NASIONAL
Negeri Fitnah Yang Menerapkan "Summum Ius Summa Iniuria"
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Adalah Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Front Pembela Islam (FPI) menjadi sasaran fitnah keji. Aksi terorisme "abal-abal" dikait-kaitkan atau dihubungkan dengan FPI dan tentu HRS. Terkesan mau dipakai untuk menutupi-nutupi kasus pembunuhan terhadap enam anggota Laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Pembunuhan berdasarkan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) patut diduga melibatkan anggota polisi dari Polda Metro Jaya. Perbuatan kejahatan yang tak bisa dihindari mengarah pada keterlibatan aparat keamanan. Dampknya pelakukan pmebunuhan terdahap enam anggota laskar FPI tidak diumumkan. Adapun nama-nama pelaku yang terus-terusan disembunyikan, dan hingga kini tidak diumumkan oleh oleh Bareskrim Polri, menjadi keanehan tersendiri. Keanehan yang membuka peluang bagi terjadinya rekayasa lanjutan perkara ini. Wajar kalaui publik bertany-tanya, mengapa belom juga diumumkan para tersangka? Siapa saja nama-nama mereka? Penangkapan orang-orang "jaringan terorisme" yang dikaitkan dengan mantan atau simpatisan FPI adalah dugaan dari fitnah yang direkayasa. FPI selama ini tidak pernah dituduh sebagai organisasi teroris. Bahkan mantan Kapolri Prof. Dr. Tito Karnavian memuji-muji FPI setinggi langit, sebagia organisasi yang sangat nasional, dan peduli terhadap persoalan kebangsaan. Sepak terjang FPI, baik kegiatan maupun ungkapan tokohnya yang selalu mengecam terorisme semua yang berbau terorisme. FPI sendiri merupakan organisasi formal dan legal. Hanya karena dipersulit pendaftaran badan hukumnya, akhirnya dibubarkan oleh pemerintah. Itupun sampai sekarang tanpa ada perlawanan, apalagi kekerasan dari FPI. Radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme justru ditujukan kepada umat Islam. Profil setiap pelaku "teroris" yang ditampilkan selalu beratribut Islam. Padahal pernah ada pelaku perencanaan bom atas gereja beragama Katolik yang ditangkap oleh polisi. Sayangnya polisi tidak pernah mau memberikan stigma dan status sebagai pelaku teroris. Apa penyebab? Hanya polisi yang tau. Namun tidak bagi umat Islam. Ini tentu saja sangat menyakitkan. Jika pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makasar itu benar anggota Jaah Ansorul Daulah (JAD), maka bukalah sudah sejelas-jelasnya siapa dan apa organisasi ini? Jangan dipelihara lagi, sehingga semua harus dikait-kaitkan dengan Islam. Langsung saja umumkan pembubaran organisasi JAD. Selesai dan habisi itu JAD. Yakinkan kepada rakyat bahwa JAD ini bukan organisasi buatan yang dijadikan hantu cantolan terorisme. Bom yang disebut bunuh diri di Gereja Katedral Makassar itu janggal. Sebab betapa bodohnya pelaku datang ke Gereja berbusana muslimah. Bercadar lagi. Begitu juga wanita berbusana muslimah ZA yang mengacungkan senjata air soft gun di Mabes Polri lalu ditembak mati itu. Sebaiknya Komnas HAM perlu turun tangan untuk mengusut siapa yang pelaku yang menembak mati ZA di Mabes Polri tersebut. Mengapa harus ditembak mati? Mengapa bukan dilakukan tembakan untuk melumpuhkan ZA saja. Apakah lawful atau unlawful killing? Publik jangan disuguhkan informasi hanya dari polisi. Kasus kilometer 50 tol Japek cukup menjadi pelajaran berharga buat bangsa ini bahwa tidak cukup masyarakat mendapat indormasi dari polisi saja. Untung masih ada Komnas HAM yang menemukan penembakan terhadap empat anggota laskar FPI oleh anggota Polda Metro Jaya. Selain itu, ada mobil Land Cuiser di lokasi kejadin kilometer 50 tol Japek. Ada juga mobil Avanza Hitam dan Avanza Silver yang publik tidak tau keberadaannya. Sebab sebelumnya tidak diumumkan oleh polisi. Saat enam anggota laskar FPI yang dibunuh, disiksa dan dijadikan tersangka adalah fitnah keji. Begitu juga peradilan HRS yang didakwa melakukan kerumunan saat walimahan anaknya dan maulidan. Mengapa kerumunan "wedding" Attar Halilintar dan Aurel Hermansyah, puteri Krisdayanti dibolehkan? Jokowi, Prabowo, Bambang Soesetyo hadir pula. Sungguh ini fakta dari suatu ketidakadilan. Tontonan ketidakadilan juga semakin menjijikan diperlihatkan dengan dihentikannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) penyidikan terhadap koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kakap Syamsul Nursalim, yang buron bertahun-tahun. Sampai sekarang belum kembali ke Indonesia. Mungkin sebentar lagi balik. Apalagi SP3 sudah keluar. Tidak lagi ada hambatan untuk pulang. Betapa nyaman menjadi perampok besar di negeri ini. Kabur bertahun-tahun ke luar negeri, lalu keluar SP3 dari KPK. Padahal BLBI adalah perampokan uang rakyat puluhan, bahkan ratusan triliunan rupiah. Perampokan ini ditutup hanya dengan Inpres No. 8 Tahun 2002. Inpres ini diteken oleh Megawati Soekarnoputri ketika menjabat sebagai Presiden. KPK semestinya tidak menetapkan SP3 kepada penjahat besar Syamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Sebab pasal 40 ayat (1) UU KPK hanya merumuskan "dapat". Tidak adanya kewajiban bagi KPK untuk mengeluarkan SP3. Wajar jika KPK dicurigai bermain-main dalam kasus ini. Sudah terlalu banyak tampilan wajah muram ketidakadilan di negeri ini. Rakyat sangat merasakan ketidakadilan itu. Kekuasaan dan kekayaan yang membenarkan perlakuan berbeda terhadap warga negara. Asas "equality before the law" dapat dilanggar dengan berbagai alasan. Atau mungkinkah mereka memahami dan bersikap tak peduli pada keadilan mengingat ada adagium hukum "summum ius summa iniuria", yang berarti keadilan tertinggi adalah ketidakadilan? Penguasa sekareng berhak untuk berbuat tidak adil dengan merasa telah berlaku adil? Soal fitnah keji? Mungkin merasa tidak juga karena di negeri Rusia tahun 2012-2017 pernah sukses mempropagandakan teori semburan fitnah "firehose of falsehood". Menebar kebohongan demi mempengaruhi opini publik termasuk media massa. Adakah rezim Jokowi sedang mempraktekkan teori semburan fitnah ala Rusia saat ini? Sejarah akan berbicara esok. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Rakyat Hari Ini, Seperti Anak Ayam Kehilangan Induknya
