NASIONAL
Presiden Renggut Kebahagiaan Rakyat Dengan Teror
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sedih dan miris melihat beberapa foto dan video beredar di media sosial (medsos) yang yang berkaitan dengan pergerakan muduk lebaran. Foto dan video yang menggambarkan betapa ketat aparat keamanan menjaga batas pintu masuk Kabupaten-Kota di Pulau Jawa. Aparat melakukan segala cara untuk menghalangi masyarakat pulang kampung. Salah tersebut satu video menayangkan konon di perbatasan Bogor-Bekasi penjagaan sampai dengan mengerahkan kendaraan militer. Media melansir berita bahwa "Satuan Tempur TNI Dikerahkan untuk penyekatan Pemudik di Jawa Tengah". Ada tiga hal yang memprihatinkan rakyat, bangsa, dan negara dengan fenomena ini. Pertama, keterlibatan militer untuk penyekatan "menghadapi" rakyat pemudik adalah berlebihan. Institusi yang kompeten cukup Kepolisian saja. Sama berlebihannya dengan pasukan Kodam Jaya menurunkan Baliho Habib Rizieq Shihab (HRS) yang menjadi tugas dan kewenangan Satpol PP. Kedua, efek psikologis menurunkan "Satuan Tempur TNI" adalah teror psikologis kepada rakyat yang sudah direnggut kebahagiannya. Larangan mudik itu jelas-jeles mengecewakan dan menyedihkan rakyat. Terkesan betapa bahayanya rakyat di depan aparat keamanan, sehingga perlu diteror dengan pasukan dan peralatan tempur. Rakyat yang mudik itu bukan teroris. Ketiga, rakyat pulang kampung atau mudik bukan berarti memiliki uang berlimpah. Mereka sekedar ingin bertemu dengan sanak keluarga, orang tua dan kerabat. Dengan pengerahan pasukan dan aparat maksimal, maka penyekatan dapat dikesankan menjadi "proyek lebaran" bagi petugas. Pasukan TNI yang dikerahkan mencitrakan selama ini bahwa pasukan itu memang "menganggur". Bahwa kondisi pandemi semua sudah tahu, rambu-rambu sudah dibuat yang disebut prokes. Kebijakan ketat mudik tak sebanding dengan longgarnya pariwisata. Mall tetap dibuka, pariwisata masih saja digalakkan. Tragisnya, pulang pergi penerbangan ke negeri Cina dibuka lebar. Ketidak-adilan terus menampar wajah kekecewaan dan kepedihan rakyat Indonesia. Jika ingin ketat urusan pergerakan masyarakat antar daerah, sejak dulu telah disarankan berlakukan saja sekaligus kebijakan "lockdown" tetapi pemerintah memang "bokek dan dungu", sehingga tak mampu membiayai rakyat. Akhirnya kebijakan inkonsisten terpaksa diambil. Kebijakan plintat-plintut. Pejabat, pengusaha, atau orang kaya mampu berputar-putar menikmati wisata belanja dimana-mana. Sementara rakyat yang hidup pas-pasan atau bernafas kembang kempis, untuk dapat bertemu bapa dan ibunya saja tidak bisa. Kebahagiaan yang terenggut di negeri banjir air mata. Resah Soal TKA Cina Berita media gelora.co, konten Islam.com, Swamedium Dotcom dan lainnya tentang (diduga) James Riyadi, konglomerat taipan yang menyatakan etnis Cina akan mengeleminasi pribumi dalam 10 tahun ke depan, cukup menggemparkan. Dinyatakan tahun 2014 telah masuk 10 Juta Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Cina ke Indonesia. Jumlah ini sudah melebihi kuota. Lalu tahun 2021 kini TKA Cina sudah berjumlah 17 Juta. Mendapat proteksi dari para naga yang menjadi penyandang dana. Disebutkan sejak 2019, hingga kini telah 1238 penerbangan ke berbagai bandara untuk mengangkut TKA Cina. Ditambah 933 kapal berlabuh membawa emigran Cina ke Indonesia. Berita ini memang masih perlu uji kesahihan. Apakah benar yang diungkap oleh James Riyadi atau kebenaran fakta-fakta yang dimunculkan? Baik itu soal penerbangan, kapal laut, maupun jumlah TKA Cina yang kini telah berjumlah 17 Juta orang. Meskipun demikian informasi ini tidak dapat begitu saja diabaikan. Tidak bisa untuk dianggap angin lalu atau informasi hoax. Informasi tersebut perlu direspons Pemerintah maupun masyarakat. Terutama besarnya gelombang kedatangan emigran yang berdalih TKA Cina. Jika informasi ini benar, tentu sangat berbahaya. Telah terjadi Infiltrasi, sehingga invasi bisa saja terjadi setiap saat. Aneksasi hingga eliminasi bukan hal yang mustahil. Bisa terjadi setiap saat bila penguasa Cina sudah menganggap perlu. Rakyat cukup lama resah dan gelisah dengan masifnya TKA Cina masuk dan bekerja di Indonesia. Mereka kebanyakan bukan berprofesi dengan keahlian spesifik. Bekerja dengan kemampuan yang sama dan dapat dilakukan oleh tenaga kerja kita sendiri. Meski nyatanya digaji TKA Cina berbeda. Gaji TKA Cina jauh lebih tinggi dari pererja Indonesia. Pembukaan penerbangan Jakarta-Wuhan di tengah masyarakat sendiri yang dilarang ketat untuk dapat mudik di bulan Ramadhan, sangat ironi dan mengkhawatirkan. Diperkirakan ada beberapa hal penting untuk diperhatikan atau bahkan dilakukan. Pertama, instansi pemerintah, baik itu Pusat maupun Daerah harus memiliki data valid mengenai jumlah TKA Cina yang ada di negara Indonesia. Pendataan ini perlu berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik. Masyarakat secara terbuka harusnya dapat menerima informasi yang akurat tentang keberadaan TKA Cina dari instansi Pemerintah tersebut. Kedua, masyarakat perlu membentuk semacam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang khusus mengawasi TKA Cina. Pengawasan yang khusus untuk mengawasi keberadaan TKA Cina di berbagai daerah. Bisa namanya “Emigran Care” atau “TKA Cina Watch” dan sejenisnya. Perlu untuk dibentuk. Ketiga, mengingat WNA Cina adalah bagian dari komunisme Cina, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat dari institusi negara. Lembaga intelijen seperti Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Intelijen Daerah (BINDA) perlu meningkatkan pengawasan dan pendataan dari aspek ideologis. Demikian juga dengan instansi Kepolisian. Intelkam dituntut untuk lebih cermat "memantau". Berita di berbagai media yang hingga kini belum terklarifikasi bila tidak diantisipasi, maka dapat saja membahayakan keamanan negara. Kedatangan TKA Cina gelombang demi gelombang mencolok mata di depan publik. Belum lagi keeratan beberapa partai politik di Indonesia dengan Partai Komunis Cina jelas-jelas lebih mengkhawatirkan lagi. Waspada investasi yang dapat berubah menjadi infiltrasi, aneksasi, dan eliminasi. Rakyat resah dan gelisah dengan keberadaan TKA Cina. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Dua Tokoh Oposisi Bertemu di Malam Penuh Ampunan
by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN - Bertemunya dua tokoh nasional adalah hal yang lumrah. Tetapi bertemunya seorang Rizal Ramli dengan Gatot Nurmantyo, yang dicap penguasa sebagai tokoh oposisi selama ini dianggap banyak kalangan aktivis sebagai suatu keniscayaan. Dan malam ini, menyambut malam penuh ampunan, Ramadhan hari ke-25 memberikan anugerah bagi yang sangat luar biasa. Kebesaran Allaah Subhanahu Wata’ala itu benar-benar datang pada Jum’at kemarin. Suatu peristiwa yang sudah lama ditunggu-tunggu dan diharapkan banyak kalangan yang ingin menyelamatkan negeri ini dari keterpurukan yang lebih dahsyat dan mengerikan. Maka ketika Rizal Ramli dan Gatot Nurmantyo shalat bersama di mesjid yang sama, ini menjadi hal yang sangat langka sekaligus penuh barokah. Peristiwa yang kemungkinan tidak dikehendaki oleh penguasa. Sebab penguasa sepertinya berharap kedua tokoh oposisi yang paling disegani oleh jangan sampai duduk makan satu meja. Apalagi sholat berjamaah. Pertemuan kedua tokoh ini di suatu masjid pun menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Kata “masjid” yang berakar dari bahasa Arab, yang berarti tunduk, patuh dan ta'at dengan penuh ta'ẓim dan hormat. Dalam bahasa populernya, masjid menjadi tempat ibadah, dimana manusia menundukkan hati dan raganya ke hadapan Sang Pencipta Allaah Subhanahu Wata’ala. Dalam konteks ketaatannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allaah Azza wa Jalla, para tokoh itu bertemu untuk memikirkan nasib bangsa. Subhanallah ya robbi. Saya melihatnya pertemuan ini menandakan telah terbentuknya frekuensi yang sama dalam melihat situasi bangsa saat ini. Bagaimana tidak. Berbagai persoalan yang muncul semakin menumpuk tanpa sebagai tanda-tanda akan berakhir. Pada setiap rezim, selalu ada saja cara untuk mengelola, atau dalam bahasa yang lebih keras merepresi warga negara atau sekelompok masyarakat yang dianggap kritis oleh penguasa. