NASIONAL

Hari Kebangkrutan Nasional

By Prof. Daniel Mohammad Rosyid PhD, M.RINA Surabaya, FNN - Di samping hutang pemerintah dan swasta yang menggunung mencapai lebih dari Rp 10.000 Triliun pengangguran pemuda yang meningkat, indeks persepsi korupsi memburuk, indeks demokrasi menciut, sulit untuk menolak kecemasan bahwa bangsa ini sedang menuju ke kebangkrutan di hampir semua bidang. Kebangkitan Nasional justru menggaung sebagai Kebangkrutan Nasional. Para investor asing mulai meragukan masa depan investasinya di sini karena resiko politik yang tinggi dan mulai mengalihkannya negara lain. Sebagai Republik, negara ini justru mengalami degradasi mengarah ke semacam imperium Romawi di bawah Kaisar Nero. Malpraktek administrasi publik menggerogoti Republik hingga ke akar-akarnya. Konstitusi diubah secara ugal-ugalan sejak Reformasi dan selama 5 tahun terakhir, hukum dibuat dan ditafsirkan bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elite politik dan kartel korporasi. Pemujaan pada investasi asing telah mewujud nyaris menjadi invasi asing dan perampasan lahan dan ruang kehidupan bagi warga negara di banyak tempat di seluruh pelosok negeri. Bersamaan dengan itu kedaulatan hilang menguap entah kemana. Tentara beserta Sapta Marganya sebagai bhayangkara negara lumpuh tak berdaya. Sementara itu polisi semakin jumawa menghadapi rakyat jelata miskin papa. Sudah 70 tahun kemerdekaan Republik ini disandera oleh IMF untuk tunduk pada sistem keuangan ribawi, dan kini Republik harus tunduk dengan aturan WHO dalam menghadapi pandemisasi Covid-19 ini. Jika IMF menjarah kekayaan bangsa ini melalui riba dalam sistem keuangan Republik, kini WHO merampas kemerdekaan sipil atas nama kesehatan. Kerugian sosial-ekonomi-politik Republik ini melampaui semua imajinasi perencana pembangunan. Pada saat ketimpangan pendapatan melebar, kesenjangan spasial memburuk, kita kini juga menyaksikan ancaman atas persatuan bangsa ini dengan munculnya diskriminasi gaya baru. Rezim beserta para pendukung fanatiknya mudah sekali mencap kelompok lain yg berbeda pendapat sebagai anti-Pancasila, anti-NKRI, radikal, bahkan teroris. Kriminalisasi bahkan dilakukan atas para cendekiawan dan ulama kritis yang dengan berbagai rekayasa ditangkap dan dipenjarakan atas delik yang absurd dan mengada-ada. Seratus tahun lebih silam Kebangkitan Nasional menjadi inspirasi bagi kebangkitan pemuda 1928 dan kemudian melahirkan proklamasi kemerdekaan 1945. Saat gelora membebaskan Palestina dari cengkraman Israel menyeruak di sepenjuru negeri, patut direnungkan bahwa belenggu nekolimik masih menjerat leher bangsa ini. Nasib bangsa ini bisa jadi lebih buruk dari bangsa Palestina yang masih bersatu melawan agresi Zionis, sementara kita malah berpecah belah melawan musuh nekolimik yang sama. Saya sungguh cemas apakah Republik ini masih akan ada dalam waktu dekat ini, atau dianeksasi oleh kekuatan asing yg leluhurnya dulu pernah dipusingkan oleh Raden Wijaya dan Diponegoro. Penulis adalah Direktur Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, Surabaya.

Polemik Lebaran 2021: Larangan Mudik, Bipang Ambawang, dan "Serbuan" TKA China

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Setidaknya ada dua peristiwa yang menarik perhatian rakyat sebelum Presiden Joko Widodo promosi kuliner khas daerah di Indonesia. Salah satu yang disebut Presiden dalam promosi itu adalah dari Kalimantan Barat: Bipang Ambawang! “Untuk Bapak/Ibu dan Saudara-saudara yang rindu kuliner khas daerah atau yang biasannya mudik membawa oleh-oleh, tidak perlu ragu untuk memesannya secara online,” ujar Jokowi dalam potongan video akun YouTube Kementerian Perdagangan pada 5 Mei 2021. Selanjutnya, “Yang rindu makan gudeg Jogja, bandeng Semarang, siomay Bandung, empek-empek Palembang, Bipang Ambawang dari Kalimantan, dan lain-lainnya, tinggal pesan. Dan makanan kesukaan akan diantar sampai ke rumah,” ungkap Jokowi. Video bertajuk “05.05 Hari Bangga Buatan Indonesia” itu berisi acara peringatan bangga dengan produk lokal. Dalam pidato ini, Jokowi awalnya mengingatkan saat ini pemerintah melarang mudik Lebaran. Larangan itu dibuat demi keselamatan warga di tengah pandemi Covid-19. “Bapak/Ibu dan Saudara-saudara sekalian, sebentar lagi Lebaran. Namun, karena masih dalam suasana pandemi, pemerintah melarang mudik untuk keselamatan kita bersama,” kata Jokowi. Jagad sosmed dan media mainstream pun ramai bicara soal pernyataan Presiden Jokowi itu. Juru Bicara (Jubir) Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, kemudian sempat menjelaskan soal bipang yang dimaksud Jokowi. Dilihat dari akun Instagram resminya, @fadjroelrachman, Sabtu (8/4/2021), terlihat ada foto bipang yang diunggah Fadjroel. Foto tersebut menampilkan Bipang Jangkar Kwee Ik Sam Pasuruan. “Ini BIPANG atau JIPANG dari beras. Makanan kesukaan saya sejak kecil hingga sekarang. BIPANG atau JIPANG dari beras inilah yang dimaksud Presiden @jokowi. Terimakasih,” tulis Fadjroel seperti dilihat Detikcom pukul 12.23 WIB. Pembelaan Jubir yang akrab dipanggil Panjul ini jelas diketawain netizen yang “melek” mata, telinga, dan huruf. Dalam rekaman video maupun berita berbagai media sudah jelas disebut: Bipang Ambawang, Bukan Bipang Pasuruan! Melansir Detik.com, Fadjroel kemudian mengubah narasi dalam akun Instagram-nya. Dilihat pukul 12.51 WIB, dia hanya menyebut bipang masih hit sampai sekarang. Sebelumnya, video Jokowi soal bipang Ambawang diunggah oleh akun Twitter @BossTemlen. Video itu telah di-retweet ribuan kali. Narasi pada caption video tersebut mempertanyakan mengapa Jokowi mempromosikan bipang Ambawang saat Lebaran. Bipang yang dimaksud dalam narasi ini adalah babi panggang Ambawang. Bipang Ambawang adalah salah satu tempat makan yang menyajikan menu babi panggang di Kalbar. Akun Instagram Bipang Ambawang juga mengunggah video Jokowi yang menyebut Bipang Ambawang sembari berterima kasih karena merasa dipromosikan oleh Presiden. Promosi Bipang Ambawang telah membetot perhatian dan fokus rakyat dari persoalan Mudik Lebaran yang dilarang Presiden Jokowi dan kedatangan TKA China secara massif. Pertama, larangan mudik Presiden Jokowi kepada rakyat yang ingin merayakan Idul Fitri di kampung halamannya dengan dalih mencegah penyebaran Virus Covid-19. Pelarangan mudik Lebaran itu dimulai pada Kamis-Senin, 6-17 Mei 2021. Pelarangan ini, jelas menunjukkan ketidakadilan pemerintah bagi umat Islam. Libur panjang Hari Raya Paskah bulan lalu tak ada larangan, begitu pula mudik untuk Hari Raya Galungam dan Kuningan, semua berjalan lancar tanpa larangan. Rakyat disuguhi narasi lonjakan kasus Covid-19 di India yang sudah mencapai 400 ribu lebih setiap harinya dengan tingkat kematian yang cukup tinggi. Padahal, kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Benarkah karena Covid-19? Atau, jangan-jangan karena ada serangan drone yang sengaja menyebar racun arsenik atau sianida, sehingga banyak rakyat (jelata) India yang jadi korban. Apalagi, di sana mayatnya langsung dikremasi tanpa ada otopsi sebelumnya. Sehingga jelas penyebab kematian massal warga India yang sebenarnya. Bukan karena di-Covid-kan langsung. Seharusnya India berani mengambil sampel korban “Covid-19” untuk diotopsi sehingga diketahui penyebab kematiannya. Kedua, sementara rakyat dilarang mudik, pemerintah mengizinkan TKA asal China “mudik” ke Indonesia. “Seumur-umur saya baru melihat pola penerbangan seperti ini, ada 1-2-3-4-5-6 penerbangan beriringan ke arah timur di utara laut Jawa,” ucap sorang pemantau radar. “Yang saya khawatirkan itu isinya WNA yang mau dipindah yang baru masuk ke wilayah RI Kalau hari normal selama pandemik ini ga pernah saya lihat kejadian seperti ini. Jam segini rata-rata sepi, kosong. Beriringan, dan semua bergerak ke arah timur,” lanjutnya. Meski Menteri Perhubungan Budi Karya Soemadi membantah tidak ada pesawat carteran selama masa pandemi, namun toh faktanya, keesokan harinya setelah ramai ada “bocoran” pemantau radar itu, ada 4 pesawat tiba di Bandara Maleo Morowali. Keempat pesawat carter itu membawa TKA asal China dengan jumlah totalnya 352 orang. Fakta kedatangan 4 pesawat carter di Bandara Maleo ini jelas menjawab bantahan Menhub yang disiarkan secara nasional melalui televisi itu. Bagi rakyat China, setidaknya pandemi Covid-19 telah membawa keberuntungan. Migrasi besar-besaran rakyat China menuju Indonesia bisa aman terkendali. Kalau kemudian terjadi lonjakan kasus Covid-19 pasca Lebaran, jangan salahkan umat Islam. Kabarnya, selama pandemi yang dimulai pada akhir 2019 - 2020 - 2021 setudaknya terdapat 1.238 penerbangan dari China ke Indonesia melalui bandara-bandara internasional maupun bandara-bandara kecil di seluruh wilayah Indonesia. Konon pula, sebanyak 933 kapal-kapal besar dan sedang telah membawa para emigran melalui pelabuhan-pelabuhan besar dan kecil di pelosok Indonesia. Hingga 2021, jumlahnya telah melebihi kuota 10 juta lapangan kerja yang pernah dijanjikan Presiden Jokowi. Sebanyak 125 perusahaan konglomerasi yang ada di Indonesia sudah menjamin kesejahteraan seluruh emigran beserta keluarganya untuk menetap dan menjadi WNI. Jika kabar ini benar adanya, maka bisa dipastikan rakyat Indonesia bakal “tersingkir”. Penulis wartawan senior FNN.co.id

