NASIONAL

“Cintai Produk Lokal” Ingat GSNKRI & Gerakan Beli Indonesia 2015

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Presiden Joko Widodo meminta sikap mencintai produk dalam negeri untuk lebih digaungkan. Bahkan Presiden meminta agar kebencian pada produk-produk luar negreri juga digaungkan. (Kompas.com/read/2021/03/05). Ajakan tersebut menuai komentar di media, khususnya mengapa mesti mengajak membenci produk-produk luar negeri? Padahal banyak barang yang kita pakai dari luar negeri. Penulis tidak ingin berpolemik masalah ini. Mendengar ajakan Presiden tersebut, penulis teringat perjuangan kawan-kawan beberapa tahun yang lalu. Ajakan tersebut, sudah pernah digaungkan temen-temen aktivis pada November 2015. Melalui Gerakan Selamatkan NKRI (GSNKRI) baru dikenal dan dikenalkan di media sosial saja. Ada keinginan agar gerakan ini dikenal dan bisa berkomunikasi langsung dengan masyarakat. Melalui pertimbangan yang matang, para senior sepakat, GSNKRI perlu tampil berkomunikasi dengan masyarakat. Ir. Heppy Trenggono, salah satu pencetus GSNKRI, juga Ketua Gerakan Beli Indonesia, bersedia sebagai penyelenggara. Gerakan Selamatkan NKRI menggandeng Gerakan Beli Indonesia memutuskan untuk mengadakan acara sosialisasi untuk masyarakat. Acara di Raden Bahari, Jl. Warung Buncit Raya 135, Jaksel pada 16 November 2015. Heppy Trenggono bersama penulis, M. Hatta Taliwang, Bambang Wiwoho, Ramli Kamidin, Ariady Achmad dan Syahganda Nainggolan mengambil langkah untuk mensosialisasikan kembali ke UUD 1945 asli, untuk disempurnakan dengan adendum. Inilah penampilan perdana GSNKRI dihadapan beberapa elemen masyarakat. Pemimpin Gerakan Beli Indonesia, Heppy Trenggono di daulat memberikan pengantar diskusi. Heppy mengingatkan, bangsa Indonesia semakin tidak berdaulat di negeri sendiri. Penyelewengan terhadap UUD 1945, pemudaran nilai-nilai Pancasila, disinyalir dilakukan musuh bangsa untuk menjajah dan menghancurkan bangsa Indonesia secara bertahap. Awalnya mengamandemen UUD 1945, kemudian diubahnya sistim nilai dan sistim politik sehingga kita semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan. Untuk itu kita harus memegang teguh Pancasila sebagai pemersatu dan alat penyelesaian masalah, kata Heppy. Sebelumnya, penulis menyampaikan bahwa terjadinya disharmoni kehidupan di masyarakat, penyebabnya adalah Pilpres secara langsung, sebagai produk amandemen UUD 1945, yang diikuti Pilkada langsung. Untuk memulihkan persatuan Indonesia, dan kehidupan yang harmonis, tidak ada jalan kecuali kembali ke UUD 1945 asli, untuk disempurnakan dengan adendum. Posisi silang Indonesia memang sangat strategis. Kekayaan alam yang berlimpah, dengan penduduk 250 juta, Indonesia adalah pasar yang sangat besar, dan diincar semua bangsa di dunia. Tanpa disadari, potret ekonomi Indonesia hari ini adalah potret negeri besar dengan penduduk besar namun ‘terjajah’, karena yang menikmati bangsa lain, kata Heppy. Kenyataan pahit, 80 % tekstil dan 93 % teknologi dikuasi asing. Asing boleh memiliki bank hingga 99 persen. Puluhan ribu petani kopra di Halmahera jatuh miskin, akibat harga jatuh. Petani kentang di Dieng, bawang di Brebes, padi di Subang dan Karawang tidak bisa bertani akibat masuknya kapitalisme dalam sektor kerakyatan. Puluhan juta pengguna internet diserahkan ke google. Bahkan ditengah sulitnya mencari pekerjaan serta badai PHK yang dilakukan perusahaan-perusahaan di Indonesia, buruh asing justru mengalir masuk, tutur Heppy Trenggono. Karena itulah, Gerakan Beli Indonesia mengajak agar kita mencintai dan membeli hasil yang ditanam dan produk dari rakyat Indonesia. Sedangkan Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso mengingatkan, 70 tahun yang lalu para pahlawan berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan NKRI, dan saat ini kita menghadapi gelombang pasang globalisasi. Akibatnya, harus diakui secara jujur agenda reformasi belum mengantarkan bangsa Indonesia menuju arah yang semestinya. Ir. Soekarno pada tahun 1930 sudah mengingatkan tentang sebuah politik pintu terbuka yang tujuannya menguras kekayaan alam, mengeruk bahan mentah, menjadikan bangsa lain sebagai pasar bagi produk-produknya dan lahan tumbuh suburnya kapitalisme. Apakah yang diperingatkan Ir. Soekarno terjadi hari ini, tanya Jenderal Djoko Santoso. Menyitir ajakan Heppy Trenggono untuk beli Indonesia, Jenderal Djoko Santoso pun mencontohkan secara riil. Mari kita makan apel Malang daripada apel Amerika atau Australia, walau terasa sedikit kecut. Mari kita beli jeruk Medan yang tidak kalah manis dengan jeruk dari China. Inilah wujud kecintaan kita terhadap Indonesia. Kita melihat globalisasi adalah Flow of Capital, Flow of Product, dan Flow of People, namun Heppy Trenggono mengingatkan yang paling berbahaya dari globalisasi adalah Flow of Ideology, seperti Kapitalisme, Liberalisme, bahkan hingga one man one vote, yang semuanya bertentangan dengan ideologi Pancasila. Acara sosialisasi kembali ke UUD 1945 asli untuk disempurnakan di Raden Bahari dihadiri lebih empat ratus orang. Situasi mirip deklarasi, sehingga acara disebut deklarasi GSNKRI. Walau sesungguhnya GSNKRI sudah ada sejak curah pendapat di kantor PPAD DKI Jakarta pada 30 September 2015, tanpa publikasi. Hadir dalam acara perwakilan Ormas-Ormas, para tokoh agama, FKUB DKI Jakarta, PP Hidayatullah, aktivis pejuang Hariman Siregar, Bursah Zarnubi, Eggi Sujana, Purnawiran TNI B. Sumarno, politisi Ahmad Mubarok, dan lain-lain. Pada akhir acara, ada tiga ajakan yang ditulis pada selembar kain dengan tulisan: (1) Kembali pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. (2) Prioritaskan penggunaan produk anak bangsa. (3) Tolak buruh Asing. Bagi undangan yang setuju, dipersilakan tanda tangan di atas kain tersebut. Itulah ajakan untuk mencintai produk anak bangsa atau produk dalam negeri di tahun 2015. Penulis harus jujur, ajakan tersebut buahnya belum sesuai harapan. Masih banyak orang menyukai barang berbau impor dan ‘branded’. Makanan pun, lidahnya sok ala Barat atau Eropa. Banyak faktor penyebabnya, mengapa sulit untuk mengajak agar rakyat Indonesia mencintai produk bangsanya sendiri. Jargon tersebut tak akan berarti tanpa diikuti keberpihakan negara dalam wujud kebijakan dan aturan yang mengatur. Bagaimana negara berupaya