NASIONAL
Munas MUI Pilih Ketua Baru 2020-2025
Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (25/11). Hari ini sampai lusa, Rabu-Jum’at, tanggal 25-27 Nopember Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) ke X. Dalam Munas kali ini MUI akan memilih seorang ketua yang baru. Saat ini, pimpinan menjadi MUI sangat penting dan strategis. Dua hal yang membuat kepemimpinan MUI ke depan sangat penting dan strategis. Pertama, dipinangnya K.H. Ma'ruf Amin, ketua MUI periode 2015-2020 menjadi Cawapres Presiden Jokowi. Dalam pilpres 2019 lalu, Jokowi-Ma'ruf terpilih. Dan K.H. Ma'ruf Amin secara definitif dilantik jadi Wapres. Kedua, MUI belakangan ini mampu tampil elegan dan memaksimalkan perannya mewakili suara umat Islam. Terutama yang terkait dengan kebijakan-kebijakan publik. Tidak saja amal Ma'ruf yang menonjol. Tetapi juga tegas dalam memerankan fungsi "nahi munkar"-nya. Dua posisi inilah yang membuat MUI menjadi penting dan strategis. Karena akan sangat diperhitungkan perannya. MUI tidak saja diperhitungkan oleh umat Islam, tetapi juga rakyat Indonesia secara umum. Tidak saja secara politik, tetapi juga secara moral. Meski demikian, MUI memiliki mekanisme tersendiri. MUI sangat berbeda dari umumnya organisasi, terutama dalam memilih calon seorang pemimpin. Dalam konteks pemilihan ketua, MUI memiliki sistem formatur. Ada belasan ulama yang manjadi anggota formatur, diantaranya Ketua dan Sekjen MUI yang lama, perwakilan ormas seperti NU dan Muhammadiyah, serta yang lain-lain. MUI adalah organisasi yang anggotanya adalah para ulama', zuama' dan cendekiawan muslim. Makanya, otomatis kandidat yang akan dicalonkan adalah mereka yang tergolong sebagai ulama', zuama' atau cendekiawan muslim. Tidak asal-asalan. Kandidat yang muncul dan santer dibicarakan publik dalam Munas MUI kali ini diantaranya adalah K. H. Miftahul Ahyar, Rais Suriah PBNU. Tokoh yang satu ini dikenal alim (tafaqquh fiddin), bersahaja dan sangat sederhana. Meski baru setahun menggantikan posisi K.H. Ma'ruf Amin di NU, K.H. Miftahul Ahyar sudah mulai dikenal dan tak asing bagi masyarakat. Sang Kiai juga mewakili NU, organisasi terbesar di Indonesia. Selain K.H.Miftahul Ahyar, muncul nama Buya Dr. Anwar Abbas, Sekjen MUI yang sekaran. Buya Dr. Anwar Abbas akhir-akhir ini sering muncul namanya di media massa. Sikapnya yang kritis terhadap sejumlah kebijakan pemerintah dan persoalan-persoalan sosial, terutama sertifikasi mubaligh dan da’I telah ikut mengangkat nama baik dan menjaga marwah MUI. Di luar kedua tokoh tersebut, ada nama K.H. Buchori Abdusdomad, Ketua MUI Jawa Timur. Munculnya K.H.Abdussomad seolah mewakili suara umat Islam dari daerah. Sebab selama ini Ketua MUI selalu dijabat oleh mereka yang sudah menjabat di pengurus pusat. Lalu, siapa diantara ketiga tokoh ini yang kemungkinan akan terpilih menjadi Ketua MUI ke depan? Tim formatur yang akan mencermati, menela'ah dan menggodok secara serius siapa diantara mereka yang akhirnya diberi amanah untuk memimpin MUI lima tahun ke depan. Tidak menutup kemungkinan juga akan muncul tokoh diluar tiga nama tersebut. Dalam hal ini, ormas dan umat menyerahkan sepenuhnya kepada anggota formatur untuk memilih mana yang terbaik menurut mereka. Di tangan mereka, pemilihan ini akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Atas dasar inilah, "ultimate trust" umat kepada para formatur tersebut dipasrahkan. Di tengah situasi politik yang relatif gaduh seperti sekarang ini, umat hanya berharap kepada MUI. Pertama, pemilihan ketua MUI dilakukan dengan proses yang elegan, terhormat, bermartabat, dan tanpa intervensi dari pihak manapun. Keikhlasan, kejujuran dan kearifan harus menjadi pondasi dalam suksesi pimpinan MUI kali ini. Kedua, yang terpilih adalah ulama yang benar-benar diharapkan mampu menjaga marwah dan independensi MUI ke depan. Juga mampu membawa MUI semakin besar peran dan manfaatnya untuk umat dan bangsa. Jangan mau diatur-atur sama pemerintah. Apalagi kebijakan pemerintah merugikan rakyat dan umat Islam. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Cukong Ahoker di Balik Pencopotan Baliho?
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Selasa (24/11). Markas Kodam Jaya di kawasan Cililitan, Jakarta Timur banjir karangan bunga. Narasi dan pesan yang ingin disampaikan, sangat jelas. Rakyat mendukung langkah Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman. Pangdam Jaya memang tengah jadi perbincangan nasional, menyusul tindakannya mencopot dan membersihkan baliho ucapan selamat datang Habib Rizieq Shihab (HRS). Bahwa tindakan Mayjen Dudung didukung oleh rakyat, itu bisa terlihat jelas dari beragamnya nama pengirimnya. Mulai dari perorangan maupun organisasi kemasyarakatan. Sekali lagi itu kesan dan pesan yang ingin dibangun. Tapi apakah benar strategi komunikasi dengan cara show of force, membanjiri markas Kodam Jaya dengan karangan bunga itu berhasil? Publik menangkap pesan dan mempunyai persepsi yang sama? Masyarakat kemudian ikut mendukung dan memberi basis legitimasi. Dengan begitu Pangdam Jaya dapat terus melanjutkan tindakannya? Kelihatannya tidak begitu. Publik malah menangkap sebaliknya. Narasi yang berkembang, terutama di media sosial, para cukong yang dulu mendukung mantan Gubernur DKI Ahok berada di balik aksi pembersihan baliho HRS. Lho kok bisa begitu? Pertama, pilihan membanjiri Markas Kodam Jaya dengan karangan bunga ini bukan ide strategi komunikasi yang orisinil. Duplikasi. Publik dengan mudah diingatkan kembali pada modus yang sama. Saat Ahok kalah pada Pilkada DKI 2017. Saat itu Kantor Pemprov DKI berubah menjadi lautan karangan bunga. Jadi tidak salah bila kemudian publik menyimpulkan, pelaku atau aktor yang menggerakkan aksi ini sama dengan pelaku 2017. Kalau menggunakan terminologi pidana, pelakunya adalah residivis. Mengulang perbuatan pidana yang sama. Cuma yang ini residivis karangan bunga ha…ha…ha…. Tentu ini bukan perbuatan pidana. Tidak bisa dihukum. Yang menghukum publik. Tidak percaya dengan pesan yang ingin dibangun dan disampaikan. Kedua, banjir karangan bunga ke Pemprov DKI bukan sebuah strategi yang sukses. Media saat itu berhasil membongkar fakta, bahwa sebagian besar pengirim bunga itu hanya dilakukan oleh beberapa orang saja. Seorang pemilik toko bunga mengaku mendapat pesanan ratusan karangan bunga dari seseorang, dengan nama pengirim yang berbeda-beda. Alias nama fiktif. Sesungguhnya ada juga perorangan yang benar-benar mengirim karangan bunga. Tapi fakta itu tertutup dengan temuan media. Ada cukong yang membayari karangan bunga itu. Jadi dapat disimpulkan dukungan kepada Ahok tidak natural. Ada mobilisasi. Ada cukong yang jadi Bandar, sehingga kantor Pemprov DKI menjadi lautan bunga. Kecurigaan yang masuk akal juga. Karena pandemi, ekonomi sulit. Hanya orang yang punya kelebihan duit saja, yang saat ini mau buang-buang duit membeli karangan bunga. Dari sisi komunikasi, modus