NASIONAL
Di Era Jokowi, Kebobrokan Negara Terbongkar
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (07/12). Menteri Sosial, Julian Batubara kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) pada 5 Desember 2020 lalu. Juliari jadi tersangka dengan tuduhan korupsi Rp 17 miliar. Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga di-OTT KPK (25/11). Nggak usah kaget. Biasa saja. Entar juga akan ada yang tertangkap lagi. Menteri, ketua dan sekjen partai, anggota DPR, kepala daerah, atau pejabat lainnya, entah sudah berapa banyak dari mereka yang ditangkap KPK. Tak berarti yang tidak tertangkap itu bersih dari korupsi. Belum tentu juga. Ini hanya karena faktor apes dan bernasib sial. Korupsi di Indonesia bukan semata-mata karena bobroknya moral individu. Tetapi lebih karena faktor sistem, kultur dan mentalitas bangsa. Publik nggak usah berlebihan mengapresiasi KPK. Seolah KPK sudah siuman setelah sekian lama dikerangkeng oleh UU No 19 Tahun 2019. Para pejabat secara umum ditangkap karena pertama, dua alat bukti sudah ada. Kedua, tak ada perlindungan orang kuat. Tepatnya, kecolongan, sehingga tak sempat minta perlindungan. Ketiga, seringkali penangkapan pejabat sarat unsur politik. Meskipun dua alat bukti ada, tetapi pelindung anda orang kuat dan selalu menjaga anda, boleh jadi anda selamat. Asal tidak di-OTT. Belajar dari kasus Bank Century, dana BLBI, e-KTP sampai PAW anggota DPR yang melibatkan Harun Masiku. Kok menguap? Publik berpikir ada orang kuat di belakangnya. Koruptor kakap Djoko Djandra yang sembilan tahun jadi buronan dan menyeret sejumlah perwira berpangkat bintang hanya dituntut 2 tahun. Sementara yang dituduh melanggar UU ITE diancam 6 tahun. Sampai disini anda mesti paham bagaimana penegakan hukum di negeri ini. Banyak yang ganjil. Korupsi pejabat akan "sulit dikurangi" selama penegakan hukum dan sistem politik tidak berubah. Ini jadi kata kunci. Ketidakadilan hukum jadi warisan dari satu generasi ke generasi lain secara turun temurun. Dari Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi. Hanya saja, sekarang klimaks. Sepertinya, para pejabat sudah banyak belajar kepada generasi sebelunnya bagaimana melakukan korupsi secara efektif. Lihai! Meski kadang ada yang kepleset dan ditangkap KPK. Apes saja. Praktek penegakan hukum semakin rusak ketika aparat hukum ditarik di gelanggang politik. Tak jarang hukum justru dijadikan instrumen untuk menghabisi. Pertama, kepada mereka yang kritis terhadap penguasa. Kedua, lawan-lawan politik penguasa. Kriminalisasi adalah suatu keniscayaan ketika aparat hukum dilibatkan dalam politik. Di sisi lain, cost pemilu sangat besar. Para calon, baik caleg, capres maupun calon kepala daerah, mereka butuh modal besar. Umumnya, mereka tak mampu membiayai dengan dana pribadi. Dana cekak memaksa mereka harus melibatkan investor. Kalau umumnya anggota DPR tak mendengar lagi suara rakyat, ya wajar. Karena saham mayoritasnya bukan milik rakyat, tapi milik para pengusaha yang membiayai mereka. Suara rakyat sudah "dibeli putus" saat pemilu. Tepatnya ketika terjadi serangan fajar. Antara Rp 50.000-100.000 ribu per suara. Selesai sudah di kotak suara. Rakyat suaranya sudah dibeli putus. Ya nggak pantas kalau berteriak. Karena sudah nggak punya saham di gedung DPR. Ini juga berlaku bagi banyak kepala daerah, dan mungkin juga presiden. Jadi, kalau mereka nggak dengar rakyat, ya nggak salah. Karena sebagian besar rakyat sudah dibeli suaranya saat pemilu. Hukum yang tidak tegak lurus serta cost politik yang sedemikian tinggi, menyebabkan korupsi makin subur. Tradisi koruptif diwariskan turun temurun. Jadi, anda jangan hanya melihat case by case. Anda jangan terpukau dengan KPK menangkap Edhy Prabowo dan Julian Batubara. Dibalik kedua menteri itu, justru seringkali faktor yang lebih menarik untuk dibahas adalah tokoh di belakangnya, partainya, posisi jabatannya, atau sepak terjang KPK itu sendiri. Hukum seringkali nggak independen. Jadi, fenomena penangkapan tersangka tindak pidana korupsi jangan dilihat dari kasusnya. Tetapi lihatlah penyebabnya. Mengapa banyak diantara mereka yang korupsi? Lihat juga penegakan hukumnya. Kenapa hanya mereka yang ditangkap? Yidak yang lain. Partai anda punya kader yang jadi menteri berapa orang? Yang jadi direktur dan komisaris BUMN berapa orang? Yang jadi kepala daerah berapa orang? Dari situ parpol-parpol itu mencari logistik. Sebagian untuk memakmurkan pengurusnya. Jadi, kalau dalam dua pekan ini ada kader dari dua partai di-OTT KPK, yang harus kita lihat pertama, jabatan menteri itu bukan cek kosong. Kedua, kebutuhan operasional partai sangat besar. Kalau menteri itu dari partai, mosok nggak ada setoran? Ketiga, posisi menteri banyak peminatnya. Posisi menteri ini menjadi arena perebutan antar partai dan antar banyak pihak. Keempat, di setiap kementerian biasanya sudah ada mafianya. Para pemain lama tentu saja sangat berpengalaman. Kelima, mata hukum seringkali "juling". Yang juling paling parah di sebelah kiri. Namu yang dihajar di sebelah kanan. Jika kita bongkar, negara ini sesungguhnya sudah sedemikian rusak. Ibarat penyakit kanker, sudah stadium empat. Korupsi "boleh jadi" ada di semua kementerian, di semua lembaga dan institusi negara, di semua BUMN. Terjadi secara sistemik. Salah satunya penyebabnya karena kesalahan sistem melahirkan tradisi dan mental koruptif. Jargon #Revolusi mental# bukannya memperbaiki, tetapi faktanya, malah masif terjadi korupsi. Ini terjadi bukan hanya di era Jokowi, tapi turun temurun. Sudah lama, terutama sejak era reformasi. Di era Jokowi ini, seolah jadi puncak gunung es. Makin parah. Lalu, darimana memperbaikinya? Perbaiki penegakan hukum dan sistem politik yang high cost itu. Dan ini harus dilakukan dari atas, yaitu oleh pemimpin. Kalau yang di atas memble, yang lain, terutama yang di bawah pasti ikut memble juga. Banyak pihak yang meragukan kemampuan Jokowi. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Penyaluran Bansos Yang Primitif