meningkatkan kualitas produk dalam negeri, dan mengatur barang impor, merupakan salah satu bentuk keberpihakan yang sangat diperlukan. Bukan sebaliknya, membuka kran impor dengan dalih barang lebih bagus daripada produk dalam negeri. Mestinya, bagaimana negara berupaya meningkatkan kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia sebagai motor produksi, agar kualitas hasil produksi mampu bersaing, justru lebih penting. Agar ajakan mencintai produk dalam negeri menggema dan membahana, sehingga gaungnya menyeruak di pelosok negeri dan rakyat melaksanakan, diperlukan karakter para pemimpin dan tokoh untuk memberikan suritauladan, dalam memakai produk anak bangsa. Tanpa suritauladan dalam keseharian, omong kosong kita bisa mencintai produk Indonesia. Semoga kita memberikan teladan. Insya Allah, aamiin. Penulis adalah Wagub DKI 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Euforia Demokrasi di Tengah Distorsi Moral Bangsa

by Pramuhita Aditya Jakarta FNN - Sejak bergulirnya reformasi, harapan kita adalah mewujudkan demokrasi dengan seutuhnya secara konsisten dan konsekuen. Harapan ini termanifestasi dalam lima tuntutan reformasi untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang demokratis. Namun hingga saat ini harapan itu masih jauh dari apa yang diperjuangkan oleh para mahasiswa kala reformasi 1998 dulu. Kita berada pada tahap dilema distorsi moral bangsa yang sangat dalam. Pasca reformasi memang kita disibukkan dengan berbagai penataan sistem ketatanegaraan, dan membangun perbaikan kembali dalam beberapa lembaga kenegaraan. Kenyataan ini sebagai bentuk konsolidasi demokrasi kembali menuju alam demokrasi seutuhnya. Namun apa yang dirasakan setelah masa-masa redemokrasi tersebut berlangsung hingga lima priodesasi presiden ini masih jauh dari cita-cita. Padahal reformasi yang digaung-gaungkan menjadi jargon demokrasi dahulu. Sungguh ironis jika hampir 23 tahun agenda pembangunan kembali Indonesia belum juga memberikan hasil yang signifikan. Konflik internal antar kelompok sosial serta masyarakat dengan negara tak kunjung selesai. Padahal konsolidasi demokrasi sudah dilakukan sejak lama. Tulisan Yudi Latif di Media Indonesia (21/01/2019), “Jalan panjang proses menjadi negara-bangsa Indonesia harus kita pahami dan hayati secara mendalam, manakala Indonesia hari ini menunjukkan tanda-tanda menghadapi ancaman disrupsi kebangsaan. Menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang menekankan semangat gotong-royong, ada tendensi melihat perbedaan dalam kerangka pembelahan politik. Bukan dalam kerangka saling menghargai dan kerja sama”. Lihat saja pada suksesi politik, baik daerah maupun secara nasional. Masyarakat terbelah dengan sakala besar. Media sosial dipenuhi dengan bergam komentar yang saling menyudutkan, bahkan sampai ke tingkat fitanh. Ingat loh bahwa kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila, dengan sila ketiganya Persatuan Indonesia. Tulisan Ariel Heryanto pada media Kompas (06/03/2021), “Setahun terakhir sopan santun pengguna media sosial Indonesia paling terparah di dunia”. Hal ini diperoleh dari hasil riset Microsoft seminggu yang lalu. Dalam tulisan analisis budaya ini, Ariel menulis “memprihatinkan, tapi tidak mengejutkan jika ingat jumlah laporan polisi dan kasus hukum beberapa tahun belakangan”. Keadaan ini bukan mustahil memperburuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Ibarat terpelihara, kebencian dan kemarahan akan menjadi distorsi moral kepada bangsa dan negara Indonesia. Kebiasaan ini akan terjadi regenerasi. Bagaimana kelak generasi penerus bangsa dan negara kita di kemudian hari? Jika perbedaan pandangan itu merupakan sunatullah, maka perbedaan itulah dijadikan potensi dalam membangun keragaman untuk mencapai Indonesia yang merdeka seutuhnya. Bukan malah sebaliknya, dijadikan musuh atau diberhanguskan begitu saja. Lain halnya kalau dengan ideologi yang menjadi parasit dalam tubuh NKRI. Memudarnya moral kebangsaan ini bukan tanpa sebab. Fenomena ini jika ditarik jauh ke belakang, maka kita dapati euforia demokrasi yang berlebihan. Akibatnya, terbengkalainya agenda-agenda penting regenerasi kepemimpinan Indonesia di masa yang akan datang. Selanjutnya menurut Yudi Latif, Pergeseran dalam menyikap perbedaan itu merupakan akumulasi dari krisis yang berlangsung pada ranah mental-spiritual (karakter bangsa), ranah institusional, dan ranah material. Bahwa perkembangan ketiga ranah itu telah melenceng dari imperatif moral Pancasila. Lain halnya dengan pra kemerdekaan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, para pemimpin-pemimpin bangsa sudah mempersiapkan diri dengan konsep-konsep yang brilian menuju Indonesia merdeka. Hal ini diperhitungkan secara matang dan tersistematis. Sekalipun banyak perbedaan pandangan diantara para founding father, sehingga konflik-konflik diantara mereka tidak dapat dihindari, namun konsolidasi perjuangan tetap dilakukan untuk menggapai Indonesia merdeka. Kita dapat menyaksikan bagaimana Sarekat Dagang Islam (SDI) yang menjadi Sarekat Islam (SI), Muhammadiah, Nahdatul Ulama, Al-Irsyad, Persis dan organisasi-organisasi keagamaan lainnya berpadu, berlomba-lomba dengan organisasi nasionalis seperti Budi Utomo hingga Taman Siswo yang menjadi cikal-bakal bangsa Indonesia terlahir hingga merdeka dan membentuk negara hari ini. Pemimpin bangsa Indonesia terdahulu berjiwa besar. Bahkan mereka rela berkorban tanpa imbalan. Hanya berharap ridho Tuhan Yang Maha Esa. Lain halnya dengan era demokrasi Indonesia saat ini. Gontok-gontokan merebut kekuasaan atas nama rakyat. Alhasil terbangunn kelompok masyarakat yang pro dan kontra menghiasi dunia lingkungan masyarakat dan media sisial. Kondisi sosial masyarakat saat ini harus ditangani, dan diselesaikan secara baik dan benar. Keadaan ini sudah diibaratkan api dalam sekam. Jika dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan keadaan lebih menjadi buruk dan bertambah parah. Tentu itu kondisi yang tidak kita harapkan. Gambaran fenomena saat ini memberikan isyarat, supaya pembenahan kembali serta menyusun agenda konsolidasi demokrasi. Tujuannya untuk memperkuat tatanan kebangsaan, dan kenegaran demi menciptakan persatuan dan kesatuan menuju Indonesia emas 2045. Penulis adalah Kandidat Ketum PB HMI 2021-2023.