“Poros Serpong” Repetisi Keluar Dari Malapetaka Bangsa (Bagian-2)

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Konsen dari para tokoh seperti La Nyala, Gatot Nurmantyo dan Rizal Ramli yang akhirnya menjadi magnet kohesi. Berikutnya lalu menimbulkan gelombang keterpanggilan pada frekuensi yang sama. Yaitu, isu menyelamatkan demokrasi yang kini nyaris mati kering berdiri. Pilar-pilar demokrasi telah lapuk. Mati berdiri, karena tidak lagi punya daya dalam pelibatan publik di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Matinya pilar demokrasi itu dapat dilihat dari aspek politik, hukum, ekonomi, sampai soal pemerintahan daerah. Yang tersisa dari kehidupan demokrasi kita hanya bayangan semu. Simbol dan aksesori yang tidak lagi memiliki ruh demokrasi. Peristiwa paling dekat yang menyedihkan dalam sorotan publik adalah pelemahan, pembusukan dan penghancuran terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari dalam. KPK adalah satu diantara produk reformasi ‘98. Buah dari perjuangan panjang untuk membersihkan negeri dari anasir-anasir keruntuhan oleh kleptomania, oligarki dan konglomerat hitam yang berlakon dalam aneka peran kenegaraan. Peblik negeri ini dibuat terkaget-kabet. Bagaimana mungkin orang-orang yang telah mewakafkan dirinya di lembaga anti rasuah tersebut berpuluh tahun, namun tiba-tiba saja akan disingkirkan atas nama tes wawasan kebangsaan? Kok ada masih yang meragukan kesetiaaan dan jiwa merah putih anak-anak negeri yang hebat, berkelas dan to markotop dalam hala pemberantasan korupsi tersebut? Padahal baru beberapa bulan kemarin mencokok dua menteri anggota kabinet Jokowi, Edhy Prabowo, Juliari Peter Batubara Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Senin kemarin mereka kembali menangkap Bupati Nganjuk dan OTT. Radar nurani kita menangkap, ada bongkahan kegeraman yang menggunung. Bergudang kemarahan dan kekecewaan publik menyaksikan semua drama politik yang picik dan primitif terjadi di depan mata dengan telanjang. Peristiwa-peristiwa ini justru terlihat ada dalam rangkaian cerita dan skenario panjang dan rapih. Kemunduran demokrasi, bahkan terjadi secara konstitusional. Konsiderasi atas sebagai stempel lembaga perwakilan rakyat. Hal itu terang benderang tercermin dari beberapa pembentukan regulasi. Seperti UU KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Bukan saja tidak mencerminkan prinsip antikorupsi. Namun juga mengabaikan partisipasi publik. Padahal, ini adalah elemen esensial dalam sebuah proses legislasi. UU KPK mempersempit ruang gerak KPK. UU Minerba melanggengkan pengerukan kekayaan sumber daya alam atas nama investasi. UU Cipta Kerja berimplikasi ke berbagai sektor. Seperti persoalan perburuhan, lingkungan hidup, agraria, hingga memperparah liberalisasi sektor perdagangan. Juga menginjak-injak Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat adat. Kita tahu, dan dapat menangkap situasi kebatinan publik terkait problematika kebangsaan tersebut. Banyak yang gregetan. Hanya saja, ketakutan menyampaikan aspirasi, lantas mengunci diri. Menjauh dari ruang-ruang artikulasi berpendapat. Seperti yang terjadi pada Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana. Pasalnya, jerat kriminalisasi hingga jebakan UU ITE mengintai setiap saat. Menghadapi situasi yang seperti ini, publik merindukan tampilnya figur-figur kuat yang secara representatif mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Kekosongan tersebut, kita harapkan dapat diisi oleh sosok seperti La Nyalla, Jenderal Gatot, Rizal Ramli dan tokoh-tokoh vokal lainnya. Mereka yang siap menjadi penyambung lidah rakyat, sebagaimana ungkapan yang dipopulerkan oleh Bung Karno. Namun, kita juga harus realistis. Menjadi jembatan untuk aspirasi rakyat, tentu saja hanya akan efektif jika dilakukan dalam koridor instrumen struktural negara. Artinya, ada mekanisme politik yang harus dilalui oleh mereka yang dapat kita pegang komitmennya untuk membangun bangsa. Yaitu melalui proses kontestasi elektoral. Pemilihan Presiden (Pilpres) tempatnya. Persoalannya, mekanisme elektoral saat ini dirancang super eksklusif oleh oligarki dn konglomerat hitam yang menyandara Partai Politik. Bahkan terkesan rancu dan kontradiktif dengan term-term demokrasi. Sistem elektoral didesain menutup peluang banyak figur yang kredibel, berintegritas dan punya kapasitas untuk maju dalam kontestasi bila tidak berasal dari partai politik. Sementara partai-partai saat ini, menurut para pakar politik, cenderung tampil feodal. Lebih feodal dari sistem kerajaan. Nyaris tidak ada lagi parpol yang punya sistem regenerasi dan sirkulasi elit yang sehat. Padahal, parpol kita harapkan menjadi wadah kaderisasi kepemimpinan nasional yang terdepan. Namun harapan itu tampaknya harus dipetieskan dulu. Makanya menjadi sangat tepat langkah DPD jika secara kelembagaan mendorong kembali gagasan untuk menghapus Presidential Threshold (PT). Tujuannya untuk dapat menjaring sebanyak mungkin kandidat presiden yang layak dan potensial. Agar tersaring sebanyak mungkin figur yang paling tepat untuk memimpin negeri ini. Apalagi, banyak kepala daerah berprestasi yang layak untuk diberi ruang. Sebagai artikulator kepentingan masyarakat daerah, DPD idealnya mempelopori upaya untuk membuka jalan yang luas dan lebar untuk figur-figur terbaik dari daerah. Tanpa membuka ruang kontestasi kepemimpinan yang selebar-lebarnya, maka hanya akan muncul kandidat yang itu-itu saja. Kita disuguhi menu lama. Lu lagi, lu lagi, lu lagi. Padahal barangkali barangnya sudah kadaluarsa. Sebaliknya, membuka peluang seluas-luasnya, akan memacu mekanisme meritokrasi yang sebetulnya merupakan fitur seleksi paling ideal dan kompatibel dengan sistem demokrasi. Meritokrasi di level parpol, maupun dalam spektrum lebih luas. Figur yang berhasil dan sukses dari organisasi bisnis, militer, hingga organisasi kemasyarakatan, semua dapat menikmati pesta demokrasi secara gembira. Langkah DPD ini pada akhirnya, akan melahirkan pemimpin yang mumpuni. Pemimpin yang punya kapasitas dan kompetensi untuk mengelola bangsa yang besar ini. Pemimpin yang tidak perlu tunduk dan diatur oleh kekuatan-kekuatan oligarki dan konglomerat hitam yang menjadi sumber utama malapetaka kerusakan bangsa ini. (habis). Penulis adalah Senator DPD RI.

