NASIONAL
Presiden Tiga Priode Bukan Ilusi
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Wacana tiga periode masa jabatan Presiden terus menggelinding. Gagasan ini sejalan dengan agenda Amandemen UUD yang ingin menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Publik melihat ini sebagai agenda tersembunyi. Berbagai elemen masyarakat mewacanakan melalui berbagai spanduk dan pandangan kalangan politisi. Misaslnya, seperti yang diungkapkan oleh mantan politisi Partai Gerindra Arief Poyouno atau Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR, Saan Mustofa. Arief yakin 85% rakyat mendukung gagasan tiga periode. Pandangan Amien Rais untuk mewaspadai kemungkinan amandemen UUD 1945 dipakai sebagai pintu masuk untuk penambahan periode jabatan Presiden mengingatkan dirinya bahwa saat memimpin sidang-sidang MPR. Ketika itu MPR justru mengamandemen dari tidak terbatasnya masa jabatan Presiden yang dipraktekkan rezim Orla dan Orba menjadi hanya dua periode saja. Reaksi Presiden Jokowi yang menolak atas usulan tiga periode yang dinilai menampar, mencari muka, dan menjerumuskan itu belum mampu meyakinkan publik. Masalahnya adalah kepentingan koalisi yang dapat mendaulat dengan dalih dukungan rakyat. Disamping tentunya tingkat kepercayaan publik yang rendah pada ucapan dan kebijakan Presiden Jokowi. Buku karya Ben Bland yang berjudul "Man of Contradictions : Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia" cukup menggelitik. Profil Jokowi digambarkan penuh dengan kontradiksi. Jokowi adalah seorang demokrat yang terjebak dalam otoritarianisme. Orientasi ekonominya liberal, tetapi prakteknya adalah proteksionisme. Presiden mencitrakan diri sebagai rakyat, namun dikelilingi oleh elite oliganki dan konglomerasi busuk, picik, licik dan culas. Jokowi terlihat menjunjung keberagaman, tetapi dia berlindung dibalik kelompok konservatif". Jokowi memang tak memiliki visi politik dan semangat demokrasi. Maunya pemerintahan tanpa oposisi. Menurutnya demokrasi liberal tak cocok dengan nilai-nilai demokrasi Indonesia yaitu gotong royong. Arahnya adalah otoritarianisme. Partai Politik dan Parlemen yang dikuasai. Bland menyebut Jokowi sebagai "orang partai Soekarno yang berfikir layaknya Soeharto". Dari aspek Hukum Tata Negara semangat PDIP dan partai lain yang ingin mengembalikan kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN atau kini PPHN sebagai pedoman bagi Presiden untuk menjalankan pemerintahan, membawa konsekuensi pada kedudukan Presiden sebagai Mandataris. Dengan demikian, Presiden harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan GBHN atau PPHN kepada MPR. Artinya, terbuka untuk Presiden dipilih oleh MPR kembali. Adapun arah wacana dari perpanjangan jabatan hingga tiga periode, memiliki beberapa target politik. Pertama, untuk meng-upgrade wibawa Presiden yang semakin ambruk. Predikat Presiden tanpa prestasi, tukang hutang, spesialis ingkar janji, atau tidak kapabel menunjukkan kerendahan wibawa. Dengan wacana tiga periode, beserta penolakannya, maka dicitrakan bahwa sebagai Presiden itu hebat, sehingga masih dibutuhkan lagi. Kedua, politik dialektika yang sedang dimainkan. Tesisnya dukungan tiga periode, anti tesis Jokowi menolak. Sintesisnya adalah proteksi keamanan dan kepentingan pasca turun di 2024 bersama dengan para dinastinya. Ada jaminan dari partai koalisi, termasuk Partai Demokrat yang baru dilumpuhkan atau dibajak oleh Moeldoko. Ketiga, memastikan untuk berakhir sampai 2024. Desakan untuk mundur sebelum 2024 semakin menguat sejalan dengan rontoknya ekonomi, persoalan hak asasi, gonjang ganjing ideologi. Begitu juga dengan indeks demokrasi yang anjlok serta rapat merat penegakan Hak Asasi Manusia (HAM ) dari Kominasi Nasional (Komnas HAM). Penanganan pandemi covid-19 yang juga membuat frustasi. Wacana tiga periode adalah melompat dalam optimisme untuk membungkus pesimisme. Jokowi lebih pantas mundur sebelum 2024. Langkah ini sebagai upaya penyelamatan bangsa dan negara dari keterpurukan. Mundur sebelum 2024 jauh lebih baik untuk upaya pemulihan ekonomi, politik dan sosial budaya. Teriakan palsu menolak atau menganggap ilusi jabatan Presiden tiga periode adalah permainan politik. Begitu masif, terstruktur, dan sistematik upaya pembodohan rakyat yang sedang terjadi. Karenanya, untuk membuktikan bahwa benar Jokowi tak berminat untuk jabatan tiga periode, berilah pelajaran berharga bagi masyarakat, rakyat, dan bangsa Indonesia untuk lengser dengan terhormat sebelum 2025. Jika dengan sukarela Jokowi mengundurkan diri sebelum selesai jabatan tahun 2024. Dampak positif adalah, pasti Jokowi akan dikenang sebagai pemimpin yang tahu diri. Dengan besar hati mau pemberi kesempatan kepada generasi mendatang yang jauh lebih baik darinya. Jika Arief Poyouno yakin 85% rakyat dukung tiga periode untuk Jokowi, nampaknya keyakinan lain adalah 85% rakyat Indonesia dukung Pak Jokowi selesai sebelum 2024. Apakah untuk pembuktian ini perlu Referendum? Boleh juga rasanya dicoba. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
"Polisi Pikiran"
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Kepolisian Republik Indonesia menginisiasi pembentukan polisi yang bukan polisi sebagaimana yang senyata-nyatanya atau sehari-hari. Bukan polisi seperti yang kita jumpai selama ini. Rabu, 24 Februari 2021 lalu, Polri meluncurkan program ”Virtual Police”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), virtual memiliki tiga arti atau makna. Pertama, disebut secara nyata. Kedua, adalah mirip atau sangat mirip dengan sesuatu yang dijelaskan. Sederhananya, virtual adalah mirip dengan sesuatu yang dijelaskan melalui perantara internet. Jika berpegang kepada pengertian “mirip dengan sesuatu”, maka sederhananya “Virtual Police” dapat dianalogikan dengan “Polisi Buatan atau Polisi Tiruan”. Virtual adalah segala komunikasi yang dilakukan secara maya untuk terhubung dengan lawan bicara. Disebutkan, tugas “Polisi Tiruan” itu adalah langkah preventif memotong penggunaan pasal karet UU ITE. Bertujuan menahan laju korban yang mungkin berjatuhan akibat pengaduan sepihak kepada polisi. Juru bicara Polri mengatakan, diharapkan hal itu sebagai bagian dari upaya menjaga Kamtibmas di dunia digital agar tetap bersih, sehat dan produktif. Kebijakan Polri membentuk “Polisi Tiruan” dapat dianalogikan sebagai upaya negara menata kehidupan masyarakat. Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari penyimpangan peraturan yang dapat berakibat kasus hukum. Intensitas tingginya kepedulian negara kepada warga masyarakat juga dilakukan oleh pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang menginisiasi terbentuknya “Kementerian Kesepian” (Ministry of Loneliness). Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga, menunjuk Tetsushi Sakamoto untuk menjabat sebagai Menteri Kesepian. Penunjukan itu dilakukan pada Jumat, 12 Februari 2021. Pemerintah Jepang menunjukkan keseriusan melindungi warganya dari dampak pandemi Covid-19. Meskipun isolasi mandiri diberlakukan, angka kematian semakin meningkat. Bukan karena Covid-19. Akan tetapi akibat bunuh diri. Banyak warga Jepang diduga merasa kesepian, stres, depresi hingga berujung nekat mengakhiri hidupnya. Antara lain disebabkan isolasi yang sangat panjang. Mantan reporter surat kabar Tetsushi Sakamoto yang terpilih. Dia adalah politisi dan anggota “House of Representatives in the Diet” (Badan Legislatif Nasional), mewakili Partai Demokrat Liberal. Alumni Universitas Chuo kelahiran 1950. “Saya ingin anda mengendalikan masalah itu dan membuat strategi yang komprehensif”, kata Suga kepada Sakamoto, seperti diberitakan Nikkei Asia, Sabtu (20/02/2021). Penggunaan alat bantu yang “extraordinary” oleh Polri di Indonesia dan yang diperbuat juga pemerintah Jepang sendiri, pernah diimajinasikan sastrawan Inggris, George Orwell di novelnya yang berjudul “Nineteen Eighty-Four”, yang disingkat “1984”. Diterbitkan 1949. Orwell mencoba memprediksi kehidupan dan akibat yang ditimbulkan kemajuan teknologi 35 tahun ke depan, pada tahun 1984. Tokoh utamanya Winston Smith. Wiston menjadi anggota partai Sosing yang berkuasa di negara Oceania (Britania Raya). Winston adalah pengabdi setia yang sangat taat kepada sang pengendali partai bernama Bung Besar (Big Brother). Ia bekerja di “Kementerian Kebenaran” (Ministry of Truth). Khusus bagian berita dan propaganda yang bertujuan untuk membentuk opini dan cara berpikir masyarakat yang sesuai dengan visi partai. Winston dengan suka cita melakukan tugas-tugasnya setiap hari. Kemudian ia menyadari, akibat kerajinannya itu, masyarakat tidak mengetahui lagi bagaimana kehidupan mereka sebenarnya berjalan. Hidup berputar begitu saja dari masa lalu menuju masa sekarang. Sejarah tidak mereka ketahui lagi dengan jelas. Itu memang target utama partai untuk membolak-balik realitas dengan mengubah dan membentuk kebenaran sesuai dengan kehendak partai. Dunia dalam novel “1984” sangat kejam, penuh pertentangan, konflik akibat peperangan yang telah menjadi kebiasaan-tanpa henti, membuat dunia dalam kegelapan panjang. Pada saat yang sama kebebasan Winston yang ditemukannya dalam kenikmatan menulis dan mendiskusikannya dengan sang pacar Julia, namun tidak berlangsung lama. Harapan Winston tentang dunia yang damai, bebas, tenang tanpa intervensi sistem atau struktur kekuasaan lainnya nampaknya tidak pernah terwujud. Kebahagiaan Winston dengan Julia dan kebebasan berpikirnya terendus oleh “Polisi-Pikiran” (Thought-Police) yang dibentuk khusus, sebagai penindak lanjut segala bentuk isi kebijakan dan garis pikiran yang telah ditetapkan oleh Bung Besar. Celakanya, partai menuduh Winston dan sang pacar telah melakukan kejahatan seks dan kejahatan pikiran. Mereka diciduk saat sedang bercinta.Winston dan Julia dikriminalisasi. Dipidana melakukan kejahatan seksual. Dunia Winston berputar-putar tak menentu. Realitas menjadi kabur. Masyarakat tidak mengetahui lagi mana yang benar mana yang salah. Mana yang nyata mana yang bohong. Poster “Bung Besar Sedang Mengawasi Saudara” ada di mana-mana. Seolah-olah mengawasi gerak-gerik setiap orang. Tersebar alat teleskrin yang sengaja dipasang di banyak tempat. Tugasnya selalu memberitakan tentang kemenangan pasukan militer partai. Juga tentang kestabilan ekonomi, dan tentang taraf hidup masyarakat yang semakin membaik. Namun pada kenyataannya, sekedar untuk menemukan barang seperti pisau cukur saja, Winston harus membohongi beberapa orang untuk menyimpan stok pisau cukur. itu pertanda langkanya barang tersebut. Alur cerita novel satiris yang ditulis Owell pada 1949 terasa ada pantulan pada kondisi sosial politik Indonesia hari ini. Ada getaran keresahan masyarakat secara nasional. Apatisme menyebar ke mana-mana. Kecemasan menjalar dan melebar. Lembaga survei Indikator Politik, 25 Oktober 2020 merilis hasil penelitian terkait demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Salah satu hasil survei menyebutkan, mayoritas responden saat ini ada ketakutan untuk mengeluarkan pendapat. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, survei ini diawali dengan pertanyaan ”setuju atau tidak warga makin takut menyatakan pendapat”?. Burhanuddin mengatakan, masyarakat cenderung takut mengeluarkan pendapat saat ini. Hasil survey menunjukkan, ”sangat setuju 21,9 persen”. Yang menyatakan agak “cenderung setuju dengan pernyataan ini 47,7 persen”. Yang “kurang setuju 22,0 persen”. Dan yang “tidak setuju sama sekali 3,6 persen”, katanya dalam rilis survei terbaru bertajuk ”Politik, Demokrasi, dan Pilkada di Era Pandemi” secara daring. Menurut Muhtadi, hasil survei ini menjadi peringatan bagi pemerintah agar lebih memperhatikan suara masyarakat yang tidak pro, apa pun pendapatnya. Ini alarm, kata Muhtadi, lagi-lagi kami ingatkan, ada situasi di bawah alam sadar masyarakat mulai takut ngomong. Padahal dalam konteks demokrasi partisipatoris, warga justru harus didorong berbicara apa pun isinya, terlepas berkualitas atau tidak berkualitas. “Apa pun pendapat mereka, pro atau kontra dalam demokrasi harus mendapat tempat yang sama,” tegas Muhtadi. Sampai hari ini, residu pemilu 2019 di Indonesia masih menyisakan keterbelahan. Perang konten kasar di medsos masih berlanjut. Debat kusir yang kasar di televisi tetap marak. Tidak ada kesembuhan. Hasil Pemilu tidak mampu mengubah apa-apa. Meskipun kabinet sudah diisi menteri representasi tokoh oposisi. Namun kompromi politik yang instan itu nampaknya seperti tidak mampu memadamkan api dalam sekam. Sikap kritis masyarakat terus bergejolak di bawah permukaan oleh berbagai kebijakan yang kontroversial. Pada saat yang sama korban berjatuhan dalam jeratan perangkap UU ITE,yang diakui presiden Jokowi mengandung banyak pasal karet. Pasal karetnya itulah yang memberi wewenang kepada siapa saja dengan mudahnya menjadi pelapor. Ramai diberitakan, Kwik Kian Gie dan mantan menteri Susi Pujiastuti pun mendadak takut berpendapat. Banyak yang cemas dan berdoa semoga “Virtual Police” bukanlah semacam “Polisi Pikiran” yang berganti casing, yang tetap bertugas secara senyap mengekang kebebasan berpendapat, memiliki kekebalan hukum dan kebebasan mengintervensi rongga alat komunikasi yang paling pribadi seseorang, semacam telepon genggam sekalipun. Sasarannya, sekedar pikiran senyap belaka. Lalu, bagaimana caranya memastikan kalau percakapan virtual seseorang tidak ditafsir sesuai kepentingan kekuasaan oleh sang “Polisi Tiruan” tersebut? Diwilayah manakah posisi “Virtual Police” alias “Polisi Tiruan” akan menempatkan diri? Rekan wartawan senior kembali mengirim pesan WhatsApp yang sendu pada dinihari yang dingin karena hujan semalaman, “mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang”. Mengutip bait lagu “Berita Kepada Kawan” karya Ebit.G.Ade yang ditulis setelah bencana gas beracun di Dataran Tinggi Dieng, Juni 1978. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Konstitusi Yang Disiapkan Oligarkis
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Hukum untuk bangsa (law of the nation), begitu sakralisasi politik terhadap UUD atau konstitusi. Untuk tujuan itu, konstitusi dengan sendirinya menyandang sifat “supreme” dalam jajaran hukum pada bangsa itu. Itulah akar konsep konstitusionalisme. Darinya mengalir hukum-hukum lain yang bersifat organik. Berlevel rendah dari konstitusi dalam lingkungan negara bangsa itu. Darinya pula sistem hukum untuk bangsa dan negara tercipta. Bukan sistem, kalau unsur-unsur di dalamnya saling menyangkal. Terbentuklah apa yang disebut tertib hukum. Konstitusionalisme liberal, untuk semua alasan yang sejauh ini telah teridentifikasi, tidak benar-benar terisolasi dari citarasa oligarkis. Sifat itu disandang konstitusi. Bukan karena huruf-huruf konstitusi menulisnya. Sama sekali tidak. Unggul Dalam Deteil Sifat itu tersandang padanya karena konstitusi tidak pernah biacara hal detail. Oligarki mengenal ini. Mereka unggul dengan kecermatannya mengidentifikasi deteil huruf, kata dan kalimat konstitusi. Selain UU tidak menulis jangkauan wewenang pemerintah secara detail, terdapat tiga hal hebat yang mengantarkan oligarki ke puncak kehidupan ekonomi, politik dan hukum. Ketiga hal itu adalah “equality before the law” dan “liberty” serta “freedom”. Ketiga konsep itu tidak dapat diisolasi, sehingga jangkauannya meliputi semua orang. Tetapi konsep hebat itu, untuk semua alasan inetelektual apapun, mengandung konsekuensi tak terlihat. Tentu tak dikehendaki, uninteded