NASIONAL

Gokil Abis Kalau Pilkada Serentak 2024

by Nanik S. Deyang Madiun FNN - Apapun alasan yang dijadikan pemerintah untuk ngotot tidak mau merevisi UU Pemilu, sehingga tetap menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2022 dan 2023, menimbulkan tanda tanya besar. Bila sampai Pilkada serentak 2024, nni benar-benar ngaco an gokil abis. Pemerintah maunya Pilkada pada tahun 2024, bareng atau serentak dengan Pemilihan Presiden Pilpres dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Untuk remeralisasikan rencana itu, diketahui pimpinan negara sampai harus turun sendiri melobi ketua-ketua partai. Anehnya, DPR yang tadinya paling bersemangat untuk mengajukan revisi, malah sekarang terkesan membeo. Terakhir mayoritas DPR mengikuti saja apa kemauan pemerintah, kecuali Partai Demokrat yang masih tetap menginginkan adanya revisi UU Pemilu, sehingga Pilkada bisa dilakukan di tahun 2022 dan 2023. Pilkada yang sesuai dengan berakhirnya masa jabatan para Kepala Daerah. Salah satu yang masa jabatannya habis itu adalah Gubernur DKI. Meski saya bisa mengira-ngira apa dibalik semua itu, tetapi saya tutup mata saja. Pura -pura nggak tau sajalah. Saya hanya akan menulis kalau betapa powefullnya Pemerintah cq Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Bayangkan Kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023 itu sebanyak 272 ( Gubernur, Bupati dan Walikota). Artinya selama dua sampai tiga tahun 272 kepala daerah akan dijabat oleh penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota. Siapa yang bakal menjadipenjabat Gubernur, Bupati dan Walikota tersebut? Ya PNS yang akan ditunjuk oleh Kemendgri. Ini ngaco dan jelas gokil abis. Mungkin baru kali ini dalam sejarah Indonesia, sejak merdeka, ada 272 Gubernur, Bupati dan Walikota yang dijabat oleh penjabat dalam jangka waktu sampai bertahun -tahun. Karena dalam UU administrasi, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan para penjabat tersebut, juga masih sangat "abu-abu". Makanya, bisa dibayangkan betapa kisruhnya tata kelola suatu pemerintahan daerah, bila nanti penjabat tersebut mengambil kebijakan-kebijakan yang justru kontra produktif dari kepala daerah yang masa jabatannya habis. Peluang bagi terjadinya penyimpangan atau korupsi juga sangat besar, bahkan terbuka lebar. Karena penjabat Gubernur, Bupati dan Walikoa itu punya beban moral kepada rakyat. Mereka bisa membuat kebijakan sesuka hati. Yang penting bagi-bagi proyek dengan DPRD setempat. Kepentingan rakyat bergeser menjadi kepentingan penjabat dengan DPRD semata Persoalkan Legitimasi Pemilu Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, akan ada sekitar 272 pelaksana tugas, penjabat, atau penjabat sementara kepala daerah jika pilkada digelar serentak pada 2024 nanti. Para kepala daerah sementara itu akan ditunjuk oleh Presiden (untuk gubernur) dan Menteri Dalam Negeri (untuk Bupati dan Walikota). Menurut Burhanuddin, jika benar terjadi, maka ini menjadi masalah dari sisi legitimasi dan demokrasi. Sebab Para plt dan penjabat kepala daerah itu bukan hasil pilihan rakyat secara langsung. Kewenangan mereka pun terbatas dalam menentukan kebijakan. Selain itu, lanjut Burhanuddin, keberadaan plt dan penjabat kepala daerah dalam pilkada ini memiliki implikasi ke Pemilu 2024, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Daerah yang akan habis masa jabatan di 2022 dan 2023 ialah para kepala daerah di Jawa dan Sumatera. Seperti Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Lampung, Sumatera Selatan, hingga Sulawesi Selatan. Daerah-daerah itu memiliki basis populasi pemilih yang besar. "Kalau misalnya muncul dugaan abuse of power untuk kepentingan 2024, baik Pileg maupun Pilpres, karena penggunaan plt atau penjabat, saya khawatir legitimasi hasil Pemilu 2024 dipersoalkan," kata Burhanuddin. Penulis adalah Wartawan Senior.

Pers Nasional Itu Hanya 9 Februari Saja, Selebihnya Pers Jokowi

by Asyari Usman Medan, FNN - Bertepatan dengan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2021, Presiden Jokowi meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah. Termasuk mengkritik Jokowi sendiri. Kemudian, Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung malah lebih menantang lagi. Dia juga berbicara terkait HPN. Kata Pramono, pemerintah memerlukan kritik pedas. Kritik tajam. Tampaknya Jokowi “prihatin” melihat pers nasional yang utuh dan total menjilat kekuasaan. Kecuali segelintir. Kalau dicermati berita-berita tentang permintaan kritik dalam beberapa hari belakangan ini, kita semua berbesar hati. Rasa-rasanya pers segera menikmati kebebasan mengkritik penguasa. Tetapi, bisakah imbauan kritik itu dipercaya? Mungkinkah pers nasional terbebas dari ketakutan dan keterpaksaan menjilat kekuasaan?Wallahu a’lam. Too good to be true. Terasa bagaikan mimpi indah. Jokowi dan Pramono Anung mengeluarkan imbauan “mari kritik kami” itu tampaknya semata-mata untuk tujuan peringatan HPN. Mereka merasa wajib bercuap-cuap manis tentang kebebasan pers pada tanggal itu. Supaya mereka terlihat pro-kebebasan pers. Padahal, imbauan kritik itu hanya berlaku satu hari saja. Khusus pada HPN 9 Februari itu. Tidak dimaksudkan berlaku tanpa batas waktu. Argumentasinya adalah, HPN ditetapkan 9 Februari. Hanya satu hari saja. Selebihnya, dari 10 Februari sampai 8 Februari tahun berikutnya bukan Hari Pers Nasional. Melainkah Hari-hari Pers Jokowi (HPJ). Jadi, sepanjang 364 hari dalam setahun, pers di Indonesia adalah pers Jokowi. Hanya satu hari saja pers di negara ini untuk kepentingan non-Jokowi.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Menepis Amien Rais Soal Presiden Memegang Kekuasaan Membentuk UU (Bagian-6)

