NASIONAL

Untuk Pak Mahfud: Pasang Saja Microchip di Kepala Manusia Oposisi

by Asyari Usman Medan, FNN - Senin (04/01). Tak sampai sepekan yang lalu, Menko Polhukam Mahfud MD dengan senang hati mengumumkan bahwa Polisi Siber (Polsib) mulai diaktifkan tahun ini, 2021. Dia bilang, Polsib sangat diperlukan untuk mengawasi akun-akun media sosial yang berbahaya. Terutama konten-konten yang berisi ancaman untuk mencederai seseorang bahkan ancaman pembunuhan. Mahfud membanggakan kehebatan Polsib nantinya. Pelaku ancaman medsos bisa ditangkap dalam dua jam saja. “Jam 8 pagi ‘ngancam, jam 10 ditangkap,” kata mantan ketua MK itu. Langkah Pak Menko ini tentu bagus sekali. Ini bentuk perlindungan yang ditunggu-ditunggu. Orang-orang yang terancam, khususnya para pejabat yang sekarang ini bagus-bagus semua kelakuannya, perlu dilindungi. Supaya hidup mereka tenteram. Tapi, sayangnya, Polsib bisa disalahgunakan seperti halnya UU ITE. Pertama-tama nanti akan dipakai untuk menangani ancaman terhadap para pejabat. Setelah itu, Polsib akan dipakai untuk mengamati akun-akun yang kritis. Akhirnya, semua yang tak sejalan dengan penguasa akan dikejar oleh Polsib. Sangat mungkin mereka akan mengintip postingan (status) medsos, khususnya akun-akun oposisi. Setelah itu, penyalahgunaan ditingkatkan. Bisa jadi Polsib ikut memancing emosi di akun-akun oposisi. Supaya mereka, pemilik akun-akun kritis itu, tersulut emosi. Dengan begitu mereka bisa dipetakan. Kemudian ditangkap dalam waktu 2 jam, seperti dikatakan Pak Mahfud. Inilah arah penyalahgunaan yang perlu dicermati. Dan penyalahgunaan itu bukan hal yang baru. Apa saja yang bisa memperkuat cengkeraman para penguasa otoriter, pasti akan dilakukan. Kali ini kita bantu Pak Mahfud tentang cara yang lebih cepat untuk menangkap para aktivis oposisi. Agar biaya operasionalnya lebih murah. Soalnya, sekarang ini kabarnya pemerintah kesulitan duit. Bagaimana cara murah itu? Ada dua. Pertama, contoh saja tindakan Korea Utara. Internet diatur sangat ketat. Hanya sejumlah kecil aparat negara saja yang boleh menggunakannya. Itu pun lewat sistem Intranet. Dan semua mereka diawasi. Rakyat tidak boleh sama sekali pakai Internet. Kedua, lebih praktis lagi. Gunakan “smart microchip” untuk mendeteksi apa yang sedang dipikirkan manusia. Alat ini belum ada. Tapi bisa dipesan sekarang. Mungkin sebelum rezim jatuh karena krisis ekonomi, sudah jadi. Biayanya agak mahal tapi untuk dipakai seumur hidup. Kalau dipesan 150 juta biji untuk 150 manusia oposisi, bisa murah. Dengan bantuan alat kecil ini, Pak Mahfud bisa mengetahui secara dini apa yang ingin ditulis oleh akun oposisi. Kalau tulisan itu kritis, maka alarm di pusat kendali siber di Kemenko Polhukam akan langsung menyala. Nah, wajibkan saja semua pegiat oposisi, penulis kritis, pemilik akun medsos yang terindikasi berseberangan dengan panguasa, dll, untuk dipasangi “smart microchip” itu di kepala mereka. Pokoknya dikte saja seperti di Korea Utara. Dengan cara ini, pemantauan bisa lebih mudah. Lebih efisien. Penangkapan bisa lebih dini. Bahkan tak sampai dua jam. Dan status medsos yang mau ditulis oleh manusia oposisi, bisa dicegah sebelum diunggah. Kalau khawatir bertentangan dengan HAM dan konstitusi, buatkan saja pasal-pasal baru. Supaya orang bisa dihukum penjara karena kedapatan berpikir untuk menulis kritik di akun medsos. PDIP, Gerindra, Golkar, NasDem, PAN-Zulhas, PPP pasti akan mendukung pembuatan pasal-pasal yang diperlukan itu. Sebentar saja akan disahkan oleh DPR. Jadi, Pak Mahfud, sampeyan tak perlu Polisi Siber. Cukup pasang ‘smart microchip’ di setiap kepala rakyat oposisi. Ke mana pun mereka pergi bisa dilacak. Apa pun yang sedang mereka pikirkan, bisa terdeteksi. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Ketika "Jenderal Tua" Mengancam Masyarakat

by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Senin (04/01). Di dunia maya terjadi perang mulut antara aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai dengan eks Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) AM Hendropriyono. Apa yang dipertanyakan Pigai di Twitter sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar dan menjadi pertanyaan banyak kalangan. Natalius Pigai mempertanyakan kapasitas Hendropriyono ketika dia mengancam akan membubarkan organisasi yang menampung mantan anggota FPI. Menurut Pigai, Hendropriyono sama sekali tidak memiliki kapasitas dalam mengeluarkan pernyataan tersebut. “Ortu mau tanya. Kapasitas Bapak di negara ini sebagai apa ya? Penasihat presiden? Pengamat? Aktivis? Biarkan diurus generasi abad 21 yang egaliter, humanis, demokrat. Kami tidak butuh hadirnya dedengkot tua. Sebabnya wakil ketua BIN dan dubes yang bapa tawakan, saya tolak mentah-mentah. Maaf,” tulis Natalius dalam cuitan akun Twitter pribadinya yang diunggah pada Jumat, 1 Januari 2021. Sebelumnya Hendropriyono menyebutkan bahwa setelah pembubaran FPI, selanjutnya giliran organisasi yang melindungi eks-FPI dan juga para provokator yang perlu dibubarkan pemerintah. "AM Hendropriyono: organisasi pelindung eks-FPI dan para provokator tunggu giliran," cuit Hendropriyono dalam akun Twitternya @edo751945 dikutip di Jakarta, Kamis (31/12/2020). Hendropriyono mengingatkan masyarakat dan lembaga untuk tidak membela atau menampung mantan anggota Front Pembela Islam (FPI). Pernyataan Hendropriyono yang juga mantan Danrem Garuda Hitam Lampung tersebut bertolak belakang dengan sikap pemerintah dimana Menko Polhukam Mahfud MD telah membolehkan siapapun termasuk para fungsionaris FPI untuk membentuk ormas baru karena hal tersebut memang dijamin dan dilindungi Undang-undang. Oleh karena itu ketika Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan pemerintah Rabu 30 Desember 2020, pada hari yang sama eks fungsionaris FPI lama membentuk Front Persatuan Islam (baca: FPI Baru). Para deklarator FPI Baru ini adalah mantan para pengurus FPI lama di antaranya Munarman dan KH. Sobri Lubis. Selain itu, meskipun FPI dibubarkan dan dianggap sebagai ormas terlarang, tapi tidak satupun pengurusnya yang ditahan. Sementara penahanan terhadap Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab karena tuduhan pelanggaran terhadap protokol kesehatan pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Kawasan Petamburan Jakarta, Sabtu 14 November 2020. Memberi Saran yang Salah Jadi sangat aneh kalau kemudian FPI atau ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah lebih dulu dibubarkan rezim Jokowi tàhun 2017 disamakan dengan PKI. Pentolan PKI ditahan dan dipenjarakan pemerintah Orde Baru karena memang mereka telah membunuh dan membantai masyarakat terutama para kiai dan para santri pada bulan September 1965 dan tàhun 1948. Sementara kegiatan FPI yang sudah dibubarkan pemerintah akhir bulan Desember 2020 justru sebenarnya banyak membantu program pemerintah karena yang dilakukan ormas Islam ini adalah mengajak pada kebaikan dan mencegah setiap perbuatan kejahatan (amar ma'ruf nahi munkar). Tidak hanya itu, selama ini FPI lama banyak melakukan berbagai kegiatan kemanusiaan. Dalam setiap terjadi bencana alam di Tanah Air, FPI lama nyaris selalu yang pertama hadir di lokasi bencana membantu masyarakat yang terkena musibah. Kalau kemudian FPI lama dibubarkan pemerintah, sungguh sangat memprihatinkan kita semua. Oleh karena itu wajar kalau Natalius Pigai mempertanyakan ancaman Hendropriyono yang akan membubarkan organisasi yang menampung mantan anggota FPI. Adanya ancaman dari orang seperti Hendropriyono yang nota bene sekarang berada di luar struktur resmi pemerintah dan negara, memang menimbulkan keheranan, tanda tanya sekaligus kecurigaan di kalangan masyarakat. Terkait hal itu, elite Partai Demokrat Andi Arief mendesak Menko Polhukam Mahfud MD untuk berhenti mendengarkan masukan dari "Jenderal Tua" yang menurutnya selalu memberi saran yang salah arah. Dalam kicauannya di akun Twitter pribadi, Jumat (1/1/2021), Andi Arief menyebutkan: "Ketimbang mendengar pandangan-pandangan yang bisa menyesatkan dari jenderal tua yang sudah terbukti menyesatkan dan melanggar HAM". Namun, Andi Arief tidak gamblang merinci siapa Jenderal Tua yang dimaksudnya itu. Menko Polhukam Mahfud MD diminta Andi Arief untuk lebih berdiskusi dan mendengarkan masukan dari masyarakat sipil (civil society). Khususnya dalam menyikapi peristiwa hukum yang belakangan ramai diperbincangkan publik. Sementara sejumlah warganet memberi komentar beragam tentang siapa sosok "Jenderal Tua" yang juga disebut sebagai pelanggar HAM oleh Andi Arief. "Jendral tua yang menyesatkan??" cetus akun @ad3ira29 yang mengomentari postingan Andi Arief. "Jendral Talangsari," timpal akun @nurkyqo menduga. Selama ini AM Hendropriyono memang banyak dikaitkan dengan kasus Talangsari Lampung. Menurut buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Lampung, terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, pada 7 Februari 1989, ketika AM Hendropriyono masih berpangkat kolonel dan menjabat Danrem Garuda Hitam Lampung, menyerbu Desa Talangsari. Banyak korban berjatuhan yang jumlahnya mencapai 300 orang. Sampai kini para korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI. Pada tahun 2001, korban pelanggaran HAM Talangsari telah mendesak Komnas HAM untuk segera membentuk KPP HAM. Berdasarkan rekomendasi rapat paripurna tanggal 23 Februari 2001 dibentuk tim penyelidikan berdasarkan UU No. 39 tahun 1999. Tim terdiri dari Enny Suprapto (Kekerasan), Samsudin (Hak hidup), Ruswiyati Suryasaputra (Perempuan) dan Muhamad Farid (anak-anak). Tim mulai bekerja pada Akhir Maret hingga Awal April 2005. Setelah Komnas HAM turun lapangan pada Juni 2005, ditemukan adanya pelanggaran HAM berat. Namun banyak kendala dalam penyelidikan karena fokus para korban banyak yang terpecah belah karena sebagian ada yang melakukan islah dengan Hendropriyono sejak 1999. Mantan jamaah Warsidi yang melakukan islah tersebut menghalangi warga lain yang ingin mencari keadilan lewat pengungkapan kebenaran dan pengadilan HAM. Itulah antara lain kiprah AM Hendropriyono yang kini berusia 75 tàhun. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Gedung DPR Seperti Kuburan Baru Politisi