Pemerintah Jokowi Terlihat Bingung

by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Memang paradoks, di satu sisi kran impor dibuka luas hingga banjir impor. Namun di sisi lain membenci produk luar negeri. Ini artinya Pemerintah sudah konslet. Terganggu kesehatan fikiran, budaya, ekonomi, dan politiknya. Terlihat panik soal kebijakan-kebijakan ekonomi di dalam negeri. Kesana salah ke sini keliru. Sebelumnya soal investasi industri minuman keras (miras) yang diberlakukan lalu dicabut, meskipun yang dicabut hanya lampiran. Juga soal pernyataan Direktur Pidana Umum Badan Reserse Keriminal (Bareskrim) Polri terkait status tersangka enam syuhada, anggota laskar Pront Pembela Islam (FPI). Setelah berselang tiga jam diumumkan penghentiannya oleh Kabareskrim Komjen Agus Andrianto. Plan A yang gagal. Pemerintah sudah "confuse" dalam segala hal. Pemerintah juga kehilangan "wisdom", berbicara asal njeplak, dan bergerak menabrak nabrak sana-sini. Pemerintah sudah kaya orang bingung. Tidak tau lagi harus berbuat apa. Akibat dari yang pemerintah bingung, maka rakyat juga beingung. Maka, mari bungung rame-rame, berjamaah. Kalimat harus benci produk luar negeri sudah tidak mempan di telinga dan hati rakyat sekarang. Hanya jadi bahan cemoohan dan olok olok. Pemerintah sudah sulit berjalan ajeg meski memang belum mau melempar handuk. Masalah terus bertumpuk, dan nampak tak mampu mengatasi. Kebijakan yang diambil sepertinya tutup lubang gali gowa. Menyelesaikan masalah dengan memproduksi masalah baru. Membangun nasionalisme dengan sekedar mengucapkan kata benci pada produk asing adalah sikap naif dari seorang presiden yang berlebihan. Hanya mempertontonkan kebungungan kepada rakyat. Jika oposisi yang menyatakan hal seperti itu, maka sudah pasti buzzer segera menuduh "hate speech", lalu dilaporkan ke polisi. Katanya tidak bisa gaul global. Hanya karena sumber “hote speech” itu presiden, karena sumbernya Presiden, ya sudah tafsirkan saja sedang berapi-api memotivasi nasionalisme. Mambangun nasionalisme hanya bermodalkan benci terhadap produk-produkl luar negeri. Tragisnya, hampir 80% kebutuhan pangan kita hari ini adalah Impor, termasuk impor garam dan ayam. Pemerintah seperti terus dibayangi oleh hantu. Hantu dari kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) terus mengganggu pemerintah. Ketakutan yang luar biasa menghantui pemerintah, hingga tempat Kejadian Perkara (TKP) pun dihancurleburkan. Diratakan dengan tanah. Tidak lagi ada jejak yang ditinggalkan. Penanganan kasusnya dilambat-lambatkan, serta opini yang coba diputarbalikkan. Hantu turun tahta menjadi mimpi buruk bagi pemerintah. Oposisi dibungkam dan potensi lawan dilumpuhkan. Setelah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), kini giliran Partai Demokrat yang diobrak-abrik. Kudeta lewat Rongres Luar Biasa (KLB) akhirnya jadi juga. Moeldoko, sang brutus tersebut terang-terangan membunuh SBY yang telah membesarkannya. Moeldoko yang dibesarkan SBY, mulai dari kolonel samai jendral bintang empat, dan berakhir dengan jabatan Panglima TNI. Kini Moeldoko telah menjadi Ketua Umum hasil KLB. Mungkin tidak lama lagi, Surat Keputusan Menkumham tentang pengesaham kepungurusan Moledoko segera terbit. Hantu krisis ekonomi terus menakut-nakuti. Hutang luar negeri kini telah bertumpuk-tumpuk, mencapai Rp. 6.233 triliun. Sementara hutang tambahan yang baru, sangat sulit, bahkan setengah mati untuk bisa mendapatkan. Investasi asing juga tidak kunjung tiba, dan terus masih dinanti. Pandemi melemahkan daya beli. Korupsi pun menjadi-jadi. Akhirnya stress dan caci maki. Produk luar negeri yang tidak bersalah pun harus dibenci. Caci maki yang kehilangan arti, sebab kata tidak sesuai dengan bukti dalam kebijakan. Hanya pemerintah terlihat bingung, kebijakannya semakin linglung. Meski berjalan terhuyung-huyung di depan rakyat tetap berusaha mencari panggung. Panggung tak bergaung. Aduh biyung...! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Fatamorgana Indonesia, Penduduk Miskin Naik Menjadi 27,5 Juta

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Semua bangsa punya masalah, tanpa kecuali. Tetapi persoalannya bukan pada masalah yang menimpa, melainkan cara sebuah bangsa merespon masalah tersebut. Respon yang tepat berujung pada solusi. Namun respon yang keliru menambah berat persoalan. Pandemi global Covid-19 adalah cermin yang tepat buat kita mengaca perbedaan negara-bangsa merespon situasi. Ketika pandemi melanda dunia setahun lalu, negara lain sibuk membatasi akses lalu lalang dan pergerakan orang. Menutup batas wilayah negara dan memblokade akses antar provinsi. Bangsa kita malah mempromosikan pariwisata atau mempromosikan jamu. Saat itu, untuk tahun anggaran 2019, pemerintah menganggarkan Rp 72 Miliar untuk mebayar influencer dan promosi wisata. Anggaran sebesar itu menjadi bagian dari total insentif sebesar Rp 298,5 miliar yang dikeluarkan pemerintah untuk menarik minat wisatawan mancanegara. Bukannya menyadari kekeliruan itu, sejumlah kebijakan dan ucapan pejabat malah menjadi sumber kontroversi. Lekat diingatan kalimat "corona masih jauh, masker hanya untuk orang yang sakit, mudik versus pulang kampung," dan seterusnya. Selain jamu, seorang menteri bahkan pernah perkenalkan kalung anti corona. Hasilnya? Indonesia sempat mencatat rekor negara pertama di Asia Tenggara dengan satu juta kasus covid-19. Negara dengan angka kematian akibat Covid-19 tertinggi di Asia Tenggara. Menempati urutan ketiga di Asia setelah India dan Iran. Bukan Tentang Covid Sekali lagi, ini bukan tentang Covid-19. Ini tentang cara kita merespon masalah yang berpengaruh pada disorientasi perumusan keputusan. Ya ada koreksi, ada introspeksi pada setiap kebijakan yang keliru. Bila perlu sebuah permintaan maaf kepada publik, setiap kali kebijakan yang merugikan rakyat. Itu tidak buruk. Itu sehat demi perbaikan negeri. Penanganan pandemi Covid-19 bukan hanya tentang kesehatan, tetapi juga ekonomi. Masalahnya, dua sektor ini saling overlapping. Titik balik perbaikan ekonomi sangat bergantung pada penanganan pandemi Covid-19. Sementara penanganan pandemi tentu memerlukan alokasi biaya yang tidak sedikit. Sayangnya, solusi yang dipandang paling jitu sepertinya hanya mengutang. Sudah begitu, bunganya tinggi pula. Tadinya, utang menumpuk demi infrastruktur. Sekarang, utang menggunung demi memenuhi pembiayaan penanganan Covid-19. Hingga akhir Januari 2021, jumlah utang Indonesia mencapai 6.233,14 triliun rupiah. Seiring menggunungnya pokok utang, bunganya pun terus membengkak. Tahun ini saja, beban bunga utang naik lagi 18,8 persen, atau sekitar dari Rp. 314,1 triliun pada 2020 triliun. Sekarang bunga utang naik menjadi Rp 373,26 triliun pada 2021. Ironisnya, kebijakan utang pemerintah yang dulu dikonsentrasikan untuk pembangunan infrastruktur, justru terancam mangkrak di beberapa tempat. Sebutlah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung senilai U$ 5,5 miliar dolar atau jalur kereta api Makassar-Parepare sepanjang 145 kilometer di Sulawesi Selatan. Perencanaan proyek yang ambisius berubah menjadi mimpi buruk. Rumah rakyat tergusur, lahan pertanian beralih fungsi, belum lagi dampak banjir akibat pembangunan rel dengan perhitungan drainase yang minim. Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah manargetkan pembangunan proyek rel kereta api di Sulsel selesai Juni 2021. Namun, tak kunjung terlihat pergerakan di lapangan. Belakangan, sang gubernur malah terjerat Operasi Tangkap Tangkap Tangan (OTT) KPK dalam kasus dugaan suap proyek infrastruktur. Upaya pencegahan dan pemberatasan korupsi semestinya dilakukan dari pucuk tertinggi pemerintahan. Namun, dari sana pula catatan buruk korupsi juga banyak ditemukan. Belum genap dua periode Jokowi menjabat presiden, empat menterinya sudah tersandung korupsi. Sebanyak dua menteri di periode pertama yakni Idrus Marham dan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Dua menteri lagi di periode kedua, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari Batubara. Presiden Jokowi gagal dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi ketika jajaran kabinet yang dipilih dan disusunnya sendiri justru tersandera korupsi. Seharusnya pengalaman dua menteri terciduk KPK di periode pertama memberi pelajaran untuk ekstra hati-hati menyusun kabinet di periode kedua. Namun, reputasi yang sama kembali terulang. Bahkan catatannya menjadi lebih buruk sebab penangkapan dua menteri terjadi dalam tempo belum satu setengah tahun periode kedua berjalan. Kemiskinan Merebak Pada akhirnya, rakyat jugalah yang menanggung. Kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, dan pandemi yang berkepanjangan menambah berat bobot persoalan menyusul robohnya sejumlah usaha dalam sektor industri dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Alhasil, persentase kemiskinan menembus dua digit. Data ini berdasarkan Survei Ekonomi Nasional September 2020 oleh Badan Pusat Statistik ( BPS). BPS mencatat, jumlah penduduk miskin mencapai 27,55 juta atau 10,19 persen dari jumlah penduduk. Angka tersebut naik 2,76 juta jiwa dibandingkan September 2019 atau bertambah 0,97 persen secara tahunan. Tingkat kemiskinan terakhir kali menembus dua digit pada September 2017 dengan jumlah 26,58 juta jiwa. Alasan yang selalu dipakai pemerintah, kenaikan penduduk miskin itu karena faktor Covid-19. Namun, kalau kita menelisik data BPS sebelumnya, tren angka kemiskinan sesungguhnya telah menanjak sebelum musim Covid-19 . Faktanya, jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2019 sebesar 24,79 juta orang, lalu bertambah menjadi 26,42 juta orang pada Maret 2020. Relevan dengan data tersebut, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam laporan catatan awal 2021 menyatakan, tingkat pengangguran terbuka diperkirakan naik hampir dua kali lipat sebesar 7,8 persen atau sebanyak 10,4 juta jiwa. Angka pengangguran itu belum termasuk pengangguran terselubung yang jumlahnya dua kali lipat dari pengangguran terbuka. Praktis, pelebaran angka kemiskinan mengakibatkan kehidupan kesehatan masyarakat menjadi rentan. Pasalnya, kemiskinan cenderung diikuti oleh permasalahan lain, seperti rendahnya kualitas hidup masyarakat. Juga kurangnya asupan gizi, kecukupan nutrisi serta kualitas pangan, dan lain-lain. Padahal, di musim pandemi begini, daya tahan tubuh harus selalu ditingkatkan. Salah satunya melalui suplai nutrisi yang baik dan berkualitas. Di tengah situasi demikian, iuran BPJS kesehatan justru naik sejak Januari 2021 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Kebijakan ini rasanya berbanding terbalik dengan relaksasi pajak penjualan mobil, meski terbatas dalam kategori produk low cost green car (LCGC). Yang miskin semakin miskin. Sebaliknya, yang kaya semakin kaya. Alhasil, jurang kesenjangan sosial semakin terbuka lebar. Jangankan saat ini, jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda saja, kesenjangan sosial sudah terlihat nyata dan telanjang di masyarakat. Laporan KPK yang diformat dalam Nota Sintesis Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP SDA) 2018 menyebutkan, pengelolaan SDA di Indonesia jauh dari rasa keadilan, karena tingkat ketimpangan yang tinggi. Untuk sektor kehutanan, penguasaannya seluas 40.463.103 hektar. Namun masyarakat hanya mendapatkan porsi 1.748.931 hektar, atau perbandingannya setara 96 : 4. Pertanyaannya, dengan fakta-fakta di atas, lalu apa yang akan diwariskan Pemerintah saat ini kepada anak cucu kita kelak? Kita tunggu seperti apa perjalanan republik 3,5 tahun ke depan, hingga akhir masa Jabatan Presiden Jokowi. Jangan biarkan Presiden Jokowi bekerja sendiri. Kita dukung beliau dengan kerja-kerja produktif dan kritik yang argumentatif, agar Indonesia tidak menyimpang lebih jauh. Presiden Jokowi menyebut tahun 2021 ini dapat menjadi momentum Indonesia menjadi negara maju, jika mampu keluar dari krisis akibat Covid-19 dengan baik. Penulis Adalah Senator DPD RI.

Oligarki Dan Demokrasi Anti Klimaks

by Tamsil Linrung Jakrta FFN- Demokrasi bisa naik, bisa juga turun. Bergantung pada banyak faktor. Musabab paling pokok adalah karakter dan gaya kepemimpinan. Bila pemimpinnya dzolim, demokrasi akan mati namun dibedaki seolah-olah demokrasi hidup. Membahas demokrasi Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari sudut pandang kepemimpinan Presiden Jokowi. Namun sayangnya, di bawah kepemimpinan beliau, Indonesia tak cuma paceklik ekonomi, tetapi juga resesi demokrasi. Indeks demokrasi terburuk selama reformasi. Oligarki tumbuh sehat. Dinasti politik bahkan dimulai dari diri presiden sendiri. Anak dan menantu diberi ruang menjadi kepala daerah dari negara yang dipimpin oleh ayah dan mertua. Ini adalah sejarah pertama di Indonesia sekaligus cermin paling buruk dinamika demokrasi kita. Berlimpah ruah argumentasi demokratis yang dapat diajukan menjadi pembela. Tetapi, seorang negarawan sejati tak akan pernah membiarkan keluarganya duduk dalam tahta kepemimpinan daerah dari negeri yang dipimpinnya, karena berpotensi mengundang kontroversi, cemoohan dan persepsi buruk dari rakyat. Oligarki adalah musuh biadab demokrasi. Bukan hanya Covid-19, wabah oligarki juga menjadi pandemi dalam konteks politik Indonesia hari ini. Kemasan setiap pengambilan keputusan selalu dipoles seolah-olah demokratis. Tetapi esensinya tetaplah memperkuat oligarki. Politik turun-temurun adalah bagian dari wajah oligarki yang mencengkeram Indonesia hari-hari ini. Wajah politik turun temurun terlihat sejak awal pemerintahan periode kedua, selain dari terang benderangnya politik dinasti yang dipertontonkan di hadapan kita. Publik bisa meraba relasi oligarki kekuasaan dan politik turun temurun itu. Nikmat oligarki bahkan sempat menggelontorkan wacana amandemen UUD 1945 terkait Presiden tiga Periode. Saat itu, banyak yang bertanya-tanya, lompatan besar apa yang telah dilakukan sehingga wacana presiden tiga perode dimunculkan? Kolumnis produktif Tony Rasyid sempat mengulas berkali-kali tentang wacana yang sulit dijangkau akal sehat ini. Pertanyaan tersebut harus selalu diajukan agar fokus perhatian kita selalu berpulang kepada substansi. Kita tahu, sebagian dilema demokrasi Indonesia hari ini adalah fenomena buzzer politik. Siapa pun yang mengkritisi kebijakan pemerintah, buzzer selalu siap membela. Bila ada persoalan serius atau blunder politik, buzzer dengan cekatan mengalihkan perhatian publik. Anti Klimaks Indonesia punya catatan demokrasi yang panjang. Ada klimaks, ada anti klimaks. Hari ini kita berada pada ruang demokrasi anti klimaks. Anti klimaks itu ditandai oleh indeks demokrasi Indonesia yang semakin turun. The Economist Intelligence Unite menempatkan index