NASIONAL

Awas Skenario Rusuh Tiga Periode Jokowi

by Tarmidzi Yusuf Jakarta FNN - Selentingan bakal adanya 'Proyek Rusuh Nasional' dalam rentang tahun 2021 - 2023, akhir-akhir ini kembali berhembus atau dihembuskan ke ruang publik. Banyak pengamat dan aktivis dakwah mengaitkan 'Proyek Rusuh Nasional' dengan isu tiga periode Jokowi. Disebut 'proyek' karena ada sponsor politik, donatur, 'pasukan' cyber dan 'pasukan' perusuh. Bahkan yang harus dicurigai dibalik gencarnya impor TKA dari China komunis. Tentu saja erat kaitannya dengan kepentingan politik dan ekonomi para cukong, jenderal merah hitam dan kelompok kiri radikal berkedok Proyek Strategis Nasional (PSN). Menurut diskusi yang berkembang, hanya melalui “Proyek Rusuh Nasional” yang berdarah-darah, skenario Jokowi tiga periode bisa berjalan mulus. Mereka mengkondisikan negara dalam keadaan darurat sipil. Penulis condong menyebutnya di darurat sipilkan sebagai alasan Jokowi lanjut tiga periode. Dalam situasi di darurat sipilkan, MPR dipaksa menggelar sidang istimewa untuk mengamandemen Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur masa jabatan presiden. Pertanyaannya, kenapa harus melalui “Proyek Rusuh Nasional” untuk mengamandemen Pasal 7 UUD 1945? Bukankah masih ada celah lain. Dekrit Presiden misalnya. Dalam situasi normal dan konstelasi politik nasional di MPR/DPR saat ini, mustahil MPR akan meloloskan amandemen Pasal 7 UUD 1945 dari dua periode menjadi tiga periode atau khusus Pasal 7 kembali ke UUD 1945 Asli kecuali melalui Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 Asli. Namun, yang perlu diwaspadai, para cukong, jenderal merah hitam dan kelompok kiri radikal akan nimbrung sebagai penumpang gelap isu kembali ke UUD 1945 Asli melalui Dekrit Presiden, apabila upaya melalui parlemen menemui jalan buntuh. Dengan kembali ke UUD 1945 Asli, otomatis Jokowi bisa melenggang kembali menjadi Presiden tiga periode. Bahkan Presiden seumur hidup. Dalam pengamatan penulis, ada beberapa partai politik pemilik kursi di MPR berada di barisan pendukung Jokowi. Misalnya; Golkar, PKB, NasDem dan PPP. Total kursi 221 kursi atau 31% dari total 711 kursi di MPR. Dengan tekanan politik yang luar bisa dalam situasi abnormal, bisa saja PDIP yang memiliki 128 kursi bersama PAN yang punya 44 kursi berbalik arah ditambah dengan sebagian anggota DPD mendukung Jokowi tiga periode. Pendukung Jokowi tiga periode di MPR diperkirakan hampir 70%. Kurang 5% untuk menjadi 2/3 suara, seperti yang dipersyaratkan oleh Pasal 37 ayat 3 UUD 1945. Isu kudeta Partai Demokrat yang memiliki 54 kursi di MPR atau 7,3% beberapa bulan lalu gagal total. Dalam konteks inilah kita membaca kenapa ada yang berupaya “merampok” Partai Demokrat. Ambisi untuk tiga priode kemungkinan saja menjadi salah satu tujuan utama. Lantas apakah rakyat akan terpancing dengan Proyek Rusuh Nasional tiga priode Presiden Jokowi? Kemungkinan rakyat akan terbelah menjadi dua kelompok besar. Yang satu pendukung Jokowi tiga periode versus yang kontra Jokowi tiga periode. Siapa yang kuat? Estimasi penulis, rakyat yang kontra Jokowi tiga periode tidak akan terpancing dengan isu “Proyek Rusuh Nasional”. Sebaliknya, “Proyek Rusuh Nasional” bisa saja mempercepat lengsernya Jokowi sebelum 2024 tiba. Ibaratnya, seperti membakar lumbung. Padinya tidak terbakar, tetapi yang membakar terbakar. Pasalnya rakyat makin cerdas, terutama belajar dari kerusuhan Mei 1998 dan kerusuhan 21 - 23 Mei 2019. Ada pasukan liar, berupa perusuh-perusuh profesional yang disusupkan seperti tahun 1998 dan 2019. Wallahua'lam bish-shawab. Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial

Rekayasa Dukungan Untuk Tiga Periode?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Bulan April lalu Benteng Indonesia (Benin) entah Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi lainnya, entah mimpi apa di siang bolong mulai menggelindingkan dukungan tiga periode untuk jabatan Jokowi. Artinya kelompok ini mendorong adanya amandemen UUD 1945 untuk mengubah batasan masa jabatan Presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Jokowi dipastikan mengatakan itu bukan idenya. Bahkan kemungkinan akan menyatakan "tidak tahu menahu'. Seperti biasa kebiasaan Jokowi. Jika muncul kelompok lain yang melakukan hal serupa dikemudiannya, maka sudah pantas rakyat atau masyarakat mencurigai adanya ulah oknum pendukung Jokowi di sekitarnya yang memang serius memperjuangkan. Meskipun demikian, Jokowi pun mulai dan patut diduga berada di belakangnya. Operasi yang berbiaya tinggi untuk suatu sukses politik mulai dijalankan. Ungkapan bahwa Jokowi sendiri tidak ada niat untuk menjabat tiga periode mulai diragukan. Bahkan sangat wajar untuk tidak dipercaya sama sekali, karena begitulah kebiasaan Jokowi. Antara omongan dan perbuatan tidak pernah singkron. Lihat saja penerapan Protokol Kesehatan (Prokes). Isu tiga periode telah lama mengemuka. Mengingat peta politik dan kepentigan pragmatis dari partai politik, maka isu ini bukan mustahil menjadi kenyataan. Aspirasi rakyat mudah dibelokkan oleh penentu kebijakan politik di DPR atau MPR. Apalagi DPR telah menjadi perpanjangan tangan kepentingan oligarki dan konglomerat hitam, busuk, picik, licik dan tamak. Toh sudah terbukti bahwa aspirasi rakyat hanya dibutuhkan hanya saat Pemilu. Itupun dapat direkayasa. Lihat saja pada pembentukan UU Cipta Kerja, UU KPK dan UU Minerba. Rakyat sama-sekali tidak didengar suaranya. Problem kepartaian kini adalah partai politik bukan lagi berfungsi sebagai elemen penegak demokrasi, melainkan menjadi perusak demokrasi. Jika semakin gencar tekanan untuk amandemen UUD 1945 dengan muatan perpanjangan