by Furqan Jurdi Jakarta FNN – Ahad (03/01). Akhir-akhir ini kita sudah terbiasa mendengar kematian, pembubaran organisasi, kekerasan, kriminalisasi, perpecahan dan pembelahan dalam masyarakat. Ironisnya, ketegangan dan kengerian itu sunyi dibicarakan di gedung Lembaga legislatif. Gedung yang menjadi penyambung lidah rakyat itu seperti kuburan baru bagi politisi. Inilah yang disebut sebagai erosi demokrasi. Dimana setelah demokrasi dibangun di atas pengorbanan, darah, air mata, senjata dan kekerasan, kini berakhir pula dengan hal yang sama. Saat ini merupakan periodesasi "matinya demokrasi". Demokrasi yang menjanjikan kebebasan, kesetaraan dan hak asasi manusia, sepertinya hanya menjadi diskursus saat pemilu. Selesai itu demokrasi hanya milik kekuasaan. Ditengah rintihan kematian itu, krisis yang melanda bangsa. Kelaparan yang mengancam setiap orang. Namun gedung parlemen itu masih tetap sunyi seperti kuburan. Ketika orang mengadukan kesewenang-wenangan, hukum justru berbalik menyerang mereka. Seakan-akan hukum hanya tunduk pada pemilik senjata dan kekuasaan. Sepanjang periode tahun lalu, ketidakadilan dipertontonkan secara vulgar. Kualitas Wakil Rakyat Politisi parlemen seyogyanya dipilih oleh rakyat untuk “menggonggongi” kekuasaan. Mereka dipilih sebagai juru bicara rakyat. Mereka harus mengkritis kebijakan-kebijakan kekuasaan yang tidak berpihak kepada rakyat. Posisi wakil rakyat itu menjadi sangat penting dan strategis dalam sistem demokrasi presidensialisme seperti Indonesia. Sebab politisi parlemen memiliki hak imunitas yang bisa memproteksi segala niat buruk kekuasaan terhadap tiap-tiap anggota Parlemen. Tetapi akhir-akhir ini, politisi bersenggama dengan kekuasaan melalui proyek-proyek yang dilakukan lewat Parlemen. Beralihnya profesi anggota dewan menjadi "pemain proyek" membuat garapan Lembaga Anti Korupsi di gedung parlemen semakin banyak. Durhakanya lagi, Wakil Rakyat telah memutuskan hubungan historisnya dengan rakyat setelah mendapatkan legitimasi politik dari rakyat. Justru politisi berdiri menggonggongi rakyat. Alasannya karena merasa diri sebagai representasi suara rakyat. Mereka telah ramai-ramai memproteksi dirinya dengan hak imunitas untuk menangkal kritik konstituen terhadap dirinya. Yang seharusnya imunitas itu untuk melindungi diri dari kekuasaan dalam aktivitasnya membela rakyat. Politisi yang dulunya mengemis kepada rakyat itu, kini tiba-tiba berubah menjadi ‘tuan’ yang tak bisa dipersalahkan atau dipersoalkan. Bahkan mereka lebih otoriter dalam berpikir ketimbang kekuasaan. Inilah arogansi politik yang dihasilkan dari sistem demokrasi. Kenapa bisa muncul politisi arogan seperti itu? Sebab, persekongkolan antara pemilik modal dan politisi tidak lagi menghasilkan politisi yang benar-benar berkualitas. Melainkan hanya melahirkan politisi yang tidak memiliki kualitas apapun. Inilah kemerosotan demokrasi yang sesungguhnya. Arogansi ini adalah mental otoriter. Dalam mental otoriter seperti itu, korupsi menjadi kebiasaan buruk keseharian elit politik, khususnya anggota dewan. Seperti orang-orang penting yang menjabat antara tahun 2014-2019 telah terjerat kasus korupsi sejumlah 23 orang. Sebagian adalah ketua Umum Partai seperti Setya Novanto dan Romahurmuzy. Keduanya merupakan ‘orang penting’ yang menjadi pesakitan karena korupsi. Karena kelakuan mereka, institusi DPR yang tadinya memiliki posisi yang kuat, akhirnya menjadi lemah. Sebab banyak politisi yang menjadi pengemis di kekuasaan setelah berhasil mendapatkan legitimasi rakyat. Mental Parlemen seperti ini yang akhirnya memperkuat posisi Presiden, dan dengan demikian Lahirlah Tirani Kekuasaan. Lemahnya Chek And Balances Setelah institusi yang melakukan pengawasan dan penyeimbang sudah berubah menjadi "jongos kekuasaan", maka eksekutif bertindak di luar kendali. Hukum dijadikan alat. Sementara bedil dan pentungan mengamankan tirani. Apalagi dalam sistem Presidensialisme, Eksekutif memiliki kekuasaan yang kuat dan besar. Dengan kekuasaan yang besar dan menggiurkan bagi siapa saja yang menjadi Kepala Eksekutif untuk melakukan tindakan yang melampaui hukum. Bukankah Polisi, Tentara, Jaksa dan lembaga-lembaga kementrian di bawah komando presiden? Kalau anggota Parlemen hanya sebatas "orang-orang kebetulan", maka tentu mereka tidak akan mengerti bahaya lahirnya pemerintahan yang otoriter. Lembaga Kehakiman yang diharapkan Independen pasti secara psikologis tidak akan berani berada di luar cengkraman rezim otoriter. Sebab hakim-hakim di Mahkamah dipilih oleh Eksekutif dan Parlemen. Jadi secara politik hubungan mereka sangat dekat. Hanya saja Konstitusi dan Perundang-undangan menyebut kekuasaan Kehakiman mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tetapi dalam transaksi kepentingan itu tidak berlaku. Lalu siapa yang akan mengawasi jalannya pemerintahan? Rakyat sendiri? Rakyat bisa saja menjadi oposan untuk mengkritik kebijakan pemerintah. Namun ketika demokrasi sudah mulai meredup, kritik pun pasti akan dilarang oleh penguasa. Berulang-ulang dosen, mahasiswa, aktivis maupun masyarakat menyebutkan "kebebasan untuk berkumpul, berserikat, menyampaikan pendapat secara lisan maupun tertulis di jamin konstitusi". Capek mulut dan pecah telinga mendengarkannya. Itu hanya diskursus akademis. Berbeda dalam konteks politik kekuasaan, yang justru menjadi pembatas bagi siapa saja yang berbeda dengan kekuasaan. Karena itu dalam keadaan yang demikian, kita hanya dapat meraba-raba. Kematian apalagi yang akan terjadi selanjutnya? Kebiadaban apalagi yang akan dipertontonkan dihari-hari yang akan datang? Bagaimana Dengan Indonesia? Apa yang saya jelaskan diatas agak mirip dengan kasus yang terjadi di Indonesia. Sebuah negara Demokrasi terbesar yang sedang merosot menuju negara otoriter. Sebuah pemerintahan yang berdiri di atas kuburan 989 lebih petugas KPPS. Pemilu itu disebut oleh beberapa pihak sebagai pemilu brutal yang menewaskan banyak anak bangsa. Apabila membuat produk hukum, pasti bermasalah. Maka, dibalik produk hukum yang bermasalah itu, seperti UU KPK telah menewaskan 2 orang mahasiswa akibat melakukan protes terhadap perubahan UU tersebut. Kekerasan negara terhadap demonstran sepanjang tahun 2020 merupakan potret negara yang sedang memacu dirinya menjadi negara otoriter. Kritik dibungkam, protes ditindak dan semuanya itu berbau kekerasan negara terhadap warga sipil. Lahirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja, menimbulkan reaksi besar dari semua kalangan. Namun pada akhirnya, meski Muhammadiyah dan organisasi masyarakat lainnya Menolak UU itu, tetapi tokh tetap saja disahkan dengan seribu satu macam dagelan dan kesalahan. Begitulah kalau DPR menjadi kuburan masal orang-orang hebat. Belum lagi masalah covid-19 yang telah merenggut nyawa 22 ribu nyawa masyarakat Indonesia. Meski ancaman Covid sangat dahsyat, namun tidak pernah mampu menghalau pilkada serentak 2020. Semua untuk memuluskan Jalan ya kekuasaan oligark yang telah bertengger menjadi mafia politik dan ekonomi. Sunyi suara Anggota DPR atas masalah-masalah yang terjadi. Tidak ada suara nyaring wakil rakyat terhadap kematian 6 orang yang diduga dibunuh secara sadis. Begitu tidak berharganya nyawa manusia dalam sebuah negara otoriter. Sunyi pula suara Anggota DPR ketika utang negara sudah mencapai Rp. 6.000 triliun. Sunyi pula anggota dewan terhadap penggunaan dana Covid-19 yang hampir mencapai Rp. 900 triliun. Bahkan sampai dikorupsi oleh Menteri Sosial. Mungkinkah ini karena anggota DPR juga kebagian? Kita tunggu saja. Kita sudah terbiasa dengan budaya membubarkan organisasi. Sudah dua organisasi yang dibubarkan hanya dengan pernyataan Menteri. Menteri sudah bisa melampaui hukum dan perundang-undangan. Sungguh berkuasa para menteri. Sehingga hanya dengan pernyataan bersama, nasib perkumpulan anak bangsa bisa dieksekusi dan dilarang. Lengkap sudah masalah yang kita hadapi. Tetapi inilah demokrasi. Setelah terpilih, demokrasi hanya milik kekuasaan dan rakyat tinggal menunggu nasib baik dan nasib buruk. Seperti kata Emha Ainun Nadjib, "di negara Komunis tidak boleh bicara,te tapi dikasih makan”. Sementara di negara kapitalis “bicara bebas, tetapi cari makan sendiri. Kalau di Indonesia, “bicara tidak boleh, cari makan masing~masing". Lengkap sudahlah menjadi warga negara Indonesia. Entah rezimnya siapa, Indonesia selalu menghadapi masalah yang serupa. Semoga kita semua masih kuat untuk menghadapi hantaman tahun 2021 ke depan. Wallahualam Bis shawab. Penulis adalah Ketua Lembaga Dakwah DPP IMM & Ketua Pemuda Madani.

Pak Idham Azis Sebaiknya Jangan "Su'ul Khotimah"

