NASIONAL

Rezim Yang Ngotot Dan Bandel

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (26/10). Undang-Undang Omnibus Law dianggap "mission sacre" oleh Pemerintah. Perlawanan dalam bentuk unjuk rasa menjadi aksi berkelanjutan. Demo dan unjuk rasa tidak reda dengan hanya penangkapan penangkapan. Kegoncangan bukan saja di tingkat nasional, tetapi juga reaksi internasional. Para buruh marah, mahasiswa terbangun, pelajar terinspirasi, umat Islam siap siaga. Langkah pun sudah dimulai bersama. Ada tiga hal yang menjadi fenomena menarik dari sikap pemerintah atas penentangan atau unjuk rasa Undang-Undang Omnibus Law ini, yaitu : Pertama, ngotot sampai titik darah penghabisan. Taruhannya siap sampai kursi goyang atau rubuh. Kehebatan apa di belakang undang-undang otoriter ini ? Betapa kuat sang pengorder. Sepertinya berapapun "economic and political costs-nya” siap untuk dibayar. Kedua, bandel dan nakal alias ngeyel yang menganggap semua sebagai hal yang wajar. Nanti juga rakyat akan diam sendiri. Suruh saja ke MK kan saja. Paling dijewer-jewer sedikit, namanya juga "Pemerintahan Sinchan". Yang penting ujungnya bus akan jalan terus meski supir mabuk atau ugal-ugalan. Ketiga, planga-plongo. Pemerintah yang bingung mundur kena maju kena. Antara misi dan reaksi membuat sikap Pemerintah seperti orang yang "kesambet setan". Linglung berjalan sambil menghitung angka-angka dan tertawa. Pemerintah yang depresi, cemas, dan stress. Negara dalam ketidakpastian. Jokowi sudah sulit dipercaya untuk mampu mengendalikan negara ke arah yang dicita-citakan. Penampilannya kalem, namun selalu bikin kebijakan yang gaduh. Bias antara manajemen konflik dan mis-manajemen. Faktanya mengelola negara secara acak-acakan. Undang-Undang Omnibus Law adalah aturan tebal bermakna tipis. Nafsu besar tenaga kecil. Seperti keangkuhan di tengah kelemahan. Orientasi kerakyatan yang gagal. Buruh dilecehkan dan rakyat yang dinistakan. Bagai lempar makanan kepada hewan dari dalam mobil. Jika dasar penolakan itu hoaks karena dianggap buta undang-undang, maka Pemerintah lah yang telah menciptakan dan memproduksi hoaks dengan aturan yang membabi buta. Buruh itu tidak bodoh. Mahasiswa yang membantu buru itu bukan rekayasa, umat teriak karena ikut terinjak. Bus "menabrak sana sini" melesat terburu-buru untuk kejar setoran. Dunia ikut bersuara. ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) telah meminta agar Undangg-Undang Omnibus Law dibatalkan karena melanggar hak-hak demokratis, hak buruh, dan lingkungan hidup. Selanjutnya "Undang-Undang ini tidak didasarkan atas ilmu ekonomi, melainkan oportunisme semata" kata Charles Santiago, Ketua APHR. Gerakan aksi buruh menentang Undang-Undang Omnibus Law didukung pula oleh organisasi serikat buruh internasional seperti Internasional Trade Union Confederation (ITU), yang menurut Said Iqbal Ketua KSPI organisasi ini beranggotakan 59 konfederasi serikat pekerja dari 34 negara Asia dan Pasifik. Kebijakan semestinya diambil dengan mudah untuk memulihkan keadaan, yakni tunda atau batalkan. Tetapi yang mudah dan simpatik ini nyatanya sangat sulit. Kesannya lebih baik mengorbankan segalanya daripada menarik kembali Undang-Undang Omnibus Law. Sungguh rezim telah menutup mata dan telinga untuk melihat dan mendengar aspirasi rakyatnya. Rezim memang tidak aspiratif, ngotot dan bandel. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Ganjar Kerja Keras Singkirkan Puan dan Budi Gunawan

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (26/10). Persaingan yang sedang terjadi di PDIP semakin ketat. Siapa yang akan maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dari PDIP? Tentu saja Megawati maju jika elektabilitasnya memungkinkan. Jika berat, setidaknya ada Puan Maharani dan Budi Gunawan. Karir Puan, baik di PDIP maupun di pemerintahan cukup bagus. Di PDIP, Puan pernah menjadi wakil ketua. Di pemerintahan, Puan menjabat Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK), sebelum dilantik menjadi ketua DPR sekarang. Pengalaman politik Puan Maharani dianggap lebih dari cukup jika didapok menjadi capres 2024 nanti. Dan sepertinya, Puan memang dipersiapkan oleh Megawati untuk menjadi capres 2024. Minimal Cawapres. Sayangnya, elektabilitas Puan stagnan. Jauh tertinggal dari Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dua periode. Mungkin karena Puan belum serius menggarap branding dirinya untuk nyapres. Disisi lain, posisi Ganjar Pranomo sebagai gubernur, nampaknya telah diamnaatkan secara serius, dan digarap menjadi panggung untuk menaikkan popularitas lelaki dari Purworejo ini. Menjadi drama, kata Natalius Pigai. Tim media dan medsos Ganjar bekerja efektif. Selfie di tempat karantina pasien. Sidak ke bandara, dan berpenampilan informal dengan pasang senyumnya yang khas, adalah setting pencitraan yang sukses digarap oleh tim Ganjar untuk meningkatkan popularitasnya. Ini bagian dari kerja keras yang harus dilakukan Ganjar jika ingin singkirkan Puan Maharani, dan juga Budi Gunawan. Agak mirip dengan Jokowi. Ketika popularitas Jokowi tinggi, maka terjadi gelombang dukungan dari kader PDIP untuk capreskan mantan Walikota Solo ini. Megawati terdesak, dan akhirnya tersingkir. Tahun 2014, Megawati pun digantikan Jokowi untuk menjadi capres. Apakah Puan Maharani akan tersingkir juga oleh Ganjar? Tak menutup kemungkinan perkiraan itu bakal terjadi. Jika Puan tak serius menyiapkan tim untuk branding dirinya, maka besar kemungkinan juga akan tersingkir. Seperti ibunya dulu. Apalagi lihat kerja serius Ganjar yang sangat sistematis. Apabila ini terjadi, maka trah Soekarno mungkin memang ditakdirkan sementara untuk urus partai saja. Sedangkan capres menjadi ladang untuk kader yang lain. Pebruari lalu, Indobarometer merilis elektabilitas Ganjar 11,8 persen. Rilis tersebut menempatkan Ganjar mengungguli Puan Maharani yang hanya berada di angka tak lebih dari 1 persen. Sementara survei Median, Ganjar 9,6 persen dan Puan tetap di angka 1 persen. Survei terbaru di bulan oktober, Indikator merilis elektabilitas Ganjar naik lagi jadi 18,7 persen. Tertinggi saat ini. Jika dibandingkan Puan, tentu sangat jauh. Ganjar dengan kerja keras, serius dan sistematisnya, berhasil membonsai elektabilitas Puan Maharani. Ganjar lebih pandai memanfaatkan panggungnya sebagai gubernur Jawa Tengah dibanding Puan Maharani di DPR. Juga Budi Gunawan di BIN. Elektabilitas Ganjar yang cukup tinggi dan terus naik bisa dipahami, mengingat belum ada kepala daerah atau tokoh lain yang secara serius melakukan branding dan kerja-kerja politik untuk persiapan 2024. Ganjar saat ini, dengan keseriusan dan kehebatan timnya, sedang main sendiri tanpa lawan. Pertanyaannya, kenapa Ganjar terkesan curi star? Melakukan branding dari sekarang? Bukankah pilpres 2024 masih jauh? Empat tahun lagi. Jawabannya, karena Ganjar harus menjebol dua tembok besar. Tembok pertama bernama PDIP. Untuk dapat tiket PDIP, Ganjar harus kerja keras dan memastikan elektabilitasnya jauh di atas calon yang lain. Khususnya Puan Maharani dan Budi Gunawan yang saat ini menjadi calon potensial dari PDIP. Sedangkan tembok kedua