NASIONAL

Menjegal Anies Baswedan & Menguatnya Posisi Tito Karnavian

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Sebenarnya tulisan ini merupakan dua tulisan saya yang dirilis setahun yang lalu. Prediksi dan analisis yang disajikan banyak bersesuaian dengan kondisi objektif politik hari ini. Pertama, tulisan tentang “Anies Baswedan Dihadang Skenario 2022 Tidak Ada Pilgub DKI”. Penulis rilis 19 November 2021. Kedua, tulisan penulis, 25 Januari 2020 tentang Posisi Strategis Tito Karnavian dan Upaya Menjatuhkan Anies Baswedan Menjelang 2024. Dua tulisan tersebut sengaja saya angkat lagi. Sehubungan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang sedang hangat dibahas DPR. Melihat peta politik DPR hari ini, termasuk prediksi pecah kongsinya Anies Baswedan dan Gerindra di tahun 2024. Kemungkinan tahun 2022 dan 2023 tidak ada Pilkada serentak termasuk DKI Jakarta. Menurut Undang-Undang No 10/2016, Pilkada serentak dilakukan pada 2015, 2017, dan 2018. Kemudian akan dilakukan lagi pada 2020 sebagai lanjutan Pilkada 2015. Pilkada 2022 adalah lanjutan dari Pilkada 2017, dan 2023 lanjutan Pilkada 2018. Pada Pilkada 2024, akan diikuti seluruh daerah yang melakukan Pilkada pada 2020, 2022, dan 2023. Konsekuensinya, pemenang Pilkada 2020 hanya akan menjabat selama empat tahun. Sementara untuk Pilkada 2022, dan 2023 akan dipilih pejabat kepala daerah (jika UU Pemilu tidak direvisi) untuk mengisi kekosongan, sambil menunggu Pilkada 2024. Hal ini merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua atas UU Nomor 1/2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pilgub DKI Jakarta akan digelar pada 2022. Merujuk pada UU No 10/2016 ada kemungkinan Pilgub DKI Jakarta tahun 2022 ditiadakan. Akan digelar serentak pada tahun 2024 berbarengan dengan Pilpres. Artinya, selama 2 tahun hingga 2024 DKI Jakarta akan dijabat oleh Pejabat Gubernur. Untuk pertama kalinya, Indonesia berencana menyerentakkan pilkada, pileg, dan pilpres pada 2024. Tercatat ada 541 daerah yang akan menggelar pilkada selanjutnya. Selama tidak ada revisi UU Pemilu Nomoe 10 tahun 2016, klausul kepemimpinan pejabat kepala daerah sampai tahun 2024 berlaku. Posisi Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri dinilai sangat strategis untuk maju pada Pilpres 2024. Bila UU Pemilu tidak direvisi, ada sekitar 25 Pejabat Gubernur diangkat oleh Mendagri Tito Karnavian. Tito Karnavian atas restu Jokowi bisa membangun 'kekuatan politik' melalui penunjukan sekitar 25 Pejabat Gubernur termasuk DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tiga propinsi lumbung suara Pilpres 2024. Membangun kekuatan politik diluar jalur partai, karena keduanya tidak punya posisi strategis di partai dan Tito Karnavian bukan orang partai. Tidak menutup kemungkinan bakal ada skenario beberapa jenderal polisi aktif turun gunung. Ditunjuk sebagai pejabat gubernur di ketiga propinsi yang paling potensial untuk mengantarkan Tito Karnavian ke kursi Presidenan. Selain jenderal polisi aktif bisa juga pejabat sipil loyalis Tito Karnavian ditunjuk sebagai pejabat gubernur, bupati dan walikota. Masalahnya kemudian adalah partai apa yang bakal mengusung Tito Karnavian? Disinilah kita memahami kenapa Moeldoko, pensiunan Jenderal AD 'berambisi' mengambil alih Partai Demokrat. Orang-orang dilingkaran Istana sedang berkompetisi merebut tiket pilpres 2024. 'Adu kuat' mantan Kapolri vs mantan Panglima TNI. Belajar dari Pemilu 2019, dimana Pileg dan Pilpres disatukan telah banyak menelan korban jiwa. Lebih dari 894 orang petugas pemilu meninggal, yang hingga kini masih menjadi misteri penyebab kematian ratusan petugas pemilu tersebut. Tidak dapat kita bayangkan bila 2024 Pileg, Pilpres dan Pilkada disatukan. Mungkin saja ribuan petugas pemilu harus merenggang nyawa. Belum lagi money politic dan kongkalikong penyelenggara pemilu dengan kandidat presiden, caleg dan kandidat kepala daerah sulit untuk dikontrol. Bisa jadi akan menimbulkan 'kekacauan nasional'. Resistensi konflik dan perpecahan sangat tinggi. Sebaiknya dikaji lagi penyatuan pemilu yang rentan manipulasi dan korban meninggal dunia. Revisi UU Pemilu menjadi hal yang sangat penting untuk menghindari kekacauan dan kecurangan nasional. Revisi tentang pemilu serentak (pileg, pilpres dan pilkada) dan sulitnya pembuktian kecurangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Adalah mustahil kecurangan bisa dibuktikan di UU yang sekarang. Keterlibatan Polisi dan TNI di Bawaslu dan Panwaslu di semua level baik nasional maupun daerah untuk menjamin netralitas Polisi dan TNI dalam pemilu. Sudah menjadi rahasia umum, kalau ada kelompok politik tertentu yang punya track record curang dan bengis kepada rakyatnya sendiri. Seperti dipertontonkan pada Pilpres 2019 yang lalu. Akhirnya, terjawab sudah misteri kenapa Mendagri dijabat oleh Tito Karnavian. Padahal pada periode pertama Jokowi menjadi jatahnya PDIP. Apalagi Kapolri yang sekarang, Jenderal Listyo Sigit Prabowo merupakan loyalis Jokowi. Munculnya kekuatan politik baru dari jenderal polisi memungkinkan presiden selanjutnya dari jenderal polisi dengan dukungan kelompok jenderal merah dan kekuatan politik “siluman” yang punya segalanya (uang, jaringan, intelijen dan media). Prediksi saya, bila kekuatan politik Islam lemah dan mau “dilemahkan”, presiden 2024 kemungkinan besar tipikalnya seperti Jokowi. Presiden yang didukung oleh kelompok jenderal merah dan kekuatan politik “siluman” yang mengontrol politik dan ekonomi 5 tahun terakhir. Disinilah kenapa Anies Baswedan sebagai calon Presiden yang memiliki peluang besar untuk menang, mau dijegal melalui RUU Pemilu yang meniadakan Pilkada serentak 2022 dan 2023. Selanjutnya, terserah pecinta NKRI dan ummat Islam. Mau pasrah dengan keadaan karena lemahnya posisi politik atau bangkit dari keterpurukan untuk melawan. Bangkit untuk melawan agenda terselubung dari pembenci Islam yang secara terbuka telah melakukan deislamisasi, baik secara politik, ekonomi, pendidikan dan dakwah Penulis adalah Pegiat Dakwah dan Sosial.