Jokowi Harus Tiru LaNyalla

Oleh Rahmi Aries Nova Jakarta, FNN - DI saat rakyat tidak bisa lagi berharap pada wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tampil lebih bernyali. Tak canggung bertemu dengan oposisi. Sepakat ingin merawat negeri. Sikap itu diperlihatkan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang datang memenuhi undangan diskusi terbatas di Sekolah Insan Cendekia Madani BSD, Jumat (7/5/2021). Dalam suasana yang cair, santai dan penuh canda, kecuali menyampaikan empat prioritas yang menjadi concern kerja DPD RI sebagai wakil daerah, LaNyalla yang didampingi Senator Bustami Zainudin (Lampung), Fachrul Razi (Aceh) dan Sekretaris Jenderal DPD RI, Rahman Hadi, juga mendengar masukan dari sosok-sosok yang selama ini dilabeli sebagai oposisi. Hadir di ruang diskusi tokoh-tokoh sekelas Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, Bachtiar Chamsyah, Ahmad Yani, Mohammad Said Didu, MS Kaban, Ubaidillah Badrun, Natalius Pigai, Adhi M. Massardi, Marwan Batubara, awak redaksi FNN, serta tuan rumah yang juga senator asal Sulawesi Selatan Tamsil Linrung. Diskusi dipandu oleh wartawan senior FNN Kisman Latumakulita. Gatot yang mengaku amat mengenal LaNyalla (biasa dialog ala Jawa timuran) mengingatkan bahwa betapa saat ini 'kekuatan' partai politik dan ormas sudah tergerus. Jika dibiarkan akan membuat bangsa terjerembab kian dalam. "DPR jaman sekarang sudah seperti PNS. Bola ada di tangan DPD," tegas Rizal Ramli. Menurut Rizal, cuma orang yang tidak konvensional yang bisa mengubah kondisi saat ini. Sejarah mengatakan begitu, baik sejarah dalam ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan sejarah lahirnya Islam di jaman jahiliah. Sementara politisi senior Bachtiar Chamsyah yang juga mantan Menteri Sosial mengaku apa yang dilakukan LaNyalla adalah terobosan yang pasti penuh risiko. Tetapi, setiap pemimpin harus berani mengambil risiko tersebut demi terjadinya perubahan. LaNyalla sendiri dalam pidato dengan teksnya mengakui harus ada koreksi pada pemerintah karena ada yang berbeda antara yang disampaikan dengan kenyataan setelah ia berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia selama satu tahun terkahir. Manajemen bangsa perlu dibenahi. "Pemerintah harus dikawal," cetus mantan Ketua Umum PSSI ini. Meski masih terlalu dini menilai 'road map', yang akan ia jalani tapi pertemuan yang diselingi dengan buka bersama dan sholat berjamaah di Masjid Nurul Izzah menurut Adhi Massardi sangat baik di tengah kondisi bangsa yang terbelah sangat dalam seperti saat ini. "Pertemuan Serpong ini lebih memberikan harapan agar terjadi perubahan ke arah perbaikan," aku Adhi, mantan juru bicara Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur) tersebut. LaNyalla sepertinya cukup santai mengambil sikap yang berbeda dengan kebanyakan pendukung Jokowi. Berani dan mau berdiskusi dengan oposisi adalah bagian dari melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, serta mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang masuk menjadi kewajiban anggota DPD. Suatu yang harusnya diikuti oleh pendukung Jokowi lainnya, bahkan Jokowi sendiri. Itu kalau Jokowi punya nyali...** Penulis, wartawan senior FNN.co.id.

Poros Serpong, Repetisi Keluar Dari Malapetaka Bangsa (Bagian-1)

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Pertemuan sejumlah tokoh penting dalam acara diskusi Redaksi Forum News Network (FNN.co.id) yang diperluas, menarik atensi publik dan jagar politik nasional. Laksana oase yang sudah lama dinanti-nanti. Oase untuk melepas dahaga di tengah atmosfer gersang kemarau panjang dinamika politik di republik ini. Hanya berselang beberapa menit setelah acara dibuka, dan para figur utama mengutarakan gagasan di podium, saya mendapatkan informasi jika media sosial sudah riuh. Publik bersahut-sahutan merespons foto-foto yang dilansir dari ajang kegiatan yang berlangsung. Medsos bergemuruh. Tak jauh berbeda dengan suasana di Aula Insan Cendekia Madani (ICM) yang dihadiri undangan terbatas representasi dari beberapa elemen. Duduk bersama di satu meja antara lain Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattalitti, Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli dan banyak tokoh penting dalam satu forum kebangsaan yang digagas media FNN.co.id memang sesuatu yang langka. Ketiga figur terbaik di republik tersebut, masing-masing punya tensi kesibukan dan aktivitas yang tinggi. Lebih dari itu, persoalan paling substantif adalah mereka telah berada pada frekuensi yang sama dalam melihat persoalan bangsa di tengah resesi ekonomi dan krisis multidimensi. Pertemuan di bulan suci nan agung yang dirangkaikan dengan buka puasa bersama, kita do’akan membawa berkah tersendiri bagi negeri ini. Urun gagasan para tokoh, membuka gerbang harapan, memperkaya khazanah kebangsaan dengan ide-ide cerdas. Terutama merespons situasi kontemporer. Termasuk dinamika politik. Media bahkan memberikan nama tersendiri untuk acara dialog yang sebetulnya rutin dilaksanakan Redaksi FNN, dan menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang. “Poros Serpong”. Begitu media nasional menyebutnya. Kita tentu sudah paham, kemana terminologi kata “Poros” berkiblat. Tak lain merujuk pada kristalisasi kekuatan-kekuatan politik yang mengemuka seiring pembicaraan ke arah kontestasi elektoral. Media tentu saja masih mengenang “Poros Tengah” di belantara politik Indonesia. “Poros Tengah” lahir sebagai monumen penting di pelataran sejarah bangsa. Sebab “Poros Tengah”, berhasil mengorbitkan almarhum Gus Dur sebagai Presiden di tengah arus dinamika elit yang menegang. Lalu, apakah “Poros Serpong” akan kembali mencatat sejarah di tengah situasi yang tak jauh berbeda dengan peristiwa tahun 1999 silam? Biar waktu dan sejarah yang mencatat. Yang pasti, para tokoh dan figur yang hadir, memboyong bongkahan spirit perubahan. Perubahan kini telah menjadi kebutuhan yang mendesak menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Sebagai tuan rumah, barangkali perlu juga saya sampaikan bahwa pertemuan yang kini jadi sorotan itu, sebetulnya tidak dalam intensi menciptakan poros politik. Sebab ini bukan pertemuan Partoi Politik (Parpol). Bukan juga safari elit Dewan Pimpinan Pusat (DPP) parpol. Ini hanya silaturahmi dengan frekwensi yang sama, yaitu perubahan, perubahan dan perubahan. Bila kemudian buah dari pertemuan tersebut menciptakan efek kejut politik, itu sesuatu yang wajar dan patut disambut secara positif pula. Apalagi memang, figur-figur yang hadir, harus diakui masing-masing punya kapasitas politik mumpuni. Pengaruh kuat mengakar ke bawah, laiknya satu institusi parpol. Belum lagi nama-nama tersebut selalu mencuat di blantika survei elektoral. Pak Nyalla, selain sejak lama dikenal sebagai organisatoris ulung di Pemuda Pancasila, KADIN dan PSSI, saat ini juga merupakan pejabat negara. Sebagai Ketua DPD RI. Lembaga yang mewadahi senator dari 34 provinsi, dan selalu disebut sebagai Fraksi terbesar di MPR. Mereka senator DPD adalah para wakil rakyat yang memperoleh legitimasi politik paling kuat di Senayan. Begitu pula dengan sosok Jenderal Gatot Nurmantyo. Mantan Panglima TNI, yang meski sudah Purnawirawan, tetapi masih terus berkiprah membangun negeri melalui kegiatan-kegiatan sosial dan gerakan politik moral. Satu dari tiga orang Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Lembaga yang mewadahi cendekiawan, aktivis, akademisi, profesional dan berbagai elemen bangsa dengan jaringan tersebar di seluruh Indonesia. Demikian pula Dr. Rizal Ramli. Sosok ekonom kawakan. Beberapa kali berada di jajaran eksekutif sebagai Menteri. Berjejaring di level politik dan ekonom internasional. Meski demikian, hingga kini Rizal tetap teguh dengan idealisme perjuangan. Kritis, lugas dan bernas dalam menyampaikan pandangan-pandangan terhadap situasi kebangsaan. Khususnya persoalan ekonomi Indonesia. Namun apapun itu, kita tentu juga tidak bisa menegasi pembacaan publik jika ada yang menilai bahwa ini adalah “Poros Serpong”. Melihat duduk bersama La Nyalla, Jenderal Gatot dan Dr. Rizal Ramli sebagai satu kekuatan politik baru di luar spektrum parpol. Tetapi, sekali lagi, ini pertemuan rutin yang sudah didahului dengan forum-forum sebelumnya. Bakal diikuti dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Di luar itu, juga kehadiran sosok-sosok penting, termasuk dua Menteri era SBY, Menteri Sosial Bachtiar Hamzah dan Menteri Kehutanan MS. Kaban, juga Natalius Pigai, Ahmad Yani, Adhie Massardi, Marwan Batubara, Muhammad Said Didu dan yang lainnya. Persoalan esensial yang justru menarik kita untuk diskusikan lebih lanjut, adalah isu yang mencuat di balik berkumpulnya para tokoh yang konsen mengikuti dinamika kebangsaan kontemporer tersebut. (bersambung). Penulis adalah Senator DPD RI.