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Strategic Assessment : Mr. Soepomo, “caranya mengangkat pemimpin negara itu hendaknya janganlah dituruti cara pilihan menurut sistem demokrasi barat, oleh karena pilihan secara sistem demokrasi barat itu berdasar atas faham perseorangan. Tuan-tuan sekalian hendaknya insaf kepada konsekuensi dari pendirian menolak dasar perorangan itu. Menolak dasar individualisme berarti menolak juga sistem perlementarisme, menolak sistem demokrasi Barat, menolak sistem yang menyamakan manusia satu sama lain seperti angka-angka belaka. Angka yang semuanya sama harganya”. (Sidang BPUPKI, 31 Mei 1945) Ir. Soekarno, “Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!” (Sidang BPUPKI, 1 Juni 1945) Pembatasan, ”Untuk membedakan dan mempermudah, hasil amandemen UUD 1945 dalam artikel ini kita sebut UUD 2002”. Ilustrasi Sebuah Adat Adat di Jawa ada yang disebut “lamaran”. Keluarga laki-laki datang kepada keluarga perempuan, melamar untuk mempersunting putri dari keluarga tersebut. Keluarga laki-laki datang sambil membawa hadiah sebagai tanda pengikat, yang prosesnya dinamai serah-serahan. Kadang kala, keluarga perempuan juga memberi sesuatu saat keluarga laki-laki pulang. Amien Syamsudin sahabat saya tinggal di Semarang, ngerti adat Jawa itu. Ketika Amien di Sumbar, daerah Padang, Padang Pariaman, dan Pesisir Selatan, melihat acara “manjapuik” seperti lamaran di Jawa. Melihat keluarga perempuan mendatangi keluarga laki-laki dengan membawa sesuatu sebagai tanda jadi. Amien berkomentar, “lho, mana boleh perempuan kok melamar laki-laki”. Betulkah komentar tersebut? Jelas keliru besar. Sebab yang dilihat dan dikomentari Amien itu adat di Padang, namun komentarnya menggunakan perspektif adat Jawa, yang ada di benaknya. Ilustrasi di atas, kita gunakan untuk membahas komentar Amien Rais terhadap Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dalam buku Valina Singka Subekti, 2007, Menyusun Konstitusi Transisi. Pasal 5 & Pasal 20 UUD 1945 dan Pasal 5 & Pasal 20 UUD 2002. Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Sedangkan Pasal 20 UUD 1945 ayat (1) “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR”. Atas pasal tersebut, Amien Rais berkomentar, “Undang-undang dibuat oleh eksekutif, sedangkan legislatif hanya menyetujui. Ini ironis karena DPR tidak membuat legislasi, namun pemerintah yang membuat legislasi”. Komentar itu bisa dipahami, karena di awal reformasi kaum reformis menilai sistem pemerintahan Indonesia tidak demokratis, sehingga UUD 1945 perlu diamandemen. Tuduhan tidak demokratis ini juga datang dari negara asing, yang akhirnya ikut campur dalam amandemen UUD 1945. Baca : (https://rmol.id/read/2020/09/21/453155/menepis-pendapat-amien-rais-1-intervensi-asing-dan-implikasi-kembali-ke-uud-1945) . (google) Kesepakatan dalam amandemen dikala itu, Indonesia memilih sistem pemerintahan Presidensial, seperti di Amerika Serikat, Philipina dan negara-negara di Amerika Latin, yang dilandasi demokrasi Barat. Sistem ini menganut Presiden dipilih rakyat. Kedaulatan negara dipisahkan menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Karena itulah pasal di atas diamandemen. Pasal 5 ayat (1) UUD 2002, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”. Sedangkan Pasal 20 ayat (1) UUD 2002, “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Pertanyaan kritis yang menyebabkan diamandemennya UUD 1945 adalah benarkah tuduhan bahwa Indonesia bukan negara yang demokratis? Tuduhan sekelompok orang dalam negeri dan asing tersebut jelas keliru besar. Sebab Pasal 1 ayat (2) UD 1945, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)”. Kedaulatan di tangan rakyat, adalah ciri negara demokratis. Sedang musyawarah dan keterwakilan itu merupakan cara saja. Toh, Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa segala putusan MPR ditetapkan dengan suara yang terbanyak. Pasal ini juga menguatkan Indonesia sebagai negara demokratis. Pilihan cara ini memang berbeda dengan demokrasi Barat. Demokrasi individual “one man one vote” yang dihindari “founding fathers” ketika akan mendirikan Indonesia Merdeka. Pilihan jatuh pada musyawarah mufakat dan keterwakilan yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri. Sebab konstitusi harus disusun berdasar atas budaya dan sejarah bangsa. Demokrasi musyawarah mufakat dan perwakilan itu indah. Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, Ketua Komisi Yudisial 2016-2018, dalam bukunya, “Rekonstruksi Tradisi Bernegara Dalam UUD 1945” menulis hasil penelitiannya tentang prinsip permusyawaratan perwakilan yang termaktub dalam Pancasila dan pembukaan UUD 1945. Prinsip permusyawaratan perwakilan bersumber dari tradisi demokrasi yang dilaksanakan di daerah-daerah otonom yang disebut ‘desa’ di Jawa, ‘nagari’ di Minangkabau, dan ‘wanua’ di Bugis atau ‘bori’ di Makasar. Artinya, memang benar nilai-nilai Pancasila digali dari bumi Indonesia. Bukan dari Eropa, Amerika atau negeri manapun. Disamping penelitian, kita juga tahu bahwa masyarakat Melayu Islam sebelum dijajah Belanda, berlaku hukum dan musyawarah adat yang berjenjang. Penyalurkan aspirasi rakyat, penduduk di lapisan paling bawah mengangkat Kepala Kampung. Para Kepala Kampung bermusyawarah mengangkat para Tungkat, dan para Tungkat memilih dan atau menjatuhkan Datuk /Kepala Luhak. Datuk/Kepala Luhak beserta ‘Orang-Orang Besar’ yang terpilih, yang memilih dan menggantikan Raja, dan merekalah “Kawan Raja Bermusyawarah”, dan keputusan Kerapatan atau musyawarah ‘Orang-Orang Besar’ itulah yang disebut Amar/Titah dari Raja. Inilah budaya musyawarah dan demokrasi dengan perwakilan bertingkat asli Indonesia. Sistem ketatanegaraan kita, yang disusun “founding fathers” memiliki Lembaga Tertinggi Negara, tempat musyawarah bernama MPR. Negara ditata dengan landasan budaya bangsa sendiri. Budaya yang didasari nilai-nilai agama, khususnya agama Islam, sebagaimana Muh. Yamin mengutip surat Asy Syura ayat 38 untuk hidup musyawarah (BPUPKI, 29 Mei 1945). Semua itu dipadukan dengan teori Barat. Apakah kita berani menuduh “founding fathers” tidak paham ajaran Montesquieu tentang Trias Politika sedemikian, sehingga di dalam undang-undang dasar memberikan Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang? Penulis pikir tidaklah pas. Jangan dikira “founding fathers” tidak ngerti yang disebut Trias Politika, demokrasi Barat, Parlementer, Presidensial dan ilmu-ilmu barat lainnya. Kapasitas bapak pendiri bangsa bisa kita baca saat persidangan di BPUPKI dan PPKI. Strategic assessment di atas merupakan cuplikan saat sidang mencari dasar negara, bukti betapa berilmunya beliau-beliau itu. Seperti Mr. Soepomo, beliau Ketua Panitia Kecil pembuat Rancangan Undang-Undang Dasar. Soepomo dari keluarga ningrat, kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden, meraih gelar Meester in de rechtern dengan predikat summa cum laude. Walau ningrat, tidak sombong, tidak punya jiwa feodal, pandai dan tidak sok ke-barat-baratan. Baca: : (http://rmol.id/read/2020/03/04/423954/menelusuri-jejak-penjelasan-uud-1945-dan-siapakah-mr-soepomo-itu). (google). Sistem Pemerintahan Sendiri Sistem Pemerintahan Sendiri juga sering disebut Sistem Pemerintahan MPR. Penulis sendiri lebih suka jika menyebutnya Sistem Pemerintahan Pancasila. Sistem ini memang berbeda dengan Sistem Parlementer, Sistem Presidensial ataupun kombinasi antara sistem Parlementer dengan Presidensial. Dalam pergulatan perdebatan saat sidang di BPUPKI, penulis yakin tentu sudah ada dialog, “Bukankah Presiden itu eksekutif? Mengapa diberi kekuasaan membentuk undang-undang? Bukankah undang-undang itu urusan legislatif?” Apakah dialog ini sudah terjawab? Penulis yakin sudah dijelaskan argumentasinya. Artinya, bukanlah kealpaan atau ketidaktahuan, tetapi memang kesengajaan. Karena Presiden dipilih MPR, tempat para wakil rakyat bermusyawarah, maka Presiden terpilih disebut sebagai ‘Mandataris MPR’. Presiden menerima mandat dari seluruh rakyat yang terwakili oleh anggota DPR, Utusan Golongan dan Utusan Daerah yang ada di MPR. Karena mandat dari seluruh rakyat itulah, maka Presiden diberikan kewenangan kekuasaan membentuk undang-undang, agar dapat mencapai apa yang diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Penulis berpendapat, hal ini logis, siapapun mendapat tugas dan tanggung jawab, harus diberikan pula kewenangan. Sepintas kritik terhadap Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menjelang amandemen benar. Benar karena pengkritik melihat dari sistem Presidensial. Tetapi menjadi tidak benar jika dilihat dari perspektif “Sistem Pemerintahan Sendiri atau Sistem Pemerintahan Pancasila”, sebagai pilihan “founding fathers”. Sistem Pemerintahan Pancasila ini sangat komprehensif. Untuk membatasi dan mengawal kekuasaan Presiden agar tidak kebablasan, pembentukan undang-undang harus persetujuan DPR. Disamping itu ada Lembaga Negara Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang wajib memberikan pertimbangan, jawaban dan usul kepada Presiden, diminta ataupun tidak. Lembaga ini sebagai Badan Penasehat. Betapa cantiknya sistem yang dilandasi Pancasila ini. Seluruh rakyat, melalui wakilnya di MPR memberi mandat kepada Presiden untuk melaksanakan GBHN. Setiap tahun Presiden menyampaikan laporan apa yang sudah dan yang akan dilakukan. Di akhir jabatan, dihadapan pemberi mandat, Presiden menyampaikan pertanggungjawaban. Berbeda dengan demokrasi Barat, yang kita tiru pasca amandemen UUD 1945. Presiden dipilih rakyat langsung, melaksanakan visi misinya sendiri. Akhir jabatan tidak ada pertanggungjawaban, pergi dengan lenggang kangkung. Inilah keburukan model Sistem Presidensial, pertanggungjawabannya tidak jelas. Karena itu Undang-Undang Dasar yang dirumuskan “founding fathers” tidak menggunakan model tersebut. Muh. Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo dan Bung Karno ketika pidato mencari dasar negara untuk Indonesia Merdeka dalam Sidang BPUPKI, jelas menolak demokrasi Barat. Dengan demikian, tidaklah pas jika kita menilai atau mengkritik Sistem Pemerintahan MPR dengan perspektif Sistem Pemerintahan Presidensial. Ibaratnya, bagaimana mungkin kita membandingkan atau menilai adat Padang dengan adat Jawa? Seperti ilustrasi di atas, karena keduanya memang berbeda. Penulis yakin, Sistem Pemerintahan dalam UUD 1945, khususnya Pasal 5 ayat (1) bukanlah kesalahan. Bukan pula karena ketidaktahuan atas sistem-sistem pemerintahan lainya. “Founding fathers” memang sengaja membuat Sistem Pemerintahan Sendiri yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Seharusnya kita bangga dengan Sistem Pemerintahan Pancasila ini. Selama kita meyakininya, melaksanakan secara murni dan konsekuen, sistem ini bisa kita duniakan, sejajar dengan Sistem Parlementer dan Presidensial. Semoga bisa dipahami, Insya Allah. Aamiin. Penulis adalah Aster KASAD 2006-2007 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Meski Diganjal, Anies Tetap Berpeluang Menjadi Presiden 2024