masa jabatan Presiden boleh menjadi tiga periode, maka akan gencar juga kelompok atau aspirasi yang akan melakukan penolakan. Situasi politik semakin bakalan semakin memanas dalam polarisasi dua kepentingan yang berposisi diametral. Bukan mustahil muncul dan menguat pula aspirasi antitesis yang lebih menukik dan tajam, dengan beberapa alasan. Pertama, persoalan amandemen UUD 1945 bukan hanya sekedar perpanjangan jabatan yang dimasalahkan. Tetapi beberapa amandemen terdahulu juga perlu dikritisi. Isu politiknya adalah kembali ke UUD 1945 yang murni. MPR berdaulat kembali dan menjadi Lembaga Tertinggi Negara. Presiden bertanggungjawab kepada MPR. Tidak asal pergi meninggalkan jabatan. Kedua, jangankan Presiden yang bertambah masa jabatan menjadi tiga periode, untuk bisa bertahan hingga 2024 saja sudah sangat berat. Bisa saja ada desakan agar Presiden cukup sampai disini. Desakan konstitusional agar Presiden mundur atau dimundurkan. Rakyat melihat pada ketidakmampuan Presiden dan penyimpangan dalam pengelolaan negara. Gelindingan dan perjuagan agar Presiden Jokowi menjabat tiga periode bukan tanpa tantangan dan risiko. Meski sepintas terlihat mudah. Tetapi prakteknya tak semudah yang dikalkulasikan. Sejarah telah sarat dengan catatan tentang perubahan politik yang cepat dan tak terduga-duga. Korupsi Itu Tanggungjawab Presiden Bukan Mahfud MD kalau tidak membuat gaduh. Seolah Menkopolhukam adalah Menteri yang mengkoordinir penciptaan keramaian politik, kegundahan hukum, dan kerentanan keamanan. Lempar batu sembunyi tangan. Ungkapan paling mutakhir Mahfud adalah korupsi kini yang merajalela dan Perguruan Tinggi harus bertanggungjawab. Alasan Mahfud koruptor itu sebagian besar produk Perguruan Tinggi. Ternyata Mahfad naif sekali. Seperti orang dungu, dongo, kaleng-kaleng, odong-odong dan beleng-belang. Mahfud lupa kalau korupsi merajalela pasca reformasi, dan rakyat menilai itu di eranya Pemerintahan Jokowi justru yang paling parah. Itu tanggung jawab Presiden Jokowi Bukan beban dan tanggungjawab dari kalangan PerguruanTinggi. Realitanya bahwa lingkungan yang dimasuki para alumni adalah ruang beriklim kehidupan ketatanegaraan yang sangat korup. Birokrasi korup, legislative korup, yudikatif korup, pemerintahan daerah dan instansi lainnya juga ramau korup berjamaah di eranya Presiden Jokowi. Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Karenanya bertanggungjawab atas atmosfir yang ada di berbagai bidang kehidupan pengelolaan negara. Kata Cirero, “ikan itu busuk dari kepalanya”. Jika Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan mengalami proses pembusukan, maka dampaknya menjadi multi-dimensional. Menjadi ikutan-ikutan anak buah dan instansi pemerintah lain di bawahnya. Penilaiannya adalah cara memimpin atau mengelola negara yang gagal atau tidak becus. Tata kelola yang primitif, amatiran dan kampungan. Jauh dari tata kelola negara yang benar dan profesianal. Sehingga wajar saja kalau tidak yang dapat dibanggakan dari pemerintahan Jokowi. Presiden siapapun yang tidak tegas dalam memerangi korupsi, akan dilingkari oleh orang-orang yang berani untuk korupsi. Sebaliknya menjadi baik dan profesional jika Presiden tegas, tidak pandang bulu. Seiya sekata antara perbuatan dan tindakan. Tidak memaksakan diri untuk membangun dinasti politik kerluarga anak ddan menantu. Presiden harus bisa membuktikan dalam kebijakan politik yang diambilnya selalu memerangi dan memberi contoh sebagai pemberantas korupsi. Maka birokrasi, legislatif atau badan apapun akan segan, bahkan takut untuk melakukan korupsi. Karena Presiden memberi contoh baik. Jadi korupsi merajalela, meski banyak faktor yang turut menjadi sebab dan banyak pihak harus bertanggungjawab, maka faktor utama dan menentukan adalah Presiden yang tidak berwibawa. Tidak jujur dan tidak berkualitas. Bukan Presiden yang masa bodoh, gemar pencitraan, plintat-plintut, atau pelabrak hukum dan etika politik. Bahkan bisa-bisa diindikasikan korup juga. Presiden Jokowi dengan revisi UU KPK yang melumpuhkan lembaga KPK justru nyata-nyata tak menunjukkan teladan bagi pemberantasan korupsi. Presiden semestinya mampu menggerakkan segenap aparat penegak hukum untuk bekerja maksimal memberantas korupsi. Bukan yang sebaliknya. korupsi seperti dibiarkan merajalela sebagai konsekuensi dari rezim investasi. Para investor hanya akan berdatangan untuk menanamkan modalnya di negara dengan pemerintahnya tidak korup. Investasi dan hutang luar negeri yang tidak berimplikasi pada budaya upeti dan komisi. Tragisnya, korupsi kini dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja. Bahkan dilakukan dengan rapih melalui perencanaan yang rapih dan matang. Dampingan korupsi, yaitu kolusi dan nepotisme ternyata turut merajalela pasca reformasi, khususnya sekarang ini. Mahfud MD semestinya bukan menyalahkan Perguruan Tinggi, tetapi menyalahkan diri sendiri sebagai bagian dari Pemerintahan Jokowi. Menkopolhukam adalah "tangan kanan" penanggungjawab pemberantasan korupsi saat ini di negeri ini. Jadi, jika dipertanyakan merajalelanya korupsi menjadi tanggungjawab Perguruan Tinggi atau Menkopolhukam, maka jawabannya tanggungjawab Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Nah, jika pertanyaannya menjadi tanggungjawab PerguruanTinggi atau Presiden? Pastilah jawabannya tanggungjawab Presiden! Presiden yang disadari atau tidak telah menciptakan iklim korupsi di segala bidang kenegaraan. Tak serius dalam melakukan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Terus mau berambisi untuk menjabat tiga priode? Sebaiknya ngaca dirilah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Imperialisme Digital

