NASIONAL

Urgensi Reformasi Polri

by Budiana Irmawan Jakarta FNN – Senin (28/12). Dugaan perbuatan Extrajudicial Killing terhadap 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) harus dimaknai bahwa ada problem serius di institusi kepolisian. Fungsi Polri sebagai aparatur penegak hukum masih rentan diintervensi kepentingan politik. Bahkan laporan KontraS sepanjang tahun 2020 terjadi 29 kasus pembunuhan oleh polisi di luar proses hukum. Tragis sekali. Penyelenggaraan tindakan kepolisian sebenarnya telah diatur dengan sangat jelas dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009. Namun kedua Perkap tersebut tampaknya tidak diindahkan dalam pelaksanaan di lapangan. Berangkat dari fakta-fakta ini, menunjukan urgensi reformasi di tubuh Polri. Paradigma Kepolisian sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002 memposisikan sistem sentralistik (Centralized System of Policing) perlu diubah kembali. Tujuannya agar ke depan polisi lebih relevan dan mengikuti asas keterbukaan dan profesionalitas. Tidak seperti sekarang. Sangat jauh dari profil polisi Indonesia yang Porfesional, Modern dan Terpercaya (Promoter). Jika kita menengok kembali tuntutan reformasi TNI dan Polri, pemisahan Polri dari TNI, sebetulnya baru langkah awal reformasi di Kepolisian. Polri berdiri sendiri lepas dari TNI baru langkah awal menandai Kepolisian adalah aparatur sipil yang dipersenjatai. Dipersenjatai untuk dapat menegakan hukum dengan benar dan Promoter. Bukan main tembak. Kendati memiliki kewenangan memegang senjata, tetapi senjata hanya digunakan untuk bertindak preventif dan preemtif. Bukan intensif untuk membunuh pihak musuh atau anak bangsa yang sedang diproses hukum oleh polisi. Sebab polisi jadi kehilangan fungsi pengamanan dan perlindungan masyarakat yang menjadi pondasi utama tugas-tugas polisi. Sejarah kelam dwi-fungsi ABRI di masa Orde Baru merupakan pelajaran berharga yang harus diingat-ingat oleh polisi. Kini TNI relatif sudah menjaga jarak terhadap kepentingan politik praktis sejalan perintah UU No. 34 Tahun 2004. Konsistensi TNI hendaknya diikuti oleh Polri. Karena itu, reformasi Polri fase berikutnya adalah menata kelembagaan kepolisian. Struktur kelembagaan Kepolisian yang sekarang ini sangat sentralistik. Padahal polisi bukan institusi kombatan. Berbeda dengan TNI yang memang bertugas menurut garis komando. Sementara polisi sebagai upaya menegakkan hukum, maka dasarnya adalah fakta hukum locus delicti. Mengkaji lebih jauh soal kelembagaan kepolisian, kita bisa membandingkan model Amerika Serikat yang terpisah (Fragmented System of Policing). Terpisah antara polisi federal dengan polisi negara bagian. Begitu juga dengan model Jepang yang membuka desentralisasi kepada prefektur yang merupakan sistem campuran (Integrated System of Policing). Memang model Amerika Serikat sulit untuk diterapkan, mengingat bentuk negara federal tidak kompatibel dengan negara kesatuan. Namun standar profesionalitas polisi di Amerika Serikat pantas untuk ditiru. Sebab di setiap kota besar mempunyai Kepolisian yang bergengsi. Misalnya New York Police Departement atau Los Angeles Police Departement. Begitu pula dengan polisi yang menangani kejahatan khusus seperti DEA, Badan Anti Narkotika di bawah Departemen Kehakiman. Selain itu, ada lagi FBI yang bertanggung jawab kepada Kejaksaan. Saya kira kelembagaan Kepolisian model Jepang sangat memungkinkan diadaptasi Indonesia. Di Jepang polisi prefektur lebih berdaya guna melaksanakan tugas kepolisian di masing-masing wilayah prefektur atau setingkat provinsi. Polisi Pusat (National Police Organization) terdiri dari NPSC (National Public Safety Commision) dan NPA (National Police Agency). NPSC suatu badan pemerintahan yang bertanggung jawab mengawasi NPA. Sementara tugas NPA adalah mengkoordinasikan polisi prefektur. Dengan demikian, tepat dibentuk kementrian keamanan yang bertanggung jawab mengendalikan kepolisian nasional. Juga memberi kewenangan luas kepada kepolisian daerah. Peran inspektorat/Irwasum Polri diperkuat menjadi badan supervisi penyelenggaraan kepolisian sejenis NPSC di Jepang. Poin penting adalah terjadi efektivitas tugas Polri. Kelakar beban bertumpuk dari urusan tilang motor bodong hingga menangkap teroris, bukan saja mengikis profesionalisme. Namun juga membawa moral hazard bagi anggota Polri. Tidak sampai di situ. Sistem kepolisian terpusat mengakibatkan Polri mudah tergelincir bias menjadi kepentingan politik rejim yang sedang berkuasa. Sama halnya dengan dugaan Extrajudicial Killing terhadap 6 anggota Laskar FPI. Penulis adalah Peneliti Lingkar Studi Transformasi Kebijakan Publik.

Tugas Negara Itu Melindungi Rakyatnya, Bukan Menangkap Pengkritiknya

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (27/12). Saat ini, Jokowi terlihat masih mampu mengendalikan stabilitas keamanan dalam negeri. Diantara indikatornya, pertama, Polri dan TNI yang menjadi organ penting dalam menjalankan tugas pengamanan berada dalam kendali penguasa. Kedua institusi ini terlihat kompak. Setidaknya dalam konsolidasi struktural. Kedua, di luar Polri dan TNI, ada sejumlah organisasi kemasyarakatran (ormas( besar seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang masih memberi dukungan kepada pemerintah. Walaupun dukungan itu dengan dinamikanya masing-masing. Ketiga, sejumlah tokoh dan aktifis yang teridentifikasi sebagai bagian dari kelompok oposisi yang krirltis seperti Kesatuan Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI), masyarakat yang tergabung dalam komunitas 212, dan sejumlah akademisi, tampak berhasil dibonsai melalui UU ITE. Begitu pula dengan penggunaan pasal ujaran kebencian (pasal 28 ayat 2 UU No 19 Tahun 2016 jo UU No 11 Tahun 2008) dan penghasutan (pasal 160 KUHP). Sebagian bahkan sudah ditangkap dan berada dalam tahanan. Beberapa mulai memasuki persidangan di pengadilan. Penguasa sepertinya berhasil meredam setiap kritik yang dilontarkan kelompok-kelompok oposisi. Penguasa sukses menggunakan pasal-pasal dalam undang-undang hukum pidana, dan terutama undang-undang ITE. Meski pasal-pasal yang ditersangkakan seringkali menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para ahli hukum. Pertama, ada kesan pasal-pasal yang dipaksakan. Kedua, pasal-pasal itu seringkali hanya berlaku untuk tokoh-tokoh yang menjadi pengkritik pemerintah. Sebaliknya ada kesan berbelit-belit jika menyangkut dengan para pendukung pemerintah. Tidak ada yang dijadikan tersangka. Namun kekhawatiran adanya ancaman pelengseran terhadap Jokowi itu juga terlalu berlebihan. Justru yang terjadi sebaliknya. Narasi ancaman dianggap publik seperti sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menggiring munculnya tuduhan kepada para tokoh oposisi itu. Orde Lama dan Orde Baru menggunakan pasal subversi untuk menghadapi para pengkritik penguasa. Kalau sekarang pintu masuknya seringkali melalui pelanggaran terhadap UU ITE. Hampir semuanya kena