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sepanjang tidak terbuka jalan kriminalisasi, maka Anies Baswedan Gubernur DKI sulit untuk dibendung menjadi Presiden Republik Indonesia 2024-2029 nanti. Baik elektabilitas maupun popularitas yang cukup tinggi, sehingga sampai sekarang belum mampu ada yang bisa menandingi. Semua kandidat yang bermunculan sekarang, masih jauh di bawah Anies. Meskipun belum dipastikan Partai Politik yang bakaln menjadi pengusung Anies, tetapi kendaraan itu akan mudah untuk didapat bila sudah tersedia elektabilitas dan popularitas tinggi. Gula selalu didatangi semut. Partai Nasdem misalnya, sudah memberikan sinyal dan ancang-ancang kalau bakal mendorong Anies sebagai Calon Presiden pada Pilpres 2024 nanti. Saat ini rezim status quo sedang berupaya dengan segala cara untuk mengganjal laju Anies. Konspirasi dilakukan dengan sangat masif. Baik itu melalui bully buzzer, opini yang melemahkan, bahkan melalui peraturan perundang-undangan. Akting "blusukan" Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini juga bagian dari upaya-upaya penjegalan tersebut. Namun Anies Baswedan tetap bergerak dengan prestasi dan penghargaan yang dinilai obyektif. Tidak mengeda-ngada dan melakukan rekayasa. Tidak juga membuat pencitraan di sana-sini. Serangan demi serangan dilayani Anies dengan sikap tenang dan modal pengalaman yang matang. Semua serangan dijawab dengan kerja nyata. Bukan dijabwab dengan kata-kata. Terakhir rencana revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada serentak untuk dilaksanakan tahun 2022. Namun dimentahkan oleh "buldozer Jokowi” yang mengarahkan Pilkada tetap tahun 2024. Bersamaan dengan Pileg dan Pilpres. Sebagian partai koalisi pendukung yang semula menghendaki Pilkada di 2022 dan 2023 segera balik badan mengamini. Dengan demikian, berubah sikap semua Partai Politik dari semangat awal yang menghendaki revisi UU Pildaka, kecuali PDIP. Dengan Pilkada tahun 2024, maka Anies harus menyerahkan jabatan Gubernur kepada Plt Gubernur pada tahun 2022. Maksud konspiratifnya adalah Anies Baswedan dalam kompetisi Pilpres 2024 tidak lagi berstatus sebagai Gubernur DKI. Ini dianggap kelemahan dari Anies kelak. Benarkah rencana? Belum tentu benar juga. Bisa jadi ini merupakan keuntungan politik untuk Anies. Sebab, jika Pilkada dilakukan pada tahun 2022, meskipun Anies berpeluang memenangkan kompetisi untuk menjadi Gubernur lagi, akan tetapi biaya ekonomi dan politiknya sangat besar untuk mampu fit kembali bertarung di Pilpres 2024. Sebaliknya, dengan konsentrasi penuh bagi Pilpres 2024, maka persiapan akan lebih baik dan ringan. "Kampanye" lebih dini dapat berjalan, dukungan pun mulai digalang jauh-jauh hari. Anies bisa keliling Indonesia dengan mudah, tanpa terganggu dengan tugas-tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta. Waktu lebih banyak untuk konsolidasi dan menyapa rakyat di daerah-daerah. Jadi agenda yang semula untuk "memotong" Anies, akan berubah menjadi "menolong". Suka atau tidak, mendukung atau menolak, namun faktanya hari ini Anies Baswedan masih menjadi kandidat terkuat. Belum terlihat ada lawan yang sepadan. Kesempatan besar untuk melakukan pilihan Partai. Pilpres 2024 menjadi momen untuk mengukuhkannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Upaya mengganjal Anies adalah pengakuan betapa sulit untuk mengalahkannya bila sudah memasuki fase kompetisi. Upaya yang kemungkinan hasilnya hanya sia-sia. Bahkan bisa jadi sebaliknya, semakin meningkatkan elektabilitas dan popularitas Anies. Apalagi pengakuan lembaga-lembaga internasional atas prestasi dan kemampuan Anies semakin berdatangan dari mana-mana. Ada yang menarik dari pandangan mantan Waketum Partai Gerindra Arief Poyouno yang menyatakan bahwa satu-satunya orang yang dapat mengalahkan Anies Baswedan di Pilkada DKI adalah Gibran Raka Buming. Jika Pilkada dilaksanakan tahun 2022. Tentunya setelah menjadi Gubernur, Gibran seperti ayahnya mungkin saja maju lagi untuk Pilpres 2024. Entah serius atau main-main, Mas Arief ini berpandangan seperti itu. Sulit untuk ditebak. Sama sulitnya dengan melihat status Gibran menjadi kompetitor melawan Anies sebagai Walikota Solo atau pengusaha Martabak? Yang jelas Gibran harus banyak belajar politik dulu sebelum mimpi terlalu jauh. Matang di pohon yang bukan karbitan, tidak menjadi mainan taipan, atau bermodal sekedar anak dari seorang Presiden. Istana bukan panggung drama atau sandiwara. Istana bukan tempat bergaya untuk para pemain sandiwara, lalu penonton pun terpaksa tertawa he he he, hanya karena rasa kasihan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Jokowi Rindu Kritikan Chrisye Beri Jawaban

