NASIONAL
Tanda Tangan Presiden Pertaruhkan Nasib 270 Juta Rakyat
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (04/11). Fatal dan konyol bangat. Begitulah persepsi publik terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Ada banyak masalah terkait materi dan proses. Disaat mata seluruh rakyat Indonesia memperhatikan, dan sebagian besar melakukan protes besar-besaran terhadap UU Ciptaker ini, presiden menandatangani naskah yang salah. Dimana letak kesalahannya? Perhatikan dengan cermat pasal 5 dan 6 UU Ciptaker ini. Pasal 5. Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait. (Catatan: "Tidak ada masalah"). Pasal 6. Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi a. penerapan perizinan berusaha berbasis resiko, b. penyederhanaaan persyaratan dasar perizinan berusaha, c. penyederhanaan perizinan berusaha sektor, dan d. Penyederhanaan persyaratan investasi. (Catatan: "Bermasalah") Perhatikan baik-baik bunyi pasal 6 yang merujuk pasal 5 ayat (1) huruf a, b, c. Padahal, di pasal 5 tidak ada ayat (1) huruf a, b, c. Ini fatal. Kalau ini dianggap sekedar salah ketik, kesalahan administrasi, keliru! Ini undang-undang boss. Nasib anak bangsa, organisasi, korporasi, dan negeri ini ada di undang-undang. Salah titik atau koma saja, bisa sangat bermasalah di tingkat penafsiran, implementasi, tuntutan jaksa dan keputusan hukuman oleh hakim nantinya. Apalagi salah merujuk. Yang lebih fatal lagi, kesalahan ini terjadi saat UU Ciptaker sedang diprotes, didemo, digugat. UU yang mendapat perhatian hampir seluruh rakyat Indonesia. Ini gegebah, ceroboh dan seperti main-main saja dalam mengurus negara. Bagaimana mungkin nasib bangsa nggak amburadul jika cara mengurus bangsa terkesan asal-asalan dan amatiran seperti ini. Perlu juga ditelusuri, siapa yang bertanggung jawab atas kesalahan ini. Apakah kesalahan ini hanya ada pada pihak istana yang tidak cermat, atau nggak sempat membaca UU Ciptaker ini? Pasti tidak. Sebab, sebelum sampai ke meja presiden, naskah UU masuk dulu ke Sekretariat Negera (Setneg). Rakyat nanya, Setneg yang tidak cermat atau tidak baca? Begini amatirkah Setneg yang bertugas menjadi penjaga benteng administrasi negara Indonesia? Rakyat jadi bertanya lagi, ini kesalahan yang pertama kali, atau apakah seperti ini proses yang selama ini terjadi bertahun-tahun di istana? Setneg ceroboh, presiden tidak cermat. Semuanya mengrus negara dengan cara-cara yang sangat amatiran. Atau karena terlalu bersemangat dan hanya fokus pada pasal-pasal tertentu yang dianggap prioritas bagi istana dan DPR saja? Lalu melupakan atau abai terhadap pasal-pasal lain? Akibatnya menimbulkan kesalahan yang fatal. Kalau orang terlalu fokus, biasanya telinga nggak terlalu peka dengan suara di sekelilingnya. Wajar saja kalau demo nggak kedengeran ke istana. Perlu ditelusuri, kesalahan ini hanya ada di Setneg dan istana? Atau memang sudah ada sejak di Badan Legislasi (Baleg) DPR? Wajar jika rakyat menaruh curiga. Mengingat banyak anggota fraksi nggak baca naskah UU-nya saat sidang pengesahan. Bahkan ada banyak versi terkait jumlah halaman. Jika kesalahan terjadi sejak dari baleg DPR, maka bisa dipahami kalau proses legislasi di negeri ini memang sangat bermasalah. Belum lagi soal jumlah halaman. Dari baleg DPR berjumlah 812 halaman. Yang diteken presiden 1.187 halaman. Apakah memang karena ukuran kertas atau fontnya yang berbeda? Atau redaksinya memang berbeda? Nah, DPR dan pihak istana tidak memberi penjelasan secara rinci soal ini. Bagaimana mau menjelaskan, kalau tidak membaca, atau baca tapi nggak cermat? Kesalahan ini tak boleh terulang lagi. Jika UU keliru dan presiden salah tanda tangan, maka nasib 270 juta rakyat Indonesia dipertaruhkan. Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah sebagai bentuk tanggung jawabnya? Pertama, minta maaf, dan berikan penjelasan yang jujur atas kesalahan ini. Tak perlu malu-malu karena menjadi penguasa. Rakyat pasti bisa memaafkan. Meski butuh waktu untuk memaafkan. Kedua, keluarkan Perppu untuk membatalkan UU No 11/2020 tentang Ciptaker ini. UU terkait Ciptaker bisa diusulkan kembali jika pertama, situasi sudah reda. Kedua, tidak lagi mengulangi kesalahan formil maupun materiil. Ketiga, libatkan semua pihak yang berkompeten dan terdampak jika UU Ciptaker disahkan. Lebih baik ditunda dari pada berpotensi mamperbesar masalah dan risiko. Toh negeri ini tidak akan collaps dan bubar jika tidak ada UU Ciptaker. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Fenomena Prof. DR. M. Din Syamsuddin
by Muhammad Chirzin Demi waktu sepanjang sejarah. Sungguh manusia benar-benar rugi. Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan kebaikan. Saling mengingatkan pada kebenaran. Saling mengingatkan pada kesabaran.(QS Al-'Ashr) Yogyakarta FNN – Selasa (03/11). Pak Din, demikian sapaan masyarakat kepada Guru Besar Politik Islam Global Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univresitas Islam Negeri (FISIP UIN) Jakarta ini. Pak Din muda yang lahir pada 31 Agustus 1958 ini telah aktif berkecimpung di organisasi. Ketika masih di kampung halaman Sumbawa, dia menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nahdlotul Ulama. Merantau ke pulau Jawa Pak Din nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur, tempat Dr (HC) KH Idham Kholid, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Dr (HC) KH Hasyim Muzadi, Cak Nun, Dr. Hidayat Nur Wahid, Kiai Lukman Hakim Saifuddin, dan Dr. Yudi Latif menuntut ilmu. Pak Din kakak kelas penulis tiga tahun. Wajar bila alumni Gontor ada yang menjadi Ketua PB NU, Ketua PP Muhammadiyah. Ada juga Ketua Umum Partai Politik berbasis Islam, maupun menjadi Menteri Agama dan tokoh masyarakat. Karena mereka dididik untuk menjadi perekat umat, dengan semboyan mau dipimpin dan siap memimpin. Disamping itu, Pondok Gontor memiliki semboyan, "di atas dan untuk semua golongan". Pondok Gontor tidak berafiliasi pada salah satu organisasi sosial keagamaan tertentu. Prof. Din Syamsuddin tercatat pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah selama dua periode setelah periode M. Habib Chirzin, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia(MUI) Pusat, sebelum periode Prof. Dr. (HC) Ma'ruf Amin. Prof. M. Din Syamsuddin adalah konseptor dari Negara Pancasila sebagai “Darul Ahdi was Syahadah” (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Konsep tersebut disampaikan Pak Din pada Pidato Kebangsaan 18 Agustus 2011 di PP Muhammadiyah, dan Pidato 1 Juni 2012 di MPR. Prof. M. Din Syamsuddin adalah penggagas Khilafah Peradaban. Bukan Khilafah Politik, dalam konteks keislaman, kekinian, dan keindonesiaan. Pak Din Syamsuddin menjadi Ketua Dewan Penasihat MUI Pusat sejak 2015, dan Ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC) sejak 2007. Pak Din juga aktif di berbagai organisasi tingkat internasional, antara lain sebagai Ketua World Peace Forum (2006-sekarang), Co-President of World Conference of Religions for Peace (WCRP) USA (2006-sekarang), President Moderator of Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) Japan (2007-sekarang), dan Advisory Forum of King Abdul Aziz Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue (KACIID) Austria (2015-sekarang). Bersama Jenderal Gatot Nurmantyo dan Prof. Dr. Rochmat Wahab, Pak Din menjadi Trio Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Bersama mereka para deklarator terdiri atas tokoh-tokoh nasonal yang berasal dari berbagai latar belakang profesi, pendidikan, sosial, politik, maupun keagamaan yang mempunyai kepentingan dan kepedulian sama, yaitu menyelamatkan Indonesia dengan meluruskan Kiblat Bangsa. Masyarakat yang peduli telah mendeklarasikan KAMI di berbagai propinsi, kabupaten maupun kota, bahkan di Amerika dan Australia. Atas gerak dan langkah KAMI sebagai gerakan moral, berbagai pihak merasa tidak nyaman dan terganggu kepentingannya. Terbukti, usaha deklarasi KAMI di beberapa daerah dirintangi dan digagalkan. Deklarasi KAMI terakhir yang dibubarkan oleh aparat keamanan adalah di Jambi (Jum'at, 30/10/2020) setelah Prof. Dr. Rchmat Wahab menyampaikan orasi. Jenderal Gatot batal menyampaikan orasi sebagai salah seorang dari Tiga Serangkai Presidium KAMI, sekalipun beliau telah tiba di lokasi. KAMI juga dituduh sebagai gerakan politik berbaju moralitas yang berkepentingan dengan jabatan dan kekuasaan. Siapa pun yang menyimak naskah piagam deklarasi KAMI dengan saksama, tidak akan menemukan orientasi politik, jabatan, dan kekuasaan yang dituduhkan. Atas segala tuduhan miring tersebut, Pak Din tak segan-segan menyatakan pandangannya secara tegas dan lugas kepada siapa saja, termasuk kepada Jenderal Moeldoko. Belakangan beredar info di media sosial bahwa Pak Din dilaporkan oleh pihak yang mengatasnamakan Alumni ITB kepada yang berwajib dengan tuduhan melakukan enam pelanggaran. Masyarakat luas patut bertanya. Pertama, mengapa mereka segelintir Alumni ITB begitu getol ingin menggusur Prof. M. Din Syamsuddin? Setelah gagal menggusurnya dari keanggotaan Majelis Wali Amanat (MWA) ITB, karena ditolak mayoritas alumni lain, mereka kini melaporkan Pak Din ke BKN dan KASN dengan tuduhan melanggar Kode Etik Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka menamakan diri Gerakan Anti Radikalisme, tetapi sikapnya justru radikal dan ekstrem (melampaui batas). Kedua, tentang keanggotaannya di MWA ITB. Sebenarnya sejak Ramadhan/Mei 2020 lalu Prof. M. Din Syamsuddin sudah mengembalikan amanat ke Senat Akademi ITB yang mengundang dan memilihnya menjadi Anggota MWA. Baginya, di tengah jabatan yang banyak di tingkat nasional maupun internasional, jabatan di MWA ITB dianggap mulia, namun kalau tidak efektif dan kondusif, lebih baik dikembalikan kepada pemberi amanat, yakni Senat Akademik ITB. Ketiga, kalau sekarang kaum radikal itu mau menggusurnya dari status ASN (Prof. Din adalah Dosen/Guru Besar ASN di UIN Jakarta), maka jika dipecat Prof. Din tak akan rugi dan kariernya pun tak akan berhenti. Banyak universitas di luar negeri yang mau menerimanya sebagai Visiting Professor. Bahkan 170-an Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia insya Allah siap menampungnya. Tetapi jelas, UIN Jakarta akan kehilangan seorang Guru Besar satu-satunya di Prodi Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta. Keempat, apa yang dicari oleh kaum radikal itu? Apakah mereka membawa kepentingan rejim yang merasa terganggu dengan kritisisme Prof. Din selama ini? Ataukah ada kepentingan yang lain dari pertarungan ideologis di ITB antara yang pro kepentingan Islam dan kelompok yang anti? Demokrasi tentu saja membutuhkan dialog. Pemerintah memerlukan oposisi sebagai pengontrol aksi dan tata kelola pemerintahan yang baik dan benar. Demokrasi juga memberikan ruang ekspresi dan kebebasan akademik yang bertanggung jawab. Penulis adalah Alumni Pondok Modern Gontor.
Partai Ummat Untuk Siapa?
by Agung Mozin Jakarta FNN – Selasa (03/11). Selama pendemi covid-19 ini, banyak waktu luas yang digunakan untuk membaca kembali buku-buku lama yang sudah mulai kusam termakan waktu. Diantaranya dari buku kumpulan tulisan Mohamad Sobari sebelum tahun 1998 yang mengkritik kekuasaan orde baru, menarik perhatian saya. Kebetulan saya sepakat dengan beberapa pemikirannya Mohmad Sobari, karena mempunyai relevansi dengan kehadiran Partai Ummat saat ini yang dibidai oleh Amien Rais. Bahwa gagasan pendirian Partai Ummat mengembangkan rumusan politik “Islam Rahmatan Lil Alamin” adalah sebutan lain dari politik berwawasan kemanusiaan. Mengapa demikian, karena semaraknya berbagai tindakan kekerasan belakangan ini. Pemaksaan hak-hak politik dan ekonomi. Kehidupan budaya di kalangan rakyat, dan kerusuhan-kerusuhan massal sejak menjelang pemilu dan hingga sesudah pemilu berlangsung-sudah kita pahami bersama. Kondisi ini sama seperti yang terjadi ketika rezim orde baru. Yang memimpin dengan tangan besi. Kita akhirnya mungkin tiba pada kesepakatan, bahwa semua itu merupakan manifestasi dari kebangkrutan struktural kita. Khususnya karena tidak berfungsinya hukum sebagai mekanisme terbaik untuk mengatur tata kehidupan sosial dan politik kita. Pertanyaannya, kepada siapakah gagasan Islam Rahmatan Lil Alamin ini diperuntukan? Apakah ditujukan kepada mereka yang memegang kendali dan menentukan merah dan hijaunya seluruh bangsa dan negara berkode +62 ini? .......Tentu jawabannya tidak mungkin. Karena dianggap lahirnya Partai Ummat sebagai sikap kritis terhadap penyelenggara negara yang telah memilih jalan politik sangat liberal, dan menjauhkan ummat dari nilai-nilai langitan Malahan saat ini, sikap kritis langsung dicurigai sebagai gerakan radikal. Sikap kritis juga dianggap sebagai intoleran yang tidak sesuai dengan format Pancasila yang diklaim secara sepihak. Sikap rezim antikritik akan melembaga dalam politik kita. Sehingga tanpa kita sadari diam-diam politk kita semakin menjauh dan tertutup dari jangkauan rakyat. Rakyat dijauhkan dari proses pengambilan keputusan politik penting. Lembaga politik di parlemen yang semestinya menjadi perwakilan suara rakyat telah berubah menjadi tukang stempel maumaunya rezim. Parlemen kini telah terbentuk dinding tebal yang memisahkan rakyat dengan pemerintah atau rezim. Jika begini persoalannya, maka kita sudah bisa menarik sebuah kesimpulan awal bahwa gagasan untuk mendirikan Partai Ummat berasaskan Islam Rahmatan Lil Alamin bukan barang yang mereka perlukan sebagai balance of power. Bahkan mungkin saja yang tidak diperlukan, karena di mata mereka, hanya untuk menghambat dan mengganggu mereka. Seindah dan sebagus apapun konsep anti kezhaliman, dan menegakan keadilan yang datangnya dari langit sekalipun, akan menjadi barang aneh dan beban untuk penguasa. Kebenaran apapun yang kita sampaikan untuk keselamatan ummat manusia di negeri zone +62 ini, sungguh sangat tidak menarik mereka mata dan telingan yang berkuasa. Apakah kemudian kita kecewa dan pesimis? Atau kehilangan gairah