupakan kenyataan sejarah yang sangat bernilai saat Orde Lama berkuasa itu. Bahkan Orde Baru tetap angkuh, pongah, sombong, suka mengentengkan masalah. Senang untuk bembanggakan sendiri kenyataan pembangunan, yang ternyata rapuh tersebut. Akibatnya, temboklah yang bicara. Untuk menunjukan betapa hebatnya Pemerintah Pak Harto mengontrol rakyat. Harus memastikan bahwa stabilitas terus bekerja sesuai defenisi penguasa. Stabiltas berada dalam kendalinya penguasa Orde Batu. Untuk itu, semua yang bebentuk gangguan harus disikat, dan dibereskan. Tetapi sejarah berbicara dengan fakta yang tak dapat dikoreksi. Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, dua orang paling hebat, berkuasa pada masanya, terjungkal dengan cara yang sangat menyakitkan dan menyayat hati. Dua orang besar yang tidak bisa dikatakan bawha mereka berdua bukan penyelamat bangsa ini, harus mengakhiri jabatannya setelah diolok-olok oleh rakyatnya sendiri. Sangat menyedihkan sekali. Namun itu kenyataan. Gurihnya kekuasaan memang membutakan segalanya. Begitulah sejarah menunjukan kepada kita. Itu juga yang terjadi di pemerintah keduanya. Bung Karno tak bisa dikoreksi. Begitu juga dengan Pak Harto. PKI yang terus menggila dalam politik Bung Karno, tak bisa dikoreksi. Dukungan mereka pada kebijakan Pak Karno, membuat PKI dilihat sebagai loyalis. Kaum revolusioner sejati. Yang lain seperti misalnya Masyumi? Itu Neokolim semua. Sedih memang, melihat catatan sejarah bagaimana keduanya diolok-olok oleh rakyat sendiri. Yang boleh jadi pernah mengagung-agungkan mereka dulu. Begitulah hukum politik. Selalu menemuikan cara untuk menghukum, mengolok-olok orang besar. Berpihak kepada orang pada saatu saat, lalu berpindah memihak orang kecil, yang biasa terhina di sisi lain pada waktu yang lain. Itulah hukum abadi politik. Jokowi di Jalan Yang Sama Presiden Jokowi yang tidak cukup punya bekal politik sekelas dengan Bung Karno dan pak Harto, juga Pak Habibie, dan Gus Dur. Jokowi sedang dan terus berada dijalan yang sama yang pernah dilalui Bung Karno dan pak Harto. Menyepelekan orang-orang pintar di kampus-kampus, sedang menjadi tabiat yang peling menonjol dari pemerintahannya. Persis seperti Pak Harto diujung kejayaan dulu. Saat di tepi waktu kejatuhan yang memilukannya, Jokowi telah dengan berani menyepelekan ratusan guru besar, para Doktor dan Profesor. Jokowi malah tegas meminta polisi memejarakan para demonstran. Tindakan ini persis sama dengan yang dilakukan oleh Pak Harto menjelang kejatuhannya dulu. Masih ingatkah bagaimana pemerintah Pak Harto mengarahkan kampus-kampus? Tidak ingatkah bagaimana pemerintah Pak harto memperlakukan mahasiswa menjelang kejatuhannya? Masih ingatkah bahwa ketika itu keadaan memang buruk, tetapi rakyat tidak sesusah secara ekonomi seperti sekarang ini. Sekarang malah luarbiasa susahnya. Pemerintah Orde Baru jago dalam mempromosikan konsep pertumbuhan ekonomi, sebagai mantra mensejahterakan rakyat. Pemerintah Pak Harto juga mengistimewakan kaum pengusaha. Masih ingat bagaimana kasus Marsina, perempuan pekerja yang mati terbunuh secara sadis itu? Masih ingat kasus Udin, jurnalis yang mati terbunuh setelah memberitakan kebobrokan