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah kebijakan represif penguasa, yang bukan saja membungkam dan menyebarkan rasa takut yang mendalam pada masyarakat. Lebih fundamental dari itu, yaitu hancurnya nilai-nilai yang berlaku umum di dalam kehidupan manusia. Yang terjadi saat ini misalnya, munculnya sikap yang apologetik terhadap bentuk-bentuk kekerasan. Begitu juga dengan kriminalisasi terhadap orang-orang yang dianggap kritis dan berseberangan dengan kekuasaan. Sikap yang apologetik terhadap upaya penyingkiran orang-orang yang punya integritas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kita bisa melihat bagaimana sebagian orang yang seharusnya berperan sebagai cendekia, tetapi karena pro penguasa membiarkan revisi UU KPK dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja diloloskan. Padahal nyatanya mayoritas rakyat Indonesia menolaknya. Hanya karena mereka melihat bahwa yang menentang RUU itu adalah orang kritis yang berseberangan dengan penguasa. Hak setiap warga warga negara untuk terlibat aktif pada penyusunan suatu RUU. Tetapi stigmasisasi oposisi digunakan untuk memberi label "melawan pemerintah" kepada orang-orang atau kelompok yang mengkritisi RUU kebijakan pemerintah. Semestinya hak warga negara itu tidak ada urusannya dengan menjadi oposisi atau pro penguasa. Sebab pemerintah hanya perpanjangan tangan dari kepentingan oligarki licik, picik, tamak dan culas. Tidak lebih. Juga ketika karangan bunga dipertontonkan untuk merayakan terbunuhnya enam anggota laskar Front Pembela islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek. Dalam bahasa Rocky Gerung, bunga ini merayakan kehancuran Indonesia. Ini merupakan apologetik atas perbuatan yang melanggar hak Asasi Manusia (HAM), yang semestinya menjadi nilai universal yang dipegang teguh oleh siapapun dia. Terbaru adalah banyak kalangan yang diam ketika KPK sedang dijinakkan melalui upaya menyingkirkan orang-orang yang selama ini dikenal publik memiliki integritas yang tidak diragukan lagi. DPR sebagai lembaga yang menjadi andalan rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan, justru makin jauh dari harapan rakyat. DPR menunjukkan sikap apologetik atas upaya pelemahan pemberantasan korupsi. Banyaknya elit atau kader parpol yang diduga terlibat dalam kasus korupsi belakangan ini membuat Parpol DPR terkesan ambigu. Tak berdaya atau diam saja ketika ada upaya-upaya membersihkan KPK dari orang-orang yang berintegritas. Harapan mereka yang terlibat kasus korupsi tentunya agar kasus-kasus yg sedang ditangani KPK tidak kan menyentuh para elit. Peran kontrol terhadap kekuasaan (eksekutif) kini justru diambil oleh seorang LaNyalla Mahmud Mataliti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang hadir juga dalam pertemuan dengan Gatot Numantyo dan Rizal Ramli. LaNyalla ikut urun rembuk dengan para tokoh di luar kekuasaan untuk bersama-sama melihat semua persoalan dalam perspektif yang sama. Masalah-masalah yang hingga saat ini mendera bangsa dan negara, dan belum juga diselesaikan saling berkaitan. Misalnya upaya pelemahan KPK, jelas sangat berkaitan dengan penggunaan anggaran yang tidak efisien dan efektif. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Juga soal kesejahteraan dan kesenjangan sosial masyarakat yang semakin menurun dari hari ke hari. Dinamika perubahan sosial selalu menuntut tiga tahapan, yaitu kognisi, afeksi dan empati. Tiga tahapan adalah pola dari masyarakat dalam membangun kekuatan, yang potensial atas kehirauan pada masalah-masalah kenegaraan yang lebih mendasar. Ini pola yang sangat alamiah, dan kerap berulang di tengah-tengah menghadapi kesulitan masyarakat. Diperlukan suatu pemahaman yang sama (kognisi) atas akar masalah yang sesungguhnya. Kognisi ditandai dengan bertubi-tubinya pelbagai kejadian yang erat hubungannya dengan pengabaian pemenuhan hak dasar warga negara dalam hal ini rasa keadilan. Soal keadilan ini suatu fenomena yang sudah sangat dikenali oleh masyarakat luas. Pertemuan dua tokoh oposisi ini, ke depannya menuntut keterlibatan masyarakat lebih luas terhadap masalah besar bangsa saat ini. Bagaimana saling menunjukkan perasaan yang muncul di masyarakat (afeksi). Sebab afeksi memicu ingin turut andil atau melibatkan diri keluar dari masalah yang dihadapi. Diperlukan suatu “rumah bersama” untuk saling urun rembug membicarakan berbagi empati, bahwa rakyat merasakan senasib dan sepenanggungan. Jalinan empati masyarakat akan semakin solid dan dapat menumbuhkan kolaborasi dalam jejaring sosial yang menuntut perubahan mendasar karena diikat oleh "sense of belonging". Faktanya hari ini tahap afeksi ini sudah sampai pada tahap empati yang kini terus berjalan. Salah satu contohnya, urunan pengumpulan uang untuk membeli kapal selam. Jangan dilihat nominalnya, tetapi itu sebagai tanda bahwa rasa empati di lapisan masyarakat tak akan surut. Begini pola masyarakat dalam membangun kekuatan. Pola ini memungkinkan potensial atas kehirauan kepada masalah-masalah kenegaraan yang lebih mendasar. Melalui proses inilah, solusi untuk menyelamatkan Indonesia dapat disusun secara komprehensif. Karena itu, perlu keterlibatan berbagai kalangan, yang dalam tulisan bang Tamsil Linrung dikatakan sebagai "Mendorong Rekonsiliasi". Para tokoh nasional, akademisi, purnawirawan, profesional, mahasiswa, emak-emak, buruh, petani harus terlibat dalam satu gagasan besar menyelamatkan Indonesia. Pemimpin sejati tidak akan diam menonton penderitaan yang mendera rakyatnya. Dia harus menjadi inspirasi bagi suatu gagasan besar demi memperbaiki bangsanya, negerinya, dan peradaban manusia. Menyambut malam penuh ampunan ini, mereka telah menghidupkan mesin perubahan itu. Mesin yang menanti digerakkan orang-orang muda. Penulis adalah Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
WNI Dilarang Mudik, WNA Malah Diizinkan Masuk
by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Pernyataan Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Said Didu perihal masuknya warga negara (WN) China ke tanah air di saat pelarangan mudik lebaran sedang diterapkan terus menjadi pergunjingan di masyarakat. Said Didu mengingatkan bahwa kasus ini tidak boleh dianggap sepele. Apalagi, berdasarkan catatannya, Palestina sebagai sebuah negara yang telah mengalami kehancuran setelah terjadi gelombang kedatangan tenaga kerja asing (TKA). “Negara Palestina saat ini ‘hilang’ berawal dari masuknya tenaga kerja asing secara masif. Saya ulangi ‘masuknya TKA secara masif’,” tegas Said Didu lewat akun Twitter pribadinya, Jumat (7/5/2021). Tidak hanya itu, Said Didu juga mengingatkan pemerintah bahwa peristiwa masuknya WN China, yang berulang bahkan tetap terjadi di saat rakyat dilarang untuk mudik ke kampung halaman, akan membuat rakyat paham bahwa ada kuasa besar di balik hal tersebut. Pasalnya, seperti dilansir RMOL.id, Jumat (07 Mei 2021, 14:25 WIB), hanya mereka yang sangat kuat yang bisa mengkoordinasikan sejumlah kementerian dan lembaga untuk kompak meloloskan TKA China ke dalam negeri. “Jika Kemenlu (Kedubes), Kemenkumham (Imigrasi), Kemenhub (izin penerbangan), Polisi (pengamanan) kompak ‘membantu’ masuknya TKA China di tengah melarang rakyat mudik, maka publik paham bahwa hanya yang sangat berkuasa (saja) yang bisa memerintah banyak instansi secara bersamaan,” tutupnya. Dalih adanya peningkatan kasus Covid-19 ketika Lebaran 2020, Natalan 2020, dan Perayaan Tahun Baru 2021 selalu menjadi alasan pelarangan Mudik Lebaran 2021. Apalagi, ditambah dengan tayangan “honor India” yang ternyata Hoax. Per 26 April, India mencatat 352.991 kasus Covid-19 baru, hari kelima dari rekor tertinggi, dan 2.812 kematian baru, angka kematian harian tertinggi sejauh ini. Menurut Tempo, India mengalami kekurangan tempat tidur dan oksigen untuk pasien Covid-19 ketika kasus infeksi di sana semakin melonjak. Ibukota India, New Delhi, mencatat 25.500 kasus Covid-19 baru dalam periode 24 jam. Namun, kurang dari 100 tempat tidur untuk perawatan kritis tersedia di kota itu. Sementara jumlah kasus di seluruh India pada hari itu mencapai sekitar 233 ribu. Pada 1 Mei, India mencatatkan rekor tertinggi jumlah dalam satu hari, yakni 401.993 kasus. Krematorium di seluruh India dipenuhi dengan mayat. Pasien terengah-engah dan sekarat, karena rumah sakit kehabisan oksigen. India telah melaporkan lebih dari 300 ribu kasus baru setiap harinya selama 9 hari berturut-turut sejak 21 April sebelum mencapai angka 400 ribu. Namun, berdasarkan pemeriksaan cek fakta Tempo, klaim bahwa video di atas bukan video kremasi jenazah Covid-19 di, tapi kremasi korban kebocoran gas, keliru. Video dan foto kremasi massal yang konon korban Covid-19 di India, yang banyak dibagikan beberapa hari yang lalu oleh netizen, termasuk juga media kelas kakap, seperti Tempo, Metro dan Kompas ternyata Hoax. Itu adalah video dan foto korban kebocoran gas Tahun Lalu, dan kremasi massal pada 2012. Kejadiannya betul di India. Jadi semua mau “dicovidkan”? Ingat, segala yang bombastis dan merangsang orang untuk cepat-cepat menyebarluaskan nya umumnya adalah Hoax. Sayangnya, narasi “honor India” itu selalu didengungkan oleh pejabat sebagai “peringatan” agar jangan sampai terjadi di Indonesia akibat dari aktivitas kerumunan peringatan hari-hari keagamaan, seperti Lebaran dan Natal 2020, serta Tahun Baru 2021. Sehingga larangan Mudik Lebaran 2021 pun diumumkan Pemerintah. Penyekatan dilakukan oleh Satgas Covid-19 dibantu aparat Polisi dan TNI. Bersenjata lengkap seperti akan terjadi perang. Sementara karpet merah digelar untuk TKA China masuk Indonesia. Konon, Penerbangan rute Wuhan-Jakarta itu sudah mendapatkan Flight Approval (FA) dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara untuk melayani penerbangan charter dengan tujuan pengangkutan WNA asal China untuk kepentingan pekerjaan/perusahaan. Kebijakan Pemerintah yang dirasakan “tidak adil” itu dikritisi Anggota DPR RI dari Fraksi PAN, Athari Gauthi Ardi. Ia