Kudeta Terhadap AHY dari Istana?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Kuderta menjadi istilah yang sedang "in" saat ini. Dalam kancah internasional, ada peristiwa kudeta militer atas penguasa sipil di Myanmar. Kanselir Negara Myanmar, Aung Saan Suu Kyi dan Presiden Win Myint ditangkap. Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing diberi wewenang penuh memegang kendali militer oleh Penjabat Presiden Myint Swe. Amerika Serikat yang selama ini menjadi pendukung setia Suu Kyi tentu saja kecewa atas kudeta ini. Sementara di dalam negeri, lagi ramai pula rencana kudeta atas Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari jabatan Ketum Partai Demokrat oleh gerakan Moeldoko yang sekarang menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KKSP). Rencananya AHY mau dikudeta melalui upaya Kongres luar Biasa (KLB). Gonjang-ganjing dan situasi panas di partai yang rada malu-malu untuk beroposisi atau setengah oposisi ini cukup mengejutkan. Sabab rupanya rezim Jokowi ingin menaklukan semua Partai politik yang ada di parlemen. Tinggal Partai Demokrat dan PKS saja yang belum "bergotong royong" dengan Pemerintahan Jokowi. AHY pun berkirim surat segala kepada Presiden Jokowi untuk klarifikasi. Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam)Mahfud MD dalam cuitannya membantah ikut dan tahu soal rencana kudeta di tubuh Partai Demokrat terhadap AHY tersebut. Disamping Moeldoko, ada beberapa menteri yang dicurigai terlibat dengan rencana ini. Sayangnya rencana kudeta ini keburu diketahui oleh kubu AHY. Moeldoko menyatakan, keterlibatan dalam persoalan Partai Demokrat sebagai uruan pribadi. Tak berkaitan dengan Presiden Jokowi ataupun kedudukannya sebagai Kepala KSP. Moeldoko berujar, bahwa kudeta itu dari dalam Partai Demokrat. Bukan dari luar. Mungkin Moeldoko lupa bahwa kudeta itu biasanya biasa digerakkan oleh pihak luar. Moeldoko kini seolah menjadi brutus yang menikam Julius Caesar. Moeldoko yang dulu diangkat oleh Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari mulai Kasdam Jaya, menjadi Pangdam Jaya, lalu menjadi Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), seterusnya menjadi KSAD dan Panglima TNI tersebut, mau memimpin kudeta terhadap partai dan anaknya SBY. Beredar media sosial berbagai fose foto Moeldoko sedang mencium tangan Presiden SBY saat itu. Namun Mooldoko hari ini bukan lagi Moeldoko yang dulu berkali-kali menciun tangannya SBY. Moeldoko sekarang adalah anak buahnya Presiden Jokowi yang diberikan kehormatan dan jabatan sebagai Kepala KSP. Tidak semua orang bisa meraih jabatan tersebut. Bulan Oktober 2020 lalu, pernah ramai juga isu kalau Jokowi akan dikudeta. Anggota Komisi VI dari Fraksi PDIP Darmadi Durianto yang mengangkat isu itu dengan sebutan "kudeta merangkak". Menurutnya, solusi untuk mengantisipasinya adalah Jokowi harus melakukan reshuffle kabinet. Lalu Ketua Brigade 98 juga menyebut ada empat kelompok yang ingin mengkudeta Jokowi yang salah satunya adalah kelompok Cendana. Tiga kelompok lainnya yang mau mengkudeta Presiden Jokowi adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kalangan pengusaha hitam, dan kelompok oligarki. Ujunya adalah HTI dibuabrkan. Langkah pembubaran HTI itu didahului dengan kebijakan Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Masyarakat melihat isu kudeta terhadap Presiden Jokowi hanya "mainan" untuk meningkatkan wibawa Jokowi sendiri yang terus merosot. Kecuali kudeta dalam partai politik, baik melalui pembiayaan "jor-joran" di forum pemilihan Ketua Umum, atau melalui pembelahan partai. Makanya kudeta terhadap seorang Kepala Negara tidak tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia. Nah wajar kita curiga, ke depan bukan mustahil muncul isu kudeta lagi. Apalagi di tengah belepotan dan paniknya pemerintah menghadapi segudang persoalan. Misalnya, gagalnya penangan pandemi covid-19, korupsi yang pelakunya berlindung di sekeliling istana, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), macetnya investasi dari luar, tumpukan hutang luar negeri yang menggunung, daya beli masyarakat yang rendah, serta krisis ekonomi yang sedang terjadi. Rupanya perlu kreativitas palsu-palsuan untuk mendongkrak krisis terhadap kepemimpinan negara. Akan tetapi rakyat itu suah semakin cerdas. Sangat sulit untuk menipu rakyat dengan drama teror, walaupun berjudul kudeta. Acta est fabula, plaudite. "Sandiwara telah berakhir, ayo segera bertepuk tanganlah"! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Wajah Demokrasi Makin Buram di Pemilu Serentak 2024

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Demokrasi direpresentasikan paling nyata dalam pemilu. Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Setiap orang diberi hak suara. One man One vote One value. Di Indonesia, dalam lima tahun, ada sekali pilpres, sekali pileg-pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan 548 kali pilkada. Terdiri dari 514 Kabupaten dan Kota dan 34 Provinsi. UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 menghendaki adanya pemilu serentak 2024. Pilpres, Pileg dan Pilkada diselenggarakan sekaligus. Bersama-sama dalam satu waktu. Belajar dari Pilpres dan Pileg 2019 lalu, ada sebanyak 894 petugas pemilu yang meninggal dunia. Katanya karena faktor kelelahan. Dibilang "katanya", karena beritanya simpang siur. Dan nggak ada hasil investigasi. Maka, diusulkanlah revisi UU tersebut. Dan RUU-nya telah masuk Prolegnas. Ada banyak perubahan di RUU. Termasuk usulan "normaliisasi pilkada" 2022 dan 2023. Semula, hanya PDIP yang menolak. Partai lain, semua sepakat adanya "normalisasi pilkada". Artinya, 2022 dan 2023 tetap ada pilkada. Belakangan, Presiden mendukung pemilu tetap diselenggarakan serentak di 2024, sesuai UU No 10 Tahun 2016 tersebut. Setelah pernyataan presiden ini, banyak partai yang mendadak berbalik. Golkar, Gerindra, PKB, PAN dan PPP mendukung usulan presiden. Otomatis, mendukung PDIP. Total suara partai pendukung usulan presiden itu ada 327 suara di DPR. Sementara hanya PKS, Demokrat dan Nasdem yang tetap bertahan dengan usulan "normalisasi pilkada" 2022 dan 2023. Total suaranya hanya 248. PKS, Nasdem dan Demokrat kalah suara. Maka, keputusannya sudah bisa dibaca: 2022 dan 2023 tidak ada pilkada. Diundur di 2024. Para kepala daerah, gubernur, walikota dan bupati yang habis masa kerjanya tahun 2022 dan 2023 akan diganti oleh Pelaksana Tugas (Plt). Jumlahnya ada 272 kepala daerah. Masing-masing Plt menjabat 1-2 tahun. Dari mana Plt-Plt ini? Akankah semuanya diisi dari pejabat Kemendagri? Ataukah ada yang dari Polri, mengingat Mendagri Tito Karnavian adalah mantan Kapolri? Atau ada yang dari TNI, semacam alasan untuk berbagi? Atau juga ada dari kader parpol yang ditunjuk oleh mendagri? Memang, jika pemilu diselanggarakan serentak, maka akan lebih efisien dari sisi waktu dan biaya. Tetapi sangat berisiko. Petugas akan kelelahan. Belajar dari pemilu 2019 yang hanya pilpres-pileg saja, hampir seribu petugas pemilu meninggal dunia. Meski menyisakan teka-teki, apakah seluruhnya mati karena unsur kelelahan, atau ada faktor lain. Dalam pemilu serentak, manipulasi kemungkinan akan lebih masif. Karena pengawasan sangat terbatas. Cara berpikirnya sangat sederhana. Sebab pemainnya bertambah banyak, sementara jumlah pengawas