pengiriman bunga ini adalah strategi komunikasi yang gagal ( communication failure). Agak mengherankan bila sebuah strategi yang gagal, kok diulang kembali? Kekonyolan serupa juga terjadi. Aliasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merasa dicatut namanya. Mereka tidak pernah merasa mengirim karangan bunga. Akibatnya yang ketiban apes, ya Mayjen Dudung. Publik menilai ada tangan-tangan cukong Ahok di balik penertiban baliho HRS. Maksud hati dari siapapun yang berada di balik gerakan mobilisasi pengiriman bunga ini mendukung Pangdam Jaya, malah berbuah sebaliknya. Foto-foto Pangdam Jaya sedang berfoto dengan para pengusaha etnis Cina, menyebar luas di medsos. Targetnya untuk mendiskreditkan Mayjen Dudung. Padahal bisa saja foto-foto itu tak ada kaitannya. Pangdam Jaya layak menegur keras si oknum yang memobilisasi pengiriman bunga ini, siapapun orangnya. Ketiga, sebelum heboh pengiriman karangan bunga ini publik juga digemparkan dengan adanya video seorang wanita yang mengenakan baju kotak-kotak ikut naik panser. Kendaraan tempur itu digunakan untuk mengawal pasukan yang membersihkan baliho HRS di kawasan Petamburan. Publik saat itu menyebutnya ada Ahoker alias pemuja Ahok yang ikut bersama TNI menertibkan baliho HRS. Penerangan Kodam Jaya sudah menjelaskan bahwa wanita tersebut adalah seorang wartawan. Dia naik panser dengan pertimbangan keamanan. Wartawan naik kendaraan tempur itu sebenarnya praktik biasa. Namanya embedded journalism,. Tapi biasanya itu hanya terjadi di medan tempur. Kegiatan itu menjadi terkenal ke seluruh dunia, ketika para wartawan ikut bersama pasukan AS menyerbu Iraq dalam Perang Teluk. Masalahnya penerangan Kodam Jaya juga tidak menyebut jelas identitas si wartawan dan dari media mana. Spekulasi liar dibiarkan berkembang di tengah publik, dengan berbagai bumbu penyedapnya. Pesan tidak jelas Kegagalan strategi komunikasi politik semacam itu harus jadi pelajaran, terutama bagi instansi pemerintah. Di era digital, dimana informasi bisa dibuat dan disebar secara bebas oleh semua orang, dampaknya bisa sangat serius. Apalagi untuk keputusan penting dan sensitif. Bisa berantakan gak karuan. Seorang pejabat tidak boleh mengambil sebuah kebijakan, tanpa memikirkan strategi komunikasi politiknya secara matang. Semuanya harus dirancang secara matang . Ditimbang-timbang plus minusnya. Tidak boleh asal tabrak. Gaya militer zaman dulu: hajar dulu, urusan belakangan, sudah tidak berlaku. Satu hal lagi yang perlu dberi catatan, pesan harus jelas, dan tidak boleh berubah-ubah. Mayjen Dudung sebelumnya mengklaim bahwa pencopotan baliho HRS adalah instruksinya. Belakangan setelah mendapat serangan dari berbagai kalangan. Istana dan juga Mabes TNI membantah memberi instruksi, Mayjen Dudung mengatakan pencopotan itu atas permintaan Satpol PP. Mana yang benar? Publik telanjur tidak percaya karena pesan yang disampaikan Pangdam tidak jelas, dan berubah-ubah. Orang Minang punya pepatah menarik untuk menggambarkan situasi ini. “Kato nan dahulu, sabana kato. Kato kudian, kato nan dicari-cari.” Kata yang diucapkan paling awal, adalah kata sesungguhnya. Kata yang diucapkan kemudian, merupakan dalih yang dicari-cari. Kasus pencopotan baliho bisa menjadi contoh menarik kegagalan sebuah strategi komunikasi politik. Banjir karangan bunga malah berubah menjadi banjir caci maki. End Penulis, wartawan senior FNN.co.id
Baliho “Diperangi”, Jokowi Takut Gambar?
Adakah perintah itu datang dari Presiden Jokowi karena takut Revolusi Akhlak HRS? Pihak Istana sudah membantahnya. by Mochamad Toha Surabaya FNN - Senin (23/11). Sudah 2 Kapolda dan Kapolres di Jakarta dan Jawa Barat digeser kedudukkannya. Konon, mereka itu disanksi gegara acara besar yang diselenggarakan FPI dan Habib Rizieq Shihab. Pertanyaan akhirnya muncul: mengapa ada acara besar lain di daerah lain yang berdekatan harinya Kapolda dan Kapolres setempat tak digeser dan dicopot dari jabatannya? Bahkan, jauh sebelumnya hingga hari-hari ini cukup banyak peserta Pilkada 2020 yang juga melanggar protokol kesehatan tidak menjadi penyebab Kapolres dan Kapolda ikut digeser seperti 2 Kapolda dan Kapolres di Jakarta dan Jawa Barat itu? Dari sini banyak kalangan berasumsi terjadi ketidakadilan Polri dalam memberikan tindakan di lingkungan internalnya sendiri. Dan terasumsikan pula bahwa tindakan tegas hukum hanya berlaku bagi yang bukan “pro-kekuasaan”. Kepulangan HRS tepat Hari Pahlawan, 10 November 2020, itu membuat penguasa (baca: Presiden Joko Widodo) panik. Selama ini, sepak terjang HRS dianggap sangat merepotkan penguasa. Apalagi ketika HRS terus-menerus menyerukan Jokowi mundur. Kendati seruan tersebut tak lagi terdengar setelah HRS pulang ke Indonesia. Seruan tersebut sudah berubah dengan slogan “Revolusi Akhlak”! Mungkin apa karena Revolusi Mental ala Jokowi gagal total? Contoh Revolusi Akhlak pun dilontarkan pertama kali oleh HRS pasca “artis seks” Nikita Mirzani melecehkannya. Dan, HRS membalasnya dengan sebutan “lonte” yang dijaga oleh polisi di kediamannya. Yang pasti, kepulangan HRS telah memakan banyak korban. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Nana Sujana dicopot. Begitu juga Kapolda Jawa Barat Irjen Pol. Yudi Sufriadi nasibnya sama: dicopot. Tidak hanya dua Kapolda, dua Kapolres juga ikut dicopot, yaitu Kapolrestro Jakarta Pusat dan Kapolres Bogor. Empat perwira polisi ini adalah kepala kepolisian di wilayah di mana HRS mengadakan acara yang menghadirkan puluhan hingga ratusan ribu massa. Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Tony Rosyid menyebut, pencopotan dua Kapolda dan dua Kapolres secara bersamaan sulit jika tidak dihubungkan dengan sepak terjang HRS. Apalagi telah diungkapkan bahwa pencopotan mereka karena dianggap tidak tegas mencegah pelanggaran protokol kesehatan di acara HRS. Situasi politik makin tegang saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga ikut dipanggil oleh Bareskrim terkait pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan HRS. Melalui surat nomor B/19925/XI/RES. 1.24/2020/DITRESKRIMUM, Anies akan diminta untuk memberikan klasifikasi terkait acara HRS. Gubernur Anies pun diperiksa selama 10 jam hingga dini hari. Anies pun sebelumnya telah konferensi pers, menjelaskan kepada publik bahwa prosedur pencegahan terhadap semua kegiatan yang berpotensi menciptakan penyebaran Covid-19, termasuk kepada HRS, telah dilakukan. Melalui Walikota Jakarta Pusat, surat sudah dikirim. Bahwa Pemprov DKI tidak memberi ijin segala bentuk kegiatan yang berpotensi terjadinya kerumunan. Sikap Anies tegas dan berlaku untuk siapa saja. Ketika HRS melangsungkan acara walimah dan Maulid Nabi, Anies memberi sanksi denda 50 juta rupiah kepada HRS. HRS berlapang dada dan langsung membayar denda itu. Cash! Selesaikah? Ternyata tidak. Perangi Baliho Diawali dengan viralnya pemberitaan Kendaraan Tempur (Ranpur) bertuliskan KOOPSSUS yang melintasi wilayah