NASIONAL
Kemewahan Terakhir Rakyat
by Tamsil Linrung Jakarta FNN – Jum’at (01/01). Demokrasi, dengan berbagai instrumen yang melekat di dalamnya adalah kemewahan tunggal. Juga kemewahan terakhir yang dimiliki oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia. Demokrasi tak melihat stratifikasi dan kelas ekonomi. Pandangan politik, juga tak bisa jadi argumentasi untuk menegasi hak-hak berdemokrasi. Bahkan, dalam pergumulan dan dinamika politik itulah, demokrasi dituntut merefleksikan nilai dan esensi. Demokrasi adalah satu-satunya mahkota yang secara sah diwariskan, dan bebas digunakan oleh setiap anak bangsa yang telah merdeka ini. Terdistribusi merata. Tidak timpang, seperti terjadi di sektor ekonomi akibat kegagalan kebijakan. Semua punya hak yang sama atas demokrasi. Tak ada yang bisa mengklaim sebagai pemilik tunggal. Apalagi merasa paling otoritatif mengangkangi demokrasi. Bahkan kekuasaan itu sendiri, harus taat dan tunduk pada rambu-rambu demokrasi. Bila ada unsur di dalam suatu negara hukum yang merasa paling punya kewenangan menafsir dan menghegemoni demokrasi, maka pada saat itu demokrasi kita sesungguhnya sudah roboh. Demokrasi tidak memberikan pedang kepada pranata kekuasaan untuk mengamputasi kelompok, atau organisasi yang secara sepihak ditafsir “berbahaya”. Ada proses pengadilan yang harus ditempuh. Ada rambu-rambu hukum yang jelas mengatur. Penggunaan kekuasaan dengan serampangan, justru amat berbahaya bagi bangsa ini ke depan. Siapapun, jadi punya argumentasi untuk membubarkan kelompok-kelompok yang secara subyektif divonis berbahaya. Kita akan disibukkan saling melabeli. Ini tidak sehat. Semestinya, nafas demokrasi bergemuruh dengan dialog. Demokrasi Pancasila, mengajak kita duduk bersama. Menuntun bermufakat dalam hal-hal yang kita sepakati. Bertoleransi dalam silang pendapat. Bukan malah menggebuk mereka yang tidak sepakat. Lagipula, sikap over protective justru mencerminkan rasa rendah diri. Negara jangan dijebak seolah mengidap inferiority complex. Gamang atas keyakinan sendiri. Tidak percaya, bahwa ideologi yang dianut jauh lebih baik dibanding ideologi yang dilabeli “berbahaya”. Kalau sudah seperti ini, lantas siapa sebetulnya yang secara praktik memosisikan negara, bangsa, dan ideologinya lemah? Terus terang, kita merasa cemas. Kebatinan kita sebagai anak bangsa terganggu. Ketika anasir-anasir yang mendegradasi demokrasi terus difestivalisasi. Diglorifikasi sebagai kemenangan atas sebuah perang akbar. Lalu disambut dengan sorak sorai semu dari para buzzer politik. Tanpa punya pijakan aspirasi yang lahir dari kesadaran. Partai politik koalisi tambun, seharusnya lebih dari cukup sebagai modal membangun rasa percaya diri. Modal politik itu, mestinya mampu menopang konfidensi. Tak resah. Apalagi sampai terus meniupkan propaganda bahwa bangsa terancam karena dengung vokal kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam beraspirasi. Ancaman laten yang sesungguhya mendera bangsa ini adalah kemiskinan, ketimpangan ekonomi antar kelas yang parah, dan krisis multi dimensi akibat kegagalan menangani pandemi Covid-19. Mempersempit ruang kebebasan sipil, apalagi ada wacana mengaktivasi patroli siber. Justru kian jauh menyeret bangsa ini ke periode gelap otoritarianisme yang telah kita kubur di masa lalu. Jalan mundur kehidupan demokrasi bangsa Indonesia bukan sebatas isu. Tapi telah jadi fakta empirik. Disoroti berbagai lembaga global pemerhati demokrasi. The Economist Intelligence Unit’s Democracy Index yang dirilis Januari 2020 misalnya, menempatkan demokrasi Indonesia di urutan 64 dari 167 negara yang diteliti. Bandingkan dengan negeri jiran, Malaysia yang kerap disebut-sebut “belajar berdemokrasi” dari kita, situasinya justru lebih baik. Jauh di atas Indonesia, yaitu di posisi 43. Indeks demokrasi EIU itu, tidak asal-asalan disusun. Namun mengacu pada 60 indikator yang kemudian dikluster ke dalam lima isu utama. Termasuk tingkat partisipasi dalam politik. Yang dalam beberapa studi empiris, ditemukan, jika partisipasi dan pilihan politik masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau melek politik, serta kondisi ekonomi. Artinya, indeks demokrasi tersebut, merefleksikan situasi kehidupan masyarakat di bawah. Penilaian The Economist itu, melengkapi berbagai alat ukur terhadap progres atau langkah suatu bangsa. Termasuk Human Development Index yang secara reguler dirilis oleh United Nations Development Programme. Indeks Pembangunan Manusia dari PBB. Yang sama mencemaskan, rendahnya mutu demokrasi dan pembangunan bangsa Indonesia yang disajikan tersebut, terjadi sebelum krisis multidimensi terjadi. Sementara pandemi Covid-19, telah mengoyak tatanan kehidupan bangsa. Artinya, bila ada studi baru yang menyigi kehidupan kebangsaan kita hari ini, hampir bisa dipastikan semua indikator mendapatkan nilai merah. Kembali ke soal isu demokrasi, HAM dan kebebasan. Pandemi Covid-19 betul-betul dimanfaatkan untuk memuluskan berbagai agenda, yang dalam situasi normal sulit diimplementasikan. Covid-19 seolah dianggap sebagai alat legitimasi. Paling baru adalah UU Omnibus Law yang disahkan atas nama investasi dan pemulihan krisis ekonomi. RUU Omnibus Law itu, kita saksikan mendapat badai protes yang bergelombang. Berbagai elemen masyarakat tumpah ruah di jalan. Menuntut penolakan dan pembatalan. Namun aspirasi yang mestinya diserap dalam proses legislasi negara demokrasi yang sehat, justru dikesampingkan. Ada apa ini? Yang menyedihkan, gelombang aspirasi itu bahkan memakan banyak tumbal. Menurut Amnesty Internasional Indonesia, 402 orang jadi korban kekerasan aparat dalam demo penolakan UU Omnibus Law. Ini persis yang diingatkan oleh Harvard University. Sebuah artikel yang terbit di laman resmi kampus terkemuka itu menyebut, pemerintahan otoriter di berbagai negara, yang hampir bisa dipastikan secara ekonomi disetir oleh oligarki dan konglomerasi, tampak terburu-buru mengesahkan banyak aturan. Aji mumpung. Selagi perhatian rakyatnya tersedot ke persoalan Covid-19. Situasi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari satu tahun ini saja, telah jauh mendegradasi kehidupan bangsa ini. Indonesia, seperti nada khawatir yang ditulis oleh Harvard University terhadap praktik otoriter di tengah-tengah bencana, ditengarai akan mengalami kehidupan demokrasi yang berbeda yakni semakin jauh dari harapan setelah pasca Covid-19. Dengan kata lain, Indonesia semakin dekat dengan apa yang disebut oleh The Economist sebagai hybrid regime. Rezim hibrida. Dimana penguasa menganut politik campuran sebagai akibat dari transisi yang tidak selesai dari rezim otoriter ke rezim demokratis. Rezim hibrida menggabungkan fitur-fitur otokrasi berdasarkan kekuasaan otoritarian dengan fitur demokrasi. Anasir-anasir demokrasi tampak digunakan. Namun justru untuk melanggengkan praktik otokrasi. Misalnya memakai stempel legislatif untuk mengesahkan UU, meski ditolak oleh rakyat. Dalam bahasa lain, hal ini merupakan refleksi menguatnya oligarki. Ruling oligarchy. Seperti istilah yang diintrodusir oleh Profesor Jeffrey Winters dari Northwestern University, Amerika Serikat. Penulis adalah Senator Dewan Perwakilan Daerah.
