NASIONAL
Pembunuhan Politik Jadi Pilihan Para Penguasa
by M Rizal Fadillah Bandung FNN -Terbunuhnya aktivis Munir Said Thalib beberapa tahun lalu, di masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, di pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan menuju Belanda adalah pembunuhan politik. Mungkin rezim takut selama studi di Belanda, Munir akan banyak membangun akses yang berefek pada sikap dunia pada pemerintah Indonesia. Tersangka yang divonis bersalah hanya almarhum Pollycarpus Budihari Prijanto, mantan pilot Gadura Indonesia. Sedangkan aktor intelektual beserta jaringan pembunuhannya, masih aman-aman saja. Masih aman-aman saja. Bahkan sampi dengan Pollycarpus keluar dari penjara, dan meninggal dunia mereka masih masih man-aman saja. Akibat pembunuhan politik? Sedangkan terbunuhnya secara sadis 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) bukan pembunuhan yang berkualifikasi biasa. Tetapi kualifikasinya adalah pelanggaran Hak Azasi manusia (HAM). Dimulai dari target dan kegiatan pengintaian dan pembuntutan yang dinilai tidak legal adalah Habib Rizieq Shihab (HRS). Kini HRS mendekam di tahanan. HRS dan FPI telah menjadi sasaran "pembantaian politik”. HRS ditempatkan sebagai lawan politik yang sanghat berbahaya. Bisa mengancam eksistensi dan keselamatan pemerintah Jokowi di tengah gagalnya penanganan Covid-19 dan resesi ekonomi yang semakin para. Belum lagi indeks tindak pidana korupsi yang semakin marak di era pemerintahan Jokowi. Korupsinya tidak tanggung-tanggung. Bantuan Sosial (Bansos) yang dikelola Kementerian Sosal bernilai trilunan rupiah, yang seharusnya diterima oleh masyarakat yang membutuhkan, malah dikorupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mensinyalis ada 17.760.000 paket Bansos kemungkinan bodong. Tidak sampai ke masyarakat, karena orangngnya tidak ada. Paket Bansos bodong 17.760.000 tersebut, terdidiri dari 16.700.000 paket, orangnya tidak mempunyai Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan 1.0.60.000 paket bansos lagi adalah NIK ganda. Jika satu paket Bansos senilai Rp 300.000,- maka totalnya senilai Rp Rp. 5,328 triliun. Itu baru data bodong saja. Terbunuhnya 6 anggota FPI yang menjadi pengawal HRS di masa pemerintahan Jokowi ini dapat juga disebut sebagai pembunuhan politik. Pebunuhan yang berusaha mengalihkan kegagalan pemerintahan Jokowi di berbagai bidang. Satu-satunya keberhasilan pemerintahan Jokowi hanya pembangunan infrastruktur. Itu pun dengan biaya yang harus dihitung ulang oleh auditor keuangan dan konstruksi. Hutang yang dibuat selama pemerintahan Jokowi enam tahun sudah Rp. 3.400 triliun. Banding dengan hutang sejak Indonesia merdeka sampai berakhir pemerintahan SBY sebesar Rp. 2.600 triliun. Sekarang total hutang pemerintah menjadi Rp 6.000 triliun. HRS yang sebelum ditahan tidak memiliki keluhan serius, namun selama ditahan nampak mulai sakit-sakitan. Kejutan saat terjadi sesak nafas berat yang berimplikasi pada perlunya dampingan tabung oksigen. Kini perdebatan terjadi antara perlu tidaknya HRS dirawat di Rumah Sakit. Meskipun semua nampak berjalan normal-normal, namun bisa saja ada pihak-pihak tertentu yang menghendaki bukan saja FPI beserta rekeningnya yang habis, tetapi juga HRS harus habis. Tidak kurang dari 70-an rekening bank yang terkait dengan HRS dan FPI kini dibekukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pembunuhan politik kerap terjadi, meski pada umumnya tak terungkap tuntas. Jaksa Agung pertama Gatot Taruna Mihardja di masa pemerintahan Soekarno dikenal tegas dalam membongkar kasus korupsi. Gatot ditahan dan mengalami percobaan pembunuhan dengan penabrakan mobil. Pada masa pemerintahan Soeharto, Jaksa Agung Kabinet Pembangunan V Sukarton Marmo Sudjono juga gencar dalam membongkar kasus-kasus korupsi. Program penayangan wajah koruptor di TVRI tiba-tiba terhenti dengan meninggal mendadaknya Sukarton Marmo Sudjono secara misterius. Di masa pemerintahan Gus Dur, meninggal yang mencurigakan di Riyadh Arab Saudi, mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung yang dikenal jujur, bersih dan tegas dalam memberantas korupsi Baharudin Lopa. Kita teringat dengan Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita yang mengadili kasusu korupsi, tewas ditembak 4 orang tak dikenal pada tahun 2001. Urusan korupsi selalu bersahabat dengan kekuasaan. Harun Masiku kader PDIP yang tersangkut kasus suap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, hilang secara misterius sampai sekarang. Mulai muncul informasi liar hahwa Harun Masiku telah meninggal. Dugaan dalam rangka penghilangan jejak-jejak yang terkait dengan fihak-fihak yang terlibat. Bila benar, maka inipun menjadi bagian dari apa yang disebut pembunuhan politik. Tidak mudah untuk membongkar pembunuhan bermotif politik. Karena biasanya hal yang demikian menjadi kegiatan atau bagian dari operasi intelijen, baik resmi ataupun tidak. Pembunuhan adalah puncak dari teror dan tekanan. Sebab pembunuhan politik terkadang menjadi pilihan paling aman para penguasa untuk mengamankan kekuasaannya. Nisan aktivis pejuang hak sipil Amerika Martin Luther King yang juga menjadi korban pembunuhan politik, bertuliskan "Free at last, free at last. Thank God Almighty, I'am free at last". Luther pun terbebas dari intaian FBI dan tekanan berat politik kekuasaan. Politik kekuasaan kriminal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Mungkinkah Kapolri Baru Tolak Perintah Presiden?
by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN - Apakah Kapolri baru nanti mengerti hakikat republik? Apakah Kapolri nanti mengerti hakikat polisi negara apa? Apakah Kapolri baru nanti mengerti hakikat rule of law? Apakah Kapolri baru nanti berpaham Presiden sama dengan negara? Apakah Kapolri nanti menyamakan perintah Presiden itu sama dengan perintah hukum? Bagaimana pemahaman Kapolri mengenai konsep ketertiban dan keamanan dalam kerangka negara hukum demokratis? Apakah Kapolri baru nanti mengerti sepenuhnya konteks dan hakikat salus populi suprema lex esto? Bagaimana dia kerangkakan salus populi suprema lex esto itu ke dalam rule of law? Apakah Kapolri baru nanti memahami hukum sebatas teks pasal? Semoga hal-hal itulah yang ditanyakan oleh DPR kepadanya pada waktu fit and proper test nanti. Dulu Pernah Ada Jendral Polisi Hoegeng, tidak banyak bicara soal itu. Tetapi untuk alasan sengeyel apapun, tak bakal mampu menyangkal kenyataan pria ini memiliki kelas dan mengagumkan. Level tak tertandingi sejauh ini. Bukan kesederhanaannya saja yang membuatnya berkelas, tetapi lebih dari itu. Prinsipnya jelas. Berada dalam koridor kekuasaan, yang semua orang picik berebut berada di dalamnya. Menggenggam dengan cara yang khas orang-orang kecil, Pak Hoegeng, justru menjauh darinya. Top Pak Hoegeng, yang tak mampu, sekadar basa-basi saja, menyenangkan bosnya, Presiden Soeharto. Hoegeng dikenang orang hingga di kabupaten Sula, Maluku Utara ini, orang hebat. Ia tak mereandahkan harga dirinya. Tak mampu membebek, membungkuk agar bisa terus berada di koridor kekuasaan. Bapak yang kehormatan selalu bergerak menujunya, memeluknya, hebat sekali. Pak Hoegeng itu konsisten. Laksana busur pemanah kawakan. Dua peristiwa berat secara politik, ia tangani dengan cerdas. Kasus seorang anak pembesar di Yogya, dan kasus penyelundupan mobil mewah di Jakarta, yang bertali-temali dengan