berekasi keras terhadap masuknya warga asing yang dikabarkan dari Wuhan ke Jakarta. Menurutnya, kebijakan pemerintah yang melarang mudik dan di satu sisi membiarkan warga asing masuk terasa sangat aneh. Pemerintah harus lebih komit lagi dengan aturan yang dibuat tentang pelarangan mobilisasi orang di tengah pandemi Covid-19 ini. Dikatakan Athari, harusnya pelarangan ini berlaku untuk semuanya, tanpa pilah-pilih seperti saat ini. “Ini kan aneh, mudik dilarang, tapi warga asing masuk ke Indonesia. Aturan harus berlaku untuk semuanya,” kata politisi asal Sumbar itu. Athari juga meminta pemerintah bijak dan menutup semua akses masuk untuk orang asing ke Indonesia. “Segera tutup seluruh arus keluar masuk di sektor perhubungan darat laut maupun udara. Baik domestik ataupun luar negeri. Jangan pilih kasih,” ujar Anggota Komisi V ini, seperti dilansir Hantaran.co, Selasa (4/5/2021). Sopir Madura Kami para sopir angkutan memohon kepada Bpk. Presiden, DPR, Gurbenur, Walikota, dan Bupati. Dengan menutup pintu keluar masuk propinsi secara tidak langsung membunuh mata pencaharian kami.. Jangan biarkan anak2 kami menangis pilu di saat anak2 kalian tertawa gembira. Jangan biarkan kami kelaparan di saat kalian terlelap tidur karena kekenyangan. Karena anak, istri berikut kredit mobil kami tidak ditanggung oleh negara. Kenapa harus kami yg dikorbankan karena ketakutan kalian yg tidak kami takuti.. Yang kami takuti apabila anak dan istri kami mati kelaparan. Karena tidak dapat makan. siapakah yang bertanggung jawab? Padahal Allah menyuruh kami tetap berusaha dan bertanggung jawab kepada anak dan istri kami. Itu yang kami pertanggung jawabkan di akhirat nanti. Kenapa kami selalu dihadapkan dengan aparat hukum, dibentak, dihardik seakan kami ini teroris..padahal kami ini adalah pejuang dan pahlawan bagi keluarga kecil kami.. Di saat kalian berbagi THR kami hanya bisa berkata 'Apakah esok hari anak2 kami dapat makan" Apakah kalian pernah merasakan di saat semua orang tidur nyenyak ada seorang sopir tetap terbangun dan bekerja menafkahi keluarganya demi memberikan kehidupan yg layak utk anak istrinya.. Apakah ada cara lain yang bijak dengan tidak membunuh mata pencaharian kami..berilah aturan yg adil buat kami semoga dapat hidayah . Wassalam Curahan hati seorang sopir angkutan lokasi Madura Jawa-Timur Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Tragedi KM 50, Laskar Ditembak dan Rekayasa Polisi
Rekayasa kasus mungkin itu yang tepat disematkan dalam pengusutan pembunuhan laskar itu. Padahal, peristiwa itu menyangkut nyawa manusia yang dihukum tanpa proses pengadilan. Polisi telah menetapkan tiga orang polisi menjadi tersangka, yaitu F, Y dan EPZ atau Elwira Priyadi Zendrato, dan tidak ada yang ditahan. by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN, Hari ini, tepat.lima bulan yang lalu, enam laskar yang mengawal Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab tewas ditembak polisi. Peristiwa yang lebih dikenal dengan Tragedi KM 50, Jalan Tol Jakarta-Cikampek terjadi pada Senin, 7 Desember 2020 dinihari sekitar pukul 00.30. Peristiwanya sangat tragis. Sebab, tubuh keenam laskar yang tewas itu tidak hanya ditembus peluru tajam. Akan tetapi, ditemukan juga sejumlah luka yang diduga bekas penyiksaan sebelum ditembak, atau bisa juga penyiksaan setelah ditembak oleh anggota.Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Enam laskar yang tewas ditembak dari jarak dekat itu adalah Muhammad Reza, Lutfi Hakim, M.Suci Khadafi, Ahmad Sofiyan, Faiz Ahmad Syukur dan Andi Oktaviana. Peristiwa penembakan itu penuh tanda tanya dan misteri. Sebab, sebelum subuh.pada hari.kejadian, telah beredar kabar di media sosial, terutama WhatsApp (WA) yang mengabarkan enam laskar FPI hilang diculik orang tidak dikenal. Mereka adalah bagian dari pengawal HRS yang berjumlah 10 orang, 4 orang lagi di mobil yang berbeda. Mereka mengawal iring-iringan mobil yang ditumpangi HRS, istri, anak, menantu dan cucu menuju pengajian keluarga inti di daerah Karawang, Jawa Barat. Akan tetapi, Senin, 7 Desember 2020 siang, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Fadil Imran menggelar jumpa pers dan mengumumkan anggotanyalah yang menembak laskar tersebut. Dengan gagahnya, ia menjelaskan penembakan dilakukan secara tegas dan terukur, karena pengawal HRS melawan petugas. Sejumlah barang bukti pun dipamerkan, termasuk senjata api yang katanya digunakan laskar. Akan tetapi, Sekretaris Umum FPI, Munarman saat itu membantah pengawal membawa senjata. Senjata tajam.pun tidak, apalagi senjata api (walaupun disebut senjata api rakitan). Nah, keterangan pihak kepolisian juga berbeda-beda (tidak jelas apakah karena skenario rekayasanya yang salah). Tidak lama kemudian, pihak kepolisian menyebut laskar mau merampas senjata api petugas yang membawa mereka dengan mobil dari KM 50. Kok ada usaha merampas senjata dari orang yang sudah dilumpuhkan? Kalaupun itu terjadi, kenapa polisi tidak memborgol atau mengikat tangan/kaki laskar itu? Tidak ada alasan bagi polisi yang bertugas melakukan pengintaian dan pengejaran tanpa membawa borgol dan pistol. Polisi bodohlah yang tidak membawa senjata api dan borgol jika ditugaskan untuk menguntit sesuatu yang dianggap kejahatan atau bermasalah. Keterangan Fadil Imran juga bertolak belakang dengan rekonstruksi yang dilakukan polisi. Dalam rekonstruksi, terlihat (dalam foto yang beredar), laskar itu disuruh jongkok dan tiarap sebelum masuk ke mobil yang membawa mereka. Pertanyaannya, apakah benar laskar itu ditembak di dalam mobil yang membawa mereka atau dieksekusi di suatu tempat? Banyak yang percaya keenam laskar itu dieksekusi di sebuah tempat (rumah?). Kalau ditembak di dalam mobil, berarti mobil akan menjadi barang bukti di persidangan pengadilan. Sampai sekarang, masyarakat yang awam hukum sekali pun menertawakan keterangan yang disampaikan polisi. Apalagi menyangkut mobil Land Cruiser hitam yang muncul di KM 50, tetapi tidak diperlihatkan pada saat rekonstruksi. Sampai sekarang keberadaan mobil dan penumpangnya masih misteri. Banyak dugaan rekayasa di kasus tewasnya laskar tersebut. Selain CCTV jalan tol mati (dimatikan?), rest area atau tempat peristirahatan KM 50 tidak lama kemudian ditutup. Para.pedagang disuruh pindah. Setelah pindah, bangunan yang ada dibongkar setahap demi setahap, dan akhirnya rata dengan tanah. Kenapa harus dibongkar? Apa salah rest area KM 50 tersebut? Takut dijadikan saksi? Toh, polisi kan bisa saja merekayasa kasusnya. Walaupun bangunannya sudah tidak ada, tetapi rest area tersebut akan tetap menjadi saksi bisu di dunia, dan menjadi salah satu yang akan mengeluarkan kesaksian di hadapan Allah Subhanahu wata'ala, Tuhan Yang Maha Esa, kelak. Rekayasa kasus mungkin itu yang tepat disematkan dalam pengusutan pembunuhan laskar tersebut. Padahal, peristiwa itu menyangkut nyawa manusia yang dihukum tanpa proses pengadilan. Peristiwa tersebut adalah tragedi kemanusiaan. Polisi telah menetapkan tiga orang polisi nenjadi tersangka, yaitu F, Y dan EPZ atau Elwira Priyadi Zendrato. Sebelumnya, polisi juga sempat menetapkan enam laskar yang sudah meninggal dunia menjadi tersangka. Hal itu menjadi bahan lelucon dan tertawaan masyarakat, termasuk orang gila. Penetapan tersangka terhadap orang yang sudah tewas adalah aneh, dan baru pertama kali terjadi di dunia, meskipun polisi buru-buru mencabutnya. Kasus Elwira Priyadi Zendrato, ditutup karena yang bersangkutan mati dalam peristiwa kecelakaan lalulintas di wilayah Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Peristiwa kecelakaan yang menyebabkan ia mati terjadi tanggal 3 Januari 2021, tetapi baru diumumkan Jumat, 26 Maret 2021. Wah hebat sekali polisi kita, karena hampir tiga bulan baru diumumkan? Lokasi kecelakaannya pun tidak jelas, karena nama jalan yang disebut polisi, tidak sesuai di lapangan. Jangan-jangan, dua polisi yang menjadi tersangka dan masih hidup, nanti diumumkan mati kena Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Bisa juga diumumkan mati karena kelelap saat berenang di kolam renang, sungai, danau dan laut antah-berantah. Nah, F dan Y sampai kini tidak ditahan. Berkas kasusnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, tetapi dikembalikan lagi ke polisi. Lucu juga ya, tersangka F dan Y tidak ditahan. Padahal, ancaman yang dituduhkan adalah Pasal 338 KUHP juncto Pasal 56 KUHP. Hukumannya maksimal 15 tahun penjara. Jangankan ditahan, dinonaktifkan pun tidak. Keduanya masih ke kantor, dan bebas berkeliaran. Pasal 338 berbunyi, "Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun." Padahal, biasanya polisi langsung menahan tersangka yang tuduhan pidananya lima tahun. Bahkan, tuduhan penjara di bawah lima tahun pun banyak yang langsung dipenjara polisi. Wahai polisiku? Berbuat adillah kalian. Jangan terlalu sering merekayasa kasus. Apalagi, kasus penembakan enam laskar ini menjadi sorotan pemerhati Hak Azasi Manusia (HAM) dunia, meskipun Komnas HAM menyematkannya bukan pelanggaran HAM berat, tetapi dugaan unlawful killing. ** Penulis adalah Pemimpin Redaksi FNN.co.id.
