NASIONAL
Memori 13 Tahun Wafatnya Jendral Besar Soeharto
by Irjen Pol. (Purn.) Anton Tebah Digdoyo Jakarta FNN - Tanggal 27 Januari 2021 ini, insya Allah baik untuk kita membuka memori hari wafatnya Bapak Pembangunan Indonesia Jendral Besar TNI (Purn.) Soeharto. Pak Harto wafat tanggal 27 Januari 2008, pada 13 tahun silam. Bersyukur, saya yang hanya alumni Sekolah Calon Perwira (SECAPA) Polri pernah ditugaskan menjadi Sekretaris Pribadi (Spri) wong agung Jendral Besar Soeharto. Mendampingi Pak harto di hari-hari yang sulit. Karena tiada hari tanpa demo. Bahkan terpaksa sering ikut menghalau demonstran yang merangsek ke kediaman beliau di Jalan Cendana Menteng. Namun menjelang akhir hayatnya, beliau banyak difitnah terutama oleh keluarga ex Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kelompok-kelompok yang pro dengan PPKI. Majalah TIME bahkan ikut-ikutan memfitnah Pak Harto. TIME memberitakan kalau Pak Harto nyimpan uang triliyunan rupiah di bank-bank Swis. Dengan pemberitaan ini, Pak Harto yang balik menantang semua orang atau pihak yang telah memfinahnya. Jika ada uangnya sepeserpun di bank-bank Swis, maka silakan saja diambil atau disita untuk negara. Untuk membiayai kegiatan pembangunan nasional. Tragisnya, Presiden Gus Dur ketika itu ikut-ikutan percaya juga. Sehingga Gus Dur perintahkan Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk melakukan penyelidikan ke bank-bank di Swis dan negara-negara lain. Saya dan Kapolri dipanggil Jaksa Agung untuk ikut membuat perencanaan penyelidikan. Walhasil Jaksa Agung tidak menemukan simpanan apapun dari Pak Harto di bank-bank Swis. Akhirnya Pak Harto yang balik menuntut secara hukum terhadap Majalah TIME. Hakim memvonis Majalah TIME bersalah, dan harus membayar denda akibat berita fitnah. Tdak cukup sampai di situ. Di dalam negeri, Pak Harto juga difitnah sebagai Pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi penuduh tak bisa buktikan tuduhannya. Bahkan berkat Bapak Pembangunan Indonesia inilah, tidak ada perang antar suku. Tidak ada penistaan kepada agama, nggak ada pembantaian. Tidak juga ada pembakaran masjid dan lain-lain. Dikau disebut kejam. Tetapi berkat Pak harto juga Indonesia nggak ada teroris, nggak ada itu bom Bali, nggak ada kriminalisasi ulama, nggak ada pembakaran mesjid dan pasantren. Dikau disebut koruptor. Tetapi berkat pembangunan yang pesat digalakan di segala bidang, bisa nyaur utang peninggalan dari presiden sebelumnya. Dikai difitnah sebagai penindas rakyat. Tetapi berkat bapak, petani menjadi subur, dan hidup makmur. Bisa Swasembada Pangan. Bisa membantu beras ke negara-negara lain. Diberikan pengahargaan oleh FAO, organ PBB sebagai negara yang sukses mencapai Swasembada Pangan. Kalau difitnah sebagai koruptor hebat, maka selama 33 tahun berkuasa, seharusnya Pak Harto menjadi orang terkaya di dunia. Tetapi nyatanya pak harto hidup sangat sederhana. Makan pun seadanya dengan makanan kesukaannya sayur lodeh dan tempe garit. Pak Harto dituduh Dalang PKI. Tetapi berkat Pak Harto juga PKI tidak bisa berkutik. Bila tuduhan itu benar, maka Pah harto pasti sudah dihabisi Jendral Nasution waktu itu . Selama 33 tahun berkuasa, Indonesia di tangan Pak harto seharusnya sudah menjadi negara komunis. Dikau disebut tak bermoral. Tetapi era bapak Indonesia nggak menjadi sarang narkoba. Nggak ada LGBT yang berani buka suara. Nggak ada yang berani sebut pesantren sebagai sarang teroris. Ngga ada bisa menyebut Hafidz Quran dan masjid sumber radikal. Nggak ada yang berani rendahkan tenaga Kerja Indonesia (TKI), lalu diganti dengan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Republik rakyat Cina (RRC). Nggak ada yang rasisme. Nggak ada juga tuh BuzerRp! Dikau disebut pengkhianat bangsa. Tetapi sejengkal tanah pun negara lain nggak ada yg berani ganggu. Nggak ada kapal-kapal asing yang bebas masuk ke laut perairan kita. Timor Timor tak akan lepas. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Kapal Tanker, Indosat, pulau nggak akan dijual. Faktanya ratusan juta rakyat mencintaimu. Berjuta rakyat mengantar ke pemakamanmu. Kini hampir semua rakyat Indonesia merindukanmu. Selalu mengenang sesanti Pak Harto dengan yang senyum sumringah. Para kepala negara dunia menyebutnya dengan “The Smiling General”. Enak Jamanku To!!! Bagiku dikau adalah “Macan Asia”. Sampai saat ini belum ada yang bisa mejadi sepertimu. Kini yang ada hanya silih hujat, silih dengki, silih caci. Sehingga apapun masalahnya, selalu saja radikalisme, intoleransi dan ekstrimisme yang menjadii kambing hitamnya. Fitnah bertebaran sana-sini. Ruwet, Ruwet, Ruwet, dan Ruwet.. Nggak bisa membangun, malah utang yang menggunung. Mengenang hari wafatnya Bapak Pembangunan Indonesia pada 27 Januari 2008 - 27 Januari 2021. Semoga bapak bahagia di alam baka. Terima kasih untuk semua karya bapak dalam membangun bangsa, termasuk 999 masjid dan infrastruktur beribu-ribu kilometer yang tersebar di seluruh NKRI sebagai amal jariyyah yang pahalanya terus ngalir deras hingga yaumil kiyamah. Alfatihah untuk Bapak Pembangunan Jendral Besar TNI (Purn.) Soeharto. Aaamien ...... Penulis adalah Sekretaris Pribadi Bapak Soeharto Setelah Turun Dari Presiden.
