NASIONAL

Terpapar Covid-19, Ustadzah Kingkin Masih Mendekam di Rutan Bareskrim

by Mochamad Toha Jakarta FNN - Jumat (20/11). Kuasa Hukum Ustadzah Kingkin Anida dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia Cabang DKI Jakarta mengungkapkan nasib kliennya yang hingga kini, 18 November 2020, masih ditahan di Rutan Bareskrim Polri. Padahal, berdasarkan informasi dari Ustadzah Kingkin Anida dan informasi dari keluarganya, bahwa pada 11 November 2020 telah dilakukan tes Swab di Rutan Bareskrim Polri, hasil tes menyatakan Ustadzah Kingkin Anida positif Covid-19. “Sejak dinyatakan positif Covid-19, Ustadzah Kingkin Anida masih tetap ditahan di Rutan Bareskrim Polri, tidak dibantarkan di Rumah Sakit oleh Penyidik,” kata Nurul Amalia, SH, MH dalam rilisnya. Berbeda halnya dengan tahanan lain yang sudah dibantarkan di RS Polri, termasuk tahanan yang berusia lebih muda dari Ustadzah Kingkin. Padahal, Ustadzah sudah berusia 54 tahun, memiliki hipertensi dan sering batuk-batuk dua minggu terakhir ini. Tim Kuasa Hukum Ustadzah Kingkin dan suaminya (Satria Hadi Lubis) sudah mengajukan surat permintaan pembantaran pada Senin, 16 November 2020 kepada Kapolri, Kabareskrim dan Direktur Tindak Pidana Siber (Brigjen Pol. Slamet Uliandi). “Ada dua surat yang sudah diajukan, yaitu atas nama Kuasa Hukum Ustadzah Kingkin Anida dan atas nama keluarga beserta surat pernyataan penjaminannya,” ungkap Nurul Amalia. Tapi, hingga Rabu, 18 November 2020, Ustadzah Kingkin masih belum dibantarkan juga ke Rumah Sakit. “Ini merupakan perlakuan tidak adil, melanggar HAM dan kemanusiaan. Kuasa Hukum dan suami Ustadzah Kingkin juga sudah menghubungi para penyidik agar segera dibantarkan, tapi belum ada respon positif dari penyidik. Ustadzah Kingkin sejak 4 November 2020 sudah mendaftarkan Permohonan Praperadilan, dan sidang Praperadilan perdana akan digelar pada Senin, 23 November 2020, di PN Jakarta Selatan, dengan perkara nomor: 136/Pid.Pra/2020/­PN.Jkt.Sel. Menurut Nurul Amalia, Ustadzah Kingkin beserta keluarganya melalui kuasa hukumnya, selalu berjuang dengan gigih untuk menegakkan keadilan dan HAM. Seluruh jalur hukum akan ditempuh menuntut keadilan dan melawan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum itu, semata-mata demi menyelamatkan nyawa Ustadzah dari bahaya Covid-19 karena tidak dibantarkan ke Rumah Sakit dan demi menegakkan kebenaran formil serta materil. “Apabila Penyidik tidak juga membantarkan Ustadzah Kingkin, maka Polri telah melakukan pelanggaran HAM dan melanggar Protokol Kesehatan Covid-19,” tegas Nurul Amalia. Ia pun mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo: “Saya ingin tegaskan bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”. Sebagaimana diberitakan, Ustadzah Kingkin ditangkap pada 10 Oktober 2020 pukul 13.30 WIB di Tangerang Selatan karena dianggap telah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait Omnibus Law. Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Awi Setiyono mengatakan, pendakwah Ustadzah Kingkin Anida ditetapkan sebagai tersangka setelah menjalani pemeriksaan selama 1x24 jam. “Kalau yang (ditangkap) di Tangsel ini sudah 1x24 jam diperiksa, sudah ditahan (berstatus tersangka),” kata Awi kepada wartawan, Selasa 13 Oktober 2020. Awi mengungkapkan bahwa para tersangka diancam dengan pasal 45 A ayat 2 UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan/atau Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan. “Ancaman pidananya, yang UU ITE enam tahun pidana penjara dan penghasutan ancaman pidananya juga enam tahun penjara,” tutur Awi. Ustadzah Kingkin merupakan salah satu kader Partai Kesejahteraan Sosial (PKS). Ia pernah mencalonkan diri sebagai Caleg DPR RI dari Dapil Banten 3 pada Pemilu 2019. Ustadzah Kingkin juga diketahui sering menjadi pemateri tausiyah dalam berbagai pengajian. Ia disebut-sebut sebagai salah satu dari 8 petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ditangkap dan dijerat pasal UU ITE. Dari delapan petinggi tersebut, salah satunya berasal dari Kota Tangerang Selatan bernama Ustadzah Kingkin Anida. Ustadzh Kingkin adalah warga di salah satu komplek di Kelurahan Kademangan, Kecamatan Setu, Tangsel. Di komplek tersebut, ia dikenal sebagai Ustadzah yang bahkan sering mengisi pengajian di majelis ta'lim di daerah tersebut. Reaksi datang dari Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang menyebut Ustadzah Kingki Anida adalah korban hoaks. Hidayat juga menyebut Ustadzah Kingkin sebagai tokoh anti anarki dan sudah selayaknya dibebaskan. Seperti dilansir SeputarTangsel.com, Hidayat mengungkapkan hal tersebut, menanggapi unggahan Twitter dari akun @UusRsd yang mengomentari terkait penangkapan Ustadzah Kingkin Anida. Akun @UusRsd memposting ulang unggahan Divisi Humas Polri dalam akun Facebook-nya yang ternyata pernah memberikan apresiasi kepada Ustadzah Kingkin Anida atas aksinya yang mendukung demonstrasi yang sejuk dan damai. “Divisi Humas Mabes Polri melalui akun Facebook resminya ternyata pernah memberikan apresiasi kepada Ustadzah Kingkin Anida atas kontribusi beliau dalam mendukung demonstrasi sejuk dan damai,” tulis akun @UusRsd pukul 09.44, Sabtu 17 Oktober 2020. Dalam unggahan FB Divisi Humas Polri itu terlihat foto Ustadzah Kingkin memberikan bunga kepada para petugas Brimob yang menjaga demo damai pada 22 Mei 2019. “Ciptakan Demonstrasi Sejuk dan Damai. -Ramadan Untuk Perdamaian-. Potret seorang demonstran yang memberikan bunga kepada petugas kepolisian yang mengawal jalannya aksi demonstrasi di Depan Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat,” tulis akun Divisi Humas Polri itu. Menanggapi cuitan @UusRsd tersebut, Hidayat Nur Wahid mengatakan, Ustadzah Kingkin itu pendukung demonstrasi yang sejuk dan damai. Bahkan, lanjut politisi PKS ini, Ustadzah Kinkin merupakan korban hoaks yang layak diayomi. “Maka sudah benar #BebaskanBuKinkin. Aktifis kemanusian yang trackrecordnya dukung demonstrasi yg sejuk dan damai. Beliau anti anarkhi. Bunga lambing damai dari beliau pernah diterima Polisi. Beliau korban hoax yg layak diayomi”. Begitu cuit Wakil Ketua MPR RI 2019-2024 ini melalui akun Twitter @hnurwahid, Sabtu 17 Oktober 2020. Berdasarkan hasil pemeriksaan Swab pada Rabu, 11 November 2020, di Rutan Bareskrim Polri, hasil tes menyatakan Ustadzah Kingkin Anida positif Covid-19. Menjadi tak manusiawi jika Bareskrim Polri tidak merujuk Ustadzah Kingkin ini dirawat di Rumah Sakit Rujukan Covid-19! Penulis, wartawan senior FNN.co.id