consequences. Hebatnya kalangan oligarki melihatnya dengan mudah. Berbekal pengetahuan teknis itu, oligarki merancang jalan menuju puncak kehidupan ekonomi, sosial, politik dan hukum. Jalan ini, karena lika-liku di dalamnya tak mampu didaki orang-orang miskin. Orang miskin justru menggunakan konsep itu sebagai barometer penilaian atas tindakan-tindakan pemerintah. Pembaca FNN yang budiman, kaum oligarkis tahu detail konsekuensi konsep supremacy of law. Mereka berbeda sudut pandan dan jalan dengan Ilmuan konvensional di dunia hukum. Kalau ilmuan konvensional menyambut konsep “supremacy of law” sebagai benteng atas kesewenang-wenangan, oligarki lain lagi melihatnya. Kalangan oligarkis tahu UUD tidak pernah rigid, deteil mengatur batas jangkauan wewenang presiden atau perdana menteri. Di kepala kaum oligarkis, UUD itu dokumen telajang, setelanjang kehidupan rakyat yang tak terdefenisikan, dinamis dan harus diurus. Tindakan mengurus, suka atau tidak haru berdasar hukum, karena diwajibkan oleh konsep “supremacy of law”. Ini hebatnya oligarki. Karena harus berdasarkan hukum, dan hukum harus dibuat. Oligarki tahu itu, dan tahu apa yang harus dilakukan. Cara termudah adalah kuasai pembentukan UU, sehingga huruf-huruf dalam UU itu mengakomodasi kepentingan mereka. Mengapa harus menulisnya? Oligarki tahu, tidak ada aktifitas ekonomi, apapun itu yang tidak berawal dari dan berkait dengan hak. Hak, suka atau tidak, tidak bersumber dari apapun, selain hukum. Pembentukan UU, tidak pernah lain selain sebagai penegasan hak, kewajiban dan prosedur. Begitulah sebagian dari cara berpikir oligarki. Salahkah ini? Oligarki dapat dengan mudah mengatakan tidak. Anda juga dipersilahkan menempuh cara yang sama. Oligarki bisa dapat meyakinkan pembentuk UU untuk membentuk UU tentang lobby agar tersedia rule of the game yang sama bagi semua orang. Pembaca FNN yang budiman. Tahukah anda bahwa UUD Amerika Serikat tidak menulis tentang Bank Sentral yang sekarang terkenal dengan nama “The Federal Reserve”? Tidakkah pembaca FNN yang budiman juga tahu bahwa UUD Amerika tidak mengatur corporasi sebagai subyek hukum? Kenyataannya Amerika memiliki The Federal Reserve. Amerika juga memiliki “corporation” sebagai subyek hukum. Pemerintah yang memiliki sikap anti trust sekalipun, dalam kenyataannya tidak dapat berkelit dari, kalau bukan tekanan dari panduan oligarki keuangan dan korporasi. Thedore Rosevelt, Presiden Amerika 1901-1908, dikenal dengan kebijakan Trust Busting-nya, sempat kelimpungan menghadapi korporasi. JP Morgan misalnya, menghadap Tedy begitu Theodore Rosevelt sang Presiden disapa. Kepada Teddy, JP Morgan mengatakan “bila ada yang salah dari kami, kirimkan orang anda ketemu orang kami, dan kita bicara”. Indonesia disepanjang paruh kedua tahun 1980-an dan sepajang tahun 1990-an sebelum reformasi, ramai dengan kritikan kaum intelektual soal politik dan ekonomi soal dominasi dan sepak terjang konglomerat. Begitu nadanya sangat negatif. Kelompok ini besar dan dibesarkan dengan fasilitas pemerintah. Begitulah nadanya. Konglomerat, dalam nada negative disamakan dengan predator dan monster politik ekonomi. Mereka tumbuh menjulang di tenghn kemiskinan yang terus menggunung. Akhirnya UUD 1945 yang sebelum diubah, untuk sebagian, ditunjuk sebagai penyebabnya. Pilihannya UUD 1945 harus diubah. Saatnya pun tiba dan UUD 1945 benar-benar diubah. Menariknya, perubahan itu dilakukan dengan cara yang satu dan lainnya sama sekali tidak direncanakan. Tak pernah diproyeksikan dalam kerangka pemikiran hukum “unintended consequenses”. Masa jabatan presiden memang dibatasi. Presiden tidak lagi dipilih MPR. Rakyat diberi hak memilih langsung presiden dan wakil presiden. Kepala daerah juga begitu. Bank Indonesia dan Hak Asasi Manusia diatur dalam dalam UUD reformasi ini. Prinsip ekonomi digariskan dalam pasal 33. Terlihat top untuk sejenak bagi orang miskin. Apakah begitu kebnyataannya? Itu soalnya. UUD reformasi ini tidak dapat menjinakan korporasi. Mereka tidak terjauhkan dari dunia politik pilpres, pileg, ekonomi dan hukum. Tidak sama sekali. Mereka masih tetap bercokol, bahkan semakin kuat dan menguasai. Tak Terhalang Oligarki tidak pernah surut, atau mengambil posisi belakang. Bagai buih, oligarki selalu berada di depan dan di permukaan gelombang semua lautan politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya. Untuk yang di permukaan, mengarahkan dan memberi bobot terhadap kehidupan politik dan ekonomi pada tatanan politik dua partai, itulah mereka. Di politik bersistem multi partai juga sama. Malah semakin banyak partai, semakin menyenangkan oligarki bercokol dan mengatur. Oligarki tahu dunia tidak berubah. Dunia dan hidup diciptakan untuk diubah. Perubahan tidak pernah datang dengan sendirinya. Perubahan harus direncakanakan. Perubahan yang direncanakan sama dengan perubahan yang dikendalikan. Postur politik dan hukum, suka atau tidak, harus direncanakan dan dikendalikan. Ini pekerjaan besar dalam semua aspeknya. Pekerjaan ini, suka atau tidak, terlalu jauh jaraknya dari jangkauan tangan para kaum reformasi. Sepanjang sejarah yang naik turun, gelap dan terang, pekerjaan besar itu selalu menjadi pekerjaan para oligarkis. Kaum yang kokoh dengan harapan, dan tangguh menyusuri lika-liku ekonomi, politik dan hukum, dengan cara yang begitu kaya, selalu menjadi pengarah perubahan. Memang terdapat sekelompok presiden yang teridentifikasi mengambil jalan berseberangan dengan kaum ini. Tetapi waktu berlalu bersama kesuksesan demi kesuksesan kaum oligarki. Teddy Rosevelt yang kukuh membatasi korporasi berkarakter trust, tak dapat benar-benar mengentikan mereka. William Howard Taft, Presiden yang profesor tata negara ini, juga sama. Berkelahi dengan korporasi, tetapi ketika ujung jabatannya tiba, dia menemukan diri, oligarki keuangan telah menentukan peluit untuk dia harus minggir dari kursi Presiden Amerika. Turky Usmaniah, harus tenggelam untuk selamanya segera setelah Woodrow Wilson, presiden yang dibiayai pencalonannya oleh oligarki keuangan ini, mencanangkan “Internationalization of Freedom”. Dengan konsep itu, bergemalah di seluruh dunia “kemerdekaan”. Teritori-teritori Turki Usmaniah menyambutnya. Pecahlah integrasi bangsa itu. Turky Usmaniah pun tamat. Hanya presiden pintar, dan punya hati yang pada batas tertentu, dapat menjinakan kelompok yang hanya tahu untung pada semua tampilannya itu. Profesor Soepomo, arsitek UUD 1945 menyatakan “hal terpenting dalam penyeleggaraan negara adalah semangat penyelenggara negara”. Woodrow Wilson juga mengakui itu. Presiden ini diketahui pernah berkata dalam menyelenggarakan pemerintahan, bukan UUD yang terpenting, tetapi “who behind the bussinis”. Puluhan tahun kemudian, Dwig H. Eisenhower, Presiden Amerika sesudah Truman bilahg, “konstitusi boleh saja menulis begitu banyak kewenangan presiden, tetapi dalam kenyataan tergantung siapa presiden dibalik konstitusi itu. Hanya oligarki bodoh yang memimpikan seseorang menjadi presiden berkali-kali. Sejarah telah jelas dalam soal ini. Berapapun lamanya masa jabatan presiden, oligarki selalu berada di hulu dan hilir semua aspek kehidupan. Suka atau tidak, konstitusionalisme selalu didekorasi oleh kaum oligarkis. Apakah Indonesia mirip-mirip itu, kalau tidak dibilang sama persis? Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Jokowi Tiga Periode? PKI Yang Jingkrak-Jingrak
