NASIONAL

HRS Diborgol, Lalu?

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (13/12). Dua kali panggilan penyidik Polda Metro Jaya, Habib Rizieq Shihab (HRS) berniat hadir. Namun karena alasan kesehatan, pengacara memberi pertimbangan agar HRS tidak hadir dulu dan diwakili oleh pengacaranya. Pengacara minta kepada penyidik Polda Metro Jaya agar ada penundaan atau penjadwalan ulang panggilan. Panggilan ketiga, HRS tidak hadir karena sedang mengurus enam pengawalnya yang ditembak mati dalam peristiwa Tol KM 50. Sedang dalam masa berkabung. Karena tak hadir, rencananya HRS akan dijemput paksa oleh Polda Metro Jaya. Sebelum dijemput paksa, HRS mengutus pengacaranya untuk memberi tahu kepada Polda Metro Jaya agar tidak perlu mengeluarkan biaya dan uang negara hanya untuk mengerahkan pasukan, baik Polri maupun TNI untuk menjemput dirinya. HRS rencananya akan datang sendiri ke Polda Metro Jaya pada hari sabtu, 12 Desember 2020. Sebelum datang ke Polda Metro Jaya, HRS memberi pesan kepada Umat, bahwa dirinya telah menyiapkan diri untuk menghadapi segala risiko. Apapun itu, termasuk ditahan maupun dibunuh. Apapun yang akan terjadi pada dirinya, perjuangan tidak boleh berhenti, katanya. Perjuangan harus terus berlanjut dan berlanjut. HRS selama ini dikenal dengan "Tiga Tuntutan" yang telah menjadi garis perjuangannya. Pertama, tetap dan teguh pertahankan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 Tentang Larangan Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Kedua, keadilan ekonomi, khususnya untuk pribumi. Pemerintah agar tidak rajin menjual aset negara kepada asing maupun aseng. Ketiga, menjaga toleransi beragama, dengan menindak tegas para penista agama. Siapapun mereka dan agama apapun yang dihinanya. Tawaran Untuk Tidak Hadir Saat HRS datang ke Polda Metro Jaya pukul 08.45, Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus menyambut dengan menyatakan bahwa "jadi, MRS itu takut ditangkap sehingga dia menyerah dan datang ke Polda Metro Jaya" (12/12). Pernyataan ini kemudian menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Pertanyaanya, apakah betul HRS itu takut ditangkap? Beredar info, bahwa sebelum datang ke Polda Metro Jaya, banyak pihak yang menawarkan HRS untuk tidak hadir. Seperti Harun Masiku (kader PDIP saat itu). HRS bisa bersembunyi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Tapi, HRS tegas menolak. "Saya akan hadapi akan haddapi semuanya. Saya tidak akan lari", begitu katanya. Nah, poin inilah membikin banyak yang demen. HRS tidak Pengecut! Sehari sebelum HRS pulang ke Indonesia, otoritas keamanan tertinggi Arab Saudi (Amir Daulah) kabarnya telah memberi tahu jika ia pulang ke Indonesia, banyak pihak yang akan ngerjain. Disarankan HRS agar tinggal dulu beberapa bulan. Tiga bulan, enam bulan atau setahun dulu di Arab Saudi dengan jaminan keamanan dan fasilitas dari pemerintah Arab Saudi. Bahkan HRS dan keluarga boleh tinggal berapapun lamanya, Arab Saudi akan memberikan jaminan keamanan dan fasilitas. Tetapi, jika HRS pulang ke Indonesia, Arab Saudi tidak punya otoritas untuk menjamin keamanan itu. Dan jika karena situasi tertentu HRS ingin balik ke Saudi, 24 jam On Call, visa bisa disiapkan untuk HRS dan keluarga balik lagi ke Arab Saudi. Dasar bukan pengecut, HRS putuskan untuk pulang kampong. "Indonesia itu negaraku. Aku akan pulang. Saat ini, Indonesia butuh orang-orang untuk memperjuangkannya. Untuk menyelamatkannya. Bersama rakyat, saya akan berjuang untuk ikut bertanggung jawab menyelamatkan Indonesia", begitu jawab HRS kepada otoritas keamanan tertinggi Arab Saudi. Jika HRS takut hadapi risiko, takut ditangkap, bahkan takut dibunuh, tentu HRS akan memilih berdiam diri di Arab Saudi sampai menunggu situasi politik nasional stabil dan kondusif. Tetapi, HRS memang lain dari yang lain. Dia punya nyali di atas umumnya orang. Soal kalkulasi dan kirka, tak ada orang tahu apa yang ada di pikiran HRS saat ini. Apa Langkah Bereikutnya? Setelah sekitar 15 jam diperiksa penyidik, HRS ditahan dengan kedua tangan diborgol. Imam besar FPI diborgol. Penggerak demo 212 itu diborgol. Tampak HRS keluar dari ruang penyidik dengan baju tahanan berwarna khas “orange”. Lalu bagaimana kelanjutan perjuangan HRS? Terus atau ikut diborgol? Melanjutkan perjuangan atau menyerah pasrah? Bagaimana pula reaksi dari para pendukung HRS? Hanya prihatin, menangis dan membuat pernyataan di medsos? Atau mereka akan ikut menyerahkan diri untuk ditahan bersama HRS? Sebagaimana berbagai pernyataan di video yang banyak beredar sejak dua hari lalu? Apakah para pendukung HRS, atas nama keadilan dan kesamaan di depan hukum, akan melaporkan kasus-kasus kerumunan yang terjadi di berbagai tempat? Termasuk melaporkan kerumunan yang melibatkan Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, putra dan menantu Jokowi yang diduga juga telah menciptakan kerumunan? Apakah para pendukung HRS bakal melaporkan Jokowi dan mendagri yang mengizinkan pilkada 2020 lalu? Pilkada yang terbukti menyebabkan 79.241 petugas KPPS reaktif Covid-19? Sebagian malah ada yang meninggal dunia. Atau para pendukung HRS akan memilih berkumpul dengan massa dalam jumlah besar dan melakukan protes ke Polda Metro Jaya? Kabarnya, anggota FPI di seluruh Indonesia ada lima juta orang. Benarkah angka itu? Kalau benar, jumlah itu belum termasuk simpatisan dan pendukung. Apakah mereka kompak, terkonsolidasi, lalu secara serempak bisa berkumpul di satu tempat dan melakukan protes? Dan siapa yang akan pegang komando dan mengkonsolidasikan massa pendukung setelah HRS diborgol? Diborgolnya HRS kali ini (13/12) akan menguji tingkat militansi para pengikut dan pendukung HRS, serta kemampuan konsolidasi para tokoh yang berada di sekitar HRS. Publik akan melihat dan mengukurnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Kasus HRS, Politik Atau Hukum?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (12/12). Habib Rizieq Shihab (HRS) beserta lima orang lainnya termasuk Ketua Umum FPI KH. Shobri Lubis ditetapkan sebagai tersangka. Status tersangka di tengah tuntutan banyak pihak agar dibentuk Komisi Pencari Fakta Independen atas tewasnya enam orang anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di area jalan tol Jakarta Cikampek Kilometer 50. Status tersangka sebelum pemeriksaan pribadi HRS dan masih dalam tenggang waktu pemanggilan nampaknya dipaksakan. Tuduhannya melanggar Pasal 160 KUHP Jo Pasal 216 KUHP delik penghasutan melakukan perbuatan pidana. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengubah frasa penghasutan dari delik formil menjadi delik materil. Harus ada perbuatan pidana ikutan. Harus nyata-nyata perbuatan perbuatannya. Bukan hanya dugaan dan tuduhan semata. Awalnya polisi menyatakan berhubungan dengan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan. Peristiwanya adalah kerumunan saat pernikahan puterinya Syarifah di Petamburan. HRS sendiri sudah membayar "denda kerumunan" sebesar Rp. 50.000.000. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ini kasus politik atau hukum? Jika kasus hukum maka banyak hal yang masih dapat diperdebatkan secara hukum. Soal kerumunan yang dikenakan sebagai sanksi pidana untuk kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bukan Karantina menjadi sangat aneh. Sebab sanksi dendanya sudah dibayar. Hukum kita tidak mengenal sanksi dua kali untuk satu jenis kesalahan. Begitu juga dengan masalah penguntitan kepada orang yang belum berstatus tersangka ataupun buron. Ada penembakan terhadap enam anggota laskar FPI hingga tewas. Ada juga sikap diskriminasi terhadap kerumunan lain yang diperlakukan berbeda. Kerumunan Pilkada Gibran dan Pilkada lain yang diabaikan begitu saja. Jika persoalan yang terjadi adalah politik, sebagaimana yang dikesankan selama ini, maka semangat untuk menghukum dengan "segala cara" itu justru melanggar prinsip dan asas negara hukum. Sebab hukum harus dibawa jauh ke ranah politik. HRS sebagai bagian dari tokoh publik telah ditempatkan sebagai lawan politik penguasa. Sehingga segala cara haris dilakukan untuk "menghabisinya". Jika kondisinya seperti itu, maka melencenglah arah kehidupan sehat dalam demokrasi berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sebaiknya segera kembalikan persoalan hukum ke jalur hukum. Hukum yang lebih humanis sesuai dengan prinsip negara yang bermoral berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hukum yang dianut bangsa Indonesia harusnya menjadi "tools of social engineering". Bukan hukum yang semata-mata menjadi alat pemaksa. Ketertiban itu memang perlu, akan tetapi keadilan jauh lebih perlu. Ketertiban yang mengabaikan keadilan, sama dengan menginjak-injak pondasi negara hukum. Merubah negara hukum menajadi negara kekuasaan. Mengeksplorasi habis-habisan peristiwa pernikahan puteri HRS agar bisa memenjarakan HRS, jelas dan nyata merupakan kasus politik. Menghancurkan dan menginjak-injak hukum agar kekuasaan politik bisa berdiri tegak dengan penuh arogansi, kesombongan, keangkuhan dan kepongahan. Membuat hukum menjadi terjajah, dipermainkan, dan dijadikan alat kekuasaan. Para pejuang hukum dan keadilan tidak boleh membiarkan keadaan seperti ini. Kedaulatan hukum harus tetap ditegakkan meskipun langit akan runtuh. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

6 Anggota FPI Yang Tewas, Martir Perubahan?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (08/12). Hampir setiap perubahan politik yang bukan berlandaskan proses demokrasi, pemilu misalnya, selalu didahului oleh adanya martir. Mereka yang gugur dalam proses perjuangan untuk perubahan dan perbaikan. Adanya martir ini membangun semangat dan solidaritas perjuangan. Juga memperkuat tuntutan agar rezim cepat turun. Setiap penguasa biasanya selalu waspada akan adanya martir yang dapat melengserkan dirinya. Sebab penguasa harus berhadap-hadapan dengan kekuatan perlawanan yang semakin membesar dan berani. Perjuangan yang tidak lagi mengingat pada apapun resiko yang bakal dihadapi. Pada masa orde lama, pembunuhan terhadap "Tujuh Jendral Pahlawan Revolusi" yang kemudian dikenal “Peristiwa Lubang Buaya” adalah titik kulminasi rezim Soekarno menuju kejatuhannya. Betapa besar kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan betapa berkuasanya Soekarno. Namun jatuh juga akibat dari jatuhnya martir para Jendral TNI Angkatan Darat. Soekarno boleh hebat dan digjaya. Menyebut namanya dengan Pemimpin Besar Revolusi. Namun dengan gerakan yasng tekenal dengan sebutan G-30S/PKI, yang membunuh para Jenderal TNI Angkatan darat, menjadi sebab dan momentum perubahan ambruknya kekuasaan Soekarno. Orde Lama ambruk dan jatuh. Tujuh Pahlawan Revolusi adalah martir untuk rezim Soekarno. Perubahan politik yang melahirkan gerakan reformasi, dan menumbangkan rezim Orde Baru ditengarai dengan penembakan mahasiswa. Empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas oleh tembakan peluru tajam. Mereka adalah Elang Maulana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka yang ditembak pada peristiwa tanggal 12 Mei 1998 ini dikenal dengan Tragedi Trisakti. Keempat mahasiswa ini adalah martir perjuangan reformasi. Pada bulan Mei 1998 itu pula Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan sebagai Presiden. Orde Baru dengan segala kebesaran dan kedigjayaan selama 32 tahun berkuasa akhirnya tumbang. Sementara di masa rezim Jokowi, sejak kemenangan Pemilu yang dinilai kontroversial, telah berulang kali protes terjadi. Tewasnya 6 pengunjuk rasa pada peristiwa 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu RI, baik akibat tembakan maupun penganiayaan adalah warna awal kekuasaan Jokowi Priode kedua. Selanjutnya penuh dengan kegaduhan. Aksi unjuk rasa berulang kali terjadi untuk menentang revisi UU KPK, RUU HIP/BPIP, serta RUU Omnibus Law. Aksi revisi UU KPK menewaskan pengunjuk rasa yang tertembak. Martir. Rezim Jokowi meskipun rapuh tetapi masih mampu bertahan. Program deradikalisasi mengarah pada kelompok Islam. Umat Islam berjarak dengan kekuasaan. Bukan itu saja. Tokoh dan aktivis sering merasa terpojokkan oleh agenda kriminalisasi. Habib Rizieq Shihab (HRS) adalah salah seorang tokoh Islam yang juga menjadi obyek kriminalisasi itu. Kepulangan ke tanah air dari "pengasingan" di Makkah, tidak mengurangi gangguan dan terus menjadi target. Senin dini hari tanggal 7 Desember 2020 di area Tol Jakarta-Cikampek terjadi penguntitan terhadap rombongan keluarga inti HRS oleh orang yang kemudian diakuinya sebagai Polisi. Mobil pengawal HRS kemudian terpisah atau hilang. Terjadi penembakan terhadap enam orang anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang menjadi pengawal HRS hingga tewas. Polisi melalui Kapolda Metro Jaya, Irjen Muhmmad Fadil Imron menyatakan baku tembak antara polisi dengan laskar FPI. Sementara DPP FPI merilis bahwa anggotanya tak memiliki senjata api maupun senjata tajam. Karenanya FPI menyebut penembakan tersebut sebagai sebuah pembantaian. Tewas atau syahidnya enam anggota Laskar FPI yaitu Fais, Ambon, Reza, Andi, Lutfil, dan Kadhavi adalah wujud kekerasan dari arogansi kekuasaan Pemerintahan Jokowi. Bila terbukti memang anggota Laskar FPI ini tidak bersenjata, sebagaimana yang disampaikan oleh pihak DPP FPI, maka penembakan keenam orang tersebut merupakan suatu tindak kejahatan dan pembunuhan. Siapapun mereka, baik pelaku di lapangan, penyuruh, atau pihak yang membiarkan tindakan tersebut patut dikenakan sanksi berat. Intitusi Polisi dan Pemerintah harus bertanggungjawab. Kejadian seperti tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja dengan penjelasan dari Kapolda Metro Jaya. Dari keinginan adanya perubahan secara konstitusional, maka tewasnya enam orang anggota pengawal rombongan HRS dapat menjadi martir. Simpati dan dukungan kepada HRS dan FPI serta pada semangat perubahan yang dikenal dengan "Revolusi Akhlak" akan bertambah besar. Martir selalu jadi pemicu. Perkembangan pengusutan dari kasus penembakan anggota Polisi Polda Metro Jaya akan menentukan sikap dan reaksi publik. Masalah pelanggaran HAM itu tidaklah semata menjadi perhatian bangsa dan negara saja. Tetapi juga menjadi perhatian dunia internasional. Jika memang terjadi pembantaian, maka kiamat akan dialami oleh Kepolisian dan Pemerintah Jokowi. Martir akan selalu hadir, datang membayang-bayangi dan menghantui kekuasaan yang zalim dan semena-mena. Dengan demikian, Presiden adalah muara dari semua pertanggungjawaban. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Nyawa Manusia Di Indonesia Tak Berharga?

Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan mencermati kematian enam anggota Laskar FPI by Ubedilah Badrun Saya cukup lama merenung atas peristiwa yang menimpa enam anggota Laskar Front Pembela Islam(FPI) yang sedang mengawal Habieb Riziq Shihab (HRS) menuju pengajian subuh keluarga inti. Mereka para korban enam orang itu relatif masih muda. Yang pasti mereka adalah warga negara Indonesia. Perenungan itu dimulai dengan pertanyaan mengapa itu terjadi? Bagaimana peristiwanya? Dapatkah peristiwa itu dibenarkan atau disalahkan secara hukum? Apa argumenya? Apa buktinya? Jika itu tugas pengintaian polisi apakah ada bukti rekaman videonya? Sebagai akademisi sosiologi politik, saya mesti hati-hati menganalisis dan mengomentari peristiwa ini. Sebab ini soal nyawa manusia. Apalagi peristiwa yang kematianya melalui peristiwa penembakan. Bukan kematian yang biasa-biasa saja. Beberapa peristiwa kematian warga negara di republik ini dalam beberapa tahun terakhir sering terjadi. Sebut saja misalnya kematian Patmi petani Kendeng yang protesnya tidak didengar pemerintah. Patmi protes terhadap pembangunan pabrik Semen di pegunungan Kendeng pada tahun 2017. Patmi protes di depan Istana dengan menyemen kakinya. Kematian warga yang ditembak saat menolak pengukuran tanah di pesisir Pantai Marosi, Desa Patijala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Seorang warga negara yang tertembak di bagian dada. Ini peristiwa terjadi pada April 2018. Kemudian kematian hampir 989 petugas KPPS pada pemilu 2019 lalu. Kematian sejumlah warga pada peristiwa demontrasi di depan kantor Bawaslu RI Mei 2019. Begitu juga dengan kematian dua mahasiswa di Kendari saat demonstrasi #reformasidikorupsi# menolak pelemahan KPK pada September 2019. Adalah sederet kematian yang masih misteri sampai saat ini. Sejumlah aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) menyebut itu pelanggaran HAM baru. Pelanggaran HAM yang lama saja belum ada yang dituntaskan, kini sudah ada pelanggaran HAM baru. Kasus-kasus lama pelanggaran HAM dari tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an, hingga 2000-an seperti kasus Munir sampai saat ini belum terungkap. Kini sudah ada pelanggaran-pelanggaran HAM baru lagi. Sejauh ini sejumlah kematian warga negara episode pemerintahan Jokowi itu tak terungkap. Bahkan publik sampai saat ini masih bertanya-tanya tentang itu semua. Kini publik kembali dipertontonkan dengan kematian akibat penembakan terhadap enam anggota Laskar FPI. Menggunakan perspektif sosiologi politik kewarganegaraan (sosiologi kewargnegaraan), akan membuka mata hati kita untuk menempatkan manusia sebagai subyek. Siapapun dia, dan dengan latar belakang apapun dia, bukan untuk ditempatkan semata sebagai obyek. Warga negara adalah subyek yang terpenting dari yang penting-penting dalam entitas negara. Dalam terminologi sosiologi kewarganegaraan, manusia memiliki dua hak azasi, yaitu hak pasif dan hak aktif. Hak pasif merupakan hak yang diperoleh karena ia adalah manusia. Artinya semua manusia memiliki hak pasif tersebut, diantaranya hak untuk hidup. Sementara hak aktif adalah hak-hak seseorang yang merupakan anggota dari kelompok dalam entitas negara. Tidak semua orang mampu untuk mengekspresikan hak ini. Misalnya, hak untuk berpendapat dan hak berserikat. Juga hak untuk berorganisaai. Dengan demikian, setiap manusia sesungguhnya memiliki jaminan atas semua hak itu sebagai hak asasi warga negara. Tentu itu berlaku untuk siapapun, termasuk didalamnya adalah anggota dan Lakasr FPI. Mereka memiliki hak hidup sekaligus hak berserikat berorganisasi. Saya khawatir penembakan terhadap enam anggota Laskar FPI itu tidak menempatkan mereka sebagai subyek warga negara. Tetapi menempatkan mereka sebagai obyek konflik politik yang menyusup dalam cara berfikir operasi pengintaian yang dilakukan oleh negara. Giorgio Agamben dalam bukunya “Homo Sacer Sovereign Power and Bare Life” (Stanford University Press,1998) mengingatkan betapa pentingnya negara menempatkan warga negara sebagai subyek dengan seluruh hak azasinya. Bukan sekedar obyek administrasi, dimana negara boleh melakukan apapun terhadap warga negara. Ketika negara menempatkan warga negara semata-mata sebagai obyek, maka apa yang disebut Giorgio Agamben (1998) sebagai proses homo sacer bisa terjadi. Merasa menjadi manusia asing di negerinya sendiri bisa terjadi pada setiap warga negara. Saya mencermati, jika ini semua terjadi pada banyak kasus maka pelan tapi pasti ke-Indonesiaan kita terancam bubar. Cara kekuasaan negara merespon kritik, merespon oposisi dan menata keragaman dari masyarakat sipil (civil society) menjadi sangat menentukan keberadaan negara dimasa depan. Cara-cara yang represif dalam menempatkan warga negara sebagai obyek, harus segera diakhiri. Pertanyaannya, mengapa itu semua terjadi? Bisa saja dimungkinkan karena cara berfikir rezim dalam melihat warga negara hanya sebagai obyek bukan sebagai subyek. Secara sosiologi kewarganegaraan, posisi warga negara itu mestinya tidak hanya ditempatkan dalam ranah kewarganegaraan politik. Tetapi juga dalam ranah kewarganegaraan sosial dan kewarganegaraan sipil. Soal bagaimana peristiwa itu terjadi? Ada dua versi. Menurut versi Polda Metro Jaya penembakan itu dilakukan dalam situasi baku tembak sebagai bentuk perlindungan karena aparat terancam. Sementara menurut versi FPI itu dilakukan oleh aparat secara sepihak. Tanpa da baku tembak, karena anggota Laskar FPI tidak memiliki senjata api maupun senjata tajam lainnya. Penjelasan dari dua pihak yang berbeda memungkinkan adanya celah yang keliru. Pembentukan Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) adalah solusi terbaik. Inisiator dan motor utama TPFI mesti dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) sebagai institusi independen. TPFI biasanya akan mampu mengungkap secara detail kronologisnya. Besa kemungkinan akan ditemukan celah pelanggaranya dari sisi hukum dan hak azasi manusia. Pada titik ini kita semua berharap agar peristiwa tersebut terungkap secara terang benderang. Supaya kita semua tau bagaimana aparat penegak hukum polisi, Komnas HAM, Pengadilan HAM dan rezim pemerintah menempatkan hak azasi warga negara. Apakah menempatkan warga negara sebagai obyek kekuasaan semata, atau menempatkan warga negara sebagai subyek? Jika kasus ini tak terungkap sebagaimana kasus-kasus hak azasi manusia sebelumnya, maka kesimpulan bahwa nyawa manusia di Indonesia tidak berharga itu ada benarnya. Jika ini yang terjadi, ini adalah episode biadab hak azasi manusia di Indonesia. Episode gelap kemanusiaan negara republik. Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Bukan Zamannya Lagi Apa Kata Polisi Ditelan Begitu Saja