pembesar-pembesar politik, rontok di tangan pria lembut dan murah senyum ini. Mungkin terlihat bodoh bagi para pembebek. Untuk para hamba kekuasaan dan uang, Pak Hoegeng akhir terlempar dari jabatannya. Diberhentikan oleh Pak Harto. Apa yang membuatnya begitu kukuh menggenggam kejujuran, keadilan dan kesederhanaannya? Tak ada yang tahu. Ada kata-kata muitiara dari Ating, tulis Aris Santoso , DKK, dalam bukunya Hoengeng, yang terus melekat di benak Hoegeng. “Kekuasaan ibarat pedang bermata dua. Kalau tidak pandai menggunakannya, maka bisa mendatangkan bahaya, baik pada pemiliknya, maupun orang lain. Ingat, tulis Aris Santoso Dkk, melanjutkan kata-kata bijak Ating yang melekat pada Hoegeng, “hanya orang berilmu yang mampu menggunakan kekuasaan yang ada ditangannya, untuk menolong orang-orang yang lemah dan tidak bersalah” (tanda petik dari saya). Karena itu, Hoegeng harus sekolah baik untuk menjadi Polisi, untuk menolong orang lemah yang tidak bersalah. Pria Pekalongan ini, memang pantas menjadi alamat untuk kehormatan. Pria kelahiran 14 Oktober 1921, dan berpulang ke rahmatullah tanggal 14 Juli 2004, akan selalu begitu. Dia dirindukan orang waras, cinta kejujuran, kebenaran dan keadilan setiap kali melihat diksriminasi hukum, lembut atau ekstrim. Ada Pak Hoegeng, semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu melimpahkan Rahim-nya, juga Pak Prapto, Jaksa Agung 1950-1959. Prapto, pria kelahiran 2 Maret 1894 pernah bertugas diberbagai tempat. Pernah menajdi voorzitter pada Landraad Banyuwangi, Singaraja, Bali, dan Lombok pada tahun 1920 hingga 1929. Dia juga pernah menjadi hakim di Salatiga dan Pekalongan pada tahun 1941-1942, dan Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada tahun 1948. Lima bulan menjadi hakim Agung (20 Juli 1950), Soeprapto diangkat menjadi Jaksa Agung. Pengangkatan ini dituangkan dalam Kepres No. 64 pada 2 Desember 1950. Bening dengan kejujuran, berkilau dengan keadilannya, Pria ini menolak perintah Presiden Soekarno, untuk satu urusan kecil, tetapi penting. Soeprapto menolak melaksanakan perintah Bung Karno, yang menurut penilaiannya bertentangan dengan hukum. Perintah Bung Karno itu adalah menindak Mochtar Lubis, penanggung jawab Harian Indonesia Raya. Karena berita-beritanya Harian Indonesia Raya yang dinilai mencemarkan nama baik Bung Karno, ditolak Prapto. Jauh setelah masa keduanya, tata negara dan politik Indonesia menemukan Pak Jendral Suroyo Bimantoro. Kapolri yang satu ini juga top. Sikapnya menolak melaksanakan tindakan atau perintah Presiden, jelas. Pria pintar ini, begitu kukuh menjaga marwah konstitusi dan eksistensi Kepolisian. Top. Agungkan Konstitusi Pak Hoogeng dan Pak Prapto, jelas, teladan dunia hukum negeri ini. Diseberang jauh, dunia baru saja menyaksikan kebesaran Mark Esper, Menteri Pertahanan Donald Trump ini memutuskan hubungan dengan Trump setelah secara terbuka menentang permohonan Insurection Act of 1807, terkait perintah Trump untuk penempatan pasukan aktif di kota-kota Amerika. Esper mengatakan bahwa "Pengawal Nasional paling cocok untuk melakukan dukungan domestik kepada otoritas sipil.” Saya mengatakan ini tidak hanya sebagai Menteri Pertahanan. Saya mengatakan ini juga sebagai mantan tentara, dan mantan anggota Garda Nasional. Pilihan untuk menggunakan pasukan aktif dalam peran penegakan hukum sebaiknya hanya digunakan sebagai pilihan terakhir, dan hanya dalam dan situasi yang mengerikan. Top markotop Mark Esper. Kami, kata Esper, tidak berada dalam salah satu situasi itu sekarang. Saya tidak mendukung penerapan Insurrection Act. "Hebat, Esper menemukan langkah-langkah di hari-hari berikutnya untuk lebih menurunkan situasi. Esper mengembalikan pasukan ke pangkalan mereka tanpa memberi tahu Gedung Putih. Dia begitu faham konstitusi. Sehingga dia faham dan tunduk hanya kepada konstitusi, juga prinsip-prinsip demokrasi. Super top Mark Esper. Lain Esper, lain pula Jeffrey Rosen, Deputy Attorney General, meninggalkan jabatan yang disandangnya, setelah lebih dari tiga puluh tahun berkarir di kementerian ini. Rosen memutuskan meninggalkan jabatannya, karena satu alasan yang khas konstitutional. Rosen menilai William Barr, Bosnya, telah menggunakan, mendedikasikan kementerian untuk kepentingan politik Trump, bukan untuk konstitusi. Tragis, William Barr, sang Jaksa Agung, akhirnya juga frustrasi dengan perintah Trump. Karena Trump perintahkan Barr untuk menyediliki kecurangan pemilu, yang ternyata tidak ditemukan, justru membuat Trumph marah. Trumph juga marah, karena Barr dinilai tidak tuntas mengusut Hunter Biden, anak Joe Biden, Presiden terpilih. Frustrasi dengan perintah Trump yang menyebalkan berbagai kalangan sejauh ini, karena dinilai merusak konstitusi, Barr kehilangan kemampuannya menjadi jongos Trump. Harga dirinya bergerak naik, dan menguat melemahkan energinya melayani administrasi Trumph. Barr akhirnya menemukan dirinya sebagai laki-laki terhormat. Dia memilih meletakan jabatan itu. Selalu seperti sebelumnya, Trump mempersilahkannya, sembari mengucapkan terima kasih, member pujian politis kepada Bar (Lihat Spectrum News, Com. 23/12/2020). Kepala polisi Capitol AS dan dua pejabat keamanan senior, juga memperlihatkan level integritasnya yang sama. Menyusul pendudukan dan pengrusakan Capitol Hill, mereka mengundurkan diri. Apalagi seiring terjadinya peristiwa jorok itu, kritik masyarakat bergerak naik. Polisi dinilai ceroboh menangani serangan kejam pendukung Trump terhadap Capitol Hill. Nancy Pelosi, House Speker dari Demokrat, terlepas dari kenyataan dirinya cukup sering berseberangan dengan Trump, mengecem aksi ini. Tidak sendirian di barisan, tokoh senior lainnyapun mengecamnya. Steven Sund, Kepala Polisi Capitol Hill, tidak ngeyel khas polisi-polisi kerdil, untuk kelalaiannya itu. Dia mengundurkan diri dari jabatan itu, terhitung efektif mulai 16 Januari nanti (The Guardian, 8/1/2021). Presiden, dalam semua republik, tidak dapat disamakan, apapun alasannya, dengan konstitusi. Presiden tidak sama dengan hukum, apalagi hukum itu sendiri. Presiden adalah nama jabatan, yang pemangkunya (orangnya) dibebankan kewajiban melaksanakan konstitusi. Melaksanakannya juga harus adil. Adil mensyaratkan presiden harus transparan, dengan argumen-argumen konstitusi. Presiden juga harus tahu dignity, dan humanity. Dia harus tahu equality before the law dalam semua aspek kehidupan. Presiden, harus tahu Polisi kita, dengan argumentasi apapun, tidak bisa dikonstruksi menjadi Polisi Presiden Republik Indonesia. Betul, presiden adalah satu-satunya figur tata negara memegang kewenangan melaksanakan hukum. Betul itu. Tetapi Polisi kita, bukan Polisi presiden. Kepolisian kita adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Itulah status konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 kepada Kepolisian Republik Indonesia. Sehingga Kapolri baru, siapapun dia, mau atau tidak mau, harus memahami prinsip-prinsip konstitusi itu. Kapolri baru, siapapun dia, mau atau tidak mau, harus mengikatkan diri sepenuhnya pada konstitusi. Kapolri baru, terlepas dari siapapun orangnya, harus mengkerangkakan norma “menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat” dalam UUD 1945 ke dalam konsep negara hukum yang demokratis. Konsep ini juga dinyatakan dalam UUD 1945. Polisi itu punya hukum dan bedil. Jaksa hanya punya hukum, tanpa bedil. TNI