NASIONAL
Menepis Pendapat Amien Rais Soal Kembali ke UUD 1945 (Bagian-5)
by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto “…… Terutama bagi negara baru dan Negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedang aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan mencabut”. (Penjelasan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia) Jakarta FNN – Jum’at (06/11). Pembatasan. ”Untuk membedakan dan mempermudah, hasil amandemen UUD 1945 dalam artikel ini kita sebut dengan UUD 2002”. Demokrasi mati! Kebebasan terkebiri! Hukum tersakiti! Ada yang diborgol, ada yang tidak. Dari seberang menyahut, mereka langgar UU Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE). Mereka mengumbar kebencian dan SARA. Ngapain lu milenial bisanya cuma demo? Hitungan detik disahut, lu lupa ya, jatuhnya Presiden, naiknya Presiden karena demo! Polemik jumlah halaman, ukuran kertas, spasi, besar huruf, jadi kambing hitam sebagai alasan picisan. Mengapa bukan jumlah bab dan pasal yang diinfokan secara intelektual? Kewajiban memberikan dan hak mendapatkan informasi yang benar-benar kabur. Begitulah Itulah kisruh UU Cipta Kerja di bukan Oktober 2020 lalu. Strategic Assessment Bersamaan itu, cerita dari Martial Art Weapon Video tentang kejadian di AS, Hellena mencuri di Pasar Raya, ditangkap polisi, viral di medsos. Hellena mengaku mencuri lima telur karena anaknya beberapa hari belum makan. Alih-alih diborgol, Hellena justru dibawa polisi masuk pasar lagi dan dibelikan makanan untuk keluarganya. Tabayun kepada Chris Komari, aktivis demokrasi yang sudah 40 tahun di Amerika Serikat. Cerita tentang Hellena itu benar adanya, kata Chris. Menceritakan kisruh UU Cipta Kerja dan cerita Hellena di awal artikel ini, tidak bermaksud membahas UU Cipta Kerja. Hanya sebagai ilustrasi masalah HAM saja. Ternyata, bicara HAM tidak hanya sebatas narasi di konstitusi. Ada masalah demokrasi, hak asasi manusia dan hukum, antara narasi dan praktek, ada hal yang sangat penting, walau tidak tertulis. Yakni, moral dan nalar yang harus dimiliki siapa saja, sebagai landasan agar hak itu berdiri di atas kemanusiaan yang adil dan beradab. Kita tahu, banyak LSM asing masuk ke Indonesia. Mereka ikut campur dalam amandemen UUD 1945. Dalih ikut campur mereka, sebagai komitmennya dalam membangun tata negara baru. Yang lebih mengedepankan persamaan, keadilan dan hak asasi manusia. Koalisi Organisasi Non Pemerintah (Ornop) ini memanfaatkannya. Mereka meminta PAH I BP MPR, agar rancangan bab hak asasi manusia disusun lebih detail. Tidak seperti pasal-pasal aslinya, disertai contoh konstitusi negara lain. Sedang Koalisi Perempuan Indonesia meminta soal kepentingan anak, perempuan dan hak afirmatif tercantum dalam bab hak asasi manusia. (Valina S.S, Menyusun Konstitusi Transisi) Patut diduga, bab hak asasi manusia di UUD 2002, mencontoh negara lain. Mengapa mesti mencontoh? Mengapa tidak bangga dengan ‘arsitektur’ konstitusi sendiri? Sedangkan orang Belanda, Spanyol, Itali, Jawa, Minangkabau, Toraja, dan lain-lain itu bangga dengan gaya arsitektur rumah yang mereka miliki sen sendiri. Walaupun berbeda dengan yang lain. Mestinya kita mencontoh Bung Karno yang bangga dengan budaya dan karya sendiri. Bung Karno berani beda dengan Lord Russell di Sidang Umum PBB tahun 1960. “Indonesia tak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Indonesia hanya punya Pancasila”, kata Bung Karno. Tokoh dunia jarang “membebek”. Karl Marx berani beda dengan John Locke. Spinoza berani beda dengan J. Rousseau, Lenin dan Hegel. Soepomo bersama ‘‘the founding fathers” berani beda dalam meletakkan landasan konstitusi Negara Indonesia Merdeka. Mestinya kita bangga dengan warisan arsitektur konstitusi dengan sistem pemerintahan sendiri. Ternyata, pengusul hanya ingin lebih detail dari pasal aslinya. Artinya, mereka paham kalau UUD 1945 sudah mewadahi hak asasi manusia. Tidak hanya narasi, tetapi juga dalam praktek bernegara. Baca: “Menepis Pendapat Amien Rais (Bagian-4): HAM dan NKRI, Antara Narasi dan Praktek”. (Google). UUD 1945 memang singkat dan “soepel”. Namun, bahasa Indonesia itu kaya akan makna. Narasi Pasal 26 s/d 34 UUD 1945, mengandung hak asasi warga negara. Yang secara moral dan nalar, akan kita temui hak individual di dalamnya. Sehingga bisa dijabarkan ke dalam undang-undang. Pasal 26 UUD 1945 yang mengatur masalah kewarganegaraan. Dijabarkan seperti Pasal 28D ayat 4 UUD 2002, “bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”. Pasal 27 UUD 1945 yang mengatur masalah hak bersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warga negara, memberikan implikasi adanya berbagai macam hak individu. Hak individu itu antara lain, hak hidup, membentuk keluarga, tumbuh dan berkembang, mendapatkan berbagai macam perlindungan, pengakuan, jaminan, kepastian dan perlakuan hukum yang adil. Punya kesempatan sama dalam pemerintahan. Juga memajukan diri dan lain-lain, sebagaimana Pasal 28A, 28B, 28C ayat 2, 28D ayat 1, 2, 3, Pasal 28G, Pasal 28H ayat 1 dan 2, dan Pasal 28I ayat 1, 2, 4, 5 UUD 2002. Pasal 28 UUD 1945 yang mengatur hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, memiliki implikasi adanya hak individu untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, berikut berbagai hal yang melingkupinya, seperti Pasal 28F. Pasal 29 UUD 1945 yang mengatur hak kemerdekaan penduduk memeluk agamanya masing-masing. Pasal ini memiliki implikasi adanya hak individu seperti bebas memeluk agama dan beribadah. Bebas meyakini kepercayaan, dan lain-lain seperti Pasal 28E UUD 2002. Pasal 31 UUD 1945 yang mengatur adanya hak mendapatkan pengajaran. Memiliki implikasi adanya hak individu untuk mengembangkan diri, mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat Ilpengtek-Sosbud, dan lain-lain seperti Pasal 28C ayat 1 UUD 2002. Pasal 32 UUD 1945 terkait pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia memiliki implikasi adanya hak tentang identitas budaya dan dihormatinya masyarakat tradisional sebagaimana Pasal 28I ayat 3. Pasal 34 UUD 1945, fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara memiliki implikasi adanya hak setiap orang atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia bermartabat, dan lain-lain seperti dalam Pasal 28H ayat 3 dan 4 UUD 2002. Dari uraian di atas, tampak bercampur hak asasi warga negara dengan hak asasi individu atau seseorang. Bahkan terkesan duplikasi dan diulang. Sebab, sesungguhnya apa yang dimaksud dalam Pasal 28A s/d 28J UUD 2002, sudah ada di dalam Pasal 26 s/d Pasal 34 UUD 1945. Dengan demikian, jika kita kembali ke UUD 1945, selanjutnya kita sempurnakan dengan adendum. Walau Bab Hak Asasi Manusia hilang, tidaklah masalah. Kalau toh ingin hak asasi individu dinarasikan secara eksplisit, posisinya di dalam undang-undang. Apakah dengan kembali ke UUD 1945, hak asasi rakyat non Parpol seperti TNI, Polri, Forum Guru Besar dan Rektor, perhimpunan Advokat, organisasi guru, buruh, tani, nelayan, pemangku adat dan lain-lain terwadahi? Ya, terwadahi dalam Utusan Golongan dan Utusan Daerah. Dengan demikian, penyaluran aspirasi tidak hanya demo, tetapi bisa secara konstitusional. Rakyat non Parpol yang duduk di MPR diperlukan sebagai penyeimbang tatkala terjadi kolaborasi tidak sehat antara Presiden (eksekutif) dengan DPR (legislatif). UUD 1945 lebih adil dan kedaulatan rakyat lebih nyata, dibanding UUD 2002. Untuk apa ada sepuluh pasal hak asasi manusia di UUD 2002, tetapi kedaulatan rakyat non Parpol tidak punya wadah penyaluran aspirasi? Yakinlah, ajakan kembali ke UUD 1945 untuk disempurnakan dengan adendum, hakikatnya untuk melestarikan nilai-nilai, cita-cita dan tujuan didirikannya Negara Indonesia Merdeka. Semoga bisa dipahami, bermanfaat, dan dikabulkan Tuhan YME. Amin. Penulis adalah Wagub Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Beginilah Pemerintah Ndableg & Bebal