by Mukhaer Pakkanna Jakarta FNN - Senin (07/12). Kasus tertangkapnya Menteri Sosial (Mensos RI), Juliari Peter Batubara (JPB) bersama para pejabat Kemensos dan pengusaha pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) telah mencoreng wibawa Pemerintah penyelenggaara negara. Dalam situasi wabah yang makin menakutkan ini, ternyata korupsi tidak pernah berhenti. Banyak oknum penyelenggara negara, malah bernyanyi bahagia di atas penderiaan rakyat. Dengan pola penyaluran yang primtif dan tidak berkemajuan, dari awal kebijakan ini dilansir, saya sudah mencurigai bakal terjadi peluang moral hazard dan biang bancakan antara pengusaha peserta/pemenang tender dan oknum penguasa, terutama di Kementerian Sosial RI. Ini sangat riskan terjadi karena, pertama, niatan hanya sekadar karitatif, yang penting tersalurkan. Soal siapa sasaran penerima, itu soal yang lain. Yang penting bagaimana peluang ini dimanfaatkan pengusaha pengadaan dan penguasa (pemerintah). Kedua, data sasaran dari awal yang tidak jelas dan amburadul. Ketiga, manajemen penyaluran disalurkan pada beberapa institusi yang kurang akuntabel. Bayangkan, di masa pandemi Covid-19 ini, Kemensos RI memperoleh anggaram jumbo. Merujuk data Kementeian Keuangan RI, Kemensos juga menjadi kementerian dengan realisasi belanja terbesar pada Oktober 2020. Kemensos telah menyerap anggaran senilai Rp116,2 triliun. Sementara, alokasi untuk Kemensos terdiri dari PKH dan bantuan beras PKH senilai Rp41,97 triliun, sembako dan bantuan tunai sembako Rp47,22 triliun, Bansos Jabodetabek Rp7,10 triliun, dan Bansos non-jabodetabek senilai Rp33,10 triliun. Dalam kaitan itu, patut dipertimbangkan bahwa ke depan penyaluran bantuan sosial untuk rakyat miskin dan yang termiskinkan akibat pandemi, sebaiknya disalurkan secara tunai ke rekening masing-masing penerima. Bisa memanfaatkan data dari institusi resmi yang kredibel, tidak sekadar menyalurkan. Alasannya, jika disalurkan dalam bentuk barang kebutuhan pokok seperti sekarang, maka selalu terjadi potensi korupsi seperti yang sudah terbukti saat ini. Akibat korupsi maka spesifikasi barang yang dibagikan akan berkurang. Misalnya beras premium tapi isinya oplosan. Ini berarti, hanya menguntungkan pengusaha bermodal besar dan produsen-produsen besar seperti Unilver, Indofood dll. Sementara, produk UMKM sangat sulit terserap karena alasan spesikasi dan ketidaan modal. Kemudian, Sembako yang dibagikan ke masyarakat belum tentu sesuai dengan kebutuhan selera penerima. Misalnya sarden, tidak semua orang suka makan sarden. Lebih enak beli ikan di pasar dan masak sendiri. Jika disalurkan melalui transfer tunai ke rekening masing-masing penerima, keuntungannga adalah, pertama, potensi korupsi oleh oknum penguasa, politisi dan para calo akan sirna. Kedua, akan menghidupkan pasar, karena masyarakat miskin akan belanja kebutuhan pokok secara langsung di pasar dan warung-warung rakyat. Ketiga, masyarakat penerima dapat membelanjakan sesuai kebutuhan Sembako di keluarga mereka. Tidak dipaksa makan produk pabrikan yang dimiliki pengusaha raksasa tertentu. Keempat akan ikut membantu perbankan, karena dana yang ditransfer ke rekening tentu akan ada jeda waktu sebelum diambil oleh penerima. Portofolio dan cashflow perbankan akan terbantu. Maka sebaiknya jangan hanya disalurkan melalui rekening di perbankan besar, lebih bagus malah melalui bank-bank kecil yang sedang butuh dibantu portofolionya. Misalnya bank-bank BPD di daerah, bank syariah Buku 1 dan Buku 2. Termasuk BPR/BPRS yang banyak di daerah-daerah Saran ini tentu tidak hanya berlaku untuk bantuan dari pemerintah pusat. Hal yang sama juga bagi pemerintah daerah propinsi maupun kabupaten/kota se-Indonesia. Karena potensi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan itu ada pada setiap level pemegang kuasa. Kekuasaan cenderung korup, tentu buatlah sistem yang meminimalisir potensi korup itu. Pandemi mestinya menyadarkan semua pihak untuk lebih mengingat Tuhan, termasuk bagi mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan di setiap level. Penulis adalah Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah
Apa Kabar Renegosiasi di PLN
by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Rabu (02/11). Direktur Utama PLN Zulkifli Hasan menyadari benar apa permasalahan yang terjadi di Perusahaan Listrik Negara tersbut sejak dia menjabat sebagai orang nomor satu. Masalah utama di PLN datang dari kebijakan pemerintah. Kebijakan yang berkaitan dengan harga bahan bakar dan harga listrik swasta yang wajib dibeli PLN. Satu lagi permasalahan krusial datang dari sektor keuangan. Masalah itu sebagai akibat dari utang PLN yang membengkak sangat besar dalam mengejar ambisi mega proyek 35.000 megawatt. Masalah tersebut telah mengakibatkan PLN rugi besar-besaran. Meski harga batubara dan minyak mentah dunia telah turun hingga level terendah dalam sejarah, tetapi PLN tetap saja merugi. Kerugian yang diperkirakan tidak akan pernah berakhir. Untuk ahun 2020 saja, PLN diprediksi menderita kerugian Rp 44,3 triliun. Kerugian seperti selalu melekat dengan PLN. Kerugian yang terus meningkat dari tahun ke sebelumnya. Lebih gawat lagi tahun 2021 nanti. Kerugian PLN akan diperkirakan mencapai Rp 83,7 triliun. Sudah tak ada untung lagi dalam kamus PLN, baik dimasa kini maupun yang akan datang. Kerugiannya akan terus membengkak dan membengkak. Keuntungan menjadi barang langka untuk PLN. Dari mana saja sumber kerugian PLN tersebut? Ada tiga sumbernya. Pertama, dari pembelian bahan bakar. Jumlahya mencapai 34,6% dari total biaya. Kedua, pembelian listrik swasta yang mencapai 41,2% dari total biaya. Ketiga, biaya depresiasi dan keuangan sebesar 15,8% . Ketiga komponen biaya tersebut 91,6% dari total biaya yang harus dikeluarkan PLN setiap tahun. Siatuasi yang terjadi di PLN ini adalah bisnis BUMN paling konyol. Dimana sebagian besar pengeluaran atau biaya PLN ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan yang terbilang konyol untuk membuat PLN merugi dari tahun ke tahun. Kalau PLN bangkrut, maka membangkrutkan PLN adalah pemerintah. Kalau PLN merugi, maka yang membuat PLN merugi terus-menrus adalah pemerintah. Pembelian bahan bakar misalnya, harganya dipatok dalam formulasi yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Begitu juga dengan pembelian listrik swasta. Harga pembelian PLN ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Kedua biaya ini sudah mencakup 75,8 % dari total biaya yang harus ditanggung oleh PLN. Konyol kan pemerintah? Pertanyaannya, siapa yang untung dengan kebijakan harga bahan bakar dan harga listrik swasta yang konyol tersebut? Yang pasti bukan PLN. Yang diuntungkan adalah oligarki yang menjadi pebisnis bahan bakar, terutama pebisnis batu bara. Setelah itu siapa lagi yang untung paling besar? Yang pasti adalah pebisnis pembangkit batubara. Mereka selain punya tambang batubara, namun mereka sekaligus juga punya pembangkit listrik swasta. PLN tidak akan pernah untung. Sebaliknya pebisnis pembangkit tak akan pernah merugi. Demikian juga dengan pemasok batubara ke PLN, yang akan pernah merugi. Mereka akan terus dan terus untung sepanjang perjalanan PLN melakukan bisnis listrik. Selian PLN, siapa lagi yang dirugikan? Tidak lain adalah masyarakat Indonesia. Harga listrik Indonesia adalah salah satu yang paling mahal di dunia sekarang. Harga listrik Indonesia lebih mahal dari harga listrik India, China dan beberapa negara lain yang merupakan pesaing utama dalam perdagangan global. Jika dibandingkan dengan pendapatan perkapita rakyat Indonesia, harga listrik Indonesia adalah salah satu yang paling menghisap atau tertinggi di dunia. Hanya satu kata kunci bagi PLN untuk selamat dan keluar dari jebakan kerugian. Segera lakukan renegosiasi, baik untuk harga listrik swasta maupun harga pembelian batubara. Lalu, apa saja yang harus direnegosiasi? Pertama adalah harga bahan bakar, terutama batubara. Kedua, harga listrik yang wajib dibeli dengan skema take or pay milik swasta. Ketiga adalah utang-utang PLN warisan masa lalu. Renegosiasi ini telah menjadi komitmen Dirut PLN Zulkifli Hasan dalam membenahi struktur keuangan PLN. Langkah ini sebagai upaya terakhir menyelamatkan PLN dari kebangkrutan yang lebih parah. Publik bertanya, “apa kabar renegosiasi ini ya”? Semoga saja telah berjalan sebagaimana yang telah dijanjikan kepada publik. Penulis adalah Peneliti Pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).
TNI Dantara Rakyat Yang Terbelah
by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Rabu (02/12). Rakyat sudah terbelah. Itu nyata adanya. Kita bisa memulai kekacauan ini kapan saja. Namun tidak tahu kapan bagaimana bisa mengakhirinya. Maka, TNI aku dan TNI kita semua menjadi tumpuan harapan terakhir agar negeri ini tidak terkoyak-koyak. Pemerintahan boleh saja berganti kapan saja berkali-kali. Tetapi TNI, negara dan bangsa ini harus tetap bediri tegak. Harus kita pertahankan skeberadaannya ampai titik darah penghabisan. Bulu kudukku sempat juga berdiri, dan merinding. Sebuah video yang menunjukkan kerumunan massa mengelilingi mobil zeep tentara menyebar luas. Massa bernyanyi dengan irama “mana dimana anak kambing saya” dengan syair yang di ubah. Syair lagu itu menyindir. Malah bisa disebut menghujat tentara. Tidak jelas, dimana dan kapan kejadian itu persisnya? Aku menerima postingan itu 24 November 2020 lalu. Teks yang menyertai postingan video hanya menyebut, “mobil tentara yang mau copotin baliho HRS, dicegat massa di Padarincang, Serang, Banten. Maka terbayang aku akan hal-hal buruk akan segera terjadi. Masalahnya, dua video viral yang lain tentang pernyataan sikap petinggi TNI. Pernyataan itu dalam rentang waktu yang berdekatan sejak kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) tanggal 10 November 2020 yang beredar luas pula. Keduanya bisa dihubungkan, baik langsung maupun tidak, dengan aktivitas kepulangan HRS dan senarai acara kemudiannya yang digelar simpatisan HRS. Video pertama adalah peringatan tegas Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto terkait pentingnya persatuan dan kesatuan demi menjaga stabilitas nasional. Hadi berkata, “jangan kita biarkan persatuan dan kesatuan bangsa itu hilang atau dikaburkan oleh provokasi dan ambisi yang dibungkus dengan berbagai identitas". Hadi juga mengingatkan, “siapa saja yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa akan berhadapan dengan TNI". Peringatan ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai mendadak. Diunggah di akun Twitter @Puspen_TNI, Minggu 15 November 2020, lima hari setelah penyambutan HRS di bandara Soeta yang fenomenal itu. Memang, Panglima tidak mengarahkan peringatannya kepada pihak tertentu. Tapi dapat dirasakan bahwa peringatan itu mengarah pada ancaman keamanan dari dalam negeri, bukan dari luar. Karena trending topic pada hari-hari itu menyangkut politik dan itu berkaitan dengan kedatangan IB HRS. Maka sangat sulit untuk dipungkiri bahwa peringatan mendadak itu dimaknai oleh banyak pengamat sebagai respon terhadap situasi “demam” kepulangan sang Imam HRS. Video kedua adalah instruksi Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurahcman, ke jajarannya untuk mencopoti baligho HRS. Pangdam dengan tegas menyatakan, “kalau perlu FPI bubarkan saja. Kalau coba-coba dengan TNI, mari”. Pernyataan itu terkonfirmasi. Seusai apel kesiapan bencana dan Pilkada serentak, di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, Jumat (20/11/2020) pagi, Dudung kepada wartawan berkata, ”oke, ada berbaju loreng menurunkan baliho Habib Rizieq, itu atas perintah saya,” kata Dudung, Kejadian di Padarincang berupa pencegatan massa terhadap mobil tentara yang mau copotin baliho HRS, tentu dapat dilihat sebagai respon balik masyarakat terhadap dua video sikap petinggi TNI itu. Sikpa spontanitas masyarakat inilah yang membuat aku merinding. Nggak habis pikir