hanya punya bedil, tak punya hukum. Polisi, sekali lagi, memiliki kedua-duanya. Demi bangsa ini, kewenangan ini harus ditata. Ilmuan tata negara dan politik yang mendalami sejarah, mengerti aksioma sejarah dua alat itu. Aksioma itu sangat yang jelas. Bedil dan hukum selalu dipakai, dengan berbagai alasan khas rezim bejat, untuk memperbesar kekuasaannya. Melumpuhkan, memenjarakan dan membunuh orang-orang yang berseberangan dengan penguasa. Penguasa-penguasa bejat membentengi kekuasaannya, hanya dengan dua alat itu, hukum dan bedil. Aksioma itulah yang merangsang orang-orang bijak yang memimpikan demorasi menggariskan prinsip-prinsuip penggunaan hukum dan bedil. Harus ada restriksi. Tujuannya melindungi dan eksistensi rakyat. Akhirnya digariskan kewenangan menggunakan dua alat itu dapat diletakan hanya pada orang yang beres otak dan mentalnya. Bukan pada orang yang kaleng-kelang, odong-odong dan beleng-beleng. Terlalu sukar untuk tak menilai bahwa salus populi suprema lex esto, sejauh ini, telah dimaknai secara keliru. Doktrin ini terlihat konyol penerapannya. Main buntuti, tembak dan bunuh, sebagaimana yang menimpa enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI), harus dilihat sebagai bentuk kongkrit dari kekeliruan memahami salus polpuli suprema lex esto itu. DPR harus mengerti itu. Sebab gagasan itulah yang menjadi akar lahirnya fit and proper test. Secara praktis fit and proper test, merupakan cara politik rakyat mengecek level otak dan mental orang yang bakal memegang kewenangan itu. Darah yang tertumpah dan nyawa yang melayang di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) itu, yang menambah darah-darah yang telah lebih dahulu tumpah dan nyawa-nyawa yang telah lebih dahulu melayang, harus menjadi yang terakhir. Kesewenang-wenangan hukum harus diakhiri. Akankah sejarah hukum dan tata negara Indonesia kelak, menuliskan lagi nama seorang Kapolri, yang dengan cara halus, menolak melaksanakan perintah Presiden? Hanya karena perintah itu dinilai bertentangan dengan rule of law dan etika republik? Sejarah punya cara untuk membicarakannya. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Bedu Amang, Deklarator Pembubaran PKI di Jogya 1965
by Syaefudin Simon Jakarta FNN – Senin (11/01). Bedu Amang, panggilan akrab Abdurrahman untuk Suku Bugis di tahun 1965-an mengukir kisah yang heroik. Sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang juga pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Yogya sebelum dr. Sigiat, Beddu menjadi motor penggerak anti-PKI di Yogya tahun 1965. Ingat,,, Melawan PKI tahun 1965-1967 di Yogya bukan perkara mudah. Sebab PKI saat itu telah menguasai hampir seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Suasananya sangat mencekam, karena PKI mempelihatkan kekatannya di mana-mana. Semua DPRD Yogya dikuasai oleh PKI. Di Yogya, hanya ada 8 kantong Islam yang bertahan menolak PKI. Diantaranya Kauman, Notoprajan, Suronatan, Karangkajen Kadipaten Kulon, Pakualaman, dan Nitikan. Hanya daerah-daerah ini yang aman dari "kerumunan" PKI. Itu pun hampir tiap malam, 8 kantong Islam itu diteror oleh kader partai palu arit. Kader-kader PKI yang menguasai Yogya sering melakukan razia dan meneror orang yang melakukan sholat. Orang tak berani keluar rumah. Karena di jalan utama, arak-arakan kader PKI dengan yel-yel "Bubarkan HMI, Bunuh Penghisap Darah Rakyat, dan Habisi Tuan Tanah" terus menggema. Yang dimaksud dengan penghisap darah rakyat versi PKI adalah pengusaha muslim. Tuan tanah adalah kyai dan haji yang mengelola yayasan amal yang mempunyai tanah luas untuk sekolah Islam dan pesantren. Mahasiswa UGM, terutama anggota HMI, yang tinggal di Bulaksumur, Terban, dan Pingit, jika malam mengungsi ke salah satu kampung Islam tadi. Pak Dochak Latief bercerita, beliau ngekos di perumahan dosen UGM, Bulaksumur. Tetapi kalau malam mengungsi ke Kauman. Orang-orang CGMI, Pemuda Rakyat, Gerwani tiap malam kata Pak Dochak melakukan razia di pinggir jalan. Kalau tahu mahasiswa itu adalah aktivis HMI, maka bisa dibawa ke Posko Pemuda Rakyat. Jika sudah demikian, keselamatannya terancam. Begitu berkuasanya PKI di Yogya sehingga orang militer tertinggi, Kolonel Katamso dan Letnal Kolonel Sugiono, masing-masing Komandan Resort Militer Pamungkas dan wakilnya diculik dan dibunuh. Saat itu, awal awal Oktober 1965, Yogya sudah dikuasai militer Dewan Revolusi bentukan Letkol Untung. RRI Yogya sudah mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi dengan Ketua Mayor Mulyono, kepala staf administrasi di Korem Pamungkas. Mulyono ini pula yang memerintahkan penculikan terhadap Katamso dan Sugiono, yang notabene atasannya sebelum Letkol Untung membentuk Dewan Revolusi. Dalam kondisi itulah tokoh-tokoh HMI Yogya seperti Bedu Amang, Sugiyat, Tawang Alun, dan Amidhan mencari strategi untuk menyelamatkan umat Islam. HMI Cabang Yogya misalnya, mengutus Amidhan Shaberah menemui Sulastomo, Ketua PB HMI di Jakarta untuk melaporkan kondisi keamanan Yogya yang gawat dan dikuasai Dewan Revolusi. Sulastomo dikenal dekat dengan Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad yang mendapat mandat khusus dari Bung Karno untuk mengamankan Indonesia paska penculikan para jenderal. Dengan melaporkan peristiwa penculikan Katamso dan Sugiyono, harapannya Jenderal Soeharto segera mengamankan Yogya. Apalagi Sugiyono yang diculik PKI itu, pernah jadi asistennya Soeharto waktu peristiwa Serangan 1 Maret 1949 di Yogya. Perkiraan aktivis para HMI Yogya benar terjadi. Mendapat laporan suasana Yogya yang mencekam, Soeharto nengirimkan pasukan RPKAD ke Yogya. Begitu pasukan baret merah datang ke Yogya dengan peralatan militer lengkap, Bedu Amang ikut menyambutnya. HMI Yogya pun merapat ke pasukan pimpinan Sarwo Edhie Wibowo tersebut. Bedu Amang, saat itu Sekjen Front Pancasila, organisasi bentukan Pak De Dahlan Ranuwihardjo, sesepuh HMI yang dekat Bung Karno. Bedu Amang menginisiasi rapat akbar di alun-alun Utara Yogya, depan masjid Kauman pada 21 Oktober 1965. Bersama Saibani sebagai ketua Front Pancasila, Bedu Amang membacakan deklarasi pembubaran PKI di Yogya saat itu. Langkah Bedu Amang membuat Gempar. Karena Jakarta saja belum membubarkan PKI. Tetapi Front Pancasila Yogya sudah membubarkannya. Akibat deklarasi itu, kader-kader PKI marah kepada umat Islam. Delapan kantong Islam seperti disebutkan di atas, setiap malam dijaga pasukan RPKAD. Kedatangan pasukan baret merah tersebut, terutama kehadirannya di kantong-kantong Islam Yogya, menjadikan perlawanan umat terhadap CGMI, Pemuda Rakyat, dan Gerwani makin berani. Baru setelah Jenderal Soeharto mendapat Supersemar dari Bung Karno, sehari kemudian, 12 Maret PKI resmi dibubarkan. Yogya pun berangsur pulih. Sampai akhirnya benar-benar aman. Itulah salah satu momen penting perjuangan Bedu Amang di Yogya untuk menyelamatkan bangsa Indonesia. Abdurrahman atau Bedu Amang pejuang anti PKI, pernah menjadi Menteri Negara Urusan Pangan/Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) 1995-1998, alumnus Fakultas Pertanian UGM itu wafat Sabtu sore 9 Januari pukul 17.00 WIB dalam usia 85 di RS Pondok Indah Jakarta. Semoga amal ibadah Pak dan Abangda Bedu Amang diterima Allah Subhanahu Wata’ala, dan di sana mendapat tempat terbaik di sisi-NYA. Aamiin. Al-Fatihah untuk Pak dan Abangda Bedu Amang. Penulis adalah Aktivis HMI Yogya Komisariat FMIPA UGM.