Korban Yang Terus Berjatuhan (#2 serial derita rakyat)
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN - Setelah menulis artikel “Luka Hati Rakyat Yang Semakin Dalam” (#1), saya lanjutkan dengan serial derita rakyat ini. Sebelum menulis artikel ini saya membayangkan wajah sepupu dan ponakan saya yang positif covid. Mereka harus dibantu ventilator di Rumah Sakit. Ada juga saudara yang melakukan karantina mandiri sendirian dirumah berhari-hari. Juga tetangga satu keluarga berlima semuanya diboyong dalam penanganan Rumah Sakit. Membayangkan juga wajah dua teman seangkatan dan satu kolega yang sudah lebih dulu dipanggil Allah pekan lalu. Juga terngiang wajah tetangga dan anak muda yang lebih dulu dipanggil sang Maha Pencipta beberapa hari lalu. Teriring do'a untuk semuanya yang telah wafat semoga husnul khotimah. Semoga dilapangkan kuburnya dan ditempatkan di Surga-Nya. Aamiin. Peristiwanya terasa begitu cepat. Hanya berselang beberapa hari saja, kemudian Allah Subhaanahu Wata'ala memutuskan, kami berpisah untuk selamanya. Mereka berada di alam kubur dan menuju akhirat kelak. Cerita diatas sengaja saya narasikan untuk mengingatkan kita semua khususnya penguasa rezim ini, bahwa situasi Covid-19 di Indonesia memasuki episode berbahaya. Positivity rate-nya lebih dari 20%. Empat kali lipat lebih dari standar WHO yang 5%. Bagi yang tinggal di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Banten,Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Papua, Riau, Sumatra Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan serta mungkin provinsi lainya, suasana yang saya rasakan kemungkinan dialami juga di wilayah tersebut. Kalau bukan kita sendiri, keluarga, tetangga, saudara, mungkin teman kantor, atau teman seangkatan ada yang positif covid atau bahkan ada yang meninggal dunia. Saat tulisan ini dibuat, update positif Covid-19 terkonfirmasi lebih dari 1 juta, dan yang meninggal dunia sudah mencapai 29.518 jiwa. Angka yang tentunya mencengangkan kita semua, sambil bertanya-tanya, apa saja ya kerja pemerintah untuk mengatasi Covid-19 ini? Ko semakin bertambah? Tidak ada tanda-tanda bakal menurun angka harian yang positif tertular. Menteri Kesehatan yang baru sempat berkata "saya sudah kapok, saya tidak mau lagi memakai data Kemenkes". Pada respon berikutnya Menkes mengatakan "cara testingnya salah. Testingnya banyak, tetapi kok naik terus". Kemudian Menteri Kesehatan juga mengatakan "600 tenaga kesehatan yang wafat, jangan sampai mereka wafat sia-sia". Narasi diatas ada kesan Menkes berfikir keras berpadu dengan cemas. Bahkan mengarah ada semacam kekhawatiran yang besar. Bagaimana mungkin data kementrian yang tidak dipercaya oleh menterinya sendiri? Kejadian seperti ini baru pernah terjadi. Mencermati fenomena itu, saya tiba-tiba saja teringat respon pemerintah pusat hampir setahun lalu, yang menolak menerapkan lockdown wilayah Ibukota Jakarta. Alasannya pemerintah ketika itu karena lebih mengutamakan nasib ekonomi dibanding nyawa rakyat. Sesumbar bahwa tak mungkin ada yang terjangkit virus Corona di Indonesia. Dengan keyakinan itu, pemerintah memberi diskon 30% kepada para wisatawan yang berkunjung ke Indonesia saat pandemi. Pemerintah bahkan membiayai influencer puluhan milyaran rupiah untuk ajak wisatawan datang ke Indonesia. Tetapi ekonomi terus memburuk hingga saat ini, padahal ratusan triliun rupiah sudah dikucurkan untuk atasi ekonomi. Ada juga pejabat penting yang berkelakar waktu itu dengan mengatakan izinya berbelit-belit virus Corona tidak masuk Indonesia, juga berkelakar COVID-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing jadi kebal, dan lain-lain. Kelakar yang tidak sensitif pada derita publik. Begitu kasus terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai angka 1 juta orang lebih, dan yang meninggal lebih dari 29.000 orang, penguasa justru bersyukur. Katanya pemerintah bisa mengendalikan Covid-19. Ironi cara berkomunikasi penguasa. Faktanya penanganan masih sengkarut. Baik pelaksanaan testing (pengetesan), tracing (pelacakan), treatment (perawatan) masih rendah dan belum merata. Pelaksanaan protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) juga kian longgar, karena sejak awal rezim tidak mau tegas, masih membolehkan lalu lintas sosial dari dan ke Jakarta dan ke tempat-tempat lain. Kabar terbaru 153 Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Republik Rakyat Cina (RRC) beberapa hari lalu masuk Indonesia melalui bandara Sekarno Hatta. Penjangkitan Covid-19 terus meningkat. Sementara dari sisi fasilitas juga kekurangan ruang isolasi dan tenaga kesehatan (nakes) yang makin berkurang karena menjadi korban. Realisasi insentif nakes yang belum tuntas, sengkarut data vaksinasi, hingga buruknya komunikasi publik menunjukan pemerintah semakin tidak berwibawa di mata rakyat. Baru-baru ini Lowy Institute (28/1/2021), sebuah lembaga independen terkemuka yang berkedudukan di Sydney Australia merilis indeks kinerja penanganan Covid-19. Indonesia menduduki posisi ke 85 dari 98 negara di dunia. Posisi Indonesia jauh dibawah Vietnam (2), Thailand (4), Singapura (13), Malaysia (16), Myanmar(24) dan Filipina (79). Bukankah itu bukti bahwa tata kelola penanganan Covid-19 sangat buruk. Bahkan terlihat sporadis dan makin dikacaukan oleh komunikasi penguasa yang buruk atau memang menunjukan buruknya manajemen penanganan Covid. Keburukan yang bukan semata-mata dari satgas, tetapi dari orang nomor satu di republik ini? Pertanyaan publik seperti itu sering muncul dalam diskursus biopolitic diberbagai forum diskusi. Sebab faktanya korban terus berjatuhan dan seringkali aspirasi solutif yang berbeda tidak didengar. Maka, secara rasional wajar jika ada yang bertanya apakah korban yang berjatuhan itu karena perilaku korban atau karena leadership penanganan yang salah? Yang jelas korban terus berjatuhan! Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
Mau Jadi Presiden?
by Tony Rosyid Jakarta FNN- Pemimpin itu soal nasib. Betul itu. Banyak orang yang tak layak, tetapi jadi pemimpin. Inilah yang disebut "holders of exceptional positions". Orang bodoh yang mengambil porsinya orang pintar. Dia bisa menjadi kepala daerah atau presiden karena nasib saja. Meski tak memenuhi syarat, baik itu integritas dan kapasitas. Sistem pemilu di Indonesia memberi ruang bagi mereka yang tak memenuhi "syarat substansial" untuk menjadi pemimpin. Sebab, untuk menjadi pemimpin di negeri ini hanya butuh popularitas dan akses ke pendanaan. Kalau syarat subtansial ini sudah dipenuhi, maka jalan untuk menjadi pemimpin terbuka. Soal popularitas, pelajari saja apa yang diminati media. Semua sikap dan tindakan disesuaikan dengan kebutuhan media, pasti populer. Blusukan, masuk gorong-gorong, datangi gelandangan, nyebur ke comberan, ikut becek-becek bersama petani, itu yang disukai media. Dengan modal popularitas dan akses dana, anda bisa beli tiket partai dan menghipnotis pemilih. Cukup itu saja. Simple kan? Bicara "syarat substansial", pemimpin idealnya adalah orang yang banyak membaca. Ini bukan hanya soal pengetahuan dan wawasan saja. Tetapi yang terutama soal mental. Orang yang banyak baca, setidaknya dia pertama, mau mendengar banyak ide dan gagasan. Kedua, peduli pada data. Ketiga, menganggap penting analisis dan kajian. Pemimpin yang tak suka, atau miskin bacaan, sulit mendengar pendapat orang lain. Cenderung tak peduli pada data. Tidak menyaring banyak pandangan, dan abai terhadap kajian. Yang penting kerja dan kerja. Tidak sabar, dan ingin serba cepat. Instan dan spontan. Pokoknya, dengar atau lihat masalah, langsung selesaikan. Tak berpikir tingkat efektifitas dan dampaknya. Yang penting, selesaikan. Lihat orang gak bisa nyebrang, bikin pelabuhan. Beli kapal-kapal, agar masyarakat bisa nyebrang. Nggak berpikir kemampuan