Pernawirawan TNI Resah, Indonesia Darurat Korupsi & Komunis
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Dua fenomena menarik yang terjadi di Indonesia saat ini. Pertama bangkitnya para Guru Besar dalam menyoroti negara Indonesia yang berada dalam bahaya korupsi. Terjadi darurat korupsi. Lebih dari 50 Guru Besar dari berbagai Perguruan Tinggi mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka Para Guru Besar tersebut menilai UUK KPK hasil revisi DPR dan Pemerintah telah melumpuhkan KPK dalam fungsi dan tugas-tugas pemberantasan Korupsi. Di antara Guru Besar ada nama Azyumardi Azra, Emil Salim, Frans Magnis Suseno, Ramlan Surbakti dan lain-lainnya. Kedua, muncul gerakan dari para purnawirawan TNI AD melalui pernyataan keprihatinan bahwa negara berada dalam bahaya cengkeraman “Oligarki Neo Komunis”. Pernyataan 2 Mei 2021 tersebut dibuat oleh Mayjen TNI (Purn.) Deddy S Budiman, Letjen TNI (Purn.) Yayat Sudrajat, Mayjen TNI (Purn.) Robby Win Kadir, Brigjen TNI (Purn.) Budi Sudjana, dan lainnya. Oligarki Neo Komunis yang kerjanya mengadu-domba dan memfitnah umat Islam dan TNI, termasuk dengan mengkriminalisasi Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Front Pembela Islam (FPI). Sedangkan soal korupsi memang sudah berat diatasi, menggurita dan terang benderang. Pemerintah tidak serius untuk memberantasnya bahkan KPK pun telah dihancurkan peran dan independensinya. Wajar saja jika para Guru Besar berteriak walaupun sudah terlambat. Para mahasiswa dulu telah "berdarah-darah" memprotes penghancuran KPK ini. Lucunya kini Menkpolhukam Mahhfud MD minta permakluman pada status Pemerintahan yang memang Korup. Minta masyarakat memaklumi saja prilaku korupsi yang dilakukan pemerintah. Penangananan korupsi Jiwasraya, Asabri dan BPJS Tenaga Kerja merayap menuju menguap. Korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) Juliari Peter Batubara yang diduga melibatkan "madam" masih dibawa berputar-putar tidak jelas ujungnya. Keluhan Mensos Risma tentang 21 Juta data ganda, membuat geleng-geleng kepala. Syamsul Nursalim buron malah diberikan SP3 oleh KPK. Top markotop. Sepertinya pada setiap investasi dan hutang luar negeri melekat prilaku korupsi. Dampaknya seruan ayo berinvestasi sama saja dengan ayo korupsi. Akibatnya, sejumlah negara faksi Amerika Seruikat menunda pinjaman bilateral. Mereka adalah Australia, Jepang, Korea Selatan, Jerman dan Saudi arabia. Investasi juga semakin selut masuk ke Indonesia. Kenyataan ini dikeluhkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Soal Neo Komunis yang diprihatinkan para Purnawirawan TNI itu, memang semakin menyengat baunya. Terasa hampir pada semua lini penyelenggaran negara. Saat petinggi PKI akan kabur dan bergerak masing-masing, lalu mereka berkomitmen untuk berjuang "tanpa bentuk". Nampaknya komitmen itu semakin terealisasi kini. Kini mulai menyusup, mempengaruhi dan mengendalikan. Prakteknya pelan-pelan mulai tampak. Dimulai sejak Rancangan Undang-Undang Haluan Idelogi Pancasila (RUU HIP). Road map pendidikan nasional tanpa mata pelajaran Agama. Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menghilangkan mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia. Ini jangan dianggap biasa-biasa saja. Agenda senyap ini semakin memperlihatkan batang hidungnya dengan penunjukkan Hilmar Farid, mantan aktivis Partai Rakyat Demokrat (PRD) sebagai Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan Nasional. Wajar saja kalau publik khawatir arah negara ini menuju revolusi kebudayaan yang melumpuhkan agama. Maka Purnawirawan TNI AD menyebut ini bahaya Oligarkhi Neo Komunis. Memang para pemimpin negara harus diingatkan. Tetapi apa yang diungkapkan Prof. Dr. Ayzyumardi Azra cukup menarik, yaitu pesimistik. Sudah sulit untuk mendengar kebenaran mengema lagi di jagad Sabang sampai Merauke, dan dari Pulau Nias sampai Miangas. Seraya mengutip atau merujuk pada Ayat Al Qur'an bahwa telinga, mata, dan hati mereka telah tertutup. "Allah akan isi Neraka Jahanam bagi banyak Manusia dan Jin. Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami, mereka memiliki mata tetapi tidak digunakan untuk melihat, mereka memiliki telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendemgar" ( QS Al A'raf 179). Allah SWT memperumpamakan mereka sebagai binatang ternak, bahkan lebih rendah dari itu. "Ulaa-ika kal an'am bal hum adlol, ulaa-ika humul ghafiluun". Artinya, mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih rendah dari itu, mereka adalah orang-orang yang lalai.. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Produksi Demokrasi dan Hukum Itu Mainan Oligarki (Bagian-1)
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN- Demokrasi dan rule of law, untuk alasan praktis, merupakan dua konsep yang teramat ganjil disepanjang sejarah. Keduanya pada level itu, justru malah saling menyangkal pada sejumlah aspek. Bukan disebabkan keduanya tidak memiliki bentuk final secara materil, tetapi ada soal lain yang gagal dikenali. Sehingga orang-orang bodoh berlomba memuja keduanya sebagai barang hebat. Michael Carigan, kolumnis kawakan yang pernah menulis The History of Death, Who Lies Were: A Guid To Famous and the Mediterranean, yang disiarkan secara serial di BBC mengidentifikasi serangkaian penyebabnya. Selalu dimana pun dalam dunia demokrasi, dulu dan sekarang, ada saja sekelompok orang yang diistimewakan. Merekalah pendefenisi sebenarnya demokrasi dan rule of law. Orang-Orang Siluman Menunjuk demokrasi sebagai faktor determinan hadirnya hukum yang baik, jelas itu bodoh, tolol dungu, dan dongo. Tidak ada sejarahnya itu. Yang disajikan sejarah, hukum diperlukan oleh semua bentuk negara, juga sistem dan bentuk pemerintahan. Tidak ada penguasa durjana, otoriter, facis, totaliter dan demokratis, yang tidak menggunakan hukum. Tidak ada itu. Jangan tolol untuk itu. Justru sebaliknya, sejarah cukup jelas menunjukan semua penguasa durjana dan demokratis menyodorkan dan menggunakan hukum untuk berbagai kepentingan. Demokrasi memang memukau. Konsep-konsep dasarnya tentang manusia jelas mengagumkan. Manusia itu merdeka sedari lahir. Inilah mahkota manusia. Mahkota ditransiformasi dalam konsep kebebasan alamiah, khususnya kebebasan berpikir dan menyatakan akal pikiran, serta memiliki harta benda. Inilah yang memukau dan mendekorasi serangkaian sebab yang menghasilkan revolusi Perancis tahun 1789 lalu. Sejarawan Andre Hussely, di satu sisi dan James Harvely Robinson dan Charles A. Beard di sisi lain, melukiskan keadaan itu dengan sangat menarik. Prancis, khususnya Paris kala itu, diidentifikasi Andrew sebagai kota yang gelap dan terang datang secara bergantian. Bagai angin puyuh. Tanpa sebab jelas, keadaan bisa seketika berubah menjadi huru-hara. Ada begitu banyak gerakan bawah tanah dan terlalu banyak sekte di Paris ketika itu. Andrew menunjukan itu sebagai ikon lain Paris kala itu. Mereka yang kaya dan miskin memperlihatkan tingkah laku yang satu dan lainnya kontras dalam semua aspeknya. Seperti biasa, kenyataan itu menyiskan duka dan luka di hati untuk kalangan tak punya. Eksplosif, karena kenyataan itu bertemu dengan kenyataan lain, yang mengerikan. Kenyataan lain itu, kelak menjadi sebab langsung muncul revolusi berdarah-darah 1789, karena kerajaan telah terlilit inflasi ganas. Kas deficit. Mau apa? Mau Pinjam? Pinjam Kemana? Italia tidak mau kasih pinjaman. Begitu juga dengan Inggris. Mau apa tuan raja? Ralp H. Epperson, sejarahwan top ini mengidentifikasi keadaan itu sebagai prakondisi yang diciptakan secara sistimatis oleh sekelompok kecil orang untuk memanggil datangnya revolusi. Revolusi itu tidak hanya untuk mengubah Kota Paris, tetapi Prancis secara keseluruhan. Andrew Hussey, memang tak menunjuk secara defenitif kelompok Fremansory berada dibalik kekacauan itu. Tetapi Andrew mengidentifikasi antara tahun 1700-1750 terdapat lebih dari selusin sekte di Prancis. Mereka dikenal sangat radikal. Mereka pernah memberontak. Tetapi apapun itu, sesuatu yang tidak bisa ditolak adalah apa yang identifikasi oleh James Harvey Robinson dan Charles A. Beard. Kerajaan, dalam identifikasi kedua sejarahwan ini, telah berada dalam pelukan inflasi yang kronis dan ganas. Semua aspek yang mendatangkan uang telah deficit. Raja, seperti semua rezim sesudahnya yang terlilit infasi ganas, menyodorkan pemecahan klasik. Raja menginstruksikan “ciptakan dua jenis pajak baru, dan naikan pajak konvensional”. Tragis. Kala raja mengumumkan rencana itu, Estate General (Dewan Kerajaan), khususnya dari kalangan strata ketiga (third estate), menolak. Roberspierre wakil utama third estate ini berada di garda terdepan melakukan penolakan. Dia malah menuntut penyamaan status antara mereka dengan clergy dan nobility dalam estate general itu. Gumpalan awan perlawanan terus membesar. Marrat, seorang ilmuan kawakan kala itu muncul dengan sebuah publikasi. Kata-kata extravaganza. Dia beri judul artikelnya “The Frined of the People”. Marrat, sang ilmuan ini mengulas “aristocrat and bourgeoise” meliputi para kelas pekerja terbesar dan petani. Apapun itu, Andrew menemukan kenyataan lain. Ibu-ibu, katanya yang sudah tidak lagi memiliki bahan makanan untuk dimakan. Orang-orang lalu ini berbaris penuh amarah menuju dan menyerbu penjara Bastiles. Ini pemicu kongkrit revolusi merobohkan kerajaan. Roberspierre, salah satu republikan radikal segera memegang kekuasaan. Roberspierre menggariskan Prancis baru harus dibangun diatas prinsip liberte, egalite dan fraternite. Prinsip itu direalisasikan dengan tangan besi, menandai pemerintahan terror Roberspierre yang hanya sebentar. Berbaris ditengan prinsip itu, Roberspierre memberi