Ahli Hukum Itu Ternyata Jongosnya Nazi
by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum Jakarta FNN – Jum’at (01/01). Ketika rezim demokratis mulai produktif dengan kebijakan represif, maka setiap orang dalam negara itu harus mulai membuka lembara-lembaran memorial untuk lebih cermat dan teliti. Sejarah menunjukan rezim-rezim teror, penindas bengis dan jijik, lahir dari alam demokrasi. Demokrasilah yang melambungkan Adolf Hitler. Pria inferior, yang sempat diragukan kemampuannya oleh eksekutif I.G Farben. Memasuki kekuasaan setelah Nazi memenangkan pemilu legislatif, Hitler dengan bantuan ahli hukum yang bersedia menjadi jongosnya, memukul habis demokrasi itu. Korporasi Yang Biayai Hitler Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP), atau National Socialist German Workers' Party, dikenal umum Partai Nazi. Partai ini mengawali evolusinya melalui apa yang dikenal dengan Deutsche Arbeiterpartei (DAP). DAP eksis pada tahun 1920. Partai ini diprakarsai oleh para nasionalis Jerman, dan pekerja dengan kultur paramiliter. Spirit utama mereka, sederhana saja, “melawan komunis di Jerman pasca perang dunia pertama”. Spirit ini ternyata membawa Nazi, dengan Adolf Hitler, pria inferior ini menggenggam kekuasaan dan menjadi penindas paling sistimatis, kejam, bengis dan menjijikan terhadap rakyatnya. Menurut Charles F. Andrian, para pendukung Hitler itu berharap dapat memperoleh keuntungan dari persenjataan kembali Jerman. Selama berkuasa, program-program Nazi, juga Fasisme Italia, tulis Andrian, cenderung menguntungkan para pemilik tanah luas, dan industriawan besar. Siapa saja industriawan dan korporasi besar itu? Robert Simon Yavner, dalam artikel I.G Farben’s Petro-Chemical Plant and Concentration Camp at Auschwitz, menunjukan Frizt Haber dan Carl Boch (Haber-Bosch). Tahun 1916 mengambil alih BASF, Bayer, Hoescht, Cassela, Agfa, Griesheim dan ter-Mer. Tahun 1925 korporasi-korporasi ini dimerger. Terbentuklah I.G Farbenindustrie Aktiengesellschaff, yang dikenal dengan nama “I.G. Farben”. Bagaimana mereka mendekatkan, bahkan mengendalikan Hitler? Pemilu untuk Reigstaat tahun 1932 membawa partai Nazi memperoleh 230 kursi dari 608 kursi. Belum mayoritas. Tetapi itu sudah terbesar. Jumlah kursi itu menjadi politik Hitler memasuki kekuasaan. Presiden Jerman, Hindenberg, segera mengangkat dirinya (Hitler) menjadi Chancelor. Hitler belum benar-benar aman, sekalipun telah menjadi Chancelor. Didepan matanya akan berlangsung pemilihan Reigstaat yang lain. Pemilihan yang akan berlangsung pada tanggal 5 Maret 1933. Hitler berambisi memenangkannya. Bagaimana caranya? Herman Gorring, pencipta Gestapo, polisi rahasia Nazi, dikenal sangat kejam. Gorring yang bekerja berdasarkan panduan polotik Hitler, dan bukan hukum segera beraksi. Soal GESTAPO akan diulas pada kesempatan lain. Gorring segera mengadakan pertemuan rahasia dengan Hjalmar Schacht, salah seorang dari komunitas korporasi financial kala itu. Pertemuan ini berlangsung pada tanggal 20 Februari 1933. Gorring berharap akan memperoleh donasi dari komunitas ini sebesar tiga juta Reichmark untuk kepentingan Hitler memenangkan pemilu legislatif itu. Tercapaikah uang sebesar itu? Yavner menulis George von Cshnitzler, anggota dewan direksi dan direktur pemasaran I.G Farben, segera memperoleh instruksi dari Carl Bosch. Kepadanya, Bosch memerintah memberikan donasi sebesar 400.000 Reichmark. Hitler telah dibeli I.G Farben, dan menemukan diri berhutang untuk sebuah kemenangan Pemilu Legislativ pada I.G. Farben. Semuanya telah menjadi jelas untu Hitler dan I.G Farbenm. Hitler segera menggelar pertemuan rutin dengan I.G. Farben. Politik berbicara dengan tipe korup yang khas. Herman Schitz, orang I.G Farben segera diberi jabatan oleh Hitler sebagai deputi Reighstag, November 1933. Buetefisch, orang I.G. Farben lainnya segera bergabung dengan Gestapo, yang kala itu dipimpin oleh Heindrich Himmler. Begitulah kenyataannya. Oligarki dan korporasi milik orang kaya bekerja, yang isi kepalanya hanya uang dan untung. Mereka selalu mendekatkan diri pada pemerintah. Selalu menguasai dan mengarahkan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk keuntungan mereka. Begitulah mereka, dimanapun. Mereka adalah kelompok manusia yang suka pada represi. Menjadi Jongos Nazi Hitler telah menggenggam kekuasaan sejak tahun 1933. Apa yang pertama dilakukan Hitler untuk meciptakan tatanan sosial politik dalam rangka melancarkan ambisi menjijikan itu? Hitler bukan ahli hukum. Dia tak mengerti hukum. Tetapi dia hanya merealsaikan ambisi horornya. Langkah pertamanya hanya dengan menangani hukum terlebih dahulu. Hukum, tepatnya sistem hukum langsung digarap. Diawali dengan membentuk Anabling Act 1933. Soal Anabling Act ini tidak akan saya ulas lagi. Hitler tahu ada orang yang ambisius. Yang pikiran dan sikapnya selalu konyol. Sikap seperti jongos, yang bersedia melayani Nazi. Salah besar kalau mengidentifikasi dua ahli hukum saja yang menyediakan dirinya menjadi jongos Nazi. Sekali lagi itu amat salah. Itu karena tidak mungkin membayangkan pengadilan Nazi dan Kementerian Kehakiman diisi oleh orang non hukum. Gustav Rudbruch, Carl Schimitt dan Hans Frank, harus diakui, dengan bobotnya yang berbeda, memainkan peran menentukan dalam pembentukan sistem hukum Nazi. Gustav dan Schimitt, sering disebut Schimittian untuk menunjuk pikiran-pikirannya adalah filosof. Sedangkan Frank, anak muda ini, adalah praktisi yang terlatih. Schmitt menyediakan fundasi filsafat untuk menjustifikasi nilai-nilai baru. Nilai yang selaras dalam esensi dan tampilan dengan visi Nazi, yang berpusat pada Hitler. Schmitt, anggota Privy Counsel, Ketua Reichfachgroupee, dan profesor pada Federasi Ahli Hukum Nazi, membuat “Dasar-Dasar Baru Penegakan Hukum”. Salah satu prinsip bentukan Profesor pencipta konsep “Total State”, yang kelak dikenal dengan sebutan “totalitarian state” ini adalah “penegakan hukum bersifat langsung dan dikontrol secara eksklusif, dengan cara menerapkan ketentuan-ketentuan yang bersifat umum”. General Clause, itu bukan undang-undang. Tetapi nilai dominan bangsa. Schimitt mengonsepkan nilai ini, dalam kerangka “Total State”. Nilai ini dilukiskan olehnya sebagai nilai homogen rakyat. Nilai yang kerangka kerjanya bersifat absolute dan otoritatif. Itu adalah personifikasi pada Fuhrerr, Hitler. Hakim, dalam prinsip General Clause ini, tidak bisa menggunakan silogisme. Ini mutlak. Tak bisa ditawar-tawar dengan alasan apapun itu. Hakim tidak diberi diskresi dalam memutus perkara. Hakim terikat pada idiologi Nazi. Pengadilan dipersonifikasi pada Hitler, dengan akibat yang jelas. Curt Rothemberg misalnya menjelaskan hakim yang kata-katanya dan sikapnya berbeda dengan Nazi, dihukum. Ide Recshtaat tentang konsep hukum, oleh Schimitt tidak dihubungkan dengan hakikat ide Rechstaat itu sendiri. Karena tradisi kebebasan burjois. Jadi sejak itu ide Rechstaat atau rule of law mengesampingkan human being, baik sebagai individu maupun sebagai asosiasi. Schimitt tersohor dalam politik sebagai pemikir, dan penyedia argumen filosofis untuk menjustifikasi ide-ide Hitler. Berbeda dengannya, Hans Frank, anak muda energik dan ambisius, yang telah mengenal Hitler sejak tahun 1928, memainkan peran teknokratis yang hebat. Diminta Hitler menjadi lawyer untuk anggota Nazi yang dituduh dan disidang pada tahun 1927-1930, Hans Frank membangun relasi dengan Hitler. Membentuk organisasi untuk Nazi Lawyer pada tahun 1928, Hans segera dipakai Hitler menjadi pembela atas tiga orang tentara Jerman yang disidangkan di Leipzig Reichwahr. Orang-orang ini dituduh melakukan high treason (penghianatan tingkat tinggi). Cerdas, Frank memberi Hitler panggung. Hitler diundang Frank ke pengadilan menyampaikan pidato dalam sidang itu. Hitler menggunakan kesempatan itu. Nasib, semua usaha pembelaannya, termasuk pembelaan Hitler, tidak mampu membebaskan ketiga terdakwa. Tetapi kesempatan itu telah sangat berguna untuk Hans Frank. Dia telah memperoleh simpati hebat dari Hitler. Hasil mengagumkan pun menanti pasti. Frank segera tertakdir sebagai ahli hukum utama Nazi, (Premier Nazi Lawyer). Hal-hal hebat lain pun segera mendatangi Hans. Hans segera diminta Hitler menjadi pengacara pribadinya, dan pada waktunya Hans diangkat Hitler memimpin pembentukan sistem hukum Nazi. Melukiskan dirinya sebagai manusia dengan ambisi besar, yang memiliki kemampuan pemimpin Jerman suatu hari kelak. Hans segera bekerja menanganai sistem hukum, berdasarkan perintah Hitler. Hans, pria ambisius ini punya dua strategi pembentrukan system hukum Nazi. Kedua strategi itu, disebut Cintya Fountanine, dalam Complicity in Perversion of Justice: The Royal of Lawyer Eroding the Rule of Law in the Third Reich, dimuat dalam Jurnal St Mary’s Journal on Legal Malpractice and Etics Vol 10. Nomor 2, 2020 adalah “purging and coordinating”. Esensi strategi “purging” tidak lain selain membersihkan organisasi pengacara Jewish Lawyer, Sosial Democrat Lawyer dan Communist Lawyer. Organisasi BNSDJ, dibersihkan dari tiga kelompok itu. Pada saat yang sama Law for Restoration of Profesional Civil Service diberi mandate membersihkan organisasinya dari semua Jewish (Yahudi), Social Democrat, hakim-hakim yang secara politik tak dapat dipercaya, Jaksa, dan para dosen progresif di Universitas, dibersihkan. Mandat itu menakutkan. Karl Linz, Ketua Federasi Hakim, benar-benar takut. Linz menghawatirkan keamanan kerjanya. Dia segera bertemu Hitler. Tetapi dengan cerdik Hitler malah memberi jaminan terhadap independensi hakim, jaminan khas orang mabuk kekuasaan. Strategi itu bekerja dengan cara yang sama mematikan, juga terlihat pada strategi kedua “coordinating”. Sebagai bagian integral dari strategi membangun sistem hukum Nazi, strategi kedua ini menancapkan pengendalian. Cerdik, setelah ahli hukum dari kalangan Yahudi, Social Demokrat dan Komunis dibersihkan dari organisasi pengacara, strategi kedua mengambil bentukl kongrit lainnya. Organisasi Pengacara yang telah dibersihkan dari unsyur Yahudi, Sosial Demokrat dan Komunis, ditransformasi ke dalam kontrol penuh Menteri Kehakiman yang diberi kewenangan melaksanakan transormasi itu. Dia diberi wewnang membuat semua aturan dalam menata sistem hukum. Ini terjadi tahun 1934. Pembaca FNN.co.id yang budiman. Bagaimana melihat Hans Frank, dalam implementai strategi ini. Memang tidak djelas. Tetapi Hans Frank telah diangkat Hitler menjadi Wakil Menteri Kehakiman, tanpa portofolio. Tahun 1936, Kementrian Kehakiman menerbitkan Code Etik pengacara, yang materinya merupakan penjabaran dari doktrin Nazi, yang berasal dari Hitler. Visi Hitler mengenai sistem hukum sangat jelas. Kepentingan negara berada di atas kepentingan klien. Pengacara harus merealisikannya. Kewajiban profesional Lawyer, dalam visi itu sangat jelas. Harus merepresentasi, mendahulukan kepentingan negara. Visi ini mencapai kesempurnaan pada tahun 1939. Jerman, dengan Nazi yang dipandu Hitler, jelas pada semua aspek. GESTAPO, polisi rahasia dengan cara joroknya mematai-matai, mengawasi, menangkap, dan menjebloskan siapa saja yang berbeda haluan politik dengan Nazi di Kamp Konsentrasi. Tak ada proses peradilan, apalagi fair. Jorok sekali. Itulah hasil kerjas ahli hukum jongos terhadap sistem hukum Nazi. Schimitt Hans Frank, dan Menteri Kehakiman, telah menulis hari esoknya dengan cara itu. Rakyat, khususnya Yahudi, Komunis dan Sosial Demokrat terkapar. Bagaimana dengan para oligarki yang menjadi cukong-cukong Hitler? Mereka selalu berjaya. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Harapan Awal Tahun 2021, Membangun Kecerdasan Politik Rakyat