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Program “Literasi Digital Nasional” diluncurkan menandai peringatan “Hari Kebangkitan Nasional” tahun 2021, Kamis 20 Mei 2021. “Saya harap gerakan ini menggelinding dan terus membesar, bisa mendorong berbagai inisiatif di tempat lain melakukan kerja-kerja konkret di tengah masyarakat agar makin cakap memanfaatkan internet untuk kegiatan edukatif dan produktif,” kata Presiden Jokowi melalui sambutan virtual. Presiden merinci barisan “musuh” bangsa yang harus diperangi lewat maraknya konten-konten negatif dan eskalasi kejahatan yang hadir di ruang digital seperti hoaks, penipuan daring, perjudian, eksploitasi seksual pada anak, perundungan siber, ujaran kebencian, dan radikalisme berbasis digital. Mengutip sejarah, Hari Kebangkitan Nasional 113 tahun lalu pada 20 Mei 1908, dipelopori Dr. Wahidin Soedirohoesodo bersama tiga mahasiswa School tot Opleiding van Indische Artsen(STOVIA) mendirikan organisasi Boedi Oetamo. Ketiga mahasiswa itu adalah Soetomo, Gunawan Mangunkusumo, dan Suraji yang telah lama mengagumi dr Wahidin melalui majalah Retno Dumilak. Embrio pergerakan perjuangan menjadi bangsa itu, berlanjut dengan peristiwa “Hari Soempah Pemoeda” 28 Oktober 1928 dan mencapai puncaknya pada “Hari Proklamasi Kemerdekaan RI-17 Agustus 1945”. Jejak rangkaian narasi “kebangkitan” nasional itu, adalah embrio konsolidasi kesadaran berbangsa. Konsolidasi yang di dalamnya sarat semangat anti penjajahan, kolonialisme dan imperliasme. Semangat anti Belanda yang selama kurang lebih 350 tahun telah menjajah dan memangsa mentah-mentah SDA Indonesia melalui kekerasan, perbudakan dan bahkan penghinaan dalam bentuk kerja paksa di negeri sendiri. Di tengah ketidakpastian tampang regulasi saat ini, ancaman imperialisme digital sudah di depan mata. Salah satu contohnya persekutuan raksasa start-up Gojek dengan raksasa lainnya Tokopedia. Telusurilah “riwayat hidup” keduanya di mesin pencari “Google”. Akan ditemui fakta kedua raksasa kapitalisme yang berjubah imperialisme digital tersebut, memposisikan rakyat Indonesia yang berjumlah ratusan juta hanya sebagai “mesin” pencetak uang triliunan tiap bulan secara digital untuk kantong mereka di luar negeri. Memang benar menjanjikan kemudahan di semua bidang. Namun pada saat yang sama menyembunyikan “bencana yang tertunda” (delayed disarter) jangka Panjang. Dalam arti pergeseran budaya pekerja keras aktif menjadi mentalitas konsumerisme pasif, komentar seorang pakar komunikasi. Artikel dekan Fakultas Hukum UI, Dr. Edmond Makarim, (Kamis, 14 January 2021) yang mengutip Data Digital Economy Report 2019 dari United Nations Conference (UNCTAD) tahun 2019, menarik untuk dicermati. Secara gamblang menunjukkan bahwa perusahaan teknologi digital terkonsentrasi secara geografis di AS dan Tiongkok. Meskipun terdapat perusahaan-perusahaan digital yang berasal dan beroperasi di pasaran negara berkembang, mereka tampaknya hanya menjadi porsi marjinal dalam ekonomi digital. Meskipun saat ini tengah semarak hadirnya aplikasi nasional, sebagaimana dijelaskan di atas. Saat ini penguasaan infrastruktur digital tidak berada di tangan bangsa. Dengan pemanfaatan cloud computing, justru data diunggah dan ditampung ke dalam suatu sistem akuarium informasi global yang dapat dilihat oleh yang menguasainya. Kepercayaan pengguna terhadap produk teknologi seharusnya tidak lepas dari sejauh mana pengetahuan mereka akan resiko kerentanan kegagalan teknologi tersebut. Juga bagaimana hal itu telah dikelola atau dimitigasi dengan baik. Tidak ada kesempurnaan dalam teknologi, sehingga seharusnya ada kepastian prosedural untuk mitigasi. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari kewenangan administratif terkait. Tidak hanya dilepaskan kepada kompetisi pasar saja. UU-PDP itulah sesungguhnya bentuk nyata mitigasi verbal yang harus menjadi domain negara. Baru saja di pertengahan Desember lalu, pengguna di dunia dikejutkan dengan gangguan layanan Google selama satu jam. Bahkan raksasa teknologi itu ternyata tidak bisa mencegah 100% terjadinya kerusakan atau gangguan teknologi. Juga tidak menjamin keandalan sistem elektroniknya. Imperialisme sejatinya tidak benar-benar hilang dari kehidupan manusia. Di zaman now, dunia digital pun tidak benar-benar lepas dari yang namanya imperialisme. Inilah yang selanjutnya disebut dengan imperialisme digital (digital imperialism). Dengan kata lain, ini bukanlah istilah baru. Ada diksi yang sejenis dengan itu, misalnya digital colonialism (kolonialisme digital). Keduanya merujuk pada makna yang sama, yaitu penjajahan digital. Percaya atau tidak, kita sejatinya berada dalam jebakan batman. “Terjebak” dalam berbagai tawaran yang menggiurkan dari revolusi digital tersebut. Padahal, setiap aktifitas kita, saat tersambung dan terhubung dalam jaringan digital, semua itu ada cost-nya. Dan, biayanya itu, bukan hanya sekedar berbentuk uang ataupun pulsa yang disedot. Tetapi lebih dari itu. Ada social cost yang harus dibayar. Dimana ini yang kerapkali kita lupakan, atau mungkin tidak kita sadari. “Social cost inilah yang kemudian akan dikapitalisasi oleh penyedia layanan. Baik itu sosial maupun bisnis. Sehingga menjadi kekuatan mereka, untuk dalam beberapa waktu ke depan, mendikte bahkan “memperkuda” kita dalam setiap aktifitas kehidupan. Dengan demikian sudah semestinya kita aware tentang hal ini”, tulis Makarim. Berdasarkan hasil penelitian, dengan hadirnya ekonomi digital dan teknologi digital pada umumnya, menjadilah Indonesia pasar besar sambil memproduksi kekhawatiran. Start-up lokal yang membesar merangsang injeksi modal venture capitalist asing sebagai pintu masuk modal asing untuk “mencaplok” Indonesia. Meluapnya demam venture capitalist berburu start-up Indonesia yang rindu biaya peningkatan, mengubah status kepemilikan start-up pindah ke tangan investor asing. “Menempatkan founder di pinggiran dengan saham minimal. Mereka bukan lagi pemilik. Tetapi sudah berubah menjadi pekerja. Banyak contoh soal nasib kelam start-up lokal. Sebutlah seperti tokopedia, traveloka, bukalapak, lazada dan lain-lain, yang telah diambil alih oleh asing dan aseng”, tulis Asih Subagyo, Sekjen Muslim Information Technology Association (2017). Program gerakan “Literasi Digital Nasional” menjadi rahmat dan sekaligus elemen bencana baru bagi bangsa. Dominasi modal asing akan mengangkangi perekonomian nasional arus utama bangsa. Meniscayakan hadirnya pagar beton regulasi nasional yang tangguh. Keperkasaan regulasi nasional adalah harga mati. Gunanya untuk menangkal ancaman imperialisme digital yang membawa dinamika, penetrasi maupun invasi taring raksasa kapitalisme global yang menjadi mesin penggerak “budaya” pencaplokan terselubung melalui layanan cepat virtualisasi. Yang jelas sampai hari ini, DPR belum juga berhasil menerbitkan UU-PDP (Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi) bagi 279 juta orang penduduk negeri ini . Meskipun RUU-PDP itu telah berkali-kali direncanakan dibahas, sampai sekarang belum berwujud. Sebuah berita buruk saat ini meledak di semua media: terjadi kejahatan digital peretasan data pribadi 279 juta penduduk yang berasal dari kantong BPJS Kesehatan. RUU-PDP telah disusun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) tahun 2014. Pemerintah bersama-sama DPR telah mengupayakan agar disahkan menjadi undang-undang pada priode 2014-2019. Hingga berakhir masa legislasi 2014-2019, UU itu tidak diapa-apain juga. Pada periode legislasi 2019-2024, RUU-PDP kembali diusulkan pemerintah pada 17 Desember 2019, dan masuk dalam jajaran Prolegnas Prioritas tahun 2020. Namun sampai hari ini tidak ada kabar berita. Sumber di DPR menyebutkan penyebab tersendatnya pembahasan RUU itu, karena ada perbedaan persepsi yang prinsipil antara pemerintah dengan legislator. Eksekutif menghendaki dirinya sebagai “agen tunggal” pengelolaan sanksi-sanksi UU itu kepada operator aplikasi digital yang beromzet trilunan itu. Tetapi pihak legislatif agaknya kurang setuju dengan diksi “tunggal” itu dengan alasan-alasan tertentu. Apa yang salah pada bangsa ini? Sebuah pesan WhatsApp melesat ke dalam HP saya dengan tulisan yang mengusik: “Satu-satunya kesalahan kalian, karena kalian tidak bersalah”. Itu potongan dialog drama kolosal kelas dunia berjudul “Montserrat” karya Emanuel Robles (1948). Diterjemahkan sastrawan papan atas Indonesia, almarhum Drs. Asrul Sani. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.