by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Pembaca FNN dimana pun yang bisa mengakses situs ini, bisakah membayangkan situasi dan kondisi sosial rakyat dari Sabang menuju Merauke saat ini? Jika peka, maka ilustrasi yang muncul adalah laksana anak ayam kehilangan induknya. Masyarakat luas, yang katanya memiliki presiden sebagai pemimpin negara, namun serasa seperti tidak adanya kehadiran seorang pemimpin. Saat ini masyarakat tengah merasakan situasi penuh kebingunan. Galau dan kacau. Tidak mengerti harus bagaimana? Mesti harus berbuat apa? Sebab segala permasalahan yang membuatnya sedemikian pelik yang tengah ditanggung masyarakat, tidak lain adalah bab perekonomian. Gampangnya kalau ngomong, rakyat sulit mencari uang (rezeki). Kesulitan yang belom pernah dirasakan rakyat sebelum ini. Ekonomi itu adalah hal utama. Persoalan yang sangat pokok. Kesulitan perekonomian bukan saja dialami masyarakat kelas menengah ke bawah. Melainkan, juga dirasakan bos-bos besar papan atas. Hari-hari ini merasakan seperti pecah kepalanya. Memikirkan buruknya neraca perdagangan yang dikendalikannya. Biaya-biaya tetap seperti gaji, listrik, iuran BJS Kesehatan dan BPS Tenaga Kerja dan lain-lain. Seorang pemilik warung di Madiun, Jawa Timur, belum lama ini terpaksa menumpahkan kemarahannya kepada petugas bank titil (Bank Perkreditan Rakyat) yang datang menagih hutang. Pemilik warung marah sejadi-jadinya, sampai-sampai penagih hutang lari ketakutan. Kalau bicara dari sisi salah-benar sesuai hukum formal, seperti yang disukai Menkopolhukam Mahfud MD kalau berkomentar, maka pemilik warung tentu dinilai sebagai pihak yang salah. Sebab telah memarahi petugas BPR. Padahal dia berkewajiban melunasi pinjaman hingga tuntas. Namun secara kondisional, bukannya soal-salah, atau tidak salah. Melainkan pemilik warung tidak punya uang untuk mengangsur pinjaman. Dagangannya pun juga tidak ada yang laku. Semisal diambil tindakan hukum pun, pemilik warung pasrah. "Awalnya kita dirayu rayu supaya mau pinjam ke BPR. Setelah pinjam, eehhh....nagihnya utang minta ampun," bentak pemilik warung, ketus. Keadaan yang menyentuh perasaan seperti itu terjadi, dan dialami masyarakat di semua tingkat lapisan. Dari ujung Sumatera sampai pucuk Papua. Boleh jadi ada yang kondisinya lebih parah lagi. Mungkin jenis persoalannya saja yang berbeda. Namun intinya sama, sulit sulit dan sulit cari duit. Masih di kota yang sama, seorang kontraktor kondang juga dalam kondisi "sekarat". Mati nggak sekalian mati, namun hidup, nggak hidup bener juga. Betapa tidak, belasan alat berat dan dum truck sebagai penopang utama usahanya masuk gadai. Sebagai jaminan hutang, dan macet. Ruwet, ribet dan mumet. Beginilah gambaran yang lebih luas tentang gelapnya perekonomian masyarakat negeri ini. Setiap kali bertemu kawan, baik di warung atau dimana saja, selalu menyampaikan keluhan seragam. Tersumbat memikirkan ekonomi rumah tangga, sebagai topiknya. Bila kontak sahabat atau saudara yang tinggal di luar kota, atau di luar pulau. Pengakuannya sama. Sulit cari duit. Tak terkecuali pegawai negeri sipil. Seorang Kepala Dinas di pemerintahan daerah menunjukkan chat WA bab kewajiban mengangsur pinjaman BPR yang telah jatuh tempo dan belum dibayar. Bayangkan sekelas Kepala Dinas diuber-uber utang. Baru di era Jokowi ini terjadi. "Mau apalagi, aku cuma bisa bilang ya nanti tak bayar," katanya. Ibarat anak ayam yang terserakh di seluruh muka bumi. Saling teriak tanpa jelas apa yang diteriakkan. Lari kesana-kemari sembari menjerit pilu, terdengar seakan beradu merdu. Terjatuh, bangkit, terinjak, berdarah darah, tumpang tindih tak karu-karuan. Semua itu berlangsung demi memperoleh sumber kehidupan. Survival lah. Agar tetap bisa bertahan hidup. Meskipun sebenarnya yang ditemui cuma ke muleg an. Sebab satu dengan lainnya tak beda jauh persoalannya. Ibarat pelanduk dicerang rimba. Mau kemana? Akan berbuat apa? Mengadu kepada siapa? Semua jalan gelap dan buntu. Rasanya, disaat ketidak-berdayaan mencapai batas, yang dimiliki cuma pasrah dan keputusasaan. Seolah telah hilang garis batas mana saudara, adik, kakak, mertua, menantu, ipar, besan, teman, musuh, kawan, lawan dan sebagainya. Semua bingung. Mulai gelap-gulita. Kepelikan ekonomi bukan dominasi kaum proletar. Kaum optimat pun merasakan hal sama. Pengusaha paling besar dan kaya pun tak luput dari badai ekonomi. Menurut kompas.com (23/06/2020), selama sepekan harta bos Grup Djarum, Robert Budi dan Michael Hartono, merosot U$ 1,3 miliar atau setara dengan Rp. 18,4 triliun. Wuuhhh....ngeri-ngeri tidak sedap kan? Menjadi logis hangusnya triliunan rupiah harta bos Djarum, bila dikaitkan dengan ulasan cnn Indonesia (05/02/21), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pertumbuhan ekonomi RI minus -2,07 persen pada tahun lalu. Sementara, BPS dalam situsnya yang dilansir pada 15/07/2020 mengumumkan bahwa indeks gini rasio pada Maret 2020 sebesar 0,381. Jika angka koefisien yang digunakan sebagai alat ukur gini rasio adalah antara 0 (sangat kaya raya/ amat sangat hidup) sampai 1 (mati), maka angka gini rasio tersebut (0,381) berada nyaris diantara hidup dan mati. Padahal, masih ingat janji Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 lalu. Dia bilang, “akan menggenjot pertumbuhan ekonomi di angka 7%”. Janji yang sama diulang lagi Jokowi di kampanye Pilpres berikutnya (2019), juga 7%. Apakah Jokowi sanggup buktikan ucapannya 7%? Alih-alih 7%. Malah hancur di angka minus -2,07%. Padahal, sepeninggal SBY dari kursi presiden 20 Oktober 2024, angka pertumbuhan ekonomi masih lumayan 6%. Seumpama angka nilai rapor sekolah masih tergolong naik kelas. Melihat kenyataan ini, para buzzer dan gobloger melakukan advokasi dengan mengatakan hancurnya ekonomi sebagai dampak dari Covid-19. Nah, virus jadi wedus ireng. Padahal, sebelum kehadiran virus dari cina tersebut pertumbuhan ekonomi selama dipimpin Jokowi tak lepas dari angka 5 persen. Jadi, perekonomian negara ini bukan soal virusnya, melainkan Jokowinya. Lagi pula, secara global Covid-19 meletus dari Wuhan Cina, pada akhir Desember 2019 (jika tidak salah 23 Desember). Hampir semua negara di belahan dunia telah terpandemi virus haram tersebut. Meski semua negara telah tercemar, kala itu Indonesia masih aman. Celakanya, diwaktu negara ini masih aman, lha kok pemerintah malah memasukkan ribuan warga asing dari Cina. Lebih sinting lagi "virus" tersebut didominasi berasal dari negara produsen Covid-19. Wuhhh... ini namanya ngeri-ngeri kurang ajar. Karena Indonesia ini ibarat negara seribu pintu, maka ribuan "virus" tersebut bisa leluasa masuk melalui Sulawesi, Papua, Bali, Semarang, Surabaya, Halmahera serta pintu-pintu lainnya. Walhasil, pemerintah hingga lebih setahun bingung menangani Covid-19. Berbagai cara dilakukan. Masyarakat malah lebih dari sekedar bingung, yakni entah nggak bisa lagi mikir. Lantas pemerintah mengeluarkan kebijakan tutup pintu masuk warga asing. Tetapi sudah terlambat. Ibarat sebuah kampung lagi musim maling, malingnya sudah masuk rumah, baru pintunya ditutup. Ini kan seperti epilog komedian di panggung tonil hiburan. Ketawa ampe mencret. Soal kebutuhan rasa aman, nyaman, tenang, tenteram pun menjadi sesuatu yang mahal sekarang ini. Bayangkan, ekonom sekelas Kwik Kian Gie sampai menyatakan keluhannya, "Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternative". Kwik menyambung, "(Pada) zaman Pak Harto yang otoriter saja, saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik kritik tajam. Tidak sekalipun ada masalah". (Pikiran Rakyat, 06/02/2021). Sebenranya, masih banyak permasalahan berbangsa dan bernegara yang ingin dituliskan disini. Namun, saking banyaknya permasalahan sosial kemasyarakatan sampai bingung mengingat ingatnya. Sejak Orde Baru berkuasa, belom bangsa Indonesia sesulit ini di bidang ekonomi. Pecinta FNN yang budiman. Media digital, escort the state goal di penjuru dunia. Tumpukan campur aduk permasalahan, baik ekonomi, hukum, sosial, budaya, keamanan serta deretan aspek hidup lainnya secara umum dapat membuat kebingungan. Yah, laksana anak ayam yang kehilangan induknya. Atau pelanduk di cerang rimba. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.
