NASIONAL

Sambo Dipecat Dengan Tidak Hormat dan Terancam Hukuman Mati: Bongkar Saja Semuanya!

“POLISI Tembak Polisi”. Polisi akhirnya harus super cepat karena bersaing dengan DPR yang seolah-olah juga sedang ingin supaya ini selesai, supaya tidak merembet ke mereka. “Karena tekanan etis dari pers terutama, maka kita lihat satu peristiwa yang betul-betul unik bahwa seorang jenderal itu akhirnya harus menghadapi posisi yang sebetulnya dia yang mustinya ada di depan meja, ada di belakang meja hakim, tapi dia ada di posisi terperiksa,” kata Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal Rocky Gerung Official, pada Jum’at (26/8/2022). Akhirnya, mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo dalam sidang etik terkait dengan pembunuhan Brigadir Joshua yang terjadi pada Jum’at (8/7/2022), diputus Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PDTH) sebagai anggota Polri, Jum’at (26/8/2022). Ia pun banding. Bagaimana menurut pengamat politik Rocky Gerung? Berikut petikan dialog Hersubeno Arief dengan Presiden Akal Sehat ini.   Halo apa kabar. Seperti biasa, Anda kembali berjumpa dengan saya dan Bung Rocky Gerung. Iya, kita ingin lihat pemilu ke depan itu didasarkan pada persaingan yang sifatnya persahabatan. Ini sudah mulai ada kasak-kusuk soal pencapresan segala macam. Tetapi yang ada di kita sekarang tentu pencapresan itu pasti harus kita lakukan, tapi kita selesaikan dulu problem Pak Sambo, karena makin lama makin dekat dengan penyelesaian. Motif juga mulai terbuka, dan ujungnya nanti kita ikut pidananya, apa dan siapa yang akan terlibat di situ? Lapisan mana yang hanya kena beban etik atau teguran etis atau hukuman etis, mana yang akan kena pidana, dan mana yang masih terlibat pada kasus turunannya, yaitu soal peta-peta itu, soal staf merah putih (Satgassus Merah Putih) segala macamlah. Tetapi, yang penting kita fokus pada Pak Sambo dulu yang terlihat sangat tenang kemarin. Iya, Pak Sambo itu diperiksa sampai dini hari, dengan total, kalau termasuk break, 18 jam pemeriksaan. Tapi kalau tidak termasuk break mungkin lama pemeriksaan sekitar 15 sampai 16 jam. Yang diperiksa 15 orang saksi. Jadi, ini sidang maraton yang saya kira memang menunjukkan polisi ingin segera menyelesaikan beban di atas pundak mereka. Kemudian hukumannya maksimal PTDH (pemberhentian dengan tidak hormat), meskipun secara hukum dia diberi hak untuk mengajukan banding dalam waktu 3 hari. Ya. Itu intinya polisi akhirnya harus super cepat karena bersaing dengan DPR yang seolah-olah juga sedang ingin supaya ini selesai, supaya tidak merembet ke mereka. Kan begitu kan? Tetapi publik juga tahu bahwa masih ada soal, bahwa hal-hal yang menyangkut keburukan kepolisian itu juga disebabkan sebagian oleh keburukan transaksi di DPR, di Komisi III. Jadi, sama-sama masih ada problem etis. Kita belum bicara soal hal-hal yang bersifat pidana di DPR. Itu mungkin yang panjang, tapi secara etis kita juga sekaligus ingin minta DPR lakukan refleksi, seperti yang dilakukan oleh Kapolri sekarang. Jadi, orang bercermin lagi pada Kapolri, pada Pak Sigit (Jenderal Listyo Sigit Prabowo), yang terdesak secara politik pasti itu, dia akhirnya juga terdesak secara moral. Tekanan moral itu saya kira yang membuat Pak Sigit mempercepat ini. Kalau tekanan politik bisa di-deal-kan, bisa dinegosiasikan. Tetapi, karena tekanan etis dari pers terutama, maka kita lihat satu peristiwa yang betul-betul unik bahwa seorang jenderal itu akhirnya harus menghadapi posisi yang sebetulnya dia yang mustinya ada