Setelah 23 Tahun, Jokowi Matikan Reformasi

Reformasi yang dikumandangkan 23 tahun yang lalu kini sudah dikubur pemerintah Jokowi. Lembaga-lembaga yang lahir dari rahim reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial sudah diamputasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang sudah hampir mati. Ya, sejak pemerintahan Joko Widodo periode pertama, semua dikikis perlahan, tapi pasti. Hampir tujuh tahun berkuasa, Jokowi dan kroninya menumbuh-suburkan KKN, membunuh demokrasi, mempermainkan hukum. "Hukum tajam ke oposisi dan pengeritik, tetapi tumpul ke pendukung Jokowi." Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, (FNN) - KAMIS, 21 Mei 1998 sekitar pukul 9.00, Soeharto menyatakan mundur sebagai Presiden Republik Indonesia. Pengumuman tersebut pun disambut dengan gegap gempita oleh mahasiswa yang sudah berhari-hari menduduki gedung Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat (DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat. Luapan kegembiraan diekspresikan dengan berbagai macam. Ada yang menceburkan diri ke kolam air mancur si halaman gedung tersebut. Ada yang mencukur rambut sampai botak. Ada yang mengibar-kibarkan spanduk dan ada yang bertepuk tangan sambil bersorak ria. Itulah kejadian 23 tahun yang lalu. Ketika masyarakat dan mahasiswa turun ke jalan, menuntut Soeharto lengser dari jabatan yang sudah dipegangnya selama 32 tahun. Masyarakat menuntut Soeharto berhenti sebagai presiden karena kepemimpinannya dinilai syarat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). KKN adalah isu sentral waktu itu. Selain itu juga ada tuntutan menghapus Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), serta pembubaran Golongan Karya (Golkar). Dwifungsi ABRI berhasil dihapus tidak lama setelah Soeharto lengser. ABRI berganti nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pun dipisah dari TNI. Sedangkan tuntutan agar Golkar dibubarkan tidak berhasil. Partai penyokong utama Orde Baru (Orba) itu tetap kokoh, dengan tambahan nama menjadi Partai Golkar. Perubahan nama dan kokohnya Golkar berkat kegigihan perjuangan Akbar Tanjung. Walaupun banyak pentolan partai berlambang pohon beringin itu mendirikan partai, namun Partai Golkar tetap kokoh, dan selalu menjadi urutan tiga besar pemenang dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Turunnya Soeharto adalah rangkaian penolakan sejak ia dipilih kembali menjadi presiden dalam Pemilu 1997. Kemudian, ia menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yang menjadi pemicu gelombang demonstrasi yang dilakukan masyarakat di beberapa kota, seperti Medan, Makassar, Bandung dan Yogyakarta. Tidak ketinggalan demonstrasi di Jakarta, dengan titik konsentrasi di sekitar kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat. Puncaknya, ketika terjadi penembakan terhadap mahasiswa yang berdemo di depan kampus tersebut pada tanggal 12 Mei 1998. Penembakan dengan peluru tajam yang dilakukan aparat keamanan menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti, dan puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Peristiwa penembakan itu tidak membuat aksi demo surut Bahkan, tidak lama setelah itu, aksi kerusuhan yang diikuti dengan penjarahan dan pembakaran rumah toko (ruko) milik orang-orang China. Sejumlah pusat perbelanjaan modern, baik mal maupun minimarket juga tidak luput dari aksi yang sama. Puncaknya, gabungan mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta dan sekitarnya, termasuk dari Bandung menduduki gedung DPR/MPR. Walau sempat dihalau aparat keamanan, tetapi mereka bergeming dan menginap di "rumah rakyat" itu. Mahasiswa yang didukung masyarakat dan juga sejumlah purnawirawan jenderal TNI menginap di gedung tersebut. Harapannya, Soeharto turun tanggal 20 Mei 1998, berkaitan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Namun, Soeharto membaca hal itu, dan dia ulur waktu walau hanya semalam. Perubahan! Itulah yang diharapkan masyarakat setelah Soeharto lengser. Perubahan dari rezim otoriter menjadi demokratis. Dari represif menjadi humanis. Dari pemerintahan yang kotor dengan KKN menjadi bersih. Masih banyak lagi harapan lain. Kini, setelah 23 tahun reformasi, hampir semua yang diharapkan masyarakat itu hanya menjadi mimpi belaka. KKN yang diharapkan hilang, malah semakin gemilang. Cita-cita demokrasi, sudah kandas. Sejumlah aktivis yang kritis terhadap pemerintah pun ditangkapi. Demo masyarakat dibubarkan dengan gas air mata, dan bahkan kekerasan yang berujung pada tewasnya beberapa orang dan ratusan luka (peristiwa demo Mei 2019 di Bawaslu, Jakarta). Reformasi Dikubur Reformasi yang dikumandangkan 23 tahun yang lalu kini sudah dikubur pemerintah. Lembaga-lembaga yang lahir dari rahim reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial sudah diamputasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang sudah hampir mati. Ya, sejak pemerintahan Joko Widodo periode pertama, semua dikikis perlahan, tapi pasti. Hampir tujuh tahun berkuasa, Jokowi dan kroninya menumbuh-suburkan KKN, membunuh demokrasi, mempermainkan hukum. "Hukum tajam ke oposisi dan pengeritik, tetapi tumpul ke pendukung Jokowi." Bukti KKN semakin marak sudah terlihat di depan mata. Jika di era Soeharto korupsi berada di lingkaran Bina Graha (Kantor Presiden Soeharto) dan Cendana (kediaman pribadinya), sekarang korupsi sudah menyebar secara merata. Jika dilihat, yang paling banyak melakukan korupsi berasal dari partai pendukung utama pemerintah Jokowi, yaitu PDI Perjuangan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada upaya terstruktur, sistematis dan masif untuk membubarkan KPK. Kolusi juga semakin merajalela. Lihat saja, kasus korupsi yang melibatkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edy Prabowo dan Menteri Sosial, Juliari Batubara, yang ditandai kolusi dengan pengusaha. Kolusi antara pejabat pemerintah dan pengusaha, kini hampir terjadi di semua tingkatan. Itu baru yang kelihatan nyata. Biasanya, pejabat yang berkolusi beralasan menjalin kerjasama. Tidak heran, karena kolusi, korupsi semakin tumbuh subur. Markobar, yang merupakan usaha martabak milik putra Jokowi, Gibran Rakabuming diplesetkan menjadi Mari Korupsi Barang (Sama-sama). Nepotisme, jelas di depan.mata, terutama dilakukan Jokowi terhadap anaknya, Gibran yang menjadi Wali Kota Solo, dan menantunya Boby Nasution yang menjadi Wali Kota Medan. Seandainya Jokowi bukan presiden - cuma Gubernur DKI Jakarta - belum tentu anak dan menantunya itu menjadi wali kota. Nepotisme dilakukan seluruh partai, termasuk partai yang lahir di era reformasi. Nah, ini baru enam tahun jadi presiden, ia sudah bisa menempatkan anak dan menantunya di singgasana kekuasaan. Berbeda dengan Soeharto yang berkuasa 32 tahun, tetapi tidak pernah menempatkan putra dan putrinya maupun menantunya menjadi gubernur, bupati dan wali kota. Padahal, di masa Soeharto semua gubernur, bupati dan wali kota yang dipilih melalui DPRD, harus mendapat persetujuan dari Jenderal Besar TNI itu. Hanya di penghujung jabatannyalah, putri sulungnya Siti Herdiyanti Indrarukmana atau Tutut diangkat menjadi Menteri Sosial. Jabatan itu pun hanya diemban sekitar tiga bulan, karena sang ayah berhenti sebagai presiden. Betul, di masa Orba, menterinya sering diisi dengan kroni Soeharto. Akan tetapi, hal yang sama juga terjadi di era Jokowi. Sebut saja Puan Maharani yang diangkat menjadi Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, pada periode pertama Jokowi-Jusuf Kalla. ** Penulis, Pemimpin Redaksi FNN.co.id.

Hari Kebangkrutan Nasional

By Prof. Daniel Mohammad Rosyid PhD, M.RINA Surabaya, FNN - Di samping hutang pemerintah dan swasta yang menggunung mencapai lebih dari Rp 10.000 Triliun pengangguran pemuda yang meningkat, indeks persepsi korupsi memburuk, indeks demokrasi menciut, sulit untuk menolak kecemasan bahwa bangsa ini sedang menuju ke kebangkrutan di hampir semua bidang. Kebangkitan Nasional justru menggaung sebagai Kebangkrutan Nasional. Para investor asing mulai meragukan masa depan investasinya di sini karena resiko politik yang tinggi dan mulai mengalihkannya negara lain. Sebagai Republik, negara ini justru mengalami degradasi mengarah ke semacam imperium Romawi di bawah Kaisar Nero. Malpraktek administrasi publik menggerogoti Republik hingga ke akar-akarnya. Konstitusi diubah secara ugal-ugalan sejak Reformasi dan selama 5 tahun terakhir, hukum dibuat dan ditafsirkan bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elite politik dan kartel korporasi. Pemujaan pada investasi asing telah mewujud nyaris menjadi invasi asing dan perampasan lahan dan ruang kehidupan bagi warga negara di banyak tempat di seluruh pelosok negeri. Bersamaan dengan itu kedaulatan hilang menguap entah kemana. Tentara beserta Sapta Marganya sebagai bhayangkara negara lumpuh tak berdaya. Sementara itu polisi semakin jumawa menghadapi rakyat jelata miskin papa. Sudah 70 tahun kemerdekaan Republik ini disandera oleh IMF untuk tunduk pada sistem keuangan ribawi, dan kini Republik harus tunduk dengan aturan WHO dalam menghadapi pandemisasi Covid-19 ini. Jika IMF menjarah kekayaan bangsa ini melalui riba dalam sistem keuangan Republik, kini WHO merampas kemerdekaan sipil atas nama kesehatan. Kerugian sosial-ekonomi-politik Republik ini melampaui semua imajinasi perencana pembangunan. Pada saat ketimpangan pendapatan melebar, kesenjangan spasial memburuk, kita kini juga menyaksikan ancaman atas persatuan bangsa ini dengan munculnya diskriminasi gaya baru. Rezim beserta para pendukung fanatiknya mudah sekali mencap kelompok lain yg berbeda pendapat sebagai anti-Pancasila, anti-NKRI, radikal, bahkan teroris. Kriminalisasi bahkan dilakukan atas para cendekiawan dan ulama kritis yang dengan berbagai rekayasa ditangkap dan dipenjarakan atas delik yang absurd dan mengada-ada. Seratus tahun lebih silam Kebangkitan Nasional menjadi inspirasi bagi kebangkitan pemuda 1928 dan kemudian melahirkan proklamasi kemerdekaan 1945. Saat gelora membebaskan Palestina dari cengkraman Israel menyeruak di sepenjuru negeri, patut direnungkan bahwa belenggu nekolimik masih menjerat leher bangsa ini. Nasib bangsa ini bisa jadi lebih buruk dari bangsa Palestina yang masih bersatu melawan agresi Zionis, sementara kita malah berpecah belah melawan musuh nekolimik yang sama. Saya sungguh cemas apakah Republik ini masih akan ada dalam waktu dekat ini, atau dianeksasi oleh kekuatan asing yg leluhurnya dulu pernah dipusingkan oleh Raden Wijaya dan Diponegoro. Penulis adalah Direktur Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, Surabaya.

