NASIONAL

Catatan Akhir Tahun, Tak Ada Yang Berubah

by Dr. Ahmad Yani, SH. MH. Jakarta FNN – Kamis (31/12). Kita sudah di penghujung tahun 2020 dalam hitungan Masehi dan Fajar 2021 akan segera menyingsing. Bagi orang yang beriman dan berakal dalam beberapa kesempatan dan waktu, hendaklah berhenti sejenak untuk muhasabah atau menghitung-hitung diri dan amal yang telah dilakukan pada hari-hari yang lalu. Kemudian berusaha memperkuat keinginan untuk dapat memperbaiki dan menambah amal kebaikan untuk bekal hari esok. Pada hari kemarin (Sepanjang 2020) kita banyak menghadapi cobaan-cobaan yang sedemikian dahsyat. Kita berhadapan dengan Covid-19, suatu penyakit yang telah merenggut nyawa lebih dari 21 ribu manusia Indonesia. Wabah ini tidak hanya menyerang kesehatan kita. Tetapi juga menyerang ekonomi dan semua kehidupan kita. Dan yang paling terasa akibat Wabah ini adalah ekonomi rakyat. Covid-19 telah melumpuhkan aktivitas ekonomi. Membawa Indonesia pada jurang resesi dan krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang demikian itu membawa dampak sosial. Sebab dalam situasi krisis, frustasi dan kelaparan akan terus menghantui kehidupan masyarakat. PBB bahkan sudah mengingatkan bahwa krisis ini telah membunuh sekitar 10.000 anak per bulan karena pasokan makanan yang terputus antara pertanian-pasar dan desa-desa yang terisolasi dari bantuan makanan dan medis. Dan sekitar 7 juta orang meninggal karena kelaparan di seluruh dunia. Indonesia baru-baru ini terjadi di Nias Sumatera Utara. Seorang Ibu tega membunuh tiga orang anaknya akibat himpitan ekonomi. Pembunuhan sadis itu menjadi cerminan bagi kita. Kalau seseorang terhimpit ekonomi, lebih bersedia menanggung hukuman daripada menanggung derita himpitan ekonomi. Setelah 75 tahun merdeka, ternyata persoalan itu menjadi persoalan pelik. Janji kesejahteraan nampaknya kehilangan peta jalan. Rakyat masih saja dengan kasus lama, yaitu menghadapi getirnya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Negara seakan tak mampu memberikan jawaban konkrit atas desakan keadaan masyarakat yang semakin kritis. Demikian pula kekuasaan. Meski telah banyak kekuasaan jatuh bangun, namun masalahnya tetap sama, rakyat masih tidak mendapatkan janji kemerdekaan itu. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Namun perubahan menuju indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur hanya menjadi slogan semata. Apa Problemnya? Sepanjang periodesasi kekuasaan semenjak Soekarno hingga Jokowi sekarang ini, bangsa ini hanya disibukkan dengan perebutan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Masyarakat dipecah belah untuk saling membenci demi memenuhi hasrat kekuasaan. Nafsu kekuasaan yang berlebihan membuat ingatan masa lalu terus hidup. Pertengkaran demi pertengkaran terus diproduksi. Para penguasa merasa senang dengan semua itu, untuk mempertahankan kekuasaannya. Maka lahirlah polarisasi dalam masyarakat dan permusuhan antar bangsa. Sementara persoalan ketidakadilan, korupsi, hutang, gempuran tenaga kerja asing, kekerasan aparat, tidak pernah jeda sedikitpun. Upaya untuk mencari jalan keluar dari semua problem itu sangat kecil. Malah justru memperlebar kekuasaan untuk menangkal protes publik dari segala permasalah itu. Problem Utama Masalah mendasar yang membuat bangsa ini sulit mencapai kemajuan sebenarnya bukan karena persoalan ekonomi atau politik saja. Tetapi yang paling mendasar adalah masalah ketidakadilan. Inilah hulu yang menyebabkan kesengsaraan sosial dan kesengsaraan ekonomi, kesengsaraan hukum, kesengsaraan moral dan kesengsaraan lainnya yang dirasakan bangsa ini. Terjadi kesenjangan sosial yang tak kunjung teratasi antara kelompok kaya dengan miskin. Bidang ekonomi, kehidupan dirasakan semakin berat. Bidang hukum, kesengsaraan akibat hukum tumpul ke golongan yang kuat dan tajam ke yang lemah. Efeknya HAM tidak dihiraukan. Betapa mudahnya mengeksekusi mati manusia tanpa pengadilan, menangkap dan memenjarakan pikiran manusia. Berbagai bidang kerusakan inilah yang disebut kerusakan moral. Kehidupan bangsa hampir tanpa rujukan moral. Kita seperti bangsa yang tak memiliki moral. Ketergantungan pada bangsa asing. Hutang yang sudah menumpuk dan pengepungan bangsa asing melalui tenaga kerja Asing tak dapat diatasi lagi. Ketidakadilan ini terasa sangat menyengat. Dari tahun ke tahun, penguasaan ribuan hektare lahan oleh segelintir orang. Sayangnya, selama itu pula belum ada solusi yang bisa memenuhi rasa keadilan bagi rakyat banyak. Masalahnya masih sama, yaitu ketidakadilan sosial. Apakah kita masih menjunjung tinggi negara Pancasila sebagai falsafah berbangsa dan bernegara? Kalau memang kita masih berpegang pada Pancasila, kenapa keadilan sosial masih yatim-piatu? Korupsi Yang Masih Akut Penyebab lain adalah korupsi yang masih akut. Kasus suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan Politisi Harun Masiku, yang sampai saat ini belum diketahui dimana rimbanya. Kasus itu belum terungkap dengan jelas, karena dana diduga mengalir ke petinggi partai politik tertentu. Lebih mencengangkan dalam satu bulan dua orang menteri ditangkap KPK karena Korupsi. Lebih mengiriskan hati kita semua, terjadi korupsi bantuan sosial ditengah rakyat yang teriak kelaparan. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhi Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Menurut Majalah Tempo, korupsi dana bansos itu mengalir ke partai tertentu, dan orang-orang yang berhubungan dengan kekuasaan. Ketika rakyat terbebani dengan bencana, masih saja ada oknum yang tak bermoral terus melakukan upaya untuk meraup keuntungan sendiri demi memenuhi ambisinya. Kekerasan Negara Guna melindungi kekuasaan dari protes akibat ketidakadilan dan korupsi, maka digunakan cara-cara kekerasan. Ada kekerasan sosial, kekerasan ekonomi, kekerasan politik dan kekerasan hukum. Masyarakat yang paling bawah mengalami kekerasan itu secara simultan. Berbagai kasus kekerasan sosial telah dan sedang terjadi, menghantam aktivis lingkungan, aktivis politik dan aktivis HAM. Salah satunya adalah kematian 6 Laskar Front Pembela Islam (FPI) dapat dianggap sebagai kekerasan negara terhadap warga negara. Penembakan yang terjadi di kilometer 50 itu, sampai hari ini belum menemukan titik terang. Kenapa mereka dibunuh? Jawaban yang dapat kita duga adalah keterlibatan negara dalam kekerasan tersebut. Setelah "anak buahnya" ditembak mati, pimpinan FPI HRS ditangkap dengan tuduhan menghasut kerumunan. Pesantren FPI di Megamendung Bogor ingin diambil negara dengan alasan penguasaan tanah secara ilegal. Padahal menurut pengakuan FPI tanah itu sudah dibeli dari masyarakat. Mirisnya, ketika lahan dikuasai oleh korporasi besar yang jumlahnya mencapai 80%, namun hanya bangunan pesantren yang dipersoalkan. Ini ketidakadilan yang terang benderang. Yang lebih mencengangkan dipenghujung tahun 2020 tepatnya 30 Desember 2020 pemerintah mengambil keputusan yang akan sulit dilupakan dalam ingatan oleh 7 juta orang anggota FPI dan Jutaan masyarakat Indonesia baik yang simpatisan maupun yang menginginkan tegaknya rule of law dan keadilan. Yaitu mengeluarkan larangan berkegiatan bagi Front Pembela Islam (FPI). Ada tiga alasan pembubaran FPI versi pemerintah. Pertama, adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dimaksudkan untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar negara, yakni Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kedua, isi anggaran dasar FPI dinyatakan bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Ormas. Ketiga, Keputusan Mendagri Nomor 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 tanggal 20 Juni 2014 tentang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI sebagai ormas berlaku sampai 20 Juni 2019 dan sampai saat ini belum memenuhi syarat untuk memperpanjang SKT. Karena itu secara de jure terhitung mulai tanggal 21 Juni 2019 Front Pembela Islam dianggap bubar. Padahal dalam Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945. Penjatuhan sanksi, pelarangan kegiatan, ataupun pembubaran organisasi secara sepihak oleh negara dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum, sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, membatasi kebebasan sipil, serta berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi. Oleh karena itu peristiwa pembubaran FPI dapat dianggap sebagai kekerasan negara, karena tidak menggunakan prosedur hukum yang berlaku. Kekerasan negara juga terjadi ketika mahasiswa dan aktivis melakukan protes massal. Tak jarang terjadi kekerasan dari aparat. Kekerasan pada saat penolakan Undang-undang Omnibus Law, kekerasan ketika penolakan Revisi UU KPK yang menyebabkan 2 orang meninggal dunia di kendari. Begitu juga kekerasan terhadap aktivis lingkungan dan masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap represifnya kekuasaan akibat penggusuran dan penguasaan lahan oleh korporasi besar. Pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan tidak pro rakyat kecil memompa protes rakyat diberbagai wilayah. Krisis dan Utang Kita sudah mengalami krisis ekonomi. Pemerintah telah mengumumkan bahwa Indonesia telah masuk ke jurang resesi ekonomi. Dampak dari resesi ini akan menyebabkan pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan semakin melebar. Sementara itu, utang negara sudah mencapai Rp 6. 000 triliun. Hutang yang terus meningkat itu menurut Rizal Ramli akan memperparah kondisi perekonimian nasional. Karena uang hasil utang dipergunakan untuk membayar hutang. Setelah utang terus meningkat, justru pertumbuhan ekonomi turun. Berarti ada masalah pada penggunaan dana yang berasal dari utang. Ada ketidakefektifan dalam menggunakan hutang itu. Menurut ekonom Faisal Basri, Pemerintahan Jokowi terlalu boros menggunakan hutang. Hingga Jusuf Kalla mengatakan Indonesia menggunakan hutang untuk bayar hutang. Sulitnya Indonesia keluar dari jebakan hutan dan krisis memperpanjang dan memperlebar kemiskinan dalam negeri. Hingga sampai saat ini kesenjangan dan kemiskinan masih menjadi problem utama. Melihat Indonesia 2021 Yang terekam di tahun 2020 adalah masalah dan masalah saja. Mulai dari persoalan ekonomi, sosial, politik dan hukum yang terasa tidak adil. Lalu Seperti apa kita memprediksi keadaan 2021? Semua problem yang terjadi selama tahun 2020 belum teratasi. belum ada yang dituntaskan satu pun. Kita dapat lihat bahwa Tahun 2021, Indonesia tidak akan banyak yang berubah. Masih berkutat pada masalah krisis ekonomi yang diprediksi akan semakin memburuk di tahun 2021. Masalah pelanggaran HAM, masalah polarisasi di tengah masyarakat, dan masalah kesenjangan lainnya. Diperparah lagi dengan Covid-19 belum kunjung di atasi, bahkan keadaannya makin tak menentu. Sementara masyarakat banyak yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan akibat virus ini. Menurut saya, 2021 hanya akan berubah apabila ada suksesi nasional. Ada perubahan penting yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Karena selama pemerintah masih mementingkan kekuasaan ketimbang keselamatan dan kesejahteraan negara, selama itu pula perubahan tidak akan pernah datang. Sebagai orang yang beriman, perubahan itu niscaya. Siapa yang lebih baik dari hari kemarin adalah mereka yang beruntung. Tetapi apabila ia masih sama seperti hari kemarin maka ia merugi. Semoga kita bukan orang yang rugi itu. Wallahu Alam bisshawab. Penulis adalah Dosen FH, Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Advokat.