bernama e-KTP. Ganjar Pranowo harus berhasil mengalahkan isu e-KTP yang sempat dikait-kaitkan dengan nama dirinya. Dengan elektabilitas yang tinggi tersebut, isu e-KTP diharapkan akan diabaikan oleh publik. Ini alasan masuk akal, jika Ganjar untuk saat ini berusaha melawan dua tembok besar itu. Mumpung belum ada lawan. Sebagai pemain tunggal, tim Ganjar bisa terus menaikkan elektabilitasnya. Apalagi kalau mau bermain mata dengan lembaga survei, ini akan lebih mendongkrak elektabilitas. Toh masyarakat nggak bisa klasifikasi jika menyangkut hasil survei. Kecuali ada hasil survei yang lain. Sebab, dalam sejumlah survei, selain angka ilmiah, kerapkali ada angka konspirasi. Bergantung siapa yang memesan. Tetap saja, semuanya dikembalikan kepada persepsi publik. Apapun dinamika di lembaga-lembaga survei itu, kerja keras dan keseriusan tim Ganjar menyingkirkan popularitas serta elektabilitas Puan Maharani, juga Budi Gunawan, tampaknya cukup berhasil. Ini obyektif, mengingat angkanya stabil di sejumlah lembaga survei. Tanpa singkirkan Puan dan Budi Gunawan, Ganjar tak akan punya ruang untuk dicapreskan oleh PDIP. Karena itu, harus kerja keras. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Ronnie Rusli, “Hanya Monyet Indonesia Yang Perlu Vaksin”

by Mochamad Toha Surabaya – Sabtu (24/10). Seorang relawan uji klinis vaksin COVID-19 AstraZeneca di Brazil meninggal dunia. Seperti keterangan para pejabat pada Rabu (21/10/2020), dikutip dari The Guardian, relawan yang meninggal dilaporkan bernama Dr. Joao Pedro Feitosa. Pedro petugas medis berusia 28 tahun yang merawat pasien Covid-19. Surat kabar Brasil, O Globo melaporkan, relawan itu telah diberi plasebo, bukan vaksin COVID-19 eksperimental. Uji klinis vaksin yang dikembangkan AstraZeneca bersama Universitas Oxford itu disebut-sebut akan tetap dilanjutkan. Sebelumnya, otoritas kesehatan Brasil, Anvisa mengabarkan seorang relawan yang turut serta dalam uji coba klinis vaksin Covid-19, yang dikembangkan AstraZeneca dan Universitas Oxford meninggal dunia. Seperti diikutip dari Reuters, CNN Brazil melaporkan bahwa dokter muda itu tinggal di Rio de Janeiro. Pedro meninggal karena komplikasi Covid-19. Sayangnya Anvisa tak merinci lebih lanjut. Pasalnya lembaga terikat kerahasiaan medis. Universitas Federal Sao Paulo, yang membantu mengordinasikan uji klinis di Brazil tersebut membenarkan relawan warga Brazil. Tetapi menolak memberi informasi detil. Pihak Universitas menyerahkan kelanjutan uji coba ke dewan peninjau independen. Mengutip dari AFP, relawan yang meninggal itu bekerja merawat pasien Covid-19 di ruang gawat darurat. Media lokal menyebut, Perdro adalah dokter muda, dan baru saja merampungkan studi tahun lalu. Sebelum tertular ia sehat dan tetap bekerja. Sementara itu, AstraZeneca menolak berkomentar. Namun, Universitas Oxford mengatakan, insiden itu sudah ditinjau secara independen, dan akan melanjutkan uji klinis. Setelah penilaian secara cermat atas kasus kematian di Brazil, tulis pernyataannya, tak ada kekhawatiran tentang keamanan uji klinis dan tinjauan independen, selain pemerintah telah merekomendasikan agar uji coba tetap dilanjutkan. Brazil sebelumnya memiliki rencana untuk membeli vaksin AstraZeneca dari Inggris tersebut dan memproduksinya. Sejauh ini sudah ada 8.000 relawan yang disuntik vaksin, dari target 20.000 orang. September 2020, vaksin eksperimental AstraZeneca dan Oxford ini sempat dihentikan pengujiannya. Pasalnya seorang relawan di Inggris mengalami sakit misterius. Tetapi, dalam penelitian vaksin biasanya memang tidak hanya vaksin yang diberikan. Relawan biasanya dibagi dalam dua kelompok, satu mendapat vaksin perusahaan penguji, dan satu lagi suntikan plasebo. Presiden Brazil Jair Bolsonaro menyatakan, tak akan beli vaksin Covid-19 buatan China. Sehari setelah itu Menteri Kesehatan Brasil menyebut vaksin asal China itu akan ditambahkan pada program imunisasi. Menanggapi pendukungnya di media sosial yang mendesaknya agar tidak membeli vaksin Sinovac, Bolsonaro mengatakan, “kami tidak membeli vaksin China”. Sang presiden menyebut vaksin tersebut belum merampungkan uji coba. Namun Brazil termasuk negara yang paling parah terkena dampak virus corona. Hampir 5,3 juta kasus positif di Brazil, tertinggi ketiga di dunia setelah AS dan India. Menurut data Universitas Johns Hopkins, Brazil juga tercatat pada peringkat kedua dunia setelah AS dalam hal angka kematian, yakni hampir 155.000 kematian hingga 21 Oktober 2020. Selasa (20/10/2020), Menteri Kesehatan Brazil Eduardo Pazuello mengatakan pemerintah federal telah mencapai kesepakatan dengan pemerintah Negara Bagian Sao Paulo untuk membeli 46 juta dosis vaksin CoronaVac yang sedang diuji pusat riset Brazil, Institut Butantan. Vaksin yang akan diproduksi Butantan tersebut masih harus disetujui oleh badan regulator kesehatan agar dapat digunakan masyarakat. Gubernur Sao Paulo Joao Doria mengatakan, program vaksinasi dapat dimulai pada Januari 2021, yang menjadikan program itu sebagai salah satu vaksinasi Covid-19 pertama di dunia. Akan tetapi, pada Rabu (21/10), Presiden Bolsonaro mencuit di Twitter bahwa setiap vaksin harus disetujui oleh badan regulator kesehatan dan diuji keampuhannya oleh kementerian kesehatan sebelum tersedia untuk masyarakat. “Rakyat Brazil tidak akan menjadi kelinci percobaan siapapun,” tegas Presiden Bolsonaro. Berbeda dengan Indonesia, Vaksin Sinovac sangat ditunggu-tunggu kedatangannya untuk segera disuntikkan pada warganya. Mengutip Gelora.co, Rabu (21/10/2020), Pemerintah Indonesia tengah melakukan tahap finalisasi pembelian tiga vaksin corona dari beberapa perusahaan vaksin di China Ketiga vaksin China tersebut Sinovac, Sinopharm, dan CanSino seperti disebut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto telah menyelesaikan uji klinis fase tiga di sejumlah negara. Tim finalisasi pembelian vaksin tersebut terdiri dari Kementerian Kesehatan, Kementerian BUMN, Kementerian Maritim dan Investasi, Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan BPOM. “Bahkan, vaksin ini sudah digunakan di negara asalnya,” kata Yuri dalam jumpa pers daring yang ditayangkan Kompas TV, Senin (19/10/2020). “Tujuannya, kita mencari vaksin yang bisa digunakan secara aman untuk penduduk kita. Aman dalam dua perspektif, dari sisi manfaat terhadap pencegahan untuk menjadi sakit karena Covid dan aman dari sisi kehalalan,” jelas Yuri. Dari ketiga vaksin corona China yang melakukan uji klinis yang dilakukan di luar negara asalnya, salah satunya Sinovac dilakukan di Indonesia. Vaksin Sinovac, kata Yuri, telah menyelesaikan uji klinis fase 3, selain di China juga di Brazil. Indonesia, lanjut Yuri, baru selesai pada Desember ini. Dilaksanakan di Bandung Bio Farma dan Universitas Padjajaran. Sementara, akademisi yang juga mantan Eselon 1 Kemenko Maritim dan Eselon 1 Kemenko Ekuin Ronnie Higuchi Rusli punya pandangan lain terkait rencana pembelian vaksin tersebut. Melalui akun Twitternya, @Ronnie_Rusli, dosen Universitas Indonesia tersebut menyatakan, pengadaan vaksin merupakan bisnis besar oleh kalangan tertentu. Rusli membuka pandangan