pasal ujaran kebencian dan penghasutan. Untuk saat ini, situasi keamanan nasional masih sangat kondusif. Hanya kasus seperti "Papua Merdeka" yang memang terjadi sejak dulu. Namun ke depan belum ada tanda-tanda bahwa stabilitas keamanan nasional terancam. Kecuali jika terjadi krisis ekonomi. Baik krisis moneter maupun krisis fiskal. Jika negara kekurangan anggaran untuk menggaji TNI-Polri dan para pegawai negeri, maka itu menjadi masalah serius dua rius dan tiga rius. Ini tentu akan menimbulkan gejolak. Faktor krisis ekonomi akan menjadi trigger yang paling kuat. Terutama dalam situasi rakyat dalam keadaan kecewa dan marah. Negara memang sedang kesulitan uang. Upaya untuk mendapatkan pinjaman sedang terus dilakukan. Baik melalui penjualan SBN (Surat Berharga Negara) atau SUN (Surat Utang Negara) maupun pinjaman luar negeri. Dalam situasi pandemi seperti sekarang, bukan hal mudah untuk mendapatkan pinjaman. Nopember bulan lalu, penjualan SBN/SUN jauh dari target. Jika upaya mencari pinjaman ini gagal, memang sangat berisiko ke depan. Hal yang paling tepat dan perlu dilakukan oleh pemerintahan Jokowi saat ini adalah pertama, tangani pandemi Covid-19 dengan strategi terukur, tegas dan konsisten. Agar pandemi Covid-19 segera bisa diatasi dan diakhiri. Tanpa penuntasan pandemi sebagai program serius dan prioritas, sulit bangsa ini keluar dari resesi ekonomi. Kedua, fokus atasi resesi ekonomi. Sebagai catatan, dalam mengambil setiap kebijakan ekonomi, pemerintah mesti mengutamakan kepentingan rakyat dan masa depan bangsa. Tidak semata-mata untuk menghindari krisis demi mempertahankan kekuasaan. Ketiga, tidak menghabiskan energi dan sibuk mengatur strategi konfliktual dengan kelompok oposisi. Pemerintah tak perlu berlebihan dan memanjakan rasa takut kepada kelompok-kelompok oposisi itu. Karena tak ada yang perlu ditakutkan. Nggak boleh alergi dengan kritik. Ini Indonesia, bukan Timur Tengah. Masyarakat Indonesia mudah diajak berkomunikasi dan kompromi. Secara umum, masyarakat Indonesia merindukan suasana damai. Sudah bosan dan jenuh dengan kegaduhan. Suasana tenang hanya akan terjadi di negeri ini jika negara sibuk bekerja untuk melindungi rakyatnya, bukan memusuhi dan menangkap para pengkritiknya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Di Megamendung, HRS Ajarkan Santri Berkebun, Bukan Membuat Perkebunan

by Asyari Usman Bogor FNN - Sabtu (26/12). Seorang emak-emak menangis tersedu sambil menumpahkan kesedihannya. Dia mendengar berita bahwa lahan yang dipakai oleh Habib Rizieq Syihab (HRS) untuk pesantren agrokultural Markaz Syariah (MS) di Megamendung, Bogor, akan diambil paksa oleh pemilik HGU-nya, yaitu PTPN VIII. Dirut PTPN 8, Muhammad Yudayat, sudah mengirimkan somasi per 18 Desember 2020. Inilah somasi pertama dan terakhir. Tidak main-main. Dia mengatakan, lahan seluas 31 hektar yang selama ini dipakai HRS untuk bercocok tanam, harus diserahkan kepada perusahaan perkebunan itu. Akan diambil paksa. Pak Dirut mengultimatum, jika dalam seminggu tidak dikosongkan, maka pihak PTPN 8 akan menyampaikan laporan ke polisi. Bakal menjadi pengaduan polisi yang kesekian kali atas nama HRS. Padahal, lahan itu terlantar lebih 30 tahun. Kemudian digarap oleh warga masyarakat. Dari warga penggarap itulah HRS membeli lahan tsb. Jadi, lahan itu dibeli bukan diserobot. Ibu yang menangis itu terdengar sangat pilu. “Sampai segitunya mereka membenci Habib,” ujar Ibu tersebut dalam rekaman yang beredar di berbagai platform media sosial. Ibu yang pilu itu tahu persis penggunaan lahan MS. Di atas tanah yang relatif tidak terlalu luas itu jika dibandingkan 300,000 hektar yang dikuasai oleh konglomerat, anak-anak santri MS melantunkan sholawat. Mereka berzikir. Menghafal al-Quran. Memohon kepada Yang Mahakuasa agar menyelamatkan bangsa dan negara ini. Ibu yang terisak-isak itu tahu bahwa para santri di MS tidak diajarkan memusuhi siapa pun. Yang diajarkan kepada mereka adalah cara hidup yang berguna bagi manusia lain. Mereka diajarkan memberi, bukan mengambil. Diajarkan hidup sederhana, bukan hidup semena-mena. Anak-anak santri itu dididik agar tidak membuat kerusakan di muka bumi ini. Mereka diajarkan menanam, bukan membabat. Diajarkan berkebun, bukan membuat perkebunan. Anak-anak santri MS diajarkan hidup mandiri, bukan menipu Bank Mandiri. Mereka diajarkan berbagi rezeki, bukan bagi-bagi uang korupsi. Kelak diharapkan para santri akan menjadi inisiator bansos, bukan koruptor bansos. Di pesantren MS, para santri tidak diajarkan membuat Tambang Batubara. Jauh dari itu. Tetapi mereka dididik agar tidak terjerumus seperti Juliari Batubara. Anak-anak santri itu tidak hanya belajar agama. Mereka juga belajar matemateika, dan pengetahuan umum. Pengetahuan umum mereka lumayan luas. Misalnya, mereka tidak hanya tahu tentang peranan penting Menhan Prabowo. Tapi mereka juga paham tentang kisah benur lobster Edhy Prabowo. Jadi, lahan 31 hektar yang dipakai HRS di Megamendung itu bukan untuk memperkaya pribadi. Melainkan untuk memperkaya kepribadian. Silakan Anda cek apa yang dilakukan oleh para konglomerat di atas berjuta hektar lahan yang mereka kuasai. Namun, kalau kalian masih perlu lahan 31 hektar yang dibeli resmi oleh HRS dari warga setempat, beliau pasti akan menyerahkanya.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Prabowo-Sandi Dan Sejarah Hitam Demokrasi

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (26/12). Setelah Calon Presiden 2019 Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Jokowi, kini Calon Wakil Presiden Sandiaga Salahudin Uno juga masuk Kabinet. Komitmen awal untuk siap menjadi oposisi 5 tahun ke depan runtuh sudah sudah. Rekor Muri patut disematkan untuk sejarah demokrasi bangsa Indonesia. Dimana Prabowo-Sandi ternyata sangat senang hati untuk menjadi "pembantu"Jokowi. Keterlibatan mereka berdua sebagai Capres-Cawapres 2019 hanya dagelan belaka. Bohong-bohongan saja. Ujung-ujungnya hanya ingin punya jabatan di pemerintahan. Semua itu bisa dipahami, karena karier paling tinggi bagi Prabowo hanya bintang tiga di TNI Angkatan Darat. Belom pernah jadi menteri sejak pengisun dari dinas aktif militer. Hitung-hitung, dengan menjadi Menteri Pertahanan, ada penambahan jabatan di pemerintahan pada daftar curriculum vitae bahwa Probowo juga pernah menjadi menteri. Prabowo yang galak saat kampanye membuat pendukung bangga dan mengacungkan jempol. Soekarno baru telah muncul di bumi pertiwi ini. Para pendukung rela mengorbankan harta bendanya demi sukses perjuangan sang panutan menjadi Presiden. Pengorbanan pendukung disamping mengumpulkan dana kampanye juga dengan pengorbanan jiwa, tewas 6 atau bahkan 9 orang, dan luka luka 600 orang saat aksi protes di depan Bawaslu 21-22 Mei 2019 lalu. Rupanya bukan hanya Prebowo. Kini kejutan kembali terjadi. Setelah diumumkan oleh Jokowi bahwa Sandiaga Salahudin Uno menjadi salah satu Menteri hasil reshuffle, maka lengkaplah kekecewaan