NASIONAL

Oligarki Dan Demokrasi Anti Klimaks

by Tamsil Linrung Jakrta FFN- Demokrasi bisa naik, bisa juga turun. Bergantung pada banyak faktor. Musabab paling pokok adalah karakter dan gaya kepemimpinan. Bila pemimpinnya dzolim, demokrasi akan mati namun dibedaki seolah-olah demokrasi hidup. Membahas demokrasi Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari sudut pandang kepemimpinan Presiden Jokowi. Namun sayangnya, di bawah kepemimpinan beliau, Indonesia tak cuma paceklik ekonomi, tetapi juga resesi demokrasi. Indeks demokrasi terburuk selama reformasi. Oligarki tumbuh sehat. Dinasti politik bahkan dimulai dari diri presiden sendiri. Anak dan menantu diberi ruang menjadi kepala daerah dari negara yang dipimpin oleh ayah dan mertua. Ini adalah sejarah pertama di Indonesia sekaligus cermin paling buruk dinamika demokrasi kita. Berlimpah ruah argumentasi demokratis yang dapat diajukan menjadi pembela. Tetapi, seorang negarawan sejati tak akan pernah membiarkan keluarganya duduk dalam tahta kepemimpinan daerah dari negeri yang dipimpinnya, karena berpotensi mengundang kontroversi, cemoohan dan persepsi buruk dari rakyat. Oligarki adalah musuh biadab demokrasi. Bukan hanya Covid-19, wabah oligarki juga menjadi pandemi dalam konteks politik Indonesia hari ini. Kemasan setiap pengambilan keputusan selalu dipoles seolah-olah demokratis. Tetapi esensinya tetaplah memperkuat oligarki. Politik turun-temurun adalah bagian dari wajah oligarki yang mencengkeram Indonesia hari-hari ini. Wajah politik turun temurun terlihat sejak awal pemerintahan periode kedua, selain dari terang benderangnya politik dinasti yang dipertontonkan di hadapan kita. Publik bisa meraba relasi oligarki kekuasaan dan politik turun temurun itu. Nikmat oligarki bahkan sempat menggelontorkan wacana amandemen UUD 1945 terkait Presiden tiga Periode. Saat itu, banyak yang bertanya-tanya, lompatan besar apa yang telah dilakukan sehingga wacana presiden tiga perode dimunculkan? Kolumnis produktif Tony Rasyid sempat mengulas berkali-kali tentang wacana yang sulit dijangkau akal sehat ini. Pertanyaan tersebut harus selalu diajukan agar fokus perhatian kita selalu berpulang kepada substansi. Kita tahu, sebagian dilema demokrasi Indonesia hari ini adalah fenomena buzzer politik. Siapa pun yang mengkritisi kebijakan pemerintah, buzzer selalu siap membela. Bila ada persoalan serius atau blunder politik, buzzer dengan cekatan mengalihkan perhatian publik. Anti Klimaks Indonesia punya catatan demokrasi yang panjang. Ada klimaks, ada anti klimaks. Hari ini kita berada pada ruang demokrasi anti klimaks. Anti klimaks itu ditandai oleh indeks demokrasi Indonesia yang semakin turun. The Economist Intelligence Unite menempatkan index demokrasi Indonesia pada rangking 64 dunia. Menjadi pencapain terburuk selama 14 tahun terakhir. Kita bahkan berada di bawah Malaysia dan Timor Leste, negara baru pecahan Indonesia. Penurunan index demokrasi tersebut terjadi seiring dengan menguatnya oligarki. Itu karena karena dua hal. Pertama, karena politik kita berbiaya mahal. Pemilihan Presiden ditengarai beberapa pihak mencapai triliunan rupiah. Angka ini fantastis dan sulit, bahkan mustahil dipenuhi oleh kandidat secara mandiri. Maka kandidat Pilpres berjejaring dengan para pengusaha, sehingga menjadi cikal bakal terbentuknya oligarki. Kedua, adanya Presidential Threshold (PT). Selain mengerdilkan demokrasi, juga menjadi sumber petaka oligarki. Untuk mengusung calon presiden, partai politik sejak awal harus bersekutu demi memenuhi ambang batas pencalonan. Padahal, ambang batas tak lebih dari keengganan partai politik besar memunculkan figur-figur alternatif dalam kontestasi Pilpres. Sebagai akibat dari fenomena itu adalah melemahnya kekuatan oposisi. Kita tahu, oposisi adalah nyawa demokrasi. Partai politik yang hari ini nyatanyata beroposisi terhadap pemerintah hanya Partai Keadilan Sejahtera. Dalam beberapa sikap, juga Partai Demokrat. Sementara rekonsiliasi politik yang beraroma elitis hanya menambah daftar panjang kuasa oligarki politik. Oligarki harus dilawan. Tidak boleh dibiarkan tumbuh subur, menjadi kanker ganas yang bisa menggerogoti demokrasi. Sebab, oligarki mereduksi partisipasi politik dan kedaulatan rakyat yang secara keseluruhan berujung pada tumbuhnya sikap anti demokrasi. Celakanya, sikap anti demokratis tersebut dapat merembes pada rakyat kebanyakan. Karena oligarki cenderung mengandalkan kekuatan finansial, suara rakyat dikalkulasi dalam nominal rupiah. Rakyat dididik melihat pesta demokrasi sebagai musim amplop. Rakyat hanya dibutuhkan sebagai stempel demokrasi semata. Usai memperoleh suara rakyat, pemerintahan yang tersandera oligarki cenderung tak memusatkan pikiran pada kesejahteraan mereka. Sebaliknya, oligarki justru memaksakan kehendak dengan produk-produk kebijakan yang menguntungkan investor. Salah satunya bisa kita lihat pada pengesahan UU Cipta Kerja yang mendapat pertentangan dari masyarakat kelas menengah dan buruh. Sebagai buntut UU yang ditengarai pro-investor tersebut, baru-baru ini lahir Peraturan Presiden nomor 10 Tahun 2021 yang memberikan izin investasi minuman keras di empat provinsi di Indonesia. Kebijakan tersebut seperti kacamata kuda. Hanya berfokus pada investor dengan harapan bisa mengatrol ekonomi bangsa yang sedang sulit. Tanpa mengaca kepada karakter umum manusia Indonesia secara umum. Beruntung, kebijakan ini lalu dianulir setelah mendapat respon keras sejumlah kalangan. Keberpihakan kepada pemilik modal pastilah semakin memperlebar jurang kesenjangan sosial. Laporan Bank Dunia menyebut sebanyak 10% orang kaya Indonesia memiliki 77% seluruh kekayaan negara. Sementara berdasarkan laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TP2K, Oktober 2019) menunjukkan bahwa 1% orang di Indonesia bisa menguasai 50% aset nasional. Jika dinaikkan jadi 10% keluarga maka ini menguasai 70%. Artinya sisanya 90% penduduk memperebutkan 30% kekayaan yang tersisa. Dilema DPD RI Oligarki menjadi kian sempurna ketika lembaga legislatf sebagai pengawas pemerintahan menjadi bagian dari oligarki. Faktanya, partai-partai politik saat ini sebagian besar merupakan pendukung pemerintah. Kenyataan ini sangat menghawatirkan masa depan demokrasi. DPD RI sendiri, dalam posisinya yang lemah menjadi serba dilematis. Kita tahu, fungsi