Menolak Rekonsiliasi Semu
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (11/01). Sabtu kemarin (9/1) saya diundang Rekat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) binaan Jendral TNI (Purn.) Ryamizard Ryacudu. Ada 60 tokoh yang diundang. Mulai dari akademisi, aktifis, ulama, jenderal purnawirawan, ekonom, pengamat, hingga anggota DPR. Rekat menggagas tentang integrasi dan upaya menjaga keutuhan NKRI. Ini ide yang baik, sehingga mesti terus ditularkan ke semua jejaring anak bangsa. Semakin masif penularan, maka semakin banyak yang akan ikut memikirkan dan memikul tanggung jawab untuk mewujudkan Indonesia yang damai. Sayangnya, acara sebagus ini tidak banyak diliputi media. Dalam pertemuan itu, saya tidak berkesempatan untuk bicara. Diantaranya karena memang waktunya terbatas. Saya juga lebih suka diam dan memahami lebih dulu kemana arah Rekat ini. Apa gagasan yang akan dikontribusikan untuk masa depan bangsa. Sebab di undangan juga tidak disertakan tema yang akan jadi panduan dialog dalam pertemuan itu. Makanya diam, mendengarkan, dan menjadi pembelajar di tempat yang belum dikenal, akan lebih bijak. Alasan yang lebih jujur sesungguhnya, karena mungkin moderatornya, yaitu Dedi Gumelar (Miing) dan Fristian Griec tidak kenal saya. Mau kasih waktu gimana, kenal aja kagak. Hehe Melalui tulisan ini, saya ingin sedikit menyampaikan gagasan. Semoga tulisan ini sampai juga ke peserta diskusi Rekat sabtu kemarin. Terutama pimpinanya, Jenderal TNI (purn) Ryamizard Ryacudu. Tak lupa juga kepada host terkenal, Om Miing. Rekonsiliasi! Kata ini menjadi sakral akhir-akhir ini. Sering diperbincangkan, bahkan juga "mendadak" menjadi arus utama dalam diskusi Rekat kemarin. Kata "rekonsiliasi" tidak muncul tiba-tiba. Tentu, ada pemicunya. Yaitu keresahan bangsa atas kegaduhan sosial yang selama ini terjadi. Saya tak perlu merinci sumber kegaduhan itu. Semua sudah pada tau. Karena, dua belah pihak yang terbelah pasca pilpres 2019 saling klaim dan lempar tuduhan. Atas kegaduhan itu, sejumlah tokoh merekomendasikan untuk diadakan "rekonsiliasi nasional" . Antara siapa dan untuk apa? Dua pertanyaan ini harus lebih dulu dijawab. Kalau ada kebijakan, lalu dikritik. Apakah si pembuat kebijakan dan pengkritiknya harus rekonsiliasi? Tentu tak tepat. Tapi, kalau rekonsiliasi diartikan koalisi, nggak tepat juga. Rekonsiliasi memang tak harus berkoalisi. Tak harus, artinya boleh, sah dan mungkin bagus-bagus saja. Yang terpenting bukan koalisi menghasilkan apa. Tetapi jenis rekonsiliasi macam apa yang akan didesign untuk memberi kontribusi bagi masa depan bangsa. Kalau rekonsiliasi ujung-ujungnya bagi-bagi, itu koalisi namanya. Bukan rekonsiliasi. Jadi, kepentingan bangsa mesti jadi tujuan dasarnya. Rekonsiliasi, dalam pengertian yang sebenarnya, bisa menjadi solusi. Tetapi, ini sifatnya jangka pendek. Setidaknya, untuk sementara bisa meredam kegaduhan sosial. Tetapi, rekonsiliasi model seperti ini bersifat semu, jika ukurannya untuk orientasi jangka panjang. Konflik antar elit itu bersifat periodik. Pada pilpres 2024, identitas pemilih dan konstalasi politiknya juga akan berubah. Saat itu, atau setidaknya pasca 2024, situasi kemungkinan akan mencair. Karena itu, nggak perlu habiskan energi hanya untuk semata-mata mewujudkan rekonsiliasi. Ada sumber masalah yang sesungguhnya lebih serius dan mendasar untuk menjelaskan mengapa Indonesia mudah terpancing dan sering mengalami ketegangan sosial. Pertama, adanya kesenjangan ekonomi yang begitu lebar antara kelompok kaya dengan kelompok miskin. Ada ketidakadilan dalam distribusi kesejahteraan. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun, bapak sosiolog dunia, dianggap berpotensi memicu ketegangan Hanya sekitar 1% orang Indonesia menguasai 50% kekayaan bangsa Indonesia. Sekitar 10% menguasai lebih dari 70% kekayaan negara. Regulasi, kebijakan dan program pembangunan bangsa selama ini tidak berorientasi untuk mempersempit jarak kesenjangan itu. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Jurang perbedaan kekayaan yang semakin lebar. Kedua, hukum kita sudah jauh keluar dari karakter normatifnya. Pasal-pasal dalam undang-undang sudah tak aman lagi, dan menjadi perebutan oleh berbagai kepentingan. Diantaranya oleh kekuasaan, korporasi, pemilik uang. Bahkan penegak hukum itu sendiri sering menjadi salah satu pemainnya . Hukum seringkali menjadi arena adu kekuatan antar pihak. Dan wasitnya ikut menjadi pemain. Ketiga, sistem demokrasi telah melahirkan para politisi minus jiwa kenegarawanan. Politisi itu tunduk pada parpol. Sementara negarawan tunduk pada aturan dan kepentingan rakyat. Politisi berorientasi prestis. Sedangkan negarawan berorientasi prestasi untuk bangsa. Politisi menjadi pemimpin para pendukung. Negarawan tak lagi peduli dukungan. Politisi menari di atas konflik dan pencitraan, negarawan sibuk melakukan rekonsiliasi. Kesenjangan ekonomi, ketidakadilan hukum dan hadirnya banyak politisi minus mental kenegarawanan menjadi faktor utama mengapa gejolak sosial mudah mendapatkan triggernya. Dan ini tak akan berhenti menjadi ancaman bagi bangsa. Kalau Indonesia ingin damai, tiga PR tersebut harus segera diselesaikan. Kalau tidak, maka drama kekuasaan akan terus memainkan rakyat sebagai aktor lapangan yang akan selalu dibenturkan satu dengan yang lain. Disitulah kegaduhan sengaja dipelihara. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
"Mensos Lama" Dibui, "Mensos Baru" Dibully
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (07/01). Politisi PDIP Juliari Peter Batubara ditangkap Kimisi Pemberantasan Korupsi(KPK) melalui pengembangan dari Operasi Tangkap Tangan (OTT). Dugaan korupsi dana bansos di Kementerian Sosial. Nilai korupsnya Rp. 17 miliar, kata KPK. Tetapi, angka itu terus naik seiring perkembangan kasus. Pro kontra hukuman mati terus meramaiakan media. Juliari ditetapkan sebagai pelaku korupsi. Rakyat sepakat dengan KPK itu. Tetapi, Juliari juga diduga menjadi korban. Korban apa? Kabarnya, ada perintah setoran. Kepada siapa? Hanya KPK yang punya otoritas untuk membongkarnya, jika memang betul adanya. Itupun harus ada niat dan keberanian. Kalau nggak ada, maka akan menguap. Sudah tepat yang dilakukan presiden Jokowi. Mencopot dan mengganti Juliari Peter Batubara. Pengganti Juliari adalah Tri Risma Harini, Waliko Surabaya. Hanya beberapa pekan setelah Juliari diterapkan jadi tersangka. Bersih-bersih kabinet dilakukan Jokowi. Juliari masuk bui, digantikan Risma. Sama-sama dari PDIP. Kini, tugas Risma sangat berat. Pertama, mengembalikan nama baik PDIP. Partai dimana Risma berkarir. Kedua, menjaga nama presiden sebagai kepala negara yang membawahi semua kementerian. Tahun 2020 kemarin, ada sejumlah kader PDIP ditangkap KPK. Mulai dari kepala daerah hingga menteri. Penangkapan ini tantangan tersendiri bagi para kader PDIP yang sekarang menjadi pejabat publik. Mampukah mereka bekerja dan menjaga integritas? Butuh permbuktian nanti. Bukan janji manis. Portofolio mereka akan sangat berpengaruh pada marwah partai ke depan. Khususnya posisi Risma yang menggantikan Julian Batubara yang terjungkal, karena korupsi. Dengan popularitasnya, semua sepak terang Risma akan dipantau publik. Ini bisa menguntungkan buat PDIP. Tetapi jika kepleset, bisa bikin jeblok partai banteng ini. Pasca dilantik, Risma langsung tancap gas. Risma Keliling Jakarta menemui para gelandangan dan tuna wisma. Hari itu pula, Risma dibully pablik. Kenapa? Ibu Risma itu Mensos. Bukan Kepala Dinas Sosial Pemeerintah DKI. Begitu persepsi publik. Wilayah kerja Mensos itu nasional. Seluruh wilayah NKRI, dari Sabang sampai Merauke. Bukan hanya sebatas DKI saja. Tugas Mensos salah satunya membantu mensejahterakan rakyat miskin. Bukan mengumpulkan gelandangan dan tuna wisma. Mengawali dengan pendataan warga miskin. Mencari faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemiskinan. Lalu merumuskan