di depan meja, di belakang meja hakim, tapi dia ada di posisi terperiksa. Ini penting, supaya kita nggak lagi dibikin seolah-olah kalau polisi itu kebal hukum. Jadi itu intinya, kontrol internal yang disebut pengadilan etis atau pemeriksaan etis atau sidang kode etik. Ini baru soal sidang kode etik, yaitu audit internallah gampangnya. Nanti ada audit eksternal. Itu melibatkan peta-peta yang panahnya ke mana-mana kemarin. Nah, kita melihat ini masih ada saja persoalan yang saya kira harus juga menjadi autokritik bagi kepolisian seperti yang Anda singgung kemarin juga, soal seragam. Kemarin kan dalam sidang viral video ada seorang anggota Brimob memakai pakaian loreng, memakai kayak pesawat tempur di situ, kemudian membentak-bentak wartawan karena dianggap wartawan itu tidak tertib dan sebagainya, masih menjadi sorotan. Memang tanpa sadar orang itu ketika pakaiannya, pakaian itu akhirnya bisa mempengaruhi psikologi seseorang. Itu biasanya kepangkatan itu memang diatur dalam tradisi Eropa bahkan. Semakin cemerlang pangkat seseorang itu lalu dianggap kehormatan semakin tinggi. Tetapi itu dulu, ketika raja-raja itu harus dipersiapkan sedemikian rupa sehingga tampilan fisiknya itu harus mendahului tampilan etisnya. Zaman dulu yang disebut kerajaan itu kalau bisa pakai tameng yang besar-besar dan berat supaya terlihat bahwa tubuhnya itu betul-betul untouchable. Jadi raja musti dijauhkan dari publik dengan pembedaan kostum. Nah, kalau sekarang nggak mungkin itu terjadi. Jadi, kalau ada anggota Brimob di situ harusnya ditegur. Karena fungsi itu ya kasih saja kan fungsi keamanan kepolisian. Itu kan hanya bicara dengan wartawan. Wartawan kan orang yang paling suka ada di depan karena dia ingin dapat berita secepat-cepatnya. Itu biasa saja itu. Demikian juga Brimob. Brimob ingin paling di depan kalau ada kerusuhan, tapi kan ruang sidang bukan tempat kerusuhan. Jadi itu pentingnya soal-soal kepangkatan itu dan profil ketubuhan itu tidak boleh diperlihatkan dalam bentuk kekasaran. Kan ini adalah pengadilan sipil sebetulnya. Kepolisian kan sipil yang kebetulan diberi hak atau diminta oleh rakyat untuk dipersenjatai. Jadi, rakyat yang meminta Brimob untuk dipersenjatai karena ada tugas-tugas khusus. Jadi, jangan berbalik masuk ruang sidang dengan peralatan yang sangat semi militeristik. Itu juga memengaruhi orang-orang yang nonton. Tentu Brimob yang masuk ke situ bukan karena keinginan dia. Ini soal SOP-nya. Sang petugas itu hanya menjalankan SOP bahwa dia diminta untuk membentak, bukan keinginan dia untuk membentak. Karena itu diberi seragam setiap personil itu tunduk pada pemberi seragamnya. Diberi senjata untuk tunduk pada pemberi senjata. Itu namanya hierarki di dalam militer maupun kepolisian, dalam operasi, bukan dalam ruang sidang. Oke. Ini sekarang seperti sudah kita prediksi, ini hukumannya maksimal, pemberhentian dengan tidak hormat. Paling tinggi dan begitu nanti 3 hari ke depan Pak Sambo kalau ditolak bandingnya (bukan mendahului proses pengadilan, tapi harusnya itu ditolak juga), prosesnya Sambo langsung menjadi warga sipil dengan dipecatnya dia (meskipun masih harus menunggu proses administrasi). Dia nanti akan sidang sebagai orang sipil. Dan saya kira ini menarik untuk kita amati bagaimana polisi menyikapi soal ini, karena bagaimanapun juga sampai sekarang kita masih melihat, mendengar juga, bagaimanapun geng Sambo ini masih cukup kuat. Mungkin mereka bukan ingin melindungi Sambo lagi karena sudah tidak bisa dilindungi lagi, tapi akan melindungi