pendukung Prabowo-Sandi. Sumpah serapah pun bermunculan di kalangan para pendukung di media sosial. Ada yang karena sakit hati menyumpahi dengan predikat "dasar penghianat". Keduanya menjadi bahan olok-olok di media sosial sebagai performance manusia yang tidak istiqamah. Pertimbangan didominsi oleh kalkulasi untung rugi. Para pendukung jadi teringat dengan omongan aktivis 98 yang kini menjadi Ketua Bappilu Partai Demokrat Andi Arief, yang pernah menjuluki Prabowo sebagai “Jendral Kardus”. Omongan Andi Arief seperti menjadapatkan pembenaran hari ini. Sebagian lagi pendukung sudah tak peduli pada keduanya. Pendukung berkonklusi bahwa memang seperti itulah kualitas keduanya. Bahkan ada yang bersyukur untung katanya tidak menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Kalau menang, dan menjadi Presiden-Wakil Presiden, jangan-jangan mengelola pemerintahan bisa lebih parah dari yang sekarang. Tidah usah jauh-jauh ambil perbandingan. Lihat saja kader Gerindara, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait benur udang. Nah, Ketua Umum Gerindra tidak menjadi Presiden saja begitu. Bagaimana kalau Prabowo menjadi Presiden. Bisa lebih parah dong??? Ketika rakyat menghadapi masalah seperti tokoh yang dikriminalisasi. Gonjang-ganjing perundang-undangan yang merugikan rakyat. Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh aparat, Prabowo yang Menteri Pertahanan itu diam seribu bahasa. Begitu pula dengan Sandi Uno. Tak muncul komentar sebagai rasa empati kepada korban, apalagi sampai pembelaan segala. Dalam kaitan kehidupan demokrasi, masuknya Prabowo-Sandi dalam Kabinet Presiden Jokowi menjadi catatan sejarah hitam. Baru kali ini terjadi di Indonesia, mungkin juga di dunia. Catatan hitam, karena buruk sebagai preseden. Bahasanya, jika cuma sekedar mau jadi Menteri, buat apa bertarung habis-habisan dalam Pilpres. Jadi pendukung lawan saja dari dahulu Choy. Catatan hitam lain adalah membunuh budaya pengawasan dan perimbangan kekuatan. Semestinya kontrol terhadap kekuasaan itu harus kuat. Prabowo-Sandi dapat memimpin kekuatan pengawasan dan perimbangan ini. Akan tetapi dengan masuknya Prabowo-Sandi dalam Kabinet Jokowi, maka hal itu sama saja dengan memperkokoh oligarkhi. Apa boleh buat. Catatan sejarah hitam demokrasi Indonesia itu telah ditorehkan oleh Prabowo-Sandi. Mereka berdua merusak sendi demokrasi bangsa. Secara tak disadari keduanya telah berkontribusi dalam membangun kultur otokrasi. Jokowi yang semakin jumawa. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Indonesia Butuh Sosok Abdul Mu'ti Yang Banyak

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (26/12). Siapa yang tidak suka jabatan? Dalam jabatan ada identitas dan status. Dalam jabatan ada curriculum vitae. Ini akan jadi catatan sejarah. Dalam jabatan, ada kehormatan sosial. Dalam jabatan ada akses kekuasaan. Dalam jabatan ada kebanggaan untuk mengangkat nama besar keluarga. Dan dalam jabatan juga ada kesejahteraan. Kata McClelland, ada tiga kebutuhan manusia. Need for achievement, kebutuhan akan prestasi. Need for affiliation, kebutuhan akan kasih sayang. Dan Need for power, kebutuhan untuk berkuasa. Salah satu kebutuhan alami manusia adalah kekuasaan. Makin tinggi jabatan seseorang, makin tinggi akses kekuasaan yang dimiliki. Disitu kesejahteraan dan sejenisnya bisa diakses. Disaat banyak orang berebut jabatan, Abdul Mu'ti, Sekjen Muhammadiyah ini menolak ditawari jadi salah satu Wakil Menteri Pendidikan. "Gak mampu" kata Abdul Mu’ti menolak. Tentu saja publik nggak percaya dengan alasan Abdul Mu’ti itu. Alasan yang terkesan dibuat-buat untuk meredam kegaduhan. Supaya yang memberi tawaran juga nggak tersinggung. Sosok Mu'ti adalah seorang guru besar. Aktifis dan lama berkarir di organisasi besar, yaitu Persyarikatan Muhammadiyah. Orang tahu, Muhammadiyah cukup rapi dan disiplin pola perkaderan. Muhammadiyah melahirkan sosok Hamka yang tegas. Sekarang ada Anwar Abbas, mantan Sekjen MUI dan Abdul Mu’ti, Sekjen Muhammadiyah. Dua sosok yang sangat tegas dan lugas. Nahdatul Ulama (NU) pada masa lalu juga melahirkan ulama tegas seperti KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahab Hasbullah. Lalu belakangan ada Gus Dur, yang karena berpegang pada prinsip dan ketegasannya rela meninggalkan istana dan melepaskan jabatannya sebagai presiden. Sosok-sosok tegas seperti ini sudah mulai langka kita temui hari ini. Kembali ke Abdul Mu'ti. Ia adalah Sekjen Muhammadiyah. Posisi sebagai Sekjen hanya akan diberikan kepada sosok yang matang, mampu menggerakkan organisasi, administrator, jago lobi, dan piawai dalam berkomunikasi. Abdul Mu'ti punya semua itu. Jadi, nggak mungkin nggak mampu untuk menjadi sekedar Wakil Menteri Pendidikan. Ketua Ansor bisa jadi Menteri. Masak Sekjen PP Muhammadiyah nggak mampu jadi Wakil Menteri Pendidikan? Nggak mungkin itu. Sedikit banyak saya tahu sosok Mu'ti. Kebetulan dia kakak kelas saya di salah satu universitas negeri di Semarang. Sama-sama lanjut pasca sarjana di universitas negeri yang sama di Jakarta. Mu'ti adalah sosok berintegritas dan punya kapasitas. Tidak hanya untuk menjadi Wakil Menteri Pendidikan. Untuk menjadi menteri pun Abdul Mu'ti sangat mampu. Dalam hal ini, pasti ada alasan lain mengapa ia menolak jabatan yang diberikan oleh Jokowi. Supaya jangan su’udzon, alasan itu hanya Abdul Mu’ti dan Allah Subhaanuhu Wata’ala yang tahu. Boleh jadi karena negara sedang berjalan ke arah yang salah, sehingga menjadi alasan bagi Abdul Mu'ti nggak ikut di kapal yang berisiko tinggi untuk tenggelam. Abdul Mu’ti ini anak muda yang cemerlang. Masih panjang kesempatan karirnya untuk mengabdi kepada umat dan bangsa di masa depan. Soal alasan yang sebenarnya, hanya Mu'ti dan Tuhan yang tahu persis mengapa ia menolak permintaan presiden itu. Namun ketegasan sikap Mu'ti bukan tanpa risiko. Sebab siapapun hari ini yang menolak untuk bergabung dengan penguasa, seringkali dianggap oposisi. Bahkan tak jarang diposisikan sebagai lawan. Malah ada yang dipolisikan. Mu'ti seorang pemberani. Tegas dalam mengambil keputusan dan menjaga prinsipnya. Sikap dan ketegasan ini layak diapresiasi. Jabatan yang umumnya menjadi lahan rebutan bagi partai, ormas, timses, donatur, kolega dan keluarga penguasa, dengan tegas ditolaknya. Sikap Mu'ti perlu jadi referensi. Pertama, tak boleh berebut jabatan sehingga peluang orang-orang profesional dan berkemampuan yang ingin mengabdi kepada bangsa dan negara jadi sempit. Kedua, jangan terima jabatan jika merasa situasi tak kondusif untuk produktif. Ketiga, jangan ambil jabatan jika tak betul-betul yakin bisa membenahi. Keempat, siap menghadapi segala bentuk risiko ketika anda menolak jabatan. Risiko usaha bagi pengusaha, risiko politik bagi politisi, dan bahkan risiko penjara bagi aktifis. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, dua imam mazhab yang sangat populer bagi umat muslim di Indonesia seringkali dijadikan rujukan ideal bagi mereka yang berani menolak jabatan. Mungkin Mu'ti mengikuti jejak kedua imam ini. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Membangun Kesadaran “Indonesian Lives Matter & ESG Investing”