program pengentasan kemiskinan. Memastikan kalau anak buah Risma bergerak mengikuti juklak dan juknisnya. Itulah tugas Mensos. Gelandang adalah sedikit dari jumlah orang miskin. Di luar Jakarta, angka kemiskinan lebih besar. Artinya, mereka menunggu ibu Mensos dengan bantuan-bantuan yang tepat. Bantuan yang betul-betul sampai ke tangan mereka yang miskin itu.. Ukuran keberhasilan Mensos bukan pada berapa kali bertemu dengan para gelandangan itu. Bukan pula berapa besar bantuan yang diberikan kepada para gelandangan itu. Apalagi cuma ongkos pulang kampung. Bukan itu. Sama sekali tidak bisa jadi ukuran. Sukses tidaknya Mensos akan diukur seberapa besar angka kemiskinan itu turun. Seberapa besar tingkat kesejahteraan masyarakat miskin mengalami perkembangan. Setahun, dua tahun, tiga tahun, bisa diukur datanya. Data-data itu bisa menjadi alat yang efektif jika mau dipakai untuk branding. Tentu, kemiskinan bukan tanggung jawab Mensos sendirian. Ada kepala daerah. Dalam skala yang lebih makro, ada Menko Perekonomian. Karena itu, perlu kolaborasi dan sinergi semua pihak. Nggak efektif jika berjalan sendiri-sendiri. Kalau maksain untuk jalan sendiri, bisa saja datanya tak valid. Sasaran bisa nggak tepat. Program jadi nggak terukur. Akibatnya, menteri pun dibully. Ini konsekuensi dari salah sasaran. Salah sasaran atau salah pencitraan? Ah, terserah lu aja deh. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Risma dan Tuna Wisma
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (06/01). Mamik dan Khusnul adalah dua dari sekian warga tuna wisma di Surabaya. Puluhan tahun tinggal di kolong jembatan. Mereka tak tersentuh oleh program kesejahteraan Pmerintah Kota Surabaya. Apakah Ibu Risma nggak pernah datang kesini? Tanya seorang wartawan Republika kepada Mamik. Tidak pernah, jawab Mimik. Jawabatan yang spontan, dan tanpa ragu. Jawaban yang sama juga keluar dari mulut Khusnul, penghuni Kolong Jalan Tol Waru-Tanjung Perak. "Nggak onok mas. Kok ngarepno bantuan. Lak nggak nggolek rosokan ya nggak mangan (Nggak ada mas. Kok mengharapkan bantuan. Kalau nggak cari rongsokan ya nggak makan). Di Surabaya, Kota dimana Risma pernah menjadi Walikota dua periode, ada 2.740 tuna wisma (2017). Angkanya hampir 0,1 persen dari jumlah penduduk Surabaya yang jumlahnya 2.808.306. Publik jadi ramai ketika Risma blusukan dan memburu tuna wisma di Jakarta. Kali ini bukan sebagai Walikota, tapi sebagai Mensos. Tuna wisma di Kota Surabaya aja keleleran, kok mau ngurusin yang di Jakarta. Begitu kira-kira pertanyaan publik. Sehari setelah dilantik, Risma langsung bekerja. Tak sabar. Pekerjaan pertama adalah mendatangi tuna wisma di sejumlah wilayah di Jakarta. Jitu, pas, dan langsung jumpa. Risma menemukan sejumlah tuna wisma itu. Entah tuna wisma dari mana. Isunya ada yang diimpor dari daerah tetangga. Kalau isu ini benar, siapa yang mengimpor? Uniknya, seolah mensos yang baru dilantik ini tahu seluk beluk kota Jakarta. Atau memang ada tim khusus yang menjadi EO-nya. Selama ini, belum pernah ada Mensos menggunakan "jurus blusukan". Tetapi, Risma memang sangat kreatif! Seandainya Risma tanya dulu ke dinas sosial Pemprov DKI, tentu akan dapat data yang lebih akurat. Sehingga tidak ketemu tuna wisma di Sudirman-Tamrin yang oleh publik dianggap aneh. "Sejak umur 4 tahun saya tinggal di Jakarta, baru dengar tuna wisma di Sudirman-Thamrin", kata Ariza Patria, Wakil Gubernur DKI Jakarta. Sayangnya, Risma sepertinya nggak sabar. Main turun ke lapangan tanpa berkoordinasi dengan pemilik wilayah. Publik bertanya-tanya, apakah ini memang disengaja untuk menyaingi Gubernur Jakarta? Risma seorang politisi. Jika langkahnya dianggap politis, itu wajar-wajar saja. Sebab di depan mata ada Pilgub DKI 2022/2024. Juga Pilpres 2024. Hanya saja, perlu cara-cara yang lebih elegan. Bukan hanya virus yang mengalami mutasi. Ternyata pencitraan juga harus mengalami mutasi. Mesti disesuaikan dengan zaman dan adab setempat. Blusukan dianggap sudah kuno. Publik sepertinya sudah muak dengan segala bungkus blusukan itu. Ada kerinduan rakyat terhadap program yang lebih substantif, jujur dan terukur. Terobosan out of the box. Loncat dari program-program yang lama dan usang. Karenanya, blusukan Risma mendapatkan banyak kritik dan bullyan. Artinya, respon publik negatif. Apapun langkah politis Risma, itu sah dan halal-halan saja. Hanya saja, tugas sebagai Mensos tidak boleh dinomorduakan Bu Risma. Ada semakin banyak jumlah rakyat miskin di Indonesia sekarang ini. Ada kesenjangan yang luar biasa lebar. Bahkan di daerah seperti Papua, Papua Barat dan NTT, masih ada ancaman busung lapar di depan mata. Daerah-daerah ini mesti mendapatkan perhatian yang lebih diprioritaskan oleh mensos. Bukan tuna wisma di Jakarta yang sesungguhnya sudah disiapin rusun oleh Pemprov DKI. Hanya ada sejumlah orang yang belum mau pindah, dan dalam proses pendekatan yang terus intens dilakukan. Tuna wisma dan gelandangan adalah bagian dari pemandangan khas kota-kota besar. Mereka umumnya adalah pendatang yang mengadu keberuntungan di kota-kota metropolitan. Biarlah ini menjadi tugas para kepala daerah masing-masing untuk mengatasinya. Jika Mensos ingin bantu, akan sangat efektif jika bersinergi dengan kepala-kepala daerah tersebut. Membangun program yang terkordinasi, bahkan terkolaborasi. Bukan malah berkompetisi! Penulis Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Ayo Bubar Bubar dan Bubar
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Rabu (06/01). Saat membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui Peraturan Pemerintah (Perppu) cukup ramai pembahasan. Baik aspek politik maupun hukum. Penggunaan Perppu adalah "akal-akalan" kemauan politik dengan menggunakan hukum. Pembubaran yang sepihak ini menyebabkan HTI kehilangan "legal standing" untuk melakukan perbuatan hukum, termasuk melakukan perlawanan. Inilah cara licik berpolitik penguasa sekarang. Alasannya adalah ideologi Khilafah yang bertentangan dengan Pancasila. Pembubaran kedua di era Pemerintahan Jokowi adalah Front Pembela Islam (FPI) atas target figur Habib Rizieq Shihab (HRS). Dengan prinsip "harus bubar", maka dicarilah dasar hukum terlemah dalam sejarah. Lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB). Padahal SKB, sama-sekali tidak dikenal dalam sistem hukum dan hirarki perundang-undang Indonesia. Tanpa ada kewenangan konstitusional, tiga menteri dan tiga petinggi negeri menandatangani SKB "pembubaran" organisasi yang "sudah bubar" secara hukum. Maklumat Kapolri dibuat untuk melengkapi pemberangusan. Padahal, jangankan cuma tiga menteri dan tiga pejabat tinggi negara. SKB semua menteri anggota kebinet, dan semua kepala lembaga negara Pemerintahn Jokowi sekalipun, tidak memiliki kekuatan hukum apapun. Menatara Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono yang mengancam pelindung mantan FPI dan mengultimatum organisasi lain "tunggu giliran". Pembubaran akan berlanjut ? Isu liar kemana-mana soal giliran berikut versi Hendro ada yang melempar ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun ada pula yang bilang Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tunggu giliran. Artinya elemen-elemen Islam yang hendak dilumpuhkan. Jika iya, tentu hal ini akan menjadi kezaliman rezim yang nyata. Misi ala penguasa sekuler atau Komunis sedang bekerja untuk membubarkan elemen-elemen Islam di negeri. Islam Phobia lagi bekerja keras, keras dan keras. Ormas atas dasar ideologi menjadi layak saja untuk dibubarkan. Karena sangat berbahaya adalah pengusung ideologi "Imamah" yaitu kelompok Syi'ah. Membahayakan bagi kewibawaan dan kelangsungan Pancasila. Ideologi Imamah sangat bertentangan dengan Pancasila. Ide Khilafah saja dimasalahkan. Apalagi Imamah yang nyata-nyata sangat berbahaya. Elemen prinsip ajaran dan perjuangan Syi'ah telah dinyatakan sesat oleh MUI dan berbagai organisasi Islam. Namun kini