pemerintahan? Sekarang ada jurnalis yang hilang ditengah liputan demonstrasi kemarin. Edan, ko bisa itu terjadi dalam demokrasi di eranya Jokowi? Atau itulah demokrasi ala Jokowi? Hanya waktu yang akan bicara. Jokowi tidak mengekspresikan sikapnya sebagai sosok yang sebenarnya ikut bertanggung jawabn atas demokstrasi kemarin. Bagaimana bilang informasi yang beredar hoax, sampai sekarang pun boleh jadi Jokowi belum memperoleh UU itu secara utuh. Persis seperti dialami Fraksi PKS dan Fraksi Denmokrat. Lalu atas dasar apa Jokowi bilang hoax? Presiden Jokowi hanya bisa berbicara secara umum sekali. Sama dengan semua orang yang bicara. Tetapi Jokowi cukup berani mengatakan orang-orang berdemonstrasi itu memperoleh informasi hoax. Hebat sekali Pak Jokowi kita ini. Meskipun belum baca utuh ini UU, tetapi sudah mampu mengklaim kebenaran. Sama persis eranya Orde Lama dan Orde Baru dulu. Pemerintahan Jokowi juga mengcopy-paste cara orde baru menghadapi keadaan politik yang panas. Caranya adalah menuduh orang, tanpa menyebut nama sebagai otak keributan. Pemerintah ini masuk ke cara kuno dan primitif. Tentu saja untuk menekan orang-orang berkelas yang kritis. Demonstran mau dipenjarakan. Tetapi tindak pidana pemukulan yang dilakukan oleh penegak hukum kepada para demonstran, didiamkan Jokowi. Sikap ini diskriminatif. Semau gue, juga angkuh dan sombong. Jokowi melukai para orang tua yang anaknya ditelanjangi itu. Sedih melihatnya. Ini juga cara terlalu kotor, primitif an bar-baran. Jokowi boleh saja berjaya saat ini. Boleh saja sepelekan guru besar, dan mencampakan dialog, serta terus kukuh, angkuh dan sombong menjalankan UU, yang para Guru Besar telah menolaknya. Pak Jokokwi, kalau UU ini hebat, mangapa musti disepakati malam-malam? Mengapa juga harus cepat-cepat disahkan? Padahal drafnya saja belum tuntas? Ada apa Pak Jokowi? Ada yang disembunyikan atau ada yang dihindari? Oke Pak Jokowi bilang silahkan uji ke Mahkamah Konsitusi. Beta bukan ahli hukum. Beta hanya jurnalis hukum, sehingga cuma bisa ajukan pertanyaan kepada bapak. Pernahkah sekalipun hanya sedetik saja, bapak bayangkan berapa jumlah permohonan yang harus disiapkan pemohon? Sampai sekarang Pak Jokowi tidak mampu menjawab pertanyaan PKS dan Demokrat, tentang dimana draf akhir UU itu berada? Tetapi Pak Jokowi telah dengan meyakinkan menyalahkan orang-orang. Saya sarankan jawablah segera. Dimana itu barang? Sedang diapakan itu barang? Pak Jokowi tak bisa dianggap tidak bertanggung jawab terhadap keributan sekarang ini. Barang tidak jelas, tetap disahkan. Apakah Pak Jokwi sedang menyusun bata pasir rapuh untuk mengundang kejengkelan yang lebih dari rakyat negeri ini? Hanya Pak Jokowi yang tahu itu. Sekarang bapak menolak untuk berdialog. Tidak mau mengikuti kemauan rakyat. Kalau bapak buka dialog saat ini, toh untuk apa? Tetapi sejarah telah menunjukan bahwa Pak harto yang sebelumnya tidak mau berdialog, akhirnya dijepit waktu dan memanggil untuk berdialog dengan para tokoh. Hasilnya? Pak Harto akhirnya berhenti. Apakah itu yang diharapkan oleh Pak Jokowi? Waktu yang menjadi saksi dan hakim untuk kita semua. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.Co.id.