aku. Terbayang olehku darah akan segera tertumpah membasahi bumi pertiwi. Perang saudara kapan saja akan terjadi. Ngerinya lagi, TNI diperhadapkan dengan rakyatnya sendiri. Hiiiiii,,,, Indonesia akan segera meluncur ke jurang kehancurannya? Sungguh, aku belum rela hal itu terjadi di masa hayatku ini. Untunglah Pangdam Jaya segera melakukan klarifikasi yang membuat rasa lega aku. Senin (23/11/2020), di Makodam Jaya, Pangdam didampingi Kapuspen TNI, Mayjen TNI Ahmad Riad mengatakan, "saya sampaikan kalau perlu, kalau perlu bubarkan kan FPI itu. Kalau Pangdam, TNI tidak bisa membubarkan. Itu harus pemerintah," katanya. Ditegaskan pula bahwa Panglima TNI tidak pernah bicara soal pembubaran FPI. Kata Kapuspen Ahmad Riad, pencopotan baligho HRS pun bukan atas perintah Panglima TNI. Selanjutnya, Rabu (25/11/2020), saat ngopi bareng ulama di kantornya, Pangdam Jaya berkata, "saya tidak pernah mengajak bahwa FPI atau yang lainnya sebagai musuh. Itu tidak ada. Itu saudara-saudara kita semua. Alangkah baiknya kalau ada mediasi, dan berdialog. Dihadiri oleh seluruh komponen." Dudung meminta agar tidak ada lagi pihak-pihak yang membenturkan antara TNI dengan ormas Islam, termasuk FPI. Sikap Dudung yang sungguh sangat melegakkan kita semua yang mendengarnya. Sekali lagi, pernyataan klarifikasi itu sunggguh sangat melegakan hati. Bayangan akan petumpahan darah sesame anak bangsa sirna seketika. Tetapi kekhwatiran hal yang menakutkan itu akan terjadi, tetap saja ada. Soalnya, di lapangan, memang sangat dirasakan adanya pihak-pihak yang berkeinginan membenturkan umat Islam dengan TNI dan Polri. Ini berpotensi besar menimbulkan kekacauan. Rajinnya pihak tertentu mencari-cari kesalahan para ustadz ketika berceramah, dan kemudian melaporkannya ke pihak kepolisian adalah indikasi kuat ke arah itu. Arah untuk membenturkan Umat Islam dengan TNI dan Polri. Keinginan itu ada, dan dirasakan sangat nyata. Munculnya “gerakan” kirim karangan bunga ke Markas Kodam Jaya. Terlepas dari apakah itu real atau tidak, yang memberikan dukungan ke Pangdam Jaya atas instruksi pencopotan baliho HRS dan “kalau perlu” bubarkan FPI, juga indikasi ke arah itu. Apalagi kemudian, ada pula rakyat sipil yang secara demonstrative ikut menurunkan bahkan membakar baliho itu, dan menyatakan penolakan terhadap HRS dalam berbagai bentuk ekspresi. Tetapi memang, ini resiko dari sebuah masyarakat yang terbelah. Dalam masyarakat yang terbelah seperti ini, lembaga yang sejatinya berada di tengah dan jadi penengah dalam hal ini TNI dan Polri serta penegak hukum lainnya, oleh satu pihak diupayakan untuk ditarik dan digunakan alat untuk memukul pihak sebelah. Tidak pula sulit menentukan pihak sebelah mana yang berpeluang besar mempengaruhi TNI dan Polri dan penegak hukum lainnya. sudah barang tentu pihak yang dekat dengan kekuasaan. Jujur harus diakui, rakyat tampaknya terbelah sejak Pilkada DKI 2017 menyusul kemenangan Anies Baswedan. Kenyataan ini semakin terbelah menjelang dan sesudah Pilpres 2019. Sayangnya, pemenang Pilpres 2019 pun sepertinya kurang mampu secara persuasip mendinginkan suasana dan menyatukan kembali anggota keluarga besar bangsa yang bernama Indonesia ini. Umat Islam, yang merupakan bagian terbesar anak bangsa ini, diakui atau tidak, merasa diperlakukan secara tidak adil. Meraka merasa terus dipojokkan dengan berbagai isu, seperti radikalime dan intoleransi. Umat islam merasa sedang dijadikan objek kriminalisasi. Dalam suasana kebathian seperti itu, wajar saja umat Islam mendambakan sosok pemimpin yang dapat mewakili mereka untuk menumpahkan pikiran dan perasaannya. Apalagi memang, saat ini partai-partai yang mestinya menjadi penyuara nurani rakyat, ternyata asyik dengan mainannya sedndiri-sendri. Tidak bisa menangkap getar-getir hati rakyatnya. Munculnya sosok ulama seperti HRS adalah satu sosok pilihan yang kekosongan tokoh yang dikagumi rakyat. Dengan demikian, upaya “kriminalisasi” terhadap HRS, hanya akan membangkitkan semangat perlawanan. Apalagi merosotnya situasi ekonomi yang dialami bangsa saat ini. Semua pihak, terutama pemerintah, lebih fokus pada upaya keluar dari kesulitan. Persatuan dan kesatuan sangat penting. Hal-hal yang bisa menimbukan disharmoni antar anak bangsa harus sekuat tenaga dihindari atau diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan. Bukan dengan pendekatan kekuasaan yang menggangi hukum. yang terkenal tebang pilih atau tajam sebelah. Langkah nyata pemerintah mengembalikan rakyat yang sudah terlanjur terbelah menjadi solid kembali harus ada dan jelas. Jangan ada bagian anak bangsa ini, apalagi yang mayoritas merasa terdzalimi. Kemunculan RUU-RUU kontroversi, yang telah nyata memicu munculnya berbabagai keributan, agar ditiadakan. Keberadaan Buzzer, yang kerjanya tak lebih dari menghancurkan kelompok yang dianggap lawan, sudah saatnya diakhiri. Buzzer diperlukan untuk membangun citra penguasa, tapi tidak untuk membangun bangsa. TNI saat ini, betul-betul menjadi tulang punggung keutuhan bangsa. Sebagai alat utama pertahanan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. TNI menjadi tumpuan harapan terakhir agar bangsa ini tidak terkoyak dan tercabik. TNI harus bisa menempatkan diri sebagai penjaga keutuhan bangsa dengan bijak dan beribawa diantara masyarakat yang terbelah. TNI tidak boleh ditarik-tarik ke sebelah untuk memukul sebelah yang lain. TNI harus tetap berdiri tegak senbagai penjaga bangsa dan negara. Pemeritahan boleh berganti atau bubar berkali-kali. Tetapi TNI, negara dan bangsa ini tidak boleh terkoyak sekali pun. Dengan alasan apapun itu. Cepat atau lambat, percayalah, bila pihak tertentu sudah berhasil membenturkan TNI dengan rakyatnya, maka itulah saat di mana negara ini menuju kehancuran. Kekacauan itu bisa kita mulai kapan saja. Tatapi percayalah, kita tidak akan tahu kapan bisa mengakhirinya. Itu yang harus kita hindari bersama. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Sekjen DPP Masyumi Reborn.
