NASIONAL
Dua Jenderal Dicopot, HRS Akan Dipenjara?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Selasa (17/11). Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) membuat penguasa panik. Itu wajar-wajar saja. Selama ini, sepak terjang Habib Rizieq dianggap sangat merepotkan penguasa. Apalagi ketika tokoh yang dipanggil HRS ini terus-menerus menyerukan Jokowi mundur. Kendati seruan ini tak lagi terdengar setelah HRS pulang ke Indonesia. Sudah berubah? Atau memang lagi atur strategi? Begitu juga narasi revolusi. Kata ini sering keluar dari caramah HRS. Namun belakangan, kata revolusi berubah jadi “revolusi akhlak”. Tentu saja beda makna dan penekananya. Apakah ini bagian dari strategi untuk menghindari pasal makar? Yang pasti, kepulangan HRS telah memakan banyak korban. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Nana Sujana dicopot. Begitu juga Kapolda Jawa Barat Irjen Pol. Rudi Sufriadi juga dicopot. Tak hanya dua Kapolda, dua kapolres juga ikut dicopot, yaitu Kapolres Jakarta Pusat dan Kapolres Bogor. Empat perwira polisi ini adalah kepala kepolisian di wilayah dimana HRS mengadakan acara yang menghadirkan puluhan hingga ratusan ribu massa. Mereka berampat itu adalah perwira polisi terbaik. Bukan saja di wilayah hukukmnya, tetapi terbaik di seluruh Indonesia. Tentu tidak ada yang kebetulan. Pencopotan dua Kapolda dan dua kapolres secara bersamaan sulit jika tidak dihubungkan dengan sepak terjang HRS. Apalagi telah diungkapkan bahwa pencopotan mereka karena dianggap tidak tegas mencegah pelanggaran protokol kesehatan di acara HRS. Situasi politik makin tegang ketika Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta juga dipanggil Polda Metro Jaya hari ini terkait pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan HRS. Melalui surat bernomor B/19925/XI/RES. 1.24/2020/DITRESKRIMUM, Anies akan diminta untuk meberikan klasifikasi terkait acara HRS. Anies sebelumnya telah konferensi pers, dan menjelaskan kepada publik bahwa prosedur pencegahan terhadap semua kegiatan yang berpotensi menciptakan penyebaran Covid-19, termasuk kepada HRS, telah dilakukan. Melalui Wali Kota Jakarta Pusat, surat sudah dikirim. Bahwa Pemprov DKI tak memberi ijin segala bentuk kegiatan yang berpotensi terjadinya kerumunan. Anies telah menunjukan sikap yang tegas. Ini berlaku untuk siapa saja. Tidak panda bulu. Buktinya ketika HRS melangsungkan acara walimah dan Maulid Nabi, Anies memberi sanksi denda Rp. 50 juta kepada HRS. HRS berlapang dada dan langsung membayar denda itu. Cash pula! Anies telah menjalankan prosedur kesehatan dengan benar, sesuai Pergub Nomor 79/2020 tentang Protokol Kesehatan, dan Pergub Nomor 80/2020 tentang PSBB. Lalu, apa yang salah dengan Anies sehingga Ditreskrimum Polda Metro Jaya harus memanggilnya dan minta klasifikasi? Sementara, berbagai kasus pelanggaran terhadap protokol kesehatan telah banyak terjadi di berbagai wilayah selama rangkaian Pilkada 2020. Tetapi Bareskrim tidak memanggil kepala daerah tersebut. Kapolda dan kapolresnya juga nggak dicopot. Publik mempertanyakan tindakan ini. Ganjil saja! Misal di Solo dan Medan. Rombongan yang mengantar Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, anak dan menantu Jokowi untuk mendaftar Cawalkot ke KPUD berkerumun banyak orang. Banyak yang ngggak pakai masker. Mereka mengabaikan protokol kesehatan dan melanggar aturan PSBB. Kenyataan Gibran dan Bobby ini diungkapkan sendiri oleh ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP Bambang Wuryanto. Bambang mengatakan bahwa "kerumunan yang ditimbulkan dari massa pendukung Gibran dan Bobby saat mendaftar ke KPU merupakan hal yang tak dapat dihindarkan" ....ekspresi gembira suka bikin lupa bahaya, katanya lagi. (5/9) Begitu juga Parade Merah Putih di Kabupaten Banyumas. Ansor dan Banser mengerahkan 7.000 massa. Yaqult bilang 9.999 pasukan. Kegiatan parade ini mendapatkan ijin dari pemerintah daerah. Mungkinkah 7.000 atau 9.999 orang ini bisa menghindari kerumunan? Saat berbaris, mungkin bisa. Sebelum dan setelah acara? Apalagi saat mereka sedang menyantap lezatnya makanan yang dihidangkan. Demikian juga dengan kegiatan pengajian dan dzikir Habib Lutfi di Pekalongan Jawa Tengah. Sama dengan HRS, Habib Lutfi juga punya magnet sosial yang luar biasa besar. Tentu, setiap kegiatan yang Habib Lutfi adakan akan dihadiri oleh puluhan hingga ratusan ribu jama'ah. Mereka berkerumun, dan terjadi juga pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Banyak kegiatan-kegiatan lainnya yang dipastikan terjadi pelanggaran protokol kesehatan. Namun demikian, Kapolda, kapolres dan kepala daerah dimana pelanggaran itu terjadi, tetap amansaja . Tetapi, jika HRS yang mengadakan kegiatan itu, para pejabatnya patut untuk was-was. Ada rasa ketidakadilan disini. Itu pasti. Pemerintah dianggap tebang pilih dalam bersikap. Ada perlakuan yang berbeda antara HRS dengan yang lain. Sikap pemerintah ini patut dikoreksi dan dikritik. Sebab, ketidakadilan berpotensi menimbulkan kecemasan dan ketegangan sosial. Jika kita bertanya, mengapa perlakuan terhadap HRS berbeda dengan yang lain? Mengapa dua Kapolda dan dua kapolres tempat dimana HRS mengadakan acara harus dicopot? Mengapa Anies Baswedan, Gubernur DKI dipanggil Ditreskrimum Polda Metero Jaya untuk klasifikasi acara HRS? Jawabnya, HRS dianggap tokoh berbahaya. Karena itu, perlu dicegat langkahnya. Cara paling efektif adalah mendorong semua aparat kepolisian dan kepala daerah melarang dan menghalangi panggung HRS. Dengan dicopotnya dua Kapolda dan dua kapolres serta dipanggilnya Gubernur DKI, ini akan jadi peringatan buat para Kapolda, kapolres dan kepala daerah yang lain. Jika mereka tak mencegah kegiatan-kegiatan HRS berikutnya, maka nasib mereka bisa jadi akan sama dengan dua kapolda dan dua kapolres yang dicopot di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kepala daerah yang nekat, tak menutup kemungkinan akan berurusan dengan polisi. Lalu, bagaimana reaksi dan langkah HRS setelah melihat perlakuan seperti ini? Apakah akan menyerah dan berhenti ceramah? Atau tetap akan melanjutkan road show-nya memperbesar massa dan melakukan konsolidasi jama'ah untuk melaksanakan “revolusi akhlak”? Jika berhenti ceramah, atau ceramah via zoom, maka gaung HRS akan lambat laun memudar. Heroisme HRS akan melamah, lalu dilupakan rakyat. Disisi lain, jika HRS tetap melanjutkan road show-nya, boleh jadi ia akan menghadapi banyak persoalan. Terutama soal ijin acara dan tuduhan pelanggaran Covid-19. Tak menutup kemungkinan ada lagi kasus kriminal yang menjadi alasan HRS ditangkap dan dipenjara. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Mengapa Panglima TNI Uring-Uringan?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (16/11). Judul tulisan ini berkaitan dengan pernyataan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto di Cabang Denma Mabes TNI Jalan Merdeka Barat 14 November 2020 malam lalu. Pada pokoknya Panglima TNI menggaris bawahi soal pentingnya persatuan dan kesatuan dalam menjaga stabilitas nasional. Memang stabilitas nasional lagi bermasalah Pak Panglima? Kalau stabiltas nasional bermasalah, siapa yang menjadi pengganggunya? Pak Panglima tinggal tunjuk saja batang hidungnya. Pasti bakalan digebukin endiri ramai-ramai oleh rakyat. Namun bagaimana kalau yang mengganggu stabilitas nasionan itu, dengan sengaja membuat ekonomi terpuruk? Adakah TNI punya kemampuan untuk mendeteksi yang seperti ini? Apa yang sudah dilakukan Dimana peran deteksi intelijen TNI terhadap mereka yang menggagas dan menjadi inisiator Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Sekarang telah berubah lagi menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Mengapa Pak Panglima TNI diam ketika rakyat ribut soal RUU HIP dan RUU BPIP? Mengapa Panglima tidak bilang “ada yang mau mengganggu stabilitas nasional”? Menariknya, pernyataan Panglima ini disamping bukan disampaikan dalam acara HUT TNI atau acara resmi TNI lainnya. Disampaikan saat Panglima didampingi Pangkostrad Letjen Eko Margiyono, Danjen Kopassus Mayjen Mohamad Hasan, Dankormar Mayjen TNI (Mar.) Suhartono, dan Dan Korpaskhas Marsda Eris Widodo Yuliastono. Artinya didampingi para koman dan pasukan "tempur". Menyangkut tugas TNI untuk menjaga persatuan dan kesatuan itu pasti. Sudah dipahami oleh semua prajurit TNI. Tugas TNI untuk menjamin stabilitas nasional, itu adalah hal yang normatif saja. Tetapi adanya sinyalemen dan nada ancaman, tentu menimbulkan tanda tanya. Adakah ketegangan dan kegelisahan yang mengharuskan TNI "keluar" seperti ini? Dua hal kandungan kegelisahan yang mencolo. Pertama, sinyalemen adanya provokasi dan ambisi yang "dibungkus dengan berbagai identitas". Kedua, kalimat ancaman "ingat, siapa saja yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa akan berhadapan dengan TNI. Hidup TNI, hidup NKRI". Lho, memangnya ada yang mau mengganggu? Ko nggak ditangkap? Tidak jelas juga target ancaman tersebut Panglima itu. Atau apakah itu berhubungan dengan nyanyian 'kasidah' prajurit TNI yang melantunkan "ahlan habibana" yang ditangkap dan diborgol tersebut? Betapa bahayanya nyanyian provokasi itu. Atau ketakutan oleh kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS), yang sejak penyambutan hingga acara-acaranya disambut dengan massa yang membludak? Jika urusan "sedahsyat" itulah yang dimaksud dengan pernyataan Panglima Hadi, maka sebenarnya TNI tak perlu gertak-gertak atau unjuk kekuatan segala. Kan ada Kepolisian yang siap menangani gangguan "provokasi" dan "ambisi" yang mengganggu keamanan. Ataukah TNI sudah tak percaya pada Polisi lagi? Kalau begitu adanya, maka terlaluuuuu. Netizen pun berkomentar macam-macam. Diantaranya meng-aplause tekad TNI untuk menjaga NKRI. Tetapi menyindir pontang-pantingnya para prajurit dan Panglima menghadapi "provokasi" dan "ambisi" pengganggu dan pengacau di Papua. Ngurus dan hadapi pemberontak bersentaja di Papua, nggak beres-beres. Namun kalau mengahadapi sivil society garangnya minta ampun. Demikian juga menghadapi ancaman Tentara Cina yang masuk, dan bergerak dengan leluasi di wilayah Kepulauan Natuna. Rakyat menyaksiklan dan melihat sendiri kalau "minder" nya TNI yang prajuritnya hebat-hebat itu. Baru mulai nyaman dari kegelisahan atas "provokasi" dan "ambisi" Cina itu setelah datangnya tawaran bantuan dari Amerika Serikat. Pompeo sang penenang jiwa. Kalau begini, ketegangan negara tak perlu diperlihatkan. Aada banyak cara, termasuk operasi intelijen untuk mengantisipasi "provokasi" dan "ambisi" dimaksud. Atau memang sebenarnya negara benar-benar sudah gelisah dan tegang ? Wah kasihan kalau begitu. Sebaiknya Pak Hadi Tjahjanto tidak harus tampil beringas unjuk kumis demi NKRI. Janganlah hanya menakut-nakuti dan berhadapan dengan rakyat, Pak TNI. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Negeri Mirzani Yang Harus Dibenahi
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (15/11). Nikita Mirzani ramai dibicarakan gara-gara melecehkan Habib Rizieq Shihab (HRS) yang pulang dari Mekakah Saudi Arabia. Sementara Abu Janda berakting jingkrak-jingkrak menggendangi Nikita Mirzani. Nikita Mirzani seperti dilindungi Polisi karena reaksi Ustad At Thuwailibi. Nikita pernah ditangkap di Hotel Kempinsky dalam kasus prostitusi. Publik pun ikut mengamati. Namun tidak berujung sampai ke pengadilan. Entah dimana mandegnya kasus penangkapan Nikita yang terkait kasus protitusi tersebut. Entah mendeg di polisi atau di jaksa? Yang pasti kasusnya hilang begitu saja. Seperti ditelan bumi begitu saja. Berbagai video kini beredar membuka data untuk melengkapi perilaku pelecehan yang dilakukan oleh Nikita Mirzani. Mulia dari tampilan saat berfoto sexy, hingga memberi uang kepada tukang parkir yang berujung pada fose tak senonoh. Sepertinya telah hilang rasa malu pada dirinya. Berucap dan berbuat semaunya. Suka-sekanya saja. Negeri Mirzani hanya sebutan saja. Hanya untuk menggambarkan tentang situasi negeri yang juga telah kehilangan rasa malu. Uang telah mampu membeli hampir semua kehormatan. State dignity yang tergadaikan karena kebutuhan akan pembiayaan. Siapapun boleh memakai apa saja di negeri ini, asal membawa uang. Uang kini telah menjadi patokan, rujukan dan sandaran utama dari persoalan bangsa dan negeri ini. Soal kooptasi atau aneksasi itu hanya konsekuensi saja. Ada tiga indikator karakter dari kondisi ini. Pertama, terjebak pada kesenangan duniawi semata. Sukses itu ditentukan oleh materi. Nilai-nilai spiritual, ruhani, dan agama menjadi terpinggirkan. Anggapannya hal itu urusan nanti. Sukses saat ini yang lebih penting. Time is money, time for an infrastructure 'boost'. Kedua, negeri dengan kekuasaan yang berbagi. Bagi-bagi kekuasaan atas dasar balas jasa dan dukung-mendukung. Cukong harus mendapat bagian proyek. Relawan harus dapat Komisaris dan lain jabatan berduit. Partai Politik mendapat Menteri. Rangkulan koalisi juga dapat bancakan. Kekuasan bersama “gotong royong”. Satu lubang rame-rame. Ketiga, aparat terlihat berebut untuk foto selfie dengan Mirzani, cukup ironi. Tragisnya, aparat yang bernyanyi "habibana" dianggap melanggar disiplin dan diborgol Polisi Militer (Polmil). Tetapi sejumlah aparat yang berfoto bersama Nikita dengan ceria malah dibiarkan begitu saja. Mestinya sama terkena sanksi dong. Artinya, Negeri Mirzani adalah negeri ketidakadilan. Gagasan besar Revolusi Mental gagal total. Sementara “Revolusi Moral dan Revolusi Akhlak” kini adalah pilihan. Dua gagasan revolusi yang terahir ini ya bisa menjadi alternatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Meski demikian, masih butuh penjabaran dan konsistensi. Nikita Mirzani bebas untuk berbuat apa saja. Semaunya sesukanya saja. Terlihat dan terkesan kalau Nikita dilindungi. Menunjukkan cara penyelesaian masalah dengan memproduksi masalah baru. Masalah terus-menrus bertumpuk tanpa solusi yang jelas. Pemerintah bikin pusing sendiri, dan hasilnya rakyat pun semakin jengkel. Badut dan pelacur politik selalu bahagia berjoget-joget. Bu Megawati, benar kata banyak orang bahwa bukan Jakarta yang amburadul. Tetapi Negeri Mirzani pimpinan Pak Jokowi yang harus segera dibenahi. Disikat dan dicuci agar lebih baik dan bersih. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Wapres Ma’ruf Amin Siap Bertemu Habib
by Asyari Usman Jakarta FNN - Minggu (15/11). Menyusul kepulangan Habib, rekonsiliasi menjadi salah satu topik yang tampaknya mengganggu sejumlah petinggi. Kepala KSP Jenderal Moeldoko mengatakan tidak perlu ada rekonsiliasi antara penguasa dan Habib. Karena, menurut Pak Moel, tidak ada masalah antara pemerintah dengan Habib. Tetapi, KKSP mengatakan itu setelah Habib memaparkan syarat-syarat rekonsiliasi yang dianggap berat. Habib menuntut pembebasan para ulama, aktivis politik, aktivis buruh, mahasiswa dan pelajar yang ditahan penguasa. Namun, kelihatannya para penguasa akan menghindar dari tuntutan ini. Sebab, kemungkinan mereka merasa arogansinya menjadi runtuh. Para penguasa tidak mau terlihat lemah. Statement gaya Moeldoko itu adalah cara untuk mengelak yang ‘elegant’. Hanya saja, rakyat menilai pemerintah terkesan ingin terus memelihara kegaduhan. Karena, pernyataan Pak Moel tentang “tidak ada masalah dengan Habib” pastilah mengerutkan dahi semua orang. Kenapa enteng sekali mengatakan tidak ada masalah. Bukankah Habib terpaksa meninggalkan Indonesia selama hampir tiga tahun itu gara-gara dipersekusi oleh berbagai institusi pemerintah? Untunglah pemerintah itu bukan Moeldoko saja. Artinya, tidak semua orang di tubuh pemerintahan mengedepankan arogansi. Wapres Kiyai Ma’ruf Amin, misalnya, melepaskan sinyal bahwa beliau siap bertemu dengan Habib. Sungguh-sungguh isyarat dari Pak Kiyai itu bernilai “statesmanship”. Menunjukkan kenegarawanan beliau. Pak Kiyai tidak ikut-ikutan bersikap ‘rejectionist’. Beliau tidak menutup diri. Pak Kiyai menunjukkan kepahaman tentang “how to lead a country” (bagaimana memimpin sebuah negara). Beliau mengerti bahwa memimpin bukan menggiring dan menghardik. Pak Kiyai tahu bahwa memimpin adalah memberikan ruang. Itulah yang kelihatannya mendorong Kiyai Ma’ruf untuk membuka diri bertemu dengan Habib. Kalau mau diletakkan di dalam konteks politik, Pak Kiyai melihat Habib sebagai realitas dan entitas yang tidak mungkin diabaikan. Umat akan mengapresiasi Kiyai Ma’ruf atas kesediaan beliau bertemu dengan Habib. Orang-orang dekat Pak Kiyai mengatakan pertemuan antara kedua tokoh penting itu akan segera dilaksanakan. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Benarkah Tahanan Politik Jumhur Positif Covid?
by Luqman Ibrahim Soemay Nabire FNN – Kamis (12/11). Tahanan politik dan akitivis Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Muhammad Jumhur Hidayat dikabarkan positif terpapar covid 19. Namun Jumhur kabarnya tidak sendirian yang positif terpapar virus laknat dan jahannam tersebut. Belasan tahanan lain yang ditahan Bareskrim juga dikabarkan mengalami hal yang sama. Tahanan politik dan aktivis KAMI yang lain seperti Syahganda Nainggolan, Anton Permana dan Kingkin Anida dikawatirkan berpotensi untuk tertular covid 19 juga. Meskipun demikian, sampai sekarang belom ada pernyataan resmi dari aparat kepolisian. Baik itu dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) maupun Devisi Hubungan Masyarakat Polri terkait informasi yang hari ini beredar WhatsAap (WA) tersebut. Sebelumnya dikabarkan tiga tersangka di Bareskrim positif terpapar virus covis 19. Dua diantaranya, yaitu Anita Kolopaking dan Hendri Rusli yang terkait kasus suap Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Sementara satu lagi adalah Darmansyah, yang terkait dengan kasus Batubara. Tersangka Hendri Rusli telah meninggal dunia karena positif terjangkit covid 19. Belum lama ini telah dilakukan test sweeb terhadap hampir seluruh tahanan yang ada di rumah tahanan Bareskrim Polri. Jumlahnya sekitar 150-an orang tahanan. Dari jumlah tersebut, dikabarkan 18 tahanan positif terpapar covid 19. Satu diantara tahanan yang positif itu adalah tahanan politik politik dan aktivis KAMI Muhammad Jumhur Hidayat. Kini ke 18 tahanan Bareskrim yang postitif terpapar covid 19 itu diisolasi di tiga kamar tahanan. Masing-masing kamar berisi 6 orang tahanan yang posotif. Namun cara ini dipastikan tidak menyelesaikan masalah. Bahkan sangat mungkin menambah masalah baru. Karena berkumpulnya banyak tahanan yang positif terpapar covid 19 lebih dalam satu kamar. Prinsip dari isolasi adalah berkurangnya bersentuhan secara fisik dengan orang lain. Makanya tenaga medis yang bertugas marawat dan melayani pasien positif covid 19, selalu diharuskan untuk melindungi diri. Misalnya, dengan menggunakan pakaian Alat Pelindung Diri (APD). Tujuannya untuk memotong dan memutus mata rantai penularan virus covid 19. Bila tahanan 6 orang digabungkan dalam satu kamar seperti sekarang, hampir dipastikan penyebarannya semakin menjadi-jadi. Bukannya semakin berkurang. Bahkan sangat berpotensi untuk menyebar ke mereka yang potensial selalu bersentuhan dengan para tahahan tersebut. Apakah itu para petugas di tahanan, para penyidik maupun yang lain. Langkah yang paling mungkin dilakukan Bareskrim Polri adalah membatarkan penahanan mereka yang telah dinyatakan positif terpapar covid 19. Supaya para tahanan itu segera dirawat dan diisolasi di tempat-tempat atau rumah sakit yang telah disediakan negara. Bisa dirawat di rumah sakit wisma atletik Kamayoran atau di Rumah Sakit Sulianti Suroso. Bareskrim Polri sebagai institusi negara yang menahan ke 18 tahanan yang positif covid 19 itu, maka Bareskrim harus beratanggung jawab terhadap peroalan yang sekarang menimpa mereka. Termasuk upaya-upaya untuk menyembuhkan mereka dari covid 19. Sebab sebelum ditahan, mereka dipastikan tidak terjangkit covid 19. Mereka baru terjangkit seteleh mendekam di tahanan Bareskrim Polri. Kondisi yang hari ini terjadi di tananan Bareskrim Polri ini, bukan saja telah membuat para tahanan lain yang negatif covid 19 merasa tidak nyaman. Bahkan keluarga dari tahanan yang tak terjangkit juga selalu merasa tidak nyaman dengan anggota keluraganya yang ditahan. Keluarga selalu was-was terhadap kondisi tersebut. Apalagi jumlah yang positif terjangkit sangat itu banyak. Bareskrim bisa saja dicatat sebagai institusi penegak hukum yang menelantarkan para tahanannya. Bahkan dapat dikatargorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Kejadian ini tentu menjadi catatan buruk terhadap satu satu intitusi penagak hukum di Indonesia. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Bravo Jenderal Gatot