status nobles kepada imigran dari Hunggaria dan Jerman. Menariknya, Roberspierre diidentifikasi Rapl H. Epperson sebagai orang suruhan kelompok perencana yang tak terlihat dalam revolusi itu. Menariknya, Roberspierre segera dihabisi. Tragis. Begitulah jalan awal demokrasi di Prancis. Jalan itu mirip dengan jalan awal demokrasi di Inggris, yang dipicu oleh revolusi gemilangnya pada tahun 1688. Omong Kosong Itu Prancis tahu apa yang Inggris dendangkan tentang hukum ditengah gelora demokrasi. Tak lama setelah Inggris melembagakan demokrasi, setidaknya membatasi kekuasaan Raja disatu sisi, dan disisi lain memperluas kekuasaan parlemen. Bahkan parlemen dijadikan supreme, para borjuis yang tidak lain adalah financial oligarki licik, picik, tamak dan rakus yang segera berpesta. Prinsip tahta suci dan hak suci raja yang dicanangkan secara berani oleh Raja James I tahun 1626, tergulung dan tersapu oleh dahsyatnya revolusi. Raja tak lagi berada di atas hukum. Raja telah tak lagi berstatus “king as a state”. Prinsip ini telah berganti menjadi “law as a supreme in the Land of England”. Segera terlihat tabiat bawaan revolusi dan demokrasi. Orang miskin segera berpesta dengan kebebasan baru. Orang kaya lalu mendekorasi tatanan baru itu. Tujuannya untuk konsolidasi kepentingan bisnis mereka. Apa yang segera orang-orang bisnis ini lakukan? Tahu kerajaan telah kehabisan sumberdaya, para financial oligarki Inggris kala itu, dengan kemurahan hatinya mendatangi kerajaan. Mereka hendak meminjamkan uang kepada kerajaan. Disertai syarat tertentu. Syaratnya harus ada otorisasi parlemen. Cerdas mereka. Sebab kepada parlemen mereka juga mengajukan syarat lain. Apa syaratnya? Buatkan UU yang memungkinkan mereka dapat menampung uang dari bea shipment. Penampungan ini mau tak mau, harus diletakan dibank. Itulah inti Duane Act 1694. Canggih cara main finalicial oligarki. Mereka tidak minta buat UU tentang Bank Bank, yang kelak menjadi cikal bakal Bank of England. Tetapi hanya minta beri wewenang menampung uang mereka. Itu saja. Suka atau tidak, kerajaan dan parlemen telah berada dalam kekangan mereka. Inggris memberi pelajaran hebat untuk oligarki-oligarki Prancis. Antara tahun 1696-1698, para produsen kain wol dari East Anglia dan West Country bersekutu dengan para pengrajin sutra dari London, Carterbury dan sebuah perusahaan bernama Levant Company mencari siasat untuk menyingkirkan sutra Asia. Apa yang mereka lakukan untuk menggolkannya? Koalisi para produsen tekstil ini mengusulkan sejumlah RUU ke meja Parlemen. Isi RUU itu antara lain melarang warga Negara Inggris memakai busana dari bahan katun dan sutra Asia. Sukses, tahun 1701 Parlemen menggolkan RUU itu menjadi UU. Menurut Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam buku “Mengapa Negara Gagal” sejak bulan September 1791 Parlemen Inggris mengumumkan UU yang menguntungkan koalisi ini. Isi ketentuan itu adalah semua kain sutra palsu, kain Bengal, dan sejenisnya yang dicampur bahan sutra asli atau herba, yang dibuat di Persia, China dan India Timur, semua jenis kain balacu, yang diwarnai, dicelup atau dicetak di negara itu dan diimpor ke wilayah Inggris, menjadi terlarang. Ruang ini terlau sempit untuk mengetengahkan semua praktik hukum Inggris yang menguntungkan kaum kaya, sebelum Prancis mulai menata hukum sebagai tuntutan langsung revolusi mereka. Tetapi semua yang terjadi di Inggris telah cukup memberitahu Prancis bahwa hukum di tengah demokrasi memang diperuntukan, terutama untuk kaum yang istimewa ini. Frederich Bastiat, Jurnalis kawakan, sekaligus anggota parlemen tahun 1850-an ini, sekadar sebagai ilustrasi mati-mati berdiri di garis depan mempromosikan pasar bebas. Dia jelas menjadi penantang paling tangguh atas ide sosialis. Baginya, sosialis tidak pernah baik dalam semua bentuknya. Mereka hendak mengambil kekayaan orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin. Bagi Bastiat, cara satu-satunya adalah menciptakan pasar sebebas mungkin. Dia meyakini kompetisi yang tercipta dengan bebas, merupakan cara terbaik memakmurkan orang. Semua orang, begitu Bastiat meyakini memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi apa saja yang dia mau. Ketika Prancis naik ke permukaan demokrasi, Amerika, koloni Inggris ini telah mengawali pemerintahan demokratis. Pemerintahan ini dipandu dengan konstitusi yang dibuat tahun 1787 di konvensi Philedevia. Diawali untuk pertama kalinya oleh Presiden George Washington dengan John Adam sebagai wakilnya. Tetapi sedari awal omong kosong demokrasi segera tersaji. Sejak saat itu sampai dengan paruh kedua abad ke-20, orang negro tak berstatus sama dengan orang kulit putih. Rasdiskriminasi merajalela pada semua kehidupan demokrasi Amerika. Tahun 1964, sepuluh tahun setelah putusan MA yang bersejarah, yang dibuat oleh Earl Warren, barulah muncul Civil Righst Act. Orang hitam mulai disetarakan. Memeriksa semua sudut pertalian demokrasi dan hukum dalam sejarah Amerika adalah memeriksa aspek omong kosong keduanya. Sebabnya keduanya dikendalikan oleh oligaki finalsial dan lasinnya. Pembentukan The Federal Reserve Act 1913 itu, contoh kecil. Contoh besarnya ditunjukan oleh pemerintahan Franklin Delano Rosevelt. Hukum-hukum itu dibuat untuk dan atas atas nama restrukturisasi seluruh struktur ekonomi Amerika sepanjang tahun 1993-1945, justru merupakan kedok penyelamatan dan konsolidasi oligarki. Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia (bersambung). Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Pandemi Demokrasi & Information as a Public Good
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, 03 Mei 2021 mengusung tema “Information as a Public Good”. Artinya, “Informasi Sebagai Milik Publik”. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menetapkan tanggal 3 Mei sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia pada Sidang Umum tahun 1993 untuk memperingati penyelenggaraan “Deklarasi Windhoek” di Namibia (1991). Deklarasi Windhoek itu adalah inisiatif pekerja pers Afrika untuk memperjuangkan media yang bebas, independen, dan pluralistik di tengah tekanan dan kekerasan yang terus-menerus terjadi pada para jurnalis di beberbagai belahan. Tekanan terhadap kebebasan pers seperti santapan yang harus dinikmati setiap saat oleh pekerja pers. Tidak pernah berhenti. Kapan saja tekanan selalu datang menghampiri. Deklarasi Windhoek itu berisi empat pontui. Pertama, negara harus proaktif dalam melindungi jurnalis dan mengupayakan agar warga negara dapat menggunakan kebebasan berekspresi. Kedua, negara harus menghindari pengendalian media. Ketiga, mencegah monopoli negara atas media. Keempat, negara memastikan dukungan hukum dan dukungan praktis lainnya untuk sektor-sektor seperti pelayanan publik dan media komunitas. Perlu diingat bahwa tema Hari Pers Sedunia Tahun 2020 di Belanda adalah “Journalism Withuot Fear and Favour”. Artinya, “Jurnalisme Tanpa Ketakutan dan Bantuan”. Tema yang sangat menggambarkan kondisi objektif dari kegelisahan masyarakat pers dunia saat ini. Kondisi yang juga terjadi pada masyarakat pers di Indonesia. Memang penting, merawat memori kolektif publik. Karena masyarakat masih terus menyaksikan banyaknya negara yang melakukan sensor, memberlakukan denda, atau menghentikan beroperasinya media massa. Komunitas pers, seperti jurnalis, editor, dan penerbit bahkan masih menjadi korban penyerangan, dipenjara, hingga dibunuh. Hari Kebebasan Pers Sedunia menjadi momentum dukungan kepada media yang menjadi sasaran pengekangan, sekaligus mengenang para jurnalis yang kehilangan nyawa dalam menjalankan tugasnya. Padahal para pekerja media itu bekerja dengan suka rela. Memberikan kontribusi yang signifikan. Mengolah informasi dan data ilmiah yang kompleks menjadi lebih mudah untuk dicerna oleh publik. Menyediakan data yang diperbaharui secara berkala, dan melakukan pengecekan fakta. Kebebasan pers tidak hanya krusial bagi para juru warta. Tetapi juga masyarakat umum. Pers yang bebas secara moral terikat mendukung kesinambungan partisipasi warga negara untuk berperan aktif dalam demokrasi. Akan tetapi dalam perkembangannya, serangan masifitas pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 telah memaksa mayoritas negara berperilaku represif menyikapi protes warga. Protes yang kebanyakan disuarakan lewat media pers. Protes untuk menanggapi kebijakan penanganan pandemi yang tidak maksimal. Kenyataan ini, tidak terkecuali Indonesia, yang mencatat banyak isu kebebasan berpendapat dan berekspresi di media yang perlu ditangani. Karena terkait dengan maraknya praktik kriminalisasi publik dengan menggunakan “kekebalan” pasal karet ” UU ITE. Ancaman kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang virtual pun terus bermunculan, sehingga warga semakin takut bersuara. Bayang-bayang kelam di kecerahan langit dunia pers mulai terlihat di depan mata. Ancaman punahnya sejumlah komitmen kemandirian pers demi demokrasi tersandung opsi pengarusutamaan pengendalian serangan pandemi Covid 19. Ini terjadi di semua negara. Hanya pola gradasi dan antisipasinya yang berbeda- beda. Yang paling mengenaskan, pemerintahan yang rapuh demokrasinya. Pemerintahan yang rapuh ini menemukan ruang perlindungan legitimasi praktik otoritarianisme. Alasan keselamatan jiwa rakyat menjadi pendulum gerakan represif yang terlegitimasi. Pemerintah berlindung di balik prinsip, “salus populi, suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi). Penulis buku “Sapiens dan Homo Deus”, sejarawan dan sastrawan Israel Yuval Noah Harari, melalui artikelnya berjudul “The World After Coronavirus”, yang ditulisnya di Financial Time, edisi 20 Maret 