by Asyari Usman Medan FNN - Selasa (08/12). Bisakah dipercaya penjelasan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran tentang insiden penembakan yang menewaskan 6 Laskar FPI di jalan tol Cikampek KM-50? Inilah pertanyaan yang mungkin tidak diperhitungkan oleh Kapolda Metro. Polisi memberikan penjelasan yang 100% mencerminkan bahwa merekalah yang akan memonopoli kebenaran. Artinya, begitu mereka jelaskan tentang apa saja, akan ditelan bulat-bulan oleh publik sebagai kebenaran. Zaman itu sudah berlalu. Sudah usang cara-cara seperti itu. Dulu, para penguasa sipil atau penguasa keamanan bisa seenaknya mengatakan ini atau itu dan rakyat harus menerimanya sebagai kebenaran. Sekarang tidak bisa lagi begitu. Baik dari aspek psikologi sosial mau pun dari sisi teknologi informasi dan teknologi digital. Masyarakat sekarang sangat kritis. Sekaligus memiliki kemampuan analitis. Kebohongan bisa langsung terkuak. Itulah perubahan zaman yang didorong oleh perubahan nilai dan revolusi teknologi. Sangat mengherankan kalau Polisi tidak menyadari perubahan zaman itu. Di masa Harmoko menjadi menteri penerangan, semua orang dan media tidak bisa berbuat apa-apa. Yang dia ucapkan harus disiarkan penuh. Harus menjadi inti lembaran berita atau laporan. Wajib menjadi kebenaran meskipun seratus persen pembodohan dan pembohongan. Cara-cara itu sudah lama sirna. Rakyat telah berjuang keras agar kejujuran dan keadilan menjadi nilai utama dalam penyelenggaraan negara. Dalam insiden penembakan mati 6 laskar FPI pada 7 Desember 2020 oleh Polisi, penjelasan Kapolda Metro sangat diragukan kebenarannya. Banyak yang tak masuk akal sehat. Terkesan Pak Kapolda mau menang sendiri. Mau benar sendiri. Gaya begini tidak bisa lagi. Klarifikasi Polisi soal insiden 6 laskar FPI tewas itu tidak akan dipercaya oleh masyarakat. Kalau pun ada yang percaya, sudah bisa dipetakan siapa-siapa mereka. Karena itu, kita mengimbau agar Kepolisian mengutamakan kejujuran dan transparansi dalam insiden penembakan yang sangat ceroboh ini. Rekayasa bisa dengan mudah tercium. Akan terbongkar dengan sendirinya. Bukan zamannya lagi apa kata Polisi ditelan begitu saja oleh publik.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Bentuk Komisi Pencari Fakta Independen

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (07/12). Penjelasan pihak Kepolisian Metro Jaya bahwa tewasnya 6 anggota Laskar Frot Pembela Islam (FPI) yang menjadi pengawal rombongan keluarga Habib Rizieq Shihab (HRS) menyerang aparat kepolisian berbeda dengan penjelasan resmi dari DPP FPI. Sekretaris jendral (Sekjen) DPP FPI Munarman menyatakan bahwa mobil pengawal HRS lah yang duluan diserang dan ditembakin oleh Orang Tak Kenal (OTK). Enam orang anggota Laskar FPI bersama mobil yang mereka tumpangi bahkan hilang. Karena mereka diculik. Setelah adanya penjelasan dari FPI, lalu ada konferensi pers dari Polda Metro Jaya yang menyatakan bahwa keenam orang pengawal HRS tersebut ternyata tewas. Mereka ditindak dengan tegas dan terukur olah aparat kepolisian. Begitu kata Kapolda Metro Jaya, Irjen Polisi Fadil Imron. Mengingat kaburnya peristiwa di atas, wajar saja muncul desakan harus segera dibentuk Komisi Pencari Fakta Independen (KPFI). Karena ini menyangkut nyawa anak bangsas enam orang yang mesti mendapat pertanggungjawaban politik maupun hukum. Bukan semata pertanggungjawaban aparat, tetapi juga Pemerintah. Penjelasan yang sepihak harus memperoleh pembuktian. Pengintaian terhadap gerak-gerik HRS yang intensif juga menunjukkan bahwa apara penegak hukum telah menempatkan HRS sebagai musuh negara. Tentu hal ini sangat tidak proporsional, mengingat persoalan yang dituduhkan hanya masalah kerumunan saat pernikahan puteri HRS di Petamburan. Kualifikasinya hanya sebatas pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Haruskah aparat kepolisian bertindak hingga penembakan yang menewaskan nyawa anak bangsa enam orang? Mengapa bukan penembakan untuk melumpuhkan? Bahwa HRS tidak hadir saat pemanggilan Polisi itu memiliki prosedur hukum yang dapat dilaluinya. Dimulai dari pemanggilan bertahap hingga panggilan paksa. Tetapi jika sampai pada pengintaian, penyerangan, dan penembakan tentu hal ini adalah di luar prosedur baku yang berlaku. Apakah proses penegakan hukum protokol kesehatan harus dilakaukan dengan pengintaian? Untuk itu, hanya dengan komisi fact finding semua persoalan bisa terungkap. Benarkah polisi diserang atau polisi yang duluan menyerang? Ini sangat penting dan mendesak, agar Indonesia sebagai negara hukum tidak bergeser menjadi negara kekuasaan. Jangan hanya perlakukan kesewenang-wenangan yang ditampilkan kepada masyarakat. Bila situasi ini diambangkan, maka akan menjadi bom waktu bagi instabilitas negeri. Kita harus menghindari terjadinya penghancuran atas negara demokrasi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Di Era Jokowi, Kebobrokan Negara Terbongkar