dan kewenangan DPD RI sangat terbatas. Jangankan menyuarakan aspirasi rakyat, untuk dapat menyuarakan kepentingan DPD sendiri, terkadang masih menemui kendala. Sejumlah kalangan bahkan menyebut lembaga ini sebagai anak tiri senayan. Padahal, dalam konteks perlawanan terhadap oligarki, DPD RI punya nilai lebih. Pertama, wakil-wakil rayat yang duduk di lembaga ini bukan representasi partai politik dan oleh karena itu, sepak terjangnya relatif aman dari kepentingan partai dan oligarki. Kedua, memiliki legitimasi yang sangat kuat karena anggotanya dipilih langsung oleh rakyat provinsi yang diwakilinya. Tetapi tentu, DPD RI bukan berarti tidak dapat berbuat apa-apa. Banyak yang telah dilakukan. Hanya, dalam konteks mengurai benang kusut oligarki, upaya yang dilakukan menemui kendala ketika belum apa-apa sudah dipandang sebelah mata. Untuk mengefektifkan dirinya, sebagian Anggota DPD bersuara melalui kanal-kanal publik, baik melalui webinar, melalui tulisan di media massa, menggalang civil society, dan lain-lain. Hal pertama dan paling utama dijaga tentulah terlebih dahulu menjauh dari pusaran oligarki. Pemerintahan harus dikritisi secara proprsional, agar tidak terlalu jauh keluar dari jalur yang semestinya. Terlebih, berbagai persoalan sosial politik akhir-akhir ini merebak sebagai rangkaian sistem politik yang memihak oligarki, seperti praktik korupsi, pelanggaran Hak Asasi manusia HAM, dan lain-lain. Sementara itu, masyarakat dibuat saling menegasi pada aneka persoalan yang menjauhkan pikiran mereka dari peromlematika bangsa sesungguhnya. Reformasi lambat laun disandera oligarki dan secara langsung mengamputasi demokrasi. Bila tidak ada komitmen kuat dari kita semua, oligarki akan semakin menguat dan mencengkeram sendi-sendiri demokrasi kita hingga lumpuh tak berdaya. Penulis adalah Senator DPD RI.

Jimly Asshiddiqy Salah Besar

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqy menyalahkan Gerakan Pemuda Islam (GPI) yang melaporkan Presiden ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Pernyataan Jumly tersebut dinilai salah besar. Hal ini disebabkan Presiden bukan orang yang bersih dan dianggap sama sekali tidak mungkin melakukan perbuatan pidana. Nah saat Presiden melakukan pelanggaran hukum, apakah penganiayaan, penipuan, korupsi, maka Presiden harus diproses secara pidana. Bukan tata negara atau administrasi negara. Andaikan presiden dinyatakan bersalah oleh pengadilan, barulah hasil atau vonis putusan pengadilan itu yang dibawa ke DPR, MK dan MPR untuk diproses lebih lanjut soal pemberhentian presiden. Jimly secara naif menyatakan, bahwa karena Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sehingga proses pelanggaran hukumnya harus dibawa ke DPR, MK, dan MPR. Mungkin saja Jimly lupa, bahwa kemana melaporkan itu tergantung pada pelanggarannya. Apakah itu pelanggaran perdata, pidana, tata negara atau tata usaha negara. Jika pelanggaran yang dilakukan Presiden itu perdata, maka dibawa ke Pengadilan Negeri. Namun kalau pelanggaran pidana, maka tentunya ke Kepolisian, dan dilanjutkan oleh Jaka Penuntut Umum (JPU) ke pengadilan. Jika pelanggaran tata negara, barulah ke DPR, MK, dan MPR. Jika Presiden melanggar administrasi, ya prosesnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Presiden dapat dilaporkan ke Kepolisian untuk memperoleh kepastian hukum dari duagaan adanya pelanggaran pidana. Jika Presiden telah terbukti secara hukum melakukan perbuatan pidana, barulah itu menjadi alasan untuk proses hukum ke tata negara. Disitulah DPR, MK, dan MPR mulai bekerja. UUD 1945 mengatur demikian, sebagaimana ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi : "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden". Nah proses menuju ke DPR, MK dan MPR ternyata dapat didahului oleh proses pelanggaran pidana. Kalimat "terbukti" harus telah ditetapkan oleh Pengadilan. Baik berupa perbuatan korupsi, penyuapan, dan tindakan pidana berat. Tentu saja itu melalui penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian atau Kejaksaan. Untuk korupsi dapat juga dilakukan pemeriksaan oleh KPK. Kerumunan yang terjadi di Maumere Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai bentuk pelanggaran terhadap UU Kekarantinaan Kesehatan, itu merujuk pada penahanan Habib Rizieq Shihab (HRS) di Bareskrim untuk dugaan tindak pidana yang sama. Karenanya aktivis GPI yang melaporkan dugaan tindak pidana Jokowi ke Bareskrim adalah sangat tepat. Menjadi salah dan ngawur jika melaporkan ke DPR, MK, atau MPR sebagaimana saran dari Jimly. Pak Jimly memang pakar Hukum Tata Negara, tetapi semestinya tahu akan proses hukum lainnya. Pernyataannya justru memerosotkan kredibilitas sebagai Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Indonesia. Gampangnya saja, misalnya seorang Presiden melakukan pembunuhan, maka apakah itu diproses dan diadili di DPR, MK atau MPR? Tentu tidak. DPR, MK, dan MPR "mengadili" menyangkut pemberhentiannya sebagai Presiden. Begitu Pasal 7A UUD 1945 mengatur. Jadi, Pak Jimly tidak perlu merasa sedih dan meratapi langkah aktivis GPI. Para aktivis GPI lah yang semestinya merasa sedih dengan cara pandang Prof Jimly yang menyedihkan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Korupsi Terjahat Sepanjang Sejarah, Malu dan Mundurlah

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN - Pertama kali dalam sejarah Indonesia ada korupsi uang bantuan sosial (bansos) di tengah rakyat sedang menderita bertubi-tubi akibat pandemi Covid-19. Ada juga bencana banjir dan longsor dimana-mana. Disaat yang sama, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus terjadi. Jumlah pengangguran bertambah, dan orang miskin juga bertambah. Sesungguhnya argumen itu sudah cukup untuk menyebut bahwa korupsi bansos tersebut adalah korupsi terjahat sepanjang sejarah Indonesia. Sebab, sejak Indonesia merdeka tahun 1945, tidak pernah terjadi korupsi terhadap dana bansos. Uang yang seharusnya diberikan untuk rakyat miskin. Bukan sebaliknya dikorupsi oleh pejabat negara yang diberkan kepercayaan untuk menyalurkan dana bansos. Uang untuk bantuan kepada rakyat miskin dikorupsi. Nilai korupsinya dahsyat sekali. Potensi angkanya bisa mencapai triliunan rupiah. Meski yang terciduk baru mencapai Rp. 17 miliar. Celakanya yang korupsi adalah Menteri Sosial (Mensos) yang berasal dari partai