Cek Kosong, Ilusi & Hayalan Dari Omnibus Law
by Anthony Budiawan Jakarta FNN – Ahad (11/10). Sedih dan pilu nasib rakyat Indonesia. Kebijakan ekonomi berdasarkan coba-coba tanpa kajian menyeluruh dan masuk akal. Kebijakan coba-coba ini hanya berdasarkan intuisi. Yang ternyata salah arah. Atau memang tujuannya mau menguntungkan pihak tertentu saja? Mereka itu adalah oligarki, korporasi dan konglomerasi. Target pertumbuhan ekonomi 2015-2019 dipatok 7 persen. Realisasinya jauh di bawah itu. Jauh panggang ari api. Pertumbuhan ekonomi 2015 hanya 4,9 persen. Akibatnya, pemerintah kelihatan bingung dan penik. Jurus kebijakan coba-coba mulai dijalankan. Sejak 2015 pemerintah mulai menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE). Katanya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi menjadi 7 persen. Hasilnya? Silahkan cari di laut bebas. Tidak hanya satu kebijakan, tetapi berjilid-jilid. Puncaknya 16 November 2018, pemerintah menerbitkan PKE jilid XVI yang sangat absurd dan akhirnya harus direvisi atau dibatalkan. PKE intinya kebijakan insentif perpajakan untuk menarik investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tetapi, hasilnya nihil. Pertumbuhan ekonomi 2015-2019 rata-rata hanya 5 persen per tahun. Lebih rendah dari dua periode 5 tahun sebelumnya. Pertumbuhan rata-rata 2005-2009 dan 2010-2014 masing-masing 5,6 persen dan 5,8 persen per tahun. Kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan Tax Amnesty (TA) yang berlaku Juli 2016 hingga Maret 2017. Tax Amnesty lagi-lagi memberi janji angin surga. Janji manis ditebar pemerintah dan pengikut intelektualnya. Setara dengan pengikut yang aktif di medsos. Propagandanya sangat militan. Sampai mengancam bagi yang tidak ikut Tax Amnesty. Janji manis Tax Amnesty sebagai berikut. Pertama, Tax Amnesty akan membawa kembali uang penduduk Indonesia yang disimpan di luar negeri. Nilainya fantastis, sekitar Rp 4.000 triliun, bahkan sampai Rp 11.000 triliun. Kedua, dengan uang hasil Tax Amnesty itu, akan membuat pertumbuhan ekonomi meroket. Ketiga, Tax Amnesty membuat rasio penerimaan pajak terhadap PDB naik drastis. Dari 11 persen menjadi 14,6 persen pada 2019. Janji Tax Amnesty ternyata tidak terbukti. Pertumbuhan ekonomi hanya rata-rata 5 persen per tahun pada 2015-2019. Rasio penerimaan pajak 2019 malah turun menjadi 9,8 persen. Uang yang masuk (repatriasi) dari luar negeri hanya Rp 146 ,6 triliun. Jauh di bawah nilai propaganda. Yang menjadi “korban” Tax Amnesty malah penduduk di dalam negeri. Nilai harta dalam negeri yang dilaporkan sebesar Rp 3.633,1 triliun. Padahal banyak harta ini diperoleh dari hasil kerja yang sudah bayar pajak. Tetapi belum dilaporkan di SPT Tahunan yang memang sebelum tahun 2008 tidak diwajibkan untuk itu. Sedangkan harta luar negeri yang dilaporkan terkait Tax Amnesty hanya Rp 1.180 triliun, jauh di bawah nilai propaganda. Kebijakan PKE dan Tax Amnesty dapat dikatakan gagal. Tetapi, pelaku penggelapan pajak sudah terbebas dari ancaman pidana penggelapan pajak. Pemerintah, dan DPR yang menyetujui Tax Amnesty, aman-aman saja. Juga bebas dari segala konsekuensi akibat kegagalan dalam mengambil kebijakan yang merugikan masyarakat luas dan menguntungkan segelintir orang saja. Karena tidak sanksi atas kegagalan kebijakan ini. Karena tidak ada mekanisme pemberian tanggung jawab kepala negara kepada rakyat. Akibat hak konstitusi rakyat sudah dirampok dengan UUD “palsu”. Sebelumnya, presiden Soekarno turun karena pertanggung jawabannya tidak diterima MPR. Begitu juga