tentang sistem impor vaksin yang menurutnya hanya dilakukan oleh importir, bukan pemerintah. “Catat, vaksin itu bisnis besar para taipan yang gelontorin duitnya untuk impor. Bukan uang dari Anggaran Kemenkes untuk impor Vaksin,” tulis Ronnie dikutip Wartakotalive.com, Rabu (21/10/2020). Karena Kemenkes bukan importir obat/vaksin. Jadi para importir itulah yang pakai tangan pemerintah untuk wajib vaksinasi. Kalau mau, liat Singapore dan Brunei. Statement Ronnie pun membuat sejumlah pengikutnya tercengang. Mereka bertanya untuk memastikan bahwa uang pembelian vaksin itu bukan dari Kemenkes. “Bukan uang dari Anggaran Kemenkes untuk Impor Vaksin?” tanya seorang warganet. “Bukan, Vaksin itu dibeli. Memangnya Kemekes yang menyediakan obat-obatan Kemotherapi di RSUP/RSUD atau obat sakit jantung, segala vaksin yang ada di RS? Kemekes hanyalah regulator kesehatan. Kalau obat-obatan itu urusan POM,” jelas Ronnie. Ronnie kemudian mengutip pernyataan pendiri Tesla, Elon Musk, yang dengan tegas mengungkapkan tak akan pernah menggunakan vaksin virus corona, meski nantinya vaksin itu tersedia. “Tesla founder Elon Musk has said that “neither he nor his family will likely take future coronavirus vaccines” even when they are readily available, saying the pandemic has “diminished [his] faith in humanity,” kutipnya. “Hanya monyet di Indonesia yang perlu divaksin, yang bukan monyet gak perlu,” ungkap Ronnie. Menariknya, Pemerintah China sendiri sudah menyatakan, China tidak akan menyuntik vaksin rakyatnya. Sasaran Vaksinasi Pemerintah Indonesia memberi prioritas sesuai dengan ketersediaan vaksin, penduduk dan wilayah berisiko, tahapan pemakaian dan indeks pemakaian. Idealnya: Seluruh Penduduk; Optimal: 80% Penduduk Berisiko Tertular. Pertama, Garda terdepan: Medis dan Paramedis contact tracing, pelayanan publik termasuk TNI/Polri, aparat hukum 3.497.737 orang dengan kebutuhan vaksin 6.995.474 dosis. Kedua, Masyarakat (tokoh agama/masyarakat), perangkat daerah (kecamatan, desa, RT/RW), sebagian pelaku ekonomi) 5.624.0106 orang dengan kebutuhan vaksin 11.248.020 dosis; Ketiga, Seluruh tenaga pendidik (PAUD/TK, SD, SMP, SMA dan sederajat PT) 4.361.197 orang dengan kebutuhan vaksin 8.772.3942 dosis. Keempat, Aparatur pemerintah (Pusat, Daerah dan Legislatif) 2.305.689 orang dengan kebutuhan vaksin 4.611.378 dosis. Kelima, Peserta BPJS PBI 86.622.867 orang dengan kebutuhan vaksin 173.245.734 dosis; Sub total jumlah di atas 102.451.500 orang dengan kebutuhan vaksin 204.903.000 dosis; Jika ditambah Masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya 57.548.500 orang dengan kebutuhan vaksin 115.097.000 dosis. Jadi, total suluruhnya 160.000.000 orang dengan kebutuhan vaksin 320.000.000 dosis. Wajar jika Ronnie tadi menyebut, pengadaan vaksin merupakan bisnis besar oleh kalangan tertentu. Yang perlu dicermati adalah kematian di Brazil itu disebabkan vaksin, patut dicurigai, vaksinasi itu tidak ubahnya menanam virus corona di tubuh warga. Itulah mengapa China tidak memvaksin rakyatnya. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Jokowi, Presiden Yang Menggergaji Demokrasi

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (24/10). Tentu bukan Jokowi sendiri, tetapi bersama-sama dengan elemen rezim yang lain, apakah taipan, pengendali asing, partai politik ataupun lembaga perwakilan rakyat. Yang pasti, dibawah Pemerintahan Jokowi, demokrasi terancam terpotong-potong, bahkan tercabik-cabik. Kadang dengan bahasa "bertindak tegas". Namun pada hakekatnya adalah memaksakan kehendak. Sayangnya, meskipun dengan setuju ancaman datang bertubu-tubu, namun rakyat tidak takut untuk tampil menyatakan kebenaran. Tidak takut menuntut keadilan dari pemerintahan Jokowi. Juga tidak takut menyatakan, pemerintah Jokiwi telah salah dalam tate kelola negara. Semakin diancam, bukanya takut. Malah semakin berani menyatakan perlawanan. Masyarakar umum, besama-sama dengan para buruh, mahasiswa dan pelajar bahkan berani melakukan perlawanan. Bahkan kalangan Guru Besar yang tadinya mendukung Jokowi pada Pilpres kemarin, kini berbalik menyerukan pembangkangan sipil (civil disobedience) kepada pemerintahan Jokowi. Guru Besar Universitas Gajagh Mada (UGM), Profesor Dr. Zainal Mochtar terang-terangan menyatakan pembangan sipil diperlukan atau apalah namanya (tirto.id 06/10/2020). Aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) Haris Azhar malah menyerukan pembangkangan dengan tidak membayar pajak. Semua itu sebagai bentuk nyata ungkapan tidak takut kepada tekanan dari pemerintah. Majalah The Economist edisi 15 Oktober 2020 menyatakan, otoritarisme yang dibangun pemerintahan Jokowi, ditandai dengan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juga penggunaan institusi kepolisian untuk membungkam pengkritik. Kurang memperhatikan hak-hak perempuan, kelompok minoritas dan kebebasan masyarakat sipil. Kemudian pemerintah Jokowi, menurut Majalah The Economist yang bermarkas di Inggris yang terbit sejak tahun 1843 tersebut, juga mengebiri Mahkamah Konstitusi (MK). Mengurangi hak-hak buruh, mempersempit desentralisasi. Yang terakhir adalah mengancam independensi Bank Indonedia (BI). The Economist juga menyatakan "Indonesia is lurching back into authoritarianism with Joko Widodo at the helm". Gambar ilustrasinya adalah pilar penopang istana yang sedang digergaji menjadi beberapa bagian oleh seorang tukang kayu. Tentu saja tulisan The Economist ini dapat menjadikan istana kebakaran jenggot. Pilar demokrasi yang digergaji Jokowi dirasakan oleh sebagian masyarakat baik cendekiawan, buruh, purnawirawan, agamawan, mahasiswa, maupun aktivis lainnya. Banyak Perppu dan terbitnya aturan perundang-undangan yang acak-acakan seperti Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) adalah cermin dan bukti dari penggergajian tersebut. Tiga hasil dari penggergajian demokrasi itu. Pertama, democrazy yaitu rakyat yang menjadi gila karena kepemimpinan yang gila-gilaan. Kedua, mobokrasi yakni kekuasaan kaum gerombolan melalui tampilan premanisme hukum, politik, dan budaya. Ketiga, korporatokrasi tukang kayu yang hanya berfikir bisnis. Korparat harus diuntungkan dan rakyat menjadi obyek proposal investasi dan hutang luar negeri. Menurut media Inggris ini, Jokowi memang berubah dari tukang meubeul sederhana yang merakyat "man of the people" menjadi petahana yang terpencil dan jauh dari rakyat "surrounded by courtiers from capital's intertwined bussiness and political elites". Jokowi yang terkepung dan tersandera. Dalam sejarah perubahan politik, sebenarnya situasi ini adalah sinyal dari semakin dekatnya kejatuhan. Sulit membayangkan kemampuan Jokowi untuk dapat membalikkan "distrust" sekarang ini menjadi simpati dan kokoh berdiri di kaki sendiri. Melepas kendali jalinan bisnis dan tekanan elit politik. Menggergaji demokrasi bukan solusi. Tetapi justru jalan melawan konstitusi dalam mempercepat gerak menuju lokasi kuburan sendiri. "Jokowi sama dengan Soeharto," kata The Economist. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Menuju Kongres Pemuda Era Digital