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (03/01). Hanya dalam hitungan hari, Jenderal Polisi Idham Aziz akan memasuki masa pensiun. Tapatnya akhir Januari 2021 nanti Idham Azis akan meninggalkan semua kebesarannya sebagai Kepala Kepolisian Negara Rapublik Indonesia (Kapolri). Artinya itu sebentar lagi. Publik bisa menamaknnya tinggal menghitung hari. Sejak 1 Januati tahun 2021, jabatan Idham Azis sebagai kapolri sudah memasuki hitungan mundur terakhir (the final countdown). Biasanya orang selalu berdoa atau mendo’akan semoga berakhir dengan harapan "husnul khotimah". Artinya berakhir dengan yang baik-baik saja. Sebagaimana ketika mengawalinya juga dengan yang baik-baik. Teringat, sewaktu awal Pak Idam Azis menjabat sebagai Kapolri. Betapa besar harapan publik negeri ini tentang bakal datangnya perubahan kinerja Kepolisian di bawah kepemimpinan Pak Idham Azis. Sampai-sampai Dr. Margarito Kamis menulis opini di FNN.co.id. dengan judul “Bismillaahirrahim, Pak Idham di Puncak Polri” (FNN.co.id 03/11/2019). Margarito Kamis yang Ahli Hukum Tata Negara itu memulai tulisannya dengan mengutip Al-qur’an Surat Yasin Ayat ke-65 yang dijadikan Puisi oleh Pak Taufik Ismail. Ayat Qur’an ini kemudian menjadi inspirasi bagi alharhum Crisye untuk dijadikan sebagai syair lagunya. “Pada hari ini kami menutup mulut mereka. Tangan mereka akan berkata kepada Kami (Allaah), dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Akan datang waktu mulut terkunci, kaki bicara, dan tangan bicara. Tidak ada kata-kata. Margarito Kamis menaruh harapan besar ketika menjalani Fit and Profer Test di Komisi III DPR, Pak Idham memulai dengan mengutip Al-Qur’an Surat Al-An’am Ayat 162. “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah”. Pada bagian awal menjalani Fit and Profer Test, Pak Idham juga mengucapkan “hasbunallaah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nasir. Artinya, cukuplah Allaah menjadi penolong kami, dan Allaah adalah sebaik-baik penolong kami. Terlihat kalau Pak Idham hanya menghapkan pertolongan dari Allaah semata. Bukan pertolongan dari selain Allaah. Margarito menjelaskan bahwa kalimat-kali awal dari Pak Idham ketika menjalan Fit and Profer Test adalah pernyataan yang sangat berekelas dari seoran calon Kapolri. Jarang terdengar dari mulut calon pemimpin di era modern, yang sangat metrealis sekarang. “Kalimat-kalimat Pak Idham ini, sejauh fakta empiris yang bisa berbicara, harus dinilai dengan hal yang tidak biasa. Beda, dan memang sangat berbeda. Keyakinan religius ditampilkan sebegitu jelasn sebagai panduan, dan tuntunan pemandu dirinya memasuki puncak piminan Polri. Alhamdulillaah”, tulis Margarito Kamis. Tidak sampai di situ saja. Ustad Das'ad Latif seusai Rapim Polri 29 Januari 2020 berpesan kepada Kapolri baru bahwa dalam menangani unjuk rasa "jangan memukul kepala" karena siapa tahu di kepalanya ada hafalan Qur'an dan Hadits. Sementara Kapolri Idham pun titip pesan agar isi ceramah yang mengarahkan polisi dalam menangani aksi dilakukan dengan pendekatan yang humanis. Tidak menggunakan senjata api. Perkapolri No 7 tahun 2012 melarang tindakan aparat yang bersifat spontanitas dan emosional, mengejar secara perorangan, melakukan kekerasan dan penganiayaan, pelecehan dan melanggar HAM. Harapan perubahan di masa jabatannya Idham Azis itu nampak sirna. Dalam menangani unjuk rasa Omnibus Law contohnya, kekerasan terjadi terutama oleh satuan Brimob. Penangkapan aktivis oleh Polri terjadi dimana-mana. Lalu dalam menangani HRS dan FPI telah jatuh korban penembakan dengan tanda penganiayaan 6 anggota Laskar, yang dikenal dengan peristiwa atau tragedi pembunuhan di Kilomer 50. Diakui bahwa pelaku penembakan adalah aparat Kepolisian yang nampaknya masih dilindungi hingga kini. Polisi belum juga diumumkan siapa-siapa pelaku pembunuhan tersebut? Padahal dugaannya adalah pelanggaran HAM berat. Pada saat wacana panas soal calon pengganti Kapolri, justru Kepolisian mengalami gonjang-ganjing tindakan yang tidak humanis. Bukan lagi sekedar "tidak memukul kepala". Tetapi menembak dengan brutal dan sadis. Melibatkan anggota Polda Metro jaya. Hingga kini Bareskrim Mabes Polri dan Komnas HAM masih menyelidiki. Pasca pembubaran dan pelarangan FPI, Kapolri membuat maklumat yang dinilai berlebihan hingga mendapatkan protes dari masyarakat Pers. Dikomandoi oleh Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh, masyarakat Pers ramai-ramai menyampaikan protes kepada Kapolri. Aliasi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Forum Pemred, Asosiasi Media Ciber Indonesia (AMSI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyatakan protes. Bni baru pertama kali masyarakat Pers kompak ramai-ramai menyatakan protes kepada Kapolri secara terbuka. Tentu saja ini sebuah catatan tentang kebebasan pers di akhir masa jabatan Kapolri yang kurang baik. Maklumat Kapolri itu dikritisi sebagai melanggar HAM dan perundang-undangan. Masyarakat Pers menganggap Maklumat tersebut membatasi kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang No.40 Tahun 1999 Tentang Pers, dan MOU Dewan dengan Kapolri. Belakangan Kadiv Humas Polri Irjan Argo Yuwono mengklarifikasi penafsiran Malumat Kapolri, khususnya poin 2D. Argo Yuwono mrengatakan, “Maklumat Kapolri poin 2D tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berekspresi. Dikaluarkan Maklumat itu, artinya tidak untuk membredel berita pers”. FPI nampaknya oleh Kepolisian dijadikan sebagai target dengan langkah dan kebijakan hukum yang tidak adil. Terkesan seperti aktivis muslim diperlakukan sebagai "musuh negara". Sampai disini, Jenderal Polisi Idham Azis sedang diuji konsistensi akan tekad dan semangat untuk membangun kinerja Kepolisian yang lebih baik dan humanis itu. Husnul khotimah atau su'ul khotimah kah Pak Idham Azis di akhir masa jabatan yang tinggal menghitung hari itu? Masyarakat terus pemantau dalam hitungan mundur. We're leavin together. But still It's farewell ---it's the final countdown...(Europe) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kemewahan Terakhir Rakyat

by Tamsil Linrung Jakarta FNN – Jum’at (01/01). Demokrasi, dengan berbagai instrumen yang melekat di dalamnya adalah kemewahan tunggal. Juga kemewahan terakhir yang dimiliki oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia. Demokrasi tak melihat stratifikasi dan kelas ekonomi. Pandangan politik, juga tak bisa jadi argumentasi untuk menegasi hak-hak berdemokrasi. Bahkan, dalam pergumulan dan dinamika politik itulah, demokrasi dituntut merefleksikan nilai dan esensi. Demokrasi adalah satu-satunya mahkota yang secara sah diwariskan, dan bebas digunakan oleh setiap anak bangsa yang telah merdeka ini. Terdistribusi merata. Tidak timpang, seperti terjadi di sektor ekonomi akibat kegagalan kebijakan. Semua punya hak yang sama atas demokrasi. Tak ada yang bisa mengklaim sebagai pemilik tunggal. Apalagi merasa paling otoritatif mengangkangi demokrasi. Bahkan kekuasaan itu sendiri, harus taat dan tunduk pada rambu-rambu demokrasi. Bila ada unsur di dalam suatu negara hukum yang merasa paling punya kewenangan menafsir dan menghegemoni demokrasi, maka pada saat itu demokrasi kita sesungguhnya sudah roboh. Demokrasi tidak memberikan pedang kepada pranata kekuasaan untuk mengamputasi kelompok, atau organisasi yang secara sepihak ditafsir “berbahaya”. Ada proses pengadilan yang harus ditempuh. Ada rambu-rambu hukum yang jelas mengatur. Penggunaan kekuasaan dengan serampangan, justru amat berbahaya bagi bangsa ini ke depan. Siapapun, jadi punya argumentasi untuk membubarkan kelompok-kelompok yang secara subyektif divonis berbahaya. Kita akan disibukkan saling melabeli. Ini tidak sehat. Semestinya, nafas demokrasi bergemuruh dengan dialog. Demokrasi Pancasila, mengajak kita duduk bersama. Menuntun bermufakat dalam hal-hal yang kita sepakati. Bertoleransi dalam silang pendapat. Bukan malah menggebuk mereka yang tidak sepakat. Lagipula, sikap over protective justru mencerminkan rasa rendah diri. Negara jangan dijebak seolah mengidap inferiority complex. Gamang atas keyakinan sendiri. Tidak percaya, bahwa ideologi yang dianut jauh lebih baik dibanding ideologi yang dilabeli “berbahaya”. Kalau sudah seperti ini, lantas siapa sebetulnya yang secara praktik memosisikan negara, bangsa, dan ideologinya lemah? Terus terang, kita merasa cemas. Kebatinan kita sebagai anak bangsa terganggu. Ketika anasir-anasir yang mendegradasi demokrasi terus difestivalisasi. Diglorifikasi sebagai kemenangan atas sebuah perang akbar. Lalu disambut dengan sorak sorai semu dari para buzzer politik. Tanpa punya pijakan aspirasi yang lahir dari kesadaran. Partai politik koalisi tambun, seharusnya lebih dari cukup sebagai modal membangun rasa percaya diri. Modal politik itu, mestinya mampu menopang konfidensi. Tak resah. Apalagi sampai terus meniupkan propaganda bahwa bangsa terancam karena dengung vokal kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam beraspirasi. Ancaman laten yang sesungguhya mendera bangsa ini adalah kemiskinan, ketimpangan ekonomi antar kelas yang parah, dan krisis multi dimensi akibat kegagalan menangani pandemi Covid-19. Mempersempit ruang kebebasan sipil, apalagi ada wacana mengaktivasi patroli siber. Justru kian jauh menyeret bangsa ini ke periode gelap otoritarianisme yang telah kita kubur di masa lalu. Jalan mundur kehidupan demokrasi bangsa Indonesia bukan sebatas isu. Tapi telah jadi fakta empirik. Disoroti berbagai lembaga global pemerhati demokrasi. The Economist Intelligence Unit’s Democracy Index yang dirilis Januari 2020 misalnya, menempatkan demokrasi Indonesia di urutan 64 dari 167 negara yang diteliti. Bandingkan dengan negeri jiran, Malaysia yang kerap disebut-sebut “belajar berdemokrasi” dari kita, situasinya justru lebih baik. Jauh di atas Indonesia, yaitu di posisi 43. Indeks demokrasi EIU itu, tidak asal-asalan disusun. Namun mengacu pada 60 indikator yang kemudian dikluster ke dalam lima isu utama. Termasuk tingkat partisipasi dalam politik. Yang dalam beberapa studi empiris, ditemukan, jika partisipasi dan pilihan politik masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau melek politik, serta kondisi ekonomi. Artinya, indeks demokrasi tersebut, merefleksikan situasi kehidupan masyarakat di bawah. Penilaian The Economist itu, melengkapi berbagai alat ukur terhadap progres atau langkah suatu bangsa. Termasuk Human Development Index yang secara reguler dirilis oleh United Nations Development Programme. Indeks Pembangunan Manusia dari PBB. Yang sama mencemaskan, rendahnya mutu demokrasi dan pembangunan bangsa Indonesia yang disajikan tersebut, terjadi sebelum krisis multidimensi terjadi. Sementara pandemi Covid-19, telah mengoyak tatanan kehidupan bangsa. Artinya, bila ada studi baru yang menyigi kehidupan kebangsaan kita hari ini, hampir bisa dipastikan semua indikator mendapatkan nilai merah. Kembali ke soal isu demokrasi, HAM dan kebebasan. Pandemi Covid-19 betul-betul dimanfaatkan untuk memuluskan berbagai agenda, yang dalam situasi normal sulit diimplementasikan. Covid-19 seolah dianggap sebagai alat legitimasi. Paling baru adalah UU Omnibus Law yang disahkan atas nama investasi dan pemulihan krisis ekonomi. RUU Omnibus Law itu, kita saksikan mendapat badai protes yang bergelombang. Berbagai elemen masyarakat tumpah ruah di jalan. Menuntut penolakan dan pembatalan. Namun aspirasi yang mestinya diserap dalam proses legislasi negara demokrasi yang sehat, justru dikesampingkan. Ada apa ini? Yang menyedihkan, gelombang aspirasi itu bahkan memakan banyak tumbal. Menurut Amnesty Internasional Indonesia, 402 orang jadi korban kekerasan aparat dalam demo penolakan UU Omnibus Law. Ini persis yang diingatkan oleh Harvard University. Sebuah artikel yang terbit di laman resmi kampus terkemuka itu menyebut, pemerintahan otoriter di berbagai negara, yang hampir bisa dipastikan secara ekonomi disetir oleh oligarki dan konglomerasi, tampak terburu-buru mengesahkan banyak aturan. Aji mumpung. Selagi perhatian rakyatnya tersedot ke persoalan Covid-19. Situasi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari satu tahun ini saja, telah jauh mendegradasi kehidupan bangsa ini. Indonesia, seperti nada khawatir yang ditulis oleh Harvard University terhadap praktik otoriter di tengah-tengah bencana, ditengarai akan mengalami kehidupan demokrasi yang berbeda yakni semakin jauh dari harapan setelah pasca Covid-19. Dengan kata lain, Indonesia semakin dekat dengan apa yang disebut oleh The Economist sebagai hybrid regime. Rezim hibrida. Dimana penguasa menganut politik campuran sebagai akibat dari transisi yang tidak selesai dari rezim otoriter ke rezim demokratis. Rezim hibrida menggabungkan fitur-fitur otokrasi berdasarkan kekuasaan otoritarian dengan fitur demokrasi. Anasir-anasir demokrasi tampak digunakan. Namun justru untuk melanggengkan praktik otokrasi. Misalnya memakai stempel legislatif untuk mengesahkan UU, meski ditolak oleh rakyat. Dalam bahasa lain, hal ini merupakan refleksi menguatnya oligarki. Ruling oligarchy. Seperti istilah yang diintrodusir oleh Profesor Jeffrey Winters dari Northwestern University, Amerika Serikat. Penulis adalah Senator Dewan Perwakilan Daerah.