untuk mengembangkan Partai Ummat dengan gerakan politik yang berwawasan kemanusian? Yang secara lugas dicantumkan sebagai azas Partai Ummat adalah Islam Rahmatan Lil Alimin? Jawabanya tentu tidak, karena gagasan Islam Rahmatan Lil Alamin lebih relavan dan sangat dibutuhkan rakyat saat ini. Islam Rahmatan Lil Alimin dibutuhkan sebagai tata perpolitikan yang memberikan pilihan lain atas tata kelola politik yang sangat liberal dan kapitalistik alias. Tata kelola yang menghalalkan segala cara. Artinya rakyat lebih terpanggil memberikan sumbangan dalam pengaturan ulang tata perpolitikan dit ingkat bawah. Katakan di desa-desa atau diruang-ruang terbatas diluar teropong radar kekuasaan yang arogan Inilah mungkin makna membangun politik berazaskan Islam Rahmatan Lil Alamin. Karena real politik kita telah ditinggalkan oleh nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran. Politik kita berjalan tanpa landasan, pijakan. Pelindungnya juga mungkin rapuh. Hanya pada tingkat individu atau khususnya di lapisan bawah, nilai-nilai dari langitan masih dipertahankan hidup, sehingga kemanusiaan, keadilan dan kebenaran tadi masih memberi energi budaya yang diperlukan Partai Ummat. Partai Ummat dengan azas Islam Rahamatan Lil Alamin sebenarnya sebagai upaya penyelamatan struktur bawah anak bangsa. Sekaligus wajud pemihakan lebih kuat kepada rakyat, dan bukan pada pemerintah yang telah membangun tembok tebal yang dijaga aparat yang buta mata dan buta hatinya dari jeritan ummatnya. Politik kita sekarang sangat keras, dan galak. Karena dibangun diatas logika kekuasaan. Kekuatan akan cenderung beroperasi demi kekuasaan itu sendiri, sama seperti status quo kita saat itu. Apalagi jika pemegangngnya makin lama makin takut kehilangan kekuasaan. Dalam situasi seperti itu, partai-partai politik yang diharapkan memperjuangkan politik yang adil, jujur dan berwawasan kemanusiaan tak mungkin tampil terbuka. Tidak juga memihak kepada kebutuhan rakyat. Malah sebaliknya, lebih tunduk dan melayani selera kekuasaan semata. Namun kita tidak boleh lupa. Saya pastikan bahwa kecenderungan macam itu akan otomatis lenyap bersama dengan terjadinya pergantian kekuasaan. Dalam jangka pendek, terutama di masa hangat-hangatnya semangat kebersamaan ummat melakukan perubahan. Jika kekuasaan abai dan lalai, maka makin lama kita tergiring dalam putaran yang sama. Ketika penguasa makin mapan, kita bakal dipaksa menjadi orang yang bersifat konservatif, anti perubahan dan gandrung kemapanan. Apalagi bila kemapanan itu lebih membenarkan rasa takut kita kepada kekerasan negara. Kehadiran Partai Ummat dapat dijadikan sebagai momentum politik kebangkitan rakyat. Didorong oleh segala kekuatan orang-orang biasa. Dari pojok-pojok perkampungan dan desa-desa yang jauh di sana. Mereka juga sebagian besar orang-orang kota yang merindukan Islam Rahmatan Lil Alimin tanpa diskriminasi kepada etnis dan agama apapun sebagai etalase politik baru. Kanal politik yang bisa menghadirkan pemerintah yang adil, tanpa kezhaliman. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kemasyarakatan.
Bu Mega Tak Perlu Gelisah
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Senin (02/100. Membela diri dengan membantah dirinya Partai Komunis Indonesia (PKI), kemudian melabrak milenial yang berdemo, lalu menuduh pendemo sebagai pembakar halte adalah berlebihan. Kasihan juga mbak Mega. Selalu saja sewot dan marah-marah. PDIP adalah partai penguasa tetapi seperti oposisi sikap politiknya. Lalu sebenarnya ada masalah serius apa? Empat alasan mengapa Megawati dan PDIP perlu disorot. Pertama, tuduhan PKI dan bantahan muncul saat Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat Michael Pompeo datang ke Indonesia. Apalagi Pompeo mengingatkan tentang peran Partai Komunis Cina (PKC) di Indonesia serta bahayanya. Mega terlihat bersinggunggan dengan tuduhan PKI wajar, karena PDIP memiliki kader elemen kiri sebagaimana terindikasi dan pengakuan kader PDIP Arteria Dahlan. Masih banyak lagi seperti Ribka Tjiptaning yang terang-terangan menyatakan bangga menjadi anak PKI. Kedua, kuatnya nuansa Orde Lama dalam rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Wajar pula karena RUU HIP diinisiasi oleh kader-kader PDIP. Sebagaimana publik berargumen dalam berbagai aksinya telah mengaitkan isi RUU ini dengan faham komunisme. Meskipun telah berganti nama menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasaila (BPIP). Namun posisi RUU HIP kini tetap mengambang. Memperpanjang tuduhan tersebut. Jadi tidak perlu semot-semotan. Ini hanya reaksi terhadap siapa buarat apa? Lalu akan mendapatkan apa? Ketiga, mempertanyakan prestasi milenial. Dengan menuduh milenial sama saja dengan menohok siswa atau mahasiswa yang berunjuk rasa. Pasti ada serangan balik dengan mempertanyakan adakah prestasi Megawati selama jadi Presiden maupun Ketum partai "wong cilik"? Biasa-biasa saja tuh. Malah nyata-nyata miskin prestasi, jika tidak ingin disebut dengan wanprestasi. Keempat bakar-bakar halte. Sudah viral kalau yang membakar halte itu bukan pengunjuk rasa, baik buruh ataupun mahasiswa. Tetapi gerombolan peliharaan. Nah mereka itu peliharaan siapa? Disitulah masalahnya. PDIP harus teriak agar segara diusut tuntas siapa saja aktor dibalik gerombolan para pemfitnah jahat tersebut. Aksi penyelundupan aksi harus dihentikan oleh seruan Megawati sebagai tokoh yang berpengaruh. Kini Megawati gelisah, apakah karena Jokowi sudah tak bisa menjadi petugas partai lagi? Utaukah karena PDIP yang terus diserang atau dibully, sementara Jokowi hanya bisa diam saja? Nampaknya tidak ada pembelaan sama sekali dari Jokowi. Ada tendensi munculnya partai atau kekuatan lain yang lebih mampu mengendalikan Jokowi ketimbang Megawati sebagai komandan dari "the ruling party". Mudah-mudahan saja ini bukan yang menjadi penyebab utana Megawati marah-marah. Ujungnya memang persoalan Pilpres 2024 yang memang mulai menggelisahkan. Disamping popularitas Anies dan Gatot terus meningkat tidak terbendung, sementara di internal PDIP Puan Maharani atau Budi Gunawan yang digadang-gadang, ternyata sulit merangkak naik. Kejutan justru nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang lebih berkibar. Mega memang sedang dirundung malang. Tiga hal yang dapat dilakukan untuk memulihkan dan merekonstruksi . Pertama bersihkan PDIP dari kader atau anasir kiri yang sudah terbaca publik. Kedua revisi platform kekiri-kirian dari perjuangan partai yang tertuang dalam AD/ART dan prinsip perjuangan lainnya. Ketiga, jangan tempatkan kelompok agama sebagai musuh. Sebab disamping kontra-produktif, juga patut disadari bahwa bangsa Indonesia adalah masyarakat yang relijius dan anti sekularisme. Selamat merenung, tak perlu tergantung pada daya dukung otoritas Presiden yang fakta politiknya kini berada dalam keadaan yang tidak terlalu ajeg. Tingkat kepercayaan yang semakin merosot. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
“Diktator” Konstitusional?