2020, menggambarkan perubahan kondisi yang mungkin terjadi setelah pandemi virus Corona (Covid-19) berakhir. Harari menyebutkan kasus pandemi Covid-19 berpotensi mendorong, bahkan dapat menjadi preseden bangkitnya pemerintahan yang otoritarianisme. Harari menambahkan, kuatnya signal kebangkitan otoritarianisme atau totalitarianisme itu ditandai dengan munculnya indikasi surveillance state atau negara pengawasan. Pemicunya diakibatkan tingginya tingkat penularan Covid-19. Mengisyaratkan pemerintah harus menjaga agar physical distancing tetap terjaga dengan menempatkan berbagai kamera CCTV. Menariknya, di luar aspek ekonomi, Harari justru menyebutkan, akibat tingginya tuntutan publik atas pengendalian pandemi Covid 19, membuat pemerintah dan masyarakat “terpaksa” sepakat untuk menghadirkan “negara pengawasan”. Negara melakukan pelonggaran hak privasi. Sebelumnya, Harari juga telah mengkritik Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena menggunakan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk “membunuh” demokrasi di Israel. Netanyahu yang kalah dalam pemilihan umum, justru memanfaatkan momen Covid-19 untuk menutup parlemen Israel. Memerintahkan masyarakat untuk tetap di rumah, dan menetapkan keadaan darurat. Atas hal tersebut, Netanyahu disebutnya sebagai seorang diktator. Karena menetapkan keadaan darurat padahal ia tidak memperoleh mandat dari masyarakat karena kalah dalam pemilihan. Harari memberikan pandangan negatif terkait bangkit atau setidaknya potensi kebangkitan pemerintah otoriter dalam menangani pandemi Covid-19. Berbagai pihak justru menempatkan diri berseberangan dan menyebutkan otoritarianisme memang bentuk pemerintah yang dibutuhkan untuk memerangi virus yang pertama kali diidentifikasi di Wuhan, Tiongkok itu. Shaun Walker dalam tulisannya di The Guardian mengutip ilmuwan politik asal Bulgaria, Ivan Krastev yang menyebutkan “bersama pandemi Covid-19, masyarakat di berbagai belahan dunia telah memiliki toleransi atau penerimaan atas pemerintah yang berlaku otoriter dalam upayanya memerangi Covid-19”. Otoriter mendapat toleransi dari masyarakat. Berbagai elemen masyarakat, seperti Kepala Daerah maupun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah menyerukan pemerintah untuk menerapkan lockdown guna mencegah penularan Covid-19. Mirip pernyataan Walker, masyarakat seyogianya telah memiliki toleransi atau penerimaan apabila nantinya pemerintah berlaku otoriter untuk memerangi virus tersebut. Narasi antisipasi seperti apakah yang mesti dipilih pemerintahan Jokowi untuk memerangi pandemi Covid-19 di Indonesia? Senang atau tidak senang pandemi Covid 19 telah memaksa penggiat demokrasi di banyak negara untuk menata ulang. Melakukan restrukturisasi pola kerja dan operasi demokrasi. Bukan cuma itu, bahkan dampak negatif pandemi Covid 19 serta-merta merubah artikulasi demokrasi. Kehadiran “sekutu” baru demokrasi, yang bernama “negara pengawasan” tersebut, justru terhantar atas jaminan konstitusi atas nama “keselamatan rakyat”. Surveillance State dan Demokrasi telah “serumah” sebagai sekutu temporer. Perpaduan pada keduanya adalah narasi baru dari demokrasi yang sudah masuk di ruangan tidur publik. Menarik merujuk kembali kepada pernyataan Harari yang menyebutkan, “konsekuensi luas dari pandemi telah membuat kesehatan masyarakat dibingkai ulang sebagai masalah keselamatan dan keamanan nasional secara global”. Hal itu sendiri, katanya, tidak selalu buruk. Tetapi di banyak negara sekuritisasi kesehatan, masyarakat telah menghasilkan momentum tiba-tiba untuk melanggar batas privasi hingga saat ini. Karena dianggap “tidak dapat diterima di negara demokrasi”. Kenyataan ini termasuk juga pada penggunaan alat komunikasi yang mengintegrasikan kesehatan publik dan database telekomunikasi pribadi. Juga penggunaan data lokasi pribadi oleh pemerintah dari ponsel cerdas untuk melacak dengan cermat interaksi seluruh populasi atau untuk menegakkan kepatuhan karantina sukarela, ujar Harari. Di luar perdebatan mengenai kebangkitan otoritarianisme tersebut, Rachel Kleinfeld dalam tulisannya “Do Authoritarian or Democratic Countries Handle Pandemics Better”? (31/03/20. Ilmuwan perempuan Amerika itu memberikan penekanan yang cukup menarik. Menurutnya perihal penanganan Covid-19, sebenarnya bukanlah menjadi perdebatan, apakah putusan yang diambil tersebut adalah otoriter atau demokratis, karena perdebatan yang seharusnya dilakukan adalah “seberapa efektif putusan tersebut mengatasi pandemic”? Kleinfeld menegaskan, dalam situasi krisis seperti pandemi Covid-19, sudah seharusnya kebijakan-kebijakan yang dibuat negara merujuk pada sains medis. “Oleh karenanya tidak perlu lagi ditemukan perdebatan terkait apakah penerapan lockdown ataupun hadirnya surveillance state misalnya, merupakan bentuk pemerintah otoriter atau tidak”. Kembali kepada peringatan Hari Kebebasan Pers se-Dunia. Lantas, bagaimana menempatkan pesan legendaris Nelson Mandela yang terucapkan belasan tahun sebelum ada pandemi Covid 19? Revolusioner antiapartheid dan politisi Afrika Selatan yang menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999 itu, terkenal dengan ucapannya tentang peran pers yang sentral. Kata Nelson Mandela, "Pers kritis, independen, dan investigatif adalah sumber kehidupan demokrasi apa pun. Pers harus bebas dari gangguan negara. Perrs harus memiliki kekuatan ekonomi untuk bertahan menghadapi kebodohan pejabat pemerintah. Pers itu harus memiliki independensi yang cukup dari kepentingan pribadi untuk berani dan bertanya tanpa rasa takut atau bantuan. Pers harus menikmati perlindungan konstitusi, sehingga dapat melindungi hak-hak kita sebagai warga negara”. Wartawan senior teman lama, kembali mengirim pesan WhatsApp, ia mengutip Martin Luther King Jr. dan ia menulis begini, "kebebasan tidak pernah secara sukarela diberikan oleh penindas, itu harus dituntut oleh yang tertindas". Mungkinkah??? Penulis adalah Wartawan Senior & Pmerhati Sosial Budaya.
Densus 88 Berhasil Jungkirbalikan Indonesia Negara Demokrasi
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Pada masa Orde Baru dahulu aktivis mahasiswa yang ditahan dan diadili melakukan pembelaan atas penindasan hak mahasiswa. Mengkritisi rezim yang menekan rakyat dengan menggunakan aparat keamanan. Pledoi Caretaker Presidium Dewan Mahasiswa ITB Sukmadji Indro Tjahjono cukup menarik karena berjudul "Indonesia di Bawah Sepatu Lars". Pledoi itu kemudian dibukukannya, meskipun pernah dilarang. Namun melihat penangkapan Munarman di kediamannya oleh sepasukan berseragam dan bersenjata lengkap Densus 88, dan sama sekali tidak memberi kesempatan memakai sandal kemudian menutup mata, jadi teringat masa represivitas Orde Baru dahulu. Semestinya tak perlu dilakukan penangkapan dengan cara yang primitif seperti itu. Toh, Munarman sehari-hari ada di sekitar kita. Tiap agenda persidangan Habib Rizieq Shihab (HRS) di Pangadilan Negeri Jakarta Timur, Munarman selalu muncul sebagai pembela. Jadi bukannya teroris yang sembunyi, menyiapkan peledakan, atau sedang membangun jaringan bawah tanah untuk melakukan teror ini dan itu kembali. Munarman itu Advokat yang terang-benderang selalu berada di raung publik. Munarman tidak pernah sembunyi. Selalu dikenal media, serta berada di ruang rutinitasnya. Tentu operasi penangkapan oleh Densus 88 dapat membangun citra bahwa memang Indonesia berada di bawah Sepatu Lars kembali. Seperti eranya Orde Baru dulu. Densus 88 telah menjungkir-balikan, dan porak-porandakan Indonesia sebagai negara yang kaya demokrasi. Pergeseran dari Lars TNI menjadi Lars Polri tidak boleh terjadi. Sebab wajah Indonesia sebagai negara hukum harus tetap dijaga. Indonesia bukan negara kekuasaan. Terlalu mahal biaya politiknya jika rezim Jokowi yang berpenampilan politik sipil. Tetapi mengimplementasikan peran-peran politiknya secara militeristik dan polisional. Apalagi jika dengan cara memojokkan umat Islam. Radikalisme, intoleransi, hingga terorisme yang disematkan pada aktivis Islam akan membuat "traumatic experience" yang tidak perlu. Kecurigaan dan dendam politik berkepanjangan. Akibatnya, kepercayaan pada pemerintahan rendah bahkan hilang. Ketika terjadi krisis nasional yang memerlukan penanganan kolektif, pemerintah akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan support publik. Indonesia di bawah Sepatu Lars kini adalah berada pada sikap berlebihan Angkatan Bersenjata Kepolisan: Brimob dan Densus 88. Sebaiknya dua kesatuan ini diintegrasikan pada TNI saja, agar lebih proporsional dalam kaitan pertahanan dan keamanan negara. Ketika berada di bawah Kepolisian, maka masyarakat bukan merasa aman atau nyaman melainkan tertekan dan justru terteror. Kasus penangkapan Munarman adalah contoh iklim yang dibangun secara tidak sehat. Indonesia di bawah Sepatu Lars tidak boleh terjadi lagi. Itu pengalaman yang sangat buruk dan primitif dalam berbangsa dan bernegara. Demokrasi sebagai polihan politik, konsekwensinya Indonesia adalah negara merdeka, yang sangat menghormati hak-hak warga negara. Hak-hak masyarakat sipil, dan hak Hak Asasi Manusia (HAM). Aparat bersenjata harus melindungi keamanan rakyat. Bukannya sebaliknya menakut-nakuti rakyat. Mengubah citra Indonesia negara di bawas Sepatu Lars adalah mengembalikan secara proporsional porsi dan fungsi TNI-POLRI sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Implementasi yang bersahabat dengan rakyat, sang pemilik negara. Tanpa harus mengubah dengan citra palsu yang sok kasual atau milenial, menjadi Indonesia di bawah Sepatu Kets atau di bawah Sepatu Kelinci. Mahfud Berprilaku Iblis Berita Tempo.co yang menyatakan bahwa