berkuasa. Pertai pendukung utama Presiden yang seharusnya menjadi contoh. Presiden mestinya malu bahwa ia telah gagal mengatur anak buahnya yang berasal dari rahim politik yang sama. "Jangan ada yang korupsi", narasi yang disampaikan Presiden saat pelantikan kabinet itu tidak ada artinya lagi. Hanya narasi kosong, titahnya tak lagi didengar anak buah. Pada saat rakyat menderita seperti sekarang ini ternyata korupsi pemerintah tidak hanya sekali. Sebelum korupsi bansos ada kasus korupsi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Bedanya, jika Menteri Sosial mengorupsi uang bantuan untuk rakyat miskin, sementara Menteri Kelautan dan Perikanan terkait kasus suap ekspor benih lobster. Tetapi keduanya sama-sama dilakukan disaat rakyat menderita. Menteri Keluatan dan Perikanan berasal dari Partai Gerindra yang sejak Oktober 2019 menjadi bagian dari kekuasaan. Bedanya kalau Mensos dari partainya Presiden, sementara Menteri Kelautan dan Perikanan dari partainya Menteri Pertahanan (Menhan) saat ini Prabowo Subianto. Menhan juga mestinya punya rasa malu. Bahwa Menhan telah gagal mengatur anak buahnya yang berasal dari rahim politik yang sama. Apalagi Menhan sendiri yang membina dan membesarkanya. "Dia itu saya angkat dari selokan", kata Menhan waktu itu. Korupsi terus terjadi bertubi-tubi ditengah rakyat menderita. Beberapa hari lalu ada kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) karena tersangkut kasus suap. Gubernur Sulawesi Selatan Prof. Nurdin Abdullah. Disusul kemudian berita korupsi datang kembali disuguhkan ditengah-tengah rakyat menderita. Kali ini peristiwa terjadi justru di kementrian yang dikenal berhasil menata birokrasi menjadi birokrasi paling modern di Indonesia. Karenanya pegawainya digajih paling besar diantara semua kementrian yang lain, yaitu di Kementrian Keuangan. Top markotop. Gajih paling besar tetapi masih saja korupsi. Pajabat Dirjen Pajak Kementerian Keuangan diberitakan melakukan korupsi terkait penurunan nilai pajak. Kampanye menteri keuangan Sri Mulyani tentang good governance, integritas dan profesionalitas tidak lagi ada gunanya. Mestinya Sri Mulyani malu. Sebagai menteri yang pegawainya digajih paling mahal, ia telah gagal memimpin pejabat di kementriannya. Malu dan Mundurlah Pantas saja kalau dalam rilis Corruption Perception Indeks (CPI) yang dikeluarkan Transparency International menilai, Indonesia masih sangat merah indeks persepsi korupsinya. Angkanya 37 dalam skala 0 sampai 100 (TII,2021). Angka yang sangat rendah yang menunjukkan parahnya korupsi di Indonesia selama pemerintahan ini. Pantas saja jika investor asing enggan, bahkan malas untuk berinvestasi di Indonesia. Sebab menurut riset World Economic Forum (WEF,2017) pebisnis global enggan investasi di suatu negara karena faktor merajalelanya korupsi. Faktanya Indonesia saat ini nilai investasinya memang terpuruk, sampai-sampai menyentuh angka minus 6 %. Republik ini memang sarang korupsi dan negara paling aneh. Hanya di Indonesia mantan koruptor boleh mencalonkan lagi menjadi calon pemimpin dan calon anggota DPR. Atas semua itu, sebagai rakyat biasa, saya sangat malu. Sebagai akademisi saya lebih malu lagi. Setiap kali mengajarkan kepada mahasiswa tentang pentingnya integritas elit politik dan integritas birokrasi dalam mengelola negara, pentingnya profesionalitas, dan pentingnya good governance, saya selalu kehilangan konteks. Sebab wajah elit politik dan birokrasi pemerintahan ini performanya terlalu bopeng dihadapan mahasiswa. Elit dan birokrasi kita terlalu sering mempertontonkan korupsi. Apalagi di tengah rakyat yang sedang menderita bertubi-tubi seperti sekarang ini. Pejabat seperti tidak lagi punya empati kepada penderitaan rakyat. Rakyat yang lagi menderita bukannya dibantu. Tetapi malah dirampok jatah anggarannya yang telah dialokasikan oleh negara melalui APBN. Dua hari lalu ada contoh menarik dari negeri Sakura. Juru bicara Perdana Menteri Jepang bernama Makiko Yamada mundur karena hadiri makan malam mewah yang diselenggarakan oleh pihak swasta dengan harga makan malam sekitar Rp. 9 juta. Peristiwa makan malamnya dilakukan tahun 2019 lalu, tetapi peristiwa tersebut terbongkar dalam satu bulan ini. Majalah mingguan Shukan Bunshun bulan lalu merilis laporan soal makan malam itu. Meski peristiwanya tahun 2019 lalu, tetapi itu aib besar bagi pejabat di Jepang. Makan malam yang bernuansa gratifikasi. Hukum Etika Pejabat negara atau aparatur sipil negara di Jepang melarang pegawai pemerintah menerima hadiah atau hiburan dari perusahaan atau individu yang terlihat menjilat. Tentu saja kita berdecak kagum dengan etika pejabat di Jepang seperti itu.Terlalu banyak contoh di negeri sakura itu pejabat mengundurkan diri karena malu secara etis. Menteri ekonomi Jepang Akira Amari, sempat menggegerkan publik Jepang pada tahun 2016 lalu. Da mengundurkan diri secara tiba-tiba. Ternyata semua itu dilakukan atas tuduhan korupsi kepadanya. Setelah ditelusuri lebih dalam, mantan menteri Akira Amari, ternyata tak seperti yang sudah dituduhkan. Bahkan justru para staffnyalah yang terbukti melakukan korupsi. Lantaran malu, sebagai seorang pemimpin yang tidak bisa mendidik anak buahnya. Selain itu dia merasa telah merusak kepercayaan pemerintah dan masyarakat Jepang terhadapnya. Akira mengundurkan diri. Itulah integritas. Bagaimana dengan Indonesia? Berkali-kali para menteri di Indonesia terjerat kasus korupsi. Bahkan korupsi terjahat sepanjang sejarah Indonesia telah terjadi saat ini. Korupsi bansos yang seharusnya untuk rakyat miskin. Namun tega untuk dikorupsi pejabat negara. Seperti yang saya narasikan di bagian atas tulisan ini, bahwa Menteri yang korupsi bansos itu berasal dari rahim partai politik yang sama dengan Presiden. Publik patut bertanya, adakah reflektif rasa malu pada Presiden?. Saat peristiwa OTT korupsi tersebut diberitakan, tak terlihat raut wajah malu ataupun penyesalan sedikitpun. Permintaan maaf juga tidak keluar dari mulut Presiden. Padahal secara moral hukum, dan dalam perspektif good governance, korupsi seorang menteri sesungguhnya juga bukti kegagalan Presiden. Apalagi misalnya pernah disebut-sebut bahwa Anak Presiden juga kecipratan proyeknya. Demikian juga berlaku pada Menteri Keuangan Sri Mulyani. Agenda good governance telah menemui pintu utama kegagalan. Apalagi yang korupsi