by Jarot Espe Surabaya, FNN- Siapa tak kenal Christian Rahadi yang populer dengan sebutan Chrisye? Selain mewariskan album prima, legenda pop Indonesia itu menyimpan kisah religius di balik penciptaan karya fenomenal yang sarat makna. Chrisye larut dalam tangis, hatinya begitu terguncang, setiap kali mencoba melantunkan lagu yang baru tercipta. Ia akhirnya menyerah, sementara Yanti istrinya, tak kalah bingung. Chrisye pun bertanya, dari mana sastrawan Taufik Ismail yang diminta membuat syair lagu itu mendapat ilham? "Dari langit!" jawab Taufik Ismail yang bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah. Ia mengaku menukil surat Yasin setelah berhari hari gagal menemukan syair religius sesuai permintaan Chrisye. Di kemudian hari, publik mengenal lagu fenomenal itu bertitle "Ketika Tangan dan Kaki Berkata". Taufik tidak menyadur seluruh surat Yasin, melainkan hanya ayat 65. Namun itu sudah cukup menggambarkan peringatan keras dari Sang Khalik. Tidak berlaku pembatas untuk bersandiwara. Semasa hidup, manusia memang pandai bersandiwara, lihai menyusun kata, pintar beralibi untuk menutupi aksi. Berapapun jumlah buruh menuntut keadilan atas kedzoliman rezim, yang terjawab adalah sikap berpura-pura, seolah tidak terjadi apa-apa. Ranah keadilan diklaim merupakan hak mutlak penguasa. Begitu pula, manakala nyawa melayang, tubuh bergelimpangan di ruas tol akibat diterjang peluru polisi, yang muncul adalah skenario mulut manusia. Padahal ini menyangkut nyawa khalifah di muka bumi, yang tak seorangpun sanggup mengembalikan ruh yang terlepas dari raga. Dalam batas ini, karya klasik Chrisye dan Taufik Ismail, sampai kapan pun tetap relevan. Betapa tidak, ini terkait janji Allah. Seluruh mulut manusia akan terkunci rapat, tidak bisa bicara. Ini juga yang akan dialami ratusan petugas KPPS yang tewas selama pelaksanaan Pemilu 2019. Kelak anggota tubuh lain yang akan menggantikan peran mulut, untuk memberikan testimoni. Kesaksiannya sahih, tak bisa diragukan, karena diungkapkan saksi yang berada di tempat dan waktu yang tepat. Selama ini tidak ada penyelidikan atas kasus kematian petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Desakan berbagai kalangan agar pemerintah mengungkap kematian petugas KPPS menguap seiring berjalannya waktu. Padahal penyelidikan diperlukan untuk mengurai akar permasalahan agar tidak terulang di kemudian hari. Benarkah pileg dan pilpres tahun 2019 yang digelar serentak, telah menguras tenaga petugas KPPS dan menjadi penyebab kematiannya? Ataukah ada faktor lain? Dan bayang-bayang kematian petugas KPPS di tahun 2019 kembali terungkap ke permukaan, mengiringi proses politik di Tanah Air. Berdasarkan UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, pelaksanaan Pilpres, Pileg dan Pilkada dilakukan serentak di tahun 2024. Awalnya, hanya PDIP yang menolak revisi UU Pilkada. Artinya Kepala daerah yang berakhir masa baktinya di tahun 2022 akan diganti oleh pejabat pelaksana tugas (PLT). Adapun mayoritas partai lain, menginginkan revisi, untuk mencegah korban berjatuhan. Sebab pada Pilpres dan Pileg 2019, sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dunia tanpa diinvestigasi. Revisi UU untuk memisahkan pelaksanaan Pilkada di tahun 2022 dan 2023. Adapun Pilpres dan Pileg tetap digelar di tahun 2024. Revisi UU Pilkada diharapkan juga membantu pemilih jangan sampai gagal fokus. Sebab dengan Pemilu serentak tahun 2024, puluhan nama serta wajah kandidat dicetak memenuhi kartu coblosan. Namun apa yang terjadi kemudian, sungguh diluar nalar akal sehat. Undangan Presiden Jokowi kepada pimpinan parpol ke istana, mengubah peta politik. Hanya PKS dan Partai Demokrat yang tetap menginginkan revisi UU. Nasdem pun berbelok arah mendukung Pak Jokowi. Partai partai itu dengan enteng menyampaikan alibinya, meskipun tak bisa menghapus kesan motif politis di balik pelaksanaan pesta demokrasi serentak tahun 2024. Bercermin pada Pemilu terakhir, apakah para politisi dan Pak Jokowi, bertanggung jawab jika nantinya korban jatuh bergelimpangan pada pemilu serentak 2024? Atau akan dibiarkan sebagaimana peristiwa tahun 2019? Terlontar pula pertanyaan bernada skeptis; adakah cara ampuh untuk menggugah hati nurani? Mereka tampaknya lupa atau pura pura alpa, atau memang benar benar tidak paham pesan religi lagu Chrisye yang syairnya dinukil dari firman Allah SWT. Jadi Pak Jokowi, ketimbang Anda berlama-lama menunggu kritikan, sebaiknya lebih bermanfaat digunakan untuk berlatih bernyanyi, meneladani sosok Chrisye. Sepanjang kaki masih berpijak di bumi, mumpung mulut belum rapat terkunci. Mari pak, bernyanyi untuk mengingat mati. Penulis adalah Pemerhati Seni