Bobrok & Kacaunya Intelijen Negara Era Reformasi Lalulintas

by John Mempi Jakarta FNN - Eksistensi suatu negara dijaga oleh dua Institusi. Secara fisik dijaga oleh militer, dan secara non-fisik dijaga oleh intelligence. Di dunia ini, sistem politik apapun yang diterapkan suatu negara, selalu ditegakan dan dijaga oleh kekuatan kekuatan bersenjata (militer) yang bersifat offensive, dan kekuatan intelligence yang bersifat preventive. Begitu selalu adanya. Intelijen adalah seni, bukan science. Intelijen adalah planologi, bukan arsitek. Intelijen adalah kecerdasan, bukan kekerasan. Intelijen adalah fungsi, bukan posisi. Intelijen adalah negara bayangan. Semua operasi intelijen hanya bisa dirasakan. Tetapi tidak bisa untuk dibuktikan. Saat keadaan perang terbuka, intelijen militer (combat intelligence) sebagai garda terdepan untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman. Saat keadaan damai, maka intelijen sipil (bussines and political intelligence) sebagai garda terdepan untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman. Begitu dunia intelijen punya mau. Kecuali intelijen yang odong-odong, kaleng-kaleng atau beleng-beleng. Pada eranya kekuasaan Orde Baru, intelijen membagi peran manusia Indonesia menjadi dua bagian, yaitu kelompok pejuang dan pedagang. Mereka ibarat rel kereta api dengan tujuan yang sama. Pejuang disupport habis oleh pedagang, dan pedagang diback-up habis oleh pejuang. Lain halnya dengan intelijen di era reformasi. Rel kereta apinya disatukan menjadi monorail. Mereka yang pejuang merangkap sebagai pedagang, sehingga mengakibatkan penjahat dan pejabat bersatu dalam satu kubu. Penjahat dan pejabat disatukan di satu lintasan kereta. Awalnya, pejabat dikendalikan penjahat. Lalu berikunya penjahat yang berjuang untuk menjadi pejabat. Akhirnya penjahat yang menguasai negara. Ini memang tragis dan memilukan sekali. Ketika eranya Reformasi dimulai, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) dirobah menjadi Badan Intelijen Negara (BIN). Saat itulah BIN sebagai lembaga intelijen negara mulai kehilangan fungsi dan perannya. Karena tidak lagi mempunya eksistensi, maka BIN kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) yang bertujuan mencetak personil -personil intelijen baru. Akibatnya, pihak intelijen asing dapat dengan sangat mudah melakukan tracking personil intelijen Indonesia. Pekerjaan tracking dari intelijen asing menjadi mudah dan sangat mudah sekali. Misalnya, cukup hanya dengan mendapatkan database siswa dan alumni STIN. Karena STIN merupakan sekolah tinggi, maka untuk memenuhi kebutuhan akademik, STIN juga mempunyai Profesor dan Guru Besar intelijen yang hanya ada di Indonesia. Negara lain tidak mempunyai Prefesor dan GUru Besar intelijen. September 2020, BIN memberikan penghargaan kepada beberapa pejabat negara sebagai warga kehormatan. Padahal track record sebagian pejabat yang diberikan kehormatan tersebut sangat "tidak terhormat". Soekarno dianggap sebagai inspirator intelijen indonesia, sehingga Patung Soekarno berdiri di STIN. Walaupun sesungguhnya inspirator intelijen di Indonesia adalah Sri Sultan Hamengkubowono IX, yang menjadi penasehat spiritualnya Presiden Amerika Serikat ke-40 Ronald Reagan (1981-1989). Dalam operasinya, BIN berobah seperti BUMN yang terbuka untuk publik. BIN menjadi struktural dan administratif, Sehingga hal itu mengakibatkan kompartment intelijen yang eksis di era Orde Lama dan Orde Baru secara alamiah keluar dan meninggalkan BIN. Kemudian kompartement intelijen ini membuat organisasi tanpa bentuk. Mereka membiayai operasinya sendiri, hasil dari modal yang dikumpulkan di era Orde Lama dan Orde Baru. Mereka meninggalkan cara-cara kerja intelijen lalulintas yang ditarapkan di era reformasi sekarang. Mereka tetap beroperasi karena kecintaan terhadap bangsa dan negara indonesia. Mereka juga tetap teguh berpegang kepada ikrar yang diucapkan, yaitu "kami datang dan berkumpul di Bogor. Tidak saling mengenal. Kami berpisah sebagai kawan seperjuangan untuk membela Tanah Air”. Ciri yang menonjol dari kompartemet intelijen era Orde Lama dan Orde Baru adalah, ketika ada diantara mereka yang meninggal dunia, mereka diperlakukan seperti rakyat biasa. Tanpa ada upacara pemakaman. Tanpa ada pemakaman di Taman Makam Pahlawan. Sebagai bentuk penghormatan, hanya kawan seperjuangan mereka yang mendatangi kuburan satu persatu. Sikap ini karena mereka terikat dengan sumpah untuk tidak saling kenal-mengenal sampai dengan ajal menjemput. Pola-pikir dan pola-kerja seseorang itu dibentuk dan ditentukan berdasarkan pengalaman masa lalunya. Masa lalunya akan terlihat pada cara dan pola kerjanya ketika menjabat. Kekonyolan kerja-kerja BIN semakin bertambah bobrok, kacau-balau dan amburadul dengan menempatkan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN. Seorang polisi yang masa lalunya hanya berpengalaman dalam bidang lalulintas dan ajudan. Hanya itu saja. Tidak lebih dari itu Kerusakan pada institusi BIN semakin dalam ketika para agent BIN berobah statusnya menjadi pegawai BIN. Makanya tidaklah aneh jika setiap hari Senin sampai Rabu, agent yang berubah menjadi pegawai BIN, wajib mengenakan “baju putih” sesuai dengan bajunya Presiden Jokowi. Sedangkan pada hari Kamis sampai Jumat mengenakan “baju batik”. Bahkan para pejabat BIN dengan bangga berpose menggunakan seragam militer dengan tanda pangkat bintang di pundaknya. Supaya terlihat publik gagah sebagai orang intelijen. Prilaku pejabat BIN yang bangga berpose menggunakan seragam militer dengan tanda pangkat bintang ini, hanya untuk memperlihatkan kepada masyarakat berkaitan posisi dan jabatannya di BIN. Warna kantor BIN di Pejaten berobah menjadi warna merah, sesuai dengan warna partai yang berkuasa. Pergantian struktur pejabat di BIN diumumkan secara terbuka kepada publik. Sementara di daerah-daerah, KABINDA tampil terbuka layaknya kepala daerah bayangan dan ikut dalam kegiatan Pilkada. Dahulu itu partai politik di bawah kendali BIN. Namun sekarang terbalik. BIN berada dibawah kendali partai politik. Pemilihan Kepala BIN bukan berdasarkan kepentingan negara. Tetapi berdasarkan kepentingan partai politik. Kalau di eranya Orde Baru, Kepala BIN disibukan untuk mengumpulkan Informasi, Sementara di eranya Reformasi ini, Kepala BIN disibukan dengan mengumpulkan uang untuk mempertahankan kekuasaan. Tragisnya lagi, BIN membentuk “Pasukan Rajawali” yang merupakan pasukan pemukul yang dipamerkan kepada publik. Seharusnya tidak perlu di publikasikan. Tetapi dengan bangganya diperkenalkan kepada masyarakat, seakan-akan ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah BIN. Pasukan Rajawali merupakan pasukan khusus BIN model pasukan anti-teror. Dalam operasinya, BIN menerapkan aksi-aksi teror untuk mengamankan kekuasaan. Contoh yang paling telanjang dan terbuka adalah kasus Habib Rizieq Shihab (HRS). Pada eranya Orde Baru, pengusaha dan pejabat digalang oleh Intelijen. Sementara di era Reformasi, intelijen digalang oleh pengusaha dan pejabat. Akhirnya negara dikuasai oleh kawanan penjahat. Pada era Orde Baru, setiap interogasi intelijen menghasilkan informasi. Namun di era Reformasi, interogasi menghasilkan duit. Perbedaan paling mencolok intelijen di era Orde Baru dengan eranya Reformasi adalah, jika Orde Baru dikenal dengan “operasi intelijen”. Sementara ira Reformasi dikenal dengan “proyek intelijen”. Misalnya, saat pandemi Covid-19, BIN terlihat bersaing dengan institusi lainnya untuk berebut anggaran dengan menggelar Rapid Test massal dan gratis. BIN menggunakan mobile laboratorium layaknya pelayanan SIM dan STNK Keliling, dan mobil yang penyemprot disinfektan. Cara-cara kerja polisi lalulintas yang hari ini terlihat dominan pada kerja-kerja BIN. Ini wajar saja, karena Kepala BIN mantan polisi lalulintas. Persoalan lain dari kerja-kerja BIN yang bobrok dan kacau-balau adalah banyak personel BIN yang saat ini diisi oleh anggota Polri. Lagi-lagi, karena Kepala BIN berasal dari polisi lalulintas yang miskin dan tidak mempunyai background intelijen. Jika ada background intelijen, itu hanya sebatas kualifikasi reserse kriminal. Kebiasaan anggota Polri yang ingin tampil di media massa dalam gelar perkara (press conference) secara alamiah ikut terbawa ketika anggota Polri masuk ke dalam institusi BIN. Saat ini Covid-19 bukan lagi sebagai masalah kesehatan semata. Melainkan sudah menjadi masalah kedaulatan negara. Sehingga TNI wajib untuk turun tangan, karena berkaitan dengan sistem pertahanan negara. Trasgisnya, pemerintah Indonesia menganggap persoalan Covid-19 hanya sebagai masalah perdagangan saja. Beginilah akibat kerja dari Kepala BIN yang mantan polisi lalulintas. HRS yang dahulu merupakan produk intelijen di era Orde Baru, saat reformasi menjadi musuh utama dan terutama dari BIN. Padahal HRS yang selalu berbicara persoalan keselamatan negara. Namun karena BIN tidak berbicara soal keselamatan negara. Tetapi tentang persoalan keselamatan dari Kepala Negara. Bagaimana agar tetap bertahan di singgasana kekuasaan. Sudah pasti tidak nyambung prekwensinya. Bedanya antara laingt-langit dan bumi-bumi. Para agen muda BIN yang saat masuk pertama kali ke dalam BIN dengan idealisme tinggi. Tetapi setelah di dalam, dirusak moral dan mentalnya oleh atasannya sendiri, Misalnya, dengan melakukan operasi-opreasi yang hanya untuk kepentingan pribadinya petinggi dan Kepala BIN semata. Sementara di kalangan perwira, baik TNI maupun Polri, hari ini BIN dijadikan sebagai tempat untuk menaikan pangkatnya orang-orang yang tidak berprestasi di TNI dan Polri. Kasus yang paling memalukan dan menyedihkan adalah KABINDA Papua yang ditembak mati oleh gerombolan bersenjata. Ketika Papua terdapat suatu kelompok bersenjata, maka daerah tersebut merupakan daerah operasi militer, sehingga intelijen yang beroperasi di Papua adalah combat intelligence (BAIS). Bukan BIN, karena tidak sepantasnya seorang yang berpangkat Brigjen dengan kualifikasi pasukan Gultor Kopassus harus ikut patroli di daerah perang gerilya. Cukup hanya setingkat Komandan Palaton (Danton) atau Komandan Regu (Danru) saja. Akhirnya TNI harus menanggung malu, dan membayar mahal akibat kesalahan kebijakan pemerintah yang menurunkan derajat kewaspadaan, dengan menganggap masalah di Papua adalah masalah teroris semata. Kenyataan ini tidak terlepas dari masalah konstitusi yang melahirkan arogansi. Banyak komponen masyarakat yang tertekan dan terpinggirkan oleh kebijakan di era Orde Baru. Namun Orde Baru telah melunasi hutang sosial politiknya di era Reformasi ini. Caranya memberikan kekuasaan politik seluas-luasnya kepada kelompok yang merasa disakiti dan dipinggirkan selama Orde Baru berkuasa. Radikal Kiri dan Radikal Kanan, Ekstrim Kiri dan Ekstrim Kanan, Non-Muslim dan Non-Jawa diberi kesempatan untuk mengelola pemerintahan. Hasilnya seperti yang terlihat hari ini. Intelijen negara bobrok, kacau-balau dan amburadul. Akhirnya, setelah 22 tahun Reformasi, masyarakat dapat menilai hasil pembangunan yang dicapai dengan basis sakit hati dan dendam kesumat yang tiada akhir. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Pemerhati Intelijen & Akitivis ’98.