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (12/11). Akhirnya Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo tidak datang menghadiri penganugerahan Bintang Mahaputera oleh Presiden Republik Indonesia di Istana Negara. Sebagai Pemerintah tentu sudah memenuhi kewajibannya. Sementara di lain pihak, Pak Gatot juga memiliki prinsip kuat untuk menolaknya. Terlepas dari narasi surat yang dikirim Pak Gatot kepada Presiden Jokowi, tetapi sikap untuk tidak menghadiri dalam situasi keprihatinan kesehatan dan politik seperti ini cukup memberi pesan yang aspiratif. Publik bisa menilai konten pesan tersebut dari lima aspek. Pertama, dengan menolak hadir pada penganugerahan yang bukan tanggal 17 Agustus adalah kritik atas pengubahan budaya yang selama ini berlaku. Hari Pahlawan sebaiknya khusus untuk penghormatan dan penghargaan kepada para pahlawan. Waktu yang spesial untuk para pahlawan. Kedua, Bintang Mahaputera untuk purna tugas setingkat Menteri tidak baik dipecah-pecah. Sebagian diberikan pada Hari Pahlawan. Sebab dengan protokol kesehatan semuanya dapat diberikan pada tanggal 17 Agustus sebagaimana biasanya. Seperti yang diberikan kepada mantan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Ketiga, sikap solidaritas seorang prajurit yang luar biasa. Tidak mau "makan tulang kawan". Begitu juga dengan solidaritas terhadap teman-teman seperjuangan di Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang sedang menghadapi kesulitan berupa penahanan di tahanan Bareskrim. Tidak bagus menerima penghargaan dari pemerintah di tengah "korps" menghadapi kesulitan. Harus senasib sepenanggungan. Apalagi pada pada waktu yang bersamaan, teman-teman seperjuanga juga ditahan oleh pemerintah hanya karena berbeda pendapat dengan pemerintah. Padahal substansi yang dijadikan alasan bagi pemerintah menanahan teman-teman KAMI nyata-nyata terjadi. Yaitu tata kelola negara yang kacau-balau dan amburadul. Hanya berdasarkan pendekataan kekuasaan sematar. Akibatnya, negara terancam keluar dari tujuan bernegara seperimana yang diamantkan oleh Pembukaan UUD 1945. Keempat, penunjukan menjadi salah seorang Presidium KAMI adalah amanah untuk memimpin upaya-upaya menyelamatkan bangsa. KAMI menilai bangsa dapat tidak selamat di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Tidak baik untuk menerima kalungan penghargaan dari Presiden yang nyata-nyata mesti diluruskan berbagai kebijakannya. Kelima, Pak Gatot Nurmantyo itu adalah contoh pemimpin bangsa dalam arti yang sebenarnya. Bukan pemimpin yang abal-abal, odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-belekang. Pemimpin yang diharapkan konsisten berjuang terus bersama dengan rakyat. Dalam situasi normal, maka 2024 adalah peluang untuk amanah kepemimpinan nasional. Dalam situasi darurat, dengan tetap bersama rakyat, maka menjadi lebih kuat dan solid. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Apa saja yang terjadi ke depan tidak ada yang bisa memprediksi. Yang terpenting adalah selalu bersama-sama dengan rakyat. Pak Gatot sebaiknya jangan mau untuk dijauhkan dengan denyut nadi rakyat seincipun. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) tidak jelas menyatakan bahwa penghargaan telah diterima. Sayangnya, suara Pemerintah lain menyatakan lain. Penghargaan Bintang Mahaputra yang disediakan untuk Pak Gatot justru kembali ke negara. Apapun itu, Pak Gatot Nurmantyo telah menunjukkan kualitas dan sikap yang sangat konsisten. Ciri dari pemimpin yang punya karakter. Pemimpinan yang sangat dirindukan oleh rakyat sekarang, di tengah krisisi pemimpin pandai menjilat untuk mendapat jabatan dan penghargaan. Sikap Pak Gatot merupakan sesuatu yang patut untuk diapresiasi. Sudah sesuai dengan apa yang memang sedang diharapkan oleh rakyat. Bravo, Pak Jenderal Gatot! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Anies Temui HRS, Ada Yang Salah?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (12/11). Habib Rizieq Shihab (HRS) Pulang. Tepat di hari pahlawan. Heroisme kepulangan HRS menjadi isu terhangat di media. TV One menayangkan secara live. Satu-satunya TV mainstream yang tayang secara live. Usai dhuhur, tayangan HRS di TV One berhenti. Berhenti atau karena dihentikan, tanya saja ke publik. Malam harinya, kepulangan Habib Rizieq jadi tema di program ILC TV One. Para narasumber sudah dihubungi. Sebagian besar menyatakan bersedia datang. Beberapa narasumber bahkan sudah dalam perjalanan menuju ke studio TV One. Namun acara ILC mendadak dibatalkan. Ada apa? Apa alasan dibatalkan? Hanya Karni Ilyas dan Tuhan yang tahu jawabannya. Tokoh yang dikenal dengan panggilan Imam Besar (IB HRS) ini memang penuh kontroversi. Pro-kontra mewarnai gerakan moralnya. Sejak mendirikan FPI hingga ketika HRS ini mengendalikan komandonya di Makkah selama tiga setengah tahun terakhir. Terkait dengan 17 persoalan hukum yang dituduhkan kepadanya, hingga ketegangannya dengan istana telah membuat HRS semakin populer. Kemampuannya untuk menggerakkan jutaan manusia membuat sejumlah pihak, termasuk istana was-was. Ditengah kontroversi kepulangan HRS, Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta malah mendatanginya. Bersilaturahmi, atas nama pribadi maupun Gubernur DKI. Kebetulan, HRS adalah warga DKI. Seorang tokoh, sekaligus ulama yang disegani dan berpengaruh, khususnya bagi warga DKI. Begitulah seorang pemimpin, mesti mampu membangun hubungan baik dengan semua unsur yang ada di masyarakat. Terutama para tokoh yang memiliki pengaruh terhadap warganya. Nggak peduli apa agamanya, dari mana asal etinisnya, dan apa mazhab politiknya. Mengembangkan hubungan dengan para tokoh diperlukan oleh setiap pemimpin. Pertama, untuk manjaga stabilitas sosial masyarakat. Banyak persoalan di tengah warga yang justru sangat efektif ketika menyelesaikannya melibatkan peran para tokoh agama maupun tokoh masyarakat. Kedua, menyusun agenda bersama untuk pembangunan kota