tetap. Tidak bertambah. Ya pasti tidak proporsional. Pada pemilu 2019, Panwas mengawasi Pilpres danPpileg saja sudah sangat kedodoran. Bagaimana mungkin ditambah lagi dengan pemilihan bupati/walikota dan gubernur? Mau berapa banyak lagi petugas Pemilu yang harus meninggal dunia karena kelelahan. Pemilih pun umumnya gagal fokus. Karena banyaknya jumlah surat suara dan jumlah calonnya. Dalam satu waktu pemilih harus mencoblos surat suara untuk DPRD I, DPRD II, DPR, DPD, bupati/Walikota, Gubernur dan Presiden. Tujuh surat suara. Pasti akan sangat membingungkan. Dua surat suara saja, banyak yang nggak fokus. Apalagi ini tujuh surat suara. Coba hitung jumlah caleg DPR, DPRD I, DPR II, calon DPD, calon bupati/walikota, dan calon gubernur, plus calon presiden-wakil presiden. Kurang lebih ada 40 nama. Anda yang muda dan cerdas saja kebingungan untuk memilih. Apalagi ABG dan para orang tua. Bagaimana mau menghasilkan pejabat yang berkualitas? Anda coba bayangkan ketika mereka kampanye di depan anda. Ada 40 calon yang kampanye. Dan hampir semuanya tidak anda kenal dengan baik. Siapa yang akan anda pilih? Tak sedikit pemilih yang akhirnya pragmatis. Sama-sama tidak kenal, pilih yang kasih uang paling besar. Selama ini, itulah yang banyak terjadi di desa-desa, dan daerah pinggir perkotaan. Pemilih pragmatis. Karena sistem mendorong pemilih untuk bersikap pragmatis. Apalagi, hukum tak pernah hadir disitu. Belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk penghitungan. Bisa sehari semalam. Bahkan sampai pagi. Disini, para saksi juga akan mengalami kelelahan. Apalagi Panwas dan petugas KPPS. Kasihan mereka para petugas itu. Idealnya, ada tiga kali pemilu. Pilkada, pileg dan pilpres dilakukan secara terpisah. Pemilih bisa fokus pada pilihannya. Pengawasan juga bisa dilakukan dengan baik. Masyarakat, lembaga-lembaga independen dan pers bisa jadi alat kontrol untuk menjaga kualitas pemilu. KPPS, Panwas dan para saksi tidak harus menanggung risiko fisik karena faktor kelelahan atau lainnya. Entah apa yang menjadi pertimbangan partai-partai tersebut sehingga pemilu diusulkan serentak. Jangan sampai hasrat politik mengalahkan kepentingan bangsa, termasuk untuk keselamatan petugas KPPS, Panwas dan para saksi. Terutama "yang paling penting" untuk menjaga kualitas hasil pemilu. Selama ini, kualitas pemilu kita sudah buruk. Sarat money politics, intimidatif dan manipulatif. Dengan pemilu serentak, besar kemungkinan akan semakin buruk. Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Presiden Rasis Jika Abu Janda Tidak Diproses Tuntas

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Diproses seriuskah Abu Janda setelah ber hahaha hehehe minta maaf? Cukup sampai di sinikah hukum berbicara? Wah keterlaluan. Ini bukan negara minta maaf, apalagi minta wakaf segala. Ini negara hukum yang menempatkan semua berkedudukan sama di depan hukum. Pejabat dengan rakyat kebanyakan itu sejajar. Profesor Guru Besar dengan badut juga sama. Pengecualian hanya kepada oranag gila yang tak bisa dipidana. Tetapi kalau itu gila-gilaan, maka harus menjadi alasan untuk memperberat hukuman. Begitulah cara hukum itu berbicara, dan memandu penyelenggara negara untuk menegakakan kepada semua warga negara. Hukum tegak tanpa harus memandang siapa latar belakang orang tersebut. Hari Senin kemarin, katanya Abu Janda diperiksa Direktorat Ciber Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Berita yang muncul menyatakan tidak jelas kapan Abu Janda datang ke Bareskrim. Ujug-ujug sudah ada di dalam, dan "sedang diperiksa" katanya. Laporan perbuatan pidana atas dirinya adalah "rasis" dan "penistaan agama" terhadap agama Islam. Masalah sasis dan penistaan atas agama adalah dua delik berat yang mesti dipertanggungjawabkan secara hukum. Sispapun orang . Abu Janda boleh pulang setelah dicecar dengan 50 pertanyaan oleh penyidik. Entah akan ada pemanggilan lanjutan atau tidak? Ditangkap atau tidak? Suka-suka Bareskrim saja. Masyarakat tinggal menonton, apa hasil akhirnya nanti. Toh, dalam kasus penembakan terhadap enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek), Barekrim juga terlihat suka-suka hati. Itu terlihat dari rekonstruksi perkara yang dilakukan Bareskrim terhadap kasus kilometer 50 tol Japek. Arahnya mengikuti keterangan awal yang disampaikan Kepolda Metro Jaya, Irjen Pol. Fadil Imran. Untung saja masih ada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang melakukan penyelidikan. Hasilnya, walaupun dengan bebrbagai catatan yang cenderung kompromistis, namun Komans HAM yang menyatakan penembakan terhadap empat anggota FPI yang berada di dalam penguasaan polisi dari Polda Metro Jaya sebagai pelanggaran HAM. Kalau tidak, maka polisi menjadi benar selamanya, dan FPI menjadi salah selama-lamanya juga. Banyak pihak berkeyakinan Abu Janda akan kena batunya. Tetapi tidak sedikit juga yang skeptis pada keseriusan Direktorat Ciber Bareskrim memeriksa Abu Janda. Seorang jurnalis senior FNN.co.id, Asyari Usman meragukan. Asyari Usman menulis di FNN.co.id edisi Senin (01/02/2021) dengan judul “Abu Janda Ditangka? Anda Pasti Sedang Mimpi Atau Berkhayal". Judul tulisan Asyari usman ini tentu saja merujuk pada beberapa laporan terdahulu yang telah menguap begitu saja. Dari sudut manapun mengaitkan Natalius Pigai dengan "evolusi" adalah penghinaan yang sangat rasis dan keji. Soal penghinaan dapat dimasukkan dalam klacht delict (delik aduan). Tetapi soal rasisme tentu saja tidak. Demikian juga dengan "Islam arogan" mudah untuk dikualifikasikan sebagai penodaan agama. Ahok saja soal tafsir ayat dikenakan hukuman. Bila terbukti dan terpenuhi rumusan delik, serta dukungan publik yang kuat atas perilaku kriminal Abu Janda, namun tidak diproses Direktorat Ciber Bareskrim sebagaimana mestinya, Padahal Abu Janda adalah bagian dari Istana atau "influencer bayaran", kemudian istana membiarkan, maka istana tidak bisa dilepaskan dari tanggungjawab politiknya. Proteksi otoritatif yang layak ikut menanggung dosa. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, khususnya pada Pasal 7 mengingatkan bahwa Pemerintah wajib memberi perlindungan efektif kepada warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis. Perlindungan yang dimaksud itu adalah dengan penegakan hukum melalui proses peradilan. Kepolisian itu di bawah Presiden. Presiden memiliki kewenangan memantau dan memerintahkan. Jika tugas yang dibawah kewenangan itu bekerja lambat atau menyimpang, dapat dan harus ditegur. Tidak bisa dengan enteng berkilah "bukan urusan saya". Ada tanggungjawab moral, politik, dan hukum disana sebagai konsekuensi dari statusnya sebagai Kepala Pemerintahan Indonesia. Tanggungjawab Presiden itu berkaitan dengan sikap pembiaran negara "by omission", yakni negara yang tidak melakukan sesuatu tindakan lebih lanjut untuk melaksanakan yang menjadi kewajiban hukumnya. Rasisme seorang Abu Janda atas Natalius Pigai tidak bisa dibiarkan oleh negara. Pemerintah harus hadir untuk memproteksi. Pembiaran menjadi kejahatan yang berkualifikasi sama bagi pemegang otoritas. Abu Janda yang tidak diproses tuntas dalam kasus rasisme, akan membawa konsekuensi pada predikat bahwa Presiden sebagai Kepala Pemerintahan adalah seorang yang rasis. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Raja, Kapan Engkau Sembuh?