Presiden Renggut Kebahagiaan Rakyat Dengan Teror

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sedih dan miris melihat beberapa foto dan video beredar di media sosial (medsos) yang yang berkaitan dengan pergerakan muduk lebaran. Foto dan video yang menggambarkan betapa ketat aparat keamanan menjaga batas pintu masuk Kabupaten-Kota di Pulau Jawa. Aparat melakukan segala cara untuk menghalangi masyarakat pulang kampung. Salah tersebut satu video menayangkan konon di perbatasan Bogor-Bekasi penjagaan sampai dengan mengerahkan kendaraan militer. Media melansir berita bahwa "Satuan Tempur TNI Dikerahkan untuk penyekatan Pemudik di Jawa Tengah". Ada tiga hal yang memprihatinkan rakyat, bangsa, dan negara dengan fenomena ini. Pertama, keterlibatan militer untuk penyekatan "menghadapi" rakyat pemudik adalah berlebihan. Institusi yang kompeten cukup Kepolisian saja. Sama berlebihannya dengan pasukan Kodam Jaya menurunkan Baliho Habib Rizieq Shihab (HRS) yang menjadi tugas dan kewenangan Satpol PP. Kedua, efek psikologis menurunkan "Satuan Tempur TNI" adalah teror psikologis kepada rakyat yang sudah direnggut kebahagiannya. Larangan mudik itu jelas-jeles mengecewakan dan menyedihkan rakyat. Terkesan betapa bahayanya rakyat di depan aparat keamanan, sehingga perlu diteror dengan pasukan dan peralatan tempur. Rakyat yang mudik itu bukan teroris. Ketiga, rakyat pulang kampung atau mudik bukan berarti memiliki uang berlimpah. Mereka sekedar ingin bertemu dengan sanak keluarga, orang tua dan kerabat. Dengan pengerahan pasukan dan aparat maksimal, maka penyekatan dapat dikesankan menjadi "proyek lebaran" bagi petugas. Pasukan TNI yang dikerahkan mencitrakan selama ini bahwa pasukan itu memang "menganggur". Bahwa kondisi pandemi semua sudah tahu, rambu-rambu sudah dibuat yang disebut prokes. Kebijakan ketat mudik tak sebanding dengan longgarnya pariwisata. Mall tetap dibuka, pariwisata masih saja digalakkan. Tragisnya, pulang pergi penerbangan ke negeri Cina dibuka lebar. Ketidak-adilan terus menampar wajah kekecewaan dan kepedihan rakyat Indonesia. Jika ingin ketat urusan pergerakan masyarakat antar daerah, sejak dulu telah disarankan berlakukan saja sekaligus kebijakan "lockdown" tetapi pemerintah memang "bokek dan dungu", sehingga tak mampu membiayai rakyat. Akhirnya kebijakan inkonsisten terpaksa diambil. Kebijakan plintat-plintut. Pejabat, pengusaha, atau orang kaya mampu berputar-putar menikmati wisata belanja dimana-mana. Sementara rakyat yang hidup pas-pasan atau bernafas kembang kempis, untuk dapat bertemu bapa dan ibunya saja tidak bisa. Kebahagiaan yang terenggut di negeri banjir air mata. Resah Soal TKA Cina Berita media gelora.co, konten Islam.com, Swamedium Dotcom dan lainnya tentang (diduga) James Riyadi, konglomerat taipan yang menyatakan etnis Cina akan mengeleminasi pribumi dalam 10 tahun ke depan, cukup menggemparkan. Dinyatakan tahun 2014 telah masuk 10 Juta Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Cina ke Indonesia. Jumlah ini sudah melebihi kuota. Lalu tahun 2021 kini TKA Cina sudah berjumlah 17 Juta. Mendapat proteksi dari para naga yang menjadi penyandang dana. Disebutkan sejak 2019, hingga kini telah 1238 penerbangan ke berbagai bandara untuk mengangkut TKA Cina. Ditambah 933 kapal berlabuh membawa emigran Cina ke Indonesia. Berita ini memang masih perlu uji kesahihan. Apakah benar yang diungkap oleh James Riyadi atau kebenaran fakta-fakta yang dimunculkan? Baik itu soal penerbangan, kapal laut, maupun jumlah TKA Cina yang kini telah berjumlah 17 Juta orang. Meskipun demikian informasi ini tidak dapat begitu saja diabaikan. Tidak bisa untuk dianggap angin lalu atau informasi hoax. Informasi tersebut perlu direspons Pemerintah maupun masyarakat. Terutama besarnya gelombang kedatangan emigran yang berdalih TKA Cina. Jika informasi ini benar, tentu sangat berbahaya. Telah terjadi Infiltrasi, sehingga invasi bisa saja terjadi setiap saat. Aneksasi hingga eliminasi bukan hal yang mustahil. Bisa terjadi setiap saat bila penguasa Cina sudah menganggap perlu. Rakyat cukup lama resah dan gelisah dengan masifnya TKA Cina masuk dan bekerja di Indonesia. Mereka kebanyakan bukan berprofesi dengan keahlian spesifik. Bekerja dengan kemampuan yang sama dan dapat dilakukan oleh tenaga kerja kita sendiri. Meski nyatanya digaji TKA Cina berbeda. Gaji TKA Cina jauh lebih tinggi dari pererja Indonesia. Pembukaan penerbangan Jakarta-Wuhan di tengah masyarakat sendiri yang dilarang ketat untuk dapat mudik di bulan Ramadhan, sangat ironi dan mengkhawatirkan. Diperkirakan ada beberapa hal penting untuk diperhatikan atau bahkan dilakukan. Pertama, instansi pemerintah, baik itu Pusat maupun Daerah harus memiliki data valid mengenai jumlah TKA Cina yang ada di negara Indonesia. Pendataan ini perlu berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik. Masyarakat secara terbuka harusnya dapat menerima informasi yang akurat tentang keberadaan TKA Cina dari instansi Pemerintah tersebut. Kedua, masyarakat perlu membentuk semacam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang khusus mengawasi TKA Cina. Pengawasan yang khusus untuk mengawasi keberadaan TKA Cina di berbagai daerah. Bisa namanya “Emigran Care” atau “TKA Cina Watch” dan sejenisnya. Perlu untuk dibentuk. Ketiga, mengingat WNA Cina adalah bagian dari komunisme Cina, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat dari institusi negara. Lembaga intelijen seperti Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Intelijen Daerah (BINDA) perlu meningkatkan pengawasan dan pendataan dari aspek ideologis. Demikian juga dengan instansi Kepolisian. Intelkam dituntut untuk lebih cermat "memantau". Berita di berbagai media yang hingga kini belum terklarifikasi bila tidak diantisipasi, maka dapat saja membahayakan keamanan negara. Kedatangan TKA Cina gelombang demi gelombang mencolok mata di depan publik. Belum lagi keeratan beberapa partai politik di Indonesia dengan Partai Komunis Cina jelas-jelas lebih mengkhawatirkan lagi. Waspada investasi yang dapat berubah menjadi infiltrasi, aneksasi, dan eliminasi. Rakyat resah dan gelisah dengan keberadaan TKA Cina. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Dua Tokoh Oposisi Bertemu di Malam Penuh Ampunan