Ahli Hukum Itu Ternyata Jongosnya Nazi

by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum Jakarta FNN – Jum’at (01/01). Ketika rezim demokratis mulai produktif dengan kebijakan represif, maka setiap orang dalam negara itu harus mulai membuka lembara-lembaran memorial untuk lebih cermat dan teliti. Sejarah menunjukan rezim-rezim teror, penindas bengis dan jijik, lahir dari alam demokrasi. Demokrasilah yang melambungkan Adolf Hitler. Pria inferior, yang sempat diragukan kemampuannya oleh eksekutif I.G Farben. Memasuki kekuasaan setelah Nazi memenangkan pemilu legislatif, Hitler dengan bantuan ahli hukum yang bersedia menjadi jongosnya, memukul habis demokrasi itu. Korporasi Yang Biayai Hitler Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP), atau National Socialist German Workers' Party, dikenal umum Partai Nazi. Partai ini mengawali evolusinya melalui apa yang dikenal dengan Deutsche Arbeiterpartei (DAP). DAP eksis pada tahun 1920. Partai ini diprakarsai oleh para nasionalis Jerman, dan pekerja dengan kultur paramiliter. Spirit utama mereka, sederhana saja, “melawan komunis di Jerman pasca perang dunia pertama”. Spirit ini ternyata membawa Nazi, dengan Adolf Hitler, pria inferior ini menggenggam kekuasaan dan menjadi penindas paling sistimatis, kejam, bengis dan menjijikan terhadap rakyatnya. Menurut Charles F. Andrian, para pendukung Hitler itu berharap dapat memperoleh keuntungan dari persenjataan kembali Jerman. Selama berkuasa, program-program Nazi, juga Fasisme Italia, tulis Andrian, cenderung menguntungkan para pemilik tanah luas, dan industriawan besar. Siapa saja industriawan dan korporasi besar itu? Robert Simon Yavner, dalam artikel I.G Farben’s Petro-Chemical Plant and Concentration Camp at Auschwitz, menunjukan Frizt Haber dan Carl Boch (Haber-Bosch). Tahun 1916 mengambil alih BASF, Bayer, Hoescht, Cassela, Agfa, Griesheim dan ter-Mer. Tahun 1925 korporasi-korporasi ini dimerger. Terbentuklah I.G Farbenindustrie Aktiengesellschaff, yang dikenal dengan nama “I.G. Farben”. Bagaimana mereka mendekatkan, bahkan mengendalikan Hitler? Pemilu untuk Reigstaat tahun 1932 membawa partai Nazi memperoleh 230 kursi dari 608 kursi. Belum mayoritas. Tetapi itu sudah terbesar. Jumlah kursi itu menjadi politik Hitler memasuki kekuasaan. Presiden Jerman, Hindenberg, segera mengangkat dirinya (Hitler) menjadi Chancelor. Hitler belum benar-benar aman, sekalipun telah menjadi Chancelor. Didepan matanya akan berlangsung pemilihan Reigstaat yang lain. Pemilihan yang akan berlangsung pada tanggal 5 Maret 1933. Hitler berambisi memenangkannya. Bagaimana caranya? Herman Gorring, pencipta Gestapo, polisi rahasia Nazi, dikenal sangat kejam. Gorring yang bekerja berdasarkan panduan polotik Hitler, dan bukan hukum segera beraksi. Soal GESTAPO akan diulas pada kesempatan lain. Gorring segera mengadakan pertemuan rahasia dengan Hjalmar Schacht, salah seorang dari komunitas korporasi financial kala itu. Pertemuan ini berlangsung pada tanggal 20 Februari 1933. Gorring berharap akan memperoleh donasi dari komunitas ini sebesar tiga juta Reichmark untuk kepentingan Hitler memenangkan pemilu legislatif itu. Tercapaikah uang sebesar itu? Yavner menulis George von Cshnitzler, anggota dewan direksi dan direktur pemasaran I.G Farben, segera memperoleh instruksi dari Carl Bosch. Kepadanya, Bosch memerintah memberikan donasi sebesar 400.000 Reichmark. Hitler telah dibeli I.G Farben, dan menemukan diri berhutang untuk sebuah kemenangan Pemilu Legislativ pada I.G. Farben. Semuanya telah menjadi jelas untu Hitler dan I.G Farbenm. Hitler segera menggelar pertemuan rutin dengan I.G. Farben. Politik berbicara dengan tipe korup yang khas. Herman Schitz, orang I.G Farben segera diberi jabatan oleh Hitler sebagai deputi Reighstag, November 1933. Buetefisch, orang I.G. Farben lainnya segera bergabung dengan Gestapo, yang kala itu dipimpin oleh Heindrich Himmler. Begitulah kenyataannya. Oligarki dan korporasi milik orang kaya bekerja, yang isi kepalanya hanya uang dan untung. Mereka selalu mendekatkan diri pada pemerintah. Selalu menguasai dan mengarahkan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk keuntungan mereka. Begitulah mereka, dimanapun. Mereka adalah kelompok manusia yang suka pada represi. Menjadi Jongos Nazi Hitler telah menggenggam kekuasaan sejak tahun 1933. Apa yang pertama dilakukan Hitler untuk meciptakan tatanan sosial politik dalam rangka melancarkan ambisi menjijikan itu? Hitler bukan ahli hukum. Dia tak mengerti hukum. Tetapi dia hanya merealsaikan ambisi horornya. Langkah pertamanya hanya dengan menangani hukum terlebih dahulu. Hukum, tepatnya sistem hukum langsung digarap. Diawali dengan membentuk Anabling Act 1933. Soal Anabling Act ini tidak akan saya ulas lagi. Hitler tahu ada orang yang ambisius. Yang pikiran dan sikapnya selalu konyol. Sikap seperti jongos, yang bersedia melayani Nazi. Salah besar kalau mengidentifikasi dua ahli hukum saja yang menyediakan dirinya menjadi jongos Nazi. Sekali lagi itu amat salah. Itu karena tidak mungkin membayangkan pengadilan Nazi dan Kementerian Kehakiman diisi oleh orang non hukum. Gustav Rudbruch, Carl Schimitt dan Hans Frank, harus diakui, dengan bobotnya yang berbeda, memainkan peran menentukan dalam pembentukan sistem hukum Nazi. Gustav dan Schimitt, sering disebut Schimittian untuk menunjuk pikiran-pikirannya adalah filosof. Sedangkan Frank, anak muda ini, adalah praktisi yang terlatih. Schmitt menyediakan fundasi filsafat untuk menjustifikasi nilai-nilai baru. Nilai yang selaras dalam esensi dan tampilan dengan visi Nazi, yang berpusat pada Hitler. Schmitt, anggota Privy Counsel, Ketua Reichfachgroupee, dan profesor pada Federasi Ahli Hukum Nazi, membuat “Dasar-Dasar Baru Penegakan Hukum”. Salah satu prinsip bentukan Profesor pencipta konsep “Total State”, yang kelak dikenal dengan sebutan “totalitarian state” ini adalah “penegakan hukum bersifat langsung dan dikontrol secara eksklusif, dengan cara menerapkan ketentuan-ketentuan yang bersifat umum”. General Clause, itu bukan undang-undang. Tetapi nilai dominan bangsa. Schimitt mengonsepkan nilai ini, dalam kerangka “Total State”. Nilai ini dilukiskan olehnya sebagai nilai homogen rakyat. Nilai yang kerangka kerjanya bersifat absolute dan otoritatif. Itu adalah personifikasi pada Fuhrerr, Hitler. Hakim, dalam prinsip General Clause ini, tidak bisa menggunakan silogisme. Ini mutlak. Tak bisa ditawar-tawar dengan alasan apapun itu. Hakim tidak diberi diskresi dalam memutus perkara. Hakim terikat pada idiologi Nazi. Pengadilan dipersonifikasi pada Hitler, dengan akibat yang jelas. Curt Rothemberg misalnya menjelaskan hakim yang kata-katanya dan sikapnya berbeda dengan Nazi, dihukum. Ide Recshtaat tentang konsep hukum, oleh Schimitt tidak dihubungkan dengan hakikat ide Rechstaat itu sendiri. Karena tradisi kebebasan burjois. Jadi sejak itu ide Rechstaat atau rule of law mengesampingkan human being, baik sebagai individu maupun sebagai asosiasi. Schimitt tersohor dalam politik sebagai pemikir, dan penyedia argumen filosofis untuk menjustifikasi ide-ide Hitler. Berbeda dengannya, Hans Frank, anak muda energik dan ambisius, yang telah mengenal Hitler sejak tahun 1928, memainkan peran teknokratis yang hebat. Diminta Hitler menjadi lawyer untuk anggota Nazi yang dituduh dan disidang pada tahun 1927-1930, Hans Frank membangun relasi dengan Hitler. Membentuk organisasi untuk Nazi Lawyer pada tahun 1928, Hans segera dipakai Hitler menjadi pembela atas tiga orang tentara Jerman yang disidangkan di Leipzig Reichwahr. Orang-orang ini dituduh melakukan high treason (penghianatan tingkat tinggi). Cerdas, Frank memberi Hitler panggung. Hitler diundang Frank ke pengadilan menyampaikan pidato dalam sidang itu. Hitler menggunakan kesempatan itu. Nasib, semua usaha pembelaannya, termasuk pembelaan Hitler, tidak mampu membebaskan ketiga terdakwa. Tetapi kesempatan itu telah sangat berguna untuk Hans Frank. Dia telah memperoleh simpati hebat dari Hitler. Hasil mengagumkan pun menanti pasti. Frank segera tertakdir sebagai ahli hukum utama Nazi, (Premier Nazi Lawyer). Hal-hal hebat lain pun segera mendatangi Hans. Hans segera diminta Hitler menjadi pengacara pribadinya, dan pada waktunya Hans diangkat Hitler memimpin pembentukan sistem hukum Nazi. Melukiskan dirinya sebagai manusia dengan ambisi besar, yang memiliki kemampuan pemimpin Jerman suatu hari kelak. Hans segera bekerja menanganai sistem hukum, berdasarkan perintah Hitler. Hans, pria ambisius ini punya dua strategi pembentrukan system hukum Nazi. Kedua strategi itu, disebut Cintya Fountanine, dalam Complicity in Perversion of Justice: The Royal of Lawyer Eroding the Rule of Law in the Third Reich, dimuat dalam Jurnal St Mary’s Journal on Legal Malpractice and Etics Vol 10. Nomor 2, 2020 adalah “purging and coordinating”. Esensi strategi “purging” tidak lain selain membersihkan organisasi pengacara Jewish Lawyer, Sosial Democrat Lawyer dan Communist Lawyer. Organisasi BNSDJ, dibersihkan dari tiga kelompok itu. Pada saat yang sama Law for Restoration of Profesional Civil Service diberi mandate membersihkan organisasinya dari semua Jewish (Yahudi), Social Democrat, hakim-hakim yang secara politik tak dapat dipercaya, Jaksa, dan para dosen progresif di Universitas, dibersihkan. Mandat itu menakutkan. Karl Linz, Ketua Federasi Hakim, benar-benar takut. Linz menghawatirkan keamanan kerjanya. Dia segera bertemu Hitler. Tetapi dengan cerdik Hitler malah memberi jaminan terhadap independensi hakim, jaminan khas orang mabuk kekuasaan. Strategi itu bekerja dengan cara yang sama mematikan, juga terlihat pada strategi kedua “coordinating”. Sebagai bagian integral dari strategi membangun sistem hukum Nazi, strategi kedua ini menancapkan pengendalian. Cerdik, setelah ahli hukum dari kalangan Yahudi, Social Demokrat dan Komunis dibersihkan dari organisasi pengacara, strategi kedua mengambil bentukl kongrit lainnya. Organisasi Pengacara yang telah dibersihkan dari unsyur Yahudi, Sosial Demokrat dan Komunis, ditransformasi ke dalam kontrol penuh Menteri Kehakiman yang diberi kewenangan melaksanakan transormasi itu. Dia diberi wewnang membuat semua aturan dalam menata sistem hukum. Ini terjadi tahun 1934. Pembaca FNN.co.id yang budiman. Bagaimana melihat Hans Frank, dalam implementai strategi ini. Memang tidak djelas. Tetapi Hans Frank telah diangkat Hitler menjadi Wakil Menteri Kehakiman, tanpa portofolio. Tahun 1936, Kementrian Kehakiman menerbitkan Code Etik pengacara, yang materinya merupakan penjabaran dari doktrin Nazi, yang berasal dari Hitler. Visi Hitler mengenai sistem hukum sangat jelas. Kepentingan negara berada di atas kepentingan klien. Pengacara harus merealisikannya. Kewajiban profesional Lawyer, dalam visi itu sangat jelas. Harus merepresentasi, mendahulukan kepentingan negara. Visi ini mencapai kesempurnaan pada tahun 1939. Jerman, dengan Nazi yang dipandu Hitler, jelas pada semua aspek. GESTAPO, polisi rahasia dengan cara joroknya mematai-matai, mengawasi, menangkap, dan menjebloskan siapa saja yang berbeda haluan politik dengan Nazi di Kamp Konsentrasi. Tak ada proses peradilan, apalagi fair. Jorok sekali. Itulah hasil kerjas ahli hukum jongos terhadap sistem hukum Nazi. Schimitt Hans Frank, dan Menteri Kehakiman, telah menulis hari esoknya dengan cara itu. Rakyat, khususnya Yahudi, Komunis dan Sosial Demokrat terkapar. Bagaimana dengan para oligarki yang menjadi cukong-cukong Hitler? Mereka selalu berjaya. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Harapan Awal Tahun 2021, Membangun Kecerdasan Politik Rakyat