by Farouk Abdullah Alwyni New York City – Jum’at (25/12). Baru-baru ini masyarakat dikejutkan oleh tewasnya 6 anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) ditangan aparat kepolisian. Pihak kepolisian tentunya mempunyai dalih tersendiri bahwa ada perlawanan dari laskar FPI yang membuat polisi perlu membela diri. Akhirnya dalam kerangka penegakan hukum, perlu membunuh laskar tersebut. Tentunya versi polisi ini dipertanyakan oleh divisi hukum FPI yang membantah keterangan polisi. FPI menyatakan bahwa mereka adalah korban penyiksaan dan pembunuhan polisi secara sewenang-wenang. Karena laskar FPI adalah relawan yang tidak bersenjata. Indonesia Police Watch (IPW) juga menganggap ada kejanggalaan dalam penembakan 4 laskar FPI (14/12). Menurut IPW Polri harus mau menyadari bahwa terjadi pelanggaran dalam kasus kematian anggota FPI. Pelanggaran tersebut, menurut IPW lagi, membuat personnel kepolisian melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Lepas dari pro-kon yang ada, faktanya jelas, ada 6 Warga Negara Indonesia (WNI) yang tewas ditangan aparat kepolisian. Bahkan dinyatakan oleh para saksi yang memandikan jenazah bahwa di badan mereka para korban, banyak bekas-bekas penyiksaan. Pembuhunan 6 warga yang dianggap bukan kriminal, bukan koruptor, dan bukan teroris oleh aparat kepolisian yang berpakaian preman (dan dikejar dengan bukan menggunakan mobil resmi kepolisian) tentunya layak untuk dikritisi lebih jauh. Permintaan untuk dibentuknya tim pencari fakta independen telah didengungkan oleh segenap komponen masyarakat, mulai dari beberapa anggota DPR dan banyak organisasi masyarakat lainnya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) juga telah mulai melakukan kerjanya untuk menginvestigasi persoalan tersebut. Bahkan telah memanggil Kapolda Metro Jaya pada hari Senin, 14 Desember 2020. Kita semua mengharapkan KOMNAS HAM dapat menjalankan pekerjaannya secara professional dan penuh integritas. Karena kekerasan yang ditimbulkan dalam bentuk yang berbeda juga pernah dilakukan oknum aparat kepolisian pada tanggal 21-23 Mei 2019, menyusul demo di depan Kantor Pusat Bawaslu, dimana pihak kepolisian dianggap telah melakukan excessive force. Amnesti Internasional Indonesia pada waktu itu membuat pernyataan bahwa Korps Brigade Mobil (Brimob) Polri telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serius terhadap warga tak berdaya saat melakukan penyisiran di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, usai kerusuhan 22 Mei. Sejauh ini kita tidak pernah mendengar sejauh mana para oknum polisi yang melakukan excessive force tersebut telah diadili dan diberikan hukuman yang setimpal. Dalam konteks diatas, kita bisa kembali melihat ke belakang terkait yang terjadi di Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu. Ketika warga kulit hitam yang bernama George Floyd terbunuh oleh aparat kepolisian di Minneapolis. Kematian ini sontak memicu demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di Amerika Serikat dalam waktu yang cukup lama dengan menampilkan slogan Black Lives Matter (BLM). Gerakan BLM ini bahkan menyebar ke banyak negara-negara lainnya di Eropa, Australia, bahkan Korea Selatan dan Jepang. Gerakan ini merupakan gerakan universal kemanusiaan melawan kesewenang-kewenangan yang ditunjukkan oleh oknum kepolisian. Pada kenyataannya banyak juga akhirnya aparat kepolisian di Amerika Serikat yang menunjukkan simpati terhadap kematian George Floyd tersebut. Aparat ke[polisian ada yang ikut membungkuk sebagai satu tanda solidaritas terhadap sang korban dalam berbagai kesempatan ketika mengawal demonstrasi masa. Lebih dari itu kematian George Floyd membangun kesadaran baru di banyak negara maju, khususnya kalangan muda untuk membedakan diri mereka dengan sebagian generasi sebelumnya terkait persoalan perbudakan dan penjajahan. Banyak patung yang merupakan simbolisasi dari perbudakan, perdagangan budak, dan penjajahan yang dirusak dan paling tidak divandalisasi oleh para demonstran. Bahkan patung Columbus pun dihilangkan kepalanya karena dianggap membawa penderitaan terhadap penduduk asli (Native Americans). Dampak dari demo-demo tersebut juga disambut oleh pihak-pihak terkait baik di dunia politik dan bisnis. Pertama, tentunya polisi yang terlibat dalam tindak kekerasan kepada warga dipecat, bahkan diproses hukum. Kedua, aturan-aturan yang lebih ketat dalam hal penindakan oleh aparat kepolisian mulai diberlakukan. Hal ini untuk mengurangi kesewenang-wenangansebagian oknum kepolisian. Terakhir, dan yang paling keras adalah gerakan untuk mengurangi anggaran kepolisian. Bahkan untuk menstop anggaran kepada aparat kepolisian mulai didengungkan (defund the police). Hal ini karena mereka melihat apa gunanya aparat kepolisian jika hanya merugikan masyarakat. Kita tentu perlu belajar dari apa yang terjadi dinegara-negara maju, khususnya di Amerika Serikat. Bahwa hilangnya nyawa manusia, khususnya masyarakat sipil adalah sebuah hal yang tidak main-main. Kepolisian dibentuk untuk melayani dan melindungi masyarakat. Bukan untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap warga sipil yang belum tentu bersalah. Ketika demo-demo besar terjadi di Amerika Serikat, Gubernur New York –Andrew Cuomo menyatakan bahwa “polisi harus menegakkan,bukan menyalahgunakan hukum” (Police officers must enforce –Not ABUSE- the law). Terlebih lagi jika hal-hal yang ada lebih bersifat politis. Walau bagaimanapun dalam konteks demeokrasi modern, hak politik warga perlu dijaga. Polisi harus berada dalam posisi yang netral. Tidak bisa menjadi instrument kepentingan politik tertentu di sebuah negara. Apalagi bertindak sewenang-wenang terhadap sekelompok orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintahan yang sedang berkuasa. Dalam konteks demokrasi modern, pemerintah yang berkuasa tidak boleh melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan birokrasi, kepolisian, dan militer untuk kepentingan politiknya saja. Apalagi melakukan penekanan terhadap pihak-pihak yang berseberangan. Instrumen-instrumen negara tersebut harus mengayomi seluruh warga negara. Terlepas dari afiliasi politik yang ada. Kita di Indonesia tentunya ingin melihat republik kita ini menjadi sebuah negara yang sejahtera dan maju. Tidak kalah dengan negara-negara yang maju sekarang ini. Untuk itu perlu dibangun kesadaran kemanusiaan yang lebih baik untuk seluruh aparat kepolisian yang ada. Kita perlu membangun kesadaran “Indonesian Lives Matter”, bahwa hidup orang Indonesia itu adalah sesuatu yang berarti. Kita harus membuang jauh-jauh sikap neo-feodal dan neo-kolonial dari bangsa dan negara ini. Sikap yang meremehkan warga-warga yang dianggap lemah. Yang seakan-akan tidak berarti. Sebab hanya