by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Baru-baru ini seperti dilansir detik.com (14/4), Bapak Reformasi Indonesia, Prof. Dr. Muhammad Amien Rais melontarkan dugaan bahwa Jokowi akan mengusulkan pasal presiden boleh menjabat selama tiga periode. Keinginan ini jelas nenabrak amanat reformasi 1998, yang membatasi masa jabatan presiden hanya dua priode. Penulis pernah menulis dengan judul “Waspada Agenda Besar Parlemen Indonesia Periode 2019 – 2024”. Tulisan tersebut viral. Dimuat dibeberapa situs berita online. Tulisan tersebut dirilis pada 15 Juli 2019 atau 12 Dzulqa'dah 1440 di FB. Sekarang akun FB dibanned oleh pihak FB. Dalam tulisan tersebut, penulis menjelaskan tentang adanya skenario dan target yang hendak dicapai dibalik isu amandemen UUD 1945. Sebab UUD 1945 Pasal 7 hasil amandemen tahun 1999 berbunyi, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan". Isu amandemen UUD 1945, khususnya Pasal 7 tentang masa jabatan Presiden, yang semula hanya dua periode menjadi kemungkinan tiga periode atau lebih. Tulisan tentang jabatan presiden tiga priode atau lebih itu ditulis dua tahun lalu, ternyata bukan hanya isu belaka. Sekadar mewanti-wanti untuk mewaspadai permainan Pertai Komunis Indonesia (PKI) dan paham China komunis melalui antek-anteknya dalam negeri. Bila lengah, maka amandemen UUD 1945, khususnya Pasal 7 kemungkinan berhasil. PKI dan antek-antek komunis pun tepuk tengan dan berjingkrak-jingkrak merayakan kemenangan agenda mereka. Isu tentang rencana amandemen UUD 1945, khususnya Pasal 7 tampaknya akan menjadi perbincangan hangat dan panas. Diprediksi akan timbul gejolak sosial yang meluas di masyarakat. Bagaimana mungkin saat ekonomi anjlok, angka kemiskinan bertambah, pengangguran bertambah, rakyat hidup susah, eh malah minta tiga periode? Yang benar aja. Isu Jokowi tiga periode ini menguat lagi pasca kisruh Partai Demokrat yang melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera. Ditengarai KLB Partai Demokrat tersebut didukung oleh lingkaran istana. Banyak juga pihak menuding kisruh mnimpa Partai Demokrat diduga sekarang “diotaki” para jenderal merah. Disanyalir Moeldoko dan faksi yang tersingkir di Partai Demokrat beberapa tahun silam, hanyalah “pemain figuran” saja. Pengendalinya gank politik jenderal merah yang sangat berpengaruh. Selain kisruh di Partai Demokrat, publik juga mensinyalir “safari politik” Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto ke beberapa ketua umum partai membawa misi khusus. Tahun kemarin, Airlangga Hartarto juga melakukan hal yang sama. Misinya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka). Adakah safari Airlangga Hartarto tahun ini punya misi tertenti? Khususnya yang terkait dengan isu Jokowi tiga periode? Rumornya Airlangga Hartarto dikenal dekat dengan link jenderal merah. Rakyat sekarang dalam posisi yang sulit. Sementara DPR dan institusi negara lainnya nyaris lumpuh. Mereka dikendalikan oleh segelintir orang dalam genk politik jenderal merah. Wajar saja bila ada kekhawatiran skenario tiga periode, dan pelan-pelan mengarah partai tunggal. Mirip-mirip sistem politik China komunis. Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.
“Cintai Produk Lokal” Ingat GSNKRI & Gerakan Beli Indonesia 2015
by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Presiden Joko Widodo meminta sikap mencintai produk dalam negeri untuk lebih digaungkan. Bahkan Presiden meminta agar kebencian pada produk-produk luar negreri juga digaungkan. (Kompas.com/read/2021/03/05). Ajakan tersebut menuai komentar di media, khususnya mengapa mesti mengajak membenci produk-produk luar negeri? Padahal banyak barang yang kita pakai dari luar negeri. Penulis tidak ingin berpolemik masalah ini. Mendengar ajakan Presiden tersebut, penulis teringat perjuangan kawan-kawan beberapa tahun yang lalu. Ajakan tersebut, sudah pernah digaungkan temen-temen aktivis pada November 2015. Melalui Gerakan Selamatkan NKRI (GSNKRI) baru dikenal dan dikenalkan di media sosial saja. Ada keinginan agar gerakan ini dikenal dan bisa berkomunikasi langsung dengan masyarakat. Melalui pertimbangan yang matang, para senior sepakat, GSNKRI perlu tampil berkomunikasi dengan masyarakat. Ir. Heppy Trenggono, salah satu pencetus GSNKRI, juga Ketua Gerakan Beli Indonesia, bersedia sebagai penyelenggara. Gerakan Selamatkan NKRI menggandeng Gerakan Beli Indonesia memutuskan untuk mengadakan acara sosialisasi untuk masyarakat. Acara di Raden Bahari, Jl. Warung Buncit Raya 135, Jaksel pada 16 November 2015. Heppy Trenggono bersama penulis, M. Hatta Taliwang, Bambang Wiwoho, Ramli Kamidin, Ariady Achmad dan Syahganda Nainggolan mengambil langkah untuk mensosialisasikan kembali ke UUD 1945 asli, untuk disempurnakan dengan adendum. Inilah penampilan perdana GSNKRI dihadapan beberapa elemen masyarakat. Pemimpin Gerakan Beli Indonesia, Heppy Trenggono di daulat memberikan pengantar diskusi. Heppy mengingatkan, bangsa Indonesia semakin tidak berdaulat di negeri sendiri. Penyelewengan terhadap UUD 1945, pemudaran nilai-nilai Pancasila, disinyalir dilakukan musuh bangsa untuk menjajah dan menghancurkan bangsa Indonesia secara bertahap. Awalnya mengamandemen UUD 1945, kemudian diubahnya sistim nilai dan sistim politik sehingga kita semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan. Untuk itu kita harus memegang teguh Pancasila sebagai pemersatu dan alat penyelesaian masalah, kata Heppy. Sebelumnya, penulis menyampaikan bahwa terjadinya disharmoni kehidupan di masyarakat, penyebabnya adalah Pilpres secara langsung, sebagai produk amandemen UUD 1945, yang diikuti Pilkada langsung. Untuk memulihkan persatuan Indonesia, dan kehidupan yang harmonis, tidak ada jalan kecuali kembali ke UUD 1945 asli, untuk disempurnakan dengan adendum. Posisi silang Indonesia memang sangat strategis. Kekayaan alam yang berlimpah, dengan penduduk 250 juta, Indonesia adalah pasar yang sangat besar, dan diincar semua bangsa di dunia. Tanpa disadari, potret ekonomi Indonesia hari ini adalah potret negeri besar dengan penduduk besar namun ‘terjajah’, karena yang menikmati bangsa lain, kata Heppy. Kenyataan pahit, 80 % tekstil dan 93 % teknologi dikuasi asing. Asing boleh memiliki bank hingga 99 persen. Puluhan ribu petani kopra di Halmahera jatuh miskin, akibat harga jatuh. Petani kentang di Dieng, bawang di Brebes, padi di Subang dan Karawang tidak bisa bertani akibat masuknya kapitalisme dalam sektor kerakyatan. Puluhan juta pengguna internet diserahkan ke google. Bahkan ditengah sulitnya mencari pekerjaan serta badai PHK yang dilakukan perusahaan-perusahaan di Indonesia, buruh asing justru mengalir masuk, tutur Heppy Trenggono. Karena itulah, Gerakan Beli Indonesia mengajak agar kita mencintai dan membeli hasil yang ditanam dan produk dari rakyat Indonesia. Sedangkan Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso mengingatkan, 70 tahun yang lalu para pahlawan berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan NKRI, dan saat ini kita menghadapi gelombang pasang globalisasi. Akibatnya, harus diakui secara jujur agenda reformasi belum mengantarkan bangsa Indonesia menuju arah yang semestinya. Ir. Soekarno pada tahun 1930 sudah mengingatkan tentang sebuah politik pintu terbuka yang tujuannya menguras kekayaan alam, mengeruk bahan mentah, menjadikan bangsa lain sebagai pasar bagi produk-produknya dan lahan tumbuh suburnya kapitalisme. Apakah yang diperingatkan Ir. Soekarno terjadi hari ini, tanya Jenderal Djoko Santoso. Menyitir ajakan Heppy Trenggono untuk beli Indonesia, Jenderal Djoko Santoso pun mencontohkan secara riil. Mari kita makan apel Malang daripada apel Amerika atau Australia, walau terasa sedikit kecut. Mari kita beli jeruk Medan yang tidak kalah manis dengan jeruk dari China. Inilah wujud kecintaan kita terhadap Indonesia. Kita melihat globalisasi adalah Flow of Capital, Flow of Product, dan Flow of People, namun Heppy Trenggono mengingatkan yang paling berbahaya dari globalisasi adalah Flow of Ideology, seperti Kapitalisme, Liberalisme, bahkan hingga