menurut Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, rakyat tidak harus sepenuhnya kecewa karena pemerintah sekarang yang koruptif dan oligarkhi. Padahal tentu saja mengecewakan. Begitulah bentuk lain dari negara di bawah tekanan Sepatu Lars. Rakyat dipaksa menerima sesuatu yang aneh bin ajaib. Bagaimana tidak, terhadap kondisi pemerintah yang menyimpang dari tujuan bernegara itu, rakyat tidak boleh kecewa. Alasannya ada kemajuan dari waktu ke waktu. Anehnya kemajuan itu bukan berdasarkan penilaian rakyat. Tetapi berdasarkan penilaian dari pemrintah. Ada tiga hal penting tentang betapa kelirunya pandangan Mahfud MD tersebut Pertama, di belahan dunia manapun, pemerintahan koruptif itu mengecewakan, karena menghianati mandat dan kepercayaan yang diberikan rakyat. Bantuknya merampok uang rakyat. Misi moral politik pemerintah adalah membersihkan aparat dari mental korup. Tidak mentoleransi korupsi. Pemerintah koruptif layak diprotes, didemonstrasi, bahkan wajib untuk diganti. Kedua, oligarki harus dicegah karena membenarkannya sama saja dengan menghianati demokrasi. Kekuasaan itu di tangan rakyat. Bukan di tangan segelintir atau sekelompok orang. Oligarki itu inheren dengan otokrasi, pemerintahan di satu tangan. Pemerintahan yang tidak berbasis demokrasi adalah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Tidak bisa dibiarkan. Harus diganti. Ketiga, alasan adanya kemajuan tidak bisa menjadi pembenar dari pemerintahan koruptif dan oligarkhi. Dua permasalahan yang timbul. Pertama, kemajuan itu harus berbasis pemerintahan yang bersih dan demokratis. Bukan pemerintahan yang korup atau oligarkis. Kedua, sejauhmana kemajuan itu diakui? Faktanya ekonomi amburadul, politik sosial keagamaan diskriminatif dan pembelahan di masyarakat. Penanganan terhadap kelompok opisisi sangat represif. Pengangguran dan kemiskinan meningkat. Daya beli masyarakat tertekan dan menurun drastis. Kenyataan ini membuktikan kalau Mahfud MD memang Menteri kontroversial. Figur yang gampang berubah-ubah. Sangat tergantung pada terkait tidak dengan kepntingan pribadinya. Yang salah bisa jadi benar. Sebaliknya yang benar bisa jadi salah. Mahfud berubah drastis dari cendekiawan yang arif dan sangat moralis, menjadi politisi yang protektif dan apologetik. Baginya semua suara kekuasaan adalah benar atau dapat dibenarkan. Tentu bukan seperti ucapannya sendiri bahwa kekuasaan bisa mengubah watak manusia dari malaikat menjadi iblis. Sekarang dengan membernarkan sikap korutif, Mahfud menjadi iblis yang berwajah manusia. Jika Presiden kuat dan berwibawa Mahfud MD layak menjadi bagian dari target reshuffle berikutnya. Namun seperti pengakuan Mahfud MD bahwa pemerintahan koruptif dan oligarkis, maka tak mungkin ada reshuffle terhadap orang oligarkis dan para loyalisnya. Rakyat yang beroposisi hanya bisanya hanya mengurut dada. Mahfud lagi, Mahfud lagi. Iblis yang berwajah manusia. Iblis sekarang sukanya korupsi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Soal HAM, Ketua MPR Bamsoet Tidak Paham Konstitusi
by Marthen Goo Jakapura FNN - Dalam konflik kombatan antara TPN-OPM dan TNI-Polri, tepat pada hari minggu 25 april 2021, kita dengar bahwa Kepala BIN daerah ditembak mati TNP-OPM seperti dirilis oleh berbagai media. Tentu dalam prinsip konflik kombatan, menjadi wajar karena dalam tembak-menembak, pasti satu dari antara pihak kombatan yang bergururan. Begitu juga hukum humaniter. Dalam merespon kasus tersebut, kita dikagetkan dengan pernyataan Ketua MPR, Bambang Soesatyo, yang mengatakan, "saya meminta pemerintah dan aparat keamanan tidak ragu dan segera turunkan kekuatan penuh menumpas KKB di Papua yang kembali merenggut nyawa. Tumpas habis dulu. Urusan Hak Asasi Manusia (HAM) kita bicarakan kemudian". (CNN – Indonesia, senin, 26/4/2021). Ini pernyataan yang sangat keliru. Mungkin Ketua MPR tidak mengerti perbedaan HAM dan konflik kombatan. Barang kali ketua MPR juga tidak mengerti apa itu semangat Konstitusi dalam bernegara. Kalau ketua MPR saja berpandangan seperti begini, dan tidak menunjukan layaknya ketua MPR sebagai pembentuk konstitusi, akan turut merusak dan mencederai kemanusiaan dalam bernegara. Semangat reformasi dan perubahan UUD’45 adalah untuk membangun negara berdasarkan HAM. Karenanya roh dari UUD’45 adalah HAM. Sebab HAM di dalam UUD’45 ditempatkan di tempat yang tinggi. Karena selain merupakan nilai dasar yang dirumuskan dalam pancasila, juga merupakan tujuan utama dalam berbangsa dan bernegara. Soal HAM itu merupakan prinsip yang utama dalam bernegara. Ko bisa-bisanya seorang ketua MPR mengabaikan prinsip HAM dalam UUD’45? Barangkali Ketua MPR harus rubah UUD’45 lagi. Kemudian rubah juga negara republik jadi negara Tirani. Supaya kekuasaan bisa dipakai untuk mengabaikan HAM. Batasan HAM & Konflik Kombatan HAM dan konflik kombatan, itu dua hal yang berbeda jauh. HAM di Indonesia dirumuskan dengan jelas pada UU No. 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Prinsip HAM juga dikenal sebagai nilai luhur dalam Pancasila. Kemudian diturunkan dalam tujuan bernegara dan konstitusi. Sementara konflik kombatan itu masuk dalam hukum humaniter. Kejahatan HAM dalam perspektif HAM adalah kejahatan yang dilakukan oleh State-Actor kepada warga sipil. Sehingga, jika itu masuk dalam terstruktur, sistematis dan masif, maka termasuk dalam kejahatan HAM berat. Prinsipnya adalah aktor negara sebagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi jika konlik itu diantara warga sipil, maka itu kemudian disebut “kriminal”. Jika itu konflik kombatan, maka itu tidak masuk rana HAM. Konflik kombatan itu masuk rana hukum humaniter atau yang berlaku adalah hukum humaniter. Jadi, jika TPN-OPM dan TNI-Polri saling tembak-menembak sampai habis, maka itu hal biasa dan wajar dalam dunia hukum humaniter atau dunia hukum perang. Tidak ada aspek HAM dalam konflik kombatan. Berbeda jika masuk rana sipil. Sayangnya, pernyataan Ketua MPR memiliki tendensius yang sangat buruk, seakan memiliki niat dan melegalkan kejahatan HAM dalam wilayah sipil di Papua. Itu bertentangan dengan hukum humaniter dan hukum HAM. Bahkan juga bertentangan dalam sistim hukum di Indonesia. Apalagi bicara soal UUD’45 dan negera republik ini. Kita harus lihat secara dalam batasan dan perbedaannya. Lemahnya wawasan para pemimpin bangsa, bisa berdampak pada korbannya rakyat sipil dan hancurnya sebuah negara. Yang disampaikan ketua MPR adalah tontonan pada seluruh rakyat di Indonesia, itu sangat buruk. Juga menggambarkan bahwa Ketua MPR belum punya kemampuan untuk membedakan apa itu rana HAM dan apa itu rana konflik kombatan. Soal HAM dan konflik kombatan itu mempunya rana yang berbeda. Kita seakan berada di bawah abad-18, abad dimana kejahatan mengesampingkan aspek HAM. Padahal menurut Usman Hamid, “kami sangat menyayangkan pernyataan Ketua MPR RI yang mengesampingkan HAM. Pernyataan itu berpotensi mendorong eskalasi kekerasan di Papua dan Papua Barat. Mengesampingkan HAM, bukan hanya melawan hukum internasional, tetapi juga tindakan yang inkonstitusional. Negara harus menegakkan prinsip negara hukum dan HAM dengan menemukan dan mengadili pelaku penembakan Kabinda Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny. Insiden itu harus menjadi yang terakhir dan tak boleh dijadikan pembenaran memperluas pendekatan keamanan yang selama ini terbukti tidak efektif untuk menyelesaikan masalah Papua.HAM itu bicara keselamatan semua. (CNN, 26/04/2021) Menurut Andi Muhammad, Devisi Humas KontraS, pernyataan Ketua MPR tentang penyelesaian konflik di Papua tidak mencerminkan kepribadian dan etika yang baik sebagai pimpinan MPR. Semestinya setiap anggota MPR bekerja dengan menjunjung tinggi HAM. Padahal secara etik berdasarkan Keputusan MPR Nomor 2 Tahun 2010 tentang Peraturan Kode Etik MPR, setiap anggota dituntut untuk menjunjung HAM (Kompas, 29/4/2021). Dari pernyataan yang disampaikan oleh Usman (Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia) dan Andi Muhhamad, sesungguhnya pernyataan ketua MPR sangat bertentangan dengan konstitusi. Tidak paham konstitusi. Melegalkan kekerasan dan kejahatan HAM di Papua, bahkan melanggar kode etik MPR No. 2 Thn 2010, dimana setiap anggota MPR dituntut menjunjung HAM. Ketua MPR merespon sikap koalisi yang meminta Ketua MPR menarik pernyataannya dengan menyatakan pada pers, “tak akan menarik pernyataannya. Penembakan dan pembunuhan terhadap Kabinda Papua, sejumlah prajurit TNI-Polri, pembunuhan warga sipil hingga pembakaran sekolah, rumah, dan properti lain milik masyarakat Papua tak boleh terjadi lagi”. “Saya tidak akan menarik pernyataan saya. Tugas saya memberi semangat. Bukan menjadi pengkhianat. Negara tidak boleh tunduk” (Tempo/29/4/2021). Pernyataan tanggal 29 april 2021 dengan menyebut pembakaran sekolah, rumah dan properti lain milik masyarakat, siapa yang melakukan pembakaran? Apakah ketua MPR sudah melakukan investigasi dan menyimpulkan pelaku? Atau hanya beretorika secara politik? Penembakan terhadap Kabinda dan anggota militer adalah konflik kombatan. Konflik kombatan berbeda dengan rana HAM. Pengertian negara tidak boleh tunduk, harus dilihat pada konteks konflik kombatan. Bukan tidak boleh tunduk dengan melakukan kejahatan HAM. Bukankah negara dirikan atas semangat penghormatan pada HAM? Atau HAM yang dimaksud dalam pancasila, UUD’45 dan turunannya itu, di luar dari orang Papua? Kenapa ketua MPR tidak bersuara ketika tiga warga sipil (kakak-beradik) dibunuh oleh aparat negara di dalalam rumah sakit di Intan Jaya. Saat kedua adiknya mengantar kakak mereka yang ditembak dan ditusuk pakai sangkur oleh aparat, untuk berobat di rumah sakit ? Kenapa