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (05/11) Nomor 11 tahun 2020. Nomor 11 itu diregistrasikan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) yang baru ditandatangani Presiden Jokowi. Akhirnya pemerintah mengabaikan reaksi publik, khususnya buruh, mahasiswa dan pelajar yang mendesak agar Omnibus Law Cipta Kerja untuk dibatalkan atau sekurang-kurangnya ditunda. Tentu sikap "ndableg' atau "bebal" pemerintah atas suara dan desakan rakyat ini akan menimbulkan gelombang aksi berkelanjutan. Ada pula yang mengambil langkah gugatan hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK) meskipun dengan tingkat optimisme yang rendah. Sikap Pemerintahan Jokowi yang "ndableg' atau "bebal" untuk memaksakan kehendak ini merusak asas demokrasi negara Republik Indonesia. Pemerintah tidak mau peduli dengan apapun aspirasi yang datang daru masyarakat. Sekurangnya empat aspek demokrasi telah dilabrak. Pertama, demokrasi politik. Asas kedaulatan rakyat yang diinjak-injak. Kebaikan sosiologis sebuah Undang-Undang yang tidak dipenuhi. Rakyat intens menolak di sana-sini. Namun pemerintah tidak mau mendengar. Apalagi mengabulkan permintaan rakyat. Aspirasi yang tidak diindahkan dan tidak membuka kompromi dengan rakyat. Kedua, demokrasi hukum. Asas kedaulatan hukum sangat dilecehkan pemerintah dan DPR. Cara-cara pengesahan DPR yang cacat serta proses hukum yang tidak lazim dalam pembuatan sebuah undang-undang. Terkesan UU pesanan politik dengan ketergesa-gesaan waktu. Omnibus Law bagai bus yang membawa hukum meluncur ke jurang. Ketiga, demokrasi ekonomi. Kekuasaan ekonomi kerakyatan atau pemihakan kepada kaum buruh dilindas habis. Kepentingan pengusaha dan pemilik modal yang lebih diutamakan. Masalah lingkungan hidup juga turut dihancurkan, demi dan investasi konglomerasi licik, picik, culas dan tamak. Sistem ekonmi kapitalisme dibuat semakin mengakar. Keempat, demokrasi budaya. Budaya kekeluargaan, sopan santun, serta menghargai aspek keragaman dan keagamaan telah dirusak penguasa. Pemerintah bertindak keras untuk memproteksi Undang-Undang Omnibus Law. Raksasa buruk muka ini telah merenggut korban berupa penangkapan aktivis sosial dan keagamaan yang kritis kepada penguasa. Omnibus Law adalah wajah dari Pemerintah yang "ndableg' atau "bebal". The government is ignorant. Lucunya untuk kesalahan kebijakan Pemerintah, masih saja mau menyalahkan rakyat atau orang lain atas kebijakannya sendiri yang salah sebagaimana ungkapan Keith Dowding dalam bukunya "It's The Government, Stupid"--How governments blame citizens for their own policies. Menurut Dowding, tanggung jawab itu seharusnya berada di kaki politisi. Politisi yang berada di ruang birokrasi maupun parlemen bertanggungjawab atas Undang-Undang Omnibus Law yang bikin gaduh bangsa ini. Politisi inilah yang pantas disebut pengacau atau bahkan teroris terhadap rakyat. Mereka meneror rakyat dengan fikiran, aturan, alasan, dan ancaman agar rakyat mau menjalankan kebijakan secara sukarela ataupun terpaksa. Ini model politisi yang berkarakter penjajah. Politisi yang merasa benar sendiri seperti ini yang menjadi prioritas untuk dibasmi. Negara akan berpenyakit kronis jika memelihara virus pembuat pemerintahan menjadi bebal. Lampu yang sudah redup hanya dua pilihan untuknya mati atau segera ganti. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Gatot Sebaiknya Tunda Terima “Bintang Mahaputra”
by Luqman Ibrahim Soemay Puncak Jaya FNN – Kamis (05/10). Pemerintah Jokowi telah memutuskan untuk memberikan prnghargaan “Bintang Mahaputra” kepada Jendral TNI (Purn.) Gagot Nurmantyo. Penghargaan itu diberikan dalam rangka peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 Nopember tahun ini. Namun Gatot sebaiknya lebih hati-hati dalam mensikapi rencana pemerintah tersebut. Gatot bisa masuk dalam jebakan batmen. Kalau sudah masuk, susah lagi untuk kerluar. Kalau Gatot salah bersikap terhadap “Bintang Mahaputra” ini, Gatot bisabisa kejebur jurang yang berlumpur. Karena jurangnya berlumpur, maka Gotot susah untuk bangkit lagi mendapatkan simpati publik yang terlanjur kecewa terhadap tata kelola negara di bawah Jokowi yang terkesan amburadul dan amatiran ini. Gatot sebaiknya belajar dari kecerobohan Prabowo Subianto yang tergiur dengan sogokan Menteri Pertahanan serta Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun kehilangan pendukung setianya. Prabowo dipastikan kehilangan sekitar 60-70 juta orang yang memilihnya dengan uang sendiri, keringat sendiri dan darah sendiri, dan nyawa sendiri di Pilres 2019 lalu. Prabowo juga kehilangan emak-emak militan, yang menilai Jokowi memimpin negara dengan cara-cara yang amatiran, bahkan amburadul. Prabowo hari ini menjadi barang aneh di telinga emak-emak militan. Hanya karena Prabowo berubah menjadi cebong 24 karat. Prabowo telah terpeleset. Susah untuk bisa bangkit lagi, dan mendapat kepercayaan seperti dulu. Marahnya emak-emak militan kepada Prabowo ini kadang kala bisa berdampak kepada para suami di rumah. Para suami harus hati-hati jika bicara tentang Prabowo. Mendingan bicara tentang kekurangan, daripada bicara kelebihan Prabowo. Para suami kemungkinan bisa dipunggungin untuk sementara saat tidur, bila suaminya kepeleset bicara tentang kehebatan Prabowo. Ingat Syahganda, Jumhur, Anton Dkk Ada empat langkah yang menjadi ciri paling menojol pemerintah Jokowi untuk membungkam oposisi masyarakat sipil (civil sosciety) yang kritis. Targetnya, agar civil society bia diam, atau behenti untuk mengkritisi tata kelola pemerintahan Jokowi yang kacau balau. amatiran dan amburadul ini. Pertama, sogok dengan jabatan. Langkah ini sedidik berhasil. Cotohnya adalah Ali Muchtar Ngabalin, Kapitra Apmera dan Habib Luthfi. Sebelumnya ketika di luar, mereka keras mengkritik pemrintahan Jokowi. Namun begitu dikasih jabatan, langsung diam. Bahkan berbalik menyerang siapa saja kelompok oposisi yang mengkritik pemerintahan Jokowi. Kedua, kalau sogok dengan jabatan tidak mempan juga, langkah berikutnya adalah melakukan tindakan represip dengan penangkapan-penangkatan di sana-sini. Benar atau salah masalah yang dituduhkan, itu urusan nanti. “Yang penting tangkap dulu mereka. Nanti dilepas lagi. Yang penting