NASIONAL
KAMI Itu Gerakan Moral, Bukan Makar
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (23/10). Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) itu gerakan moral. Karakter sebuah gerakan moral itu mengedepankan cecks and balances terhadap penguasa. Gerakan moral itu beradu data tentang pelaksanaan pembangunan dan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar. Nggak lebih dari itu. Ketika peran dan fungsi kontrol yang diberikan konstitusi kepada DPR yang makin lemah, maka KAMI lahir. Kelahiran KAMI diperlukan masyarakat untuk menjadi partner dan mitra diskusi yang kritis terhadap pemerintah. Pemerintah nggak boleh kerja tanpa pengawasan. Ngga boleh kerja yang menyusahkan dan menyengsarakan rakyat. Jika itu terjadi, maka sangat bahaya. Pemerintah berhak salah. Karena itu, perlu dikontrol, diingatkan, dikritik dan diberi masukan agar tidak semakin salah. Karena itu, pemerintah butuh mimbar kampus, kebebasan pers, Lembaga Swdaya Masyarakat (SM) dan organisasi seperti KAMI yang berfungsi injek rem kalau pemerintah ada kesalahan. Resikonya kalau rem blong, negara bisa nabrak sana sini. Sikat sana sikat sini. Siapapun yang lagi di depannya, bisa kena tabrak. Ini gawat. Nah, hukum yang baik bisa menjadi rem. Tetapi, itu gak cukup. Apalagi kalau produk, pelaksanaan dan penegakan hukum bermasalah. Dalam kondisi obyektif seperti itu, harus ada sejumlah orang atau kelompok yang ambil peran untuk injek rem. Kalau rem nggak pake, yang injak rem disingkirkan, ya blong. Pemerintah berjalan nggak terarah. Disini pentingnya kritik, masukan, bahkan demo dari para buruh, mahasiswa, pelajar dan masrakat umunya. Selama tidak anarkis, demo dilindungi undang-undang. Melihat KAMI, lihatlah sosok Din Syamsudin dan Rahmat Wahab. Nggak ada potongan makar. Nggak ada potongan untuk makar dan jatuhkan presiden. Din Syamsudin itu mantan Ketua MUI dan mantan Ketua PP Muhammadiyah. Hingga hari ini tercatat sebagai Guru Besar FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Begitu juga Rachmat Wahab. Tokoh NU dan Guru Besar Univeristas Islam Indonesia (UII) Jogyakarta. Keduanya akademisi. Manalah mungkin kedua sosok akademisi yang berlatarbelakang ormas moderat tersebut melakukan makar atau mau menjatuhkan Presiden? Jadi, kalau ada pihak yang menuduh KAMI itu berbahaya, tentu berlebihan. Begitu juga tuduhan KAMI berada di balik demo UU Omnibus Law Cipta Kerja itu sangat mengada-ada. Nggak ada atribut KAMI disitu. Nggak ada instruksi dan pernyataan, baik resmi maupun tidak resmi dari KAMI untuk turun dan melakukan demo. Sebaliknya kalau ada warna-warni KAMI di arena demo, bisa-bisa demonya batal. Sebab, baik buruh, mahasiswa dan pelajar, tidak mau ditunggangi oleh kepentingan lain. Pendemo itu inginnya gerakan mereka murni karena kesadaran sendiri. Bahkan yang terdengar malah himbauan dari senior-senior KAMI kepada seluruh anggota KAMI untuk tidak melakukan demo atas nama KAMI. Kalau kemudian ada sejumlah anggota KAMI yang demo, tentu KAMI secara organisatoris nggak bisa melarang. Karena itu hak individu masing-masing yang dijamin oleh undang-undang. Melarang anggota KAMI berdemo menentang UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) itu melanggar Undang-Undang. Tak boleh ada yang membajak KAMI yang mulai membesar ini untuk kepentingan politik individu. Apalagi sampai melakukan makar. Sebab, KAMI gerakan moral, dan menghindari gerakan yang berpotensi "dituduh" hendak melakukan makar. Lalu, kenapa sejumlah orang dari KAMI ditangkap? Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan lain-lain dalam tiga hari ditangkap. Pertanyaannya, mereka ditangkap atas kesalahan apa? Dilihat dari pasal yang dikenakan, mereka dituduh melanggar UU ITE. Bukan sebagai penggerak demo. Nggak ada pasal makar yang disangkakan. Yang pasti, mereka tidak ditangkap bukan karena alasan menjadi deklarator KAMI. Sebab, KAMI bukan perkumpulan dan organisasi terlarang. Kalau deliknya adalah pelanggaran UU ITE, kenapa delapan tokoh yang ditangkap itu semuanya adalah anggota KAMI? Malah sebagian adalah deklarator? Banyak pihak yang mengkritik bahwa penangkapan para tokoh KAMI itu politis. Mereka tidak layak ditahan, apalagi diborgol, kata Jimly Assidiqy, mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu yang sekarang jadi anggota DPD. Banyak koruptor yang tidak diborgol polisi. Memang, di publik, muncul banyak pertanyaan. Bandit koruptor tidak diborgol, kenapa beda pendapat harus diborgol? Begitulah opini yang sempat ramai beberapa hari terakhir ini. Namun itu adalah haknya penyidik untuk mau borgol atau tidak borgol tersangka. Namun lepas dari semua yang dianggap "janggal", kita berharap hukum kita tetap tegak. Dan hukum hanya tegak apabila di tangan penegak hukum yang tegak dan steril dari intervensi kekuasaan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Ahmad Yani, Muadzin Moral Bangsa
by Tamsil Linrung Jakarta FNN – Jum’at (23/10). Siatuasi krisis selalu memunculkan anomali. Dari rahim yang sama, lahir dua sosok di kutub yang berbeda.Yaitu sosok pahlawan yang berdiri di garis depan kebenaran, versus sosok pecundang yang bersembunyi di balik tirai kegelapan. Pecundang ini tak jarang menjadi bagian dari krisis tersebut. Begitu sejarah mencatat dan memberikan pembelajaran. Krisis ekonomi dan krisis politik tahun 1998 misalnya, memunculkan tokoh-tokoh pahlawan reformasi dari berbagai kalangan. Terutama mahasiswa, akademisi dan cendekiawan. Namun pada saat yang sama, kita juga melihat bagaimana konglomerat dan pengusaha hitam, memanfaatkan keadaan untuk mencari keuntungan. Mereka merampok uang negara. Mega skandal keuangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah catatan kelam yang berulang. Kisah kejahatan di tengah hamil besar bangsa meniti jalan demokrasi. Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan, megaskandal BLBI merugikan negara Rp 138,442 triliun. Itu kerugian langsung. Kerugian tidak langsung ditengarai mencapai Rp 640,9 triliun (Tempo). Hari-hari ini, di tengah krisis multidimensi, ada krisis kesehatan akibat Covid-19, krisis ekonomi, dan krisis politik, dua sosok itu kembali muncul. Saya tidak ingin berbicara tentang sosok bad guys. Komplotan yang memanfaatkan kebatinan krisis untuk meraup keuntungan itu, tanpa diungkap secara gamblang pun, publik sudah tahu siapa mereka. Di era keterbukaan informasi, masyarakat dengan mudah membaca dan menyaksikan di layar kaca. Transaksi informasi menciptakan transparansi di tengah dekadensi, sudah cukup sukses mengungkap siapa-siapa aktor yang berkelindan di depan mata. Yang pasti, akibat dari perbuatan bad guys tersebut, kita rasakan di hari-hari ini. Melalui tulisan yang ringkas ini, saya justru ingin berbicara tentang pahlawan. Sosok yang akan selalu lahir di tengah krisis. Suka atau tidak suka. Figur yang tak bisa dihindari. Meski tidak dikehendaki pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu, takdir akan tetap mengirim para pahlawan. Jadi pelita yang nyalanya menerangi. Para pahlawan menjelma jadi bara yang siap membakar angkara murka. Salah satu indikator bahwa pahlawan itu muncul, adalah ketika kita mulai menyaksikan ada yang merasa kepanasan. Gelisah dan tidak nyaman. Bahkan bereaksi berlebihan terhadap seseorang. Dari sederet tokoh yang mencuat di tengah badai krisis ini, Dr. Ahmad Yani merupakan figur yang mencolok. Dr. Ahamd Yani menjadi salah satu tokoh kunci yang dibalik sambutan masyarakat terhadap gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Didaulat sebagai Ketua Komite Eksekutif KAMI, menempatkan Dr. Ahmad Yani di front gerakan KAMI yang diimami tiga tokoh bangsa, yaitu Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo, Prof. Dr. Rochmat Wahab, dan Prof. Dr. Din Syamsuddin. Dr. Ahmad Yani, sang muadzin sebagai moral bangsa. Dia sosok pejuang sejati. Lantang menyerukan penegakan kebenaran di mimbar-mimbar demokrasi. Berdialog dengan kekuasaan, demi meluruskan kiblat bernegara agar tidak terjerumus ke dalam situasi yang semakin parah. Dr. Ahmad Yani menjelma jadi pahlawan di tengah krisis multidimensi. Tetap teguh