presiden Habibie. Ooh betapa buruknya nasib rakyat Indonesia sekarang ini. Setelah Tax Amnesty, kini giliran Omnibus Law Cipta Kerja dimainkan. Maksudnya dikenalkan ke publik. RUU Cipta Kerja yang diumpan pemerintah sudah disahkan DPR menjadi UU pada 5 Oktober 2020. Pengesahan UU ini disambut gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat. Seperti biasa, pro dan kontra saling sikut menyikut. Pihak kontra mengatakan UU ini sangat merugikan masyarakat termasuk buruh, pekerja dan petani. Bahkan ada yang mengatakan UU ini membuat sistem perbudakan di Indonesia aktif kembali. Tragis mendengarnya. Selain itu, 35 investor global menyuarakan kekhawatirannya terhadap potensi kerusakan lingkungan hidup. Pemerintah tentu saja ada alasan mengapa begitu ngotot mau mengesahkan UU Cipta Kerja. Alasannya klasik, sama seperti alasan Tax Amnesty. Yaitu, untuk menarik investasi sebesar-besarnya. Investasi asing maupun dalam negeri. Menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Benarkah propaganda ini? Benarkah UU Cipta Kerja akan meningkatkan investasi? Jangan-jangan propaganda ini akan menjadi cek kosong belaka, seperti pada kebijakan Tax Amnesty. Maksudnya, semua janji manis hanya isapan jempol saja. Kalau ini sampai terjadi, apakah pemerintah dan DPR berani bertanggung jawab karena sudah begitu ngotot mengesahkan UU tersebut, meskipun diiringi protes dan korban jiwa? Misalnya, mengundurkan diri kalau gagal? Masalah ekonomi yang lemah saat ini bukan karena UU. Karena dengan menggunakan UU yang sama, pertumbuhan investasi pada periode 5 tahun sebelumnya (2010-2014) bisa lebih tinggi dari periode 5 tahun terakhir (2015-2019). Pertumbuhan investasi pada periode 2010-2014 rata-rata 27 persen per tahun. Jauh lebih tinggi dari periode 2015-2019 yang hanya 10,3 persen. Pertumbuhan PMA dan PMDN periode 2010-2014 masing-masing 21,4 persen dan 32,8 persen. Juga jauh lebih tinggi dari periode 2015-2019 yang masing-masing minus 0,23 persen dan plus 19,9 persen. Padahal pemerintahan SBY pada periode kedua tersebut juga menggunakan UU yang sama, dengan pemerintahan Jokowi, yaitu UU yang belum diganti dengan UU Cipta Kerja. Berdasarkan fakta ini, sangat tidak tepat menyalahkan UU atas pelambatan investasi. Oleh karena itu, solusinya bukan mengganti UU. Tapi seharusnya mengganti pengelola negara. Maksudnya, anggota kebinet yang tidak mampu. Selain itu, pemerintah dan DPR harus bertanggung jawab kalau kebijakan yang sudah makan korban nyawa ini ternyata gagal. Harus ada konsekuensinya. Berani? Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
Omnibus Law Ciptakan Hantu & Genderuwo
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (11/10). Draft final Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, disingkat Cilaka tidak ada di meja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terhormat. Bahkan tidak jelas rimba keberadaannya hingga kini. Jadi timbul pertanyaan benarkah RUU sialan itu dibahas ? Lalu materi apa saja yang telah dikritisi ? Wallahu a'lam bishawab. Saat diketuk pula dalam keadaan drafnya belum final. Baru dilakukan finalisasi setelah disahkan di rapat peripurna. Padahal rapat di tingkat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) saja tidak begini-begini amat rasanya. Karena draf final RUU tidak tampak di meja anggota DPR yang terhormat pada saat rapat peripurna pengesahan, maka ini bisa dikatagorikan UU hantu, kuntilanak dan genderuwo.UU paling amburadul sepanjang Indonesia merdeka sampai sekarang. Bahkan mungkin juga paling UU