by Gde Siriana Yusuf Jakarta FNN - Bertemunya dua tokoh nasional adalah hal yang lumrah. Tetapi bertemunya seorang Rizal Ramli dengan Gatot Nurmantyo, yang dicap penguasa sebagai tokoh oposisi selama ini dianggap banyak kalangan aktivis sebagai suatu keniscayaan. Dan malam ini, menyambut malam penuh ampunan, Ramadhan hari ke-25 memberikan anugerah bagi yang sangat luar biasa. Kebesaran Allaah Subhanahu Wata’ala itu benar-benar datang pada Jum’at kemarin. Suatu peristiwa yang sudah lama ditunggu-tunggu dan diharapkan banyak kalangan yang ingin menyelamatkan negeri ini dari keterpurukan yang lebih dahsyat dan mengerikan. Maka ketika Rizal Ramli dan Gatot Nurmantyo shalat bersama di mesjid yang sama, ini menjadi hal yang sangat langka sekaligus penuh barokah. Peristiwa yang kemungkinan tidak dikehendaki oleh penguasa. Sebab penguasa sepertinya berharap kedua tokoh oposisi yang paling disegani oleh jangan sampai duduk makan satu meja. Apalagi sholat berjamaah. Pertemuan kedua tokoh ini di suatu masjid pun menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Kata “masjid” yang berakar dari bahasa Arab, yang berarti tunduk, patuh dan ta'at dengan penuh ta'ẓim dan hormat. Dalam bahasa populernya, masjid menjadi tempat ibadah, dimana manusia menundukkan hati dan raganya ke hadapan Sang Pencipta Allaah Subhanahu Wata’ala. Dalam konteks ketaatannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allaah Azza wa Jalla, para tokoh itu bertemu untuk memikirkan nasib bangsa. Subhanallah ya robbi. Saya melihatnya pertemuan ini menandakan telah terbentuknya frekuensi yang sama dalam melihat situasi bangsa saat ini. Bagaimana tidak. Berbagai persoalan yang muncul semakin menumpuk tanpa sebagai tanda-tanda akan berakhir. Pada setiap rezim, selalu ada saja cara untuk mengelola, atau dalam bahasa yang lebih keras merepresi warga negara atau sekelompok masyarakat yang dianggap kritis oleh penguasa. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah kebijakan represif penguasa, yang bukan saja membungkam dan menyebarkan rasa takut yang mendalam pada masyarakat. Lebih fundamental dari itu, yaitu hancurnya nilai-nilai yang berlaku umum di dalam kehidupan manusia. Yang terjadi saat ini misalnya, munculnya sikap yang apologetik terhadap bentuk-bentuk kekerasan. Begitu juga dengan kriminalisasi terhadap orang-orang yang dianggap kritis dan berseberangan dengan kekuasaan. Sikap yang apologetik terhadap upaya penyingkiran orang-orang yang punya integritas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kita bisa melihat bagaimana sebagian orang yang seharusnya berperan sebagai cendekia, tetapi karena pro penguasa membiarkan revisi UU KPK dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja diloloskan. Padahal nyatanya mayoritas rakyat Indonesia menolaknya. Hanya karena mereka melihat bahwa yang menentang RUU itu adalah orang kritis yang berseberangan dengan penguasa. Hak setiap warga warga negara untuk terlibat aktif pada penyusunan suatu RUU. Tetapi stigmasisasi oposisi digunakan untuk memberi label "melawan pemerintah" kepada orang-orang atau kelompok yang mengkritisi RUU kebijakan pemerintah. Semestinya hak warga negara itu tidak ada urusannya dengan menjadi oposisi atau pro penguasa. Sebab pemerintah hanya perpanjangan tangan dari kepentingan oligarki licik, picik, tamak dan culas. Tidak lebih. Juga ketika karangan bunga dipertontonkan untuk merayakan terbunuhnya enam anggota laskar Front Pembela islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek. Dalam bahasa Rocky Gerung, bunga ini merayakan kehancuran Indonesia. Ini merupakan apologetik atas perbuatan yang melanggar hak Asasi Manusia (HAM), yang semestinya menjadi nilai universal yang dipegang teguh oleh siapapun dia. Terbaru adalah banyak kalangan yang diam ketika KPK sedang dijinakkan melalui upaya menyingkirkan orang-orang yang selama ini dikenal publik memiliki integritas yang tidak diragukan lagi. DPR sebagai lembaga yang menjadi andalan rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan, justru makin jauh dari harapan rakyat. DPR menunjukkan sikap apologetik atas upaya pelemahan pemberantasan korupsi. Banyaknya elit atau kader parpol yang diduga terlibat dalam kasus korupsi belakangan ini membuat Parpol DPR terkesan ambigu. Tak berdaya atau diam saja ketika ada upaya-upaya membersihkan KPK dari orang-orang yang berintegritas. Harapan mereka yang terlibat kasus korupsi tentunya agar kasus-kasus yg sedang ditangani KPK tidak kan menyentuh para elit. Peran kontrol terhadap kekuasaan (eksekutif) kini justru diambil oleh seorang LaNyalla Mahmud Mataliti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang hadir juga dalam pertemuan dengan Gatot Numantyo dan Rizal Ramli. LaNyalla ikut urun rembuk dengan para tokoh di luar kekuasaan untuk bersama-sama melihat semua persoalan dalam perspektif yang sama. Masalah-masalah yang hingga saat ini mendera bangsa dan negara, dan belum juga diselesaikan saling berkaitan. Misalnya upaya pelemahan KPK, jelas sangat berkaitan dengan penggunaan anggaran yang tidak efisien dan efektif. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Juga soal kesejahteraan dan kesenjangan sosial masyarakat yang semakin menurun dari hari ke hari. Dinamika perubahan sosial selalu menuntut tiga tahapan, yaitu kognisi, afeksi dan empati. Tiga tahapan adalah pola dari masyarakat dalam membangun kekuatan, yang potensial atas kehirauan pada masalah-masalah kenegaraan yang lebih mendasar. Ini pola yang sangat alamiah, dan kerap berulang di tengah-tengah menghadapi kesulitan masyarakat. Diperlukan suatu pemahaman yang sama (kognisi) atas akar masalah yang sesungguhnya. Kognisi ditandai dengan bertubi-tubinya pelbagai kejadian yang erat hubungannya dengan pengabaian pemenuhan hak dasar warga negara dalam hal ini rasa keadilan. Soal keadilan ini suatu fenomena yang sudah sangat dikenali oleh masyarakat luas. Pertemuan dua tokoh oposisi ini, ke depannya menuntut keterlibatan masyarakat lebih luas terhadap masalah besar bangsa saat ini. Bagaimana saling menunjukkan perasaan yang muncul di masyarakat (afeksi). Sebab afeksi memicu ingin turut andil atau melibatkan diri keluar dari masalah yang dihadapi. Diperlukan suatu “rumah bersama” untuk saling urun rembug membicarakan berbagi empati, bahwa rakyat merasakan senasib dan sepenanggungan. Jalinan empati masyarakat akan semakin solid dan dapat menumbuhkan kolaborasi dalam jejaring sosial yang menuntut perubahan mendasar karena diikat oleh "sense of belonging". Faktanya hari ini tahap afeksi ini sudah sampai pada tahap empati yang kini terus berjalan. Salah satu contohnya, urunan pengumpulan uang untuk membeli kapal selam. Jangan dilihat nominalnya, tetapi itu sebagai tanda bahwa rasa empati di lapisan masyarakat tak akan surut. Begini pola masyarakat dalam membangun kekuatan. Pola ini memungkinkan potensial atas kehirauan kepada masalah-masalah kenegaraan yang lebih mendasar. Melalui proses inilah, solusi untuk menyelamatkan Indonesia dapat disusun secara komprehensif. Karena itu, perlu keterlibatan berbagai kalangan, yang dalam tulisan bang Tamsil Linrung dikatakan sebagai "Mendorong Rekonsiliasi". Para tokoh nasional, akademisi, purnawirawan, profesional, mahasiswa, emak-emak, buruh, petani harus terlibat dalam satu gagasan besar menyelamatkan Indonesia. Pemimpin sejati tidak akan diam menonton penderitaan yang mendera rakyatnya. Dia harus menjadi inspirasi bagi suatu gagasan besar demi memperbaiki bangsanya, negerinya, dan peradaban manusia. Menyambut malam penuh ampunan ini, mereka telah menghidupkan mesin perubahan itu. Mesin yang menanti digerakkan orang-orang muda. Penulis adalah Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).