Data Keliru Yang Dipakai Untuk Pembubaran FPI

Lebih fatal lagi nih Menkopolkam, jika saya kasih data hasil penelitian juga. Dari Kemenham tahun 2019 yang menyimpulkan bahwa ada sekitar 3% prajurit TNI yang terpapar radikalisme. Itu artinya ada sekitar 12.000 anggota TNI dari total 400.000 TNI aktif terpapar radikalisme. Kalau begitu bubarkan dong TNI. Mau pak Mahfuzd bubarkan TNI? Lebih banyak dari anggota FPI loh jumlahnya yang terpapar atau beririsan. Begitulah kalau membuat kesimpulan yang fatal bukan? by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Kamis (31/12). Saya termenung sejenak. Lalu berfikir apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Republik ini? Benarkah FPI bersalah? Mengapa dibubarkan? Ada apa dibalik pembubaran FPI sampai-sampai dibubarkan melalui SKB (Surat Keputusan Bersama) enam pejabat negara. Tiga menteri dan tiga pejabat setingkat menteri? Secara sosiologis politik, FPI entitas organisasi kemasyarakatan (ormas). Sama dengan ormas-ormas lainya. Memahami Ormas Mungkin sudah pada lupa ya? Ada yang jadi Presiden karena tidak sedikit peran Relawan (mirip ormas juga) yang pada tahun 2014 dan 2019 kemarin, banyak yang melakukan kegiatan di tengah-tengah masyarakat, meski tidak memiliki legal standing (merujuk Mahfuzd MD bahwa yang tidak punya legal standing ya tidak legal). Tahun 2014 lalu, banyak organisasi masyarakat berwujud relawan yang tak memiliki legalitas. Kemudian berlanjut tahun 2019. Dibalik relawan, tidak sedikit yang terkoneksi dengsn buzzer, atau kemungkinan besar ada juga buzzer yang dibiayai relawan. Jangan tanya siapa yang membiayai relawan? Ribut antar relawan di media sosial masih kenceng sampe hari ini. Tensi sosial masih tinggi. Siapa yang salah? Buzzernya atau yang membiayainya? Atau relawanya? Atau ormasnya? Silahkan buat kesimpulan sendiri saja. Mahfuzd MD mungkin juga lupa, dia bisa menjadi besar karena ormas, yaitu Ormas Nahdlatul Ulama (NU). Tanpa NU Mahfuzd MD tidak mungkin seperti saat ini. Sudah jadi pejabat. Tidak tangung-tanggung jabatanya Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Jika ditelusuri sesungguhnya Ormas telah memberi kontribusi besar dalam membangun negara, karena banyak melahirkan sumber daya manusia yang dibutuhkan negara. Sering juga kita melihat juga ormas membantu negara dalam situasi sulit, dari episode melawan penjajah, menghadapi bencana alam, hingga melawan Covid-19 sekarang. Sebab negara tidak cukup mampu bekerja atasi problem tanpa bantuan ormas. Silahkan cek apa sumbangan NU saat Indonesia hadapi musibah? Silahkan cek sumbangan Muhammadiyah saat tingkat pendidikan Indonesia masih rendah? Kalau mau nanya ini juga boleh, apa sumbangan ormas FPI saat Indonesia hadapi musibah? Dari musibah gempa, tsunami sampai covid-19? Silahkan di cek. Ormas secara natural adalah juga kanal dari kebutuhan sosiologis manusia yang tidak bisa dibendung. Apalagi dihilangkan secara paksa. Karena ormas melekat dengan keberadaan manusia itu sendiri sebagai mahluk sosial. Ormas adalah hak sosial setiap manusia, sekaligus setiap warga nega, karenanya UU Nomor 16 Tahun 2017 mewadahinya. Menurut Undang-Undang tentang Ormas tersebut, dalam pasal 1 disebutkan bahwa ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi,kesamaan kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demokrasi & Hak Berorganisasi Itulah sebabnya negara wajib memberi kebebasan pada warga negara untuk beserikat, berkumpul dan berorganisasi sebagaimana dijamin dalam pasal 28 UUD 1945. Para pendiri bangsa ini sejak kelahiran negara, secara progresif telah menetapkan hak-hak dasar setiap warga negara, termasuk hak berserikat, berkumpul dan berorganisasi. Melakukan represi terhadap ormas adalah kesalahan fatal. Bertentangan konstitusi UUD 1945, juga sekaligus bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Bukankah demokrasi itu gagasan tentang kebebasan yang terbentuk melalui sejarah panjang. Demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Termasuk di dalamnya kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan berorganisasi. Tentu Mahfuzd MD masih ingat gagasan penting Henry Bertram Mayo dalam An Introduction to Democratic Theory (1960). Bahwa ada prinsip-prinsip demokrasi tidak boleh diganggu, karena menjadi sebab mengapa suatu negara disebut mempraktekan sistem demokratis? Diantaranya mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman termasuk keanekaragaman organisasi masyarakat. Keadilan Hukum Dalam Perkara FPI Selain itu, negara wajib menjamin tegaknya keadilan. Keadilan dalam perkara hukum hanya boleh diputus di pengadilan. Pembubaran ormas itu perkara hukum. Sehingga hanya boleh diputuskan di meja pengadilan. Bukan di meja kekuasaan. Bukankah ada putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang didalamnya memuat argumen pembubaran ormas itu sepatutnya melalui Pengadilan? Ormas FPI bersalah atau tidak biarlah pengadilan yang akan memutuskan. Bukan penguasa. Indonesia ini negara hukum yang menganut konsepsi Rechstaat. Bukan machstaat (negara kekuasaan). Jika yang dipake adalah logika machstaat, ini kesalahan fatal dalam berdemokrasi. Terlalu banyak kesalahan fatal republik ini jika diurai satu persatu. Pemerintah terlalu menyibukan diri menghadapi FPI juga sudah kesalahan fatal. Sebab sesungguhnya masalah besar bangsa ini bukan di FPI. Tetapi amburadulnya tata kelola hadapi Covid-19. Korupsi yang merajalela. Kemiskinan yang terus bertambah. Ketidakadilan dan arogansi