Era Jokowi, Indonesia Makin Korup: Lebih Korup Dari Etiopia & Timor Leste

by Abdurrahman Syebubakar Jakarta, FNN - Dalam laporan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 yang baru diluncurkan Transparency International (TI), posisi Indonesia anjlok 17 peringkat, menjadi 102 dari urutan 85 pada tahun sebelumnya. Dengan skor IPK 37, Indonesia berada pada posisi yang sama dengan Gambia dan di bawah Etiopia yang bertengger di peringkat 94. Jauh tertinggal dari rerata IPK Asia Pasifik dan 180 negara yang disurvei, masing-masing dengan skor 45 dan 43. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi 5, di bawah Timor Leste, negara yang lahir dari rahim ibu pertiwi. Skor IPK Timor Leste meningkat 2 poin, dari 38 ke 40. Sementara Indonesia mengalami penurunan 3 poin, dari 40 ke 37. Penurunan langsung 3 poin dalam waktu satu tahun merupakan kinerja terburuk Indonesia dalam IPK selama dua dekade terakhir, dan menjadi tertinggi ketiga secara global, menyusul Comoros dan Suriname, masing-masing turun 4 dan 6 poin. IPK merupakan indeks agregat untuk mengukur tingkat persepsi korupsi sektor publik, berdasarkan penilaian para pakar dan survei eksekutif bisnis, dengan rentang skor antara 0 dan 100. Skor 0 berarti sangat korup, sementara 100 berarti sangat bersih dari korupsi (lihat https://www.transparency.org/en/cpi/2020/index/nzl). Anjloknya IPK Indonesia di era pemerintahan Jokowi menunjukkan penyuapan, dan pencurian dana publik oleh pejabat negara dan politikus makin merajalela. Global Corruption Barometer (GCB) Asia 2020 yang dirilis TI akhir tahun lalu mengungkap bahwa Indonesia menjadi juara ketiga suap (bribery) di kawasan Asia, dengan India dan Kamboja berada di urutan pertama dan kedua. Yang lebih tragis, Indonesia menduduki posisi puncak dalam korupsi seks (sextortion) – memanfaatkan kekuasaan dan jabatan untuk kepentingan seks. Temuan GCB Asia 2020 konsisten dengan hasil survei TI 2020 yang mengonfirmasi makin buruknya IPK Indonesia, khusunya dalam setahun terakhir di masa pandemi Covid-19. Alih alih menjaga dan mengawal bantuan penanganan dampak pandemi Covid bagi rakyat, pemerintah dan DPR justru membuka jalan korupsi besar besaran melalui UU No.2 Tahun 2020 tentang penanganan pandemi Covid-19. Dengan UU ini, pemerintah memiliki kewenangan nyaris absolut untuk mengatur kebijakan keuangan negara selama masa pandemi, dengan mengabaikan fungsi penganggaran dan pengawasan DPR. UU tersebut juga memberikan kekebalan hukum kepada aparat pemerintah. Sehingga, tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana jika terjadi penyelewengan yang merugikan negara. Di saat rakyat makin menderita akibat salah urus negara dan dampak negatif Covid-19, para koruptor berpesta pora menjarah uang negara. Sebut saja korupsi Bansos oleh eks Mensos Juliari Batubara, yang juga menjabat sebagai Wakil Bendahara Umum PDIP. Berdasarkan temuan BPKP, nilai bahan pokok per paket bansos hanya Rp.140-150 ribu, di luar biaya distribusi dan “goodie bag”, sebesar Rp.30 ribu, yang juga dipotong. Artinya, lebih dari 40% nilai Bansos Sembako Jabodetabek, dengan total anggaran Rp. 6,8 triliun, disunat Juliari, bekerjasama dengan sejumlah pejabat Kemensos, elit PDIP dan lingkaran utama kekuasaan. Sekitar dua minggu sebelumnya, pada akhir November 2020, eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari Gerindra terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK atas gratifikasi izin ekspor benih lobster, dibantu kader partai banteng. Dan sepanjang tahun 2020, KPK telah melakukan OTT terhadap sejumlah kepala daerah seperti Bupati Banggai Laut dan Walikota Cimahi. Keduanya kader PDIP. Sebelum Covid, menjelang Pilpres 2019, korupsi politik juga merebak dengan kerugian negara yang fantastis. Dalam kasus mega skandal Jiwasraya dan Asabri, misalnya, negara dirugikan tidak kurang dari Rp. 38 triliun. Skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia merdeka. Jauh lebih besar daripada kasus BLBI, skandal Bank Century, proyek e-KTP, dll. Memang terjadi lonjakan kasus korupsi selama beberapa tahun terakhir. Dari data rekap tindak pidana korupsi di KPK, terungkap hampir 600 kasus antara 2015 dan 2019, lebih dari dua kali lipat dibandingkan 250 kasus korupsi selama lima tahun sebelumnya (lihat https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-jenis-perkara). IPK yang merosot tajam juga menggambarkan absennya kemauan politik negara dalam pemberantasan korupsi. KPK, yang menjadi “harapan” publik untuk memerangi korupsi, telah dikebiri rezim Jokowi melalui serangkaian rekayasa politik, mulai dari kriminalisasi pimpinannya pada tahun 2015 hingga revisi UU KPK yang memberangus kewenangan lembaga anti-rasuah ini. Selain itu, kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, pada April 2017, hingga kini menjadi misteri. Rezim Jokowi enggan mengusut tuntas dan membuka otak di balik penyerangan sadis ini. Hanya pelaku lapangan, diduga pemeran pengganti, yang dihukum ringan. Lebih jauh, korupsi politik yang meluas dan makin buas manandakan suburnya oligarki di era Jokowi. Dengan aset nyaris tanpa batas yang mereka kuasai (di mana kekayaan empat orang super kaya setara kekayaan 100 juta rakyat biasa), para oligarki mendikte pilihan sistem dan kebijakan negara. Para oligarki tidak saja bertindak sebagai pemodal (sponsor) politik, namun sebagian menjadi pemain utama dengan memiliki parpol dan terjun dalam kontestasi elektoral. Sebagai sponsor politik, uang para oligark mengalir dengan bebas ke partai politik, dan pemilu/pilkada. Sehingga, politik transaksional dan transaksi politik makin marak dalam keseharian politik Indonesia. Ketika berkuasa, parpol dan politikus “dituntut” untuk mengembalikan modal politik dengan menyalahgunakan kekuasaan (korupsi) demi eksistensi partai, keuntungan pribadi, dan balas jasa kepada para oligarki sebagai sponsor. Tidak heran, tiap kali KPK melakukan penangkapan, selalu ada “perwakilan” parpol, terutama parpol koalisi pemerintah, yang terlibat atau menjadi otak perampokan uang rakyat. Dan hampir setiap korupsi politik (grand corruption) memiliki keterkaitan dengan episenter kekuasaan. Seturut dengan itu, kecurangan politik elektoral di pusat dan daerah, terutama politik uang, makin merajela. Coba bandingkan! Pada pemilu 2009, sekitar 11% pemilih terpapar politik uang, kemudian naik tiga kali lipat mencapai sepertiga pemilih, pada pemilu 2014 dan 2019 (lihat Muhtadi 2018, Aspinall & Berencshot 2019, Mietzner 2019). Hal ini mengantarkan Indonesia menjadi negara nomor 3 dengan tingkat politik uang paling tinggi. Menyusul Uganda dan Benin, dua negara di kawasan Afrika. Dibutuhkan Upaya Radikal Dengan realitas korupsi politik yang makin buas, dibutuhkan terobosan radikal. Melampaui rumus “Korupsi = Monopoli + Diskresi – Akuntablitas”, hasil formulasi Robert Klitgaard (1988). Selain pembenahan teknis teknokratis di hilir, seperti manajemen keuangan publik yang transparan dan akuntabel; reformasi dan peningkatan kapasitas birokrasi; pembatasan monopoli dan diskresi para pejabat, dll; harus ada kemauan politik untuk mengatasi akar persoalan di sektor hulu perpolitikan. Tanpa pembenahan sumber masalah di hulu, semua solusi teknis tidak efektif, ibarat menggarami lautan. Karena faktanya, sejak reformasi bergulir, termasuk pembentukan KPK pada 2002, korupsi tidak berkurang tapi meluas di semua lini pemerintahan dan sektor pembangunan. Dus, dibutuhkan sanksi berat seperti pembekuan atau pembubaran parpol, dengan kriteria terukur dan obyektif, dalam hal: kader parpol terjerat korupsi, uang korupsi mengalir ke parpol, parpol atau kader parpol terlibat politik uang, parpol atau kader parpol menerima uang dari para sponsor dalam jumlah tidak wajar atau melebihi ketentuan. Pada saat yang sama, pembiayaan parpol dari kas negara perlu dinaikkan dari yang berlaku saat ini (hanya Rp. 1.000 per suara untuk DPR dan Rp. 1.500 per suara untuk DPRD), sehingga operasional parpol tetap terjaga. Penyesuaian bantuan APBN/APBD untuk parpol dalam batas rasional tidak saja membantu menekan ketergantungan parpol pada dukungan pendanaan oligark. Tapi sekaligus mencegah parpol mengeksploitasi sumber daya negara dengan dalih desakan biaya hidup partai. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan & sumber daya negara saat pilpres, harus dipastikan capres/cawapres petahan menjalani cuti selama masa kampanye. Ketentuan ini juga menciptakan “level playing field” bagi semua kontestan pilpres. Saat ini, hanya calon petahana di pilkada yang diwajibkan menjalani cuti di luar tanggungan negara. Selanjutnya, sanksi diskualifikasi harus dijatuhkan kepada kontestan elektoral, baik calon eksekutif maupun legislatif di pusat dan daerah, jika terbukti menebar politik uang atau menjadi tersangka tindak pidana korupsi. Masih panjang daftar masalah dan langkah-langkah radikal yang dibutuhkan, seperti penguatan literasi politik warga dan agamawan, kebebasan dan imparsialitas pers, independensi KPK, sanksi sosial terhadap para koruptor, dlsb. Tapi saya akhiri tulisan ini dengan mengingatkan bahwa semua upaya tersebut sangat tergantung pada kemauan dan keberanian politik presiden sebagai sebagai episenter kuasaan, sekaligus “chief of staff”, dalam perang melawan korupsi dan oligarki – dua sisi dari sekeping mata uang. Tidak masuk akal mengharapkan kejahatan korupsi akan surut manakala sang “chief of staff” lahir dari rahim oligarki, dan kekuasaan politiknya bertumpu pada kekuatan modal para oligark. Memerangi korupsi dan oligarki berarti memerangi dirinya sendiri. Harakiri politik! Penulis Ketua Dewan Pengurus IDe Pegiat Demokrasi & Anti-Korupsi

“Magic If”