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (07/12). Menteri Sosial, Julian Batubara kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) pada 5 Desember 2020 lalu. Juliari jadi tersangka dengan tuduhan korupsi Rp 17 miliar. Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga di-OTT KPK (25/11). Nggak usah kaget. Biasa saja. Entar juga akan ada yang tertangkap lagi. Menteri, ketua dan sekjen partai, anggota DPR, kepala daerah, atau pejabat lainnya, entah sudah berapa banyak dari mereka yang ditangkap KPK. Tak berarti yang tidak tertangkap itu bersih dari korupsi. Belum tentu juga. Ini hanya karena faktor apes dan bernasib sial. Korupsi di Indonesia bukan semata-mata karena bobroknya moral individu. Tetapi lebih karena faktor sistem, kultur dan mentalitas bangsa. Publik nggak usah berlebihan mengapresiasi KPK. Seolah KPK sudah siuman setelah sekian lama dikerangkeng oleh UU No 19 Tahun 2019. Para pejabat secara umum ditangkap karena pertama, dua alat bukti sudah ada. Kedua, tak ada perlindungan orang kuat. Tepatnya, kecolongan, sehingga tak sempat minta perlindungan. Ketiga, seringkali penangkapan pejabat sarat unsur politik. Meskipun dua alat bukti ada, tetapi pelindung anda orang kuat dan selalu menjaga anda, boleh jadi anda selamat. Asal tidak di-OTT. Belajar dari kasus Bank Century, dana BLBI, e-KTP sampai PAW anggota DPR yang melibatkan Harun Masiku. Kok menguap? Publik berpikir ada orang kuat di belakangnya. Koruptor kakap Djoko Djandra yang sembilan tahun jadi buronan dan menyeret sejumlah perwira berpangkat bintang hanya dituntut 2 tahun. Sementara yang dituduh melanggar UU ITE diancam 6 tahun. Sampai disini anda mesti paham bagaimana penegakan hukum di negeri ini. Banyak yang ganjil. Korupsi pejabat akan "sulit dikurangi" selama penegakan hukum dan sistem politik tidak berubah. Ini jadi kata kunci. Ketidakadilan hukum jadi warisan dari satu generasi ke generasi lain secara turun temurun. Dari Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi. Hanya saja, sekarang klimaks. Sepertinya, para pejabat sudah banyak belajar kepada generasi sebelunnya bagaimana melakukan korupsi secara efektif. Lihai! Meski kadang ada yang kepleset dan ditangkap KPK. Apes saja. Praktek penegakan hukum semakin rusak ketika aparat hukum ditarik di gelanggang politik. Tak jarang hukum justru dijadikan instrumen untuk menghabisi. Pertama, kepada mereka yang kritis terhadap penguasa. Kedua, lawan-lawan politik penguasa. Kriminalisasi adalah suatu keniscayaan ketika aparat hukum dilibatkan dalam politik. Di sisi lain, cost pemilu sangat besar. Para calon, baik caleg, capres maupun calon kepala daerah, mereka butuh modal besar. Umumnya, mereka tak mampu membiayai dengan dana pribadi. Dana cekak memaksa mereka harus melibatkan investor. Kalau umumnya anggota DPR tak mendengar lagi suara rakyat, ya wajar. Karena saham mayoritasnya bukan milik rakyat, tapi milik para pengusaha yang membiayai mereka. Suara rakyat sudah "dibeli putus" saat pemilu. Tepatnya ketika terjadi serangan fajar. Antara Rp 50.000-100.000 ribu per suara. Selesai sudah di kotak suara. Rakyat suaranya sudah dibeli putus. Ya nggak pantas kalau berteriak. Karena sudah nggak punya saham di gedung DPR. Ini juga berlaku bagi banyak kepala daerah, dan mungkin juga presiden. Jadi, kalau mereka nggak dengar rakyat, ya nggak salah. Karena sebagian besar rakyat sudah dibeli suaranya saat pemilu. Hukum yang tidak tegak lurus serta cost politik yang sedemikian tinggi, menyebabkan korupsi makin subur. Tradisi koruptif diwariskan turun temurun. Jadi, anda jangan hanya melihat case by case. Anda jangan terpukau dengan KPK menangkap Edhy Prabowo dan Julian Batubara. Dibalik kedua menteri itu, justru seringkali faktor yang lebih menarik untuk dibahas adalah tokoh di belakangnya, partainya, posisi jabatannya, atau sepak terjang KPK itu sendiri. Hukum seringkali nggak independen. Jadi, fenomena penangkapan tersangka tindak pidana korupsi jangan dilihat dari kasusnya. Tetapi lihatlah penyebabnya. Mengapa banyak diantara mereka yang korupsi? Lihat juga penegakan hukumnya. Kenapa hanya mereka yang ditangkap? Yidak yang lain. Partai anda punya kader yang jadi menteri berapa orang? Yang jadi direktur dan komisaris BUMN berapa orang? Yang jadi kepala daerah berapa orang? Dari situ parpol-parpol itu mencari logistik. Sebagian untuk memakmurkan pengurusnya. Jadi, kalau dalam dua pekan ini ada kader dari dua partai di-OTT KPK, yang harus kita lihat pertama, jabatan menteri itu bukan cek kosong. Kedua, kebutuhan operasional partai sangat besar. Kalau menteri itu dari partai, mosok nggak ada setoran? Ketiga, posisi menteri banyak peminatnya. Posisi menteri ini menjadi arena perebutan antar partai dan antar banyak pihak. Keempat, di setiap kementerian biasanya sudah ada mafianya. Para pemain lama tentu saja sangat berpengalaman. Kelima, mata hukum seringkali "juling". Yang juling paling parah di sebelah kiri. Namu yang dihajar di sebelah kanan. Jika kita bongkar, negara ini sesungguhnya sudah sedemikian rusak. Ibarat penyakit kanker, sudah stadium empat. Korupsi "boleh jadi" ada di semua kementerian, di semua lembaga dan institusi negara, di semua BUMN. Terjadi secara sistemik. Salah satunya penyebabnya karena kesalahan sistem melahirkan tradisi dan mental koruptif. Jargon #Revolusi mental# bukannya memperbaiki, tetapi faktanya, malah masif terjadi korupsi. Ini terjadi bukan hanya di era Jokowi, tapi turun temurun. Sudah lama, terutama sejak era reformasi. Di era Jokowi ini, seolah jadi puncak gunung es. Makin parah. Lalu, darimana memperbaikinya? Perbaiki penegakan hukum dan sistem politik yang high cost itu. Dan ini harus dilakukan dari atas, yaitu oleh pemimpin. Kalau yang di atas memble, yang lain, terutama yang di bawah pasti ikut memble juga. Banyak pihak yang meragukan kemampuan Jokowi. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Penyaluran Bansos Yang Primitif