by Farouk Abdullah Alwyni Jakarta FNN – (01/01). Mengawali awal tahun 2021 ini kita disajikan oleh pertunjukan politik unik Indonesia, ketika Sandiaga Uno diangkat menjadi Menteri di Kabinet Jokowi. Dengan masuknya Sandiaga ke kabinet pemerintahan Jokowi, maka lengkaplah sudah satu pasang Calon Presiden dan Wakil Presiden (Prabowo-Sandi) dari kubu lawan pasangan dengan Jokowi-Ma’ruf. Prabowo –Sandi masuk menjadi anak buah pasangan Jokowi’Ma’ruf yang memenangi pemilihan Presiden 2019. Padahal awalnya Prabowo-Sandi tidak menerima kemenangan sang calon Jokowi-Ma’ruf Amin. Sehingga Boleh dibilang proses politik yang terjadi tersebut adalah pendidikan politik yang paling unik dalam konteks internasional negara demokrasi modern. Sejarah baru dari proses demokrasi Indonesia telah dimulai, sejak pemilihan presiden yang langsung dipilih rakyat tahun 2004. Dalam satu sisi yang terjadi itu mungkin disebut ingin meminimalkan gesekan politik yang terjadi sewaktu proses pilpres berlangsung, dimana dua kubu pendukung calon pasangan presiden saling memberikan hujatan satu sama lain dengan istilah “cebong” dan “kampret”. Tetapi persoalannya, proses politik yang tejadi tersebut pada dasarnya menegasikan konsep demokrasi yang dikenal secara luas. biasanya pihak yang kalah berada di luar dan menjadi oposisi, dan mengkritisi pemerintahan yang berkuasa, agar proses “check and balance” bisa terjadi. Karena dengan ketiadaan “check and balance”, maka yang dirugikan adalah demokrasi, dan masyarakat secara keseluruhan. Proses kontrol dalam pemerintahan di negara demokrasi mutlak harus dilakukan. Karena tanpa kontrol, tidak mustahil kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan. Kita mendengar istilah lama terkait hal ini yang disebut dengan “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang baik, belakangan lembaga-lembaga pembangunan internasional menggunakan istilah “good governance”. Bahkan dalam level perusahaanpun dikenal secara internasional istilah “good corporate governance”. Dalam sejarah Islam setelah Rasulullah, Khalifah Pertama yang terpilih secara Syura, Abu Bakar Assiddiq Radiallaahu Anhu, yang menyatakan dalam khutbah pertama pengangkatannya sebagai Khalifah, “…, If I do well, help me; and if I do wrong, set me right. … Obey me so long as I obey God and His Messenger. But if I disobey God and His Messenger, you owe me no obedience. …” Esensi dari khutbah pertama Abubakar Assiddiq Radiallaahu Anhu ini adalah bahwa para pengikutnya mempunyai kewajiban untuk mengikutinya hanya jika beliau melakukan hal-hal yang benar. Tetapi mereka tidak harus mengikutinya jika beliau melakukan kesalahan, bahkan perlu melakukan koreksi kepadanya. Bahkan mengoreksinya dengan peddang sekalipun. Sebenarnya hal ini juga refleksi dari hadits Rasulullah Shallaahu Alaihi Wasallam yang menyatakan bahwa “seorang Muslim harus selalu membantu saudaranya. Baik saudaranya itu berbuat kebaikan dan kebenaran maupun kesalahan”. Para sahabat bertanya bagaimana mungkin mereka harus membantu saudaranya jika mereka melakukan kesalahan, Rasulullah Shallaahu Alaihi Wasallam menjawab “bahwa cara membantu saudaranya itu dengan mengkoreksi kesalahan-kesalahan yang dibuat saudaranya”. Pada prinsipnya penerapan “good governance” dan “check and balance” dalam tata kelola negara. Hal yang senada juga dinyatakan oleh politisi dan negarawan Amerika Serikat, diantaranya Theodore Roosevelt (Presiden Amerika Serikat ke 26) menyatakan “to announce that there must be no criticism of the President, or that we are to stand by the President, right or wrong, is not only unpatriotic and servile, but is morally treasonable to the American Public”. Terjemahan dari pernyataan Presiden Theodore Roosevelt itu kurang lebih adalah “menyatakan bahwa disana harus tidak ada kritik terhadap Presiden, atau kita harus selalu mendukung Presiden benar atau salah adalah bukan hanya tidak patriotis dan berjiwa budak. Tetapi secara moral telah berkhianat kepada masyarakat Amerika.” Selain itu, Benjamin Franklin, salah satu founding father Amerika Serikat juga menyatakan “it is the first responsibility of every citizen to question authority”. Tang terjemahannya “adalah tanggungjawab utama dari setiap warga negara untuk mempertanyakan otoritas”. Yang tidak kalah penting, ketika kita menghadapi penurunan kualitas demokrasi dewasa ini adalah pernyataan George Washington, Presiden Amerika Serikat pertama, yang menyatakan “If freedom of speech is taken away, then dumb and silent we may be led, like sheep to the slaughter”. Terjemahan bebas dari pernyataan Presiden George Washinton itu, “jika kebebasan berbicara dicabut, dan kita diarahkan untuk bisu dan diam, itu seperti domba-domba yang akan disembelih”. Tentunya dalam kesempatan yang lain kita bisa bahas batas antara kebebasan berbicara dan penghinaan. Tetapi esensi kebebasan berbicara disini adalah kritik terhadap pemerintahan. Jadi, bahwa dukungan dan kepatuhan kepada pemerintahan ataupun Presidennya ada kurannya. Terlepas apakah agama memegang peranan penting atau tidak di negara itu. Dukungan hanya berlaku jika sang pemimpin berpegang kepada nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kebenaran, kebaikan, dan pemihakan kepada rakyat kebanyakan. Nilai ini berlaku mulai dari masa Kekhalifahan Rasyidin dahulu sampai dengan negara modern yang berdasarkan demokrasi dewasa ini. Dalam konteks negara demokrasi Indonesia dewasa ini, perlu dibangun sebuah kesadaran di kalangan masyarakat agar selalu mengedepankan konsep “conditional support” kepada para pemimpin yang dipilihnya. Sebaliknya, jika rakyat memberikan “unconditional support” kepada para pemimpinnya, maka itu sangat berbahaya. Karena bisa menjurus kepada negara otoriter dan keditaktoran. Kediktaroran menjadi semboyan Raja Prancis dahulu yang menyatakan l’etat c’est moi. Negara adalah saya. Apapun yang saya lakukan, benar atau salah, rakyat harus memberikan dukungan. Tidak heran jika akhirnya sebuah sistim yang seperti ini pada akhirnya berakhir dengan berdarah-darah di bawah pisau guillotine. Konsep yang hampir sama adalah “right or wrong is my country”. Konsep yang bisa menimbulkan penyalah gunaan kekuasaan luar biasa dari para oknum yang berkuasa. Memang diakui, demokrasi bukan sebuah sistim yang ideal. Anggapan itu oleh para pemikir dan politisi Barat itu sendiri. Tetapi untuk saat ini, demokrasi adalah sebuah sistim yang bisa menghargai Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengantarkan kesejahteraan dan kemajuan di negara-negara Eropa Barat, Amerika Utara, Asia Timur, Skandinavia, maupun Australia dan New Zeland dibandingkan dengan sistim-sistim lainnya. Spalagi seperti sistim monarki absolut model Saudi Arabia ataupun sistim satu partai model komunis China yang cenderung represif dalam memaksakan kehendaknya. Kita juga kita melihat model-model republik yang pada dasarnya adalah negara-negara otoriter. Model seperti yang ada di Mesir (diktator militer), Syria (diktator sipil), ataupun model “hybrid” Korea Utara, pemerintahan komunis yang seperti kerajaan. Dimana satu keluarga mempunyai kontrol luar biasa terhadap satu negara. Timbulnya Arab Spring di Timur Tengah sebenarnya adalah bentuk perlawanan kepada negara-negara dengan sistim otoriter yang korup. Kembali kepada realitas politik Indonesia akhir tahun 2020 kemarin. Satu pasang calon yang kalah dalam proses demokrasi, akhirnya “submit” dan mengikuti calon pemenang. Ini pelajaran politik penting bagi para pendukung fanatik kedua pasang calon tersebut. Bahwa politik pada dasarnya bisa begitu cair, terlebih lagi di Indonesia. Para pendukung kedua belah pihak harus menyadari bahwa mereka tidak bisa “gelap mata” terhadap pihak yang didukungnya, baik itu bagi pemenang maupun yang kalah. Kita dengar kekecewaan datang dari kubu kedua belah pihak. Dari pendukung Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi. Pendukung pemenang melihat sendiri bagaimana lawan yang sebelumnya diserang habis-habisan, ternyata pada akhirnya bisa mendapatkan posisi. Sementara sang pendukung fanatik itupun tidak mendapatkan apa-apa. Yang lebih parah lagi adalah para dan taragis lagi pendukung pihak yang kalah. Banyak yang telah menggunakan sumber dana mereka sendiri sewaktu kampanye dahulu. Alasannya Prabowo-Sandi tidak mempunyai kekuatan pendanaan sebesar pasangan Jokowi-Ma’ruf. Alasan yang sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Bahkan banyak yang berdarah-darah, masuk tahanan sebagal. Sebagian lagi ada meninggal dunia ketika memperjuangkan pasangan yang didukungnya dalam demo di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Mei 2019 yang lalu. Coba bayangkan apa yang dirasakan keluarga para korban pendukung pasangan Prabowo-Sandi ketika melihat realitas politik yang seperti ini? Esensinya Prabowo-Sandi mengkhianati esensi perjuangan mereka. Mengapa hal tersebut menjadi pelajaran politik penting bagi rakyat? Sebenarnya ke depan rakyat pun harusnya tidak perlu terlalu fanatik kepada para calon yang didukungnya. Rakyat harus menyadari bahwa mereka mendukung calon karena disatukan oleh cita-cita dan idealisme perjuangan semata. Begitu juga para figur yang didukungnnya. Ketika dianggap sudah tidak berada di rel cita-cita perjuangan dan idealisme bersama, pada saat itulah mereka sudah harus siap meninggalkan figur yang didukungnya. Fanatisme buta kepada satu figur pada akhirnya hanya akan menimbulkan kekecewaan yang luar biasa. Kondisi ini tidak hanya berlaku untuk dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang lalu. Tetapi yang terpenting dalam kontestasi politik ke depannya, pada 2024 mendatang. Pembangunan kecerdasan politik rakyat penting dalam kerangka menghilangkan “slavish attitude” (watak budak) dari rakyat. Yang melihat figur yang mereka dukung adalah segala-galanya. Bahkan seperti figur setengah dewa. Pada akhirnya walaupun mungkin mereka memiliki kelebihan-kelebihan, tetapi tentunya, dan pastinya merekapun mempunyai kekurangan-kekurangan. Karena mereka bukan malaikat, ataupun Nabi yang ma’sum. Nabi yang ma’sum pun pernah ditegur oleh Allah Suhaanahu Wata’ala ketika terlihat menganggap remeh tamu orang tua miskin yang buta, yang dianggap lemah ketika pada waktu yang sama beliau sedang mencoba mengajak pembesar Quraish yang “powerful” untuk masuk Islam. Disini bahkan seorang Rasulpun mengalami sebuah proses “check and balance”. Dalam konteks politik Indonesia, khususnya pemilihan Presiden 2024 nanti, rakyat kebanyakan harus cerdas. Bahwa orang-orang yang akan ikut kontestasi pemilihan presiden tersebut adalah calon-calon pelayan publik yang perlu memberikan pelayanan yang terbaik untuk rakyat. Bukan para calon penguasa yang akan menjadi tuan-tuan mereka. Apalagi setelah duduk disinggasana, kekuasaan hanya bekerja mementingkan kelompok elite saja. Rakyat perlu menyadari bahwa dukungan mereka terbatas, jika para calon yang dipilihnya adalah benar-benar mempunyai pemihakan kepada rakyat banyak. Bisa berjuang untuk menegakkan sebuah sistim yang ber-Ketuhanan, berkemanusiaan, menjaga persatuan, menghargai musyawarah. Selain itu, akan berjuang untuk terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (esensi Pancasila). Sebuah cita-cita luhur yang tidak main-main. Sebuah upaya menegakan masyarakat egaliter yang didasarkan oleh nilai-nilai ke-Tuhanan, atau tentunya nilai-nilai Tauhid bagi umat Islam. Rakyat dalam perjuangan politik yang seperti ini, perlu membuang jauh-jauh mental neo-feodal. Mental yang terlalu mengagung-agungkan para junjungannya. Padahal dalam konteks demokrasi modern, figur-figur yang tampil tersebut harus menjadi figur-figur yang mewakili kepentingan rakyat banyak. Figur-figur yang harus merasa lemah, jika tidak bisa menjaga kemaslahatan rakyat kebanyakan, ataupun kepentingan kelompok rakyat yang tertindas. Figur-figur yang harus merasa kuat dan bisa keras jika berhadapan dengan elite-elite yang justru membawa kemudharatan untuk rakyat banyak. Apalagi elite-elite yang mempunyai sifat menindas. Penulis adalah Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED).