biayanya. Berapa besar manfaatnya, dan bagaimana cost kedepannya? Pokoknya dermaga harus dibuat. Ya, banyak sepidan mangkrak. Kenapa? Karena tidak berbasis pada kajian. Lihat itu bandar udara Kertajati Jawa Barat. Ingin setiap daerah tumbuh ekonominya, bikin jalan tol. Bahkan bila perlu, di semua provinsi ada tol. Pertanyaanya, apakah masyarakat di wilayah itu butuh jalan tol? Kalau nggak butuh, tol pastui sepi. Nggak mampu biaya perawatan. Bangkrut, dijual. Semua ini karena program tak berbasis kajian. Ada juga yang nggak tahan lihat gelandangan. Main kasih rekomendasi kerja di BUMN. Nggak melihat dulu apa masalah mereka? Berapa banyak jumlahnya? dan dimana sebaran wilayahnya? Nggak mengkaji lebih dulu program menteri sebelumnya, mana yang belum efektif? Apa yang salah dan perlu dibenahi dari program sebelumnya? Pokoknya, kasih kerjaan. Emang mereka lagi cari kerja? Selain memperlebar telinga, menajamkan mata, dan membuat peka syaraf otak, membaca memberi wawasan dan kekayaan pandangan. Dengan membaca, seorang pemimpin punya banyak alternatif dalam membuat keputusan. Ini akan mempengaruhi kematangannya dalam membuat setiap kebijakan. Selain membaca, seorang pemimpin mesti gaul. Maksudnya, banyak relasi. Ketika dia jadi pemimpin, kenal banyak orang dengan latar belakang profesi dan kemampuannya. Lalu menyiapkan orang-orang yang layak untuk diajak berkolaborasi mengelola negara. Tahu integritas dan kapasitas mereka. Bukan hanya berpikir bagaimana menang, tetapi juga bagaimana mengisi kemenangan itu. Nah, disini seorang pemimpin butuh teknokrat handal dan berintegritas. Idealnya, seorang pemimpin punya latar belakang aktifis yang akrab dengan persoalan-persoalan bangsa. Aktifis di dalam atau di luar pemerintahan. Lepas apapun profesinya, keakraban dengan problem bangsa akan membantunya untuk memahami dan memetakan persoalan. Aktifis itu terlatih berpikir cerdas, bertindak cepat dan terukur. Tidak seperti akademisi tulen yang terkungkung oleh teori-teori dan muter-muter dalam wacana. Aktifis itu paham masalah, tahu teorinya, cepat keputusannya. Poinnya, sebelum jadi pemimpin, ia mesti paham apa masalah yang dihadapi bangsa ini. Ada gagasan di otaknya bagaimana menyelesaikan masalah itu. Bayangkan, jika seorang pemimpin nggak punya data. Nggak paham masalah. Nggak tahu apa-apa soal bangsa. Bagaimana dia punya gagasan dan program. Akibatnya, banyak pemimpin yang nggak paham apa yang diucapkan dan dijanjikan saat kampanye. Sebab, yang membuat janji itu timsesnya, bukan dirinya. Dia nggak paham janji yang disampaikan itu. Paham saja enggak, bagaimana melaksanakan? Model-model man of contradictions di negeri ini banyak. Karena tak memenuhi "syarat substansial" sebagai pemimpin. Ngaco jadinya. Asal kerja saja. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Berkhianat, Sandiaga Uno Tidak Laku Jualan Wakaf
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Soal wakaf uang sebagai gerakan nasional yang ikut diserukan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno ternyata mendapat respon yang negatif dari publik. Netizen menyatakan keengganan untuk mengikuti ajakan Uno. Karena Sandiaga Uno sudah dianggap sebagai penghianat berat kepada para pendukung setianya. Sandiaga Uno bukan lagi orang yang berpengaruh di mata para pendukungnya seperti dulu. Tidak lagi hebat seperti saat mengikuti Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang berpasangan dengan Anies Baswedan, maupun Pilpres 2019 ketika berpasangan dengan Prabowo. Sandiaga Uno sudah seperti barang rongsokan di mata pendukungnya. Begitulah resikonya kalau menjadi penghianat. Biasanya tidak ada ampun dan maaf untuk penghianat. Namun ada maaf untuk musuh. Penolakan kepada Sandiga Uno ini menyangkut kredibilitas Sandiaga yang merosot setelah menjabat sebagai menteri di kabinet Jokowi-Amin . Berberbeda Sandiga Uno saat menjadi Cawapres, yang begitu dielu-elukan, dengan setelah menjadi Menteri yang disesalkan banyak orang. Memang tidak ada penghianat disenangi oleh pendukungnya setelah berhianat. Begitulah hukum alam. Sandiaga Uno menyatu dengan citra kabinet yang sangat buruk. Bahkan dbilang bobrok. Sandiaga tidak akan mampu berkreasi sendiri untuk meningkatkan daya dukung publik kepada pemerintahan Jokowi. Aapalagi untuk kampanye wakaf uang. Publik, terutama mantan pendukung setia tetap saja menilai Sandiaga Uno akan mati, karena berada di jajaran Kabinet Jokowi. Tidak value yang bisa dibuat oleh Sandiaga jika berada di dalam kabinet. Nasib Sandiga Uno tidak bakalan berbeda jauh dengan senior dan pasangan Capresnya yaitu Prabowo Subianto. Keberadaan lawan tanding Jokowi-Amin di Pilpres 2019 ini memberi pelajaran tentang kematian itu. Sandiaga Uno muda dan bermasa depan itu hanya diolok-olok saat mendapat tugas mulai dari Menteri Kordinator Kemaritiman dan Investasi (Menkomarinvest) Luhut Panjaitan untuk memperbaiki toilet. Kalau Prabowo sudah duluan mendapatkan tugas dari mulia Prasiden Jokowi untuk menanam singkong dan mengembangkan pertanian. Kini giliran Sandiaga Uno mendapat tugas dari Luhut untuk mengurus , memperbaiki dan membersihkan WC. Sungguh hebat, dan sangat luar biasa tugas yang diberikan Jokowi kepada Prabowo, dan tugas dari Luhut Panjaitan kepada Sandiaga Uno. Tinggal dilaksanakan dengan baik, dan penuh tanggaung jawab saja. Semoga saja berhasil. Profil kesalehan diri Sandiaga Uno tidak mampu mendongkrak kharisma untuk berbicara dengan wibawa soal gerakan wakaf. Sebagian rakyat, khususnya umat Islam menilai bahwa gerakan wakaf uang yang dicanangkan Pemerintah Jokowi merupakan program ambivalen atau sikap munafik. Bahkan menyebut mengemis-ngemis untuk menarik dana umat. Sindirannya kencleng. Masjid pun sedang dilirik. Makanya mesjid-mesjid harus mulai dijaga ketat. Sebab di satu sisi umat Islam dicoba untuk dilumpuhkan dengan isu-isu radikalisme, intoleransi, terorisme dan ekstrimisme. Begitu juga dengan kriminalisasi terhadap ulama dan aktivis oposisi kritis yang terlihat masif. Ulama dan aktivis dijebloskan ke dalam penjara oleh penguasa. Eh, sekarang sumber-sumber dana umat Islam via zakat, haji dan wakaf justru mau diambil pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Sementara para perampok uang negara banyak terlihat berlindung di sekeliling Istana. Pekerjaaan untuk meyakinkan umat Islam dan para man pendunngnya inilah yang sekarang dicoba untuk dikerjakan oleh Sandiaga Uno. Sayangnya, mendapat rospon negatif. Sandiaga Uno pasti juga dapat membaca bagaimana potensial, anak muda, dan kreatifnya Menteri Pendidikan (Mendikbud) Nadiem makarim. Nadiem yang sangat dipercaya Jokowi, namun nyatanya tak berkutik juga di dalam Kabinet. Kualifikasinya biasa-biasa saja. Bahkan boleh dibilang tanpa prestasi. Banyak membuat kebijakan yang bertabrakan dengan kalangan kampus dan dunia pendidikan. Air di dalam kolam kabinet pemerintahan tidak jernih. Airnya kabur dan berbau. Kurang layak untuk dikonsumsi. Makanya kalau masuk ke dalamnya, pasti ikut tercemar. Jadi, sebaiknya Sandiga Uno fokus saja pada pilihan untuk mengurus masalah pariwisata dan ekonomi kreatif. Masalah wakaf biarlah para ulama dan ormas Islam yang jauh lebih paham dan kompeten. Setelah menyasar dana wakaf, disamping menyesalkan Sandiaga Uno, publik juga banyak menyindir Jokowi dan Sri Mulyani dengan diksi "mendadak mnjadi kadrun-kadrun". Padahal kadrun-kadrun menjadi sumber cemoohan dari “yang ono”. Kadrun-kadrun disetarakan “yang ono” dengan radikalisme, intoleransi, terorisme dan ekstrimisme. Pemerintah itu rupanya mulai sadar bahwa yang kearab-araban itu diperlukan juga, hi hi hi. Makanya jangan sok anti Islam, ya boss. Giliran urusan duit umat Islam, mata loe membelalak, heheheheheee. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pak Jendral Idham Azis, Mau Ditulis Sejarah Sebagai Apa?