by Mukhaer Pakkanna Jakarta FNN - Senin (07/12). Kasus tertangkapnya Menteri Sosial (Mensos RI), Juliari Peter Batubara (JPB) bersama para pejabat Kemensos dan pengusaha pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) telah mencoreng wibawa Pemerintah penyelenggaara negara. Dalam situasi wabah yang makin menakutkan ini, ternyata korupsi tidak pernah berhenti. Banyak oknum penyelenggara negara, malah bernyanyi bahagia di atas penderiaan rakyat. Dengan pola penyaluran yang primtif dan tidak berkemajuan, dari awal kebijakan ini dilansir, saya sudah mencurigai bakal terjadi peluang moral hazard dan biang bancakan antara pengusaha peserta/pemenang tender dan oknum penguasa, terutama di Kementerian Sosial RI. Ini sangat riskan terjadi karena, pertama, niatan hanya sekadar karitatif, yang penting tersalurkan. Soal siapa sasaran penerima, itu soal yang lain. Yang penting bagaimana peluang ini dimanfaatkan pengusaha pengadaan dan penguasa (pemerintah). Kedua, data sasaran dari awal yang tidak jelas dan amburadul. Ketiga, manajemen penyaluran disalurkan pada beberapa institusi yang kurang akuntabel. Bayangkan, di masa pandemi Covid-19 ini, Kemensos RI memperoleh anggaram jumbo. Merujuk data Kementeian Keuangan RI, Kemensos juga menjadi kementerian dengan realisasi belanja terbesar pada Oktober 2020. Kemensos telah menyerap anggaran senilai Rp116,2 triliun. Sementara, alokasi untuk Kemensos terdiri dari PKH dan bantuan beras PKH senilai Rp41,97 triliun, sembako dan bantuan tunai sembako Rp47,22 triliun, Bansos Jabodetabek Rp7,10 triliun, dan Bansos non-jabodetabek senilai Rp33,10 triliun. Dalam kaitan itu, patut dipertimbangkan bahwa ke depan penyaluran bantuan sosial untuk rakyat miskin dan yang termiskinkan akibat pandemi, sebaiknya disalurkan secara tunai ke rekening masing-masing penerima. Bisa memanfaatkan data dari institusi resmi yang kredibel, tidak sekadar menyalurkan. Alasannya, jika disalurkan dalam bentuk barang kebutuhan pokok seperti sekarang, maka selalu terjadi potensi korupsi seperti yang sudah terbukti saat ini. Akibat korupsi maka spesifikasi barang yang dibagikan akan berkurang. Misalnya beras premium tapi isinya oplosan. Ini berarti, hanya menguntungkan pengusaha bermodal besar dan produsen-produsen besar seperti Unilver, Indofood dll. Sementara, produk UMKM sangat sulit terserap karena alasan spesikasi dan ketidaan modal. Kemudian, Sembako yang dibagikan ke masyarakat belum tentu sesuai dengan kebutuhan selera penerima. Misalnya sarden, tidak semua orang suka makan sarden. Lebih enak beli ikan di pasar dan masak sendiri. Jika disalurkan melalui transfer tunai ke rekening masing-masing penerima, keuntungannga adalah, pertama, potensi korupsi oleh oknum penguasa, politisi dan para calo akan sirna. Kedua, akan menghidupkan pasar, karena masyarakat miskin akan belanja kebutuhan pokok secara langsung di pasar dan warung-warung rakyat. Ketiga, masyarakat penerima dapat membelanjakan sesuai kebutuhan Sembako di keluarga mereka. Tidak dipaksa makan produk pabrikan yang dimiliki pengusaha raksasa tertentu. Keempat akan ikut membantu perbankan, karena dana yang ditransfer ke rekening tentu akan ada jeda waktu sebelum diambil oleh penerima. Portofolio dan cashflow perbankan akan terbantu. Maka sebaiknya jangan hanya disalurkan melalui rekening di perbankan besar, lebih bagus malah melalui bank-bank kecil yang sedang butuh dibantu portofolionya. Misalnya bank-bank BPD di daerah, bank syariah Buku 1 dan Buku 2. Termasuk BPR/BPRS yang banyak di daerah-daerah Saran ini tentu tidak hanya berlaku untuk bantuan dari pemerintah pusat. Hal yang sama juga bagi pemerintah daerah propinsi maupun kabupaten/kota se-Indonesia. Karena potensi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan itu ada pada setiap level pemegang kuasa. Kekuasaan cenderung korup, tentu buatlah sistem yang meminimalisir potensi korup itu. Pandemi mestinya menyadarkan semua pihak untuk lebih mengingat Tuhan, termasuk bagi mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan di setiap level. Penulis adalah Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah

Apa Kabar Renegosiasi di PLN

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Rabu (02/11). Direktur Utama PLN Zulkifli Hasan menyadari benar apa permasalahan yang terjadi di Perusahaan Listrik Negara tersbut sejak dia menjabat sebagai orang nomor satu. Masalah utama di PLN datang dari kebijakan pemerintah. Kebijakan yang berkaitan dengan harga bahan bakar dan harga listrik swasta yang wajib dibeli PLN. Satu lagi permasalahan krusial datang dari sektor keuangan. Masalah itu sebagai akibat dari utang PLN yang membengkak sangat besar dalam mengejar ambisi mega proyek 35.000 megawatt. Masalah tersebut telah mengakibatkan PLN rugi besar-besaran. Meski harga batubara dan minyak mentah dunia telah turun hingga level terendah dalam sejarah, tetapi PLN tetap saja merugi. Kerugian yang diperkirakan tidak akan pernah berakhir. Untuk ahun 2020 saja, PLN diprediksi menderita kerugian Rp 44,3 triliun. Kerugian seperti selalu melekat dengan PLN. Kerugian yang terus meningkat dari tahun ke sebelumnya. Lebih gawat lagi tahun 2021 nanti. Kerugian PLN akan diperkirakan mencapai Rp 83,7 triliun. Sudah tak ada untung lagi dalam kamus PLN, baik dimasa kini maupun yang akan datang. Kerugiannya akan terus membengkak dan membengkak. Keuntungan menjadi barang langka untuk PLN. Dari mana saja sumber kerugian PLN tersebut? Ada tiga sumbernya. Pertama, dari pembelian bahan bakar. Jumlahya mencapai 34,6% dari total biaya. Kedua, pembelian listrik swasta yang mencapai 41,2% dari total biaya. Ketiga, biaya depresiasi dan keuangan sebesar 15,8% . Ketiga komponen biaya tersebut 91,6% dari total biaya yang harus dikeluarkan PLN setiap tahun. Siatuasi yang terjadi di PLN ini adalah bisnis BUMN paling konyol. Dimana sebagian besar pengeluaran atau biaya PLN ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan yang terbilang konyol untuk membuat PLN merugi dari tahun ke tahun. Kalau