Petamburan belum lama ini. Berhenti sejenak di depan mulut gang ke kediaman HRS. Kemudian berlalu kembali. Esoknya viral sebuah video beberapa orang bersegaram “ala” TNI yang menurunkan baliho pada malam hari. Berikutnya, datang lagi sekelompok “pasukan” TNI naik sepeda motor dan berhenti di wilayah Petamburan juga tanpa aktivitas. Tidak sampai disitu, Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurrachman malah ikut kerahkan prajurit untuk copot gambar dan baliho HRS. Tidak hanya di Jakarta, penurunan baliho HRS juga terjadi di Jawa Tengah oleh aparat Brimob bersenjata. Apakah setelah baliho dicopot tak ada pemasangan baliho-baliho yang lain? Sepertinya tidak. Kabarnya, mulai ada pemasangan baliho di gang-gang sempit. Alasannya, agar mobil panser Pangdam Jaya nggak bisa masuk. Ada-ada aja. Emang beneran? Jika toh ada pemasangan baliho HRS, apalagi dalam jumlah besar, dipastikan itu aksi protes. Banyak pihak bertanya, apa salah baliho itu? Nggak bayar pajak? Apa baliho parpol itu bayar pajak? Apakah baliho calon kepala daerah itu bayar pajak? Apa baliho ormas itu bayar pajak? Mengutip Tony Rasyid, Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawan menegaskan, tidak ada kewajiban bayar pajak untuk baliho non komersial. Lalu kenapa Pangdam Jaya yang copot? Apa itu bagian dari tupoksi TNI? Bukannya TNI itu bertugas untuk mengamankan negara dari ancaman luar? Aksi pencopotan baliho oleh Pangdam Jaya menuai kritik. Bahkan kecaman beras banyak pihak. Beredar meme, karikatur, foto, video dan tulisan yang bernada kecaman dan kritik kepada Pangdam Jaya. Dianggap berlebihan, lebay dan keluar dari tupoksinya. Fadli Zon, anggota komisi I DPR dari Gerindra mengusulkan agar Pangdam Jaya dicopot. Makin ramai! Sebaliknya, publik memberikan empati. Bahkan dukungan kepada HRS bermunculan. Lagi-lagi, banyak pihak yang merasa ini bagian dari kedzaliman. Dan sudah menjadi hukum sosial. Setiap ada orang yang dipersepsikan terdzalimi, ia akan berlimpah empati. Dicopotnya baliho HRS justru akan semakin membesarkan nama dan kharisma Imam Besar FPI ini. Kapolda Metro Jaya yang baru Irjen Polisi Fadil Imran mendukung langkah Pangdam Jaya tersebut. Aksi penurunan serupa juga terjadi di Kabupaten dan Kota Tangerang, Minggu (22/11/2020). Petugas gabungan dari Satpol PP Kabupaten Tangerang, TNI dan Polri menurunkan puluhan spanduk dan baliho bergambar HRS. Begitu pula di Kota Tangerang. Perununan baliho HRS juga berlangsung di wilayah Kabupaten dan Kota Bekasi sejak Jum’at (20/11/2020). Meski sempat mendapat penolakan warga, namun penurunan tersebut berjalan lancar juga akhirnya. Benarkah TNI secara institusi telah memerintahkan Pangdam Dudung mencopot baliho HRS? Jawaban mengejutkan datang dari Kapuspen TNI Mayjen TNI Achmad Riad. Beritasatu.com, Kamis (19/11/2020) menulis, pimpinan TNI tidak pernah memberikan perintah penurunan spanduk ataupun baliho HRS. “TNI tidak pernah memberikan perintah. Video tersebut (juga) tidak jelas siapa, belum ada klarifikasi,” kata Achmad Riad, ketika dikonfirmasi, di Jakarta, Kamis (19/11/2020). Dikatakan Riad, kalaupun ada prajurit TNI di lapangan yang menertibkan spanduk ataupun baliho, tentunya akan dilakukan bersama kepolisian. TNI biasanya hanya bersifat membantu menertibkan penurunan spanduk. “Bilapun ada hal tersebut tentunya akan dilakukan bersama sama Satpol PP, Polisi dan TNI akan membantu,” ujar Kapuspen TNI. Padahal, Mayjen Dudung awalnya baik-baik saja, bahkan memberi pernyataan positif bahwa Acara Pernikahan Putri IB HRS sudah sesuai Prokes. Dan, Rabu, 18 November 2020 sempat mengundang Pengurus DPD FPI DKI Jakarta untuk mengajak kerjasama menjaga stabilitas keamanan Ibukota Jakarta. Pertemuan berjalan sangat hangat bersahabat dan penuh damai. Namun entah kenapa, hari esoknya, hanya berselang sehari tiba-tiba berubah, menghina IB-HRS dan menantang FPI, serta mengerahkan puluhan Tank Panser Perang dan ribuan Pasukan Tempur TNI untuk menurunkan baliho HRS se-Jakarta. Adakah perintah itu datang dari Presiden Jokowi karena takut Revolusi Akhlak HRS? Pihak Istana sudah membantahnya. Penulis, wartawan senior FNN.co id
Ketika Istana Jokowi Goyah
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (22/11). Ketika pembangunan infrastruktur dan investasi gagal mencapai target yang digaung-gaungkan. Ketika pertumbuhan ekonomi semakin merosot di zona minus. Ketika utang terus membengkak. Ketika covid 19 memporak-porandakan dana APBN. Maka resesi yang sedang berjalan menuju krisis, bahkan depresi ekonomi hanya persoalan waktu. Juga ketika aturan hukum yang menjadi pendukung agenda ekonomi membentur perlawanan rakyat yang harus menguras enerji. UU KPK, UU Minerba, Perppu Covid, RUU HIP, RUU BPIP maupun UU Omnibus Law Cipta kerja membuat Pemerintah bergoyang. Perlawanan rakyat muncul akibat hukum direkayasa menjadi alat kepentingan politik Belum lagi Jokowi pun pusing nggak karuan dengan pembentukan Komite Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI). Koalisi yang menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh oposisi lintas kelompok, profesi, maupun agama. Cabang-cabang KAMI yang mendeklarsikan diri di hampir seluruh daerah Provinsi, Kabupaten dan kota. Bahkan deklarasi KAMI juga di sejumlah negara asing. Kenyataan ini membua Presiden Jokowi panik nggak karuan. Mencoba meredam laju KAMI dengan penangkapan terhadap sejumlah tokoh KAMI seperti Syahganda, Jumhur, dan Anton Permana dan lain-lain. Teror politik dilakukan pula terhadap tokoh dan aktivis KAMI di berbagai daerah. Semua adalah langkah untuk meredam. Yang terakhir adalah urusan kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS). Pemerintahan Jokowi terkesan panik tingkat tinggi. Sehingga ada upaya untuk kriminalisasi HRS dan Anies Baswedan. Tentara tempur lalu dikerahkan ke markas FPI di Petamburan. Pangdam Jaya mengirim pasukan pengobrak-abrik baliho HRS. Berujung bahan tertawaan dunia. OPM Papua pun ikut terbahak-bahak. Jokowi goyah. Para Menteri terlihat kalang kabut menjalankan program dan anggaran. Covid 19 telah menjadi alasan utama. Hanya Menteri Keuangan (Menkeu) yang terlihat aktif. Itu dalam rangka mencari dan menambah hutang luar negeri yang sudah mencapai hampir Rp 6.000 triliun. Terakhir pinjaman "recehan" sebesar Rp 9,1 triliun dari Jerman. Disampaikan Duta Besar Jerman melalui akun twiternya. Itupun baru sekedar komitmen. Baru janji-jani manis . Sementara Jepang hanya menjanjikan recehan lagi Rp. 7 triliun. Sedangkan Australia tidak bedanya dengan Jerman dan Jepang. Hanya menjanjikan recehan yang lebih besar sedikit. Sekitar Rp. 11-13 triliun. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) turun gunung dan aktif bergerak lagi. Menurut majalah Gatra terbentuk Poros baru JK-Anies-HRS. Wapres KH Ma'ruf Amin yang tadinya hanya "pendiam", kini mulai bermanuver. Berani berbeda pandangan Jokowi soal Pilkada. Kyai Ma'ruf minta agar Pilkada ditunda dulu. Namun Jokowi maunya jalan terus. Jokowi juga menolak untuk rekonsiliasi dengan HRS. Sementara Wapres memberi sinyal akan menemui HRS untuk membahas rekonsilasi. Pertemuan Wapres dengan HRS pasti sedang ditunggu-tunggu olah umat Islam. Pertemuan yang akan melahirkan situasi politik baru yang belum bisa diprediksi. Namun bobot politiknya sangat berarti untuk sebagian besar rakyat dan umat Islam. Dari banyak skenario perubahan politik sebagai respon atas goyahnya Jokowi, maka yang paling rasional dan pragmatis adalah naiknya Wapres menggantikan jika mundur atau dimundurkannya Presiden. PDIP yang resah dengan komposisi kementrian dan mendesak reshuffle tentu sangat mempertimbangkan perubahan itu, asal Wapres Kyai Ma'ruf ke depan adalah kader PDIP. Ormas NU yang kadang-kadang terlihat ngadat pada Pemerintah juga dipastikan mensupport gerak maju Kyai Ma'ruf sebagai sesama warganya. Elemen yang kecewa kepada kinerja Jokowi akan memaklumi jika Ma'ruf Amin naik karena prinsipnya yang penting perubahan. Pembentukan pasukan "bid'ah" di bawah Koopsus sebagai ancaman Panglima TNI. Aksi-aksi berupa "penyerbuan" ke Petamburan, arogansi Pangdam Jaya mencopot baliho HRS, dan tindakan represif lainnya bukan menunjukkan semakin kuatnya Jokowi. Melainkan hanya menampilan kerapuhannya. Prediksi sebagian publik, Jokowi sulit bertahan hingga 2024. Semua sedang bersiap-siap untuk menyongsong perubahan dengan multi skenario. Dari skenario trium virat hingga perubahan ekstra konstitusional. Dari semua itu, skenario naiknya KH Ma'ruf Amin adalah yang paling rasional. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Copot Satu Baliho, Pasang Seribu
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (22/11). Habib Rizieq Shihab (HRS) didaulat menjadi tokoh fenomenal. Sejumlah pihak melihatnya demikian. Tidak hanya Islam kanan, Islam tengah mulai tertarik. Begitu juga sejumlah tokoh non muslim. Meski pro dan kontra tetap saja sangat kental. Setiap tokoh fenomenal selalu menuai pro dan kontra. Itu hukum sosial. Sebagai pendiri FPI, HRS sudah lama dikenal. Namun, hadir dan perannya tak banyak yang perhatikan. Hanya kalangan tertentu yang melihat sepak terjangnya. Sebab, pilihan "nahi mungkar" yang menjadi ciri khas FPI lebih banyak menuai kontroversi. Bahkan seringkali kurang disenangi. Tuduhan radikal harus disematkan kepada HRS dan FPI. Fenomena HRS muncul, dan dapat perhatian besar ketika terjadi peristiwa Aksi Bela Al-Quran 212. Lalu menjadi Aksi Bela Islam. Didampingi Ustaz Bachtiar Nasir, HRS manghipnotis massa. Sekitar tujuh juta manusia hadir di Monas. Ini sejarah yang dicatat oleh bangsa ini. Sebuah peristiwa langka. Belum pernah terjadi sebelumnya di dunia. Pasca 212, HRS makin mendapat perhatian publik. Terutama saat 17 kasus yang konon katanya kental nuansa kriminalisasinya dibidikkan kepada HRS. Hari demi hari media memberitakan. Hingga kemudian, HRS hijrah ke Arab Saudi karena suatu alasan. Alasan apa? Ya tanya sendiri. Di Arab Saudi, fenomena HRS nggak berhenti. Ia tetap mampu memainkan peran oposisi. Jutaan massa tak bergeser dari pengaruh narasinya. Ini terlihat ketika beberapa kali reuni 212. Jumlah massa yang hadir di Monas tetap sangat besar. Meski Sang Habib tak hadir secara fisik. Tetapi, instruksi dan konsolidasinya terbukti berjalan dengan baik. Meskipun sudah di Arab Saudi, HRS pun tak pernah sepi dari dinamika politik. Tuduhan teroris hingga pencekalan. Ini memberi daya tarik tersendiri bagi publik. Stigma "terdzalimi dan dikriminalisasi" makin melekat pada pendiri FPI ini. Tiga setengah tahun memberi komando dari Saudi, Habib Rizieq pun akhirnya memilih pulang. Tepat tanggal 10 Nopember. Hari pahlawan. Indonesia adalah tanah air yang dicintainya. Apapun risikonya, HRS mengaku akan menghadapi demi menyelamatkan negeri tempat lahirnya. Kepulangan HRS, lagi-lagi fenomenal. Ratusan ribu hingga jutaan para pendukungnya menjemput di bandara. Sejauh tujuh kilometer tol bandara Soekarno Hatta macet. Manusia berdesakan karena rasa cinta dan kerinduan kepada HRS. Ini sejarah baru. Juga belum pernah ada tokoh, apalagi pejabat yang dijemput massa sebesar itu. TNI-Polri hanya mengawasi, sambil mengatur jalan, menjaga ketertiban dan keamanan. Begitulah memang tupoksinya. Sangat cermat mereka mengkalkulasi. Yang paling aman, mereka menempuh langkah persuasi. Polisi dalam konteks ini bekerja profesional. Sangat terukur Tiba di Indonesia, HRS road show ceramah. Istana jadi was was nggak karuan. Mungkin sedikit panik. Ada kekhawatiran HRS menggulingkan kekuasaan. Basis massa jika terkonsolidasi, ini dianggap tak aman buat penguasa. Sekali ada trigger, situasi bisa jadi ancaman. Karena itu, nampak ada langkah antisipasi. Ujung dari kepulangan HRS, dua Kapolda dicopot, beserta dua kapolresnya. Kepala daerah dipanggil untuk dimintai klarifikasi. Alasannya, mereka dianggap tidak tegas menjalankan aturan protokol kesehatan dan PSBB di masa pandemi. Tidak sampai disitu, Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurrachman malah kerahkan prajurit untuk copot gambar dan baliho HRS. Tidak hanya di Jakarta, baliho HRS kabarnya juga disapu bersih di Jawa Tengah. Mungkin juga daerah-daerah lain. Apakah setelah baliho dicopot tak ada pemasangan baliho-baliho yang lain? Sepertinya tidak. Kabarnya, mulai ada pemasangan baliho di gang-gang sempit. Alasannya, agar mobil panser Pangdam Jaya nggak bisa masuk. Ada-ada aja. Emang beneran? Kalau toh ada pemasangan baliho HRS, apalagi dalam jumlah besar, dipastikan itu aksi protes. Banyak pihak bertanya, apa salah baliho itu? Nggak bayar pajak? Apa baliho parpol itu bayar pajak? Apakah baliho calon kepala daerah itu bayar pajak? Apa baliho ormas itu bayar pajak? Iwan Setiawan, kepala dinas pelayanan pajak DKI menegaskan bahwa tidak ada kewajiban bayar pajak untuk baliho non komersial. Lalu kenapa Pangdam Jaya yang copot? Apa itu bagian dari tupoksi TNI? Bukannya TNI itu bertugas untuk mengamankan negara dari ancaman luar? Aksi pencopotan baliho oleh Pangdam Jaya menuai kritik. Bahkan kecaman beras banyak pihak. Beredar meme, karikatur, foto, video dan tulisan yang bernada kecaman dan kritik kepada Pangdam Jaya. Dianggap berlebihan, lebay dan keluar dari tupoksinya. Fadli Zon, anggota komisi I DPR dari Gerindra mengusulkan agar Pangdam Jaya dicopot. Makin ramai! Sebaliknya, publik memberikan empati. Bahkan dukungan kepada HRS bermunculan. Lagi-lagi, banyak pihak yang merasa ini bagian dari kedzaliman. Dan sudah menjadi hukum sosial. Setiap ada orang yang dipersepsikan terdzalimi, ia akan berlimpah empati. Dicopotnya baliho HRS justru akan semakin membesarkan nama dan kharisma imam besar FPI ini. Meski sebelumnya HRS sempat digoda dengan hadirnya Nikita Mirzani dan Abu Janda. Dua orang yang menurut para pengamat, sengaja dikelola untuk memecah konsentrasi HRS. Tak berkelas dua manusia itu. Begitu cara publik menyadarkan pendiri FPI ini. Abaikan