Maaf, Saya Malu Lihat Pangdam Jaya Urus Baliho

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Jum’at (20/11). Ribut penurunan baliho Habib Rizieq Shihab (HRS) oleh TNI akhirnya diakui juga oleh Pangdam Jaya. Bahwa penurunan baliho HRS itu atas perintah Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman. Saya mencari data sebentar apa penyebabnya? Apakah ada kemungkinan karena pernyataan HRS yang menyinggung soal sanksi terhadap prajurit TNI yang mengekspresikan dirinya menyambut kembalinya HRS ke Tanah Air? Tersinggung itu wajar. Karena narasi HRS kadang memang kebablasan. Mungkin juga karena HRS tidak bisa menutupi kekecewaanya pada keputusan institusi TNI. Di sisi lain saya kira HRS perlu diingatkan juga agar narasinya termanage dengan baik. Meski demikian, saya kira hak HRS untuk berpendapat tidak boleh juga dibungkam. Adapun Pangdam Jaya sebenarnya punya cara untuk menegur HRS. Bisa dilakukan dengan pendekatan yang lebih dialogis. Dalam terminologi sosiologi, pendekatan dialogis dalam menyelesaikan suatu problem sosial dan lain-lain adalah cara yang paling rasional. Bukan dengan pendekatan kekuasaan. Sebab dalam sejarahnya, pendekatan kekuasaan tidak juga bisa menyelesaikan masalah. Tetapi entah kenapa langkah Pangdam Jaya ini justru memicu keributan baru. Bahkan kini membentuk opini baru dengan ekspresif memerintahkan prajuritnya untuk menurunkan baliho HRS. Ada yang merekamnya dan tersebar di media sosial. Tentu ini memicu reaksi baru dari para pengikut HRS dan menimbulkan kegaduhan politik baru. Saya coba cermati langkah dan perintah Pangdam Jaya ini dalam perspektif ketentaraan. Tampaknya ini baru yang pertama kali terjadi dalam sejarah TNI. Sebuah institusi penting negara sekelas TNI, perlu berurusan soal baliho di jalanan. Jika melihat TNI, saya kira kita mesti melihat regulasinya. Aturan mainnya bagaiman? Terus Undang-Undang yang mengaturnya bagaimana? Nah menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, khususnya pada pasal 7 ayat (1), tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara. Masih di pasal yang sama, tugas TNI lainnya adalah mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Saya mencermati, Pangdam Jaya terlalu menurunkan marwah TNI, jika TNI hanya berurusan soal Baliho. Bukankah penertiban baliho itu menjadi urusannya Satpol Pamong Praja (PP) daerah setempat? Mestinya jika Pangdam Jaya merasa tersinggung dengan narasi HRS, dan dengan Baliho HRS, bukankah Pangdam Jaya bisa bicara atau berkomunikasi dengan Gubernur DKI untuk memerintahkan satpol PP. Dalam konteks itulah, saya sebagai akademisi yang di antaranya fokus pada studi tentang dinamika sosial, gerakan masyarakat sipil, dan soal kebangsaan malu melihatnya. TNI gaduh hanya karena berurusan dengan baliho. Penulis adalah Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Mendagri Tito Menteror Kepala Daerah

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (20/11). Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) sangat fenomenal. Peristiwa ini telah menyentak dan menggetarkan kekuasaan. Berdampak pada rencana pemeriksaan HRS, tokoh-tokoh yang hadir di pernikahan, serta pemanggilan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Tuduhannya ialah pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Dasarnya UU Kekarantinaan Kesehatan. Sanksi pidana pun diancamkan. Padahal dari awal pandemi corona bulan Maret 2020, pemerintah sangat alergi untuk memberlakukan UU Kekarantinaan Kesehatan. Bahkan pemerintah menolak untuk berlakukan lockdown sesuai permintaan Gubernur Anies. Anies diperiksa Polda Metro Jaya selama sepuluh jam. Bahasa panggilan adalah klarifikasi. Tetapi dengan "sepuluh jam" waktu yang diperlukan untuk melakukan klarifikasi, maka konklusinya sangat jelas dan terang sebagai "pemeriksaan". Karena di depan penyidik, Anies menandatangani semacam Berita Acara. Pakar melihat bahwa Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang digunakan polisi untuk menyerang Gubernur Anies merupakan suatu penyimpangan. Sebab kerumunan orang banyak di suatu tempat tidak bisa dijadilan alasan untuk dihukum secara pidana di tengah kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Karenanya upaya memanggil Anies oleh Kepolisian Metro Jaya dinilai sangat mengada-ada. Mencari-cari alasan semata. Hasilnya kemungkinan akan gagal. Sebab ketakutan penguasa kepada popularitas Anies sebagaimana ketakutan pada HRS sangat terasa. Pencopotan Anies nampaknya menjadi agenda. Alasan apapun harus dicari-cari pembenarannya. Tiba tiba saja Mendagri Tito Karnavian yang mantan Kapolri membuat Instruksi No 6 tahun 2020, yang berisi 6 butir berkaitan dengan kerumunan dan covid 19. Yang dinilai "paling mengarah" adalah butir 3, dimana Kepala Daerah dilarang untuk ikut kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan. Demikian