by Zainal Bintang Jakarta FNN – Ahad (01/11). Tahun pertama pemerintahan jilid kedua Jokowi yang bersama-Maruf Amin dapat dikatakan terperangkap. Masuk ke dalam dua masalah yang sangat serius. Pertama, kasus Pandemi 19 yang melumpuhkan roda ekonomi dan berdampak kepada ekonomi masyarakat sejak sembilan bulan yang lalu, dan sampai sekarang masih sempoyongan. Kedua, adanya penolakan besar-besaran kalangan buruh, mahasiswa yang melibatkan pelajar dan masyarakat pada umumnya, terhadap persetujuan UU Cipta Kerja (Cilaka) dengan format Omnibus, di mana 76 UU eksisting diperas menjadi satu UU yang banyak diistilahkan sebagai UU sapujagat… Upaya pemerintah mengendalikan unjuk rasa penentang UU Cipta Kerja dianggap oleh banyak kalangan berlebihan. Bahkan disebut represif. Kebebasan berpendapat masyarakat yang disediakan konstitusi malah dibungkam dengan tindakan kekerasan aparat kepolisian di lapangan. Kenyataan ini mencuatkan fenomena kontroversi diantara ekspresi dengan represi. Konflik terbuka masyarakat sipil dengan negara telah mendorong dilakukan diskursus untuk menyoal kembali kualitas demokrasi. Muncul penilaian demokrasi mengalami kemunduran (democratic backsliding). Sebator Jimly Asshidiqie menyebut tindakan pemerintah di dalam mengelola demokrasi menunjukkan gejala “diktator” konstitusional. “Berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah bersama dengan DPR menunjukkan gejala “diktator” konstitusional. Walaupun ada proses demokrasi formal, proses pembuatan kebijakan dilakukan tanpa melibatkan publik”, kata pakar hukum tata negara itu saat berbicara di dalam salah satu acara diskusi. Jimly menunjuk 5 UU yang dibentuk pemerintahan Presiden Jokowi seperti UU Mahkamah Konsitusi, UU KPK, UU Minerba, UU Penanganan Covid-19, dan Omnibus Law UU Cipta Kerja. “Ada situasi dimana proses demokrasi dibajak selama era pandemi ini. Perundang-undangan dibuat tanpa pelibatan publik. Yang penting mengikuti syarat formal, dimana hal terpenting adalah DPR sudah menyetujui. Masyarakat pun saat ini terbelah menjadi dua kelompok yaitu “haters” dan “lovers”. Ini bisa merusak demokrasi ke depan, ujarnya. Anehnya, Presiden Jokowi sadar mengakui persetujuan DPR atas RUU Cipta Kerja menjadi UU pada 5 Oktober 2020 lalu tidak memuaskan semua pihak. Jokowi pun meminta kepada mereka yang menolak isi UU Cipta Kerja untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Jika masih ada ketidakpuasan terhadap UU Cipta Kerja, silakan mengajukan uji materi atau Judicial Review (JR) melalui Mahkamah Konstitusi". Menurut Jokowi pemerintah meyakini UU Cipta Kerja adalah solusi Indonesia dalam masalah kebutuhan penyerapan tenaga kerja. Intensitas langkah Presiden mendorong kasus UU Cipta Kerja, maupun atas beberapa UU sebelumnya agar digugat melalui jalur konstitusional di MK, merupakan gejala politik baru di dalam kehidupan konstitusionalisasi atau juristocracy menjadi hal yang menarik untuk ditelisik. Sebagai inisiator UU, pemerintah selaku eksekutif kelihatannya lebih memilih menghindar berhadapan dengan publik (masyarakat sipil) penolak UU itu. Sebagai eksekutif, pemerintah sejak sejak awal memilih mendorong legislatif (DPR) tampil berhadapan di front terdepan pertama dengan publik. Setelahnya, melemparnya lagi ke pangkuan yudikatif (MK). Pihak eksekutif cenderung maunya terima bersih alias dalam keadaan welldone atau siap saji. Nampaknya telah terjadi disharmonisasi mekanisme trias politica sesuai teori Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan yang tercederai dan berjalan pincang. Karena nyaris seluruh beban perubahan kebijakan politik melalui jalur konstitusionalisasi lebih banyak ada pada legislatif dan yudikatif. Ilmuwan politik Kanada dari Universitas Toronto, Ran Hirschl dalam bukunya “Towards Juristocracy” : “The Origin Consequences of The New Constitutionalisme”, mengatakan “Konstitusionalisme Baru” di negara-negara dan entitas supranasional di seluruh dunia, reformasi konstitusional telah mengalihkan kekuasaan dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya dari lembaga perwakilan ke lembaga peradilan. Konstitusionalisasi hak dan pembentukan peninjauan kembali secara luas diyakini memiliki asal-muasal yang baik dan progresif. Juga konsekuensi penyebaran kekuasaan yang signifikan, yang disebut "Menuju Juristokrasi" menantang kebijaksanaan konvensional ini. Berdasarkan penyelidikan komparatif yang komprehensif tentang asal-usul politik dan konsekuensi yurisprudensial dari revolusi konstitusional baru-baru ini di Kanada, Israel, Selandia Baru, dan Afrika Selatan, bukunya itu (2004), menunjukkan bahwa tren ke arah konstitusionalisasi hampir tidak didorong oleh komitmen tulus politisi terhadap demokrasi, sosial, keadilan, atau hak universal. Profesor ilmu politik dan hukum dalam bukunya itu, menunjukkan bahwa meskipun konstitusionalisasi hak dapat mendorong keadilan prosedural dan kebebasan negatif, hal itu tidak banyak membantu untuk memajukan gagasan progresif tentang keadilan distributif. Pada saat yang sama, pemberdayaan peradilan melalui konstitusionalisasi berdampak transformatif pada wacana politik. Oleh karena itu, dari identitas kolektif yang mendasar dan masalah pembangunan bangsa hingga keadilan restoratif dan kontroversi perubahan rezim, pengadilan konstitusional telah menjadi forum penting untuk menangani pertanyaan paling mendasar yang dapat direnungkan oleh pemerintahan demokratis. Ditegaskannya, agaknya yang paling baik dipahami, sebagai produk dari interaksi strategis antara lain. Pertama, elit politik yang hegemonik namun terancam. Kedua, pemangku kepentingan ekonomi yang kuat. Ketiga, pemimpin peradilan, koalisi tripartit yang mementingkan diri sendiri ini menentukan waktu, jangkauan, dan sifat reformasi konstitusi. Yang banyak disorot oleh para pakar konstitusi adanya langkah pragmatis yang diambil Presiden Jokowi dengan memanfaatkan semangat “juristocracy” dari rahim “konstitusionalisasi baru”, sebagai pintu keluar dari tanggung jawab atas sebuah proses legislasi. Karena mendapatkan penolakan keras dari publik, khususnya yang saat ini lagi memanas terkait dengan UU Cipta Kerja, Presiden memilih masalah itu diselesaikan melalui proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Presiden memilih menumpang di jalan tol