kepentingan mereka sendiri. Ya. Itu variabel yang masih melekat pada kasus ini. Mungkin berlebih kita bilang geng Sambo, tapi akhirnya pers menganggap ini Gengster, karena sudah dianggap ke mana-mana panah itu. Tetapi, kita mesti kembalikan lagi pada fungsi-fungsi awal yang sangat mungkin bagus ada kegiatan itu. Kan nanti pengadilan yang akan menerangkan oh panah ini terbalik, panah yang dibuat oleh antigeng Sambo terbalik. Itu sebetulnya yang mesti kita periksa secara akademis dan sekaligus kita kasih latar belakang politik di situ. Kenapa lembaga ini, Satgassus Merah Putih ini, begitu berkuasa. Tentu ada di dalam ruang politik yang tertentu pada waktu itu. Kan nggak mungkin itu dibentuk hanya untuk alasan mau merampok uang untuk dibagi-bagi ke jenderal. Ngapain merampok uang bandar judi atau pengusaha untuk dibagi-bagi? Bukan itu. Dan orang akan tanya kenapa ada momentum yang dipergunakan untuk membentuk Satgassus Merah Putih? Itu pertanyaannya. Apa Satgassus ada yang lain? Satgassus Nusantara. Supaya publik mengerti bahwa semua peristiwa yang ada di dalam kasus Sambo ini, juga terkait dengan, sebut saja efisiensi, informasi, hal-hal yang di bawah layar atau di belakang layar mesti diselesaikan. Itu yang nantinya setelah Pak Sambo masuk ruang pengadilan, tentu dia akan bersaksi juga tentang hal-hal itu. Jadi, variabel ini yang masih ditunggu orang dan ini sebaiknya diselesaikan sebelum Pemilu 2024 karena ini bisa panjang. Dan panah-panah itu bisa jadi panah liar. Sambo sudah menyampaikan permintaan maaf, terutama dia lebih banyak kalau kita amati berkali-kali permintaan maafnya kepada institusi. Padahal sebenarnya salah satu yang paling sangat besar dosanya itu pertama kepada keluarga Joshua Hutabarat, yang kedua kepada bangsa Indonesia. Karena, bagaimanapun dia telah merusak citra lembaga yang seharusnya kita harapkan menjadi pelindung rakyat. Sebenarnya, menurut saya, harusnya ini kalau dia mau memberikan semacam penebusan dosa, dia bongkar saja itu semuanya dalam persidangan. Dengan cara begitu dia kan selesai karier kepolisiannya. Kedua dia terancam hukuman mati, setidak-tidaknya kita mau mengepil dia untuk memberikan legacy, untuk menyumbang perbaikan terhadap kepolisian dan juga bangsa dan negara ini. Saya kira itu yang dipikirkan oleh Pak Sambo pada waktu dia datang dengan penampilan yang sangat humanis dan mengakui itu, lalu merasa bahwa oke bahkan dia bilang Brigadir J itu adalah tanggung jawab saya. Saya ingin dia tidak dipidana segala macam, minta maaf. Jadi, ini setelah kira-kira 10 hari di Mako Brimob, mungkin ada pendewasaan batin pada beliau. Mungkin sudah ada pendampingan keagamaan religius di situ. Lalu dia timbul kembali semacam penyesalan pasti, tapi setelah penyesalan ada pendalaman hidup, kira-kira begitu. Ada perenungan yang panjang sehingga terlihat Pak Sambo itu sangat tenang waktu diperiksa. Karena itu juga memerlukan satu situasi mental yang kuat. Apakah terjadi semacam orang sebut ekstesi, itu pelepasan dari beban, sehingga dapat bayangan baru pada Pak Sambo, oke bangsa ini harus dibersihkan. Oleh karena itu, nanti di pengadilan saya juga akan sekaligus jadi justice collaborator untuk hal yang lain, misalnya kalau kita pakai bahasa justice collaborator itu mungkin terlalu teknis, tapi paling tidak dia sudah katakan bahwa dia manusia dan mengerti apa yang dia lakukan itu adalah keliru dan salah. Jadi, itu yang sebetulnya akan mendampingi dia di dalam proses pengadilan dan bagian ini juga yang akan membuat lega, terutama keluarganya