demokrasi Indonesia pada rangking 64 dunia. Menjadi pencapain terburuk selama 14 tahun terakhir. Kita bahkan berada di bawah Malaysia dan Timor Leste, negara baru pecahan Indonesia. Penurunan index demokrasi tersebut terjadi seiring dengan menguatnya oligarki. Itu karena karena dua hal. Pertama, karena politik kita berbiaya mahal. Pemilihan Presiden ditengarai beberapa pihak mencapai triliunan rupiah. Angka ini fantastis dan sulit, bahkan mustahil dipenuhi oleh kandidat secara mandiri. Maka kandidat Pilpres berjejaring dengan para pengusaha, sehingga menjadi cikal bakal terbentuknya oligarki. Kedua, adanya Presidential Threshold (PT). Selain mengerdilkan demokrasi, juga menjadi sumber petaka oligarki. Untuk mengusung calon presiden, partai politik sejak awal harus bersekutu demi memenuhi ambang batas pencalonan. Padahal, ambang batas tak lebih dari keengganan partai politik besar memunculkan figur-figur alternatif dalam kontestasi Pilpres. Sebagai akibat dari fenomena itu adalah melemahnya kekuatan oposisi. Kita tahu, oposisi adalah nyawa demokrasi. Partai politik yang hari ini nyatanyata beroposisi terhadap pemerintah hanya Partai Keadilan Sejahtera. Dalam beberapa sikap, juga Partai Demokrat. Sementara rekonsiliasi politik yang beraroma elitis hanya menambah daftar panjang kuasa oligarki politik. Oligarki harus dilawan. Tidak boleh dibiarkan tumbuh subur, menjadi kanker ganas yang bisa menggerogoti demokrasi. Sebab, oligarki mereduksi partisipasi politik dan kedaulatan rakyat yang secara keseluruhan berujung pada tumbuhnya sikap anti demokrasi. Celakanya, sikap anti demokratis tersebut dapat merembes pada rakyat kebanyakan. Karena oligarki cenderung mengandalkan kekuatan finansial, suara rakyat dikalkulasi dalam nominal rupiah. Rakyat dididik melihat pesta demokrasi sebagai musim amplop. Rakyat hanya dibutuhkan sebagai stempel demokrasi semata. Usai memperoleh suara rakyat, pemerintahan yang tersandera oligarki cenderung tak memusatkan pikiran pada kesejahteraan mereka. Sebaliknya, oligarki justru memaksakan kehendak dengan produk-produk kebijakan yang menguntungkan investor. Salah satunya bisa kita lihat pada pengesahan UU Cipta Kerja yang mendapat pertentangan dari masyarakat kelas menengah dan buruh. Sebagai buntut UU yang ditengarai pro-investor tersebut, baru-baru ini lahir Peraturan Presiden nomor 10 Tahun 2021 yang memberikan izin investasi minuman keras di empat provinsi di Indonesia. Kebijakan tersebut seperti kacamata kuda. Hanya berfokus pada investor dengan harapan bisa mengatrol ekonomi bangsa yang sedang sulit. Tanpa mengaca kepada karakter umum manusia Indonesia secara umum. Beruntung, kebijakan ini lalu dianulir setelah mendapat respon keras sejumlah kalangan. Keberpihakan kepada pemilik modal pastilah semakin memperlebar jurang kesenjangan sosial. Laporan Bank Dunia menyebut sebanyak 10% orang kaya Indonesia memiliki 77% seluruh kekayaan negara. Sementara berdasarkan laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TP2K, Oktober 2019) menunjukkan bahwa 1% orang di Indonesia bisa menguasai 50% aset nasional. Jika dinaikkan jadi 10% keluarga maka ini menguasai 70%. Artinya sisanya 90% penduduk memperebutkan 30% kekayaan yang tersisa. Dilema DPD RI Oligarki menjadi kian sempurna ketika lembaga legislatf sebagai pengawas pemerintahan menjadi bagian dari oligarki. Faktanya, partai-partai politik saat ini sebagian besar merupakan pendukung pemerintah. Kenyataan ini sangat menghawatirkan masa depan demokrasi. DPD RI sendiri, dalam posisinya yang lemah menjadi serba dilematis. Kita tahu, fungsi dan kewenangan DPD RI sangat terbatas. Jangankan menyuarakan aspirasi rakyat, untuk dapat menyuarakan kepentingan DPD sendiri, terkadang masih menemui kendala. Sejumlah kalangan bahkan menyebut lembaga ini sebagai anak tiri senayan. Padahal, dalam konteks perlawanan terhadap oligarki, DPD RI punya nilai lebih. Pertama, wakil-wakil rayat yang duduk di lembaga ini bukan representasi partai politik dan oleh karena itu, sepak terjangnya relatif aman dari kepentingan partai dan oligarki. Kedua, memiliki legitimasi yang sangat kuat karena anggotanya dipilih langsung oleh rakyat provinsi yang diwakilinya. Tetapi tentu, DPD RI bukan berarti tidak dapat berbuat apa-apa. Banyak yang telah dilakukan. Hanya, dalam konteks mengurai benang kusut oligarki, upaya yang dilakukan menemui kendala ketika belum apa-apa sudah dipandang sebelah mata. Untuk mengefektifkan dirinya, sebagian Anggota DPD bersuara melalui kanal-kanal publik, baik melalui webinar, melalui tulisan di media massa, menggalang civil society, dan lain-lain. Hal pertama dan paling utama dijaga tentulah terlebih dahulu menjauh dari pusaran oligarki. Pemerintahan harus dikritisi secara proprsional, agar tidak terlalu jauh keluar dari jalur yang semestinya. Terlebih, berbagai persoalan sosial politik akhir-akhir ini merebak sebagai rangkaian sistem politik yang memihak oligarki, seperti praktik korupsi, pelanggaran Hak Asasi manusia HAM, dan lain-lain. Sementara itu, masyarakat dibuat saling menegasi pada aneka persoalan yang menjauhkan pikiran mereka dari peromlematika bangsa sesungguhnya. Reformasi lambat laun disandera oligarki dan secara langsung mengamputasi demokrasi. Bila tidak ada komitmen kuat dari kita semua, oligarki akan semakin menguat dan mencengkeram sendi-sendiri demokrasi kita hingga lumpuh tak berdaya. Penulis adalah Senator DPD RI.

Jimly Asshiddiqy Salah Besar

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqy menyalahkan Gerakan Pemuda Islam (GPI) yang melaporkan Presiden ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Pernyataan Jumly tersebut dinilai salah besar. Hal ini disebabkan Presiden bukan orang yang bersih dan dianggap sama sekali tidak mungkin melakukan perbuatan pidana. Nah saat Presiden melakukan pelanggaran hukum, apakah penganiayaan, penipuan, korupsi, maka Presiden harus diproses secara pidana. Bukan tata negara atau administrasi negara. Andaikan presiden dinyatakan bersalah oleh pengadilan, barulah hasil atau vonis putusan pengadilan itu yang dibawa ke DPR, MK dan MPR untuk diproses lebih lanjut soal pemberhentian presiden. Jimly secara naif menyatakan, bahwa karena Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sehingga proses pelanggaran hukumnya harus dibawa ke DPR, MK, dan MPR. Mungkin saja Jimly lupa, bahwa kemana melaporkan itu tergantung pada pelanggarannya. Apakah itu pelanggaran perdata, pidana, tata negara atau tata usaha negara. Jika pelanggaran yang dilakukan Presiden itu perdata, maka dibawa ke Pengadilan Negeri. Namun kalau pelanggaran pidana, maka tentunya ke Kepolisian, dan dilanjutkan oleh Jaka Penuntut Umum (JPU) ke pengadilan. Jika pelanggaran tata negara, barulah ke DPR, MK, dan MPR. Jika Presiden melanggar administrasi, ya prosesnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Presiden dapat dilaporkan ke Kepolisian untuk memperoleh kepastian hukum dari duagaan adanya pelanggaran pidana. Jika Presiden telah terbukti secara hukum melakukan perbuatan pidana, barulah itu menjadi alasan untuk proses hukum ke tata negara. Disitulah DPR, MK, dan MPR mulai bekerja. UUD 1945 mengatur demikian, sebagaimana ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi : "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden". Nah proses menuju ke DPR, MK dan MPR ternyata