saja mereka berdua. Bila perlu didoakan. Doa baik HRS kepada Nikita Mirzani dan Abu Janda agar bisa merusak jantung pertahanan lawan. Terima kasih Nikita Mirzani dan Abu Janda. Atau siapapun yang kritik saya. Semoga Allah sehatkan kalian, lindungi hidup kalian, dan Allah kirim rahmat dan berkah untuk keluarga kalian. Diberikan kesadaran terbaik yang membuat kalian selamat dunia dan akhirat. Nah, kalau HRS doa seperti ini, sangat keren. Ini juga dahsyat! Sebagai tokoh besar, HRS mesti dijaga narasi dan sikapnya. SDM yang berada di sekelilingnya, termasuk para juru bicaranya, mesti secara cermat bisa menjaga kharisma dan ketokohan HRS. Jika ini terukur, HRS akan menjadi magnet besar bagi hadirnya para pendukung baru. Terutama kelas menengah atas. Selain perlu memperhatikan sikap dan narasi, HRS mesti punya tim khusus yang mampu melakukan konsolidasi massa untuk merubah kerumunan jadi kekuatan. Untuk kebutuhan ini, perlu keterlibatan ulama atau tokoh berkelas seperti Ustaz Bachtiar Nasir (massa), pengusaha (logistik), purnawirawan TNI (ahli strategi), akademisi (data) dan media. Nah, kalau narasi, sikap dan konsolidasi HRS bisa dikelola dengan baik, baliho-baliho itu kemungkinan akan terpasang kembali. Bahkan jumlahnya akan bertambah banyak. Dicopot satu akan terpasang lagi seribu. Umat akan memasangnya sebagai bentuk protes kepada pemerintah, dan dukungan kepada Habib Rizieq. Lalu, untuk apa baliho-baliho itu dipasang kembali? Nanti, anda akan tahu sendiri dampak sosial dan politiknya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Pangdam Jaya Datang, Nikita Mirzani Menghilang
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (21/11/. Dari perspektif komunikasi politik, sikap keras Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) dan FPI, merupakan berkah bukan musibah. Semakin keras sikap Pangdam Jaya, berkah semakin bertambah. Mulai dari penurunan baliho, apalagi kemudian pernyataan Pangdam Jaya “kalau perlu FPI dibubarkan!” Bayangkan apa yang terjadi kalau Pangdam Jaya tidak segera beraksi. Bagaimana dengan nasib HRS dan FPI? Dari sisi komunikasi politik, sesungguhnya posisi HRS dan FPI dalam beberapa hari terakhir, sedang sangat tertekan. Terjadi brand damage! Citranya sedang anjlok, babak belur karena perseteruannya dengan perempuan sensasional bernama Nikita Mirzani (Nikmir). Padahal sebelumnya, kepulangan HRS yang disambut ratusan ribu —ada yang menyebutnya mendekati jutaan—pendukungnya, membuat dunia ternganga! Istana dan intelijen negara, dibuat terkaget-kaget dengan datangnya massa yang berduyun-duyun. Banyak yang menggambarkan, suasananya seperti jemaah haji yang sedang berjalan kaki hendak melempar jumroh di Mina. Bikin bulu kuduk berdiri. Merinding! Namun hanya karena sorang Nikmir dianggap menghina, dan secara reaktif direspon pendukung HRS, opini publik jadi sontak berubah. Sangat disayangkan HRS kemudian juga ikut-ikutan menanggapinya. Menggunakan kosa kata yang tidak pas di telinga. Para buzzer segera bekerja dan pesta pora. HRS dan pendukungnya benar-benar berada dalam tekanan. Kalangan yang semula bersimpati dengan HRS juga ikut menyesalkannya. Peristiwa drama politik besar. Seorang tokoh pulang ke Tanah Air, disambut secara luar biasa oleh para pendukungnya. Berubah menjadi drama komedi. Layaknya sebuah reality show yang konyol. Perempuan sekelas Nikmir, yang semula hanya beredar di akun-akun gosip, tiba-tiba menyeruak masuk ke panggung percakapan politik nasional. Video dan ucapannya yang sebagian besar tidak senonoh, tiba-tiba wora-wiri di group-group pertemanan. Mulai dari WG bapak-bapak, emak-emak, sampai anak-anak. Video-videonya yang hot, menjadi hot issue. Ibarat seorang stricker, Nikmir berhasil memporak-porandakan pertahanan HRS seorang diri. Orang Jawa menyebut ribut-ribut antara HRS, pendukungnya dengan Nikmir dalam sebuah frasa “”Menang orang kondang. Kalah malah dadi wirang!” Menang tidak bikin tambah populer. Kalau kalah malah bikin malu.” HRS dan Nikmir memang tidak selevel. Maqomnya jauh beda. Jadi tidak seharusnya saling berlaga. Untung ada Pangdam Jaya Untung saja Pangdam Jaya tiba-tiba datang. Dengan berbagai aksinya, membuat konstelasi berubah total. Pembicaraan dan mood public langsung berubah. Isu Nikmir langsung ke laut. Sebagian besar mungkin malah sudah lupa. Jadilah perbincangan di media sosial, berubah total 180 derajat! Opini, artikel, dan terlebih lagi meme bertebaran di media sosial. Mulai dari yang sangat serius, khawatir kembalinya Dwifungsi TNI, sampai hal-hal konyol menertawakan perilaku, tindakan, dan ucapan Pangdam.HRS dan FPI kembali berada di atas angin. Ibarat pertandingan tinju mendapat second win. Dari semula nyaris dipukul KO, berubah menjadi menekan dan memenangkan perebutan opini publik. Memerintahkan prajurit mencopoti baliho HRS, apalagi dikawal dengan kendaraan tempur, memang sangat berlebihan. Melewati batas. Bukan merupakan tugas pokok dan fungsi TNi sebagai alat pertahanan negara. Yang lebih mengagetkan Pangdam Jaya sampai bicara “kalau perlu FPI dibubarkan!” Pangdam sebagaimana dikatakan anggota DPR RI dari Gerindra Fadlizon sudah offside. Bahkan melakukan pelanggaran berat, karena sudah masuk ke ranah politik. Karena itu layak dicopot! Sebuah sikap yang selama dua dasa warsa terakhir benar-benar dijaga oleh TNI. Wajar kalau banyak senior purnawirawan tinggi TNI uring-uringan. Politisi, para pengamat, dan aktivis koalisi masyarakat sipil yang belum tentu mendukung HRS, tiba-tiba bangkit bersatu. Isu kembalinya TNI ke panggung politik, day today politics, benar-benar menjadi tabu besar ( big taboo ) dalam sebuah negara demokrasi. Sikap dan wacana yang dilontarkan Pangdam Jaya ini secara politik, juga sangat merugikan citra politik Presiden Jokowi. Sebelum Pangdam beraksi, pengamat internasional banyak yang khawatir dengan kecenderungan pemerintahan Jokowi berubah menjadi otoritarian. Tanda-tandanya sangat banyak. Sekarang ditambah lagi dengan aksi Pangdam Jaya. Tak perlu kaget bila istana melalui juru bicara KSP Donny Gahrial Adian segera turun tangan. Bikin clear suasana. Presiden, kata Donny, tidak pernah memerintahkan pembubaran FPI. Nah kalau begitu atas perintah siapa?Frasa “Menang ora kondang, kalah malah dadi wirang,” kini berlaku juga untuk Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman. Mosok prajurit TNI dihadap-hadapkan dengan laskar FPI. Tidak level lah. Kasihan prajurit TNInya. So HRS dan FPI berterima kasih lah kepada Pangdam Jaya! Btw kelihatannya bukan hanya HRS dan FPI yang perlu berterima kasih. Polri juga harus sangat berterima kasih. Kini mereka tidak hanya sendirian berjuang menghadapi stigma negatif dari rakyat! Marhaban Bapak Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman. End Penulis, wartawan senior FNN.co.id
Terpapar Covid-19, Ustadzah Kingkin Masih Mendekam di Rutan Bareskrim