tangkap dulu, “begitun kata Menteri Atasi Segala Urusan (ASU) kepada aktivis senior yang kebetulan dekat Opung. Ketiga, intip tunggakan pajaknya. Pola ini dugunakan untuk membungkam mereka yang masih menjabat sebagai politisi maupun pengusaha. Umumnya mereka adalah piminan dan mantan pimpinan MPR, DPR dan DPD. Pola yang sama juga dilakukan terhadap anggota-anggota DPR dan DPD yang membandel dan suka kritis terhadap kekuasaan Jokowi. Tidak mengherankan, bila apa saja yang dimaui oleh pemerintah, hampir dipastikan dapat persetujuan dari DPR. Lihat saja Perppu Nomor 1/2020, RUU HIP UU Miner dan UU Cipta Kerja. Suatu ketika Menteri Keuangan pernah mengatakan, kalau untuk pimpinan MPR yang itu (salah satu pimpinan MPR), tinggal kita ingatkan saja, “mas jangan lupa tunggakan pajaknya yaaaaa”. Keempat, berikan penghargaan seperti “Bintang Mahaputra” kepada Pak Gaoto. Selesai upacara terima “Bintang Mahaputra”, lalu foto-foto dengan penerima “Bintang Mahaputra”. Setelah itu disebarkan ke media sosial. Pola ini cukup berhasil, karena pernah dipakai untuk menggandeng Fadli Zon dan Fahri Hamzah (doa F) yang mantan Wakil ketua DPR. Tunggu Keluar Dari Tahanan Langkah terbaik yang perlu dilakukan Pak Gatot sebagai salah satu simbol tokoh opisi moral sekarang ini adalah menunda untuk menerima “Bintang Mahaputra”. Hanya sekedar menuda waktu menerima saja. Bukan menolak “Bintang Mahaputra”. Tunggu waktu yang tepat saja. Waktunya saja yang kemungkinan belum pas untuk Pak Gatot menerima “Bintang Mahaputra” saat ini. Menunda dulu sampai dengan Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Kingkin Anida dan teman-teman keluar dari tahanan Bareskrim Polri. Menunda ini untuk menjaga soliditas dan kekompakan oposisi moral. Langkah menunda menerima “Bintang Mahaputra” ini sebagai bentuk penghorman dan tenggang rasa kepada teman seperjuangan Syahganda, Jumhur, Anton, Kingkin dan kawan-kawan. Toh mereka hari ini ditahan hanya karena menjadi bagian dari Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Komite dari gerakan politik moral, dimana Gatot adalah satu diatara tiga Presidium KAMI, bersama-sama dengan Prof. Dr. Din Syamsudin dan Prof. Dr. Rohmat Wahab. Tidak dapat dipungkiri bahwa KAMI hari ini tampil sebagai gerakan oposisi moral yang sangat ditakuti pemerintah. d\Deklarasi KAMI bermunculan dimana-mana, baik di Provinsi maupun Kabupaten-Kota. Bahkan ada yang di luar negeri. Ini akibat dari gagalnya partai politik tampil mewakili suara dan perasaan rakyat. Partai politik malah menjadi cebong penguasa. Pemerintah berkali-kali berupaya menggalkan deklarasi KAMI di berbagi daerah. Yang terakhir deklarasi KAMI di Jambi yang dihadiri Gatot. Namun makin dihalang-halangi, bukanya semakin takut dan melempam. Malah semakin banyak Provinsi dan Kabupaten-Kota yang mengajukan diri mendeklarasikan KAMI di daerah masing-masing. Gatot Dicopot Itu Tegang Keputusan Presiden Jokowi untuk mencopot Gatot dari Pangliman TNI, dan menggatinya Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sangat menegakan. Bukan sebuah pergantian Panglima TNI yang biasa-biasa. Bahkan boleh dibilang paling menegangkan sepanjang sejarah pergantian Panglima TNI. Kejadian yang sangat mempermalukan dengan sengaja, baik pribadi Gatot maupun institusi TNI. Bagaimana tidak. Belum pernah terjadi sepajnag sejarah negeri ini sejak merdeka, ada Panglima TNI yang diganti di tengah jalan, sementara masa dinas aktifnya belum berakhir. Kejadian ini hanya terjadi di eranya Presiden Jokowi. Hanya terjadi pada Jendral TNI Gatot Nurmatyo yang terkenal keras dan kencang menentang bahaya kebangkinan faham-faham komunisme. Itu dilakukan Gatot dengan memerintahkan seluruh jajaran TNI menonton film Gerakan 30 September PKI. Bukan pencopotan Gatot saja. Dua atau tiga hari sebelum dicopot dari Panglima TNI, Gatot baru saja tandatangani rotasi perwira tinggi di kalangan TNI, termasuk pergantian Panglima Kostrad. Namun pergantian itu, kemudian dianulir Panglima TNI pengganti Gatot, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto. Terlalu banyak air mata yang berceceran ketika menyaksikan Pak Gatot dicopot dengan cara yang tidak tidak biasanya dari Panglima TNI. Karena belum pernah terjadi pada Panglima TNI sebelumnya. Disana ada air mata prajurit dan mantan prajurit, air mata istri prajurit dan istri mantan prajurit, air mata anak prajurit dan manta anak mantan prajurit, air mata cucu prajurit dan cucu mantan prajurit. Ada juga air mata dari mereka yang anti terhadap faham komunisme. Mereka mungkin saja petani, nalayan, tekang ojek, tukang becak, sopir angkot, karek angkot, abang tuklang bakso, abang penjual sekuteng, abang penjual nasi goreng, abang penjual mie ayam, pedagang sembako di pasar, pedagang ikan di pasar ikan, pedang sayuran, ayam dan daging. Yang kemungkinan menangis ketika itu. Pada saat air mata mereka-mereka yang menetes karena Pak Gatot dicopot dari Panglima TNI dengan cara yang tidak biasanya (karena arogansi kekuasaan) itu belom kering, meskipun sudah berlalu tiga tahun berlalu. Karena yang pejabat mencopot Pak Gatot itu masih berkuasa sekarang. Orang itu pula yang mau memberikan “Bintang Mahaputra” kepada Pak Gatot Selasa 10 Nopember nanti. Pertanyaan yang menggelitik, mengapa baru sekarang Presiden Jokowi atas nama negara memberikan “Bintang Mahaputra” itu kepada Pak Gatot? Mengapa bukan pada 10 Nopember 2018 atau 2019 lalu? Kan Pak Gatot dicopot dari Panglima TNI dengan tragis itu pada Desember 2017 lalu. Untuk itu, sebaiknya Pak Gatot jangan tambah lagi dengan air mata Syahganda, Jumhur, Anton, Kingkin Anisa dan kawan-kawan yang masih di dalam tahanan Bareskrim Polri. Walaupun saya yakin teman-teman saya yang ada di tahanan Bareskrim itu, tidak bakal menangis dengan air mata sesungguhnya. Saya bangga untuk berteman dengan Bang Ganda, Jumhur dan Anton sebagai aktivis hebat. Mereka sudah memikirkan perbaikan bangsa ini sejak masih menjadi mahasiswa akhir tahun 1980-an. Mereka melawan otoritarisme, kezaliman, dan kediktaroran Soeharto sejak menjadi mahasiswa baru. Bahkan ada sudah ditahan Laksusda sejak masih SMA. Itulah resiko perjuangan yang mereka pilih. Sahabat-sahabat saya itu hanya bisa menangis mengukur kehebatan Pak Gatot. Sehebat apa Pak Gatot yang mereka bangga-banggakan? Apakah Pak Gatot itu macan seperti yang mereka banggakan selama ini? Atau hanya ayam sayur yang Pak Gatot istilahkan untuk para aktivis penakut saat menghadapi kezoliman? Jangan sampai Pak Gatot tidak lebih baik dari cabong 24 karat yang bernama Prabowo. Dipastikan bukan saja air mata sahabta-sahabat saya di dalam tahanan Bareskrim yang menetes, tetapi air mata para istri, para anak dan teman-temannya sesama aktivis lintas generasi. Yang sepauruhnya sudah berjuang sejak Malari tahun 1974 lalu. Karena perlawanan civil society terhadap pembungkaman kebebasan berpendapat oleh kekuasan yang otoritarisme itu dimulai sejak Peristiwa Malari 1974. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Bintang Mahaputera. "Suap Politik" Untuk Gatot Nurmantyo?