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Istilah “Magic If” atau “keajaiban jika”, itu saya kutip dari salah satu cukilan teori ilmu seni peran atau teori teater yang ditemukan dedengkot teater dunia dari Rusia, Constantin Stanislavsky (1863-1938). Salah satu sistem akting yang digagas oleh Stanislavsky adalah “magic if” atau “keajaiban jika”. Sebuah upaya membangun ruang imajinasi seorang aktor untuk dapat mendalami karakter tokoh. Pertanyaan kunci dari metode “keajaiban jika” adalah, “apa yang saya lakukan jika saya adalah tokoh”, “apa yang saya pikirkan jika saya adalah tokoh”, dan “apa yang saya rasakan jika saya adalah tokoh”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membantu aktor untuk lebih jauh mengenal tokoh yang akan diperankannya. Teori itu punya korelasi dengan adagium klasik, "Politics is the art of the possible". (Politik adalah seni dari kemungkinan). Diucapkan Pangeran Otto von Bismarck, kelahiran Schonhausen, Germany (1815 – 1898). Otto adalah seorang pembangun kekaisaran Jerman yang ultra-konservatif dan manipulator ahli. Berbicara tentang seni dan teater, tentu analog dengan panggung pentas yang memantulkan fragmen arus besar kehidupan manusia sehari-hari. Dari atas panggung sejumlah seniman teater mencoba merefleksikan kembali “daun-daun kecil” kehidupan yang tercecer dari pohon-pohon besar yang kadangkala luput ditangkap mata biasa. Daripadanya potret tumpukan catatan kehidupan manusia yang sendu, hipokit, psikopat dan riang gembira tersimpan. Adagium “politik adalah seni dari kemungkinan” yang dimainkan dengan cara berseni membuka sejuta kemungkinan. Itu yang menjelaskan mengapa Stanislavsky menyebutnya “magic if” (keajaiban jika). Bayangan tokoh teater dunia itu berkelebat, ketika terjadi kegaduhan mendadak dunia politik akibat kasus isu “kudeta” Demokrat. Ketua Umum Partai Demokrat AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) menyampaikan pidato resmi di sebuah panggung yang dirancang, Senin siang (01/02/2021). Mewartakan partainya sedang dalam keadaan bahaya. Ada gerakan gelap menggagas pergantian pengurus partai berlambang mercy itu. Melibatkan elemen negara, meminjam istilah Andi Mallarangeng, mantan Menpora kader ideologis SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) presiden dua priode (2004 – 2014). Moeldoko, Jenderal bintang empat purnawirawan TNI – AD yang kini menjabat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) sedang menjadi “tertuduh” selaku aktor utama yang disebut dalam rancangan “kudeta”. Mantan Panglima TNI itu menjadi repot membantah semua “tembakan” yang diarahkan kepadanya. Kasus ini terangkat ke ranah publik. Kasus ini menjadi santapan menu utama “premium time” media elektronik. Mendongkrak nama Demokrat yang selama ini sepi pemberitaan. Jika dirunut seluruh rangkaian tuduhan dan digabung dengan potongan demi potongan bantahan, tidak bisa dipungkiri tersajilah sebuah “teater politik” yang dramatis terkait “politik adalah seni dari kemungkinan”. Jika jeli mencermatinya : Stanislavskypun hadir disitu. AHY memaparkan kegundahannya melalui panggung terbuka yang sangat teateral. Frasa “kudeta” yang seksi dibumbui narasi merangsang “telah mengirim surat kepada presiden Jokowi mempertanyakan langkah Moeldoko”. Mesin giling tersembunyi “magic if” bekerja cepat. Apakah Surat Partai Demnokrat itu ditanggapi atau tidak oleh Jokowi? Itu bukan soal. Isu kudeta Demokrat berhasil melampaui jumlah berita semrawutnya penanganan Covid 19. Tudingan budaya “playing victim” oleh nitizen bermunculan ditujukan kepada AHY. Karekter yang dianggap sebagai penerus “warisan” budaya itu. Sejatinya bagi Moeldoko tembakan isu kudeta menguntungkan dirinya. Sesungguhnya dia sadar bisa menangguk manfaat sebagai “plying victim” di luar rencana. Sejumlah tokoh pendiri Demokrat merapat kepadanya. Membeberkan adanya timbunan keresahan terhadap Demokrat. Ketidakpuasan atas kinerja pengurus lama dibawah komando SBY selaku ketua umum yang kemudian berkelindan kegalauan atas proses keterpilihan AHY sebagai Ketua Umum baru pada Kongres V Demokrat 15 Maret 2020. “Politik itu memang seni dari kemungkinan”. Sesuatu yang tak mungkin dapat diubah menjadi mungkin. Sebaliknya, sesuatu yang mungkin dapat diubah menjadi menjadi tidak mungkin. Dalam politik, strategi dan taktik poco-poco sangat penting. Mendadak berubah itu bukan aib. Bukan kinistaaan, tetapi malah keniscayaan. Kegesitan “merubah haluan mendadak” dimaknai publik sebagai kecerdasan “buatan” khusus yang dimiliki para ketua umum. Semacam bakat alam dan diklaim sebagai karya seni yang bermutu tinggi. Tarik ulur revisi UU Pemilu adalah bagian tak terpisahkan dari dramatisasi teater politik yang sarat dengan “magi if”. Politik sebagai seni dari kemungkinan yang digunakan penguasa, termasuk penguasa partai politik untuk bermain-main dengan kewenangannya. Panggung besar teater politik menampilkan tampang parpol yang terlihat telanjang kehilangan busana idealisme. Telanjang dari perilaku tidak satunya kata dan perbuatan. Tanpa rasa berdosa. Molornya proses Prolegnas (program legislasi nasional) adalah bagian dari inkonsistensi elit politik. Polemik seputar RUU Pemilu dinilai terlalu berkutat pada ambisi kepentingan politik praktis dan kalkulasi parpol dalam menghadapi kontestasi Pemilu 2024. Menurut sementara pengamat, partai yang bersikeras melaksanakan Pilkada Serentak 2024 memiliki kepentingan tersendiri. Inkonsistensi verbal sikap dari partai yang menolak Pilkada pada 2022 dengan alasan Indonesia masih menghadapi pandemi Covid 19 berbanding terbalik ketika penuh sukacita mendukung Pilkada 2020 tetap diadakan 09 Desember 2020. Yang menarik, nyaris semua perubahan haluan politik yang mendadak – mendadak itu, oleh sebuah parpol atau lebih, dibungkus dengan cover apologis : demi kepentingan nusa dan bangsa! Atau harus menyesuaikan diri dengan haluan pembangunan presiden! Politik sebagai seni dari kemungkinan. Bergabung bersama lawan politik sebelumnyapun bukan masalah. Perburuan kekuasaan seakan memberi kartu “kekebalan” moralitas kepada elit politik untuk berubah-ubah seenaknya. Menukarnya dengan opsi lain yang murahan. Karenanya berakibat pupusnya integritas. Mengapa begitu? Bayangan tokoh teater dunia itu-Stanislavsky berkelebat kembali “magic if” itu lagi. Seorang teman mengirim pesan WhatsApp tepat jam tiga subuh saat sholat tahajud. Isinya mengutip sepotong nyanyian “dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah……”. Potongan syair lagu Si Kribo Ahmad Albar itu membuat saya sempat tersenyum . Tetapi, mendadak berubah getir. Getir lantaran benarnya!! Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sasalah Sosial Budaya.