one man one vote, yang semuanya bertentangan dengan ideologi Pancasila. Acara sosialisasi kembali ke UUD 1945 asli untuk disempurnakan di Raden Bahari dihadiri lebih empat ratus orang. Situasi mirip deklarasi, sehingga acara disebut deklarasi GSNKRI. Walau sesungguhnya GSNKRI sudah ada sejak curah pendapat di kantor PPAD DKI Jakarta pada 30 September 2015, tanpa publikasi. Hadir dalam acara perwakilan Ormas-Ormas, para tokoh agama, FKUB DKI Jakarta, PP Hidayatullah, aktivis pejuang Hariman Siregar, Bursah Zarnubi, Eggi Sujana, Purnawiran TNI B. Sumarno, politisi Ahmad Mubarok, dan lain-lain. Pada akhir acara, ada tiga ajakan yang ditulis pada selembar kain dengan tulisan: (1) Kembali pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. (2) Prioritaskan penggunaan produk anak bangsa. (3) Tolak buruh Asing. Bagi undangan yang setuju, dipersilakan tanda tangan di atas kain tersebut. Itulah ajakan untuk mencintai produk anak bangsa atau produk dalam negeri di tahun 2015. Penulis harus jujur, ajakan tersebut buahnya belum sesuai harapan. Masih banyak orang menyukai barang berbau impor dan ‘branded’. Makanan pun, lidahnya sok ala Barat atau Eropa. Banyak faktor penyebabnya, mengapa sulit untuk mengajak agar rakyat Indonesia mencintai produk bangsanya sendiri. Jargon tersebut tak akan berarti tanpa diikuti keberpihakan negara dalam wujud kebijakan dan aturan yang mengatur. Bagaimana negara berupaya meningkatkan kualitas produk dalam negeri, dan mengatur barang impor, merupakan salah satu bentuk keberpihakan yang sangat diperlukan. Bukan sebaliknya, membuka kran impor dengan dalih barang lebih bagus daripada produk dalam negeri. Mestinya, bagaimana negara berupaya meningkatkan kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia sebagai motor produksi, agar kualitas hasil produksi mampu bersaing, justru lebih penting. Agar ajakan mencintai produk dalam negeri menggema dan membahana, sehingga gaungnya menyeruak di pelosok negeri dan rakyat melaksanakan, diperlukan karakter para pemimpin dan tokoh untuk memberikan suritauladan, dalam memakai produk anak bangsa. Tanpa suritauladan dalam keseharian, omong kosong kita bisa mencintai produk Indonesia. Semoga kita memberikan teladan. Insya Allah, aamiin. Penulis adalah Wagub DKI 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Euforia Demokrasi di Tengah Distorsi Moral Bangsa
by Pramuhita Aditya Jakarta FNN - Sejak bergulirnya reformasi, harapan kita adalah mewujudkan demokrasi dengan seutuhnya secara konsisten dan konsekuen. Harapan ini termanifestasi dalam lima tuntutan reformasi untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang demokratis. Namun hingga saat ini harapan itu masih jauh dari apa yang diperjuangkan oleh para mahasiswa kala reformasi 1998 dulu. Kita berada pada tahap dilema distorsi moral bangsa yang sangat dalam. Pasca reformasi memang kita disibukkan dengan berbagai penataan sistem ketatanegaraan, dan membangun perbaikan kembali dalam beberapa lembaga kenegaraan. Kenyataan ini sebagai bentuk konsolidasi demokrasi kembali menuju alam demokrasi seutuhnya. Namun apa yang dirasakan setelah masa-masa redemokrasi tersebut berlangsung hingga lima priodesasi presiden ini masih jauh dari cita-cita. Padahal reformasi yang digaung-gaungkan menjadi jargon demokrasi dahulu. Sungguh ironis jika hampir 23 tahun agenda pembangunan kembali Indonesia belum juga memberikan hasil yang signifikan. Konflik internal antar kelompok sosial serta masyarakat dengan negara tak kunjung selesai. Padahal konsolidasi demokrasi sudah dilakukan sejak lama. Tulisan Yudi Latif di Media Indonesia (21/01/2019), “Jalan panjang proses menjadi negara-bangsa Indonesia harus kita pahami dan hayati secara mendalam, manakala Indonesia hari ini menunjukkan tanda-tanda menghadapi ancaman disrupsi kebangsaan. Menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang menekankan semangat gotong-royong, ada tendensi melihat perbedaan dalam kerangka pembelahan politik. Bukan dalam kerangka saling menghargai dan kerja sama”. Lihat saja pada suksesi politik, baik daerah maupun secara nasional. Masyarakat terbelah dengan sakala besar. Media sosial dipenuhi dengan bergam komentar yang saling menyudutkan, bahkan sampai ke tingkat fitanh. Ingat loh bahwa kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila, dengan sila ketiganya Persatuan Indonesia. Tulisan Ariel Heryanto pada media Kompas (06/03/2021), “Setahun terakhir sopan santun pengguna media sosial Indonesia paling terparah di dunia”. Hal ini diperoleh dari hasil riset Microsoft seminggu yang lalu. Dalam tulisan analisis budaya ini, Ariel menulis “memprihatinkan, tapi tidak mengejutkan jika ingat jumlah laporan polisi dan kasus hukum beberapa tahun belakangan”. Keadaan ini bukan mustahil memperburuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Ibarat terpelihara, kebencian dan kemarahan akan menjadi distorsi moral kepada bangsa dan negara Indonesia. Kebiasaan ini akan terjadi regenerasi. Bagaimana kelak generasi penerus bangsa dan negara kita di kemudian hari? Jika perbedaan pandangan itu merupakan sunatullah, maka perbedaan itulah dijadikan potensi dalam membangun keragaman untuk mencapai Indonesia yang merdeka seutuhnya. Bukan malah sebaliknya, dijadikan musuh atau diberhanguskan begitu saja. Lain halnya kalau dengan ideologi yang menjadi parasit dalam tubuh NKRI. Memudarnya moral kebangsaan ini bukan tanpa sebab. Fenomena ini jika ditarik jauh ke belakang, maka kita dapati euforia demokrasi yang berlebihan. Akibatnya, terbengkalainya agenda-agenda penting regenerasi kepemimpinan Indonesia di masa yang akan datang. Selanjutnya menurut Yudi Latif, Pergeseran dalam menyikap perbedaan itu merupakan akumulasi dari krisis yang berlangsung pada ranah mental-spiritual (karakter bangsa), ranah institusional, dan ranah material. Bahwa perkembangan ketiga ranah itu telah melenceng dari imperatif moral Pancasila. Lain halnya dengan pra kemerdekaan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, para pemimpin-pemimpin bangsa sudah mempersiapkan diri dengan konsep-konsep yang brilian menuju Indonesia merdeka. Hal ini diperhitungkan secara matang dan tersistematis. Sekalipun banyak perbedaan pandangan diantara para founding father, sehingga konflik-konflik diantara mereka tidak dapat dihindari, namun konsolidasi perjuangan tetap dilakukan untuk menggapai Indonesia merdeka. Kita dapat menyaksikan bagaimana Sarekat Dagang Islam (SDI) yang menjadi Sarekat Islam (SI), Muhammadiah, Nahdatul Ulama, Al-Irsyad, Persis dan organisasi-organisasi keagamaan lainnya berpadu, berlomba-lomba dengan organisasi nasionalis seperti Budi Utomo hingga Taman Siswo yang menjadi cikal-bakal bangsa Indonesia terlahir hingga merdeka dan membentuk negara hari ini. Pemimpin bangsa Indonesia terdahulu berjiwa besar. Bahkan mereka rela berkorban tanpa imbalan. Hanya berharap ridho Tuhan Yang Maha Esa. Lain halnya dengan era demokrasi Indonesia saat ini. Gontok-gontokan merebut kekuasaan atas nama rakyat. Alhasil terbangunn kelompok masyarakat yang pro dan kontra menghiasi dunia lingkungan masyarakat dan media sisial. Kondisi sosial masyarakat saat ini harus ditangani, dan diselesaikan secara baik dan benar. Keadaan ini sudah diibaratkan api dalam sekam. Jika dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan keadaan lebih menjadi buruk dan bertambah parah. Tentu itu kondisi yang tidak kita harapkan. Gambaran fenomena saat ini memberikan isyarat, supaya pembenahan kembali serta menyusun agenda konsolidasi demokrasi. Tujuannya untuk memperkuat tatanan kebangsaan, dan kenegaran demi menciptakan persatuan dan kesatuan menuju Indonesia emas 2045. Penulis adalah Kandidat Ketum PB HMI 2021-2023.
