NASIONAL

Cintai Produk Lokal, Kenapa Import Demokrasi Individual? (Bagian-2)

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Awal tahun 2021, bertiup angin santer wacana keinginan tentang Presiden tiga periode. Sifat wacana masih perorangan, belum ada organisasi yang menyatakan. Namun, bisa jadi dia corong depan organisasi. Tetapi bisa juga pribadi yang sedang “Nggege Mongso” mengharap jabatan. Semoga saja tidak demikian. Apapun alasannya, isu itu bergulir di media, mengusik pikiran penulis. Bagaimana tidak terusik? Jabatan Presiden kok mudah sekali diutak-atik sesuai selera. Penulis mencoba berburu pengetahuan kepada beberapa tokoh penyandang ilmu Hukum Tata Negara, melaui whatsApp (WA). Singkat cerita, penulis (P) melakukan chatting melalui WA ke beberapa tokoh. Semua merespon, salah satunya, tokoh berinisial (JA) mantan pejabat negara, yang komunikasinya kami lakukan 15/3/2021. Cuplikan yang penting dari chating sebagai berikut : P​: Ijin tanya Prof,…. Berbicara masalah pengaturan di UUD, tentang berapa kali Presiden boleh menjabat, masalah ini masuk katagori persoalan tehnis atau persoalan esensial ketatanegaraan? ​Kedua, apa ada yang secara akademis, disebut sebagai faktor pertimbangan untuk menentukan lamanya jabatan Presiden? JA​: Pembatasan masa jabatan, meteri esensial demokrasi konstitusional. Karena hakikat konstitusi itu sejak awal diadakannya berisi kesepakatan tertinggi untuk membatasi kekuasaan, salah satunya adalah soal masa jabatan yang dalam sistem Presidensial harus “fixed term”, dan dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. ​Tidak ada demokrasi jika tidak terdapat jaminan pergiliran atau pergantian kekuasaan. Misalnya, ada Pilpres, tetapi Presidennya tidak ketat dibatasi periodenya sehingga terus-terusan terpilih sampai mati seperti di Rusia atau PM Hun Sen di Kamboja, juga sampai mati. Meski selalu ada Pemilu, tetap saja demokrasinya dianggap semu atau formalistik. P​: Katanya demokrasi itu kedaulatan rakyat di tangan rakyat. Kalau rakyat masih menginginkan dia presiden lagi bagaimana? Apa iya kedaulatan rayat dibajak, terus bikin definisi atas nama demokrasi bahwa “Presiden harus gantian”? Apa tidak melanggar hak kedaulatan rakyat? JA​: Itulah warisan budaya feodal yang menyebabkan suburnya politik dinasti dimana-mana. P​: Bung Karno punya Tap MPR sebagai Presiden seumur hidup. Pak Harto dipilih rakyat berkali-kali. Tetapi, tatkala rakyat sudah tidak suka, ya henti di tengah jalan. Jadi ukurannya, menurut saya, demokrasi itu ya bagaimana kedaulatan atau kehendak rakyat. Ukurannya bukan harus gantian. JA​: Iya, benar begitu, tapi kalimatnya masih terlalu abstrak, sudah dibahas sebelum 2021. Sekarang harus dirinci dalam ribuan buku ilmu pengetahuan, sehingga dalam praktek muncul parlemen. Ada kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Adanya Parpol, peradilan independen. Bahkan muncul juga Mahkamah Konstitusi (MK), sistem fixed presidentil, larangan bubarkan parlemen dalam sistem presidentil, tetapi ada mekanisme impeachment, dan sebagainya. Semua butuh pelembagaan. Namun tantangan yang bakal dihadapi adalah tradisi budaya. Maka setelah 75 tahun, yang bangkrut dalam praktek malah politik dinasti. Karena para pemimpinnya cuma sibuk rebutan, mengambil dan menikmati secara transaksioanal. Bukan peduli, menyumbang, berbagi untuk transformasi pelembagaan politik dan peradaban bangsa dalam jangka panjang. P​: Apalagi dengan dasar Demokrasi Liberal. Siapa kuat segalanya (duit dan kekuasaan) pasti menang. Coba jika sistem Pancasila kita bikinkan “saringan” untuk milih calon anggota dewan dan calon Presiden dan Wakil Presiden seperti memilih calon Taruna masuk Akademi Militer atau Akademi Kepolisian, kita akan menemukan sosok yang “nggenah” dan konflik perpecahan bangsa terhindari. Dari chating di atas, kita ambil 3 (tiga) pendapat JA yang menarik untuk dibahas. Pertama, pembatasan masa jabatan Presiden, sebagai meteri esensial demokrasi konstitusional. Kedua, dalam esensi demokrasi itu, harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. Ketiga, setelah 75 tahun yang bangkrut justru politik dinasti. Pertama, penulis sependapat, urusan masa jabatan Presiden itu bukan urusan tehnis yang mudah diutak-atik sesuai selera. Tetapi urusan esensial demokrasi konstitusi. Penentuan masa jabatan Presiden harus melalui kajian dari banyak faktor sosial budaya bangsa. Sebagaimana “founding fathers” telah merumuskannya dalam UUD 1945, tentu sudah menghitung dari berbagai aspek sosial budaya. Penulis yakin, hitungan “founding fathers” tak ada faktor faktor emosional, kekeluargaan, kekerabatan dan lain-lain yang sebangsanya. Karena itu, masa jabatan Presiden dari setiap negara bisa berbeda. Konstitusi yang sudah mengaturnya, jarang terjadi diutak-atik di tengah jalan, karena selera politik. Kedua, pendapat dari JA, bahwa dalam sistem Presidensial harus “fixed term”, dan dalam esensi demokrasi harus ada pergantian dan bergiliran kekuasaan. Tidak ada demokrasi jika tidak terdapat jaminan pergiliran atau pergantian kekuasaan. Pertanyaan penulis, apa iya esensi Demokrasi Pancasila tidak mengatur pergantian Presiden yang “fixed term”? Menilik arti kata dan definisi demokrasi dari tokoh-tokoh dunia seperti Abraham Lincoln, Charles Costello, John L. Esposito, Hans Kelsen, Sidney Hook, C.F. Strong, Hannry B. Mayo dan lain-lain. Tidak satupun yang menyinggung esensi demokrasi itu dengan penekanan harus adanya “giliran kekuasaan”. Hampir semua mendefinisikan demokrasi itu seputar sistem pemerintahan yang seluruh rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Rakyat yang mana, rakyat dewasa. Unsur yang digunakan dalam definisi seperti rakyat pemegang kekuasaan, rakyat memiliki hak mengatur, rakyat sumber kekuasaan atas dasar sistem perwakilan, kesamaan politik dalam suasana kebebasan, dlsb. Apakah reformasi Indonesia tahun 1998 yang mengamandemen UUD 1945 dan memilih Sistem Presidensial dengan dalih Indonesia tidak demokratis itu, dalam bahasa sederhananya hanya ingin Presiden itu bergantian? Penulis berpendapat, amandemen UUD 1945 yang dilakukan tahun 1999 s/d 2002 tidak hanya masalah jabatan Presiden supaya gantian, tetapi ada tujuan yang lebih besar. Kalau hanya ingin Presiden bergantian, sesungguhnya demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila pun sudah mengatur hal tersebut. Implementasi Demokrasi Pancasila disamping soal periodisasi, yakni setiap lima tahun, juga punya makna sebagaimana yang didefinisikan para tokoh kaliber dunia di atas, bahwa semua tergantung rakyat. Contoh faktual, Presiden Soekarno walau mengantongi Tap MPR sebagai Presiden seumur hidup yang merupakan penyimpangan UUD 1945, toh jatuh karena kehendak rakyat. Presiden Soeharto dipilih rakyat dalam sistem perwakilan, berhenti sebelum waktunya karena kehendak rakyat. Laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie tidak diterima rakyat melalui para wakil rakyat di MPR. ​Semua peristiwa di atas menunjukkan Indonesia negara demokratis. Kedaulatan di tangan rakyat. Jadi dalih amandemen UUD 1945 agar Indonesia lebih demokratis tidak rasional. Menilik pendapat JA, patut dinilai alasan reformasi bukan sekedar ingin Presiden bergantian. Ada tujuan lain, mengganti Demokrasi Pancasila dengan Demokrasi Liberal Mengapa ada kekuatan yang tidak menyukai demokrasi produk lokal yakni Demokrasi