kekuasaan (neo- otoritarianisme). Pemerintah telah salah fokus (salfok). Saking salfoknya sampai buat SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga Menteri (Mendagri, Menkumham, Menkominfo dan tiga pejabat negara setingkat menteri Kepolisian, Kejaksaan dan BNPT) dibawah komando Menkopolkam Mahfuzd MD. SKB Salah Fatal: Data Meragukan Itupun SKB-nya yang dibuat terkait FPI salah fatal. Menyatakan FPI secara dejure bubar sejak 20 Juni 2019. Padahal ada putusan MK yang menyatakan bahwa negara tidak dapat memaksakan suatu organisasi untuk mendaftarkan diri dan memiliki SKT. Makanya, silahkan cek pertimbangan putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 angka (3.19.4). Jadi SKB yang dibuat kemarin, nyata-nyata bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah saya baca isi SKB enam pejabat itu, ternyata ada kesalahan fatal lainya. Misalnya soal 35 orang FPI terlibat tindak pidana terorisme yang disebutkan dalam pertimbangan SKB poin e. Datanya dari mana? Setelah saya cek kemungkinan besar datanya dari riset Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme yang dipimpin oleh Irjen Pol (Purn.) Benny Mamoto. Sebagai informasi, ternyata Benny Mamoto juga adalah Ketua Harian Kompolnas. Dalam suatu rilis riset tersebut, Benny Mamoto menyampaikan dokumen yang berjudul "37 Anggota Jaringan Terorisme Berlatar Belakang FPI". Kalau versi SKB Pembubaran dan Pelarangan FPI, ada 35 orang yang berlatar belakang FPI. Nah, ko angkanya jadi beda? Ada apa nih? Data riset tersebut, patut dipertanyakan dari sisi metodologi, karena tidak dikemukakan secara detail bagaimana data tersebut valid. Tidak juga dijelaskan, bagaimana triangulasi data dilakukan. Benny Mamoto hanya menyebutkan bahwa sumbernya dari laman pengadilan negeri, dengan meneliti satu persatu putusan. Ini patut untuk dipertanyakan metodologinya. Bagaimana bisa memastikan mereka adalah anggota FPI atau beririsan dengan FPI? Sebagai akademisi, saya penasaran saya baca siapa saja 37 orang temuan risetnya lembaga pimpinan Beny Mamoto tersebut. Secara umum datanya masih perlu diuji. Uniknya, ternyata saya baca di data tersebut ada 10 dari 37 orang tersebut, tidak disebutkan bagaimana hubungan mereka dengan FPI? Bagaimana juga mereka berkoneksi dan beririsan dengan FPI? Sepuluh orang yang dimaksud adalah (1) Ahmad Yosefa alias Hayat, ditangkap 2011, pelaku bom Gereja Pekuton September 2011, (2) Moch Ramuji alias Muji alias Ahmad alias Kapten alias Botak, ditangkap 13 Mei 2014, (3) Ali Azhari alias Jakfar alias Topan bin Daryono (Alm), ditangkap 1 April 2010, (4) Agus Abdillah alias Jodi, ditangkap 17 September 2012, Kemudian orang ke (5) adalah Syaiful Bahri Siregar alias Ipul alias Imam, ditangkap 9 Maret 2010, (6) Munir bin Ismail alias Abu Rimba alias Abu Uteun, ditangkap 17 Maret 2010, kasus pelatihan militer Aceh, kelompok Aceh 2010, (7) Taufik bin Marzuki alias Abu Sayaf alias Alex Nurdin Sulaiman bin Tarmizi ditangkap 29 September 2010, Selain itu, yang ke (8) Muhammad Shibghotullah bin Sarbani alias Mihdad alias Asim alias Mush'ab alias Kholid alias Hani alias Faisal Septya Wardan, ditangkap 11 Juni 2011, kelompok pelatihan militer Aceh, (9) Qoribul Mujib alias Pak Mujib alias Paklek alias Mujiono alias Abdul Sika alias Si Dul alias Muji, ditangkap 12 Juli 2012, dan (10) Sefariano alias Mambo alias Aryo alias Asep alias Dimasriano, ditangkap 2 Mei 2013, perencanaan bom kedubes Myanmar. Selain yang 10 tersebut, yang tidak disebutkan konektivitaanya dengan FPI, misalnya yang 27 lainya juga untuk perlu dibuka ke publik. Apakah benar mereka semua anggota FPI? Apakah benar mereka adalah pengurus FPI? Apakah benar mereka terkoneksi dengan FPI? Beririsan dengan FPI? Metodologi Keluru Sebagai akademisi, saya memahami metodologi ilmiah. Karenanya patut bertanya tentang validitas data yang disajikan Irjen Pol. (Purn.) Benny Mamoto tersebut. Apalagi persoalan FPI ini sudah menjadi konsumsi publik. Bagaimana memastikan mereka terhubung dengan FPI? Kalau hanya asumsi, lalu disimpulkan beririsan dengan FPI ini kesalahan fatal. Penyesatan yang sangat luar biasa. Betapa banyak anggota FPI itu beririsan dengan ormas NU (Nahdatul Ulama). Secara geneologi fiqih ibadah, tareqot dan tradisinya anggota FPI itu banyak beririsan dengan NU. Mereka tahlilan, qunut, marhabanan, yasinan dan lain-lain. Lalu apakah bisa saya harus simpulkan bahwa FPI itu NU? Karenanya terkoneksi dengan teroris? Kesimpulan yang kesalahanya fatal. Lebih fatal lagi nih Menkopolkam, jika saya kasih data hasil penelitian juga. Dari Kemenham tahun 2019 yang menyimpulkan bahwa ada sekitar 3% prajurit TNI yang terpapar radikalisme. Itu artinya ada sekitar 12.000 anggota TNI dari total 400.000 TNI aktif terpapar radikalisme. Kalau begitu bubarkan dong TNI. Mau pak Mahfuzd bubarkan TNI? Lebih banyak dari anggota FPI loh jumlahnya yang terpapar atau beririsan. Kesimpulan yang fatal bukan? Jika sebuah keputusan penting negara dibuat berbasis data yang tidak valid, keliru, bahkan sesat, saya khawatir akan makin membuat Indonesia berantakan. Saya juga khawatir, data yang tidak valid itu dianalisis dan disimpulkan. Apalagi oleh Jokowi dan Mahfuzd MD.Loh kok Jokowi ikut disebut? Yang jelas, di atasnya Mahfuzd MD itu ada Presiden. Betapa bahayanya sebuah keputusan negara bersumber dari data atau analisis yang keliru. Maaf, bukankah ini salah fatal mas Presiden ? Wallahu a'lam bishawab. Penulis adalah Analis Sosial Politik Uiveristas Negeri Jakarta.