Empat Plus Satu Wajah Jokowi
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Jum’at (01/01). Jokowi itu Presiden dan semestinya memiliki satu wajah. Apakah ganteng atau setengah ganteng itulah wajahnya Jokowi. Kegantengan dimaksud adalah wajah kebijakan dan kualitas sebagai pengelolaan negara. Presiden dalam sistem kabinetdan pemerintahan presidensial, sangat menentukan dalam membentuk wajah Pemerintahan. Sejalan dengan pesannya bahwa tidak ada visi dan misi menteri. Yang ada adalah visi misi Presiden. Itu sanagat jelas dan tegas dinyatakan Jokowi. Hasil Riset kepuasan masyarakat yang dilakukan oleh lembaga riset SMRC milik Saiful Mujani mencapai angka spektakuler 74 % tingkat kepuasan. Sebagian publik yang terbaca dari komentar di media sosial (medsos) meragukan akurasi dan obyektivitas riset tersebut. Kesan sebagai hasil riset pesanan pun bermuncul dalam berbagai komentar. Sayang kita tidak memiliki alat atau lembaga kontrol yang dapat memberi sanksi kepada kerja riset yang bersifat tipu-tipu tersebut. Dampaknya adalah hasil riset yang seperti ini diperkirakan bakal muncul lagi ke masyarakat. Kondisi ini dapat dipahami. Apalagi selama pesanan masih berdatangan di tengah kondisi ekonomi yang resesi seperti sekarang. Wajah Jokowi tentu terlihat pada kinerja para menterinya. Tercatat empat Menteri terbaca oleh publik yang menggiring pada konklusi bahwa Pemerintahan Jokowi itu memang berwajah buruk. Disadari atau tidak, mestinya satu persatu wajah mereka dinilai, akan tetapi empat menteri ini yang mudah dan langsung terbaca publik. Pertama, Menteri Keuangan yang nampak kalang kabut karena hutang luar negeri mencapai sduah mencapai Rp. 6.000 triliun. Bunga tahun ini yang harus dibayar berjumlah Rp. 300 triliun. Untuk tahun 2021, bunga hutang dianggarkan sebesar Rp. 373,3 triliun. Sementara investasi jeblok, dan pertumbuhan ekonomi kuartal III tahun 2020 minus -3,49 %. Kedua, Menteri yang diberi gelar "atur segala urusan" Luhut Binsar Panjaitan. Menko Maritim dan Inveastasi (Marinvest) ini menjadi garda terdepan kerjasama dengan Republik Rakyat China (RRC). Program One Belt One Road (OBOR) menjadi andalannya. Rakyat masih pesimis bahwa kerjasama dengan RRC hanya ilusi. Bukan solusi. Konflik tenaga kerja Cina dengan pribumi menjadi sinyal dari instabilitas ke depan Pemerintahan Jokowi ke depan. Ketiga, Menteri Agama yang dianggap selalu memojokan umat Islam. Fakhrul Rozi terus kampanye soal radikalisme, intoleransi, dan ekstrimisme yang arahnya adalah umat Islam. Yaqut pengganti Rozi ribut untuk mengafirmasi Ahmadiyah dan Syi'ah yang dianggap sebagai ajaran sesat. Terakhir soal tekad untuk memerangi populisme Islam yang juga menyinggung perasaan umat Islam. Keempat, Mahfud MD Menko Politik, Hukum dan Kemanan (Polhukam). Cendekiawan dan Guru Besar yang awalnya banyak didengar karena "bijak" dan moralis. Setelah menjadi Menko, maka ucapannya mulai mencla-menclo. Lebih berposisi sebagai politisi ketimbang cendekiawan.Terakhir arogan, otoriter, dan menginjak-injak hukum dengan membubarkan dan melarang Front Pembela Islam (FPI). Disamping empat wajah itu, masih ada lagi wajah yang seram Hendropriyono. Orang ini jago main ancam. Merasa dirinya seperti masih menjadi tentara aktif saja. Mengancam yang menjadi pelindung anggota FPI, mengancam organisasi lain "tunggu giliran". Hendroprijono yang Jendral TNI (Purn.) Kehormatan (Hor.) ini merasa dan berprilaku laku seperti paling sendiri jago di republik ini. Jangan-jangan otak pembubaran dan pelarangan FPI datang darfi sang Guru Besar intelijen tersebut. Republik Indonesia seperti mau dibawa menjadi negara fasis, seperti zamannya Hitler, Mussolini, Tito, dan Stalin dulu. Seenaknya saja main ancam dan menakut-nakuti rakyat. Pak Hendroprijono kan bukan Mussolini, Hitler, Tito dan Stalin, yang bermodal kekuasaan dan senjata, sehingga bisa berbuat apa saja. Kemal Attaturk atau Ariel Sharon tak berdaya dan "ampun-ampunan" menghadapi sakaratul maut tuh. Jabatan dan kekuasaan bukan untuk gagah-gagahan. Tetapi amanah yang harus ditunaikan dengan adil. Begitulah konstitusi negara UUD 1945 membimbing dan memandu kita dalam berbangsa dan bernegara. Hebatnya para pendiri bangsa meninggalkan warisan terbesar dan terbaik untuk anak cucunya. Jika tidak berlaku adil, maka akibatnya adalah penyesalan. Mantan Menkopolkam Sudomo saat diperiksa Komnas HAM menyatakan bahwa peristiwa pembantaian di Pesantren Talang Sari Lampung itu yang bertanggungjawab adalah Danrem Garuda Hitam 043. Lala siapa yang menjabat Danrem Garuda Hitam Lampung? Dialah Kolonel TNI. Hendropriyono. Jadi, kini semakin nampak jelas empat plus satu wajah Jokowi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Catatan Akhir Tahun, Tak Ada Yang Berubah
by Dr. Ahmad Yani, SH. MH. Jakarta FNN – Kamis (31/12). Kita sudah di penghujung tahun 2020 dalam hitungan Masehi dan Fajar 2021 akan segera menyingsing. Bagi orang yang beriman dan berakal dalam beberapa kesempatan dan waktu, hendaklah berhenti sejenak untuk muhasabah atau menghitung-hitung diri dan amal yang telah dilakukan pada hari-hari yang lalu. Kemudian berusaha memperkuat keinginan untuk dapat memperbaiki dan menambah amal kebaikan untuk bekal hari esok. Pada hari kemarin (Sepanjang 2020) kita banyak menghadapi cobaan-cobaan yang sedemikian dahsyat. Kita berhadapan dengan Covid-19, suatu penyakit yang telah merenggut nyawa lebih dari 21 ribu manusia Indonesia. Wabah ini tidak hanya menyerang kesehatan kita. Tetapi juga menyerang ekonomi dan semua kehidupan kita. Dan yang paling terasa akibat Wabah ini adalah ekonomi rakyat. Covid-19 telah melumpuhkan aktivitas ekonomi. Membawa Indonesia pada jurang resesi dan krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang demikian itu membawa dampak sosial. Sebab dalam situasi krisis, frustasi dan kelaparan akan terus menghantui kehidupan masyarakat. PBB bahkan sudah mengingatkan bahwa krisis ini telah membunuh sekitar 10.000 anak per bulan karena pasokan makanan yang terputus antara pertanian-pasar dan desa-desa yang terisolasi dari bantuan makanan dan medis. Dan sekitar 7 juta orang meninggal karena kelaparan di seluruh dunia. Indonesia baru-baru ini terjadi di Nias Sumatera Utara. Seorang Ibu tega membunuh tiga orang anaknya akibat himpitan ekonomi. Pembunuhan sadis itu menjadi cerminan bagi kita. Kalau seseorang terhimpit ekonomi, lebih bersedia menanggung hukuman daripada menanggung derita himpitan ekonomi. Setelah 75 tahun merdeka, ternyata persoalan itu menjadi persoalan pelik. Janji kesejahteraan nampaknya kehilangan peta jalan. Rakyat masih saja dengan kasus lama, yaitu menghadapi getirnya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Negara seakan tak mampu memberikan jawaban konkrit atas desakan keadaan masyarakat yang semakin kritis. Demikian pula kekuasaan. Meski telah banyak kekuasaan jatuh bangun, namun masalahnya tetap sama, rakyat masih tidak mendapatkan janji kemerdekaan itu. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Namun perubahan menuju indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur hanya menjadi slogan semata. Apa Problemnya? Sepanjang periodesasi kekuasaan semenjak Soekarno hingga Jokowi sekarang ini, bangsa ini hanya disibukkan dengan perebutan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Masyarakat dipecah belah untuk saling membenci demi memenuhi hasrat kekuasaan. Nafsu kekuasaan yang berlebihan membuat ingatan masa lalu terus hidup. Pertengkaran demi pertengkaran terus diproduksi. Para penguasa merasa senang dengan semua itu, untuk mempertahankan kekuasaannya. Maka lahirlah polarisasi dalam masyarakat dan permusuhan antar bangsa. Sementara persoalan ketidakadilan, korupsi, hutang, gempuran tenaga kerja asing, kekerasan aparat, tidak pernah jeda sedikitpun. Upaya untuk mencari jalan keluar dari semua problem itu sangat kecil. Malah justru memperlebar kekuasaan untuk menangkal protes publik dari segala permasalah itu. Problem Utama Masalah mendasar yang membuat bangsa ini sulit mencapai kemajuan sebenarnya bukan karena persoalan ekonomi atau politik saja. Tetapi yang paling mendasar adalah masalah ketidakadilan. Inilah hulu yang menyebabkan kesengsaraan sosial dan kesengsaraan ekonomi, kesengsaraan hukum, kesengsaraan moral dan kesengsaraan lainnya yang dirasakan bangsa ini. Terjadi kesenjangan sosial yang tak kunjung teratasi antara kelompok kaya dengan miskin. Bidang ekonomi, kehidupan dirasakan semakin berat. Bidang hukum, kesengsaraan akibat hukum tumpul ke golongan yang kuat dan tajam ke yang lemah. Efeknya HAM tidak dihiraukan. Betapa mudahnya mengeksekusi mati manusia tanpa pengadilan, menangkap dan memenjarakan pikiran manusia. Berbagai bidang kerusakan inilah yang disebut kerusakan moral. Kehidupan bangsa hampir tanpa rujukan moral. Kita seperti bangsa yang tak memiliki moral. Ketergantungan pada bangsa asing. Hutang yang sudah menumpuk dan pengepungan bangsa asing melalui tenaga kerja Asing tak dapat diatasi lagi. Ketidakadilan ini terasa sangat menyengat. Dari tahun ke tahun, penguasaan ribuan hektare lahan oleh segelintir orang. Sayangnya, selama itu pula belum ada solusi yang bisa memenuhi rasa keadilan bagi rakyat banyak. Masalahnya masih sama, yaitu ketidakadilan sosial. Apakah kita masih menjunjung tinggi negara Pancasila sebagai falsafah berbangsa dan bernegara? Kalau memang kita masih berpegang pada Pancasila, kenapa keadilan sosial masih yatim-piatu? Korupsi Yang Masih Akut Penyebab lain adalah korupsi yang masih akut. Kasus suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan Politisi Harun Masiku, yang sampai saat ini belum diketahui dimana rimbanya. Kasus itu belum terungkap dengan jelas, karena dana diduga mengalir ke petinggi partai politik tertentu. Lebih mencengangkan dalam satu bulan dua orang menteri ditangkap KPK karena Korupsi. Lebih mengiriskan hati kita semua, terjadi korupsi bantuan sosial ditengah rakyat yang teriak kelaparan. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhi Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Menurut Majalah Tempo, korupsi dana bansos itu mengalir ke partai tertentu, dan orang-orang yang berhubungan dengan kekuasaan. Ketika rakyat terbebani dengan bencana, masih saja ada oknum yang tak bermoral terus melakukan upaya untuk meraup keuntungan sendiri demi memenuhi ambisinya. Kekerasan Negara Guna melindungi kekuasaan dari protes akibat ketidakadilan dan korupsi, maka digunakan cara-cara kekerasan. Ada kekerasan sosial, kekerasan ekonomi, kekerasan politik dan kekerasan hukum. Masyarakat yang paling bawah mengalami kekerasan itu secara simultan. Berbagai kasus kekerasan sosial telah dan sedang terjadi, menghantam aktivis lingkungan, aktivis politik dan aktivis HAM. Salah satunya adalah kematian 6 Laskar Front Pembela Islam (FPI) dapat dianggap sebagai kekerasan negara terhadap warga negara. Penembakan yang terjadi di kilometer 50 itu, sampai hari ini belum menemukan titik terang. Kenapa mereka dibunuh? Jawaban yang dapat kita duga adalah keterlibatan negara dalam kekerasan tersebut. Setelah "anak buahnya" ditembak mati, pimpinan FPI HRS ditangkap dengan tuduhan menghasut kerumunan. Pesantren FPI di Megamendung Bogor ingin diambil negara dengan alasan penguasaan tanah secara ilegal. Padahal menurut pengakuan FPI tanah itu sudah dibeli dari masyarakat. Mirisnya, ketika lahan dikuasai oleh korporasi besar yang jumlahnya mencapai 80%, namun hanya bangunan pesantren yang dipersoalkan. Ini ketidakadilan yang terang benderang. Yang lebih mencengangkan dipenghujung tahun 2020 tepatnya 30 Desember 2020 pemerintah mengambil keputusan yang akan sulit dilupakan dalam ingatan oleh 7 juta orang anggota FPI dan Jutaan masyarakat Indonesia baik yang simpatisan maupun yang menginginkan tegaknya rule of law dan keadilan. Yaitu mengeluarkan larangan berkegiatan bagi Front Pembela Islam (FPI). Ada tiga alasan pembubaran FPI versi pemerintah. Pertama, adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dimaksudkan untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar negara, yakni Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Kedua, isi anggaran dasar FPI dinyatakan bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Ormas. Ketiga, Keputusan Mendagri Nomor 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 tanggal 20 Juni 2014 tentang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI sebagai ormas berlaku sampai 20 Juni 2019 dan sampai saat ini belum memenuhi syarat untuk memperpanjang SKT. Karena itu secara de jure terhitung mulai tanggal 21 Juni 2019 Front Pembela Islam dianggap bubar. Padahal dalam Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945. Penjatuhan sanksi, pelarangan kegiatan, ataupun pembubaran organisasi secara sepihak oleh negara dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum, sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, membatasi kebebasan sipil, serta berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi. Oleh karena itu peristiwa pembubaran FPI dapat dianggap sebagai kekerasan negara, karena tidak menggunakan prosedur hukum yang berlaku. Kekerasan negara juga terjadi ketika mahasiswa dan aktivis melakukan protes massal. Tak jarang terjadi kekerasan dari aparat. Kekerasan pada saat penolakan Undang-undang Omnibus Law, kekerasan ketika penolakan Revisi UU KPK yang menyebabkan 2 orang meninggal dunia di kendari. Begitu juga kekerasan terhadap aktivis lingkungan dan masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap represifnya kekuasaan akibat penggusuran dan penguasaan lahan oleh korporasi besar. Pembangunan yang tidak ramah lingkungan dan tidak pro rakyat kecil memompa protes rakyat diberbagai wilayah. Krisis dan Utang Kita sudah mengalami krisis ekonomi. Pemerintah telah mengumumkan bahwa Indonesia telah masuk ke jurang resesi ekonomi. Dampak dari resesi ini akan menyebabkan pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan semakin melebar. Sementara itu, utang negara sudah mencapai Rp 6. 000 triliun. Hutang yang terus meningkat itu menurut Rizal Ramli akan memperparah kondisi perekonimian nasional. Karena uang hasil utang dipergunakan untuk membayar hutang. Setelah utang terus meningkat, justru pertumbuhan ekonomi turun. Berarti ada masalah pada penggunaan dana yang berasal dari utang. Ada ketidakefektifan dalam menggunakan hutang itu. Menurut ekonom Faisal Basri, Pemerintahan Jokowi terlalu boros menggunakan hutang. Hingga Jusuf Kalla mengatakan Indonesia menggunakan hutang untuk bayar hutang. Sulitnya Indonesia keluar dari jebakan hutan dan krisis memperpanjang dan memperlebar kemiskinan dalam negeri. Hingga sampai saat ini kesenjangan dan kemiskinan masih menjadi problem utama. Melihat Indonesia 2021 Yang terekam di tahun 2020 adalah masalah dan masalah saja. Mulai dari persoalan ekonomi, sosial, politik dan hukum yang terasa tidak adil. Lalu Seperti apa kita memprediksi keadaan 2021? Semua problem yang terjadi selama tahun 2020 belum teratasi. belum ada yang dituntaskan satu pun. Kita dapat lihat bahwa Tahun 2021, Indonesia tidak akan banyak yang berubah. Masih berkutat pada masalah krisis ekonomi yang diprediksi akan semakin memburuk di tahun 2021. Masalah pelanggaran HAM, masalah polarisasi di tengah masyarakat, dan masalah kesenjangan lainnya. Diperparah lagi dengan Covid-19 belum kunjung di atasi, bahkan keadaannya makin tak menentu. Sementara masyarakat banyak yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan akibat virus ini. Menurut saya, 2021 hanya akan berubah apabila ada suksesi nasional. Ada perubahan penting yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Karena selama pemerintah masih mementingkan kekuasaan ketimbang keselamatan dan kesejahteraan negara, selama itu pula perubahan tidak akan pernah datang. Sebagai orang yang beriman, perubahan itu niscaya. Siapa yang lebih baik dari hari kemarin adalah mereka yang beruntung. Tetapi apabila ia masih sama seperti hari kemarin maka ia merugi. Semoga kita bukan orang yang rugi itu. Wallahu Alam bisshawab. Penulis adalah Dosen FH, Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Advokat.
Data Keliru Yang Dipakai Untuk Pembubaran FPI
Lebih fatal lagi nih Menkopolkam, jika saya kasih data hasil penelitian juga. Dari Kemenham tahun 2019 yang menyimpulkan bahwa ada sekitar 3% prajurit TNI yang terpapar radikalisme. Itu artinya ada sekitar 12.000 anggota TNI dari total 400.000 TNI aktif terpapar radikalisme. Kalau begitu bubarkan dong TNI. Mau pak Mahfuzd bubarkan TNI? Lebih banyak dari anggota FPI loh jumlahnya yang terpapar atau beririsan. Begitulah kalau membuat kesimpulan yang fatal bukan? by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Kamis (31/12). Saya termenung sejenak. Lalu berfikir apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Republik ini? Benarkah FPI bersalah? Mengapa dibubarkan? Ada apa dibalik pembubaran FPI sampai-sampai dibubarkan melalui SKB (Surat Keputusan Bersama) enam pejabat negara. Tiga menteri dan tiga pejabat setingkat menteri? Secara sosiologis politik, FPI entitas organisasi kemasyarakatan (ormas). Sama dengan ormas-ormas lainya. Memahami Ormas Mungkin sudah pada lupa ya? Ada yang jadi Presiden karena tidak sedikit peran Relawan (mirip ormas juga) yang pada tahun 2014 dan 2019 kemarin, banyak yang melakukan kegiatan di tengah-tengah masyarakat, meski tidak memiliki legal standing (merujuk Mahfuzd MD bahwa yang tidak punya legal standing ya tidak legal). Tahun 2014 lalu, banyak organisasi masyarakat berwujud relawan yang tak memiliki legalitas. Kemudian berlanjut tahun 2019. Dibalik relawan, tidak sedikit yang terkoneksi dengsn buzzer, atau kemungkinan besar ada juga buzzer yang dibiayai relawan. Jangan tanya siapa yang membiayai relawan? Ribut antar relawan di media sosial masih kenceng sampe hari ini. Tensi sosial masih tinggi. Siapa yang salah? Buzzernya atau yang membiayainya? Atau relawanya? Atau ormasnya? Silahkan buat kesimpulan sendiri saja. Mahfuzd MD mungkin juga lupa, dia bisa menjadi besar karena ormas, yaitu Ormas Nahdlatul