NASIONAL

Tergerusnya Modal Sosial Kader HMI di Usia 74 Tahun.

by Pramuhita Aditya Jakarta FNN - Pada 5 Februari kemarin, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memperingati Milad ke-74 tahun. Tentu saja di usia 74 tahun, bagi HMI bukan lagi yang muda. Namun HMI terus dan terus saja mengalami pergolakan politik yang melintasi zaman. Dinamika konflik yang terus berkepanjangan itu memporak-porandakan internal pengurus yang tak terkendali. Momentum proses pembelajaran soal mengkaji isu situasi nasional dan mancanegara dilewatkan begitu saja dalam bidang bidang. Kenyataan ini ditambah lagi dengan tergerusnya modal sosial antar sesama kader, yang bisa dipengaruhi kapanpun dan oleh siapapun. Situasi ini menjadi tantangan terberat untuk perjalanan HMI memasuki era for point zero (4.0) sekarang dan mendatang. Menariknya, tema yang diangkat saat milad ke 74 itu “mengokohkan kometmen kebangsaan dan keindonesiaan”. Beragam opini yang tampil membelah reaski kader ke dalam kubu pro dan kontra secara masif datang silih berganti. Bahkan tanpa berkesudahan. Kenyataan itu merupakan dampak dari konflik yang masuk ke dalam lingkup internal perkaderan. Secara historis, bisa kita lihat kembali bagaimana tujuan HMI hadir? Salah satunya tentang komitmen HMI untuk mengangkat derajat umat islam dan mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Untuk itu, perlunya mengoptimalkan tujuan dan komitmen kehadiran HMI tersebut. Bukan sekedar hanya memelihara komitmen yang telah dibuat oleh pendiri HMI. Sekali lagi perlu mengoptimalkan. Bukan sekedar memelihara kometmen yang telah dibuat oleh pendiri HMI. Dalam kenyataan asasinya, bahwa HMI adalah organisasi yang memiliki peran aktif dalam denyut nadi dan gerak langkah pembangunan nasional. Sayangnya, belakangan ini HMI lebih banyak menyita waktu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan internal memata. Seperti layaknya organisasi yang saja baru lahir kemarin sore. Sebagai organisasi perkaderan yang memiliki tujuan perjuangan, kiprah HMI sementinya diutamakan untuk melihat tantangan persoalan pembangunan ke depan. Menjadi kewajiban gerak serta langkah kader-kader HMI dalam mengejawantahkan tujuan-tujuan HMI. Untuk itu, perlu diingat kembali tentang independensi HMI yang menurut pengamatan penulis ini mulai hilang di dalam jiwa kader HMI. Bahwa independensi HMI adalah salah satu moral kader HMI yang seharusnya tetap dijunjung tinggi. Independensi HMI menjadi sesuatu yang utuh. Sesuatu yang original, sehingga HMI memiliki posisi tawar untuk selalu berkontribusi dalam pembangunan nasional. HMI tidak dibawa dan diseret-seret ke dalam kepentingan politik pragmatisme. Itulah sejatinya jati diri HMI. Potret tergerusnya modal sosial itu cukup kompleks. Meramba seperti jamur yang tumbuh subur di musim hujan. Berdampak pada kekacauan sistem nilai dan kepercayaan dalam diri kader. Sistem nilai yang hanya bertumpu pada pragmatisme. Suka atau tidak suka, itulah yang terjadi saat ini. Padahal, bukan untuk kepentingan pragmatisme itu HMI lahir. HMI lahir untuk ke-Islaman dan ke-Idonesiaan. Jauh sebelumnya telah didesaign khusus oleh aktor-aktor intelektual HMI, dan itu diajarkan oleh para master HMI di ruang ruang basic training atau Latihan Kader (LK) Satu yang dibalut dengan lima kualitas insan cita HMI sebagai pintu masuk awal berHMI. Yaitu, kkualitas akademis, kualitas pencipta, kualitas pengabdi, kualitas bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur dan kualitas bernafaskan Islam”. Subhanallah, betapa sangat mulianya para pendiri dan senior HMI yang telah menyiapkan kader-kader HMI dengan “lima kualitas insan cita HMI” tersebut. Bagi para pendiri dan senior HMI yang telah mendahului kita menghadap robbina, semoga Allah Subhaanahu Wata’ala selalu merahamati para pendiri dan senior HMI dengan rahmat-Nya tidak terbatas itu di dalam kuburnya. Belum cukup hanya di LK satu saja, jenjang khusus perkaderan di HMI ini kalau diibaratkan semacam kuliah, banyak yang telah lulus S-3 . Tentu pemahaman yang utuh tentang bagaimana insan yang hanief ini memihak kepada yang benar secara independensi. Memihak yang benar itu memihak kepada perintah Al-qur’an dan hadist, yang dimana Al-qur’an menyampaikan kepada sesuatu yang haq. Keberanan berdasarkan Al-qur’an dan Hadits itulah yang perlu diperjuangkan, dalam konteks dinamika HMI tentang Ummat dan bangsa. Namun sayang seribu kali sayang. Lembaran desaign yang baik dan mulia itu tinggal bungkusnya saja. Isinya telah lenyap dimakan rayap. dan entah kemana jejaknnya. Celakanya lalgi, modal sosial yang tergerus tersebut, juga mengacaukan komitmen sosial. Sebaliknya, berpacu memproduksi dan melahirkan komitmen material.Bahkan terlihat menjadi semakin terdepan dalam menghancurkan kekuatan silaturahmi yang awalnya mampu menghangatkan hubungan sosial antar kader HMI dan lainnya. Hubungan antar pribadi sesama kader HMI, sesama kelompok berubah menjadi hubungan yang hanya berbasis yang di ukur secara finansial semata. Itulah konsekuensi nyata dari berlangsungnya perkaderan hari ini. Tentu ukuran-ukuran material menjadi patokan untuk menilai. Kesuksesan dan kegagalanpun diukur berdasarkan isi kantong setiap kader yang berkontestasi, mulai pada level bawah hingga Pusat. Sepatutnya, setiap kader HMI mampu menempatkan dirinya secara proporsional, sehingga harmonisasi hidup sosial antar kader berlangsung dalam suasana sama-sama menghormati dan menghargai. Modal sosial menjadi sesuatu nilai yang sangat berharga jika setiap pribadi mampu memberi, mampu peduli dan mampu saling memaafkan bila ada perbedaan. Peringatan yang disampaikan Rasullaah Sallaahu Alaihi Wasallam, “aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq”. Demikian Hadist ini sangat erat kaitannya dengan independensi HMI yang semestinya disimpan dalam jiwa setiap kader. mampu untuk dimplementasikan dalam kehidupan sosial, sehingga senantiasa mendapatkan ridha dari Allah Subhaanhu Wata’ala. Menjelang kongres yang akan berlangsung, beberapa pekan ke depan. Mari sama-sama kita menata rumah hijau ini dengan niat yang tulus. Niat yang tanpa adanya hujatan serta adu-domba yang berlebihan dinatara sesama kita. Menata kembali konsistensi independensi yang adaptif sesuai dengan visi HMI. Mari menata konsistensi independensi adaptif yang sesuai dengan tuntutan zaman yang serba digital ini, serta excellen untuk kemajuan rumah kita bersama. Seperti yang pernah ditawarkan oleh pendiri HMI Almarhum Lafran Pane sebagai kemerdekaan hati. Semoga Allah Subhaanahu Wata’ala mengampuni segala kasalahannya, dan kemuliaannya mendirikan HMI menjadi pintu yang terbuka lebar untuk menggapai syurganya Allah. Penulis adalah Bakal Calon Kandidat Ketua Umum PB HMI.