mendapat perlindungan dari kekuasaan. Aneh tapi nyata. Afiliasi atau pengorganisasian yang mesti dibubarkan itu adalah IJABI (Ikatan Jama'ah Ahlul Bait Indonesia) dan ABI ( Ahlul Bait Indonesia). Keberadaannya meresahkan umat Islam, karena elemen prinsip tersebut. Disamping Imamah, juga faham yang meyakini Qur'an tidak otentik (tahrif), yang mengaburkan makna hadits, menghina istri dan shahabat Rasulullah. Legalisasi zina lewat kawin kontrak, dan masih banyak lagi. Dalam kaitan partai politik, bukan saja PKS yang harus diributkan. Karena disamping tidak beralasan, juga sangat tendensius. Justru pilihan partai yang lebih layak dibubarkan adalah Pertai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Ada dua alasan mengapa PDIP harus dibubarkan. Pertama, jika alasan mutatis mutandis, dengan alasan pembubaran FPI, yakni keterlibatan anggota dengan kegiatan terorisme, maka PDIP adalah keterlibatan kader dengan kejahatan korupsi. PDIP adalah partai politik penyumbang terbesar pejabat korup. Kedua, jika tidak melakukan perubahan Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi, maka misi perjuangan PDIP terhitung tahun 2015 dinilai dapat merongrong kewibawaan dan eksistensi ideologi Pancasila. Konten misi Trisila dan Ekasila tidaklah dibenarkan secara politik dan hukum di negara Pancasila dan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945. Bila terus saja digelindingkan soal bubar, bubar, bubar, maka jangan-jangan ungkapan Indonesia bubar tahun 2030 bisa menjadi kenyataan. Apakah kelak menjadi negara yang terpecah-pecah? Atau NKRI yang berubah menjadi Negara Federasi? Jadi, jika pak Hendro beringas soal "tunggu giliran", maka rakyat dan bangsa Indonesia akan dan harus bermusyawarah serius tentang organisasi yang layak untuk segera dibubarkan. Satu catatan yang telah tergores adalah bahwa pemerintah terus bergeser dari pelaksanaan asas demokrasi ke arah oligarkhi, demokrasi terpimpin, dan otokrasi. Bahkan mengarah ke tirani dan otoriter. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Dosa Politik Mahfud MD
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (05/01). Andai direnungkan lebih dalam, maka pak Mahfud MD ternyata menjadi menteri yang paling sering bikin gaduh di masa jabatan kedua Pemerintah Jokowi. Kegaduhan ini di luar dugaan. Karena sang guru besar itu dikenal bukan orang yang radikal. Ada dua pernyataan yang pernah dikemukakan Mahfud MD yang dianggap radikal tersebut. Pertama, "pejabat yang sudah tidak dipercaya rakyat, sebaiknya mundur. Jangan tunggu sampai dimurkan”. Kedua, "malaikat sekalpun jika masuk sistem di Indonesia dapat berubah menjadi Iblis". Pada 10 Desember 2019 Prof. Mahfud MD menyatakan bahwa sejak reformasi 1998 tidak ada kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM). Banyak yang mengkritisi pernyataan ini. Sebab baru saja di bulan Mei pasca Piilpres 2019 sebanyak enam atau bahkan sembilan orang dinyatakan tewas dan teraniaya oleh aparat Kepolisian yang menangani unjuk rasa di depan kantor Pusat Bawaslu. Demikian juga soal Papua yang menurut laporan Amnesti Internasional, telah terjadi 69 kasus pembunuhan "unlawful killings". Bahkan sepanjang 2010 hingga 2018, tercatat 95 orang meninggal dunia. Sebagian besar dari mereka yang meninggal dunia akibat tindakan aparat keamanan. Meski Mahfud MD menyebut laporan Amnesti Internaional tersebut sebagai laporan sampah. Tetapi faktanya sekarang Papua telah menjadi masalah serius bagi bangsa Indonesia. Benny Wenda bahkan telah mengumumkan kemerdekaan Papua di Inggris. Bahkan Benny juga mengumkan dirinya sebagai Presiden sementara Papua Barat. Menghadapi Pandemi Covid 19 Mahfud MD bulan April 2020 lalu mengancam pemudik. Sampai-sampai jama'ah shalat tarawih untuk dapat dikenakan sanksi pidana karena dianggap melawan Pemerintah. Dengan menyentuh masalah sensitif keagamaan seperti ini Mahfud MD dinilai "off side". Masa mudik dan tarawih dianggap kriminal juga? Masyarakat khususnya umat Islam menolak keras proses penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Karena RUU ini disamping merongrong ideologi Pancasila, juga dinilai berbau Orde Lama. Bahkan memberi peluang bangkitnya kembali faham Komunis di Indonesia. Tak lama setelah proter yang ramai itu, Mahfud MD yang mewakili Pemerintah mengajukan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) "bodong" untuk meredam aksi. Buktinya RUU BPIP tidak menjadi agenda dalam pembahasan di DPR. Dewan sendiri bandel juga. Tetap mejadikan RUU HIP sebagai agenda prioritas Prolegnas tahun 2021. Terakhir, Pak Mahfud membacakan SKB pembubaran dan pelarangan Front Pembela Islam (FPI) sebagai suatu keputusan yang menginjak-injak hukum. Menzalimi FPI dengan menahan Habib Rizieq Shihab (HRS). Setelah itu, mengganggu aset pesantren, memblokir rekening, serta membantai 6 anggota Laskar FPI yang hingga kini masih dalam proses penyelidikan Komnas HAM. Sebagai Menkopolhukam. Prof Mahfud MD seyogyanya diharapkan mampu menjadi pengendali keamanan negara. Bukan sebagai pencipta kegaduhan politik dalam negara. Tampil paling depan untuk menjaga wibawa hukum, dan menegakkan keadilan. Tidak terlibat dalam melakukan perekayasaan hukum untuk kepentingan politik jangka pendek. Mereferensi pandangan bijak seorang negarawan moralis, bahwa apabila seorag pejabat sudah merasa tidak dipercaya oleh rakyat seharusnya mundur, maka berdasarkan Ketetapan MPR No VI tahun 2001 tentang Etika Berbangsa, sebaiknya Menkopolhukam Mahfud MD segera mengundurkan diri. Itu sebagai langkah yang lebih bermartabat dan mengagungkan. Pak Mahfud MD lebih baik menjadi Pakar Hukum Tata Negara saja. Atau menjadi cendekiawan muslim. Bisa menjadi mubaligh yang selalu memberi pencerahan di mimbar, daripada menjadi pejabat negara. Bergaul dengan Malaikat itu lebih membuka pintu bagi keselamatan dan keberkahan. Ruangan yang paling cocok untuk pak Mahfud MD bukan di Pemerintahan. Banyak sekali gangguan yang mengharuskan Pak Mahfydz untuk selalu berlindung dari segala godaan syaetan yang terkutuk. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Menyoal Peran Pemimpin Tertinggi NKRI Terkait Pembubaran FPI
by Dr. marwan Batubara Jakarta FNN – Selasa (05/01). Pemerintah membubarkan FPI melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Kementerian dan tiga Lembaga Negara. SKB Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Kepala BNPT pada 30 Desember 2020. Pengumuman dipimpin Menko Polhukam Mahfud M.D. SKB bernomor banyak, yakni No.220-4780/2020, No.M.HH-14.HH05.05/2020, No.690/2020, No.264/2020, No.KB/3/XII 2020, dan No.320/2020, tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut serta Pemberhentian Kegiatan FPI. Bagi FPI dan para pendukung, sikap otoriter pemerintah terhadap FPI, dan kalangan ummat Islam yang berbeda pandangan atau bersikap kritis terhadap penyelenggaraan negara sudah menjadi hal yang biasa. “Anomali” tersebut sudah menjadi “makanan rutin” sehari-hari. Karena itu, kita tidak perlu heran, mengeluh, menyesal atau takut atas terbitnya SKB. Bagi FPI dan sebagian ummat, menjalankan perintah Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Q.S Ali Imran 104) merupakan perintah Allah SWT yang wajib dijalankan. Justru kalau tidak dijalankan, atau hanya memilih Amar Ma’ruf dan enggan menjalankan perintah “Nahi Munkar”, maka telah terjadi pembangkangan. Hal ini bukanlah pilihan bagi FPI dan sebagian ummat yang konsisten menjalankan agama. Kami paham dan mendukung pilihan sikap FPI. FPI telah memilih jalan dakwah yang integral. Bukan setengah-setengah, apalagi pragmatis. Sikap konsisten FPI bukan diambil atas dasar hitungan untung-rugi duniawi sematar. Sikap konsisten ini pasti menyimpan risiko. Namun bukan karena risiko, lalu FPI surut menjalankan perintah agama. Kriminalisasi, fitnah atau hukuman penjara sudah beberapa kali dialami pimpinan FPI. Maka, pembubaran melalui SKB merupakan hal biasa saja. Tidak