pula pada butir 4, yang menegaskan berdasarkan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa Kepala Daerah harus mengikuti seluruh ketentuan perundang-undangan. Butir 5 menyatakan Kepala Daerah yang melanggar Undang-Undang dapat diberhentikan. Bahwa Kepala Daerah yang melanggar UU dapat diberhentikan merupakan hal yang sangat normatif. Persoalannya adalah bahwa cara memberhentikan harus dilakukan menurut UU pula. Bukan dengan interpretasi Presiden. Apalagi cuma Mendagri. Memangnya Mendagri mau mengambil alih kewenangan DPRD dan Mahkamah Agung tentang tata cara pemberhentian kepala daerah yang diatur dalam UU Nomor 23/2014? Pemanggilan oleh Kepolisian Metro Jaya kepada Gubernur DKI Anies Baswedan, yang dilanjutkan dengan terbitnya Instruksi Mendagri, yang mengancam pemberhentian kepala daerah sangat mengesankan bahwa instruksi ini merupakan teror bagi para Kepala Daerah. Mendagri menteror para kepala daerah yang tidak disukai oleh penguasa sekarang. Kepala Daerah itu dipilih oleh rakyat. Karenanya tidak bisa diberhentikan oleh Presiden. Apalagi Cuma kelas Mendagri. Proses yang harus ditempuh harus melalui wakil rakyat di lembaga DPRD, baik itu yang didahului dengan Putusan Pengadilan atau tidak. Mendagri seolah-olah hendak mengambil oper kewenangan DPRD dan Mahkamah Agung saja. Seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia terancam oleh penyimpangan kewenangan Mendagri ini. Selayaknya seluruh Kepala Daerah melakukan protes keras. Terkesan bahwa Mendagri adalah pejabat suci yang bisa seenaknya menghukum berdasarkan tafsir sendiri "melanggar UU". Instruksi Mendagri No 6 tahun 2020 harus dicabut atau diadukan ke Mahkamah Agung untuk diuji materil. Instruksi ini bentuk lain dari manipulatif. Seolah-olah menegakkan UU. padahal sebenarnya adalah melanggar UU. Ngawur dan ngaco bangat Mendagri Tito. Di negara demokrasi yang berkedaulatan hukum, tidak boleh ada kebijakan politik yang memperalat hukum. Jika ada pejabat yang melakukan demikian dengan maksud teror kepada pihak lain, maka pejabat tersebut pantas untuk disebut sebagai teroris. Dan kita telah sepakat bahwa segala bentuk terorisme haruslah dibasmi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Mendagri Tito Ambil Wewenang DPRD & Mahkamah Agung?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (20/10). Masa pandemi corona memberi ruang pemerintahdan DPR untuk membuat UU kontroversial. Perppu Corona (No 1/2020) yang diperkuat men jadi UU No 2/2020 telah memberi kebebasan untuk menggunakan anggaran Rp 905 triliun tanpa bisa dituntut secara pidana, perdata dan TUN. Huebat kan! Selain UU Corona, lahir pula UU Minerba. Lagi-lagi, UU ini kontroversial. Sebab, sejumlah pasal dianggap berpotensi merugikan rakyat. Misalnya, terkait kewenangan membuka lahan tambang dengan cara membakar hutan. Selama ini, masyarakat di sekitar hutan banyak direpotkan oleh kebakaran lahan. Sekarang, UU Minerba justru membolehkannya. Kacau-balau kan? Sempat juga RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) akan disahkan. RUU yang dicurigai berhaluan komunis ini akhirnya ditunda setelah mendapat penolakan masif, terutama dari MUI dan ratusan ormas-ormas Islam. Meski tetap ada ruang untuk dibahas kembali dan disahkan di kemudian hari. Sebab, RUU ini belum dicabut dari Prolegnas Prioritas DPR. Yang terkini adalah UU Omnibus Law Cipta Kerja. Meski dianggap cacat formil dan materiil, tetap saja disahkan. Presiden pun menandatangani, meski draft UU itu masih bermasalah. Ini bukan saja telah memperlihakan tata kelola negara kacau-balau. Tetapi juga amburadul. Mengapa sejumlah UU tersebut kontroversial? Terutama karena kelahirannya tidak melibatkan rakyat dalam proses pembahasan. Terkait masalah ini, pandemi corona selalu dijadikan alasan. Pembahasan dipercepat. Nampak kerja yang super kilat. Lalu disahkan dengan tergesa-gesa. Bahkan banyak anggota fraksi yang belum sempat membaca. Semoga Pak Presiden sudah baca sebelum beliau tanda tangan. Segala bentuk protes yang melibatkan massa dilarang. Setidaknya dihalang-halangi dan dihambat karena alasan pandemi corona. Melanggar protokol kesehatan, katanya. Klise dan mengada-ada saja. Karena penghadangan massa juga sering terjadi sebelum pandemi. Akhir-akhir ini, PSBB diperketat. Kapolri bahkan memberhentikan dua Kapolda, yaitu Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat. Juga dua Kapolres, yaitu Kapolres Jakarta Pusat dan Kapolres Bogor. Mereka dianggap tidak tegas terhadap adanya kerumunan. Kerumunan siapa? Masyarakat tahu jawabannya. Mendagri Tito Karnavian juga memberi instruksi bahkan mengancam akan memecat kepala daerah yang membiarkan terjadinya kerumunan di wilayahnya. Publik bertanya, mengapa mendadak semua pejabat bicara PSBB diperketat? Bukannya selama ini program "New Normal" yang dielu-elukan dan dipercaya sebagai malaikat penolong? Anehnya, kepala daerah yang berupaya untuk menerapkan PSBB dengan ketat, malah dikritik dan diberi peringatan. Dianggap sok-sokan. Dituduh menghambat pertumbuhan ekonomi yang sedang berupaya dinormalkan. Mengapa sekarang berbalik? Ada apa Pak Tito? Pemerintah ko pagi tempe, sore dele? Anies Baswedan, Gubernur DKI yang dari awal konsen untuk usulkan karantina wilayah dan PSBB ketat, justru selalu menghadapi penolakan. Sekarang, ketika kerumunan terjadi dimana-mana, Anies justru dipanggil Polda Metro Jaya karena dicurigai membiarkan kerumunan. Tidak saja panggilan Polda, bahkan Mendagri menyinggung soal pemecatan. Ngeri bangat! Mendagri pun akhirnya mengeluarkan instruksi Nomor 6 Tahun 2020 mengenai kewajiban kepala daerah menerapkan protokol kesehatan. Apakah instruksi ini