Hancur-Hancuran Jejak Pembunuhan di KM 50

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Setelah pengosongan dari para pedagang di rest area kilometer (KM) 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek)berlanjut ke perusakkan bangunan agar tak bisa digunakan. Lalu penutupan lagi untuk jalur persinggahan. Akhirnya bangunan itu kini seluruhnya telah diratakan dengan tanah. Habislah saksi-saki bisu pembunuhan dan pembantaian terhadap enam anggota enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh aparat Kepolisian. Meskipun demikian sejarah akan tetap bisa lantang bercerita tentang kejahatan dan kebenaran. Secara fisik bangunan yang menjadi saksi mungkin hilang tetapi jejak tidak bisa. Terlalu terang peristiwanya. Terlalu banyak saksinya, dan terlalu kentara rekayasanya. Biarlah semakin keras upaya-upaya untuk menghapus, semakin sakit para pelaku dan pengatur kejahatan itu. Menghapus jejak di Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah wujud dari kegelisahan perencana dan pelaku pembunuhan yang sangat luar biasa. Secara hukum merusak dan menghilangkan barang bukti tentu berisiko. Seluruh dinding bangunan rest area kilometer 50 adalah bukti. Penyidikan belum dilakukan, merusak dan menghilangkan barang bukti sama dengan menghalangi penyidikan. Penghilangan TKP ini akan menjadi kasus tersendiri. Pasal 216 KUHP menghadang di depan. Begitu juga dengan delik perusakannya yang terancam dengan Pasal 233 KUHP. Lumayan juga ancaman jukuman. Bisa 4 tahun penjara. Ada dua mesium yang kelak bisa dibangun di area KM 50 setelah terkuak perbuatan pelanggaran HAM beratnya. Pertama adalah "Monumen Enam Syuhada" sebagai peringatan atas kebengisan aparat kepolisian melawan ketidakberdayaan rakyat. Kedua, "Museum Hak Asasi Manusia " ini lebih luas. Bukan hanya peristiwa pelanggaran HAM atas enam laskar FPI saja, tetapi banyak pelanggaran HAM lainnya. Ini kalau kekuasaan ini suah berganti tahun 2024 nanti Kilometer 50 dan areal sekitar Karawang adalah tempat strategis yang menjadi saksi sejarah perjuangan demokrasi, hak asasi manusia, dan anti penjajahan politik negara kepada warga negara. Temuan yang diduga proyektil di depan Masjid Al Ghammar Muhammadiyah Karawang Barat menandai awal drama kekerasan yang berujung pada syahid. Penghancuran sarana fisik di rest area KM 50 menyedihkan dan memilukan. Bagian dari upaya untuk menghilangkan jejak, ingatan, dan pembuktian. Penghancuran ini menjadi bukti terbaru dari kejahatan yang terjadi. Perlu pengusutan siapa yang mengatur penghancuran rest area KM 50? Apa motif politik? Apa keterkaitan dengan laporan Komnas HAM dan instruksi Kapolri baru tentang penyelesaian kasus? Kapolda Metro Jaya kini hilang bagai tertiup angin. Tak pernah muncul lagi dalam berita yang terkait kilometer 50. Dimanakah posisi petinggi Polri yang satu ini? Padahal awalnya diwacanakan akan mengisi jabatan strategis di Mabes Polri. Tetapi ternyata tidak. Ya namanya juga wacana. Bisa iya, namun bisa juga tidak. Tergantung user yang mau menggunakan. Memang Kapolda Metro jaya mestinya diberhentikan dulu, atau sekurangnya dinon-aktifkan, agar penyelidikan dan penyidikan atas pelanggaran HAM enam anggota laskar FPI dapat berjalan obyektif, transparan, dan bebas hambatan. Jangan sampai posisi Fadil Imran sebagai Kapolda Metro Jaya sekarang bisa menjadi hambatan penyelidikan dan penyidikan kasus ini. Pengusutan harus cepat dimulai. Bukankah rest area sudah diratakan tanah. Terlalu lama para pelaku pembunuhan dibiarkan untuk menghirup udara bebas. Sementara aktor intelektual dan perencana juga telah cukup waktu untuk berfikir keras agar dapat lolos dari jeratan hukum. Mereka mungkin saja bisa lolos di pengadilan dunia, namun tidak untuk pengadilan akhirat. Saatnya membuktikan kejujuran itu mampu mengalahkan kebohongan. Keadilan dapat menggusur kezaliman. Kekuasaan yang zalim bertekuk lutut di bawah tajamnya pedang aturan hukum. Atau sebaliknya, sesungguhnya kita ini masih berada di alam mimpi tentang kisah-kisah yang baik-baik itu. Moga saja tidak terwujud. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Aneh Juga, Kok Menteri Bisa Kritik Kebijakan Pemerintah?

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Indonesia memang unik. Bagaimana tidak, setelah enam tahun Presiden Jokowi memerintah, barulah masyarakat diminta untuk melakukan kritik kepada pemerintah. Kritiknya juga yang keras. Sayangnya, banyak yang tidak percaya karena menengok pada sejarah. Presiden yang sama, Jokowi pernah menyatakan rindu untuk didemo. Namun setelah di demo, eh malah banyak yang ditangkap, menjadi korban kekerasan, bahkan ada yang tewas ditembak. Soal kritik ini, keunikan muncul kembali. Ada menteri anggota kabinet Jokowi yang mengeluh atau mengkritik kebijakan Pemerintah. Publik merenung apakah menteri itu bukan bagian dari Pemerintah? Atau mungkin karena tidak ada visi misi menteri, tetapi yang ada adalah visi dan misi Presiden. Sehingga menteri bebas mengkritik visi misi Presiden? Adalah Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) Teten Masduki yang curhat berkonten kritik dalam acara Program Kolaborasi Akselerasi Mencetak 5000 Eksportir. Kata Teten, bahwa KUKM telah dipersulit oleh Pemerintah untuk melakukan ekspor. Banyak izin dan sertifikat yang harus dipenuhi untuk hal ini. Akibatnya, KUKM berat untuk melakukan ekspor berbagai komoditas. Sebaliknya, impor dari negara lain justru sangat mudah. Tidak berbelit-belit. Sebagai rakyat, apalagi pengusaha KUKM tentu berharap ada langkah konkrit untuk mempermudah ekspor dan mempersulit impor. Hal ini untuk mendorong semangat agar KUKM menjadi sokoguru usaha masyarakat, yang bukan saja diproteksi tetapi dibantu dan didorong oleh pemerintah. Kenyataan yang terjadi di pemerintahan Jokowi ini berbeda antara langit dengan bumi, jaka dibadingkan eranya Soeharto dulu. Ketika Orde Baru berkuasa, semua yang berbau impor dihalangi dengan berbagai kebijakan pemerintah. Impor hanya dikecualikan untuk barang-barang yang menjadi bahan baku produksi, dan tidak bisa dihasilkan dari dalam negeri. Akibatnya, ribut yang tak berkesudahan dengan organisasi perdagangan dunia World Trade Organisation (WTO) tidak bisa dihindari. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam perundingan dengan WTO adalah Rahmat Saleh, Arifin Siregar, Sudrajat Jiwandono dan Billy Yudono. Sementara ekpor, terutama produk-produk dari KUKM harus digenjot dengan segala cara. Makanya, dibentuk Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) di bawah Departemen Perdagangan. Seharusnya Menteri Teten bukan dalam kapasitas mengeluh atau mengkritik. Tetapi langsung saja mengambil kebijakan atau mendiskusikan dengan menteri terkait lainnya, yaitu Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Perindutrian dan Menteri Pertanian untuk keluarnya suatu kebijakan yang memudahkan ekspor produk-produk KUKM. Bila perlu "menekan" Presiden agar mengeluarkan kebijakan yang memudahkan dan menguntungkan KUKM. Masyarakat dan pelaku usaha KUKM butuh mendengar dan menjalankan kebijakan yang memudahkan untuk ekspor produk mereka. Tidak perlu diajak untuk ikut pusing bersama pusingnya sang menteri. Apalagi hanya untuk mendengar curhat atau kritikan. Menteri itu bukan pengamat, tetapi pengambil keputusan. Bahasa lainnya menteri adalah Pemerintah juga. Pemerintahan memang kacau, koordinasi dalam kabinet saja tidak bagus. Presiden dan para Menteri cari panggung sendiri-sendiri. Mungkin juga korupsinya sendiri-sendiri. Sampai-sampai saling mengkritik pula. Terlihat seperti kekanak-kanakan. Jadi teringat pada bulan Juni 2020 lalu, dalam Rapat Paripurna Kabinet, Presiden mempertontonkan marah-marah dan mengkritik para menteri di panggung publik. Entah apakah ini pertanda kalau menterinya yang tak becus atau Presidennya sendiri yang kacau-balau? Atau kedua-duanya memang bermasalah? Kasus keluhan, curhat, dan kritik Menteri KUKM Tenten Masduki adalah bukti inkompetensi atau impotensi. Tontonan yang sebenarnya tidak menarik untuk dilihat dan didengar rakyat. Namun apa boleh buat. Masalah utamanya ada kepala pemerintahan yang memang tidak becus memimpin. Kata Cirero, “ikan itu busuknya dari kepala”. Pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa tidak ada visi menteri, itu sebagai mengukuhkan sistem pemerintahan presidensial. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Presiden adalah penanggungjawab. Karenanya kekacauan kebijakan ekspor impor, kemerosotan ekonomi, tingginya hutang luar negeri, hingga pelanggaran hak asasi oleh Polisi, maka muaranya adalah Presiden. Semoga sistem pemerintahan presidensial tidak menyebabkan Presiden menjadi pembawa sial. Apalagi jika berwatak pembual dengan kabinet abal-abal. Membawa Indonesia meluncur terus menuju predikat sebagai negara gagal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Di Mana “Rasul” Kami?