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengutip cerita Sa'di, seorang penyair Persia, dalam karyanya yang diberi judul "Gulistan" . Ketika itu ada seorang Raja Yunani yang sedang sakit. Sakitnya parah, dan kabarnya susah disembuhkan. Oleh tabib, Raja diberi resep, “potong leher pemuda dan dijadikan tumbal”. Ditunjukkan oleh tabib ciri-ciri pemuda itu. Singkat cerita, pemuda itu ditemukan. Kedua orang tuanya diberi banyak yang uang, dan sangat senang. Pengadilan pun membuat keputusan bahwa untuk menyelamatkan Raja, sah nyawa pemuda dikorbankan. Lalu tiba saatnya pemuda itu dihadapkan kepada Raja, dan siap dieksekusi. Ketika di depan Raja, pemuda itu mengangkat kepalanya ke langit, lalu tersenyum. "Dalam keadaan seperti ini, kamu masih bisa tersenyum?" Tanya Raja. Pemuda itu menjawab, "orang tua yang seharusnya melindungi dan merawat anaknya, tetapi justru menjualnya demi uang. Hakim Agung mestinya menjadi tempat pengaduan, tetapi menvonisnya. Dan Raja seyogianya menjadi tempat mencari keadilan, tetapi malah sewenang-wenang. Selain Tuhan, tak ada lagi yang bisa menolongku."Kemana aku harus lari dari cengkeraman tanganmu? Aku kucari keadilan yang bertentangan dengan kekuasaanmu". Kegitu kata-kata pemuda tersebut menutup kalimatnya. Pemuda hanya berharap pertolongan Tuhan. Mendengat kata-kata pemuda itu, hati sanga Raja tersentuh. Raja menangis dan berkata, "lebih baik aku yang binasa daripada menumpahkan darah pemuda yang tidak bersalah". Lalu, Raja memeluk pemuda itu dan mencium kepalanya. Pemuda itupun diberi hadiah dan disuruh pulang. Setelah itu, Raja sembuh dari penyakitnya. Luar biasa sang Raja. Pesan cerita ini sangat patut untuk dicontoi para penguasa. Sebab jika seorang Raja ingin sembuh dari penyakitnya, maka dengarkan anak-anak muda. Peluklah dan sayangi mereka. Sebab, mereka adalah generasi masa depan yang menyelamatkan bangsa dan negara. Anak-anak muda itu sekarang ada di kampus-kampus. Bebaskan mereka dari segala bentuk intimidasi para rektor yang dikendalikan oleh SK Menteri. Anak-anak muda itu juga menyebar di berbagai media. Jangan berangus mereka dengan menyandera para pemilik media. Anak-anak muda itu juga aktif di berbagai organisasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok-kelompok studi, forum-forum kajian dan pengajian. Jangan habisi mereka ketika mereka datang dan mengingatkan Sang Raja. Karena pasti ada manfaatnya anak-anak muda itu. Biarkan mereka bicara, tanpa tekanan dan rasa ketakutan. Jika mereka takut, lalu bisu dan tak bicara, maka mereka tidak akan bisa menyembuhkan Raja. Hanya mereka yang menjadi obat Raja. Kejujuran, ketulusan dan idealisme mereka adalah obat untuk kesembuhan Raja. Untuk itu, Raja harus segera disembuhkan. Jika Raja sakit, bangsa dan negara juga ikut sakit. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Bangsa Terbelah, Ini Sangat Menyedihkan

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Kalah menang, itu biasa. Termasuk kalah menang dalam pemilu. Kalau yang kalah itu kecewa, wajar. Secara psikologis, ini manusiawi. Sebagian ada yang belum move on, harus juga dimaklumi sebagai wajar juga. Tugas kita, terutama pemenang, menyadarkan mereka yang belum move on itu. Menyapa dan merangkulnya. Jumlah mereka nggak banyak, dan mudah untuk dipulihkan. Yang menjadi masalah, dan soal ini cukup serius adalah, orang-orang yang melakukan kritik kepada pemerintah dituduh sebagai bagian dari kelompok yang belum move on. Dianggap sebaga kelompok mencari-cari kesalahan dan mau menjatuhkan wibawa pemerintah. Disini letak kesalahannya. Di tengah gendutnya koalisi penguasa, posisi pemerintah saat ini sangat kuat. Nyaris tidak terkontrol. Partai-partai nyaman dengan berbagai posisi dan bagiannya. DPR menjadi lumpuh. Tidak lagi punya gigih, kecuali hanya menjadi legitimator bagi keputusan dan kerja eksekutif. Ini sangat menyedihkan. DPR terburuk dalam sejarah demokrasi negeri ini. Pers dan mahasiswa juga tiarap. Disini, penguasa cenderung berprilaku semaunya. Banyak kebijakan yang tak aspiratif dan tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Kebjakan yang dibuat pemerintah lebih utama untuk menampung kepentingan oligarki dan konglomerasi licik, picik, culas, tamak dan rakus. Rakyat hanya menonton main pemerintah bersama oligarki dan konglomerasi. Dalam situasi seperti ini, pemerintah perlu diingatkan. Disini, perlu orang-orang yang kritis yang mau mengontrol kinerja dan memberi peringatan ketika ada kebijakan pemerintah yang keliru. Supaya ada check and balances. Supaya pemerintah tau kalau rakyat itu kritis. Sehingga pemerintah tidak asal-asalan dalam membuat kebijakan negara. Setiap rezim, selalu muncul orang-orang dan kelompok idealis. Mereka lahir untuk meluruskan arah kebijakan penguasa yang salah. Menembalikan penguasa kepada tujuan bernegara yang digariskan oleh para pendiri bangsa. Ini terjadi dari zaman awal kemerdekaan, hingga era reformasi. Dan saat ini, kita sedang menghadapi era neo-reformasi. Era yang berbeda sama sekali dari pra dan pasca reformasi. Sayangnya, munculnya kritik seringkali dianggap sebagai upaya menjatuhkan penguasa. Ini yang keliru. Jika kritik itu datang bukan dari kelompok pendukung, dituduh belum move on. Jika kritik berasal dari pendukung, dianggap sakit hati karena tak mendapat posisi. Gak ada yang bener. Parahnya, ada petugas khusus yang disiapkan untuk menghadapi para pengkritik ini. Mulai dari buzzer rupiah, hingga yang bertugas sebagai pelapor ke polisi. Mereka seperti "kebal hukum". Diduga kuat ada pihak yang melindungi mereka. Mereka bisa dengan leluasa mempolisikan siapa saja yang dianggap sebagai oposisi kepada kekuasan. Hebat sekali mereka. Sampai disini, keterbelahan yang sudah muncul saat pemilu, sekarang makin parah. Penguasa tidak terlihat