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN – Assalamualaikum Pak Jendral Polisi Polisi Drs. Idham Aziz Msi. Apa kabar? Hampir pasti hari-hari ini menjadi hari yang dilalui Pak Idham sebagai hari yang menyenangkan. Pak jendral tidak lagi harus menggunakan setiap menit untuk berbagai urusan, baik Kepolisian maupun negara. Oh ya, ketika hari perpisahan Pak Idham dengan jabatan, tiba tepat tanggal 27 Januari 2021, sontak saja ucapan bismillahirrahmanirrahim dan hasbunallah wani’mal wakil, ni’mal maula wani’man nasir, yang pernah Pak Idham ucapkan kala fit and proper test tanggal 30 Oktober 2019, begitu saja menyapa benak ini. Itu karena ucapan ini sangat bekelas dan mengagumkan. Ucapan ini mengingatkan saya pada Salahuddin Al-Ayubi, panglima perang Islam, yang dikagumi Richard si raja gurun dari Inggris, yang menjadi lawannya. Salahuddin, pria hebat yang sangat bergantung pada Al-qur’an al-Karim, memperlakukan Richard dengan penuh hormat, kala si Raja gurun menderita sakit. Ucapan-ucapan Pak Idham bergelayut di alam pikir ini. Karena merangsang lahirnya sebuah pertanyaan, apakah Pak Idham juga mengucapkan alhamdulillah pada hari perpisahan dengan pangkat dan jabatan yang begitu hebat? Saya jelas tak dapat menemukan jawabannya. Yang pasti Pak Idham telah berpisah dengan jabatan dan pangkat yang sangat spesial itu. Kala awal mulai eksis, akhir dengan kodratnya menanti di ujungnya. Itu karena semua hal yang memiliki awal, pasti memiliki akhir. Tidak ada akhir kalau tidak ada awal. Ya pasangan abadi awal adalah tidak pernah lain selain ada akhir. Begitulah alam menyajikan hikmahnya. Tidak ada kepulangan, kalau tidak ada kedatangan. Tidak ada kematian, kalau tidak ada kehidupan. Tidak mati, kalau tidak pernah hidup. Tidak hidup kalau tidak punya roh. Setiap yang memiliki roh, akan menemui kematian. Hanya batu yang tak mati. Jangan pernah menghina orang, siapapun dia, kalau anda tidak ingin dihina kelak. Jangan juga susahkan orang, kalau tidak cukup kuat menahan gempuran kesusahan untukmu. Kalau ingin dikenang sebagai orang baik, maka berbuat baiklah selalu disepanjang relung-relung nafas yang ada. Begitu sabda alam bicara kepada mahluk yang berakal. Ustad Das’at, suatu hari memberi pesan kecil dan berbobot kepada Pak Kapolri Idham Azis. Pesan itu, kalau tak salah terlontar dari mulut ustad, usai ceramah Rapimnas Kepolisian, di Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Kalau tak salah, pesan terlontar setelah Pak Idham, kala itu masih Jendral aktif dan memegang jabatan Kapolri meminta ustad memberi Pesan. Jangan pukul kepala orang, kata ustad Da’ad kala itu. Menurut ustad ini, di kepala itu tersimpang memori huruf demi huruf al’qur’an dan hadist, yang dihafal si empunya kepala. Kalau kepalanya di pukul, ustad Das’ad khawatir hafalan al’qurannya melayang entah kemana. Padahal di alam kecil itulah, panduan agung setiap orang mengenal diri, menimbang napas, mengenal Penciptanya tersimpan. Masuk akal. Top ustad Das’ad. Pesan itu akan ditemukan sebagai sejarah. Apakah pesan itu diikuti oleh Pak Kapolri, Pak jendral Idham Aziz atau tidak? Percayalah pesan itu telah tertulis rapi dalam sejarah. Entah di daerah, di Jakarta hampir tak terdengar. Apalagi tercatat rapi dalam administrasi hukum di Kepolisian peristiwa Polisi memukul kepala orang. Di Jakarta, sekali lagi tidak ada. Entah di daerah-daerah. Pertanyaannya, apakah tidak ada mahasiswa yang bocor kepalanya, berdarah-darah, karena terkena benda tumpul yang salah digunakan oleh anggota Polisi? Tidak ada mahasiswa, bahkan buruh yang bocor kepalanya disaat demonstrasi, karena terhantam benda tumpul yang dimiliki Polisi? Dunia tahu, rumput pun tahu, pada tangal 7 Desember 2020 lalu ada anak bangsa ini yang mati ditembak oleh polisi di dada lebih dari satu tembakan. Kadafi, yang Babang Dula Hehamuhua pernah datangi kediamannya mengikuti tahlilan adalah salah satunya. Teman-temannya juga mati tertebak. Juga di dada juga, bukan di kepala. Kepala sih aman. Mereka yang tertembak adalah para pengawal Habib Rizieq Sihab, dalam perjalanannya dari Sentul ke suatu tempat di Karawang. “Mereka dibuntuti, lalu terjadi kejar-kejaran dan berakhir dengan baku- tembak”, kata Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran. Baku-tembak ini atau tertembak di kilometer 49, dan mayatnya diturunkan di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek), itu ada dua orang. Sisanya empat orang lain ditembak Petugas Polisi di dalam mobil, empat orang itu diangkut untuk dibawa ke Polda Metro Jaya. Di dalam mobil inilah orang-orang itu ditembak. Katanya mereka berusaha merebut senjata, sehingga mereka ditembak. Jelas penjelasan yang tak masuk akal. Tetapi lebih tak masuk akal lagi, setelah itu polisi di bawah kepemimpinan Pak Idham menyelidiki kasus ini. Parahnya lagi, penyidik terlihat menyidik kasus itu menurut versi Irjen Pol. Fadhil Imran, Kapolda Metro Jaya. Skema itu terlihat nyata pada rekonstruksi kasus ini. Untungnya Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM), yang melakuka penyelidikan dengan segala kelemahannya, menyajikan fakta yang sebagian besar sudutnya berbeda dengan data polisi. Bila tidak ada data dari Komnas Ham, kiamatlah dunia hukum negeri ini sesuai kerja polisi yang dipimpin Pak Idham Azis. Orang-orang itu mati karena melawan petugas. Polisi benar total, dan FPI jadi salah total. Entah dibawah kendali atau tidak, yang pasti Bareskrim dalam kepemimpinan Pak Idham Azis ini juga yang menangkap Jumhur Hidayat, Sahganda Nainggolan dan Anton Permana dan kawan-kawan aktivis. Drama penangkapan Jumhur hidayat, terus terang, memukul nurani rule of law dalam semua aspeknya. Terlihat Pak Idham Azis seperti miskin dalam pemahaman terhadap hukum dan HAM. Apakah penangkapan itu sepenuhnya diarahkan oleh Kabareskrim, Komjen Listyo Sigit, yang sekarang ini telah menjadi Kapolri? Tak ada yang tahu pasti. Apakah Pak Idham kala itu tidak memberi arahan kepada Kabareskrimnya? Juga wallau a’alam bishawab. Ruh-ruh mereka, entah bagaimana prosesnya, mungkin kelak di padang Mahsyar akan bercerita di hadapan penciptanya tentang, peluru yang membuat mereka melayang. Ruh-ruh itu, mungkin bilang bahwa “kami terlepas dari jasasd kala itu oleh peluru dari petugas polisi”. Ruh-ruh itu mungkin juga akan berkata kala itu, pimpinan tertinggi Kepolisian saat itu adalah Pak Jendral Idham Aziz. Dibawah beliau ada Kabareskrim, dan Irjen Pol. Fadhil Imran, Kapolda Metro Jaya. Polisi-polisi dibawah kendali mereka itulah yang melepaskan tembakan, dan pelurunya mengenai dada jasad kami, sehingga mengakibatkan kami kembali kepada-Mu ya Rabbii. Apapun itu Pak Idham adalah Kapolri kala itu. Suka atau tidak, itulah yang dicatat sejarah. Sejarah juga akan menyuguhkan kenyataan lain, yang untuk alasan apapun, tidak enak. Kenyataan lain itu adalah Maklumat Kapolri kepada jajarannya dalam menangani konten berita yang terkait Front Pembela Islam (FPI), yang telah dilarang pemerintah untuk berkegiatan. Maklumat yang tidak enak ditulis lagi itu, entah dibayangkan atau tidak oleh Pak Idham, terlihat oleh dunia pers bagai halilintar. Paling tidak maklumat, yang terlihat amburadul itu, bagai hantu di siang bolong memasuki dan mengacak-acak, bukan saja meja redaksi, tetapi ruh pers semua. Ketua Dewan Pers, Profesor M. Nuh, dan jajarannya, serta tidak sedikit komunitas pers bereaksi sangat keras. Maklumat Pak Idham itu disambut kalangan pers sebagai instrument baru pengekangan kebebasan pers. Lebih