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Hanya berselang sepuluh hari, masih di dalam suasana memperingati Hari Pers Nasional tahun ini, mata saya menangkap sebuah arsip yang berisi rangkuman suara hati almarhum Jakob Oetama dalam bentuk naskah pidato berjudul, “Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna". Pidato Jacob Oetamaitu disampaikan pada acara “Penerimaan Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa” dalam Bidang Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 17 April 2003. Pemimpin “kerajaan” media grup Kompas tersebuta meninggal dunia 09 September 2020. Menjelang usia 76 tahun kemerdekaan Indonesia dan di usia 75 pers Indonesia, apa yang telah diberikan dunia pers kepada bangsa ini? Tidak ada salahnya mengutip kembali pernyataan JFK (John F. Kennedy) ketika dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-35, “Ask not what your country can do for you – ask what you can do for your country”. Artinya, “jangan tanya apa yang negara Anda bisa lakukan untuk Anda ; tanyakan apa yang dapat Anda lakukan untuk negara Anda”. JFK, yang pensiunan Letnan Angkatan Laut Amerika Serikat (1941-1945) tersebut, pernah bekerja sebagai koresponden, Hearst Newspapers (1945-1946). JFK dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-35 pada Januari 1961, dan dibunuh, tertembak November 1963 pada usia 46 tahun. Saat ini beredar dua berita “trending topic” di masyarakat. Pertama, Transparency International Indonesia(TII) menyatakan IPK (Indeks Persepsi Korupsi) Indonesia pada 2020 turun ke peringkat ke 102 dari 180 negara. Dibandingan pada tahun 2019, Indonesia menempati posisi ke 85. Kedua, turunnya IDI (Indeks Demokrasi Indonesia) di tahun 2020 versi The Economist Intelligence Unit (EIU). Indonesia menduduki peringkat ke-64 dengan skor 6.3. Sebelumnya 6.48. Di kawasan Asia Tenggara saja, indeks demokrasi Indonesia ada di peringkat empat, di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir Indonesia dikategorikan sebagai negara flawed democracy (demokrasi cacat). Sekitar 18 tahun yang lalu, Jakob Oetama dalam inti pidatonya itu telah memprihatinkan gejala “merajalelanya konsumerisme dan hilangnya rasa malu” pada bangsa ini . “Media harus memahami lebih jauh, mengapa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merajalela. Apa akar permasalahannya? Latar belakang struktur dan budaya feodal ikut menyuburkan KKN. Demikian pula dengan paham feodal, bahwa power is privilege. Warisan sejarah bisnis yang diungkapkan dengan setiap penguasa ada koneksi bisnisnya. Tertimpa oleh sikap hidup kapan lagi. Merajalelanya konsumerisme dan hilangnya rasa malu”, tulis Jakob Oetama. Frasa “tertimpa oleh sikap hidup kapan lagi, merajelelanya konsumerisme dan hilangnya rasa malu”, yang disinggung Jakob, justru inilah persoalan bangsa yang serius. Infrastruktur moralitas merosot di tengah masifnya pembangunan infrastruktur fisik, seperti jalan tol, jembatan layang dan pelabuhan udara maupun laut. Kader partai politik sebagai pemangku jabatan publik melakukan malpraktik. Korupsi berjamaah, yang didalam berbagai kajian disebutkan, “korupsi materi dan korupsi politik”. Kenyataan iuni menegaskan lemahnya komitmen sekaligus rendahnya kualitas moralitas beberapa politisi. Miris membaca hasil temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Temuan yang menunjukkan sepanjang tahun 2004 - 2019 terdapat 1152 kasus yang melibatkan pejabat publik dan swasta yang melakukan tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut, 397 orang diantaranya menduduki jabatan politik. Tercatat 257 orang adalah anggota DPR atau DPRD, 21 orang adalah gubenur dan 119 orang adalah bupati atau walikota. Dimana semuanya berlatar belakang dari partai politik. Reformasi 1998 ternyata tidak serta merta menghilangkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tubuh birokrasi Indonesia. Meski telah 20 tahun lebih reformasi berlalu, hingga kini, disaat Presiden Jokowi berkuasa, korupsi tetap saja menjadi “primadona” kekuasaan. Banyak yang menyebut korupsi yang Terstruktur, Sitematis dan Masif (TSM) saat ini sebagai “cacat bawaan” reformasi. Tercatat 11 menteri terjerat kasus korupsi. Tiga diantaranya merupakan menteri sosial. Mengungguli jabatan lain. Pelaku korupsi terbanyak kalangan legislatif dan eksekutif, bahkan yudikatif. Semuanya pejabat publik yang telah mengangkat sumpah dengan kitab suci. Kepada siapa lagi rakyat dapat menggantungkan harapan kemaslahatan masa depan bangsa ini? Sementara itu, pemimpin yang tersedia sebagaimana ditulis Jakob Oetama, mereka yang terlihat sangat bersemangat “konsumerisme dan hilangnya rasa malu”. Mesin Pemilu sebagai wahana demokrasi harus berani dikatakan “gagal total” menyeleksi calon pemimpin bangsa yang ditawarkan partai politik. Ibarat “kawah chandra dimuka”, partai politik gagal sebagai kampus suci penggemblengan mentalitas dan moralitas calon pemimpin supaya kuat, terlatih, bersahaja dan tangkas. Calon pemimpin yang berani tampil berani. Yang menutup semua peluang kejahatan politik. Apapun namanya. Jakob Oetama menyinggung tulisan Samuel P. Huntington bersama Laurence E. Harrison tentang Culture Matters yang disinggung kedua penulis dalam bukunya tersebut. Jakob mempertanyakan, kultur yang mana? Ethika Protestan? Revolusi Meiji, Konfucian, Ascetisme Gandhi, Ascetisme Hatta. Kita punya, kita bahkan termasuk kaya budaya. Bagaimana menjadikan budaya Indonesia sebagai pemicu kemajuan, Pemicu pemerintah yang bersih, Pemicu hidup hemat, kerja keras? Bagaimana berencana serta membangun social trust alias kepercayaan sosial yang kuat, kreatif, produktif? Peringatan Hari Pers Nasional 2021 diisi partisipasi insan pers atau para pekerja media alias wartawan mendukung program FJPP (Fellowship Jurnalisme Perubahan Perilaku) yang diselenggarakan Dewan Pers dan Satuan Tugas Penanganan Covid 19 bersama PWI yang bertema, “Bangkit dari Pandemi, Jakarta Gerbang Pemulihan Ekonomi, Pers sebagai Akselerator Perubahan”. Diberitakan 5000-an wartawan dari Aceh sampai Papua aktif mengampanyekan perubahan perilaku masyarakat supaya taat prokes (protokol kesehatan) sesuai standar WHO. Sembari menangkal berita hoaks terkait Covid 19. Program yang diluncurkan awal Oktober itu, menurut Ketua Satgas Penanganan Covid 19 Doni Monardo, pada Desember mencapai keberhasilan 63 persen program sosialisasi itu mengubah perilaku masyarakat. Dan itu oleh kerja keras dan kerja rela insan pers. Fakta itu membangun harapan dan semangat baru. Besarnya kepercayaan masyarakat kepada insan pers (wartawan) adalah modal sosial yang masif efektif membangun ketahanan akhlakul kharimah untuk “Reinventing Indonesia Baru”, sebagaimana disinggung Jakob Oetama. Bersih dari mental pecundang dan pembonceng gelap demokrasi. Kekuatan Indonesia baru itu sejatinya terkonsolidasi menjadi moral force (kekuatan moral) yang terniscayakan sebagai mesin pendorong gerakan nasional kesadaran rakyat untuk bangkit mengubah aneka UU hasil reformasi. Terutama pasal-pasal di dalam UU yang banyak salah jalan dan melahirkan pemimpin dadakan, yang daripadanya budaya korupsi tersuburkan. Pers Indonesia memikul tanggung jawab moral menjadi obor penerang langit demokrasi dari kegelapan. Rakyat harus didorong keberaniannya bangkit menyita mandat dari komplotan politisi korup yang bermarkas di partai politik. Politikus yang telah disandra para oligarki dan konglomerasi licik, picik, culas dan tamak. Oligarki dan konglomerasi yang tidak pernah puas menghisap darah kakyat negeri ini. Saatnya publik kembali mengampanyekan mentalitas kejujuran dan kesederhanaan sebagai prasyarat utama menjadi seorang pemimpin bangsa. Kita punya tokoh asketisisme legendaris yang harus dijadikan ikon suri tauladan moralitas. Seorang tokoh proklamator yang hingga akhir hayatnya, tidak pernah bisa mampu membeli, walau hanya sekedar sepasang sepatu Bally. Lantaran diikat konsistensi moralitas tinggi yang menolak menunggangi celah-celah kekuasaan. Namanya Bung Hatta! Seorang karib mantan pejabat mengirim pesan WhatsApp, “rakyat Indonesia saat ini merindukan pemimpin jujur”. Rakyat itu kini seakan sedang berteriak, dimana “rasul” kami? Penulis adalah Wartawan Senior Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

HMI Untuk Perdamaian Islam (Bagian-1)