Pembubaran & Pelarangan FPI Mencederai "Due Process Of Law"

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Rabu (30/10). Orang dapat setuju atau tidak dengan kegiatan Front Pembela Islam (FPI). Akan tetapi ketidakadilan terhadap tokoh Habib Rizieq Shihab (HRS) dan FPI sangat dirasakan. Setelah pembantaian terhadap 6 (enam) anggota Laskar FPI oleh aparat polisi, kriminalisasi HRS dengan dalih hukum yang dicari-cari. Tidak sampai di situ saja. Balakngan ada upaya untuk mengganggu aset pesantren "Markaz Syari'ah" Mega Mendung. Yang terakhir sekarang adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) enam Kemeterian dan Lembaga Negara untuk pembubaran dan pelarangan organisasi dan simbol FPI. Sejak hari ini oraganisasi dan simbol FPI dinyatakan dilarang. Atas dasar kebencian tersebut, FPI dan tokohnya telah dijadikan sebagai "musuh negara". Dengan perlakuan yang tidak adil itu, pemerintah telah mendeklarasikan diri sebagai rezim yang zalim. Siapapun penguasa yang zalim, lambat atau cepat akan menjadi musuh rakyat. Pembubaran dan pelarangan melalui SKB sangat tidak berdasar hukum dan bertentangan dengan UU Keormasan. Tampak seperti suka-suka penguasa saja. Padahal keputusan membubarkan dan melarang FPI sangat bertentangan dengan prinsip negara hukum (rechtstaat). Indonesia seperti sedang berubah ke arah dan menhukuhkan diri menjadi negara kekuasaan. Keputusan SKB enam Menteri dan Lembaga tersebut melanggar asas "due process of law" dengan meminggirkan fungsi peradilan. Meski SKB adalah bentuk hukum, akan tetapi karena digunakan tanpa melandaskan pada aturan hukum yang berlaku seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Tata Urutan Perundang-Undangan, maka layak untuk dikategorikan sebagai "a bus de droit" (penyalahgunaan kekuasaan). Sementara di UU Keormasan Nomor 16 Tahun 2017 tidak mengenal membubaran dan pelarangan ormas melalui Surat Keputusan Bersama Menhukham, Mendagri, Kapolri, Menkominfo, Jaksa Agung dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Lebih jauh kebijakan pemerintah ini merupakan tindakan inkonstitusional yang melabrak asas negara hukum (rechtstaat). Menginjak-injak harkat dan martabaty UUD 1945. Catatan buruk sejarah hukum kedua di masa Pemerintahan Jokowi dalam kaitan pembubaran ormas dengan menggunakan "kekerasan politik" bermantel hukum. Pertama, melalui Perppu saat membubarkan HTI dan kedua melalui SKB untuk membubarkan bahkan melarang simbol-simbol FPI. Khusus yang pembubaran kedua ini, gugatan yang dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sangat berpeluang untuk dimenangkan oleh kebu FPI. Bagi FPI, soal nampaknya pembubaran tidak terlalu penting. Disamping itu bisa berganti baju menjadi Front Pejuang Islam (FPI). Toh masih tetap nama FPI juga atau lainnya. Namun pembuabaran dan pelarang FPI jangan sampai membuat lengah terhadap penembakan enam anggota FPI di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek. Prioritas perhatian justru harus diutamakan pada pengungkapan kejahatan HAM pembantaian enam anggota Laskar FPI. Hal ini merupakan masalah besar yang bila terbukti akan menjadi suatu kejahatan atau terorisme negara. Jokowi harus bertanggung jawab. Pembubaran dan Pelarangan FPI pada satu sisi hanya menunjukkan arogansi kekuasaan semata. Tidak lebih dari itu. Sementara keputusan bersama ini hanya jalan untuk membangun simpati kepada FPI. Akibatnya, FPI yang tadinya tidak terkalalu bersar akan semakin besar. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Inklusif, Mencegah Negara Seperti Kapal Menuju Karam

Catatan Akhir Tahun dan Harapan 2021 Untuk Indonesia by Ikhsan Tualeka Ambon FNN – Selasa (29/12). Ada banyak tuntutan, ataupun gugatan yang dapat diajukan dalam melihat realitas berbangsa dan bernegara hari ini. Apa yang belakangan ini mengemuka di Papua, dan juga di Maluku menunjukan adanya kekecewaan politik di kedua daerah ini. Kekecewaan yang mesti dikelola dengan lebih arif dan responsif. Perspektif berkebangsaan yang hidup dalam setiap kepala generasi hari ini, mesti dapat disikapi dengan proporsional dan objektif. Karena semua itu terjadi tidak dengan serta-merta. Namun lahir dan tumbuh dari berbagai anomali dan ketimpangan yang terus terjadi. Dalam keadaan yang penuh ketidakpastian itu, memaksa untuk mengatakan bahwa situasi seolah-olah ada pada posisi normal atau on the right track adalah sikap tidak bijak. Apalagi dengan cara menindas, dan menggunakan kekerasan. Praktik ketidakadilan dan diskriminasi, serta minus kepekaan sosial dari elit penguasa harus segera dihentikan. Formula baru harus dirumuskan. Memahami gerakan protes yang saat ini tengah berkembang dan mengemuka dikawasan timur Indonesia, baik itu melalui gerakan politik bersenjata di Papua, maupun ekspresi politik menuntut dikembalikannya kedaulatan versi proklamasi tahun 1950 di Maluku, harus bisa dibaca sebagai interupsi level tinggi. Pasti ada yang kurang tepat dalam pengelolaan negara sejauh ini. Untuk itu, guna menjamin integrasi nasional dalam rentang waktu yang panjang, negara harus lebih inklusif. Yakni menempatkan negara ke dalam cara pandang orang atau kelompok lain untuk melihat dunia atau realitas. Dengan kata lain, negara mesti berusaha menggunakan sudut pandang orang atau kelompok lain dalam memahami masalah kekinian. Itu artinya, cara pandang atau perspektif yang sejauh ini mewakili aspirasi politik dan kepentingan ekonomi masyarakat, khususnya yang mengemuka di Papua dan Maluku harus ditanggapi dengan sikap inklusif oleh negara. Perspektif ini meminjam Daron Acemoglu dan James Robinson yang diungkap dalam buku ‘Mengapa Negara Gagal’. Menurut mereka, kegagalan sebuah bangsa menjadi maju dan berkembang karena absennya sistem ekonomi-politik yang inklusif. Tanpa inklusivisme, mustahil sebuah bangsa bisa beradaptasi, berinovasi menuju masyarakat yang egaliter. Dengan demikian negara dan pemerintah harus lebih cermat membaca situasi dan keinginan ekonomi-politik yang mengemuka. Tidak saja sebagai akibat perubahan global. Namun juga terkait dengan akumulasi kegagalan negara selama ini. Responsif dengan cara inklusif akan dapat mencegah reaksi publik yang kecewa terhadap pengelolaan negara yang tidak menghadirkan keadilan untuk semua. Inklusif dengan lebih memahami kepentingan dan kebutuhan daerah, terutama di kawasan timur yang tertinggal memang sulit terjadi atau dirumuskan dalam keadaan nagara. Penyebabnya karena tengah dipasung oleh oligarki. Bagi sebagian elit oligakri, mengumpulkan kekayaan adalah agenda utama dan jauh lebih penting ketimbang memikirkan integrasi nasional. Acemoglu dan Robinson menegaskan dalam buku mereka itu, sistem yang dikuasai tata kelola negara oleh segilintir elit, hanya akan membawa bangsa tersebut semakin terpuruk. Bang itu bahkan tidak kompetitif, dan menjadi bangsa yang gagal. Situasi yang saya lihat mulai menghinggapi bangsa ini. Masih menurut kedua ilmuan itu. Dengan gagalnya transformasi sistem ekonomi-politik yang inklusif, maka negara tersebut akan bergelimang dengan kemiskinan, ketimpangan sosial dan kekacauan politik. Seperti halnya situasi yang dialami oleh Korea Utara, Uganda dan Sierra Leon. Untuk menjadi inklusif, antara lain tata-kelola negara yang sangat Jawa sentris harus dapat dievaluasi. Termasuk di dalamnya bandul ekonomi-politik yang hanya pro pada segelintir orang. Itu artinya institusi ekonomi juga mesti dapat segera direkontruksi. Itu pasalnya, karena institusi ekonomi yang tidak inklusif, hanya akan menjadikan kelompok yang lemah semakin teralinasi atau terpinggirkan. Yang kaya semakin kaya. Itu artinya yang miskin semakin melarat atau setidaknya sulit untuk berkembang. Sistem ekonomi liberal kapitalis yang diadopsi mentah-mentah oleh Indonesia ternyata telah gagal total. Gagal untuk menjadi formula mensejahterakan sebagian besar rakyat. Alih-alih sejahtera, kemiskinan dan ketimpangan sosial justru kian lebar dan massif. Ketidakadilan semakin susah ditemukan. Sistem politik demikian pula adanya. Korupsi merajalela di semua level pemerintahan. Birokrasi yang tidak produktif. Krisis pelayanan publik merata dan telanjang mata. Sistem politik yang dianggap demokratis, tetapi dalam praktiknya sangat eksklusif. Bahkan hanya sekadar menjadi alat melegitimasi kekuasan hasil “dagang sapi” partai politik dan juga politisi busuk. Pada intinya, sistem ekonomi yang memungkinkan kekayaan negara yang dikuasai segelintir orang atau oligarki, serta sistem politik yang hanya menjadi mekanisme demokrasi yang prosedural untuk menegaskan kepemimpinan kompatriot oligakri dan dinasti politik dari pusat hingga daerah. Ini adalah potret sesungguhnya bahwa kapal besar Indonesia sedang berlayar menunju karam. Jika tidak segera berbenah, antara lain dengan mengakomudir berbagai tuntutan, terutama yang masih masuk dalam koridor konstisusi, seperti tuntutan Otonomi Khusus atau perlakuan khusus lainnya bagi Maluku Raya, sangat mungkin perlawanan politik akan makin mengemuka. Bila itu yang terjadi, dan ditambah pergolakan politik di Papua yang tensinya semakin tinggi, negara sejatinya sedang menuju fase gagal atau bubar. Penulis adalah Direktur Maluku Crisis Center (MCC).