Pemerintah Jokowi Terlihat Bingung
by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Memang paradoks, di satu sisi kran impor dibuka luas hingga banjir impor. Namun di sisi lain membenci produk luar negeri. Ini artinya Pemerintah sudah konslet. Terganggu kesehatan fikiran, budaya, ekonomi, dan politiknya. Terlihat panik soal kebijakan-kebijakan ekonomi di dalam negeri. Kesana salah ke sini keliru. Sebelumnya soal investasi industri minuman keras (miras) yang diberlakukan lalu dicabut, meskipun yang dicabut hanya lampiran. Juga soal pernyataan Direktur Pidana Umum Badan Reserse Keriminal (Bareskrim) Polri terkait status tersangka enam syuhada, anggota laskar Pront Pembela Islam (FPI). Setelah berselang tiga jam diumumkan penghentiannya oleh Kabareskrim Komjen Agus Andrianto. Plan A yang gagal. Pemerintah sudah "confuse" dalam segala hal. Pemerintah juga kehilangan "wisdom", berbicara asal njeplak, dan bergerak menabrak nabrak sana-sini. Pemerintah sudah kaya orang bingung. Tidak tau lagi harus berbuat apa. Akibat dari yang pemerintah bingung, maka rakyat juga beingung. Maka, mari bungung rame-rame, berjamaah. Kalimat harus benci produk luar negeri sudah tidak mempan di telinga dan hati rakyat sekarang. Hanya jadi bahan cemoohan dan olok olok. Pemerintah sudah sulit berjalan ajeg meski memang belum mau melempar handuk. Masalah terus bertumpuk, dan nampak tak mampu mengatasi. Kebijakan yang diambil sepertinya tutup lubang gali gowa. Menyelesaikan masalah dengan memproduksi masalah baru. Membangun nasionalisme dengan sekedar mengucapkan kata benci pada produk asing adalah sikap naif dari seorang presiden yang berlebihan. Hanya mempertontonkan kebungungan kepada rakyat. Jika oposisi yang menyatakan hal seperti itu, maka sudah pasti buzzer segera menuduh "hate speech", lalu dilaporkan ke polisi. Katanya tidak bisa gaul global. Hanya karena sumber “hote speech” itu presiden, karena sumbernya Presiden, ya sudah tafsirkan saja sedang berapi-api memotivasi nasionalisme. Mambangun nasionalisme hanya bermodalkan benci terhadap produk-produkl luar negeri. Tragisnya, hampir 80% kebutuhan pangan kita hari ini adalah Impor, termasuk impor garam dan ayam. Pemerintah seperti terus dibayangi oleh hantu. Hantu dari kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) terus mengganggu pemerintah. Ketakutan yang luar biasa menghantui pemerintah, hingga tempat Kejadian Perkara (TKP) pun dihancurleburkan. Diratakan dengan tanah. Tidak lagi ada jejak yang ditinggalkan. Penanganan kasusnya dilambat-lambatkan, serta opini yang coba diputarbalikkan. Hantu turun tahta menjadi mimpi buruk bagi pemerintah. Oposisi dibungkam dan potensi lawan dilumpuhkan. Setelah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), kini giliran Partai Demokrat yang diobrak-abrik. Kudeta lewat Rongres Luar Biasa (KLB) akhirnya jadi juga. Moeldoko, sang brutus tersebut terang-terangan membunuh SBY yang telah membesarkannya. Moeldoko yang dibesarkan SBY, mulai dari kolonel samai jendral bintang empat, dan berakhir dengan jabatan Panglima TNI. Kini Moeldoko telah menjadi Ketua Umum hasil KLB. Mungkin tidak lama lagi, Surat Keputusan Menkumham tentang pengesaham kepungurusan Moledoko segera terbit. Hantu krisis ekonomi terus menakut-nakuti. Hutang luar negeri kini telah bertumpuk-tumpuk, mencapai Rp. 6.233 triliun. Sementara hutang tambahan yang baru, sangat sulit, bahkan setengah mati untuk bisa mendapatkan. Investasi asing juga tidak kunjung tiba, dan terus masih dinanti. Pandemi melemahkan daya beli. Korupsi pun menjadi-jadi. Akhirnya stress dan caci maki. Produk luar negeri yang tidak bersalah pun harus dibenci. Caci maki yang kehilangan arti, sebab kata tidak sesuai dengan bukti dalam kebijakan. Hanya pemerintah terlihat bingung, kebijakannya semakin linglung. Meski berjalan terhuyung-huyung di depan rakyat tetap berusaha mencari panggung. Panggung tak bergaung. Aduh biyung...! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Fatamorgana Indonesia, Penduduk Miskin Naik Menjadi 27,5 Juta
by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Semua bangsa punya masalah, tanpa kecuali. Tetapi persoalannya bukan pada masalah yang menimpa, melainkan cara sebuah bangsa merespon masalah tersebut. Respon yang tepat berujung pada solusi. Namun respon yang keliru menambah berat persoalan. Pandemi global Covid-19 adalah cermin yang tepat buat kita mengaca perbedaan negara-bangsa merespon situasi. Ketika pandemi melanda dunia setahun lalu, negara lain sibuk membatasi akses lalu lalang dan pergerakan orang. Menutup batas wilayah negara dan memblokade akses antar provinsi. Bangsa kita malah mempromosikan pariwisata atau mempromosikan jamu. Saat itu, untuk tahun anggaran 2019, pemerintah menganggarkan Rp 72 Miliar untuk mebayar influencer dan promosi wisata. Anggaran sebesar itu menjadi bagian dari total insentif sebesar Rp 298,5 miliar yang dikeluarkan pemerintah untuk menarik minat wisatawan mancanegara. Bukannya menyadari kekeliruan itu, sejumlah kebijakan dan ucapan pejabat malah menjadi sumber kontroversi. Lekat diingatan kalimat "corona masih jauh, masker hanya untuk orang yang sakit, mudik versus pulang kampung," dan seterusnya. Selain jamu, seorang menteri bahkan pernah perkenalkan kalung anti corona. Hasilnya? Indonesia sempat mencatat rekor negara pertama di Asia Tenggara dengan satu juta kasus covid-19. Negara dengan angka kematian akibat Covid-19 tertinggi di Asia Tenggara. Menempati urutan ketiga di Asia setelah India dan Iran. Bukan Tentang Covid Sekali lagi, ini bukan tentang Covid-19. Ini tentang cara kita merespon masalah yang berpengaruh pada disorientasi perumusan keputusan. Ya ada koreksi, ada introspeksi pada setiap kebijakan yang keliru. Bila perlu sebuah permintaan maaf kepada publik, setiap kali kebijakan yang merugikan rakyat. Itu tidak buruk. Itu sehat demi perbaikan negeri. Penanganan pandemi Covid-19 bukan hanya tentang kesehatan, tetapi juga ekonomi. Masalahnya, dua sektor ini saling overlapping. Titik balik perbaikan ekonomi sangat bergantung pada penanganan pandemi Covid-19. Sementara penanganan pandemi tentu memerlukan alokasi biaya yang tidak sedikit. Sayangnya, solusi yang dipandang paling jitu sepertinya hanya mengutang. Sudah begitu, bunganya tinggi pula. Tadinya, utang menumpuk demi infrastruktur. Sekarang, utang menggunung demi memenuhi pembiayaan penanganan Covid-19. Hingga akhir Januari 2021, jumlah utang Indonesia mencapai 6.233,14 triliun rupiah. Seiring menggunungnya pokok utang, bunganya pun terus membengkak. Tahun ini saja, beban bunga utang naik lagi 18,8 persen, atau sekitar dari Rp. 314,1 triliun pada 2020 triliun. Sekarang bunga utang naik menjadi Rp 373,26 triliun pada 2021. Ironisnya, kebijakan utang pemerintah yang dulu dikonsentrasikan untuk pembangunan infrastruktur, justru terancam mangkrak di beberapa tempat. Sebutlah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung senilai U$ 5,5 miliar dolar atau jalur kereta api Makassar-Parepare sepanjang 145 kilometer di Sulawesi Selatan. Perencanaan proyek yang ambisius berubah menjadi mimpi buruk. Rumah rakyat tergusur, lahan pertanian beralih fungsi, belum lagi dampak banjir akibat pembangunan rel dengan perhitungan drainase yang minim. Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah manargetkan pembangunan proyek rel kereta api di Sulsel selesai Juni 2021. Namun, tak kunjung terlihat pergerakan di lapangan. Belakangan, sang gubernur malah terjerat Operasi Tangkap Tangkap Tangan (OTT) KPK dalam kasus dugaan suap proyek infrastruktur. Upaya pencegahan dan pemberatasan korupsi semestinya dilakukan dari pucuk tertinggi pemerintahan. Namun, dari sana pula catatan buruk korupsi juga banyak ditemukan. Belum genap dua periode Jokowi menjabat presiden, empat menterinya sudah tersandung korupsi. Sebanyak dua menteri di periode pertama yakni Idrus Marham dan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Dua menteri lagi di periode kedua, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Presiden Jokowi gagal dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi ketika jajaran kabinet yang dipilih dan disusunnya sendiri justru tersandera korupsi. Seharusnya pengalaman dua menteri terciduk KPK di periode pertama memberi pelajaran untuk ekstra hati-hati menyusun kabinet di periode kedua. Namun, reputasi yang sama kembali terulang. Bahkan catatannya menjadi lebih buruk sebab penangkapan dua menteri terjadi dalam tempo belum satu setengah tahun periode kedua berjalan. Kemiskinan Merebak Pada akhirnya, rakyat jugalah yang menanggung. Kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, dan pandemi yang berkepanjangan menambah berat bobot persoalan menyusul robohnya sejumlah usaha dalam sektor industri dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Alhasil, persentase kemiskinan menembus dua digit. Data ini berdasarkan Survei Ekonomi Nasional September 2020 oleh Badan Pusat Statistik ( BPS). BPS mencatat, jumlah penduduk miskin mencapai 27,55 juta atau 10,19 persen dari jumlah penduduk. Angka tersebut naik 2,76 juta jiwa dibandingkan September 2019 atau bertambah 0,97 persen secara tahunan. Tingkat kemiskinan terakhir kali menembus dua digit pada September 2017 dengan jumlah 26,58 juta jiwa. Alasan yang selalu dipakai pemerintah, kenaikan penduduk miskin itu karena faktor Covid-19. Namun, kalau kita menelisik data BPS sebelumnya, tren angka kemiskinan sesungguhnya telah menanjak sebelum musim Covid-19 . Faktanya, jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2019 sebesar 24,79 juta orang, lalu bertambah menjadi 26,42 juta orang pada Maret 2020. Relevan dengan data tersebut, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam laporan catatan awal 2021 menyatakan, tingkat pengangguran terbuka diperkirakan naik hampir dua kali lipat sebesar 7,8 persen atau sebanyak 10,4 juta jiwa. Angka pengangguran itu belum termasuk pengangguran terselubung yang jumlahnya dua kali lipat dari pengangguran terbuka. Praktis, pelebaran angka kemiskinan mengakibatkan kehidupan kesehatan masyarakat menjadi rentan. Pasalnya, kemiskinan cenderung diikuti oleh permasalahan lain, seperti rendahnya kualitas hidup masyarakat. Juga kurangnya asupan gizi, kecukupan nutrisi serta kualitas pangan, dan lain-lain. Padahal, di musim pandemi begini, daya tahan tubuh harus selalu ditingkatkan. Salah satunya melalui suplai nutrisi yang baik dan berkualitas. Di tengah situasi demikian, iuran BPJS kesehatan justru naik sejak Januari 2021 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Kebijakan ini rasanya berbanding terbalik dengan relaksasi pajak penjualan mobil, meski terbatas dalam kategori produk low cost green car (LCGC). Yang miskin semakin miskin. Sebaliknya, yang kaya semakin kaya. Alhasil, jurang kesenjangan sosial semakin terbuka lebar. Jangankan saat ini, jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda saja, kesenjangan sosial sudah terlihat nyata dan telanjang di masyarakat. Laporan KPK yang diformat dalam Nota Sintesis Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP SDA) 2018 menyebutkan, pengelolaan SDA di Indonesia jauh dari rasa keadilan, karena tingkat ketimpangan yang tinggi. Untuk sektor kehutanan, penguasaannya seluas 40.463.103 hektar. Namun masyarakat hanya mendapatkan porsi 1.748.931 hektar, atau perbandingannya setara 96 : 4. Pertanyaannya, dengan fakta-fakta di atas, lalu apa yang akan diwariskan Pemerintah saat ini kepada anak cucu kita kelak? Kita tunggu seperti apa perjalanan republik 3,5 tahun ke depan, hingga akhir masa Jabatan Presiden Jokowi. Jangan biarkan Presiden Jokowi bekerja sendiri. Kita dukung beliau dengan kerja-kerja produktif dan kritik yang argumentatif, agar Indonesia tidak menyimpang lebih jauh. Presiden Jokowi menyebut tahun 2021 ini dapat menjadi momentum Indonesia menjadi negara maju, jika mampu keluar dari krisis akibat Covid-19 dengan baik. Penulis Adalah Senator DPD RI.
Oligarki Dan Demokrasi Anti Klimaks
by Tamsil Linrung Jakrta FFN- Demokrasi bisa naik, bisa juga turun. Bergantung pada banyak faktor. Musabab paling pokok adalah karakter dan gaya kepemimpinan. Bila pemimpinnya dzolim, demokrasi akan mati namun dibedaki seolah-olah demokrasi hidup. Membahas demokrasi Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari sudut pandang kepemimpinan Presiden Jokowi. Namun sayangnya, di bawah kepemimpinan beliau, Indonesia tak cuma paceklik ekonomi, tetapi juga resesi demokrasi. Indeks demokrasi terburuk selama reformasi. Oligarki tumbuh sehat. Dinasti politik bahkan dimulai dari diri presiden sendiri. Anak dan menantu diberi ruang menjadi kepala daerah dari negara yang dipimpin oleh ayah dan mertua. Ini adalah sejarah pertama di Indonesia sekaligus cermin paling buruk dinamika demokrasi kita. Berlimpah ruah argumentasi demokratis yang dapat diajukan menjadi pembela. Tetapi, seorang negarawan sejati tak akan pernah membiarkan keluarganya duduk dalam tahta kepemimpinan daerah dari negeri yang dipimpinnya, karena berpotensi mengundang kontroversi, cemoohan dan persepsi buruk dari rakyat. Oligarki adalah musuh biadab demokrasi. Bukan hanya Covid-19, wabah oligarki juga menjadi pandemi dalam konteks politik Indonesia hari ini. Kemasan setiap pengambilan keputusan selalu dipoles seolah-olah demokratis. Tetapi esensinya tetaplah memperkuat oligarki. Politik turun-temurun adalah bagian dari wajah oligarki yang mencengkeram Indonesia hari-hari ini. Wajah politik turun temurun terlihat sejak awal pemerintahan periode kedua, selain dari terang benderangnya politik dinasti yang dipertontonkan di hadapan kita. Publik bisa meraba relasi oligarki kekuasaan dan politik turun temurun itu. Nikmat oligarki bahkan sempat menggelontorkan wacana amandemen UUD 1945 terkait Presiden tiga Periode. Saat itu, banyak yang bertanya-tanya, lompatan besar apa yang telah dilakukan sehingga wacana presiden tiga perode dimunculkan? Kolumnis produktif Tony Rasyid sempat mengulas berkali-kali tentang wacana yang sulit dijangkau akal sehat ini. Pertanyaan tersebut harus selalu diajukan agar fokus perhatian kita selalu berpulang kepada substansi. Kita tahu, sebagian dilema demokrasi Indonesia hari ini adalah fenomena buzzer politik. Siapa pun yang mengkritisi kebijakan pemerintah, buzzer selalu siap membela. Bila ada persoalan serius atau blunder politik, buzzer dengan cekatan mengalihkan perhatian publik. Anti Klimaks Indonesia punya catatan demokrasi yang panjang. Ada klimaks, ada anti klimaks. Hari ini kita berada pada ruang demokrasi anti klimaks. Anti klimaks itu ditandai oleh indeks demokrasi Indonesia yang semakin turun. The Economist Intelligence Unite menempatkan index demokrasi Indonesia pada rangking 64 dunia. Menjadi pencapain terburuk selama 14 tahun terakhir. Kita bahkan berada di bawah Malaysia dan Timor Leste, negara baru pecahan Indonesia. Penurunan index demokrasi tersebut terjadi seiring dengan menguatnya oligarki. Itu karena karena dua hal. Pertama, karena politik kita berbiaya mahal. Pemilihan Presiden ditengarai beberapa pihak mencapai triliunan rupiah. Angka ini fantastis dan sulit, bahkan mustahil dipenuhi oleh kandidat secara mandiri. Maka kandidat Pilpres berjejaring dengan para pengusaha, sehingga menjadi cikal bakal terbentuknya oligarki. Kedua, adanya Presidential Threshold (PT). Selain mengerdilkan demokrasi, juga menjadi sumber petaka oligarki. Untuk mengusung calon presiden, partai politik sejak awal harus bersekutu demi memenuhi ambang batas pencalonan. Padahal, ambang batas tak lebih dari keengganan partai politik besar memunculkan figur-figur alternatif dalam kontestasi Pilpres. Sebagai akibat dari fenomena