by Pramuhita Aditya Jakarta FNN - Dahulu, para pendakwah dan penyiar Islam masuk ke nusantara yang hari ini Indonesia dengan membawa kedamaian. Selain menyiarkan ajaran yang diwahyukan kepada Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam, para penyiar ini juga mendidik dan mengajarkan ilmu-ilmu kehidupan kepada para pribumi. Yang sangat kita kenal selain daripada ilmu aqidah ada juga syariat dan akhlak. Kenyataan ini mendorong peningkatan kualitas berpikir dan hidup ke jenjang yang lebih tinggi. Perlu kita apresiasi jasa kaum muslimin dalam membangun dunia serta bangsa dan negara Indonesia. Hari ini kita nikmati kemerdekaan dan hidup beranak-pinak di dalamnya. Bebas berekspresi dan membangun masa depan negara yang kita cintai ini. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai salah satu organisasi mahasiswa Islam di Indonesia, patutlah menjadi ikon pembangunan Indonesia ke depan. Organisasi yang malang-melintang dalam perjuangan membangun Indonesia ini sedikit banyak memberikan kontribusi kepada perjalanan sejarah Indonesia masa kini dan masa yang akan datang. Begitulah organisasi mahasiswa Islam ini bermetamorfosis dari zaman ke zaman. Selain untuk kepentingan bangsa dan negara, HMI juga harus mengikuti perkembangan zaman yang kekinian. Sehingga HMI menjadi organisasi yang survive dalam perkembangan zaman. Selalu ada pada setiap dinamika dan perubahan dinamuka kehidupan. Organisasi HMI sudah saatnya membangun sistem kehidupan organisasi yang baik dan benar. Sehingga terwujudnya dinamika yang sehat. Hasilnya tercipta para kader yang cenderung kepada kebenaran (hanif). Maka yang pertama-tama adalah meninjau dan mengevaluasi kembali sistem keorganisasian yang dimulai dari perekrutan, pendidikan dan pelatihan hingga pengabdian. Tawaran untuk pengembangan organisasi yang baik secara kultur maupun struktur adalah suatu langkah strategis untuk pengembangan dan peningkatan sepak terjang HMI di masa yang akan datang. Sebab kita menghadapi hiruk-pikuk perkembangan organisasi-organisasi secara umum di dunia dan secara khusus di Indonesia yang kian signifikan. Jika kita perhatikan secara saksama saat ini, maka organisasi-organisasi tumbuh menjamur tak terkendali. Entah itu organisasi mahasiwa, organisasi masyarakat, organisasi profesi, organisasi buruh, organiasi usaha, organiasi pemuda, maupun organiasi pelajar dan lain-lain. Baik itu yang bersiafat stategis maupun taktis telah tersedia. Lain halnya dengan tahun 1990-an, yang kita kenal hanyalah beberapa organisasi. Apalagi pada kalangan mahasiswa. HMI memiliki pamor yang cukup signifikan. Selain itu, HMI juga menawarkan bergam pengetahuan yang dapat digeluti selain daripada politik kemahasiswaan. Sehingga organisasi yang terkenal dengan warna hijau hitam ini menjadi pilihan utama para mahasiswa. Belakangan banyak tumbuh organisasi mahasiswa, baik intra maupun ekstra kampus, yang bertabuaran di dalam lingkungan akademis seperti jamu tumbuh di musim hujan. Tidak terkecuali juga organisasi-organisasi yang orientasinya meresahkan dan menyebarkan ketakutan, juga bebas aktif dan progresif dalam perekrutan, serta melakukan aktivitas organisasinya. Tumbuhnya organisasi mahasiswa di kampus menjadi pilihan kalangan tertentu mengembangkan bakat, dan menyalurkan hobi yang disediakan dalam berorganiasi. Sehingga hal ini memicu carut-marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kehidupan yang luhur dan penuh dengan budaya dan adat-istiadat yang beraneka ragam ini. Kuncinya, jika kita akan membangun dan memperbaiki Indonesia, dengan tujuan untuk mewujudkan masyarakat adil makmur, maka kita memperbaiki secara internal organisasi. Yang berkembang ke eksternal merupakan dampak daripada perbaikan internal organisasi. Karena inti perbaikan bisa dibangun melalui pribadi-pribadi, kolektif organisasi dan Negara. Perdamaian Islam Tatanan dunia yang bergerak dengan masif ke arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyuguhkan keterbukaan informasi yang bebas tanpa sekat kebangsaan atau kenegaraan. Kondisi perlu dicermati bahwa perkembangan dunia semakin jauh ke depan. Bahkan pada abad ke-21 ini seluruh negara-negara di dunia berlomba-lomba dengan pola dan gagasannya untuk menciptakan dominasi diantara sesamanya. Upaya ini diperkirakan bakal menimbulkan gesekan yang cukup keras. Konflik masyarakat dunia pun tak bisa dihindari. Dinamika kehidupan mengajarkan kepada kita, jika para pemangku kepentingan besar berhadap-hadapan, maka yang berikutnya adalah konflik. Sejarah dunia telah menyajikan cerita kepada kita yang seperti itu. Di sela-sala kehadiran Islam, terdapat dua kekuatan besar, yakni Romawi dan Persia. Begitu juga pada abad ke-15, dimana Portugis dan Spanyol membagi kekuasaan dunia. Hingga akhir perang dunia II, muncul dua kekuatan besar, yakni blok barat dan blok timur. Perkembangan hari ini dunia dikategorikan dengan predikat negara maju dan negara berkembang berdasarkan klasifikasinya. Begitu pesatnya perkembangan dunia dan penyebaran ideologi, serta berbagai ajaran yang ikut mengeringinya. Begitu juga dengan ajaran Islam yang terus berkembang seiring berjalannya waktu. Interaksi antara ajaran Islam dengan ajaran-ajaran dan paham-paham yang lahir dari para filsuf atau pakar dalam ilmu pengetahuan sering mengalami benturan. Benturan antara ajaran Islam dengan kaum filsuf ini mengakibatkan disharmoni dalam kehidupan. Apalagi konflik tersebut menyerempet masuk kedalam ranah politik hingga kekuasaan negara. Ujung-ujungnya perseteruan akan terjadi antar sesama. Sejarah islam juga pernah mengalami masa kelam, up and down. Dimana pergantian kekuasaan sangat rentan dengan konflik. Banyaknya suku mengakibatkan eskalasi konflik yang semakin meningkat diantara mereka. Namun tidak sedikit harmonisasi agama, budaya dan ilmu pengetahuan yang berkembang selaras dalam lingkungan islam yang berpadu subur dengan umat-umat lain. Lihat saja pada Joel L. Kraemer (2003 : 155) “Abu Zakariyya merupakan penganut Kristen Jacobis yang lahir di Tikrik, dimana tempat tersebut merupakan pusat cendekiawan. Tempat untuk diskusi-diskusi mengenai theologi dan filsafat sering diselenggarkan di Tikrit. Baik itu di kalangan internal kaum Kristen maupun antara kaum Kristen dengan kaum Muslim”. Pada masa tersebut tolerasi Islam sangat tinggi terhadap beragam perbedaan. Artinya, Islam tidak pernah alergi dengan pluralitas dan perbedaan dalam masyarakat. Namun menurut keyakinan kaum muslimin bahwa perbedaan adalah sunnatullah dari sang maha pencipta. Jika diingkari, maka mendurhakai hukum-hukum dalam ajaran Islam. Perbedaan menjadikan kita berpikir lebih jernih dan terbuka untuk menerima realitas yang dihadapi. Tak bisa dipungkiri sikap keyakinan mayoritas kaum beragama terkadang tumbuh bagaikan warna yang hanya hitam dan putih. Sehingga justifikasi yang terjadi pada suatu kelompok atau kejadian hanya benar dan salah yang ada. Tidak selain salah dan benar. Sebagai agama yang mayoritas di Indonesia, Islam memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk dan membangun Indonesia. Hanya saja, benturan yang terjadi belakangan ini menyeret-menyeret ajaran Islam masuk terlalu jauh ke ranah politik praktis dan kekuasaan. Kenyataan ini mengakibatkan dikotomi pemahaman dan partisan menjadi berkepanjangan. Bukannya hal ini menjadi salah di mata umat beragama atau ideologi lain yang saat ini berkembang. Namun terkadang fanatisme buta yang tumbuh secara berlebihan dari kelompok Islam tertentu yang mengakibatkan hubungan harmonis dalam lingkup pergaulan antar kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi tercerai berai. Ajaran islam dihadapkan dengan tantangan-tantangan perkembangan zaman yang sungguh signifikan ini membuat benturan yang tidak terhindarkan. Benturan yang mengakibatkan gesekan terjadi di berbagai belahan dunia. Tidak dipungkiri bahwa kaum muslimin juga menjadi terpojok dan marjinal pada negara-negara tertentu. Pembunuhan, teror dan pengusiran secara besar-besaran pun terjadi sebagai dampak dari beberapa kejadian teror di dunia yang didalangi kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam. Sejak abad 18 masehi, kekuatan Islam mengalami kemunduran dikarenakan ambisi perebuatan kekuasan yang mengakibatkan negeri-negeri Islam dan wilayah Timur Tengah dikuasai bangsa barat. Namun dalam waktu yang bersamaan bangsa-bangsa barat mencapai puncak kekuasaan dan kejayaan, hingga menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi mutakhir. Sejarah mencatat kejadian ini, salah satu penyebab terjadi keruntuhan Islam karena klaim kebenaran kelompok. Sebaliknya, balik menuduh kelompok yang lain salah sehingga konflik menjadi tak terelakkan. Pembangunan stigma negatif tentang Islam bukan saja datang dari orang-orang yang menjadi musuh, melainkan juga datang dari kelompok-kelompok internal islam sendiri. Munculnya sitgma negatif tentang Islam ini diakibatkan karena panatisme yang berlebihan terhadap kelompok. Bukan patantisme kepada ajaran islam itu sendiri. Harusnya perbedaan dalam mazhab menjadi khasanah bagi umat Islam untuk selalu mengingat Allah Subhaanhu Wata’ala. Konflik internal dalam kaum muslimin tidak begitu sengit dan berkepanjangan jika dibandingkan dengan konflik agama Islam dan negara saat ini. Tersiar di seantero penjuru dunia, bahwa Islam menjadi tandingan atas negara-negara dengan prinsip dan keyakinan terkait struktur negara yang berbeda dengan sistem tatanan negara domokrasi hari ini. Sehingga menjadikan Islam dikategorikan sebagai ajaran yang anti perbedaan, atau istilah terkini intoleran. Samuel P. Huntington (1997:89) “demokrasi sangat jarang terdapat di negeri-negeri dimana mayoritas besar pendududknya beragama Islam, Budha atau Konfusius”. Artinya, semua negara-negara Islam sementara bertransformasi menuju sistem demokrasi. Sebagaimana agama kristen protestan dan katolik terdahulu. (bersambung). Penulis adalah Bakal Calon Ketua Umum PB HMI Kongres XXXI Surabaya.