Selamat Datang Kembali Gubernur Indonesia

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (28/12). Selama 27 hari Anies telah menjalani isolasi diri. Selama 25 hari lidah kehilangan rasa dan penciuman. Telah berulangkali tes swab, hasilnya tetap positif. Saat pertama kali positif terinveksi, Anies membuat video. Mengirimkan kabar sekaligus pesan agar setiap orang yang bertemu dengannya menjalani tes. Ini penting agar tidak ikut menjadi agen penularan ke yang lain. Anies adalah kepala daerah yang pertama kali membentuk tim penanganan Covid-19. Meski tak sedikit yang saat itu menganggap Anies sedang ngigau. Anies juga dituduh telah membuat kegaduhan dan kepanikan masyarakat. Dan macam-macam tuduhan lain lagi. Disisi lain, sejumlah pejabat tinggi sekelas menteri tak percaya Covid-19 bisa masuk ke Indonesia. Alasannya Indonesia daerah tropis. Covid-19 nggak bisa hidup di daerah tropis, katanya. Ada yang komentar bahwa Covid-19 mati dengan empon-empon. Macam-macam argumentasinya. Yakin penyebaran Covid-19 nggak akan meluas di Indonesia, tanggal 1 Maret presiden memberikan insentif di sektor pariwisata. Diskon pesawat 45-50%. Ini dilakukan agar kunjungan wisatawan ke Indonesia di saat pandemi tetap stabil. Ternyata? Meleset semua prediksi Presiden dan anggota kabinetnya. Di mata publik, program insentif ini terkesan konyol bin ngawur. Faktanya, Covid-19 masuk dan meyebar. Jumlah yang terinveksi terus bertambah. Sangat cepat penyebarannya. Tanggal 29 Maret 2020 Anies mengusulkan kepada pemerintah pusat agar dilakukan karantina wilayah. Khusus Jakarta. Usul Anies ditolak, bahkan dengan sangat tegas penolakannya. Covid-19 makin ganas. Pada bulan September, perhari lebih dari 4000 orang yang terinveksi. Di jakarta penambahan ya hampir 2000 orang per hari. Anies berencana ingin perketat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Juga diprotes. Tak tanggung-tanggung. yang memprotes adalah beberapa menteri. Dianggap mengacaukan upaya memulihkan ekonomi nasional. Ngawur bin ngaco kan? Sampai akhirnya, Habib Rizieq pulang ke Indonesia. Kerumunan terjadi, dan Habib Rizieq dianggap sebagai salah satu penyebab jumlah positif Covid-19 makin banyak. Sang Habib pun dijadikan tersangka dan ditahan. Kena pasal 160 KUHP, dianggap menghasut orang berkerumun dan melanggar aturan. Intinya, pasca Habib Rizieq pulang, ptotokol kesehatan (prokes) diperketat. Dan di pertengahan bulan Desember ini, Menko Meritim Luhut Binsar Panjaitan meminta kepada Anies untuk memperketat PSBB. Lah terus piye too? Kok berubah-ubah siiih? Mana yang bener niiih? Andai saja gagasan karantina eilayah yang diusulkan Anies di akhir bulan Maret diterima, mungkin penyebaran Covid-19 di Indonesia tidak separah seperti sekarang. Begitu juga dengan nasib ekonomi Indonesia. Relatif masih bisa diselamatkan. Tak perlu ada yang ditahan gara-gara kerumunan. Namun nasi sudah jadi bubur. Semua sudah jadi takdir sejarah. Dan Anies, tak hanya jadi orang pertama yang membentuk tim Covid-19, dan turun langsung menangani Covid-19. Anies pun ikut merasakan menjadi pasiennya. Anies juga tertular, dan harus menjalankan program isolasi mandiri sebagaimana pasien-pasien yang lain. Meski berada di rumah isolasi, Anies tak berhenti memimpin lokomotif Ibu Kota. Semua kegiatan tetap berjalan atas instruksi dan konsolidasinya. Jadi pasien Covid-19 tak menyurutkan Anies untuk tetap bekerja dan berkarya. Barangkali ini yang membuat proses penyembuhan Anies cukup lama. Karena tak rehat dan istirahat sebagaimana umumnya pasien yang lain. Begitulah risikonya menjadi seorang pemimpin. Nggak boleh istirahat! Terbukti, dimasa isolasi, DKI Jakarta masih meraih sejumlah penghargaan. DKI Jakarta diganjar dengan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ganjaran WTP ini bukan pertama kalinya. Namun sudah untuk yangketiga kalinya. Tiga tahun berturut-turut Jakarta mendapat ganjaran WTP dari BPK. Selain itu, provinsi DKI Jakarta meraih penghargaan Provinsi Terinovatif dari Kemendagri, dan penghargaan Kota Peduli HAM. Tidak hanya itu. Pemprov DKI juga mendapat penghargaan Top Digital Award 2020. Semua ini diterima saat Anies diisolasi karena Covid-19. Artinya, meski diisolasi, Anies tetap bekerja dan meraih prestasi. Yang dibutuhkan dari seorang pemimpin itu pertama, gagasannya. Seorang pemimpin mesti punya terobosan dan mampu berpikir out of teh box. Kedua, kemampuan menggerakkan bawahannya. Inilah fungsi leadership itu. Memastikan semuanya bekerja secara kolektif dan kolaboratif sesuai visi dan misi pemimpin. Ketiga, sikap bijaknya dalam menghadapi setiap dilema dan problematika. Di tangan seorang pemimpin, berbagai masalah bisa diselesaikan. Bukan malah menambah masalah baru. Intinya, pemimpin harus tangguh. Tidak menganggap setiap masalah sebagai keruwetan. Tetapi sebagai tantangan yang harus diselesaikan untuk memberi pengalaman dan kematangan. Tiga syarat itu, Anies memilikinya. Maka, di tangan Anies, Jakarta berjalan ke arah yang terukur sesuai dengan design visi yang direncanakan ketika berpasangan dengan Sandi Uno maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta 2017 dulu, yaitu "Maju Kotanya Bahagia Warganya". Jika hampir sebulan ini Anies memimpin by zoom dan mengandalkan jasa layanan Internet, maka setelah sehat, sudah saatnya Anies kembali turun langsung ke lapangan. Selamat datang kembali "Gubernur Indonesia" untuk memimpin Ibu Kota. Begitu rakyat menyapa dan memberi semangat kepada Anies Rasyid Baswedan, cucu pahlawan Indonesia Abdurrahman Baswedan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Stok Pangan Nasional Terancam?