WNI Dilarang Mudik, WNA Malah Diizinkan Masuk

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Pernyataan Deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Said Didu perihal masuknya warga negara (WN) China ke tanah air di saat pelarangan mudik lebaran sedang diterapkan terus menjadi pergunjingan di masyarakat. Said Didu mengingatkan bahwa kasus ini tidak boleh dianggap sepele. Apalagi, berdasarkan catatannya, Palestina sebagai sebuah negara yang telah mengalami kehancuran setelah terjadi gelombang kedatangan tenaga kerja asing (TKA). “Negara Palestina saat ini ‘hilang’ berawal dari masuknya tenaga kerja asing secara masif. Saya ulangi ‘masuknya TKA secara masif’,” tegas Said Didu lewat akun Twitter pribadinya, Jumat (7/5/2021). Tidak hanya itu, Said Didu juga mengingatkan pemerintah bahwa peristiwa masuknya WN China, yang berulang bahkan tetap terjadi di saat rakyat dilarang untuk mudik ke kampung halaman, akan membuat rakyat paham bahwa ada kuasa besar di balik hal tersebut. Pasalnya, seperti dilansir RMOL.id, Jumat (07 Mei 2021, 14:25 WIB), hanya mereka yang sangat kuat yang bisa mengkoordinasikan sejumlah kementerian dan lembaga untuk kompak meloloskan TKA China ke dalam negeri. “Jika Kemenlu (Kedubes), Kemenkumham (Imigrasi), Kemenhub (izin penerbangan), Polisi (pengamanan) kompak ‘membantu’ masuknya TKA China di tengah melarang rakyat mudik, maka publik paham bahwa hanya yang sangat berkuasa (saja) yang bisa memerintah banyak instansi secara bersamaan,” tutupnya. Dalih adanya peningkatan kasus Covid-19 ketika Lebaran 2020, Natalan 2020, dan Perayaan Tahun Baru 2021 selalu menjadi alasan pelarangan Mudik Lebaran 2021. Apalagi, ditambah dengan tayangan “honor India” yang ternyata Hoax. Per 26 April, India mencatat 352.991 kasus Covid-19 baru, hari kelima dari rekor tertinggi, dan 2.812 kematian baru, angka kematian harian tertinggi sejauh ini. Menurut Tempo, India mengalami kekurangan tempat tidur dan oksigen untuk pasien Covid-19 ketika kasus infeksi di sana semakin melonjak. Ibukota India, New Delhi, mencatat 25.500 kasus Covid-19 baru dalam periode 24 jam. Namun, kurang dari 100 tempat tidur untuk perawatan kritis tersedia di kota itu. Sementara jumlah kasus di seluruh India pada hari itu mencapai sekitar 233 ribu. Pada 1 Mei, India mencatatkan rekor tertinggi jumlah dalam satu hari, yakni 401.993 kasus. Krematorium di seluruh India dipenuhi dengan mayat. Pasien terengah-engah dan sekarat, karena rumah sakit kehabisan oksigen. India telah melaporkan lebih dari 300 ribu kasus baru setiap harinya selama 9 hari berturut-turut sejak 21 April sebelum mencapai angka 400 ribu. Namun, berdasarkan pemeriksaan cek fakta Tempo, klaim bahwa video di atas bukan video kremasi jenazah Covid-19 di, tapi kremasi korban kebocoran gas, keliru. Video dan foto kremasi massal yang konon korban Covid-19 di India, yang banyak dibagikan beberapa hari yang lalu oleh netizen, termasuk juga media kelas kakap, seperti Tempo, Metro dan Kompas ternyata Hoax. Itu adalah video dan foto korban kebocoran gas Tahun Lalu, dan kremasi massal pada 2012. Kejadiannya betul di India. Jadi semua mau “dicovidkan”? Ingat, segala yang bombastis dan merangsang orang untuk cepat-cepat menyebarluaskan nya umumnya adalah Hoax. Sayangnya, narasi “honor India” itu selalu didengungkan oleh pejabat sebagai “peringatan” agar jangan sampai terjadi di Indonesia akibat dari aktivitas kerumunan peringatan hari-hari keagamaan, seperti Lebaran dan Natal 2020, serta Tahun Baru 2021. Sehingga larangan Mudik Lebaran 2021 pun diumumkan Pemerintah. Penyekatan dilakukan oleh Satgas Covid-19 dibantu aparat Polisi dan TNI. Bersenjata lengkap seperti akan terjadi perang. Sementara karpet merah digelar untuk TKA China masuk Indonesia. Konon, Penerbangan rute Wuhan-Jakarta itu sudah mendapatkan Flight Approval (FA) dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara untuk melayani penerbangan charter dengan tujuan pengangkutan WNA asal China untuk kepentingan pekerjaan/perusahaan. Kebijakan Pemerintah yang dirasakan “tidak adil” itu dikritisi Anggota DPR RI dari Fraksi PAN, Athari Gauthi Ardi. Ia berekasi keras terhadap masuknya warga asing yang dikabarkan dari Wuhan ke Jakarta. Menurutnya, kebijakan pemerintah yang melarang mudik dan di satu sisi membiarkan warga asing masuk terasa sangat aneh. Pemerintah harus lebih komit lagi dengan aturan yang dibuat tentang pelarangan mobilisasi orang di tengah pandemi Covid-19 ini. Dikatakan Athari, harusnya pelarangan ini berlaku untuk semuanya, tanpa pilah-pilih seperti saat ini. “Ini kan aneh, mudik dilarang, tapi warga asing masuk ke Indonesia. Aturan harus berlaku untuk semuanya,” kata politisi asal Sumbar itu. Athari juga meminta pemerintah bijak dan menutup semua akses masuk untuk orang asing ke Indonesia. “Segera tutup seluruh arus keluar masuk di sektor perhubungan darat laut maupun udara. Baik domestik ataupun luar negeri. Jangan pilih kasih,” ujar Anggota Komisi V ini, seperti dilansir Hantaran.co, Selasa (4/5/2021). Sopir Madura Kami para sopir angkutan memohon kepada Bpk. Presiden, DPR, Gurbenur, Walikota, dan Bupati. Dengan menutup pintu keluar masuk propinsi secara tidak langsung membunuh mata pencaharian kami.. Jangan biarkan anak2 kami menangis pilu di saat anak2 kalian tertawa gembira. Jangan biarkan kami kelaparan di saat kalian terlelap tidur karena kekenyangan. Karena anak, istri berikut kredit mobil kami tidak ditanggung oleh negara. Kenapa harus kami yg dikorbankan karena ketakutan kalian yg tidak kami takuti.. Yang kami takuti apabila anak dan istri kami mati kelaparan. Karena tidak dapat makan. siapakah yang bertanggung jawab? Padahal Allah menyuruh kami tetap berusaha dan bertanggung jawab kepada anak dan istri kami. Itu yang kami pertanggung jawabkan di akhirat nanti. Kenapa kami selalu dihadapkan dengan aparat hukum, dibentak, dihardik seakan kami ini teroris..padahal kami ini adalah pejuang dan pahlawan bagi keluarga kecil kami.. Di saat kalian berbagi THR kami hanya bisa berkata 'Apakah esok hari anak2 kami dapat makan" Apakah kalian pernah merasakan di saat semua orang tidur nyenyak ada seorang sopir tetap terbangun dan bekerja menafkahi keluarganya demi memberikan kehidupan yg layak utk anak istrinya.. Apakah ada cara lain yang bijak dengan tidak membunuh mata pencaharian kami..berilah aturan yg adil buat kami semoga dapat hidayah . Wassalam Curahan hati seorang sopir angkutan lokasi Madura Jawa-Timur Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Tragedi KM 50, Laskar Ditembak dan Rekayasa Polisi