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Rabu (04/11}. Jenderal Gatot akan mendapat Bintang Mahaputera. Kabar cukup mengejutkan itu muncul dari cuitan Menkopolhukam Mahdud MD. "Tanggal 10 dan 11 November 2020 Presiden akan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional (PN) dan Bintang Mahaputera (BM). “ Yang dapat gelar PN antara lain SM Amin dan Soekanto, yang dapat BM, antara lain Gatot Nurmantyo dan Arief Hidayat,” cuit Mahfud MD melalui Twitter, Selasa (3/11). Penghargaan ini tentu saja menimbulkan spekulasi politik dan menjadi pembahasan paling seru di media. Di media sosial analisisnya lebih seru lagi. Bebas merdeka. Mulai dari yang masuk akal, sampai yang paling tidak masuk akal. Namun bila diamati, sebagian besar melihat penghargaan ini dengan pandangan curiga. Gatot bagaimanapun saat ini harus dilihat sebagai figur pemimpin kelompok oposisi yang paling vocal dan diperhitungkan, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Bersama Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Ketua Umum Komite Khittah NU 1926 Prof Rochmat Wahab, Gatot menjadi Presidium KAMI. Gatot sering bersuara keras terhadap pemerintah dan pasang badan keberadaan KAMI. Secara terbuka dia menyatakan pemerintahan saat ini dikendalikan oligarki. Kekuasaan yang dkelola sekelompok orang dengan topeng konstitusi. Pada Delarasi KAMI di Tugu Proklamasi (18/8) Gatot dengan lantang menyatakan akan bertanggungjawab secara pribadi, bila ada konskuensi hukum. Pada Deklarasi KAMI di Bandung Gatot juga menantang aparat keamanan bila dianggap makar. Sejak itu aktivitas Gatot bersama KAMI dihalang-halangi dan dibubarkan oleh polisi. Yang paling menggegerkan terjadi di Surabaya. Sejumlah pengunjukrasa menghadang kegiatan KAMI. Polisi bertindak lebih jauh. Seorang perwira menengah dari Polda Jatim masuk ruangan, menghentikan Gatot yang tengah berpidato. Belakangan terungkap pengunjukrasa mengaku sebagai massa bayaran. Tidak cukup hanya sekedar menghalang-halangi dan membubarkan kegiatan, polisi bertindak semakin keras. Sejumlah petinggi KAMI, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan dan Anton Permana ditangkap. Di beberapa daerah aktivis KAMI juga harus berurusan dengan polisi. Ketua Komite Eksekutif KAMI Ahmad Yani semula juga mau ditangkap polisi. Namun urung karena Ahmad Yani menolak dan melakukan perlawanan. Belakangan Ahmad Yani dipanggil kembali Bareskrim Polri dengan status sebagai saksi. Belum jelas bagaimana status Ahmad Yani. Apakah hanya sebatas saksi, atau statusnya ditingkatkan menjadi tersangka. Penangkapan para tokoh KAMI itu selain sebagai penggembosan gerakan, juga untuk memberi tekanan psikologis dan menakut-nakuti Gatot Nurmantyo. Tekanan Terhadap Gatot Dalam program ILC TV One Karni Ilyas pernah menanyakan hal itu. Apakah Gatot takut? Dengan lugas Gatot menjawab tidak takut. Sebagai mantan Panglima TNI, Gatot mengaku tidak bisa membayangkan apa dampaknya secara psikologis bagi parjurit TNI dan para yuniornya, bila dia tunduk pada tekanan. Ketika para aktivis KAMI ditangkap, Gatot juga bersikap santai. Dengan lantang dia meminta agar tidak dikasihani. “Mereka aktivis yang sudah teruji dan tahu konskuensi dari perjuangannya,” ujarnya. Jadi, dalam konteks itu, penganugerahan Bintang Mahaputera kepada Gatot dapat dilihat sebagai upaya lain untuk menundukkan Gatot. Tidak mempan ditekan dengan jalan keras, Gatot coba dirangkul. Penghargaan ini semacam gula-gula, “suap politik” terhadap Gatot. Pendekatan stick and carrot. Tongkat pemukul dan wortel. Walaupun momentumnya diberikan bersamaan dengan peringatan hari pahlawan, namun penghargaan itu terkesan tiba-tiba! Ujug-ujug! Kalau diberikan dalam kapasitas Gatot sebagai mantan Panglima TNI, mengapa baru diberikan sekarang? Gatot diganti pada bulan Desember 2017. Sudah hampir tiga tahun berlalu. Pergantiannya kala itu juga terkesan mendadak. Belum waktunya pensiun. Penggantian Gatot juga dibarengi spekulasi karena dia sering tidak sejalan dan berseberangan dengan Jokowi. Salah satunya dalam isu kebangkitan kembali PKI. Gatot kala itu memerintahkan seluruh jajaran TNI untuk menggelar nonton bareng Film G 30 S PKI. Sebuah perintah yang terkesan menantang PDIP sebagai partai penguasa, sekaligus pengusung Jokowi. Pola merangkul lawan politik ini sebelumnya juga pernah dilakukan pemerintahan Jokowi. Dua orang mantan wakil ketua DPR, Fahri Hamzah dan Fadlizon juga mendapat penghargaan serupa. Penghargaan diberikan bersamaan peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-75 bulan Agustus lalu. Infonya juga lebih dulu dibocorkan oleh Mahfud MD. Duo F —begitu Fahri dan Fadli biasa dipanggil— selama ini selalu menyampaikan kritik keras terhadap pemerintahan Jokowi. Penghargaan ini sebenarnya biasa saja. Diberikan kepada para mantan pemimpin lembaga negara. Namun dimanfaatkan untuk kepentingan strategi dan komunikasi politik. Bagaimana sikap Gatot? Apakah dia akan menerima penghargaan itu, atau menolaknya? Posisi Gatot jelas sangat dilematis. Sangat ironis bila dia bersedia menerima penghargaan dari sebuah rezim yang memenjarakan para aktivis yang berjuang bersamanya di KAMI. Sebagai seorang komandan, dia pasti sadar tengah dipisahkan dari pasukannya. Dia sedang dilumpuhkan. Kekuatannya sedang dilucuti. Sikap ini bisa meruntuhkan moral, sekaligus memecah belah kekuatan KAMI. Sebaliknya bila menolak, Gatot benar-benar menunjukkan sikap berdiri diametral berhadapan dengan pemerintah. Risikonya pemerintah bisa bertindak lebih keras. Sangat mungkin Gatot sendiri yang akan menjadi targetnya. Di sisi mana Anda akan berdiri Pak Jenderal?! End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Tanda Tangan Presiden Pertaruhkan Nasib 270 Juta Rakyat
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (04/11). Fatal dan konyol bangat. Begitulah persepsi publik terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Ada banyak masalah terkait materi dan proses. Disaat mata seluruh rakyat Indonesia memperhatikan, dan sebagian besar melakukan protes besar-besaran terhadap UU Ciptaker ini, presiden menandatangani naskah yang salah. Dimana letak kesalahannya? Perhatikan dengan cermat pasal 5 dan 6 UU Ciptaker ini. Pasal 5. Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait. (Catatan: "Tidak ada masalah"). Pasal 6. Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi a. penerapan perizinan berusaha berbasis resiko, b. penyederhanaaan persyaratan dasar perizinan berusaha, c. penyederhanaan perizinan berusaha sektor, dan d. Penyederhanaan persyaratan investasi. (Catatan: "Bermasalah") Perhatikan baik-baik bunyi pasal 6 yang merujuk pasal 5 ayat (1) huruf a, b, c. Padahal, di pasal 5 tidak ada ayat (1) huruf a, b, c. Ini fatal. Kalau ini dianggap sekedar salah ketik, kesalahan administrasi, keliru! Ini undang-undang boss. Nasib anak bangsa, organisasi, korporasi, dan negeri ini ada di undang-undang. Salah titik atau koma saja, bisa sangat bermasalah di tingkat penafsiran, implementasi, tuntutan jaksa dan keputusan hukuman oleh hakim nantinya. Apalagi salah merujuk. Yang lebih fatal lagi, kesalahan ini terjadi saat UU Ciptaker sedang diprotes, didemo, digugat. UU yang mendapat perhatian hampir seluruh rakyat Indonesia. Ini gegebah, ceroboh dan seperti main-main saja dalam mengurus negara. Bagaimana mungkin nasib bangsa nggak amburadul jika cara mengurus bangsa terkesan asal-asalan dan amatiran seperti ini. Perlu juga ditelusuri, siapa yang bertanggung jawab atas kesalahan ini. Apakah kesalahan ini hanya ada pada pihak istana yang tidak cermat, atau nggak sempat membaca UU Ciptaker ini? Pasti tidak. Sebab, sebelum sampai ke meja presiden, naskah UU masuk dulu ke Sekretariat Negera (Setneg). Rakyat nanya, Setneg yang tidak cermat atau tidak baca? Begini amatirkah Setneg yang bertugas menjadi penjaga benteng administrasi negara Indonesia? Rakyat jadi bertanya lagi, ini kesalahan yang pertama kali, atau apakah seperti ini proses yang selama ini terjadi bertahun-tahun di istana? Setneg ceroboh, presiden tidak cermat. Semuanya mengrus negara dengan cara-cara yang sangat amatiran. Atau karena terlalu bersemangat dan hanya fokus pada pasal-pasal tertentu yang dianggap prioritas bagi istana dan DPR saja? Lalu melupakan atau abai terhadap pasal-pasal lain? Akibatnya menimbulkan kesalahan yang fatal. Kalau orang terlalu fokus, biasanya telinga nggak terlalu peka dengan suara di sekelilingnya. Wajar saja kalau demo nggak kedengeran ke istana. Perlu ditelusuri, kesalahan ini hanya ada di Setneg dan istana? Atau memang sudah ada sejak di Badan Legislasi (Baleg) DPR? Wajar jika rakyat menaruh curiga. Mengingat banyak anggota fraksi nggak baca naskah UU-nya saat sidang pengesahan. Bahkan ada banyak versi terkait jumlah halaman. Jika kesalahan terjadi sejak dari baleg DPR, maka bisa dipahami kalau proses legislasi di negeri ini memang sangat bermasalah. Belum lagi soal jumlah halaman. Dari baleg DPR berjumlah 812 halaman. Yang diteken presiden 1.187 halaman. Apakah memang karena ukuran kertas atau fontnya yang berbeda? Atau redaksinya memang berbeda? Nah, DPR dan pihak istana tidak memberi penjelasan secara rinci soal ini. Bagaimana mau menjelaskan, kalau tidak membaca, atau baca tapi nggak cermat? Kesalahan ini tak boleh terulang lagi. Jika UU keliru dan presiden salah tanda tangan, maka nasib 270 juta rakyat Indonesia dipertaruhkan. Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah sebagai bentuk tanggung jawabnya? Pertama, minta maaf, dan berikan penjelasan yang jujur atas kesalahan ini. Tak perlu malu-malu karena menjadi penguasa. Rakyat pasti bisa memaafkan. Meski butuh waktu untuk memaafkan. Kedua, keluarkan Perppu untuk membatalkan UU No 11/2020 tentang Ciptaker ini. UU terkait Ciptaker bisa diusulkan kembali jika pertama, situasi sudah reda. Kedua, tidak lagi mengulangi kesalahan formil maupun materiil. Ketiga, libatkan semua pihak yang berkompeten dan terdampak jika UU Ciptaker disahkan. Lebih baik ditunda dari pada berpotensi mamperbesar masalah dan risiko. Toh negeri ini tidak akan collaps dan bubar jika tidak ada UU Ciptaker. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Fenomena Prof. DR. M. Din Syamsuddin
by Muhammad Chirzin Demi waktu sepanjang sejarah. Sungguh manusia benar-benar rugi. Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan kebaikan. Saling mengingatkan pada kebenaran. Saling mengingatkan pada kesabaran.(QS Al-'Ashr) Yogyakarta FNN – Selasa (03/11). Pak Din, demikian sapaan masyarakat kepada Guru Besar Politik Islam Global Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univresitas Islam Negeri (FISIP UIN) Jakarta ini. Pak Din muda yang lahir pada 31 Agustus 1958 ini telah aktif berkecimpung di organisasi. Ketika masih di kampung halaman Sumbawa, dia menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nahdlotul Ulama. Merantau ke pulau Jawa Pak Din nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur, tempat Dr (HC) KH Idham Kholid, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Dr (HC) KH Hasyim Muzadi, Cak Nun, Dr. Hidayat Nur Wahid, Kiai Lukman Hakim Saifuddin, dan Dr. Yudi Latif menuntut ilmu. Pak Din kakak kelas penulis tiga tahun. Wajar bila alumni Gontor ada yang menjadi Ketua PB NU, Ketua PP Muhammadiyah. Ada juga Ketua Umum Partai Politik berbasis Islam, maupun menjadi Menteri Agama dan tokoh masyarakat. Karena mereka dididik untuk menjadi perekat umat, dengan semboyan mau dipimpin dan siap memimpin. Disamping itu, Pondok Gontor memiliki semboyan, "di atas dan untuk semua golongan". Pondok Gontor tidak berafiliasi pada salah satu organisasi sosial keagamaan tertentu. Prof. Din Syamsuddin tercatat pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah selama dua periode setelah periode M. Habib Chirzin, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia(MUI) Pusat, sebelum periode Prof. Dr. (HC) Ma'ruf Amin. Prof. M. Din Syamsuddin adalah konseptor dari Negara Pancasila sebagai “Darul Ahdi was Syahadah” (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Konsep tersebut disampaikan Pak Din pada Pidato Kebangsaan 18 Agustus 2011 di PP Muhammadiyah, dan Pidato 1 Juni 2012 di MPR. Prof. M. Din Syamsuddin adalah penggagas Khilafah Peradaban. Bukan Khilafah Politik, dalam konteks keislaman, kekinian, dan keindonesiaan. Pak Din Syamsuddin menjadi Ketua Dewan Penasihat MUI Pusat sejak 2015, dan Ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC) sejak 2007. Pak Din juga aktif di berbagai organisasi tingkat internasional, antara lain sebagai Ketua World Peace Forum (2006-sekarang), Co-President of World Conference of Religions for Peace (WCRP) USA (2006-sekarang), President Moderator of Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) Japan (2007-sekarang), dan Advisory Forum of King Abdul Aziz Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue (KACIID) Austria (2015-sekarang). Bersama Jenderal Gatot Nurmantyo dan Prof. Dr. Rochmat Wahab, Pak Din menjadi Trio Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Bersama mereka para deklarator terdiri atas tokoh-tokoh nasonal yang berasal dari berbagai latar belakang profesi, pendidikan, sosial, politik, maupun keagamaan yang mempunyai kepentingan dan kepedulian sama, yaitu menyelamatkan Indonesia dengan meluruskan Kiblat Bangsa. Masyarakat yang peduli telah mendeklarasikan KAMI di berbagai propinsi, kabupaten maupun kota, bahkan di Amerika dan Australia. Atas gerak dan langkah KAMI sebagai gerakan moral, berbagai pihak merasa tidak nyaman dan terganggu kepentingannya. Terbukti, usaha deklarasi KAMI di beberapa daerah dirintangi dan digagalkan. Deklarasi KAMI terakhir yang dibubarkan oleh aparat keamanan adalah di Jambi (Jum'at, 30/10/2020) setelah Prof. Dr. Rchmat Wahab menyampaikan orasi. Jenderal Gatot batal menyampaikan orasi sebagai salah seorang dari Tiga Serangkai Presidium KAMI, sekalipun beliau telah tiba di lokasi. KAMI juga dituduh sebagai gerakan politik berbaju moralitas yang berkepentingan dengan jabatan dan kekuasaan. Siapa pun yang menyimak naskah piagam deklarasi KAMI dengan saksama, tidak akan menemukan orientasi politik, jabatan, dan kekuasaan yang dituduhkan. Atas segala tuduhan miring tersebut, Pak Din tak segan-segan menyatakan pandangannya secara tegas dan lugas kepada siapa saja, termasuk kepada Jenderal Moeldoko. Belakangan beredar info di media sosial bahwa Pak Din dilaporkan oleh pihak yang mengatasnamakan Alumni ITB kepada yang berwajib dengan tuduhan melakukan enam pelanggaran. Masyarakat luas patut bertanya. Pertama, mengapa mereka segelintir Alumni ITB begitu getol ingin menggusur Prof. M. Din Syamsuddin? Setelah gagal menggusurnya dari keanggotaan Majelis Wali Amanat (MWA) ITB, karena ditolak mayoritas alumni lain, mereka kini melaporkan Pak Din ke BKN dan KASN dengan tuduhan melanggar Kode Etik Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka menamakan diri Gerakan Anti Radikalisme, tetapi sikapnya justru radikal dan ekstrem (melampaui batas). Kedua, tentang keanggotaannya di MWA ITB. Sebenarnya sejak Ramadhan/Mei 2020 lalu Prof. M. Din Syamsuddin sudah mengembalikan amanat ke Senat Akademi ITB yang mengundang dan memilihnya menjadi Anggota MWA. Baginya, di tengah jabatan yang banyak di tingkat nasional maupun internasional, jabatan di MWA ITB dianggap mulia, namun kalau tidak efektif dan kondusif, lebih baik dikembalikan kepada pemberi amanat, yakni Senat Akademik ITB. Ketiga, kalau sekarang kaum radikal itu mau menggusurnya dari status ASN (Prof. Din adalah Dosen/Guru Besar ASN di UIN Jakarta), maka jika dipecat Prof. Din tak akan rugi dan kariernya pun tak akan berhenti. Banyak universitas di luar negeri yang mau menerimanya sebagai Visiting Professor. Bahkan 170-an Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia insya Allah siap menampungnya. Tetapi jelas, UIN Jakarta akan kehilangan seorang Guru Besar satu-satunya di Prodi Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta. Keempat, apa yang dicari oleh kaum radikal itu? Apakah mereka membawa kepentingan rejim yang merasa terganggu dengan kritisisme Prof. Din selama ini? Ataukah ada kepentingan yang lain dari pertarungan ideologis di ITB antara yang pro kepentingan Islam dan kelompok yang anti? Demokrasi tentu saja membutuhkan dialog. Pemerintah memerlukan oposisi sebagai pengontrol aksi dan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar. Demokrasi juga memberikan ruang ekspresi dan kebebasan akademik yang bertanggung jawab. Penulis adalah Alumni Pondok Modern Gontor.