Tirani Pandemi
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Sarah Repucci dan Amy Slipowitz menulis artikel berjudul “Democracy Under Lockdown” : The Impact of Covid 19 on the Global Struggle for Freedom” pada bulan Oktober 2020 lalu. Kedua ilmuwan wanita asal Amerika itu menanggapi serius hasil penelitian Freedom House dengan menuliskan, bahwa tidak hanya demokrasi melemah di 80 negara. Tetapi masalahnya sangat akut di negara-negara demokrasi yang sedang berjuang dan negara-negara yang sangat represif. Pemerintah telah menanggapi dengan terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan. Membungkam kritik mereka, dan melemahkan atau menutup lembaga-lembaga penting. Seringkali merusak sistem akuntabilitas yang diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Kesimpulan penelitian Freedom House baru tentang dampak Covid 19 pada demokrasi dan hak asasi manusia tersebut dihasilkan dalam kemitraan dengan perusahaan survei GQR. Sebuah perusahaan riset dan kampanye politik yang bermarkas di Washington D.C. Amerika Serikat. Berdasarkan survei terhadap 398 jurnalis, pekerja masyarakat sipil, aktivis, dan pakar lainnya serta penelitian di 192 negara oleh jaringan analis global Freedom House. Laporan ini adalah yang pertama dari jenisnya dan upaya paling mendalam hingga saat ini. Kedua ilmuwan itu menegaskan, penelitian tersebut sangat mendukung hipotesis bahwa pandemi Covid19 memperburuk penurunan kebebasan selama 14 tahun berturut-turut. Tidak hanya demokrasi melemah di 80 negara. Tetapi masalahnya sangat akut di negara-negara demokrasi yang sedang berjuang dan negara-negara yang sangat represif. Dengan kata lain, pengaturan yang telah memiliki perlindungan yang lemah terhadap penyalahgunaan kekuasaan menjadi yang paling menderita. Temuan ini menggambarkan luas dan dalamnya serangan terhadap demokrasi. Seperti yang dikatakan salah satu responden di Kamboja, “pemerintah menjadikan virus corona sebagai kesempatan untuk menghancurkan ruang demokrasi”. Gambarannya terlihat suram, kata Joshua Kurlantzick, peneliti senior untuk Asia Tenggara di Council on Foreign Relations. Sejak wabah dimulai, kondisi demokrasi dan hak asasi manusia semakin memburuk di 80 negara. Dimana pemerintah telah menggunakan Covid 19 sebagai dalih untuk menutup oposisi. Meminggirkan kelompok minoritas, dan mengontrol informasi, tulisnya dalam artikel di Japan Times (Jan 13, 2021) berjudul “Covid 19 Batters Asia’s Already-Struggling Democracies”. Mengomentari hasil penelitian “Freedom House” itu, Joshua mengatakan, pandemi virus corona baru hanya memperburuk kerusakan demokrasi. Memperdalam krisis demokrasi di seluruh dunia. “Memberikan perlindungan bagi pemerintah untuk mengganggu pemilu, membungkam kritik dan menekan, dan merongrong akuntabilitas yang dibutuhkan untuk melindungi hak asasi manusia serta kesehatan masyarakat”. Menurut Joshua, selama lima belas tahun terakhir, demokrasi di seluruh Asia telah mengalami kemunduran. Meskipun kawasan ini masih memiliki demokrasi yang kuat seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, banyak negara demokrasi Asia terkemuka lainnya dan negara-negara dengan potensi demokrasi telah tergelincir ke belakang. Berubah menjadi negara yang hampir otokrasi atau negara otoriter langsung. Sarah Repucci dan Amy Slipowitz menegaskan, diantara responden survei, 27 persen melaporkan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah sebagai salah satu dari tiga masalah yang paling terpengaruh oleh wabah virus corona. Pejabat dan layanan keamanan melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Menahan orang tanpa alasan, dan melanggar kewenangan hukum mereka. Pemerintah kemudian mengeksploitasi kekuatan darurat ini untuk mencampuri sistem peradilan. Memberlakukan pembatasan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada lawan politik, dan merusak fungsi legislatif yang krusial. Seperti yang dikatakan salah satu responden tentang Turki, "Coronavirus digunakan sebagai alasan bagi pemerintah yang sudah menindas untuk melakukan hal-hal yang telah lama direncanakan, tetapi belum dapat”. Ekses buruk wabah pandemi Covid 19 terhadap kehidupan masyarakat dunia, khususnya di Indonesia, diperparah munculnya pandemi lain yang menumpang di atasnya. Merebaknya hoaks dan fitnah yang terorganisir oleh buzzer maupun influenzer. Mereka bekerja menekan suara kritis masyarakat yang resah kurang tersentuh kebijakan mitigasi negara. Misalnya, akibat maraknya praktik korupsi pejabat pemerintah di tingkat menteri. Sasaran korupsi adalah dana-dana bantuan sosial (bansos). Pejabat keasyikan sukses berburu di kebun bintang. Dilakukan di tengah duka nestapa jutaan kelompok orang miskin baru. Korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masif akibat ambruknya ratusan perusahaan tersapu wabah pandemi. Laporan penelitian Universitas Oxford berjudul, “The Global Disinformation Order : 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation” yang terbit akhir September 2019 membantu menjelaskan fenomena kelahiran buzzer dan influenzer. Penelitian yang ditangani Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard menyebutkan Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan buzzer alias pendengung untuk sejumlah kepentingan sepanjang 2019. Tugas utama buzzer dan influenzer menggerus ketahanan demokrasi yang sudah lunglai terdegradasi oleh kooptasi kekuasaan yang balik haluan ke jalur otoriter. Menurut penelitian Universitas Oxford itu, tercatat, sejumlah pihak di Indonesia pengguna buzzer adalah politisi, partai politik, dan kalangan swasta. Kebanyakan buzzer beraksi untuk tujuan menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro partai, menyerang oposisi, hingga membentuk polarisasi. Buzzer di Indonesia kebanyakan buzzer bayaran pada kisaran antara Rp. 1-50 saja. Para buzzer biasanya menggunakan Twitter, WhatsApp, Instagram, dan Facebook dalam melakukan aksinya. Modus yang sering mereka lakukan dengan menciptakan disinformasi dan memanipulasi informasi. Sama diketahui, serangan wabah pandemi Covid 19 sejak awal Maret tahun lalu, yang memukul sektor kesehatan dan ekonomi bahkan demokrasi, telah mendorong pemerintah memanfaatkan legitimasi konstitusi untuk mengambil langkah darurat. Pengendalian pandemi dikemas menjadi mobilisasi mitigasi. Pandemi menjadi dasar penglegitimasian diskresi negara. Presiden lalu mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang). Merujuk filsuf Yunani Cicero yang menegaskan “salus populi supreme lex esto”, yang bermakna “keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”. Sejalan semangat yang tertulis dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945. Pandemi menjadi tirani baru dengan unsur baru, yaitu buzzer dan influenzer. Keduanya melengkapi potensi destruktif pandemi Covid 19 terdahulu. Mendorong demokrasi terkunci mati. Partai politik sebagai instrumen utama demokrasi tidak bicara apa-apa. Sebagai representasi suara rakyat, partai politik sama sekali tidak bunyi. Di tengah prahara penderitaan demokrasi, elite politik ramai-ramai mengunci mulut. Membutakan mata dan menutup telinga dari gemuruh longsornya marwah bangunan demokrasi. Tirani pandemi merusak tiga sistem peradaban masyarakat modern yang sudah mapan. Hancurnya secara bersamaan, yaitu sistem kesehatan, sistem ekonomi dan sistem demokrasi. Masuk akal jika, Repucci dan Slipowitz menyebutnya sebagai “Democracy Under Lock down”. Teman wartawan senior yang setia mengirim pesan WhatsApp, kembali mengingatkan kisah sejarah tragedi tentang Kaisar Nero. Dia menceritakan, “ketika kota Roma terbakar di landa kobaran api, Nero, sang kaisar malah memilih memetik gitar di sudut Istana”. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Sepertinya, Rakyat Sudah Abai “Bom-Boman”!