by Chaerudin Affan Jakarta FNN – Jum’at (23/10). Pada era awal-awal pergerakan modern di tahun 1910-1920-an, terdapat banyak organisasi pendidikan atau organisasi kepemudaan di Indonesia. Semangat mereka adalah menuntut perbaikan hidup, keadilan, dan kesetaraan. Pada tahun-tahun itu pula para pendiri negara sudah mulai bergerilya hingga Eropa sana. Kaum pemuda terpelajar melakukan konsulidasi dan penyadaran kepada masyarakat. Diperlukan adanya kesadaran perlawanan terhadap penindasan yg dilakukan penjajah kala itu. Maka pergerakan pemuda dilakukan hampir di setiap daerah. Gerakan mogog kerja juga tercatat pernah dilakukan dalam sejarah penjajahan ketika itu. Hingga akhirnya konsepsi negara republik Indonesia berhasil di sounding oleh pemudan dan terpelajar di pertengahan 1920-1930. Tan Malaka yang tercatat pernah menyurukan melalui bukunya “Naar de Republike Indonesia” di tahun 1925. Setelah itu, berikutnya dilantangkan kembali oleh Soekarno. Konsepsi sebuah negara merdeka, menjadi nafas baru dari gerakan pemuda dan intelektual Nusantara. Dengan sigap para tokoh muda seperti Kartosoewirjo, Mohammad Roem, J. Leimena, Soegondo Djojopoespito, Djoko Marsaid, Adnan Kapau Gani, M. Yamin, Amir Syarifuddin Harahap, W.R Supratman, S. Mangoensarkoro, Sie Kong Liong, dan Kasman Singodimedjo merumuskan sumpah pemuda yang merupakan kristalisasi dari pembahasan dalam kongres pemuda kedua 1928. Kongres pemuda melibatkan organisasi-organisasi kepemudaan yang berbasis kesukuan dan organisasi pendidikan. Dalam kongeres tersebut hadir Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Borneo, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), dan Pemuda Kaum Betawi. Konsulidasi membunyikan gong persatuan perlawanan terhadap penindasan yg dilakukan penjajah. Lalu mendeklarasikan diri sebagai satu bangsa, terjadi pada tahun 1928. Dengan semangat persatuan, mereka berikrar, "Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia." Zaman terus berganti, hingga beberapa puluh tahun kemudian ikrar tersebut bertemu dengan ridho Tuhan. Kemerdekaan pun menjadi kenyataan. Malam itu sebelum pidato kemerdekaan Soekarno dan Hatta di bacakan, kaum muda mengambil peran untuk membujuk kedua tokoh nasional agar segera mendeklarasikan kemerdekaan. Sukarni, Yusuf Kunto, dan kawan-kawan yang menjadi tokoh muda saat itu berhasil membujuk Soekarno dan Hatta untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan. Berselang 25 tahun dari kemerdekaan Indonesia, situasi guncang ganjing. Kondisi sosial, ekonomi dan politik bermasalah. Lagi-lagi, kaum muda kembali menunjukan perannya. Keritik pedas terhadap situasi tersebut berlangsung bertahun-tahun mewarnai surat kabar nasional. Konsepsi-konsepsi pemikiran kaum terpelajar yang terpadu dengan kepekaan terhadap situasi masyarakat menjadi pendobrak, menuju harapan baru. Tidak juga kita lupa pada tahun 1974. Kalangan mahasiswa bersama rakyat melakukan keritik keras terhadap investasi besar-besaran dari luar negeri, khususnya Jepang. Dan tentu belum lekang dari ingatan kita pergolakan menuju reformasi 1998. Kaum muda juga menjadi motor dalam perubahan. Kini 92 tahun sudah sejak Ikrar para pemuda saat itu dikumandangkan 1928. Zaman juga sudah berganti berkali-kali. Negara tercinta sudah mengalami cobaan yang tidak sekali. Era digital katanya, saat dunia seolah dilipat dengan kemajuan teknologi. Saat ini siilaturahmi dan diskusi bisa dilakukan dari jarak jauh. Informasi yang dulunya hanya dimiliki kaum elit, kini bisa dengan terbuka diakses lewat internet. Konsepsi bisa disebarkan melalui media sosial. Namun tantangan yang dihadapi juga berbeda dengan zaman sebelunya. Tantangan semakin berat. Zaman yang sudah berganti lalu membawa kemajuan teknologi menjadi sebuah keniscayaan yang terbukti. Namun pokok-pokok permasalahan juga seling barganti tidak jarang terulang lagi. Keadilan, kesetaraan, kemiskinan, kelaparan, dan penindasan belum juga terselesaikan. Semangat kebersamaan untuk membawa Indonesia mencapai cita-citanya perlu lagi diingatkan. Memperingati Sumpah Pemuda 1928 adalah cara mencari spirit kebersamaan untuk menyelesaikan permasalahan yang kerap menyandra Indonesia untuk melangkah ke depan. Suara pemuda perlu lagi digaungkan. Gagasan-gagasan pemuda perlu lagi dipertemukan. Tentu tidak lagi dengan entitas kesukuan, karena sejak 1928 kita sudah berikrar menjadi satu bangsa. Perjalanan kekini sering memisahkan kaum muda atas profesinya. Hal itu digambarkan dengan besarnya ego sektoral yang kerap menjadi momok penghabat sinergisitas dan akselerasi pembangunan. Untuk itu, bersamaan tulisan ini, saya mengundang kawan-kawan pemuda dari lintas profesi untuk bergabung dalam diskusi merefleksikan Sumpah Pemuda yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Kepemudaan (PUSKAMUDA) FISIP Universitas Indonesia. Diskusi akan diselenggarakan secara online melalui media zoom, pada tanggal 28 Oktober 2020. Kami berharap suara anda bergabung di ruang diskusi. Salam Pemuda... Bahwa sesungguhnya pemuda adalah harapan untuk Indonesia mencapai cita-citanya, yang adil dan makmur. Amin Peulis adalah Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pusat Kajian Kepemudaan (PUSKAMUDA) FISIP Universitas Indonesia

Mahfud MD Hanya Bisanya Ngalor-Ngidul

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (23/10). Dalam acara Karni Ilyas Indonesia Lawyers Club (ILC), Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keadamana (Polhukam) Mahfud MD kesannya menyalahkan publik atas kritik kepada Pemerintah dengan jalan pikiran bahwa semua Pemerintah selalu disalahkan. Mahfud MD berapologi bahwa siapapun yang duduk di Pemerintahan tidak akan mampu memperbaiki keadaan. Skeptisme sebagai alasan pembenar. Padahal ciri pemerintah demokrasi adalah kuanya masyarakat sipil (civil socety) melakukan kontrol sosial atas jalannya pemerintahan. Kecuali untuk bentuk pemerintahan yang otoritas, check and balances tidak dibutuhkan. Mahfud mencontohkan Amin Rais sebagai "Bapak Reformasi". Meskipun menjadi Ketua Mejelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tetapi tetap tidak mampu mengatasi korupsi dan kronisme. Gatot Nurmantyo yang Panglima TNI juga tidak dapat menangkap kader Partai Komunis Indonesia (PKI) atau yang berfaham komunis. Begitu juga dengan Rizal Ramli sampai mantan Hakim Agung Artijo Alkostar disebut-sebut oleh Mahfud. Kemudian Mahfud menunjukkan fakta bahwa semua Pemerintah dikritik. Bahkan ada pula yang sampai dijatuhkan. Karenanya dimaklumi, kalau Pemerintahan Jokowi juga selalu saja disalahkan. Konon hal ini menjadi konsekuensi dari pelaksanaan asas demokrasi, dan opsi sebaliknya adalah Pemerintahan yang otoriter. Sesuatu yang dapat ditafsirkan sebagai ancaman Mahfud. Yang lucu dan menggelikan lagi, secara sumier disebut semua Presiden turun atau diturunkan dengan tuduhan melanggar Pancasila. Entah data sejarah darimana Mahfud berkesimpulan sesederhana itu. Malah tidak ada satupun Presiden yang turun akibat melanggar Pancasila. Sekelas Soekarno pun diturunkan karena berhubungan dengan kasus G-30/S PKI. Soeharto turun soal krisis ekonomi dan korupsi. Rakyat marah karena otoritarisme pemrintahan