Polemik Lebaran 2021: Larangan Mudik, Bipang Ambawang, dan "Serbuan" TKA China

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Setidaknya ada dua peristiwa yang menarik perhatian rakyat sebelum Presiden Joko Widodo promosi kuliner khas daerah di Indonesia. Salah satu yang disebut Presiden dalam promosi itu adalah dari Kalimantan Barat: Bipang Ambawang! “Untuk Bapak/Ibu dan Saudara-saudara yang rindu kuliner khas daerah atau yang biasannya mudik membawa oleh-oleh, tidak perlu ragu untuk memesannya secara online,” ujar Jokowi dalam potongan video akun YouTube Kementerian Perdagangan pada 5 Mei 2021. Selanjutnya, “Yang rindu makan gudeg Jogja, bandeng Semarang, siomay Bandung, empek-empek Palembang, Bipang Ambawang dari Kalimantan, dan lain-lainnya, tinggal pesan. Dan makanan kesukaan akan diantar sampai ke rumah,” ungkap Jokowi. Video bertajuk “05.05 Hari Bangga Buatan Indonesia” itu berisi acara peringatan bangga dengan produk lokal. Dalam pidato ini, Jokowi awalnya mengingatkan saat ini pemerintah melarang mudik Lebaran. Larangan itu dibuat demi keselamatan warga di tengah pandemi Covid-19. “Bapak/Ibu dan Saudara-saudara sekalian, sebentar lagi Lebaran. Namun, karena masih dalam suasana pandemi, pemerintah melarang mudik untuk keselamatan kita bersama,” kata Jokowi. Jagad sosmed dan media mainstream pun ramai bicara soal pernyataan Presiden Jokowi itu. Juru Bicara (Jubir) Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, kemudian sempat menjelaskan soal bipang yang dimaksud Jokowi. Dilihat dari akun Instagram resminya, @fadjroelrachman, Sabtu (8/4/2021), terlihat ada foto bipang yang diunggah Fadjroel. Foto tersebut menampilkan Bipang Jangkar Kwee Ik Sam Pasuruan. “Ini BIPANG atau JIPANG dari beras. Makanan kesukaan saya sejak kecil hingga sekarang. BIPANG atau JIPANG dari beras inilah yang dimaksud Presiden @jokowi. Terimakasih,” tulis Fadjroel seperti dilihat Detikcom pukul 12.23 WIB. Pembelaan Jubir yang akrab dipanggil Panjul ini jelas diketawain netizen yang “melek” mata, telinga, dan huruf. Dalam rekaman video maupun berita berbagai media sudah jelas disebut: Bipang Ambawang, Bukan Bipang Pasuruan! Melansir Detik.com, Fadjroel kemudian mengubah narasi dalam akun Instagram-nya. Dilihat pukul 12.51 WIB, dia hanya menyebut bipang masih hit sampai sekarang. Sebelumnya, video Jokowi soal bipang Ambawang diunggah oleh akun Twitter @BossTemlen. Video itu telah di-retweet ribuan kali. Narasi pada caption video tersebut mempertanyakan mengapa Jokowi mempromosikan bipang Ambawang saat Lebaran. Bipang yang dimaksud dalam narasi ini adalah babi panggang Ambawang. Bipang Ambawang adalah salah satu tempat makan yang menyajikan menu babi panggang di Kalbar. Akun Instagram Bipang Ambawang juga mengunggah video Jokowi yang menyebut Bipang Ambawang sembari berterima kasih karena merasa dipromosikan oleh Presiden. Promosi Bipang Ambawang telah membetot perhatian dan fokus rakyat dari persoalan Mudik Lebaran yang dilarang Presiden Jokowi dan kedatangan TKA China secara massif. Pertama, larangan mudik Presiden Jokowi kepada rakyat yang ingin merayakan Idul Fitri di kampung halamannya dengan dalih mencegah penyebaran Virus Covid-19. Pelarangan mudik Lebaran itu dimulai pada Kamis-Senin, 6-17 Mei 2021. Pelarangan ini, jelas menunjukkan ketidakadilan pemerintah bagi umat Islam. Libur panjang Hari Raya Paskah bulan lalu tak ada larangan, begitu pula mudik untuk Hari Raya Galungam dan Kuningan, semua berjalan lancar tanpa larangan. Rakyat disuguhi narasi lonjakan kasus Covid-19 di India yang sudah mencapai 400 ribu lebih setiap harinya dengan tingkat kematian yang cukup tinggi. Padahal, kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Benarkah karena Covid-19? Atau, jangan-jangan karena ada serangan drone yang sengaja menyebar racun arsenik atau sianida, sehingga banyak rakyat (jelata) India yang jadi korban. Apalagi, di sana mayatnya langsung dikremasi tanpa ada otopsi sebelumnya. Sehingga jelas penyebab kematian massal warga India yang sebenarnya. Bukan karena di-Covid-kan langsung. Seharusnya India berani mengambil sampel korban “Covid-19” untuk diotopsi sehingga diketahui penyebab kematiannya. Kedua, sementara rakyat dilarang mudik, pemerintah mengizinkan TKA asal China “mudik” ke Indonesia. “Seumur-umur saya baru melihat pola penerbangan seperti ini, ada 1-2-3-4-5-6 penerbangan beriringan ke arah timur di utara laut Jawa,” ucap sorang pemantau radar. “Yang saya khawatirkan itu isinya WNA yang mau dipindah yang baru masuk ke wilayah RI Kalau hari normal selama pandemik ini ga pernah saya lihat kejadian seperti ini. Jam segini rata-rata sepi, kosong. Beriringan, dan semua bergerak ke arah timur,” lanjutnya. Meski Menteri Perhubungan Budi Karya Soemadi membantah tidak ada pesawat carteran selama masa pandemi, namun toh faktanya, keesokan harinya setelah ramai ada “bocoran” pemantau radar itu, ada 4 pesawat tiba di Bandara Maleo Morowali. Keempat pesawat carter itu membawa TKA asal China dengan jumlah totalnya 352 orang. Fakta kedatangan 4 pesawat carter di Bandara Maleo ini jelas menjawab bantahan Menhub yang disiarkan secara nasional melalui televisi itu. Bagi rakyat China, setidaknya pandemi Covid-19 telah membawa keberuntungan. Migrasi besar-besaran rakyat China menuju Indonesia bisa aman terkendali. Kalau kemudian terjadi lonjakan kasus Covid-19 pasca Lebaran, jangan salahkan umat Islam. Kabarnya, selama pandemi yang dimulai pada akhir 2019 - 2020 - 2021 setudaknya terdapat 1.238 penerbangan dari China ke Indonesia melalui bandara-bandara internasional maupun bandara-bandara kecil di seluruh wilayah Indonesia. Konon pula, sebanyak 933 kapal-kapal besar dan sedang telah membawa para emigran melalui pelabuhan-pelabuhan besar dan kecil di pelosok Indonesia. Hingga 2021, jumlahnya telah melebihi kuota 10 juta lapangan kerja yang pernah dijanjikan Presiden Jokowi. Sebanyak 125 perusahaan konglomerasi yang ada di Indonesia sudah menjamin kesejahteraan seluruh emigran beserta keluarganya untuk menetap dan menjadi WNI. Jika kabar ini benar adanya, maka bisa dipastikan rakyat Indonesia bakal “tersingkir”. Penulis wartawan senior FNN.co.id

“Poros Serpong” Repetisi Keluar Dari Malapetaka Bangsa (Bagian-2)