Obrolan Punakawan ke-6, Mengapa Hanya GBHN, Seharusnya?

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Ada perkembangan menarik di tahun 2019/2020, terkait tuntutan “Kaji Ulang Hasil Amandemen UUD 1945” ataupun “Kembali ke UUD 1945 Asli Untuk Disempurnakan Dengan Adendum”. Menarik karena bergulir di masyarakat. Menarik kedua, karena sampai di telinga para wakil rakyat di DPR/MPR. Lebih menarik, karena ada respon dari elite politik setelah para tokoh pergerakan bersama masyarakat menyampaikan aspirasinya di MPR. Namun sayang, responnya setengah hati. Bagaimana tidak setengah hati? Perbincangan di elite politik, kelompok pertama hanya bilang perlunya GBHN. Kelompok kedua, ingin mengembalikan kedudukan MPR tetapi Pilpres tetap dengan Pilpres langsung. Kelompok tiga, ingin MPR dikembalikan seperti sebelum amandemen, tetapi suara ini nyaris tak terdengar. Semua berjalan alot, sehingga berhenti. Umumnya mereka punya kesadaran tenang perlu perencanaan pembangunan yang berkesinambungan. Di dalam UUD 1945 dinamai garis-garis besar daripada haluan negara atau GBHN. Beda dengan sistem presidensial hasil amandemen. Rencana pembangunan dari visi dan misinya Presiden. Sehingga, Presiden selesai menjabat, pergi tak pamit. Tak pula memberi pertanggungjawaban. Ini ngawur. Mereka ada juga yang sadar, bahwa sistem ketatanegaraan kita perlu MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Tetapi mereka kebingungan antara berpikiran pragmatis, partaiku atau golonganku dapat apa? Jarang yang berpikir strategis konseptual dalam kesisteman demi bangsa dan negara. Ujung-ujungnya kebingungan, karena berpikir sektoral. Akibatnya tidak menemukan kata sepakat, alias macet. Kabar tersebut tertangkap di kupingnya para punakawan. Seperti biasa para Punakawan Semar, Gareng (G), Petruk (P) dan Bagong (B) sambil makan singkong goreng dan secangkir kopi sore ngrumpi ngobrol soal-soal negara. G : Romo, jujur saja ya,… negara kita itu demokratis apa nggak sih? B : Romo, pertanyaan Gareng penting. Romo perlu menjawab. Semar : Anak-anakku bocah bagus, jika kalian rajin baca buku pengetahuan pasti ngerti. Kalian hanya baca komik, yo mesti bingung. P : Romo itu aneh, tidak menjawab malah nyindir. Petruk baca di media, sekarang demokrasi mati. Pak Kwiek Kian Gie, begitu juga yang lain, bilang takut jika mengutarakan pendapat yang beda. Padahal masuk era reformasi, maunya negara ini dibikin demokratis. Bagaimana pendapat Romo? Semar : Ngger anakku, demokratis atau tidak, ukurannya macem-macem. Tergantung sing ngomong. Dulu sistem pemerintahan kita ya demokratis. Cuma kata si pengamandemen UUD 1945 dan asing, tidak demokratis karena ada MPR dan Presiden dipilih MPR. Padahal “founding fathers” di Pembukaan UUD 1945 sudah menekankan “Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Berdasar kepada ‘………Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, dan seterusnya. Nilai tersebut ditransformasikan ke dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, ‘Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Sedang di Pasal 6 ayat (2), ‘Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak”. Jadi kurang opo maneh? Negara berkedaulatan rakyat dan di tangan rakyat. Itu ciri negara demokratis. Jadi, negara demokratis kita. Kalau Pilpres oleh MPR, itu kan caranya. Karena ada yang pingin demokrasi liberal seperti Amerika Serikat, kita dibilang tidak demokratis. Padahal, Amerika Serikat saja Pilpres tidak seperti di Indonesia. Beberapa negara yang Kepala Pemerintahan dipegang Perdana Menteri, juga ada yang tidak dipilih langsung rakyat. Setelah Pilpres dipilih rakyat langsung, kita seperti dininabobokan. Bangga dapat nomor sebagai negara demokratis. G : Apa maksud Romo dininabobokan? B : Reng, kamu tahu lagu ninabobok? Karena dipuji sebagai negara demokratis, diantara kita banyak yang terlena. Mata dan hati tertutup, tertidur. Tidak mau mikir, pelaksanaan kedaulatan rakyat yang cocok untuk Indonsia itu sebenarnya seperti apa. Umumnya, jarang yang sadar, bahwa Pilpres dan Pilkada langsung sudah membelah persatuan kita. Mungkin ini maunya asing. Sistem ini ada yang menyukai, utamanya Parpol, karena diuntungkan. Hanya Parpol yang punya hak usung calon Presiden dan Wapres. Tetapi bagi kepentingan bangsa dan negara jelas merugikan, khususnya terhadap Persatuan Indonesia, tidak dihitung. Semar : Seratus untuk Bagong. Cara melaksanakan kedaulatan rakyat yang cocok dengan budaya kita adalah musyawarah perwakilan. Jangan dikira “founding fathers” kita tidak ngerti sistem-sistem barat itu. Bapak bangsa kita ngerti, tetapi tidak milih demokrasi barat, karena bisa merusak budaya kita. Kalian pasti mengamati, sejak ada Pilpres dan Pilkada langsung, sosial budaya kita rusak. Ketidakjujuran dan ketidakadilan menjamur. Orang mudah bohong, memfitnah, mencaci, umbar kebencian, tidak ada toleran, korupsi, dan radikal. Bukan saja rakyat kecil, pejabat dan kelas menangah ke atas pun ikut melakukan. Perpecahan terjadi tidak saja di keluarga, tetapi juga di RT, RW, organisasi-organisasi, masyarakat luas, dan lain-lain. B : Apa yang diomongkan Romo benar. Kondisi sosial budaya kita sebelum Pilpres langsung tidak seperti ini. Padahal Persatuan Indonesia itu sangat penting bagi kehidupan kita. Persatuan yang dibangun susah payah untuk melawan penjajah, sekarang mudah dirusak, akibat salah pilih cara pemilihan Presiden. G : Tapi anehnya, elite politik kok malah berpikir akan mendahulukan bikin GBHN dibanding mencari penyebab rusaknya sosial budaya, dan mancari jalan keluar agar Persatuan Indonesia tidak koyak ya? Semar : Romo juga heran. Untuk apa mendahulukan GBHN, tetapi persatuan terbelah? Pembangunan itu memerlukan persatuan dan stabilitas dalam segala bidang. Makanya cita-cita nasional, “Persatuan” itu nomor dua setelah merdeka. Mestinya cara berpikirnya tidak sepotong-potong, tetapi harus komprehensif dan integral dalam sebuah sistem. G, P, B : Haa… apa itu Romo? Nalarnya bagaimana? Semar : Gampangnya begini tole anakku. Kalian kalau mau mendirikan rumah kan bikin podasi dulu. Nah, ketika kita akan mendirikan negara Indonesia merdeka, para “founding fathers” pertama-tama juga mencari, menyusun atau membuat pondasi negara yang disebut “Dasar Negara”. Romo tidak akan ngulangi prosesnya ya. Kalian sudah ngerti bukan? B : Betul. Bagong ingat, Romo pernah cerita. Bagong juga baca beberapa literatur yang memberikan penjelasan, nilai-nilai dalam Pancasila itu bersumber dari budaya bangsa. Buku tulisan Yudi Latif : “Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila”. Juga buku Prof. Dr. H. Kaelan, M.S. : “Filsafat Hukum Pancasila dan Semiotika Hukum Pancasila” dan bukunya Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari : “Rekonstruksi Tradisi Bernegara Dalam UUD 1945” memberikan gambaran yang jelas tentang Pancasila. Semar : Wouuw… kamu hebat Bagong. Romo ngaku kalah. Mata Romo sudah tak tahan baca. B : He he he…. Tetapi lanjutannya Romo saja. Semar : Baik tole anakku. Setelah dasar negara Pancasila disepakati, selanjutnya nyusun Hukum Dasar atau Undang-Undang Dasar, yang dikenal dengan UUD 1945. Nah, pasal-pasal UUD 1945 itu merupakan jabaran dari nilai-nilai Dasar Negara, Pancasila yang ada di Pembukaan UUD 1945. Kalau Bung Karno mengenalkan Sila keempat Pancasila sebagai Demokrasinya Indonesia, maka pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar ya harus ngikuti nilai-nilai tersebut bukan? Coba bayangkan, kalian bikin rumah dengan pondasi gaya Betawi. Tetapi di atasnya kalian bangun gaya Spanyolan, bisa nggak? Kuat nggak? Tentu mudah roboh karena arsitektur bangunan beda dengan pondasinya. G, B, P : Ha ha ha… karena Romo tidak punya gelar profesor doktor, njelasinya ya gaya Warung Tegal. Lugas, gamblang, murah dan kenyang. Romo tidak pakai istilah demokrasi