PLN bangkrut, maka membangkrutkan PLN adalah pemerintah. Kalau PLN merugi, maka yang membuat PLN merugi terus-menrus adalah pemerintah. Pembelian bahan bakar misalnya, harganya dipatok dalam formulasi yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Begitu juga dengan pembelian listrik swasta. Harga pembelian PLN ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Kedua biaya ini sudah mencakup 75,8 % dari total biaya yang harus ditanggung oleh PLN. Konyol kan pemerintah? Pertanyaannya, siapa yang untung dengan kebijakan harga bahan bakar dan harga listrik swasta yang konyol tersebut? Yang pasti bukan PLN. Yang diuntungkan adalah oligarki yang menjadi pebisnis bahan bakar, terutama pebisnis batu bara. Setelah itu siapa lagi yang untung paling besar? Yang pasti adalah pebisnis pembangkit batubara. Mereka selain punya tambang batubara, namun mereka sekaligus juga punya pembangkit listrik swasta. PLN tidak akan pernah untung. Sebaliknya pebisnis pembangkit tak akan pernah merugi. Demikian juga dengan pemasok batubara ke PLN, yang akan pernah merugi. Mereka akan terus dan terus untung sepanjang perjalanan PLN melakukan bisnis listrik. Selian PLN, siapa lagi yang dirugikan? Tidak lain adalah masyarakat Indonesia. Harga listrik Indonesia adalah salah satu yang paling mahal di dunia sekarang. Harga listrik Indonesia lebih mahal dari harga listrik India, China dan beberapa negara lain yang merupakan pesaing utama dalam perdagangan global. Jika dibandingkan dengan pendapatan perkapita rakyat Indonesia, harga listrik Indonesia adalah salah satu yang paling menghisap atau tertinggi di dunia. Hanya satu kata kunci bagi PLN untuk selamat dan keluar dari jebakan kerugian. Segera lakukan renegosiasi, baik untuk harga listrik swasta maupun harga pembelian batubara. Lalu, apa saja yang harus direnegosiasi? Pertama adalah harga bahan bakar, terutama batubara. Kedua, harga listrik yang wajib dibeli dengan skema take or pay milik swasta. Ketiga adalah utang-utang PLN warisan masa lalu. Renegosiasi ini telah menjadi komitmen Dirut PLN Zulkifli Hasan dalam membenahi struktur keuangan PLN. Langkah ini sebagai upaya terakhir menyelamatkan PLN dari kebangkrutan yang lebih parah. Publik bertanya, “apa kabar renegosiasi ini ya”? Semoga saja telah berjalan sebagaimana yang telah dijanjikan kepada publik. Penulis adalah Peneliti Pada Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).

TNI Dantara Rakyat Yang Terbelah

by Dr. Masri Sitanggang Jakarta FNN – Rabu (02/12). Rakyat sudah terbelah. Itu nyata adanya. Kita bisa memulai kekacauan ini kapan saja. Namun tidak tahu kapan bagaimana bisa mengakhirinya. Maka, TNI aku dan TNI kita semua menjadi tumpuan harapan terakhir agar negeri ini tidak terkoyak-koyak. Pemerintahan boleh saja berganti kapan saja berkali-kali. Tetapi TNI, negara dan bangsa ini harus tetap bediri tegak. Harus kita pertahankan skeberadaannya ampai titik darah penghabisan. Bulu kudukku sempat juga berdiri, dan merinding. Sebuah video yang menunjukkan kerumunan massa mengelilingi mobil zeep tentara menyebar luas. Massa bernyanyi dengan irama “mana dimana anak kambing saya” dengan syair yang di ubah. Syair lagu itu menyindir. Malah bisa disebut menghujat tentara. Tidak jelas, dimana dan kapan kejadian itu persisnya? Aku menerima postingan itu 24 November 2020 lalu. Teks yang menyertai postingan video hanya menyebut, “mobil tentara yang mau copotin baliho HRS, dicegat massa di Padarincang, Serang, Banten. Maka terbayang aku akan hal-hal buruk akan segera terjadi. Masalahnya, dua video viral yang lain tentang pernyataan sikap petinggi TNI. Pernyataan itu dalam rentang waktu yang berdekatan sejak kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) tanggal 10 November 2020 yang beredar luas pula. Keduanya bisa dihubungkan, baik langsung maupun tidak, dengan aktivitas kepulangan HRS dan senarai acara kemudiannya yang digelar simpatisan HRS. Video pertama adalah peringatan tegas Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto terkait pentingnya persatuan dan kesatuan demi menjaga stabilitas nasional. Hadi berkata, “jangan kita biarkan persatuan dan kesatuan bangsa itu hilang atau dikaburkan oleh provokasi dan ambisi yang dibungkus dengan berbagai identitas". Hadi juga mengingatkan, “siapa saja yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa akan berhadapan dengan TNI". Peringatan ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai mendadak. Diunggah di akun Twitter @Puspen_TNI, Minggu 15 November 2020, lima hari setelah penyambutan HRS di bandara Soeta yang fenomenal itu. Memang, Panglima tidak mengarahkan peringatannya kepada pihak tertentu. Tapi dapat dirasakan bahwa peringatan itu mengarah pada ancaman keamanan dari dalam negeri, bukan dari luar. Karena trending topic pada hari-hari itu menyangkut politik dan itu berkaitan dengan kedatangan IB HRS. Maka sangat sulit untuk dipungkiri bahwa peringatan mendadak itu dimaknai oleh banyak pengamat sebagai respon terhadap situasi “demam” kepulangan sang Imam HRS. Video kedua adalah instruksi Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurahcman, ke jajarannya untuk mencopoti baligho HRS. Pangdam dengan tegas menyatakan, “kalau perlu FPI bubarkan saja. Kalau coba-coba dengan TNI, mari”. Pernyataan itu terkonfirmasi. Seusai apel kesiapan bencana dan Pilkada serentak, di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, Jumat (20/11/2020) pagi, Dudung kepada wartawan berkata, ”oke, ada berbaju loreng menurunkan baliho Habib Rizieq, itu atas perintah saya,” kata Dudung, Kejadian di Padarincang berupa pencegatan massa terhadap mobil tentara yang mau copotin baliho HRS, tentu dapat dilihat sebagai respon balik masyarakat terhadap dua video sikap petinggi TNI itu. Sikpa spontanitas masyarakat inilah yang membuat aku merinding. Nggak habis pikir aku. Terbayang olehku darah akan segera tertumpah membasahi