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Konsen dari para tokoh seperti La Nyala, Gatot Nurmantyo dan Rizal Ramli yang akhirnya menjadi magnet kohesi. Berikutnya lalu menimbulkan gelombang keterpanggilan pada frekuensi yang sama. Yaitu, isu menyelamatkan demokrasi yang kini nyaris mati kering berdiri. Pilar-pilar demokrasi telah lapuk. Mati berdiri, karena tidak lagi punya daya dalam pelibatan publik di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Matinya pilar demokrasi itu dapat dilihat dari aspek politik, hukum, ekonomi, sampai soal pemerintahan daerah. Yang tersisa dari kehidupan demokrasi kita hanya bayangan semu. Simbol dan aksesori yang tidak lagi memiliki ruh demokrasi. Peristiwa paling dekat yang menyedihkan dalam sorotan publik adalah pelemahan, pembusukan dan penghancuran terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari dalam. KPK adalah satu diantara produk reformasi ‘98. Buah dari perjuangan panjang untuk membersihkan negeri dari anasir-anasir keruntuhan oleh kleptomania, oligarki dan konglomerat hitam yang berlakon dalam aneka peran kenegaraan. Peblik negeri ini dibuat terkaget-kabet. Bagaimana mungkin orang-orang yang telah mewakafkan dirinya di lembaga anti rasuah tersebut berpuluh tahun, namun tiba-tiba saja akan disingkirkan atas nama tes wawasan kebangsaan? Kok ada masih yang meragukan kesetiaaan dan jiwa merah putih anak-anak negeri yang hebat, berkelas dan to markotop dalam hala pemberantasan korupsi tersebut? Padahal baru beberapa bulan kemarin mencokok dua menteri anggota kabinet Jokowi, Edhy Prabowo, Juliari Peter Batubara Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Senin kemarin mereka kembali menangkap Bupati Nganjuk dan OTT. Radar nurani kita menangkap, ada bongkahan kegeraman yang menggunung. Bergudang kemarahan dan kekecewaan publik menyaksikan semua drama politik yang picik dan primitif terjadi di depan mata dengan telanjang. Peristiwa-peristiwa ini justru terlihat ada dalam rangkaian cerita dan skenario panjang dan rapih. Kemunduran demokrasi, bahkan terjadi secara konstitusional. Konsiderasi atas sebagai stempel lembaga perwakilan rakyat. Hal itu terang benderang tercermin dari beberapa pembentukan regulasi. Seperti UU KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Bukan saja tidak mencerminkan prinsip antikorupsi. Namun juga mengabaikan partisipasi publik. Padahal, ini adalah elemen esensial dalam sebuah proses legislasi. UU KPK mempersempit ruang gerak KPK. UU Minerba melanggengkan pengerukan kekayaan sumber daya alam atas nama investasi. UU Cipta Kerja berimplikasi ke berbagai sektor. Seperti persoalan perburuhan, lingkungan hidup, agraria, hingga memperparah liberalisasi sektor perdagangan. Juga menginjak-injak Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat adat. Kita tahu, dan dapat menangkap situasi kebatinan publik terkait problematika kebangsaan tersebut. Banyak yang gregetan. Hanya saja, ketakutan menyampaikan aspirasi, lantas mengunci diri. Menjauh dari ruang-ruang artikulasi berpendapat. Seperti yang terjadi pada Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana. Pasalnya, jerat kriminalisasi hingga jebakan UU ITE mengintai setiap saat. Menghadapi situasi yang seperti ini, publik merindukan tampilnya figur-figur kuat yang secara representatif mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Kekosongan tersebut, kita harapkan dapat diisi oleh sosok seperti La Nyalla, Jenderal Gatot, Rizal Ramli dan tokoh-tokoh vokal lainnya. Mereka yang siap menjadi penyambung lidah rakyat, sebagaimana ungkapan yang dipopulerkan oleh Bung Karno. Namun, kita juga harus realistis. Menjadi jembatan untuk aspirasi rakyat, tentu saja hanya akan efektif jika dilakukan dalam koridor instrumen struktural negara. Artinya, ada mekanisme politik yang harus dilalui oleh mereka yang dapat kita pegang komitmennya untuk membangun bangsa. Yaitu melalui proses kontestasi elektoral. Pemilihan Presiden (Pilpres) tempatnya. Persoalannya, mekanisme elektoral saat ini dirancang super eksklusif oleh oligarki dn konglomerat hitam yang menyandara Partai Politik. Bahkan terkesan rancu dan kontradiktif dengan term-term demokrasi. Sistem elektoral didesain menutup peluang banyak figur yang kredibel, berintegritas dan punya kapasitas untuk maju dalam kontestasi bila tidak berasal dari partai politik. Sementara partai-partai saat ini, menurut para pakar politik, cenderung tampil feodal. Lebih feodal dari sistem kerajaan. Nyaris tidak ada lagi parpol yang punya sistem regenerasi dan sirkulasi elit yang sehat. Padahal, parpol kita harapkan menjadi wadah kaderisasi kepemimpinan nasional yang terdepan. Namun harapan itu tampaknya harus dipetieskan dulu. Makanya menjadi sangat tepat langkah DPD jika secara kelembagaan mendorong kembali gagasan untuk menghapus Presidential Threshold (PT). Tujuannya untuk dapat menjaring sebanyak mungkin kandidat presiden yang layak dan potensial. Agar tersaring sebanyak mungkin figur yang paling tepat untuk memimpin negeri ini. Apalagi, banyak kepala daerah berprestasi yang layak untuk diberi ruang. Sebagai artikulator kepentingan masyarakat daerah, DPD idealnya mempelopori upaya untuk membuka jalan yang luas dan lebar untuk figur-figur terbaik dari daerah. Tanpa membuka ruang kontestasi kepemimpinan yang selebar-lebarnya, maka hanya akan muncul kandidat yang itu-itu saja. Kita disuguhi menu lama. Lu lagi, lu lagi, lu lagi. Padahal barangkali barangnya sudah kadaluarsa. Sebaliknya, membuka peluang seluas-luasnya, akan memacu mekanisme meritokrasi yang sebetulnya merupakan fitur seleksi paling ideal dan kompatibel dengan sistem demokrasi. Meritokrasi di level parpol, maupun dalam spektrum lebih luas. Figur yang berhasil dan sukses dari organisasi bisnis, militer, hingga organisasi kemasyarakatan, semua dapat menikmati pesta demokrasi secara gembira. Langkah DPD ini pada akhirnya, akan melahirkan pemimpin yang mumpuni. Pemimpin yang punya kapasitas dan kompetensi untuk mengelola bangsa yang besar ini. Pemimpin yang tidak perlu tunduk dan diatur oleh kekuatan-kekuatan oligarki dan konglomerat hitam yang menjadi sumber utama malapetaka kerusakan bangsa ini. (habis). Penulis adalah Senator DPD RI.

Jokowi Harus Tiru LaNyalla

Oleh Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - DI saat rakyat tidak bisa lagi berharap pada wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tampil lebih bernyali. Tak canggung bertemu dengan oposisi. Sepakat ingin merawat negeri. Sikap itu diperlihatkan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang datang memenuhi undangan diskusi terbatas di Sekolah Insan Cendekia Madani BSD, Jumat (7/5/2021). Dalam suasana yang cair, santai dan penuh canda, kecuali menyampaikan empat prioritas yang menjadi concern kerja DPD RI sebagai wakil daerah, LaNyalla yang didampingi Senator Bustami Zainudin (Lampung), Fachrul Razi (Aceh) dan Sekretaris Jenderal DPD RI, Rahman Hadi, juga mendengar masukan dari sosok-sosok yang selama ini dilabeli sebagai oposisi. Hadir di ruang diskusi tokoh-tokoh sekelas Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, Bachtiar Chamsyah, Ahmad Yani, Mohammad Said Didu, MS Kaban, Ubaidillah Badrun, Natalius Pigai, Adhi M. Massardi, Marwan Batubara, awak redaksi FNN, serta tuan rumah yang juga senator asal Sulawesi Selatan Tamsil Linrung. Diskusi dipandu oleh wartawan senior FNN Kisman Latumakulita. Gatot yang mengaku amat mengenal LaNyalla (biasa dialog ala Jawa timuran) mengingatkan bahwa betapa saat ini 'kekuatan' partai politik dan ormas sudah tergerus. Jika dibiarkan akan membuat bangsa terjerembab kian dalam. "DPR jaman sekarang sudah seperti PNS. Bola ada di tangan DPD," tegas Rizal Ramli. Menurut Rizal, cuma orang yang tidak konvensional yang bisa mengubah kondisi saat ini. Sejarah mengatakan begitu, baik sejarah dalam ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan sejarah lahirnya Islam di jaman jahiliah. Sementara politisi senior Bachtiar Chamsyah yang juga mantan Menteri Sosial mengaku apa yang dilakukan LaNyalla adalah terobosan yang pasti penuh risiko. Tetapi, setiap pemimpin harus berani mengambil risiko tersebut demi terjadinya perubahan. LaNyalla sendiri dalam pidato dengan teksnya mengakui harus ada koreksi pada pemerintah karena ada yang berbeda antara yang disampaikan dengan kenyataan setelah ia berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia selama satu tahun terkahir. Manajemen bangsa perlu dibenahi. "Pemerintah harus dikawal," cetus mantan Ketua Umum PSSI ini. Meski masih terlalu dini menilai 'road map', yang akan ia jalani tapi pertemuan yang diselingi dengan buka bersama dan sholat berjamaah di Masjid Nurul Izzah menurut Adhi Massardi sangat baik di tengah kondisi bangsa yang terbelah sangat dalam seperti saat ini. "Pertemuan Serpong ini lebih memberikan harapan agar terjadi perubahan ke arah perbaikan," aku Adhi, mantan juru bicara Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur) tersebut. LaNyalla sepertinya cukup santai mengambil sikap yang berbeda dengan kebanyakan pendukung Jokowi. Berani dan mau berdiskusi dengan oposisi adalah bagian dari melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, serta mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang masuk menjadi kewajiban anggota DPD. Suatu yang harusnya diikuti oleh pendukung Jokowi lainnya, bahkan Jokowi sendiri. Itu kalau Jokowi punya nyali...** Penulis, wartawan senior FNN.co.id.