Ulama (NU). Tanpa NU Mahfuzd MD tidak mungkin seperti saat ini. Sudah jadi pejabat. Tidak tangung-tanggung jabatanya Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Jika ditelusuri sesungguhnya Ormas telah memberi kontribusi besar dalam membangun negara, karena banyak melahirkan sumber daya manusia yang dibutuhkan negara. Sering juga kita melihat juga ormas membantu negara dalam situasi sulit, dari episode melawan penjajah, menghadapi bencana alam, hingga melawan Covid-19 sekarang. Sebab negara tidak cukup mampu bekerja atasi problem tanpa bantuan ormas. Silahkan cek apa sumbangan NU saat Indonesia hadapi musibah? Silahkan cek sumbangan Muhammadiyah saat tingkat pendidikan Indonesia masih rendah? Kalau mau nanya ini juga boleh, apa sumbangan ormas FPI saat Indonesia hadapi musibah? Dari musibah gempa, tsunami sampai covid-19? Silahkan di cek. Ormas secara natural adalah juga kanal dari kebutuhan sosiologis manusia yang tidak bisa dibendung. Apalagi dihilangkan secara paksa. Karena ormas melekat dengan keberadaan manusia itu sendiri sebagai mahluk sosial. Ormas adalah hak sosial setiap manusia, sekaligus setiap warga nega, karenanya UU Nomor 16 Tahun 2017 mewadahinya. Menurut Undang-Undang tentang Ormas tersebut, dalam pasal 1 disebutkan bahwa ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi,kesamaan kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demokrasi & Hak Berorganisasi Itulah sebabnya negara wajib memberi kebebasan pada warga negara untuk beserikat, berkumpul dan berorganisasi sebagaimana dijamin dalam pasal 28 UUD 1945. Para pendiri bangsa ini sejak kelahiran negara, secara progresif telah menetapkan hak-hak dasar setiap warga negara, termasuk hak berserikat, berkumpul dan berorganisasi. Melakukan represi terhadap ormas adalah kesalahan fatal. Bertentangan konstitusi UUD 1945, juga sekaligus bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Bukankah demokrasi itu gagasan tentang kebebasan yang terbentuk melalui sejarah panjang. Demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Termasuk di dalamnya kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan berorganisasi. Tentu Mahfuzd MD masih ingat gagasan penting Henry Bertram Mayo dalam An Introduction to Democratic Theory (1960). Bahwa ada prinsip-prinsip demokrasi tidak boleh diganggu, karena menjadi sebab mengapa suatu negara disebut mempraktekan sistem demokratis? Diantaranya mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman termasuk keanekaragaman organisasi masyarakat. Keadilan Hukum Dalam Perkara FPI Selain itu, negara wajib menjamin tegaknya keadilan. Keadilan dalam perkara hukum hanya boleh diputus di pengadilan. Pembubaran ormas itu perkara hukum. Sehingga hanya boleh diputuskan di meja pengadilan. Bukan di meja kekuasaan. Bukankah ada putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang didalamnya memuat argumen pembubaran ormas itu sepatutnya melalui Pengadilan? Ormas FPI bersalah atau tidak biarlah pengadilan yang akan memutuskan. Bukan penguasa. Indonesia ini negara hukum yang menganut konsepsi Rechstaat. Bukan machstaat (negara kekuasaan). Jika yang dipake adalah logika machstaat, ini kesalahan fatal dalam berdemokrasi. Terlalu banyak kesalahan fatal republik ini jika diurai satu persatu. Pemerintah terlalu menyibukan diri menghadapi FPI juga sudah kesalahan fatal. Sebab sesungguhnya masalah besar bangsa ini bukan di FPI. Tetapi amburadulnya tata kelola hadapi Covid-19. Korupsi yang merajalela. Kemiskinan yang terus bertambah. Ketidakadilan dan arogansi kekuasaan (neo- otoritarianisme). Pemerintah telah salah fokus (salfok). Saking salfoknya sampai buat SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga Menteri (Mendagri, Menkumham, Menkominfo dan tiga pejabat negara setingkat menteri Kepolisian, Kejaksaan dan BNPT) dibawah komando Menkopolkam Mahfuzd MD. SKB Salah Fatal: Data Meragukan Itupun SKB-nya yang dibuat terkait FPI salah fatal. Menyatakan FPI secara dejure bubar sejak 20 Juni 2019. Padahal ada putusan MK yang menyatakan bahwa negara tidak dapat memaksakan suatu organisasi untuk mendaftarkan diri dan memiliki SKT. Makanya, silahkan cek pertimbangan putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 angka (3.19.4). Jadi SKB yang dibuat kemarin, nyata-nyata bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah saya baca isi SKB enam pejabat itu, ternyata ada kesalahan fatal lainya. Misalnya soal 35 orang FPI terlibat tindak pidana terorisme yang disebutkan dalam pertimbangan SKB poin e. Datanya dari mana? Setelah saya cek kemungkinan besar datanya dari riset Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme yang dipimpin oleh Irjen Pol (Purn.) Benny Mamoto. Sebagai informasi, ternyata Benny Mamoto juga adalah Ketua Harian Kompolnas. Dalam suatu rilis riset tersebut, Benny Mamoto menyampaikan dokumen yang berjudul "37 Anggota Jaringan Terorisme Berlatar Belakang FPI". Kalau versi SKB Pembubaran dan Pelarangan FPI, ada 35 orang yang berlatar belakang FPI. Nah, ko angkanya jadi beda? Ada apa nih? Data riset tersebut, patut dipertanyakan dari sisi metodologi, karena tidak dikemukakan secara detail bagaimana data tersebut valid. Tidak juga dijelaskan, bagaimana triangulasi data dilakukan. Benny Mamoto hanya menyebutkan bahwa sumbernya dari laman pengadilan negeri, dengan meneliti satu persatu putusan. Ini patut untuk dipertanyakan metodologinya. Bagaimana bisa memastikan mereka adalah anggota FPI atau beririsan dengan FPI? Sebagai akademisi, saya penasaran saya baca siapa saja 37 orang temuan risetnya lembaga pimpinan Beny Mamoto tersebut. Secara umum datanya masih perlu diuji. Uniknya, ternyata saya baca di data tersebut ada 10 dari 37 orang tersebut, tidak disebutkan bagaimana hubungan mereka dengan FPI? Bagaimana juga mereka berkoneksi dan beririsan dengan FPI? Sepuluh orang yang dimaksud adalah (1) Ahmad Yosefa alias Hayat, ditangkap 2011, pelaku bom Gereja Pekuton September 2011, (2) Moch Ramuji alias Muji alias Ahmad alias Kapten alias Botak, ditangkap 13 Mei 2014, (3) Ali Azhari alias Jakfar alias Topan bin Daryono (Alm), ditangkap 1 April 2010, (4) Agus Abdillah alias Jodi, ditangkap 17 September 2012, Kemudian orang ke (5) adalah Syaiful Bahri Siregar alias Ipul alias Imam, ditangkap 9 Maret 2010, (6) Munir bin Ismail alias Abu Rimba alias Abu Uteun, ditangkap 17 Maret 2010, kasus pelatihan militer Aceh, kelompok Aceh 2010, (7) Taufik bin Marzuki alias Abu Sayaf alias Alex Nurdin Sulaiman bin Tarmizi ditangkap 29 September 2010, Selain itu, yang ke (8) Muhammad Shibghotullah bin Sarbani alias Mihdad alias Asim alias Mush'ab alias Kholid alias Hani alias Faisal Septya Wardan, ditangkap 11 Juni 2011, kelompok pelatihan militer Aceh, (9) Qoribul Mujib alias Pak Mujib alias Paklek alias Mujiono alias Abdul Sika alias Si Dul alias Muji, ditangkap 12 Juli 2012, dan (10) Sefariano alias Mambo alias Aryo alias Asep alias Dimasriano, ditangkap 2 Mei 2013, perencanaan bom kedubes Myanmar. Selain yang 10 tersebut, yang tidak disebutkan konektivitaanya dengan FPI, misalnya yang 27 lainya juga untuk perlu dibuka ke publik. Apakah benar mereka semua anggota FPI? Apakah benar mereka adalah pengurus FPI? Apakah benar mereka terkoneksi dengan FPI? Beririsan dengan FPI? Metodologi Keluru Sebagai akademisi, saya memahami metodologi ilmiah. Karenanya patut bertanya tentang validitas data yang disajikan Irjen Pol. (Purn.) Benny Mamoto tersebut. Apalagi persoalan FPI ini sudah menjadi konsumsi publik. Bagaimana memastikan mereka terhubung dengan FPI? Kalau hanya asumsi, lalu disimpulkan beririsan dengan FPI ini kesalahan fatal. Penyesatan yang sangat luar biasa. Betapa banyak anggota FPI itu beririsan dengan ormas NU (Nahdatul Ulama). Secara geneologi fiqih ibadah, tareqot dan tradisinya anggota FPI itu banyak beririsan dengan NU. Mereka tahlilan, qunut, marhabanan, yasinan dan lain-lain. Lalu apakah bisa saya harus simpulkan bahwa FPI itu NU? Karenanya terkoneksi dengan teroris? Kesimpulan yang kesalahanya fatal. Lebih fatal lagi nih Menkopolkam, jika saya kasih data hasil penelitian juga. Dari Kemenham tahun 2019 yang menyimpulkan bahwa ada sekitar 3% prajurit TNI yang terpapar radikalisme. Itu artinya ada sekitar 12.000 anggota TNI dari total 400.000 TNI aktif terpapar radikalisme. Kalau begitu bubarkan dong TNI. Mau pak Mahfuzd bubarkan TNI? Lebih banyak dari anggota FPI loh jumlahnya yang terpapar atau beririsan. Kesimpulan yang fatal bukan? Jika sebuah keputusan penting negara dibuat berbasis data yang tidak valid, keliru, bahkan sesat, saya khawatir akan makin membuat Indonesia berantakan. Saya juga khawatir, data yang tidak valid itu dianalisis dan disimpulkan. Apalagi oleh Jokowi dan Mahfuzd MD.Loh kok Jokowi ikut disebut? Yang jelas, di atasnya Mahfuzd MD itu ada Presiden. Betapa bahayanya sebuah keputusan negara bersumber dari data atau analisis yang keliru. Maaf, bukankah ini salah fatal mas Presiden ? Wallahu a'lam bishawab. Penulis adalah Analis Sosial Politik Uiveristas Negeri Jakarta.