merisaukan atau perlu diratapi. Karena itu, tidak menunggu sampai pergantian hari. Hanya dalam hitungan jam, sejak SKB terbit, FPI sudah mendeklarasikan pembentukan ormas baru yang diberi nama Front Persatuan Islam. FPI juga namanya.Bagi seluruh jajaran FPI, the show must go on. Kepentingan menunaikan kewajiban dakwah tidak boleh kendur, apalagi terputus. Deklarasi Front Persatuan Islam pada sore 30 Desember 2020 itu dilakukan untuk melanjutkan perjuangan membela agama, bangsa, dan NKRI sesuai Pancasila dan UUD 1945. Tentu saja Pancasila dan UUD 1945 yang 18 Agustus 1945. Karena itu, gegap gempita dan kegagahan “pembubaran FPI” oleh para petinggi pembuat SKB menjadi terasa hambar, dan berlaku hampir tanpa makna. Pembubaran FPI sarat pelanggaran hukum. dan sudah sangat banyak dibahas para pakar. Pelanggaran yang paling mendasar terhadap Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 24 Undang-Undang No.39/1999 tentang HAM dan Putusan MK No.82/PPU-XI/2013. Bahwa hak berserikat adalah HAM yang hanya boleh dikurangi dalam keadaan darurat. Berdasarkan UU No.17/2014 jo. UU No.16/2017 Pasal 80, SKB 6 K/L tidak berdasar hukum. Karena, Pasal 80 hanya mengatur Ormas berbadan hukum, dan itupun melalui pencabutan status badan hukum. Karena pelanggaran SKB demikian gamblang, sekaligus menunjukkan sikap otoriterianisme yang makin meningkat, maka langkah FPI untuk menempuh jalur hukum terhadap terbitnya SKB merupakan hal yang patut didukung. FPI dan para pencinta kebenaran, keadilan, demokrasi, dan HAM perlu bersatu menggugat SKB yang merupakan cerminan kekuasaan yang terasa semakin otoriter dan tidak adil. Namun, pada saat yang sama, kami menganggap perjuangan Amar Makruf Nahi Munkar, menegakkan kebenaran dan menghilangkan kemungkaran, serta gerakan sosial untuk kemanusiaan tetap harus tetap harus menjadi kerja-kerja prioritas FPI. Kriminalisasi ulama dan penahanan Habib Rizieq Shihab (HRS), pembantaian 6 anggota Laskar FPI oleh anggota polisi dari Polda Metro Jaya, perampokan SDA melalui UU Minerba No.3/2020, legalisasi otoriterianisme melalui UU Korona No.2/2020, dominasi oligarki melalui UU Ciptaker No.11/2020, kebijakan pro konglo dan investor dan TKA China atas mineral nikel, korupsi dana bansos, dan lain-lain, harus tetap menjadi fokus advokasi dan perjuangan FPI. Pada sisi lain, sebenarnya cukup banyak kalangan, termasuk yang bukan pendukung FPI, menolak penerbitan SKB. Umumnya mereka menganggap dengan SKB, pemerintah telah melanggar prinsip-prinsip kehidupan bernegara. Melanggar prinsip musyawarah, keadilan, persamaan di depan hukum, pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan bebas, perdamaian, kesejahteraan, dan lain-lain. Mereka telah menyatakan penolakan secara terbuka. Namun adakah harapan SKB dicabut? Pemerintah memang telah menyatakan FPI atau siapapun yang tidak puas dengan SKB “dipersilakan” menempuh jalur hukum. Namun melihat proses penyelenggaraan negara dan penegakan hukum yang berlangsung 2-3 tahun terakhir, termasuk proses pembentukan UU KPK, UU Ciptaker, UU Korona, UU Minerba, DPT yang bermasalah, terkuburnya kasus kematian sekitar 989 orang petugas KPPS pada Pemilu 2019, sekitar 9-10 orang korban Aksi Damai di Bawaslu 22 Mei 2019, maka rakyat pantas pesimis. Menempuh jalur hukum bisa menjadi alternatif jika para penggugat siap berkorban waktu, tenaga, pikiran, dana, hujatan, penangkapan, dan lain-lain. Jika tidak, lupakan saja. Namun begitu, masih ada sedikit harapan. Siapa tahu Presiden Jokowi berkenan bertindak sesuai posisi sebagai pemimpin tertinggi NKRI. Mari kita lihat prospeknya. Usai penetapan pemenang Pilpres 2019, pada 21 Mei 2019 di Jakarta, Presiden Jokowi antara lain mengatakan, “setelah dilantik di bulan Oktober nanti kami adalah Presiden dan Wakil Presiden seluruh rakyat Indonesia, kami adalah pemimpin dan pengayom dari 100% rakyat Indonesia. Kami akan berjuang keras demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bagi 100% rakyat Indonesia”. Seusai Putusan MK atas sengketa Pilpres, pada 27 Juni 2019 di Jakarta, pidato Jokowi antara lain berisi, “saya mengajak seluruh rakyat Indonesia bersatu kembali. Bersama-sama membangun Indonesia. Bersama-sama memajukan negara Indonesia, tanah air kita tercinta. Tidak ada lagi 01 dan 02. Yang ada hanyalah persatuan Indonesia. Walau pilihan politik berbeda pada saat pilpres, namun kami sampaikan presiden dan wakil presiden terpilih adalah presiden dan wakil presiden bagi seluruh anak bangsa bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pada 14 Jui 2019 di Sentul, Jokowi sebagai Presiden Terpilh menyampaikan pidato lain yang berisi, “saya yakin, semua kita berkomitmen meletakkan demokrasi yang berkeadaban. Yang menunjujung tinggi kepribadian Indonesia. Yang menunjung tinggi martabat Indonesia. Yang akan membawa Indonesia menjadi Indonesia maju, adil dan makmur”. Indonesia maju adalah Indonesia yang tidak ada satu pun rakyatnya tertinggal untuk meraih cita-citanya. Indonesia yang demokratis, yang hasilnya dinikmati oleh seluruh rakyat. Indonesia yang setiap warga negaranya memiliki hak yang sama di depan hukum. Menuju hari pelantikan 20 Oktober 2019, pidato-pidato Jokowi di atas memang membesarkan hati dan memberi harapan besar terjadinya rekonsiliasi seluruh anak bangsa. Banyak yang yakin Presiden Jokowi akan merangkul dan menjadi pemimpin bagi 100% rakyat Indonesi. Tak terkecuali terhadap HRS dan FPI yang sebelumnya pendukung Paslon 02. Jokowi pun telah berikrar untuk bersikap adil, menjunjung tinggi demokrasi yang berkeadaban. Menjamin setiap warga memiliki hak yang sama di depan hukum. Namun tak lama setelah pesta kemenangan Pilpres 2019, masalah segera timbul. HRS justru mengalami banyak kriminalisasi dan gugatan yang diduga sarat “manipulasi dan rekayasa”. Kepulangan ke tanah air “terhambat”. Terus mengalami hantu-hantu penghambat sejak 2018/2019 hingga menit-menit terakhir sebelum take-off dari Jedah 9 November 2020. Pada 12 Desember 2020, HRS resmi ditangkap, dan pada 30 Desember 2020, “musibah” berlanjut dengan pembubaran ormas yang dipimpinnya, yakni FPI. Lantas bagaimana hubungan pidato Presiden Jokowi dengan hal-hal yang dialami oleh HRS dan FPI? Menilik penerbitan SKB, terlepas ada sederet menteri, menko dan pimpinan lembaga tinggi yang mengumumkan, tentu saja SKB terbit minimal atas sepengetahuan dan restu Presiden Jokowi. Sudah sering mendengar pernyataan bahwa yang ada dan berlaku hanyalah visi Presiden. Malah rakyat bisa pula meyakini Presiden Jokowi memang menginginkan penangkapan HRS dan FPI dibubarkan. Sebagai warga sepakat dengan butir-butir penting pidato Presiden Jokowi di atas. Karena memang identik dengan nilai-nilai moral, demokrasi, HAM, kemanusiaan dan keadaban. Penilaian rakyat di atas bisa pula salah. Rakyat bisa salah kalau menganggap pemimpin tertinggi bersikap hipokrit. Lain yang kata, lain pula perbuatan. Presiden Jokowi sebenarnya bisa saja tidak bermaksud demikian. Bisa tidak berperan dalam penangkapan HRS dan pembubaran FPI. Bisa pula karena Presiden memperoleh input yang tidak akurat atau salah. Sehingga, sikap hipokrit yang dituduhkan kepada pemimpin tertinggi menjadi salah besar. Kami dan kita sebagai rakyat pantas menuntut agar Pemerintahan Jokowi memberi klarifikasi dan sekaligus kembali kepada tujuan awal pendirian negara, Pancasila, konstitusi dan amanat reformasi. Kita tidak ingin otoriterianisme semakin merebak, kezoliman merajalela, hukum dikangkangi, perbedaan pendapat diberangus dan sikap hipokrit merupakan hal lumrah. Kita tidak ingin pemimpin bersikap berbeda kata dengan perbuatan. Tidak ingin pula ada anggapan bahwa yang berpidato di atas adalah “Another Jokowi”. Mari menanti sikap dan peran Presiden Jokowi sebagai pemimpin tertinggi NKRI yang sesungguhnya. Pak Jokowi, Are You The Real President? Pak Jokowi, You are The Real President! Penulis adalah Direktur Eksekutif IRESS.