barat, demokrasi liberal, “one man one vote” yang invidualistis, sehingga gamping bangiit, saya menerimanya. Semar : Kalau GBHN disusun MPR, berarti perlu legalitas. Padahal MPR saat ini tidak punya produk hukum lagi. Ketetapan MPR sudah tidak ada lagi. Agar Presiden tunduk untuk melaksanakan GBHN dari MPR, berarti Presiden harus “Mandataris MPR”. Padahal Parpol masih suka Pilpres dipilih langsung rakyat, jadi mana mungkin? Belum lagi soal siapa anggota MPR saat ini. Anggota DPR plus DPD, nyaris orang-orang Parpol semua. Semua anggota melalui pemilihan yang sarat dengan “money politic”. Tidak ada Utusan Golongan dan Utusan Daerah sebagaimana ciptaan “founding fathers”. Sehingga keterwakilan rakyat tidak tampak. MPR bukan lagi sebagai representasi rakyat Indonesia. Dengan demikian, jika sistem masih menggunakan demokrasi liberal, maka yang kuat itu yang menang. Pemilik modal atau kapitalis yang menang. Tidak menutup kemungkinan para konseptor GBHN adalah jago-jagonya kaum kapitalis. Mereka akan leluasa mendikte, pembangunan apa yang mereka inginkan. Karena mereka sudah menguasai lahan dan tambang (misalnya). Mereka bisa saja mendikte untuk memindahkan Ibu kota Negara, Propinsi ataupun Kabupaten. Mereka bisa mendikte memindahkan ataupun membuat lapangan terbang dan pelabuhan yang bisa mendukung kepentingannya. Semua tersusun dalam GBHN dengan argumentasi yang cantik, sehingga bisa diterima, walaupun tentu ada yang mengkritisi. Tetapi apalah artinya kritik, jika sistem sudah dikuasai pemilik modal. Apalah artinya GBHN yang disusun MPR itu, jika Presiden bukan Mandataris MPR. Apakah akan dipaksakan? Pemaksaan Presiden yang bukan Mandataris MPR untuk melaksanakan GBHN produk MPR, jelas itu penyimpangan dari pemahaman Presidensial, dimana Presiden dipilih rakyat langsung. Dalam sistem Presdiensial, pembangunan didasarkan visi dan misinya Presiden, walaupun hanya dipilih 50 % plus 1 orang. B : Waduh… apakah yang disampaikan Romo tersebut yang akhirnya angin sepoi-sepoi MPR akan bikin GBHN maju mundur, terus macet? Semar : Bagong anakku cah bagus, Romo ora ngerti opo sebabnya. Penjelasan Romo tadi, pendapat Romo saja. Romo hanya ingin membandingkan dengan pemikirannya “founding fathers” yang runtut seperti ini. Setelah Dasar Negara ditetapkan, nilai-nilainya melandasi sistem ketatanegaraan ke dalam pasal-pasal UUD 1945. Kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR (Ps. 1 ayat 2). Siapa MPR? MPR representasi rakyat Indonesia, anggotanya diatur (Ps.2 ayat 1). Bagaimana rakyat bisa menyalurkan keinginan membangun negara untuk kesejahteraan? MPR diberi kewenangan menetapkan GBHN (Ps. 3). GBHN tentu ada yang menjalankan. Siapa? Ya Presiden. Dalam “Sistem Pemerintahan Negara” ditentukan Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di bawahnya MPR. Kemudian dalam “Kekuasaan Pemerintahan Negara”, kekuasaan dan kewenangan Presiden, cara pemilihan Presiden, semua diatur dalam Pasal 4, 5, dan 6 UUD 1945. Inilah yang disebut dengan “Sistem Pemerintahan Sendiri” atau Sistem Pemerintahan MPR. Prijanto dari Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) lebih suka menyebut dengan Sistem Pemerintahan Pancasila. Mengapa, karena dilandasi nilai-nilai Pancasila. Negara lain memakai sistem Parlementer, Presidensial atau kombinasi keduanya, silakan saja. Kita harus bangga dengan milik dan cara sendiri. Baca : (https://rmol.id/read/2021/02/06/473938/menepis-pendapat-amien-rais-bagian-6-soal-presiden-memegang-kekuasaan-membentuk-undang-undang) (Google) B : Romo hebat. Rasa nasionalisme Romo seperti “founding fathers”. Saat ini, sulit dicari tandingannya. Lanjutken Romo. Semar : Sehingga pertanyaan kritisnya “Mengapa hanya GBHN yang dipikirkan”? Konon kata petinggi Parpol, masalah Pilpres secara langsung tunda dulu. Ini kan pikiran yang sifatnya sektoral. Apa karena Pilpres secara langsung memberi kenikmatan Parpol, sehingga ditunda dan dibiarkan? Padahal Pilpres secara langsung merusak Persatuan Indonesia. Seharusnya semua berpikir komprehensif dan integral. Tinggalkan kepentingan kelompok dan golongan, menatap ke depan demi bangsa dan negara. Persatuan Indonesia adalah utama, GBHN dari MPR sangat diperlukan, Presiden sebagai Mandataris MPR agar bisa melaksanakan amanat GBHN syarat utama. G : Sore ini Romo panjang banget ceritanya. Biasanya kalau ditulis paling 900-an kata. Tetapi sore ini lebih dari 1600 kata. G, P, B : Terima kasih Romo atas penjelasannya. Semar : Romo juga terima kasih, kalian mau mendengarkan. Semoga ngerti dan bermanfaat. Insya Allah, aamiin. Penulis adalah Aster Kasad 2006-2007/Wagub DKI 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Pemerintahan Jokowi Semakin Lemah?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN- Meski sulit mempercayai begitu saja ucapan Presiden, namun ada fenomena yang ada patut mendapat pencermatan. Dua hal yang menarik pernyataan dari pemerintahan Presiden Jokowi belakangan ini. Pertama, permintaan agar masyarakat banyak melakukan kritik yang keras kepada pemerintah. Kedua, pengusulan agar dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Informatika dan Tekonologi Elektronik (ITE) Nomor 11 Tahun 2008. Rupanya Presiden kalayu sadar bahwa UU ITE telah banyak ditafsirkan salah oleh aparat penegak hukum di lapangan. Polisi asal main tangkap, dan menetapkan orang sebagai tersangka. Urusan benar-salah, itu belakangan. Yang penting tangkap, tangkap dan tangkap saja dulu. Itu terlihat pada penangkapan disertai penetapan tersangka kepada Dr. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Dr. Anton Permana, Ustazah Kingkin dan kawan-kawan. Membuka pintu kritik dan revisi UU ITE positifnya adalah terjadi proses demokratisasi yang meluas di masyarakat. Namun yang masih menjadi pertanyaan besar adalah, apakah kenyataan ini sebagai pertanda paradigma baru bahwa kepemimpinan Presiden Jokowi yang percaya diri dan semakin kuat? Atau hanya cermin bahwa Pemerintah semakin lemah ? Sejak menjabat Presiden untuk periode kedua, situasi ekonomi dan politik terasa semakin berat. Penanganan seperti tak terarah. Apa yang dirasakan dan menjadi kegelisahan rakyat selalu dicoba untuk ditutupi. Pandemi Covid 19 berefek pada hutang yang semakin membengkak, investasi mandeg, serta pertumbuhan ekonomi yang negatif. Kasus Habib Rizieq Shuhab (HRS) dan Front Pembela Islam (FPI) yang berujung pada tuduhan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Demikian juga dengan penahanan terhadap para tokoh dan aktivis yang bernuansa politik. UU ITE menjadi alasan atas pelanggarannya. Namun korupsi terus terkuak. Mulai dari Jiwasraya, Asabri, BPJS Tenaga Kerja hingga Bantuan Sosial (Bansos) Covid 19. Desakan untuk mundur serta pemakzulan akibat ketidakmampuan melaksanakan teta kelola negara yang baik dan benar menjadi wacana dan tuntutan publik. Sementara Presiden nampak terus kesulitan memacu kerja dan mengendalikan kabinetnya. Para menteri anggota kabinet seolah-olah berjalan sendiri-sendiri tanpa visi yang jelas. Apalagi prestasi segala. “Jauh panggang dari api”, kata orang tua-tua dari kampung-kapung. Pemborosan dan kebocoran keuangan terjadi hampir di semua anggaran Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Deparetemen. Sehingga membuka pintu kritik yang dilempar Presiden tanpa dibarengi oleh pembebasan tahanan politik adalah omong kosong semata. Hanya janji, seperti janji-janji lain, yang tidak bisa direalisasikan Presiden Jokowi. Revisi terhadap UU ITE pun ditanggapi beragam. Ada yang setuju ada pula yang mendorong dicabut saja. UU ITE dinilai sama dengan UU Anti Subversi. Di tengah pengelolaan negara yang semakin berantakan, maka sikap akomodatif pada aspirasi rakyat adalah suatu keniscayaan. Pilihan ini hanya untuk menopang langkah Pemerintah terlihat yang semakin melemah dari hari ke hari. Sebaliknya, jika kritik dan revisi terhadap UU ITE hanya merupakan permainan politik, maka langkah lemah itu justru akan menambah goyahnya pemerintahan. Sehingga akhirnya ambruk tak bisa tertolong. Butuh pembuktian dan itikad baik. Caranya dengan membuka pintu kritik dan revisi UU ITE adalah langkah serius untuk melanjutkan dengan demokratis lain, seperti pembebasan aktivis yang kritis. Begitu juga dengan perubahan kinerja aparat penegak hukum ke arah yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Tanpa ada langkah demokratis lanjutan, maka membuka pintu kritik dan revisi UU ITE hanya merupakan bualan politik dan sandiwara babak berikutnya saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Jokowi Lengser Sebelum 2024, “Bangsa Selamat”