dapat didahului oleh proses pelanggaran pidana. Kalimat "terbukti" harus telah ditetapkan oleh Pengadilan. Baik berupa perbuatan korupsi, penyuapan, dan tindakan pidana berat. Tentu saja itu melalui penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian atau Kejaksaan. Untuk korupsi dapat juga dilakukan pemeriksaan oleh KPK. Kerumunan yang terjadi di Maumere Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai bentuk pelanggaran terhadap UU Kekarantinaan Kesehatan, itu merujuk pada penahanan Habib Rizieq Shihab (HRS) di Bareskrim untuk dugaan tindak pidana yang sama. Karenanya aktivis GPI yang melaporkan dugaan tindak pidana Jokowi ke Bareskrim adalah sangat tepat. Menjadi salah dan ngawur jika melaporkan ke DPR, MK, atau MPR sebagaimana saran dari Jimly. Pak Jimly memang pakar Hukum Tata Negara, tetapi semestinya tahu akan proses hukum lainnya. Pernyataannya justru memerosotkan kredibilitas sebagai Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Indonesia. Gampangnya saja, misalnya seorang Presiden melakukan pembunuhan, maka apakah itu diproses dan diadili di DPR, MK atau MPR? Tentu tidak. DPR, MK, dan MPR "mengadili" menyangkut pemberhentiannya sebagai Presiden. Begitu Pasal 7A UUD 1945 mengatur. Jadi, Pak Jimly tidak perlu merasa sedih dan meratapi langkah aktivis GPI. Para aktivis GPI lah yang semestinya merasa sedih dengan cara pandang Prof Jimly yang menyedihkan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Korupsi Terjahat Sepanjang Sejarah, Malu dan Mundurlah

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN - Pertama kali dalam sejarah Indonesia ada korupsi uang bantuan sosial (bansos) di tengah rakyat sedang menderita bertubi-tubi akibat pandemi Covid-19. Ada juga bencana banjir dan longsor dimana-mana. Disaat yang sama, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus terjadi. Jumlah pengangguran bertambah, dan orang miskin juga bertambah. Sesungguhnya argumen itu sudah cukup untuk menyebut bahwa korupsi bansos tersebut adalah korupsi terjahat sepanjang sejarah Indonesia. Sebab, sejak Indonesia merdeka tahun 1945, tidak pernah terjadi korupsi terhadap dana bansos. Uang yang seharusnya diberikan untuk rakyat miskin. Bukan sebaliknya dikorupsi oleh pejabat negara yang diberkan kepercayaan untuk menyalurkan dana bansos. Uang untuk bantuan kepada rakyat miskin dikorupsi. Nilai korupsinya dahsyat sekali. Potensi angkanya bisa mencapai triliunan rupiah. Meski yang terciduk baru mencapai Rp. 17 miliar. Celakanya yang korupsi adalah Menteri Sosial (Mensos) yang berasal dari partai berkuasa. Pertai pendukung utama Presiden yang seharusnya menjadi contoh. Presiden mestinya malu bahwa ia telah gagal mengatur anak buahnya yang berasal dari rahim politik yang sama. "Jangan ada yang korupsi", narasi yang disampaikan Presiden saat pelantikan kabinet itu tidak ada artinya lagi. Hanya narasi kosong, titahnya tak lagi didengar anak buah. Pada saat rakyat menderita seperti sekarang ini ternyata korupsi pemerintah tidak hanya sekali. Sebelum korupsi bansos ada kasus korupsi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Bedanya, jika Menteri Sosial mengorupsi uang bantuan untuk rakyat miskin, sementara Menteri Kelautan dan Perikanan terkait kasus suap ekspor benih lobster. Tetapi keduanya sama-sama dilakukan disaat rakyat menderita. Menteri Keluatan dan Perikanan berasal dari Partai Gerindra yang sejak Oktober 2019 menjadi bagian dari kekuasaan. Bedanya kalau Mensos dari partainya Presiden, sementara Menteri Kelautan dan Perikanan dari partainya Menteri Pertahanan (Menhan) saat ini Prabowo Subianto. Menhan juga mestinya punya rasa malu. Bahwa Menhan telah gagal mengatur anak buahnya yang berasal dari rahim politik yang sama. Apalagi Menhan sendiri yang membina dan membesarkanya. "Dia itu saya angkat dari selokan", kata Menhan waktu itu. Korupsi terus terjadi bertubi-tubi ditengah rakyat menderita. Beberapa hari lalu ada kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) karena tersangkut kasus suap. Gubernur Sulawesi Selatan Prof. Nurdin Abdullah. Disusul kemudian berita korupsi datang kembali disuguhkan ditengah-tengah rakyat menderita. Kali ini peristiwa terjadi justru di kementrian yang dikenal berhasil menata birokrasi menjadi birokrasi paling modern di Indonesia. Karenanya pegawainya digajih paling besar diantara semua kementrian yang lain, yaitu di Kementrian Keuangan. Top markotop. Gajih paling besar tetapi masih saja korupsi. Pajabat Dirjen Pajak Kementerian Keuangan diberitakan melakukan korupsi terkait penurunan nilai pajak. Kampanye menteri keuangan Sri Mulyani tentang good governance, integritas dan profesionalitas tidak lagi ada gunanya. Mestinya Sri Mulyani malu. Sebagai menteri yang pegawainya digajih paling mahal, ia telah gagal memimpin pejabat di kementriannya. Malu dan Mundurlah Pantas saja kalau dalam rilis Corruption Perception Indeks (CPI) yang dikeluarkan Transparency International menilai, Indonesia masih sangat merah indeks persepsi korupsinya. Angkanya 37 dalam skala 0 sampai 100 (TII,2021). Angka yang sangat rendah yang menunjukkan parahnya korupsi di Indonesia selama pemerintahan ini. Pantas saja jika investor asing enggan, bahkan malas untuk berinvestasi di Indonesia. Sebab menurut riset World Economic Forum (WEF,2017) pebisnis global enggan investasi di suatu negara karena faktor merajalelanya korupsi. Faktanya Indonesia saat ini nilai investasinya memang terpuruk, sampai-sampai menyentuh angka minus 6 %. Republik ini memang sarang korupsi dan negara paling aneh. Hanya di Indonesia mantan koruptor boleh mencalonkan lagi menjadi calon pemimpin dan calon anggota DPR. Atas semua itu, sebagai rakyat biasa, saya sangat malu. Sebagai akademisi saya lebih malu lagi. Setiap kali mengajarkan kepada mahasiswa tentang pentingnya integritas elit politik dan integritas birokrasi dalam mengelola negara, pentingnya profesionalitas, dan pentingnya good governance, saya selalu kehilangan konteks. Sebab wajah elit politik dan birokrasi pemerintahan ini performanya terlalu bopeng dihadapan mahasiswa. Elit dan birokrasi kita terlalu sering mempertontonkan korupsi. Apalagi di tengah rakyat yang sedang menderita bertubi-tubi seperti sekarang ini. Pejabat seperti tidak lagi punya empati kepada penderitaan rakyat. Rakyat yang lagi menderita bukannya dibantu. Tetapi malah dirampok jatah anggarannya yang telah dialokasikan oleh negara melalui APBN. Dua hari lalu ada contoh menarik dari negeri Sakura. Juru bicara Perdana Menteri Jepang bernama Makiko Yamada mundur karena hadiri makan malam mewah yang diselenggarakan oleh pihak swasta dengan harga makan malam sekitar Rp. 9 juta. Peristiwa makan malamnya dilakukan tahun 2019 lalu, tetapi peristiwa tersebut terbongkar dalam satu bulan ini. Majalah mingguan Shukan Bunshun bulan lalu merilis laporan soal makan malam itu. Meski peristiwanya tahun 2019 lalu, tetapi itu aib besar bagi pejabat di Jepang. Makan malam yang bernuansa gratifikasi. Hukum Etika Pejabat negara atau aparatur sipil negara di Jepang melarang pegawai pemerintah menerima hadiah atau hiburan dari perusahaan atau individu yang terlihat menjilat. Tentu saja kita berdecak kagum dengan etika pejabat di Jepang seperti itu.Terlalu banyak contoh di negeri sakura itu pejabat mengundurkan diri karena malu secara etis. Menteri ekonomi Jepang Akira