Pancasila? Padahal, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar sangat jelas bahwa Negara Republik Indonesia berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila. Bukan menurut UUD sebagaimana Pasal 1 ayat (2) UUD 2002. ​Dari perspektif teori Hans Nawiasky, Pancasila itu “Staatsfundamentalnorm” yang memayungi Pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945 atau “Staatsgrundgesetz”. Dengan demikian Pasal 1 ayat (2) di UUD 2002 seharusnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, sebagaimana narasi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Soal Demokrasi Liberal dalam Pilpres dan Pilkada langsung. Rakyat kecil, para pakar sampai pejabat berteriak, demokrasi import ini mengakibatkan orang berkualitas tidak bisa menjabat, karena biaya tinggi. konflik yang diciptakan buzzer politik. Kehidupan sosial budaya rusak, penuh ketidakjujuran, ketidakadilan, kolusi, korupsi, nepotisme dengan puncak kerusakan terbelahnya persatuan Indonesia. Jadi menjawab pertanyaan, mengapa ada kekuatan yang tidak menyukai demokrasi produk lokal yakni Demokrasi Pancasila? Penulis berpendapat karena sasaran mereka adalah memecah belah persatuan bangsa Indonesia. Mereka tahu Pancasila adalah alat pemersatu bangsa Indonesia. Jika Indonesia bisa mereka pecah belah, mereka lebih mudah untuk “menguasai”. Sinyalemen penulis di atas, dikuatkan dengan langkah awal reformasi adalah mencabut Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Mereka tahu nilai-nilai Pancasila itu menjiwai Batang Tubuh UUD 1945 yang akan mereka amandemen dan alat pemersatu bangsa Indonesia. Dengan demikian, ajakan Presiden cintailah produk lokal, hendaknya kita tangkap secara luas. Artinya, kita cintai pula demokrasi produk lokal, yakni Demokrasi Pancasila. Bolehlah kaget setelah tahu dampak buruk dan tujuan demokrasi yang kita import, yakni Demokrasi Liberal yang individualistis tersebut. Tetapi setelah tahu, jangan masa bodoh. Apalagi jika kita semua mengakui Pancasila adalah Dasar Negara Indonesia dan falsafah bangsa Indonesia. Mari kita selamatkan bangsa dan negara bersama-sama, sebelum pecah, dengan kembali ke “Demokrasi Pancasila”. Apakah benar setelah 75 tahun, politik dinasti bangkrut? Sebagaimana yang disampaikan kawan penulis JA di atas? Untuk mengetahui jawabannya, apakah politik dinasti bangkrut atau justru menjamur, silakan baca pada artikel lanjutan bagian ke-3. (bersambung). Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Mungkin Presiden Yang Perlu Reshuffle? Bukan Menterinya

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Akhir-akhir ini isu reshuffle kabinet kembali merebak. Meskipun tidak ada harapan perubahan signifikan dari pergantian para menteri Presiden Jokowi tersebut. Sebab rakyat sebenarnya tidak butuh perubahan parsial kementrian. Yang sebenarnya ditunggu rakyat adalah kapan Presiden Jokowi mundur atau diganti. Selama menjabat sebagai Presiden sejak 2014, sudah empat kali Jokowi melakukan reshuffle kebinet. Pada periode pertama, tiga kali melakukan reshuffle. Sementara di preode kedua ini, sebentar lagi mungkin reshuffle yang kedua. Sehingga totalnya nan menjadi lima kali reshuffle. Ceritra menjabat tiga periode jangan hanya dianggap sebuah parodi. Jika obyektif, dengan keseringan melakukan reshuffle kabinet, maka Presiden dinilai memang sudah tidak mampu lagi memimpin pemerintahan. Syangnya, syahwat untuk tiga periode tersebut diduga semakin menggebu-gebu. Meskipun gagal, namun niat besar menuju tiga priode tetap disebunyikan hingga kini. Bahkan sebaliknya mengatakan, “tak pernah berniat untuk tiga priode”. Reshuffle kabinet sebelumnya telah menghasilkan Menteri Agama (Menag) baru, Menteri Perdagangan (Mendag) baru, Menteri Kesehatan (Menkes) serta Menteri pariwisata dan Ekonomi Kreatif baru. Namun sama sekali tidak mengubah kinerja Pemerintahan Jokowi. Risma Menteri Sosial (Mensos) baru juga masih dominan akting daripada bukti kemampuan. Masyarakat sulit berharap banyak pada Menteri-Menteri yang baru. Disamping tidak adanya visi dan misi menteri, juga sistem kabinet sendiri berjalan dengan manajemen tidak visioner. Tidak jelas arah mau kemana. Sangat tergantung siapa yang terakhir datang memberikan masukan kepada Preside. Isu reshuffle adalah isu politik yang hanya untuk kepentingan istana dalam tiga hal. Pertama, Jokowi ingin mencitrakan kepada masyarakat dirinya masih sebagai Presiden yang masih kuat dan dominan. Tampil dan menunjukkan kepada lingkaran istana bahwa siapa yang mencoba melawan atau mengganggu akan diganti. Makanya jangan coba-coba melawan kemauan dan keinginan Presiden kalau memang tidak siap untuk diganti dari jebatan menteri. Kedua, koalisi dipancing agar semakin mendekat kepada Presiden. Karena umumnya koalisi takut kalau kehilangan menteri. Makanya PHP (Pemeberian Harapan Palsu) pun berjalan. Jangan-jangan Partai Demokrat yang masuk dalam jajaran kebinet hasil reshuffle pula. Untuk bargaining ke depan, terutama mendukung agenda tiga priode. Isu reshuffle selalu membuat semut berkumpul. Ketiga, isu reshuffle ini dapat digunakan sebagai sarana untuk menutupi diri dari kelemahan-kelemahan yang sekaligus memperpanjang nafas politik. Tiga periode juga merupakan bagian dari upaya-upaya tersebut. Meskipun dengan bahasa kepada rakyat bahwa tidak berminat atau tidak akan mempengaruhi Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR). Meskipun demikian, sebenarnya rakyat sudah tidak peduli dengan isu reshuffle yang dihembuskan belakangan ini. Rakyat lebih berfikir tentang bahaya menghadapi krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis politik, dan krisis hukum. Permainan hukum untuk kepentingan politik yang semakin mencolok dan telanjang. Intervensi dan diskriminasi hukum sangat terbuka untu dilakukan penguasa. Jika semakin sering isu reshuffle digulirkan, maka semakin terbukti dan terkonfirmasi bahwa sebenarnya Presiden tidak mampu memilih pembantu yang baik. Menteri itu kan anak buahnya Presiden, karena Presiden yang pilih dan lantik mereka. Namun dengan keseringan reshuffle, maka sebenarnya menjadi cermin dari ketidakmampuan rakyat memilih Presiden yang baik pula. Memang yang selalu saja menjadi pertanyaan adalah, apakah "telur dulu atau ayam dulu”? Namun yang repot kalau ayamnya sakit, dipastikan telurnya juga ikut busuk. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Cintai Produk Lokal, Kenapa Import Presidensial? (Bagian-1)