Poros Serpong, Repetisi Keluar Dari Malapetaka Bangsa (Bagian-1)

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Pertemuan sejumlah tokoh penting dalam acara diskusi Redaksi Forum News Network (FNN.co.id) yang diperluas, menarik atensi publik dan jagar politik nasional. Laksana oase yang sudah lama dinanti-nanti. Oase untuk melepas dahaga di tengah atmosfer gersang kemarau panjang dinamika politik di republik ini. Hanya berselang beberapa menit setelah acara dibuka, dan para figur utama mengutarakan gagasan di podium, saya mendapatkan informasi jika media sosial sudah riuh. Publik bersahut-sahutan merespons foto-foto yang dilansir dari ajang kegiatan yang berlangsung. Medsos bergemuruh. Tak jauh berbeda dengan suasana di Aula Insan Cendekia Madani (ICM) yang dihadiri undangan terbatas representasi dari beberapa elemen. Duduk bersama di satu meja antara lain Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattalitti, Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli dan banyak tokoh penting dalam satu forum kebangsaan yang digagas media FNN.co.id memang sesuatu yang langka. Ketiga figur terbaik di republik tersebut, masing-masing punya tensi kesibukan dan aktivitas yang tinggi. Lebih dari itu, persoalan paling substantif adalah mereka telah berada pada frekuensi yang sama dalam melihat persoalan bangsa di tengah resesi ekonomi dan krisis multidimensi. Pertemuan di bulan suci nan agung yang dirangkaikan dengan buka puasa bersama, kita do’akan membawa berkah tersendiri bagi negeri ini. Urun gagasan para tokoh, membuka gerbang harapan, memperkaya khazanah kebangsaan dengan ide-ide cerdas. Terutama merespons situasi kontemporer. Termasuk dinamika politik. Media bahkan memberikan nama tersendiri untuk acara dialog yang sebetulnya rutin dilaksanakan Redaksi FNN, dan menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang. “Poros Serpong”. Begitu media nasional menyebutnya. Kita tentu sudah paham, kemana terminologi kata “Poros” berkiblat. Tak lain merujuk pada kristalisasi kekuatan-kekuatan politik yang mengemuka seiring pembicaraan ke arah kontestasi elektoral. Media tentu saja masih mengenang “Poros Tengah” di belantara politik Indonesia. “Poros Tengah” lahir sebagai monumen penting di pelataran sejarah bangsa. Sebab “Poros Tengah”, berhasil mengorbitkan almarhum Gus Dur sebagai Presiden di tengah arus dinamika elit yang menegang. Lalu, apakah “Poros Serpong” akan kembali mencatat sejarah di tengah situasi yang tak jauh berbeda dengan peristiwa tahun 1999 silam? Biar waktu dan sejarah yang mencatat. Yang pasti, para tokoh dan figur yang hadir, memboyong bongkahan spirit perubahan. Perubahan kini telah menjadi kebutuhan yang mendesak menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Sebagai tuan rumah, barangkali perlu juga saya sampaikan bahwa pertemuan yang kini jadi sorotan itu, sebetulnya tidak dalam intensi menciptakan poros politik. Sebab ini bukan pertemuan Partoi Politik (Parpol). Bukan juga safari elit Dewan Pimpinan Pusat (DPP) parpol. Ini hanya silaturahmi dengan frekwensi yang sama, yaitu perubahan, perubahan dan perubahan. Bila kemudian buah dari pertemuan tersebut menciptakan efek kejut politik, itu sesuatu yang wajar dan patut disambut secara positif pula. Apalagi memang, figur-figur yang hadir, harus diakui masing-masing punya kapasitas politik mumpuni. Pengaruh kuat mengakar ke bawah, laiknya satu institusi parpol. Belum lagi nama-nama tersebut selalu mencuat di blantika survei elektoral. Pak Nyalla, selain sejak lama dikenal sebagai organisatoris ulung di Pemuda Pancasila, KADIN dan PSSI, saat ini juga merupakan pejabat negara. Sebagai Ketua DPD RI. Lembaga yang mewadahi senator dari 34 provinsi, dan selalu disebut sebagai Fraksi terbesar di MPR. Mereka senator DPD adalah para wakil rakyat yang memperoleh legitimasi politik paling kuat di Senayan. Begitu pula dengan sosok Jenderal Gatot Nurmantyo. Mantan Panglima TNI, yang meski sudah Purnawirawan, tetapi masih terus berkiprah membangun negeri melalui kegiatan-kegiatan sosial dan gerakan politik moral. Satu dari tiga orang Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Lembaga yang mewadahi cendekiawan, aktivis, akademisi, profesional dan berbagai elemen bangsa dengan jaringan tersebar di seluruh Indonesia. Demikian pula Dr. Rizal Ramli. Sosok ekonom kawakan. Beberapa kali berada di jajaran eksekutif sebagai Menteri. Berjejaring di level politik dan ekonom internasional. Meski demikian, hingga kini Rizal tetap teguh dengan idealisme perjuangan. Kritis, lugas dan bernas dalam menyampaikan pandangan-pandangan terhadap situasi kebangsaan. Khususnya persoalan ekonomi Indonesia. Namun apapun itu, kita tentu juga tidak bisa menegasi pembacaan publik jika ada yang menilai bahwa ini adalah “Poros Serpong”. Melihat duduk bersama La Nyalla, Jenderal Gatot dan Dr. Rizal Ramli sebagai satu kekuatan politik baru di luar spektrum parpol. Tetapi, sekali lagi, ini pertemuan rutin yang sudah didahului dengan forum-forum sebelumnya. Bakal diikuti dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Di luar itu, juga kehadiran sosok-sosok penting, termasuk dua Menteri era SBY, Menteri Sosial Bachtiar Hamzah dan Menteri Kehutanan MS. Kaban, juga Natalius Pigai, Ahmad Yani, Adhie Massardi, Marwan Batubara, Muhammad Said Didu dan yang lainnya. Persoalan esensial yang justru menarik kita untuk diskusikan lebih lanjut, adalah isu yang mencuat di balik berkumpulnya para tokoh yang konsen mengikuti dinamika kebangsaan kontemporer tersebut. (bersambung). Penulis adalah Senator DPD RI.