itu adalah melemahnya kekuatan oposisi. Kita tahu, oposisi adalah nyawa demokrasi. Partai politik yang hari ini nyatanyata beroposisi terhadap pemerintah hanya Partai Keadilan Sejahtera. Dalam beberapa sikap, juga Partai Demokrat. Sementara rekonsiliasi politik yang beraroma elitis hanya menambah daftar panjang kuasa oligarki politik. Oligarki harus dilawan. Tidak boleh dibiarkan tumbuh subur, menjadi kanker ganas yang bisa menggerogoti demokrasi. Sebab, oligarki mereduksi partisipasi politik dan kedaulatan rakyat yang secara keseluruhan berujung pada tumbuhnya sikap anti demokrasi. Celakanya, sikap anti demokratis tersebut dapat merembes pada rakyat kebanyakan. Karena oligarki cenderung mengandalkan kekuatan finansial, suara rakyat dikalkulasi dalam nominal rupiah. Rakyat dididik melihat pesta demokrasi sebagai musim amplop. Rakyat hanya dibutuhkan sebagai stempel demokrasi semata. Usai memperoleh suara rakyat, pemerintahan yang tersandera oligarki cenderung tak memusatkan pikiran pada kesejahteraan mereka. Sebaliknya, oligarki justru memaksakan kehendak dengan produk-produk kebijakan yang menguntungkan investor. Salah satunya bisa kita lihat pada pengesahan UU Cipta Kerja yang mendapat pertentangan dari masyarakat kelas menengah dan buruh. Sebagai buntut UU yang ditengarai pro-investor tersebut, baru-baru ini lahir Peraturan Presiden nomor 10 Tahun 2021 yang memberikan izin investasi minuman keras di empat provinsi di Indonesia. Kebijakan tersebut seperti kacamata kuda. Hanya berfokus pada investor dengan harapan bisa mengatrol ekonomi bangsa yang sedang sulit. Tanpa mengaca kepada karakter umum manusia Indonesia secara umum. Beruntung, kebijakan ini lalu dianulir setelah mendapat respon keras sejumlah kalangan. Keberpihakan kepada pemilik modal pastilah semakin memperlebar jurang kesenjangan sosial. Laporan Bank Dunia menyebut sebanyak 10% orang kaya Indonesia memiliki 77% seluruh kekayaan negara. Sementara berdasarkan laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TP2K, Oktober 2019) menunjukkan bahwa 1% orang di Indonesia bisa menguasai 50% aset nasional. Jika dinaikkan jadi 10% keluarga maka ini menguasai 70%. Artinya sisanya 90% penduduk memperebutkan 30% kekayaan yang tersisa. Dilema DPD RI Oligarki menjadi kian sempurna ketika lembaga legislatf sebagai pengawas pemerintahan menjadi bagian dari oligarki. Faktanya, partai-partai politik saat ini sebagian besar merupakan pendukung pemerintah. Kenyataan ini sangat menghawatirkan masa depan demokrasi. DPD RI sendiri, dalam posisinya yang lemah menjadi serba dilematis. Kita tahu, fungsi dan kewenangan DPD RI sangat terbatas. Jangankan menyuarakan aspirasi rakyat, untuk dapat menyuarakan kepentingan DPD sendiri, terkadang masih menemui kendala. Sejumlah kalangan bahkan menyebut lembaga ini sebagai anak tiri senayan. Padahal, dalam konteks perlawanan terhadap oligarki, DPD RI punya nilai lebih. Pertama, wakil-wakil rayat yang duduk di lembaga ini bukan representasi partai politik dan oleh karena itu, sepak terjangnya relatif aman dari kepentingan partai dan oligarki. Kedua, memiliki legitimasi yang sangat kuat karena anggotanya dipilih langsung oleh rakyat provinsi yang diwakilinya. Tetapi tentu, DPD RI bukan berarti tidak dapat berbuat apa-apa. Banyak yang telah dilakukan. Hanya, dalam konteks mengurai benang kusut oligarki, upaya yang dilakukan menemui kendala ketika belum apa-apa sudah dipandang sebelah mata. Untuk mengefektifkan dirinya, sebagian Anggota DPD bersuara melalui kanal-kanal publik, baik melalui webinar, melalui tulisan di media massa, menggalang civil society, dan lain-lain. Hal pertama dan paling utama dijaga tentulah terlebih dahulu menjauh dari pusaran oligarki. Pemerintahan harus dikritisi secara proprsional, agar tidak terlalu jauh keluar dari jalur yang semestinya. Terlebih, berbagai persoalan sosial politik akhir-akhir ini merebak sebagai rangkaian sistem politik yang memihak oligarki, seperti praktik korupsi, pelanggaran Hak Asasi manusia HAM, dan lain-lain. Sementara itu, masyarakat dibuat saling menegasi pada aneka persoalan yang menjauhkan pikiran mereka dari peromlematika bangsa sesungguhnya. Reformasi lambat laun disandera oligarki dan secara langsung mengamputasi demokrasi. Bila tidak ada komitmen kuat dari kita semua, oligarki akan semakin menguat dan mencengkeram sendi-sendiri demokrasi kita hingga lumpuh tak berdaya. Penulis adalah Senator DPD RI.
Jimly Asshiddiqy Salah Besar
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqy menyalahkan Gerakan Pemuda Islam (GPI) yang melaporkan Presiden ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Pernyataan Jumly tersebut dinilai salah besar. Hal ini disebabkan Presiden bukan orang yang bersih dan dianggap sama sekali tidak mungkin melakukan perbuatan pidana. Nah saat Presiden melakukan pelanggaran hukum, apakah penganiayaan, penipuan, korupsi, maka Presiden harus diproses secara pidana. Bukan tata negara atau administrasi negara. Andaikan presiden dinyatakan bersalah oleh pengadilan, barulah hasil atau vonis putusan pengadilan itu yang dibawa ke DPR, MK dan MPR untuk diproses lebih lanjut soal pemberhentian presiden. Jimly secara naif menyatakan, bahwa karena Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sehingga proses pelanggaran hukumnya harus dibawa ke DPR, MK, dan MPR. Mungkin saja Jimly lupa, bahwa kemana melaporkan itu tergantung pada pelanggarannya. Apakah itu pelanggaran perdata, pidana, tata negara atau tata usaha negara. Jika pelanggaran yang dilakukan Presiden itu perdata, maka dibawa ke Pengadilan Negeri. Namun kalau pelanggaran pidana, maka tentunya ke Kepolisian, dan dilanjutkan oleh Jaka Penuntut Umum (JPU) ke pengadilan. Jika pelanggaran tata negara, barulah ke DPR, MK, dan MPR. Jika Presiden melanggar administrasi, ya prosesnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Presiden dapat dilaporkan ke Kepolisian untuk memperoleh kepastian hukum dari duagaan adanya pelanggaran pidana. Jika Presiden telah terbukti secara hukum melakukan perbuatan pidana, barulah itu menjadi alasan untuk proses hukum ke tata negara. Disitulah DPR, MK, dan MPR mulai bekerja. UUD 1945 mengatur demikian, sebagaimana ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi : "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden". Nah proses menuju ke DPR, MK dan MPR ternyata dapat didahului oleh proses pelanggaran pidana. Kalimat "terbukti" harus telah ditetapkan oleh Pengadilan. Baik berupa perbuatan korupsi, penyuapan, dan tindakan pidana berat. Tentu saja itu melalui penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian atau Kejaksaan. Untuk korupsi dapat juga dilakukan pemeriksaan oleh KPK. Kerumunan yang terjadi di Maumere Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai bentuk pelanggaran terhadap UU Kekarantinaan Kesehatan, itu merujuk pada penahanan Habib Rizieq Shihab (HRS) di Bareskrim untuk dugaan tindak pidana yang sama. Karenanya aktivis GPI yang melaporkan dugaan tindak pidana Jokowi ke Bareskrim adalah sangat tepat. Menjadi salah dan ngawur jika melaporkan ke DPR, MK, atau MPR sebagaimana saran dari Jimly. Pak Jimly memang pakar Hukum Tata Negara, tetapi semestinya tahu akan proses hukum lainnya. Pernyataannya justru memerosotkan kredibilitas sebagai Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Indonesia. Gampangnya saja, misalnya seorang Presiden melakukan pembunuhan, maka apakah itu diproses dan diadili di DPR, MK atau MPR? Tentu tidak. DPR, MK, dan MPR "mengadili" menyangkut pemberhentiannya sebagai Presiden. Begitu Pasal 7A UUD 1945 mengatur. Jadi, Pak Jimly tidak perlu merasa sedih dan meratapi langkah aktivis GPI. Para aktivis GPI lah yang semestinya merasa sedih dengan cara pandang Prof Jimly yang menyedihkan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.