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Jokowi Kaget. Tak Percaya Ada Guru Bergaji Rp. 300 Ribu (CNN Indonesia, 11/1/2019). Wapres Ma’ruf Amin juga kaget dengan Ijin Investasi Miras Jokowi (CNN Indonesia, 2/3/2021). Menko PMK kaget Tenaga Tracing Covid-19 Tak Sampai 5.000 orang (DetikNews, 11/2/2021). Luhut kaget, tambahan kasus Covid-19 Capai 6.000 Per Hari (Bisnis.com, 16/12/2020). Risma kaget, duit Rp.1,3 T untuk data. Mati Kita Kalau Tak Hati-hati (CNN Indonesia, 23/12/2020). Sri Mulyani kaget ada uang WNI di Swiss susah masuk ke Indonesia (liputan6.com, 18/10/2016). Nadiem kaget, kami tak akan pernah hilangkan pengajaran agama (DetikNews, 10/3/2021). Pembaca “kaget’, karena membaca berita para pejabat kaget? Padahal tak perlu kaget. Sebab kaget itu bisa beneran kaget, bisa tidak kaget, tetapi dikaget-kagetkan. Sebab ada adagium kepemimpinan , “apa yang dilakukan dan tidak dilakukan bawahan, merupakan tanggung jawab pimpinan”. Penulis tidak bermaksud membahas berita di atas. Penulis suka judulnya. Logatnya, memberi inspirasi. Penulis ingin menyajikan sesuatu, yang mungkin orang bisa kaget, tidak kaget atau masa bodoh. Namun penulis berharap, demi orang banyak janganlah masa bodoh. Kita hendaknya berani mengambil langkah positip demi bangsa dan negara. Pembatasan. Dalam artikel bersambung ini, karena ada perbedaan yang mendasar, agar mudah membedakan, maka Undang-Undang Dasar hasil amandemen dalam artikel ini, ditulis dengan sebutan UUD 2002. Sebelum import sistem Presidensial, sistem pemerintahan kita dikenal dengan sistem pemerintahan sendiri atau sistem pemerintahan MPR. Penulis berpendapat, dan lebih suka menyebut “Sistem Pemerintahan Pancasila”, karena landasannya Pancasila. Para politisi sepakat mengganti menjadi sistem presidensial saat mengamandemen UUD 1945. Seperti apa sistem Presidensial itu? Seperti yang kita pakai dalam bernegara pasca amandemen UUD 1945. Sistem presidensial jauh berbeda dengan produk lokal yang disusun oleh “founding fathers” yang penulis sebut “Sistem Pemerintahan Pancasila”. Sistem Pemerintahan Pancasila merupakan karya besar bapak bangsa untuk Indonesia merdeka. Sistem ini tertuang dalam UUD 1945. Pasal-pasal dalam UUD 1945 merupakan penjabaran dari pokok-pokok pikiran dalam “Pembukaan UUD 1945”. Sistem pemerintahan yang tidak ikut sana sini, tidak menganut Parlementer ataupun Presidensial. Bahwasannya, kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada Pancasila. Kedaulatan rakyat seperti apa? Kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Di dalam MPR duduk wakil-wakil rakyat, sebagai representasi atau penjelmaan rakyat Indonesia. Ada perwakilan Parpol, ada Utusan Daerah dan Utusan golongan. Tidak ada satupun yang tidak terwakili. Karena itulah MPR sebagai Lembaga Negara tertinggi, yang memegang kekuasaan negara tertinggi. Sehingga MPR memiliki kewenangan menetapkan Undang-Undang Dasar dan GBHN serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Kedudukan ini berimplikasi, MPR memiliki kewenangan melakukan perubahan Undang-Undang Dasar yang bersifat tehnis. Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara, para wakil rakyat di MPR membuat garis-garis besar daripada haluan negara atau GBHN. Untuk melaksanakan GBHN, para wakil rakyat memberikan mandatnya kepada Presiden yang dipilihnya. Dengan demikian, Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawahnya MPR. Presiden sebagai mandataris MPR adalah subsistem dari Sistem Pemerintahan Pancasila. Setiap tahun melaporkan pelaksanaan progam pembangunan, di hadapan sidang tahunan MPR. Di akhir jabatannya, Presiden menyampaikan ‘Laporan Pertanggungjawaban’ di hadapan MPR yang telah memberi mandat. Sampai disini, sebagai produk lokal, tampak keelokan Sistem Pemerintahan Pancasila. Sistem yang runtut dan mengalir dengan mantik. Kedaulatan adalah di tangan rakyat, sebagai cerminan negara demokrasi, yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebuah majelis tempat para wakil seluruh rakyat Indonesia bermusyawarah. Etika birokrasi bernegara pun tampak cantik. Rakyat membuat rencana pembangunan untuk negara, dalam hal ini diwakili para wakilnya di MPR. Presiden menerima mandat untuk dilaksanakan. Ada mandat, ada pula laporan pertanggungjawaban dari penerima mandat. Rakyat hidup tenang menjalankan kehidupannya, karena sudah mewakilkan hak dan kepentingannya. Apakah Sistem Pemerintahan Presidensial sebagaimana diatur dalam UUD 2002 juga seelok dan secantik Sistem Pemerintahan Pancasila? Mari kita uji dengan memunculkan beberapa pertanyaan. Apakah MPR saat ini representatif atau penjelmaan rakyat Indonesia? Tidak. MPR bukan penjelmaan rakyat Indonesia, karena anggota MPR hanya anggota DPR dan DPD. Anggota DPD hasil pemilu inipun nyaris orang-orang Parpol. Lalu dimana posisi dan dikemanakan hak komponen rakyat non Parpol, yakni golongan fungsional dan daerah dalam bernegara? Tidak ada tempat, bahkan haknya hilang. Contoh, salah satunya haknya anggota TNI dan Polri. Dengan demikian menjadi logislah MPR bukan Lembaga Negara tertinggi. Di sisi lain, juga menjadi logis kalau MPR tidak memiliki kewenangan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dipilih rakyat secara langsung, sehingga patut kita nilai bertentangan dengan Demokrasi Pancasila. Apakah Presiden melaksanakan amanat pembangunan bangsa dan negara atau GBHN dari rakyat seperti pada Sistem Pemerintahan Pancasila? Pasti tidak. Presiden membawa visi dan misinya sendiri. Bahkan di era Presiden Jokowi, para menteri yang memiliki bidang khusus pun dilarang membuat visi dan misi. Semua harus melaksanakan visi dan misi Presiden. Apakah selesai periode masa jabatannya, Presiden menyampaikan ‘Laporan Pertanggungjawaban’ kepada rakyat yang memilihnya? Pasti tidak ada. Bahkan, apakah Presiden bekerja sesuai janji saat kampanye atau tidak? Tidak ada konsekuensi yang mengatur. Apakah Presiden berhasil atau tidak di periode pertama, tergantung opini yang dibangun. Opini yang dibangun tergantung pemilik modal. Sejauhmana mereka mempengaruhi Ketum Parpol dan berbagai pihak yang terkait dengan perkandidatan Capres sebelumnya. Kiprah lembaga survei, pemilik modal dan media ikut mempengaruhi. Perilaku para buzzer politik, dan besarnya penggelontoran duit, sangat menentukan hasil pembangunan opini. Sistem Presidensial memang membikin enak posisi Presiden. Bagaimana tidak? Selesai menjabat Presiden bisa pergi ‘lenggang kangkung’ tanpa memberikan laporan pertanggungjawaban. Bahkan, andaikan sebelum akhir masa jabatan, bisa “menguasai” atau “menggandeng” DPR, DPD, MPR, MK dan MA maka bisa dipastikan “check and balances” tidak jalan. Walaupun banyak Parpol, pemerintahan bisa mirip atau akan menjadi pemerintahan yang totaliter. Bagaimana bisa terjadi? Presiden punya kekuatan apa? Jangan kaget, dan tak perlu kaget. Sistem Presidensial yang didukung demokrasi liberal, di lapangan akan menunjukkan bahwa pemilik “kekuatan” itu pemilik modal atau kaum kapitalis. Kedaulatan di tangan rakyat hanyalah sesaat dan sebagai tontonan, ketika coblosan di Pemilu. Setelah itu patut dinilai kedaulatan bukan lagi milik rakyat. Sebuah Gurindam Melayu yang mengatakan ‘Uang adalah Raja Dunia’ memang menjadi kenyataan. Baik itu positip maupun negatip. Tanpa akhlak mulia, uang bisa menghancurkan dan membawa kehancuran. Dengan uang, bisa membuat banyak orang silau yang berujung terciptanya konflik membelah persatuan. Kaum kapitalis pemilik “Raja Dunia” bisa menciptakan siapa Presiden yang bisa mereka kendalikan. Gambaran faktual secara sederhana antara Sistem Pemerintahan Pancasila sebagai produk lokal dengan Sistem Pemerintahan Presidensial sabagai barang import di atas, kiranya bisa membuka mata hati kita. Cintailah produk lokal kata Presiden, hendaknya termasuk cintailah Sistem Pemerintahan Pancasila sebagai produk “founding fathers”. Insya Allah, aamiin. Silakan kaget bila belum tahu sebelumnya. Namun yang terpenting janganlah masa bodoh. Produk lokal lain yang perlu dicintai adalah demokrasi. Demokrasi yang bersumber dan tumbuh dari budaya bangsa, serta sejarah perjalanan bangsa merupakan kekuatan bangsa. Apakah kita punya demokrasi produk lokal yang harus kita cintai? Jawabannya, silakan baca lanjutan artikel bersambung ini, tentang demokrasi. Semoga memahami. Insya Allah, aamiin. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Prabowo-Puan, Capres-Cawapres 2024?