Bobrok & Kacaunya Intelijen Negara Era Reformasi Lalulintas

by John Mempi Jakarta FNN - Eksistensi suatu negara dijaga oleh dua Institusi. Secara fisik dijaga oleh militer, dan secara non-fisik dijaga oleh intelligence. Di dunia ini, sistem politik apapun yang diterapkan suatu negara, selalu ditegakan dan dijaga oleh kekuatan kekuatan bersenjata (militer) yang bersifat offensive, dan kekuatan intelligence yang bersifat preventive. Begitu selalu adanya. Intelijen adalah seni, bukan science. Intelijen adalah planologi, bukan arsitek. Intelijen adalah kecerdasan, bukan kekerasan. Intelijen adalah fungsi, bukan posisi. Intelijen adalah negara bayangan. Semua operasi intelijen hanya bisa dirasakan. Tetapi tidak bisa untuk dibuktikan. Saat keadaan perang terbuka, intelijen militer (combat intelligence) sebagai garda terdepan untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman. Saat keadaan damai, maka intelijen sipil (bussines and political intelligence) sebagai garda terdepan untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman. Begitu dunia intelijen punya mau. Kecuali intelijen yang odong-odong, kaleng-kaleng atau beleng-beleng. Pada eranya kekuasaan Orde Baru, intelijen membagi peran manusia Indonesia menjadi dua bagian, yaitu kelompok pejuang dan pedagang. Mereka ibarat rel kereta api dengan tujuan yang sama. Pejuang disupport habis oleh pedagang, dan pedagang diback-up habis oleh pejuang. Lain halnya dengan intelijen di era reformasi. Rel kereta apinya disatukan menjadi monorail. Mereka yang pejuang merangkap sebagai pedagang, sehingga mengakibatkan penjahat dan pejabat bersatu dalam satu kubu. Penjahat dan pejabat disatukan di satu lintasan kereta. Awalnya, pejabat dikendalikan penjahat. Lalu berikunya penjahat yang berjuang untuk menjadi pejabat. Akhirnya penjahat yang menguasai negara. Ini memang tragis dan memilukan sekali. Ketika eranya Reformasi dimulai, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) dirobah menjadi Badan Intelijen Negara (BIN). Saat itulah BIN sebagai lembaga intelijen negara mulai kehilangan fungsi dan perannya. Karena tidak lagi mempunya eksistensi, maka BIN kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) yang bertujuan mencetak personil -personil intelijen baru. Akibatnya, pihak intelijen asing dapat dengan sangat mudah melakukan tracking personil intelijen Indonesia. Pekerjaan tracking dari intelijen asing menjadi mudah dan sangat mudah sekali. Misalnya, cukup hanya dengan mendapatkan database siswa dan alumni STIN. Karena STIN merupakan sekolah tinggi, maka untuk memenuhi kebutuhan akademik, STIN juga mempunyai Profesor dan Guru Besar intelijen yang hanya ada di Indonesia. Negara lain tidak mempunyai Prefesor dan GUru Besar intelijen. September 2020, BIN memberikan penghargaan kepada beberapa pejabat negara sebagai warga kehormatan. Padahal track record sebagian pejabat yang diberikan kehormatan tersebut sangat "tidak terhormat". Soekarno dianggap sebagai inspirator intelijen indonesia, sehingga Patung Soekarno berdiri di STIN. Walaupun sesungguhnya inspirator intelijen di Indonesia adalah Sri Sultan Hamengkubowono IX, yang menjadi penasehat spiritualnya Presiden Amerika Serikat ke-40 Ronald Reagan (1981-1989). Dalam operasinya, BIN berobah seperti BUMN yang terbuka untuk publik. BIN menjadi struktural dan administratif, Sehingga hal itu mengakibatkan kompartment intelijen yang eksis di era Orde Lama dan Orde Baru secara alamiah keluar dan meninggalkan BIN. Kemudian kompartement intelijen ini membuat organisasi tanpa bentuk. Mereka membiayai operasinya sendiri, hasil dari modal yang dikumpulkan di era Orde Lama dan Orde Baru. Mereka meninggalkan cara-cara kerja intelijen lalulintas yang ditarapkan di era reformasi sekarang. Mereka tetap beroperasi karena kecintaan terhadap bangsa dan negara indonesia. Mereka juga tetap teguh berpegang kepada ikrar yang diucapkan, yaitu "kami datang dan berkumpul di Bogor. Tidak saling mengenal. Kami berpisah sebagai kawan seperjuangan untuk membela Tanah Air”. Ciri yang menonjol dari kompartemet intelijen era Orde Lama dan Orde Baru adalah, ketika ada diantara mereka yang meninggal dunia, mereka diperlakukan seperti rakyat biasa. Tanpa ada upacara pemakaman. Tanpa ada pemakaman di Taman Makam Pahlawan. Sebagai bentuk penghormatan, hanya kawan seperjuangan mereka yang mendatangi kuburan satu persatu. Sikap ini karena mereka terikat dengan sumpah untuk tidak saling kenal-mengenal sampai dengan ajal menjemput. Pola-pikir dan pola-kerja seseorang itu dibentuk dan ditentukan berdasarkan pengalaman masa lalunya. Masa lalunya akan terlihat pada cara dan pola kerjanya ketika menjabat. Kekonyolan kerja-kerja BIN semakin bertambah bobrok, kacau-balau dan amburadul dengan menempatkan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN. Seorang polisi yang masa lalunya hanya berpengalaman dalam bidang lalulintas dan ajudan. Hanya itu saja. Tidak lebih dari itu Kerusakan pada institusi BIN semakin dalam ketika para agent BIN berobah statusnya menjadi pegawai BIN. Makanya tidaklah aneh jika setiap hari Senin sampai Rabu, agent yang berubah menjadi pegawai BIN, wajib mengenakan “baju putih” sesuai dengan bajunya Presiden Jokowi. Sedangkan pada hari Kamis sampai Jumat mengenakan “baju batik”. Bahkan para pejabat BIN dengan bangga berpose menggunakan seragam militer dengan tanda pangkat bintang di pundaknya. Supaya terlihat publik gagah sebagai orang intelijen. Prilaku pejabat BIN yang bangga berpose menggunakan seragam militer dengan tanda pangkat bintang ini, hanya untuk memperlihatkan kepada masyarakat berkaitan posisi dan jabatannya di BIN. Warna kantor BIN di Pejaten berobah menjadi warna merah, sesuai dengan warna partai yang berkuasa. Pergantian struktur pejabat di BIN diumumkan secara terbuka kepada publik. Sementara di daerah-daerah, KABINDA tampil terbuka layaknya kepala daerah bayangan dan ikut dalam kegiatan Pilkada. Dahulu itu partai politik di bawah kendali BIN. Namun sekarang terbalik. BIN berada dibawah kendali partai politik. Pemilihan Kepala BIN bukan berdasarkan kepentingan negara. Tetapi berdasarkan kepentingan partai politik. Kalau di eranya Orde Baru, Kepala BIN disibukan untuk mengumpulkan Informasi, Sementara di eranya Reformasi ini, Kepala BIN disibukan dengan mengumpulkan uang untuk mempertahankan kekuasaan. Tragisnya lagi, BIN membentuk “Pasukan Rajawali” yang merupakan pasukan pemukul yang dipamerkan kepada publik. Seharusnya tidak perlu di publikasikan. Tetapi dengan bangganya diperkenalkan kepada masyarakat, seakan-akan ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah BIN. Pasukan Rajawali merupakan pasukan khusus BIN model pasukan anti-teror. Dalam operasinya, BIN menerapkan aksi-aksi teror untuk mengamankan kekuasaan. Contoh yang paling telanjang dan terbuka adalah kasus Habib Rizieq Shihab (HRS). Pada eranya Orde Baru, pengusaha dan pejabat digalang oleh Intelijen. Sementara di era Reformasi, intelijen digalang oleh pengusaha dan pejabat. Akhirnya negara dikuasai oleh kawanan penjahat. Pada era Orde Baru, setiap interogasi intelijen menghasilkan informasi. Namun di era Reformasi, interogasi menghasilkan duit. Perbedaan paling mencolok intelijen di era Orde Baru dengan eranya Reformasi adalah, jika Orde Baru dikenal dengan “operasi intelijen”. Sementara ira Reformasi dikenal dengan “proyek intelijen”. Misalnya, saat pandemi Covid-19, BIN terlihat bersaing dengan institusi lainnya untuk berebut anggaran dengan menggelar Rapid Test massal dan gratis. BIN menggunakan mobile laboratorium layaknya pelayanan SIM dan STNK Keliling, dan mobil yang penyemprot disinfektan. Cara-cara kerja polisi lalulintas yang hari ini terlihat dominan pada kerja-kerja BIN. Ini wajar saja, karena Kepala BIN mantan polisi lalulintas. Persoalan lain dari kerja-kerja BIN yang bobrok dan kacau-balau adalah banyak personel BIN yang saat ini diisi oleh anggota Polri. Lagi-lagi, karena Kepala BIN berasal dari polisi lalulintas yang miskin dan tidak mempunyai background intelijen. Jika ada background intelijen, itu hanya sebatas kualifikasi reserse kriminal. Kebiasaan anggota Polri yang ingin tampil di media massa dalam gelar perkara (press conference) secara alamiah ikut terbawa ketika anggota Polri masuk ke dalam institusi BIN. Saat ini Covid-19 bukan lagi sebagai masalah kesehatan semata. Melainkan sudah menjadi masalah kedaulatan negara. Sehingga TNI wajib untuk turun tangan, karena berkaitan dengan sistem pertahanan negara. Trasgisnya, pemerintah Indonesia menganggap persoalan Covid-19 hanya sebagai masalah perdagangan saja. Beginilah akibat kerja dari Kepala BIN yang mantan polisi lalulintas. HRS yang dahulu merupakan produk intelijen di era Orde Baru, saat reformasi menjadi musuh utama dan terutama dari BIN. Padahal HRS yang selalu berbicara persoalan keselamatan negara. Namun karena BIN tidak berbicara soal keselamatan negara. Tetapi tentang persoalan keselamatan dari Kepala Negara. Bagaimana agar tetap bertahan di singgasana kekuasaan. Sudah pasti tidak nyambung prekwensinya. Bedanya antara laingt-langit dan bumi-bumi. Para agen muda BIN yang saat masuk pertama kali ke dalam BIN dengan idealisme tinggi. Tetapi setelah di dalam, dirusak moral dan mentalnya oleh atasannya sendiri, Misalnya, dengan melakukan operasi-opreasi yang hanya untuk kepentingan pribadinya petinggi dan Kepala BIN semata. Sementara di kalangan perwira, baik TNI maupun Polri, hari ini BIN dijadikan sebagai tempat untuk menaikan pangkatnya orang-orang yang tidak berprestasi di TNI dan Polri. Kasus yang paling memalukan dan menyedihkan adalah KABINDA Papua yang ditembak mati oleh gerombolan bersenjata. Ketika Papua terdapat suatu kelompok bersenjata, maka daerah tersebut merupakan daerah operasi militer, sehingga intelijen yang beroperasi di Papua adalah combat intelligence (BAIS). Bukan BIN, karena tidak sepantasnya seorang yang berpangkat Brigjen dengan kualifikasi pasukan Gultor Kopassus harus ikut patroli di daerah perang gerilya. Cukup hanya setingkat Komandan Palaton (Danton) atau Komandan Regu (Danru) saja. Akhirnya TNI harus menanggung malu, dan membayar mahal akibat kesalahan kebijakan pemerintah yang menurunkan derajat kewaspadaan, dengan menganggap masalah di Papua adalah masalah teroris semata. Kenyataan ini tidak terlepas dari masalah konstitusi yang melahirkan arogansi. Banyak komponen masyarakat yang tertekan dan terpinggirkan oleh kebijakan di era Orde Baru. Namun Orde Baru telah melunasi hutang sosial politiknya di era Reformasi ini. Caranya memberikan kekuasaan politik seluas-luasnya kepada kelompok yang merasa disakiti dan dipinggirkan selama Orde Baru berkuasa. Radikal Kiri dan Radikal Kanan, Ekstrim Kiri dan Ekstrim Kanan, Non-Muslim dan Non-Jawa diberi kesempatan untuk mengelola pemerintahan. Hasilnya seperti yang terlihat hari ini. Intelijen negara bobrok, kacau-balau dan amburadul. Akhirnya, setelah 22 tahun Reformasi, masyarakat dapat menilai hasil pembangunan yang dicapai dengan basis sakit hati dan dendam kesumat yang tiada akhir. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Pemerhati Intelijen & Akitivis ’98.