dahsyat dari rezim otoriter. Itu sebabnya maklumat ini serta membangunkan kalangan pers untuk bereaksi. Mereka menyambutnya dengan kritik bernada olok-olok, yang has, dan penuh gairah. Akhirnya semua itu membekas, tertulis disepanjang panggung kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai sejarah. Tidak enak memang, tetapi harus diterima. Sejarah memang bisa dikendalikan, dan diarahkan. Tetapi seperti biasanya, itu hanya bisa untuk waktu tertentu. Tidak bisa untuk setiap waktu. Bagaimana Pak Idham mengenang semuanya? Entahlah. Apakah Pak Idham mau dikenang sebagai Kapolri yang sukses? Entahlah. Jelas, Pak Idham tidak dapat mengarahkan apalagi mengendalikan sejarahnya yang telah tertulis. Apakah Pak Idham akan bilang Alhamdulillah, saya telah berhasil mengawal, dan mengemudikan Kepolisian demi bangsa dan negara ini atau hanya demi Presiden Jokowi? Entahlah. Hanya Pak Idham yang tahu itu. Apapun itu, hari-hari sesudah melepas pangkat dan jabatannya, mungkin menjadi hari yang indah buat Pak Idham. Hari yang indah dihiasi bacaan al’quran siang dan malam, dzikir pada setiap detik nafas berdetak, kiamullail di sepertiga malam, dan hal baik lainnya. Insya Allah. Melepas jabatan dan pangkat hanyalah akhir untuk urusan dunia. Akhir yang abadi itu pasti akan datang juga, entah kapan. Itu rahasia Allah subhanahu wata’ala. Semua yang tak terlihat, akan terlihat pada waktunya. Semua yang tak mampu bicara hari ini, akan bicara pada waktunya. Kelak di pengadilan itu, semua bicara apa adanya. Mulut terkunci, tangan bicara, kaki bicara, semua bicara memberi kesaksian. Tak ada kepalsuan sekecil atom sekalipun. Semuanya otentik. Begitu sabda alam memandu ummat manusia. Pak Idham, selamat menikmati hari-hari indah. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Wakaf Ditengah Perampokan Yang Berlindung di Sekeliling Istana
Umat Islam bukannya tak senang bagian dari syari'at agama dicanangkan sebagai program nasional. Namun masalahnya, pemerintah menerapkan kebijakan yang ambivalen. Pada satu sisi umat Islam dicoba untuk dilumpuhkan melalui isu-isu radikalisme, intoleransi, terorisme, dan ekstrimisme. Juga melalui kriminalisasi terhadap para ulama dan aktivis. Sementara di lain sisi dana umat via zakat, haji, dan wakaf justru akan diambil untuk biayai infrastruktur. Para perampok banyak yang berlindung di sekeliling Istana by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sedang ramai bangsa ini menyoroti perampokan uang rakyat oleh mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dan rekan-rekannya dari partai Pertai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ini perampokan yang benar-benar brutal, dahsyat, jijik dan sangat bejat. Karena merampok dan memakan dana Bantuan Sosial (Bansos) yang seharusnya diperuntukan untuk rakyat kecil di saat pandemi. Disamping masyarakat menghendaki diberlakukannya hukuman mati untuk Juliari Batubara, juga muncul tuntutan dan desakan agar PDIP dibubarkan saja. Karena PDIP kini menempati urutan teratas sebagai penyumbang kader terbanyak yang terlibat korupsi. Tuntutan yang terbilang wajar, karena prikaku penipuan kepada rakyat, dengan mengusung tagline “Partai Wong Cilik”. Di tengah perampokan uang rakyat yang masif dan berkelanjutan dari Jiwasraya, Asabri, Pertamina, BPS Tenaga Kerja, hingga Lobster dan kini Bansos, justru Pemerintah mencanangkan Gerakan Nasional Wakaf Uang. Suatu gerakan mobilisasi uang rakyat yang sepertinya biasa-biasa saja. Tetapi menjadi luar biasa karena dicanangkan di saat “negara sangat membutuh uang ". Gerakannya sekilas terlihat seperti yang berpihak kepada umat Islam. Tetapi sebenarnya umat Islam sendiri menduga ada motif lain dari pencanangan ini. Motif ekonomi yang lebih dominan ketimbang ibadah. Sebagaimana diungkapan sendiri oleh Presiden yang menyatakan wakaf tidak hanya sebagai ibadah, tetapi juga sosial dan ekonomi. Sungguh pencanangan kebijakan yang menunjukkan kedangkalan keagamaan, dan pandangan sekuler yang memisahkan ibadah dan sosial ekonomi. Seorang muslim yang baik itu akan memandang aspek sosial dan ekonomi sebagai ibadah. Sementara yang terjadi pada penguasa sekarang adalah berupaya dengan sekuat tenaga agar memisahkan sosial ekonomi dari ibadah. Ibadah hanya identik dengan melaksanakan sholat, berpuasa selama bulan ramadhan dan puasa-puasa sunnah, pergi haji dan umroh, mengeluarkan zakat, infah dan shadaqah, mengurus dan menguburkan orang yang meninggal dunia, membangun mesjid dan musholla, mendirikan pasantren dan rumah sakit. Selain ibadah-ibadah muamalah itu, tidak dianggap sebagai ibadah. Mengkritik pemerintah yang zalim dan otoriter itu bukan ibadah. Mengingatkan pemerintah untuk tidak membangun dinasti politik keluarga, itu juga bukan ibadah. Tidak adanya penegakkan hukum kepada mereka yang pro kepada pemerintah, itu bukan ibadah. Berlaku tidak adil kepada sebagian warga negara, itu bukan ibadah. Tidak melaksanakan tujuan bernegara sebagaimana diamantkan Pembukaan UUD 1945, itu bukan ibadah. Membunuh rakyat sendiri tanpa proses pengadilan, itu bukan ibadah. Rezim ini sudah seperti kapal keruk yang karam di tengah laut. Sehingga perlu untuk dilakukan langkah-langkah penyelamatan. Mengeruk dana investor kini semakin tersendat dan susah. Mengeruk hutang dari asing, sudah sampai Rp 6.000 triliun. Itu rupanya belum cukup. Mengeruk uang umat Islam melalui eksploitasi zakat dan dana haji. Kini mencoba lagi mengeruk dana wakaf dari umat Islam. Potensi dana wakaf dari umat Islam setahun ada Rp. 188 Trilyun. Besarnya dana wakaf umat Islam itu membuat Menteri Kekuangan Sri Mulyani sudah bermimpi-mimpi untuk menggunakan dana itu. Mau dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur. Sayangnya, umat Islam terlanjur tidak percaya kepada rezim memelihara koruptor dan perampok berlindung di sekeliling kekuasaan ini. Umat Islam bukannya tak senang bagian dari syari'at agama dicanangkan sebagai program nasional. Namun masalahnya, pemerintah menerapkan kebijakan yang ambivalen. Pada satu sisi umat Islam dicoba untuk dilumpuhkan melalui isu-isu radikalisme, intoleransi, terorisme, dan ekstrimisme. Juga melalui kriminalisasi terhadap para ulama dan aktivis. Sementara di lain sisi dana umat via zakat, haji, dan wakaf justru akan diambil untuk biayai infrastruktur. Para perampok banyak yang berlindung di sekeliling Istana. Lagi-lagi infrastruktur pula yang menjadi orientasi dan tujuan utamanya penacanangan wakaf dana umat Islam. Padahal di proyek-proyek infrastruktur inilah perampokan banyak terjadi. Karena lepas dari pengawasan masyarakat luas. Hanya kalangan tententu yang bisa dan punya kemampuan untuk punya akses dan mengasi dan menghitung biaya-biaya untuk pembangunan infrastuktur. DPR yang diharapkan untuk mengawasi juga kemasukan angin. Celakanya lagi uang yang ada di BUMN pun dikorupsi. Begitu juga dana pinjaman untuk menanggulangi pandemi covid-19 bansos ikut dirampok habis. Prilaku penguasa yang sangat bejat. Akibatnya, krisis ekonomi yang sudah di depan mata sekarang, membuat pemerintah menggaruk apapun, termasuk dana wakaf umat Islam. Sayangnya Wapres yang Kyai selalu tampil menjadi tukang stempel kebijakan yang berhubungan dengan keumatan. Soal wajib dan halal vaksin, dana haji yang digunakan untuk keperluan selain haji, eksploitasi zakat, serta pembenaran wakaf yang digunakan untuk hal "di luar ibadah". Wakaf uang di tengah perampokan uang negara yang marak adalah tema dari drama negara. Ada sindiran gambar foto seseorang yang sedang melirik tajam sambil tersenyum, lalu ada tulisan di atasnya "that moment" dan di bawahnya ada tulisan “when the corruptor hear Wakaf”??? he he he. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Mengapa Semakin Kuat Desakan PDIP Dibubarkan?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Jika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan alasan ideologi, Front Pembela Islam (FPI) soal administrasi dan anggota yang terlibat terorisme, maka Partai demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang beralasan ideologi dan terlibat korupsi juga patut untuk dibubarkan. Asas keadilan dan kesamaan di depan hukum mesti ditegakkan pemerintah. Hanya dengan "pernyataan" berbingkai hukum, maka HTI dan FPI dibubarkan. Kalau HTI dibubarkan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Sedangkan dan FPI dibubarkan melalui Surat Keputusna Bersama (SKB) enam menteri dan pejabat tinggi negara. Keenam pejabat tersebut adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala Badan Nasional Penggulangan Terorisme (BNPT). HTI dan FPI, keduanya dibubarkan tanpa melalui proses peradilan. Suatu proses yang seharusnya dilalui untuk tegaknya keadilan dan kepastian hukum. Sementara PDIP selain persoalan ideologi, juga kadernya terbanyak terlibat korupsi diantara partai-partai politik. PDIP pun kini didesak banyak pihak untuk dibubarkan dengan tiga alasan utama. Pertama, menjadi sponsor utama Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi pancasila (RUU HIP) yang jelas-jelas keberatan untuk mencantumkan Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran PKI, dimana PKI dinyatakan sebagai Organisasi Terlarang dan Larangan untuk Menyebarkan Faham Komunisme/Marxisme-Leninisme. PDIP juga banyak menampung kader-kader berhaluan kiri yang membela PKI dan faham komunisme. Kedua, PDIP menjadikan Trisila dan Ekasila sebagai misi perjuangan Partai. Ini artinya secara sadar atau tidak, telah merongrong kewibawaan ideologi Pancasila. Disamping itu, Pancasila menurut versi PDIP adalah rumusan 1 Juni 1945. Bukan rumusan kesepakatan 18 Agustus 1945. Ini sama saja dengan makar kepada Pancasila itu sendiri (vide Mukadimah Aanggaran Dasar (AD) PDIP, khususnya alinea ketiga dan Pasal 6 ayat 2 AD PDIP). Ketiga, banyak kader yang terjerat kasus korupsi, sehingga PDIP adalah partai politik yang menyumbang pelaku korupsi terbesar di negara Republik Indonesia. Kasus terakhir adalah korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) Menteri Sosial Juliari Peter Batubara yang juga bakal menyeret kader-kader PDIP lainnya. Sangat dahsyat dan brutal merampok uang rakyat di masa pandemi covid-19. Ketika, penguasa negara mengarahkan pembubaran organisasi kepada aspirasi keumatan, maka wajar muncul desakan bahwa yang lebih pantas dan layak untuk dibubarkan adalah PDIP. Tentu sepanjang partai ini belum mau melakukan perubahan platform perjuangan maupun perilaku mental dan moral para kadernya yang hobby melakukan tindak pidana korupsi. Awalnya PDIP adalah partai yang merakyat dengan slogan partai "wong cilik". Namun kini setelah menjadi "the ruling party", karakter PDIP berubah menjadi partau politik yang elitis. Bahkan cenderung kurang peka dengan penderitaan yang dialami oleh rakyat. Kemenangan Pemilu bukanlah ukuran kepercayaan rakyat yang sesungguhnya. Terutama pada iklim politik yang pragmatis dan kapitalistik. Jadi teringat kepada pidato Ketum Partai Nasdem Surya Paloh di depan Civitas Akademica Universitas Indonesia dan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI) beberapa waktu yang lalu. Surya Paloh berpidato dengan menggebu-gebu dan menyatakan bahwa "kita ini malu-malu kucing untuk mendeklarasikan diri kalau Indonesia hari ini adalah negara kapitalis yang sangat liberal. Itulah kenyataan Indonesia yang hari ini". Kompetisi "wani piro" berujung pada melahirkan pejabat negara yang bermental maling atau korup. PDIP tak mampu menepis kultur ini. Bahkan kini kader-kader PDIP tampil menempati posisi terdepan, dan menjadi juara satu partai dengan kader paling banyak melakukan tindak pidana korupsi diantara parati-partai politik yang ada di tanah air. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Islam Menjadi Zona Merah Kebijakan Politik
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Tanpa ada situasi yang "genting dan memaksa" melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemerintah Jokowi membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ternyata persoalan tidak selesai dengan pembubaran oragnisasi HTI semata. Disosialisasikan juga bahwa HTI adalah organisasi terlarang, sesuatu yang tidak berdasar hukum. Kacaunya lagi, tidak ada ketentuan atau pasal-pasal mengenai pelarangan HTI. Yang ada adalah politisasi menipu rakyat secara tidak fair. Pemerintah lagi-lagi memperlihatkan keangkuhan kekuasaan tanpa bersandar pada aturan-aturan hukum positif yang berlaku di negara hukum. Di kalangan umat Islam, mungkin ada atau bahkan banyak yang sangat tidak setuju dengan pola perjuangan HTI. Akan tetapi penzaliman yang berlebihan, juga tidak dapat diterima. Apalagi dengan cara-cara licik membohongi rakyat. Manipulasi hukum untuk tujuan politik. HTI bukanlah organisasi terlarang seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pelarangannya jelas-jelas tertuang dalam Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966. Persoalan HTI muncul terus atau terus dimunculkan. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum ( Pemilu) yang masuk dalam Prolegnas 2021 secara eksplisit melarang eks anggota HTI untuk ikut sebagai kontestan dalam Pemilihan Legislatif (Pileg), Pemilihan Presiden (Pilpres), dan Pemilihan Kepala daerah (Pilkada). Ini bentuk kezaliman yang sangat berlebihan kepada HTI. Di Universitas Padjadjaran (UNPAD ) Bandung, dengan alasan sebagai aktivis HTI, seorang Wakil Dekan yang baru dilantik, langsung dicopot kembali. Sementara di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ada anggota dewan dr. Ribka Tjiptaning dari Fraksi PDIP yang dengan bangga menyatakan kepada publik bahwa “saya bangga menjadi anak PKI”. Tidak sampai disitu saja. Partai Politik seperti PDIP dengan jelas-jelas mencantumkan Trisila dan Ekasila dalam anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Trisila dan Ekasila mengacu pada Pancasila 1 Juni 1945 yang tahun lalu diperjuangkan dalam RUU Haluan Idelogi Pancasila (HIP) yang ditentang keras oleh umat Islam dan ormas-ormas Islam dibawah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pancasila 1 Juni 1945 dengan Trisila dan Ekasila sangat kental dengan Orde Lama dan faham komunis. Ini bertentangan dengan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 yang diakui bangsa Indonesia. Anehnya, yang yang jelas-jelas mencantumkan Trisila dan Ekasila di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, malah dibiarkan hidup dengan leluasa, bahkan mengatur negara. Setelah HTI diobrak abrik, giliran Front Pembela Islam (FPI) yang kini terus dihabisi gerakannya. Setelah dibubarkan dan dilarang secara sewenang-wenang, maka kelak eks anggotanya bisa dipersekusi secara politik. Kini saja HRS sudah dibombardir dengan beragam tuduhan dan tuntutan, yang mengesankan tidak memberi kesempatan HRS untuk bernafas. Mungkin hal ini menjadi upaya yang sukses, tetapi sejarah esok bisa berbalik menghukum. Baru dua organisasi Islam yang dibubarkan. Bila agendanya adalah Islamophobia seperti Bung Karno dulu, atau pelumpuhan kekuatan-kekuatan Islam, maka usaha pembubaran akan terus berlanjut. Entah target berikutnya bisa MUI atau Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Isu radikalisme, intoleransi hingga ekstrimisme dan terorisme fokusnya dapat diduga adalah umat Islam. Kelompok politik sekuler atau bahkan komunis dalam sejarahnya selalu anti terhadap Islam. Karena lawan terberatnya adalah Islam. Kini Islam sudah menjadi zona merah kebijakan politik. Sikap politik anti Islam tak boleh hidup di negeri Republik Indonesia. Disamping akan menghadapi perlawanan umat Islam. Sebab cara pandang seperti itu akan menjadi a historis. Negara ini didirikan oleh perjuangan dan pengorbanan kekuatan besar umat Islam. Saat harimau yang sedang tenang dalam kandang mulai diusik, ia akan gelisah. Ketika semakin terang-terangan diganggu, maka kuku-kukunya akan keluar terasah. Lalu menggeram siap untuk menerkam para pengganggunya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Taubat Politik Jusuf Kalla Yang Terlambat