adalah pejabat pada Dirjen Pajak di Kementrian Keuangan, yang berada di bawah manajemen langsung dirinya, anak buahnya langsung. Sri Mulyani tentu tidak secara langsung bersalah, tetapi secara moral etik ia bertanggungjawab atas peristiwa itu. Secara sederhana Menteri Keuangan adalah bendahara penerimaan, sekaligus pengeluaran keuangan negara. Jika penerimaan dan pengeluaran bermasalah, korupsi terjadi dimana-mana, bahkan para Menteri pada korupsi, semua kementrian terlihat tidak lagi bekerja fokus. Kalau para menteri terlihat lebih bekerja untuk bancakan APBN demi kepentingan 2024, bagaimana mungkin good governance bisa berjalan dengan baik? Lalu untuk apa Sri Mulyani bertahan terus menjadi Menteri keuangan? Sesungguhnya mundur dari Menteri Keuangan adalah bukti integritas seorang Sri Mulyani. Lebih terhormat dan mengagumkan. Kapan itu terjadi? Sri Mulyani nampaknya patut untuk belajar S3 lagi. Hanya cukup dengan satu dosen yaitu Akira Amari. Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Mencabut Lampiran, Itu Hanya Tipu Untuk Menunda

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Meski lumayan dengan "dekrit" politik mencabut lampiran III dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal (BUPM )yang dimaknai melegalisasi minuman keras. Tetapi dekrit ini belum menuntaskan permasalahan yang sebenanrnya. Masih menyimpan potensi kekisruhan atau pekerjaan rumah ke depan. Pencabutan yang dilakukan Presiden Jokowi pun hanya pernyataan lisan. Tanpa menandatangani dokumen hukum yang absah. Kalau hanya dengan omongan, ya setiap saat bisa saja berubah dengan. Yang tertulis saja bisa berubah-ubah sesuai selera dan bisiskan. Apalagi yang hanya omongan. Presiden menyatakan pencabutan lampiran Perpres tersebut berdasarkan masukan dan pandangan masyarakat, khususnya ormas Islam antara lain Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan, tokoh, serta aspirasi daerah lainnya. Kalau diikuti dengan saksama, maka sebenarnya yang terjadi bukan sekedar masukan semata. Tetapi tekanan yang keras dan kencang kalangan umat beragama, khususnya umat Islam. Bahkan ancaman yang dapat menggoyahkan pemerintah. Reaksi pemerintah terkesan hanya tarik ulur tanpa kesungguhan untuk revisi atau pembatalan terhadap Perpres. Meski kalah, tetapi lebih tepat mengalah untuk menyiapkan pola langkah yang baru. Disebut hanya menunda. Bagaimana bisa? Skeptisme ini didasarkan atas pertanyaan, mengapa hanya mencabut lampiran? Mengapa bukan Perpres Nomor 10 Tahun 2021 itu sendiri atau sekurangnya mencabut Pasal 6 ayat (1) yang berkaitan dengan klausula Lampiran III? Dengan hanya mencabut Lampiran, berarti semua Pasal dari Perpres tersebut masih tetap berlaku, termasuk Pasal 6 ayat (1) yang pada pokoknya menyatakan bahwa bidang usaha dengan persyaratan tertentu dapat diusahakan oleh semua penanam modal termasuk Koperasi dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Bidang usaha tersebut sesuai dengan rincian Lampiran III yang kontennya adalah usaha industri miras. Dengan tetap berlaku Pasal 6 ayat (1) dan pencabutan Lampiran III, maka kapan saja Lampiran III dapat muncul kembali. Bahkan bisa saja dengan rumusan yang lebih ganas. Oleh karena itu pernyataan pencabutan yang hanya bahasa lain untuk menunda keberlakuan Lampiran III atau klausula baru bagi investasi usaha miras. Maish menunggu situasi yang lebih kondusif. Ada bahaya lain dengan pencabutan Lampiran III yang secara limitatif membuat batasan usaha minuman beralkohol, yaitu menjadikan Pasal 6 ayat (1) menjadi memiliki interpretasi yang luas dan bebas. Sehingga usaha dengan persyaratan tertentu tergantung apa yang dimaknai Presiden. Ketika rincian khusus hapus, berlaku aturan dan pemahaman umum. Oleh karena itu pencabutan secara lisan hanya bernilai politis yang tidak berakibat hukum. Kemudian pencabutan lampiran hanya tipu-tipu untuk menunda saja. Yang paling berbahaya adalah cara membuat aturan hukum secara ugal-ugalan, baik dalam memberlakukan maupun mencabut. Sejak menetapkan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dikenal dengan Omnibus Law serta aturan turunannya termasuk Kepres Nomor 10 Tahun 2021 tentang BUPM, Pemerintah Jokowi menempatkan dan membuat aturan hukum tanpa landasan yuridis, filosofis, dan sosiologis yang baik. Terkesan seenaknya dan tidak bermutu. Dekrit pencabutan Lampiran adalah tontonan politik dari premanisme hukum oleh seorang Presiden. Tipu-tipu saja. Power tends to corrupt. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kemana Ya Pak Kiyai Ma'ruf Amin?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Kritik merata soal Perpres Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal (BUPM) sebagai pengejawantahan UU Omnibus Law belum mendapat respons dari Pemerintah. Presiden, Wakil Presiden, dan semua Menteri semua bungkam. Ketua Komisi VI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) malah mendukung dengan alasan kearifan lokal. Mabuk itu nyata-nyata sebagai ketidakarifan nasional. Bukan kearifan lokal. Minuman keras yang menyebabkan mabuk jelas merusak segalanya. Ada sedikit manfaat, tetapi mudharat jauh lebih besar. Semestinya Pemerintah harus berperan menjadi penjaga moral bangsa. Mabuk, judi, prostitusi adalah deviant behavior. Mesti dicegah dan tak boleh dibiarkan dengan alasan apapun. Ketika Presiden bukan orang yang dipandang merepresentasi keagamaan, maka Wakil Presiden adalah orangnya. KH Ma'ruf Amin itu disamping sebagai Wapres, juga mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat. Kiyai ini awalnya menjadi harapan penjaga moral keagamaan pada tataran kebijakan Pemerintah. Sikap dan pengetahuan keulamaannya kini ditunggu umat Islam. Sebab hingga kini nampaknya legalisasi minuman keras di empat Provinsi, yaitu Papua, Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Utara (Sulit) terlihat mulus-mulus saja. Tidak ada tanda-tanda Pak Wapres yang Kiyai ini melakukan upaya pencegahan. Bicara pun tidak. Ruang amar ma'ruf nahi munkar tidak diisinya. Khawatir dengan apa yang disabdakan Nabi menjadi tidak terhindarkan, yaitu mereka yang diam saja melihat kemungkaran adalah setan bisu. Disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shohih Muslim bahwa "Orang yang berdiam diri dari kebenaran, maka ia adalah Syaithon Akhros (Setan bisu) dan orang yang menyampaikan kebathilan adalah