ketua MPR tidak bersuara terhadap perlindungan masyarakat sipil Papua yang mengungsi agar nyawa mereka tidak lenyap? Kekerasan negara sudah terjadi sejak tahun 1962, dimulai dari Trikora yang dikumandangkan oleh Soekarno 19 desember 1961. Kemudian dilakukan berbagai operasi, adanya kejahatan Pepera. Berbagai operasi militer dan kekerasan itu berlangsung sampai saat ini. Kenapa Ketua MPR tidak pernah bersuara dari aspek kemanusiaan? Apakah ada tendensi rasialisme? Apa sesungguhnya yang terjadi terhadap Papua ? Apakah hak asasi rakyat Papua tidak penting dalam NKRI? Menurut Yones Douw, aktivis HAM, “Jakarta tidak punya komitmen menyelesaikan masalah HAM dan status Politik Tanah Papua. Dalam operasi militer di Nduga dan Intan jaya, TNI-Polri menembak mati masyarakat sipil. Korban dari masyarakat sipil meningkat banyak. Mereka yang mengungsi meningkat, hingga kehilangan pencaharian, dan kematian. Disitulah terjadi genosida” (Tabloid Jubi/30/4/2021). Dari pernyataan aktivis Hak Asasi Manisia tersebut, apakah pernyataan ketua MPR hanya sebagai upaya untuk menutupi berbagai kasus kejahatan pelanggaran HAM terhadap orang Papua di Papua yang sudah terjadi begitu lama? Apa masih ada keseriusan negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM? Pentingkah orang Papua berada di Indonesia dalam perspektif HAM? Barangkali, yang disampaikan Ketua MPR itu memberikan gambaran pada publik, khususnya di Papua bahwa belum ada tokoh nasional yang memiliki wawasan kebangsaan. Satu-satunya tokoh nasional yang hebat sepanjang masa adalah Gus Dur. Gus Dur menempatkan HAM orang Papua sama dengan warga negara lainnya. Sekarang beberapa yang bermunculan, dan itu bisa dihitung. Tokoh-tokoh nasional adalah mereka yang selalu berpihak pada rakyat. Menyuarakan suara ratapan dan tangisan rakyat. Seperti Rocky Gerung, Natalius Pigai, Usman Hamid, dan Haris Hazar. Ukuran tokoh nasional harus jelas dan ketat. Mereka harus berjiwa nasionalis. Jiwa jiwa yang pro rakyat. Semengatnya Pancasilais dan taat konstitusional. Itu yang menyebabkan lahirnya istilah republik. Seluruh anak bangsa harus belajar menjadi tokoh nasional yang bisa mengorbankan jiwa dan raganya untuk keselamatan rakyat sebagi bentuk perwujudan cita-cita dan nasionalis dalam bangsa. Rakyat bukan untuk dibantai dan dibunuh, apalagi melegalkan kejahatan HAM dalam prinsip bernegara. “Lebih baik kehilangan satu pulau daripada satu rakyat dikorbankan. Nasionalisme mengajarkan untuk menyelamatkan nyawa rakyat. Bukan mengorbankan nyawa rakyat tak berdoa”. Ke depan ,Ketua MPR, DPR bahkan Presiden dan para menteri baiknya harus dari anak bangsa yang taat HAM dan Konstitusi Ini pembelajaran yang sangat kurang baik, kurang etis, kurang manusiawi, dan melanggar etika kebangsaan dalam semangat Pancasilais, konstitusionalis dan humanis. Dalam sila kedua Pancasila, sangat jelas menegaskan bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengabaikan HAM sangat tidak manusiawi dan tidak beradab. Ketua MPR atau pejabat negara lain di Jakarta harus bisa membedakan antara konflik kombatan dan HAM. Harus punya wawasan kebangsaan yang cukup. Punya jiwa nasionalisme yang menyelamatkan rakyat. Memiliki pemahaman yang bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Bisa menjaga warga negara. Tujuan bernegara adalah melindungi warga negara. Bukan melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap warga negara. Seorang pemimpin harus selesai dengan dirinya sendiri soal pemahaman kebangsaan yang sebenarnya dan seutuhnya. Mengelolah negara yang multi kultur, butuh wawasan kebangsaan yang sempurna. Gus Dur harus bisa jadi contoh sebagai Bapak Bangsa yang memper-erat persaudaraan dan pembersatukan perbedaan. Yones Douw memberikan jalan yang soluktif yakni “meminta pemerintah Indonesia berunding dengan rakyat Papua untuk mencari solusi konflik Papua secara Damai. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, dan justru menyebabkan masalah baru. Kekerasan di masa lampau menimbulkan trauma kolektif dan upaya balas dendam dari kedua belah pihak”. Karenanya, seorang pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang selalu mencari solusi damai untuk selesaikan masalah bangsa dan masalah negaranya. Bukan memakai kekerasan apalagi mengabaikan HAM. Cara-cara manusiawi dan bermartabat bisa dilakukan dan ditempuh. Alangkah Indahnya jika cara menyelesaikan masalah di Papua melalui Perundingan antara Jakarta (Istana) dan Papua (ULMWP) seperti perundingan di Aceh. Ini yang harus disuarakan oleh pejabat publik. Presiden harus bisa buka diri untuk kemanusiaan. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.
Eranya Jokowi, Indonesia Buruk Soal Pemberantasan Korupsi & Demokrasi
by Gde Siriana Jakarta FNN - Indeks Persepsi Korupsi-IPK (Corruption Perception Index-CPI) yang dikeluarkan Berlin-based Transparency International sejak 1995, menunjukkan bahwa IPK Indonesia tahun 2020 melorot 3 poin dibanding tahun 2019, dan menempati ranking 101 dari 179 negara. Jika dilihat sejak 2015-2020, maka score-nya pun tidak berubah banyak. Tahun 2015 score-nya 36 dengan posisi di ranking 88. Meskipun 2020 score-nya naik menjadi 37, tetapi rankingnya melorot jauh ke posisi 101. Artinya banyak negara lain yang lebih baik dalam pemberantasan korupsinya, sehingga menyalip posisi Indonesia. Soal pemberantasan korupsi ini, peran dan efektifitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai garda depan pemberantasan korupsi patut dipertanyakan. Bahkan dari dua peristiwa terakhir di tahun 2021 yang melibatkan oknum KPK, yaitu penggelapan barang bukti dan suap kepada penyidik KPK menunjukkan bahwa KPK mengalami penurunan kualitas. Bahasa halusnya degradasi moral. Dua menteri yang dijadikan tersangka oleh KPK, Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara sangat mungkin perisitiwa ini yang dapat menurunkan kepercayaan publik pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentunya sangat mungkin ini semua menurunkan score dan posisi Indonesia dalam daftar Indeks Persepsi Korupsi tahun 2021. Indeks Demokrasi Parah Menurunnya indeks persepsi korupsi ini juga seiring dengan menurunnya indeks demokrasi di Indonesia. Indeks demokrasi yang disusun oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), divisi riset dari The Economist Group yang berbasis di Inggris, menempatkan indeks demokrasi Indonesia tahun 2020 di ranking 64 dari 167 negara. Fakta global menunjukkan banyak negara mengalami penurunan score indeks demokrasi selama masa pandemi Covid19. Sangat mungkin selama pandemi, pemerintahan di banyak negara merespon pandemi dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak melalui proses demokratis yang melibatkan peran serta publik, sehingga kebijakannya dianggap tidak sesuai harapan publik atau pro masyarakat banyak. Meskipun secara global banyak negara yang mengalami penurunan indeks demokrasi, yang paling memprihatinkan di Indonesia adalah selama lima tahun terakhir, 2015-2020 telah terjadi trend penurunan indeks demokrasi. Jika tahun 2015 score-nya 7,03 dengan ranking 49, maka di 2020 turun drastis score-nya menjadi 6,30 di rangking 64. Sedangkan untuk masuk level negara full-democracy score-nya harus mencapai 8. Artinya selama lima tahun terakhir, terjadi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Bandingkan dengan Timor Leste yang ranking nya relatif tetap di posisi 44, baik di tahun 2015 maupun tahun 2020. Meskipun terjadi perubahan kriteria penilaian indeks demokrasi dalam beberapa tahun terakhir, tidak bisa disangkal bahwa penurunan ranking itu menunjukkan ada negara lain yang lebih baik kulitas demokrasinya sehingga menyalip posisi Indonesia. Melihat trend penurunan indeks demokrasi dan indeks persepsi korupsi di Indonesia selama lima tahun terakhir, menarik untuk munculnya suatu hipotesa bahwa ada korelasi antara menurunnya kualitas demokrasi dan meningkatnya korupsi di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Meskipun hipotesa itu perlu dibuktikan dengan metodelogi kuantitatif, setidaknya secara kualitatif beberapa fakta dapat dijadikan dasar bagi hipotesa tersebut. Misalnya, tidak berfungsinya peran dan fungsi parlemen sebagai saluran demokrasi sekaligus mengawasi jalannya pemerintahan. Karena hampir semua Parpol Politik (fraksi) menjadi bagian dari koalisi kabinet Jokowi. Sangat wajar jika kemudian kebijakan yang dianggap publik sebagai kebijakan yang berpotensi rente atau dikorupsi tidak mendapatkan resistensi dan pengawasan yang proper dari parlemen. Kita bisa menyaksikan bagaimana resistensi publik pada kebijakan Kartu Pra Kerja di awal pandemi yang kemudian direvisi karena tekanan publik yang amat kuat. Juga resistensi publik pada UU Omnibus-Law Cipta Kerja yang dianggap lebih pro pengusaha. Tidak transparanan pembuat kebijakan patut untuk dianggap sebagai kebijakan rente atau kebijakan yang koruptif, karena adanya kolusi antara pembuat kebijakan dan pengusaha. Mekanisme threshold pada kontes politik yang menimbulkan mahar politik untuk elit-elit parpol. Mekanisme ini faktanya dapat menurunkan kualitas demokrasi karena pencalonan kontestan politik sangat ditentukan oleh uang. Bukan karena partisipasi atau kehendak rakyat. Ujungnya, kontes politik berbiaya tinggi ini menjadi motif dari kasus korupsi kepala daerah terpilih di kemudian hari. Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan awal, bahwa selama masih ada mahar politik akibat aturan threshold, maka kontes politik yang berbiaya tinggi pasti terjadi. Ujungnya adalah kasus korupsi dan kebijakan yang koruptif (rente) di Indonesia akan sulit diberantas. Penulis adalah Direktur Eksekutuif INFUSS.