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Parbowo hampir dipastikan nyapres lagi. Gerindra nggak akan beri tiket kepada Capres selain Prabowo. Bagi Gerindra, Prabowo menjadi faktor utama elektoral partai. Dengan posisi Prabowo sebagai Capres, efek elektabilitas ke Gerindra sangat besar. Soal menang kalah, itu urusan nanti. Itu punya pertimbangan yang lain. Apalagi elektabilitas Prabowo juga tidak buruk-buruk bangat. Artinya, Prabowo memenuhi instrumen elektoral ketika didorong maju ke Pemilihan Presiden (Pilpres ) tahun 2024 nanti. Suara Gerindra yang ada di DPR sekarang 12,57%. Itu artinya Prabowo sudah punya modal Presidential Threshold 12,57%. persen. Tentu saja itu tak cukup maju sendirian. Sebab, Presidential Threshold 20%. Dengan demikian, Prabowo mesti menggandeng partai lain. Yang paling mungkin digandeng Gerindra adalah PDIP. Apalagi PDIP punya suara 19,33%. Gabungan Gerindra-PDIP sudah 31,90%. Angka itu lebih dari cukup untuk mengusung pasangan Capres-Cawapres pada 2024 nanti. Lantas, siapa calon dari PDIP? Puan Maharani. Megawati, Ketua Umum PDIP kecil kemungkinan akan melepas dukungan kepada selain Puan Maharani. Secara pengalaman, Puan memenuhi syarat. Pernah jadi Menko PMK dan sekarang menjadi ketua DPR. Soal elektabilitas, nampaknya Puan Maharani belum digarap secara serius. Saat ini, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang lebih populer dari Puan. Ini lantaran, Ganjar sangat rajin melakukan self branding. Kabarnya, tim media Ganjar sangat efektif kerjanya. Sederhana dsaja membacanya. Jika ada kepala daerah, siapapun itu, di luar ibu kota, tanpa kerja dan prestasi spektakuler, tapi popularitas tinggi, patut diduga kalau ada tim media yang bekerja efektif. Ada baiknya, anda tidak hanya baca survei yang dipublish. Cari akses untuk membaca juga survei yang tidak dipublish. Anda akan paham bagaimana permainan tim media. Beda dengan kepala daerah di ibu kota. Apapun yang dilakukan, media meliputnya. Ibu Kota jadi pusaran media. Anies Baswedan terpopuler diantaranya karena menjadi kepala daerah di ibu kota. Selain faktor prestasi yang diperoleh melalui berbagai penghargaan, baik nasional maupun internasional. Anies memenuhi syarat logis untuk populer dan tertinggi elektabilitasnya diantara kepala daerah lain. Kembali soal Ganjar Pranowo, apakah Gubernur Jawa Tengah ini akan mampu menyalip Puan Maharani? Kalau secara elektoral, mungkin saja. Tetapi, tak mudah bagi Ganjar Pranowo untuk menggeser posisi Puan Maharani. Di usia senja, Megawati, Ketua umum PDIP pasti ingin melihat anaknya berada di puncak karir terbaiknya. Dan itu adalah wakil presiden, lalu presiden. Yang paling realistis bagi Megawati adalah memasangkan Puan Maharani dengan Prabowo. Formasinya “Prabowo-Puan”. Prabowo tetap menjadi Capres mengingat pertama, elektoral Prabowo lebih tinggi. Kedua, Prabowo itu senior yang sudah dua kali nyapres. Ketiga, ini mungkin bagian dari upaya Megawati memenuhi janjinya di Batu Tulis yang sempat tertunda, bahwa Prabowo giliran menjadi Capres atas dukungan PDIP. Sementara Ganjar Pranowo? Jika elektabilitasnya membaik, Gubernur Jawa Tengah ini bisa nyeberang ke kubu lain. Artinya? Keluar dari PDIP. Misalnya, jadi cawapresnya Anies Baswedan. Untuk ini, Ganjar mesti bersaing dengan tokoh-tokoh lain seperti Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Airlangga Hartarto, Tito Karnavian, Muhaimin Iskandar, Khofifah, Moeldoko, Agus Harmukti Yudhoyono (AHY), bahkan Budi Gunawan yang potensial dan juga berpeluang. Bagaimana jika Prabowo urung maju, dan mendorong Anies Baswedan sebagai Capres yang didukung Jokowi dan PKS? Apakah ini akan jadi pintu rekonsiliasi bangsa? Jika ini terjadi, maka akan merubah semua peta politik selama ini. Penulis adalah Pmerhati Politik dan Bangsa.

Benih Terorisme Itu Dari Syi'ah

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Ungkapan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. Said Agil Siradj bahwa benih terorisme adalah Wahabi dan Salafi adalah ngawur dan ngaco. Pernyataan yang sangat sentimentil, dan berbahaya. Said tak pernah berterimakasih kepada Negara Saudi Arabia yang membuatnya memperoleh gelar Doktor di Universitas Ummul Quro Makkah. Negara yang telah menolong keilmuannya Said Agil. Kemudian sekarang berkhianat habis kepada Suadi Arabia dengan mencaci maki secara tak beradab. Orang menilai tak pantas dilontarkan oleh seorang Professor doktor atau ulama. Prilaku seperti itu hanya dan biasa dilakukan oleh mereka berpredikat sebagai ulama-ulaman. Itu bukan ulama benaran. Wahabi dan Salafi tidak pernah memusuhi negara manapun, termasuk Indonesia. Bahkan Salafi yang di Indonesia malah menyerukan untuk patuh kepada penguasa yang sah. Kaum salafi sangat jauh dari watak-watak radikal. Apalagi menjadi teroris. Aksi-aksi unjuk rasa atau demontrasi kepada penguasa saja dihukumkan sebagai barang haram. Salafi melawan Pemerintah tidak boleh. Demikian juga dengan Wahabi yang bersumber dari Saudi Arabia. Wahabi itu dimusuhi dengan snagat keras oleh kaum Syi'ah. Mereka dinyatakan sebagai nawashib, kafir oleh Syi'ah. Aneh bin ajaib saja, kalau Said Agil menyatakan salah satu sumber teroris di Indonesia itu berasal dari Salafi dan Wahabi Akar faham Syi'ah adalah radikalisme dan terorisme. Konsep imamah menciptakan permusuhan dan perlawanan terhadap ideologi negara di manapun. Spirit balas dendam dengan kekerasan ditarik dari pembantaian Karbala yang sebenarnya akibat dari watak khianat pengikut Syi'ah sendiri. Misalnya, menyakiti diri (tathbir) dengan senjata tajam adalah ajaran kekerasan dan terorisme Syi'ah. Sekedar mengingatkan lagi kalau gembong dan bapaknya terorisme di Indonesia adalah aktivis Syi'ah yang tiba dari pembinaan ilmu di Qom Teheran. Namanya adalah Muhammad Ibrahim Djawad. Orang ini yang melangkah dengan timnya yang terkenal melakukan peledakan bom Candi Borobudur pada tahun 1985 lalu. Ketika itu sembilan bom meledak sekaligus. Setelah meledakan Candi Brobudur yang menghebokan itu, Muhammad Ibrahim Djawad lantas kabur, dan lari kembali berlindung ke Iran. Sampai sekarang mungkin saja tidak berani kembali ke Indonesia. Kemungkinan dia masih menetap di Iran. Sementara anak buah Syi'ahnya meledakan bom bis Pemudi dan Seminari Alkitab Malang, Jawa Timur. Jadi pintu masuk radikalisme dan terorisme jelas bukan Wahabi atau Salafi. Melainkan asal-muasalnya dari Syi'ah. Said Agil yang sedemikian banyak memuji-muji Syi'ah, justru membahayakan eksistensi NKRI. Inkonsisten dukungan soal pluralisme. Dengan Kristen, Syiah, Ahmadiyah bisa berbaik baik. Tetapi giliran dengan Salafi dan Wahabi justru menonjok-nonjok. Bahaya global yang tidak disadari ole Said Agil adalah memusuhi Saudi Arabia, dan bersahabat dengan Iran. Padahal Saudi Arabia adalah negara di mana terdapat dua kota sucinya ummat Islam. Ada Makkah Al-Mukarromah yang menjadi kiblatnya ummat Islam di muka bumi ini. Selain itu, ada juga Madinah Al-Munawwarah, Kotanya Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam. Islam lahir di negeri Saudi Arabia ini. Islam bukan lahirnya di Qom atau Teheran. Apalagi di Karbala. Jangan salah mengarahkan kiblat bangsa dan negara ini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Radikalisasi Kaum Sekuler Kiri di Indonesia