memegang prinsip, meski ancaman jerat hukum membayang-bayangi. Penangkapan terhadap Yani yang akhirnya gagal, saya yakin tidak menciutkan nyali sosok aktivis ulung ini. Kepakarannya di bidang hukum tak diragukan lagi. Kiprahnya di dunia advokat sangat jelas. Yani sudah terbiasa menyerukan tegaknya keadilan. Yani tentu sudah sadar segala konsekuensi yang bakal menghadang. Memimpin lembaga sebesar KAMI. Apalagi, KAMI secara tegas dan lugas mengambil posisi berseberangan dengan kekuasaan. Menjadi oposisi moral yang berasis data terhadap kekuasaan. Berada di shaf gerakan ekstra parlemen dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil (sivil society) lintas gerakan dan ideologi. Meski mayoritas partai politik memilih berlabuh ke pangkuan kekuasaan. Presidium KAMI, Prof. Din Syamsudin bahkan sudah mengingatkan, bahwa setelah penangkapan Sekretaris Komite Eksekutif KAMI, Syahganda Nainggolan, bersama koleganya Jumhur Hidayat dan Anton Permana, bidikan juga akan menyasar dirinya. Serta orang-orang yang dipandang punya kekuataan moral menggerakkan rakyat. Lantunan seruan moral ini tidak bisa diredupkan. Meski dengan berbagai intrik. Kekuatan uang ada batasnya. Tetapi gema moralitas dan integritas yang menjulang tinggi, tidak bisa dibungkam. Yani tetap saja berkumandang, dan terus terpancar menembus ke relung hati rakyat. Tanpa mantra manipulasi mesin pembentukan opini. Itulah kekuatan kolektif moralitas yang tidak bisa dibendung. Penangkapan tokoh-tokoh KAMI dan upaya kriminalisasi, justru hanya akan memperkeruh suasana. KAMI dengan gerakan opisis moralnya ini tidak bisa digertak. Bukannya surut gerakan moral untuk beraduh data dengan pemerintah. Malah menciptakan gelombang pasang kesadaran rakyat tentang kezoliman dan ketidakadilan yang sedang dan akan terjadi atas bangsa ini. Berpikir menghentikan KAMI dengan memangkas pucuknya, seperti usaha menakut-nakuti Yani, hanya akan memunculkan pucuk-pucuk Yani Yani Yani yang baru. Secara kelembagaan dan kultural, akar KAMI sudah menghujam ke seluruh penjuru nusantara. Baik secara formal, maupun dukungan moral oleh mereka yang merasa nasib dan pikiran-pikirannya diperjuangkan oleh KAMI. Di level Presidium, ikatan komitmen kebangsaan KAMI sudah khatam. Mewakafkan diri untuk negeri tak bisa ditawar-tawar lagi. Begitupula di jajaran Eksekutif higga ke akar massa. Semua senada seirama. Maka bukan takabur, bila dalam meniti jalan terjal perjuangan moral ini, Prof. Din sudah mewanti-wanti untuk siaga menghadapi segala risiko dan kemungkinan terburuk. Prof. Din bahkan berseloroh, sudah menyiapkan satu koper yang terisi pakaian dan beberapa buku. Yang artinya bahwa, seluruh komponen gerakan moral ini harus dipastikan siap lahir batin. Hal yang sama, juga diingatkan oleh dua presidium lainnya. “Apa pun, kita hadapi dengan senyum,” Kata Jenderal Gatot. Dr. Ahmad Yani, sang muadzin moral bangsa itu sudah lantang menyerukan panggilan menyelamatkan bangsa. Tentu saja dengan barisan shaf yang tertata rapi. Barisan itu ada di KAMI, dan berbagai shaf pergerakan rakyat lintas elemen. Semua menyuarakan perlawanan secara moral. Sementara figur-figur sentral lain seperti Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, para aktivis siswa STM, buruh, dan mahasiswa, juga secara lantang bersahut-sahutan melantukan seruan moral merespons keadaan hari ini. Suara itu menggema di forum-forum diskusi, mimbar bebas, panggung jalanan dan ruang-ruang virtual. Kalangan terpelajar dari forum Guru Besar, Cendekiawan, Habib dan Ulama juga telah berada di barisan gerakan moral yang sama. Kemana lagi rakyat akan berdiri, kalau bukan di shaf yang terus memanjang ini? Pendapat siapa lagi yang mau kita dengar, kalau para Guru Besar dan Alim Ulama yang sudah mengeluarkan fatwa intelektual dan spiritual? Penulis adalah Anggota DPD RI.
Mengapa Harus Takut Dengan Revolusi?
by Asyari Usman Jakarta FNN - Kamis (22/10). Sekarang ini, kata “revolusi” menjadi sangat sensitif. Banyak yang takut mengucapkan atau menuliskannya. Takut dituduh melakukan makar. Padahal, “revolusi” ada di dalam sejarah perjuangan bangsa dan juga ada di dalam kosa kata bahasa Indonesia. Dari sudut pandang tertentu, bisa dipahami ketakutan terhadap kata “revolusi”. Sebab, kata ini bermakna “perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata)”. Seperti inilah definisi “revolusi” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tetapi, apakah setiap kali orang mengucapkan atau menuliskan kata “revolusi”, langsung bisa disebut orang itu sedang merencanakan atau berbuat makar, dan karena itu harus dikenai pasal-pasal kejahatan? Tentu tidak. Sebab, kalau mengucapkan dan menuliskan “revolusi” bisa dianggap merencanakan atau melakukan makar, maka para penyusun KBBI pun bisa kena pasal pidana. Bagaimana dengan orang-orang yang berpikir tentang “revolusi”? Apakah mereka bisa disebut sedang merencanakan perbuatan makar? Jawabannya juga tidak. Mereka tidak sedang merencanakan revolusi. Berpikir tentang “revolusi” adalah kontemplasi seseorang tentang suasana seperti apa yang akan berkembang jika “revolusi” terjadi. Lantas, bagaimana dengan seseorang yang mendambakan “revolusi”? Untuk ini, tergantung revolusi apa yang ia inginkan. Kalau “revolusi teknologi komunikasi”, maka semua pihak harus mendukungnya supaya menjadi kenyataan. Juga “revolusi angkutan umum”. Kita semua memerlukan perubahan yang lebih radikal di bidang komunikasi dan transportasi publik. Lebih-lebih lagi “revolusi mental”. Kita semua jangan hanya sekadar mendambakan, melainkan juga harus ikut mengkampanyekannya. Cuma, sayangnya, “revolusi mental” yang dideklarasikan Pak Jokowi pada awal masa jabatan pertama beliau tidak pernah lagi dibicarakan. Sebab, “revolusi mental” adalah revolusi yang antara lain bertujuan membasmi budaya korupsi, oligarkis, dan destruksi sumber daya alam (SDA). Dengan “revolusi mental” diharapkan pelayanan umum menjadi kelas dunia. Jokowi menghadapi tembok raksasa yang menghadang “revolusi mental”. Akhirnya, beliau lupakan itu sekarang. Walhasil, korupsi, oligarkis, destruksi SDA, dan pelayanan buruk tak bisa dihapus. Malah berkembang semakin pesat. Sehingga, Jokowi dibuat tak berkutik. Bahkan, tidak hanya tak berkutik. Jokowi cenderung memperlihatkan pemahaman bahwa budaya ini “entertaining” dan “beneficial”. Menyenangkan dan menguntungkan. Seterusnya, bagaimana kalau seseorang mendambakan “revolusi”? Lagi-lagi, kalau sekadar mendambakan tentulah boleh-boleh saja. Mendambakan itu ‘kan cuma mengimpikan. Mengimpikan “revolusi kekuasaan” bukanlah perbuatan makar. Sebab, kembali lagi, semua itu hanya berupa angan-angan saja. Baru menjadi masalah kalau seseorang menyusun rencana dan mencoba mengeksekusi rencana itu. Begini. Revolusi itu banyak jenisnya. Revolusi kekuasaan hanya satu di antaranya. Memang benar, revolusi kekuasaan –yang bisa juga disebut sebagai revolusi untuk mengambil alih kekuasaan— akan menimbulkan perkelahian. Pertumpahan darah, tepatnya. Yang berkuasa pastilah akan memperthankan diri. Dan akan melakukan penumpasan jika ada pihak yang mencoba melancarkan revolusi itu. Sebaliknya, pihak yang melancarkan revolusi kekuasaan (disingkat saja menjadi “revolusi”) pasti akan berusaha sekerasnya untuk menggulingkan penguasa. Bagi mereka, sudah cukup alasan untuk mengambil alih kekuasaan. Satu hal, bahwa revolusi tidak akan terjadi kalau tidak ada “discontent” (perasaan tak senang) yang meluas dan akut terhadap pihak yang berkuasa. Ini biasanya disulut oleh kebijakan penguasa yang menyusahkan rakyat. Atau, para penguasa telah melampaui batas dalam kesewenangannya. Kezoliman semakin merajalela. Salah satu ciri khas revolusi ialah kemunculannya yang tidak bisa dibendung. Pasti akan ada saja jalan menuju ke situ. Dengan syarat bahwa semua ramuan (ingredients) menuju revolusi itu memang telah lengkap ada di tengah rakyat. Tidak banyak orang yang bisa bersembunyi atau melarikan diri dari revolusi. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Diberi Raport Merah, Jokowi Mesti Dievaluasi