Dalam keadaan terpaksa, impor beras harus dilakukan pemerintah dalam usaha mengamankan cadangan nasional. Nah, saya mendapatkan informasi bahwa pemerintah sudah berniat melakukan impor. Penjajakan sudah dilakukan ke sejumlah negara pengekspor beras, seperti Thailand, Vietnam dan Laos. Akan tetapi, negara-negara produsen beras itu kabarnya menolak permintaan Indonesia. Alasannya, karena pemerintah negara-negara tersebut lebih mengutamakan kebutuhan pangan rakyatnya ketimbang mengekspor By Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - Senin (28/12). Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) meluncurkan komoditas pangan olahan beras singkong. Peluncurannya dilakukan di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa 15 Desember 2020. Nama keren pun disandangkan pada produk yang diyakini rendah kolestrol itu. Besita atau Beras Singkong Petani, nama resmi yang disandangkan pada produk makanan alternatif tersebut. Makanan alternatif, karena diharapkan mampu mendorong usaha pemerintah dalam mensukseskan program diversifikasi pangan. Besita menggunakan bahan baku singkong lokal dari petani. Ini sangat bagus dan sangat pro-petani. Sebab, tanaman singkong di Indonesia cukup luas. Hampir tiap jengkal tanah di negeri ini bisa ditanami singkong, mulai dari Sabang sampai Merauke. Kita harus mengacungkan jempol atas keberhasilan meluncurkan Besita itu. Terlebih lagi peluncurannya dilakukan oleh Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso, Gurbenur Jawa Barat Ridwan Kamil, Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Soni Sulistia Wirawan, Ketua Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) Arifin Lambaga dan sejumlah pemangku kepentingan terkait lainnya. Direktur Utama Bulog, Budi Waseso, mengatakan, potensi Indonesia yang kaya akan produksi singkong harus dimanfaatkan sebagai upaya pemerintah untuk mensukseskan program diversifikasi pangan. Sebab, selama ini Indonesia masih sangat ketergantungan terhadap beras dan dapat memicu permasalahan ketahanan pangan nasional. “Produksi olahan singkong Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia dan sangat melimpah di tanah nusantara, sehingga membutuhkan suatu gagasan untuk menciptakan alternatif pangan selain beras. Maka kami melalui kerja sama dengan berbagai pihak telah memulai pengembangan singkong," kata Budi. Indonesia memiliki potensi singkong yang sangat besar, sekitar 85 persen dari luas singkong dunia tersebar di Sumatera, Maluku, Sulawesi, Papua termasuk Jawa dan dengan tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Berdasarkan data Kementerian Pertanian RI, luas panen ubi kayu atau singkong di Indonesia tahun 2019 sekitar 0,63 juta hektar dengan produksi 16,35 juta ton. Angka ini sebenarnya terus turun sejak tahun 2015, baik dari segi luas maupun produksi. Produksi rata-rata baru 20 ton per hektar. Padahal, masih bisa ditingkatkan menjadi 26 ton per hektar, dan bahkan bisa rata-rata 40 ton per hektar. Besita, nama yang keren dan oke. Menjadi bahan pangan alfernatif, bagus. Rendah karbohidrat, jelas bagus untuk kesehatan. Menggunakan bahan baku singkong lokal, sangat tepat karena sangat pro petani. Memasuki Bulan Paceklik Yang menjadi pertanyaan, mengapa peluncuran Besita dilakukan menjelang penghujung tahun 2020)? Apakah ini benar-benar merupakan antisipasi Bulog dalam menghadapi pengadaan pangan yang semakin sulit pada bulan-bulan mendatang, terutama Januari, Februari dan Maret 2021? Biasanya, pada bulan-bulan tersebut (Januari, Februari dan Maret) adalah masa-masa paceklik. Paceklik karena belum masuk musim panen raya. Paceklik, karena para petani biasanya lebih senang menyimpan padinya, terutama dimaksudkan ssbagai cadangan atau lumbung pangan petani. Paceklik, belum tentu tidak ada gabah atau beras. Paceklik, karena Bulog biasanya juga kewalahan dalam menghadapi para pedagang beras yang sama-sama terjun ke "tengah sawah" untuk berburu gabah/padi. Dalam hal ini terjadi persaingan antara petugas Bulog di lapangan dengan para pedagang beras, termasuk bersaing dengan tengkulak. Pengadaan pangan oleh Bulog bisa jeblok di bulan-bulan tersebut. Sebab, kalaupun petani ingin menjual gabah/beras, tentu lebih senang kepada pedagang atau pengumpul karena harga yang diberikan lebih menggiurkan ketimbang ke Bulog. Saya kurang tahu posisi stok pangan nasional yang kini dikuasai Bulog. Namun, angka terakhir saya baca realisasi pengadaan pangan hingga 23 Desember 2020 sebanyak 1.252.524 ton. Mungkin angka ini sudah bertambah hingga tulisan ini dibuat. Itu kan realisasi pengadaan. Jika ditambah dengan stok yanh ada, mungkin jumlahnya bisa 1,5 juta ton atau bahkan 2 juta ton lebih. Namun, sekali lagi, realisasi pengadaan pangan pada Januari sampai Maret biasanya melambat. Yang terjadi justru pengurangan stok yang ada. Stok pangan nasional harus benar-benar aman. Apalagi, bulan April 2021 sudah memasuki bulan puasa. Biasanya, di bulan ini stok banyak terkuras dari gudang Bulog untuk operasi pasar. Saya juga kurang paham apakah strategi Besita itu sebagai langkah jitu dalam menghadapi kemungkinan terjadinya paceklik stok pangan nasional. Sebab, tidak ada angka, sudah berapa pabrik Besita yang ada. Berapa kapasitas terpasang dan kapasitas peoduksinya per hari, per minggu atau per bulan. Jangan-jangan, peluncurannya hanya seremonial, agar pengusaha mendapatkan kucuran dana pinjaman lunak dari pemerintah. Mungkin, perkiraan saya terlalu jauh. Ada satu pertanyaan lagi yang membuat pikiran saya sedikit galau. Jika cadangan pangan nasional yang dikuasai Bulog benar-benar menipis - katakanlah tidak bisa mencukupi kebutuhan 6 bulan impor - lalu darimana Bulog harus menutupinya? Jika stok pangan nasional yang dikuasai Bulog menipis, biasanya kran impor beras dibuka. Meskipun saya kurang setuju dengan impor, karena selain menguras devisa, juga dapat mengabaikan kekuatan petani dalam negeri. Namun, dalam keadaan terpaksa, impor beras harus dilakukan pemerintah dalam mengamankan cadangan nasional. Nah, saya mendapatkan informasi bahwa pemerintah sudah berniat melakukan impor. Penjajakan sudah dilakukan ke sejumlah negara pengekspor beras, seperti Thailand, Vietnam dan Laos. Akan tetapi, negara-negara produsen beras itu kabarnya menolak permintaan Indonesia. Alasannya, karena pemerintah negara-negara tersebut lebih mengutamakan kebutuhan pangan rakyatnya ketimbang mengekspor. Apakah benar penolakan itu karena negara-negara produsen beras tidak mengekspor beras? Jangan-jangan, pemerintah Indonesia tidak memiliki uang untuk membelinya. Jangan-jangan, bukan mau membeli, tetapi tukar-menukar komoditas. Atau bisa jadi, pinjam beras, seperti yang pernah dilakukan Indonesia di masa Orde Baru. Sebab, membeli beras dalam jumlah banyak tentu membutuhkan dana kontan dalam nilai besar. Apakah ada uangnya untuk membeli beras impor? Sebab, di tengah pandemi Corona Virus Disaesa 2019 (Covid-19), keuangan Indonesia tekor alias defisit Rp 1.000 triliun lebih. Berdasarkan perkiraan Kementerian Keuangan, defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 semakin melebar akibat penerimaan pajak yang sulit mencapai target. Di sisi lain, beban utang dan bunga utang pemerintah terus meningkat untuk membiayai APBN. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor72 tahun 2020, defisit APBN ditargetkan Rp 1.039,2 triliin atau 6, 34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini cukup mengkhawatirkan, di tengah resesi ekonomi yang melanda dunia. Mengkhawatirkan, karena Indonesia yang juga mengalami resesi ekonomi masih sangat membutuhkan pinjaman, termasuk pinjaman membiayai kebutuhan pangan. Sementara, lembaga donor dan negara donor dalam posisi kesulitan keuangan akibat banyaknya negara yang juga sama-sama membutuhkan pinjaman luar negeri. ** Penulis, Pemimpin Redaksi FNN.co.id.