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Empat sekawan seperti Denny Siregar @Dennysi, Ade Armando @adearma, Ferdinan Hutahaean @Fer, dan Eko Kuntadhi @eko_kuntadhi, langsung bersuara lantang terkait Bom Gereja Katedral Makassar yang meledak hari ini, Minggu (28/3/2021). @Dennysi mengatakan, “Kadrun kelakuannya ada2aja.. pengen maki rasanya.” @adearma menulis, “Sebuah ledakan terjadi di depan Gereja Katedral Makassar. Bom meledak sebelum pelaku masuk ke gereja. Masih tidak percaya ada Islam radikal?” @Fer menyebutkan, “Terorist terus bertumbuh karena majikan2nya terus memprovokasi.” @eko_kuntadhi mengatakan, “Gerombolan pengasong agama mulai memetik panen dari pikiran ringsek yang dijajakan.” Mereka sudah menggonggong, men-framing ledakan bom di Katedral Makassar. Padahal Kepolisian belum ada pernyataan resmi tentang pelakunya. Meski mereka tidak menyebut secara gamblang ke mana arahnya, rakyat yang kritis pasti sudah tahu! Kalau ulama atau kiai yang menjadi korbannya, dapat dipastikan, mereka ini akan silent, diam seribu bahasa! Tumben, Abu Janda tidak ada suaranya? Semoga saja dia sudah bisa sadar, sehingga tidak akan berulah lagi. Kapolda Sulsel Irjen Polisi Merdisyam sudah menyebutkan, selain pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Jalan Kajolalido Makassar, sebanyak 9 orang menjadi korban dalam ledakan tersebut dan kini dirawat di beberapa rumah sakit. Namun, Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol E Zulpan mengatakan, korban luka akibat bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar bertambah menjadi 14 orang. Mereka sekarang ini sedang dirawat di rumah sakit, berasal dari korban luka, ledakan bom di TKP. “Ada sebagian jemaat,” katanya. Menurutnya, pelaku diperkirakan 2 orang. Ada satu orang coba menerobos dan dihalangi pihak keamanan, sehingga tidak sampai masuk ke dalam. Jadi, “Korban dari jemaat di luar saja yang terkena ledakan dan tidak ada meninggal.” Sementara, kata Walikota Makassar Ramdhan ‘Danny’ Pomanto yang menerima laporan terkait ledakan di depan Gereja Katedral Makassar menyebut, tidak ada jemaat gereja yang menjadi korban. “Saya telepon tadi Romo, tidak ada korban di dalam gereja, ini laporan sementara dari Romo. Romo sampaikan dari dalam gereja ini tidak ada korban di dalam gereja,” kata Danny, dilansir Detik.com, Minggu (28/3/2021).\ Danny belum memastikan terkait apakah jemaat sedang melakukan kegiatan ibadah di dalam gereja saat ledakan terjadi. “Saya tidak tanya (romo) tadi, saya cuma tanya korban jiwa tadi,” ujar Danny. Jadi, berapa jumlah pelaku dan korban masih belum pasti! Yang menarik terkait ledakan bom Gereja Katedral Makassar ini adalah mengapa peristiwa itu terjadi justru ketika masyarakat sedang fokus mengikuti persidangan Habib Riziq Shihab alias HRS yang sedang berlangsung di PN Jakarta Selatan? Adakah peristiwa itu hanya untuk mengalihkan perhatian rakyat dari proses persidangan HRS ini? Apalagi, setelah sidang eksepsi HRS, Menko Polhukam Mahfud MD jadi bulan-bulanan di medsos terkait perannya dalam kejadian kerumunan Bandara Soekarno-Hatta. Sebelum kedatangan HRS dari Arab Saudi pada 10 November 2020, Mahfud memberi lampu hijau bagi masyarakat yang ingin menjemputnya. Dan, lautan massa yang jumlahnya jutaan pun “mengawal” HRS hingga kediaman HRS di Petamburan. Tak hanya itu. Hari-hari ini pernyataan polisi soal 1 pelaku penembakan 6 anggota FPI yang mengawal HRS yang tewas kecelakaan, menuai kecaman dan bully-an yang bertubi-tubi dari mana-mana. Ternyata polisi penembak Laskar FPI tersebut sudah meninggal pada 4 Januari 2021 dini hari, dan baru ramai belakangan ini setelah diumumkan pada 25 Maret 2021. Polri memastikan, Elwira Priyadi Zendrato, meninggal karena kecelakaan pada 3 Januari 2021. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Rusdi Hartono mengatakan, satu dari tiga anggota Polda Metro Jaya yang berstatus terlapor kasus ‘unlawful killing’ meninggal karena kecelakaan tunggal. Sementara, 3 anggota PMJ yang berstatus terlapor tersebut pada Rabu 10 Maret 2021 telah dibebastugaskan. Menariknya lagi, ternyata nama Elwira Priyadi Zendrato berpangkat Bripka tak pernah tercatat sebagai terlapor kasus penembakan 6 Laskar PFI ini. Elwira Priadi Zendrato adalah Banit 8 Unit 5 Subdit 3 Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Beda sekali dengan 3 nama yang terdapat pada laporan 7 Desember 2020. Laporan terkait Penembakan KM-50 itu dibuat pada 7 Desember 2020 oleh: 1. Briptu Fikri Ramadhan Tawainella, dengan Saksi: 2. Bripka Faisal Khasbi Alaeya dan 3. Bripka Adi Ismanto. Laporan itu mulai terungkap pada 4 Januari 2021. Sorotan lainnya, utang yang meroket dan rencana impor beras yang membabi buta, membuat jagad medsos bersatu dan berteriak. Bahkan kebijakan sosial soal pelarangan mudik yang tak masuk akal, kontan berhasil dipatahkan oleh rakyat. Kemarin seluruh provinsi mencatat penambahan kasus baru Covid-19. KIPI merajalela dan terjadi di mana-mana dan rakyat diliputi ketakutan. Apalagi, biaya kesehatan untuk Pandemi Coronavirus sudah mulai dikurang-kurangi. Biaya Kesehatan untuk 275 juta rakyat Indonesia butuh dana Rp 800-1.000 triliun cadangan sampai akhir 2022 nanti. Bencana Ekonomi akan memakan biaya luar biasa untuk pemulihan yang menurut ramalan Bank Dunia, kontraksi ekonomi akibat pandemi ini butuh waktu pulih setidaknya 7 tahun. Kira-kira butuh biaya Rp 1.500-2.000 triliun lagi. Yang paling mengerikan bagi Presiden Joko Widodo, suara takbir sudah berkumandang di banyak pelosok negeri. Bahkan tak terkecuali para santri tradisional NU di kampung-kampung yang mengaji sambil berurai air mata setelah menyaksikan ulama dibui, dikerdilkan, dan dicaci-maki. Apalagi, di kampung-kampung basis Muhammadiyah. Rasa persatuan di kalangan rakyat yang rasional, mereka yang tidak ikut makan dana haram, dan masyarakat yang muak di tingkat dewa kepada ocehan gerombolan pendengung seperti Denny Siregar Cs, sudah kian keras mengkristal. Rasa “marah” rakyat yang tak bisa berbuat banyak melihat perilaku korup di jajaran eksekutif dan legislatif pendukung Presiden Jokowi yang korup sudah memenuhi ubun-ubun dan rawan meledak. Rezim pun ketakutan. Saling lempar tanggung jawab antara Polri dan PPATK terkait kasus pembekuan 92 rekening FPI. Terjadi “perang terbuka” antara Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Bulog, dalam kasus beras impor menambah carut-marutnya kebijakan di bidang pangan. Sampai-sampai presiden dipaksa tampil untuk menenangkan, meski kelihatan tak percaya diri. Eskalasi puncak pun terjadi. Kebocoran informasi tak terelakkan. Indonesia Leaks. Data-data pribadi para polisi-penjahat membanjiri jagad medsos. Posisi dan pengungkapan identitas para dalang yang menjadi otak Unlawful Killing kian rawan. Sontak nama dan pangkat komandan eksekutor di lapangan pun disembunyikan. Tapi, sudah keburu bocor dan diungkap TEMPO. Laporan terkait Pembantaian KM-50 pada 7 Desember 2020, yang dibuat oleh tiga bintara Polri itu bukan atas kemauan mereka sendiri. Karena di atas mereka itu ada Kepala yang memimpin Operasi Penyergapan HRS. Dia adalah AKBP Handik Zusen. Kepala Operasi yang cuci tangan dan menumbalkan 3 anggotanya untuk dijadikan tersangka Unlawful Killing. Dia menjabat Kepala Sub Direktorat Reserse Mobil Polda Metro Jaya. Kemudian fakta palsu itu pun dirancang dengan tergesa-gesa. Berkejaran dengan mastermind pembocor data kepolisian. Ternyata sandiwara kematian satu pelaku kemarin tidak mempan. Kalah cerdas dengan rakyat yang pintar dan super kritis. Martabat polisi malah kian hancur. Kepercayaan kepada Presiden Jokowi drastis melorot. Apapun pendapat para menteri dicibir dan dimentahkan. Baru terjadi sekali ini dalam sejarah Pemerintahan Indonesia seluruh anggota Kabinet tak dianggap. Dari sosok presiden, menteri, hingga partai pengusungnya, dianggap “bromocorah” negara.penghancur tatanan demokrasi yang dibangun rakyat dengan penuh kesabaran, darah, keringat, dan air mata. Utang negara sudah menumpuk. Situasi ekonomi dan sosial negara sudah genting. Perut lapar rakyat bersamaan dengan kepala panas. Kepercayaan telah musnah. Kemarahan membludak. Revolusi rawan meledak. Upaya apapun yang dilakukan Pemerintah sudah tak dipercaya oleh rakyat. Meledakkan bom di mana-mana sekaligus pun, tak akan bisa meredam suara Takbir. Perhatian rakyat tak akan teralihkan. Jangan sampai rakyat melawan, seperti di Thailand, Myanmar, Bangladesh, dan Libanon. Apalagi, rakyat sudah jenuh dengan prokes yang membatasi gerak dan suara mereka! Jangan sampai rakyat abai atas nyawa mereka hingga melawan! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Maaf, Pernyataan Jokowi Soal Impor Beras Bohong!