by Farouk Abdullah Alwyni Jakarta FNN – (01/01). Mengawali awal tahun 2021 ini kita disajikan oleh pertunjukan politik unik Indonesia, ketika Sandiaga Uno diangkat menjadi Menteri di Kabinet Jokowi. Dengan masuknya Sandiaga ke kabinet pemerintahan Jokowi, maka lengkaplah sudah satu pasang Calon Presiden dan Wakil Presiden (Prabowo-Sandi) dari kubu lawan pasangan dengan Jokowi-Ma’ruf. Prabowo –Sandi masuk menjadi anak buah pasangan Jokowi’Ma’ruf yang memenangi pemilihan Presiden 2019. Padahal awalnya Prabowo-Sandi tidak menerima kemenangan sang calon Jokowi-Ma’ruf Amin. Sehingga Boleh dibilang proses politik yang terjadi tersebut adalah pendidikan politik yang paling unik dalam konteks internasional negara demokrasi modern. Sejarah baru dari proses demokrasi Indonesia telah dimulai, sejak pemilihan presiden yang langsung dipilih rakyat tahun 2004. Dalam satu sisi yang terjadi itu mungkin disebut ingin meminimalkan gesekan politik yang terjadi sewaktu proses pilpres berlangsung, dimana dua kubu pendukung calon pasangan presiden saling memberikan hujatan satu sama lain dengan istilah “cebong” dan “kampret”. Tetapi persoalannya, proses politik yang tejadi tersebut pada dasarnya menegasikan konsep demokrasi yang dikenal secara luas. biasanya pihak yang kalah berada di luar dan menjadi oposisi, dan mengkritisi pemerintahan yang berkuasa, agar proses “check and balance” bisa terjadi. Karena dengan ketiadaan “check and balance”, maka yang dirugikan adalah demokrasi, dan masyarakat secara keseluruhan. Proses kontrol dalam pemerintahan di negara demokrasi mutlak harus dilakukan. Karena tanpa kontrol, tidak mustahil kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan. Kita mendengar istilah lama terkait hal ini yang disebut dengan “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang baik, belakangan lembaga-lembaga pembangunan internasional menggunakan istilah “good governance”. Bahkan dalam level perusahaanpun dikenal secara internasional istilah “good corporate governance”. Dalam sejarah Islam setelah Rasulullah, Khalifah Pertama yang terpilih secara Syura, Abu Bakar Assiddiq Radiallaahu Anhu, yang menyatakan dalam khutbah pertama pengangkatannya sebagai Khalifah, “…, If I do well, help me; and if I do wrong, set me right. … Obey me so long as I obey God and His Messenger. But if I disobey God and His Messenger, you owe me no obedience. …” Esensi dari khutbah pertama Abubakar Assiddiq Radiallaahu Anhu ini adalah bahwa para pengikutnya mempunyai kewajiban untuk mengikutinya hanya jika beliau melakukan hal-hal yang benar. Tetapi mereka tidak harus mengikutinya jika beliau melakukan kesalahan, bahkan perlu melakukan koreksi kepadanya. Bahkan mengoreksinya dengan peddang sekalipun. Sebenarnya hal ini juga refleksi dari hadits Rasulullah Shallaahu Alaihi Wasallam yang menyatakan bahwa “seorang Muslim harus selalu membantu saudaranya. Baik saudaranya itu berbuat kebaikan dan kebenaran maupun kesalahan”. Para sahabat bertanya bagaimana mungkin mereka harus membantu saudaranya jika mereka melakukan kesalahan, Rasulullah Shallaahu Alaihi Wasallam menjawab “bahwa cara membantu saudaranya itu dengan mengkoreksi kesalahan-kesalahan yang dibuat saudaranya”. Pada prinsipnya penerapan “good governance” dan “check and balance” dalam tata kelola negara. Hal yang senada juga dinyatakan oleh politisi dan negarawan Amerika Serikat, diantaranya Theodore Roosevelt (Presiden Amerika Serikat ke 26) menyatakan “to announce that there must be no criticism of the President, or that we are to stand by the President, right or wrong, is not only unpatriotic and servile, but is morally treasonable to the American Public”. Terjemahan dari pernyataan Presiden Theodore Roosevelt itu kurang lebih adalah “menyatakan bahwa disana harus tidak ada kritik terhadap Presiden, atau kita harus selalu mendukung Presiden benar atau salah adalah bukan hanya tidak patriotis dan berjiwa budak. Tetapi secara moral telah berkhianat kepada masyarakat Amerika.” Selain itu, Benjamin Franklin, salah satu founding father Amerika Serikat juga menyatakan “it is the first responsibility of every citizen to question authority”. Tang terjemahannya “adalah tanggungjawab utama dari setiap warga negara untuk mempertanyakan otoritas”. Yang tidak kalah penting, ketika kita menghadapi penurunan kualitas demokrasi dewasa ini adalah pernyataan George Washington, Presiden Amerika Serikat pertama, yang menyatakan “If freedom of speech is taken away, then dumb and silent we may be led, like sheep to the slaughter”. Terjemahan bebas dari pernyataan Presiden George Washinton itu, “jika kebebasan berbicara dicabut, dan kita diarahkan untuk bisu dan diam, itu seperti domba-domba yang akan disembelih”. Tentunya dalam kesempatan yang lain kita bisa bahas batas antara kebebasan berbicara dan penghinaan. Tetapi esensi kebebasan berbicara disini adalah kritik terhadap pemerintahan. Jadi, bahwa dukungan dan kepatuhan kepada pemerintahan ataupun Presidennya ada kurannya. Terlepas apakah agama memegang peranan penting atau tidak di negara itu. Dukungan hanya berlaku jika sang pemimpin berpegang kepada nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kebenaran, kebaikan, dan pemihakan kepada rakyat kebanyakan. Nilai ini berlaku mulai dari masa Kekhalifahan Rasyidin dahulu sampai dengan negara modern yang berdasarkan demokrasi dewasa ini. Dalam konteks negara demokrasi Indonesia dewasa ini, perlu dibangun sebuah kesadaran di kalangan masyarakat agar selalu mengedepankan konsep “conditional support” kepada para pemimpin yang dipilihnya. Sebaliknya, jika rakyat memberikan “unconditional support” kepada para pemimpinnya, maka itu sangat berbahaya. Karena bisa menjurus kepada negara otoriter dan keditaktoran. Kediktaroran menjadi semboyan Raja Prancis dahulu yang menyatakan l’etat c’est moi. Negara adalah saya. Apapun yang saya lakukan, benar atau salah, rakyat harus memberikan dukungan. Tidak heran jika akhirnya sebuah sistim yang seperti ini pada akhirnya berakhir dengan berdarah-darah di bawah pisau guillotine. Konsep yang hampir sama adalah “right or wrong is my country”. Konsep yang bisa menimbulkan penyalah gunaan kekuasaan luar biasa dari para oknum yang berkuasa. Memang diakui, demokrasi bukan sebuah sistim yang ideal. Anggapan itu oleh para pemikir dan politisi Barat itu sendiri. Tetapi untuk saat ini, demokrasi adalah sebuah sistim yang bisa menghargai Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengantarkan kesejahteraan dan kemajuan di negara-negara Eropa Barat, Amerika Utara, Asia Timur, Skandinavia, maupun Australia dan New Zeland dibandingkan dengan sistim-sistim lainnya. Spalagi seperti sistim monarki absolut model Saudi Arabia ataupun sistim satu partai model komunis China yang cenderung represif dalam memaksakan kehendaknya. Kita juga kita melihat model-model republik yang pada dasarnya adalah negara-negara otoriter. Model seperti yang ada di Mesir (diktator militer), Syria (diktator sipil), ataupun model “hybrid” Korea Utara, pemerintahan komunis yang seperti kerajaan. Dimana satu keluarga mempunyai kontrol luar biasa terhadap satu negara. Timbulnya Arab Spring di Timur Tengah sebenarnya adalah bentuk perlawanan kepada negara-negara dengan sistim otoriter yang korup. Kembali kepada realitas politik Indonesia akhir tahun 2020 kemarin. Satu pasang calon yang kalah dalam proses demokrasi, akhirnya “submit” dan mengikuti calon pemenang. Ini pelajaran politik penting bagi para pendukung fanatik kedua pasang calon tersebut. Bahwa politik pada dasarnya bisa begitu cair, terlebih lagi di Indonesia. Para pendukung kedua belah pihak harus menyadari bahwa mereka tidak bisa “gelap mata” terhadap pihak yang didukungnya, baik itu bagi pemenang maupun yang kalah. Kita dengar kekecewaan datang dari kubu kedua belah pihak. Dari pendukung Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi. Pendukung pemenang melihat sendiri bagaimana lawan yang sebelumnya diserang habis-habisan, ternyata pada akhirnya bisa mendapatkan posisi. Sementara sang pendukung fanatik itupun tidak mendapatkan apa-apa. Yang lebih parah lagi adalah para dan taragis lagi pendukung pihak yang kalah. Banyak yang telah menggunakan sumber dana mereka sendiri sewaktu kampanye dahulu. Alasannya Prabowo-Sandi tidak mempunyai kekuatan pendanaan sebesar pasangan Jokowi-Ma’ruf. Alasan yang sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Bahkan banyak yang berdarah-darah, masuk tahanan sebagal. Sebagian lagi ada meninggal dunia ketika memperjuangkan pasangan yang didukungnya dalam demo di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Mei 2019 yang lalu. Coba bayangkan apa yang dirasakan keluarga para korban pendukung pasangan Prabowo-Sandi ketika melihat realitas politik yang seperti ini? Esensinya Prabowo-Sandi mengkhianati esensi perjuangan mereka. Mengapa hal tersebut menjadi pelajaran politik penting bagi rakyat? Sebenarnya ke depan rakyat pun harusnya tidak perlu terlalu fanatik kepada para calon yang didukungnya. Rakyat harus menyadari bahwa mereka mendukung calon karena disatukan oleh cita-cita dan idealisme perjuangan semata. Begitu juga para figur yang didukungnnya. Ketika dianggap sudah tidak berada di rel cita-cita perjuangan dan idealisme bersama, pada saat itulah mereka sudah harus siap meninggalkan figur yang didukungnya. Fanatisme buta kepada satu figur pada akhirnya hanya akan menimbulkan kekecewaan yang luar biasa. Kondisi ini tidak hanya berlaku untuk dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang lalu. Tetapi yang terpenting dalam kontestasi politik ke depannya, pada 2024 mendatang. Pembangunan kecerdasan politik rakyat penting dalam kerangka menghilangkan “slavish attitude” (watak budak) dari rakyat. Yang melihat figur yang mereka dukung adalah segala-galanya. Bahkan seperti figur setengah dewa. Pada akhirnya walaupun mungkin mereka memiliki kelebihan-kelebihan, tetapi tentunya, dan pastinya merekapun mempunyai kekurangan-kekurangan. Karena mereka bukan malaikat, ataupun Nabi yang ma’sum. Nabi yang ma’sum pun pernah ditegur oleh Allah Suhaanahu Wata’ala ketika terlihat menganggap remeh tamu orang tua miskin yang buta, yang dianggap lemah ketika pada waktu yang sama beliau sedang mencoba mengajak pembesar Quraish yang “powerful” untuk masuk Islam. Disini bahkan seorang Rasulpun mengalami sebuah proses “check and balance”. Dalam konteks politik Indonesia, khususnya pemilihan Presiden 2024 nanti, rakyat kebanyakan harus cerdas. Bahwa orang-orang yang akan ikut kontestasi pemilihan presiden tersebut adalah calon-calon pelayan publik yang perlu memberikan pelayanan yang terbaik untuk rakyat. Bukan para calon penguasa yang akan menjadi tuan-tuan mereka. Apalagi setelah duduk disinggasana, kekuasaan hanya bekerja mementingkan kelompok elite saja. Rakyat perlu menyadari bahwa dukungan mereka terbatas, jika para calon yang dipilihnya adalah benar-benar mempunyai pemihakan kepada rakyat banyak. Bisa berjuang untuk menegakkan sebuah sistim yang ber-Ketuhanan, berkemanusiaan, menjaga persatuan, menghargai musyawarah. Selain itu, akan berjuang untuk terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (esensi Pancasila). Sebuah cita-cita luhur yang tidak main-main. Sebuah upaya menegakan masyarakat egaliter yang didasarkan oleh nilai-nilai ke-Tuhanan, atau tentunya nilai-nilai Tauhid bagi umat Islam. Rakyat dalam perjuangan politik yang seperti ini, perlu membuang jauh-jauh mental neo-feodal. Mental yang terlalu mengagung-agungkan para junjungannya. Padahal dalam konteks demokrasi modern, figur-figur yang tampil tersebut harus menjadi figur-figur yang mewakili kepentingan rakyat banyak. Figur-figur yang harus merasa lemah, jika tidak bisa menjaga kemaslahatan rakyat kebanyakan, ataupun kepentingan kelompok rakyat yang tertindas. Figur-figur yang harus merasa kuat dan bisa keras jika berhadapan dengan elite-elite yang justru membawa kemudharatan untuk rakyat banyak. Apalagi elite-elite yang mempunyai sifat menindas. Penulis adalah Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED).