Urgensi Reformasi Polri

by Budiana Irmawan Jakarta FNN – Senin (28/12). Dugaan perbuatan Extrajudicial Killing terhadap 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) harus dimaknai bahwa ada problem serius di institusi kepolisian. Fungsi Polri sebagai aparatur penegak hukum masih rentan diintervensi kepentingan politik. Bahkan laporan KontraS sepanjang tahun 2020 terjadi 29 kasus pembunuhan oleh polisi di luar proses hukum. Tragis sekali. Penyelenggaraan tindakan kepolisian sebenarnya telah diatur dengan sangat jelas dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009. Namun kedua Perkap tersebut tampaknya tidak diindahkan dalam pelaksanaan di lapangan. Berangkat dari fakta-fakta ini, menunjukan urgensi reformasi di tubuh Polri. Paradigma Kepolisian sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002 memposisikan sistem sentralistik (Centralized System of Policing) perlu diubah kembali. Tujuannya agar ke depan polisi lebih relevan dan mengikuti asas keterbukaan dan profesionalitas. Tidak seperti sekarang. Sangat jauh dari profil polisi Indonesia yang Porfesional, Modern dan Terpercaya (Promoter). Jika kita menengok kembali tuntutan reformasi TNI dan Polri, pemisahan Polri dari TNI, sebetulnya baru langkah awal reformasi di Kepolisian. Polri berdiri sendiri lepas dari TNI baru langkah awal menandai Kepolisian adalah aparatur sipil yang dipersenjatai. Dipersenjatai untuk dapat menegakan hukum dengan benar dan Promoter. Bukan main tembak. Kendati memiliki kewenangan memegang senjata, tetapi senjata hanya digunakan untuk bertindak preventif dan preemtif. Bukan intensif untuk membunuh pihak musuh atau anak bangsa yang sedang diproses hukum oleh polisi. Sebab polisi jadi kehilangan fungsi pengamanan dan perlindungan masyarakat yang menjadi pondasi utama tugas-tugas polisi. Sejarah kelam dwi-fungsi ABRI di masa Orde Baru merupakan pelajaran berharga yang harus diingat-ingat oleh polisi. Kini TNI relatif sudah menjaga jarak terhadap kepentingan politik praktis sejalan perintah UU No. 34 Tahun 2004. Konsistensi TNI hendaknya diikuti oleh Polri. Karena itu, reformasi Polri fase berikutnya adalah menata kelembagaan kepolisian. Struktur kelembagaan Kepolisian yang sekarang ini sangat sentralistik. Padahal polisi bukan institusi kombatan. Berbeda dengan TNI yang memang bertugas menurut garis komando. Sementara polisi sebagai upaya menegakkan hukum, maka dasarnya adalah fakta hukum locus delicti. Mengkaji lebih jauh soal kelembagaan kepolisian, kita bisa membandingkan model Amerika Serikat yang terpisah (Fragmented System of Policing). Terpisah antara polisi federal dengan polisi negara bagian. Begitu juga dengan model Jepang yang membuka desentralisasi kepada prefektur yang merupakan sistem campuran (Integrated System of Policing). Memang model Amerika Serikat sulit untuk diterapkan, mengingat bentuk negara federal tidak kompatibel dengan negara kesatuan. Namun standar profesionalitas polisi di Amerika Serikat pantas untuk ditiru. Sebab di setiap kota besar mempunyai Kepolisian yang bergengsi. Misalnya New York Police Departement atau Los Angeles Police Departement. Begitu pula dengan polisi yang menangani kejahatan khusus seperti DEA, Badan Anti Narkotika di bawah Departemen Kehakiman. Selain itu, ada lagi FBI yang bertanggung jawab kepada Kejaksaan. Saya kira kelembagaan Kepolisian model Jepang sangat memungkinkan diadaptasi Indonesia. Di Jepang polisi prefektur lebih berdaya guna melaksanakan tugas kepolisian di masing-masing wilayah prefektur atau setingkat provinsi. Polisi Pusat (National Police Organization) terdiri dari NPSC (National Public Safety Commision) dan NPA (National Police Agency). NPSC suatu badan pemerintahan yang bertanggung jawab mengawasi NPA. Sementara tugas NPA adalah mengkoordinasikan polisi prefektur. Dengan demikian, tepat dibentuk kementrian keamanan yang bertanggung jawab mengendalikan kepolisian nasional. Juga memberi kewenangan luas kepada kepolisian daerah. Peran inspektorat/Irwasum Polri diperkuat menjadi badan supervisi penyelenggaraan kepolisian sejenis NPSC di Jepang. Poin penting adalah terjadi efektivitas tugas Polri. Kelakar beban bertumpuk dari urusan tilang motor bodong hingga menangkap teroris, bukan saja mengikis profesionalisme. Namun juga membawa moral hazard bagi anggota Polri. Tidak sampai di situ. Sistem kepolisian terpusat mengakibatkan Polri mudah tergelincir bias menjadi kepentingan politik rejim yang sedang berkuasa. Sama halnya dengan dugaan Extrajudicial Killing terhadap 6 anggota Laskar FPI. Penulis adalah Peneliti Lingkar Studi Transformasi Kebijakan Publik.

Tugas Negara Itu Melindungi Rakyatnya, Bukan Menangkap Pengkritiknya

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (27/12). Saat ini, Jokowi terlihat masih mampu mengendalikan stabilitas keamanan dalam negeri. Diantara indikatornya, pertama, Polri dan TNI yang menjadi organ penting dalam menjalankan tugas pengamanan berada dalam kendali penguasa. Kedua institusi ini terlihat kompak. Setidaknya dalam konsolidasi struktural. Kedua, di luar Polri dan TNI, ada sejumlah organisasi kemasyarakatran (ormas( besar seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang masih memberi dukungan kepada pemerintah. Walaupun dukungan itu dengan dinamikanya masing-masing. Ketiga, sejumlah tokoh dan aktifis yang teridentifikasi sebagai bagian dari kelompok oposisi yang krirltis seperti Kesatuan Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI), masyarakat yang tergabung dalam komunitas 212, dan sejumlah akademisi, tampak berhasil dibonsai melalui UU ITE. Begitu pula dengan penggunaan pasal ujaran kebencian (pasal 28 ayat 2 UU No 19 Tahun 2016 jo UU No 11 Tahun 2008) dan penghasutan (pasal 160 KUHP). Sebagian bahkan sudah ditangkap dan berada dalam tahanan. Beberapa mulai memasuki persidangan di pengadilan. Penguasa sepertinya berhasil meredam setiap kritik yang dilontarkan kelompok-kelompok oposisi. Penguasa sukses menggunakan pasal-pasal dalam undang-undang hukum pidana, dan terutama undang-undang ITE. Meski pasal-pasal yang ditersangkakan seringkali menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para ahli hukum. Pertama, ada kesan pasal-pasal yang dipaksakan. Kedua, pasal-pasal itu seringkali hanya berlaku untuk tokoh-tokoh yang menjadi pengkritik pemerintah. Sebaliknya ada kesan berbelit-belit jika menyangkut dengan para pendukung pemerintah. Tidak ada yang dijadikan tersangka. Namun kekhawatiran adanya ancaman pelengseran terhadap Jokowi itu juga terlalu berlebihan. Justru yang terjadi sebaliknya. Narasi ancaman dianggap publik seperti sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menggiring munculnya tuduhan kepada para tokoh oposisi itu. Orde Lama dan Orde Baru menggunakan pasal subversi untuk menghadapi para pengkritik penguasa. Kalau sekarang pintu masuknya seringkali melalui pelanggaran terhadap UU ITE. Hampir semuanya kena pasal ujaran kebencian dan penghasutan. Untuk saat ini, situasi keamanan nasional masih sangat kondusif. Hanya kasus seperti "Papua Merdeka" yang memang terjadi sejak dulu. Namun ke depan belum ada tanda-tanda bahwa stabilitas keamanan nasional terancam. Kecuali jika terjadi krisis ekonomi. Baik krisis moneter maupun krisis fiskal. Jika negara kekurangan anggaran untuk menggaji TNI-Polri dan para pegawai negeri, maka itu menjadi masalah serius dua rius dan tiga rius. Ini tentu akan menimbulkan gejolak. Faktor krisis ekonomi akan menjadi trigger yang paling kuat. Terutama dalam situasi rakyat dalam keadaan kecewa dan marah. Negara memang sedang kesulitan uang. Upaya untuk mendapatkan pinjaman sedang terus dilakukan. Baik melalui penjualan SBN (Surat Berharga Negara) atau SUN (Surat Utang Negara) maupun pinjaman luar negeri. Dalam situasi pandemi seperti sekarang, bukan hal mudah untuk mendapatkan pinjaman. Nopember bulan lalu, penjualan SBN/SUN jauh dari target. Jika upaya mencari pinjaman ini gagal, memang sangat berisiko ke depan. Hal yang paling tepat dan perlu dilakukan oleh pemerintahan Jokowi saat ini adalah pertama, tangani pandemi Covid-19 dengan strategi terukur, tegas dan konsisten. Agar pandemi Covid-19 segera bisa diatasi dan diakhiri. Tanpa penuntasan pandemi sebagai program serius dan prioritas, sulit bangsa ini keluar dari resesi ekonomi. Kedua, fokus atasi resesi ekonomi. Sebagai catatan, dalam mengambil setiap kebijakan ekonomi, pemerintah mesti mengutamakan kepentingan rakyat dan masa depan bangsa. Tidak semata-mata untuk menghindari krisis demi mempertahankan kekuasaan. Ketiga, tidak menghabiskan energi dan sibuk mengatur strategi konfliktual dengan kelompok oposisi. Pemerintah tak perlu berlebihan dan memanjakan rasa takut kepada kelompok-kelompok oposisi itu. Karena tak ada yang perlu ditakutkan. Nggak boleh alergi dengan kritik. Ini Indonesia, bukan Timur Tengah. Masyarakat Indonesia mudah diajak berkomunikasi dan kompromi. Secara umum, masyarakat Indonesia merindukan suasana damai. Sudah bosan dan jenuh dengan kegaduhan. Suasana tenang hanya akan terjadi di negeri ini jika negara sibuk bekerja untuk melindungi rakyatnya, bukan memusuhi dan menangkap para pengkritiknya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Di Megamendung, HRS Ajarkan Santri Berkebun, Bukan Membuat Perkebunan