paling amburadul di dunia. Makanya harus diberikan rekor MURI dari Jaya Suprana RUU Omnibus menjadi RUU hantu, kuntilanak dan genderuwo. RUU yang barangnya tidak ada di meja anggota DPR. Keberadaannya hanya draft awal. Draf lengkap tidak ada. Malah ada anggota yang Dewan menyatakan kalau RUU Omnibus yang bertebaran sekarang banyak versi. Lalu ada lagi yang bilang salah ketik ini dan itu. RUU yang unik ini, tebalnya 906 halaman. Praktek pengesahan UU yang sangat kontroversial. Disajikan dengan telanjang seperti ini oleh lembaga perwakilan rakyat yang anggotanya bergaji tinggi. Mendapat fasilitas memadai, politisi berpengalaman, serta tokoh-tokoh organisasi. Anehnya, ada yang salah urus di negara ini. Sehingga terlihat kerja DPR dan pemerintah sangat amatiran,amburadul dan primitif. Setelah diketuk palu, hantu, kuntilanak dan genderuwo pun masih bergentayangan. Terlihat ketika buruh dan mahasiswa, pelajar dan masyarakat melakukan aksi penolakan di hampir seluruh kota-kota besar Indonesia. Begitu juga dengan akademisi dan berbagai organisasi termasuk organisasi keagamaan yang juga bersikap menolak. Eh, Menko Polhukam Mahfud MD tiba-tiba nongol tengah malam. Lengkap dengan Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN dan Mendagri. Alih-alih mendengar aspirasi rakyat. Mahfud justru balik mengancam dengan tindakan keras. Malah menuduh bahwa aksi-aksi itu telah ditunggangi. Potensial sang hantu, kuntilanak dan genderuwo yang bergentayangan itu antara lain. Pertama, tentu saja arah tuduhan adalah oposisi pengkritik pemerintah yang radikal atau berbuat makar. Hantu ini sengaja diciptakan oleh ketakutan pada bayangan sendiri. Oposisi yang "ingin menjadi Presiden" bisa jadi sasaran. Dibuzzerkan diburu dan dizergap. Mungkin juga bakal diarahkan atau diakitakan kepada isu khilafah dan radikalisme serta good looking. Kedua, PKI dalam bentuk baru yang tanpa bentuk. Beberapa pejabat Pemerintah menyebut komunis sudah habis. Rakyat tidak percaya. Komunis biasa menyusup, fitnah dan adu domba. Kerusuhan adalah habitat yang membahagiakannya. Dimana ada aksi disitu setan hadir. Ketiga, pemerintah sendiri melalui para hantu, kuntilanak dan genderuwo memperlat aparat di lapangan untuk membuat rusuh. Ketika ada aksi yang "harus" dibuat rusuh, maka tugas "pasukan hitam" yang memulai lempar-lemparan batu, botol hingga molotov. Bakar-bakar juga masuk program. Hantu, kuntilanak dan genderuwo model ini hanya menggoda agar ada pengikut baru. Lalu tangkap. Memang semua serba mungkin. Namanya juga hantu pasti tak bisa dibuktikan. Cuma masalahnya adalah apakah kita rela negara kita ini menjadi wahana tempat bermain hantu, kuntilanak dan genderuwo itu. Sebagai persoalan serius, maka negeri ini memang harus segera diselamatkan. Ketika Presiden sembunyi dan menghindar dari tekanan aksi masaa, muncul berita konon sedang berupaya mencari pemburu hantu "ghost buster" sambil nyekar makam ibu. Praktisi spiritualis Ki Surau berujar bapa sedang butuh kekuatan spiritual agar tidak lengser. Kalau supranatural? wah urusan dengan hantu lagi, dong. Omnibus Law memang multi dimensi. Disana ada aspek ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, atau keagamaan. Ternyata muncul lagi spektrumnya yaitu kehantuan, kekuntilanakan dan kegendurewoan. Tidak percaya ? Buktinya draft final RUU juga tidak ada kan?. Abrakadabra! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Dihujani Banyak Protes, Jokowi Perintahkan Aparat