Soeharto, dengan menjadikan ABRI penopang kekuasaan 32 tahun. Habibie diturunkan karena efek dari referendum Timur-Timor. Demikian pula Presiden yang lain lebih spesifik lagi. Bahkan ada yang lengser dengan normal seperti Megawati Soekarnoputri dan Soesila Bambang Yudhoyono. Bahwa rakyat melakukan kritik terhadap setiap Pemerintahan, bukan menjadi alasan pembenar dari Pemerintahan Jokowi sekarang. Bahwa seakan-akan pemerintahan Jokowi telah benar dalam melaksanakan tata kelola pemerintahan yang benar sesuai undang-undang yang berlaku. Presiden Jokowi lebih parah dari persiden-presiden sebelumnya. Apa yang dikemukakan Mahfud MD ini dinilai hanya ngalor-ngidul, apologetik saja. Tidak ilmiah, dan bukan pandangan yang rasional, apalagi solutif. Mahfud MD sebenarnya mengakui akan ketidakmampuan dirinya. Hanya saja Mahfud tampil dalam kepribadian yang terbelah, antara kepakaran di bidangnya dengan kedudukannya sebagai bagian dari Pemerintahan. Akibatnya, argumen yang dikemukakan menjadi naif dan cenderung menembak orang lain hanya untuk membenarkan dirinya dan pemerintah sekarang. Mahfud MD semakin tenggelam dalam kolam keruh kabinet pimpinan Jokowi. Terengah-engah mendalihkan pembenaran. Sayangnya, bukan berdasar pada dalil kebenaran. Kelu lidah untuk menyatakan kejujuran dan keadilan secara konsisten. Publik kini sedang melihat perkembangan politik yang semakin memanas akibat kebijakan yang tidak pro rakyat. Kebijakan yang hanyap bersikap pragmatik. Kebijakan yang hanya pro kepada oligarkis, korporasi dan konglomerasi busuk, licik, picik, culas dan tamak. Mahfud sang Menko Polhukam nampaknya terus dan senang berputar-putar ngalor-ngidul di pusaran air yang hampir menenggelamkan kekuasaan. Selamat atau tidaknya sang Guru Besar ini tergantung pada kesadaran dirinya untuk membelah atau tidak berkepribadian. Yang pasti Mahfud mulai kehilangan cara berpikir yang sehat sebagai seorang Guru Besar. Ilmuan yang mengabdi kepada kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan. Argumen yang tidak ajeg dan ngalor-ngidul membuat Mahfud MD kehilangan jati dirinya. Sementara lingkungan dan jabatan telah memenjarakan fikiran, fisik dan psikisnya. Kemudian, ia semakin jauh saja dari simpati publik. Oh, Mahfud yang malang. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

KAMI Itu Gerakan Moral, Bukan Makar

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (23/10). Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) itu gerakan moral. Karakter sebuah gerakan moral itu mengedepankan cecks and balances terhadap penguasa. Gerakan moral itu beradu data tentang pelaksanaan pembangunan dan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar. Nggak lebih dari itu. Ketika peran dan fungsi kontrol yang diberikan konstitusi kepada DPR yang makin lemah, maka KAMI lahir. Kelahiran KAMI diperlukan masyarakat untuk menjadi partner dan mitra diskusi yang kritis terhadap pemerintah. Pemerintah nggak boleh kerja tanpa pengawasan. Ngga boleh kerja yang menyusahkan dan menyengsarakan rakyat. Jika itu terjadi, maka sangat bahaya. Pemerintah berhak salah. Karena itu, perlu dikontrol, diingatkan, dikritik dan diberi masukan agar tidak semakin salah. Karena itu, pemerintah butuh mimbar kampus, kebebasan pers, Lembaga Swdaya Masyarakat (SM) dan organisasi seperti KAMI yang berfungsi injek rem kalau pemerintah ada kesalahan. Resikonya kalau rem blong, negara bisa nabrak sana sini. Sikat sana sikat sini. Siapapun yang lagi di depannya, bisa kena tabrak. Ini gawat. Nah, hukum yang baik bisa menjadi rem. Tetapi, itu gak cukup. Apalagi kalau produk, pelaksanaan dan penegakan hukum bermasalah. Dalam kondisi obyektif seperti itu, harus ada sejumlah orang atau kelompok yang ambil peran untuk injek rem. Kalau rem nggak pake, yang injak rem disingkirkan, ya blong. Pemerintah berjalan nggak terarah. Disini pentingnya kritik, masukan, bahkan demo dari para buruh, mahasiswa, pelajar dan masrakat umunya. Selama tidak anarkis, demo dilindungi undang-undang. Melihat KAMI, lihatlah sosok Din Syamsudin dan Rahmat Wahab. Nggak ada potongan makar. Nggak ada potongan untuk makar dan jatuhkan presiden. Din Syamsudin itu mantan Ketua MUI dan mantan Ketua PP Muhammadiyah. Hingga hari ini tercatat sebagai Guru Besar FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Begitu juga Rachmat Wahab. Tokoh NU dan Guru Besar Univeristas Islam Indonesia (UII) Jogyakarta. Keduanya akademisi. Manalah mungkin kedua sosok akademisi yang berlatarbelakang ormas moderat tersebut melakukan makar atau mau menjatuhkan Presiden? Jadi, kalau ada pihak yang menuduh KAMI itu berbahaya, tentu berlebihan. Begitu juga tuduhan KAMI berada di balik demo UU Omnibus Law Cipta Kerja itu sangat mengada-ada. Nggak ada atribut KAMI disitu. Nggak ada instruksi dan pernyataan, baik resmi maupun tidak resmi dari KAMI untuk turun dan melakukan demo. Sebaliknya kalau ada warna-warni KAMI di arena demo, bisa-bisa demonya batal. Sebab, baik buruh, mahasiswa dan pelajar, tidak mau ditunggangi oleh kepentingan lain. Pendemo itu inginnya gerakan mereka murni karena kesadaran sendiri. Bahkan yang terdengar malah himbauan dari senior-senior KAMI kepada seluruh anggota KAMI untuk tidak melakukan demo atas nama KAMI. Kalau kemudian ada sejumlah anggota KAMI yang demo, tentu KAMI secara organisatoris nggak bisa melarang. Karena itu hak individu masing-masing yang dijamin oleh undang-undang. Melarang anggota KAMI berdemo menentang UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) itu melanggar Undang-Undang. Tak boleh ada yang membajak KAMI yang mulai membesar ini untuk kepentingan politik individu. Apalagi sampai melakukan makar. Sebab, KAMI gerakan moral, dan menghindari gerakan yang berpotensi "dituduh" hendak melakukan makar. Lalu, kenapa sejumlah orang dari KAMI ditangkap? Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan lain-lain dalam tiga hari ditangkap. Pertanyaannya, mereka ditangkap atas kesalahan apa? Dilihat dari pasal yang dikenakan, mereka dituduh melanggar UU ITE. Bukan sebagai penggerak demo. Nggak ada pasal makar yang disangkakan. Yang pasti, mereka tidak ditangkap bukan karena alasan menjadi deklarator KAMI. Sebab, KAMI bukan perkumpulan dan organisasi terlarang. Kalau deliknya adalah pelanggaran UU ITE, kenapa delapan tokoh yang ditangkap itu semuanya adalah anggota KAMI? Malah sebagian adalah deklarator? Banyak pihak yang mengkritik bahwa penangkapan para tokoh KAMI itu politis. Mereka tidak layak ditahan, apalagi diborgol, kata Jimly Assidiqy, mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu yang sekarang jadi anggota DPD. Banyak koruptor yang tidak diborgol polisi. Memang, di publik, muncul banyak pertanyaan. Bandit koruptor tidak diborgol, kenapa beda pendapat harus diborgol? Begitulah opini yang sempat ramai beberapa hari terakhir ini. Namun itu adalah haknya penyidik untuk mau borgol atau tidak borgol tersangka. Namun lepas dari semua yang dianggap "janggal", kita berharap hukum kita tetap tegak. Dan hukum hanya tegak apabila di tangan penegak hukum yang tegak dan steril dari intervensi kekuasaan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Ahmad Yani, Muadzin Moral Bangsa