Buzzerkrasi Yang Leluasa di Rezim Jokowi

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Era Pemerintahan Jokowi demokrasi sangat memburuk ambruk. Indeks demokrasi terjun bebas. Cuitan Pak Kwik Kian Gie, mantan Menteri Kordinator Bidang Perekonomian (Menko Ekuin), dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, menyebut kondisi kini berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Sangat mengerikan kalau berbeda pendapat dengan penguasa. Suasana nampak menakutkan. Bukan karena takut mengkritik, tetapi perbedaan pendapat yang disikapi dengan serangan para buzzer, terutama buzzer rupiah. "Masalah saja pribadi diodal-adil", serunya. Pandangan Kwik disetujui oleh Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Kekuasaan buzzer yang luar biasa sekarang ini. Buzzur begitu bebas dan leluasa untuk menyerang siapa saja yang berbeda pendapat dengan penguasa. Buzzur yang menyerang dengan membabi buta. Namun tidak tersentuh oleh hukum. Negara seperti tanpa ada hukum pada para buzzer. Kenyataan prilaku para buzzur ini menggambarkan pergeseran sistem pemerintahan dari demokrasi kepada buzzerkrasi. Kata buzzer itu dari bahasa Inggris, yang artinya lonceng atau alarm. Dalam makna tradisi Indonesia adalah kentongan. Berfungsi untuk memperbesar gaung dan memanggil orang untuk berkumpul. Buzzer digunakan untuk menyuarakan kandidat, pemimpin, bahkan suara Istana. Keliling dari kampung ke kampung. Dari media satu ke media yang lain. Kalau di media sosial (medsos) buzzer lebih populer saat kini. Ada fungsi dan tugas baru dari situkang pukul kentongan ini. Tugasnya menakut-nakuti seperti terjadi pada kasus Pak Kwik Kian Gie. Apalagi dengan kekuasaan besar, proteksi hukum yang kuat, serta menjadi alat pengancam efektif, maka buzzerkrasi sekarang menjadi sangat fenomenal. Melengkapi multi predikat rezim Jokowi. Mulai dari oligarki, korporatokrasi, otokrasi, kleptokrasi, hingga buzzerkrasi. Yang terakhir ini ternyata sangat berbahaya. Sebab dibentuk memang dengan tugas untuk menyerang lawan. Korporatokrasi atau kleptokrasi hanya memangsa lingkaran kecil dan tertentu, tetapi buzzerkrasi menjadikan oposisi sebagai target. Politisi, cendekiawan, aktivis, hingga rakyat kebanyakan. Pemimpin negara yang tak punya wibawa, miskin gagasan, senang pencitraan dan pengecut, bisanya hanya membayar harga mahal para buzzer. Sayangnya bukan uang pribadi, tetapi menggunakan uang negara. Jika ini yang dilakukan, maka hal itu bukan masuk bagian dari dana sosial atau hibah, tetapi korupsi karena dana buzzer tidak masuk dalam item APBN yang disetujui DPR. Rambahan buzzer cukup luas dan sudah kemana-mana. Tokoh pegiat Keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menyebut bahwa serangan rasialisme kepada dirinya yang dilakukan pula oleh para buzzer rupiah sudah ratusan, bahkan ribuan kali. Menurut Pigai, rasisme yang dilancarkan para buzzer ini diremote control oleh lingkaran kekuasaan. Meski dibantah oleh Ali Mucthar Ngabalin, tetapi kecurigaan Pigai cukup beralasan. Korbannya bukan hanya Natalius Pigai dan Kwik Kian Gie. Mantan Menteri Keluatan dan Perikanan, Susi Pujiantuti juga ikut diserang para buzzur, dengan subutan Kadrun (Kadal Gurun). Padahal Susi masih suka pakai celana pendek, pakaian ketat, dansa-dansa dan ngewain. Keberadaan buzzer menurut Ketua YLBHI Asfinawati dibenarkan atas dasar penelitian Oxford University. Buzzer ini merusak demokrasi dengan memanipulasi opini. Menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Dimanfaatkan dengan optimal oleh elit-elit politik. Tanpa ada gangguan, apalagi penangkapan aparat. Mereka menggunakan media untuk propaganda dengan melabrak kode etik jurnalistik. Jika ingin mengembalikan Negara Indonesia menjadi negara demokrasi, maka masalah buzzer ini mesti diselesaikan. Buzzerkrasi tidak boleh ditoleransi. Saatnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk buzzer. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus meneliti dugaan korupsi penggunaan uang negara untuk membiayai para buzzer. DPR-RI harus menginisiasi pembuatan UU Anti-Buzzer. Demokrasi harus dan mutlak diselamatkan. Bangsa Indonesia jangan hanya ribut soal mencegah radikalisme, ekstrimisme, intoleransi, atau anti kapitalisme, liberalisme, dan komunisme. Ada fenomena baru yang mesti diwaspadai, dicegah, dan segera dibasmi yaitu buzzerisme. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Rezim Menzalimi Umat Islam?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Rezim ini seperti berlebihan, tetapi sebenarnya tidak. Namun patut menjadi bahan renungan, apakah rezim Jokowi memang sedang menzalimi umat Islam? Tentu saja harus berdasarkan indikasi-indukasi sosial politik yang sedang dirasakan oleh umat Islam. Meskipun demikian, wajar juga apabila tidak semua umat Islam dapat merasakannya. Aada lima indikasi yang mengarah. Pertama, penangkapan dan penahanan terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) yang jelas-jelas dan nyata "dipaksakan dan dicari-cari" kesalahan. Ada segudang tuduhan yang dialamatkan kepada HRS. Apakah HRS adalah salah satu tokoh umat Islam? Jawabannya pasti iya. Bahkan HRS adalah tokoh umat Islam terdepan dalam mengkritik dan mengoreksi berbagai beijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Karena kebijakan pemerintah merugikan rakyat, maka otomatis juga merugikan Umat Islam. Itu pasti. Tidak perlu diperjelas lagi apa penyebabnya. Makanya penzoliman kepada HRS satu paket dengan pembubaran dan pelarangan Front Pembela Islam (FPI) yang tercatat telah berbuat banyak untuk kepentingan umat Islam. Sebelumnya HTI lebih dulu dibubarkan. Kedua, pembunuhan terhadap enam anggota laskar FPI yang mengawal HRS dan keluarga di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek),dalam perjalanan dari sentul menuju karawang. Pembunuhan yang terkesan diproteksi oleh rezim yang berkuasa. Sehingga pengungkapan dan tindak lanjut kasus ini juga menjadi bertele-tele, tidak serius, dan penuh konspiratif. Padahal berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah ditemukan adanya pelanggaran HAM. Untuk perkara yang sangat mudah saja, seperti siapa petugas kepolisian yang menembak keempat anggota laskar FPI, teryata sampai sekarang tak terungkap. Aneh juga. Kasus ini merupakan pelanggaran HAM berat terhadap bagian dari perjuangan keumatan. Ketiga, penangkapan dan penahanan Zaim Saidi dengan tuduhan penggunaan mata uang selain rupiah dalam bertransaksi di Pasar Muamalah. Semangat Zaim adalah inovasi dalam berekonomi syari'ah. Tidak ada unsur penipuan (gharar), spekulasi (maisir), dan rente (riba). Upaya untuk berekonomi mendekati Nubuwah. Jika dinilai ada masalah dengan perundang-undangan, maka selayaknya dilakukan pendekatan persuasif terlebih dahulu. Klarifikasi dan edukasi. Keempat, eksploitasi dana umat Islam, baik itu haji, zakat, maupun wakaf. Masyarakat muslim masih mempertanyakan penggunaan dana haji, zakat, dan terakhir wakaf uang yang dicanangkan Menkeu untuk digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur. Masyarakat Ekonomi Syari'ah berubah menjadi "lembaga politik" yang diisi personal yang tidak kompeten. Kelima, tuduhan terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme yang ditujukan kepada simbol yang ke Islam-Islaman. Pengaturan, baik melalui UU maupun Kepres serta kebijakan politik yang dialokasikan melalui berbagai Kementrian terarah kepada umat Islam. Pelumpuhan kekuatan keumatan dengan isu terorisme, radikalisme, ekstrimisme tersebut menjadi nyata adanya. Disamping itu tersebut penahanan terhadap tokoh dan aktivis umat dengan berbagai alasan juga memperkuat indikasi kezaliman. Gus Nur, Maheer, Bahar Smith, Syahganda, Jumhur, Anton, dan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di berbagai daerah lainnya. Sedangkan para "penyerang umat" seperti Denny Siregar, Armando Armando, dan Abu Janda sebaliknya sangat sulit untuk diproses hukum, meski telah bertumpuk laporan dugaan pelanggaran hukumnya. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Menteri Agama yang berhubungan dengan seragam atribut keagamaan juga sangat jelas tendensius. Isi SKB yang sangat menyinggung umat Islam. Prof. Greg Fealy dari Australian National University menyatakan rezim Jokowi represif terhadap umat Islam. Represi negara dapat terjadi dalam berbagai bentuk kepada Pegawai Negeri, akademisi, guru yang masuk dalam ruang-ruang pantauan. Bahwa pada setiap rezim ada tindakan diskriminatif terhadap umat Islam mungkin benar, akan tetapi rezim Jokowi nampaknya paling tinggi tingkat represivitas dan kezalimannya. Entah apakah karena kedekatan dengan pemerintahan Cina yang komunis atau faktor lain penyebabnya. Semua dapat dianalisis tuntas setelah Pemerintahan Jokowi usai. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