karena dengan mentalitas sikap neo feodal dan neo kolonial yang seperti itu bangsa ini tidak akan pernah maju. Akan terus terbelakang dengan sifat primitif-nya. Lebih dari itu, ketika kita berusaha untuk menarik banyak investasi dari luar negeri, kita juga harus memahami kesadaran baru di dunia bisnis global. Investasi global yang lebih perduli terhadap HAM, lingkungan, dan tata kelola yang baik (Good Governance). Dewasa ini investasi yang mempunyai dampak kemasyarakatan atau bersifat berkelanjutan (impact and/or sustainable investing) produknya mempunyai peranan yang penting di pasar global . Berdasarkan laporan dari McKinsey (2019), sustainable investing di pasar global mengalami peningkatan yang luar biasa pesatnya. Sekarang sudah mencapai U$ 30 triliun dollar. Mengalami peningkatan sebanyak 10 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2004 lalu. Amerika Serikat saja, pada awal 2018, sustainable investing diperkirakan naik 26% dari total asset senilai U$ 13 triliun dollar. Dana-dana tersebut harus dikelola secara professional adalah menggunakan pendekatan sustainable, responsible, and impact investing. Pendekatan-pendekatan investasi yang seperti ini telah menjadi mainstream dalam indek-indeks saham internasional seperti Morgan Stanley Composite Index, Dow, dan Financial Times Stock Exchange (FTSE). Indek kelompok ini dikenal juga dengan pendekatan Economic, Social, and Governance (ESG) Investing. Berbagai dana-dana pensiun besar dalam skala global seperti misalnya Australian Super, Canada Pension Plan Investment Board, Stichting Pensioenfonds ABP (Belanda), Norway Government Pension Fund Global (Norwegia), Alecta (Swedia) dan masih banyak lagi juga menggunakan pendekatan ESG dalam melakukan keputusan-keputusan investasi di seluruh dunia. ESG Investing mempunyai prinsip bahwa melakukan bisnis adalah bukan hanya sekedar mencari keuntungan (not just making profit). Tetapi juga berbuat kebaikan (but also doing good). Pendekatan ini pada esensinya adalah pendekatan bisnis yang juga perduli dengan lingkungan, hak asasi manusia/harkat martabat kemanusiaan. Mempunyai standard tata kelola yang tinggi dalam artian tidak ingin membawa kemudharatan kepada masyarakat dan segenap pihak terkait. Poin penting di sini adalah perduli terhadap penegakan HAM (selain lingkungan) dewasa ini bukan hanya urusan politik. Tetapi juga mulai masuk ke urusan bisnis. Dampaknya adalah, jika kita sebagai sebuah negara tidak kunjung perduli terhadap HAM dan harkat martabat kemanusiaan, maka bangsa kita sendiri pada akhirnya akan mengalami apa yang disebut dengan “market discipline”, yakni disiplin pasar. Pada akhirnya kita pun akan dianggap sebagai negara yang tidak baik untuk melakukan bisnis. Stigma ini akan berdampak terhadap arus investasi yang masuk ke Indonesia. Jangan sampai bisnis dan investasi yang masuk ke Indonesia adalah bisnis dan investasi kotor. Yang tidak perduli terhadap harkat dan martabat bangsa ini (dan juga lingkungan). Hanya ingin memaksimalisasi keuntungan saja. Tanpa mau melihat dampak-dampak negatif yang akan dihasilkan. Pilihan ada ditangan kita semua, khususnya elite politik. Apakah kita ingin menjadi negara yang menghargai bangsanya dengan perduli terhadap nilai keadilan dan kemanusiaan? Yang justru akhirnya akan baik dalam perspektif bisnis internasional dan Insya Allah dapat berkontribusi dalam menghasilkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa? Sehingga lebih dihargai dalam percaturan internasional, atau tetap menjadi negara dunia ketiga yang terbelakang, dengan pola fikir sempit? Pola pikir yang sempit hanya akan menjadi objek kepentingan bisnis-bisnis kotor dari luar negeri semata. Kita semua tentu tidak akan menginginkan yang kedua ini. Oleh karena itu membangun kesadaran “Indonesian Lives Matter” dan pemahaman “ESG Investing” adalah sebuah hal penting bagi kita semua anak bangsa. Untuk membangun Indonesia yang lebih adil, beretika, sejahtera, dan maju. Amin,,, Penulis adalah Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED)

Tolak Wamen Pendidikan, Top Markotop Mas Mu'thi

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (24/12). Pengumuman enam menteri baru usai. Meski ada sedikit keraguan soal Menteri Agama keliru atau tidak, Yaqut atau Staquf, karena keduanya sama-sama Khalil. Soalnya awal yang ramai adalah nama Yahya Khalil Staquf, tetapi kemudian yang diumumkan dan dilantik keesokan harinya justru Yaqut Khalil Qoumas, sang adik. Di tengah komentar dan kritik keras terhadap kepatutan Yaqut untuk menjadi Menteri Agama, juga Sandiaga Uno "paket pilpres" Prabowo yang dinilai "ambruk dua-duanya", serta Budi Gunadi Sadikin alumni Institut Teknologi Bandung (ITB), yang bukan dokter, namun memimpin Kementrian Kesehatan, maka satu figur yang dicanangkan menjadi Wakil Menteri Pendidikan ternyata menolak untuk diangkat. Dialah Prof. Abdul Mu'thi. Mantap dan hebat patut diberikan kepada Mas Mu’thi. Bagaimana tidak, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah itu beralasan tentang ketidakmampuan dia untuk mengemban amanah sebagai Wamen. Wah, wah dan wah. Berdasarkan pertimbangan yang matang” ujarnya. Akhirnya Mas Mu’thi menjadin satu-satunya kandidat yang tidak bersedia dilantik. Sikap Mas Mu’thi ini aneh tapi nyata. Sebab pada eranya orang yang lagi gila kehotmatan dan jabatan ini, masih ada yang menolak jabatan sekelas Wamen. Berbeda dengan Sandiaga Uno, yang sejak awal-awal terdengar tak bersedia. Namun akhirnya bersedia juga. Pilihan Mas Mu'thi tentu disikapi beragam. Namun bagfi warga Persyarikatan Muhammadiyah, dapat menilai bahwa sikap ketidaksediaan untuk menjadi Wakil Menteri itu sangat difahami dan patut diapresiasi. Dua hal penting yang mendasarinya. Pertama, sebagai Wamen ruang gerak untuk mengambil kebijakan sangat terbatas. Bukankah Presiden pernah menyatakan bahwa “tidak ada visi menteri ,yang ada adalah visi Presiden”. Nah visi Menteri saja tak ada, apalagi visi Wakil Menteri. Menteri dan Wakil Menteri yang bekerja tanpa visi adalah mesin, boneka, atau robot. Kedua, dalam budaya kepemimpinan di Muhammadiyah yang "kolektif kolegial". Artinya kerja bersama yang diutamakan. Semua elemen harus saling mendukung dengan tingkat keterbukaan dan kejujuran yang tinggi. Anggota kabinet Jokowi kini sudah terbaca oleh publik suka berjalan sendiri-sendiri. Bahkan tanpa visi yang jelas. Presiden tak memiliki kemampuan sebagai dirijen yang mumpuni. Mas Mu'thi yang masuk di pertengahan jalan. Akan berat untuk dapat berselancar mengarungi dua kondisi atau kultur di atas. Karenanya dengan bahasa halus ia menyatakan "tidak memiliki kemampuan untuk mengemban amanah sebagai Wamen". Meskipun sebenarnya semua orang tahu bahwa "pendidikan" adalah bidang yang sangat dikuasai dan menjadi keahlian Mas Mu’thi. Pemerintahan Jokowi kini sedang rapuh karena menghadapi banyak masalah yang tidak pernah tuntas. Korupsi di lingkaran istana pelan-pelan terus terkuak. Sementara penanganan pandemi Covid 19 tidak konsisten. Pembuatan aturan hukum dipaksa-paksakan. Kepentingan asing yang diutamakan. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dilakukan dengan kasat mata. Hutang luar negeri terus digali. Sekarang mencapai U$ 402,08 miliar dollar (Kompas.com edisi 14 Oktober 2020). Nah, silahkan kalikan sendiri dengan kurs tengah yang berlaku sekarang. Kurva pengelolaan negara tidak sedang menaik. Justru malah menurun, dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang sangat rendah. Mengatasi aspirasi yang berbeda, kurang akomodatif dan dialogis. Malah semakin respresivitas dan eksploitative tinggi. Terkesan kehilangan rasa malu. Mas Mu'thi sudah tepat bersikap. Menolak jabatan adalah "counter culture" yang konstruktif untuk pembangunan karakter bangsa ke depan. Padanannya adalah budaya siap mundur jika gagal. Hal demikian merupakan barang langka di era kehidupan sosial politik yang hedonis dan pragmatis. Selamat dan mantap Mas Mu'thi. Matahari memiliki cahaya sendiri. Jabatan Wakil Menteri atau Menteri sekalipun harus didasarkan pada keyakinan. Perwujudan dari iman dan amal shaleh. Menjadi agenda untuk mengajak kebenaran dan mencegah kemungkaran. Penolakan jabatan adalah bagian dari mencegah kemungkaran itu. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Nasib Rule of Law dan Rule by Ruler’s

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN – Rabu (23/12). Negara hukum yang demokratis itu selalu dirindukan orang. Karena menjanjikan keagumngan setiap individu. Sesuai konteks historisnya, konseop ini menandai naiknya moralitas baru tentang hakikat manusia dan kemanusiaan. Rindu itu yang terus bergerak. Mengurung dan memukau kaum reformasi Indonesia di tahun 1998. Kaum reformasi ini lelah melihat keangkuhan dan kesewenang-wwenangan kekuasaan ketika itu. Lelah melihat law and guns digunakan secara serampangan atas nama keamanan nasional. Keamanan yang didefenisikan secara suka-suka hati oleh penguasa. Ambisi kaum reformasi itu berhasil didesakan dan ditulis dalam UUD 1945 yang diuba sebanyak empat kali. Perubahan secara berturut-turut sejak 1999-2002. Tetapi seperti terekam dalam sejarah hukum, menulis konsep itu dalam UUD adalah satu soal. Sementara merealisasikannya dalam kehidupan bernegara adalah soal lain. Pelik memang. Mengapa? Penuh Dengan Manipulatif Kepelikan ini, sebagian disebabkan konsep yang berinduk pada liberalisme klasik itu. Konsep yang sama sekali tak bicara, sekalipun hanya sedikit, tentang pemimpin dan kepemimpinan politik. Konsep itu juga tak bicara, sekalipun hanya sekelumit, derajat tertib sosial dan politik macam apa yang berkerangka rule of law, yang pantas untuk dikreasikan. Itu peliknya konsep yang berinduk pada liberalism klasik ini. Ihwal tertib sosial dan politik, liberalisme klasik hanya menyodorkan, dalam makna mengandalkan toleransi dan saling menghormati yang berbasis saling memahami antar setiap individu merdeka sebagai kuncinya. Hanya itu titik. Tak lebih. Maxim itu terlihat cukup jelas dalam pandangan Adam Smith, filosof dan ekonom liberal kawakan itu. Smith yang menaruh kepercayaan kuat terhadap rasio, menunjuk cara itu sebagai metode terbaik. Pijakan itu membawanya pada konsep pemerintahan minimum. Pemerintahan jenis ini digambarkan Smith sebagai night watchman state, negara penjaga malam. Libealisme memang begitu skeptik terhadap pemerintah. Dalam mazim liberalisme klasik, pemerintah dibayangkan selalu menjadi faktor. Setidaknya memiliki potensi membahayakan kemerdekaan individu. Semakin besar pemerintah terlibat dalam kehidupan masyarakat, semakin besar potensi terjadinya kerusakan pada masyarakat itu. Seminimum itu sekalipun peranan pemerintah, rule of law tetap diandalkan untuk, pada level konseptual, sebagai cara terbaik menjaga kemerdekaan individu. Dala esensinya, rule of law diandalkan untuk menjinakan tindakan-tindakan sewenang-wenang pemerintah. Untuk tujuan itu, rule of law mengikatkan pemerintah pada hukum. Di Inggris misalnya, cara itu diusahakan secara bergelombang. Diawali, ambisi misalnya dengan pembentukan Petition of Right 1828, yang diprakarsai pembentukannya oleh Sir Edward Choke, ahli hukum paling cemerlang dengan konsistensinya menantang absolutisme raja, disusul Habes Corpus Act 1679. Habes Corpus Act itu dapat diparalelkan dengan KUHAP, yang dibuat tahun 1981. Menariknya sekalipun rule or law sedari awal mencurigai pemerintah, dan bukan rakyat sebagai kekuatan politik yang berpotensi besar merusak kemerdekaan individu, ternyata tersedia celah, yang memungkinkan konsep hebat itu diperkuda oleh penguasa kerdil. Pergeseran rule of law ke rule by ruler’s, tersaji baik dalam alam politik fasistik dan totalitarian maupun demokratis. Penguasa-penguasa itu, dengan kecerdasan piciknya, menemukan dan mengambil “keamanan nasional” sebagai justifikasinya. Salus Populi Suprema Lex Esto yang merupakan pernyataan dari Markus Tulius Cicero, dala dialognya dengan anaknya diambil dan dijadikan justifikasi begitu saja. Salus, yang bermakna etimologis sebagai security atau savety bagi populous, bukan roman noblemen adalah inti konteks pernyataan itu. Struktur masyarakat Romawi yang menjadi latar sosialnya kala itu, tersusun secara hirearkis. Plebian, patrician dan optimate juga slave, merupakan struktur masyarakat Romawi kala itu. Aristokrat, faksi khusus pada patrician, pada masanya teridentifikasi sebagai entitas utama yang menikmati kebijakan republik. Ini dicemaskan, bahkan ditolak Cicero. Itu sebabnya Cicero, dalam bukunya De Legibus atau Hukum, membayangkan seharusnya keamanan dinikmati oleh seluruh rakyat, bukan hanya sekelompok orang saja. Sangat Berbahaya Lenin, Musolini, Hitler dan Agusto Pinoche, untuk menyebut beberapa saja, menjaga pemerintahannya dengan doktrin Cicero Salus Populi Suprema Lex Esto itu. Berbeda dengan masyarakat demokratis, pemerintahan-pemerintahan fasis, yang otomatis totalitarian mengambil kolektifisme sebagai basis sistem sosial politiknya. Konsep ini mereduksi eksistensi individu. Individualisme diganti dengan kolektivisme sebagai basis sosial politik idiologisnya. Kolektivisime, bukan indivudalisme, yang supreme dalam negara itu. Dalam tampilan praktisnya, konsep kolektivisme itu ditransformasi pada personal pemimpin. Pemimpin tersaji dalam politik itu sebagai personifikasi negara. Dan negara menjadi personifikasi masyarakat secara kolektif. Pemimpin, sebagai konsekuensi lanjutannya dalam tampilan praktis bernegara, muncul menjadi integrator seluruh unsur dalam negara. Integrator, sebagaimana diperlihatkan sejarah, selalu berada di puncak piramida seluruh pranata sosial politik negara. Persis seperti sumber air, integrator tersaji menjadi pendefenisi utama seluruh asek kehidupan bernegara. Sehebat itu sekalipun, rezim-rezim itu tidak mampu memberi tolerasi pada keragaman pendapat. Keragaman, oleh rezim-rezim ini dilihat sebagai pantulan