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Pengukuhan politik dinasti, dengan dugaan kuat kalau Gibran dicanangkan untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Ini rute perjalanan sebagaimana yang dilalui sang ayah dahulu Joko Widodo dulu. Kenyataan ini telah mengakibatkan pemaksaan dengan tekanan sana-sini kepada partai politik agar Pilkada serentak dilaksanakan tahun 2024. Mayoritas partai politik juga diperkirakan sudah terbeli secara politik untuk menyetujui penggagalan revisi UU Pemilu. Padalal semula hampir semua partai politik di DPR sepakat untuk merevisi undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Hanya PDIP yang memberikan catatatan semacam penolakan. Namun belakangan setelah operasi Jokowi, partai politik koalisi penguasa balik badan. Yang paling ditakuti Gibran dan juga kandidat lain untuk Pilgub DKI adalah Anies Baswedan. Karenanya mutlak harus tidak ikut sebagai kontestan. Jika Pilgub dilaksanakan tahun 2022, sesuai rencana awal revisi, maka dipastikan Anies akan bertarung dalam Pilgub 2022 dan diprediksi menang dengan mudah. Gibran kehilangan harapan dan cita-cita. Dengan upaya Jokowi untuk mengatur pelaksanaan Pilgub pada tahun 2024, dipastikan Anies hanya akan bertarung untuk Pilpres saja. Sementara lawan Gibran di Pilgub DKI relatif bisa diatur sebagaimana dalam Pilwalkot Solo yang lalu. Gibran dirancang sebagai Gubernur DKI dan bersiap-siap untuk maju secagai Pilpres pada 2029 nanti. Skenario kepentingan politik dinasti ini memungkinkan Pemilu 2024 akan berujung kacau atas beberapa alasan. Pertama, tingkat kesulitan akan jauh lebih berat dibanding Pemilu 2019. Pada gabungan Pilpres dengan Pileg saja korban tewas mencapai 849 orang. Lalu, apa yang terjadi dengan gabungan Pilpres, Pileg, dan Pilkada? Korban akan semakin besar. Berapa banyak lagi anak bangsa yang menjadi petugas KPPS yang mau dikorbankan untuk merealisakan ambisi politik dinasti? Kedua, motif untuk menggoalkan Gibran Rakabuming Bin Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta akan menghadapi perlawanan publik yang keras. Jauh lebih berat dibandingkan dengan rekayasa sukses Pilwalkot Solo kemarin. Gibran bukan tokoh politik yang alami. Sebaliknya, Gibran dikarbitkan untuk menjadi Gubernur Jakarta. Hati-hati, ini Jakarta mas! Ketiga, Pilpres dengan Presidential Treshold 20 % menyebabkan polarisasi bakalan tajam kembali. Pilgub DKI dan Pilkada lain pasti juga sangat seru. Gabungannya bisa saja berdarah-darah. Diprediksi bakal menjadi Pemilu yang paling brutal dalam sejarah sejak Indonesia merdeka. Sementara Jokowi sebagai pengendali dalam posisi yang tidak ajeg akibat babak belur bertahan sampai 2024. Keempat, indikasi terjadi kecurangan pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 yang menghasilkan Jokowi sebagai Presiden merupakan pengalaman buruk. Pada Pilpres, Pileg, dan Pilkada 2024 dibawah kendali kepemimpinan Jokowi, maka sukses curang diperkirakan dapat terulang kembali. Reaksi atas perulangan kecurangan dipredisi lebih gigih dan kuat. Pemilu 2024 yang didasarkan pada niat buruk, akan menjadi Pemilu yang bukan saja paling kacau. Tetapi juga paling brutal, dan paling curang dalam sejarah. Bukan demokrasi yang ditampilkan kepada rakyat, tetapi mobokrasi. Para gerombolan yang bertarung dan saling memangsa satu sama lain. Akiabtnya, kekacauan siatuasi poliitk nasional tidak bisa dihindarkan. Semua kondisi buruk Pemilu 2024 dapat terelakkan, jika Pemerintahan Jokowi lengser sebelum tahun 2024. Jokowi mengundurkan diri atau dimakzulkan secara konstitusional, maka selamatlah bangsa Indonesia. Ayo, selamatkan bangsa dan negara dari kemungkinan keterpurukan akibat kuatnya syahwat ambisi politik dinasti. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pak Jokowi Minta Dikritik, Hipokrisi Dalam Demokrasi?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Dalam sambutan di acara Ombudsman, Presiden Jokowi berpidato yang terlihat hebat dan mantap. Diantaranya Presiden Jokowi meminta masyarakat untuk memberi masukan dan aktif mengkritik pemerintah. Sikap yang sangat luar biasa dalam menghadapi perbedaan pendapat dengan masyarakat, terutama kalangan oposisi civil society dan pers. Permintaan tersebut ditanggapi masyarakat beragam. Sayangnya, lebih banyak yang bersikap sinis daripada bahagia. Angin politik sepoi-sepoi ini membuat mata terbelalak. Bak mimpi di siang bolong. Bukan terkejut, tetapi tak percaya. Bahkan senyum sambil tertawa kecil. Apakah gerangan yang main dimainkan lagi oleh Presiden kita ini? Mantan Wakil Presdien (Wapres) Jusuf Kalla (JK) mempertanyakan bagaimana caranya mengkritik itu tanpa ditangkap oleh polisi. Sebab terlihat Jokowi seolah-oleh membuka pintu untuk dikritik. Tetapi tombak penjara siap menancap di dada bagi mereka yang masuk dari pintu yang terbuka. Sebab tidak sesuai antara yang diomongin dengan kenyataan yang terjadi. Sejumlah tokoh oposisi yang berbeda pendapat dengan pemerintah masih mendekam di dalam penjara. Tecatat Habib Rizieq Shihab (HRS), Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Ustazah Kingkin, Gus Nur dan lain-lain telah lebih dulu ditahan polisi. Bahkan Ustadz Maheer sampai-sampai meninggal di dalam Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Hanya berselang beberapa sebelum atau sesudah himbauan agar pemerintah dikritik dengan keras, lima mantan pengurus Front Pembela Islam (FPI) kembali ditahan penguasa. Penahanan dengan delik yang sangat ece-ece, yaitu pelanggaran Protokol Kesehatan (Prokes). Makanya, pertanyan Pak Jusuf Kalla itu sebenarnya sebagai sindiran terhadap orang yang paling tau prilaku Pak Jokowi yang tidak seiya sekata. Dulu Pak Jokowi juga mengatakan rindu untuk didemo. Jejak digitalnya masih ada sampai kini. Tetapi ujungnya pendemo babak belur, ditangkap, bahkan tewas ditembak oleh aparat. Wajar saja kalau masyarakat skeptis dengan pemintaan Pak Jokowi agar pemerintah dikritik dengan keras itu. Tentu ada tiga skenario dari permintaan Jokowi untuk dikritik tersebut. Pertama, memang Jokowi dan lingkaran elit telah sadar bahwa tanpa kritik, kehidupan demokrasi bergeser menjadi otokrasi. Itu berarti tercatat dalam sejarah, bahwa di eranya pemerintahan Jokowi, telah mengingkari amanat Konstitusi. Meskipun demikian, masih lebih baik terlambat diperbaiki, daripada tidak sama-sekali. Better late than never. Kedua, pemeritahan Jokowi terpaksa membuka pintu kritik, karena putus asa menghadapi kenyataan ketidakmampuan dalam mengelola negara dengan baik dan benar. Masalah kesehatan, ekonomi, hukum, dan politik hancur-berantakan tak terkendali. Masih terbuka sedikit celah untuk meminta maaf kepada publik, ya hanya dengan terpaksa membuka pintu kritik. Ketiga, nah ini yang paling banyak diduga masyarakat. Kritik memang dibuka luas dan lebar. Tetapi setelah itu dibungkam dengan masif. Merujuk pada cara Presiden diktator Uganda Idi Amin yang menyatakan “menjamin kebebasan berbicara, tetapi tidak menjamin kebebasan setelah bicara”. Prilaku yang mirip sama juga dilakukan oleh pemimpin Cina Mao Zedong. Mao