Syaithon Naathiq (Setan berbicara)". Orang yang mengetahui mana yang benar dan mana salah harus menyampaikannya. Tak boleh berdiam diri. Faktor yang membuat takut, apakah itu tekanan kekuasaan, jabatan yang terancam, usaha tersendat, bahkan penjara haruslah diabaikan. Keberanian atas dasar keyakinan akan adanya pertolongan dan kemudahan dari Allah SWT haruslah didahulukan. Nah kini saatnya Pak Kiyai Wapres untuk bersikap. Jangan terus sembunyi di dinding ketidakmampuan. Eksislah Pak Kiyai. Buktikan bahwa Wapres Indonesia adalah ulama. Jangan keberadaan dan ketiadaan itu sama saja "wujuduhu ka'adamihi". Miras itu berbahaya dan haram. Membiarkannya sama saja dengan membunuh generasi muda bangsa. Pak Kiyai harus mencegah dan menasehati Pak Jokowi, agar dalam mengelola negara ini jangan hanya berfikir materialistis. Yang diprogramkan hanya duit dan duit saja. Investasi lah, infrastruktur lah yang semuanya diukur oleh duit itu. Sadarkah bahwa jika orientasi keseharian hanya urusan duit dan duit justru akan disempitkan oleh Allah Subhaanahu Wata’ala. Faktanya ambruk perekonomian dan hutang pun semakin bertumpuk dan menggunung. Ketika korupsi di sekitar istana marak, pa Kiyai diam. Ketika aktivis dan ulama dipenjara , Pak Kiyai tidak hadir membela. Saat pejuang Islam terbunuh tanpa alasan, Pak Kiyai bungkam. Dan kini urusan miras yang sangat jelas dalil larangannya, Kiyai juga sunyi senyap. Lalu apa guna status dan jabatan yang disandang? Untuk bidangnya saja tak berdaya. Pak Kiyai Ma'ruf Amin adalah bagian dari kekuasaan. Kekuasaan walau sejumput, tetapi ada di tangannya. Jika kekuasaan tidak digunakan dengan baik, maka dapat mencelakakan dirinya sendiri. Orang bijak dan berilmu jika sudah merasa tidak mampu, akan menarik diri. Mundur lebih baik dan terhormat daripada mengkhianati amanat. Pak Kiyai pasti tau dan ingat pepatah "man laa 'aba al tsu'baani fie kafihi, haihaata an yaslama min las'atihi". Artinya, barangsiapa memainkan ular di tangannya, tidak mungkin baginya untuk selamat dari gigitannya. Pak Kiyai mungkin kini sedang digigit ular. Bisanya mungkin sudah masuk merusak jiwa dan fikiran. Semoga saja iman masih bertahan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pilpres 2024, Antara Yang Muda dan Yang Tua

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Meski pilpres 2024 masih lama, sekitar tiga tahun lagi. Tetapi gaungnya sudah terasa. Bahkan terasa sejak 2019 lalu. Padahal pilpres 2019 baru juga selesai, dan presiden-wapres belum dilantik. Apa penyebabnya? Pertama, karena selisih suara dua paslon tidak terlalu besar. Artinya, kelompok yang tidak puas atas kekalahan itu cukup besar, sehingga ingin segera ada pemilu secepatnya. Padahal, pemilu masih lama. Ini risiko jika pemilu hanya diikuti dua paslon. Kedua, komunikasi kedua belah pihak yang bermasalah setelah pilpres 2019 berlalu. Meskipun Prabowo dan Sandi, paslon yang kalah di pilpres 2019 sudah merapat (dirapatkan) ke istana. Namun tidak serta merta dengan para pendukungnya. Para pendudukung masih tetap saja oposisi kepada pemerintah yang menjadi pemenang pilpres. Ketiga, aksi para buzzer dari kedua belah yang pihak ikut memelihara dan memanaskan eskalasi ketegangan dan kegaduhan di media publik. Bagaimana prediksi pilpres 2024? Nampaknya, Prabowo masih digadang-gadang oleh Gerindra untuk calon lagi. Sekali calon wapres, dua kali capres. Jika 2024 capres lagi, berarti genap tiga kali menjadi capres. Pencalonan Prabowo hanya logis jika dilihat sebagai upaya untuk menjaga suara partai Gerindra. Sebab pemilih Prabowo besar kemungkinan akan banyak yang memilih Gerindra. Lalu, bagaimana nanti peluang Prabowo sendiri di pilpres 2024? Mari kita lihat analisis elektabilitas secara teoritis. Ada tiga karakter elektabilitas berdasarkan potensinya. Pertama, ektabilitas progresif. Kedua, elektabilitas stagnan. Ketiga, elektabilitas regresi. Berdasarkan hasil survei beberapa lembaga, elektabilitas Prabowo saat ini tertinggi. Mencapai belasan persen. Sebagai catatan "saat ini" Prabowo masih tinggi. Karena di kepala publik Prabowo adalah bakal capres. Sebab, sudah dua kali nyapres. Gerindra sendiri memberi sinyal Prabowo akan nyapres lagi. Sementara tokoh lain, belum masuk arena pencapresan ini. Sehingga, kemunculan tokoh-tokoh lain masih dalam bentuk harapan publik. Berbeda jika 2022-2023, maka akan muncul tokoh-tokoh lain yang terbaca indikatornya akan nyapres. Pada saat itulah akan mulai terlihat dinamika elektabilitas itu. Tokoh tua, cenderung stagnan elektabilitasnya. Sebab, relatif tidak ada yang baru untuk dijual. Semua bahan lama, dan sudah sering dibeli oleh publik. Ada yang bertahan, tetapi tak sedikit yang sudah bosan. Apalagi jika ada faktor yang membuat publik kecewa, maka akan banyak yang meninggalkannya. Berbeda dengan pendatang baru. Pendatang baru cenderung progresif elektabilitasnya. Terutama jika menjadi rising star. Punya track record yang diapresiasi publik, dan tidak hanya berbasis pemilih psikologis dan sosiologis, tapi juga pemilih rasional. Karena pemilih rasional, meski tidak sebanyak jumlahnya dengan pemilih psikologis dan sosiologis, tetapi mampu mempengaruhi opini publik. Berbeda ceritanya jika tokoh muda dan pendatang baru itu senang memainkan hasil survei. Nah, pendatang baru yang suka memainkan survei ini masuk dalam kategori elektabilitas regresif. Tahu-tahu suah jeblok saja. Ada dua cara memainkan hasil survei. Pertama, rekayasa prosesnya. Main di sampling. Melakukan pengkondisian terhadap responden. Kira-kira, di wilayah mana yang besar pendukungnya, di situlah mereka akan ambil samplenya. Kedua, merekayasa hasil. Survei nggak ada, namun hasilnya muncul. Nah, sejumlah lembaga survei ada yang melakukan rekayasa semacam ini. Rekayasa responden dan rekayasa hasil. Tokoh yang suka main-main dengan survei biasanya keok ketika ikut kompetisi. Mereka tidak hanya membohongi publik, tetapi juga membohongi diri sendiri dan timsesnya. Kesimpulannya, tokoh-tokoh lama seperti Prabowo, juga Mega dan Jusuf Kalla (JK) jika masih penasaran untuk ikut dalam kompetisi di pilpres 2024, cenderung stagnan elektabilitasnya. Ada batas tertinggi elektabilitasnya, dan sulit untuk didorong naik. Bahan lama dan konsumen cenderung bosan. Ingin dan penasaran kepada yang baru. Sementara tokoh baru seperti Anies menduduki elektabilitas tertinggi. Baru disusul Sandiaga Uno, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Agus Harmukti Yudhoyono, Risma, dan seterusnya. Tokoh-tokoh muda ini masuk kategori progresif elektabilitasnya. Tokoh-tokoh baru berpotensi untuk didorong naik dan bersaing. Kecuali yang suka memanipulasi hasil survei. Siapa saja mereka? Nanti juga akan ketahuan menjelang atau saat pilpres. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