by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Periode pertama Jokowi sebagai Presiden didampingi Jusuf Kalla (JK)tidak membawa hasil yang konstruktif. Hasilnya biasa-biasa saja. Bahkan cenderung mengarah kepada kehancuran dan kekacauan politik dan hukum. Hasil ini sesuai dengan prediksi JK sendiri bahwa “jika Jokowi yang menjadi Presiden hancur negeri ini”. Ungkapan Pak JK pada bulan bulan Mei 2014 terseburt, ternyata terbukti. Kegaduhan demi kegaduhan yang mewarnai perjalanan negara hari ini. JK yang niat awalnya menjadi Wapres untuk mengawal Jokowi, tak berkutik "tidak bisa mengawal" Jokowi yang ternyata lebih kuat dikawal oleh para taipan konglomerat dan pengaruh Pemerintah Cina. Wapres JK saja yang sangat berpengalaman, matang dan piawai dalam berpolitik itu mampu "dimatikan" Jokowi dengan sangat mudah. Apalagi hanya sekelas KH Ma'ruf Amin yang tidak berpengalaman. Wapres hari ini hanya berfungsi sebagai "vote getter" saat Pilpres berlangsung saja. Setelah Pilpres selesai, maka tugas dan kerja Wapres juga selesai dengan sendirinya. Jokowi sendiri sebenarnya vigus yang lemah. Hanya lingkungan dan kepentingan sekitarnya sangat dominan. Sehingga mampu memproteksi dan diduga kuat mengendalikan mengendalikan Jokowi. Tidak perduli, apakah kebijakan-kebijakan yang dibuat Jokowi itu bertentangan dengan kepentingan dan kehendak rakyat. Yang terpenting adalah kepentingan mereka di lingkungan Jokowi tercapai. Baru Sadar Setelah Kacau JK seperti mulai menyadari kesalahannya yang menjadi "mede dader" dari kerusakan ekonomi dan politik bangsa di bawah Pemerintahan Jokowi selama lima tahun. Kini JK mulai turun gunung. JK mulai melangkah kembali di kancah perpolitikan nasional. Terutama ketika Habib Riziieq Shihab (HRS) dan keluarga menginjakan kaki di tanah air. Ketika itu JK terlihat merintis hubungan pertokohan dengan HRS dan Anies Baswedan yang kini Gubernur DKI Jakarta. Kedua tokoh yang dirintis kembali hubungannya oleh Pajak JK ternyata dianggap oleh Jokowi sebagai "orang oposan". Menghadapi manuper politik JK-HRS dan Anis Baswedan ini, berbagai langkah untuk membungkam sepak-terjang HRS dan Anis dilacarkan oleh Jokowi. Ketika Pilpres AS dimenangkan Joe Biden dari Partai Demokrat, maka kedekatan JK dengan Biden yang sudah lama terjalin sejak Biden menjadi Wakil Presiden Barack Obama selama dua priode bakalan terjalin kembali. Pertanyaannya, akan berpengaruh pada kiprah hubungan JK dengan Biden terhadap kebijakan-kebijakan Jokowi di dalam negeri? Suka dan tidak suka dukungan global, terutama Amerika terhadap Indonesia menjadi faktor yang tiak bisa dianggap enteng. Apalagi untuk melancarkan peran ke depan pada Pilpres 2024 nanti. Tentu saja bukan hanya sanga Capres yang menjadi faktor penentu. Tetapi siapa yang tampil sebagai "King Maker"? Tau Banyak Kelemahan Memang JK yang ikut serta "berdosa" membuat bangsa seperti hari ini harus bertaubat. Saatnya untuk aktif beramal kebajikan, terutama untuk meluruskan kiblat dan arah perjalanan bangsa yang sedang berjalan terseok-seok salah arah. Bahkan cenderung menuju arah yang tersesat. Melenceng auh dari tujuan berbangsa dan bernegara yang diamanatkan di alinea ke empat pembukaan UUD 1945. Usia Pak JK yang sudah 78 tahun pada 15 Mei nanti, seharusnya mendorongnya untuk erbuat yang terbaik untuk bangsa di sisa usianya. Tahun 2024 semestinya sudah ada perubahan yang signifikan, bahkan di tahun sebelumnya. Namun harapan itu sangat kecil. Jauh panggang dari api. Wajar-wajar saja kalau mayarakat semakin banyak yang pesimis. Ekonom kawakan Rizal Ramli memprediksi krisis ekonomi tahun 2021 lebih berat dari yang pernah terjadi pada tahun 1998 lalu. Krisis yang mengahiri kekuasaan pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. JK sebagai praktisi ekonomi tentu saja sangat memahami kondisi ini. Meskipun terlambat, JK segera berbuat untuk meluruskan arah dan kiblat berbangsa, agar dicatat oleh sejarah sebagai penyelamat bangsa. Mengapa harus JK? Disamping mantan Wapres dua periode, juga mantan Ketua Umum partai besar Golkar. Pengusaha sukses. Mengetuai Dewan Masjid Indonesia dan Palang Merah Indonesia. Merujuk pada pandangan Rachmawati, JK kini menjadi salah satu "geng" kekuasaan yang berpengaruh di samping geng Jokowi, Luhut dan geng Megawati. JK tau banyak tentang kekurangan Jokowi. Semoga taubat politik JK dengan kerja kerasnya dapat membuahkan hasil gemilang. Perubahan politik yang lebih baik setelah ambyar habis di era Pemerintahan Jokowi. Old politician never fade away. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Perpres No. 7/2021 Yang Sangat Berbahaya
by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Ternate FNN - Ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia, teridentifikasi oleh Presiden Jokowi, semakin meningkat. Peningkatan ekstrimisme itu telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional. Itulah justifikasi sosilolgis Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme (RAN PE) tahun 2020-2024. Benarkah itu? Itu bukan soal hukum. Itu sepenuhnya soal politik. Politik tidak mengenal benar dan salah. Politik hanya berurusan dengan perhitungan. Ya soal kalkulasi. Validitasnya bergantung penuh pada daya dukung, kemampuan dan keberhasilan mengendalikan keadaan. Tidak lebih dari itu. Itu sebabnya jangan menyodorkan aspek-aspek normatif hukum untuk mengukur validitas pertimbangan tersebut. Sangat Menakutkan Tetapi persis dikoridor itulah, soal ini jadi menarik dianalisis. Tawa riang akan segera menemukan siapapun yang menilai Perpres RAN PE bertolak belakang dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU. Betul Perpres RAN PE dialirkan atau disandarkan pada UU Nomor 5 Tahun 2018 itu. Betul itu. Betul sekali UU Nomor 5 Tahun 2018 telah begitu jelas mengatur hal-hal yang Perpres RAN PE ini kualifikasi sebagai “ekstrimisme”. UU ini begitu jelas bicara mengenai kontraradikalisasi. Targetnya jelas. Targetnya tidak terbatas mereka yang pernah dihukum melakukan tindakan terorisme. Targetnya luas. Perorangan dan atau kelompok orang teridentifikasi “terpapar faham radikal” dinyatakan oleh UU ini sebagai taget kontradikalisasi. Lalu, Apa makna dari terminologi orang yang terpapar faham radikal? Maknanya tidak lain, selain orang yang memiliki keyakinan, yang dengannya membawa atau mengakibatkan mereka melakukan tindakan terorisme. Hanya itu titik. Tidak lebih. Tidak ada terorisme yang dilakukan dengan cara-cara lembut. Tidak ada. Terorisme dengan cara-cara lembut, dan akibat