Partai Ummat Untuk Siapa?
by Agung Mozin Jakarta FNN – Selasa (03/11). Selama pendemi covid-19 ini, banyak waktu luas yang digunakan untuk membaca kembali buku-buku lama yang sudah mulai kusam termakan waktu. Diantaranya dari buku kumpulan tulisan Mohamad Sobari sebelum tahun 1998 yang mengkritik kekuasaan orde baru, menarik perhatian saya. Kebetulan saya sepakat dengan beberapa pemikirannya Mohmad Sobari, karena mempunyai relevansi dengan kehadiran Partai Ummat saat ini yang dibidai oleh Amien Rais. Bahwa gagasan pendirian Partai Ummat mengembangkan rumusan politik “Islam Rahmatan Lil Alamin” adalah sebutan lain dari politik berwawasan kemanusiaan. Mengapa demikian, karena semaraknya berbagai tindakan kekerasan belakangan ini. Pemaksaan hak-hak politik dan ekonomi. Kehidupan budaya di kalangan rakyat, dan kerusuhan-kerusuhan massal sejak menjelang pemilu dan hingga sesudah pemilu berlangsung-sudah kita pahami bersama. Kondisi ini sama seperti yang terjadi ketika rezim orde baru. Yang memimpin dengan tangan besi. Kita akhirnya mungkin tiba pada kesepakatan, bahwa semua itu merupakan manifestasi dari kebangkrutan struktural kita. Khususnya karena tidak berfungsinya hukum sebagai mekanisme terbaik untuk mengatur tata kehidupan sosial dan politik kita. Pertanyaannya, kepada siapakah gagasan Islam Rahmatan Lil Alamin ini diperuntukan? Apakah ditujukan kepada mereka yang memegang kendali dan menentukan merah dan hijaunya seluruh bangsa dan negara berkode +62 ini? .......Tentu jawabannya tidak mungkin. Karena dianggap lahirnya Partai Ummat sebagai sikap kritis terhadap penyelenggara negara yang telah memilih jalan politik sangat liberal, dan menjauhkan ummat dari nilai-nilai langitan Malahan saat ini, sikap kritis langsung dicurigai sebagai gerakan radikal. Sikap kritis juga dianggap sebagai intoleran yang tidak sesuai dengan format Pancasila yang diklaim secara sepihak. Sikap rezim antikritik akan melembaga dalam politik kita. Sehingga tanpa kita sadari diam-diam politk kita semakin menjauh dan tertutup dari jangkauan rakyat. Rakyat dijauhkan dari proses pengambilan keputusan politik penting. Lembaga politik di parlemen yang semestinya menjadi perwakilan suara rakyat telah berubah menjadi tukang stempel maumaunya rezim. Parlemen kini telah terbentuk dinding tebal yang memisahkan rakyat dengan pemerintah atau rezim. Jika begini persoalannya, maka kita sudah bisa menarik sebuah kesimpulan awal bahwa gagasan untuk mendirikan Partai Ummat berasaskan Islam Rahmatan Lil Alamin bukan barang yang mereka perlukan sebagai balance of power. Bahkan mungkin saja yang tidak diperlukan, karena di mata mereka, hanya untuk menghambat dan mengganggu mereka. Seindah dan sebagus apapun konsep anti kezhaliman, dan menegakan keadilan yang datangnya dari langit sekalipun, akan menjadi barang aneh dan beban untuk penguasa. Kebenaran apapun yang kita sampaikan untuk keselamatan ummat manusia di negeri zone +62 ini, sungguh sangat tidak menarik mereka mata dan telingan yang berkuasa. Apakah kemudian kita kecewa dan pesimis? Atau kehilangan gairah untuk mengembangkan Partai Ummat dengan gerakan politik yang berwawasan kemanusian? Yang secara lugas dicantumkan sebagai azas Partai Ummat adalah Islam Rahmatan Lil Alimin? Jawabanya tentu tidak, karena gagasan Islam Rahmatan Lil Alamin lebih relavan dan sangat dibutuhkan rakyat saat ini. Islam Rahmatan Lil Alimin dibutuhkan sebagai tata perpolitikan yang memberikan pilihan lain atas tata kelola politik yang sangat liberal dan kapitalistik alias. Tata kelola yang menghalalkan segala cara. Artinya rakyat lebih terpanggil memberikan sumbangan dalam pengaturan ulang tata perpolitikan dit ingkat bawah. Katakan di desa-desa atau diruang-ruang terbatas diluar teropong radar kekuasaan yang arogan Inilah mungkin makna membangun politik berazaskan Islam Rahmatan Lil Alamin. Karena real politik kita telah ditinggalkan oleh nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran. Politik kita berjalan tanpa landasan, pijakan. Pelindungnya juga mungkin rapuh. Hanya pada tingkat individu atau khususnya di lapisan bawah, nilai-nilai dari langitan masih dipertahankan hidup, sehingga kemanusiaan, keadilan dan kebenaran tadi masih memberi energi budaya yang diperlukan Partai Ummat. Partai Ummat dengan azas Islam Rahamatan Lil Alamin sebenarnya sebagai upaya penyelamatan struktur bawah anak bangsa. Sekaligus wajud pemihakan lebih kuat kepada rakyat, dan bukan pada pemerintah yang telah membangun tembok tebal yang dijaga aparat yang buta mata dan buta hatinya dari jeritan ummatnya. Politik kita sekarang sangat keras, dan galak. Karena dibangun diatas logika kekuasaan. Kekuatan akan cenderung beroperasi demi kekuasaan itu sendiri, sama seperti status quo kita saat itu. Apalagi jika pemegangngnya makin lama makin takut kehilangan kekuasaan. Dalam situasi seperti itu, partai-partai politik yang diharapkan memperjuangkan politik yang adil, jujur dan berwawasan kemanusiaan tak mungkin tampil terbuka. Tidak juga memihak kepada kebutuhan rakyat. Malah sebaliknya, lebih tunduk dan melayani selera kekuasaan semata. Namun kita tidak boleh lupa. Saya pastikan bahwa kecenderungan macam itu akan otomatis lenyap bersama dengan terjadinya pergantian kekuasaan. Dalam jangka pendek, terutama di masa hangat-hangatnya semangat kebersamaan ummat melakukan perubahan. Jika kekuasaan abai dan lalai, maka makin lama kita tergiring dalam putaran yang sama. Ketika penguasa makin mapan, kita bakal dipaksa menjadi orang yang bersifat konservatif, anti perubahan dan gandrung kemapanan. Apalagi bila kemapanan itu lebih membenarkan rasa takut kita kepada kekerasan negara. Kehadiran Partai Ummat dapat dijadikan sebagai momentum politik kebangkitan rakyat. Didorong oleh segala kekuatan orang-orang biasa. Dari pojok-pojok perkampungan dan desa-desa yang jauh di sana. Mereka juga sebagian besar orang-orang kota yang merindukan Islam Rahmatan Lil Alimin tanpa diskriminasi kepada etnis dan agama apapun sebagai etalase politik baru. Kanal politik yang bisa menghadirkan pemerintah yang adil, tanpa kezhaliman. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kemasyarakatan.