Dr. Syahganda Nainggolan, Insya Allah Bebas
by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum Jakarta FNN – Senin (04/01). Dr. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan lainnya dikenal berhaluan Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI). Mereka kini masih berada dalam tahanan. Kasus super ringan yang dituduhkan kepada mereka, akan tergelar di pengadilan. Syahganda, kabarnya, akan disidangkan di Pengadilan Negeri Depok. Akan jelas pasal berapa, dalam UU apa yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada Syahganda. Pasal apapun, dalam UU apapun, yang didakwakan kepada mereka, hampir pasti tidak dapat dibuktikan. Syahganda, nampaknya sangat dekat dengan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang hukum Pidana. Dia dapat diprediksi akan dituduh atau didakwa oleh Jaksa penuntut umum dengan pasal itu. Persisnya Syahganda dituduh menyebarkan kabar bohong, yang mengakibatkan terjadinya keonaran. Kalaupun Syahganda didakwa dengan pasal lain, misalnya pasal 28 UU Nomor 11 tahunn 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang diubah dengan UU omor 19 ahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tetap saja sulit bagi jaksa membuktikannya. Pasal ini tidak menjadikan media elektronik sebagai “golden goal” hal yang dilarang, melankan “content.” Contentlah yang menjadi hal yang dilarang. Baik pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 maupun pasal 28 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yan telah diubah itu, didakwakan kepada Syahganda, apapun bentuk dakwaannya, tetap saja sulit mendatangkan peluang terbukti. Mengapa? Terdapat dua hal sebagai penyebabnya. Kedua hal itu adalah sifat material artikel atau tulisan Syahganda, dan konteks aktual tata negara. Perihal materi atau konten tulisan Syahganda, harus dipecakan dengan menemukan kenyataan hukum berikut. Apakah tulisan itu nyata-nyata, jelas dan kongkrit terbaca tanpa ragu sebagai ajakan kepada orang? Ajakan untuk melakukan perbuatan melawan hukum? Hal apa dalam tulisan itu yang memiliki kualifikasi hukum sebagai bohong? Bila Presidium KAMI menyatakan mendukung pemogokan nasional akan dilakukan buruh, bukan mendukung demonstrasi, lalu Syahganda menafsirkan KAMI mendukung demonstrasi buruh, dimanakah letak kebohongannya? Kebohongan macam apakah yang menjadi maksud substansial pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946? Apakah pada saat peristiwa ini terjadi Indoneasia sedang berada dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan persis pada tahun 1945 dulu? Apakah Nederlands Indie Civil Administration (NICA) sedang eksis di Indonesia pada saat Syahganda menuliskan isi pikirannya mengenai demonstrasi terhadap RUU Omnibus Cipta Kerja , dan menyebarkannya? Apakah ada Koninglijke Nederlands Indische Leger (KNIL) pada saat itu? Apakah ada orang bekas KNIL yang dicari-cari oleh laskar-laskar perjuangan kemerdekaan dari sabotase Belanda? Misalnya laskar Hisbullah dan Kris (Kebaktian rakyat Indonesia Sulawesi)? Apakah tentara Belanda yang membonceng NICA, sedang bergerak dari Surabaya memasuki Jakarta? Om Ventje Sumual, dalam Buku “Memoar” diterbitkan oleh Bina Insani, tanpa tahun, setelah mengambarkan susana nyata masyarakat Jakarta kala itu, menulis “banyak penghasut dikalangan penduduk”. Keadaan sungguh berat. Belanda, sesuai penilaian pemerintah akan kembali. Itu sebabnya pemerintah memberi penjelasan agar rakyat bersiaga menghadapi kembalinya penjajah Belanda yang membonceng tentara sekutu. Benar-benar berat. Kata Om Ventje, kami harus menghadapi dua masalah sekaligus. Kerja sosial untuk menolong warga yang jadi korban ekses revolusi, sekaligus menjalankan revolusi itu sendiri.” Situasi politik sangat sembrawut. Perihal keadaan ini, dapat dicek pada semua buku sejarah sejarah TNI, parlemen dan lainnya. Saya ingin mengajukan satu keadaan kecil untuk mempertebal konteks UU Nomor 1 Tahun 1946, yang mungkin akan ditembakan kepada Syahganda. Tanggal 4-5 Januari 1946 menurut Adam Malik, diadakan pertemuan wakil-wakil organisasi politik dan militer di Purwokertto dibawah pimpinan Tan Malaka. Dalam pertemuan itu, disepakati pembentukan Wadah Persatuian Perjuangan (PP). Wadah ini dikukuhkah pada tanggal 4 Februari 1946, di Solo. Tanggal pengukuhan iitu menunjuukan terjadi tiga minggu sebelum UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana dibentuk oleh BP KNIP, dan diresmikan oleh Dr. Suwandi pada tanggal yang sama juga. Tanggal pembentuka UU ini, sama dengan terjadi tiga minggu sebelum pemerintahn RI, pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. John D. Lege menulis, tanggal 4 Januari 1946 malam, diam-diam Bung Karno dan Bung Hatta diberangkatkan ke Yogyakarta. Sjahrir sendiri tetap berada di Jakarta. Pemisalahan ini berhasil menaikan level oposisi yang berada di Yogyakarta terhadap pemerintahannya. Ketika Persatuan Perjuangan (PP) diinisiatifi oleh Tan Malaka- Amir Sjarifudin- memperoleh dukungan Pak Dirman pada waktu pembentukannya, melancarkan opisisi terhadap politik perundingan Sjahrir, dan hasilnya jelas. Sjahrir mengundurkan diri. Itu terjadi pada tanggal 23 Februari 1946. Apa korelasinya dengan UU Nomor 1 Tahun 1946? UU Nomor 1 Tahun 1946 yang ditandatangani oleh Bung Karno, Presiden RI, dan Swandi, Menteri Kehakiman, dan diundangkan oleh A.G Pringodigdo, Sekretaris Negara pada tanggal 26 Februari 1946. Praktis UU itu terbentuk tiga hari setelah Sjahrir meletakan jabatan sebagai Perdana Menteri, atau dua hari setelah kabinet Sjahrir resmi dinyatakan bubar oleh Bung Karno pada tanggal 28 Februari. Kabinet Sjahrir I ini dilantik pada tanggal 23 November 1945. Usianya tidak sampai empat bulan. Apa dari kenyataan ini yang dapat dipertalikan dengan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, yang besar kemungkinan dituduhkan kepada Sahganda Nainggolan? Kenyataan inilah yang menjadi “original intent” dari pasal 15 itu. Kabar bohong, dan keonaran mutlak dipertalikan dengan keadaan itu. Situasi dan politik semrawut. Desas-desus ada dimana-mana. Pemerintah belum terbentuk secara normal, sehingga harus ditertibkan. Itu subtantive goal dari pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Suka atau tidak, sejak tanggal 23 November 1945 itu. UUD 1945 telah kehilangan validitasnya sebagai hukum positif, setidaknya hanya berlaku secara simbolik. Mengapa? Sistem pemerintahan telah berubah dari presidensial ke sistem parlementer. Kabinet Presidensial yang dipegang oleh Presiden Soekarno tersebut, dibentuk dan mulai bekerja pada tanggal 4 September 1945. Kabinet itu resmi berhenti dan bubar demi hukum pada tanggal 23 November 1945. Terlepas dari sifat simbolik UUD 1945 disepanjang periode 23 November 1945 hingga 27 Desember 1949, untuk alasan apapun tidak dapat disangkal bahwa UUD itu tidak memuat satu pun ketentuan mengenai hak asasi manusia. Tidak ada satu pun pasal pada UUD 1945 itu, yang mengatur kebebasan menyatakan pendapat. Pengaturan inilah yang membedakan secara substansial antara UUD 1945 yang berlaku sepanjang 1945- sampai dengan 27 Desember 1949. Lalu diberlakukan lagi pada tanggal 5 Juli 1959 hinnga sekarang yang telah mengalami perubahan sebanyak empat kali secara berturut-turut. Cukup tegas dalam pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang telah diubah mengatur “Setap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurnainya.” Menyatakan dukungan secara lisan, menyatakan pendapat, memberi dukung kepada sekelompok orang berdemonstrasi, dan demonstrasi itu sendiri merupakan tindakan hukum yang dibolehkan menurut UU. Lalu dengan cara apa sikap Sahganda dinyatakan salah? Dengan alat dan pendekatan interpretasi apa dalam ilmu hukum, demonstrasi yang menurut hukum positif merupakan perwujujudan hak konstitusional setiap individu mengekspresikan pendapatnya, sehinga berkualifikasi melawan hukum? Apakah keonaran, dengan sendirinya ada setiap kali ada demonstrasi? Bila ya, mengapa UU mengharuskan negara menggerakkan aparatur hukum menjamin berlangsungnya demonstrasi itu? Bahaya apa yang jelas-jelas ada dan nyata atau timbul (clear and present dangger) sebagai akibat dukungan Syahganda itu? Menghukum pikiran itu hanya terjadi di Inggris abad ke-17. Saya berkeyakinan tanpa ragu, tidak ada seorang pun di Negara Kesatuan Republik Indoenesia tercinta ini, yang diam-diam memiliki, dan bekerja dengan halus membawa negara menjadi totaliter. Hanya di negara totaliter, pikiran orang menjadi subjek hukum pidana. Beralasankah karena itu, Syahganda memiliki keyakinan pernyataannya tidak dikualifikasi pidana. Beralasan juga Syahganda melihat “amar putusan yang berisi tuduhan jaksa penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Kalaupun terbukti, perbuatan itu bukan tindak pidana. Semoga. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.