Jokowi Hadapi Tiga Gelombang Aksi
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Rabu (02/12). Kasus pencarian terhadap kesalahan Habib Rizieq Shihab (HRS) dapat menimbulkan gelombang aksi masyarakat. Mencari-cari kesalahan dengan target penahanan dan proses peradilan atas HRS akan menciptakan gelombang aksi dari Front Pembela Islam (FPI) yang anggota tercatat sebanyak lima orang, massa alumini 212, dan pendukung HRS lainnya. Aksi massa akan datang pada setiap sesi proses mulainya pemeriksaan terhadap HRS di Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Berita-berita tentang aksi tersebut akan memenuhi media dalam dan luar negeri. Isu pendzaliman terhadap HRS akan mengemuka sejalan dengan militansi yang tinggi dari peserta aksi. Keriuhan tercipta dengan sendirinya. Gelombang aksi kedua adalah buruh yang belum puas dengan pengundangan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Agenda aksi pun diperkirakan akan terus berkelanjutan. Kerugian pada penciptaan stabilitas politik, dan perusahaan yang terdampak akibat seringnya aksi-aksi buruh. Dampak dari seringnya aksi buruh adalah produksi barang dan jasa akan jeblok dengan sendirinya pada banyak perusahaan. Pengusaha bisa gulung tikar, atau ikut turut menekan pembatalan UU Omnibus Law yang dinilai telah membuat sial tersebut. Pengusaha dihadapkan pada pilihan yang sangat pahit. Maju kena, mundur juga ikut terkena dampak. Gelombang potensial ketiga adalah bangkitnya massa pereaksi Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasil (BPIP). Sinyal kuat yang terkirim dari DPR adalah pemaksaan RUU HIP dan BPIP untuk masuk agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Perlawanan terhadap pemaksaan RUU HIP dan BPIP ini diperkirakan akan keras, apapun resiko yang dihadapi para penentang. Perlawanan atas penyelundupan nilai-nilai kiri faham komunis pada RUU HIP dan BPIP tersebut, akan membangun solidaritas umat Islam yang anti komunis atau mewaspadai bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI) model baru. Gelombang perlawanan ideologis bukan masalah kecil. Temanya strategis membela dan menjaga keselamatan ideologi Pancasila. "Tiga Ledakan" ini awalnya tentu saja dapat dikendalikan. Tetapi jika spirit perjuangan menguat, maka seperti biasa dalam pergerakan politik dimana pun berujung pada situasi yang tak terkendali. Gerakan perubahan politik dan desakan untuk mundur Presiden Jokowi merupakan suatu keniscayaan. Perasaan sama pada rakyat tak akan reda oleh penangkapan atau penekanan. Sikap pemerintah yang represivitas hanya menjadi sebab dari perubahan yang bakalan lebih cepat. Apalagi pemerintahan Jokowi sebenarnya rapuh. Banyak faktor lain yang menyulitkan keajegan pemerintahan Jokowi. Milsanya, kondisi keuangan negara yang semakin ambyar, tekanan kehidupan atas pendapatan dan kebutuhan hidup keluraga, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) utang yang hampir mencapai Rp 7.000 triliun membuat kondisi pemerintahan makin goyah. Rakyat yang semakin jenuh dengan kebijakan penanganan pandemi Covid 19. Apalagi pemerintah terlihat tidak konsisten dan tak jelas arahnya. Suka berubah-ubah sesuai yang dimimpikan. Pagi tempe, sore bisa saja dele. Konflik global Amerika-Cina yang memang"diundang" untuk hadir meramaikan dinamika politik domestik. Kini Polisi dan TNI cukup mampu terkendali "secara baik". Namun bukan mustahil perkembangan politik ke depan akan terjadi pembelahan disana-sini. Pemihakkan pada rakyat bakal terbentuk secara gradual atau mungkin bisa lebih cepat yang diperkirakan sebelumnya. Pemerintahan Jokowi diharapkan arif menimbang cara menangani perbedaan dalam masyarakat. Jangan arogan, sok punya kekuasaan dan sekedar mengandalkan kekuatan aparat untuk membungkam rakyat. Api kejengkelan rakyat sulit diredam dengan alat paksa sekuat apapun. Ada fase fase yang tidak lagi peduli dengan rambu-rambu protokol. Situasi akan semakin sulit. Untuk itu, sebaiknya segera kembali untuk berbenah diri. Membangun kembali iklim dialogis dan konsensus yang terlanjur berantakan. Bukankah kandungan sila-sila Pancasila merupakan filosofi, metodologi, dan solusi bagi masalah yang dihadapi bangsa dan negara ? Jokowi tentu menyadari bahwa dirinya adalah figur yang tidak hebat amat. Karenanya perlu antisipasi atas kekuatan rakyat yang dipastikan amat hebat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Publik Konsentrasi ke Habib Rizieq, PDIP Sibuk Memaksakan RUU HIP
by Asyari Usman Medan FNN - Rabu (02/12). Rakyat harus terus ‘alert’, tetap waspada. PDIP masih memaksakan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) menjadi UU. Mereka akan lakukan segala cara untuk meloloskan itu di DPR. Suasana politik yang sedang riuh saat ini sangat menguntungkan Partai Banteng. Mereka punya kesempatan baik. Kasak-kusuk mereka untuk menggolkan RUU HIP tak terlihat oleh publik. Karena konsentrasi publik tertuju pada upaya penguasa untuk menjerat Habib Rizieq Syihab (HRS). Posisi terakhir, PDIP berkeras agar RUU anti-ketuhanan itu masuk rombongan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Artinya, RUU ini akan mereka paksakan lolos tahun depan. Di DPR, PDIP merasa kuat. Dan mereka dengan segala cara menggiring sejumlah fraksi untuk mendukung keinginan mereka yang sangat berbahaya itu. Itulah sasaran PDIP, yaitu penghapusan Pancasila. Partai ini akan mengusahakan sekuat tenaga agar Pancasila menjadi Trisila kemudian menjadi satu sila (Ekasila) saja. Mereka ingin mengganti Pancasila dengan sila gotong-royong saja. Ini akan terealisasi jika RUU HIP bisa lolos. Rakyat jangan pernah lengah. Jangan lupa dengan tujuan akhir PDIP: yaitu menghapuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa (YME). Partai berlambang kepala banteng ini tidak pernah senang dengan konsep Ketuhanan YME. Sebab, konsep ini adalah pondasi Tauhid yang menjadi pilar utama Islam. PDIP tidak