KAMMI Mendesak Pemerintah Cabut Perpres Investasi Miras

by Abdul Salam Jakarta FNN - Pemerintah telah membuka keran investasi industri minuman keras (miras) di Indonesia. Hal itu dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja (Cilaka). Investasi industri miras bisa di empat provinsi, yaitu Papua, Bali, Sulawesi Utara (Sulut) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kebijakan pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin yang mengizinkan invetasi industri miras di empat provinsi tersebut lebih banyak dampak negatifnya daripada positif. Hampir dipastikan tidak ada dampak positif. Meskupun hanya diproduksi di empat provinsi, namun penyerabarannya dipastikan di seluruh wilayah Indonesia. Kerusakan moral bakal terjadi dimana-mana. Kita sama-sama tahu, banyak sekali dampak negatif dari miras. Yang paling terakhir ketika publik nasional dihebohkan oleh oknum anggota polisi yang membunuh tiga orang usai minum miras di sebuah kafe di Cingkareng Jakarta Barat. Satu diantara korban yang meninggal dunia adalah anggota TNI dari satuan Komando Strategis Angkatan Darad (Kostrad). Sekalipun inestasi miras hanya di empat provinsi, namun tidak mengurangi dampak negatifnya ke seluruh wilayah Indonesia. Dampak negatif dari industri miras ini yang patut untuk dipertimbangkan kembali oleh pemerintah. Sebab orang mabuk, jangan pernah diharapkan bisa berpikir waras. Apakah ketidakwarasan itu yang diinginkan oleh pemerintah? Masuknya investasi ke Indonesia tidak hanya diukur dengan dibangunnya industri miras di Papua, Bali NTT dan Sulut. Namun dengan kebijakan investasi industri miras itu, maka pemerintah telah membuka aibnya kepada publik. Baik kepada publik dalam negeri maupun luar negeri tentang tidak mampunya pemerintah menarik investasi asing ke Indonesia. Kondisi pemerintah ini ibarat kapal yang mau tenggelam di tengah laut. Apa saja yang ada di sekitarnya, dicoba diraih para penumpang kapal untuk menyelamatkan diri. Apakah keuangan pemerintah sekarang sudah sedemikian parah? Sehingga diperlukan investasi industri miras untuk menarik dana dari luar negeri? Apalagi setelah gagal untuk menarik dana umat Islam melalui gerakan wakaf? Jika demikian kondisinya, maka wajar kalau publik bertanya-tanya, apa saja kerjanya Menteri Kordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia selama ini? Apakah telah gagal menarik investor luar negeri? Pemerintah terlihat seperti panik menghadapi minimnya pemerimaan kas negara, sehingga perlu menerapkan jurus mabok. Mana dan berapa banyak investasi yang telah dibawa masuk ke Indonesia ,sejak Luhut Binsar Panjaitan dan Bahlil Lahadalia menjabat Oktober 2020 lalu? Kalau tidak mampu mengemban amanat dan tugas manarik investor, mendingan mundur secara terhormat. Mundur lebih terhormat, daripada membangun industri miras di tanah air. Dampaknya sangat berbahaya bagi masa depan anak-anak bangsa. Kebijakan membangun industri miras di empat provinsi tersebut adalah wujud dari kepanikan keuangan pemerintah. Bisa saja dibaca sebagai upaya pemerintah menutupi devisit penerimaan dari pajak yang hampir mencapai Rp 1.000 triliun tahun 2020 lalu. Mungkin juga karena pemerintah sudah sulit untuk mencari pinjaman luar negeri, terutama dari negara sahabat. Kalau susah dapat pinjaman luar negeri, bisa jadi itu bentuk lain dari berkurangnya tingkat kepercayaan negara-negara sahabat kepada pemerintah Indonesia sekarang. Itu terjadi akibat dari maraknya korupsi yang hampir merata di semua lina kekuasaan negara. Korupsi itu terjadi, baik kementerian maupun lembaga pemerintah non kementerian. Wajar kalau Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengelu dan curhat ke Intenational Monetery Fund (IMF) tenatng maraknya korupsi di Indonesia. Uangnya dicari dengan susah payah dari luar negeri. Harus meyakinkan pihak luar negeri dengan berbagai cara dan alasan. Namun begitu sampai di Indonesia, dan dialokasikan ke kementerian dan lembaga, eh malah dikorupsi. Bagaimana mau dipercara oleh investor luar negeri? Yang mau investasi, perlu untuk mikir-mikir lagi. Jangan-jangan setelah investasinya sampai Indonesia, malah dikorupsi. Terutama untuk urusan yang berkaitan dengan perizinan. Ada saja biaya itu, dan biaya ini. Pungutan itu, pengutan ini. Ujung-ujungnya malah bisa ditangkap KPK melalui OTT. Makanya lebih baik tidak usah investasi di Indonesia. Untuk itu Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslimin Indonesia (KAMMI) mendesak Presiden Jokowi sebaiknya mencabut kembali Perpres tenteag perizinan investasi minuman keras yang diteken awal Februari 2021 lalu itu. Itu cara yang paling terhormat untuk menyelamatkan wajah pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin di mata komunitas keuangan internasional. Terhormat juga di dalam negeri, terutama di mata umat Islam. Berdasarkan Perpres itu, industri minuman keras dapat memperoleh investasi dari berbagai sumber. Baik dari investor asing maupun domestik. Selain itu, koperasi hingga Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) juga dapat menyuntikkan investasi kepada industri minuman keras. Padahal dengan konsumsi minuman keras, dapat menyebabkan tingginya tindak kejahatan. Sebelum mendatangkan bahaya yang lebih besar, sebaiknya pemerintah segera mencabut saja Perpres tersebut. Apalagi sebelumnya Gubernur Papua Lukas Enembe telah mengancam akan membakar toko-toko penjual miras di Papua. Gubernur Lukas juga mengancam distributor-distributor miras agar menghentikan aktifitas mereka di seluruh wilayah Papua. Selain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. KH Said Agil Siraj juga telah menyatakan sikap menolak pebangunan industri miras di Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan PP Muhammadiyah dan Ormas Islam akan menyatakan sikap penolakan yang sama dalam waktu dekat. Penulis adalah Ketua Bidang Kebijakan Publik Pengurus Pusat KAMMI.