Jakarta. Terutama pembangunan moral dan mental warga. Anies, selaku orang nomor satu di DKI melakukan peran ini. Merangkul semua pihak, terutama tokoh-tokoh berpengaruh seperti HRS. Tak ada alasan untuk tidak merawat hubungan baik dengan para tokoh, meski kontroversi sekalipun. Poinya adalah bahwa setiap tokoh yang punya pengaruh dan punya kontribusi untuk bangsa. Wajib bagi pemimpin untuk menjaga hubungan baik. Bahkan melibatkan peran sosialnya. Tidak peduli tokoh itu semazhab atau tidak semazhab dengannya. Begitulah mestinya seorang pemimpin. Harus mampu berdiri di atas semua golongan masyarakat. Masuk ke semua tokoh agama dan tempat ibadah. Anies datang dan kepada semuanya. Anies menyapa dan bersilaturahmi dengan mereka. Apalagi dengan HRS yang peran dan pengaruhnya terhadap masyarakat DKI sangat besar. Hanya pemimpin kerdil, picik, dan licik yang berdiri hanya di atas golongan dan kelompoknya sendiri. Silaturahmi dan sikap merangkul, itu etika dan langkah strategis yang harus terus dirawat oleh setiap pemimpin. Baik pemimpin daerah, maupun pemimpin nasional. Apalagi ini terkait dengan tokoh sekelas HRS yang kepeduliannya terhadap moralitas bangsa dianggap punya pengaruh cukup besar bagi masyarakat. Melalui "revolusi akhlak", HRS ambil risiko untuk masa depan bangsa dan negara. Sampai disini, apa yang salah dengan Anies? Mengapa kader PDIP, Gilbert Simanjuntak, berteriak dan menuntut mendagri mengevaluasi dan memberi sanksi terhadap Anies? Apa ada UU yang melarang seorang pemimpin bertemu warganya? UU nomor berapa dan pasal berapa seorang gubernur dilarang bersilaturahmi dengan tokoh agama? Apakah bertemu tokoh agama itu pelanggaran hukum? Ahok menista agama, lalu divonis dua tahun penjara. Itu saja anda boleh menjenguknya. Jelas-jelas ada vonis bersalah, ada pasal pasal yang dilanggar, anda tidak dilarang menjenguk. Presiden sekalipun tidak dilarang menemuinya. Begitu juga menjenguk para koruptor dan terpidana yang lain. Tidak haram! Kenapa bertemu HRS dipersoalkan? HRS bukan terpidana, bukan pula koruptor. Dia bukan penjahat. Kenapa hormat dan ta'dzim Anies kepada ulama anda masalahkan? Menyorot protab Covid-19, ada kesan mengada-ada. Ketika HRS pulang, yang disorot bukan masker dan social distancing. Tetapi pemerintah justru lebih fokus menyoal kepulangan HRS. Membincang masalah dan deportasinya. Seolah nggak peduli dengan protab covid-nya. Giliran Anies datang, ada yang cari-cari masalah terkait protab kesehatan. Kalau begitu cara elit selalu bersikap, nalar rakyat Indonesia akan jadi ikut rusak. Di egara hukum, masyarakatnya mesti bernalar hukum. Hukum itu untuk semua. Hukum bukan hanya untuk lawan politiknya. Jangan ada nalar golongan dan nalar kebencian. Fanatisme dan kepentingan golongan inilah yang merusak karakter kebangsaan. Rakyat butuh sikap kenegarawanan, bukan kampanye kebencian. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Aneh, HRS Ada Perjanjian dengan BIN?
by Mohamad Toha Surabaya FNN – Kamis (12/11). Menjelang kepulangan Imam Besar Habib Muhammad Rizieq Shihab (HRS) ke Indonesia, sempat “berurusan” dengan Dewan Keamanan Nasional Arab Saudi (SNSC) (bahasa Arab مجلس الأمن الوطني). SNSC bertanggung jawab mengkoordinasikan Keamanan Nasional, Intelijen, dan strategi Kebijakan Luar Negeri. Didirikan pada 2005 oleh Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al Saud. HRS sempat menceritakan detik-detik dirinya diperiksa oleh badan intelijen Kerajaan Arab Saudi itu. HRS Mengaku sempat menunjukkan dokumen perjanjiannya dengan Badan Intelijen Negara (BIN) kepada pihak Saudi. HRS awalnya menceritakan laporan yang diterima oleh SNSC. Berdasarkan laporan yang diterima badan intelijen Saudi itu, HRS sedang dikejar-kejar oleh BIN. Terakhir SNSC bilang “katanya anda ini dikejar-kejar badan intelijen dari negara anda”. Saya bilang, “nggak, saya nggak punya persoalan dengan badan intelijen Indonesia',” ungkap HRS di kanal YouTube Front TV, Selasa (10/11/2020). Kata otoritas Saudi, tapi ini ada laporannya. Anda bisa buktikan kalau anda tidak punya permasalahan dengan Badan Intelijen Indonesia”?. HRS menjawab punya”. Kepada SNSC, HRS mengaku, bisa membuktikan bahwa dia tidak sedang dalam pengejaran BIN. Baru kemudian ia menunjukkan dokumen perjanjiannya dengan BIN. Apa buktinya? tanya SNSC. Saya punya dokumen perjanjian antara saya dengan Badan Intelijen Indonesia. Saya terjemahkan ke bahasa Arab,” ucap HRS. Menurutnya, SNSC kaget saat dia menunjukkan dokumen perjanjian dimaksud. Singkat cerita, kata HRS, Badan Intelijen Saudi akhirnya meminta maaf. “Resmi di situ, dan dokumen ini kan belum saya buka ke masyarakat. Saya pikir nggak ada perlunya saya buka, kecuali darurat, saya tunjukkan, mereka kaget. “Anda punya perjanjian begini bagus dengan negara. Anda tak punya masalah kok dilaporkan macam-macam”. Nah ini yang jadi persoalan,” tutur HRS. Sebelumnya, Imam Besar HRS mengungkapkan upayanya pulang dari Arab Saudi ke Indonesia. Awalnya dituduh buron dari Indonesia, dan kabur ke Arab Saudi. Tuduhan itu sampai ke telinga pemerintah Arab Saudi berdasarkan laporan yang masuk. “Ada persoalan hukum yang saya hadapi, saya katanya red notice. Kemudian ada lagi yang mengatakan bahwa kalau saya ini orang politik, yang selalu bikin keributan dimana-mana. Nanti bahaya untuk keamanan Saudi”. “Ini laporan-laporan semacam ini saya tidak mau menuduh si A, atau si B, atau si C. Tetapi, ini ada, ini bukan laporan dari orang biasa. Kalau laporan dari orang biasa, tidak akan dihiraukan pemerintah Saudi. Ini laporan tingkat negara. Bukan tingkat RT, tingkat RW,” katanya. Bantah Dubes Agus Seperti sebelumnya diberitakan, Dubes Indonesia untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel menyebut ada aib yang dilakukannya selama tinggal di Saudi. Tetapi, Agus tak mengungkap aib itu. Agus hanya mengatakan, aib HRS itu tercantum dalam layar kedua sistem komputer imigrasi Arab Saudi. “Di layar kedua ini ada 2 kolom yang sensitif dan berkategori aib sehingga kami tidak elok untuk membukanya ke publik,” katanya (CNNIndonesia.com, Jumat, 6/11/2020). Aktivis Serikat Pekerja Migran Indonesia (SPMI) Wilayah Makkah, Syamsul Lombok, mempertanyakan yang dimaksud Dubes Agus melalui surat terbukanya. HRS dideportasi atau repatriasi? Pak Dubes Agus termasuk lah seorang die hard pemerintah yang rajin komen soal HRS. Banyak narasi yang kembangkan seputar HRS di tanah suci Makkah. Diantaranya adalah HRS Over Stay dan saat ini dideportasi,” tulisnya. Menurut Syamsul, bagi WNI yang tinggal di wilayah Kerajaan Saudi Arabia (KSA), istilah over stay dan deportasi ini sudah tak asing