by Prof. Daniel Mohammad Rosyid PhD Labuanbajo FNN - Selama lima tahun terakhir ini kaum sekuler kiri di Indonesia mengalami radikalisasi. Mereka yang semakin intoleran dengan kelompok Islam di negeri ini. Namun justru balik menuduh Islam sebagai yang intoleran. Islam anti NKRI, bahkan anti Pancasila segala. Kelompok sekuler kiri ini juga menyebut Islam sebagai agama impor dari Arab. Islam memecah belah bangsa dan tukang bikin ribut. Disamping didorong oleh syahwat politik, perut dan di bawah perut, radikalisasi ini memanfaatkan dua agenda internasional yang membentuk lingkungan geopolitik regional paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir ini. Pertama, dapat dipastikan bahwa kebangkitan kelompok sekuler kiri ini memanfaatkan agenda “Bush War on Terror”. Agenda ini dalam praktek berarti “War on Islam” yang masih diteruskan oleh Presiden Trump. Hanya para naifun penganut dunguisme yang percaya bahwa ISIS, al-Qaeda dan Gerakan Jihadis itu bukan operasi intelijen kaum sekuler kanan radikal yang berkuasa di Sayap Barat, terutama sejak Obama berkuasa. Wacana Huntingtonian tentang benturan peradaban menjadi menu yang dilahap habis dengan sangat rakus oleh penghuni Sayap Barat ini. Wacana ini diamini dengan suara keras, bahkan penuh dengan kekhusyu'an oleh kaum nasionalis sekuler kiri di negeri ini. Kedua, saat Presiden Trump yang terobsesi dengan agenda nasionalistiknya, sehingga terjadi kekosong kepemimpinan internasional. Siatuasi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis China yang sejak Xi Jinping berkuasa, yang semakin menampilkan ambisi politik globalnya. Instrumen ambisi China ini adalah proyek One Belt One Road (OBOR). China tidak lagi puas menjadi manufacturer of the world saja. Tetapi kini ingin juga sekaligus menjadi transporter of the world. China tahu bahwa keuntungan menjadi pabrik dunia tidak terlalu banyak jika sektor transportasi global masih dikuasai Sayap Barat beserta para sekutunya. Kebangkitan China ini dimanfaatkan secara cerdik oleh kaum sekuler kiri di negeri ini yang telah menunggu waktu yang tepat secara lebih terorganisir sejak reformasi dimulai. Sayang sekali, proyek sekulerisasi sekaligus pendunguan massal melalui persekolahan massal paksa sejak Orde Baru telah menyebabkan masyarakat negeri ini buta sejarah. Juga sekaligus tumpul daya kritisnya. Akibatnya, masyarakat menjadi makanan empuk ocehan dusta para influencer bayaran melalui medsos. Bad influencer paling bersemangat justru diperankan oleh elite ormas Islam terbesar di negeri ini. Kini banyak pejabat publik dengan berani mengatakan bahwa kehidupan politik harus dibersihkan dari agama. Bahkan agama dijadikan musuh terbesar Pancasila. Pernyataan itu hanya bisa diucapkan oleh kaum sekuler kiri radikal. Kaum yang ingin menjadikan agama hanya simbol kehidupan bermasyarakat. Bukti terakhir adalah pencopotan seorang direksi sebuah BUMN karena yang bersangkutan mengadakan pengajian dengan mengundang penceramah yang dituding sebagai penceramah radikal. Padahal seorang Ketua MUI yang lalu pernah mengatakan bahwa, jangankan perbedaan khilafiah seperti penampilan wajah dan pakaian tertentu, perbedaan agamapun harus diterima. Perbedaan itu sesuai dengan amanah konstitusi. Bahwa negara berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa, dan setiap penduduk dijamin kemerdekaan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Pencopotan direksi ini jelas inkonstitusional sekaligus sebuah kejahatan besar yang bila dibiarkan akan semakin menjadi-jadi. Merusak sendi-sendi kebangsaan negeri yang sangat majemuk ini. Di tengah wacana publik tentang radikalisme Islam, patut dicermati radikalisasi kaum sekuler kiri ini. Mereka menunggangi agenda war on Islam Sayap Barat dan OBOR China. Seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua Umum MUI KH Anwar Abbas, ummat Islam perlu protes sangat keras pada KH Ma'ruf Amin yang diam membisu melihat kesewenang-wenangan dan penyelewengan konsitusi. Bahkan pengamat Islam Radikal Sidney Jones pun heran dengan obsesi Pemerintah saat ini yang berosesi untuk mengkriminalisasi Front Pembela Islam (FPI). Penulis adalah Guru Besar Institut Tekonologi Sepuluh November Surabaya.

Faksi Amerika Boikot Indoneia, Masa Nggak Ngerti Sih?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Menteri Agama (Menag) Yaqut Khalil Qaumas mengumumkan bahwa Pemerintah Arab Saudi tidak memberi izin jama'ah Indonesia untuk melaksanakan ibadah umroh meskipun sudah disuntik vaksin. Vaksin Sinovac yang tidak masuk standar yang direkomendasikan WHO. Wajah Menag tentu pucat, betapa buruk nasib bangsa ini di mata Arab Saudi. Coba direnungkan lebih dalam. Benarkah tingkat kesulitan melaksanakan ibadah umroh, sebelumnya haji 2020 untuk jamaah dari Indonesia ini hanya disebabkan oleh faktor vaksin semata? Sepertinya masih banyak faktor lain, sehingga Pemerintah Saudi Arabis cenderung mempersulit. Walaupun demikian, tentu saja alasan sebenarnya tak akan terungkap secara eksplisit. Stempel Pelanggaran HAM Bukti lainnya adalah, rencana pinjaman uang dari pemerintah Saudi Arabia kepada Indonesia yang ditunda. Entah sampai kapan penundaanya. Namun soal menunda pinjaman kepada Indonesia ini, ternyata bukan hanya pemerintah dari Suadi Arabai. Negara-negara faksi Amerika Serikat lainnya juga bersikap untuk menunda pinjaman. Negara-negara yang sudah pasti menunda pinjaman adalah Australia, Jerman, Jepang, Korea Selatan dan Arab saudi. Semuanya faksi Amerika Serikan. Sikap negara-negara faksi Amerika tersebut sangat terkait dengan kebijakan pemerintah Indonesia belakangan yang mengabaikan masalah-masalah demokratisasi, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, Hak Asasi Manusia (HAM), korupsi dan lingkungan hidup. Arab Saudi kan faksinya Amerika Serikat di Timur Tengah. Masa masih budeg sih? Jangan-jangan memang tidak mau mengerti. Kenyaan ini jangan juga dipisahkan dari keluhan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang ruwetnya investasi dari luar ke Indonesia. Sebab hampir 90% investasi luar negeri di Indonesia itu masih dari negara-negara faksinya Amerika Serikat. Ditundanya bantuan bilateral dari negara-negara faksi Amerika Serikat, yang ditambah dengan sulitnya investasi dari luar negeri, semakin memperlihatkan kuatnya tekanan Amerika kepada pemerintahan Presiden Jokowi. Kenyataan ini semakin disempurnakan dengan pernyataan resmi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat tentang delapan poin pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Kalau sinya-sinyal politik dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya kepada Pemerintahah Presiden Jokowi ini tidak juga mau difahami, maka kemungkinan bakal ada tekanan yung lebih keras. Ciri dan karakter dari kekuasaan Partai Demokrat adalah menciptakan krisis ekonomi. Sebaiknya Jokowi belajar dari kejatuhan mantan Presiden Seokarno dan Seoharto. Peringatan Keras Dari Suadi Dua presiden paling kuat dan terlama berkuasa di Indonesia, Soekarno dan Soeharto jatuh saat Partai Demokrat berkuasa di Amerika. Soekarno jatuh saat Presiden Amerika dijabat Lyndon Johnson, dan Seoharto saat Bill Clinton. Soeharto dan Soeharto itu jatuh melalui krisis ekonomi, yang menumpangi keresahan masyarakat yang meluas. Sementara sikap Saudi Arabia sekarang sebagai peringatan itu, terkait beberapa hal. Pertama, Indonesia di masa Pemerintahan Jokowi ini kebijakan politiknya cenderung Anti Arab. Lewat kampanye Islam Nusantara, terlihat hendak memusuhi hal-hal berbau Arab. Para buzzer bayaran istana terus memojokkan dengan ustilah Kadal Gurun (Kadrun). Persis masa PKI dulu. Kedua, Menteri Agama bukan prototipe seorang memahami agama secara mendalam, apalagi ulama. Jauh dari yang layak dan pantas. Anti Wahabi dan Salafi yang tentu menyakitkan Saudi Arabia. Koboy sinkretisme dari faham keagamaan. Dari jaga gereja hingga doa campur-campur. Ketiga, pemerintah Indonesia membantai dan membenci ulama. Kasus Habib Rizieq Suhab (HRS) yang sedang berlansung di Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak lepas dari pemantauan Saudi. HRS yang sangat dihormati di Saudi, ternyata setelah pulang, dinistakan di Indonesia. Bahkan enam pengawalnya dibunuh sercara sadis oleh aparat negara. Keempat, gonjang ganjing calon Dubes Saudi yang ditunjuk Jokowi adalah Zuhairi Misrawi. Tokoh yang mengecam Saudi atas "pemerasan" devisa. Tokoh anti yang umroh dan menganjurkan pilihan ziarah kubur daripada umroh ke Saudi Arabia. Kelima, dalam konteks global, Saudi Arabia lebih dekat dan bersahabat dengan Amerika ketimbang Cina. Sedangkan Indonesia sedang akrab dan bermain-main dengan Cina. Vaksin pun dari Cina, Sinovac yang dianggap masih rentan bagi penularan Covid 19. Kualitas Sinovac yang diragukan dan bermutu rendah. Keenam, di samping HRS dan pimpinan FPI keturunan Arab yang dihabisi secara politik, Gubernur DKI Anies Baswedan pun terus menerus dimusuhi dan ditekan oleh Pemerintah Jokowi. Potensi untuk maju pada Pilpres ke depan dihalang-halangi secara masif. Semestinya Indonesia mengerti bahwa jamaah umroh telah menjadi korban. Sebelumnya jaah haji 2020 yang menjadi korban. Sejak awal lobby Indonesia terhadap Saudi selalu lemah. Apalagi kini di era Covid-19 yang terasa semakin babak belur. Harus ada perubahan kebijakan politik, jika hendak membantu umat Islam agar dapat melaksanakan ibadah umroh dan haji ke Saudi Arabia. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