74 Tahun HMI, Reformasi Internal Untuk Komitmen Keislaman & Keindonesiaan

by Raihan Ariatama Jakarta FNN - Pada 5 Februari 2021 ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memperingati usianya yang ke-74. Sebagai sebuah organisasi mahasiswa Islam, mencapai usia 74 tahun bukanlah perkara mudah. Terdapat banyak lika-liku dan sepak terjang yang dilaluinya. Termasuk desakan pembubaran yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa Orde Lama. Meskipun yang terjadi malah sebaliknya, malah PKI yang dibubarkan dan dianggap sebagai partai terlarang sampai saat ini. Sementara HMI masih eksis dalam mewarnai perjalanan keberagaman Indonesia sampai hari ini. Namun di usianya yang ke-74 ini, HMI menghadapi berbagai persoalan. Dies Natalis HMI ke-74 ini harus kita jadikan momentum untuk merefleksikan berbagai persoalan itu. Sehingga bisa ditemukan formula yang tepat untuk mengatasinya. Bila tidak, maka HMI hanya ada sebagai pelengkap dalam berbagai persoalan bangsa yang kita hadapi hari ini. Keterbelahan di akar rumput sejak Pilkada DKI 2017, yang beruju di Pilpres 2019 lalu, sampai kekarang masih terasa. Kondisi makin diperparah dengan kelemahan negara mengatasi pendemi Covid-19 yang kini mencapai lebih dari satu juta orang yang posisitif terjangkit Covid-19. Angkanya bukan semakin menurn. Tetapi sebaliknya semakin bertambah. Belum lagi persoalan resesi ekonomi yang yang melanda Indonesia kin. Dan berujung pada tertekannya daya beli masyarakat. Beberapa persoalan HMI hari ini adalah masalah internal. Seperti adanya dualisme kepengurusan HMI. Pendangkalan intelektualitas dan integritas, serta lunturnya semangat berkarya. Persoalan-persoalan internal ini menuntut solusi, yang pada satu sisi tetap berpedoman pada nilai-nilai ke-HMI-an, dan pada sisi lain ditunut untuk harus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kerja-kerja untuk mencari solusi ini merupakan kerja kolektif-kolaboratif, yang melibatkan banyak elemen di HMI. Kerja kolektif-kolaboratif untuk menyelesaikan soal internal harus mengesampingkan ego golongan dan kepentingan kelompok. Apalagi, era Revolusi Industri 4.0 menuntut kita untuk saling berkolaborasi. Segala tantangan dan persoalan akan terasa lebih mudah apabila dihadapi dan diselesaikan dengan pendekatan kolaboratif. Persoalan internal HMI yang lain adalah perlunya melakukan pembaharuan terhadap materi/kurikulum pelatihan formal dan informal HMI, agar dapat menjawab tantangan abad 21. HMI hari ini sedang berada dalam zaman digital. Sayangnya kultur ke-HMI-an kita masih menggunakan corak pemikiran abad 20. Akhirnya yang terjadi adalah disrupsi dalam tubuh HMI. Untuk itu, pengembangan sumber daya kader HMI melalui pelatihan yang ada, maka seharusnya diorientasikan untuk menjawab berbagai tantangan di abad 21 ini. Sebagai contoh, HMI perlu untuk menggalakkan social-entrepreneurship training untuk menghasilkan wirausahawan muda HMI yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan, melainkan juga pada kemaslahatan sosial-ekonomi ummat. Pelatihan-pelatihan skill yang lain seperti manajemen big data, berpikir kritis, analitis, inovatif dan berorientasi pada problem solving serta lain juga harus lebih dikedepankan. Tujuannnya untuk menjawab tantangan perubahan paradigma prilaku dan kegiatan ekonomi dan sosial yang sudah berbasis Tekonologi informatika (IT). Semua kehidupan yang serba IT. Dengan internal organisasi yang solid dan reformasi internal yang adaptif terhadap tantangan zaman, maka HMI akan dengan mudah menjalankan dakwah k-Islaman dan ke-Indonesiaan yang menjadi komitmen HMI sejak awal berdiri. Dalam konteks ini, misi dakwah dan sosial dapat dilakukan secara efektif apabila terjadi solidaritas dan reformasi internal. Di tengah menguatnya ekstremisme agama yang kerap kali berujung pada tindakan kekerasan dan teror (acts of violence and terror). Begitu juga dengan keinginan beberapa kalangan untuk melakukan formalisasi syariat Islam, maka dakwah k-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI sangatlah dibutuhkan. Menyesuaikan diri dengan perkembangan yang tidak bisa dihindari. Kenyatan ini karena komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI tidak terjebak dalam formalitas dan simbol agama semata. Melainkan HMI selalu berpijak pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai substansial Islam yang universal, seperti Islam yang inklusif, yang toleran, yang dialogis, akomodatif dan yang berperikemanusiaan. Islam yang ramatan lil alamain. Untuk itu, memperkuat dakwah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan ala HMI merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa dihindari. Sebagai upaya narasi tanding (counter-narration) terhadap diskursus yang ektremisme agama dan formalisasi syariat Islam. HMI dapat memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk melakukan narasi tanding tersebut. Dalam rangka melakukan misi yang mulia ini, HMI ditopang oleh sumber daya kader yang melimpah. Kader HMI yang tersebar di hampir seluruh pelosok Indonesia. Bahkan di luar negeri sekalipun, masih ada kader-kader HMI yang tetap eksis, berada di depan. Dengan modal jaringan yang luas dan solid itu, akan mempermudah HMI dalam menebarkan benih-benih ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Selain itu, ke-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI tidaklah mempertentangkan agama dan negara. Sebab keduanya harus saling melengkapi satu sama lain. Agama sangat dibutuhkan sebagai fondasi nilai dalam bernegara. Sedangkan negara dibutuhkan HMI sebagai wahana untuk kemaslahatan publik dan mensejahteraan rakyat, sesuai dengan tujuan bernegara pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, dakwah k-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI harus menjadi penetralisir terhadap gagasan atau upaya-upaya yang hendak mempertentangkan antara agama dan negara. Termasuk diskursus yang menganggap aspirasi politik Islam sebagai politik untuk membentuk negara Islam. Padahal, aspirasi politik Islam adalah politik nilai sesuai dengan tujuan bernega. Aspirasi politik Islan bukan politik simbolik. Politik Islam adalah mencapai kesejahteraan rakyat untuk semua. Keadilan sosial yang hadir untuk semua warga negara. Toleransi dan saling menghargai sebagai sesama anak bangsa. Berdiri sma tinggi, dan duduk sama rendah. Perdamaian dan keharmonisan yang tidak bertentangan dengan demokrasi dan negara. Akhir kata, Dies Natalis HMI ke-74 menjadi momentum penting bagi kita untuk melakukan reformasi organisasi demi memperkuat komitmen dan dakwah k-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI. Dirgahayu HMI. Yakin usaha Isnya Allah sampai. Penulis adalah Ketua Bidang Riset dan Teknologi PB HMI Periode 2018-2020.