liar individualisme, sesuatu yang bertolak belakang secara mendasar dengan konsep kolektivisme. Tertib sosial diseragamkan pada semua aspeknya. Rezim ini, sebagai akibatnya memonopoli kebenaran dalam bernegara, ya hanya kebenaran tunggal. Pemerintah yang memegan monopoli itu. Salus Populi Suprema Lex Esto pun akhirnya menemukan pijakan idiologis untuk eksis. Eksistensinya dipertalikan dengan tujuan nasional negara itu. Dan tujuan nasional, dalam kenyataannya, didefenisikan secara monopoli oleh penguasa. Tidak di luar penguasa. Demi tujuan nasional, kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat, harus dibatasi, praktek yang menjadi tipikal politik selurh rezim fasis dan totalitarian. Tetapi menariknya, fasisme dan totalitarian itu juga digerakan dengan hukum sebagai alat utamanya. Tidak seperti di negara demokratis, hukum yang mengambil bentuk decree, keputusan-keputusan ad hod penguasa. Tidak benar-benar sama dalam substansi dengan postur republik Romawi yang Cicero hidup di dalamnya. Tetapi apa yang dilakukan Pompey Magnus, menarik disajikan. Tidak bicara kolektivisme pada kekonsulannya, tetapi Eric S. Gruen, dalam bukunya The Last Generation of The Roman Republic, diterbitkan oleh University of California Press 1974, mengidentifikasi pembatasan kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat tipikal pemerintahan Pompey. Organisasi yang didalamnya terhimpun banyak orang, oleh Pompey, konsul pada waktu itu, dinilai berbahaya. Penilaian itu menjadi alasan Pompey merancang kriteria untuk mengasingkan orang-orang dan kelompok-kelompok yang dicurigai itu. Untuk tujuan itu, Pompey mentransformasi ke dalam dan rujukan utamanya. Hukum ini dikenal dengan Lex Gabina. Lex ini melarang perkumpulan-perkumpulan bawah tanah, clandestein, berkumpul di kota. Lex Gabina, melengkapi Lex Lutatio, yang telah lebih dahlu ada, yang esensinya melarang tindakan menghasut, seditio atau sedition. Cakupannya meliputi larangan terhadap tindakan menyerang public figure dan isu-isu publik. Kebenaran, jelas dalam semua aspeknya, hanya bertumpu pada apa yang dinyatakan oleh pemimpin dan aparatur negara. Suara-suara di luar yang disetujui negara, menemukan kenyataan tragis. Suara-suara itu, seperti biasa, segera ditunjuk sebagai suara subversif, dalam makna berkualifikasi melanggar hukum pidana. Rule of law ala Pompey inilah yang dengan sedikit modifikasi dipraktekan oleh, ambil misalnya Lenin dan Breznev di Uni Soviet, Musolini di Italia dan Hitler di Jerman. Modifikasi hanya sebatas menambah unsur kolektif sebagai basis idiologisnya, sesuatu yang tidak digunakan Pompey Magnus di Romawi kuno. Pola Pompey ini pulalah, untuk beberapa alasan, terlihat sedang bekerja di Hongkong. Masyarakat demokratis itu, kini terkekang oleh Salus Populi Suprema Lex Esto, yang ditransformasi ke dalam UU Keamanan Nasional, yang pembentukannya didukung pemerintahan China. UU yang baru disahkan itu, dalam kenyataan memberi justifikasi kepada pemerintah menghentikan setiap suara rakyat yang berbeda, kritis pada kebijakan pemerintah. UU Keamanan Nasional inilah, sejauh dapat diverifikasi, digunakan Polisi Hongkong untuk menangkap Jimmy Lai dan Agnes Chou, dua tokoh produktif pro demokrasi Hongkong. Apakah Indonesia mutakhir sedang bergerak mendekat ke praktek itu itu? Apakah kematian tragis petugas pemungutan suara pada pemilu lalu, ditersangkakannya demonstran UU Cipta Kerja, ditersangkakannya Sahganda Nasinggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Habib Rizieq, dan peristiwa Kilometer 50” yang mengakhiri 6 (enam) nyawa pengawal Habib Rizieq, memiliki resonansi itu? Itu soal menarik yang memerlukan analisis tersendiri nanti di tulisan berikutnya. Beralasankah menimbang pembedaan perlakuan hukum untuk kasus kerumunan, diletakan pada perspektif di atas? Penggunaan hukum “hasutan” atau yang pada pemerintahan Pompey disebut “seditio” itu terlihat mulai mudah dijumpai dalam kehidupan mutakhir sekarang. Hukum “penyebaran berita bohong, yang membuat onar” yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1946, terlihat yang semakin sering untuk digunakan. Sembari menanti munculnya keberanian orang untuk menganalisisnya, terasa masuk akal bila kenyataan empirik itu menggoda orang mempertanyakan derajat validitas konstitusional atas tampilan rule of law mutakhir. Rule of law atau rule of ruler? Menarik dianalisis pada waktunya. Konsep rule of law dalam alam demokrasi, mengharuskan siapapun menerima rule as a law. Bukan ruler’s as a law. Norma-norma UUD 1945 memaksa siapapun untuk mengerjakan rule of law dalam karangka itu. Begitulah para pendiri bangsa yang hebat-hebat itu berharap. Salus Populi Suprema Lex Esto, karena itu, mutlak dipertalikan dengan rule of law dalam kerangka norma-norma UUD 1945. Salus Populi Suprema Lex Esto, yang tak ada seorang waras pun menyangkal urgensinya itu, tidak bisa dianggap justifikatif hanya penilaian ad hoc semata. Tiba saat, tiba akal. Berkerangka kerja konstitusional seperti itu, mengakibatkan identifikasi “keamanan nasional” atau keamanan individu atau masyarakat, harus dipertalikan dengan norma hak asasi manusia yang didefenisikan dalam UUD 1945. Yang ini absolut dalam semua aspeknya. Norma-norma itu, terlepas dari apakah mewakili pandangan liberal klasik atau tidak, merefleksikan klaim moral, yang Eamon Butler, dalam bukunya Clasical Liberalism, diterbitkan pertama kali oleh Institute of Economic Affair (IEA), tahun 2015, menggambarkan justice require force, but force requires justification. Tidak bisa sewenang-wenang. Begitu esensinya. Justifikasi sosiologis atau hukum? Justifikasi sosiologis memungkinkan terjadinya reduksi atas objektifitas. Pilihan konstitusionalnya adalah justifikasi hukum. Mengapa? Rule of law mengharuskan siapapun menerima hukum sebagai hal objektif, dan melarang pertimbangan-pertimbangan subjektif. Hanya begitu pilihannya. Bukan selain itu. Bentuk empirik dari subjektif itu terefleksi dari sikap anti kelompok ini, pro kelompok itu. Kelompok ini begini dan kelompok itu begitu, persis yang dipraktekan Nazi pada Hitler. Rule of law dan ilmu hukum jelas dalam soal itu. Subjektifitas tidak diberi tempat dalam penegakan hukum. Pahami itu baik-baik. Rule of law secara absolute mengharuskan aparatur memelihara pikiran dan tindakannya dengan objektifitas. Penegakan hukum, harus, tanpa alasan, memenuhi prinsip-prinsip due process of law atau due process clause. Prinsip-prinsip ini tersebar dalam UUD 1945, KUHAP dan peraturan lainnya. Mengesampingkan prinsip-prinsip itu, sama dengan membawa bangsa ini terjatuh ke dalam kubangan fasisme dan totalitarianism. Seluruh aspek kehidupan ditentukan oleh pemimpin. Bukan soal rule of law akan tergantikan dengan rule by ruler’s. Tetapi penyankalan terhadap hakikat alamiah manusialah yang menjadi masalah besar. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Diskresi Menkopolhukam Ikut Menghasut Kerumunan Orang?