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Jumat (20/11). Kuasa Hukum Ustadzah Kingkin Anida dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia Cabang DKI Jakarta mengungkapkan nasib kliennya yang hingga kini, 18 November 2020, masih ditahan di Rutan Bareskrim Polri. Padahal, berdasarkan informasi dari Ustadzah Kingkin Anida dan informasi dari keluarganya, bahwa pada 11 November 2020 telah dilakukan tes Swab di Rutan Bareskrim Polri, hasil tes menyatakan Ustadzah Kingkin Anida positif Covid-19. “Sejak dinyatakan positif Covid-19, Ustadzah Kingkin Anida masih tetap ditahan di Rutan Bareskrim Polri, tidak dibantarkan di Rumah Sakit oleh Penyidik,” kata Nurul Amalia, SH, MH dalam rilisnya. Berbeda halnya dengan tahanan lain yang sudah dibantarkan di RS Polri, termasuk tahanan yang berusia lebih muda dari Ustadzah Kingkin. Padahal, Ustadzah sudah berusia 54 tahun, memiliki hipertensi dan sering batuk-batuk dua minggu terakhir ini. Tim Kuasa Hukum Ustadzah Kingkin dan suaminya (Satria Hadi Lubis) sudah mengajukan surat permintaan pembantaran pada Senin, 16 November 2020 kepada Kapolri, Kabareskrim dan Direktur Tindak Pidana Siber (Brigjen Pol. Slamet Uliandi). “Ada dua surat yang sudah diajukan, yaitu atas nama Kuasa Hukum Ustadzah Kingkin Anida dan atas nama keluarga beserta surat pernyataan penjaminannya,” ungkap Nurul Amalia. Tapi, hingga Rabu, 18 November 2020, Ustadzah Kingkin masih belum dibantarkan juga ke Rumah Sakit. “Ini merupakan perlakuan tidak adil, melanggar HAM dan kemanusiaan. Kuasa Hukum dan suami Ustadzah Kingkin juga sudah menghubungi para penyidik agar segera dibantarkan, tapi belum ada respon positif dari penyidik. Ustadzah Kingkin sejak 4 November 2020 sudah mendaftarkan Permohonan Praperadilan, dan sidang Praperadilan perdana akan digelar pada Senin, 23 November 2020, di PN Jakarta Selatan, dengan perkara nomor: 136/Pid.Pra/2020/PN.Jkt.Sel. Menurut Nurul Amalia, Ustadzah Kingkin beserta keluarganya melalui kuasa hukumnya, selalu berjuang dengan gigih untuk menegakkan keadilan dan HAM. Seluruh jalur hukum akan ditempuh menuntut keadilan dan melawan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum itu, semata-mata demi menyelamatkan nyawa Ustadzah dari bahaya Covid-19 karena tidak dibantarkan ke Rumah Sakit dan demi menegakkan kebenaran formil serta materil. “Apabila Penyidik tidak juga membantarkan Ustadzah Kingkin, maka Polri telah melakukan pelanggaran HAM dan melanggar Protokol Kesehatan Covid-19,” tegas Nurul Amalia. Ia pun mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo: “Saya ingin tegaskan bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”. Sebagaimana diberitakan, Ustadzah Kingkin ditangkap pada 10 Oktober 2020 pukul 13.30 WIB di Tangerang Selatan karena dianggap telah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait Omnibus Law. Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Awi Setiyono mengatakan, pendakwah Ustadzah Kingkin Anida ditetapkan sebagai tersangka setelah menjalani pemeriksaan selama 1x24 jam. “Kalau yang (ditangkap) di Tangsel ini sudah 1x24 jam diperiksa, sudah ditahan (berstatus tersangka),” kata Awi kepada wartawan, Selasa 13 Oktober 2020. Awi mengungkapkan bahwa para tersangka diancam dengan pasal 45 A ayat 2 UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dan/atau Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan. “Ancaman pidananya, yang UU ITE enam tahun pidana penjara dan penghasutan ancaman pidananya juga enam tahun penjara,” tutur Awi. Ustadzah Kingkin merupakan salah satu kader Partai Kesejahteraan Sosial (PKS). Ia pernah mencalonkan diri sebagai Caleg DPR RI dari Dapil Banten 3 pada Pemilu 2019. Ustadzah Kingkin juga diketahui sering menjadi pemateri tausiyah dalam berbagai pengajian. Ia disebut-sebut sebagai salah satu dari 8 petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ditangkap dan dijerat pasal UU ITE. Dari delapan petinggi tersebut, salah satunya berasal dari Kota Tangerang Selatan bernama Ustadzah Kingkin Anida. Ustadzh Kingkin adalah warga di salah satu komplek di Kelurahan Kademangan, Kecamatan Setu, Tangsel. Di komplek tersebut, ia dikenal sebagai Ustadzah yang bahkan sering mengisi pengajian di majelis ta'lim di daerah tersebut. Reaksi datang dari Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang menyebut Ustadzah Kingki Anida adalah korban hoaks. Hidayat juga menyebut Ustadzah Kingkin sebagai tokoh anti anarki dan sudah selayaknya dibebaskan. Seperti dilansir SeputarTangsel.com, Hidayat mengungkapkan hal tersebut, menanggapi unggahan Twitter dari akun @UusRsd yang mengomentari terkait penangkapan Ustadzah Kingkin Anida. Akun @UusRsd memposting ulang unggahan Divisi Humas Polri dalam akun Facebook-nya yang ternyata pernah memberikan apresiasi kepada Ustadzah Kingkin Anida atas aksinya yang mendukung demonstrasi yang sejuk dan damai. “Divisi Humas Mabes Polri melalui akun Facebook resminya ternyata pernah memberikan apresiasi kepada Ustadzah Kingkin Anida atas kontribusi beliau dalam mendukung demonstrasi sejuk dan damai,” tulis akun @UusRsd pukul 09.44, Sabtu 17 Oktober 2020. Dalam unggahan FB Divisi Humas Polri itu terlihat foto Ustadzah Kingkin memberikan bunga kepada para petugas Brimob yang menjaga demo damai pada 22 Mei 2019. “Ciptakan Demonstrasi Sejuk dan Damai. -Ramadan Untuk Perdamaian-. Potret seorang demonstran yang memberikan bunga kepada petugas kepolisian yang mengawal jalannya aksi demonstrasi di Depan Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat,” tulis akun Divisi Humas Polri itu. Menanggapi cuitan @UusRsd tersebut, Hidayat Nur Wahid mengatakan, Ustadzah Kingkin itu pendukung demonstrasi yang sejuk dan damai. Bahkan, lanjut politisi PKS ini, Ustadzah Kinkin merupakan korban hoaks yang layak diayomi. “Maka sudah benar #BebaskanBuKinkin. Aktifis kemanusian yang trackrecordnya dukung demonstrasi yg sejuk dan damai. Beliau anti anarkhi. Bunga lambing damai dari beliau pernah diterima Polisi. Beliau korban hoax yg layak diayomi”. Begitu cuit Wakil Ketua MPR RI 2019-2024 ini melalui akun Twitter @hnurwahid, Sabtu 17 Oktober 2020. Berdasarkan hasil pemeriksaan Swab pada Rabu, 11 November 2020, di Rutan Bareskrim Polri, hasil tes menyatakan Ustadzah Kingkin Anida positif Covid-19. Menjadi tak manusiawi jika Bareskrim Polri tidak merujuk Ustadzah Kingkin ini dirawat di Rumah Sakit Rujukan Covid-19! Penulis, wartawan senior FNN.co.id
Maaf, Saya Malu Lihat Pangdam Jaya Urus Baliho