suka ini. Sebab, dari Ketuhanan YME itulah lahir kewajiban negara untuk melindungi semua agama, termasuk Islam. Atas dasar sila pertama Pancasila ini pula terkristalkan praktik pemerintahan dan ketatanegaraan yang memberikan ruang bebas untuk pendidikan agama. Ruang bebas untuk pengembangan dakwah, dan fasilitasi bagi penerapan sejumlah hukum syariat yang sangat fundamental dalam sistem sosial umat Islam. Ini yang membuat para petinggi PDIP tak bisa tenang. Mereka tak henti-hentinya mencoba agar agama, khususnya, Islam tidak terus menjadi kekuatan sosial-politik yang solid. Partai yang sangat ramah dengan paham komunis ini kelihatannya menghendaki agar manusia Indonesia tak kenal Tuhan. Kalaupun bertuhan juga, maka konsep ketuhanan itu cukup berbasis kebudayaan saja. Sebagai contoh, yang beragama Islam hanya menjalankan ritual tanpa syariat. Cukuplah bertuhan dengan mengedepankan upacara-upacara tradisional tanpa panduan kitab suci. Itu yang mereka sebut “ketuhanan yang berkebudayaan”. Inilah yang ingin dibangun PDIP. Untuk tujuan itu, mereka harus melenyapkan sila Ketuhanan YME. Untuk menghapus sila pertama itu mereka perlu UU HIP. Untuk sampai ke sini, PDIP akan berjuang keras agar RUU yang ditentang rakyat itu bisa disahkan tahun depan (2021). Jadi, jangan Anda pernah lengah. PDIP sudah berhasil menyelipkan RUU HIP ke Prolegnas Prioritas 2021 di tengah kisruh soal Habib Rizieq, heboh Pilkada, dan carut-marut penanganan Covid-19. Untuk itu, perlu waspada, taruhannya sangat besar. PDIP akan menyeludupkan RUU kontroversial itu sampai ketuk palu menjadi UU. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Penguasa Baru Itu Bernama Satgas Covid 19
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (30/11). Kasus Ketua Satgas Penanganan Covid 19 Bima Arya yang Walikota Bogor menunjukkan watak arogansi dan kesombongannya. Bima melaporkan Direktur Rumah Sakit UMMI Bogor ke Polisi. Menurut Bima Arya, Rumah Sakit UMMI tidak terbuka dalam menyampaikan prosedur dan hasil test swab atas Habib Rizieq Shihab (HRS) yang dirawat di RS UMMI Bogor. Rumah Sakit dan dokter tentu punya aturan dan kode etik sendiri mengenai pasiennya. Sehingga apa yang dilakukan tentu dengan dasar dan pertimbangan medis. Bukan pertimbangan non medis. Sikap seenaknya saja main lapor adalah cermin keangkuhan seorang pejabat. Bahkan prilaku Bima Arya dinilai sarat akan muatan politis. Politisasi masalah kesehatan. Walikota Bima Arya semestinya dilaporkan juga oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atau pihak Rumah Sakit UMMI ke pihak Kepolisian. Bima Arya bisa saja dituduh mau mengacak-acak aturan dan kode etik yang sudah baku, dan berlaku di dunia kedokteran selama ini. Dokter berhak untuk tidak menyampaikan hasil pemeriksaan dan data pasien kepada publik. Satgas Covid kini adalah raja atau penguasa baru. Dimana-mana urusan ditentukan oleh Satgas. Tidak bakal keluar izin tanpa rekomendasi Satgas atau Gugus Tugas (Gutas). Jadi teringat ketika Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jawa Barat (Jabar) akan mengadakan Deklarasi. Ketika itu, semua persyaratan izin sudah selesai dipenuhi. Bahkan hotel pun telah dibayar. Namun gagal untuk melakukan deklarasi KAMI Jabar di tempat yang telah dicantumkan dalam pengumuman hanya karena Gugus Tugas membatalkan rekomendasi. Seenaknya saja. Sesuka hati saja. Apa dasar hukum kekuasaan Satuan Tugas Penanganan Covid 19, sehingga menjadi raja diraja. Satgas menjadi penentu dari segala aktivitas kehidupan bermasyarakat saat ini. Padahal soal pandemi Covid 19, semua masyarakat sudah tahu dan memahami situasinya, karena sudah berlansung hampir sembilan bulan. Tragisnya, Satgas Covid 19 dijadikan alat oleh rezim sekarang ini sebagai penguasa baru untuk menghambat dan menghalangi kegiatan masyarakat sipil (civil society) yang dianggap oposisi. Situasi pandemi Covid 19 tidak boleh dijadikan sebagai legitimasi bagi Satgas Penanganan Covid 19, sehingga memiliki kewenangan yang tidak terbatas (extra ordinary). Kewenangan untuk menyatakan seseorang atau sekelompok orang melakukan perbuatan pidana lalu dengan semaunya, sehingga melaporkan ke pihak kepolisian. Bisa terjadi penyalaggunaan kekuasaan. Indonesia ini negara hukum. Bukan negara Satgas, pak Bima Arya. Jika Direktur Rumah Sakit atau Dokter diproses hukum atas dasar alasan tidak membuka rahasia pasien, maka betapa banyak kelak korban akan berjatuhan. Semestinya jika dinilai ada kekeliruan, maka kepada lembaga profesi seperti IDI pengaduan disampaikan. Baru setelah ada kejelasan menurut kompetensi medis, maka diputuskan dapat atau tidaknya berlanjut ke ranah hukum melalui Kepolisian. UU Kekarantinaan Kesehatan dilaksanakan penuh dengan multi tafsir. Ketika pilihan kebijakan adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan bukan Karantina Nasional, maka ada tidaknya sanksi pidana masih diperdebatkan di kalangan ahli hukum. Demikian juga soal test swab tentang kewajiban rakyat atau pasien membuka informasi, itupun perlu penjelasan dan aturan yang jelas. Demikian juga kewenangan Satgas yang berada di ruang administrasi atau hukum. Menjadi sama dengan aparat keamanan kah atau berstatus sebagai "Polisi Kesehatan"? Sebab, yang jelas UU No 44 tahun 2004 tentang Rumah Sakit mengatur adanya hak pasien untuk mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita beserta data-data medisnya. Kacau negara ini jika seenaknya memberi kewenangan tanpa dasar hukum yang jelas. Pandemi Covid 19 tak boleh menjadi alat untuk merampok uang negara, atau menghukum sewenang-wenang seseorang atau institusi hanya dengan tafsir sepihak saja. Pak Bima Arya yang terhormat, kembali lagi dipertegas bahwa Indonesia ini menurut Konstitusi adalah Negara Hukum (Rechstaat). Bukan Negara Kekuasaan (Machstaat). Apalagi Negara Satgas (Satgasstaat)! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Hukum.