by Gde Siriana Jakarta FNN – Ahad (20/12). Menarik perhatian publik ketika Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) memberikan menuding secara halus bahwa Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD sebagai sumber kekisruhan. Persoalan kekisruhan yang berkaitan dengan kerumunan Habib Riziek Shihab (HRS) yang kini menjadi persolan hukum. Tudingan langsung ini terkait diskresi Menkopolhukam yang membolehkan kerumunan orang saat penjemputan HRS di bandara Soekarno Hatta. Padahal sebelumnya pemerintahsudah mengingatkan masyarakat untuk tidak membuat kerumunan orang. Keterusterangan Ridwa Kamil seperti puncak kekesalan Daerah kepada Pusat. Kekesalan yang sebelumnya seringkali menunjukkan inkonsistensi terkait penanganan pandemi covid 19. Satu sisi Pusat mengintruksikan Pemda untuk kerja serius dan extraordinary. Namun sisi lain, misalnya Pemerintah Pusat memaksakan Pilkada tetap berjalan meski masih pandemi. Bagaimana mungkin Kepala Daerah (apalagi petahana) bisa fokus pada penanganan pandemi? Sebab di saat yang bersamaan petahana harus ikuti proses Pilkada minimal 3-6 bulan sebelum hari pencoblosan. Ucapan Ridwan Kamil ini mewakili Pemda lainnya yang punya pandangan sama tetapi mereka tidak berani menyampaikannya di depan publik. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tentu menghadapi situasi yang sulit untuk menyampaikan larangan kerumunan orang pada acara-acara HRS selanjutnya. Apalagi ketika Pusat yang diwakili Menkopolhukam sudah membolehkan kerumunan orang saat menjemput HRS di bandara. Tetapi setidaknyasecara administraif Anies Baswedan sudah mengenakan sanksi denda kepada HRS sebagi bentuk tanggung jawabnya secara proporsional. Sekarang Pemda DKI dan Jawa Barat disalahkan terkait kerumunan yang dihadiri HRS. Sayangnya, alasan Menkopolhukan Mahfud MD bahwa diskresinya hanya terbatas pada kerumunan saat penjemputan HRS di bandara hingga diantar sampai petamburan. Ini bentuk diskresi yang mengundang bahaya dan menyulitkan kewenangan Pemda. Bahwa kemudian Pemda harus bekerja keras untuk melarang terjadinya kerumunan berikutnya pasca penjemputan HRS di bandara itu bukan soal mudah. Bukan seperti halnya melakukan pekerjaaan mekanis. Akan lebih mudah bagi daerah untuk memperkuat konsistensi pusat dari pada menafsirkan batas-batas dari inkonsistensi pusat. Seharusnya Menkopolhukam sudah menyadari kondisi kerumunan itu sebelum melakukan diskresi. Atau memang tidak mempertimbangkan psikologi massa pendukung HRS yg menganggap kerumunan lainnya pun sama derajatnya dengan kerumunan penjemputan HRS sepanjang mengikuti protokol kesehatan (prokes). Sama halnya dengan masyarakat memandang kerumunan orang pada pendaftaran Pilkada di berbagai daerah. Jadi, bisa dipertimbangkan bahwa diskresi Menkopolhukam menjadi semacam faith accompli kepada Pemda DKI dan Jabar dalam menafsirkan diskresi Menko. Publik tentu saja kaget dengan pembelaan Menkopolhukam terkait batasan diskresinya. Sebab ini hanya mempertegas dualisme dan inkonsistensi kebijakan pemerintahan Jokowi dalam mengatasi pandemi covid 19. Sebelumnya juga terjadi begitu. Saat tiket pesawat diskon dan promo liburan dibiarkan, meski ada tambahan pesan "ikuti prokes". Namun tetap saja ini membuat Pemda kewalahan menghadapi kerumunan massa di lokasi liburan. Juga soal Pilkada. Saat pendaftaran dibiarkan kerumunan orang, dan lagi-lagi cukup dengan pesan harus "ikuti prokes". Alhasil Pemda pun makin berat kerjanya ketika banyak kerumunan terkait Pilkada. Bukan hanya saat pendaftaran. Tetapi juga terjadinya kerumunan kecil di kawasan pemukiman, dimana timses paslon bergerilya. Dan kerumunan kecil ini banyak tidak tersorot oleh media. Juga dilaporkan ketika petugas pilkada positif tertular. Ini pasti menambah pekerjaan Pemda dalam melakukan test dan tracing. Kesimpulannya, setelah berbulan-bulan perilaku pemerintah seperti uraian di atas, wajar saja jika kemudian masyarakat menafsirkan kerumunan yang lain seperti di pasar, di cafe, di Pilkada, di obyek wisata, acara keagamaan, termasuk acara-acara yang dihadiri oleh HRS, diperbolehkan saja asal mengikuti aturan prokes. Dalam situasi sudah kusut seperti ini, apakah diskresi Menkopolhukam ini dapat diperlakukan oleh penegak hukum (polisi) sama halnya seperti polisi mentersangkakan HRS dan lima orang pengurus FPI terkait kerumunan Petamburan? Juga ketika Polisi mengenakan tuduhan penghasutan aksi menentang OmnibusLaw pada Aktivis Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana? Apakah diskresi Menkopolhukam ini juga bisa dianggap ikut mendorong dan membiarkan terjadinya kerumunan orang di Bandara? Tentunya jika para deklarator KAMI tersebut bisa dikenakan pasal penghasutan, diskresi Menkopolhukam juga bisa dianggap ikut mendorong, atau setidaknya membiarkan terjadinya kerumunan orang. Semestinya Mahfud MD punya kewenangan untuk melarangnya. Tetapi sekali lagi, penafsiran hukum sangat dipengaruhi oleh posisi dan subyektifitas pihak yang menafsirkannya. Penulis adalah Direktur Eksekutif INFUSS

Mengapa Rakyat Unjuk Rasa Besar Lagi Hari Ini?

by Asyari Usman Medan FNN - Jumat (18/12). Polda Metro Jaya mengatakan pihaknya tidak akan mengizinkan aksi unjuk rasa di sekitar Istana, hari ini. Tapi, aturan tentang unjuk rasa menyebutkan bahwa para pengunjuk rasa tidak memerlukan izin dari Kepolisian. Yang berunjuk rasa cukup memberitahukan saja ke Polisi. Dan Polisi wajib menerbitkan tanda terima pemberitahuan secepat mungkin. Berunjuk rasa itu adalah hak asasi rakyat sebagaimana tertera di UUD 1945 Pasal 28 E. Kemudian, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi lewat Undang-Undang No. 12 tahun 2005. Lalu ada Pasal 25 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maupun UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Dalam siaran pers tertanggal 19 Oktober 2020, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan bahwa unjuk rasa (demonstrasi) tidak memerlukan izin. Cukup pemberitahuan tempat dan taksiran jumlah massa. Kata Mahfud, petugas keamanan harus memperlakukan pengunjuk rasa dengan humanis. Jadi, cukup jelas hak untuk menyampaikan pendapat di depan unum. Untuk tidak memberikan izin, Kepolisian harus memiliki alasan yang diatur juga di dalam UU. Tidak bisa hanya dengan mengeluarkan pernyataan “tidak diizinkan”. Unjuk rasa hari ini diperkirakan akan diikuti massa dalam jumlah besar. Rakyat mau menuntut pembentukan tim pencari fakta independen (TPFI) untuk mengusut tuntas pembunuhan 6 laskar FPI pada 7 Desember 2020. Rakyat juga menuntut pembebasan tanpa syarat Habib Rizieq Syihab (HRS). Mengapa rakyat harus turun lagi? Simpel saja. Rakyat hanya ingin merespon kezaliman yang semakin menjadi-jadi. Dalam suasana seperti sekarang ini, pastilah publik merasa berat turun ke jalan. Tetapi, peristiwa pembunuhan 6 laskar dan penahanan HRS yang dirasakan sangat tidak adil itu membuat masyarakat tidak punya pilihan lain. Mereka merasa perlu menyatakan kegundahan. Negara ini kelihatan dikelola seperti milik pribadi. Bahkan, mengelola milik pribadi pun tidak bisa semena-mena. Tidak bisa main tembak dan kemudian keluarkan stetmen bahwa penembakan harus dilakukan karena mengancam keselamatan petugas. Indonesia selalu dikatakan negara hukum. Semua harus taat hukum. Semua penguasa mengatakan itu. Nah, sekarang hukumlah yang harus menjadi acuan untuk memastikan apakah pembunuhan 6 laskar FPI itu “lawful” (sesuai hukum) atau “unlawful” (melanggar hukum). Siapakah yang berhak menentukan “lawful” atau “unlawful”? Jawabannya: hanya pengadilan. Dalam hal ini pengadilan HAM. Mengapa pengadilan HAM? Karena ada indikasi kuat tentang adanya pelanggaran HAM berat terhadap keenam laskar yang dibunuh itu. Hak hidup mereka telah dihilangkan dalam situasi yang penuh kejanggalan. Itu pula sebabnya publik menuntut keras agar penyelidikan atas pembunuhan itu dilakukan oleh TPFI. Yang melibatkan banyak pihak dari berbagai latarbelakang. Hanya temuan dan kesimpulan TPFI-lah yang bisa dijadikan rujukan. Sebab, TPFI hampir mustahil akan membuat kesimpulan yang memihak ke siapa pun. Jadi, sangat sederhana. Begitu pemerintah membentuk TPFI, publik pasti akan tenang. Tidak akan ada lagi yang curiga. Sangat baik bagi pemerintah, baik untuk Kepolisian dan sangat pas untuk memulihkan kepercayaan masyarakat.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)