merangkul pendukung yang kalah. Sementara kerja buzzer rupiah bekerja semakin masif untuk merusak tatanan persatuan dan kesatuan. Pancasila dan NKRI seringkali menjadi mainan narasi melawan kelompok pengeritik. Media dan medsos isinya penuh provokasi. Aksi dan reaksi kedua belah pihak terus mengambil sejarah kegaduhan bangsa ini. Istilah dan nama "binatang" sudah jadi identitas kebanggaan masing-masing kelompok. Sopan santun dan sikap saling menghargai sebagai ciri khas dan karakter bangsa mendadak hilang dari kehidupan kita. Mendadak dan cepat giganti dengan cacian dan kebencian. Sekedar analogi, jika di dalam rumah anda selalu terjadi keributan, jangan salahkan anak-anak. Tetapi, itu salah ayah dan ibunya. Mereka adalah orang tua yang diberi kepercayaan mengelola rumah tangga. Artinya, kalau ribut terus, berarti bapak-ibunya nggak becus urus itu rumah tangga. Negara adalah rumah tangga dalam bentuk yang lebih besar. Saat ini, setiap orang seolah dipaksa untuk memilih. Anda berada disini, atau berada disana? Kalau nggak disini, berarti anda musuh kami. Stigma ini membuat banyak intelektual kehilangan jati diri dan akal sehatnya. Agamawan telah dihadap-hadapkan dalam arena pro dan kontra. Yang pro dapat uang, yang kontra seringkali diancam. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (ITE) serta Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 7/2021 tentang "Ektrimisme" yang dipikir bisa diharapkan jadi solusi, ternyata malah banyak kontradiksi. Bukannya mendamaikan atau menyatukan. Tetapi malah semakin menambah ketakutan dan keterbelahan anak bangsa. Lalu apa solusinya? Pertama, rangkul para pengkritik dengan cara mendengarkan mereka. Negara akan sehat jika kritik didengarkan. Jangan anggap mereka sebagai musuh. Kedua, hentikan buzzer rupiah yang terus membuat kegaduhan. Stop anggarannya, mereka akan berhenti. Sebab, operasional buzzer rupiah itu cukup besar. Tanpa biaya operasional, mereka nggak bisa beroperasi. Stop itu. Ketiga, hadirkan hukum untuk memberi rasa keadilan kepada semua rakyat. Jika demokrasi berjalan normal dan wajar, tidak ada lagi orang-orang sewaan yang bekerja untuk memproduksi kegaduhan di masyarakat. Hukum ditegakan di atas semua golongan, maka Indonesia akan menyuguhkan kenyamanan dan selamat dari keterbelahan. Sampai disini, kita bisa teriak bersama bahwa "NKRI Harga Mati". Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Memori 13 Tahun Wafatnya Jendral Besar Soeharto

by Irjen Pol. (Purn.) Anton Tebah Digdoyo Jakarta FNN - Tanggal 27 Januari 2021 ini, insya Allah baik untuk kita membuka memori hari wafatnya Bapak Pembangunan Indonesia Jendral Besar TNI (Purn.) Soeharto. Pak Harto wafat tanggal 27 Januari 2008, pada 13 tahun silam. Bersyukur, saya yang hanya alumni Sekolah Calon Perwira (SECAPA) Polri pernah ditugaskan menjadi Sekretaris Pribadi (Spri) wong agung Jendral Besar Soeharto. Mendampingi Pak harto di hari-hari yang sulit. Karena tiada hari tanpa demo. Bahkan terpaksa sering ikut menghalau demonstran yang merangsek ke kediaman beliau di Jalan Cendana Menteng. Namun menjelang akhir hayatnya, beliau banyak difitnah terutama oleh keluarga ex Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kelompok-kelompok yang pro dengan PPKI. Majalah TIME bahkan ikut-ikutan memfitnah Pak Harto. TIME memberitakan kalau Pak Harto nyimpan uang triliyunan rupiah di bank-bank Swis. Dengan pemberitaan ini, Pak Harto yang balik menantang semua orang atau pihak yang telah memfinahnya. Jika ada uangnya sepeserpun di bank-bank Swis, maka silakan saja diambil atau disita untuk negara. Untuk membiayai kegiatan pembangunan nasional. Tragisnya, Presiden Gus Dur ketika itu ikut-ikutan percaya juga. Sehingga Gus Dur perintahkan Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk melakukan penyelidikan ke bank-bank di Swis dan negara-negara lain. Saya dan Kapolri dipanggil Jaksa Agung untuk ikut membuat perencanaan penyelidikan. Walhasil Jaksa Agung tidak menemukan simpanan apapun dari Pak Harto di bank-bank Swis. Akhirnya Pak Harto yang balik menuntut secara hukum terhadap Majalah TIME. Hakim memvonis Majalah TIME bersalah, dan harus membayar denda akibat berita fitnah. Tdak cukup sampai di situ. Di dalam negeri, Pak Harto juga difitnah sebagai Pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi penuduh tak bisa buktikan tuduhannya. Bahkan berkat Bapak Pembangunan Indonesia inilah, tidak ada perang antar suku. Tidak ada penistaan kepada agama, nggak ada pembantaian. Tidak juga ada pembakaran masjid dan lain-lain. Dikau disebut kejam. Tetapi berkat Pak harto juga Indonesia nggak ada teroris, nggak ada itu bom Bali, nggak ada kriminalisasi ulama, nggak ada pembakaran mesjid dan pasantren. Dikau disebut koruptor. Tetapi berkat pembangunan yang pesat digalakan di segala bidang, bisa nyaur utang peninggalan dari presiden sebelumnya. Dikai difitnah sebagai penindas rakyat. Tetapi berkat bapak, petani menjadi subur, dan hidup makmur. Bisa Swasembada Pangan. Bisa membantu beras ke negara-negara lain. Diberikan pengahargaan oleh FAO, organ PBB sebagai negara yang sukses mencapai Swasembada Pangan. Kalau difitnah sebagai koruptor hebat, maka selama 33 tahun berkuasa, seharusnya Pak Harto menjadi orang terkaya di dunia. Tetapi nyatanya pak harto hidup sangat sederhana. Makan pun seadanya dengan makanan kesukaannya sayur lodeh dan tempe garit. Pak Harto dituduh Dalang PKI. Tetapi berkat Pak Harto juga PKI tidak bisa berkutik. Bila tuduhan itu benar, maka Pah harto pasti sudah dihabisi Jendral Nasution waktu itu . Selama 33 tahun berkuasa, Indonesia di tangan Pak harto seharusnya sudah menjadi negara komunis. Dikau disebut tak bermoral. Tetapi era bapak Indonesia nggak menjadi sarang narkoba. Nggak ada LGBT yang berani buka suara. Nggak ada yang berani sebut pesantren sebagai sarang teroris. Ngga ada bisa menyebut Hafidz Quran dan masjid sumber radikal. Nggak ada yang berani rendahkan tenaga Kerja Indonesia (TKI), lalu diganti dengan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Republik rakyat Cina (RRC). Nggak ada yang rasisme. Nggak ada juga tuh BuzerRp! Dikau disebut pengkhianat bangsa. Tetapi sejengkal tanah pun negara lain nggak ada yg berani ganggu. Nggak ada kapal-kapal asing yang bebas masuk ke laut perairan kita. Timor Timor tak akan lepas. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Kapal Tanker, Indosat, pulau nggak akan dijual. Faktanya ratusan juta rakyat mencintaimu. Berjuta rakyat mengantar ke pemakamanmu. Kini hampir semua rakyat Indonesia merindukanmu. Selalu mengenang sesanti Pak Harto dengan yang senyum sumringah. Para kepala negara dunia menyebutnya dengan “The Smiling General”. Enak Jamanku To!!! Bagiku dikau adalah “Macan Asia”. Sampai saat ini belum ada yang bisa mejadi sepertimu. Kini yang ada hanya silih hujat, silih dengki, silih caci. Sehingga apapun masalahnya, selalu saja radikalisme, intoleransi dan ekstrimisme yang menjadii kambing hitamnya. Fitnah bertebaran sana-sini. Ruwet, Ruwet, Ruwet, dan Ruwet.. Nggak bisa membangun, malah utang yang menggunung. Mengenang hari wafatnya Bapak Pembangunan Indonesia pada 27 Januari 2008 - 27 Januari 2021. Semoga bapak bahagia di alam baka. Terima kasih untuk semua karya bapak dalam membangun bangsa, termasuk 999 masjid dan infrastruktur beribu-ribu kilometer yang tersebar di seluruh NKRI sebagai amal jariyyah yang pahalanya terus ngalir deras hingga yaumil kiyamah. Alfatihah untuk Bapak Pembangunan Jendral Besar TNI (Purn.) Soeharto. Aaamien ...... Penulis adalah Sekretaris Pribadi Bapak Soeharto Setelah Turun Dari Presiden.

Korban Yang Terus Berjatuhan (#2 serial derita rakyat)

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN - Setelah menulis artikel “Luka Hati Rakyat Yang Semakin Dalam” (#1), saya lanjutkan dengan serial derita rakyat ini. Sebelum menulis artikel ini saya membayangkan wajah sepupu dan ponakan saya yang positif covid. Mereka harus dibantu ventilator di Rumah Sakit. Ada juga saudara yang melakukan karantina mandiri sendirian dirumah berhari-hari. Juga tetangga satu keluarga berlima semuanya diboyong dalam penanganan Rumah Sakit. Membayangkan juga wajah dua teman seangkatan dan satu kolega yang sudah lebih dulu dipanggil Allah pekan lalu. Juga terngiang wajah tetangga dan anak muda yang lebih dulu dipanggil sang Maha Pencipta beberapa hari lalu. Teriring do'a untuk semuanya yang telah wafat semoga husnul khotimah. Semoga dilapangkan kuburnya dan ditempatkan di Surga-Nya. Aamiin. Peristiwanya terasa begitu cepat. Hanya berselang beberapa hari saja, kemudian Allah Subhaanahu Wata'ala memutuskan, kami berpisah untuk selamanya. Mereka berada di alam kubur dan menuju akhirat kelak. Cerita diatas sengaja saya narasikan untuk mengingatkan kita semua khususnya penguasa rezim ini, bahwa situasi Covid-19 di Indonesia memasuki episode berbahaya. Positivity rate-nya lebih dari 20%. Empat kali lipat lebih dari standar WHO yang 5%. Bagi yang tinggal di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Banten,Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Papua, Riau, Sumatra Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan serta mungkin provinsi lainya, suasana yang saya rasakan kemungkinan dialami juga di wilayah tersebut. Kalau bukan kita sendiri, keluarga, tetangga, saudara, mungkin teman kantor, atau teman seangkatan ada yang positif covid atau bahkan ada yang meninggal dunia. Saat tulisan ini dibuat, update positif Covid-19 terkonfirmasi lebih dari 1 juta, dan yang meninggal dunia sudah mencapai 29.518 jiwa. Angka yang tentunya mencengangkan kita semua, sambil bertanya-tanya, apa saja ya kerja pemerintah untuk mengatasi Covid-19 ini? Ko semakin bertambah? Tidak ada tanda-tanda bakal menurun angka harian yang positif tertular. Menteri Kesehatan yang baru sempat berkata "saya sudah kapok, saya tidak mau lagi memakai data Kemenkes". Pada respon berikutnya Menkes mengatakan "cara testingnya salah. Testingnya banyak, tetapi kok naik terus". Kemudian Menteri Kesehatan juga mengatakan "600 tenaga kesehatan yang wafat, jangan sampai mereka wafat sia-sia". Narasi diatas ada kesan Menkes berfikir keras berpadu dengan cemas. Bahkan mengarah ada semacam kekhawatiran yang besar. Bagaimana mungkin data kementrian yang tidak dipercaya oleh menterinya sendiri? Kejadian seperti ini baru pernah terjadi. Mencermati fenomena itu, saya tiba-tiba saja teringat respon pemerintah pusat hampir setahun lalu, yang menolak menerapkan lockdown wilayah Ibukota Jakarta. Alasannya pemerintah ketika itu karena lebih mengutamakan nasib ekonomi dibanding nyawa rakyat. Sesumbar bahwa tak mungkin ada yang terjangkit virus Corona di Indonesia. Dengan keyakinan itu, pemerintah memberi diskon 30% kepada para wisatawan yang berkunjung ke Indonesia saat pandemi. Pemerintah bahkan membiayai influencer puluhan milyaran rupiah untuk ajak wisatawan datang ke Indonesia. Tetapi ekonomi terus memburuk hingga saat ini, padahal ratusan triliun rupiah sudah dikucurkan untuk atasi ekonomi. Ada juga pejabat penting yang berkelakar waktu itu dengan mengatakan izinya berbelit-belit virus Corona tidak masuk Indonesia, juga berkelakar COVID-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing jadi kebal, dan lain-lain. Kelakar yang tidak sensitif pada derita publik. Begitu kasus terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai angka 1 juta orang lebih, dan yang meninggal lebih dari 29.000 orang, penguasa justru bersyukur. Katanya pemerintah bisa mengendalikan Covid-19. Ironi cara berkomunikasi penguasa. Faktanya penanganan masih