lagi. Kebetulan, ia selama hampir dua tahun mukim di Makkah, kerap berurusan dengan beberapa WNI over stay dan dideportasi dari Saudi. “Setahu saya, sejak pandemi Covid-19, pemerintah Saudi menutup sementara program deportasi para ekspatriat hingga hari ini sampai kemudian kondisi kembali normal,” ungkap Syamsul. Untuk saat ini, pemerintah Saudi hanya mengeluarkan kebijakan repatriasi bagi ekspatriat, termasuk WNI. Beda dengan deportasi. Repatriasi merupakan program pemerintah untuk memfasilitasi ekspatriat kembali ke negaranya masing-masing. Ekspatriat yang mengikuti repatriasi biasanya memiliki dokumen yang lengkap. Baik paspor, visa, izin tinggal, dan dokumen primer lainnya. Sedangkan untuk ekspatriat yang dideportasi, biasanya didominasi oleh eksptriat yang non-dokumen. Tidak dipungkiri, jika ada sebagian yang memiliki dokumen lengkap, tetapi telah melakukan pelanggaran hukum di wilayah Saudi. Bagi ekspatriat yang dideportasi, maka seluruh biaya yang timbul selama proses pemulangannya ke negara asalnya ditanggung oleh pemerintah Saudi. Sedangkan yang mengikuti program repatriasi, biayanya akan ditanggung secara mandiri oleh pribadi bersangkutan dan pihak pengguna jasa yang selama ini menggunakan jasa mereka. Bisa oleh syarikah (perusahaan) ataupun perseorangan. “Setahu saya, dalam kapasitas sebagai pengurus SPMI wilayah Makkah, sejak Februari 2020, pemerintah Saudi telah memoratorium program tarhil (deportasi) seiring ditutupnya akses penerbangan internasional dari dan menuju Saudi,” ungkap Syamsul. “Banyak sekali WNI over stay non dokumen yang mengeluh ke saya, gagal pulang ke Indonesia, gegara program deportasi pemerintah Saudi yang tidak kunjung dibuka hingga hari ini. Bahkan, ada banyak diantara WNI over stay non dokumen yang ditampung KJRI Jeddah karena terlunta-lunta di jalanan. Sepekan lalu, Syamsul dihubungi Kepala Atase Ketenagakerjaan KJRI Jeddah. “Beliau meminta saya mencari keberadaan seorang oknum Pekerja Migran Indonesia yang diduga menelantarkan istrinya. Sang istri dalam kondisi hamil dan hendak melahirkan, tetapi tidak punya dokumen lengkap dan berencana mengikuti program tarhil (deportasi)”. Berhubung program tarhil belum dibuka oleh otoritas setempat, jadilah TKW tersebut terlunta-lunta di taman Kota Jeddah. Meskipun yang bersangkutan kini diamankan di penampungan KJRI Jeddah. Ada juga WNI di Makkah yang sudah tidak punya pekerjaan sejak kebijakan lockdown Saudi. Dia juga tak punya dokumen resmi,” ujar Syamsul. Sebelumnya, dia bekerja sebagai guide (muthawwif). Berhubung pandemi corona, semuanya terhenti. Bersama beberapa rekannya mencoba menyerahkan diri ke pihak berwajib Saudi, agar bisa dideportasi. Tetepi, nyatanya dia ditolak dan disuruh kembali ke tempat tinggalnya. Karena menurut keterangan otoritas, tarhil belum dibuka kembali. “Saya ingin tanya kepada pak Dubes Agus, apakah benar program Deportasi sudah dibuka pemerintah Saudi”? “Kalau sudah dibuka, ada ribuan WNI kita yang over stay non dokumen yang siap mengikuti program tersebut. Saya siap membantu pemerintah mendata nama-nama WNI over stay yang ingin mengikuti program tarhil,” ungkap Syamsul. Seperti yang pernah dilakukan untuk mendata WNI saat penyaluran bantuan Covid-19 oleh KJRI Jeddah”. Siapa tahu, saudara kita ini bisa mengakhiri ketidak beruntungannya di negeri orang. Bisa berkumpul kembali dengan keluarganya di rumah. “Jangan-jangan Pak Dubes belum bisa membedakan antara repatriasi dengan deportasi? Mungkin juga Pak Dubes Tahu. Pasti tahulah. Namun pura-pira tidak tahu, dan akhirnya menyesatkan opini publik,” sindir Syamsul. Syamsul pernah beberapa kali bertemu HRS di kediaman beliau di Makkah. Bertemu juga dalam sebuah acara di rumah WNI di Tan'im. Bahkan, saya juga pernah ikut pertemuan dengan mantan Dubes RI untuk Saudi, Habib Salim Segaf dengan HRS beserta para pejabat KJRI dan Saudi di salah satu Vila mewah di pinggiran kota Makkah. Untuk pertemuan terakhir ini, HRS dapat pengawalan resmi dari pemerintah Saudi. Ada juga perwakilan dari KJRI Jeddah. Ada mantan Dubes RI di Saudi. “Yang mengejutkan saya, setelah lama pertemuan itu berlalu, salah seorang rekan pejabat KJRI Jeddah memberitahu saya, jika tuan rumah yang menyambut HRS dan Pak mantan Dubes itu adalah mantan Kepala Intelijen Saudi,” ungkap Syamsul. Jika HRS ini termasuk ekspatriat yang melanggar hukum di wilayahnya, apakah mungkin pejabat sekelas mantan Kepala Intelijen Saudi membiarkan HRS begitu dengan leluasa? Apa mungkin HRS bisa beberapa kali mengadakan pertemuan bersama WNI di Makkah-Madinah dengan aman dan lancar? Padahal, sistem administrasi kependudukan dan keimigrasian Saudi ini termasuk yang paling ketat di dunia. Semuanya terkontrol dan terintegrasi dengan baik. “Saya tidak tahu, apa masalah antara Pak Dubes dengan HRS. Yang ingin saya katakan, jika memang HRS dideportasi, maka mohon sampaikan salam dari ribuan WNI di Saudi kepada yang mulia Raja Salman, mereka juga ingin dideportasi oleh pemerintah Saudi.” Pertanyaannya kemudian, siapa sebenarnya yang “bermain” fitnah selama HRS ada di Makkah? Apalagi, ternyata Habieb Rizieq punya perjanjian dengan BIN! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Setelah Reformasi, Ada Tiga Revolusi
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Rabu (11/11). Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, terhitung ada tiga tema revolusi telah muncul dan dicoba untuk disosialisasikan. Kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 lalu dibarengi dengan gelindingan istilah Revolusi Mental. Revolusi yang diarahkan pada perubahan sikap atau perilaku menuju mental disiplin, kerja keras, dan gotong royong. Revolusi mentan ini lalu dituangkan dalam Inpres Nomor 12 tahun 2016, yang dikenal dengan lima gerakan nasional, yaitu melayani, bersih, tertib, mandiri, dan bersatu. Sayangnya, Revolusi Mental bung-bunga semata. Sebab dalam kesejarahan, Revolusi Mental sangat dekat dengan pemahaman konsepsi sosialis komunis. Dikenalkan dan dipopulerkan oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT). Tujuannya untuk mencuci otak kaum buruh dan petani agar menentang kekaisaran. Pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) Diva Nusantara Aidit mengganti nama diri "Ahmad" dalam rangka Revolusi Mental. Menurutnya, Revolusi Mental belum berhasil jika masyarakat belum dijauhkan dari agama. Ketika Revolusi Mental Jokowi dinilai gagal, maka M Amin Rais muncul dengan gagasan baru. Amien rais mengusung terma Revolusi Moral. Jika mental menyangkut dengan sikap jiwa, maka moral lebih menitik beratkan pada nilai, apakah baik dan buruk? Buku yang dibuatnya