Bertindak Politis, Bima Arya Bagian Dari “Political Web” Istana
by Asyari Usman Medan FNN - Sungguh sangat aneh tindakan Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto (BAS) dalam mempersekusi Habib Rizieq Syihab (HRS) yang akhirnya terpaksa keluar dari RS Ummi di Bogor. HRS masuk ke RS swasta itu pada 25/11/2020 karena ingin berobat sambil beristirahat. Mungkin karena masa-masa Covid-19 ini, HRS menjalankan tes swab. Kebetulan dengan bantuan tim medis Mer-C. HRS dan keluarga memang sejak lama menggunakan Mer-C untuk keperluan medis mereka. Keberadaan HRS di RS Ummi sampai ke telinga Bima Arya. Entah karena arahan siapa dan tekanan dari mana, Bima melakukan inspeksi ke RS Ummi. Menyelidiki kondisi Habib. Dan memaksa agar ikut ditangani oleh Dinas Kesehatan setempat. Bima juga mendesak agar HRS sekeluarga dites swab ulang. HRS merasa tidak perlu diulang. Sebab, pemeriksaan awal pihak RS tidak menunjukkan ke arah Covid. Beliau cuma kelelahan saja. Disebabkan aktivitas yang sangat intens sejak tiba kembali di Indonesia pada 10 November. Herannya, tindakan Bima menjadi berlebihan. Dia mengultimatum pimpinan RS Ummi. Kemudian, lewat jalur Satgas Covid Bogor, Bima melaporkan RS itu ke kepolisian Bogor dengan tuduhan menghalang-halangi pencegahan Covid-19. Publik melihat tindakan BA berlebihan terhadap Habib. Dengan alasan semua orang harus mengikuti prosedur penanganan Covid-19. Alasan normatif ini tidak ada masalah. Cuma, ‘acting’ Bima mencolok. Seolah menunjukkan bahwa dia sedang mencari perhatian. Atau, jangan-jangan dia memang telah diberi ‘green light’ untuk mencecar Habib. Ternyata, menurut pengakuan Bima, memang ada pesan WA anonim yang memberitahukan keberadaan HRS di RS Ummi. Ketua DPRD Bogor menyayangkan tindakan Walikota Bima Arya. Tim dokter Habib juga mencela cara-cara Bima. Entah sebab apa, akhirnya walikota dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengatakan dia akan mencabut pengaduan polisi terkait RS Ummi. Drama singkat yang ‘dibintangi’ Bima ini dikecam netizen. Walikota mengatakan, intervensi yang dia lakukan tidak ada kaitan dengan politik. Di sini, Bima agak konyol. Mengira publik tidak paham apa yang dia lakukan. Bima sendiri yang kelihatan pura-pura tidak tahu bahwa apa pun yang terjadi antara penguasa dan HRS, semuanya berangkat dari terminal politik. Untuk saat ini, apa saja yang terkait dengan Habib, pasti politis sifatnya. Para penguasa tidak bisa pungkiri aspek itu. Bima Arya adalah bagian dari “political web” Istana yang memusuhi Habib Rizieq. Jadi, yang dilakukan oleh Walikota Bogor itu terhadap HRS sederhana saja deskripsinya. Bahwa dia sedang menjalankan ‘tugas politik’ dalam rangka memojokkan dan mendegradasi Habib Rizieq. Itulah motifnya.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)
Menhan Prabowo Menolak Mundur?
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (28/11). Setelah berhari-hari diam dalam sunyi, DPP Partai Gerindra akhirnya menyampaikan pernyataan resmi soal penangkapan kadernya, Menteri KKP Edhy Prabowo. Respon itu sangat terlambat. Lebih dari 3 X 24 jam. Edhy Prabowo ditangkap di Terminal 3 Bandara, Soetta, Cengkareng Rabu dinihari (25/11) pukul 00.30 Wib. Sementara pernyataan resmi partai baru Jumat petang (28/11). Dari sisi komunikasi politik, kerusakan sudah terjadi. The damage has been done. Berita di media massa sangat massif. Umumnya menuntut agar Prabowo segera memberi penjelasan. Di media sosial lebih sadis lagi. Meme, potongan video, maupun arsip berita lama tentang Prabowo, bermunculan bagai air bah. Image yang lekat dalam ingatan publik, Prabowo adalah figur yang sangat anti korupsi. Jejak digitalnya mudah dicari. Tinggal di recall, ingatan publik segera kembali. Jadi jangan kaget kalau muncul potongan video, atau link berita: ”Korupsi di Indonesia Sudah Stadium Empat!” “Prabowo Akan Masukkan Sendiri ke Penjara kader Gerindra yang korupsi.” Dan yang lebih sensasional adalah janji Prabowo akan mengejar koruptor sampai ke Antartika! Ketika muncul kasus Edhy, orang kepercayaannya kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, wajar bila ekspektasi publik terhadap Prabowo sangat tinggi. Publik menuntut janji Prabowo. Untuk kasus-kasus semacam ini, harusnya cepat dilakukan mitigasi. Bahkan harus ada semacam manual book, buku panduan jika terjadi hal-hal semacam ini. Sehingga tidak ada kesan partai tergagap-gagap. Politisi, apalagi yang menjadi pejabat publik ditangkap karena menerima suap atau korupsi, bukankah sudah jamak? Harus ada antisipasi jauh-jauh hari. Benar bahwa Ketua Harian Sufmi Dasco Ahmad sudah memberi keterangan media. Namun sifatnya hanya normatif, bahwa Prabowo sudah mendengar informasi penangkapan Edhy. Pilihan “hanya” Sekjen yang menyampaikan penjelasan, secara komunikasi politik sudah benar. Penangkapan pejabat sekelas menteri, setelah KPK sekian lama mati suri, harus disikapi dengan hati-hati. Ada nuansa pertarungan politik tingkat tinggi, yang harus dihitung dengan cermat dan infonya harus akurat. Bila Sekjen salah menyikapi, maka kesalahannya masih bisa diperbaiki oleh ketua harian. Prabowo bisa berperan sebagai last resort jika di level bawahnya terjadi kesalahan. Contohnya pada kasus klaim bahwa Prabowo berperan dalam kepulangan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab. Isu ini sangat sensitif bila dikaitkan dengan posisi Gerindra sebagai partai pendukung pemerintah. Ketua Harian Sufmi Dasco Ahmad kala itu langsung menyampaikan ralat. Dia menyalahkan media dan menyebutnya sebagai “isu liar.” Prabowo tetap bertahan Bila kita cermati, pernyataan sikap yang dibacakan Muzani benar-benar dipersiapkan secara matang dan hati-hati. Bersifat standar dan terbuka. Hal itu menunjukkan Gerindra masih mempelajari segala sesuatunya dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja terjadi. Misalnya Muzani menyatakan percaya kepada KPK akan bersifat transparan. Meminta agar publik mengedepankan praduga tak bersalah. Gerindra juga minta maaf kepada