konstitusionalisasi yang terbuka sebagai hasil amandemen UUD 1945, yang menghadirkan lembaga MK sebagai pemutus sahih setelah dipisahkan dari Mahkamah Agung (MA. Presiden menghindar menggunakan mekanisme penyeleseian melalui kekuasaan politik eksekutif dengan menarik UU itu melalui instrumen Perppu ataukah jalur executive review. Ada kesan pemerintah secara sadar menghindari perbenturan langsung dengan protes publik untuk menjaga citra populis yang selama ini menjadi andalan untuk mememelihara legitimasi elektoral. Unsur subjektifitas yang melekat sebagai eksekutif pada diri Presiden selaku inisiator diyakini akan mengurangi bobot objektifitas. Kondisi itu manakala kemenangan pemerintah melawan protes publik melalui jalur executive review, pastilah tidak terhindarkan. Hal mana mengandung resiko menggerus populeritas Presiden. Menambah lebarnya luka psikologis yang sudah tertoreh yang timbul dari rangkaian proses UU terdahulu yang minus partisipasi publik. Jokowi terlihat sangat menyadari adanya potensi ancamandefisit citra itu. Fungsi dan peran MK sadar atau tidak berubah menjadi benteng perlindungan kekuasaan eksekutif. Ini resiko guna menghindarkan terjadinya benturan head to head antara Presiden dengan masyarakat sipil. Soalnya, melalui otoritas MK yang premis major sebagai lembaga independen, masyarakat akan dapat lebih mudah menerima putusan pengadilan. Putusan MK bersifat erga omne atau berlaku untuk semua sejak putusan dibacakan oleh hakim MK. Jelas ini adalah sebuah strategi yang dirancang pihak eksekutif untuk memenangi sengketa hukum yang sarat muatan politis dan karenanya cara-cara tersebut berbau “diktator” konstitusional terselubung. Oleh karenanya pula, tidak ada yang salah bila ada suara miring dari ranah publik yang mengaitkannya dengan revisi UU MK yang konon tanpa sebab musabab itu. Karena bagaimanapun kasus itu tetap tidak bisa menghapus kesan adanya injeksi keuntungan substansif kepada lembaga itu. Dan, untuk kesekian kalinya masyarakat Indonesia mendapatkan tontonan yang oleh banyak kalangan dikritisi sebagai sinteron “badut politik” gratis yang bergerak di dalam pusaran skenario “politik lari berputar”, yang bertujuan untuk menyamarkan “siapa yang mengejar siapa”. Penulis adalah Wartawan Senior & Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Adzab Untuk Penguasa Yang Sukses Infrastruktur
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (01/11). Banyak penguasa terlalu berorientasi pada pembangunan fisik semata. Lupa pada kewajiban fundamental untuk membangun kekuatan nilai spiritual keagamaan. Prestasi kekuasaan diwujudkan dengan sukses membangun infrastruktur fisik. Inilah fatamorgana kehidupan berbangsa dan bernegara. Wisata sejarah itu penting untuk menemukan kearifan memimpin, khususnya dalam menata sistem kemasyarakatan dan kenegaraan. Belajar dari sejarah yang diinformasikan oleh Maha Pencipta tentu sarat dengan nilai, tingkat akurasi yang tidak diragukan. Nilai-nilai keberannya menjadi mutlak dan hakiki. Tidak ada yang perlu diragukan. Sayangnya, penguasa zaman sekarang, masih banyak yang mau meragukan kebenaran yang datangnya dari Maha Pencipta tersebut. Dalam QS Al Fajr, Allah Subhanahu Wata’ala mengingatkan tiga jenis penguasa dan kaum yang salah orientasi, yaitu kaum Aad, kaum Tsamud, dan Fir'aun. Ketiga-tiganya digambarkan sukses melakukan pembangunan fisik. Kaum Aad dipuji. Karena kemampuan dalam membuat istana dengan bangunan yang indah dan megah "iroma dzatil 'imaad". Nabi Hud Alaihi Salam yang mengajak takwa diabaikan. Allah Subhanahu Wata’ala menurunkan angin badai dingin selama delapan hari yang menghancurkan kau Aad. Kaum Tsamuud juga memiliki kemampuan dalam bidang teknologi tinggi "alladziina jaabuush shohro bil waad". Gunung atau lembah yang dibuat rumah dan bangunan megah. Gunung batu yang ditatah rapi. Seruan moral Nabi Saleh tidak didengar. Lalu Fir'aun juga yang disebut Qur'an memiliki bangunan-bangunan yang tinggi dan kokoh "wa fir'auna dzil autaad". Oposisi Fir'aun adalah Nabi Musa Alaihi Salam yang melakukan gerakan pembebasan Bani Israel. Fir'aun berusaha menumpas Musa dan pengikutnya. Kepada tiga penguasa atau pengendali sistem yang sewenang-wenang di muka bumi tersebut Allah Subhanahu Wata’ala beri hadiah kehinaan berupa adzab. Sebutannya adalah cemeti adzab "shobba 'alaihim shauto adzaab". Dicambuknya kaum dan penguasa infrastruktur yang hebat-hebat tersebut dengan variasi model. Kaum Aad diganjar dengan angin badai hingga tak tersisa, kecuali yang beriman. Mereka hancur berantakan dan bergelimpangan. Sedangkan kaum Tsamuud mati dengan cemeti adzab petir dan guntur bersuara keras. Bergelimpangan pula mereka. Sedangkan Fir'aun dan tentaranya ditenggelamkan di laut merah (bahrul ahmar) yang terkecoh pandangan "jalan tol" kezaliman. Faham materialisme yang sarba materi dalam berbagai bentuk, baik itu yang liberalisme, kapitalisme, komunisme, pragmatisme, atau sekularisme yang dikembangkan dan menjadi filisofi dalam membangun negeri tidak lain adalah Aad, Tsamud, dan Fir'aun kontemporer. Sekarang sedang dicoba untuk dihidupkan kembali pemahaman pembangunan yang serba infrastruktur hebat tersebut. Agama dan ketauhidan dalam wujud ketaatan ilihiah adalah basis pembangunan yang diridloi Allah Subhanahu Wata'ala. Mengabaikan aspek agama dan ketauhidan ini akan menjadi kausa dari cambukan cemeti adzab (shautho adzab) yang tak tertahankan. Hanya adzab dan kecelakaan yang pasti menanti, entah kapan datangnya. Hanya persoalan waktu saja. Namun pasti datang. Untuk itu, sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat, para pemimpin bangsa dan negara Indonesia harusnya kembali sadar akan makna pembangunan yang hakiki. Agama adalah fondasi bukan periferi. Jangan coba-coba untuk pinggirkan agama. Apalagi sampai hinakan dan permainkan agama. Jika iya, maka tunggulah datangnya aparat Allah Subhanahu Wata’ala yang akan mencambukan cemeti adzab. Wisata sejarah akan sampai pada pemandangan yang mengerikan akibat dari salah persepsi, ideologi, dan investasi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Menepis Pendapat Amien Rais Soal Kembali ke UUD 1945 (Bagian-4)