by Tamsil Linrung Jakarta FNN – Jum’at (23/10). Siatuasi krisis selalu memunculkan anomali. Dari rahim yang sama, lahir dua sosok di kutub yang berbeda.Yaitu sosok pahlawan yang berdiri di garis depan kebenaran, versus sosok pecundang yang bersembunyi di balik tirai kegelapan. Pecundang ini tak jarang menjadi bagian dari krisis tersebut. Begitu sejarah mencatat dan memberikan pembelajaran. Krisis ekonomi dan krisis politik tahun 1998 misalnya, memunculkan tokoh-tokoh pahlawan reformasi dari berbagai kalangan. Terutama mahasiswa, akademisi dan cendekiawan. Namun pada saat yang sama, kita juga melihat bagaimana konglomerat dan pengusaha hitam, memanfaatkan keadaan untuk mencari keuntungan. Mereka merampok uang negara. Mega skandal keuangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah catatan kelam yang berulang. Kisah kejahatan di tengah hamil besar bangsa meniti jalan demokrasi. Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan, megaskandal BLBI merugikan negara Rp 138,442 triliun. Itu kerugian langsung. Kerugian tidak langsung ditengarai mencapai Rp 640,9 triliun (Tempo). Hari-hari ini, di tengah krisis multidimensi, ada krisis kesehatan akibat Covid-19, krisis ekonomi, dan krisis politik, dua sosok itu kembali muncul. Saya tidak ingin berbicara tentang sosok bad guys. Komplotan yang memanfaatkan kebatinan krisis untuk meraup keuntungan itu, tanpa diungkap secara gamblang pun, publik sudah tahu siapa mereka. Di era keterbukaan informasi, masyarakat dengan mudah membaca dan menyaksikan di layar kaca. Transaksi informasi menciptakan transparansi di tengah dekadensi, sudah cukup sukses mengungkap siapa-siapa aktor yang berkelindan di depan mata. Yang pasti, akibat dari perbuatan bad guys tersebut, kita rasakan di hari-hari ini. Melalui tulisan yang ringkas ini, saya justru ingin berbicara tentang pahlawan. Sosok yang akan selalu lahir di tengah krisis. Suka atau tidak suka. Figur yang tak bisa dihindari. Meski tidak dikehendaki pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu, takdir akan tetap mengirim para pahlawan. Jadi pelita yang nyalanya menerangi. Para pahlawan menjelma jadi bara yang siap membakar angkara murka. Salah satu indikator bahwa pahlawan itu muncul, adalah ketika kita mulai menyaksikan ada yang merasa kepanasan. Gelisah dan tidak nyaman. Bahkan bereaksi berlebihan terhadap seseorang. Dari sederet tokoh yang mencuat di tengah badai krisis ini, Dr. Ahmad Yani merupakan figur yang mencolok. Dr. Ahamd Yani menjadi salah satu tokoh kunci yang dibalik sambutan masyarakat terhadap gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Didaulat sebagai Ketua Komite Eksekutif KAMI, menempatkan Dr. Ahmad Yani di front gerakan KAMI yang diimami tiga tokoh bangsa, yaitu Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo, Prof. Dr. Rochmat Wahab, dan Prof. Dr. Din Syamsuddin. Dr. Ahmad Yani, sang muadzin sebagai moral bangsa. Dia sosok pejuang sejati. Lantang menyerukan penegakan kebenaran di mimbar-mimbar demokrasi. Berdialog dengan kekuasaan, demi meluruskan kiblat bernegara agar tidak terjerumus ke dalam situasi yang semakin parah. Dr. Ahmad Yani menjelma jadi pahlawan di tengah krisis multidimensi. Tetap teguh memegang prinsip, meski ancaman jerat hukum membayang-bayangi. Penangkapan terhadap Yani yang akhirnya gagal, saya yakin tidak menciutkan nyali sosok aktivis ulung ini. Kepakarannya di bidang hukum tak diragukan lagi. Kiprahnya di dunia advokat sangat jelas. Yani sudah terbiasa menyerukan tegaknya keadilan. Yani tentu sudah sadar segala konsekuensi yang bakal menghadang. Memimpin lembaga sebesar KAMI. Apalagi, KAMI secara tegas dan lugas mengambil posisi berseberangan dengan kekuasaan. Menjadi oposisi moral yang berasis data terhadap kekuasaan. Berada di shaf gerakan ekstra parlemen dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil (sivil society) lintas gerakan dan ideologi. Meski mayoritas partai politik memilih berlabuh ke pangkuan kekuasaan. Presidium KAMI, Prof. Din Syamsudin bahkan sudah mengingatkan, bahwa setelah penangkapan Sekretaris Komite Eksekutif KAMI, Syahganda Nainggolan, bersama koleganya Jumhur Hidayat dan Anton Permana, bidikan juga akan menyasar dirinya. Serta orang-orang yang dipandang punya kekuataan moral menggerakkan rakyat. Lantunan seruan moral ini tidak bisa diredupkan. Meski dengan berbagai intrik. Kekuatan uang ada batasnya. Tetapi gema moralitas dan integritas yang menjulang tinggi, tidak bisa dibungkam. Yani tetap saja berkumandang, dan terus terpancar menembus ke relung hati rakyat. Tanpa mantra manipulasi mesin pembentukan opini. Itulah kekuatan kolektif moralitas yang tidak bisa dibendung. Penangkapan tokoh-tokoh KAMI dan upaya kriminalisasi, justru hanya akan memperkeruh suasana. KAMI dengan gerakan opisis moralnya ini tidak bisa digertak. Bukannya surut gerakan moral untuk beraduh data dengan pemerintah. Malah menciptakan gelombang pasang kesadaran rakyat tentang kezoliman dan ketidakadilan yang sedang dan akan terjadi atas bangsa ini. Berpikir menghentikan KAMI dengan memangkas pucuknya, seperti usaha menakut-nakuti Yani, hanya akan memunculkan pucuk-pucuk Yani Yani Yani yang baru. Secara kelembagaan dan kultural, akar KAMI sudah menghujam ke seluruh penjuru nusantara. Baik secara formal, maupun dukungan moral oleh mereka yang merasa nasib dan pikiran-pikirannya diperjuangkan oleh KAMI. Di level Presidium, ikatan komitmen kebangsaan KAMI sudah khatam. Mewakafkan diri untuk negeri tak bisa ditawar-tawar lagi. Begitupula di jajaran Eksekutif higga ke akar massa. Semua senada seirama. Maka bukan takabur, bila dalam meniti jalan terjal perjuangan moral ini, Prof. Din sudah mewanti-wanti untuk siaga menghadapi segala risiko dan kemungkinan terburuk. Prof. Din bahkan berseloroh, sudah menyiapkan satu koper yang terisi pakaian dan beberapa buku. Yang artinya bahwa, seluruh komponen gerakan moral ini harus dipastikan siap lahir batin. Hal yang sama, juga diingatkan oleh dua presidium lainnya. “Apa pun, kita hadapi dengan senyum,” Kata Jenderal Gatot. Dr. Ahmad Yani, sang muadzin moral bangsa itu sudah lantang menyerukan panggilan menyelamatkan bangsa. Tentu saja dengan barisan shaf yang tertata rapi. Barisan itu ada di KAMI, dan berbagai shaf pergerakan rakyat lintas elemen. Semua menyuarakan perlawanan secara moral. Sementara figur-figur sentral lain seperti Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, para aktivis siswa STM, buruh, dan mahasiswa, juga secara lantang bersahut-sahutan melantukan seruan moral merespons keadaan hari ini. Suara itu menggema di forum-forum diskusi, mimbar bebas, panggung jalanan dan ruang-ruang virtual. Kalangan terpelajar dari forum Guru Besar, Cendekiawan, Habib dan Ulama juga telah berada di barisan gerakan moral yang sama. Kemana lagi rakyat akan berdiri, kalau bukan di shaf yang terus memanjang ini? Pendapat siapa lagi yang mau kita dengar, kalau para Guru Besar dan Alim Ulama yang sudah mengeluarkan fatwa intelektual dan spiritual? Penulis adalah Anggota DPD RI.