by Asyari Usman Bogor FNN - Sabtu (26/12). Seorang emak-emak menangis tersedu sambil menumpahkan kesedihannya. Dia mendengar berita bahwa lahan yang dipakai oleh Habib Rizieq Syihab (HRS) untuk pesantren agrokultural Markaz Syariah (MS) di Megamendung, Bogor, akan diambil paksa oleh pemilik HGU-nya, yaitu PTPN VIII. Dirut PTPN 8, Muhammad Yudayat, sudah mengirimkan somasi per 18 Desember 2020. Inilah somasi pertama dan terakhir. Tidak main-main. Dia mengatakan, lahan seluas 31 hektar yang selama ini dipakai HRS untuk bercocok tanam, harus diserahkan kepada perusahaan perkebunan itu. Akan diambil paksa. Pak Dirut mengultimatum, jika dalam seminggu tidak dikosongkan, maka pihak PTPN 8 akan menyampaikan laporan ke polisi. Bakal menjadi pengaduan polisi yang kesekian kali atas nama HRS. Padahal, lahan itu terlantar lebih 30 tahun. Kemudian digarap oleh warga masyarakat. Dari warga penggarap itulah HRS membeli lahan tsb. Jadi, lahan itu dibeli bukan diserobot. Ibu yang menangis itu terdengar sangat pilu. “Sampai segitunya mereka membenci Habib,” ujar Ibu tersebut dalam rekaman yang beredar di berbagai platform media sosial. Ibu yang pilu itu tahu persis penggunaan lahan MS. Di atas tanah yang relatif tidak terlalu luas itu jika dibandingkan 300,000 hektar yang dikuasai oleh konglomerat, anak-anak santri MS melantunkan sholawat. Mereka berzikir. Menghafal al-Quran. Memohon kepada Yang Mahakuasa agar menyelamatkan bangsa dan negara ini. Ibu yang terisak-isak itu tahu bahwa para santri di MS tidak diajarkan memusuhi siapa pun. Yang diajarkan kepada mereka adalah cara hidup yang berguna bagi manusia lain. Mereka diajarkan memberi, bukan mengambil. Diajarkan hidup sederhana, bukan hidup semena-mena. Anak-anak santri itu dididik agar tidak membuat kerusakan di muka bumi ini. Mereka diajarkan menanam, bukan membabat. Diajarkan berkebun, bukan membuat perkebunan. Anak-anak santri MS diajarkan hidup mandiri, bukan menipu Bank Mandiri. Mereka diajarkan berbagi rezeki, bukan bagi-bagi uang korupsi. Kelak diharapkan para santri akan menjadi inisiator bansos, bukan koruptor bansos. Di pesantren MS, para santri tidak diajarkan membuat Tambang Batubara. Jauh dari itu. Tetapi mereka dididik agar tidak terjerumus seperti Juliari Batubara. Anak-anak santri itu tidak hanya belajar agama. Mereka juga belajar matemateika, dan pengetahuan umum. Pengetahuan umum mereka lumayan luas. Misalnya, mereka tidak hanya tahu tentang peranan penting Menhan Prabowo. Tapi mereka juga paham tentang kisah benur lobster Edhy Prabowo. Jadi, lahan 31 hektar yang dipakai HRS di Megamendung itu bukan untuk memperkaya pribadi. Melainkan untuk memperkaya kepribadian. Silakan Anda cek apa yang dilakukan oleh para konglomerat di atas berjuta hektar lahan yang mereka kuasai. Namun, kalau kalian masih perlu lahan 31 hektar yang dibeli resmi oleh HRS dari warga setempat, beliau pasti akan menyerahkanya.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Prabowo-Sandi Dan Sejarah Hitam Demokrasi

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (26/12). Setelah Calon Presiden 2019 Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Jokowi, kini Calon Wakil Presiden Sandiaga Salahudin Uno juga masuk Kabinet. Komitmen awal untuk siap menjadi oposisi 5 tahun ke depan runtuh sudah sudah. Rekor Muri patut disematkan untuk sejarah demokrasi bangsa Indonesia. Dimana Prabowo-Sandi ternyata sangat senang hati untuk menjadi "pembantu"Jokowi. Keterlibatan mereka berdua sebagai Capres-Cawapres 2019 hanya dagelan belaka. Bohong-bohongan saja. Ujung-ujungnya hanya ingin punya jabatan di pemerintahan. Semua itu bisa dipahami, karena karier paling tinggi bagi Prabowo hanya bintang tiga di TNI Angkatan Darat. Belom pernah jadi menteri sejak pengisun dari dinas aktif militer. Hitung-hitung, dengan menjadi Menteri Pertahanan, ada penambahan jabatan di pemerintahan pada daftar curriculum vitae bahwa Probowo juga pernah menjadi menteri. Prabowo yang galak saat kampanye membuat pendukung bangga dan mengacungkan jempol. Soekarno baru telah muncul di bumi pertiwi ini. Para pendukung rela mengorbankan harta bendanya demi sukses perjuangan sang panutan menjadi Presiden. Pengorbanan pendukung disamping mengumpulkan dana kampanye juga dengan pengorbanan jiwa, tewas 6 atau bahkan 9 orang, dan luka luka 600 orang saat aksi protes di depan Bawaslu 21-22 Mei 2019 lalu. Rupanya bukan hanya Prebowo. Kini kejutan kembali terjadi. Setelah diumumkan oleh Jokowi bahwa Sandiaga Salahudin Uno menjadi salah satu Menteri hasil reshuffle, maka lengkaplah kekecewaan pendukung Prabowo-Sandi. Sumpah serapah pun bermunculan di kalangan para pendukung di media sosial. Ada yang karena sakit hati menyumpahi dengan predikat "dasar penghianat". Keduanya menjadi bahan olok-olok di media sosial sebagai performance manusia yang tidak istiqamah. Pertimbangan didominsi oleh kalkulasi untung rugi. Para pendukung jadi teringat dengan omongan aktivis 98 yang kini menjadi Ketua Bappilu Partai Demokrat Andi Arief, yang pernah menjuluki Prabowo sebagai “Jendral Kardus”. Omongan Andi Arief seperti menjadapatkan pembenaran hari ini. Sebagian lagi pendukung sudah tak peduli pada keduanya. Pendukung berkonklusi bahwa memang seperti itulah kualitas keduanya. Bahkan ada yang bersyukur untung katanya tidak menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Kalau menang, dan menjadi Presiden-Wakil Presiden, jangan-jangan mengelola pemerintahan bisa lebih parah dari yang sekarang. Tidah usah jauh-jauh ambil perbandingan. Lihat saja kader Gerindara, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait benur udang. Nah, Ketua Umum Gerindra tidak menjadi Presiden saja begitu. Bagaimana kalau Prabowo menjadi Presiden. Bisa lebih parah dong??? Ketika rakyat menghadapi masalah seperti tokoh yang dikriminalisasi. Gonjang-ganjing perundang-undangan yang merugikan rakyat. Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh aparat, Prabowo yang Menteri Pertahanan itu diam seribu bahasa. Begitu pula dengan Sandi Uno. Tak muncul komentar sebagai rasa empati kepada korban, apalagi sampai pembelaan segala. Dalam kaitan kehidupan demokrasi, masuknya Prabowo-Sandi dalam Kabinet Presiden Jokowi menjadi catatan sejarah hitam. Baru kali ini terjadi di Indonesia, mungkin juga di dunia. Catatan hitam, karena buruk sebagai preseden. Bahasanya, jika cuma sekedar mau jadi Menteri, buat apa bertarung habis-habisan dalam Pilpres. Jadi pendukung lawan saja dari dahulu Choy. Catatan hitam lain adalah membunuh budaya pengawasan dan perimbangan kekuatan. Semestinya kontrol terhadap kekuasaan itu harus kuat. Prabowo-Sandi dapat memimpin kekuatan pengawasan dan perimbangan ini. Akan tetapi dengan masuknya Prabowo-Sandi dalam Kabinet Jokowi, maka hal itu sama saja dengan memperkokoh oligarkhi. Apa boleh buat. Catatan sejarah hitam demokrasi Indonesia itu telah ditorehkan oleh Prabowo-Sandi. Mereka berdua merusak sendi demokrasi bangsa. Secara tak disadari keduanya telah berkontribusi dalam membangun kultur otokrasi. Jokowi yang semakin jumawa. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.