by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Dalam tayangan video yang diunggah akun YouTube Sekretariat Negara hari Jumat (26/3/2021), Jokowi meminta semua pihak menghentikan perdebatan atas kebijakan impor beras. "Perdebatan soal isu tersebut justru bisa berdampak buruk terhadap harga gabah dari petani," kata Jokowi. Dalam video itu, Jokowi menyatakan bahwa kebijakan ini masih sama seperti tiga tahun terakhir yang mana Indonesia tidak mengimpor beras. Pernyataan ini sama sekali tidak benar alias bohong. Untuk pejabat sekelas Presiden seharusnya hati-hati dalam membuat pernyataan, sebelum berbicara ke publik seharusnya bisa check and recheck data secara akurat. Sebelum membuat pernyataan resmi, konfirmasi dulu kepada para menteri dan atau pejabat terkait. Memang tidak sekali ini saja, Presiden Jokowi membuat kesalahan. Pernyataan lain yang blunder dari seorang presiden yang sampai sekarang tidak dilupakan masyarakat adalah: "...Di kantong saya ada uang Rp 11.000 triliun". Pernyataan ini sudah menjadi bahan olok-olok dan cibiran masyarakat yang kemudian dikaitkan dengan utang Indonesia yang terus membengkak. Demikian juga pernyataan Jokowi soal impor beras. Di jagat media sosial, netizen dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menyangkal pernyataan Jokowi. Kemudian kelompok kritis tersebut menyajikan sejumlah data dan grafik sebagai bukti bahwa dalam tiga tàhun terakhir ini kegiatan impor beras tetap jalan. “Hampir tiga tahun Indonesia tidak mengimpor beras? Tahun 2018 impor beras 2,25 juta ton, tahun 2019 impor 444,5 ribu ton,” tulis Institut Ecosoc Rights, Sabtu (27/3/2021). Belajar dari sejumlah kejadian selama ini, masyarakat hendaknya tidak cepat terpukau atau percaya begitu saja dengan pernyataan Presiden Jokowi yang meminta agar polemik soal Impor Beras dihentikan. Sepintas pernyataan Jokowi tersebut seolah tegas, meminta semua pihak untuk menghentikan semua perdebatan tentang impor beras. Padahal, pernyataan Jokowi ini sesungguhnya justru memunculkan kebohongan baru di seputar impor beras. Bagaimanapun semua aktivitas ekspor impor tercatat di Badan Pusat Statistik (BPS) termasuk data impor beras. Data BPS ini tidak bisa dibantah oleh siapapun. Rente Ekonomi Lapisan masyarakat kritis sebenarnya sudah memahami bahwa dalam setiap kegiatan impor pangan termasuk beras, selalu ada pihak-pihak yang mendapat keuntungan. Kegiatan rente ekonomi ini telah berjalan puluhan tàhun, rezim berganti namun rente ekonomi tetap berjalan sampai sekarang. Pelakunya adalah kalangan swasta yang memiliki modal besar kemudian berkelindan dengan oknum para pejabat pembuat kebijakan di sektor pangan. Keuntungan dari rente ekonomi impor pangan ini bukan hanya dinikmati oknum pejabat pemerintah tetapi juga uangnya mengalir ke para elite parpol. Parpol yang belakangan terlihat keras menentang rencana impor beras adalah PDIP. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengambil langkah yang tak sesuai dengan visi berdiri di atas kaki sendiri atau berdikari Presiden Jokowi. Langkah yang dimaksud yakni rencana Lutfi mengimpor beras dan garam. "Pak Jokowi punya kebijakan Berdikari. Tapi kemudian dipotong di tengah jalan oleh Menteri Perdagangannya," kata Hasto dalam webinar 'Impor Beras dan Garam' yang digelar oleh Repdem, Kamis (25/3) sebagaimana dikutip portal berita CNN Indonesia. Pernyataan heroik Sekjen PDIP ini seolah ingin menutup fakta tentang kegiatan impor pangan selama Jokowi berkuasa. Masyarakat sekarang tidak bodoh dan tidak gampang dibohongi para elite parpol. Kerasnya penentangan PDIP terhadap rencana impor beras diduga karena ada yang belum beres soal pembagian keuntungan dari impor beras. Sekali lagi saya tekankan bahwa ujung perdebatan soal beras impor beras ini lebih disebabkan soal pembagian hasil keuntungan impor beras yang belum jelas. Coba perhatikan kalimat bersayap dari pernyataan Jokowi soal Impor beras. Jokowi menegaskan hingga Juni 2021 tidak ada beras impor yang masuk ke Tanah Air. Artinya, setelah Juni tàhun ini ada kemungkinan impor beras tetap mengalir ke Tanah Air walaupun stok di Bulog mencukupi. Kalau pernyataan Presiden ini dibuat lugas, begini kira-kira: "Kalau pembagian keuntungan antara Partai Golkar dan PDIP sudah disepakati, silahkan keran impor beras dibuka lagi". Seperti diketahui, ide awal untuk mengimpor beras datang dari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang nota bene Ketua Umum Partai Golkar. Kemudian ide ini langsung disetujui Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Lalu Mendag memerintahkan Bulog untuk merealisasikan rencana tersebut. Namun, rupanya Dirut Perum Bulog Budi Waseso atau Buwas, tidak mau membebek begitu saja sebab rencana tersebut bertolak belakang dengan kondisi riil perberasan saat ini. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR tanggal 15 Maret 2021, Buwas membeberkan kondisi perberasan. Saat ini Perum Bulog masih memiliki stok beras impor dari pengadaan tahun 2018. Dari total pengadaan beras sebanyak 1.785.450 ton, masih tersisa 275.811 ton beras belum tersalurkan. Dari jumlah tersebut, 106.642 ton di antaranya merupakan beras turun mutu. "Kami sudah lapor ke presiden saat itu, beras impor kami saat Maret tahun lalu (stoknya) 900 ribu ton sisa dari 1,7 juta ton, sekian juta ton beras impor, jadi sudah menahun kondisinya," kata Buwas. Di depan anggota DPR, Buwas juga merasa heran dengan rencana impor beras ini sebab dalam rapat terbatas yang diikuti sebelumnya tidak dibahas mengenai rencana tersebut. Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri menilai bahwa kebijakan impor satu juta ton beras sangan politis. Dia bahkan mencurigai ada pejabat yang ingin rente dengan memaksakan adanya impor beras di tengah produksi padi petani yang meningkat. Sementara itu Kementerian Pertanian mencatat, sebanyak 459 kecamatan yang tersebar di 85 kabupaten mengalami kondisi harga gabah yang anjlok. Sebagaimana diberitakan portal berita Kompas, harga gabah di daerah-daerah tersebut berada di bawah harga pokok penjualan (HPP) yang sebesar Rp 4.200 per kilogram, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020. "Dikonfirmasi dengan data-data di lapangan, memang harga gabah sudah turun menjadi di bawah HPP. Harga jatuh terjadi di 85 kabupaten, itu gambaran singkat perberasan," ujar Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Suwandi, Kamis (25/3/2021). Perdebatan soal rencana impor 1 juta ton beras mungkin sekarang sudah reda tetapi harga gabah di tingkat petani sudah terlanjur anjlok akibat pernyataan pejabat yang asal bunyi. Pernyataan soal impor beras ditengah panen raya secara psikologis telah mempengaruhi harga gabah/beras di pasaran. Bagi para elite, impor pangan tujuannya menikmati keuntungan dari rente ekonomi, sebaliknya bagi rakyat kecil terutama petani impor pangan merupakan malapetaka. *** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Wouw....Munarman Keren Abis, "Amien Rais Banget”
by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Terbentur, terbentur, lalu terbentuk. Itulah sosok Munarman, yang saat ini tengah berjibaku mati-matian menghadapi instrumen hukum pemerintah, demi membela kepentingan yuridis kliennya, Muhammad Habib Rizieq bin Hussein Shihab Lc., MA., DPMSS, yang dikenal dunia dengan nama Habib Rizieq Shihab (HRS). Sejak persidangan perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa (16/03) Munarman langsung tancap gas. Pria tiga anak kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, 56 tahun silam ini tak menampakkan model dialog permisif dan kompromistis atas berbagai delik hukum yang dipandang tidak tepat. Bicaranya lepas dan tak terhalangi. Laksana rajawali yang terbang kesana-kemari memburu mangsa yang sedang lengah hati. Pantang turun, sebelum para musuh terkapar di diantara gurun. Hingga peristiwa heroik Munarwan itu disaksikan di sidang berikutnya, Selasa (23/03). Suasana ruang sidang menjadi crowded. Di ruang serba berjubah hitam itu terjadi insiden panas namun logis. Dengan air mukanya yang dingin, namun terkombinasi dengan sorot mata yang tajam seperti burung elang, Munarman terpaksa "menggurui" Khadwanto selaku Ketua Majelis Hakim. Ketika Munarman bicara, tampak seperti guru yang menerangkan pelajaran kepada murid. Semua terdiam dan menyimak. Menjawab Hakim Ketua yang tetap ngotot akan menyidangkan HRS via video