berjudul "Hijrah Selamat Tinggal Revolusi Mental, selamat Datang Revolusi Moral" berisi kumpulan tulisan. Konsepsi Revolusi Moral Amien Rais sampai sekarang belum terjabarkan seperti apa. Hanya menarik ke landasan keimanan dan kritik atas kondisi sosial politik kini yang dianggap nir-moral. Pandangan Jhon Buchan, sejarawan dan novelis Skotlandia mengemuka yang menurutnya revolusi moral lebih penting dari alat persenjataan militer. Gagasan Revolusi Moral redup bersamaan dengan ramainya konflik di PAN yang disepuhi oleh M Amin Rais sendiri. Figur Habib Rizieq Shihab (HRS) menjadi pembicaraan selama keberadaannya di Saudi Arabia, maupun Rencana kepulangan ke Indonesia. Saat kepastian tentang kepulangan HRS dan keluarganya ke tanah air, giliran gagasan tentang “Revolusi Akhlak” yang digaungkan. Pada pidato pertama di kediaman HRS Petamburan, gagasan “Revolusi Akhlak” diserukan kepada masyarakat dan umat. Sejak reformasi sampai sekarang, Indonesia sudah mempunya tiga gagasan revolusi, yaitu “Revolusi Mental Jokowi, Revolusi Moral Amien Rais dan Revolusi Akhlak HRS” Revolusi Akhlak perlu penjabaran kontekstual untuk menjadi pedoman perjuangan, terutama umat Islam dan pendukung setia HRS. Revolusi Akhlak yang dimaksud oleh Habib Rizieq Shihab tentu lebih kental nuansa keagamaannya. Rujukan utama adalah Sabda Nabi "innama bu'itstu liutammima makarimal akhlaq" (HR Bukhori). Entah apakah Revolusi Akhlak yang digaungkan HRS, ini akan membahana atau terhenti tergantung pada kekuatan figur yang menggemakannya. Disamping tentu saja perlu ada kejelasan konsepsi kontekstual dimaksud yang mudah dicerna dan diterima umat atau rakyat Indonesia. Ini penting, agar penjabarannya lebih mudah di lapangan. Yang pasti, Al Qur'an telah mengingatkan bahwa risalah nubuwah dalam melakukan perubahan adalah untuk menegakkan dan mendhohirkan agama yang benar (dienul haq) atas berbagai faham, isme, atau filosofi kehidupan lainnya (alad dieni kullihi). Meskipun demikian, untuk itu diperkirakan berbagai tantangan dan hambatan pasti akan menghambat. (QS At Taubah 33). Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
HRS Antara Pluralisme Dan Radikalisme
by Andi W. Syahputra Jakarta FNN – Rabu (11/11). Dini hari hingga pagi kemarin suasana Bandara Soekarno Hatta terasa berbeda. Ribuan massa dari berbagai daerah tumpah ruah sejak lewat tengah malam hingga pagi hari membanjiri Terminal Tiga Kedatangan. Peristiwa langka pagi itu bukan peristiwa biasa. Tetapi peristiwa politik, penjemputan Habib Rezieq Shihab (HRS) selepas diasingkan 3,5 tahun di Mekah, Arab Saudi. Tidak mengherankan bila Prof. Jimly Asshiddiqie menyebut peristiwa pagi tersebut sebagai peristiwa fenomenal. Bukan saja peristiwanya. Namun HRS boleh dibilang sangat fenomenal. Dia seorang yang menjadi penggerak revolusi dakwah yang melampaui zamannya. Gerakan dakwahnya telah menimbulkan kekecewaan bagi penguasa. Terutama terhadap sikap dakwahnya yang selama ini dinilai radikal. Namun belakang ini kesan itu tak sepenuhnya luntur. Oleh sebab itu, pemerintah justru banyak berharap kepulangannya kembali ke Tanah Air justru dibarengi dengan tawaran gagasan segar yang berbeda dengan warna dakwah sebelumnya. Sebaliknya, pemerintah juga jangan begitu memaksakan agar HRS meninggalkan konsistensi dakwahnya. Terutama upaya dirinya memadukan perjuangan hak politik umat Islam dalam kehidupan syari’ah. Upaya itu dengan semangat nasionalisme NKRI dalam bingkai “Indonesia Bersyari’ah”. Kehadiran Front Pembela Islam (FPI) secara faktual telah meniupkan roh perjuangan politik ekstra parlementer bagi umat Islam Indonesia. Kemunculannya disambut gegap gempita di kalangan masyarakat menengah-bawah. Di luar aksi-aksi kemanusiaan pada berbagai bencana alam dan dakwah yang konsisten dilakukan, telah merubah wajah dan tampilan FPI di masyarakat. Aksi monumental seperti 411 dan 212 sebagai reaksi umat atas penolakan terhadap kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok, boleh dibilang sebagai tur propaganda anti pemerintah yang dikomandoi oleh HRS. Demostrasi itu tercacat sebagai aksi massa terbesar dalam sejarah Indonesia. Inilah kulminasi pergerakan massa umat Islam dalam jumlah besar-besaran yang kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh Islam lainnya untuk mengorganisir massa seperti Persaudaraan Alumni 212 dan GNPF-Ulama Tak bisa dimungkiri bahwa HRS meletakkan pondasi penting bagi gerakan umat Islam. FPI maupun organisasi turunannya dinilai jauh lebih radikal daripada ormas-ormas Islam lainnya. Tak cuma menyerukan syari’ah dimasukkan dalam sistem hukum formal dalam kedaulatan NKRI. HRS juga mengusung reformasi politik nasional yang lebih beradab dan berkeadilan. Khutbah-khutbah dakwah yang selama ini disampaikan cukup keras, dinilai oleh sebagian golongan memicu permusuhan diantara sesama anak bangsa. Setiap khotbah dakwahnya mengundang curiga pemerintah. Tak pelak, HRS dicap sebagai agitator berbahaya. Dia menjadi figur fenomenal yang mampu menggetarkan kekuasaan pemerintahan siapapun. Jadi, tadaklah mengherankan bila pemerintah menganggap pandangan politik HRS yang disampaikan lewat organisasi dakwahnya FPI cukup berbahaya bagi penguasa siapapun. Karena itu, apabila beragam upaya kriminalisasi lewat operasi kriminal dicoba untuk dilakukan hanya sekadar menolak kehadiran HRS bersama FPI dengan dalih mengancam keamanan dan ketertiban umum. Dari serangkaian wawancara singkat penulis dengan beberapa warga masyarakat yang secara acak. Ternyata bagi masyarakat menengah-bawah, justru kehadiran HRS dinilai punya pengaruh besar bagi perubahan kehidupan sosial lingkungan daerah tersebut. Safari dakwah HRS hingga pelosok kampong di seantero negeri dari Sabang hingga Merauke, ternyata telah menyadarkan dan membangkitkan kembali rasa ke-Islaman kaum muda setempat dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Adanya dukungan massa kelompok marjinal dari berbagai daerah yang kemudian berinteraksi dengan sejumlah ulama-ulama maupun pengusaha-pedagang lokal telah menjadikan basis bagi gerakan HRS selanjutnya. Keberadaan HRS dianggap menjadi pendobrak utama terhadap tata kelola negara yang mengabaikan rasa keadialan. Bahkan cenderung zolim kepada rakyatnya sendiri, karena pemerintah lebih mengutamakan kepentingan oligarki, korporasi dan konglomerasi. Syariah Kekuatan Pluralisme Terlepas dari pola gerakan dakwah yang diusung HRS selama ini. Sepanjang masih dalam batas-batas koridor konstitusional dan hukum yang berlaku, pemerintah mesti menjamin terlaksananya kebebasan berorganisasi dan berpendapat yang dijamin secara konstitusional. Sebaliknya, HRS