Pembubaran & Pelarangan FPI Mencederai "Due Process Of Law"
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Rabu (30/10). Orang dapat setuju atau tidak dengan kegiatan Front Pembela Islam (FPI). Akan tetapi ketidakadilan terhadap tokoh Habib Rizieq Shihab (HRS) dan FPI sangat dirasakan. Setelah pembantaian terhadap 6 (enam) anggota Laskar FPI oleh aparat polisi, kriminalisasi HRS dengan dalih hukum yang dicari-cari. Tidak sampai di situ saja. Balakngan ada upaya untuk mengganggu aset pesantren "Markaz Syari'ah" Mega Mendung. Yang terakhir sekarang adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) enam Kemeterian dan Lembaga Negara untuk pembubaran dan pelarangan organisasi dan simbol FPI. Sejak hari ini oraganisasi dan simbol FPI dinyatakan dilarang. Atas dasar kebencian tersebut, FPI dan tokohnya telah dijadikan sebagai "musuh negara". Dengan perlakuan yang tidak adil itu, pemerintah telah mendeklarasikan diri sebagai rezim yang zalim. Siapapun penguasa yang zalim, lambat atau cepat akan menjadi musuh rakyat. Pembubaran dan pelarangan melalui SKB sangat tidak berdasar hukum dan bertentangan dengan UU Keormasan. Tampak seperti suka-suka penguasa saja. Padahal keputusan membubarkan dan melarang FPI sangat bertentangan dengan prinsip negara hukum (rechtstaat). Indonesia seperti sedang berubah ke arah dan menhukuhkan diri menjadi negara kekuasaan. Keputusan SKB enam Menteri dan Lembaga tersebut melanggar asas "due process of law" dengan meminggirkan fungsi peradilan. Meski SKB adalah bentuk hukum, akan tetapi karena digunakan tanpa melandaskan pada aturan hukum yang berlaku seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Tata Urutan Perundang-Undangan, maka layak untuk dikategorikan sebagai "a bus de droit" (penyalahgunaan kekuasaan). Sementara di UU Keormasan Nomor 16 Tahun 2017 tidak mengenal membubaran dan pelarangan ormas melalui Surat Keputusan Bersama Menhukham, Mendagri, Kapolri, Menkominfo, Jaksa Agung dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Lebih jauh kebijakan pemerintah ini merupakan tindakan inkonstitusional yang melabrak asas negara hukum (rechtstaat). Menginjak-injak harkat dan martabaty UUD 1945. Catatan buruk sejarah hukum kedua di masa Pemerintahan Jokowi dalam kaitan pembubaran ormas dengan menggunakan "kekerasan politik" bermantel hukum. Pertama, melalui Perppu saat membubarkan HTI dan kedua melalui SKB untuk membubarkan bahkan melarang simbol-simbol FPI. Khusus yang pembubaran kedua ini, gugatan yang dilakukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sangat berpeluang untuk dimenangkan oleh kebu FPI. Bagi FPI, soal nampaknya pembubaran tidak terlalu penting. Disamping itu bisa berganti baju menjadi Front Pejuang Islam (FPI). Toh masih tetap nama FPI juga atau lainnya. Namun pembuabaran dan pelarang FPI jangan sampai membuat lengah terhadap penembakan enam anggota FPI di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek. Prioritas perhatian justru harus diutamakan pada pengungkapan kejahatan HAM pembantaian enam anggota Laskar FPI. Hal ini merupakan masalah besar yang bila terbukti akan menjadi suatu kejahatan atau terorisme negara. Jokowi harus bertanggung jawab. Pembubaran dan Pelarangan FPI pada satu sisi hanya menunjukkan arogansi kekuasaan semata. Tidak lebih dari itu. Sementara keputusan bersama ini hanya jalan untuk membangun simpati kepada FPI. Akibatnya, FPI yang tadinya tidak terkalalu bersar akan semakin besar. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Inklusif, Mencegah Negara Seperti Kapal Menuju Karam
Catatan Akhir Tahun dan Harapan 2021 Untuk Indonesia by Ikhsan Tualeka Ambon FNN – Selasa (29/12). Ada banyak tuntutan, ataupun gugatan yang dapat diajukan dalam melihat realitas berbangsa dan bernegara hari ini. Apa yang belakangan ini mengemuka di Papua, dan juga di Maluku menunjukan adanya kekecewaan politik di kedua daerah ini. Kekecewaan yang mesti dikelola dengan lebih arif dan responsif. Perspektif berkebangsaan yang hidup dalam setiap kepala generasi hari ini, mesti dapat disikapi dengan proporsional dan objektif. Karena semua itu terjadi tidak dengan serta-merta. Namun lahir dan tumbuh dari berbagai anomali dan ketimpangan yang terus terjadi. Dalam keadaan yang penuh ketidakpastian itu, memaksa untuk mengatakan bahwa situasi seolah-olah ada pada posisi normal atau on the right track adalah sikap tidak bijak. Apalagi dengan cara menindas, dan menggunakan kekerasan. Praktik ketidakadilan dan diskriminasi, serta minus kepekaan sosial dari elit penguasa harus segera dihentikan. Formula baru harus dirumuskan. Memahami gerakan protes yang saat ini tengah berkembang dan mengemuka dikawasan timur Indonesia, baik itu melalui gerakan politik bersenjata di Papua, maupun ekspresi politik menuntut dikembalikannya kedaulatan versi proklamasi tahun 1950 di Maluku, harus bisa dibaca sebagai interupsi level tinggi. Pasti ada yang kurang tepat dalam pengelolaan negara sejauh ini. Untuk itu, guna menjamin integrasi nasional dalam rentang waktu yang panjang, negara harus lebih inklusif. Yakni menempatkan negara ke dalam cara pandang orang atau kelompok lain untuk melihat dunia atau realitas. Dengan kata lain, negara mesti berusaha menggunakan sudut pandang orang atau kelompok lain dalam memahami masalah kekinian. Itu artinya, cara pandang atau perspektif yang sejauh ini mewakili aspirasi politik dan kepentingan ekonomi masyarakat, khususnya yang mengemuka di Papua dan Maluku harus ditanggapi dengan sikap inklusif oleh negara. Perspektif ini meminjam Daron Acemoglu dan James Robinson yang diungkap dalam buku ‘Mengapa Negara Gagal’. Menurut mereka, kegagalan sebuah bangsa menjadi maju dan berkembang karena absennya sistem ekonomi-politik yang inklusif. Tanpa inklusivisme, mustahil sebuah bangsa bisa beradaptasi, berinovasi menuju masyarakat yang egaliter. Dengan demikian negara dan pemerintah harus lebih cermat membaca situasi dan keinginan ekonomi-politik yang mengemuka. Tidak saja sebagai akibat perubahan global. Namun juga terkait dengan akumulasi kegagalan negara selama ini. Responsif dengan cara inklusif akan dapat mencegah reaksi publik yang kecewa terhadap pengelolaan negara yang tidak menghadirkan keadilan untuk semua. Inklusif dengan lebih memahami kepentingan dan kebutuhan daerah, terutama di kawasan timur yang tertinggal memang sulit terjadi atau dirumuskan dalam keadaan nagara. Penyebabnya karena tengah dipasung oleh oligarki. Bagi sebagian elit oligakri, mengumpulkan kekayaan adalah agenda utama dan jauh lebih penting ketimbang memikirkan integrasi nasional. Acemoglu dan Robinson menegaskan dalam buku mereka itu, sistem yang dikuasai tata kelola negara oleh segilintir elit, hanya akan membawa bangsa tersebut semakin terpuruk. Bang itu bahkan tidak kompetitif, dan menjadi bangsa yang gagal. Situasi yang saya lihat mulai menghinggapi bangsa ini. Masih menurut kedua ilmuan itu. Dengan gagalnya transformasi sistem ekonomi-politik yang inklusif, maka negara tersebut akan bergelimang dengan kemiskinan, ketimpangan sosial dan kekacauan politik. Seperti halnya situasi yang dialami oleh Korea Utara, Uganda dan Sierra Leon. Untuk menjadi inklusif, antara lain tata-kelola negara yang sangat Jawa sentris harus dapat dievaluasi. Termasuk di dalamnya bandul ekonomi-politik yang hanya pro pada segelintir orang. Itu artinya institusi ekonomi juga mesti dapat segera direkontruksi. Itu pasalnya, karena institusi ekonomi yang tidak inklusif, hanya akan menjadikan kelompok yang lemah semakin teralinasi atau terpinggirkan. Yang kaya semakin kaya. Itu artinya yang miskin semakin melarat atau setidaknya sulit untuk berkembang. Sistem ekonomi liberal kapitalis yang diadopsi mentah-mentah oleh Indonesia ternyata telah gagal total. Gagal untuk menjadi formula mensejahterakan sebagian besar rakyat. Alih-alih sejahtera, kemiskinan dan ketimpangan sosial justru kian lebar dan massif. Ketidakadilan semakin susah ditemukan. Sistem politik demikian pula adanya. Korupsi merajalela di semua level pemerintahan. Birokrasi yang tidak produktif. Krisis pelayanan publik merata dan telanjang mata. Sistem politik yang dianggap demokratis, tetapi dalam praktiknya sangat eksklusif. Bahkan hanya sekadar menjadi alat melegitimasi kekuasan hasil “dagang sapi” partai politik dan juga politisi busuk. Pada intinya, sistem ekonomi yang memungkinkan kekayaan negara yang dikuasai segelintir orang atau oligarki, serta sistem politik yang hanya menjadi mekanisme demokrasi yang prosedural untuk menegaskan kepemimpinan kompatriot oligakri dan dinasti politik dari pusat hingga daerah. Ini adalah potret sesungguhnya bahwa kapal besar Indonesia sedang berlayar menunju karam. Jika tidak segera berbenah, antara lain dengan mengakomudir berbagai tuntutan, terutama yang masih masuk dalam koridor konstisusi, seperti tuntutan Otonomi Khusus atau perlakuan khusus lainnya bagi Maluku Raya, sangat mungkin perlawanan politik akan makin mengemuka. Bila itu yang terjadi, dan ditambah pergolakan politik di Papua yang tensinya semakin tinggi, negara sejatinya sedang menuju fase gagal atau bubar. Penulis adalah Direktur Maluku Crisis Center (MCC).
Selamat Datang Kembali Gubernur Indonesia
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (28/12). Selama 27 hari Anies telah menjalani isolasi diri. Selama 25 hari lidah kehilangan rasa dan penciuman. Telah berulangkali tes swab, hasilnya tetap positif. Saat pertama kali positif terinveksi, Anies membuat video. Mengirimkan kabar sekaligus pesan agar setiap orang yang bertemu dengannya menjalani tes. Ini penting agar tidak ikut menjadi agen penularan ke yang lain. Anies adalah kepala daerah yang pertama kali membentuk tim penanganan Covid-19. Meski tak sedikit yang saat itu menganggap Anies sedang ngigau. Anies juga dituduh telah membuat kegaduhan dan kepanikan masyarakat. Dan macam-macam tuduhan lain lagi. Disisi lain, sejumlah pejabat tinggi sekelas menteri tak percaya Covid-19 bisa masuk ke Indonesia. Alasannya Indonesia daerah tropis. Covid-19 nggak bisa hidup di daerah tropis, katanya. Ada yang komentar bahwa Covid-19 mati dengan empon-empon. Macam-macam argumentasinya. Yakin penyebaran Covid-19 nggak akan meluas di Indonesia, tanggal 1 Maret presiden memberikan insentif di sektor pariwisata. Diskon pesawat 45-50%. Ini dilakukan agar kunjungan wisatawan ke Indonesia di saat pandemi tetap stabil. Ternyata? Meleset semua prediksi Presiden dan anggota kabinetnya. Di mata publik, program insentif ini terkesan konyol bin ngawur. Faktanya, Covid-19 masuk dan meyebar. Jumlah yang terinveksi terus bertambah. Sangat cepat penyebarannya. Tanggal 29 Maret 2020 Anies mengusulkan kepada pemerintah pusat agar dilakukan karantina wilayah. Khusus Jakarta. Usul Anies ditolak, bahkan dengan sangat tegas penolakannya. Covid-19 makin ganas. Pada bulan September, perhari lebih dari 4000 orang yang terinveksi. Di jakarta penambahan ya hampir 2000 orang per hari. Anies berencana ingin perketat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Juga diprotes. Tak tanggung-tanggung. yang memprotes adalah beberapa menteri. Dianggap mengacaukan upaya memulihkan ekonomi nasional. Ngawur bin ngaco kan? Sampai akhirnya, Habib Rizieq pulang ke Indonesia. Kerumunan terjadi, dan Habib Rizieq dianggap sebagai salah satu penyebab jumlah positif Covid-19 makin banyak. Sang Habib pun dijadikan tersangka dan ditahan. Kena pasal 160 KUHP, dianggap menghasut orang berkerumun dan melanggar aturan. Intinya, pasca Habib Rizieq pulang, ptotokol kesehatan (prokes) diperketat. Dan di pertengahan bulan Desember ini, Menko Meritim Luhut Binsar Panjaitan meminta kepada Anies untuk memperketat PSBB. Lah terus piye too? Kok berubah-ubah siiih? Mana yang bener niiih? Andai saja gagasan karantina eilayah yang diusulkan Anies di akhir bulan Maret diterima, mungkin penyebaran Covid-19 di Indonesia tidak separah seperti sekarang. Begitu juga dengan nasib ekonomi Indonesia. Relatif masih bisa diselamatkan. Tak perlu ada yang ditahan gara-gara kerumunan. Namun nasi sudah jadi bubur. Semua sudah jadi takdir sejarah. Dan Anies, tak hanya jadi orang pertama yang membentuk tim Covid-19, dan turun langsung menangani Covid-19. Anies pun ikut merasakan menjadi pasiennya. Anies juga tertular, dan harus menjalankan program isolasi mandiri sebagaimana pasien-pasien yang lain. Meski berada di rumah isolasi, Anies tak berhenti memimpin lokomotif Ibu Kota. Semua kegiatan tetap berjalan atas instruksi dan konsolidasinya. Jadi pasien Covid-19 tak menyurutkan Anies untuk tetap bekerja dan berkarya. Barangkali ini yang membuat proses penyembuhan Anies cukup lama. Karena tak rehat dan istirahat sebagaimana umumnya pasien yang lain. Begitulah risikonya menjadi seorang pemimpin. Nggak boleh istirahat! Terbukti, dimasa isolasi, DKI Jakarta masih meraih sejumlah penghargaan. DKI Jakarta diganjar dengan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ganjaran WTP ini bukan pertama kalinya. Namun sudah untuk yangketiga kalinya. Tiga tahun berturut-turut Jakarta mendapat ganjaran WTP dari BPK. Selain itu, provinsi DKI Jakarta meraih penghargaan Provinsi Terinovatif dari Kemendagri, dan penghargaan Kota Peduli HAM. Tidak hanya itu. Pemprov DKI juga mendapat penghargaan Top Digital Award 2020. Semua ini diterima saat Anies diisolasi karena Covid-19. Artinya, meski diisolasi, Anies tetap bekerja dan meraih prestasi. Yang dibutuhkan dari seorang pemimpin itu pertama, gagasannya. Seorang pemimpin mesti punya terobosan dan mampu berpikir out of teh box. Kedua, kemampuan menggerakkan bawahannya. Inilah fungsi leadership itu. Memastikan semuanya bekerja secara kolektif dan kolaboratif sesuai visi dan misi pemimpin. Ketiga, sikap bijaknya dalam menghadapi setiap dilema dan problematika. Di tangan seorang pemimpin, berbagai masalah bisa diselesaikan. Bukan malah menambah masalah baru. Intinya, pemimpin harus tangguh. Tidak menganggap setiap masalah sebagai keruwetan. Tetapi sebagai tantangan yang harus diselesaikan untuk memberi pengalaman dan kematangan. Tiga syarat itu, Anies memilikinya. Maka, di tangan Anies, Jakarta berjalan ke arah yang terukur sesuai dengan design visi yang direncanakan ketika berpasangan dengan Sandi Uno maju sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta 2017 dulu, yaitu "Maju Kotanya Bahagia Warganya". Jika hampir sebulan ini Anies memimpin by zoom dan mengandalkan jasa layanan Internet, maka setelah sehat, sudah saatnya Anies kembali turun langsung ke lapangan. Selamat datang kembali "Gubernur Indonesia" untuk memimpin Ibu Kota. Begitu rakyat menyapa dan memberi semangat kepada Anies Rasyid Baswedan, cucu pahlawan Indonesia Abdurrahman Baswedan. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Stok Pangan Nasional Terancam?