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (11/10). Bukan hanya DPR, presiden juga diprotes buruh, mahasiswa, pelajar dan ormas terkait disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja. Protes pertama, karena UU Cipta Kerja ini berasal dari usulan pemerintah. Protes kedua, Jokowi pergi dan meninggalkan istana saat mahasiswa, pelajar dan buruh minta ketemu. Demonstrasi terjadi tanggal 6-8 oktober di berbagai wilayah dan kota-kota besar tanah air. Terjadi serentak dan merata. Yang berdemo tidak saja buruh, para mahasiswa dan pelajar juga ikut ambil bagian. Mereka turun ke jalan-jalan kota-kota besar tanah air untuk melakukan protes. Pelajar tahu apa soal UU Omnibus Law. Kok mereka ikut-ikutan demo? Begitu keluh para pejabat dan menteri. “Kalau presiden dan DPR ingin tahu hati dan kondisi rakyat, tanya pada kami, jawab pelajar tegas. Hehe... Emang presiden dan DPR nggak tahu ya? Selasa tiga hari berdemo. Gelombang massa makin hari semakin membesar. Eskalasi ketegangan juga makin tinggi. Terutama antara aparat dengan mahasiswa. Puncaknya, dan ini sangat disayangkan, terjadi bentrokan. Banyak korban luka, bahkan ada yang kritis. Sebanyak 3.862 demonstran telah ditangkap. Kita berharap, mereka diperlakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Menindak yang salah, dan melepaskan yang tidak bersalah. Dan tidak berlebihan dalam memperlakukan pihak yang "dianggap bersalah" . Sejumlah fasilitas umum rusak. Mobil, pos polisi dan halte terbakar. Siapa pelakunya? Paduka Hamengku Buwono X bilang, “itu dilakukan oleh kelompok tertentu”. Pelakunya bukan demonstran. Gubernur DIY mengaku tahu siapa pelaku itu. Ini by design, kata beliau. Sangat yakin. Kalau by design, berarti kelompok itu bekerja profesional. Memang, viral sejumlah video yang sepertinya mendukung pernyataan gubernur DIY itu. Jika apa yang diungkap sang gubernur itu benar, maka muncul pertanyaan: pertama, siapa perusuh profesional itu? Kedua, apakah setiap terjadi demo besar-besaran selalu ada kelompok perusuh profesional yang dikirim untuk merusak demo? Ketiga, kenapa perusuh profesional itu tak pernah tersentuh hukum? Keempat, pasti ada target. Apa targetnya? Di Jakarta, ada halte busway yang dibakar. Siapa pembakarnya? Kelompok profesionalkah? Apakah ada kaitan dengan Anies, Gubernur Jakarta sebagai obyek sasarannya? Kalau fasilitas umum yang dibangun Anies dirusak, maka akan memberi kesan seolah-olah demonstran marah sama Anies. Beruntung Anies jumpai para demonstran. Dan skenario membagun "kesan kebencian" terhadap Anies hilang. Sebaliknya, dari pertemuan terseburt, justru memberi kesan bahwa Anies diapresiasi buruh, mahasiswa, dan pelajar. Bukan dibenci. Apalagi sampai dimusuhi. Pengrusakan fasilitas umum milik Pemprov DKI telah menyisakan persoalan tersendiri. Pemprov DKI terpaksa harus mengeluarkan anggaran cukup besar untuk membangun kembali fasilitas umum yang telah dirusak. Dalam kondisi anggaran di masa pandemi seperti sekarang, ini jadi persoalan tersendiri Sedih dan prihatin! Kenapa hampir setiap kali terjadi demo besar, selalu memakan korban dan terjadi pengrusakan. Tidak siapkah negara ini berdemokrasi? Di tengah jatuhnya banyak korban, Jokowi berpidato. Perintahkan aparat untuk menindak tegas siapapun yang melanggar hukum saat demo. Instruksi Jokowi benar. Nggak ada yang salah. Tapi, dalam situasi saat ini, instruksi itu justru akan menambah ketegangan. Apakah situasi sudah teramat gawat, sehingga presiden harus menunjukkan kekuatan aparatnya? Akan lebih bijak jika pidato presiden berisi himbauan agar buruh, mehasiswa dan pelajar menyampaikan