yang biasa-biasa saja? Itu konyol dan tolol. Terorisme ya kekerasan, sebagai hasil dari keyakinan ekstrimnya. Jadi, untuk apa Perpres RAN PE itu? Penggunaan pendekatan isolasionis atau purposivistik sekalipun, sulit untuk menyangkal kesamaan substansial sifat antara terminologi “terpapar faham” menurut terminologi UU Nomor 5 Tahun 2018 dan “keyakinan” menurut terminologi Perpres RAN PE, tetap tidak bisa. Mengapa? Baik “terpapar faham” menurut terminologi UU Nomor 5 Tahun 2018 maupun “memiliki keyakinan” menurut terminologi Perpres RAN PE ini, keduanya sama dalam sifatnya. Hal ini disebabkan kekerasan ada pada keduanya, sekaligus menjadi basis keduanya. Justru pada titik itulah menariknya Perpres RAN PE ini. Apa yang menarik? Terminologi “ekstrimisme” lebih eksplosif. Terminologi ini lebih menakutkan dibandingkan terminologi orang “terpapar faham radikal.” Itulah urgensi kehadiran terminologi “ekstrimisme” dalam Perpres RAN PE ini. Apakah hal soal sesepele dan sesederhana di atas tidak dapat dinalar oleh Presiden? Tidak mungkin. Perangkat pendukung dan sumberdaya kepresidenan lebih dari cukup. Malah mengagumkan, sehingga seharusnya Perpres RAN PE, bercitarasa suka-suka ini, tidak perlu diterbitkan. Kenyataannya Perpres RAN PE itu telah eksis. Perpres dalam konteks itu, menjadi instrumen legalisasi terminologi ekstrimisme, yang tidak dikenal dalam UU Terorisme. Perpres bernilai intrumentatif ini menjustifikasi lebelisasi politis terhadap siapapun yang kritis kepada pemerintah. Siapapun dia, yang karena keyakinannya berbicara kritis terhadap setiap kebijakan pemerintah, segera menemukan diri dicap sebagai orang ekstrim. Pada akhir tahun 1800-san sampai awal 1900-san, negara seperti Jerman, Perancis dan Inggris, telah lebih dahulu bergerak dalam koridor ini. Kenyataannya sekarang, aktivis Islam mutakhir di Indonesia, terlihat begitu telanjang dipanggung politik sebagai eksponen paling produktif dengan kritik-kritiknya terhadap pemerintahan Jokowi. Kritik sangat demonstratif dari kalangan ini tersaji begitu ekspresif dan demonstratif sejak 2016 lalu. Gelombang demonstrasi kalangan ini, dikenal dengan demo 411 dan 212, jelas dalam konteks itu. Bentengi Kekuasaan Beralasankah kenyataan tak terbantahkan itu dikesampingkan dari konteks politis Perpres RAN PE ini? Beralasankah mengambil dan menjadikan para aktivis, khususnya Islam, sebagai titik bidik atau berada dalam orbit Perpres RAN PE? Sulit menghindarkannya. Memang teks-teks Perpres RAN PE ini sama sekali tidak menempatkan aktivis Islam, apalagi eksponen eks FPI pada orbitnya. Tetapi sekali lagi, apakah ketiadaan teks itu, dapat disodorkan sebagai bukti tidak adanya pertalian kontekstual dengan ekpresi kritik-kritik berkelanjutan dari kalangan aktivis Islam? Sulit untuk mengatakan tidak atau bukan. Beralasankah menarik dan menjadikan, misalnya unlawfull killing terhadap pengawal habib Rizieq, yang jorok, primitif, bar-bar, tidak beradab dan menjijikan itu? Beralasankah kebijakan pelarangan semua kegiatan FPI, juga pemblokiran rekening-rekening FPI, dan pihak yang terafiliasi dengannya, dikesampingkan dari konteks kebijakan RAN PE ini? Ancaman terhadap hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional, yang Presiden rujuk sebagai justifikasi sosiologis Prepres RAN PE ini, bukan tak dapat disanggah. Justifikasi ini sangat konvensional. Justifikasi ini telah lama digunakan. Pemerintahan Pak Harto terlatih sangat mahir dalam soal ini. Ekstrim kiri dan ekstrim kanan, merupakan terminologi yang berserakan disepanjang jalan pemerintahan Orde Baru. Istilah ini digunakan secara bergantian dengan stabilitas pembangunan. Hasilnya jelas dalam beberapa aspek. Aktivis Islam menjadi sasaran kebijakan ini. Peristiwa Tanjung Priok yang jijik dan jorok dalam semua apeknya itu, merupakan buah kongkrit dari kebijakan stabilisasi keamanan dan pemenuhan hak memperoleh rasa aman. Pemerintah Orde Baru punya UU Subversi. UU paling buruk untuk ukuran rule of law ini, menyediakan ruang diskresi tak terbatas kepada penguasa. Penguasa leluasa mendefenisikan dan mengkualifikasi sesuka-sukanya tindakan-tindakan terhadap orang sebagai subversi. Stabilisasi model Orde Baru itu, dalam kenyataannya, terpercaya sebagai cara penguasa Orde Baru membentengi kekuasaannya. Orang-orang kritis, dibungkan sesuka-sukanya. Betul tidak, semua dipenjara. Tetapi mereka yang tidak dipenjara segera menemukan kenyataan mati hak perdatanya. Hal-hal ini menginspirasi Presiden Jokowi? Tidak dapat dipastikan. Tetapi Perpres RAN PE ini, memiliki kemiripan, dalam beberapa aspek dengan kebijakan stabiliasi Orde Baru. Persis Orde Baru, yang enforcementnya memerlukan kehadiran struktur baru. Perpres ini juga mengatur keberadaan satu struktur baru. Namanya Sekretariat bersama. Pesta stabilisasi model Orde Baru didukung UU Subversi, yang bertolak belakang dalam semua sudutnya dengan rule of law. Dsisi lain pesta stabilisasi pada era Jokowi ini, ditopang oleh dua UU. UU Terorisme dan UU ITE. UU ITE didekorasi dengan teks yang sangat elastis. Tesk elastis selalu menjadi hadiah terbesar kepada aparatur hukum. Mengapa? Teks tipikal UU ITE itu menjustifikasi tafsir purposivistis. Tafsir yang dikerangkakan pada kepentingan politik. UU ini, suka atau tidak, sama kejamnya dengan UU subversi. Canggih kerja politik, entah stablisasi atau sekadar melokalisir kelompok-kelompok kritis terhadap pemerintah. Dimana letak canggihnya? Menkopolhukam mendekorasi politik dengan, entah gagasan atau bukan, pengaktifan polisi siber. Model polisi GESTAPO pada erranya Nazi Hitler. Kemampuan polisi siber, kata Pak Menteri, luarbiasa. Jam 8 pagi anda menyebarkan pikiran-pikiran, yang berkualifikasi tindak pidana, dua jam kemudian sudah bisa diidentifikasi. Malah ditangkap. Canggih. Entah ada atau tidak plot mengisolasi kalangan aktivis Islam kritis, datanglah Perpres RAN PE. Dan menariknya, Komjen Pol. Listyo Sigit yang pernah jadi ajudan Presiden Jokowi, dinominasikan oleh Presiden untuk menjadi Kapolri. Pak Komjen Sigit mengagumkan. Pak Komjen yang bakal jadi Kapolri ini menunjukan kelasnya ketika di fit and proper test. Beliau berkomitmen menjadikan Polri sebagai institusi yang prediktif, responsif, dan transparansi berkeadilan atau presisi. Tidak itu saja. Pak Komjen ini tegas menyatakan “Polri tidak boleh menjjadi alat kekuasaan”. Apakah prediksi Kepolisian dibawah Pak Sigit nanti meliputi dan menjangkau hingga ke “potensi” ekstrimisme atau hanya sebatas ekstrimisme aktual? Kalau ekstrimisme aktual yang menjadi sasaran prediksi, maka soalnya bagaimana Pak Sigit memaknai terminologi “keyakinan” yang dinyatakan dalam Perpres RAN PE itu? Ini krusialnya. Kalau ekstrimisme aktual yang titik bidik, hukumnya adalah terorisme. Kalau potensi ekstrimis, tak bisa pakai UU Terorisme. Mau pakai Perpres RAN PE untuk potensi ekstrim? Tidak bisa. Inilah soalnya. Tetapi justru dititik itulah letak pijakan politisi Perpres RAN PE. Apa nalarnya? Untuk yang potensi ekstrim, diberi lebel sebagai eksrimis. Lebel ini lebih menakutkan dari pada lebel “terpapar faham radikal.” Itulah black box-nya. Kenyamanan kekuasaan terproteksi sudah. Wajah dan tampilan kehidupan berbangsa dan bernegara dimasa depan, diwarnai dengan tuduhan ekstrimis kepada perorangan dan kelompok tertentu. Kebebasan eskpresi menjadi serba dibatasi. Itulah sekelumit harga katastropik Perpres RAN PE, yang berkarakter asal terbit dan suka-suka ini. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.