Dalam keadaan terpaksa, impor beras harus dilakukan pemerintah dalam usaha mengamankan cadangan nasional. Nah, saya mendapatkan informasi bahwa pemerintah sudah berniat melakukan impor. Penjajakan sudah dilakukan ke sejumlah negara pengekspor beras, seperti Thailand, Vietnam dan Laos. Akan tetapi, negara-negara produsen beras itu kabarnya menolak permintaan Indonesia. Alasannya, karena pemerintah negara-negara tersebut lebih mengutamakan kebutuhan pangan rakyatnya ketimbang mengekspor By Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - Senin (28/12). Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) meluncurkan komoditas pangan olahan beras singkong. Peluncurannya dilakukan di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa 15 Desember 2020. Nama keren pun disandangkan pada produk yang diyakini rendah kolestrol itu. Besita atau Beras Singkong Petani, nama resmi yang disandangkan pada produk makanan alternatif tersebut. Makanan alternatif, karena diharapkan mampu mendorong usaha pemerintah dalam mensukseskan program diversifikasi pangan. Besita menggunakan bahan baku singkong lokal dari petani. Ini sangat bagus dan sangat pro-petani. Sebab, tanaman singkong di Indonesia cukup luas. Hampir tiap jengkal tanah di negeri ini bisa ditanami singkong, mulai dari Sabang sampai Merauke. Kita harus mengacungkan jempol atas keberhasilan meluncurkan Besita itu. Terlebih lagi peluncurannya dilakukan oleh Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso, Gurbenur Jawa Barat Ridwan Kamil, Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Soni Sulistia Wirawan, Ketua Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) Arifin Lambaga dan sejumlah pemangku kepentingan terkait lainnya. Direktur Utama Bulog, Budi Waseso, mengatakan, potensi Indonesia yang kaya akan produksi singkong harus dimanfaatkan sebagai upaya pemerintah untuk mensukseskan program diversifikasi pangan. Sebab, selama ini Indonesia masih sangat ketergantungan terhadap beras dan dapat memicu permasalahan ketahanan pangan nasional. “Produksi olahan singkong Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia dan sangat melimpah di tanah nusantara, sehingga membutuhkan suatu gagasan untuk menciptakan alternatif pangan selain beras. Maka kami melalui kerja sama dengan berbagai pihak telah memulai pengembangan singkong," kata Budi. Indonesia memiliki potensi singkong yang sangat besar, sekitar 85 persen dari luas singkong dunia tersebar di Sumatera, Maluku, Sulawesi, Papua termasuk Jawa dan dengan tingkat produktivitas yang sangat tinggi. Berdasarkan data Kementerian Pertanian RI, luas panen ubi kayu atau singkong di Indonesia tahun 2019 sekitar 0,63 juta hektar dengan produksi 16,35 juta ton. Angka ini sebenarnya terus turun sejak tahun 2015, baik dari segi luas maupun produksi. Produksi rata-rata baru 20 ton per hektar. Padahal, masih bisa ditingkatkan menjadi 26 ton per hektar, dan bahkan bisa rata-rata 40 ton per hektar. Besita, nama yang keren dan oke. Menjadi bahan pangan alfernatif, bagus. Rendah karbohidrat, jelas bagus untuk kesehatan. Menggunakan bahan baku singkong lokal, sangat tepat karena sangat pro petani. Memasuki Bulan Paceklik Yang menjadi pertanyaan, mengapa peluncuran Besita dilakukan menjelang penghujung tahun 2020)? Apakah ini benar-benar merupakan antisipasi Bulog dalam menghadapi pengadaan pangan yang semakin sulit pada bulan-bulan mendatang, terutama Januari, Februari dan Maret 2021? Biasanya, pada bulan-bulan tersebut (Januari, Februari dan Maret) adalah masa-masa paceklik. Paceklik karena belum masuk musim panen raya. Paceklik, karena para petani biasanya lebih senang menyimpan padinya, terutama dimaksudkan ssbagai cadangan atau lumbung pangan petani. Paceklik, belum tentu tidak ada gabah atau beras. Paceklik, karena Bulog biasanya juga kewalahan dalam menghadapi para pedagang beras yang sama-sama terjun ke "tengah sawah" untuk berburu gabah/padi. Dalam hal ini terjadi persaingan antara petugas Bulog di lapangan dengan para pedagang beras, termasuk bersaing dengan tengkulak. Pengadaan pangan oleh Bulog bisa jeblok di bulan-bulan tersebut. Sebab, kalaupun petani ingin menjual gabah/beras, tentu lebih senang kepada pedagang atau pengumpul karena harga yang diberikan lebih menggiurkan ketimbang ke Bulog. Saya kurang tahu posisi stok pangan nasional yang kini dikuasai Bulog. Namun, angka terakhir saya baca realisasi pengadaan pangan hingga 23 Desember 2020 sebanyak 1.252.524 ton. Mungkin angka ini sudah bertambah hingga tulisan ini dibuat. Itu kan realisasi pengadaan. Jika ditambah dengan stok yanh ada, mungkin jumlahnya bisa 1,5 juta ton atau bahkan 2 juta ton lebih. Namun, sekali lagi, realisasi pengadaan pangan pada Januari sampai Maret biasanya melambat. Yang terjadi justru pengurangan stok yang ada. Stok pangan nasional harus benar-benar aman. Apalagi, bulan April 2021 sudah memasuki bulan puasa. Biasanya, di bulan ini stok banyak terkuras dari gudang Bulog untuk operasi pasar. Saya juga kurang paham apakah strategi Besita itu sebagai langkah jitu dalam menghadapi kemungkinan terjadinya paceklik stok pangan nasional. Sebab, tidak ada angka, sudah berapa pabrik Besita yang ada. Berapa kapasitas terpasang dan kapasitas peoduksinya per hari, per minggu atau per bulan. Jangan-jangan, peluncurannya hanya seremonial, agar pengusaha mendapatkan kucuran dana pinjaman lunak dari pemerintah. Mungkin, perkiraan saya terlalu jauh. Ada satu pertanyaan lagi yang membuat pikiran saya sedikit galau. Jika cadangan pangan nasional yang dikuasai Bulog benar-benar menipis - katakanlah tidak bisa mencukupi kebutuhan 6 bulan impor - lalu darimana Bulog harus menutupinya? Jika stok pangan nasional yang dikuasai Bulog menipis, biasanya kran impor beras dibuka. Meskipun saya kurang setuju dengan impor, karena selain menguras devisa, juga dapat mengabaikan kekuatan petani dalam negeri. Namun, dalam keadaan terpaksa, impor beras harus dilakukan pemerintah dalam mengamankan cadangan nasional. Nah, saya mendapatkan informasi bahwa pemerintah sudah berniat melakukan impor. Penjajakan sudah dilakukan ke sejumlah negara pengekspor beras, seperti Thailand, Vietnam dan Laos. Akan tetapi, negara-negara produsen beras itu kabarnya menolak permintaan Indonesia. Alasannya, karena pemerintah negara-negara tersebut lebih mengutamakan kebutuhan pangan rakyatnya ketimbang mengekspor. Apakah benar penolakan itu karena negara-negara produsen beras tidak mengekspor beras? Jangan-jangan, pemerintah Indonesia tidak memiliki uang untuk membelinya. Jangan-jangan, bukan mau membeli, tetapi tukar-menukar komoditas. Atau bisa jadi, pinjam beras, seperti yang pernah dilakukan Indonesia di masa Orde Baru. Sebab, membeli beras dalam jumlah banyak tentu membutuhkan dana kontan dalam nilai besar. Apakah ada uangnya untuk membeli beras impor? Sebab, di tengah pandemi Corona Virus Disaesa 2019 (Covid-19), keuangan Indonesia tekor alias defisit Rp 1.000 triliun lebih. Berdasarkan perkiraan Kementerian Keuangan, defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 semakin melebar akibat penerimaan pajak yang sulit mencapai target. Di sisi lain, beban utang dan bunga utang pemerintah terus meningkat untuk membiayai APBN. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor72 tahun 2020, defisit APBN ditargetkan Rp 1.039,2 triliin atau 6, 34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini cukup mengkhawatirkan, di tengah resesi ekonomi yang melanda dunia. Mengkhawatirkan, karena Indonesia yang juga mengalami resesi ekonomi masih sangat membutuhkan pinjaman, termasuk pinjaman membiayai kebutuhan pangan. Sementara, lembaga donor dan negara donor dalam posisi kesulitan keuangan akibat banyaknya negara yang juga sama-sama membutuhkan pinjaman luar negeri. ** Penulis, Pemimpin Redaksi FNN.co.id.