byTony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (22/10). Tanggal 20 Oktober 2020, genap setahun pemerintahan Jokowi periode kedua. Publik menyoroti bagaimana kebijakan dan kinerjanya. Agak bersemangat mengingat cukup banyak isu yang acapkali menciptakan ketegangan. Setidaknya ada tiga hal untuk mengukur dan menilai secara obyektif kinerja Jokowi di periode kedua. Pertama, terkait program berkelanjutan dari periode pertama. Kedua, mengenai janji politik. Ketiga, seberapa besar tingkat kepuasan publik terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah. Kalau ditanya, apa program berkelanjutan Jokowi? Jawabnya, ya infrastruktur. Jalan tol, bandara dan kereta cepat yang masih terus berlanjut. Bahkan mimpi untuk membangun "Ibu Kota Baru" di Provinsi Kalimantan Tengah. Harus diakui, pembangunan infrastruktur era Jokowi cukup gencar dan masif. Ini harus diapresiasi. Infrastruktur inilah yang diantaranya berjasa membuat Jokowi terpilih kembali untuk periode kedua. Kendati penuh kontroversi dan menyisakan sejumlah persoalan. Meski demikian, pembangunan infrastruktur Jokowi meninggalkan setidaknya empat catatan. Pertama, tidak sesuai target sebagaimana yang dituangkan dalam janji politiknya. Terutama soal tol laut. Kedua, pembangunan infrastruktur yang "ugal-ugalan" mengakibatkan tingginya hutang negara. Bahkan melebihi hutang gabungan era presiden-presiden sebelumnya. Ketiga, pembangunan infrastruktur tidak linier dengan pertumbuhan ekonomi. Tercatat, pertumbuhan ekonomi di periode pertama hanya 5%. Jauh dari target yang dijanjikan yaitu 7%. Di periode kedua, ekonomi makin terpuruk, dihajar pula dengan pandemi corona. Terjadilah resesi. Dua kuartal minus. Keempat, pembangunan infrastruktur tidak punya efek terhadap peningkatan ekonomi, baik langsung atau tidak langsung. Apalagi yang berkaitan dengan program revolusi mental yang jadi tageline pemerintahan Jokowi. Mengenai janji Jokowi di periode kedua publik nampak apatis. Abai dan tak lagi memperhatikan apa saja janjinya. Mengingat puluhan janji di periode pertama sebagian besar meleset. Stop impor, bay back Indosat, sudahlah masih banyak lagi... lupakan saja. Dan Jokowi sendiri tak pernah memberi penjelasan terkait melesetnya janji-janji tersebut. Gampang lupa, karena bisa berubah pagi dan sore. Terlepas apapun penilaian publik terhadap janji Jokowi di periode pertama, janji di periode kedua tetap harus diingatkan. Janji itu road map. Orang luar bilangnya menifesto. Baik bagi kebijakan pemerintah, maupun jadi unsur penting bagi rakyat untuk mengukur dan menilai kinerja pemerintahan Jokowi Diantara janji itu adalah sinergi pemerintah daerah, penegakan sistem hukum bebas korupsi, pemberian rasa aman bagi setiap warga, dan masih banyak lagi. Ini jadi bagian dari misi Jokowi periode kedua. Melihat KPK terkapar, pencabutan kewenangan Pemerintah Daerah dalam UU Minerba, segala bentuk persekusi dan represi terhadap kebebasan berpendapat, membuat misi ini harus mendapatkan koreksi. Selanjutnya, apa opini publik terhadap kebijakan Jokowi? Survei Litbang Kompas terbaru mengungkap bahwa hanya 45,2% rakyat yang puas terhadap kinerja Jokowi. Ini nggak linier dengan jumlah pemilih Jokowi di Pilpres 2019. Survei ini telah memberi penilaian negatif untuk setahun kinerja Jokowi. Akankah ada survei tandingan yang bakal mencounter survei Litbang Kompas? Kita tunggu saja. Diaisi lain, buruh memberi kartu merah terhadap kinerja Jokowi. Bagaimana dengan mahasiswa dan pelajar? Bagaimana pula dengan Majelis Ulama Indonesia MUI dan ormas? Ini juga penting, agar bisa jadi catatan untuk kinerja pemerintah ke depan. Ketidakpuasan terhadap kebijakan dan kinerja Jokowi bisa dilihat dari sejumlah persoalan. Diantaranya soal politik. Dikotomi pendukung non pendukung tidak selesai. Maaf, "Cebong-Kadrun" menjadi istilah yang terus dipelihara eksistensinya. Nggak bener! Tiga faktor yang menjadi sebab mengapa pendukung dan non-pendukung terus eksis. Pertama, perlakuan hukum yang berbeda terhadap pendukung dan pengkritik pemerintah. Borgol yang sedang ramai dibicarakan seolah menjadi simbol ketidakadilan itu. Kedua, influencer yang terus bekerja merawat keterbelahan sosial. Mengumandangkan istilah "Kadrun" untuk lawan politik dan pihak yang kritis terhadap pemerintah adalah sebuah ironi berbangsa. Setiap yang kritik pemerintah dianggap barisan yang sakit hati, atau politisi yang kecewa karena nggak dapat jatah di pemerintahan Jokowi. Stigma Islam ideologi, radikal dan khilafah semakin memperkeruh situasi. Ketiga, minimnya ruang dialog dengan pihak yang berbeda pendapat, dan dianggap berseberangan secara politik dengan pemerintah. Pemerintah dengan struktur pendukungnya seringkali membangun sikap dan narasi permusuhan terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapat dengen pemerintah. Bukan pendekatan dialogis yang dikedepankan. Kalau soal hukum, ada masalah serius di produk, pelaksanaan dan penegakan. Sejumlah undang-undang yang ditolak dan diprotes rakyat diketuk palu. Diantaranya ada UU KPK, UU Minerba, UU Corona, RUU HIP dan terakhir UU Omnibus Law Cipta Kerja. Entah berapa banyak demonstran yang telah jadi korban. Semua UU tersebut mendapatkan penolakan masif dari masyarakat. Tetapi, tetap saja diundangkan. Terkecuali RUU HIP. Itupun belum dicabut dari Prolegnas. Pemerintah dan DPR budeg dan tuli. Kaya negara ini hanya punya pemerintah dan DPR. Sehingga suara rakyat harus dianggap tidak ada. Terakhur UU Ciptaker. Gelombang protes dan demo nggak berhenti. UU Ciptaker dianggap cacat formil dan materiil. Cacat formil, karena ada kesalahan prosedural. Tidak transparan, kurang sosialisasi, banyak anggota fraksi yang terlibat dalam sidang paripurna tidak mendapat materinya. Jumlah halamannya pun berubah-ubah. Cacat materiil, karena sejumlah pasal dianggap tumpang tindih. Dari aspek demokrasi, ada tindakan berlebihan aparat yang dianggap sebagai upaya membungkam kebebasan berpendapat. Ancaman administratif terhadap pelajar dan mahasiswa yang demo merupakan bentuk pembungkaman yang sepatutnya nggak perlu ada. Penyelenggara negara tidak faham konstitusi tentang kebebasan berpendapat yang diatur pasal 28 UUD 45. Belum juga terhadap pers. ILC rehat berulangkali. Ini dibaca publik sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers. Halo Bang Karni Ilyas. Apa kabar??? Ko ILC banyak banyak cuti??? Semoga Bang Karni, ILC dan TV One sehat-sehat saja, dan dilindungi Allah Subhanahu Wa’ala. Amin. Apalagi soal ekonomi. Selama dua kuartal pertumbuhan ekonomi minus. Ini pertanda resesi ekonomi akan terjadi. Beban hutang begitu besar dan jatuh tempo bayar di bulan November nanti. Dimana devisa (cadangan uang negara) kabarnya sangat minim. Yang harus dibayar pada November nanti mendekati U$ 60 miliar. Jumlah itu hampit separuh dari devisa kita saat ini. Mengandalkan pinjaman luar negeri tak sepenuhnya bisa diandalkan disaat banyak negara mengalami masalah ekonomi. Jual SBN (Surat Berharga Negara) juga tak mudah. Kecuali jika Bank Indonesia yang membeli dengan sistem burden sharing (cetak uang). Sayangnya, undang-undang melarang BI membeli SBN di pasar primer. Ini PR sekaligus tantangan presiden di sisa empat tahun pemerintahannya. Jika ingin mendapatkan kembali opini positif dari rakyat, Jokowi sebagai kepala negara, harus berani melakukan perubahan. Apa yang harus dirubah? Ya, pikir sendiri. Kok nanya gue. Entar kalau gue kasih masukan, gue di....... dong. Ogah ah! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Dr. Ahmad Yani SH. MH Sudah Benar