bumi pertiwi. Perang saudara kapan saja akan terjadi. Ngerinya lagi, TNI diperhadapkan dengan rakyatnya sendiri. Hiiiiii,,,, Indonesia akan segera meluncur ke jurang kehancurannya? Sungguh, aku belum rela hal itu terjadi di masa hayatku ini. Untunglah Pangdam Jaya segera melakukan klarifikasi yang membuat rasa lega aku. Senin (23/11/2020), di Makodam Jaya, Pangdam didampingi Kapuspen TNI, Mayjen TNI Ahmad Riad mengatakan, "saya sampaikan kalau perlu, kalau perlu bubarkan kan FPI itu. Kalau Pangdam, TNI tidak bisa membubarkan. Itu harus pemerintah," katanya. Ditegaskan pula bahwa Panglima TNI tidak pernah bicara soal pembubaran FPI. Kata Kapuspen Ahmad Riad, pencopotan baligho HRS pun bukan atas perintah Panglima TNI. Selanjutnya, Rabu (25/11/2020), saat ngopi bareng ulama di kantornya, Pangdam Jaya berkata, "saya tidak pernah mengajak bahwa FPI atau yang lainnya sebagai musuh. Itu tidak ada. Itu saudara-saudara kita semua. Alangkah baiknya kalau ada mediasi, dan berdialog. Dihadiri oleh seluruh komponen." Dudung meminta agar tidak ada lagi pihak-pihak yang membenturkan antara TNI dengan ormas Islam, termasuk FPI. Sikap Dudung yang sungguh sangat melegakkan kita semua yang mendengarnya. Sekali lagi, pernyataan klarifikasi itu sunggguh sangat melegakan hati. Bayangan akan petumpahan darah sesame anak bangsa sirna seketika. Tetapi kekhwatiran hal yang menakutkan itu akan terjadi, tetap saja ada. Soalnya, di lapangan, memang sangat dirasakan adanya pihak-pihak yang berkeinginan membenturkan umat Islam dengan TNI dan Polri. Ini berpotensi besar menimbulkan kekacauan. Rajinnya pihak tertentu mencari-cari kesalahan para ustadz ketika berceramah, dan kemudian melaporkannya ke pihak kepolisian adalah indikasi kuat ke arah itu. Arah untuk membenturkan Umat Islam dengan TNI dan Polri. Keinginan itu ada, dan dirasakan sangat nyata. Munculnya “gerakan” kirim karangan bunga ke Markas Kodam Jaya. Terlepas dari apakah itu real atau tidak, yang memberikan dukungan ke Pangdam Jaya atas instruksi pencopotan baliho HRS dan “kalau perlu” bubarkan FPI, juga indikasi ke arah itu. Apalagi kemudian, ada pula rakyat sipil yang secara demonstrative ikut menurunkan bahkan membakar baliho itu, dan menyatakan penolakan terhadap HRS dalam berbagai bentuk ekspresi. Tetapi memang, ini resiko dari sebuah masyarakat yang terbelah. Dalam masyarakat yang terbelah seperti ini, lembaga yang sejatinya berada di tengah dan jadi penengah dalam hal ini TNI dan Polri serta penegak hukum lainnya, oleh satu pihak diupayakan untuk ditarik dan digunakan alat untuk memukul pihak sebelah. Tidak pula sulit menentukan pihak sebelah mana yang berpeluang besar mempengaruhi TNI dan Polri dan penegak hukum lainnya. sudah barang tentu pihak yang dekat dengan kekuasaan. Jujur harus diakui, rakyat tampaknya terbelah sejak Pilkada DKI 2017 menyusul kemenangan Anies Baswedan. Kenyataan ini semakin terbelah menjelang dan sesudah Pilpres 2019. Sayangnya, pemenang Pilpres 2019 pun sepertinya kurang mampu secara persuasip mendinginkan suasana dan menyatukan kembali anggota keluarga besar bangsa yang bernama Indonesia ini. Umat Islam, yang merupakan bagian terbesar anak bangsa ini, diakui atau tidak, merasa diperlakukan secara tidak adil. Meraka merasa terus dipojokkan dengan berbagai isu, seperti radikalime dan intoleransi. Umat islam merasa sedang dijadikan objek kriminalisasi. Dalam suasana kebathian seperti itu, wajar saja umat Islam mendambakan sosok pemimpin yang dapat mewakili mereka untuk menumpahkan pikiran dan perasaannya. Apalagi memang, saat ini partai-partai yang mestinya menjadi penyuara nurani rakyat, ternyata asyik dengan mainannya sedndiri-sendri. Tidak bisa menangkap getar-getir hati rakyatnya. Munculnya sosok ulama seperti HRS adalah satu sosok pilihan yang kekosongan tokoh yang dikagumi rakyat. Dengan demikian, upaya “kriminalisasi” terhadap HRS, hanya akan membangkitkan semangat perlawanan. Apalagi merosotnya situasi ekonomi yang dialami bangsa saat ini. Semua pihak, terutama pemerintah, lebih fokus pada upaya keluar dari kesulitan. Persatuan dan kesatuan sangat penting. Hal-hal yang bisa menimbukan disharmoni antar anak bangsa harus sekuat tenaga dihindari atau diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan. Bukan dengan pendekatan kekuasaan yang menggangi hukum. yang terkenal tebang pilih atau tajam sebelah. Langkah nyata pemerintah mengembalikan rakyat yang sudah terlanjur terbelah menjadi solid kembali harus ada dan jelas. Jangan ada bagian anak bangsa ini, apalagi yang mayoritas merasa terdzalimi. Kemunculan RUU-RUU kontroversi, yang telah nyata memicu munculnya berbabagai keributan, agar ditiadakan. Keberadaan Buzzer, yang kerjanya tak lebih dari menghancurkan kelompok yang dianggap lawan, sudah saatnya diakhiri. Buzzer diperlukan untuk membangun citra penguasa, tapi tidak untuk membangun bangsa. TNI saat ini, betul-betul menjadi tulang punggung keutuhan bangsa. Sebagai alat utama pertahanan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. TNI menjadi tumpuan harapan terakhir agar bangsa ini tidak terkoyak dan tercabik. TNI harus bisa menempatkan diri sebagai penjaga keutuhan bangsa dengan bijak dan beribawa diantara masyarakat yang terbelah. TNI tidak boleh ditarik-tarik ke sebelah untuk memukul sebelah yang lain. TNI harus tetap berdiri tegak senbagai penjaga bangsa dan negara. Pemeritahan boleh berganti atau bubar berkali-kali. Tetapi TNI, negara dan bangsa ini tidak boleh terkoyak sekali pun. Dengan alasan apapun itu. Cepat atau lambat, percayalah, bila pihak tertentu sudah berhasil membenturkan TNI dengan rakyatnya, maka itulah saat di mana negara ini menuju kehancuran. Kekacauan itu bisa kita mulai kapan saja. Tatapi percayalah, kita tidak akan tahu kapan bisa mengakhirinya. Itu yang harus kita hindari bersama. Wallahu a’lam bisshawab. Penulis adalah Sekjen DPP Masyumi Reborn.