Amari, sempat menggegerkan publik Jepang pada tahun 2016 lalu. Da mengundurkan diri secara tiba-tiba. Ternyata semua itu dilakukan atas tuduhan korupsi kepadanya. Setelah ditelusuri lebih dalam, mantan menteri Akira Amari, ternyata tak seperti yang sudah dituduhkan. Bahkan justru para staffnyalah yang terbukti melakukan korupsi. Lantaran malu, sebagai seorang pemimpin yang tidak bisa mendidik anak buahnya. Selain itu dia merasa telah merusak kepercayaan pemerintah dan masyarakat Jepang terhadapnya. Akira mengundurkan diri. Itulah integritas. Bagaimana dengan Indonesia? Berkali-kali para menteri di Indonesia terjerat kasus korupsi. Bahkan korupsi terjahat sepanjang sejarah Indonesia telah terjadi saat ini. Korupsi bansos yang seharusnya untuk rakyat miskin. Namun tega untuk dikorupsi pejabat negara. Seperti yang saya narasikan di bagian atas tulisan ini, bahwa Menteri yang korupsi bansos itu berasal dari rahim partai politik yang sama dengan Presiden. Publik patut bertanya, adakah reflektif rasa malu pada Presiden?. Saat peristiwa OTT korupsi tersebut diberitakan, tak terlihat raut wajah malu ataupun penyesalan sedikitpun. Permintaan maaf juga tidak keluar dari mulut Presiden. Padahal secara moral hukum, dan dalam perspektif good governance, korupsi seorang menteri sesungguhnya juga bukti kegagalan Presiden. Apalagi misalnya pernah disebut-sebut bahwa Anak Presiden juga kecipratan proyeknya. Demikian juga berlaku pada Menteri Keuangan Sri Mulyani. Agenda good governance telah menemui pintu utama kegagalan. Apalagi yang korupsi adalah pejabat pada Dirjen Pajak di Kementrian Keuangan, yang berada di bawah manajemen langsung dirinya, anak buahnya langsung. Sri Mulyani tentu tidak secara langsung bersalah, tetapi secara moral etik ia bertanggungjawab atas peristiwa itu. Secara sederhana Menteri Keuangan adalah bendahara penerimaan, sekaligus pengeluaran keuangan negara. Jika penerimaan dan pengeluaran bermasalah, korupsi terjadi dimana-mana, bahkan para Menteri pada korupsi, semua kementrian terlihat tidak lagi bekerja fokus. Kalau para menteri terlihat lebih bekerja untuk bancakan APBN demi kepentingan 2024, bagaimana mungkin good governance bisa berjalan dengan baik? Lalu untuk apa Sri Mulyani bertahan terus menjadi Menteri keuangan? Sesungguhnya mundur dari Menteri Keuangan adalah bukti integritas seorang Sri Mulyani. Lebih terhormat dan mengagumkan. Kapan itu terjadi? Sri Mulyani nampaknya patut untuk belajar S3 lagi. Hanya cukup dengan satu dosen yaitu Akira Amari. Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Mencabut Lampiran, Itu Hanya Tipu Untuk Menunda

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Meski lumayan dengan "dekrit" politik mencabut lampiran III dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal (BUPM )yang dimaknai melegalisasi minuman keras. Tetapi dekrit ini belum menuntaskan permasalahan yang sebenanrnya. Masih menyimpan potensi kekisruhan atau pekerjaan rumah ke depan. Pencabutan yang dilakukan Presiden Jokowi pun hanya pernyataan lisan. Tanpa menandatangani dokumen hukum yang absah. Kalau hanya dengan omongan, ya setiap saat bisa saja berubah dengan. Yang tertulis saja bisa berubah-ubah sesuai selera dan bisiskan. Apalagi yang hanya omongan. Presiden menyatakan pencabutan lampiran Perpres tersebut berdasarkan masukan dan pandangan masyarakat, khususnya ormas Islam antara lain Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan, tokoh, serta aspirasi daerah lainnya. Kalau diikuti dengan saksama, maka sebenarnya yang terjadi bukan sekedar masukan semata. Tetapi tekanan yang keras dan kencang kalangan umat beragama, khususnya umat Islam. Bahkan ancaman yang dapat menggoyahkan pemerintah. Reaksi pemerintah terkesan hanya tarik ulur tanpa kesungguhan untuk revisi atau pembatalan terhadap Perpres. Meski kalah, tetapi lebih tepat mengalah untuk menyiapkan pola langkah yang baru. Disebut hanya menunda. Bagaimana bisa? Skeptisme ini didasarkan atas pertanyaan, mengapa hanya mencabut lampiran? Mengapa bukan Perpres Nomor 10 Tahun 2021 itu sendiri atau sekurangnya mencabut Pasal 6 ayat (1) yang berkaitan dengan klausula Lampiran III? Dengan hanya mencabut Lampiran, berarti semua Pasal dari Perpres tersebut masih tetap berlaku, termasuk Pasal 6 ayat (1) yang pada pokoknya menyatakan bahwa bidang usaha dengan persyaratan tertentu dapat diusahakan oleh semua penanam modal termasuk Koperasi dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Bidang usaha tersebut sesuai dengan rincian Lampiran III yang kontennya adalah usaha industri miras. Dengan tetap berlaku Pasal 6 ayat (1) dan pencabutan Lampiran III, maka kapan saja Lampiran III dapat muncul kembali. Bahkan bisa saja dengan rumusan yang lebih ganas. Oleh karena itu pernyataan pencabutan yang hanya bahasa lain untuk menunda keberlakuan Lampiran III atau klausula baru bagi investasi usaha miras. Maish menunggu situasi yang lebih kondusif. Ada bahaya lain dengan pencabutan Lampiran III yang secara limitatif membuat batasan usaha minuman beralkohol, yaitu menjadikan Pasal 6 ayat (1) menjadi memiliki interpretasi yang luas dan bebas. Sehingga usaha dengan persyaratan tertentu tergantung apa yang dimaknai Presiden. Ketika rincian khusus hapus, berlaku aturan dan pemahaman umum. Oleh karena itu pencabutan secara lisan hanya bernilai politis yang tidak berakibat hukum. Kemudian pencabutan lampiran hanya tipu-tipu untuk menunda saja. Yang paling berbahaya adalah cara membuat aturan hukum secara ugal-ugalan, baik dalam memberlakukan maupun mencabut. Sejak menetapkan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dikenal dengan Omnibus Law serta aturan turunannya termasuk Kepres Nomor 10 Tahun 2021 tentang BUPM, Pemerintah Jokowi menempatkan dan membuat aturan hukum tanpa landasan yuridis, filosofis, dan sosiologis yang baik. Terkesan seenaknya dan tidak bermutu. Dekrit pencabutan Lampiran adalah tontonan politik dari premanisme hukum oleh seorang Presiden. Tipu-tipu saja. Power tends to corrupt. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kemana Ya Pak Kiyai Ma'ruf Amin?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Kritik merata soal Perpres Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Bidang Usaha Penanaman Modal (BUPM) sebagai pengejawantahan UU Omnibus Law belum mendapat respons dari Pemerintah. Presiden, Wakil Presiden, dan semua Menteri semua bungkam. Ketua Komisi VI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) malah mendukung dengan alasan kearifan lokal. Mabuk itu nyata-nyata sebagai ketidakarifan nasional. Bukan kearifan lokal. Minuman keras yang menyebabkan mabuk jelas merusak segalanya. Ada sedikit manfaat, tetapi mudharat jauh lebih besar. Semestinya Pemerintah harus berperan menjadi penjaga moral bangsa. Mabuk, judi, prostitusi adalah deviant behavior. Mesti dicegah dan tak boleh dibiarkan dengan alasan apapun. Ketika Presiden bukan orang yang dipandang merepresentasi keagamaan, maka Wakil Presiden adalah orangnya. KH Ma'ruf Amin itu disamping sebagai Wapres, juga mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat. Kiyai ini awalnya menjadi harapan penjaga moral keagamaan pada tataran kebijakan Pemerintah. Sikap dan pengetahuan keulamaannya kini ditunggu umat Islam. Sebab hingga kini nampaknya legalisasi minuman keras di empat Provinsi, yaitu