bisa dijadikan dasar pencopotan kepala daerah? Tentu tidak Pak Tito! Urusan copot kepala daerah tetap mengacu pada UU No 23 Tahun 2014. Bukan urusannya Mendagri Pak Tito. Itu urusannya DPRD dan Mahkamah Agung. Memangngnya Mendagri Pak Tito mau ambil alih juga kewenangan DPRD dan Mahkamah Agung? Sebaiknya Mendagri Tito baca lagi berulang-ulang UU Nomor 23/2014 tersebut. Kelihatannya kalau Mendagri Tito tidak memahami ruhnya UU Nomor 23/2014. Sebab di UU itu, kepala daerah dipilih oleh rakyat. Hanya rakyat yang bisa mencabut mandatnya. Bukan presiden. Apalagi cuma Mendagri. Rakyatlah, melalui perwakilan di DPRD, yang bisa memberhentikan bupati, walikota dan gubernur. Itu pun dengan catatan DPRD harus punya cukup alasan jika ingin melakukan impeachmen terhadap kepala daerah. Sebab alasan DPRD itupun akan diuji di Mahkamah Agung (MA). Sampai di Mahkamag Agung inilah, kepala daerah diberi hak untuk melakukan pembelaan. Prosesnya panjang bangat. Bisa lebih dari setahun. Ayo... Pusing nggak? Tapi kalau Mendagri Tito mau coba, ya silahkan saja. Pada akhirnya rakyat yang akan menilai dan mencatat demokrasi model apa yang sedang dipahami Mendagri Tito Karnavian. Presiden hanya bisa memberhentikan "sementara" kepala daerah kalau ada usulan dari DPRD dalam hal kepala daerah menjadi terdakwa dengan ancaman pidana minimal lima tahun. Terjerat kasus korupsi, terorisme atau makar misalnya. Namun, jika tak terbukti di pengadilan, presiden wajib mencabut SK pemberhentiannya itu. Jadi, nggak bisa pakai instruksi Mentdagri aja untuk ancam kepala daerah. Publik membaca, semua ini hanya akibat dari satu sebab. Apa itu? Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS). Habib Rizieq dikhawatirkan akan terus melakukan konsolidasi massa. Ini sungguh terkesan sangat politis. Tapi pendekatannya seringkali menggunakan pasal-pasal dalam hukum pidana. Karena, pendekatan hukum ini terbukti memang sangat ampuh dan efektif. Fokusnya pada Habib Rizieq. Kerumunan apapun, asal tidak terkait Habib Rizieq, selama ini bebas- dan aman-aman saja. Tidak memiliki konsekuensi hukum apa-apa. Parade Merah Putih di Banyumas, Ulang Tahun Ulama di Pekalongan, rombongan ke KPUD di Solo, pengajian dan walimahan di berbagai tempat, selama ini bisa bejalan dengan bebas. Giliran Habib Rizieq Shihab pulang, dan dijempu oleh ratusan ribu orang, mulailah segala bentuk perlu diberlakukan. Bahkan sangat ketat. Marah sana marah sini. Semua yang terlibat dengan kerumunan massa di sekitar Habib Rizieq menjadi was-was. Begitulah publik memotret situasi sekarang ini. Selama ini, dengan dalih protokol kesehatan dan aturan PSBB, pemerintah punya alasan kendalikan pengerahan massa. Kalau sifatnya hanya untuk menghindari kerumunan, ini baik dan memang harus dilakukan. Dengan catatan, pertama, ini harus berlaku untuk semua. Tanpa kecuali. Tidak tebang pilih. Mesti adil. Namun, jika ini hanya berlaku untuk mereka yang kontra dan kritis terhadap pemerintah, itu sama saja pembunuhan demokrasi. Kedua, kewajiban menjalani protokol kesehatan tidak lantas boleh dimanfaatkan pemerintah, atau juga DPR untuk membuat aturan dan kebijakan tanpa melibatkan aspirasi rakyat. Alasan bahwa rakyat nggak boleh berkumpul karena pandemi, tetapi banyak kebijakan yang dibuat tanpa memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat, itu sama saja pembunuhan demokrasi dalam bentuk lain. Nampaknya, rakyat telah merasakan mati surinya demokrasi selama ini. Apalagi jika setiap aspirasi yang muncul harus berhadapan dengan ancaman pidana. Makin menakutkan saja. Sayangnya, tekanan tidak membuat rakyat tidak semakin takut. Jangan sampai hukum yang semestinya dibuat untuk melindungi negara dan rakyat justru berubah fungsi jadi musuh demokrasi. Hal ini mesti segera dievaluasi. Jangan gara-gara pandemi, demokrasi mati, dan pemerintah membuat kebijakan semau hati. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Dua Jenderal Dicopot, HRS Akan Dipenjara?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (17/11). Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) membuat penguasa panik. Itu wajar-wajar saja. Selama ini, sepak terjang Habib Rizieq dianggap sangat merepotkan penguasa. Apalagi ketika tokoh yang dipanggil HRS ini terus-menerus menyerukan Jokowi mundur. Kendati seruan ini tak lagi terdengar setelah HRS pulang ke Indonesia. Sudah berubah? Atau memang lagi atur strategi? Begitu juga narasi revolusi. Kata ini sering keluar dari caramah HRS. Namun belakangan, kata revolusi berubah jadi “revolusi akhlak”. Tentu saja beda makna dan penekananya. Apakah ini bagian dari strategi untuk menghindari pasal makar? Yang pasti, kepulangan HRS telah memakan banyak korban. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Nana Sujana dicopot. Begitu juga Kapolda Jawa Barat Irjen Pol. Rudi Sufriadi juga dicopot. Tak hanya dua Kapolda, dua kapolres juga ikut dicopot, yaitu Kapolres Jakarta Pusat dan Kapolres Bogor. Empat perwira polisi ini adalah kepala kepolisian di wilayah dimana HRS mengadakan acara yang menghadirkan puluhan hingga ratusan ribu massa. Mereka berampat itu adalah perwira polisi terbaik. Bukan saja di wilayah hukukmnya, tetapi terbaik di seluruh Indonesia. Tentu tidak ada yang kebetulan. Pencopotan dua Kapolda dan dua kapolres secara bersamaan sulit jika tidak dihubungkan dengan sepak terjang HRS. Apalagi telah diungkapkan bahwa pencopotan mereka karena dianggap tidak tegas mencegah pelanggaran protokol kesehatan di acara HRS. Situasi politik makin tegang ketika Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta juga dipanggil Polda Metro Jaya hari ini terkait pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan HRS. Melalui surat bernomor B/19925/XI/RES. 1.24/2020/DITRESKRIMUM, Anies akan diminta untuk meberikan klasifikasi terkait acara HRS. Anies sebelumnya telah konferensi pers, dan menjelaskan kepada publik bahwa prosedur pencegahan terhadap semua kegiatan yang berpotensi menciptakan penyebaran Covid-19, termasuk kepada HRS, telah dilakukan. Melalui Wali Kota Jakarta Pusat, surat sudah dikirim. Bahwa Pemprov DKI tak memberi ijin segala bentuk kegiatan yang berpotensi terjadinya kerumunan. Anies telah menunjukan sikap yang tegas. Ini berlaku untuk siapa saja. Tidak panda bulu. Buktinya ketika HRS melangsungkan acara walimah dan Maulid Nabi, Anies memberi sanksi denda Rp. 50 juta kepada HRS. HRS berlapang dada dan langsung membayar denda itu. Cash pula! Anies telah menjalankan prosedur kesehatan dengan benar, sesuai Pergub Nomor 79/2020 tentang Protokol Kesehatan, dan Pergub Nomor 80/2020 tentang PSBB. Lalu, apa yang salah dengan Anies sehingga Ditreskrimum Polda Metro Jaya harus memanggilnya dan minta klasifikasi? Sementara, berbagai kasus pelanggaran terhadap protokol kesehatan telah banyak terjadi di berbagai wilayah selama rangkaian Pilkada 2020. Tetapi Bareskrim tidak memanggil kepala daerah tersebut. Kapolda dan kapolresnya juga nggak dicopot. Publik mempertanyakan tindakan ini. Ganjil saja! Misal di Solo dan Medan. Rombongan yang mengantar Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, anak dan menantu Jokowi untuk mendaftar Cawalkot ke KPUD berkerumun banyak orang. Banyak yang ngggak pakai masker. Mereka mengabaikan protokol kesehatan dan melanggar aturan PSBB. Kenyataan Gibran dan Bobby ini diungkapkan sendiri oleh ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP Bambang Wuryanto. Bambang mengatakan bahwa "kerumunan yang ditimbulkan dari massa pendukung Gibran dan Bobby saat mendaftar ke KPU merupakan hal yang tak dapat dihindarkan" ....ekspresi gembira suka bikin lupa bahaya, katanya lagi. (5/9) Begitu juga Parade Merah Putih di Kabupaten Banyumas. Ansor dan Banser mengerahkan 7.000 massa. Yaqult bilang 9.999 pasukan. Kegiatan parade ini mendapatkan ijin dari pemerintah daerah. Mungkinkah 7.000 atau 9.999 orang ini bisa menghindari kerumunan? Saat berbaris, mungkin bisa. Sebelum dan setelah acara? Apalagi saat mereka sedang menyantap lezatnya makanan yang dihidangkan. Demikian juga dengan kegiatan pengajian dan dzikir Habib Lutfi di Pekalongan Jawa Tengah. Sama dengan HRS, Habib Lutfi juga punya magnet sosial yang luar biasa besar. Tentu, setiap kegiatan yang Habib Lutfi adakan akan dihadiri oleh puluhan hingga ratusan ribu jama'ah. Mereka berkerumun, dan terjadi juga pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Banyak kegiatan-kegiatan lainnya yang dipastikan terjadi pelanggaran protokol kesehatan. Namun demikian, Kapolda, kapolres dan kepala daerah dimana pelanggaran itu terjadi, tetap amansaja . Tetapi, jika HRS yang mengadakan kegiatan itu, para pejabatnya patut untuk was-was. Ada rasa ketidakadilan disini. Itu pasti. Pemerintah dianggap tebang pilih dalam bersikap. Ada perlakuan yang berbeda antara HRS dengan yang lain. Sikap pemerintah ini patut dikoreksi dan dikritik. Sebab, ketidakadilan berpotensi menimbulkan kecemasan dan ketegangan sosial. Jika kita bertanya, mengapa perlakuan terhadap HRS berbeda dengan yang lain? Mengapa dua Kapolda dan dua kapolres tempat dimana HRS mengadakan acara harus dicopot? Mengapa Anies Baswedan, Gubernur DKI dipanggil Ditreskrimum Polda Metero Jaya untuk klasifikasi acara HRS? Jawabnya, HRS dianggap tokoh berbahaya. Karena itu, perlu dicegat langkahnya. Cara paling efektif adalah mendorong semua aparat kepolisian dan kepala daerah melarang dan menghalangi panggung HRS. Dengan dicopotnya dua Kapolda dan dua kapolres serta dipanggilnya Gubernur DKI, ini akan jadi peringatan buat para Kapolda, kapolres dan kepala daerah yang lain. Jika mereka tak mencegah kegiatan-kegiatan HRS berikutnya, maka nasib mereka bisa jadi akan sama dengan dua kapolda dan dua kapolres yang dicopot di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kepala daerah yang nekat, tak menutup kemungkinan akan berurusan dengan polisi. Lalu, bagaimana reaksi dan langkah HRS setelah melihat perlakuan seperti ini? Apakah akan menyerah dan berhenti ceramah? Atau tetap akan melanjutkan road show-nya memperbesar massa dan melakukan konsolidasi jama'ah untuk melaksanakan “revolusi akhlak”? Jika berhenti ceramah, atau ceramah via zoom, maka gaung HRS akan lambat laun memudar. Heroisme HRS akan melamah, lalu dilupakan rakyat. Disisi lain, jika HRS tetap melanjutkan road show-nya, boleh jadi ia akan menghadapi banyak persoalan. Terutama soal ijin acara dan tuduhan pelanggaran Covid-19. Tak menutup kemungkinan ada lagi kasus kriminal yang menjadi alasan HRS ditangkap dan dipenjara. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Mengapa Panglima TNI Uring-Uringan?