"Lone Wolf" Itu

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Aksi terorisme bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Minggu pagi (28/03/21) menewaskan sepasang suami isteri yang baru menikah enam bulan. Lukman Alfarizi(25) dan isterinya Yogi S. Fortuna (22). Keduanya pedagang roti kebab di Makassar. Di Jakarta Rabu sore (31/03/21) teroris “lone wolf” alias “serigala penyendiri” bernama Zakiah Aini (25), mahasiswi drop out sebuah perguruan tinggi swasta di Depok menyerang kantor Mabes Polri di Jakarta. Teroris perempuan bercadar hitam berbaju ungu itu diberondong peluru aparat keamanan Markas Besar Polri. Zakiah Aini tewas seketika di tempat. Zakiah Aini hanya sempat menembak-nembakanangin enam kali dengan pistol airsoft gun yang dipegangnya. Serangan serempak aksi teroris di dua kota besar, Makassar dan Jakarta yang hanya berselang tiga hari. Dua kejadian ini mendorong publik menyoal kehandalan mekanisme kontrol aparat keamanan terhadap sel-sel hidup teroris. Diketahui di bulan Maret berlangsung agenda rangkaian hari keagamaan kaum Nasrani yang dikenal sebagai “Pekan Suci” bagi pemeluk agama Kristen Katolik. Satu minggu penuh dikhususkan untuk merenungkan penebusan Yesus Kristus di kayu salib. Lima hari untuk ibadah atau misa. Dimulai dari Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci atau Malam Paskah, dan Minggu Paskah. Namun, tidak terlihat adanya aparat keamanan yang terlihat sebelum terjadi ledakan di Gereja Katedral Makasar. Ramón Spaaij, Profesor di Victoria University di Melbourne, Australia, dalam bukunya “Understanding Lone Wolf Terrorism: Global Patterns, Motivations and Prevention” (2012) menulis, ada lima elemen pemotivasi “serigala penyendiri” memutuskan untuk menjadi teroris. Disebutkan, cenderung menciptakan ideologi mereka sendiri yang menggabungkan frustrasi pribadi dengan keluhan politik, sosial atau agama yang lebih luas. Menderita beberapa bentuk gangguan psikologis. Menderita ketidakmampuan sosial dalam berbagai tingkat. Mentransfer frustrasi pribadi ke "orang lain" yang transgresif. Cenderung menyiarkan niatnya untuk melakukan kekerasan. Eskalasi radikalisme “serigala penyendiri” menemukan jalan tol di ruang digital di era teknologi yang serba maya sekarang ini. Kehadiran media sosial memberi banyak kemudahan konsolidasi dan komunikasi senyap tanpa perlu kontak fisik. Mengurangi pertemuan di forum pengajian yang sudah mulai disusupi intel. Ada migrasi frontal dari pola institusional beralih ke personal. Kecanggihan teknologi digital menjadi rahmat terselubung. Dunia mendadak berubah dan memberi ruang sangat besar kepada pola aksi terorisme yang berbasis “serigala penyendiri”. Komunikasi sunyi lewat daring menjadi pupuk kesuburan doktrin ideologi radikalisme yang mereka hayati. Berbagai studi menyebutkan, melalui media sosial, emosi dapat terungkapkan jauh lebih ekspresif. Mudah tersebarkan. Sekali kirim pesan yang banyak, dalam sekejap penerimanya juga banyak. Pola komunikasi di ruang digital semakin memantapkan tekad jihad. Timbunan lumpur kemarahan dan kekecewaan mudah terhubung sesama individu frustrasi yang merasa senasib kelam! Ruang digital meminimalisir penggerebekan aparat atau pengintaian intelijen. Dunia digital yang lagi ngetren menjadi bursa pemasaran ide radikalisme di lingkaran generasi milenial. Khususnya yang merasa hilang bentuk. Terpapar kondisi ketidak-pastian hidup keluarga mereka yang serba kekurangan, baik dari segi materi maupun minimnya peluang ke akses pendidikan. Masa depan yang suram sebagai insan tidak berkecukupan di hampir semua bidang. Kondisi ini ikut menggiring generasi milenial memilih jalan radikal. Sebagai bentuk perlawanan atas tekanan yang diyakininya bersumber dari ketidak adilan negara atas distribusi hak-hak dasar mereka yang diamanatkan konstitusi. Eksibisi spektakuler keserakahan materi digelar terbuka pemilik modal besar. Menampilkan komposisi kehidupan nyata yang timpang dan menyakitkan. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dalam laporannya menyebutkan 1% orang kaya di Indonesia menguasai 50% aset nasional. Separuh dari aset nasional hanya dikuasai oleh segelintir orang kaya di Indonesia. TNP2K memberi laporan akhir capaian kinerja mereka di Istana Wakil Presiden Rabu, (9/10/19. “Itu yang perlu dikoreksi,". kata Bambang Widianto,Sekretaris Eksekutif TNP2K Fenomena aksi terorisme belakangan ini di Indonesia menampilkan kemasan baru. Hadirnya generasi milenial perempuan muda menjadi aktor utama. Keperkasaan kaum feminine muda itu menggeser perlahan peran klasik teroris maskulin. Ketimpangan kondisi sosial ekonomi keluarga, dan deritanya lebih memukul kaum perempuan. Posisinya yang lebih banyak di rumah menjadi saksi hidup dan bagian tak terpisahkan penderitaan panjang yang mendera keluarga mereka secara ekonomi maupun sosial. Menurut sebuah riset pada 2020, pelaku teroris adalah generasi milenial, yang mendominasi lebih dari sepertiga populasi Indonesia. Generasi milenial Indonesia memiliki karakteristik antara lain kecanduan terhadap internet, memiliki loyalitas rendah, cuek dengan politik, mudah beradaptasi, dan suka berbagi. Kecanduan internet dan rendahnya loyalitas menjadi celah masuknya ideologi-ideologi tertentu, termasuk terorisme. Dalam psikologi, loyalitas merupakan kebutuhan individu untuk dapat meletakkan kesetiaan mereka terhadap sesuatu atau seseorang. Loyalitas terbentuk di usia 12-19 tahun, yaitu periode pembentukan identitas. Unit pertama yang berperan sebagai agen sosialisasi, keluarga memiliki peran menumbuhkan loyalitas tersebut melalui transmisi nilai-nilai yang diyakini. Jika keluarga gagal menumbuhkan loyalitas, anak-anak akan mencarinya melalui organisasi atau figur-figur karismatik di luar keluarga. Ketidakadilan Wajah Terorisme Peneliti Hukum dan Ham LP3ES sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Milda Istiqomah mengatakan, ada peningkatan tren aksi teror yang melibatkan perempuan dalam beberapa tahun terakhir. Perlu langkah untuk mengetahui alasan di balik keputusan perempuan-perempuan tersebut bergabung dalam aksi terorisme. Milda menyontohkan black widow di Rusia usai kejadian Moscow Theater Hostage 2002. Saat itu, banyak perempuan melakukan aksi bom bunuh diri setelah menjadi korban pemerkosaan tentara dan pelecehan seksual. Mengesankan kurangnya perhatian dalam mengungkap alasan perempuan (muda) bergabung dengan jaringan terorisme di Indonesia, selain konteks jihad. Dalam konteks perempuan tersubordinasi, patut dijadikan sebagai elemen penting, guna mengetahui motivasi perempuan dalam terorisme. "Kalau kita melihat tren yang ada di internasional, salah satu penyebab perempuan gabung jadi teroris itu karena ada perasaan-perasaan yang terpinggirkan, diskriminasi, tidak mendapat keadilan," kata Mirdal. "Itu harus kita pikirkan bersama. Jika tidak, apa yang terjadi di konteks global juga akan terjadi di Indonesia," ujarnya di media awal April. Kehadiran “serigala penyendiri” menyasar perempuan muda merupakan early warning. Mendesakk perumusan skenario kontra terorisme yang lebih komprehensif. Lebih menyelam dan berkelanjutan. Harus lebih menitik beratkan kepada pembenahan akar masalah. Kepada sektor ketimpangan ekonomi yang akut dan sangat radikal. Elemen radikalisme dalam bentuk aksi terorisme, harus dibaca sebagai perlawanan