by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto “Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”. (Al Quran, Surah Al Hujuraat : 13) Jakarta FNN – Sabtu (31/10). ”Untuk membedakan dan mempermudah, maka hasil amandemen UUD 1945 dalam artikel ini kita sebut UUD 2002”. Amien Rais berpendapat, jika kembali ke UUD 1945, maka pasal Hak Asasi Manusia (HAM) dan sepuluh ayat yang melindungi HAM Indonesia menjadi hilang. Juga tidak ada pasal yang menjamin kelestarian NKRI. Padahal justru UUD 1945 pasca perubahan yang telah menjamin Pasal 1 ayat (1) tidak dapat diubah. Sesuatu yang mustahil dan tidak boleh terjadi. Benarkah pendapat ini? Sejarah mencatat, perdebatan penyusunan UUD 1945 tidak bisa lepas dari nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa Indonesia. Mencermati Piagam Jakarta, Islam tampak memberikan warna. Karena itu, nilai dalam artikel ini salah satunya dipilih Surah Al Hujuraat : 13. Firman Tuhan tersebut memberikan pemahaman bahwa manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Manusia saling mengenal, saling menghormati agar bersatu. Pemahaman tersebut mendasari pandangan bangsa Indonesia terkait HAM. Artinya, negara melindungi segenap hak asasi warga negaranya. Termasuk di dalamnya hak-hak asasi individu. Strategic Assessment Hal ini dapat kita baca dalam alinea-1 Pembukaan UUD 1945. Narasi yang menunjukkan sikap bangsa Indonesia dalam menghargai hak HAM sebagai makhluk sosial. Bahwa kemerdekaan itu hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Pokok-pokok pikiran Pembukaan ini mengalir ke pasal-pasal UUD 1945. Pasal 6 UUD 1945, “Presiden ialah orang Indonesia asli” menunjukkan bangsa Indonesia menjunjung tinggi hak asasinya orang Indonesia asli. Pribumi atau orang Indonesia asli, juga disebut boemiputra, adalah suku-suku bangsa pertama yang mendiami pulau-pulau di Nusantara. Mereka datang dari arah penjuru dunia, mana saja tidak masalah. Selama mereka datang pertama ketika Nusantara ini masih perawan, tiada penghuni, mereka itu orang Indonesia asli. Silakan baca : (https://www.teropongsenayan.com/83343- adakah-dan-siapakah-orang-orang-bangsa- indonesia-asli -itu). Apakah pribumi itu ada dan diakui? Ya, pribumi itu ada dan diakui. PBB mengakui adanya pribumi dengan hak-haknya. Penjajah Belanda juga mengakui dengan membagi status sosial : (1) European/Eropa (2) Vreemde Oosterlingen/Timur Asing (3) Inlander/ Pribumi. The founding fathers telah mempraktekkan HAM bangsa Indonesia dengan menetapkan “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Hal ini sejalan dengan penelitian Dr. La Ode, bahwa hakikatnya (1) Pribumi pendiri negara (2) Pribumi pemilik negara (3) Pribumi penguasa negara. (M.D. La Ode, 2018, Trilogi Pribumisme, Resolusi Konflik Pribumi Dengan Non Pribumi di Berbagai Belahan Dunia). Ketika sidang BPUPKI mencari dasar negara, diawali pemikiran Muh. Yamin (29/5/1945), Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Mr Soepomo (31/5/1945), terakhir Ir. Soekarno (1/6/1945), belum ada satupun yang ditetapkan sebagai dasar negara. Semua pemikiran dijadikan bahan oleh Panitia Sembilan. Awalnya Panitia Sembilan menyelesaikan konsep Pembukaan Undang-undang Dasar, dengan apa yang kita kenal sebagai Piagam Jakarta. Sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18/8/1945 untuk pengesahan Undang-Undang Dasar, Piagam Jakarta sudah mengalami perubahan. Beberapa perubahan antara lain. Pertama, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedua, “Presiden orang Indonesia asli yang beragama Islam” berubah menjadi “Presiden orang Indonesia asli”. Perubahan berjalan secara musyawarah dan penuh etika. Usul perubahan justru datang dari golongan agama Islam. Hal ini membuktikan, betapa penting dan mahalnya persatuan dan sikap toleransi dalam bernegara. Inilah wujud praktek menghargai hak asasi orang lain. Dengan tidak adanya pasal HAM di UUD 1945 sebagaimana di UUD 2002, apakah bisa menuduh bangsa Indonesia abai terhadap HAM? Jelas saja tidak. Walau tidak secara eksplisit, UUD 1945 sudah mewadahi HAM dalam perspektif manusia sebagai makhluk sosial yang di dalamnya ada HAM individu. Dalam hal ini, negara tidak memihak kepada golongan yang paling kuat atau besar saja. Tidak juga menganggap kepentingan seseorang sebagai paling penting. Namun, negara menjamin keselamatan, kemerdekaan dan kebutuhan hidup warga negaranya. Termasuk hak asasi orang yang ada di dalamnya. Soepomo menyebutnya sebagai teori integralistik ajaran Spinoza, Adam Muler dan lain-lain. Namun, jika ada pendapat itu bukan ajaran Spinoza, tidak masalah. Sebut saja itu pandangan bangsa Indonesia. Nilai itu ada di dalam Pancasila dan ditransformasikan ke pasal-pasal UUD 1945, demi persatuan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indah sekali. Kita memang tidak menganut teori individualistis dari Thomas Hobes dan John Locke, ataupun teori golongan ajaran Marx, Engels dan Lenin. Kita mengambil dari budaya yang tumbuh dalam masyarakat. Budaya yang lebih suka berpikir dan berbuat kebajikan untuk orang lain. Apakah para pengamandemen menyadari itu? Ya, mereka sadar, terbukti adanya Pasal 28J UUD 2002. Bahwasanya, setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. Sesungguhnya, Pasal 28A s/d Pasal 28J UUD 2002, ada di dalam “cakupan” Pasal 26 s/d Pasal 34 UUD 1945. Artinya, Pasal 26 s/d Pasal 34 UUD 1945, turunannya bisa dalam bentuk undang-undang. Dengan isi seperti pasal-pasal HAM dalam UUD 2002, atau bahkan lebih luas lagi. Apabila kita kembali ke UUD 1945, untuk disempurnakan dengan adendum, Pasal 1 ayat (1) menjamin lestarinya NKRI. Kita tidak akan temui DPD sebagai ciri negara federal. Kita tidak ketemu Pilpres langsung yang kita tengarai sebagai penyebab robeknya persatuan, dan telah cenderung membelah bangsa berdasarkan SARA. Juga merusak sendi kehidupan sosial budaya. Di sisi lain, kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran bagi warga negara, antara lain juga terwadahi dalam Utusan Golongan dan Utusan Daerah sebagai anggota MPR. Disinilah rakyat non Parpol memiliki hak mengajukan calon Presiden/Wapres serta menetapkan Undang-undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara (GBHN). Berbeda dengan di UUD 2002, hak rakyat non Parpol di atas tidak kita temui. Padahal ada pasal HAM. Dengan demikian, jika kembali ke UUD 1945 untuk kita sempurnakan tidak masalah. Karena persoalan HAM terwadahi dalam UUD 1945. Ada narasinya, ada juga praktek bernegaranya. Untuk lebih memahami HAM di UUD 1945 dikaitkan dengan pasal-pasal HAM dalam UUD 2002, kita bicarakan dalam artikel bagian-5. Semoga bisa dipahami dan bermanfaat demi bangsa dan negara. Insya Allah, Aamiin. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Future Impossible Tense