by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jangan lupa bahwa orang yang berlaku tidak adil berarti dia tidak takwa. Selalu awaslah terhadap hal-hal yang perlu bagi pengurusan kerajaan. Setiap saat tetaplah berpikir seperti mukmin sejati dalam masalah-masalah yang anda hadapi dengan keluhuran yang sempurna, dan sederhana serta perasaan kasih sayang dan keadilan (Al-Ghazali 1058–1111). Jakarta FNN – Kamis (22/10). Awal malam yang dingin dan mengasyikan di Kantor Dr. Ahmad Yani SH. MH, mendadak berubah. Memanas dan menyentak, merobek akal sehat. Sebab di kantor yang tengah berlangsung pertemuan membicarakan Masyumi Reborn, mendadak kedatangan tamu tak biasa. Tak biasa, bukan karena jumlah yang datang itu bukan aktivis politik. Tetapi maksud kedatangannya tak bisa dientengkan. Itu sebabnya siapapun yang mengukir hidupnya dengan kesantunan dan keluhuran martabat, tak mungkin tak dirundung tanya atas keadaan aneh itu. Apa gerangan orang-orang ini malam-malam datang? Apa yang mau dicari? Untuk urusan sepenting apa? Pertanyaan seterusnya pasti berceceran dialam pikir setiap orang santun untuk merespon peristiwa tiba-tiba itu. Tetapi semua tanya itu segera jelas sesaat kemudian. Urusannya berinduk pada hukum, dan Dr. Ahmad Yani yang sedang dicari. Oke. Ngobrol atau Coba Tangkap? Apakah doktor ini pernah dipanggil secara resmi, tetapi tidak pernah mau penuhi panmggilan itu sehingga harus ditangkap? Polri melalui Kadiv Humasnya, punya pendapat sendiri. Tidak menangkap. Hanya komunikasi. Polri seperti dilansir RMol 20/10/2020 mengklaim, datangnya penyidik Bareskrim Polri ke kantor Ahmad Yani di Matraman, Jakarta Pusat pada Senin (19/10) malam sekadar komunikasi. “Enggak ada. Kita baru datang dengan komunikasi ngobrol-ngobrol saja. Jadi ngobrol-ngobrol yang bersangkutan bersedia sendiri untuk hari ini hadir ke Bareskrim,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Argo Yuwono (RMol, 20/10/2020). Ngobrol-ngobrol soal apa? Sebab dari penuturan Kadiv Humas yang dilansir RMol 21/10/2020 kedatangan mereka malam itu untuk melakukan penyelidikan. Untuk kasus apa? Kasusnya berkaitan dengan adanya tindakan anarkis saat aksi menolak omnibus law UU Cipta Kerja tanggal 8 Oktober 2020 yang lalu. Menariknya, Dr. Ahmad Ahmad Yani memiliki cerita sendiri atas peristiwa itu. Saat dihubungi wartawan Republika.co.id pada Selasa (20/10) pagi, Ahmad Yani membenarkan upaya penangkapan atas dirinya, yang terjadi sekitar pukul 19.15 WIB. Iya benar seperti itu (ada percobaan penangkapan). Saya ada di kantor dan saya tanya apa dasarnya perbuatan melanggar hukum apa yang saya lakukan? kata Ahmad Yani pada Republika.co.id. Menurut Ahmad Yani, petugas kepolisian tak bisa menjelaskan apa alasan upaya penangkapan itu. Polisi yang datang, kata dia, hanya menjelaskan soal keterlibatan Ahmad Yani terkait narasi video Youtube yang disebut oleh aktivis KAMI, Dr. Anton Permana dalam pemeriksaan. Anton Permana sendiri sebelumnya telah ditangkap terlebih dahulu oleh polisi. Namun, penjelasan penyidik Bareskrim Polri ini tidak dapat diterima Ahmad Yani. Sebab, narasi yang dimaksud, menurutnya adalah sikap resmi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang telah disiarkan pada publik secara luas. (Republika. Co.id, 20/10/2020). Bagaimana ujung kasus ini? Berhenti hingga dititik senin malam yang lucu itu? Dilansir CNNIndonesia.com (21/10/2020) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri segera memanggil Ketua Komite Eksekutif KAMI Ahmad Yani untuk diperiksa. Namun, jadwal pasti pemeriksaan Ahma Yani belum diketahui. "Rencana akan dipanggil, kita tunggu pelaksanaannya," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono saat dikonfirmasi, Rabu (21/10). Ngobrol-ngobrol atau mau menangkap Ahmad Yani? Kalau sekadar ngobrol-ngobrol, mengapa maksud itu tidak disampaikan sedari awal kedatangan kepada Ahmad Yani? Mengapa video yang dimasalahkan itu, baru diperlihatkan kepada Yani setelah Yani bereaksi? Apakah mereka dibekali surat penangkapan? Bila ya, akan terasa konyol sekali. Bukankah kedatangan itu untuk sekadar ngobrol-ngobrol? Bagaimana nalarnya? Apakah percobaan penangkapan hanya karangan Dr. Ahmad Yani? Bila ya, untuk apa? Ahmad Yani yang mantan anggota Komisi Hukum DPR itu kan sangat terlatih berpikir khas Yuris, dan mengerti konsekuensi hukum bila mengarang cerita itu. Pertanyaan-pertanyaan kecil yang menggelikan itu, pasti dikemukakan siapapun yang mengikuti peristiwa itu. Soal-soal itu tidak memerlukan penalaran hukum yang ketat dan cermat. Cukup hanya dengan akal sehat saja, pertanyaan-pertanyaan itu bisa ditemukan. Sangat sederhana. Apakah pertanyaan atau masalah yang lahir dari penalaran akal sehat itu, mengandung konsekuensi hukum? Ah sudahlah. Nantilah. Perlukah menimbang secara serius “panggilan” kepada Dr. Ahmad Yani? Panggilan pertama, panggilan kedua atau panggilan ketiga? Ah nanti saja. Pasal 28D UUD 1945 Apakah disitu masalahnya? Jelas tidak. Masalahnya ya isi video Youtube, yang merupakan pernyataan resmi KAMI. Apakah isi video itu dapat dikualifikasi pidana? Bila ya, soalnya bagaimana penalarannya? Andai isi video itu berisi pernyataan dukungan terhadap demonstrasi buruh, apakah pernyataan dukungan itu memiliki sifat pidana? Kalau iya, tolong tunjukan dalam hukum mana, di muka bumi ini atau di planet mana, demonstrasi dapat dikualifikasi sebagai pidana? Mau menganalisis dengan menggunakan semua peralatan dan sarana interpretasi ilmu hukum atas hal sesepele itu? Untuk saat ini, itu pekerjaan sangat membuang-buang waktu. Suatu hari nanti mungkin analisis semacam itu diperlukan. Tetapi tidak untuk saat ini. Pembaca FNN yang budiman. Hari-hari ini akan jadi hari yang begitu hebat, bila sejenak saja Ahmad Yani, yang ahli hukum ini, menelusuri lembaran-lembaran hitam hukum rezim otoriter Orde Lama dan Orde baru dulu. Kisah keangkuhan dan kesombongan hukum khas rezim revolusioner itu, layak untuk diselami. Dipenjaranya Pak Sjafruddin Prawiranegara, dan lainnya, termasuk Buya Hamka dimasa rezim revolusi orde lama, manis untuk dikenali. Politik dan hukum revolusi bekrja dengan cara yang tak bisa diprediksi. Manis diawal, mencemaskan di tengah dan menjijikan di ujung. Begitu tipikalnya. Almarhum Pak Sjaf, Presiden Republik Persatuan Indonesia (PRI) yang diproklamasikan pada tanggal 1 Februari 1960 di Bonjol dan kawan-kawan di PRRI/Pemesta diberi amnesti dan abolisi. Amnesti dan abolisi itu diatur dalam 449 tahun 1961. Mereka dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi. Manis. Amnesti? Ini pengecohan. Pak Sjaf dan kawan-kawan malah ditahan. Mula-mula ditahan di Cipayung, sebelum akhirnya tahun 1962 dipindahkan ke Colo, desa kecil dekat Kudus, terletak di lereng gunung Muria. Pak Sjaf ditempatkan pada sebuah rumah peristirahatan milik satu perusahaan rokok. Tanggal 1 Mei 1963 kedaan bahaya perang dinyatakan berakhir. Mengira pencabutan keadaan bahaya perang menandai naiknya ufuk cerah dipagi hari, Pak Sjaf girang. Ternyata demokrasi terpimpin, yang membimbing revolusi, punya hukum sendiri. Pak Sjaf tak bisa segera menghirup udara bebas layaknya warga negara bebas. Tidak. Pak Sjaf malah mengalami nasib yang lebih buruk. Kalau sebelumnya ditahan dirumah peristirahatan, kali ini malah ditahan di Rumah Tahanan Militer ( RTM) Jakarta. Revolusi ini benar ditopang dengan hukum. Selain Penetapan Presiden (Pen. Pres) Nomor 3 Tahun 1962 juga Penpres Nomor 11 Tahun 1963. Pada penpres Nomor 3 Tahun 1962 diatur pemberian kuasa kepada Jaksa Agung atas petunjuk Presiden/Pimpinan Besar Revolusi menunjuk orang yang “dianggap membahayakan tujuan revolusi” ditahan di satu tempat tertentu sebagai tempat berdiam sementara. Pen. Pres buruk ini akhirnya dicabut, dan diganti dengan Pen. Pres yang lebih buruk, yakni Pen.Pres Nomor 11 Tahun 1963, tentang Pemberantasan Subversi. Dengan Pen. Pres inilah drama penahanan permanen Pak Sjaf berawal. Pak Sjaf dikeluarkan dari Culo, di Lereng Gunung Muria, untuk dipindahkan dan ditahan di RTM di Jalan Budi Utomo. Di RTM itu Pak Sjaf menjalani joroknya hukum revolusi. Terus berada di RTM hingga tanggal 17 Mei 1966 (Lihat Ajib Rosidi, 2011, hal 340-373). Pak Sjaf bebas setelah Presiden Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi itu kehilangan kekuasannya secara materil. Mengarang bebas kasus, tangkap dan penjara, begitulah hukum rezim revolusi Orde Lama itu memukul Buya Hamka. Kasusnya dikarang-karang, lalu Ulama ini ditangkap, ditahan dan diperlakukan kasar oleh Soegondo dan Muljo Kosoemo, dua penyidik dalam kasusnya, (Lihat Haidar Musyafa, 2018, hal 661-665). Bagaimana dengan Orde Baru? Yang dikenal umum dengan orde pembangunan itu? Sama dalam banyak aspek. UU Subversi