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (16/11). Judul tulisan ini berkaitan dengan pernyataan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto di Cabang Denma Mabes TNI Jalan Merdeka Barat 14 November 2020 malam lalu. Pada pokoknya Panglima TNI menggaris bawahi soal pentingnya persatuan dan kesatuan dalam menjaga stabilitas nasional. Memang stabilitas nasional lagi bermasalah Pak Panglima? Kalau stabiltas nasional bermasalah, siapa yang menjadi pengganggunya? Pak Panglima tinggal tunjuk saja batang hidungnya. Pasti bakalan digebukin endiri ramai-ramai oleh rakyat. Namun bagaimana kalau yang mengganggu stabilitas nasionan itu, dengan sengaja membuat ekonomi terpuruk? Adakah TNI punya kemampuan untuk mendeteksi yang seperti ini? Apa yang sudah dilakukan Dimana peran deteksi intelijen TNI terhadap mereka yang menggagas dan menjadi inisiator Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Sekarang telah berubah lagi menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Mengapa Pak Panglima TNI diam ketika rakyat ribut soal RUU HIP dan RUU BPIP? Mengapa Panglima tidak bilang “ada yang mau mengganggu stabilitas nasional”? Menariknya, pernyataan Panglima ini disamping bukan disampaikan dalam acara HUT TNI atau acara resmi TNI lainnya. Disampaikan saat Panglima didampingi Pangkostrad Letjen Eko Margiyono, Danjen Kopassus Mayjen Mohamad Hasan, Dankormar Mayjen TNI (Mar.) Suhartono, dan Dan Korpaskhas Marsda Eris Widodo Yuliastono. Artinya didampingi para koman dan pasukan "tempur". Menyangkut tugas TNI untuk menjaga persatuan dan kesatuan itu pasti. Sudah dipahami oleh semua prajurit TNI. Tugas TNI untuk menjamin stabilitas nasional, itu adalah hal yang normatif saja. Tetapi adanya sinyalemen dan nada ancaman, tentu menimbulkan tanda tanya. Adakah ketegangan dan kegelisahan yang mengharuskan TNI "keluar" seperti ini? Dua hal kandungan kegelisahan yang mencolo. Pertama, sinyalemen adanya provokasi dan ambisi yang "dibungkus dengan berbagai identitas". Kedua, kalimat ancaman "ingat, siapa saja yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa akan berhadapan dengan TNI. Hidup TNI, hidup NKRI". Lho, memangnya ada yang mau mengganggu? Ko nggak ditangkap? Tidak jelas juga target ancaman tersebut Panglima itu. Atau apakah itu berhubungan dengan nyanyian 'kasidah' prajurit TNI yang melantunkan "ahlan habibana" yang ditangkap dan diborgol tersebut? Betapa bahayanya nyanyian provokasi itu. Atau ketakutan oleh kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS), yang sejak penyambutan hingga acara-acaranya disambut dengan massa yang membludak? Jika urusan "sedahsyat" itulah yang dimaksud dengan pernyataan Panglima Hadi, maka sebenarnya TNI tak perlu gertak-gertak atau unjuk kekuatan segala. Kan ada Kepolisian yang siap menangani gangguan "provokasi" dan "ambisi" yang mengganggu keamanan. Ataukah TNI sudah tak percaya pada Polisi lagi? Kalau begitu adanya, maka terlaluuuuu. Netizen pun berkomentar macam-macam. Diantaranya meng-aplause tekad TNI untuk menjaga NKRI. Tetapi menyindir pontang-pantingnya para prajurit dan Panglima menghadapi "provokasi" dan "ambisi" pengganggu dan pengacau di Papua. Ngurus dan hadapi pemberontak bersentaja di Papua, nggak beres-beres. Namun kalau mengahadapi sivil society garangnya minta ampun. Demikian juga menghadapi ancaman Tentara Cina yang masuk, dan bergerak dengan leluasi di wilayah Kepulauan Natuna. Rakyat menyaksiklan dan melihat sendiri kalau "minder" nya TNI yang prajuritnya hebat-hebat itu. Baru mulai nyaman dari kegelisahan atas "provokasi" dan "ambisi" Cina itu setelah datangnya tawaran bantuan dari Amerika Serikat. Pompeo sang penenang jiwa. Kalau begini, ketegangan negara tak perlu diperlihatkan. Aada banyak cara, termasuk operasi intelijen untuk mengantisipasi "provokasi" dan "ambisi" dimaksud. Atau memang sebenarnya negara benar-benar sudah gelisah dan tegang ? Wah kasihan kalau begitu. Sebaiknya Pak Hadi Tjahjanto tidak harus tampil beringas unjuk kumis demi NKRI. Janganlah hanya menakut-nakuti dan berhadapan dengan rakyat, Pak TNI. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Negeri Mirzani Yang Harus Dibenahi

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (15/11). Nikita Mirzani ramai dibicarakan gara-gara melecehkan Habib Rizieq Shihab (HRS) yang pulang dari Mekakah Saudi Arabia. Sementara Abu Janda berakting jingkrak-jingkrak menggendangi Nikita Mirzani. Nikita Mirzani seperti dilindungi Polisi karena reaksi Ustad At Thuwailibi. Nikita pernah ditangkap di Hotel Kempinsky dalam kasus prostitusi. Publik pun ikut mengamati. Namun tidak berujung sampai ke pengadilan. Entah dimana mandegnya kasus penangkapan Nikita yang terkait kasus protitusi tersebut. Entah mendeg di polisi atau di jaksa? Yang pasti kasusnya hilang begitu saja. Seperti ditelan bumi begitu saja. Berbagai video kini beredar membuka data untuk melengkapi perilaku pelecehan yang dilakukan oleh Nikita Mirzani. Mulia dari tampilan saat berfoto sexy, hingga memberi uang kepada tukang parkir yang berujung pada fose tak senonoh. Sepertinya telah hilang rasa malu pada dirinya. Berucap dan berbuat semaunya. Suka-sekanya saja. Negeri Mirzani hanya sebutan saja. Hanya untuk menggambarkan tentang situasi negeri yang juga telah kehilangan rasa malu. Uang telah mampu membeli hampir semua kehormatan. State dignity yang tergadaikan karena kebutuhan akan pembiayaan. Siapapun boleh memakai apa saja di negeri ini, asal membawa uang. Uang kini telah menjadi patokan, rujukan dan sandaran utama dari persoalan bangsa dan negeri ini. Soal kooptasi atau aneksasi itu hanya konsekuensi saja. Ada tiga indikator karakter dari kondisi ini. Pertama, terjebak pada kesenangan duniawi semata. Sukses itu ditentukan oleh materi. Nilai-nilai spiritual, ruhani, dan agama menjadi terpinggirkan. Anggapannya hal itu urusan nanti. Sukses saat ini yang lebih penting. Time is money, time for an infrastructure 'boost'. Kedua, negeri dengan kekuasaan yang berbagi. Bagi-bagi kekuasaan atas dasar balas jasa dan dukung-mendukung. Cukong harus mendapat bagian proyek. Relawan harus dapat Komisaris dan lain jabatan berduit. Partai Politik mendapat Menteri. Rangkulan koalisi juga dapat bancakan. Kekuasan bersama “gotong royong”. Satu lubang rame-rame. Ketiga, aparat terlihat berebut untuk foto selfie dengan Mirzani, cukup ironi. Tragisnya, aparat yang bernyanyi "habibana" dianggap melanggar disiplin dan diborgol Polisi Militer (Polmil). Tetapi sejumlah aparat yang berfoto bersama Nikita dengan ceria malah dibiarkan begitu saja. Mestinya sama terkena sanksi dong. Artinya, Negeri Mirzani adalah negeri ketidakadilan. Gagasan besar Revolusi Mental gagal total. Sementara “Revolusi Moral dan Revolusi Akhlak” kini adalah pilihan. Dua gagasan revolusi yang terahir ini ya bisa menjadi alternatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Meski demikian, masih butuh penjabaran dan konsistensi. Nikita Mirzani bebas untuk berbuat apa saja. Semaunya sesukanya saja. Terlihat dan terkesan kalau Nikita dilindungi. Menunjukkan cara penyelesaian masalah dengan memproduksi masalah baru. Masalah terus-menrus bertumpuk tanpa solusi yang jelas. Pemerintah bikin pusing sendiri, dan hasilnya rakyat pun semakin jengkel. Badut dan pelacur politik selalu bahagia berjoget-joget. Bu Megawati, benar kata banyak orang bahwa bukan Jakarta yang amburadul. Tetapi Negeri Mirzani pimpinan Pak Jokowi yang harus segera dibenahi. Disikat dan dicuci agar lebih baik dan bersih. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Wapres Ma’ruf Amin Siap Bertemu Habib

by Asyari Usman Jakarta FNN - Minggu (15/11). Menyusul kepulangan Habib, rekonsiliasi menjadi salah satu topik yang tampaknya mengganggu sejumlah petinggi. Kepala KSP Jenderal Moeldoko mengatakan tidak perlu ada rekonsiliasi antara penguasa dan Habib. Karena, menurut Pak Moel, tidak ada masalah antara pemerintah dengan Habib. Tetapi, KKSP mengatakan itu setelah Habib memaparkan syarat-syarat rekonsiliasi yang dianggap berat. Habib menuntut pembebasan para ulama, aktivis politik, aktivis buruh, mahasiswa dan pelajar yang ditahan penguasa. Namun, kelihatannya para penguasa akan menghindar dari tuntutan ini. Sebab, kemungkinan mereka merasa arogansinya menjadi runtuh. Para penguasa tidak mau terlihat lemah. Statement gaya Moeldoko itu adalah cara untuk mengelak yang ‘elegant’. Hanya saja, rakyat menilai pemerintah terkesan ingin terus memelihara kegaduhan. Karena, pernyataan Pak Moel tentang “tidak ada masalah dengan Habib” pastilah mengerutkan dahi semua orang. Kenapa enteng sekali mengatakan tidak ada masalah. Bukankah Habib terpaksa meninggalkan Indonesia selama hampir tiga tahun itu gara-gara dipersekusi oleh berbagai institusi pemerintah? Untunglah pemerintah itu bukan Moeldoko saja. Artinya, tidak semua orang di tubuh pemerintahan mengedepankan arogansi. Wapres Kiyai Ma’ruf Amin, misalnya, melepaskan sinyal bahwa beliau siap bertemu dengan Habib. Sungguh-sungguh isyarat dari Pak Kiyai itu bernilai “statesmanship”. Menunjukkan kenegarawanan beliau. Pak Kiyai tidak ikut-ikutan bersikap ‘rejectionist’. Beliau tidak menutup diri. Pak Kiyai menunjukkan kepahaman tentang “how to lead a country” (bagaimana memimpin sebuah negara). Beliau mengerti bahwa memimpin bukan menggiring dan menghardik. Pak Kiyai tahu bahwa memimpin adalah memberikan ruang. Itulah yang kelihatannya mendorong Kiyai Ma’ruf untuk membuka diri bertemu dengan Habib. Kalau mau diletakkan di dalam konteks politik, Pak Kiyai melihat Habib sebagai realitas dan entitas yang tidak mungkin diabaikan. Umat akan mengapresiasi Kiyai Ma’ruf atas kesediaan beliau bertemu dengan Habib. Orang-orang dekat Pak Kiyai mengatakan pertemuan antara kedua tokoh penting itu akan segera dilaksanakan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Benarkah Tahanan Politik Jumhur Positif Covid?

by Luqman Ibrahim Soemay Nabire FNN – Kamis (12/11). Tahanan politik dan akitivis Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Muhammad Jumhur Hidayat dikabarkan positif terpapar covid 19. Namun Jumhur kabarnya tidak sendirian yang positif terpapar virus laknat dan jahannam tersebut. Belasan tahanan lain yang ditahan Bareskrim juga dikabarkan mengalami hal yang sama. Tahanan politik dan aktivis KAMI yang lain seperti Syahganda Nainggolan, Anton Permana dan Kingkin Anida dikawatirkan berpotensi untuk tertular covid 19 juga. Meskipun demikian, sampai sekarang belom ada pernyataan resmi dari aparat kepolisian. Baik itu dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) maupun Devisi Hubungan Masyarakat Polri terkait informasi yang hari ini beredar WhatsAap (WA) tersebut. Sebelumnya dikabarkan tiga tersangka di Bareskrim positif terpapar virus covis 19. Dua diantaranya, yaitu Anita Kolopaking dan Hendri Rusli yang terkait kasus suap Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Sementara satu lagi adalah Darmansyah, yang terkait dengan kasus Batubara. Tersangka Hendri Rusli telah meninggal dunia karena positif terjangkit covid 19. Belum lama ini telah dilakukan test sweeb terhadap hampir seluruh tahanan yang ada di rumah tahanan Bareskrim Polri. Jumlahnya sekitar 150-an orang tahanan. Dari jumlah tersebut, dikabarkan 18 tahanan positif terpapar covid 19. Satu diantara tahanan yang positif itu adalah tahanan politik politik dan aktivis KAMI Muhammad Jumhur Hidayat. Kini ke 18 tahanan Bareskrim yang postitif terpapar covid 19 itu diisolasi di tiga kamar tahanan. Masing-masing kamar berisi 6 orang tahanan yang posotif. Namun cara ini dipastikan tidak menyelesaikan masalah. Bahkan sangat mungkin menambah masalah baru. Karena berkumpulnya banyak tahanan yang positif terpapar covid 19 lebih dalam satu kamar. Prinsip dari isolasi adalah berkurangnya bersentuhan secara fisik dengan orang lain. Makanya tenaga medis yang bertugas marawat dan melayani pasien positif covid 19, selalu diharuskan untuk melindungi diri. Misalnya, dengan menggunakan pakaian Alat Pelindung Diri (APD). Tujuannya untuk memotong dan memutus mata rantai