Empat Plus Satu Wajah Jokowi

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (01/01). Jokowi itu Presiden dan semestinya memiliki satu wajah. Apakah ganteng atau setengah ganteng itulah wajahnya Jokowi. Kegantengan dimaksud adalah wajah kebijakan dan kualitas sebagai pengelolaan negara. Presiden dalam sistem kabinetdan pemerintahan presidensial, sangat menentukan dalam membentuk wajah Pemerintahan. Sejalan dengan pesannya bahwa tidak ada visi dan misi menteri. Yang ada adalah visi misi Presiden. Itu sanagat jelas dan tegas dinyatakan Jokowi. Hasil Riset kepuasan masyarakat yang dilakukan oleh lembaga riset SMRC milik Saiful Mujani mencapai angka spektakuler 74 % tingkat kepuasan. Sebagian publik yang terbaca dari komentar di media sosial (medsos) meragukan akurasi dan obyektivitas riset tersebut. Kesan sebagai hasil riset pesanan pun bermuncul dalam berbagai komentar. Sayang kita tidak memiliki alat atau lembaga kontrol yang dapat memberi sanksi kepada kerja riset yang bersifat tipu-tipu tersebut. Dampaknya adalah hasil riset yang seperti ini diperkirakan bakal muncul lagi ke masyarakat. Kondisi ini dapat dipahami. Apalagi selama pesanan masih berdatangan di tengah kondisi ekonomi yang resesi seperti sekarang. Wajah Jokowi tentu terlihat pada kinerja para menterinya. Tercatat empat Menteri terbaca oleh publik yang menggiring pada konklusi bahwa Pemerintahan Jokowi itu memang berwajah buruk. Disadari atau tidak, mestinya satu persatu wajah mereka dinilai, akan tetapi empat menteri ini yang mudah dan langsung terbaca publik. Pertama, Menteri Keuangan yang nampak kalang kabut karena hutang luar negeri mencapai sduah mencapai Rp. 6.000 triliun. Bunga tahun ini yang harus dibayar berjumlah Rp. 300 triliun. Untuk tahun 2021, bunga hutang dianggarkan sebesar Rp. 373,3 triliun. Sementara investasi jeblok, dan pertumbuhan ekonomi kuartal III tahun 2020 minus -3,49 %. Kedua, Menteri yang diberi gelar "atur segala urusan" Luhut Binsar Panjaitan. Menko Maritim dan Inveastasi (Marinvest) ini menjadi garda terdepan kerjasama dengan Republik Rakyat China (RRC). Program One Belt One Road (OBOR) menjadi andalannya. Rakyat masih pesimis bahwa kerjasama dengan RRC hanya ilusi. Bukan solusi. Konflik tenaga kerja Cina dengan pribumi menjadi sinyal dari instabilitas ke depan Pemerintahan Jokowi ke depan. Ketiga, Menteri Agama yang dianggap selalu memojokan umat Islam. Fakhrul Rozi terus kampanye soal radikalisme, intoleransi, dan ekstrimisme yang arahnya adalah umat Islam. Yaqut pengganti Rozi ribut untuk mengafirmasi Ahmadiyah dan Syi'ah yang dianggap sebagai ajaran sesat. Terakhir soal tekad untuk memerangi populisme Islam yang juga menyinggung perasaan umat Islam. Keempat, Mahfud MD Menko Politik, Hukum dan Kemanan (Polhukam). Cendekiawan dan Guru Besar yang awalnya banyak didengar karena "bijak" dan moralis. Setelah menjadi Menko, maka ucapannya mulai mencla-menclo. Lebih berposisi sebagai politisi ketimbang cendekiawan.Terakhir arogan, otoriter, dan menginjak-injak hukum dengan membubarkan dan melarang Front Pembela Islam (FPI). Disamping empat wajah itu, masih ada lagi wajah yang seram Hendropriyono. Orang ini jago main ancam. Merasa dirinya seperti masih menjadi tentara aktif saja. Mengancam yang menjadi pelindung anggota FPI, mengancam organisasi lain "tunggu giliran". Hendroprijono yang Jendral TNI (Purn.) Kehormatan (Hor.) ini merasa dan berprilaku laku seperti paling sendiri jago di republik ini. Jangan-jangan otak pembubaran dan pelarangan FPI datang darfi sang Guru Besar intelijen tersebut. Republik Indonesia seperti mau dibawa menjadi negara fasis, seperti zamannya Hitler, Mussolini, Tito, dan Stalin dulu. Seenaknya saja main ancam dan menakut-nakuti rakyat. Pak Hendroprijono kan bukan Mussolini, Hitler, Tito dan Stalin, yang bermodal kekuasaan dan senjata, sehingga bisa berbuat apa saja. Kemal Attaturk atau Ariel Sharon tak berdaya dan "ampun-ampunan" menghadapi sakaratul maut tuh. Jabatan dan kekuasaan bukan untuk gagah-gagahan. Tetapi amanah yang harus ditunaikan dengan adil. Begitulah konstitusi negara UUD 1945 membimbing dan memandu kita dalam berbangsa dan bernegara. Hebatnya para pendiri bangsa meninggalkan warisan terbesar dan terbaik untuk anak cucunya. Jika tidak berlaku adil, maka akibatnya adalah penyesalan. Mantan Menkopolkam Sudomo saat diperiksa Komnas HAM menyatakan bahwa peristiwa pembantaian di Pesantren Talang Sari Lampung itu yang bertanggungjawab adalah Danrem Garuda Hitam 043. Lala siapa yang menjabat Danrem Garuda Hitam Lampung? Dialah Kolonel TNI. Hendropriyono. Jadi, kini semakin nampak jelas empat plus satu wajah Jokowi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Catatan Akhir Tahun, Tak Ada Yang Berubah