tersebut, tetap saja dipertahankan dan Pak Harto untuk membimbing dan mengawal pelaksanaan pembangunan. Persis seperti Orde Lama, ada saja orang yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Orang-orang yang dikenal sebagai fungsionaris Petisi 50 adalah satu elemennya. Kawakan secara individual, mereka menerbitkan buku putih tentang Peristiwa Priok Desember 1984. Tetapi seperti Orde Lama, beberapa diantara mereka berakhir di penjara. Politik punya cara sendiri mengoreksi keangkuhan penguasa. Mirip Presiden Soekarno, Pak Harto, pria murah senyum ini, harus mundur dari kekuasaan yang telah lama digenggamnya. Demonstrasi berkepanjangan dan berdarah kalangan mahasiswa menjadi sebab terbesar pengunduran diri itu. Manis betul politik mengukir eksistensi pada waktu lain. Wakil Presiden Habibie, naik jadi Presiden menggantikan Pak harto. Pria kecil yang sangat rasional ini membelah keangkeran politik. Kebesaran akal sehat dan jiwa demokratisnya membawa pemerintahannya membebaskan semua tahanan politik. Berbeda pendapat ko dipenjara? Itulah hembusan jiwa demokratisnya. Habibie top marco top. Hal hebat itu, terluka bahkan tercampakan malam itu. Tetapi beruntung Dr. Ahmad Yani, yang ahli hukum ini, mempertanyakan hal-hal teknis kepada polisi yang mendatanginya. Sangat refleksif untuk sejumlah aspek. Demokrasi yang terbimbing dengan UUD 1945 dan KUHAP, membenarkannya. KUHAP yang secara partikular dapat dianalogikan sebagai Habes Corpus Act itu, jelas mengatur kaidah menemukan perbuatan pidana, pemanggilan, pemeriksaan, penahan, penangkapan, dan lainnya. Habes Corpus Act yang mengawali eksistensi dalam sistem hukum Inggris tahun 1679, pada masa raja Charles II. Ini sangat hebat. Habes Corpus Act punya tujuan mulia. Untuk mencegah kewewenang-wenangan penguasa, karena kesewenang-wenangan bukan hanya menandai keangkuhan yang bodoh. Tetapi menghina harkat dan martabat kemanusiaan yang berakal menjadi terhina-dina. Itulah yang mau dipromosikan Habes Corpus. Dr Ahmad Yani benar mengambil titik pijak pada pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal ini, khususnya ayat (1) berakikat sebagai petition of right. Aparatur hukum harus menjelaskan secara spesifik dan detail perbuatan apa yang dituduhkan kepada warga negara? Tanpa kecuali siapapun orangnya. Tidak boleh sewenang-wenang. Akhirnya, suka atau tidak Dr. Yani telah menghidupkan elemen esensial rule of law. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
KAMI Sangat Ditakuti Gerombolan Penista Moral
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (22/10). Gagasan perlunya ada koalisi masyarakat sipil (civil society) melalui kebersamaan tokoh-tokoh yang memiliki komitmen untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan teralisasi dengan Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamta Indonesia (KAMI) pada tanggal 18 Agustus 2020 di Tugu Proklamasi Jakarta. Tiga orang tokoh bangsa didaulat untuk memimpin KAMI sebagai Presidium. Mereka adalah Profesor DR. Din Syamsuddin, Profesor DR. Rochmat Wahhab, dan Jenderal TNI (Purn.) Benaran Gatot Nurmantyo. Maksud saya Gatot bukanlah Jenderal Purnawirawan Kehormatan (Hor). Meskipun tampil dengan jati diri "tidak ada hubungan organisasional atau struktural" geliat keberadaan dan kehadiran KAMI di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota tetap terasa. Deklarasi dilakukan dimana-mana. Meskipun selalu saja ada gangguan dan hambatan dari arapat dan penguasa di daerah. Anjing menggonggong kafila terus saja berlalu. KAMI tetap saja deklarasi di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan kegigihan yang berbasis tawakkal kepada Allah, maka KAMI terus terbentuk di berbagai daerah. KAMI yang isinya adalah lintas faham, lintas eksponen, bahkan lintas agama. Karena punya cita-cita dan keinginginan yang sama, yaitu menyelamatkan bangsa dari kerterpurukan yang lebih dalam. Spirit menyelamatkan bangsa adalah aksi dialogis, aksi kritis, aksi memperkuat nilai-nilai moral ideologis. Gerakan moral hadir bukan untuk membuat rusuh atau merusak. Bukan pula gerakan yang merekayasa kerusuhan dan kerusakan. Sebab yang seperti itu adalah gerakan yang nir-moral. Fondasi berdirinya KAMI bukan untuk itu. Tidak juga yang seperti itu. Karena KAMI yang tampil sebagai kekuatan moral inilah yang kemudian sangat ditakuti oleh mereka yang tergabung dalam gerombolan penista moral. Baik itu gerombolan penista moral di bidang ekonomi maupun politik, dan sosial budaya. Ujung-ujunganya KAMI harus difitnah sebagai dalam kerusahan. Tidak sampai disitu saja. Gerombolan penista moral juga menyudutkan dan menuduh KAMI sebagai aktor atau dalang dibalik demonstrasi besar-besaran para buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat yang merata di seluruh tanah air belakangan ini. Demonstrasi yang menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka). UU yang hanya untuk menguntungkan pengusaha, korporasi, dan konglomerasi busuk, licik, picik, tamak dan culas. Padahal tanpa difitnahpun sikap KAMI sama dengan para buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat yang menolak disahkannnya UU Cilaka. Akibatnya, beberap deklataror dan Komite Eksekutif KAMI ditangkap-tangkapin, dengan alasan yang sangat ecek-ecek dan picisan. Alasan yang dibuat-buat hanya untuk mengekang, menekan dan menakut-nakuti kekuatan civil society yang berbeda pendapat dengan penguasa dalam hal pengelolaan negara. Penangkapan yang sangat "bermuatan politis" terjadi. Sejumlah Deklarator dan Komite Eksekutif KAMI yang ditangkap adalah Dr. Syahganda Nainggolan, Muhammad Jumhur Hidayat, dan Dr. Anton Permana dan lain-lain. Begitu juga di Sumatera Utara 4 aktivis KAMI ditangkap. Sementara di Jawa Barat Posko Kesehatan KAMI diobrak-abrik. Simpatisan KAMI ada juga yang menjadi tersangka. KAMI Jawa Barat di framing mendanai demo. Hal yang tentu saja telah dibantah. Landasan hukum yang dipakai aparat kepolisian untuk menangkap-nangkapin aktivis KAMI adalah UU ITE. Murip dengan pola yang dipakai oleh penguasa Orde Lama dan Orde Baru yang menggunakan UU Suversif untuk menekan dan menakut-nakuti kelompok oposisi dan kekuatan sivl society yang tergabung dalam kelompok kerja “Petisi 50”. Siapa saja yang tampil mengkritik penguasa Orde Lama dan Orde Baru dianggap sebagai subversif. Makanya harus ditangkap, ditahan dan dipernjarakan. Tragisnya, ada ditahan bertahun-tahun tanpa diadili seperti Pak Buya Hamka dan Profesor Syafrudin Prawiranegara. KAMI kini adalah kekuatan baru yang menjadi sasaran pelumpuhan dari penguasa. Ini akibat dari suara kritis KAMI kepada Pemerintah. Penguasa juga menambah target pelumpuhan dari yang sudah lama seperti HTI dan FPI. KAMI itu fenomenal, karena disamping usianya baru dua bulan, juga merupakan koalisi dari banyak figur terbaik anak bangsa. Isinya para cendekiawan, purnawirawan, agamawan, maupun aktivis perjuangan yang cukup berpengaruh. Terhadap tekanan yang juga berbau fitnah, mungkin berdampak bagi KAMI yang secara opsional atau beberapa kemungkinan. Pertama, KAMI mungkin saja goyah dan menurun daya dukung publik akibat serangan pembusukan pihak tertentu. KAMI juga mungkin mengalami goncangan akibat turbulensi. Kedua, KAMI tetap bergerak, namun tidak berlari cepat. Dukungan publik kepada KAMI masih cukup besar. Ada sebagian yang awalnya mendukung terang-terangan menjadi diam-diam. Ketiga, KAMI semakin memiliki daya dukung yang lebih kuat. Tekanan-tekanan yang berbau fitnah atau penzaliman justru memberi hikmah, simpati dan penguatan support untuk tetap melakukan perlawanan moral kepada penguasa dalam mengkritisi tata kelola negara. KAMI tetap kritis dalam suasana apapun. Dari opsi atau kemungkinan yang dapat terjadi, potensi pengembangan KAMI jauh lebih dominan. KAMI tidak akan runtuh. KAMI insya Allah tidak akan kalah oleh fitnah. KAMI harus dan akan terus melangkah. Kedzaliman mungkin saja mampu berkacak pinggang untuk waktu sesaat. Tetapi tidak akan mampu sepanjang waktu. Ingat itu baik-baik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Kebangsaan Kita di Ujung Tanduk