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Jum’at (20/11). Ribut penurunan baliho Habib Rizieq Shihab (HRS) oleh TNI akhirnya diakui juga oleh Pangdam Jaya. Bahwa penurunan baliho HRS itu atas perintah Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman. Saya mencari data sebentar apa penyebabnya? Apakah ada kemungkinan karena pernyataan HRS yang menyinggung soal sanksi terhadap prajurit TNI yang mengekspresikan dirinya menyambut kembalinya HRS ke Tanah Air? Tersinggung itu wajar. Karena narasi HRS kadang memang kebablasan. Mungkin juga karena HRS tidak bisa menutupi kekecewaanya pada keputusan institusi TNI. Di sisi lain saya kira HRS perlu diingatkan juga agar narasinya termanage dengan baik. Meski demikian, saya kira hak HRS untuk berpendapat tidak boleh juga dibungkam. Adapun Pangdam Jaya sebenarnya punya cara untuk menegur HRS. Bisa dilakukan dengan pendekatan yang lebih dialogis. Dalam terminologi sosiologi, pendekatan dialogis dalam menyelesaikan suatu problem sosial dan lain-lain adalah cara yang paling rasional. Bukan dengan pendekatan kekuasaan. Sebab dalam sejarahnya, pendekatan kekuasaan tidak juga bisa menyelesaikan masalah. Tetapi entah kenapa langkah Pangdam Jaya ini justru memicu keributan baru. Bahkan kini membentuk opini baru dengan ekspresif memerintahkan prajuritnya untuk menurunkan baliho HRS. Ada yang merekamnya dan tersebar di media sosial. Tentu ini memicu reaksi baru dari para pengikut HRS dan menimbulkan kegaduhan politik baru. Saya coba cermati langkah dan perintah Pangdam Jaya ini dalam perspektif ketentaraan. Tampaknya ini baru yang pertama kali terjadi dalam sejarah TNI. Sebuah institusi penting negara sekelas TNI, perlu berurusan soal baliho di jalanan. Jika melihat TNI, saya kira kita mesti melihat regulasinya. Aturan mainnya bagaiman? Terus Undang-Undang yang mengaturnya bagaimana? Nah menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, khususnya pada pasal 7 ayat (1), tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara. Masih di pasal yang sama, tugas TNI lainnya adalah mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Saya mencermati, Pangdam Jaya terlalu menurunkan marwah TNI, jika TNI hanya berurusan soal Baliho. Bukankah penertiban baliho itu menjadi urusannya Satpol Pamong Praja (PP) daerah setempat? Mestinya jika Pangdam Jaya merasa tersinggung dengan narasi HRS, dan dengan Baliho HRS, bukankah Pangdam Jaya bisa bicara atau berkomunikasi dengan Gubernur DKI untuk memerintahkan satpol PP. Dalam konteks itulah, saya sebagai akademisi yang di antaranya fokus pada studi tentang dinamika sosial, gerakan masyarakat sipil, dan soal kebangsaan malu melihatnya. TNI gaduh hanya karena berurusan dengan baliho. Penulis adalah Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Mendagri Tito Menteror Kepala Daerah
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (20/11). Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) sangat fenomenal. Peristiwa ini telah menyentak dan menggetarkan kekuasaan. Berdampak pada rencana pemeriksaan HRS, tokoh-tokoh yang hadir di pernikahan, serta pemanggilan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Tuduhannya ialah pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Dasarnya UU Kekarantinaan Kesehatan. Sanksi pidana pun diancamkan. Padahal dari awal pandemi corona bulan Maret 2020, pemerintah sangat alergi untuk memberlakukan UU Kekarantinaan Kesehatan. Bahkan pemerintah menolak untuk berlakukan lockdown sesuai permintaan Gubernur Anies. Anies diperiksa Polda Metro Jaya selama sepuluh jam. Bahasa panggilan adalah klarifikasi. Tetapi dengan "sepuluh jam" waktu yang diperlukan untuk melakukan klarifikasi, maka konklusinya sangat jelas dan terang sebagai "pemeriksaan". Karena di depan penyidik, Anies menandatangani semacam Berita Acara. Pakar melihat bahwa Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang digunakan polisi untuk menyerang Gubernur Anies merupakan suatu penyimpangan. Sebab kerumunan orang banyak di suatu tempat tidak bisa dijadilan alasan untuk dihukum secara pidana di tengah kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Karenanya upaya memanggil Anies oleh Kepolisian Metro Jaya dinilai sangat mengada-ada. Mencari-cari alasan semata. Hasilnya kemungkinan akan gagal. Sebab ketakutan penguasa kepada popularitas Anies sebagaimana ketakutan pada HRS sangat terasa. Pencopotan Anies nampaknya menjadi agenda. Alasan apapun harus dicari-cari pembenarannya. Tiba tiba saja Mendagri Tito Karnavian yang mantan Kapolri membuat Instruksi No 6 tahun 2020, yang berisi 6 butir berkaitan dengan kerumunan dan covid 19. Yang dinilai "paling mengarah" adalah butir 3, dimana Kepala Daerah dilarang untuk ikut kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan. Demikian pula pada butir 4, yang menegaskan berdasarkan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa Kepala Daerah harus mengikuti seluruh ketentuan perundang-undangan. Butir 5 menyatakan Kepala Daerah yang melanggar Undang-Undang dapat diberhentikan. Bahwa Kepala Daerah yang melanggar UU dapat diberhentikan merupakan hal yang sangat normatif. Persoalannya adalah bahwa cara memberhentikan harus dilakukan menurut UU pula. Bukan dengan interpretasi Presiden. Apalagi cuma Mendagri. Memangnya Mendagri mau mengambil alih kewenangan DPRD dan Mahkamah Agung tentang tata cara pemberhentian kepala daerah yang diatur dalam UU Nomor 23/2014? Pemanggilan oleh Kepolisian Metro Jaya kepada Gubernur DKI Anies Baswedan, yang dilanjutkan dengan terbitnya Instruksi Mendagri, yang mengancam pemberhentian kepala daerah sangat mengesankan bahwa instruksi ini merupakan teror bagi para Kepala Daerah. Mendagri menteror para kepala daerah yang tidak disukai oleh penguasa sekarang. Kepala Daerah itu dipilih oleh rakyat. Karenanya tidak bisa diberhentikan oleh Presiden. Apalagi Cuma kelas Mendagri. Proses yang harus ditempuh harus melalui wakil rakyat di lembaga DPRD, baik itu yang didahului dengan Putusan Pengadilan atau tidak. Mendagri seolah-olah hendak mengambil oper kewenangan DPRD dan Mahkamah Agung saja. Seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia terancam oleh penyimpangan kewenangan Mendagri ini. Selayaknya seluruh Kepala Daerah melakukan protes keras. Terkesan bahwa Mendagri adalah pejabat suci yang bisa seenaknya menghukum berdasarkan tafsir sendiri "melanggar UU". Instruksi Mendagri No 6 tahun 2020 harus dicabut atau diadukan ke Mahkamah Agung untuk diuji materil. Instruksi ini bentuk lain dari manipulatif. Seolah-olah menegakkan UU. padahal sebenarnya adalah melanggar UU. Ngawur dan ngaco bangat Mendagri Tito. Di negara demokrasi yang berkedaulatan hukum, tidak boleh ada kebijakan politik yang memperalat hukum. Jika ada pejabat yang melakukan demikian dengan maksud teror kepada pihak lain, maka pejabat tersebut pantas untuk disebut sebagai teroris. Dan kita telah sepakat bahwa segala bentuk terorisme haruslah dibasmi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Mendagri Tito Ambil Wewenang DPRD & Mahkamah Agung?