streaming dengan dalih sesuai Perma (Peraturan Mahkamah Agung), Munarman nampak tak sabar. Seakan ingin segera "menguliahi" Hakim Ketua. Menurunkan masker penyumpal hidung sebatas dagu. Lalu bicara sambil mendelik tanpa kedip ke arah Hakim Ketua. Bicaranya tegas. Tidak ragu ragu. Pertanda dia menguasai persoalan yang sedang dia kerjakan. "Nggak bisa, nggak bisa, tidak bisa Undang Undang dirubah rubah dengan peraturan di bawahnya. Kami paham, kami mengerti hukum, kami bukan orang bodoh. Merubah Undang Undang ya harus dengan Undang Undang," sergap Munarman menggeleng gelengkan kepalanya, seolah menaruh heran atas ketidak pahaman Hakim Ketua. Ini terkesan seperti perhukuman. Wouw.....advokasi Munarman terasa dingin dingin empuk. Makin ditelan kian terasa mrinding _mrinding sedapppp.... Dan bikin kangennnn.... Malah, secara insinuatif, Munarman seakan menganggap Majelis Hakim bertindak konyol. Milsanya, majelis hakim meminta pengacara untuk melakukan uji materi Perma ke Mahkamah Agung. "Mana mungkin. Perma itu yang bikin Mahkamah Agung. Kok kita disarankan melakukan uji materi ke MA? Itu kan konyol," wejangan Munarman, sembari menjatuh jatuhkan penampang lima jari tangan kanannya ke meja tempat duduk, tidak habis pikir. Untuk itu, berdasar perundang undangan dan contoh contoh persidangan lain (yurisprudensi), Munarman bersikukuh meminta agar persidangan digelar dalam keadaan tatap muka, terutama terhadap HRS selaku terdakwa. Pada sesi persidangan yang lain, Munarman membentak-bentak dan menunjuk-nunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang duduk di bangku seberangnya. Hal itu disebabkan jaksa turut menyela-nyela ketika Munarman tengah memberikan penjelasan kepada Hakim Ketua. Hardiknya keras. "Ini giliran saya, ini giliran saya, ini giliran saya. Saudara diam, saudara diam". Sejurus setelah debat hukum, Munarman dan timnya keluar ruang sidang. Tanda berani membangkang. Menunjukkan idealisme kebenaran yang kuat erat. Munarman tidak berani mengambil resiko dengan terus mengikuti sidang, dalam kondisi prosedur persidangan yang dianggapnya tidak sesuai aturan. Maka, walk outnya Munarman seperti pilot jet tempur yang melakukan bail out. Terjun dengan kursi pelontar, dalam kondisi yang tidak mungkin lagi melakukan penerbangan. Disini terlihat Munarman seakan-akan melakukan impunity terhadap kesewenang-wenangan hakim dan jaksa. Berdebat di persidangan dan secara logis menang, adalah mahkotanya lawyer. Diplomasi hukum Munarman memang top, berkalas dan menang. Karena arguemntasinya masuk akal. Hal itu ditegaskan Hakim Ketua, Suparman Nyompa, di persidangan sesi berikutnya. Maelis hakim mengabulkan permohonan HRS untuk bersidang langsung dalam satu ruang sidang. Meski sebelumnya, dalam keadaan sudah tak direken Munarman dan kawan-kawan, hakim Khadwanto tetap menolak permintaan Munarman. Dia ngotot online, merujuk pada Perma (Peraturan Mahkamah Agung) yang membolehkan sidang secara maya. Dimengerti atau tidak, sebenarnya Munarman tengah bertarung sendirian di kalangan para musuh. Yah, single fighter dia. Apakah itu jaksa, hakim maupun polisi yang berjaga jaga, hampir semuanya adalah instrumen pemerintah. Representasi dari pemerintah yang dipimpin Jokowi. Sebab, pada dasarnya Jaksa Penuntut Umum tidak lain adalah pengacara pemerintah. Mengikuti cara dan gaya Munarman bersidang penuh nyali dan kompetensi. Menjadi mirip dengan keberanian tokoh reformasi, Amien Rais, yang berani berteriak dalam iklim politik yang tidak semua orang bisa melakukannya. Siapa yang berani melawan the smiling generald Pak Harto? Sebagaimana Munarman, Amien Rais juga praktis sendirian ketika melawan pemerintah Orde Baru waktu itu. Hingga akhirnya meletus malapetaka reformasi 98. Pak Harto jatuh. Para pemberani seperti Munarman dan Amin Rais itu bukan tidak sadar akan resiko. Mereka sadar. Namun karena terlanjur tenggelam dalam kebenaran akidah Islam, semua yang dilakoni menjadi tidak menakutkan. Jika semakin terjadi benturan-benturan, mereka kian terbenam di titik nadir prinsip memperjuangkan kebenaran. Hingga akhirnya terbentuk. Bagi oportunis, menjadi pejuang itu sesuatu yang tidak enak. Sengsara dan tidak banyak kawan. Namun dalam pandangan pejuang, sendiri sanggup mengangkat langit. Bersama sama bisa menenggelamkan bumi. Para pejuang seperti Munarman dan Amin Rais ini, umumnya baru diterima publik yang tadinya tidur, manakala hasil perjuangannya ternyata benar. Bermanfaat untuk umum. Seperti tulisan Dahlan Iskan disebuah platform suatu ketika. Kata Dahlan Iskan, orang yang sebelumnya acuh tak acuh baru akan mengelu-elukan seorang pejuang, manakala hasil perjuangannya terbukti benar dan faedah. Sebab itu, saran Dahlan Iskan, bila meyakini apa yang dilakukan itu adalah sesuatu benar, jangan ragu. Lakukanlah sekalipun orang lain tidak peduli. Perjalanan Munarman belum berujung. Masih akan ada "perkelahian perkelahian" lanjutan. Tidak ada orang ragu. Karena Munarman seakan ditakdir sebagai "simbol dan lambang kebenaran". Berani berkelahi di rumah sendiri, itu anak kecil yang baru mulai belajar merangkak. Tetapi, duel tangan kosong ala cowboy di areal musuh adalah pria mboys. Dia tidak sekedar memiliki nyali. Namun dia juga menguasai ilmu "pencak silat" sekelas Barda Mandrawata alias Si Buta dari Goa Hantu. Jenis laki-laki macam ini, jika dalam dunia peradu jotosan di atas ring, tidak lain adalah si leher beton berkepala baja, Mike Tyson. Belum pernah tersaksikan dia dihadapkan musuh imbang, apalagi di bawahnya. Semua lawan dengan fitur dan postur tubuh yang lebih tinggi di darinya, selalu diciumkan Tyson ke kanvas di ronde ronde awal. Cerita ayam jago kesayangan Cidelaras. Meski berpostur tidak begitu besar dan tinggi, namun gaprakannya mengakibatkan sang lawan kejeng-kejeng bak ayam yang baru disembelih. Para begundal pemilik ayam jago seisi hutan pun dibikin keok. Penikmat FNN yang budiman. Munarman adalah rajawali yang berani terbang tinggi walaupun sendirian. Jejak hidupnya terkumpul menjadi satu dengan para jurnalis, berupa lembaran berita yang enak ditulis dan dibaca. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.
Pilkada Boleh Ngumpul, Mudik Dilarang
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Pemerintah secara resmi melarang warga untuk melaksanakan mudik lebaran. Alasan pemerintah karena penularan Covid 19 yang masih tinggi. Bahkan untuk mencegah masyarakat melakukan mudik lebaran tahun ini, akan dikakukan pengawasan yang ketat. Aparat akan dikerahkan untuk mencegah dan menghalau masyarakat pulang kampung. Kebijakan pemerintah ini bertolak belakang dengan pernyataan sebelumnya dari Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi. Sebab ketika melakukan rapat kerja dengan Komisi VI DPR beberapa waktu lalu, Menhub Budi Karya telah menyatakan bahwa mudik tahun ini tidak akan dilarang. Sudah menjadi kebiasaan pemerintah Presiden Jokowi kalau “pagi tempe, sore dele”. Mudik tidak harus dilarang. Kalau sampai dilarang, masalahnya dianggap sangat diskriminatif. Wisata dan kerumunan lain tampak dimana-mana. Toh, itu boleh-boleh saja. Apalagi mudik lebaran itu budaya yang telah melembaga pada masyarakat Indonesia. Ada nilai silaturahmi dan spiritualitas. Bahwa ada aturan prokes yang mesti dijaga tetap dijalankan sebagaimana mestinya. Orientasi negara ini selalu saja pada aspek ekonomi. Padahal pandemi pun dapat diterobos dengan alasan menggerakkan roda ekonomi. Sementara pada aspek keagamaan tidak menjadi prioritas. Bahkan nyata-nyata dipinggirkan. Budaya keagamaan ikut terdampak oleh kebijakan materialistis dan pragmatis seperti ini. Padahal nilai ekonomis mudik sebenarnya cukup besar. Dahulu pernah ada seorang Menteri yang mengancam pidana bagi yang mudik. Alasannya menentang kebijakan Pemerintah atas pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan. Penafsiran ini sempit, picik, kerdil dan tendensius. Kepentingan non agama yang berkonsekuensi kerumunan dibolehkan. Mau minta bukti? Lihat itu kampanye saat Pilkada 2020 yang lalu. Pelanggaran terberat yang dilakukan Pemerintah Presiden Jokowi saat ini dalam konteks pandemi Covid 19 adalah tidak dijalankannya prinsip "equality before the law". Pemerintah melakukan diskriminasi dalam penegakan hukum. Atau mungkin juga karena pemerintah tidak terlalu memahami apa itu "equality before the law"? Mudik dilarang sementara pasar dan wisata boleh-boleh saja. Malah semakin marak dan ramai. Mall-mall penuh sesak dengan manusia. Cari parkir saja susah. Bisa putar-putar setengah jam beru dapat parkir. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang baru Sandiaga Uno diamanati untuk menggalakkan pariwisata. Kebijakan yang sesungguhnya tidak sehat. Di sisi lain Sekretaris Jendral Organda mempertanyakan larangan mudik tahun ini, sebab sebagaimana tahun lalu, prakteknya mudik tidak mudah untuk dicegah. Menurutnya yang justru menjadi sasaran adalah bus dan kendaraan umum saja. Kendaraan kecil tetap dapat mudik yang dengan berbagai cara meloloskan diri dari cegatan. Artinya lagi-lagi masalahnya ada pada inkonsistensi dan keadilan. Selama kebijakan Pemerintah masih ambigu, tebang pilih, dan hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi dan politik, maka daya dukung publik terhadap kebijakan apapun akan rendah. Artinya selalu saja menjadi kontra produktif. Kredibilitas terus merosot dan aurat kekuasaan semakin terbuka terang benderang. Auratnya memalukan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Anies, Idola Baru Bagi Kaum Milenial