atas ketidakadilan ekonomi. Ketidakadilan ekonomi adalah wajah lain dari terorisme. Faktor ini, yang belum terlihat menjadi agenda penting negara. Membiarkan “radikalisme” ketimpangan ekonomi tanpa pembenahan yang masif, akan menjadi lahan subur hadirnya setiap saat radikalisme lain yang diperankan para “lone wolf”. Mereka rela bertekad, meskipun terpaksa harus nekat untuk mengirim pesan kepada negara melalui kematian. Problematika fundamental bangsa ini adalah ketimpangan ekonomi yang sangat “radikal”. Sehebat apapun agenda doktrin-doktrin deradikalisasi yang digagas oleh negara, hampir dipastikan tidak akan merubah apa-apa. Selama peragaan ketimpangan ekonomi dibiarkan menganga lebar oleh negara, maka selama itu pula bibit-bibit terorisme akan bermunculan bak jamur di musim hujan. Sebab fakta itu melukai jiwa mereka yang terjerat dalam derita lingkaran hidup di kubangan kesengsaraan. Pertanyaanya, apa saja kontribusi konkret konglomerat pemodal kuat hitam, licik, picik dan culas selama ini dalam membantu skenario kontra terorisme? Sehingga memaksa negara harus membunuh setiap saat warganegara dengan peluru yang bersumber dari pajak rakyat? “Lone Wolf” adalah sebuah nyanyian sunyi tentang perlawanan dan kekalahan. Sama bahayanya dengan pandemi apapun, sangat sangat dan sangat memilukan dan mematikan nurani bangsa ini! Teman pengirim pesan via WhatsApp menulis pendek. Mengutip potongan lirik lagu Ebit. G. Ade “Kalian Dengarkan Keluhanku”. “Kemanakah sirnanya nurani embun pagi, yang biasanya ramah kini membakar hati, apakah bila terlanjur salah, akan tetap dianggap salah, tak ada waktu lagi benahi diri, tak ada tempat lagi 'tuk kembali…..!” Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Negeri Fitnah Yang Menerapkan "Summum Ius Summa Iniuria"

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Adalah Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Front Pembela Islam (FPI) menjadi sasaran fitnah keji. Aksi terorisme "abal-abal" dikait-kaitkan atau dihubungkan dengan FPI dan tentu HRS. Terkesan mau dipakai untuk menutupi-nutupi kasus pembunuhan terhadap enam anggota Laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Pembunuhan berdasarkan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) patut diduga melibatkan anggota polisi dari Polda Metro Jaya. Perbuatan kejahatan yang tak bisa dihindari mengarah pada keterlibatan aparat keamanan. Dampknya pelakukan pmebunuhan terdahap enam anggota laskar FPI tidak diumumkan. Adapun nama-nama pelaku yang terus-terusan disembunyikan, dan hingga kini tidak diumumkan oleh oleh Bareskrim Polri, menjadi keanehan tersendiri. Keanehan yang membuka peluang bagi terjadinya rekayasa lanjutan perkara ini. Wajar kalaui publik bertany-tanya, mengapa belom juga diumumkan para tersangka? Siapa saja nama-nama mereka? Penangkapan orang-orang "jaringan terorisme" yang dikaitkan dengan mantan atau simpatisan FPI adalah dugaan dari fitnah yang direkayasa. FPI selama ini tidak pernah dituduh sebagai organisasi teroris. Bahkan mantan Kapolri Prof. Dr. Tito Karnavian memuji-muji FPI setinggi langit, sebagia organisasi yang sangat nasional, dan peduli terhadap persoalan kebangsaan. Sepak terjang FPI, baik kegiatan maupun ungkapan tokohnya yang selalu mengecam terorisme semua yang berbau terorisme. FPI sendiri merupakan organisasi formal dan legal. Hanya karena dipersulit pendaftaran badan hukumnya, akhirnya dibubarkan oleh pemerintah. Itupun sampai sekarang tanpa ada perlawanan, apalagi kekerasan dari FPI. Radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme justru ditujukan kepada umat Islam. Profil setiap pelaku "teroris" yang ditampilkan selalu beratribut Islam. Padahal pernah ada pelaku perencanaan bom atas gereja beragama Katolik yang ditangkap oleh polisi. Sayangnya polisi tidak pernah mau memberikan stigma dan status sebagai pelaku teroris. Apa penyebab? Hanya polisi yang tau. Namun tidak bagi umat Islam. Ini tentu saja sangat menyakitkan. Jika pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makasar itu benar anggota Jaah Ansorul Daulah (JAD), maka bukalah sudah sejelas-jelasnya siapa dan apa organisasi ini? Jangan dipelihara lagi, sehingga semua harus dikait-kaitkan dengan Islam. Langsung saja umumkan pembubaran organisasi JAD. Selesai dan habisi itu JAD. Yakinkan kepada rakyat bahwa JAD ini bukan organisasi buatan yang dijadikan hantu cantolan terorisme. Bom yang disebut bunuh diri di Gereja Katedral Makassar itu janggal. Sebab betapa bodohnya pelaku datang ke Gereja berbusana muslimah. Bercadar lagi. Begitu juga wanita berbusana muslimah ZA yang mengacungkan senjata air soft gun di Mabes Polri lalu ditembak mati itu. Sebaiknya Komnas HAM perlu turun tangan untuk mengusut siapa yang pelaku yang menembak mati ZA di Mabes Polri tersebut. Mengapa harus ditembak mati? Mengapa bukan dilakukan tembakan untuk melumpuhkan ZA saja. Apakah lawful atau unlawful killing? Publik jangan disuguhkan informasi hanya dari polisi. Kasus kilometer 50 tol Japek cukup menjadi pelajaran berharga buat bangsa ini bahwa tidak cukup masyarakat mendapat indormasi dari polisi saja. Untung masih ada Komnas HAM yang menemukan penembakan terhadap empat anggota laskar FPI oleh anggota Polda Metro Jaya. Selain itu, ada mobil Land Cuiser di lokasi kejadin kilometer 50 tol Japek. Ada juga mobil Avanza Hitam dan Avanza Silver yang publik tidak tau keberadaannya. Sebab sebelumnya tidak diumumkan oleh polisi. Saat enam anggota laskar FPI yang dibunuh, disiksa dan dijadikan tersangka adalah fitnah keji. Begitu juga peradilan HRS yang didakwa melakukan kerumunan saat walimahan anaknya dan maulidan. Mengapa kerumunan "wedding" Attar Halilintar dan Aurel Hermansyah, puteri Krisdayanti dibolehkan? Jokowi, Prabowo, Bambang Soesetyo hadir pula. Sungguh ini fakta dari suatu ketidakadilan. Tontonan ketidakadilan juga semakin menjijikan diperlihatkan dengan dihentikannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) penyidikan terhadap koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kakap Syamsul Nursalim, yang buron bertahun-tahun. Sampai sekarang belum kembali ke Indonesia. Mungkin sebentar lagi balik. Apalagi SP3 sudah keluar. Tidak lagi ada hambatan untuk pulang. Betapa nyaman menjadi perampok besar di negeri ini. Kabur bertahun-tahun ke luar negeri, lalu keluar SP3 dari KPK. Padahal BLBI adalah perampokan uang rakyat puluhan, bahkan ratusan triliunan rupiah. Perampokan ini ditutup hanya dengan Inpres No. 8 Tahun 2002. Inpres ini diteken oleh Megawati Soekarnoputri ketika menjabat sebagai Presiden. KPK semestinya tidak menetapkan SP3 kepada penjahat besar Syamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Sebab pasal 40 ayat (1) UU KPK hanya merumuskan "dapat". Tidak adanya kewajiban bagi KPK untuk mengeluarkan SP3. Wajar jika KPK dicurigai bermain-main dalam kasus ini. Sudah terlalu banyak tampilan wajah muram ketidakadilan di negeri ini. Rakyat sangat merasakan ketidakadilan itu. Kekuasaan dan kekayaan yang membenarkan perlakuan berbeda terhadap warga negara. Asas "equality before the law" dapat dilanggar dengan berbagai alasan. Atau mungkinkah mereka memahami dan bersikap tak peduli pada keadilan mengingat ada adagium hukum "summum ius summa iniuria", yang berarti keadilan tertinggi adalah ketidakadilan? Penguasa sekareng berhak untuk berbuat tidak adil dengan merasa telah berlaku adil? Soal fitnah keji? Mungkin merasa tidak juga karena di negeri Rusia tahun 2012-2017 pernah sukses mempropagandakan teori semburan fitnah "firehose of falsehood". Menebar kebohongan demi mempengaruhi opini publik termasuk media massa. Adakah rezim Jokowi sedang mempraktekkan teori semburan fitnah ala Rusia saat ini? Sejarah akan berbicara esok. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Rakyat Hari Ini, Seperti Anak Ayam Kehilangan Induknya