Mengapa Harus Takut Dengan Revolusi?

by Asyari Usman Jakarta FNN - Kamis (22/10). Sekarang ini, kata “revolusi” menjadi sangat sensitif. Banyak yang takut mengucapkan atau menuliskannya. Takut dituduh melakukan makar. Padahal, “revolusi” ada di dalam sejarah perjuangan bangsa dan juga ada di dalam kosa kata bahasa Indonesia. Dari sudut pandang tertentu, bisa dipahami ketakutan terhadap kata “revolusi”. Sebab, kata ini bermakna “perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata)”. Seperti inilah definisi “revolusi” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tetapi, apakah setiap kali orang mengucapkan atau menuliskan kata “revolusi”, langsung bisa disebut orang itu sedang merencanakan atau berbuat makar, dan karena itu harus dikenai pasal-pasal kejahatan? Tentu tidak. Sebab, kalau mengucapkan dan menuliskan “revolusi” bisa dianggap merencanakan atau melakukan makar, maka para penyusun KBBI pun bisa kena pasal pidana. Bagaimana dengan orang-orang yang berpikir tentang “revolusi”? Apakah mereka bisa disebut sedang merencanakan perbuatan makar? Jawabannya juga tidak. Mereka tidak sedang merencanakan revolusi. Berpikir tentang “revolusi” adalah kontemplasi seseorang tentang suasana seperti apa yang akan berkembang jika “revolusi” terjadi. Lantas, bagaimana dengan seseorang yang mendambakan “revolusi”? Untuk ini, tergantung revolusi apa yang ia inginkan. Kalau “revolusi teknologi komunikasi”, maka semua pihak harus mendukungnya supaya menjadi kenyataan. Juga “revolusi angkutan umum”. Kita semua memerlukan perubahan yang lebih radikal di bidang komunikasi dan transportasi publik. Lebih-lebih lagi “revolusi mental”. Kita semua jangan hanya sekadar mendambakan, melainkan juga harus ikut mengkampanyekannya. Cuma, sayangnya, “revolusi mental” yang dideklarasikan Pak Jokowi pada awal masa jabatan pertama beliau tidak pernah lagi dibicarakan. Sebab, “revolusi mental” adalah revolusi yang antara lain bertujuan membasmi budaya korupsi, oligarkis, dan destruksi sumber daya alam (SDA). Dengan “revolusi mental” diharapkan pelayanan umum menjadi kelas dunia. Jokowi menghadapi tembok raksasa yang menghadang “revolusi mental”. Akhirnya, beliau lupakan itu sekarang. Walhasil, korupsi, oligarkis, destruksi SDA, dan pelayanan buruk tak bisa dihapus. Malah berkembang semakin pesat. Sehingga, Jokowi dibuat tak berkutik. Bahkan, tidak hanya tak berkutik. Jokowi cenderung memperlihatkan pemahaman bahwa budaya ini “entertaining” dan “beneficial”. Menyenangkan dan menguntungkan. Seterusnya, bagaimana kalau seseorang mendambakan “revolusi”? Lagi-lagi, kalau sekadar mendambakan tentulah boleh-boleh saja. Mendambakan itu ‘kan cuma mengimpikan. Mengimpikan “revolusi kekuasaan” bukanlah perbuatan makar. Sebab, kembali lagi, semua itu hanya berupa angan-angan saja. Baru menjadi masalah kalau seseorang menyusun rencana dan mencoba mengeksekusi rencana itu. Begini. Revolusi itu banyak jenisnya. Revolusi kekuasaan hanya satu di antaranya. Memang benar, revolusi kekuasaan –yang bisa juga disebut sebagai revolusi untuk mengambil alih kekuasaan— akan menimbulkan perkelahian. Pertumpahan darah, tepatnya. Yang berkuasa pastilah akan memperthankan diri. Dan akan melakukan penumpasan jika ada pihak yang mencoba melancarkan revolusi itu. Sebaliknya, pihak yang melancarkan revolusi kekuasaan (disingkat saja menjadi “revolusi”) pasti akan berusaha sekerasnya untuk menggulingkan penguasa. Bagi mereka, sudah cukup alasan untuk mengambil alih kekuasaan. Satu hal, bahwa revolusi tidak akan terjadi kalau tidak ada “discontent” (perasaan tak senang) yang meluas dan akut terhadap pihak yang berkuasa. Ini biasanya disulut oleh kebijakan penguasa yang menyusahkan rakyat. Atau, para penguasa telah melampaui batas dalam kesewenangannya. Kezoliman semakin merajalela. Salah satu ciri khas revolusi ialah kemunculannya yang tidak bisa dibendung. Pasti akan ada saja jalan menuju ke situ. Dengan syarat bahwa semua ramuan (ingredients) menuju revolusi itu memang telah lengkap ada di tengah rakyat. Tidak banyak orang yang bisa bersembunyi atau melarikan diri dari revolusi. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Diberi Raport Merah, Jokowi Mesti Dievaluasi

byTony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (22/10). Tanggal 20 Oktober 2020, genap setahun pemerintahan Jokowi periode kedua. Publik menyoroti bagaimana kebijakan dan kinerjanya. Agak bersemangat mengingat cukup banyak isu yang acapkali menciptakan ketegangan. Setidaknya ada tiga hal untuk mengukur dan menilai secara obyektif kinerja Jokowi di periode kedua. Pertama, terkait program berkelanjutan dari periode pertama. Kedua, mengenai janji politik. Ketiga, seberapa besar tingkat kepuasan publik terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah. Kalau ditanya, apa program berkelanjutan Jokowi? Jawabnya, ya infrastruktur. Jalan tol, bandara dan kereta cepat yang masih terus berlanjut. Bahkan mimpi untuk membangun "Ibu Kota Baru" di Provinsi Kalimantan Tengah. Harus diakui, pembangunan infrastruktur era Jokowi cukup gencar dan masif. Ini harus diapresiasi. Infrastruktur inilah yang diantaranya berjasa membuat Jokowi terpilih kembali untuk periode kedua. Kendati penuh kontroversi dan menyisakan sejumlah persoalan. Meski demikian, pembangunan infrastruktur Jokowi meninggalkan setidaknya empat catatan. Pertama, tidak sesuai target sebagaimana yang dituangkan dalam janji politiknya. Terutama soal tol laut. Kedua, pembangunan infrastruktur yang "ugal-ugalan" mengakibatkan tingginya hutang negara. Bahkan melebihi hutang gabungan era presiden-presiden sebelumnya. Ketiga, pembangunan infrastruktur tidak linier dengan pertumbuhan ekonomi. Tercatat, pertumbuhan ekonomi di periode pertama hanya 5%. Jauh dari target yang dijanjikan yaitu 7%. Di periode kedua, ekonomi makin terpuruk, dihajar pula dengan