Jokowi Mainkan Jurus Politik Mabuk

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang membuka pintu bisnis minuman keras (miras) di beberapa daerah adalah kebijakan nir-moral dan berbahaya. Meski hanya empat Provinsi yang diperkenankan, tetapi berdampak sangat luas. Semangatnya adalah legalisasi investasi miras di Indonesia. Negara ini sepertinya semakin materialistis dan menjauh dari agama. Jokowi tampil menjadi lokomotif sekularisasi dan penghancuran akhlak generasi bangsa. Kenyataan ni tidak boleh dibiarkan berlanjut tanpa perlawanan masyarakat. Sebab dampaknya sangat berbahaya terhadap masa depan bangsa. Masa depan anak-anak muda harapan bangsa. DPR harusnya berteriak menolak rencana jahat untuk memabukan anak-anak muda bangsa tersebut. Jangan hanya bisa membebek. Begitu juga dengan tokoh-tokoh agama dan Habaib yang berada di sekeliling Jokowi. Tentu rakyat banyak yang akan berteriak menolak. Ketika suatu sarana kemaksiatan dibuka lebar, sudah pasti terbuka banyak kemaksiatan dan kejahatan lain akan ikut. Akan muncul dampak ikutan dari berbagai macam kemaksiatan dan penyakit masyarakat. Hanya di empat propinsi sebagai tempat produksi miras itu bisa legal. Tetapi di propinsi lain akan membanjir miras secara ilegal di semua sudut kota sampai kecamatan dan desa. Akibat dari keberadaan pabrik pembuatan yang bebas dan didukung oleh Pemerintah. Mabuk adalah kondisi lemah fikiran yang menyebabkan seseorang kehilangan keseimbangan. Orang mabuk tidak akan bisa berfikir waras dan cerdas. Tak berdaya dan semua gerak dan sikapnya dapat dikategorikan sebagai "ngaco". Tak ada kreativitas dan inovasi, apalagi perencanaan dan kendali manajemen. Politik mabuk adalah berpolitik secara acak-acakan. Semaunya saja. Hanya dalam fiksi komedi Silat Cina ada kehebatan "drunken master" pendekar mabuk yang mampu mengalahkan orang sehat dan sadar. Adalah pengemis So yang menjadi guru silat jurus pendekar mabuk. Muridnya Wong Fei Hung menjadi pesilat jurus mabuk yang hebat. Arak atau minuman keras hanya berguna dalam ceritra. Dalam prakteknya, minuman keras itu merusak segalanya, baik fikiran, jiwa, jasad, materi dan lainnya. Jokowi menjalankan pemerintahan ini seperti memakai jurus mabuk. Seenaknya, gaduh serta melabrak etika, martabat, dan hak asasi rakyat. Pola kepemimpinan aneh yang sulit dimengerti. Bohong dan pencitraan menjadi bumbu yang sebenarnya membuat perut mual. Kini penyebab mabuk yaitu minuman keras yang dilegalisasi dengan Perpres. Jurus kekacauan baru atas bangsa ini telah ditemukan. Pemerintahan nyata-nyata telah menghianati negara Pancasila yang menjunjung tinggi nilai moral dan agama. Mabuk akan investasi miras telah menghalalkan segala cara. Miras pun diundang untuk meracuni anak bangsa. Tragis pemerintah ini. Dalam agama orang mabuk dilarang shalat, karena pasti bacaannya kacau-balau. "laa taqrobuush sholaata wa antum sukaaraa" (QS 4:43). Nah pemimpin mabuk dipastikan dirinya hidup sukar dan membuat orang lain juga selalu sukar. Pemimpin yang mabuk tidak dapat membuat rakyatnya waras. Apalagi mensejahterakan rakyat. Pemimpin mabuk bisanya hanya mengadu domda rakyat. Atau jangan-jangan ini tanda bahwa memang pemimpin sudah mabuk (sakara) dan ajal sudah dekat (sekarat)? Wallaahu alam bishawab. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Jokowi Bisa Jatuh Digoyang Maumere

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Presiden Jokowi digoyang ke kiri dan ke kanan gara gara kerumunan di Maumere Nusa Tenggara Timur (NTT). Peristiwa ini lagi ramai dibicarakan masyarakat. Bahkan ada beberapa elemen masyarakat yang melaporkan Presiden Jokowi ke Badan reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Merujuk pada kasus kerumunan Habib Rizieq Shihab (HRS) saat kepulangan dari pengasingan di Arab Saudi , maka Presiden Jokowi secara hukum layak diproses berdasarkan pelanggaran protokol kesehatan (Prokes) yang diatur dalam UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dari sisi hukum, menjadi taruhan untuk Jokowi dan HRS yang sama sama menjadi pesakitan, atau keduanya lepas dari ancaman pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan. Untuk lepas, maka tentu saja yang dipakai alasan bahwa kerumunan bukan pelanggaran pidana. Tetapi hanya pelanggaran administrasi, sebagaimana HRS terkena denda Rp. 50 juta oleh Pemprov DKI Jakarta. Hukum yang diperalat politik mulai menjadi "senjata makan tuan". Maksud hati menghabisi HRS dengan UU Kekarantinaan Kesehatan. Eh, sekarang giliran Jokowi yang malah terancam pelanggaran yang sama. Serupa dengan UU ITE yang dimaksudkan untuk menghabisi lawan-lawan politik, kini justru para buzzer rupiah peliharaan Istana yang jor-joran melanggar UU ini. Terpaksa muncul gagasan untuk merevisi UU ITE sebagai proteksi dan antisipasi kepada para buzzer rupiah yang selama dipelihara oleh Istana. Kapolri juga diperintahkan untuk membuat pedomana menerima laporan polisis yang tidak asal-asalan di Polres dan Polda di seluruh Indonesia. Intinya, yang boleh melapor hanya pribadi yang merasa dirugikan. Terus bagaimana dengan yang sudah terlanjur diatahan di berbagai penjara kepolisian selama ini? Goyang Maumere, lagu dan tari yang dapat membuat kejatuhan. Jokowi sedang bergoyang sederhana, tetapi berdampak secara sistemik. Mulai kerumunan lalu proses