by Dr. Ahmad Yani, SH. MH. Jakarta FNN – Kamis (31/12). Kita sudah di penghujung tahun 2020 dalam hitungan Masehi dan Fajar 2021 akan segera menyingsing. Bagi orang yang beriman dan berakal dalam beberapa kesempatan dan waktu, hendaklah berhenti sejenak untuk muhasabah atau menghitung-hitung diri dan amal yang telah dilakukan pada hari-hari yang lalu. Kemudian berusaha memperkuat keinginan untuk dapat memperbaiki dan menambah amal kebaikan untuk bekal hari esok. Pada hari kemarin (Sepanjang 2020) kita banyak menghadapi cobaan-cobaan yang sedemikian dahsyat. Kita berhadapan dengan Covid-19, suatu penyakit yang telah merenggut nyawa lebih dari 21 ribu manusia Indonesia. Wabah ini tidak hanya menyerang kesehatan kita. Tetapi juga menyerang ekonomi dan semua kehidupan kita. Dan yang paling terasa akibat Wabah ini adalah ekonomi rakyat. Covid-19 telah melumpuhkan aktivitas ekonomi. Membawa Indonesia pada jurang resesi dan krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang demikian itu membawa dampak sosial. Sebab dalam situasi krisis, frustasi dan kelaparan akan terus menghantui kehidupan masyarakat. PBB bahkan sudah mengingatkan bahwa krisis ini telah membunuh sekitar 10.000 anak per bulan karena pasokan makanan yang terputus antara pertanian-pasar dan desa-desa yang terisolasi dari bantuan makanan dan medis. Dan sekitar 7 juta orang meninggal karena kelaparan di seluruh dunia. Indonesia baru-baru ini terjadi di Nias Sumatera Utara. Seorang Ibu tega membunuh tiga orang anaknya akibat himpitan ekonomi. Pembunuhan sadis itu menjadi cerminan bagi kita. Kalau seseorang terhimpit ekonomi, lebih bersedia menanggung hukuman daripada menanggung derita himpitan ekonomi. Setelah 75 tahun merdeka, ternyata persoalan itu menjadi persoalan pelik. Janji kesejahteraan nampaknya kehilangan peta jalan. Rakyat masih saja dengan kasus lama, yaitu menghadapi getirnya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Negara seakan tak mampu memberikan jawaban konkrit atas desakan keadaan masyarakat yang semakin kritis. Demikian pula kekuasaan. Meski telah banyak kekuasaan jatuh bangun, namun masalahnya tetap sama, rakyat masih tidak mendapatkan janji kemerdekaan itu. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Namun perubahan menuju indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur hanya menjadi slogan semata. Apa Problemnya? Sepanjang periodesasi kekuasaan semenjak Soekarno hingga Jokowi sekarang ini, bangsa ini hanya disibukkan dengan perebutan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Masyarakat dipecah belah untuk saling membenci demi memenuhi hasrat kekuasaan. Nafsu kekuasaan yang berlebihan membuat ingatan masa lalu terus hidup. Pertengkaran demi pertengkaran terus diproduksi. Para penguasa merasa senang dengan semua itu, untuk mempertahankan kekuasaannya. Maka lahirlah polarisasi dalam masyarakat dan permusuhan antar bangsa. Sementara persoalan ketidakadilan, korupsi, hutang, gempuran tenaga kerja asing, kekerasan aparat, tidak pernah jeda sedikitpun. Upaya untuk mencari jalan keluar dari semua problem itu sangat kecil. Malah justru memperlebar kekuasaan untuk menangkal protes publik dari segala permasalah itu. Problem Utama Masalah mendasar yang membuat bangsa ini sulit mencapai kemajuan sebenarnya bukan karena persoalan ekonomi atau politik saja. Tetapi yang paling mendasar adalah masalah ketidakadilan. Inilah hulu yang menyebabkan kesengsaraan sosial dan kesengsaraan ekonomi, kesengsaraan hukum, kesengsaraan moral dan kesengsaraan lainnya yang dirasakan bangsa ini. Terjadi kesenjangan sosial yang tak kunjung teratasi antara kelompok kaya dengan miskin. Bidang ekonomi, kehidupan dirasakan semakin berat. Bidang hukum, kesengsaraan akibat hukum tumpul ke golongan yang kuat dan tajam ke yang lemah. Efeknya HAM tidak dihiraukan. Betapa mudahnya mengeksekusi mati manusia tanpa pengadilan, menangkap dan memenjarakan pikiran manusia. Berbagai bidang kerusakan inilah yang disebut kerusakan moral. Kehidupan bangsa hampir tanpa rujukan moral. Kita seperti bangsa yang tak memiliki moral. Ketergantungan pada bangsa asing. Hutang yang sudah menumpuk dan pengepungan bangsa asing melalui tenaga kerja Asing tak dapat diatasi lagi. Ketidakadilan ini terasa sangat menyengat. Dari tahun ke tahun, penguasaan ribuan hektare lahan oleh segelintir orang. Sayangnya, selama itu pula belum ada solusi yang bisa memenuhi rasa keadilan bagi rakyat banyak. Masalahnya masih sama, yaitu ketidakadilan sosial. Apakah kita masih menjunjung tinggi negara Pancasila sebagai falsafah berbangsa dan bernegara? Kalau memang kita masih berpegang pada Pancasila, kenapa keadilan sosial masih yatim-piatu? Korupsi Yang Masih Akut Penyebab lain adalah korupsi yang masih akut. Kasus suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan Politisi Harun Masiku, yang sampai saat ini belum diketahui dimana rimbanya. Kasus itu belum terungkap dengan jelas, karena dana diduga mengalir ke petinggi partai politik tertentu. Lebih mencengangkan dalam satu bulan dua orang menteri ditangkap KPK karena Korupsi. Lebih mengiriskan hati kita semua, terjadi korupsi bantuan sosial ditengah rakyat yang teriak kelaparan. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhi Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Menurut Majalah Tempo, korupsi dana bansos itu mengalir ke partai tertentu, dan orang-orang yang berhubungan dengan kekuasaan. Ketika rakyat terbebani dengan bencana, masih saja ada oknum yang tak bermoral terus melakukan upaya untuk meraup keuntungan sendiri demi memenuhi ambisinya. Kekerasan Negara Guna melindungi kekuasaan dari protes akibat ketidakadilan dan korupsi, maka digunakan cara-cara kekerasan. Ada kekerasan sosial, kekerasan ekonomi, kekerasan politik dan kekerasan hukum. Masyarakat yang paling bawah mengalami kekerasan itu secara simultan. Berbagai kasus kekerasan sosial telah dan sedang terjadi, menghantam aktivis lingkungan, aktivis politik dan aktivis HAM. Salah satunya adalah kematian 6 Laskar Front Pembela Islam (FPI) dapat dianggap sebagai kekerasan negara terhadap warga negara. Penembakan yang terjadi di kilometer 50 itu, sampai hari ini belum menemukan titik terang. Kenapa mereka dibunuh? Jawaban yang dapat kita duga adalah keterlibatan negara dalam kekerasan tersebut. Setelah "anak buahnya" ditembak mati, pimpinan FPI HRS ditangkap dengan tuduhan menghasut kerumunan. Pesantren FPI di Megamendung Bogor ingin diambil negara dengan alasan penguasaan tanah secara ilegal. Padahal menurut pengakuan FPI tanah itu sudah dibeli dari masyarakat. Mirisnya, ketika lahan dikuasai oleh korporasi besar yang jumlahnya mencapai 80%, namun hanya bangunan pesantren yang dipersoalkan. Ini ketidakadilan yang terang benderang. Yang lebih mencengangkan dipenghujung tahun 2020 tepatnya 30 Desember 2020 pemerintah mengambil keputusan yang akan sulit dilupakan dalam ingatan oleh 7 juta orang anggota FPI dan Jutaan masyarakat Indonesia baik yang simpatisan maupun yang menginginkan tegaknya rule of law dan keadilan. Yaitu mengeluarkan larangan berkegiatan bagi Front Pembela Islam (FPI). Ada tiga alasan pembubaran FPI versi pemerintah. Pertama, adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dimaksudkan untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar negara, yakni Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kedua, isi anggaran dasar FPI dinyatakan bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Ormas. Ketiga, Keputusan Mendagri Nomor 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 tanggal 20 Juni 2014 tentang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI sebagai ormas berlaku sampai 20 Juni 2019 dan sampai saat ini belum memenuhi syarat untuk memperpanjang SKT. Karena itu secara de jure terhitung mulai tanggal 21 Juni 2019 Front Pembela Islam dianggap bubar. Padahal dalam Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945. Penjatuhan sanksi, pelarangan kegiatan, ataupun pembubaran organisasi secara sepihak oleh negara dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum, sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, membatasi kebebasan sipil, serta berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi. Oleh karena itu peristiwa pembubaran FPI dapat dianggap sebagai kekerasan negara, karena tidak menggunakan prosedur hukum yang berlaku. Kekerasan negara juga terjadi ketika mahasiswa dan aktivis melakukan protes massal. Tak jarang terjadi kekerasan dari aparat. Kekerasan pada saat penolakan Undang-undang Omnibus Law, kekerasan ketika penolakan Revisi UU KPK yang menyebabkan 2 orang meninggal dunia di kendari. Begitu juga kekerasan terhadap aktivis lingkungan dan masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap represifnya kekuasaan akibat penggusuran dan penguasaan lahan oleh korporasi besar. Pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan tidak pro rakyat kecil memompa protes rakyat diberbagai wilayah. Krisis dan Utang Kita sudah mengalami krisis ekonomi. Pemerintah telah mengumumkan bahwa Indonesia telah masuk ke jurang resesi ekonomi. Dampak dari resesi ini akan menyebabkan pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan semakin melebar. Sementara itu, utang negara sudah mencapai Rp 6. 000 triliun. Hutang yang terus meningkat itu menurut Rizal Ramli akan memperparah kondisi perekonimian nasional. Karena uang hasil utang dipergunakan untuk membayar hutang. Setelah utang terus meningkat, justru pertumbuhan ekonomi turun. Berarti ada masalah pada penggunaan dana yang berasal dari utang. Ada ketidakefektifan dalam menggunakan hutang itu. Menurut ekonom Faisal Basri, Pemerintahan Jokowi terlalu boros menggunakan hutang. Hingga Jusuf Kalla mengatakan Indonesia menggunakan hutang untuk bayar hutang. Sulitnya Indonesia keluar dari jebakan hutan dan krisis memperpanjang dan memperlebar kemiskinan dalam negeri. Hingga sampai saat ini kesenjangan dan kemiskinan masih menjadi problem utama. Melihat Indonesia 2021 Yang terekam di tahun 2020 adalah masalah dan masalah saja. Mulai dari persoalan ekonomi, sosial, politik dan hukum yang terasa tidak adil. Lalu Seperti apa kita memprediksi keadaan 2021? Semua problem yang terjadi selama tahun 2020 belum teratasi. belum ada yang dituntaskan satu pun. Kita dapat lihat bahwa Tahun 2021, Indonesia tidak akan banyak yang berubah. Masih berkutat pada masalah krisis ekonomi yang diprediksi akan semakin memburuk di tahun 2021. Masalah pelanggaran HAM, masalah polarisasi di tengah masyarakat, dan masalah kesenjangan lainnya. Diperparah lagi dengan Covid-19 belum kunjung di atasi, bahkan keadaannya makin tak menentu. Sementara masyarakat banyak yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan akibat virus ini. Menurut saya, 2021 hanya akan berubah apabila ada suksesi nasional. Ada perubahan penting yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Karena selama pemerintah masih mementingkan kekuasaan ketimbang keselamatan dan kesejahteraan negara, selama itu pula perubahan tidak akan pernah datang. Sebagai orang yang beriman, perubahan itu niscaya. Siapa yang lebih baik dari hari kemarin adalah mereka yang beruntung. Tetapi apabila ia masih sama seperti hari kemarin maka ia merugi. Semoga kita bukan orang yang rugi itu. Wallahu Alam bisshawab. Penulis adalah Dosen FH, Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Advokat.