pandemi corona. Terjadilah resesi. Dua kuartal minus. Keempat, pembangunan infrastruktur tidak punya efek terhadap peningkatan ekonomi, baik langsung atau tidak langsung. Apalagi yang berkaitan dengan program revolusi mental yang jadi tageline pemerintahan Jokowi. Mengenai janji Jokowi di periode kedua publik nampak apatis. Abai dan tak lagi memperhatikan apa saja janjinya. Mengingat puluhan janji di periode pertama sebagian besar meleset. Stop impor, bay back Indosat, sudahlah masih banyak lagi... lupakan saja. Dan Jokowi sendiri tak pernah memberi penjelasan terkait melesetnya janji-janji tersebut. Gampang lupa, karena bisa berubah pagi dan sore. Terlepas apapun penilaian publik terhadap janji Jokowi di periode pertama, janji di periode kedua tetap harus diingatkan. Janji itu road map. Orang luar bilangnya menifesto. Baik bagi kebijakan pemerintah, maupun jadi unsur penting bagi rakyat untuk mengukur dan menilai kinerja pemerintahan Jokowi Diantara janji itu adalah sinergi pemerintah daerah, penegakan sistem hukum bebas korupsi, pemberian rasa aman bagi setiap warga, dan masih banyak lagi. Ini jadi bagian dari misi Jokowi periode kedua. Melihat KPK terkapar, pencabutan kewenangan Pemerintah Daerah dalam UU Minerba, segala bentuk persekusi dan represi terhadap kebebasan berpendapat, membuat misi ini harus mendapatkan koreksi. Selanjutnya, apa opini publik terhadap kebijakan Jokowi? Survei Litbang Kompas terbaru mengungkap bahwa hanya 45,2% rakyat yang puas terhadap kinerja Jokowi. Ini nggak linier dengan jumlah pemilih Jokowi di Pilpres 2019. Survei ini telah memberi penilaian negatif untuk setahun kinerja Jokowi. Akankah ada survei tandingan yang bakal mencounter survei Litbang Kompas? Kita tunggu saja. Diaisi lain, buruh memberi kartu merah terhadap kinerja Jokowi. Bagaimana dengan mahasiswa dan pelajar? Bagaimana pula dengan Majelis Ulama Indonesia MUI dan ormas? Ini juga penting, agar bisa jadi catatan untuk kinerja pemerintah ke depan. Ketidakpuasan terhadap kebijakan dan kinerja Jokowi bisa dilihat dari sejumlah persoalan. Diantaranya soal politik. Dikotomi pendukung non pendukung tidak selesai. Maaf, "Cebong-Kadrun" menjadi istilah yang terus dipelihara eksistensinya. Nggak bener! Tiga faktor yang menjadi sebab mengapa pendukung dan non-pendukung terus eksis. Pertama, perlakuan hukum yang berbeda terhadap pendukung dan pengkritik pemerintah. Borgol yang sedang ramai dibicarakan seolah menjadi simbol ketidakadilan itu. Kedua, influencer yang terus bekerja merawat keterbelahan sosial. Mengumandangkan istilah "Kadrun" untuk lawan politik dan pihak yang kritis terhadap pemerintah adalah sebuah ironi berbangsa. Setiap yang kritik pemerintah dianggap barisan yang sakit hati, atau politisi yang kecewa karena nggak dapat jatah di pemerintahan Jokowi. Stigma Islam ideologi, radikal dan khilafah semakin memperkeruh situasi. Ketiga, minimnya ruang dialog dengan pihak yang berbeda pendapat, dan dianggap berseberangan secara politik dengan pemerintah. Pemerintah dengan struktur pendukungnya seringkali membangun sikap dan narasi permusuhan terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapat dengen pemerintah. Bukan pendekatan dialogis yang dikedepankan. Kalau soal hukum, ada masalah serius di produk, pelaksanaan dan penegakan. Sejumlah undang-undang yang ditolak dan diprotes rakyat diketuk palu. Diantaranya ada UU KPK, UU Minerba, UU Corona, RUU HIP dan terakhir UU Omnibus Law Cipta Kerja. Entah berapa banyak demonstran yang telah jadi korban. Semua UU tersebut mendapatkan penolakan masif dari masyarakat. Tetapi, tetap saja diundangkan. Terkecuali RUU HIP. Itupun belum dicabut dari Prolegnas. Pemerintah dan DPR budeg dan tuli. Kaya negara ini hanya punya pemerintah dan DPR. Sehingga suara rakyat harus dianggap tidak ada. Terakhur UU Ciptaker. Gelombang protes dan demo nggak berhenti. UU Ciptaker dianggap cacat formil dan materiil. Cacat formil, karena ada kesalahan prosedural. Tidak transparan, kurang sosialisasi, banyak anggota fraksi yang terlibat dalam sidang paripurna tidak mendapat materinya. Jumlah halamannya pun berubah-ubah. Cacat materiil, karena sejumlah pasal dianggap tumpang tindih. Dari aspek demokrasi, ada tindakan berlebihan aparat yang dianggap sebagai upaya membungkam kebebasan berpendapat. Ancaman administratif terhadap pelajar dan mahasiswa yang demo merupakan bentuk pembungkaman yang sepatutnya nggak perlu ada. Penyelenggara negara tidak faham konstitusi tentang kebebasan berpendapat yang diatur pasal 28 UUD 45. Belum juga terhadap pers. ILC rehat berulangkali. Ini dibaca publik sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers. Halo Bang Karni Ilyas. Apa kabar??? Ko ILC banyak banyak cuti??? Semoga Bang Karni, ILC dan TV One sehat-sehat saja, dan dilindungi Allah Subhanahu Wa’ala. Amin. Apalagi soal ekonomi. Selama dua kuartal pertumbuhan ekonomi minus. Ini pertanda resesi ekonomi akan terjadi. Beban hutang begitu besar dan jatuh tempo bayar di bulan November nanti. Dimana devisa (cadangan uang negara) kabarnya sangat minim. Yang harus dibayar pada November nanti mendekati U$ 60 miliar. Jumlah itu hampit separuh dari devisa kita saat ini. Mengandalkan pinjaman luar negeri tak sepenuhnya bisa diandalkan disaat banyak negara mengalami masalah ekonomi. Jual SBN (Surat Berharga Negara) juga tak mudah. Kecuali jika Bank Indonesia yang membeli dengan sistem burden sharing (cetak uang). Sayangnya, undang-undang melarang BI membeli SBN di pasar primer. Ini PR sekaligus tantangan presiden di sisa empat tahun pemerintahannya. Jika ingin mendapatkan kembali opini positif dari rakyat, Jokowi sebagai kepala negara, harus berani melakukan perubahan. Apa yang harus dirubah? Ya, pikir sendiri. Kok nanya gue. Entar kalau gue kasih masukan, gue di....... dong. Ogah ah! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.