Papua, Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Utara (Sulit) terlihat mulus-mulus saja. Tidak ada tanda-tanda Pak Wapres yang Kiyai ini melakukan upaya pencegahan. Bicara pun tidak. Ruang amar ma'ruf nahi munkar tidak diisinya. Khawatir dengan apa yang disabdakan Nabi menjadi tidak terhindarkan, yaitu mereka yang diam saja melihat kemungkaran adalah setan bisu. Disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shohih Muslim bahwa "Orang yang berdiam diri dari kebenaran, maka ia adalah Syaithon Akhros (Setan bisu) dan orang yang menyampaikan kebathilan adalah Syaithon Naathiq (Setan berbicara)". Orang yang mengetahui mana yang benar dan mana salah harus menyampaikannya. Tak boleh berdiam diri. Faktor yang membuat takut, apakah itu tekanan kekuasaan, jabatan yang terancam, usaha tersendat, bahkan penjara haruslah diabaikan. Keberanian atas dasar keyakinan akan adanya pertolongan dan kemudahan dari Allah SWT haruslah didahulukan. Nah kini saatnya Pak Kiyai Wapres untuk bersikap. Jangan terus sembunyi di dinding ketidakmampuan. Eksislah Pak Kiyai. Buktikan bahwa Wapres Indonesia adalah ulama. Jangan keberadaan dan ketiadaan itu sama saja "wujuduhu ka'adamihi". Miras itu berbahaya dan haram. Membiarkannya sama saja dengan membunuh generasi muda bangsa. Pak Kiyai harus mencegah dan menasehati Pak Jokowi, agar dalam mengelola negara ini jangan hanya berfikir materialistis. Yang diprogramkan hanya duit dan duit saja. Investasi lah, infrastruktur lah yang semuanya diukur oleh duit itu. Sadarkah bahwa jika orientasi keseharian hanya urusan duit dan duit justru akan disempitkan oleh Allah Subhaanahu Wata’ala. Faktanya ambruk perekonomian dan hutang pun semakin bertumpuk dan menggunung. Ketika korupsi di sekitar istana marak, pa Kiyai diam. Ketika aktivis dan ulama dipenjara , Pak Kiyai tidak hadir membela. Saat pejuang Islam terbunuh tanpa alasan, Pak Kiyai bungkam. Dan kini urusan miras yang sangat jelas dalil larangannya, Kiyai juga sunyi senyap. Lalu apa guna status dan jabatan yang disandang? Untuk bidangnya saja tak berdaya. Pak Kiyai Ma'ruf Amin adalah bagian dari kekuasaan. Kekuasaan walau sejumput, tetapi ada di tangannya. Jika kekuasaan tidak digunakan dengan baik, maka dapat mencelakakan dirinya sendiri. Orang bijak dan berilmu jika sudah merasa tidak mampu, akan menarik diri. Mundur lebih baik dan terhormat daripada mengkhianati amanat. Pak Kiyai pasti tau dan ingat pepatah "man laa 'aba al tsu'baani fie kafihi, haihaata an yaslama min las'atihi". Artinya, barangsiapa memainkan ular di tangannya, tidak mungkin baginya untuk selamat dari gigitannya. Pak Kiyai mungkin kini sedang digigit ular. Bisanya mungkin sudah masuk merusak jiwa dan fikiran. Semoga saja iman masih bertahan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pilpres 2024, Antara Yang Muda dan Yang Tua

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Meski pilpres 2024 masih lama, sekitar tiga tahun lagi. Tetapi gaungnya sudah terasa. Bahkan terasa sejak 2019 lalu. Padahal pilpres 2019 baru juga selesai, dan presiden-wapres belum dilantik. Apa penyebabnya? Pertama, karena selisih suara dua paslon tidak terlalu besar. Artinya, kelompok yang tidak puas atas kekalahan itu cukup besar, sehingga ingin segera ada pemilu secepatnya. Padahal, pemilu masih lama. Ini risiko jika pemilu hanya diikuti dua paslon. Kedua, komunikasi kedua belah pihak yang bermasalah setelah pilpres 2019 berlalu. Meskipun Prabowo dan Sandi, paslon yang kalah di pilpres 2019 sudah merapat (dirapatkan) ke istana. Namun tidak serta merta dengan para pendukungnya. Para pendudukung masih tetap saja oposisi kepada pemerintah yang menjadi pemenang pilpres. Ketiga, aksi para buzzer dari kedua belah yang pihak ikut memelihara dan memanaskan eskalasi ketegangan dan kegaduhan di media publik. Bagaimana prediksi pilpres 2024? Nampaknya, Prabowo masih digadang-gadang oleh Gerindra untuk calon lagi. Sekali calon wapres, dua kali capres. Jika 2024 capres lagi, berarti genap tiga kali menjadi capres. Pencalonan Prabowo hanya logis jika dilihat sebagai upaya untuk menjaga suara partai Gerindra. Sebab pemilih Prabowo besar kemungkinan akan banyak yang memilih Gerindra. Lalu, bagaimana nanti peluang Prabowo sendiri di pilpres 2024? Mari kita lihat analisis elektabilitas secara teoritis. Ada tiga karakter elektabilitas berdasarkan potensinya. Pertama, ektabilitas progresif. Kedua, elektabilitas stagnan. Ketiga, elektabilitas regresi. Berdasarkan hasil survei beberapa lembaga, elektabilitas Prabowo saat ini tertinggi. Mencapai belasan persen. Sebagai catatan "saat ini" Prabowo masih tinggi. Karena di kepala publik Prabowo adalah bakal capres. Sebab, sudah dua kali nyapres. Gerindra sendiri memberi sinyal Prabowo akan nyapres lagi. Sementara tokoh lain, belum masuk arena pencapresan ini. Sehingga, kemunculan tokoh-tokoh lain masih dalam bentuk harapan publik. Berbeda jika 2022-2023, maka akan muncul tokoh-tokoh lain yang terbaca indikatornya akan nyapres. Pada saat itulah akan mulai terlihat dinamika elektabilitas itu. Tokoh tua, cenderung stagnan elektabilitasnya. Sebab, relatif tidak ada yang baru untuk dijual. Semua bahan lama, dan sudah sering dibeli oleh publik. Ada yang bertahan, tetapi tak sedikit yang sudah bosan. Apalagi jika ada faktor yang membuat publik kecewa, maka akan banyak yang meninggalkannya. Berbeda dengan pendatang baru. Pendatang baru cenderung progresif elektabilitasnya. Terutama jika menjadi rising star. Punya track record yang diapresiasi publik, dan tidak hanya berbasis pemilih psikologis dan sosiologis, tapi juga pemilih rasional. Karena pemilih rasional, meski tidak sebanyak jumlahnya dengan pemilih psikologis dan sosiologis, tetapi mampu mempengaruhi opini publik. Berbeda ceritanya jika tokoh muda dan pendatang baru itu senang memainkan hasil survei. Nah, pendatang baru yang suka memainkan survei ini masuk dalam kategori elektabilitas regresif. Tahu-tahu suah jeblok saja. Ada dua cara memainkan hasil survei. Pertama, rekayasa prosesnya. Main di sampling. Melakukan pengkondisian terhadap responden. Kira-kira, di wilayah mana yang besar pendukungnya, di situlah mereka akan ambil samplenya. Kedua, merekayasa hasil. Survei nggak ada, namun hasilnya muncul. Nah, sejumlah lembaga survei ada yang melakukan rekayasa semacam ini. Rekayasa responden dan rekayasa hasil. Tokoh yang suka main-main dengan survei biasanya keok ketika ikut kompetisi. Mereka tidak hanya membohongi publik, tetapi juga membohongi diri sendiri dan timsesnya. Kesimpulannya, tokoh-tokoh lama seperti Prabowo, juga Mega dan Jusuf Kalla (JK) jika masih penasaran untuk ikut dalam kompetisi di pilpres 2024, cenderung stagnan elektabilitasnya. Ada batas tertinggi elektabilitasnya, dan sulit untuk didorong naik. Bahan lama dan konsumen cenderung bosan. Ingin dan penasaran kepada yang baru. Sementara tokoh baru seperti Anies menduduki elektabilitas tertinggi. Baru disusul Sandiaga Uno, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Agus Harmukti Yudhoyono, Risma, dan seterusnya. Tokoh-tokoh muda ini masuk kategori progresif elektabilitasnya. Tokoh-tokoh baru berpotensi untuk didorong naik dan bersaing. Kecuali yang suka memanipulasi hasil survei. Siapa saja mereka? Nanti juga akan ketahuan menjelang atau saat pilpres. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.