penularan virus covid 19. Bila tahanan 6 orang digabungkan dalam satu kamar seperti sekarang, hampir dipastikan penyebarannya semakin menjadi-jadi. Bukannya semakin berkurang. Bahkan sangat berpotensi untuk menyebar ke mereka yang potensial selalu bersentuhan dengan para tahahan tersebut. Apakah itu para petugas di tahanan, para penyidik maupun yang lain. Langkah yang paling mungkin dilakukan Bareskrim Polri adalah membatarkan penahanan mereka yang telah dinyatakan positif terpapar covid 19. Supaya para tahanan itu segera dirawat dan diisolasi di tempat-tempat atau rumah sakit yang telah disediakan negara. Bisa dirawat di rumah sakit wisma atletik Kamayoran atau di Rumah Sakit Sulianti Suroso. Bareskrim Polri sebagai institusi negara yang menahan ke 18 tahanan yang positif covid 19 itu, maka Bareskrim harus beratanggung jawab terhadap peroalan yang sekarang menimpa mereka. Termasuk upaya-upaya untuk menyembuhkan mereka dari covid 19. Sebab sebelum ditahan, mereka dipastikan tidak terjangkit covid 19. Mereka baru terjangkit seteleh mendekam di tahanan Bareskrim Polri. Kondisi yang hari ini terjadi di tananan Bareskrim Polri ini, bukan saja telah membuat para tahanan lain yang negatif covid 19 merasa tidak nyaman. Bahkan keluarga dari tahanan yang tak terjangkit juga selalu merasa tidak nyaman dengan anggota keluraganya yang ditahan. Keluarga selalu was-was terhadap kondisi tersebut. Apalagi jumlah yang positif terjangkit sangat itu banyak. Bareskrim bisa saja dicatat sebagai institusi penegak hukum yang menelantarkan para tahanannya. Bahkan dapat dikatargorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Kejadian ini tentu menjadi catatan buruk terhadap satu satu intitusi penagak hukum di Indonesia. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Bravo Jenderal Gatot

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (12/11). Akhirnya Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo tidak datang menghadiri penganugerahan Bintang Mahaputera oleh Presiden Republik Indonesia di Istana Negara. Sebagai Pemerintah tentu sudah memenuhi kewajibannya. Sementara di lain pihak, Pak Gatot juga memiliki prinsip kuat untuk menolaknya. Terlepas dari narasi surat yang dikirim Pak Gatot kepada Presiden Jokowi, tetapi sikap untuk tidak menghadiri dalam situasi keprihatinan kesehatan dan politik seperti ini cukup memberi pesan yang aspiratif. Publik bisa menilai konten pesan tersebut dari lima aspek. Pertama, dengan menolak hadir pada penganugerahan yang bukan tanggal 17 Agustus adalah kritik atas pengubahan budaya yang selama ini berlaku. Hari Pahlawan sebaiknya khusus untuk penghormatan dan penghargaan kepada para pahlawan. Waktu yang spesial untuk para pahlawan. Kedua, Bintang Mahaputera untuk purna tugas setingkat Menteri tidak baik dipecah-pecah. Sebagian diberikan pada Hari Pahlawan. Sebab dengan protokol kesehatan semuanya dapat diberikan pada tanggal 17 Agustus sebagaimana biasanya. Seperti yang diberikan kepada mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Ketiga, sikap solidaritas seorang prajurit yang luar biasa. Tidak mau "makan tulang kawan". Begitu juga dengan solidaritas terhadap teman-teman seperjuangan di Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang sedang menghadapi kesulitan berupa penahanan di tahanan Bareskrim. Tidak bagus menerima penghargaan dari pemerintah di tengah "korps" menghadapi kesulitan. Harus senasib sepenanggungan. Apalagi pada pada waktu yang bersamaan, teman-teman seperjuanga juga ditahan oleh pemerintah hanya karena berbeda pendapat dengan pemerintah. Padahal substansi yang dijadikan alasan bagi pemerintah menanahan teman-teman KAMI nyata-nyata terjadi. Yaitu tata kelola negara yang kacau-balau dan amburadul. Hanya berdasarkan pendekataan kekuasaan sematar. Akibatnya, negara terancam keluar dari tujuan bernegara seperimana yang diamantkan oleh Pembukaan UUD 1945. Keempat, penunjukan menjadi salah seorang Presidium KAMI adalah amanah untuk memimpin upaya-upaya menyelamatkan bangsa. KAMI menilai bangsa dapat tidak selamat di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Tidak baik untuk menerima kalungan penghargaan dari Presiden yang nyata-nyata mesti diluruskan berbagai kebijakannya. Kelima, Pak Gatot Nurmantyo itu adalah contoh pemimpin bangsa dalam arti yang sebenarnya. Bukan pemimpin yang abal-abal, odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-belekang. Pemimpin yang diharapkan konsisten berjuang terus bersama dengan rakyat. Dalam situasi normal, maka 2024 adalah peluang untuk amanah kepemimpinan nasional. Dalam situasi darurat, dengan tetap bersama rakyat, maka menjadi lebih kuat dan solid. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Apa saja yang terjadi ke depan tidak ada yang bisa memprediksi. Yang terpenting adalah selalu bersama-sama dengan rakyat. Pak Gatot sebaiknya jangan mau untuk dijauhkan dengan denyut nadi rakyat seincipun. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) tidak jelas menyatakan bahwa penghargaan telah diterima. Sayangnya, suara Pemerintah lain menyatakan lain. Penghargaan Bintang Mahaputra yang disediakan untuk Pak Gatot justru kembali ke negara. Apapun itu, Pak Gatot Nurmantyo telah menunjukkan kualitas dan sikap yang sangat konsisten. Ciri dari pemimpin yang punya karakter. Pemimpinan yang sangat dirindukan oleh rakyat sekarang, di tengah krisisi pemimpin pandai menjilat untuk mendapat jabatan dan penghargaan. Sikap Pak Gatot merupakan sesuatu yang patut untuk diapresiasi. Sudah sesuai dengan apa yang memang sedang diharapkan oleh rakyat. Bravo, Pak Jenderal Gatot! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.