Jokowi, Ma’ruf Amin, dan anggota kabinet. Mereka juga percaya bahwa pelayanan publik, proses pembangunan akan terus berjalan. Pada bagian akhir Muzani meminta maaf kepada masyarakat dan meminta agar kader solid. Tidak ada respon yang emosional, apalagi menyalahkan pihak lain. Begitu juga soal desakan agar Prabowo mundur, tidak ditanggapi. Dari pernyataan Muzani dapat disimpulkan, Gerindra menyampaikan pesan. Mereka akan tetap bertahan di pemerintahan. Prabowo juga menolak mundur. Namun bila kita cermati, ada yang tidak terucapkan. Prabowo masih bersikap wait and see. Menunggu langkah Jokowi berikutnya. Keputusan politik Gerindra sangat tergantung dengan sikap dan keputusan politik Jokowi. Sejauh ini Jokowi hanya memberi penjelasan pendek ke media, bahwa dia percaya KPK bertindak transparan. Jokowi juga minta publik menghormati proses hukum. Langkah Jokowi berikutnya adalah menunjuk orang kepercayaannya Menko Marinvest Luhut Panjaitan, sebagai Menteri KKP ad interim. Kebetulan kementerian yang dipimpin Edhy berada di bawah koordinasi Luhut. Tak lama setelah ditunjuk Jokowi, Luhut langung beraksi. Dia minta KPK tidak berlebihan dalam bertindak. Dia juga mengatakan, Edhy orang baik, dan kebijakannya benar. Terkesan Luhut pasang badan. Yang lebih menggembirakan, dia menyatakan tak ingin lama-lama memegang posisi Menteri KKP. Pekerjaannya sendiri sudah berjibun. Bagaimana sikap Jokowi selanjutnya? Apakah posisi yang ditinggalkan Edhy akan diserahkan ke partai lain, diserahkan ke profesional? Atau tetap diserahkan ke Gerindra? Sikap Jokowi akan menentukan langkah lebih lanjut Prabowo. Bila dikurangi jatahnya, sangat mungkin dia mengambil langkah drastis. Termasuk opsi mundur. Keputusan mempertahankan jatah kursi Gerindra, sebagaimana sama-sama kita pahami, tidak hanya semata berada di tangan Jokowi. Dia harus mendengarkan, bahkan menjalankan apa yang diinginkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati. Bagaimanapun PDIP adalah pemegang saham terbesar pemerintahan Jokowi. Mereka punya hak veto. Bagaimana Megawati memandang Prabowo, setelah sekian lama bersama di pemerintahan? Apakah tetap melihat Gerindra terutama Prabowo sebagai sekutu potensial 2024, atau tidak? Bila tidak, atau malah dianggap potensial bakal menjadi lawan, ya diamputasi. Kalau itu terjadi, maka dinamika politik akan sangat menarik. Karena itu lah mengapa Prabowo sampai sekarang masih terus diam. Dia mengamati dengan cermat dinamika yang berkembang. Harap dicatat, penangkapan Edhy hanya berselang sekitar dua pekan setelah Prabowo kembali dari kunjungan ke beberapa negara, termasuk AS. Kunjungan Prabowo ke AS ini sangat menarik dan pantas dicermati. Kental dengan kalkulasi politis. Selama 20 tahun terakhir, dia di black list. Tidak bisa masuk ke negeri Paman Sam. Prabowo masuk dalam daftar para jenderal yang dituding melakukan pelanggaran HAM. Sekarang Prabowo bisa melenggang. Berkunjung dan bertemu dengan sejumlah pejabat penting. Mengapa? Kunjungan itu dinilai sukses. Dari Perancis, negara sekutu AS di NATO Prabowo juga mendapat persetujuan untuk membeli pesawat tempur Rafale. Tiba-tiba ketika dia kembali ke Tanah Air mendapat kado spesial, orang kepercayaannya di OTT KPK. Ada apa? End Penulis, wartawan senior FNN.co.id
Bocor, Rencana Invasi Militer RI ke Petamburan
by Asyari Usman Medan FNN - Sabtu (28/11). Di tengah ketegangan politik antara RI dan Petamburan beberapa hari lalu, para ahli strategi perang di Jakarta rupa-rupanya telah menyiapkan rencana komprehensif untuk mengepung wilayah Habib Rizieq Syihab (HRS) itu. Rencana besar ini bocor ke sejumlah wartawan internasional. Rencana invasi militer itu tertera di dalam dokumen yang berjudul “Liberating Petamburan” (Membebaskan Petamburan). Namun, pihak RI mengeluarkan bantahan. Mereka mengatakan dokumen tentang serangan militer terhadap Petamburan itu seratus persen hoax. Meskipun dokumen itu dikatakan hoax, tetapi rencana untuk melumpuhkan basis FPI itu sangat menarik untuk dicermati. Strategi yang sangat canggih dan berbiaya mahal. Menurut dokumen yang bocor itu, Petamburan akan digempur dari laut, darat dan udara. Untuk serangan laut, pihak RI akan membuat semacam “waterways” (sungai besar) yang mengeliling wilayah Petamburan. Kali Ciliwung yang berada di sebelah timur Petamburan akan diperlebar menjadi 600 meter. Kedalamannya akan dikeruk menjadi 150 meter. Sungai lebar ini akan dibuat mengeliling Petamburan. Pelebaran Kali Ciliwung sampai 600 meter dengan kedalaman 150 meter itu diperlukan agar kapal perang RI bisa masuk mendekati wilayah Petamburan. Puluhan kapal perang jenis ‘destroyer’ dan ‘frigate’ disiapkan untuk gempuran laut. Dikerahkan juga sejumlah kapal selam dan kapal penyapu ranjau. Untuk serangan udara, RI berencana membangun dua ‘air strip’ (landasan pacu) baru di Tangerang Barat dan Bekasi Timur. RI akan mengerahkan 60 pesawat tempur jet dari berbagai jenis. Ada F16 dan Sukhoi. Sedangkan sejumlah helikopter Apache yang bisa tinggal landas dan mendarat vertikal akan dikerahkan khusus untuk mencopot baliho HRS. Disebutkan, serangan udara akan berlangsung tanpa batas waktu. Selain itu, negara sahabat dari Utara akan meminjamkan 40 jet jarak jauh yang ‘fully loaded’ dengan rudal udara ke darat. Kalau belum memadai, RI akan meminta bantuan negara sahabat dari Utara untuk meminjamkan kapal induk yang membawa 40 jet tempur. Kapal induk akan masuk ke Petamburan melalui “waterways” yang mengelilingi wilayah kecamatan itu. Untuk serangan darat, RI akan mengerahkan sekitar 70 tank, puluhan artileri, dan berbagai kendaraan lapis baja. Puluhan ribu tentara dari berbagai kesatuan akan dikerahkan. Inilah poin-poin penting yang tertera di dokumen rahasia tentang rencana penyerbuan Petamburan. Alhamdulillah, ketegangan politik antara RI dan Petamburan telah mereda. Serangan militer besar-besaran tak jadi dilancarkan. Tensi ketegangan politik menurun setelah Panglima Operasi RI membuka komunikasi dengan Petamburan.[] Penulis wartawan senior FNN.co.id