by Zainal Bintang Jakarta FNN – Rabu (21/10). Persetujuan DPR RI atas UU Cipta Kerja (Cilaka) dalam sidang pleno 5 Oktober 2020 sudah diketok. Banyak kalangan menganggap keputusan itu dipaksakan. Menimbulkan ekses unjuk rasa hari-hari berikutnya. Melibatkan kalangan buruh, mahasiswa dan pelajar serta masyarakat. Berujung pada kerusuhan dan kerusakan. Ratusan provokator unjuk rasa anarkis ditindak. Sejumlah mahasiswa, pelajar dan tokoh aktivis diamankan polisi. Kebebasan berpendapat masyarakat sipil ikut-ikut “terborgol”. Adu argumentasi dan polemik terbuka di ruang publik antara pejabat negara dengan aktor non negara memanas. Bukan hanya sejumlah fasilitas umum mengalami kerusakan. Harmoni masyarakat dan diskursus publik juga menderita kerusakan. Sikon politik dilanda ketegangan. Mitigasi bencana pandemi tersendat. Masyarakat terbelah. Nasib demokrasi lalu dipertanyakan. Ada apa dengan demokrasi di Indonesia? Apakah telah terjadi evolusi proses pelemahan demokrasi? Sejumlah analisis ilmuan dan pakar politik dalam dan luar negeri menyebutkan demokrasi di dunia sedang mengalami kemunduran. Nancy Bermeo, ilmuwan politik Amerika menyebutkan telah terjadi “kemunduran demokrasi” atau sedang terjadi semacam erosi demokrasi (democratic erosion). Pada salah satu artikelnya “On Democratic Backsliding” (Kemunduran Demokrasi), Nancy berkata, bahwa bentuk kemunduran demokrasi yang mencolok, seperti yang klasik ”kudeta terbuka dan penipuan hari pemilihan”. Praktek ini telah menurun sejak akhir Perang Dingin. Tetapi, sementara itu bentuk kemunduran yang lebih halus dan "menjengkelkan" telah meningkat. Bentuk kemunduran yang terakhir, menurutnya, “melibatkan kelemahan lembaga-lembaga demokrasi dari dalam. Bentuk-bentuk halus ini sangat berbahaya ketika mereka dilegitimasi melalui institusi yang seharusnya melindungi nilai-nilai demokrasi,” ujarnya dalam artikel itu yang dipublikasi “Journal of Democracy - Johns Hopkins University Press (January 2016). Mengutip laporan Freedom House (2020), peneliti Burhanuddin Muhtadi (43) dalam tulisannya “Demokrasi Berakal Budi” (Kompas, 2020) menyebut, dunia sedang dilanda resesi demokrasi. Kini, peringkat demokrasi Indonesia terjerembab ke peringkat 64 dengan skor hanya 6,39. Artinya, kata Direktur Eksekutif Indikator Politik itu, kita berada di dasar paling bawah kategori “flawed democracies” (negara demokrasi yang cacat). Menurut lembaga pemeringkat demokrasi terkemuka di dunia yang dikutipnya, “rapor merah Indonesia terletak pada kebebasan sipil dan kultur politik, terutama menguatnya intoleransi dan politik identitas”. Kenyataan ini semakin diperparah dengan penangkapan-penangkapan terhadap akvitis pro demokrasi yang berbeda pendapat dengan pemerintah seperti Syahganda Dr. Nainggolan, Muhammad Jumhur Hidayat, Dr. Anton Permana dan lain-lain. Berbicara tentang kemunduran demokrasi, jauh sebelum Muhtadi, telah lebih dahulu Aurel Croissant (professor ilmu politik Universitas Heidelberg, Jerman) bersama Larry Diamond (sosiolog politik Amerika) menulis “Introduction: Reflections on Democratic Backsliding in Asia” (Global Asia Maret 2020). Di seluruh dunia, kata mereka, demokrasi sedang menghadapi masa-masa sulit. Adapun tantangannya, diuraikan, terkait kualitas demokrasi sedang menurun di sejumlah negara demokrasi maju dan baru, dan laju kegagalan demokrasi semakin cepat. Pada saat yang sama, keterbukaan demokrasi sedang dibatalkan dalam sistem politik yang sebelumnya mengalami semacam liberalisasi politik, namun kini otokrasi kembali mengeras. “Kemerosotan pemerintahan demokrasi telah menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan. Juga menjadi perhatian para aktivis pro demokrasi, akademisi dan warga di seluruh dunia”. Persetujuan DPR RI atas UU Cipta Kerja dengan format Omnibus, yang dikampannyekan pemerintah, termasuk presiden Jokowi, bahwa sesungguhnya bertujuan menciptakan “pemerataan kenyamanan”. Namun pada kenyataanya meleset . Malah menimbulkan “pemerataan kemarahan” masyarakat yang direpresentasikan melalui kalangan buruh, mahasiswa dan bahkan pelajar. Ekses buruk penolakan publik terhadap UU Cipta Kerja memantik kembali “pembelahan” masyarakat. Menandai kemunduran demokrasi atau lahirnya “flawed democratic”. Mengapa elemen mahasiswa bangkit membangun “perlawanan” masif mengambil alih urusan protes kalangan buru? Benang merahnya ada. Karena mahasiswa dan pelajar itu adalah putra-putri kaum buruh. Kenyataan ini yang menjelaskan mengapa mereka sangat sensitif dan tidak bisa dipisahkan dari penderitaan dan perjuangan kaum buruh. Inilah mengapa mahasiswa dan pelajar itu lebih mudah tersentuh? Karena merteka merasakan adanya ancaman ketidakadilan yang tersimpan di dalam UU Cipta Kerja. Konsistensi perlawanan mahasiswa yang diperlihatkan dalam kasus penolakan UU Cipta Karya, dapat dibaca sebagai jawaban atas kekalahan mereka di dalam berbagai momentum unjuk rasa sebelumnya. Kasus jatuhnya korban dua orang mahasiswa yang tewas tertembak aparat pada unjuk rasa mahasiswa (26/09/2019) di Kendari, Sulawesi Tenggara karena menentang revisi UU KPK telah menorehkan luka pada mahasiswa maupun terhadap demokrasi itu sendiri. Kontroversial UU Cipta Kerja membuka ruang mahasiswa membangun integrasi konsolidasi nasional guna menjawab panggilan sejarah. Sebagai jaringan rantai pasok energi perjuangan masyarakat sipil (civil society) melawan ketidakadilan yang beririsan dengan pelemahan demokrasi. Gerakan mahasiswa yang spontan dan merata di seluruh Indonesia. Mereka tampil dengan gagak untuk menentang ketidakadilan. Mereka kini kembali memperkuat jaringan lapisan perjuangan masyarakat sipil untuk melindungi demokrasi dari upaya pelemahan sistemik negara. Indikasi pelemahan demokrasi secara pelan tapi pasti. Gejalanya mulai terlihat pada tahun terakhir dan awal pemerintahan kedua Jokowi. Merujuk pada kasus pemaksaan berlakunya revisi UU KPK. Kemudian disusul dengan beberapa UU berikutnya yang menihilkan partisipasi dan aspirasi publik. Menurut Marcus Mietzner Associate Professor di Australian National University, Australia, “Dalam kasus Indonesia, eksekutif juga menggunakan polarisasi ini untuk membenarkan tindakan yang semakin tidak liberal. Kombinasi, polarisasi dan peningkatan illiberalisme eksekutif telah mengurangi sumber daya aktivis masyarakat sipil Indonesia. Eksekutif Indonesia juga mempercepat kemunduran demokrasi negara dalam proses polarisasi dan tindakan yang tidak liberal tersebut” (Sources of Resistance to Democratic Decline : Indonesia Civil Society and Its Trials - Juli 2020). Situasi kenegaraan dan kebangsaan kita hari ini harus diakui sedang berada “di ujung tanduk”. Mahasiswa sebagai kekuatan perubahan dan elemen idealis, diyakini menyatukan dirinya pada politik kebangsaan. Bukan pada politik partisan. Mereka menentang ketidakadilan guna menghadirkan demokrasi yang mengalami distrosi. Harus ada jalan tengah menghentikan mata rantai kerusuhan. Semua pihak, terutama pemimpin eksekutif dan pemimpin legislatif, yang terpilih karena suara dari rakyat, agar ikhlas membungkukan badan sedikit saja. Mengulurkan tangan menyapa mahasiswa yang relatif adalah anak-anak mereka. Mahasiswa para calon pemimpin bangsa, sehingga diyakini bara ketegangan dapat diredupkan. Budaya saling menghargai, saling menghormati dan saling meninggikan sebagai cerminan peradaban tinggi ketimuran yang membanggakan semua yang namanya Indonesia.,wajib hukumnya mengemuka. Adalah tanggung jawab pemimpin untuk mencontohkannya. Dalam masyarakat modern yang berkeadaban, apalagi dalam konteks penggunaan hak masyarakat berpendapat, tentu saja budaya borgol dan water canon serta gas airmata tidak sepantasnya untuk selalu disuruh bicara. Ini untuk menghindari pertentangan yang berpotensi menyeret semua pihak ke dalam jebakan budaya primitif. Penulis adalah Wartawan Senior & Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Setahun Penuh Gaduh & Demo Yang Dirindukan