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (30/10). Sebuah meme atau karikatur bertema English Class di papan tulis tertulis "Tense". Artinya pelajaran tentang waktu. Si guru bertanya kepada muridnya "One day our country will be corruption free. Which tense is it?" Si murid lalu menjawab "Future impossible tense". Si guru lantas marah, he he hee. Nampaknya ini sedang cocok bagi kondisi Indonesia sekarang ini tentang pemberantasan korupsi. Suatu jawaban dari murid yang pas dengan kalimat "Future impossible tense". Sebab bangsa ini telah pesimis pada hilangnya korupsi. Jangankan hilang, untuk berkurang saja tidak yakin. Cara penegak hukum memberantas korupsi memang sangat tidak meyakinkan. Demikian juga dengan peraturan perundang-undangan yang semakin dikebiri. Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berhasil memaksa lembaga KPK untuk dimandulkan. Operasi Tangkap Tanga (OTT) KPK tergantung pada Dewan Pengawas ber SK Presiden. Politik hukum pada era Pemerintahan Jokowi yang buruk seperti ini mesti dipertanggungjawabkan kelak. Tidak dianggap angin lalu. Jangan sampai dianggap sesuaitu yang biasa-biasa saja. Presiden Soekarno jatuh bukan oleh korupsi keuangan, tetapi Soekarno sangat doyan dan menikmati betul korupsi kekuasaan politik atau ideologi. Sementara Soeharto memang terkait korupsi keuangan yang membuatnya jatuh. Keberadaan KPK adalah solusi reformasi di bidang Pemerintahan. Efektif sekali keberadaan Komisi ini pada awalnya. Di masa Pemerintahan Jokowi KPK dilumpuhkan. Akibatnya buntut kasus-kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi mengendap. Skandal Bank Century juga tenggelam. Jiwasraya hanya yang ecek-ecek saja. Pertamina selesai dengan sendirinya. Potensi korupsi dana Covid 19 sudah diamankan dengan Perppu Nomor 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU Nomo 2/2020. Sama sekali tidak ada kemauan keras dari pemerintahan ini untuk memberantas korupsi. Rezim investasi Jokowi disindir Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo. Bahwa Amerika sangat siap untuk berinvestasi di Indonesia, tetapi bersihkan dulu dari budaya korupsi. Syarat berat bagi rezim yang sudah terbiasa kongkalikong dengan gaya usaha model Cina. Suap suap suap, mark up, dan komisi sana komisi sini. Percukongan adalah biang dari korupsi. Sayangnya hal seperti dianggap biasa-biasa saja. Hal yang lumrah saja. Pidato-pidato tentang pemberantasan korupsi hanya "lip service" belaka. Sadarkah akan prediksi bahwa nanti akhir dari masa jabatan pemerintahan adalah awal dan dimulainya bongkar-bongkar kasus mega korupsi ? Ketika kekuasaan di tangan, segala kejahatan bisa diredam dan disembunyikan. Tetapi ketika kekuasaan sudah tak ada, maka itulah masa penghukuman tiba. Sebagus dan serapi apapun bau busuk korupsi yang ditutupi dan disembunyikan oleh penguasa ini, tetap saja meninggalkan jejak. Sebab belajar dari pengalaman yang sudah-sudah para pejabat Bank Indonesia (BI) milsanya, baru diproses kasus korupsinya setelah kekuasaan berganti. Begitu selalu pengalaman yang harus dijadikan rujukan. Mulai terasa saat ini akan getaran kejengkelan rakyat Indonesia pada perilaku pemimpin culas, curang, picik, tamak dan khianat. Dilakukan oleh oligarki, korporasi, konglomerat, aparat, dan pejabat yang korup dan jahat. Meskipun demikian, saat ini kalimat untuk Indonesia bebas korupsi masih "Future Impossible tense". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Mendambakan DPD RI Punya Nyala dan Nyali
by Tamsil Linrung Jakarta FNN – Jum’at (30/10). Profesor Jimly Asshiddiqie yang diinternal DPD sering kita panggil dengan sebutan Senator Jimly, sudah bersuara lantang. Bahwa para aktivis tidak pantas ditahan. Apalagi diborgol untuk disiarkan disebarluaskan dan dipertontonkan ke publik. Seperti perlakuan terhadap Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Kingkin Anida dan beberapa aktivis lain. Mereka adalah cendekiawan, aktivis, pejuang HAM dan demokrasi serta pemimpin gerakan moral yang menjaga dan meluruskan kiblat bangsa. Mereka bukan penjahat. Bukan penghianat yang menggadaikan bangsa. Apa yang disuarakan aktivis-aktivis tersebut, bahkan merefleksikan kegelisahan rakyat yang terus mengartikulasikan aspirasi. Membanjiri jalanan. Dalam eskalasi panjang dan meluas. Aksi-aksi itu, bahkan masih terus berlangsung hingga hari ini. Maka festivalisasi penangkapan para aktivis banyak ditentang. Sejumlah rangkaian kebijakan yang mendahuluinya, UU Omnibus Law bahkan disoroti oleh media internasional seperti The Economist sebagai jalan mundur demokrasi menuju neo otoritarianisme. Itu adalah aib untuk negara demokrasi besar seperti Indonesia. Kritik lantang Senator Jimly, adalah representasi aspirasi masyarakat yang ril. Jangan biarkan Senator Jimly bersuara sendiri. Apa yang disampaikan, mewakili suara kita selaku anggota DPD RI. Mestinya juga diperjuangkan secara serius oleh mereka yang menyandang predikat sebagai wakil rakyat. Sangat tidak pantas jika keadaan demikian ini dibiarkan dan menjelma menjadi ketidakwarasan kolektif. Sebab barisan shaf yang terus menerus menyuarakan ketidaksetujuan atau penolakan terhadap banyaknya produk perundang-undangan yang tidak aspiratif semakin panjang. Sebelum terangkum dalam UU Omnibus Law, banyak UU yang telah mendapatkan penolakan dari masyarakat. Ada UU Minerba, RUU Haluan Ideologi Pancasila hingga RUU Pesantren. Dari 79 UU yang diintegrasikan dalam Omnibus Law, yang paling banyak mendapatkan penolakan adalah klaster Pendidikan dan Ketenagakerjaan. Bersyukurlah, para Guru Besar ikut bersuara lantang. Padahal, suaranya kerap kali diabaikan, atau sebatas mendapat respons basa-basi formalitas. Karena dianggap hanya suara kaum elite yang tak berakar kuat ke rakyat, dan akan segera berakhir bila telah diberi obat penenang. Namun Ternyata kali ini kekuasaan keliru. Karena mereka yang bersuara adalah yang punya rekam jejak yang berbeda. Punya kiprah pengabdian yang