Bu Mega Tak Perlu Gelisah
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (02/100. Membela diri dengan membantah dirinya Partai Komunis Indonesia (PKI), kemudian melabrak milenial yang berdemo, lalu menuduh pendemo sebagai pembakar halte adalah berlebihan. Kasihan juga mbak Mega. Selalu saja sewot dan marah-marah. PDIP adalah partai penguasa tetapi seperti oposisi sikap politiknya. Lalu sebenarnya ada masalah serius apa? Empat alasan mengapa Megawati dan PDIP perlu disorot. Pertama, tuduhan PKI dan bantahan muncul saat Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat Michael Pompeo datang ke Indonesia. Apalagi Pompeo mengingatkan tentang peran Partai Komunis Cina (PKC) di Indonesia serta bahayanya. Mega terlihat bersinggunggan dengan tuduhan PKI wajar, karena PDIP memiliki kader elemen kiri sebagaimana terindikasi dan pengakuan kader PDIP Arteria Dahlan. Masih banyak lagi seperti Ribka Tjiptaning yang terang-terangan menyatakan bangga menjadi anak PKI. Kedua, kuatnya nuansa Orde Lama dalam rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Wajar pula karena RUU HIP diinisiasi oleh kader-kader PDIP. Sebagaimana publik berargumen dalam berbagai aksinya telah mengaitkan isi RUU ini dengan faham komunisme. Meskipun telah berganti nama menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasaila (BPIP). Namun posisi RUU HIP kini tetap mengambang. Memperpanjang tuduhan tersebut. Jadi tidak perlu semot-semotan. Ini hanya reaksi terhadap siapa buarat apa? Lalu akan mendapatkan apa? Ketiga, mempertanyakan prestasi milenial. Dengan menuduh milenial sama saja dengan menohok siswa atau mahasiswa yang berunjuk rasa. Pasti ada serangan balik dengan mempertanyakan adakah prestasi Megawati selama jadi Presiden maupun Ketum partai "wong cilik"? Biasa-biasa saja tuh. Malah nyata-nyata miskin prestasi, jika tidak ingin disebut dengan wanprestasi. Keempat bakar-bakar halte. Sudah viral kalau yang membakar halte itu bukan pengunjuk rasa, baik buruh ataupun mahasiswa. Tetapi gerombolan peliharaan. Nah mereka itu peliharaan siapa? Disitulah masalahnya. PDIP harus teriak agar segara diusut tuntas siapa saja aktor dibalik gerombolan para pemfitnah jahat tersebut. Aksi penyelundupan aksi harus dihentikan oleh seruan Megawati sebagai tokoh yang berpengaruh. Kini Megawati gelisah, apakah karena Jokowi sudah tak bisa menjadi petugas partai lagi? Utaukah karena PDIP yang terus diserang atau dibully, sementara Jokowi hanya bisa diam saja? Nampaknya tidak ada pembelaan sama sekali dari Jokowi. Ada tendensi munculnya partai atau kekuatan lain yang lebih mampu mengendalikan Jokowi ketimbang Megawati sebagai komandan dari "the ruling party". Mudah-mudahan saja ini bukan yang menjadi penyebab utana Megawati marah-marah. Ujungnya memang persoalan Pilpres 2024 yang memang mulai menggelisahkan. Disamping popularitas Anies dan Gatot terus meningkat tidak terbendung, sementara di internal PDIP Puan Maharani atau Budi Gunawan yang digadang-gadang, ternyata sulit merangkak naik. Kejutan justru nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang lebih berkibar. Mega memang sedang dirundung malang. Tiga hal yang dapat dilakukan untuk memulihkan dan merekonstruksi . Pertama bersihkan PDIP dari kader atau anasir kiri yang sudah terbaca publik. Kedua revisi platform kekiri-kirian dari perjuangan partai yang tertuang dalam AD/ART dan prinsip perjuangan lainnya. Ketiga, jangan tempatkan kelompok agama sebagai musuh. Sebab disamping kontra-produktif, juga patut disadari bahwa bangsa Indonesia adalah masyarakat yang relijius dan anti sekularisme. Selamat merenung, tak perlu tergantung pada daya dukung otoritas Presiden yang fakta politiknya kini berada dalam keadaan yang tidak terlalu ajeg. Tingkat kepercayaan yang semakin merosot. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
“Diktator” Konstitusional?
by Zainal Bintang Jakarta FNN – Ahad (01/11). Tahun pertama pemerintahan jilid kedua Jokowi yang bersama-Maruf Amin dapat dikatakan terperangkap. Masuk ke dalam dua masalah yang sangat serius. Pertama, kasus Pandemi 19 yang melumpuhkan roda ekonomi dan berdampak kepada ekonomi masyarakat sejak sembilan bulan yang lalu, dan sampai sekarang masih sempoyongan. Kedua, adanya penolakan besar-besaran kalangan buruh, mahasiswa yang melibatkan pelajar dan masyarakat pada umumnya, terhadap persetujuan UU Cipta Kerja (Cilaka) dengan format Omnibus, di mana 76 UU eksisting diperas menjadi satu UU yang banyak diistilahkan sebagai UU sapujagat… Upaya pemerintah mengendalikan unjuk rasa penentang UU Cipta Kerja dianggap oleh banyak kalangan berlebihan. Bahkan disebut represif. Kebebasan berpendapat masyarakat yang disediakan konstitusi malah dibungkam dengan tindakan kekerasan aparat kepolisian di lapangan. Kenyataan ini mencuatkan fenomena kontroversi diantara ekspresi dengan represi. Konflik terbuka masyarakat sipil dengan negara telah mendorong dilakukan diskursus untuk menyoal kembali kualitas demokrasi. Muncul penilaian demokrasi mengalami kemunduran (democratic backsliding). Sebator Jimly Asshidiqie menyebut tindakan pemerintah di dalam mengelola demokrasi menunjukkan gejala “diktator” konstitusional. “Berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah bersama dengan DPR menunjukkan gejala “diktator” konstitusional. Walaupun ada proses demokrasi formal, proses pembuatan kebijakan dilakukan tanpa melibatkan publik”, kata pakar hukum tata negara itu saat berbicara di dalam salah satu acara diskusi. Jimly menunjuk 5 UU yang dibentuk pemerintahan Presiden Jokowi seperti UU Mahkamah Konsitusi, UU KPK, UU Minerba, UU Penanganan Covid-19, dan Omnibus Law UU Cipta Kerja. “Ada situasi dimana proses demokrasi dibajak selama era pandemi ini. Perundang-undangan dibuat tanpa pelibatan publik. Yang penting mengikuti syarat formal, dimana hal terpenting adalah DPR sudah menyetujui. Masyarakat pun saat ini terbelah menjadi dua kelompok yaitu “haters” dan “lovers”. Ini bisa merusak demokrasi ke depan, ujarnya. Anehnya, Presiden Jokowi sadar mengakui persetujuan DPR atas RUU Cipta Kerja menjadi UU pada 5 Oktober 2020 lalu tidak memuaskan semua pihak. Jokowi pun meminta kepada mereka yang menolak isi UU Cipta Kerja untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Jika masih ada ketidakpuasan terhadap UU Cipta Kerja, silakan mengajukan uji materi atau Judicial Review (JR) melalui Mahkamah Konstitusi". Menurut Jokowi pemerintah meyakini UU Cipta Kerja adalah solusi Indonesia dalam masalah kebutuhan penyerapan tenaga kerja. Intensitas langkah Presiden mendorong kasus UU Cipta Kerja, maupun atas beberapa UU sebelumnya agar digugat melalui jalur konstitusional di MK, merupakan gejala politik baru di dalam kehidupan konstitusionalisasi atau juristocracy menjadi hal yang menarik untuk ditelisik. Sebagai inisiator UU, pemerintah selaku eksekutif kelihatannya lebih memilih menghindar berhadapan dengan publik (masyarakat sipil) penolak UU itu. Sebagai eksekutif, pemerintah sejak sejak awal memilih mendorong legislatif (DPR) tampil berhadapan di front terdepan pertama dengan publik. Setelahnya, melemparnya lagi ke pangkuan yudikatif (MK). Pihak eksekutif cenderung maunya terima bersih alias dalam keadaan welldone atau siap saji. Nampaknya telah terjadi disharmonisasi mekanisme trias politica sesuai teori Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan yang tercederai dan berjalan pincang. Karena nyaris seluruh beban perubahan kebijakan politik melalui jalur konstitusionalisasi lebih banyak ada pada legislatif dan yudikatif. Ilmuwan politik Kanada dari Universitas Toronto, Ran Hirschl dalam bukunya “Towards Juristocracy” : “The Origin Consequences of The New Constitutionalisme”, mengatakan “Konstitusionalisme Baru” di negara-negara dan entitas supranasional di seluruh dunia, reformasi konstitusional telah mengalihkan kekuasaan dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya dari lembaga perwakilan ke lembaga peradilan. Konstitusionalisasi hak dan pembentukan peninjauan kembali secara luas diyakini memiliki asal-muasal yang baik dan progresif. Juga konsekuensi penyebaran