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (20/10). Tanggal 20 Oktober adalah Hari Ulang Tahun (HUT) satu tahun Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Ulang tahun peringatan yang tidak dalam suasana ceria dan menggembirakan. Covid 19 membuat cuaca mendung dengan wajah-wajah yang bermasker. Artinya, suasana penuh dengan rasa keprihatinan. Sementara itu Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) yang disahkan DPR tanggal 5 Oktober lalu, bukan menjadi kado yang menyenangkan. Malah sebaliknya, Undang-Undang ini menuai penolakan di hampir seluruh penjuru tanah air. Sebagian rakyat khususnya buruh, mahasiswa dan pelajar malah menangis sedih dan berunjuk rasa. Setahun telah dijalani dengan lebih banyak luka dan duka ketimbang suka. Pemerintahan Jokowi memulai periode kedua ini ditandai oleh suasana yang gaduh. Ekonomi morat-marit. Hukum tidak hadir untuk membentuk kedamaian dan ketertiban, serta politik yang selalu gonjang-ganjing. Seluruhnya akibat dari kebijakan penyelenggaran negara yang tidak bijak. Penyelenggara negara terkesan tidak mendengar apa kata rakyat. Sebaliknya, melawan aspirasi rakyat. Oligarkhi, korporasi dan konglomerasi yang akhirnya menggeser demokrasi, dan aneksasi telah menjauhkan "souvereignity". Tanggal 28 Oktober nanti adalah Hari Sumpah Pemuda. Gerakan kaum muda untuk menentukan arah dan perjuangan bangsa. Satu bangsa, bahasa, dan tanah air. Para pemuda yang berkomitmen untuk membebaskan diri dari penindasan, perbudakan, dan penjajahan. Angkatan muda yang menggelora adalah dinamika bangsa dan negara. Tangga 10 November nanti adalah Hari Pahlawan. Mengenang semangat perjuangan untuk mengusir penjajah, baik itu Inggris ataupun Belanda yang ingin kembali menguasai tanah ir. Pekik takbir dan merdeka membahana menjadi kekuatan untuk mengusir penjajah. Kekuatan Ilahi dan semangat untuk mempertahankan kemerdekaan berpadu dalam kegigihan dan kemenangan. Wajar saja jika 10 November 2020 nanti masyarakat membangkitkan kembali jiwa kepahlawanan atau patriotisme. Makam Pahlawan bukan kematian yang sekedar diziarahi. Tetapi menjadi tempat jiwa-jiwa kehidupan yang disusun kembali. Menggemakan suara kematian untuk kehidupan yang berani mati. Mati syahid atau hidup mulia. Tanggal 2 Desember bagai telah menjadi "harinya umat". Hari bagi runtuhnya kesombongan dan keangkuhan penista agama. Ahok yang digjaya dipaksa "bernafas di dalam bui". Jutaan umat Islam melakukan aksi damai yang berbuah manis. Perjuangan sukses dalam membangun wibawa keumatan melawan kekuasaan yang sombong, angkuh dan menistakan. Angka 212 telah menjadi nama dari gerakan aksi dan silaturahmi. Berlanjut dengan reuni untuk mengenang perjuangan damai. Meski tokoh pencerah saat khutbah Habib Rizieq Shihab (HRS) kini masih diasingkan di Makkah Al-Mukarromah, namun suaranya terus menggema. Desakan untuk melepas cekal agar bisa kembali semakin terus menguat. Dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang membuka peluang menjadi ledakan yaitu RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang berubah menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sementara RUU Omnibus Law yang baru diketuk menuai masalah. Dua peraturan "panas" ini dapat menjadi bola liar yang berujung pada krisis ideologi, hukum, ekonomi dan politik. Jika keliru mencari solusi, maka bukan mustahil berakhir pada suksesi kepemimpinan. Sebab secara umum disebut aksi, tetapi secara agama itu namanya syi'ar. Unjuk rasa, unjuk kekuatan, dan unjuk kebersamaan. Dalam momen strategis aksi atau syi'ar menjadi tekanan politik bagus. Konstitusi melindungi kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat. Penyelenggaraan negara memang harus dikontrol oleh kekuatan sivil society. Supaya tercipta check and balances. Tidak boleh sampai penyelenggara negara sesuka hati. Budeg dan tuli untuk mendengar aspirasi rakyat. Apalagi DPR telah berubah menjadi Dewan Pereakilan Rezim (DPR). Waratwan senior FNN.co.id menyebut DPR sebagai Kantor Cabang atau Kantor Perwakilan Presiden. Selamat ulang tahun pak Jokowi. Jadikan saja demo sebagai alat untuk pengontrol pemerintah. Supaya pemerintah tidak keliru. Juga jadikan saja aksi dan syi'ar sebagai hal yang dirindukan sebagaimana yang pernah dipidatokan Pak Jokowi dahulu di Gedung Merdeka Bandung. "Saya kangen sebenarnya didemo. Karena apa ? Apapun..apapun..pemerintah itu perlu dikontrol. Pemerintah itu perlu ada yang peringatin kalo keliru. Jadi sekarang saya sering ngomong dimana-mana 'tolong saya didemo'. Pasti saya suruh masuk". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Mau Tanya, Video Kawal Jogging & Helikopter Itu Hoax Apa Tidak?
by Asyari Usman Jakarta FNN - Senin (19/10). Pihak yang berkuasa selalu mengancam akan memenjarakan orang yang mereka tuduh menyebar hoax. Walaupun orang itu tidak tahu kalau foto, video, atau informasi yang dia posting adalah hoax. Pokoknya, semua akan ditangkapi. Vonis penguasa bahwa “itu hoax”, sudah cukup menjadi alasan untuk menangkap orang-orang yang dituduh terlibat hoax. Menteri Kominfo Johnny G Plate mengatakan kalau pemerintah mengatakan sesuatu itu hoax, maka itu adalah hoax. Nah, ngeri ‘kan kekuasaan Pak Johnny. Itulah sebabnya saya ingin bertanya langsung di sini tentang dua rekaman video. Isinya tentang personel dan/atau inventaris Kepolisian RI. Pertanyaannya: kedua rekaman video itu hoax atau tidak? Video pertama menunjukkan pengawalan yang dilakukan oleh mobil Polisi untuk beberapa “orang penting” yang sedang lari jogging di jalan raya. Ada yang mengatakan itu terjadi di Bali. Entah iya, entah tidak. Ada pula yang mengatakan yang dikawal itu adalah orang swasta yang maha penting. Diberitakan, Divisi Propam Polda Bali telah memeriksa personel kepolisian yang melakukan pengawalan “orang penting” itu. Publik ingin tahu secara detail dan transparan. Siapakah orang-orang yang dikawal itu? Agar tidak ada yang berspekulasi. Sebab, banyak yang mengatakan bahwa mereka adalah anggota keluarga konglomerat. Video kedua menunjukkan helikopter yang bertuliskan “POLISI” mendarat di lapangan terbuka. Tak jelas di mana lokasi itu. Setelah mendarat, tampak sejumlah “orang awam” yang berpakaian santai turun dari heli. Kejadian heli Polisi mengangkut “penumpang istimewa” itu, menurut laporan media, juga sudah diperiksa oleh Divisi Propam Polri. Konon, pilot heli sudah diinterogasi. Namun, meskipun para personel yang melakukan penyimpangan prosedur itu sudah diperiksa, kami tetap merasa perlu bertanya. Apakah pengawalan “orang penting” di Bali dan “penumpang istimewa” heli Polisi itu benar-benar terjadi seperti yang terekam di video? Apakah betul kedua kejadian itu telah diperiksa oleh Propam Polri? Ditakutkan, semuanya hoax. Khawatir kedua video itu hoax dan berita tentang pemeriksaan Propam juga hoax. Itulah yang perlu ditanyakan. Jangan-jangan kedua rekaman video itu hoax. Siapa tahu konten kedua video itu hasil editan. Entah kan tulisan “POLISI” di badan heli itu editan. Begitu juga mobil polisi yang mengawal orang penting sedang jogging. Siapa tahu cat mobil itu hasil editan. Sehingga terlihat seperti mobil polisi. Entah pun orang-orang yang dikawal itu juga editan. Bisa saja mereka sedang jogging di pantai tapi diedit begitu rupa seolah-olah sedang jogging di jalan raya dengan pengawalan mobil polisi. ‘Kan gawat itu hoax-nya! Itu, Pak Polisi, yang membuat kami bertanya ke Bapak. Memang kedua video itu kami lihat sudah viral di medsos. Tetapi, kami merasa lebih baik menunggu jawaban dari Bapak saja. Sekalian juga mau bertanya ke Pak Johnny Plate. Beliau ini ‘kan punya wewenang untuk menyatakan sesuatu itu hoax atau tidak. Pertanyaan kami ke Pak Johnny, kedua video itu hoax atau bukan Pak? Bapak ‘kan bilang, kalau pemerintah mengatakan hoax, maka itu adalah hoax. Jadi, kami tunggu ya Pak. Maaf ya Pak Polisi dan Pak Menteri, kami terpaksa bertanya secara terbuka di halaman ini. Supaya pertanyaan itu tidak dibilang hoax. Terakhir Pak, rakyat berpesan agar Propam tidak hanya menyelidiki personel yang mengawal jogging. Juga jangan hanya mengintegogasi pilot heli. Mereka ‘kan bekerja berdasarkan perintah atasan. Sangat perlu memastikan apakah atasan mereka berperan, Pak. Seadil dan setransparan mungkinlah, Pak.[] Penanya adalah Warganet.