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (20/10). Masa pandemi corona memberi ruang pemerintahdan DPR untuk membuat UU kontroversial. Perppu Corona (No 1/2020) yang diperkuat men jadi UU No 2/2020 telah memberi kebebasan untuk menggunakan anggaran Rp 905 triliun tanpa bisa dituntut secara pidana, perdata dan TUN. Huebat kan! Selain UU Corona, lahir pula UU Minerba. Lagi-lagi, UU ini kontroversial. Sebab, sejumlah pasal dianggap berpotensi merugikan rakyat. Misalnya, terkait kewenangan membuka lahan tambang dengan cara membakar hutan. Selama ini, masyarakat di sekitar hutan banyak direpotkan oleh kebakaran lahan. Sekarang, UU Minerba justru membolehkannya. Kacau-balau kan? Sempat juga RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) akan disahkan. RUU yang dicurigai berhaluan komunis ini akhirnya ditunda setelah mendapat penolakan masif, terutama dari MUI dan ratusan ormas-ormas Islam. Meski tetap ada ruang untuk dibahas kembali dan disahkan di kemudian hari. Sebab, RUU ini belum dicabut dari Prolegnas Prioritas DPR. Yang terkini adalah UU Omnibus Law Cipta Kerja. Meski dianggap cacat formil dan materiil, tetap saja disahkan. Presiden pun menandatangani, meski draft UU itu masih bermasalah. Ini bukan saja telah memperlihakan tata kelola negara kacau-balau. Tetapi juga amburadul. Mengapa sejumlah UU tersebut kontroversial? Terutama karena kelahirannya tidak melibatkan rakyat dalam proses pembahasan. Terkait masalah ini, pandemi corona selalu dijadikan alasan. Pembahasan dipercepat. Nampak kerja yang super kilat. Lalu disahkan dengan tergesa-gesa. Bahkan banyak anggota fraksi yang belum sempat membaca. Semoga Pak Presiden sudah baca sebelum beliau tanda tangan. Segala bentuk protes yang melibatkan massa dilarang. Setidaknya dihalang-halangi dan dihambat karena alasan pandemi corona. Melanggar protokol kesehatan, katanya. Klise dan mengada-ada saja. Karena penghadangan massa juga sering terjadi sebelum pandemi. Akhir-akhir ini, PSBB diperketat. Kapolri bahkan memberhentikan dua Kapolda, yaitu Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat. Juga dua Kapolres, yaitu Kapolres Jakarta Pusat dan Kapolres Bogor. Mereka dianggap tidak tegas terhadap adanya kerumunan. Kerumunan siapa? Masyarakat tahu jawabannya. Mendagri Tito Karnavian juga memberi instruksi bahkan mengancam akan memecat kepala daerah yang membiarkan terjadinya kerumunan di wilayahnya. Publik bertanya, mengapa mendadak semua pejabat bicara PSBB diperketat? Bukannya selama ini program "New Normal" yang dielu-elukan dan dipercaya sebagai malaikat penolong? Anehnya, kepala daerah yang berupaya untuk menerapkan PSBB dengan ketat, malah dikritik dan diberi peringatan. Dianggap sok-sokan. Dituduh menghambat pertumbuhan ekonomi yang sedang berupaya dinormalkan. Mengapa sekarang berbalik? Ada apa Pak Tito? Pemerintah ko pagi tempe, sore dele? Anies Baswedan, Gubernur DKI yang dari awal konsen untuk usulkan karantina wilayah dan PSBB ketat, justru selalu menghadapi penolakan. Sekarang, ketika kerumunan terjadi dimana-mana, Anies justru dipanggil Polda Metro Jaya karena dicurigai membiarkan kerumunan. Tidak saja panggilan Polda, bahkan Mendagri menyinggung soal pemecatan. Ngeri bangat! Mendagri pun akhirnya mengeluarkan instruksi Nomor 6 Tahun 2020 mengenai kewajiban kepala daerah menerapkan protokol kesehatan. Apakah instruksi ini bisa dijadikan dasar pencopotan kepala daerah? Tentu tidak Pak Tito! Urusan copot kepala daerah tetap mengacu pada UU No 23 Tahun 2014. Bukan urusannya Mendagri Pak Tito. Itu urusannya DPRD dan Mahkamah Agung. Memangngnya Mendagri Pak Tito mau ambil alih juga kewenangan DPRD dan Mahkamah Agung? Sebaiknya Mendagri Tito baca lagi berulang-ulang UU Nomor 23/2014 tersebut. Kelihatannya kalau Mendagri Tito tidak memahami ruhnya UU Nomor 23/2014. Sebab di UU itu, kepala daerah dipilih oleh rakyat. Hanya rakyat yang bisa mencabut mandatnya. Bukan presiden. Apalagi cuma Mendagri. Rakyatlah, melalui perwakilan di DPRD, yang bisa memberhentikan bupati, walikota dan gubernur. Itu pun dengan catatan DPRD harus punya cukup alasan jika ingin melakukan impeachmen terhadap kepala daerah. Sebab alasan DPRD itupun akan diuji di Mahkamah Agung (MA). Sampai di Mahkamag Agung inilah, kepala daerah diberi hak untuk melakukan pembelaan. Prosesnya panjang bangat. Bisa lebih dari setahun. Ayo... Pusing nggak? Tapi kalau Mendagri Tito mau coba, ya silahkan saja. Pada akhirnya rakyat yang akan menilai dan mencatat demokrasi model apa yang sedang dipahami Mendagri Tito Karnavian. Presiden hanya bisa memberhentikan "sementara" kepala daerah kalau ada usulan dari DPRD dalam hal kepala daerah menjadi terdakwa dengan ancaman pidana minimal lima tahun. Terjerat kasus korupsi, terorisme atau makar misalnya. Namun, jika tak terbukti di pengadilan, presiden wajib mencabut SK pemberhentiannya itu. Jadi, nggak bisa pakai instruksi Mentdagri aja untuk ancam kepala daerah. Publik membaca, semua ini hanya akibat dari satu sebab. Apa itu? Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS). Habib Rizieq dikhawatirkan akan terus melakukan konsolidasi massa. Ini sungguh terkesan sangat politis. Tapi pendekatannya seringkali menggunakan pasal-pasal dalam hukum pidana. Karena, pendekatan hukum ini terbukti memang sangat ampuh dan efektif. Fokusnya pada Habib Rizieq. Kerumunan apapun, asal tidak terkait Habib Rizieq, selama ini bebas- dan aman-aman saja. Tidak memiliki konsekuensi hukum apa-apa. Parade Merah Putih di Banyumas, Ulang Tahun Ulama di Pekalongan, rombongan ke KPUD di Solo, pengajian dan walimahan di berbagai tempat, selama ini bisa bejalan dengan bebas. Giliran Habib Rizieq Shihab pulang, dan dijempu oleh ratusan ribu orang, mulailah segala bentuk perlu diberlakukan. Bahkan sangat ketat. Marah sana marah sini. Semua yang terlibat dengan kerumunan massa di sekitar Habib Rizieq menjadi was-was. Begitulah publik memotret situasi sekarang ini. Selama ini, dengan dalih protokol kesehatan dan aturan PSBB, pemerintah punya alasan kendalikan pengerahan massa. Kalau sifatnya hanya untuk menghindari kerumunan, ini baik dan memang harus dilakukan. Dengan catatan, pertama, ini harus berlaku untuk semua. Tanpa kecuali. Tidak tebang pilih. Mesti adil. Namun, jika ini hanya berlaku untuk mereka yang kontra dan kritis terhadap pemerintah, itu sama saja pembunuhan demokrasi. Kedua, kewajiban menjalani protokol kesehatan tidak lantas boleh dimanfaatkan pemerintah, atau juga DPR untuk membuat aturan dan kebijakan tanpa melibatkan aspirasi rakyat. Alasan bahwa rakyat nggak boleh berkumpul karena pandemi, tetapi banyak kebijakan yang dibuat tanpa memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat, itu sama saja pembunuhan demokrasi dalam bentuk lain. Nampaknya, rakyat telah merasakan mati surinya demokrasi selama ini. Apalagi jika setiap aspirasi yang muncul harus berhadapan dengan ancaman pidana. Makin menakutkan saja. Sayangnya, tekanan tidak membuat rakyat tidak semakin takut. Jangan sampai hukum yang semestinya dibuat untuk melindungi negara dan rakyat justru berubah fungsi jadi musuh demokrasi. Hal ini mesti segera dievaluasi. Jangan gara-gara pandemi, demokrasi mati, dan pemerintah membuat kebijakan semau hati. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.