kekuasaan yang signifikan, yang disebut "Menuju Juristokrasi" menantang kebijaksanaan konvensional ini. Berdasarkan penyelidikan komparatif yang komprehensif tentang asal-usul politik dan konsekuensi yurisprudensial dari revolusi konstitusional baru-baru ini di Kanada, Israel, Selandia Baru, dan Afrika Selatan, bukunya itu (2004), menunjukkan bahwa tren ke arah konstitusionalisasi hampir tidak didorong oleh komitmen tulus politisi terhadap demokrasi, sosial, keadilan, atau hak universal. Profesor ilmu politik dan hukum dalam bukunya itu, menunjukkan bahwa meskipun konstitusionalisasi hak dapat mendorong keadilan prosedural dan kebebasan negatif, hal itu tidak banyak membantu untuk memajukan gagasan progresif tentang keadilan distributif. Pada saat yang sama, pemberdayaan peradilan melalui konstitusionalisasi berdampak transformatif pada wacana politik. Oleh karena itu, dari identitas kolektif yang mendasar dan masalah pembangunan bangsa hingga keadilan restoratif dan kontroversi perubahan rezim, pengadilan konstitusional telah menjadi forum penting untuk menangani pertanyaan paling mendasar yang dapat direnungkan oleh pemerintahan demokratis. Ditegaskannya, agaknya yang paling baik dipahami, sebagai produk dari interaksi strategis antara lain. Pertama, elit politik yang hegemonik namun terancam. Kedua, pemangku kepentingan ekonomi yang kuat. Ketiga, pemimpin peradilan, koalisi tripartit yang mementingkan diri sendiri ini menentukan waktu, jangkauan, dan sifat reformasi konstitusi. Yang banyak disorot oleh para pakar konstitusi adanya langkah pragmatis yang diambil Presiden Jokowi dengan memanfaatkan semangat “juristocracy” dari rahim “konstitusionalisasi baru”, sebagai pintu keluar dari tanggung jawab atas sebuah proses legislasi. Karena mendapatkan penolakan keras dari publik, khususnya yang saat ini lagi memanas terkait dengan UU Cipta Kerja, Presiden memilih masalah itu diselesaikan melalui proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Presiden memilih menumpang di jalan tol konstitusionalisasi yang terbuka sebagai hasil amandemen UUD 1945, yang menghadirkan lembaga MK sebagai pemutus sahih setelah dipisahkan dari Mahkamah Agung (MA. Presiden menghindar menggunakan mekanisme penyeleseian melalui kekuasaan politik eksekutif dengan menarik UU itu melalui instrumen Perppu ataukah jalur executive review. Ada kesan pemerintah secara sadar menghindari perbenturan langsung dengan protes publik untuk menjaga citra populis yang selama ini menjadi andalan untuk mememelihara legitimasi elektoral. Unsur subjektifitas yang melekat sebagai eksekutif pada diri Presiden selaku inisiator diyakini akan mengurangi bobot objektifitas. Kondisi itu manakala kemenangan pemerintah melawan protes publik melalui jalur executive review, pastilah tidak terhindarkan. Hal mana mengandung resiko menggerus populeritas Presiden. Menambah lebarnya luka psikologis yang sudah tertoreh yang timbul dari rangkaian proses UU terdahulu yang minus partisipasi publik. Jokowi terlihat sangat menyadari adanya potensi ancamandefisit citra itu. Fungsi dan peran MK sadar atau tidak berubah menjadi benteng perlindungan kekuasaan eksekutif. Ini resiko guna menghindarkan terjadinya benturan head to head antara Presiden dengan masyarakat sipil. Soalnya, melalui otoritas MK yang premis major sebagai lembaga independen, masyarakat akan dapat lebih mudah menerima putusan pengadilan. Putusan MK bersifat erga omne atau berlaku untuk semua sejak putusan dibacakan oleh hakim MK. Jelas ini adalah sebuah strategi yang dirancang pihak eksekutif untuk memenangi sengketa hukum yang sarat muatan politis dan karenanya cara-cara tersebut berbau “diktator” konstitusional terselubung. Oleh karenanya pula, tidak ada yang salah bila ada suara miring dari ranah publik yang mengaitkannya dengan revisi UU MK yang konon tanpa sebab musabab itu. Karena bagaimanapun kasus itu tetap tidak bisa menghapus kesan adanya injeksi keuntungan substansif kepada lembaga itu. Dan, untuk kesekian kalinya masyarakat Indonesia mendapatkan tontonan yang oleh banyak kalangan dikritisi sebagai sinteron “badut politik” gratis yang bergerak di dalam pusaran skenario “politik lari berputar”, yang bertujuan untuk menyamarkan “siapa yang mengejar siapa”. Penulis adalah Wartawan Senior & Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Adzab Untuk Penguasa Yang Sukses Infrastruktur
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (01/11). Banyak penguasa terlalu berorientasi pada pembangunan fisik semata. Lupa pada kewajiban fundamental untuk membangun kekuatan nilai spiritual keagamaan. Prestasi kekuasaan diwujudkan dengan sukses membangun infrastruktur fisik. Inilah fatamorgana kehidupan berbangsa dan bernegara. Wisata sejarah itu penting untuk menemukan kearifan memimpin, khususnya dalam menata sistem kemasyarakatan dan kenegaraan. Belajar dari sejarah yang diinformasikan oleh Maha Pencipta tentu sarat dengan nilai, tingkat akurasi yang tidak diragukan. Nilai-nilai keberannya menjadi mutlak dan hakiki. Tidak ada yang perlu diragukan. Sayangnya, penguasa zaman sekarang, masih banyak yang mau meragukan kebenaran yang datangnya dari Maha Pencipta tersebut. Dalam QS Al Fajr, Allah Subhanahu Wata’ala mengingatkan tiga jenis penguasa dan kaum yang salah orientasi, yaitu kaum Aad, kaum Tsamud, dan Fir'aun. Ketiga-tiganya digambarkan sukses melakukan pembangunan fisik. Kaum Aad dipuji. Karena kemampuan dalam membuat istana dengan bangunan yang indah dan megah "iroma dzatil 'imaad". Nabi Hud Alaihi Salam yang mengajak takwa diabaikan. Allah Subhanahu Wata’ala menurunkan angin badai dingin selama delapan hari yang menghancurkan kau Aad. Kaum Tsamuud juga memiliki kemampuan dalam bidang teknologi tinggi "alladziina jaabuush shohro bil waad". Gunung atau lembah yang dibuat rumah dan bangunan megah. Gunung batu yang ditatah rapi. Seruan moral Nabi Saleh tidak didengar. Lalu Fir'aun juga yang disebut Qur'an memiliki bangunan-bangunan yang tinggi dan kokoh "wa fir'auna dzil autaad". Oposisi Fir'aun adalah Nabi Musa Alaihi Salam yang melakukan gerakan pembebasan Bani Israel. Fir'aun berusaha menumpas Musa dan pengikutnya. Kepada tiga penguasa atau pengendali sistem yang sewenang-wenang di muka bumi tersebut Allah Subhanahu Wata’ala beri hadiah kehinaan berupa adzab. Sebutannya adalah cemeti adzab "shobba 'alaihim shauto adzaab". Dicambuknya kaum dan penguasa infrastruktur yang hebat-hebat tersebut dengan variasi model. Kaum Aad diganjar dengan angin badai hingga tak tersisa, kecuali yang beriman. Mereka hancur berantakan dan bergelimpangan. Sedangkan kaum Tsamuud mati dengan cemeti adzab petir dan guntur bersuara keras. Bergelimpangan pula mereka. Sedangkan Fir'aun dan tentaranya ditenggelamkan di laut merah (bahrul ahmar) yang terkecoh pandangan "jalan tol" kezaliman. Faham materialisme yang sarba materi dalam berbagai bentuk, baik itu yang liberalisme, kapitalisme, komunisme, pragmatisme, atau sekularisme yang dikembangkan dan menjadi filisofi dalam membangun negeri tidak lain adalah Aad, Tsamud, dan Fir'aun kontemporer. Sekarang sedang dicoba untuk dihidupkan kembali pemahaman pembangunan yang serba infrastruktur hebat tersebut. Agama dan ketauhidan dalam wujud ketaatan ilihiah adalah basis pembangunan yang diridloi Allah Subhanahu Wata'ala. Mengabaikan aspek agama dan ketauhidan ini akan menjadi kausa dari cambukan cemeti adzab (shautho adzab) yang tak tertahankan. Hanya adzab dan kecelakaan yang pasti menanti, entah kapan datangnya. Hanya persoalan waktu saja. Namun pasti datang. Untuk itu, sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat, para pemimpin bangsa dan negara Indonesia harusnya kembali sadar akan makna pembangunan yang hakiki. Agama adalah fondasi bukan periferi. Jangan coba-coba untuk pinggirkan agama. Apalagi sampai hinakan dan permainkan agama. Jika iya, maka tunggulah datangnya aparat Allah Subhanahu Wata’ala yang akan mencambukan cemeti adzab. Wisata sejarah akan sampai pada pemandangan yang mengerikan akibat dari salah persepsi, ideologi, dan investasi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.