Zedong menyatakan “membiarkan bunga mekar, setelah itu bunga semua dipetik. Para pengeritik terhadap kekuasaan Mao zedong dibantai habis setelah diberi kebebasan untuk mengkritiknya. Semoga pengalaman buruk pada Idi Amin dan Mao Zedong tidak terjadi di Indonesia. Makanya tidak berlebihan bila Pak Jusuf Kalla mengingatkan agar tanya lagi “bagaimana caranya agar tidak dipanggil polisi”? Skenario Ketiga inilah yang paling dikhawatirkan rakyat. Berangkat dari ketidakpercayaan terhadap janji-janji kampanye dan juga kinerja Pak Jokowi. Apalagi Jokowi dikenal sebagai Presiden yang inkonsisten. Mencla-mencle sebutannya. Pidato Jokowi dianggap hanya main-main. Karena di bawah mimbar pidato itu masih ada dua anjing galak yang terus menggonggong, yakni buzzer dan UU ITE. Pada sisi lain, paradigma Polisi belum berubah untuk reformasi kultural. Masih seperti tentara di eranya Orde Baru 32 tahun lalu. Polisi masih menjadi alat pemerintah. Bukan sebagai bukan alat negara. Artinya, penegakan hukum dapat dimanfaatkan sebagai alat pemenuhan keinginan politik pragmatik. Digunakan untuk menekan dan menghukum lawan-lawan politik semata. Jadi permintaan untuk aktif kritik, dan masukan sebagaimana diungkapkan Jokowi di acara Ombudsman dinilai bertendensi untuk memproteksi. Sepanjang masih banyak tokoh dan aktivis dipersekusi dan berada dalam jeruji besi, undang undang pengancam terus unjuk gigi, serta aparat yang gemar dan hobby mengeksekusi, maka permintaan untuk dikritik tetap menjadi sebuah hipokrisi dalam demokrasi. Rakyat menuntut bukti dan tidak butuh basa basi. Sebaiknya jangan tebarkan PHP lalgi. Toh, sudah terlalu banyak janji-janji kampanye yang tidak tersealisasi. Pagi tempe, sore dele. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Din Syamsuddin Penggagas Konsep “Darul Ahdi Was Syahadah”

by M. Hatta Taliwang Jakarta FNN - Hubungan saya dengan Prof. Din Syamsuddin sudah lama, sehingga saya punya catatan panjang tentang sosok ini. Tak elok saya ceritakan detail. Saya memang satu daerah dengannya, dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Jadi, saya banyak tahu riwayatnya sejak muda hingga sekarang. Tetapi tak ingin menceritakan hal-hal yang khusus. Saya hanya ingin ikut menjawab tuduhan terhadap Prof Din Syamsuddin yang dituduh radikal-radikul. Sepertinya pelapor Prof. Din Syamsuddin yang mengatasnamakan Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ke Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) tidak memahami makna radikal dan radikalisme. Mungkin juga karena kurang baca berita di koran, televisi, atau media online. Sebab Prof. Din Syamsuddin justeru merupakan tokoh Islam yang sangat moderat. Prof Din Syamsuddin adalah penggagas konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Negara Kesaksian). Konsep ini kemudian disepakati oleh Muktamar Muhammadiyah tahun 2015 sebagai pedoman umat Islam untk mengisi Negara Pancasila. Gagasan ini dipidatokan kembali di Gedung MPR pada tanggal 1 Juni 2012 atas undangan Ketua MPR Taufik Kiemas. Pandangan yang sama dipidatokan Prof. Din Syamsudin lagi di Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir pada konperensi internasional tentang pembaharuan pemikiran Islam. Prof. Din Syamsuddin dikenal sering menghimpun para tokoh lintas agama dan berbagai elemen kemajemukan bangsa untuk kerukunan dan kebersamaan. Saya sering diundang pada diskusi yang menghadirkan berbagai tokoh lintas agama. Dalam kaitan ini, Prof. Din Syamsudin juga memprakarsai pembentukan Inter Religious Council (IRC) Indonesia, dan menyelenggarakan Musyawarah Besar Pemuka Agama-Agama untuk kerukunan bangsa yg melahirkan berbagai kesepakatan penting. Prof. Din Syamsuddin dikenal sebagai tokoh perdamaian dunia. Antara lain dibuktikan memprakarsai Pertemuan Puncak Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia tentang Wasatiyat Islam (Islam Jalan Tengah). Pertemuan yg menghasilkan Pesan Bogor ini sangat penting utk mengarus dan mengutamakan Jalan Tengah dalam beragama. Lewat lembaga yg dipimpin Prof. Din Syamsuddin, yaitu Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations, menyelenggarakan World Peace Forum tujuh kali, sejak 2006 sampai dengan 2018. Forum yang menghadirkan para tokoh dari berbagai negara. Yang terakhir mengangkat tema The Middle Path for The World Civilization, yang antara lain mempromosikan Pancasila untuk menjadi ideologi dunia. Selanjutnya Prof. Din Syamsudin aktif dalam dialog antar agama dan peradaban. Bahkan sampai dengan sekarang menjadi President of Asian Conference on Religions for Peace(ACRP) yang berpusat di Tokyo Jepang. Jugad Co-President of Religions for Peace International yang berpusat di New York Amerika. Dalam kapasitas ini, Prof Din Syamsuddin diundang berpidato di PBB mewakili Islam dalam rangka World Interfaith Harmony Week. Selaiun itu, Prof. Din Syamsudin diundang untuk bverpidato pada konpererensi Organisasi Katholik Dunia di Assisi, yang dihadiri Paus Fransiscus. Juga berpidato pada General Assembly World Jewish Congress di Buddapest. Minggu lalu menjadi pembicara pada Perayaan Hari Persaudaraan Sedunia yg diadakan oleh The Higher Committee for Humanity Fraternity. Masih banyak lagi forum internasional yang dihadirinya, sehingga banyak menerima penghargaan dari beberapa negara. Sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah selama dua periode berturut-turut, sejak tahun 2005-2015. Ketua Umum Mejelis Ulama Indonedsia (MUI) tahun 2014-2015), dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI tahun 2015-2020. Prof. Din Syamsuddin dikenal sebagai tokoh Muslim moderat seperti wawasan keagamaan Muhammadiyah. Tentu sebagai tokoh Islam dan akademisi, Prof. Din Syamsuddin sangat concerned membela kebenaran dan keadilan. Maka beliau tidak segan-segan mengeritik penyimpangan dan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945, yang diyakininya sebagai amar ma'ruf nahyi munkar. Sangat terkenal dan konsisten dengan sikap yang demikian. Bagi yang memahami dunia akademik dan pergerakan Islam, memahamai radikalisme secara benar, maka tidak akan ceroboh menuduh Prof. Din Syamsuddin radikal. Kritis atas kebijakan pemerintah dengan data dan fakta obyektif yang disajikan tidaklah memadai untuk menjadikan itu sebagai hal yang radikal. Apalagi jika dikaitkan dangan prinsip demokrasi dan UUD45 yang memberi tempat untuk mengemukkan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab. Prof. Din dalam berbagai percakapan dengan kami, sering mengatakan sudah selesai dengan urusan dunia. Sehingga hemat kami, Prof Din dipecat dari ASN dan berhenti mengajar di FISIP UIN Jakarta tidak akan menjadi masalah baginya. Kami yakin banyak Universitas Swasta di dalam dan luar negeri akan menawarkan posisi sebagai dosen untuk Prof. Din Syamsuddin. Dugaan kami justru FISIP UIN Jakarta akan rugi karena Prof. Din Syamsuddin adalah satu-satunya Guru Besar di Prodi Hubungan Internasional saat ini. Sehingga tidak etis jika ada sekelompok alumni sebuah Perguruan Tinggi yang mengadukan dosen atau Guru Besar Perguruan Tinggi lain atas alasan yang mengada-ada, tak proporsional dan absurd, misled and misleading. Bisa saja orang luar ada yang berspekulasi dan berasumsi, apakah ulah kelompok ini merupakan bagian dari operasi intelijen atau kerja dari buzzer bayaran? Atau mereka disponsori oleh pihak yang diketahui tidak menyukai Prof. Din Syamsuddin berada di Majelis Wali Amanat (MWA) ITB sebagai penjelmaan pertarungan aliran keagamaan dan politik di lingkungan kampus? Dugaan kami, perlakuan tidak adil terhadap Prof Din Syamsudin dengan mendongkelnya dari ASN, justru menguntungkan kelompok oposisi. Sebab akan membuat Prof Din Syamsuddin lebih bebas dan leluasa menggerakkan kelompok oposisi menghadapi kezaliman penguasa. Penulis adalah Direktur Eksekutif Institut Soekarno Hatta.