aspirasinya dengan tertib. Tidak terprovokasi untuk melakukan tindakan yang melawan hukum. Kepada aparat keamanan, presiden bisa himbau untuk tetap disiplin menjalankan tugas dan tidak melampaui batas kewenangannya dalam menangani demonstran. Lebih mengedepankan dialog dan langkah persuasif dengan para demonstran. Jika himbauan ini yang disampaikan presiden, maka ketegangan bisa diredakan. Apalagi jika presiden juga memberi ruang bagi buruh, mahasiswa, akademisi dan perwakilan ormas untuk bertemu dan berdialog, mungkin situasi akan lebih tenang. Inilah yang seringkali menjadi kelemahan pemerintahan sekarang ini. Kurang pandai dalam mengakses jalur-jalur komunikasi yang tepat dengan kelompok-kelompok yang punya pengaruh terhadap rakyat. Akibatnya, bangsa ini terus dilanda kegaduhan. Jangan selalu mencari kambing hitam terkait dengan kegaduhan selama ini. Semua tetap kembali kepada leadership seorang pemimpin. Cara berkomunikasi, sikap dan kebijakan pemimpin menjadi faktor utama. Dalam konteks ini, presiden mesti mau melakukan evaluasi. Saat ini, rakyat butuh pemimpin yang menenangkan. Bukan pemimpin yang membuat rakyat makin kesal, marah dan berang. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Hoax Omnibus Law Versi Siapa? Penguasa atau Rakyat Jelata?
by Edy Mulyadi Jakarta FNN - Minggu (11/10). Polisi menangkap orang yang mereka sebut penyebar konten-konten hoax seputar UU Omnibus Law. Pulang dari Kalteng setelah ketemu bebek, Presiden Jokowi juga bilang banyak hoax yang beredar di seputar UU Cipta Kerja. Menkopolhukam Mahfud MD pun bicara senada. Penguasa sedang membangun narasi, bahwa seolah-olah perlawanan dari begitu banyak elemen rakyat yang massif terhadap UU ini berbasis hoax, berdasar informasi keliru dan berita bohong. Pertanyaanya, apakah jutaan buruh yang terzalimi itu semuanya termakan hoax? Apakah anak-anak STM dan mahsiswa juga termakan hoax? Apakah NU, Muhammadiyah, MUI, puluhan guru besar dan ratusan dosen yang menolak UU ini adalah kumpulan orang-orang bodoh? Orang-orang yang tidak membaca dan tidak mampu menganalisis pasal-pasal yang ada di UU penuh bencana ini? Bagaimana dengan orang yang cuma terang-terangan mengaku tidak suka membaca buku-buku politik yang tebal? Yang jujur mengatakan cuma hobi membaca komik Sincan dan Doraemon? Apakah orang ini bisa dan mau membaca naskah UU setebal 1028 halaman? Mampukah dia menganalisis, sehingga kemudian punya otoritas untuk mengatakan rakyat termakan hoax dan berita bohong? Jadi, siapa sebenarnya penyebar hoax dan berita bohong? Penguasa atau rakyat jelata? Versi siapakah hoax dan berita bohong tentang UU Cipta Kerja ini? Jika ada orang yang mengatakan mobil Esemka sudah diproduksi 6.000 unit, itu hoax bukan? Bagaimana dengan janji akan menyetop impor beras, daging, buah, garam dan lainnya; itu hoax bukan? Bagaimana jika saya mengatakan para tukang ojek mendapat moratorium cicilan kredit kendaraannya selama setahun di awal pandemi, itu berita bohong bukan? Begitu banyak hoax dan berita bohong yang disampaikan penguasa. Akan sangat panjang tulisan singkat ini jika hoax dan berita bohong tersebut ditulis di sini. Seperti kata Rocky Gerung, produsen hoax yang paling sempurna adalah penguasa! Sebagai rakyat yang membayar pajak, saya dukung polisi menangkap para penyebar hoax dan berita bohong. Ayo tegakkan hukum secara adil. Ingat, di negara hukum ini, semua warga negara setara di depan hukum! (*) Edy Mulyadi adalah Presidium Aliansi Selamatkan Merah Putih (ASMaPi) https://youtu.be/NJHa5LANJnU