Rekayasa kasus mungkin itu yang tepat disematkan dalam pengusutan pembunuhan laskar itu. Padahal, peristiwa itu menyangkut nyawa manusia yang dihukum tanpa proses pengadilan. Polisi telah menetapkan tiga orang polisi menjadi tersangka, yaitu F, Y dan EPZ atau Elwira Priyadi Zendrato, dan tidak ada yang ditahan. by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN, Hari ini, tepat.lima bulan yang lalu, enam laskar yang mengawal Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab tewas ditembak polisi. Peristiwa yang lebih dikenal dengan Tragedi KM 50, Jalan Tol Jakarta-Cikampek terjadi pada Senin, 7 Desember 2020 dinihari sekitar pukul 00.30. Peristiwanya sangat tragis. Sebab, tubuh keenam laskar yang tewas itu tidak hanya ditembus peluru tajam. Akan tetapi, ditemukan juga sejumlah luka yang diduga bekas penyiksaan sebelum ditembak, atau bisa juga penyiksaan setelah ditembak oleh anggota.Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Enam laskar yang tewas ditembak dari jarak dekat itu adalah Muhammad Reza, Lutfi Hakim, M.Suci Khadafi, Ahmad Sofiyan, Faiz Ahmad Syukur dan Andi Oktaviana. Peristiwa penembakan itu penuh tanda tanya dan misteri. Sebab, sebelum subuh.pada hari.kejadian, telah beredar kabar di media sosial, terutama WhatsApp (WA) yang mengabarkan enam laskar FPI hilang diculik orang tidak dikenal. Mereka adalah bagian dari pengawal HRS yang berjumlah 10 orang, 4 orang lagi di mobil yang berbeda. Mereka mengawal iring-iringan mobil yang ditumpangi HRS, istri, anak, menantu dan cucu menuju pengajian keluarga inti di daerah Karawang, Jawa Barat. Akan tetapi, Senin, 7 Desember 2020 siang, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Fadil Imran menggelar jumpa pers dan mengumumkan anggotanyalah yang menembak laskar tersebut. Dengan gagahnya, ia menjelaskan penembakan dilakukan secara tegas dan terukur, karena pengawal HRS melawan petugas. Sejumlah barang bukti pun dipamerkan, termasuk senjata api yang katanya digunakan laskar. Akan tetapi, Sekretaris Umum FPI, Munarman saat itu membantah pengawal membawa senjata. Senjata tajam.pun tidak, apalagi senjata api (walaupun disebut senjata api rakitan). Nah, keterangan pihak kepolisian juga berbeda-beda (tidak jelas apakah karena skenario rekayasanya yang salah). Tidak lama kemudian, pihak kepolisian menyebut laskar mau merampas senjata api petugas yang membawa mereka dengan mobil dari KM 50. Kok ada usaha merampas senjata dari orang yang sudah dilumpuhkan? Kalaupun itu terjadi, kenapa polisi tidak memborgol atau mengikat tangan/kaki laskar itu? Tidak ada alasan bagi polisi yang bertugas melakukan pengintaian dan pengejaran tanpa membawa borgol dan pistol. Polisi bodohlah yang tidak membawa senjata api dan borgol jika ditugaskan untuk menguntit sesuatu yang dianggap kejahatan atau bermasalah. Keterangan Fadil Imran juga bertolak belakang dengan rekonstruksi yang dilakukan polisi. Dalam rekonstruksi, terlihat (dalam foto yang beredar), laskar itu disuruh jongkok dan tiarap sebelum masuk ke mobil yang membawa mereka. Pertanyaannya, apakah benar laskar itu ditembak di dalam mobil yang membawa mereka atau dieksekusi di suatu tempat? Banyak yang percaya keenam laskar itu dieksekusi di sebuah tempat (rumah?). Kalau ditembak di dalam mobil, berarti mobil akan menjadi barang bukti di persidangan pengadilan. Sampai sekarang, masyarakat yang awam hukum sekali pun menertawakan keterangan yang disampaikan polisi. Apalagi menyangkut mobil Land Cruiser hitam yang muncul di KM 50, tetapi tidak diperlihatkan pada saat rekonstruksi. Sampai sekarang keberadaan mobil dan penumpangnya masih misteri. Banyak dugaan rekayasa di kasus tewasnya laskar tersebut. Selain CCTV jalan tol mati (dimatikan?), rest area atau tempat peristirahatan KM 50 tidak lama kemudian ditutup. Para.pedagang disuruh pindah. Setelah pindah, bangunan yang ada dibongkar setahap demi setahap, dan akhirnya rata dengan tanah. Kenapa harus dibongkar? Apa salah rest area KM 50 tersebut? Takut dijadikan saksi? Toh, polisi kan bisa saja merekayasa kasusnya. Walaupun bangunannya sudah tidak ada, tetapi rest area tersebut akan tetap menjadi saksi bisu di dunia, dan menjadi salah satu yang akan mengeluarkan kesaksian di hadapan Allah Subhanahu wata'ala, Tuhan Yang Maha Esa, kelak. Rekayasa kasus mungkin itu yang tepat disematkan dalam pengusutan pembunuhan laskar tersebut. Padahal, peristiwa itu menyangkut nyawa manusia yang dihukum tanpa proses pengadilan. Peristiwa tersebut adalah tragedi kemanusiaan. Polisi telah menetapkan tiga orang polisi nenjadi tersangka, yaitu F, Y dan EPZ atau Elwira Priyadi Zendrato. Sebelumnya, polisi juga sempat menetapkan enam laskar yang sudah meninggal dunia menjadi tersangka. Hal itu menjadi bahan lelucon dan tertawaan masyarakat, termasuk orang gila. Penetapan tersangka terhadap orang yang sudah tewas adalah aneh, dan baru pertama kali terjadi di dunia, meskipun polisi buru-buru mencabutnya. Kasus Elwira Priyadi Zendrato, ditutup karena yang bersangkutan mati dalam peristiwa kecelakaan lalulintas di wilayah Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Peristiwa kecelakaan yang menyebabkan ia mati terjadi tanggal 3 Januari 2021, tetapi baru diumumkan Jumat, 26 Maret 2021. Wah hebat sekali polisi kita, karena hampir tiga bulan baru diumumkan? Lokasi kecelakaannya pun tidak jelas, karena nama jalan yang disebut polisi, tidak sesuai di lapangan. Jangan-jangan, dua polisi yang menjadi tersangka dan masih hidup, nanti diumumkan mati kena Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Bisa juga diumumkan mati karena kelelap saat berenang di kolam renang, sungai, danau dan laut antah-berantah. Nah, F dan Y sampai kini tidak ditahan. Berkas kasusnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, tetapi dikembalikan lagi ke polisi. Lucu juga ya, tersangka F dan Y tidak ditahan. Padahal, ancaman yang dituduhkan adalah Pasal 338 KUHP juncto Pasal 56 KUHP. Hukumannya maksimal 15 tahun penjara. Jangankan ditahan, dinonaktifkan pun tidak. Keduanya masih ke kantor, dan bebas berkeliaran. Pasal 338 berbunyi, "Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun." Padahal, biasanya polisi langsung menahan tersangka yang tuduhan pidananya lima tahun. Bahkan, tuduhan penjara di bawah lima tahun pun banyak yang langsung dipenjara polisi. Wahai polisiku? Berbuat adillah kalian. Jangan terlalu sering merekayasa kasus. Apalagi, kasus penembakan enam laskar ini menjadi sorotan pemerhati Hak Azasi Manusia (HAM) dunia, meskipun Komnas HAM menyematkannya bukan pelanggaran HAM berat, tetapi dugaan unlawful killing. ** Penulis adalah Pemimpin Redaksi FNN.co.id.