Pemerintah Yang Buat Kekacauan Akibat Omnibus Law?
by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Senin (19/10). Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) panen kegagalan. Sejak semula, berbagai kritik dan saran telah kita sampaikan kepada pemerintah. Baik itu kritik secara terbuka di hadapan publik, melalui diskusi dan seminar, maupun melalui jalur lembaga-lembaga resmi negara. Kritik itu ada yang didengar, namun ada juga yang tidak. Ada juga yang dianggap sebagai angin lalu saja. Namun beberapa persoalan yang telah dikritisi itu, justru menjadi kenyataan sekarang. Intinya, pemerintah telah gagal dalam membuat kebijakan program dan proyek-proyeknya yang paling dibanggakan tersebut. Pertama, sebanyak 14 Paket Kebijakan yang diterbitkan pemerintah, dengan menelan biaya dan tenaga besar. Namun semuanya gagal. Paket-paket kebijakan tersebut berisi kegiatan obral sumber daya alam dan sumber daya ekonomi. Namun paket-paket itu keliru, dan gagal dalam menerjemahkan keadaan nasional dan internasional. Kerjanya amatiran dan recehan. Akibatnya berantakan semua. Kedua, kebijakan tax amnesty untuk mencari uang Rp 10.000 triliun rupiah. Kebijakan ini juga gagal dan berantakan semuanya. Tax amnesty adalah proyek pengampunan pajak. Namun dalam kenyataan menjadi proyek pengampunan piutang negara dan pengampunan para koruptor, pelaku penggelapan pajak, dan pengampunan para peternak uang kotor. Akhirnya tax amnesty yang tadinya berorientasi ke luar untuk memgejar harta para koruptor, digeser ke dalam negeri. Akibatnya adalah menghapus banyak sekali piutang pajak pemerintah yang belum tertagih kepada pengusaha di dalam negeri. Ini kebijakan yang ngaco, ngawur, dan bebal. Ketiga, meskipun tidak ada uang, pemerintah memaksakan ambisi pembangunan infrastruktur. Lalu dipaksakan lagi dengan mega proyek energi listrik 35.000 Mw, mega proyek kilang, dan sekarang mega proyek ibukota baru. Semua mega proyek ini tidak hanya gagal, namun juga tidak properly. Sehingga mewariskan beban utang dan pemeliharaan dimasa depan yang tak dapat dibiayai. Wajah Buruk Pembuat UU Akibat dari berbagai kegagalan di depan mata ini, para pemikir ekonomi di lingkaran kekuasan menuduh adanya tumpang tindih regulasi. Tidak singkronnya berbagai program dan proyek pemerintah, serta benturan kepentingan antara penyelenggara negara, yakni pemerintah, legislatif, yudikatif dan pemeintah daerah, sebagai penyebab dari kegagalan rencana pemerintah. Padahal semua UU mereka (DPR dan Pemerintah )yang buat sendiri. Mereka yang bikin tumpang tindih sendiri. Mereka yang buat situasi berantakan sendiri. Jadi kesimpulannya, pemerintahan ini jelas menuduh diri mereka sendiri sebagai pembuat kekacauan (chaos). Bukan yang lain. Lalu dibuatlah Omnimbus Law. Tujuannya menghilangkan berbagai hambatan regulasi, mensingkronisasi regulasi yang bertentangan, dan mengintegrasikan kembali kelembagaan pemerintah yang selama ini kepentingannya berbenturan. Namun Omnibus Law yang tadinya diharapkan bisa membuat stabilitas politik dan ekonomi, malah yang terjadi sebaliknya. Menjadi sumber kekacauan baru ngeri ini. Setidaknya ada tiga hal yang akan tercipta dari Omnibus Law. Pertama, ketidakpastian regulasi di bidang ekonomi, politik dan sosial akan makin parah. Perubahan UU sekaligus dalam jumlah banyak, akan membuat dunia usaha bingung. Bagaimana mereka dapat beradaptasi dengan aturan-aturan baru yang akan turun setelah Omnibus law? Kedua, ketaatan pada hukum makin buruk. Ini dikarenakan regulasi yang berubah-ubah. Terjadi banyak benturan dengan regulasi internasional yang telah diratifikasi pemerintah. Omnibus Law berdasarkan draft yang beredar, banyak sekali bertentangan dengan aturan aturan internasional di bidang lingkungan hidup, perburuhan atau ketenagakerjaan, dan norma demokrasi serta hak azasi manusia. Kitiga, Peraturan Pemerintah, Perpres, serta Kepmen berikutnya yang menjadi aturan pelaksana UU Omnibus Law rawan diperjual belikan. Ini dikarenakan banyaknya aturan itu sendiri, dan kepentingan diantara oligarki yang bersaing memperebutkan hal-hal yang akan diatur berikutnya. Dampaknya ke depan, akan banyak masalah yang bisa muncul. Misalnya, kekosongan hukum, atau aturan yang hanya bersumber dari pesanan pihak pihak tertentu. Bahkan sangat mungkin berakibat chaos dalam praktek penyelengaraan negara, pemerintahan, ekonomi dan sosial politik. Barangkali ada setitik niat baik dalam penyusunan Omnibus Law. Namun sejak semula perubahan sekitar 73 UU ini dipandang tidak demokrastis. Juga tidak transparan, dan tidak akuntable. Pihak internasional justru memandang Omnibus law membahayakan masa depan investasi, ketenagakerjaan dan lingkungan hidup di Indonesia. Sementara di dalam negeri terjadi penolakan yang begitu masiv dan keras dari buruh, mahasiswa, pelajar dan umat Islam. Mengapa bisa terjadi demikian? Ada yang salah dengan penyelenggara negara dan pemerintahan ini. Tetapi salah itu apa ya? Ada Yang Menginginakan Chaos Dalam dua dekade terakhir, sejak UUD 1945 diamandemen, Indonesia disebut berada dalam masa transisi. Jangankan waktu yang cukup panjang memang. Suasan politik dan ekonomi penuh dengan ketidak pastian. Dalam hal regulasi terjadi beberapa masalah yang timbul. Pertama, peraturan perundang-undangan terus diproduksi setiap waktu dalam hitungan hari dan bulan. Peraturan baru terus saja bermunculan. Peraturan lama berganti dengan yang baru sangat cepat dan begitu mudah. Akibatnya, semua cemas menunggu UU yang baru dan baru lagi. Kedua, peraturan perusahan dapat dibatalkan setiap saat. Baik oleh individu, maupun badan hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Orang pun resah apakah sebuah Undang-Undang yang baru lahir akan dibatalkan lagi atau tidak. Makin tidak pasti regulasi tersebut. Ketiga, banyak regulasi yang telah dibatalkan oleh MK. Namun pemerintan tidak juga membuat aturan pelaksanaannya. Pemerintah sepertinya enggan melaksanakan putusan MK tersebut. Lalu UU yang mana yang harus dijadikan pegangan? Lagi-lagi membingungkan pemerintah ini. Keempat, banyak UU yang pada tingkat pelaksanaannya dilanggar oleh pemerintah sendiri. Karena pesanan dari pengusaha, pesanan asing dan lain sebagainya. Jadi peraturan pelaksanaan UU ternyata rawan menjadi obyek pesanan para pengusaha. Kelima, banyak lembaga baru yang dilahirkan oleh UU. Terjadi persaingan, rebutan peran antara kementrerian dan lembaga dalam mengejar proyek akibat lahirnya suatu Undang-Undang. Makin kacau karena pelaksananya terlibat dalam konflik kepentingan. Kesemua itu melahirkan kondisi chaos dalam pelaksanaan negara dan pemerintahan. Terjadi kekacauan dalam regulasi. Aadanya tumpang tindih regulasi, tumpang tindih birokrasi dikarenakan tumpang tindih kepentingan. Aakibat dari kehidupan bernegara dan pemerintahan yang serba kacau balau. Implikasinya negara tidak memiliki kesempatan menegakkan aturan. Aparat hukum juga tidak leluasa menegakkan aturan. Oknum aparat negara rawan menjadi kaki tangan pengusaha, agar menegakkan aturan tertentu saja. Tidak menegakkan aturan lainnya, agar kepentingan sang pengusaha langgeng. Ada menteri dan anggota DPR yang juga pengusaha. Sehingga memproduksi aturan hanya untuk melindungi kepentingan binsis mereka sendiri. Dan tampaknya langkah itu banyak membawa hasil. Banyak pejabat sekaligus pengusaha berhasil menjadi kaya raya dalam masa transisi ini. Dalam situasi ketidakpastian dan chaos ini, kita menyaksikan negara dikuasai para pebisnis. Tampak sekali sebagian aturan ditegakkan untuk kepentingan bisnis meraka. Sebagian yang lain tidak ditegakkan agar mereka semakin kaya. Inilah keadaan paling chaos dalam praktek kehidupan bernegara. Mereka telah belajar bagaimana merancang situasi ketidakpastiandan chaos itu. Melalui Omnibus Law, mereka secara efektif telah menyisir UU yang tidak menguntungkan bisnis mereka. Menghabisi pasal pasal dalam 79 UU yang dapat memperkaya oligarki kekuasaan. Mereka bisa saja membuang pasal yang dipandang menghambat, yang seringkali menyangku kepentingan orang banyak. Itulah Omnibus Law. Dalam dua dekade transisi yang chaos ini, para konglomerat busuk, taipan kelas kakap menjadi semakin kaya raya. Mereka tak tersentuh hukum. Mereka menguasai politik secara penuh. Uang terkonsentrasi pada segelintir orang kaya. Sebagian besar kekayaan dikuasai segelintir konglomerat. Akibatnya, kekayaan empat orang kaya Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta penduduk negeri ini. Koefisien gini ratio meningkat. Yang kaya makin kaya, bandar makin kaya. Rakyat makin miskin. Harap sabaaaaaaaaaaaaar lagi. Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).