mesti memahami dan memastikan dakwah yang disampaikannya tidak merusak keragaman etnik, agama dan budaya yang menjadi modal besar bagi tegaknya pondasi NKRI ini. Dakwah dalam rangka mewujudkan “Indonesia Bersyari’ah” yang berkeadilan diyakini tak akan mampu merusak tatanan keberagaman yang selama ini telah dibangun secara inklusif. Syariah itu memberikan perlindungan dan pengamanan kepada mereka yang tidak bersayarah. Sehingga semua warga negara punya hak yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengutip pemikiran Nurcholish Majid, kemajemukan bangsa Indonesia merupakan dekrit Allah dan desain-Nya. Indonesia tidak bisa dipaksakan sebagai bangsa monolitis, lantaran tak ada masyarakat yang tunggal. Monolitik sama dan sebangun dalam segala aspek khidupan berbangsa dan bernegara. Dimana masing-masing memiliki kesetaraan dalam mengaktualisasikan hak-hak politik kebangsaannya. Pertanyaan yang patut diajukan adalah, apakah HRS anti keberagaman? Menelisik serangkaian pesan-pesan dakwah yang disampaikannya, terutama memahami pemikirannya yang tertuang dalam Tesis Masternya yang berjudul 'Pengaruh Pancasila Terhadap Penerapan Syariat Islam di Indonesia” ternyata dia mengakui bahwa keberagaman itu pula yang menjadi cikal bakal lahirnya NKRI. Namun menurutnya, sebagai dasar Negara Pancasila, tidak pernah melarang penerapan syariat Islam di Indonesia sepanjang diperjuangkan melalui koridor konstitusional. HRS menegaskan, suatu hal keliru jika ada yang menyebut NKRI berdasarkan Pancasila tidak boleh memberlakukan hukum Islam. Pancasila tidak melarang pemberlakuan penerapan syariat Islam. Pancasila membuka pintu selebar-lebarnya untuk pemberlakuan hukum agama di Indonesia. Selama itu dilakukan secara konstitusional. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memperjuangkan nilai-nilai syari'ah dalam perjuangan organisasinya. Menurutnya, pola dakwa FPI adalah duplikasi daripada gerakan NU dan Muhammadiyah, yang selalu berupaya memasukkan nilai-nilai Islam dalam perundang-undangan dan hukum formal secara konstitusional. Pada bagian lain tesisnya, tegaknya syariat Islam di Indonesia dapat terbagi empat klasifikasi. Pertama hukum yang berkaitan perorangan, seperti salat, puasa, zakat, haji, kurban. Itu sudah berlaku dan sudah berjalan di Indonesia sejak dulu sampai sekarang. Kedua, berkaitan dengan rumah tangga, seperti hukum perkawinan, perceraian, hak kewajiban suami-istri, hak asuh anak, hingga hukum waris. Hukum Islam yang berkaitan dengan keluarga bukan larangan untuk diperjuangkan dan diberlakukan dalam rumah tangga muslim. Bahkan oleh negara sendiri hal demikian selama ini diizinkan, dilegalkan, dan bahkan disediakan perangkat hukumnya seperti Pengadilan Agama, ada kompilasi hukum Islam yang secara legal formal keberadaannya diakui negara. Ketiga, soal hukum Islam yang berkenaan dengan sosial-kemasyarakatan, termasuk pendidikan dan ekonomi. Tidak ada satu item dan klausul dalam perundang-undangan Indonesia yang melarang pemberlakuan hukum secara Islam dalam bidang itu. Bahkan saat ini ada perbankan syariah, asuransi syariah, Pegadaian syariah. Kemudian pendidikan ada madrasah, pesantren. Semua legal diakui Negara. Keempat, soal hukum Islam berkenaan dengan otoritas negara. HRS membahas kaitan hukum pidana Islam disinergikan dengan kompilasi kitab hukum pidana. Umpama pencuri, (hukumannya) dipotong tangan. Pemabuk dicambuk dan sebagainya. Hukum-hukum ini tidak bisa dijalankan sendiri-sendiri, ini harus negara yang menjalankannya. Empat klasifikasi tegaknya syari’ah Islam versi HRS itu yang diklaim sebagai aspirasi politik sebagian umat Islam yang diperjuangkan FPI. Ini sudah tentu mesti diperjuangkan lewat politik konstitusional. Namun bukan berarti tuntutan semacam itu lantas dimaknai sebagai gerakan politik yang hendak menghidupkan kembali prinsip-prinsip hukum Islam dalam hukum positif Negara. Terlepas setuju tidaknya, aspirasi yang ada ini mesti diakomodir sebagai dinamika keberagaman yang hidup di tengah masyarakat. Pemerintah tidak boleh menutup rapat kenyataan aspirasi semacam ini. Pengalaman konflik horizontal justru bersumber dari perlakuan diskriminasi dan ketidakadilan penguasa terhadap kelompok tertentu. Kesetaraan politik merupakan beragaman mengukuhkan persatuan sebagai satu bangsa yang menjadi kunci kokohnya NKRI. Dalam berbagai kesempatan, komitmen untuk setia kepada NKRI, Pancasila dan UUD 1945 kerapkali ditonjolkan dalam aksi-aksi FPI. Dimana lagu kebangsaan Indonesia Raya dilantunkan beriringan dengan shalawat Nabi. Bagaimanapun, HRS dan FPI mesti menyadari bahwa keberagaman merupakan syarat mutlak untuk menciptakan Indonesia yang kokoh dan berwibawa. Nilai ke-Islaman sangat menjunjung tinggi keberagaman dan toleransi yang mesti dicontohkan dalam kehidupan berbangsa. Penutup Kepulangan HRS ke Tanah Air yang ditandai dengan peristiwa fenomenal dan langka, sejatinya mesti dimaknai penguasa bukan sebagai sosok yang kembali membuat keonaran politik. Hidup 3,5 tahun dalam pengasingan di Arab Saudi sebagai upaya memutus rantai akses politik umat, bukan solusi pamungkas Seperti terlihat dalam prosesi penyambutan di Bandara Soetta kemarin. Justru kehadiran HRS sangat dinantikan umatnya. FPI seolah-olah merupakan manifestasi dari karakter dakwah HRS. HRS adalah ulama progresif yang mencoba memadukan warna politik dalam dakwahnya. Sehingga membuat gerakan politik dakwah tanpa teori atau terkesan gamblang dan lebih bersifat praktis. Oleh karenanya, tak cuma klaim semata penguasa, mayoritas warga pun mengakui dakwah HRS lebih radikal dibandingkan ulama-ulama lainnya. Ini karena jiwa HRS yang penuh perlawanan. Semangat perlawanan ini terutama ditanamkan kepada anggota dan simpatisan FPI yang kian massif jumlahnya. Namun bagi HRS, FPI lebih merupakan alat perjuangan propaganda politik bukan ideologi politik. Dia memang sangat piawai dalam soal propaganda politik, terutama lewat orasi-orasi dakwahnya dan pengorganisasian demonstrasi massal. Inisiatif HRS ini telah menjadi panutan bagi banyak aktivis Islam Islam lainnya untuk melakukan hal serupa. Baik itu dalam materi dakwah maupun cara berdemonstrasi yang berkaitan dengan isu-isu politik kebangsaan dan keumatan. Lantas, dengan sosok yang multi dimensi seperti itu apakah pantas dia diasingkan dan dianggap tokoh yang berbahaya? Rasanya tidak pantas. Negeri ini butuh tokoh kharismatik yang mampu berlaku sebagai penyambung lidah kelompok yang termarjinalkan secara kekuasaan. Dia menjadi kekuatan check and balances bagi penguasa yang otoriter dan represip. Wallahu’alam bi sawab. Penulis adalah Pratisi Hukum.