by R. Kholis Majdi Jakarta FNN - Anak muda butuh sosok idola. Mulai dari artis, hingga pemain sepakbola. Bagi kaum milenial, ini bisa jadi motivasi. Ketika seseorang punya idola, ia ingin hidup dan sukses seperti sosok yang diidolakan itu. Tentu, ini dibutuhkan sebagai daya ungkit dan pembangkit semangat. Di era digital, para politisi memiliki panggung media yang semakin luas. Mereka nggak kalah populer dengan para artis dan publik pigur lain pada umumnya. Anak-anak muda mulai melirik. Sebagian politisi mulai digandrungi dan jadi idolanya. Kalau dulu ada Budi Utomo, Bung Karno, Bung Hatta dan Tan Malaka yang pernah menghipnotis pikiran anak-anak muda, kini ada Anies Baswedan. Mantan rektor Paramadina, mantan Mneteri Pendidikan, dan penggagas Indonesia Mengajar yang sekarang menjadi Gubernur Ibu Kota Jakarta. Anies menjadi salah satu tokoh dan kepala daerah terpopuler hari ini. Anies adalah Gubernur DKI Jakarta. Malah banyak yang menyebut Gubernur Indonesia. Nama dan sosoknya hari-hari menghiasi media massa. Publik, termasuk kelompok milenial, melihat, mambaca dan menilai. Lalu, tertarik dan terpengaruh oleh pikirannya, kemudian mengidolakannya. Ada pergeseran positif. Dari cara kaum milenial yang hanya mengidolakan fisik dan penampilan, kini bergeser ke idola berbasis gagasan dan kecerdasan. Ini tugas orang tua, agamawan dan akademisi untuk terus menyuburkannya. Dengan pergeseran ini kita berharap Indonesia akan diisi oleh anak-anak muda yang punya masa depan cemerlang. Hasil Survei Indikator, Anies menempati posisi elektabilitas tertinggi di kalangan milenial. Kalau hari ini ada Pemilihan Presidsen (Pilpres), maka Anies menempati urutan pertama yang banyak dipilih oleh para pemilih dari kalangan milenial. Kenapa Anies digandrungi kelompok milenial? Pertama, karena Anies masih muda, dengan berpenampilan yang juga muda. Anak muda lebih sreg dan cocok jika dipimpin oleh tokoh muda dan berpenampilan muda. Usianya sekitar 50 tahun. Berpakaian rapi, dan selalu tampil bersahaja. Apalagi tampilannnya tidak dibuat-buat. Apa adanya. Kedua, Anies merangkul, bukan memukul. Cara komunikasi Anies menyejukkan. Nggak baperan juga. Nggak mudah tersinggung. Segala bentuk kritik, bahkan caci maki, dihadapi dengan senyum. Kaum milenial nggak suka dengan pemimpin yang pemarah, apalagi senang gebrak meja segala. Anak milenial ngga suka dengan semua aksi yang bikin suasana nggak nyaman. Ketiga, Anies satu kata dan perbuatan. Punya komitmen. Kalau bicara ada data, kalau janji ditepati. Anak-anak muda gak demen sama pemimpin yang mencla mencle, suka bohong dan ingkar janji. Keempat, banyak program Anies yang langsung menyentuh kebutuhan anak-anak muda. Mulai perluasan trotoar, jalur sepeda, taman terbuka, food court untuk semua strata, kenyamanan transportasi, hingga Stadion Bestandar internasional (JIS). Program-program ramah lingkungan macam ini secara natural digandrungi anak-anak muda. Kelima, udara yang semakin segar di wilayah Jakarta. Polusi udara semakin berkurang. Dan Jakarta menjadi kota urutan ke 20 terbersih udaranya di dunia. Aspek lingkungan ini menjanjikan masa depan yang sehat bagi anak-anak muda Jakarta. Fakta, bahwa langit Jakarta semakin membiru. Udara yang juga semakin bersih dan terang membuka perbukitan dan pegunungan di wilayah Bogor dan sekitarnya mulai jadi panorama yang indah dan sejuk di mata masyarakat Jakarta. Dari daerah Senin anda bisa melihat indahnya gunung Pangrango. Sedangkan dari Celilitan, Gunung Salak tampak semakin terang, dan dari Jalan Antasari, Gunung Gede kelihatan begitu dekat. Jakarta tak lagi pekat dengan asap, tetapi mulai dikelilingi pemandangan hijau dari pegunungan. Keenam, Anies pemimpin yang menjaga dedikasi dan integrity. Meski banyak fitnah dan tuduhan macam-macam, segala upaya menjatuhkan nama baik Anies justru menaikkan gelombang empati dan simpati publik. Terutama kaum milenial. Di tengah para pejabat yang mayoritas korup dan rakus, cucu pahlawan Abdurrahman Baswedan ini hadir dengan mengikuti jejak integritas dan kepahlawanan kakeknya. Inilah jiwa dan spirit anak muda yang sesungguhnya. Tidak mudah terkontaminasi. Sebuah trend anak muda masa kini. Punya kemandirian dan kedaulatan diri. Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik.
Mahfud MD "The Wrong Man On The Wrong Place"
by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Terdengar seperti fantasi. Tiba-tiba saja mencuat wacana pemerintah boleh melanggar konstitusi. Katanya, sah-sah saja bila dilakukan untuk keselamatan rakyat. Banyak yang terkaget-kaget dengan argumentasi Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD ini. Tetapi, oleh Mahfud, yang kaget dianggap tidak belajar hukum tata negara. Sekali lagi, Menkopolhukam menyulut kontroversi. Sebagian pihak menganggap narasinya rawan bagi demokrasi. Sebagian lainnya menganggap cara sepihak pemerintah menafsirkan hukum. Memang tujuan utama sebuah negara adalah menjamin keselamatan rakyatnya. Hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat, sebagaimana ucapan filsuf Romawi Kuno Cicero, Salus Populi Suprema Lex Esto. Asas hukum Cicero ini lalu banyak diadopsi negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Konstitusi alinea keempat menyebut, Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Jadi, menjaga dan melindungi keselamatan rakyat pada urutan pertama tujuan bernegara. Sepanjang menyangkut keselamatan rakyat, Menkopolhukam berpendapat pemerintah bisa melakukan apa saja, termasuk hal-hal yang sifatnya bertentangan dengan konstitusi. Persoalannya, sejauh mana "jualan" keselamatan rakyat dapat melegalisasi pemerintah menabrak konstitusi? Sulit menakarnya, karena kita tidak lagi berbicara teori, tetapi praktik pengelolaan negara dan politik. Celakanya, politik punya banyak aroma, warna, dan tipe. Dalam sebuah wawancara di Kompas TV, Mahfud menjelaskan panjang lebar tentang teori Salus Populi Suprema Lex Esto. Menkopolhukam sampai memberi contoh hingga dekrit presiden 5 Juli 1959, Surat Perintah 11 Maret, hingga penggulingan rezim Soeharto. Menurutnya, semua itu adalah pelanggaran konstitusi yang tidak perlu mendapat persetujuan hukum. Teks Versus Konteks Narasi Menkopolhukam Mahfud MD banyak direspon secara terpisah menjadi perdebatan hukum. Fahri Hamzah misalnya, mengatakan "keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi", tidak berarti "pemerintah boleh melanggar konstitusi bila dilakukan untuk keselamatan rakyat". Mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang kini Anggota DPD RI Prof. Jimly Asshiddiqie, mengatakan negara dilarang keras melanggar UUD 1945. Jika pun ada situasi bahaya yang berkembang, pemerintah bisa memberlakukan situasi darurat atau menetapkan keadaan bahaya. Di luar perdebatan hukum tersebut, kita yang bukan pakar hukum tata negara pun merasa memang ada yang aneh pada argumen Menkopolhukam. Karena yang disampaikan dalam konteks penanganan Covid, maka tidaklah salah bila pikiran yang meresponnya juga berangkat dari perspektif penanggulangan Covid-19. Faktanya, penanganan Covid-19 mengundang pertanyaan di sana-sini. Menteri Sosial Juliari Batubara sendiri dijerat dalam kasus Korupsi Dana Bantuan Sosial Covid-19. Belum lagi kebijakan penanganan pandemi yang