pidana dan Presiden pun dihukum. Penghukuman ini menjadi alasan untuk memberhentikan berdasarkan Pasal 7 A UUD 1945. Sekurang-kurangnya dikategorikan sebagai perbuatan yang tercela. Menyadari bahaya ini, maka Kepolisian mulai pasang badan. Misalnya, dengan tidak mau menerima pelaporan pengaduan. Alasan hanya menerima sebagai pengaduan masyarakat (dumas) sangat tidak relevan. Kenyataan ini telah menjadi tontonan menarik dari lembaga penegak hukum yang tidak menghormati hukum. Presiden itu tidak kebal hukum dan dapat dipidana. Bukan hanya untuk kasus korupsi, tetapi juga pidana umum. Baik ringan ataupun berat. Kepolisian telah bertindak diskriminatif dengan menolak laporan masyarakat. Kenyataan ini tentu saja berbeda dengan HRS yang begitu sigap ditangani dan ditahan, sehingga menderita sesak nafas dalam tahanan. Meskipun demikian semua sikap tentu membawa akibat. Tindakan penolakan menjadi tambahan isu politik dan pembenar bahwa pemerintah itu memang otoriter, diskriminatif dan melanggar Hak Asasi Manusia )HAM). O... ele le le Putar ke kiri e Nona manis putarlah ke kiri Ke kiri, ke kiri, dan ke kiri, ke kiri, ke kiri ke kiri Manis e Sekarang kanan e Nona manis putarlah ke kanan Ke kanan, ke kanan, ke kanan, dan ke kanan ke kanan ke kanan Manis e Nah pak Jokowi berputar putar ke kiri dan ke kanan di Maumere akhirnya pusing sendiri. Keras melarang orang berputar eh dia sendiri yang berputar. Setelah melegalisasi minuman keras, maka jalannya menjadi limbung lalu akhirnya ambruk. Goyang Maumere, Ge Mu Fa Mi re. Orang laen kagak boleh kumpul same-same, eh dienye yang kumpul rame-rame. Rame rame jadi penguasa gile. Penulis dalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Covid-19 Sebagai Alat Politik Rezim Bungkam Oposisi?

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Ribuan kerumunan massa pendukung Donald Trump demo di Gedung Parlemen (Capitol Hill), Washinton Dc Amerika Serikat, yang berakhir rusuh saat hari pengesahan kemenangan presiden terpilih Joe Biden oleh Kongres pada Rabu (6/1/2021). Kita tidak mendengar ada cluster Capitol Hill yang terpapar dengan covid-19. Sebelumnya, di hampir seluruh negara bagian di Amerika, ribuan massa berkerumun memprotes untuk kematian George Floyd oleh tindakan polisi pada 25 Mei 2020. Bandingkan dengan pembantaian dan pembunuhan terhadap enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh polisi Indonesia di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Tidak ada protes dan demo turun ke jalan yang berkaitan dengan pembunuhan terhadap enam anggota Laskar FPI. Padahal kejadiannya sama-sama masa pandemi covid-19. Lalu pertanyaan, ada apa? Rakyat takut turun ke jalan karena polisi represif? Demonstrasi memprotes tindakan polisi Amerika terhadap George Floyd meluas tidak hanya terjadi di seantaro Amerika Serikat saja. Bahkan terjadi pula di beberapa negara di berbagai belahan dunia. Kita pun menyaksikan hal yang sama. Tidak ada laporan massa terpapar covid-19. Sejak kudeta militer di Myanmar 1 Februari 2021 lalu, ribuan bahkan jutaan rakyat Myanmar turun ke jalan-jalan. Rakyat Myanmar berkerumun untuk memprotes kudeta oleh junta militer. Sampai detik ini pun belum ada juga laporan bahwa massa demo terpapar covid-19. BBC seperti yang dilansir oleh Harian Kompas (26/2/21), mewartakan pengakuan saksi mata di lapangan. Ada juga beberapa massa pro dengan kudeta militer yang dipersenjatai dengan pisau, pentungan, pipa, dan ketapel untuk melempar batu. Sekitar 1.000-an pendukung militer terjun ke jalanan di pusat kota, untuk melawan massa anti kudeta Myanmar. Massa tandingan yang pro militer Myanmar, mengingatkan kita pada peristiwa aksi damai depan gedung Bawaslu 21-23 Mei 2019. Menjelang maghrib, ada massa tandingan yang menyerang polisi dan peserta aksi damai. Anehnya, massa aksi damai yang dikejar-kejar dan digebukin. Sama halnya yang terjadi di Indonesia belum lama ini. Kerumunan akibat kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS), yang di Bandara Soekarno Hatta, Petamburan, Tebet dan Mega Mendung belum ada laporan massa terpapar covid-19. Semua baik-baik saja. Semua sehat-sehat saja. Kerumunan Waterboom di Lippo Cikarang juga demikian. Kerumunan yang dihadiri oleh Ahok dan Raffi Ahmad, juga sama. Terakhir, kerumunan Jokowi di Maumere Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga hari ini belum ada laporan massa kerumunan Jokowi yang terpapar dengan covid-19. Dari serangkaian peristiwa kerumunan dan demonstrasi massa ribuan, bahkan jutaan orang tersebut, tidak ada tentang masaa yang terpapar positif covid-19. Kenyataan ini menguatkan kecurigaan publik bahwa covid-19 telah dijadikan alat politik oleh rezim untuk membungkam oposisi, dan pihak-pihak yang berseberangan secara politik dengan penguasa. Meminjam meme akal sehat yang lagi viral di media sosial (medsos), kalau kerumunan rangkaian kepupalangan HRS memang sengaja dicari-cari kesalahannya. Sedangkan kerumunan akibat kunjungan Jokowi ke NTT, lagi dicari-cari pembenarannya. Kerumunan HRS berakhir di penjara. Sedangkan kerumunan Jokowi bisa bebas sebebas-bebasnya. Pertanda ketidakadilan makin nyata. Kezoliman sedang dipertontonkan dengan telanjang. Rakyat sudah penya penilaian. Toh, kekuasaan pada saatnya akan berakhir juga. Penulis adalah Pegiat Dakwah dan Sosial.