Data Keliru Yang Dipakai Untuk Pembubaran FPI

Lebih fatal lagi nih Menkopolkam, jika saya kasih data hasil penelitian juga. Dari Kemenham tahun 2019 yang menyimpulkan bahwa ada sekitar 3% prajurit TNI yang terpapar radikalisme. Itu artinya ada sekitar 12.000 anggota TNI dari total 400.000 TNI aktif terpapar radikalisme. Kalau begitu bubarkan dong TNI. Mau pak Mahfuzd bubarkan TNI? Lebih banyak dari anggota FPI loh jumlahnya yang terpapar atau beririsan. Begitulah kalau membuat kesimpulan yang fatal bukan? by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Kamis (31/12). Saya termenung sejenak. Lalu berfikir apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Republik ini? Benarkah FPI bersalah? Mengapa dibubarkan? Ada apa dibalik pembubaran FPI sampai-sampai dibubarkan melalui SKB (Surat Keputusan Bersama) enam pejabat negara. Tiga menteri dan tiga pejabat setingkat menteri? Secara sosiologis politik, FPI entitas organisasi kemasyarakatan (ormas). Sama dengan ormas-ormas lainya. Memahami Ormas Mungkin sudah pada lupa ya? Ada yang jadi Presiden karena tidak sedikit peran Relawan (mirip ormas juga) yang pada tahun 2014 dan 2019 kemarin, banyak yang melakukan kegiatan di tengah-tengah masyarakat, meski tidak memiliki legal standing (merujuk Mahfuzd MD bahwa yang tidak punya legal standing ya tidak legal). Tahun 2014 lalu, banyak organisasi masyarakat berwujud relawan yang tak memiliki legalitas. Kemudian berlanjut tahun 2019. Dibalik relawan, tidak sedikit yang terkoneksi dengsn buzzer, atau kemungkinan besar ada juga buzzer yang dibiayai relawan. Jangan tanya siapa yang membiayai relawan? Ribut antar relawan di media sosial masih kenceng sampe hari ini. Tensi sosial masih tinggi. Siapa yang salah? Buzzernya atau yang membiayainya? Atau relawanya? Atau ormasnya? Silahkan buat kesimpulan sendiri saja. Mahfuzd MD mungkin juga lupa, dia bisa menjadi besar karena ormas, yaitu Ormas Nahdlatul Ulama (NU). Tanpa NU Mahfuzd MD tidak mungkin seperti saat ini. Sudah jadi pejabat. Tidak tangung-tanggung jabatanya Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Jika ditelusuri sesungguhnya Ormas telah memberi kontribusi besar dalam membangun negara, karena banyak melahirkan sumber daya manusia yang dibutuhkan negara. Sering juga kita melihat juga ormas membantu negara dalam situasi sulit, dari episode melawan penjajah, menghadapi bencana alam, hingga melawan Covid-19 sekarang. Sebab negara tidak cukup mampu bekerja atasi problem tanpa bantuan ormas. Silahkan cek apa sumbangan NU saat Indonesia hadapi musibah? Silahkan cek sumbangan Muhammadiyah saat tingkat pendidikan Indonesia masih rendah? Kalau mau nanya ini juga boleh, apa sumbangan ormas FPI saat Indonesia hadapi musibah? Dari musibah gempa, tsunami sampai covid-19? Silahkan di cek. Ormas secara natural adalah juga kanal dari kebutuhan sosiologis manusia yang tidak bisa dibendung. Apalagi dihilangkan secara paksa. Karena ormas melekat dengan keberadaan manusia itu sendiri sebagai mahluk sosial. Ormas adalah hak sosial setiap manusia, sekaligus setiap warga nega, karenanya UU Nomor 16 Tahun 2017 mewadahinya. Menurut Undang-Undang tentang Ormas tersebut, dalam pasal 1 disebutkan bahwa ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi,kesamaan kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demokrasi & Hak Berorganisasi Itulah sebabnya negara wajib memberi kebebasan pada warga negara untuk beserikat, berkumpul dan berorganisasi sebagaimana dijamin dalam pasal 28 UUD 1945. Para pendiri bangsa ini sejak kelahiran negara, secara progresif telah menetapkan hak-hak dasar setiap warga negara, termasuk hak berserikat, berkumpul dan berorganisasi. Melakukan represi terhadap ormas adalah kesalahan fatal. Bertentangan konstitusi UUD 1945, juga sekaligus bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Bukankah demokrasi itu gagasan tentang kebebasan yang terbentuk melalui sejarah panjang. Demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Termasuk di dalamnya kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan berorganisasi. Tentu Mahfuzd MD masih ingat gagasan penting Henry Bertram Mayo dalam An Introduction to Democratic Theory (1960). Bahwa ada prinsip-prinsip demokrasi tidak boleh diganggu, karena menjadi sebab mengapa suatu negara disebut mempraktekan sistem demokratis? Diantaranya mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman termasuk keanekaragaman organisasi masyarakat. Keadilan Hukum Dalam Perkara FPI Selain itu, negara wajib menjamin tegaknya keadilan. Keadilan dalam perkara hukum hanya boleh diputus di pengadilan. Pembubaran ormas itu perkara hukum. Sehingga hanya boleh diputuskan di meja pengadilan. Bukan di meja kekuasaan. Bukankah ada putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang didalamnya memuat argumen pembubaran ormas itu sepatutnya melalui Pengadilan? Ormas FPI bersalah atau tidak biarlah pengadilan yang akan memutuskan. Bukan penguasa. Indonesia ini negara hukum yang menganut konsepsi Rechstaat. Bukan machstaat (negara kekuasaan). Jika yang dipake adalah logika machstaat, ini kesalahan fatal dalam berdemokrasi. Terlalu banyak kesalahan fatal republik ini jika diurai satu persatu. Pemerintah terlalu menyibukan diri menghadapi FPI juga sudah kesalahan fatal. Sebab sesungguhnya masalah besar bangsa ini bukan di FPI. Tetapi amburadulnya tata kelola hadapi Covid-19. Korupsi yang merajalela. Kemiskinan yang terus bertambah. Ketidakadilan dan arogansi kekuasaan (neo- otoritarianisme). Pemerintah telah salah fokus (salfok). Saking salfoknya sampai buat SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga Menteri (Mendagri, Menkumham, Menkominfo dan tiga pejabat negara setingkat menteri Kepolisian, Kejaksaan dan BNPT) dibawah komando Menkopolkam Mahfuzd MD. SKB Salah Fatal: Data Meragukan Itupun SKB-nya yang dibuat terkait FPI salah fatal. Menyatakan FPI secara dejure bubar sejak 20 Juni 2019. Padahal ada putusan MK yang menyatakan bahwa negara tidak dapat memaksakan suatu organisasi untuk mendaftarkan diri dan memiliki SKT. Makanya, silahkan cek pertimbangan putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 angka (3.19.4). Jadi SKB yang dibuat kemarin, nyata-nyata bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah saya baca isi SKB enam pejabat itu, ternyata ada kesalahan fatal lainya. Misalnya soal 35 orang FPI terlibat tindak pidana terorisme yang disebutkan dalam pertimbangan SKB poin e. Datanya dari mana? Setelah saya cek kemungkinan besar datanya dari riset Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme yang dipimpin oleh Irjen Pol (Purn.) Benny Mamoto. Sebagai informasi, ternyata Benny Mamoto juga adalah Ketua Harian Kompolnas. Dalam suatu rilis riset tersebut, Benny Mamoto menyampaikan dokumen yang berjudul "37 Anggota Jaringan Terorisme Berlatar Belakang FPI". Kalau versi SKB Pembubaran dan Pelarangan FPI, ada 35 orang yang berlatar belakang FPI. Nah, ko angkanya jadi beda? Ada apa nih? Data riset tersebut, patut dipertanyakan dari sisi metodologi, karena tidak dikemukakan secara detail bagaimana data tersebut valid. Tidak juga dijelaskan, bagaimana triangulasi data dilakukan. Benny Mamoto hanya menyebutkan bahwa sumbernya dari laman pengadilan negeri, dengan meneliti satu persatu putusan. Ini patut untuk dipertanyakan metodologinya. Bagaimana bisa memastikan mereka adalah anggota FPI atau beririsan dengan FPI? Sebagai akademisi, saya penasaran saya baca siapa saja 37 orang temuan risetnya lembaga pimpinan Beny Mamoto tersebut. Secara umum datanya masih perlu diuji. Uniknya, ternyata saya baca di data tersebut ada 10 dari 37 orang tersebut, tidak disebutkan bagaimana hubungan mereka dengan FPI? Bagaimana juga mereka berkoneksi dan beririsan dengan FPI? Sepuluh orang yang dimaksud adalah (1) Ahmad Yosefa alias Hayat, ditangkap 2011, pelaku bom Gereja Pekuton September 2011, (2) Moch Ramuji alias Muji alias Ahmad alias Kapten alias Botak, ditangkap 13 Mei 2014, (3) Ali Azhari alias Jakfar alias Topan bin Daryono (Alm), ditangkap 1 April 2010, (4) Agus Abdillah alias Jodi, ditangkap 17 September 2012, Kemudian orang ke (5) adalah Syaiful Bahri Siregar alias Ipul alias Imam, ditangkap 9 Maret 2010, (6) Munir bin Ismail alias Abu Rimba alias Abu Uteun, ditangkap 17 Maret 2010, kasus pelatihan militer Aceh, kelompok Aceh 2010, (7) Taufik bin Marzuki alias Abu Sayaf alias Alex Nurdin Sulaiman bin Tarmizi ditangkap 29 September 2010, Selain itu, yang ke (8) Muhammad Shibghotullah bin Sarbani alias Mihdad alias Asim alias Mush'ab alias Kholid alias Hani alias Faisal Septya Wardan, ditangkap 11 Juni 2011, kelompok pelatihan militer Aceh, (9) Qoribul Mujib alias Pak Mujib alias Paklek alias Mujiono alias Abdul Sika alias Si Dul alias Muji, ditangkap 12 Juli 2012, dan (10) Sefariano alias Mambo alias Aryo alias Asep alias Dimasriano, ditangkap 2 Mei 2013, perencanaan bom kedubes Myanmar. Selain yang 10 tersebut, yang tidak disebutkan konektivitaanya dengan FPI, misalnya yang 27 lainya juga untuk perlu dibuka ke publik. Apakah benar mereka semua anggota FPI? Apakah benar mereka adalah pengurus FPI? Apakah benar mereka terkoneksi dengan FPI? Beririsan dengan FPI? Metodologi Keluru Sebagai akademisi, saya memahami metodologi ilmiah. Karenanya patut bertanya tentang validitas data yang disajikan Irjen Pol. (Purn.) Benny Mamoto tersebut. Apalagi persoalan FPI ini sudah menjadi konsumsi publik. Bagaimana memastikan mereka terhubung dengan FPI? Kalau hanya asumsi, lalu disimpulkan beririsan dengan FPI ini kesalahan fatal. Penyesatan yang sangat luar biasa. Betapa banyak anggota FPI itu beririsan dengan ormas NU (Nahdatul Ulama). Secara geneologi fiqih ibadah, tareqot dan tradisinya anggota FPI itu banyak beririsan dengan NU. Mereka tahlilan, qunut, marhabanan, yasinan dan lain-lain. Lalu apakah bisa saya harus simpulkan bahwa FPI itu NU? Karenanya terkoneksi dengan teroris? Kesimpulan yang kesalahanya fatal. Lebih fatal lagi nih Menkopolkam, jika saya kasih data hasil penelitian juga. Dari Kemenham tahun 2019 yang menyimpulkan bahwa ada sekitar 3% prajurit TNI yang terpapar radikalisme. Itu artinya ada sekitar 12.000 anggota TNI dari total 400.000 TNI aktif terpapar radikalisme. Kalau begitu bubarkan dong TNI. Mau pak Mahfuzd bubarkan TNI? Lebih banyak dari anggota FPI loh jumlahnya yang terpapar atau beririsan. Kesimpulan yang fatal bukan? Jika sebuah keputusan penting negara dibuat berbasis data yang tidak valid, keliru, bahkan sesat, saya khawatir akan makin membuat Indonesia berantakan. Saya juga khawatir, data yang tidak valid itu dianalisis dan disimpulkan. Apalagi oleh Jokowi dan Mahfuzd MD.Loh kok Jokowi ikut disebut? Yang jelas, di atasnya Mahfuzd MD itu ada Presiden. Betapa bahayanya sebuah keputusan negara bersumber dari data atau analisis yang keliru. Maaf, bukankah ini salah fatal mas Presiden ? Wallahu a'lam bishawab. Penulis adalah Analis Sosial Politik Uiveristas Negeri Jakarta.