seringkali memantik polemik. Di tengah situasi itu, tiba-tiba disebutkan pemerintah bisa melanggar konstitusi demi menyelematkan rakyat dari bahaya pandemi. Teks melekat pada konteks, lalu melahirkan wacana. Tetapi soal di atas, agak sulit kita menemukan relasi antara kesesuaian teks dan konteks, sehingga timpang dalam menumbuhkan wacana. Yang terjadi kemudian, pemaksaan wacana tersebut berpotensi memicu pikiran liar berkembang lebih jauh lagi. Tempo hari, Arief Poyuono mengatakan Presiden Joko Widodo harus legowo menjadi presiden tiga periode demi menyelamatkan rakyat dari bencana dampak pandemi. Lalu, bagaimana jika atas nama menyelematkan rakyat dari pandemi, lantas usulan yang menabrak konstitusi itu diamini Pemerintah? Atau sebaliknya, bagaimana jika nalar rakyat menghubungkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Supersemar, penggulingan rezim Soeharto, dengan potensi jatuhnya rezim Jokowi di tengah jalan? Tentu kita tidak menginginkan keduanya. Kita mendukung pemerintahan berjalan hingga akhir, tetapi juga mendorong agar pengelolaan negara menjadi semakin baik, bukan sebaliknya. Maka narasi pejabat seharusnya relevan dengan situasi. Bukan sekadar teori yang memunggungi realitas. Sebuah tulisan singkat Tony Rosyid beredar secara berantai di WhatsApp. Tulisan ini merespon kudeta Partai Demokrat (PD) dengan sejumlah varian skenario. Di akhir tulisan, Tony bertanya-tanya, apakah kudeta PD adalah bagian dari tafsir "konstitusi boleh dilanggar untuk keselamatan rakyat"? Lagi-lagi, narasi Menkopolhukam disematkan dalam konteks yang lain. Sebuah bukti tambahan, bahwa teori yang tidak memijak kokoh pada konteks atau situasi yang digambarkan, selain gagal memunculkan wacana tertentu, juga berpotensi memunculkan wacana lain oleh pihak lain. Tidak Membumi Bukan kali ini saja Menkopolhukam menelurkan argumen beraroma positif, tetapi berakhir kontroversial karena dianggap tidak menapak pada realitas. Jejak digitalnya mudah ditemukan. Pada 18 Maret 2021 misalnya, Mahfud MD meminta agar masyarakat yang berbeda keyakinan tak saling membenci dan memusuhi karena perbedaan agama. Padahal, kita tahu bahwa sentimen keagamaan semakin menguat, seiring dengan menguatnya labelisasi radikal, intoleran, yang tak jarang justru berasal dari pejabat pemerintahan. Belum lagi dengungan para buzzer politik yang menambah runyam situasi politik nasional. Mahfud MD menyerukan rakyat agar memerangi ketidakadilan. Padahal ketidakadilan dipertontonkan aparat penegak hukum melalui penangkapan sejumlah aktivis oposisi. Sementara laporan terhadap sejumlah aktivis media sosial pendukung pemerintah jarang yang diproses lebih lanjut. Jadi, ada kesan pemerintah punya dan mementingkan pendapatnya sendiri. Tanpa mau tahu apa yang dirasakan masyarakat. Mungkin ada benarnya juga pendapat Pendiri Partai Umat Amien Rais. Dalam sebuah kesempatan, politisi senior ini menilai Mahfud telah berubah dan saat ini lebih sebagai representasi ungkapan the wrong man on the wrong place. Dulu, kita mengenal Mahfud dengan pikirannya yang kritis, tajam, dan dalam. Sekarang pun sebenarnya begitu. Pak Mahfud masih tetap dengan keilmuannya. Yang berbeda adalah situasinya. Saat ini beliau menjadi bagian dari pemerintahaan yang punya banyak problem dalam pengelolaan negara, sehingga komentar-komentar idealisnya terkesan tidak bermutu, tidak membumi atau tidak memijak kenyataan. Tentu tidak sedang mengadili sosok beliau secara pribadi. Kita sedang membicarakan cara pemerintah membangun argumentasi atas kebijakan-kebijakannya. Kebetulan yang sering merespon situasi dan gejolak sosial politik adalah Mahfud MD selaku Menkopolhukam di Kabinet Indonesia Maju. Tidaklah keliru cuitan lawas Mahfud MD saat merespon politik uang dalam Pemilihan Kepala daerah. "Malaikat saja kalau masuk ke dalam sistem Indonesia, akan berubah menjadi Iblis". Penulis adalah Senator DPD RI.
Rakyat Boleh, Eh Bisa Dong Melanggar Konstitusi
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Meski dijelaskan Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Kemannan (Menko Polhukam) Mahfud MD bahwa dalam beberapa kasus ketatanegaraan ada perbuatan yang di luar, bahkan melanggar konstitusi. Namun narasi ini menimbulkan banyak interpretasi di masyarakat. Ada yang pro. Tetapi lebih banyak yang mengecam. Masalah utamanya adalah Mahfud MD itu sekarang menjabat sebagai Menko Polhukam. Bukan sebagai Profesor Doktor atau seorang dosen yang sedang mengajar Ilmu Hukum Tata Negara di kampus. Apa jadinya kalau semua pejabat negara bicara tentang kebolehan melanggar konstitusi dan aturan perundang-undangan lainnya. Bisa semakin ruwet dan awut-awutan tata kelola negara. Presiden ketika dilantik oleh Majelis Permusyawataran Rakyat (MPR) menyampaikan sumpah yang disaksikan Ketua Mahkamah Agung dan seluruh rakyat Indonesia. Salah poin sumpah Presiden adalah taat kepada suluruh peraturan perundang-undang yang berlaku. Nah, di atas perundang-undangan itu ada yang konstitusi negara. Ngerti nggak ya Mahfud MD? Sebagai "embah" nya politik di pemerintahan Jokowi, maka bahasa demi menyelamatkan rakyat boleh melanggar Konstitusi ini bisa sangat berbahaya. Apalagi dicontohkan kebolehan melanggar Konstitusi yang dihubungkan dengan pandemi Covid 19. Masyarakat mulai berfikir pantas saja jika Presiden mengeluarkan Perppu No 1 tahun 2020 yang membebaskan penggunaan dana APBN untuk penanggulangan pandemi Covid 19 tanpa sanksi hukum. Ini melabrak konstitusi. Fungsi konstitusi, baik dalam sejarah maupun aktualnya, tiada lain dan tida bukan adalah untuk membatasi kekuasaan penyelenggara negara. Penguasa maupun rakyat diatur hak dan kewajiban serta pembatasannya oleh Konstitusi. Konstitusi dibuat bukan untuk dilanggar. Penguasa yang melanggar Konstitusi bisa di-impeachment. Demikian Hukum Tata Negara atau Constitutional Law mengaturnya. Ketika Mahfud MD dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa dibenarkan melanggar Konstitusi demi rakyat, tentu menjadi kontroversial. Apalagi dengan mengecilkan pihak yang melakukan penolakan atas pandangan ini sebagai "tidak belajar Hukum Tata Negara". Padahal yang mempertanyakan pernyataan Mahfud MD mungkin juga pakar Hukum Tata Negara. Bila beralasan "demi rakyat" bisa melanggar Konstitusi, maka pertanyaannya siapa yang berhak untuk menyatakan demi menyelamatkan rakyat? Penguasa, wakil rakyat, atau rakyat itu sendiri ? Lalu jika ia mencontohkan turunnya Soekarno, Soeharto, Gus Dur itu melanggar Konstitusi, apakah yang dibilah oleh Mahfud MD itu benar? Faktanya Soekarno diturunkan berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/MPRS/1967. Sementara Suharto dengan mengundurkan diri (menyatakan berhenti sebagai presiden sejak dibacakan). Begitu juga dengan Gus Dur, yang dilengserkan melalui Tap MPR No. II/MPR/2001. Jadi jelas bahwa seluruhnya berdasarkan konstitusional. Tidak ada yang dilanggar. Ngaco dan ngawur saja Mahfudz. Ungkapan Mahfud di depan Silaturahmi Forkominda dan Tokoh masyarakat di Markas Kodam Brawijaya dinilai lebih pada mencari pembenaran atas kebijakan Pemerintah. Padahal kebijakan tersebut jelas-jelas melanggar Konstitusi. Alibi melanggar konstitusi untuk menyelamatkan rakyat adalah dalil subyektif dalam pengambilan kebijakan karena panik. Jika pengambil kebijakan boleh melanggar konstitusi dengan alasan menyelamatkan rakyat, maka bolehkah rakyat berjuang untuk menyelamatkan dirinya dengan melanggar Konstitusi? Jika ya tentu menjadi semangatlah rakyat untuk segera menumbangkan rezim dengan berbagai cara termasuk revolusi. Toh menurut Mahfud MD itu bisa saja. Sebenarnya pidato Mahfud MD yang kontroversial itu justru telah mencemarkan mereka yang belajar Hukum Tata Negara. Pelajaran dasar mahasiswa hukum adalah segala langkah dan kebijakan harus berdasar hukum. Perubahan politik mesti disandarkan pada konstitusi. Melanggar konstitusi adalah melanggar hukum. Ini pelajaran paling dasar yang diajarkan dosen. Tidak harus seorang Professor. Akhirnya, kita harus maklum pada pendapat apapun yang keluar dari Bapak Mahfud MD, sang punggawa politik Istana. Tidak perlu pusing membahasnya, sebab baginya melanggar HAM itu bukan melanggar HAM. Yang penting tidak menyesarakan, eh menyesengrakyat, eh menyesengrasan rakyat. Menjatuhkan pemerintah bisa menyesengra rakyat ya pak Mahfud,,, he he he. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.