jelas. Mereka adalah puluhan, bahkan ratusan Guru Besar yang telah lama berkontribusi dalam menyelesaikan masalah-masalah bangsa. Seperti Profesor Jimly yang biasa juga dijuluki “Sang Pendekar Konstitusi”. Pernha menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi RI yang pertama. Ada juga Guru Besar Ahli Hukum Tata Negara UGM, Profesor Zaenal Mochtar Ariifin yang mengusung ide Pembangkangan Sipil (civil disobidiece) sebagai ekspresi puncak kemarahan rakyat kepada kekuasaan. Suara ini tidak main main. Bobotnya tinggi. Para guru besar yang biasanya jarang-jarang sejalan dengan mahasiswa, kali ini besikap lain. Para Guru Besar dan mahasisanya punya sikap yang sama. Sehingga hanya kekuasaan yang telah tertutup nurani dan buta mata batinnya yang bisa dengan penuh keangkuhan untuk terus mempertahankan pendapat. Argumen yang bukan hanya tidak popular dan bertentangan dengan arus utama kepentingan rakyat. Tetapi juga telah jauh menyimpang dari menjalankan amanat rakyat. Maunya pemerintah tidak sejalan dengan maunya kebaynyakan rakyat. Namun pemerintah budeg dan tuli. Di tengah arus ketidakwarasan, para Senator yang terhormat harus tampil mendukung aspirasi rakyat. Berbaris di dalam satu shaf bersama Prof. Jimly Asshiddiqie untuk berjuang membebaskan para aktivis pergerakan. Mereka secara patriotik sejak masih mahasiswa telah mewakafkan dirinya demi bangsa ini. Menempuh jalan perjuangan yang dijamin oleh prinsip-prinsip demokrasi. Bagi DPD, sengkarut problem yang mendera bangsa adalah momentum membuktikan diri. Buktikan jika DPD adalah lembaga perwakilan pembawa aspirasi daerah ini, layak didaulat sebagai pengemban amanah rakyat yang sesungguhnya. Bahkan bisa tampil dalam membangun dialog dengan eksekutif. Dalam kondisi perekonomian yang jauh dari menguntungkan ini, DPD harus mendorong negara agar lebih fokus dalam melakukan pengendalian dan penanganan Covid-19. Serta menyelamatkan rakyat. Bukan sebaliknya menyesarakan rakyat. Laporan anyar Bank Dunia sudah mewanti-wanti. Sepertiga atau 90 juta penduduk Indonesia saat ini makan lebih sedikit akibat dampak ekonomi Covid-19. Fakta soal Covid-19 dan problem ekonomi serta kebutuhan mendasar rakyat itu, adalah tantangan konkret yang harus diselesaikan. Permasalahan yang tidak bisa diatasi jika situasi tidak kondusif terus dibiarkan dengan menciptakan pemantik-pemantik emosi publik yang berakar pada imajinasi jebakan masa depan yang suram. DPD dengan modalitas kepercayaan rakyat yang cenderung lebih baik, harus menjadi pelopor. Agar segala bentuk perdebatan yang tidak produktif ditinggalkan. Dahulukan anak negeri. Indonesia yang tegak sebagai Negara Kesatuan, harus bersikap mewujudkan kedaulatan. Menyusun UU berdasarkan kepentingan bangsa dan melindungi seluruh rakyat. Jangan sampai ada kesan, bila kerja-kerja yang dilakukan adalah balas budi terhadap negara donor. Sehingga ke depan, kita bukan hanya disibukkan dengan berpikir membayar angsuran pinjaman. Tetapi terancam untuk kehilangan segalanya. Kita terancam Kehilangan aset, kehilangan kemandirian. Semua itu berujung pada kehilangan harga diri dan kedaulatan sebagai bangsa. DPD RI harus segera bersikap. Bila ini dilakukan, maka DPD akan dikenang punya Nyala dan Nyali. Penulis adalah Senator DPD RI
Abu Janda Ngoceh Lagi, Bela Marcon
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (29/10). Lama Abu Janda tidak muncul di media. Tokoh "super" pegiat medsos ini hilang di tengah iklim politik panas yang semestinya bisa jadi ladang ocehannya. Ada penolakan masih terhadap Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) yang didemo intens. Ada petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang ditangkap. Nah sekarang, pada saat ada kasus penghinaan terhadap Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam di Perancis Abu Janda muncul lagi. Sambil demonstratif makan di restauran makanan Perancis, Permadi Arya berpetuah agar umat Islam memaafkan penghina Nabi. Apakah mau membela Emmanuel Macron Presiden Prancis atau sang guru penghina yang dipenggal? Tentu saja Macron. Sebab yang terakhir sudah mati. Urusannya hanya dengan Allah saja di alam yang dipastikan mengejutkan dirinya. Ada dua kesalahan dari ocehan sang asbun, yang pro pembela penghina Nabi ini. Pertama, bahwa Presiden Perancis Emmanuel Macron tidak meminta maaf kepada umat Islam. Lalu apa yang mau dimaafkan ? Kedua, penghinaan bukan dilakukan kepada diri Nabi pribadi yang sudah tiada. Tetapi kepada ajaran Nabi. Kepada agama Islam. Umat Islam tentu tersakiti karena Nabinya dihina dengan sengaja, dan agama-Nya dinistakan. Dalam sejarah, hal ini bisa berujung pada hukuman mati atau perang terhadap pelaku penghinaan. Abu Janda seperti yang tidak merasa sakit, bahkan dengan akting sinis ngoceh agar umat Islam memaafkan. Umat Islam model apakah Abu Janda? Umat Islam sudah lama tidak jengkel atas ulah Abu Janda. Selama ini orang dengan nama asli Permadi Arya ini hilang tidak muncul lagi. Su'udhonnya Abu Janda kena corona atau dimakan buaya. Eh, tiba-tiba muncul berada di blok Perancis sang penghina Nabi. Dia rupanya sangat bahagia bisa memukul lebih sakit perasaan umat Islam. Arya seperti bela Macron. Momen untuk mengejek umat Islam yang dianggap tidak menghormati kebebasan pendapat. Perancis adalah perintis "Liberte, Egalite, Fraternite". Abu Janda menantang umat Islam dengan berada di ruang Perancis, layaknya bersaudara dengan Macron. Masuk dalam kelompok yang sama-sama sefaham yang bebas moral. Abu Janda tentu tidak khawatir ngoceh apapun yang menyinggung umat Islam dan Nabinya. Karena mungkin menganggap ada yang menjadi pelindung. Mumpung negeri ini sedang berpihak pada para penyembah berhala, yang tidak suka pada nafas Tauhid. Bendera merah tengkorak lebih ditoleransi daripada bendera Tauhid. Negeri yang lebih nyaman bagi fikiran, sikap, ideologi, maupun kultur kebebasan berpendapat. Kaumnya Abu Janda ketimbang para pembela agama. Negerinya para tikus. Les rats dangeroux pour l'homme. Muncul abu Janda bagaikan "whack a mole game". Jika si tikus nongol maka palu pemukul siap memukulnya. "Whack a mole game" adalah permainan mendera tikus tanah. Muncul si tikus dan memukulnya membuat tambahan nilai. Pahala dalam bahasa agamanya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Tikus.