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Pembaca FNN dimana pun yang bisa mengakses situs ini, bisakah membayangkan situasi dan kondisi sosial rakyat dari Sabang menuju Merauke saat ini? Jika peka, maka ilustrasi yang muncul adalah laksana anak ayam kehilangan induknya. Masyarakat luas, yang katanya memiliki presiden sebagai pemimpin negara, namun serasa seperti tidak adanya kehadiran seorang pemimpin. Saat ini masyarakat tengah merasakan situasi penuh kebingunan. Galau dan kacau. Tidak mengerti harus bagaimana? Mesti harus berbuat apa? Sebab segala permasalahan yang membuatnya sedemikian pelik yang tengah ditanggung masyarakat, tidak lain adalah bab perekonomian. Gampangnya kalau ngomong, rakyat sulit mencari uang (rezeki). Kesulitan yang belom pernah dirasakan rakyat sebelum ini. Ekonomi itu adalah hal utama. Persoalan yang sangat pokok. Kesulitan perekonomian bukan saja dialami masyarakat kelas menengah ke bawah. Melainkan, juga dirasakan bos-bos besar papan atas. Hari-hari ini merasakan seperti pecah kepalanya. Memikirkan buruknya neraca perdagangan yang dikendalikannya. Biaya-biaya tetap seperti gaji, listrik, iuran BJS Kesehatan dan BPS Tenaga Kerja dan lain-lain. Seorang pemilik warung di Madiun, Jawa Timur, belum lama ini terpaksa menumpahkan kemarahannya kepada petugas bank titil (Bank Perkreditan Rakyat) yang datang menagih hutang. Pemilik warung marah sejadi-jadinya, sampai-sampai penagih hutang lari ketakutan. Kalau bicara dari sisi salah-benar sesuai hukum formal, seperti yang disukai Menkopolhukam Mahfud MD kalau berkomentar, maka pemilik warung tentu dinilai sebagai pihak yang salah. Sebab telah memarahi petugas BPR. Padahal dia berkewajiban melunasi pinjaman hingga tuntas. Namun secara kondisional, bukannya soal-salah, atau tidak salah. Melainkan pemilik warung tidak punya uang untuk mengangsur pinjaman. Dagangannya pun juga tidak ada yang laku. Semisal diambil tindakan hukum pun, pemilik warung pasrah. "Awalnya kita dirayu rayu supaya mau pinjam ke BPR. Setelah pinjam, eehhh....nagihnya utang minta ampun," bentak pemilik warung, ketus. Keadaan yang menyentuh perasaan seperti itu terjadi, dan dialami masyarakat di semua tingkat lapisan. Dari ujung Sumatera sampai pucuk Papua. Boleh jadi ada yang kondisinya lebih parah lagi. Mungkin jenis persoalannya saja yang berbeda. Namun intinya sama, sulit sulit dan sulit cari duit. Masih di kota yang sama, seorang kontraktor kondang juga dalam kondisi "sekarat". Mati nggak sekalian mati, namun hidup, nggak hidup bener juga. Betapa tidak, belasan alat berat dan dum truck sebagai penopang utama usahanya masuk gadai. Sebagai jaminan hutang, dan macet. Ruwet, ribet dan mumet. Beginilah gambaran yang lebih luas tentang gelapnya perekonomian masyarakat negeri ini. Setiap kali bertemu kawan, baik di warung atau dimana saja, selalu menyampaikan keluhan seragam. Tersumbat memikirkan ekonomi rumah tangga, sebagai topiknya. Bila kontak sahabat atau saudara yang tinggal di luar kota, atau di luar pulau. Pengakuannya sama. Sulit cari duit. Tak terkecuali pegawai negeri sipil. Seorang Kepala Dinas di pemerintahan daerah menunjukkan chat WA bab kewajiban mengangsur pinjaman BPR yang telah jatuh tempo dan belum dibayar. Bayangkan sekelas Kepala Dinas diuber-uber utang. Baru di era Jokowi ini terjadi. "Mau apalagi, aku cuma bisa bilang ya nanti tak bayar," katanya. Ibarat anak ayam yang terserakh di seluruh muka bumi. Saling teriak tanpa jelas apa yang diteriakkan. Lari kesana-kemari sembari menjerit pilu, terdengar seakan beradu merdu. Terjatuh, bangkit, terinjak, berdarah darah, tumpang tindih tak karu-karuan. Semua itu berlangsung demi memperoleh sumber kehidupan. Survival lah. Agar tetap bisa bertahan hidup. Meskipun sebenarnya yang ditemui cuma ke muleg an. Sebab satu dengan lainnya tak beda jauh persoalannya. Ibarat pelanduk dicerang rimba. Mau kemana? Akan berbuat apa? Mengadu kepada siapa? Semua jalan gelap dan buntu. Rasanya, disaat ketidak-berdayaan mencapai batas, yang dimiliki cuma pasrah dan keputusasaan. Seolah telah hilang garis batas mana saudara, adik, kakak, mertua, menantu, ipar, besan, teman, musuh, kawan, lawan dan sebagainya. Semua bingung. Mulai gelap-gulita. Kepelikan ekonomi bukan dominasi kaum proletar. Kaum optimat pun merasakan hal sama. Pengusaha paling besar dan kaya pun tak luput dari badai ekonomi. Menurut kompas.com (23/06/2020), selama sepekan harta bos Grup Djarum, Robert Budi dan Michael Hartono, merosot U$ 1,3 miliar atau setara dengan Rp. 18,4 triliun. Wuuhhh....ngeri-ngeri tidak sedap kan? Menjadi logis hangusnya triliunan rupiah harta bos Djarum, bila dikaitkan dengan ulasan cnn Indonesia (05/02/21), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pertumbuhan ekonomi RI minus -2,07 persen pada tahun lalu. Sementara, BPS dalam situsnya yang dilansir pada 15/07/2020 mengumumkan bahwa indeks gini rasio pada Maret 2020 sebesar 0,381. Jika angka koefisien yang digunakan sebagai alat ukur gini rasio adalah antara 0 (sangat kaya raya/ amat sangat hidup) sampai 1 (mati), maka angka gini rasio tersebut (0,381) berada nyaris diantara hidup dan mati. Padahal, masih ingat janji Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 lalu. Dia bilang, “akan menggenjot pertumbuhan ekonomi di angka 7%”. Janji yang sama diulang lagi Jokowi di kampanye Pilpres berikutnya (2019), juga 7%. Apakah Jokowi sanggup buktikan ucapannya 7%? Alih-alih 7%. Malah hancur di angka minus -2,07%. Padahal, sepeninggal SBY dari kursi presiden 20 Oktober 2024, angka pertumbuhan ekonomi masih lumayan 6%. Seumpama angka nilai rapor sekolah masih tergolong naik kelas. Melihat kenyataan ini, para buzzer dan gobloger melakukan advokasi dengan mengatakan hancurnya ekonomi sebagai dampak dari Covid-19. Nah, virus jadi wedus ireng. Padahal, sebelum kehadiran virus dari cina tersebut pertumbuhan ekonomi selama dipimpin Jokowi tak lepas dari angka 5 persen. Jadi, perekonomian negara ini bukan soal virusnya, melainkan Jokowinya. Lagi pula, secara global Covid-19 meletus dari Wuhan Cina, pada akhir Desember 2019 (jika tidak salah 23 Desember). Hampir semua negara di belahan dunia telah terpandemi virus haram tersebut. Meski semua negara telah tercemar, kala itu Indonesia masih aman. Celakanya, diwaktu negara ini masih aman, lha kok pemerintah malah memasukkan ribuan warga asing dari Cina. Lebih sinting lagi "virus" tersebut didominasi berasal dari negara produsen Covid-19. Wuhhh... ini namanya ngeri-ngeri kurang ajar. Karena Indonesia ini ibarat negara seribu pintu, maka ribuan "virus" tersebut bisa leluasa masuk melalui Sulawesi, Papua, Bali, Semarang, Surabaya, Halmahera serta pintu-pintu lainnya. Walhasil, pemerintah hingga lebih setahun bingung menangani Covid-19. Berbagai cara dilakukan. Masyarakat malah lebih dari sekedar bingung, yakni entah nggak bisa lagi mikir. Lantas pemerintah mengeluarkan kebijakan tutup pintu masuk warga asing. Tetapi sudah terlambat. Ibarat sebuah kampung lagi musim maling, malingnya sudah masuk rumah, baru pintunya ditutup. Ini kan seperti epilog komedian di panggung tonil hiburan. Ketawa ampe mencret. Soal kebutuhan rasa aman, nyaman, tenang, tenteram pun menjadi sesuatu yang mahal sekarang ini. Bayangkan, ekonom sekelas Kwik Kian Gie sampai menyatakan keluhannya, "Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternative". Kwik menyambung, "(Pada) zaman Pak Harto yang otoriter saja, saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik kritik tajam. Tidak sekalipun ada masalah". (Pikiran Rakyat, 06/02/2021). Sebenranya, masih banyak permasalahan berbangsa dan bernegara yang ingin dituliskan disini. Namun, saking banyaknya permasalahan sosial kemasyarakatan sampai bingung mengingat ingatnya. Sejak Orde Baru berkuasa, belom bangsa Indonesia sesulit ini di bidang ekonomi. Pecinta FNN yang budiman. Media digital, escort the state goal di penjuru dunia. Tumpukan campur aduk permasalahan, baik ekonomi, hukum, sosial, budaya, keamanan serta deretan aspek hidup lainnya secara umum dapat membuat kebingungan. Yah, laksana anak ayam yang kehilangan induknya. Atau pelanduk di cerang rimba. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.