sengkarut. Baik pelaksanaan testing (pengetesan), tracing (pelacakan), treatment (perawatan) masih rendah dan belum merata. Pelaksanaan protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) juga kian longgar, karena sejak awal rezim tidak mau tegas, masih membolehkan lalu lintas sosial dari dan ke Jakarta dan ke tempat-tempat lain. Kabar terbaru 153 Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Republik Rakyat Cina (RRC) beberapa hari lalu masuk Indonesia melalui bandara Sekarno Hatta. Penjangkitan Covid-19 terus meningkat. Sementara dari sisi fasilitas juga kekurangan ruang isolasi dan tenaga kesehatan (nakes) yang makin berkurang karena menjadi korban. Realisasi insentif nakes yang belum tuntas, sengkarut data vaksinasi, hingga buruknya komunikasi publik menunjukan pemerintah semakin tidak berwibawa di mata rakyat. Baru-baru ini Lowy Institute (28/1/2021), sebuah lembaga independen terkemuka yang berkedudukan di Sydney Australia merilis indeks kinerja penanganan Covid-19. Indonesia menduduki posisi ke 85 dari 98 negara di dunia. Posisi Indonesia jauh dibawah Vietnam (2), Thailand (4), Singapura (13), Malaysia (16), Myanmar(24) dan Filipina (79). Bukankah itu bukti bahwa tata kelola penanganan Covid-19 sangat buruk. Bahkan terlihat sporadis dan makin dikacaukan oleh komunikasi penguasa yang buruk atau memang menunjukan buruknya manajemen penanganan Covid. Keburukan yang bukan semata-mata dari satgas, tetapi dari orang nomor satu di republik ini? Pertanyaan publik seperti itu sering muncul dalam diskursus biopolitic diberbagai forum diskusi. Sebab faktanya korban terus berjatuhan dan seringkali aspirasi solutif yang berbeda tidak didengar. Maka, secara rasional wajar jika ada yang bertanya apakah korban yang berjatuhan itu karena perilaku korban atau karena leadership penanganan yang salah? Yang jelas korban terus berjatuhan! Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Mau Jadi Presiden?

by Tony Rosyid Jakarta FNN- Pemimpin itu soal nasib. Betul itu. Banyak orang yang tak layak, tetapi jadi pemimpin. Inilah yang disebut "holders of exceptional positions". Orang bodoh yang mengambil porsinya orang pintar. Dia bisa menjadi kepala daerah atau presiden karena nasib saja. Meski tak memenuhi syarat, baik itu integritas dan kapasitas. Sistem pemilu di Indonesia memberi ruang bagi mereka yang tak memenuhi "syarat substansial" untuk menjadi pemimpin. Sebab, untuk menjadi pemimpin di negeri ini hanya butuh popularitas dan akses ke pendanaan. Kalau syarat subtansial ini sudah dipenuhi, maka jalan untuk menjadi pemimpin terbuka. Soal popularitas, pelajari saja apa yang diminati media. Semua sikap dan tindakan disesuaikan dengan kebutuhan media, pasti populer. Blusukan, masuk gorong-gorong, datangi gelandangan, nyebur ke comberan, ikut becek-becek bersama petani, itu yang disukai media. Dengan modal popularitas dan akses dana, anda bisa beli tiket partai dan menghipnotis pemilih. Cukup itu saja. Simple kan? Bicara "syarat substansial", pemimpin idealnya adalah orang yang banyak membaca. Ini bukan hanya soal pengetahuan dan wawasan saja. Tetapi yang terutama soal mental. Orang yang banyak baca, setidaknya dia pertama, mau mendengar banyak ide dan gagasan. Kedua, peduli pada data. Ketiga, menganggap penting analisis dan kajian. Pemimpin yang tak suka, atau miskin bacaan, sulit mendengar pendapat orang lain. Cenderung tak peduli pada data. Tidak menyaring banyak pandangan, dan abai terhadap kajian. Yang penting kerja dan kerja. Tidak sabar, dan ingin serba cepat. Instan dan spontan. Pokoknya, dengar atau lihat masalah, langsung selesaikan. Tak berpikir tingkat efektifitas dan dampaknya. Yang penting, selesaikan. Lihat orang gak bisa nyebrang, bikin pelabuhan. Beli kapal-kapal, agar masyarakat bisa nyebrang. Nggak berpikir kemampuan biayanya. Berapa besar manfaatnya, dan bagaimana cost kedepannya? Pokoknya dermaga harus dibuat. Ya, banyak sepidan mangkrak. Kenapa? Karena tidak berbasis pada kajian. Lihat itu bandar udara Kertajati Jawa Barat. Ingin setiap daerah tumbuh ekonominya, bikin jalan tol. Bahkan bila perlu, di semua provinsi ada tol. Pertanyaanya, apakah masyarakat di wilayah itu butuh jalan tol? Kalau nggak butuh, tol pastui sepi. Nggak mampu biaya perawatan. Bangkrut, dijual. Semua ini karena program tak berbasis kajian. Ada juga yang nggak tahan lihat gelandangan. Main kasih rekomendasi kerja di BUMN. Nggak melihat dulu apa masalah mereka? Berapa banyak jumlahnya? dan dimana sebaran wilayahnya? Nggak mengkaji lebih dulu program menteri sebelumnya, mana yang belum efektif? Apa yang salah dan perlu dibenahi dari program sebelumnya? Pokoknya, kasih kerjaan. Emang mereka lagi cari kerja? Selain memperlebar telinga, menajamkan mata, dan membuat peka syaraf otak, membaca memberi wawasan dan kekayaan pandangan. Dengan membaca, seorang pemimpin punya banyak alternatif dalam membuat keputusan. Ini akan mempengaruhi kematangannya dalam membuat setiap kebijakan. Selain membaca, seorang pemimpin mesti gaul. Maksudnya, banyak relasi. Ketika dia jadi pemimpin, kenal banyak orang dengan latar belakang profesi dan kemampuannya. Lalu menyiapkan orang-orang yang layak untuk diajak berkolaborasi mengelola negara. Tahu integritas dan kapasitas mereka. Bukan hanya berpikir bagaimana menang, tetapi juga bagaimana mengisi kemenangan itu. Nah, disini seorang pemimpin butuh teknokrat handal dan berintegritas. Idealnya, seorang pemimpin punya latar belakang aktifis yang akrab dengan persoalan-persoalan bangsa. Aktifis di dalam atau di luar pemerintahan. Lepas apapun profesinya, keakraban dengan problem bangsa akan membantunya untuk memahami dan memetakan persoalan. Aktifis itu terlatih berpikir cerdas, bertindak cepat dan terukur. Tidak seperti akademisi tulen yang terkungkung oleh teori-teori dan muter-muter dalam wacana. Aktifis itu paham masalah, tahu teorinya, cepat keputusannya. Poinnya, sebelum jadi pemimpin, ia mesti paham apa masalah yang dihadapi bangsa ini. Ada gagasan di otaknya bagaimana menyelesaikan masalah itu. Bayangkan, jika seorang pemimpin nggak punya data. Nggak paham masalah. Nggak tahu apa-apa soal bangsa. Bagaimana dia punya gagasan dan program. Akibatnya, banyak pemimpin yang nggak paham apa yang diucapkan dan dijanjikan saat kampanye. Sebab, yang membuat janji itu timsesnya, bukan dirinya. Dia nggak paham janji yang disampaikan itu. Paham saja enggak, bagaimana melaksanakan? Model-model man of contradictions di negeri ini banyak. Karena tak memenuhi "syarat substansial" sebagai pemimpin. Ngaco jadinya. Asal kerja saja. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Berkhianat, Sandiaga Uno Tidak Laku Jualan Wakaf

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Soal wakaf uang sebagai gerakan nasional yang ikut diserukan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno ternyata mendapat respon yang negatif dari publik. Netizen menyatakan keengganan untuk mengikuti ajakan Uno. Karena Sandiaga Uno sudah dianggap sebagai penghianat berat kepada para pendukung setianya. Sandiaga Uno bukan lagi orang yang berpengaruh di mata para pendukungnya seperti dulu. Tidak lagi hebat seperti saat mengikuti Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang berpasangan dengan Anies Baswedan, maupun Pilpres 2019 ketika berpasangan dengan Prabowo. Sandiaga Uno sudah seperti barang rongsokan di mata pendukungnya. Begitulah resikonya kalau menjadi penghianat. Biasanya tidak ada ampun dan maaf untuk penghianat. Namun ada maaf untuk musuh. Penolakan kepada Sandiga Uno ini menyangkut kredibilitas Sandiaga yang merosot setelah menjabat sebagai menteri di kabinet Jokowi-Amin . Berberbeda Sandiga Uno saat menjadi Cawapres, yang begitu dielu-elukan, dengan setelah menjadi Menteri yang disesalkan banyak orang. Memang tidak ada penghianat disenangi oleh pendukungnya setelah berhianat. Begitulah hukum alam. Sandiaga Uno menyatu dengan citra kabinet yang sangat buruk. Bahkan dbilang bobrok. Sandiaga tidak akan mampu berkreasi sendiri untuk meningkatkan daya dukung publik kepada pemerintahan Jokowi. Aapalagi untuk kampanye wakaf uang. Publik, terutama mantan pendukung setia tetap saja menilai Sandiaga Uno akan mati, karena berada di jajaran Kabinet Jokowi. Tidak value yang bisa dibuat oleh Sandiaga jika berada di dalam kabinet. Nasib Sandiga Uno tidak bakalan berbeda jauh dengan senior dan pasangan Capresnya yaitu Prabowo Subianto. Keberadaan lawan tanding Jokowi-Amin di Pilpres 2019 ini memberi pelajaran tentang kematian itu. Sandiaga Uno muda dan bermasa depan itu hanya diolok-olok saat mendapat tugas mulai dari Menteri Kordinator Kemaritiman dan Investasi (Menkomarinvest) Luhut Panjaitan untuk memperbaiki toilet. Kalau Prabowo sudah duluan mendapatkan tugas dari mulia Prasiden Jokowi untuk menanam singkong dan mengembangkan pertanian. Kini giliran Sandiaga Uno mendapat tugas dari Luhut untuk mengurus , memperbaiki dan membersihkan WC. Sungguh hebat, dan sangat luar biasa tugas yang diberikan Jokowi kepada Prabowo, dan tugas dari Luhut Panjaitan kepada Sandiaga Uno. Tinggal dilaksanakan dengan baik, dan penuh tanggaung jawab saja. Semoga saja berhasil. Profil kesalehan diri Sandiaga Uno tidak mampu mendongkrak kharisma untuk berbicara dengan wibawa soal gerakan wakaf. Sebagian rakyat, khususnya umat Islam menilai bahwa gerakan wakaf uang yang dicanangkan Pemerintah Jokowi merupakan program ambivalen atau sikap munafik. Bahkan menyebut mengemis-ngemis untuk menarik dana umat. Sindirannya kencleng. Masjid pun sedang dilirik. Makanya mesjid-mesjid harus mulai dijaga ketat. Sebab di satu sisi umat Islam dicoba untuk dilumpuhkan dengan isu-isu radikalisme, intoleransi, terorisme dan ekstrimisme. Begitu juga dengan kriminalisasi terhadap ulama dan aktivis oposisi kritis yang terlihat masif. Ulama dan aktivis dijebloskan ke dalam penjara oleh penguasa. Eh, sekarang sumber-sumber dana umat Islam via zakat, haji dan wakaf justru mau diambil pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Sementara para perampok uang negara banyak terlihat berlindung di sekeliling Istana. Pekerjaaan untuk meyakinkan umat Islam dan para man pendunngnya inilah yang sekarang dicoba untuk dikerjakan oleh Sandiaga Uno. Sayangnya, mendapat rospon negatif. Sandiaga Uno pasti juga dapat membaca bagaimana potensial, anak muda, dan kreatifnya Menteri Pendidikan (Mendikbud) Nadiem makarim. Nadiem yang sangat dipercaya Jokowi, namun nyatanya tak berkutik juga di dalam Kabinet. Kualifikasinya biasa-biasa saja. Bahkan boleh dibilang tanpa prestasi. Banyak membuat kebijakan yang bertabrakan dengan kalangan kampus dan dunia pendidikan. Air di dalam kolam kabinet pemerintahan tidak jernih. Airnya kabur dan berbau. Kurang layak untuk dikonsumsi. Makanya kalau masuk ke dalamnya, pasti ikut tercemar. Jadi, sebaiknya Sandiga Uno fokus saja pada pilihan untuk mengurus masalah pariwisata dan ekonomi kreatif. Masalah wakaf biarlah para ulama dan ormas Islam yang jauh lebih paham dan kompeten. Setelah menyasar dana wakaf, disamping menyesalkan Sandiaga Uno, publik juga banyak menyindir Jokowi dan Sri Mulyani dengan diksi "mendadak mnjadi kadrun-kadrun". Padahal kadrun-kadrun menjadi sumber cemoohan dari “yang ono”. Kadrun-kadrun disetarakan “yang ono” dengan radikalisme, intoleransi, terorisme dan ekstrimisme. Pemerintah itu rupanya mulai sadar bahwa yang kearab-araban itu diperlukan juga, hi hi hi. Makanya jangan sok anti Islam, ya boss. Giliran urusan duit umat Islam, mata loe membelalak, heheheheheee. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.