atau anak-anaknya terutama, yang memang terseret dalam kasus itu. Kita tidak tahu kondisi psikologis anak-anaknya itu bagaimana. Pada waktu awal disebut kondisi Ibu Putri stres, dan setelah itu orang tahu bahwa oke, memang pasti ada stres karena menyembunyikan sesuatu. Tetapi dulu kita bilang oke, sebaiknya Ibu Putri itu diberi hak untuk mendapat perlindungan sebagai saksi nanti. Dan itu sudah selesai. Lalu berkembang bahwa akhirnya hari ini dipanggil sebagai terperiksa juga atau tersangka. Jadi, suami istri dan pasti anak-anak nggak tahu bagaimana saya membayangkan bagaimana anak-anak itu berupaya untuk bertahan di dalam kecemasan, dalam ketidakpastian itu. Ada tiga anak dari keluarga ini. Dan itu sebetulnya aspek humanis kita karena impact itu pasti akan panjang dalam kehidupan mereka. Jadi, saya kira itu bagian yang mungkin menimbulkan kerendahan hati dari Pak Sambo untuk akhirnya oke saya terima semua ini, tapi sekaligus saya ingin memperbaiki bangsa ini dan menyelamatkan kepercayaan terhadap kepolisian, termasuk keyakinan bahwa hidupnya itu di akhir tragedi ini bisa menimbulkan pelajaran baik bagi para semua pihak. Persoalan-persoalan etika ini saya kira penting ya kita kedepankan karena misalnya memang betul hari ini Ibu Putri ini untuk pertama kali menjalani pemeriksaan sebagai tersangka dan statusnya tidak ditahan. Ini juga tadi malam ditanyakan oleh wartawan. Saya kira balik lagi ke agenda kita ini, perasaan perlakuan yang tidak adil itu yang muncul pada publik karena orang kemudian membanding-bandingkan dengan kelompok-kelompok, terutama pengkritik pemerintah atau sering disebut oposisi, yang dalam kasus ini yang terkena undang-undang harus menjalani hukuman. Banyak juga emak-emak yang bahkan harus menyusui di tahanan. Dan itu tidak mendapat semacam keringanan atau semacam permakluman bahwa dia harus menenangkan diri lebih dahulu dan kemudian tidak ditahan seperti Bu Putri. Yang begini menurut saya mesti juga menjadi perhatian dari pimpinan Polri. Ya, itu yang tadi saya sebut, ini jadi pelajaran sehingga orang mulai melihat bahwa nggak boleh ada diskriminasi itu. Bahwa Ibu Putri mungkin lagi dalam kondisi yang belum pulih secara fisik, tapi tetap mesti diterangkan kenapa tempat lain ada penahanan, kenapa yang ini tidak. Jadi, kendati kita berempati dengan beban batin pada keluarga ini, kita berempati pada beban keluarga ini secara batinnya yang adalah efek dari perbuatan Sambo yang disangkakan pada dia, tapi sekaligus kita mau lihat prosedur hukum itu yang harusnya imparsial terhadap kasus ini. Nah, itu mustinya juga diterangkan karena publik bertanya-tanya kenapa tidak ditahan. Apakah ada keistimewaan? Jadi, hal-hal semacam ini yang kelihatannya kecil tapi dimensinya panjang karena perlakuan terhadap orang lain yang tidak setara. Kalau aktivitas langsung diborgol, kalau koruptor masih bisa dikasih hak untuk wawancara segala macam. Jadi, ini semua menimbulkan pertanyaan tentang etika penegakan hukum kita. Jadi, soal etika penegakan hukum kita dan etika penggunaan prosedur dasar penahanan seseorang. Tetapi, sekali lagi, bagian-bagian ini kita pastikan akan membuat kita makin dewasa bahwa hukum itu jangan dipermainkan, apalagi hukum terhadap para oposisi. Itu justru mereka yang berupaya untuk membongkar korupsi itu bisa dihalangi, tapi keadaan nanti akan terbalik. Lalu, kelompok oposisi mungkin yang merasa oke mungkin kami akan balas dendam nanti. Itu kan buruk. Jadi, sekali lagi, perlihatkan bahwa hukum ini berjalan di rel yang lurus dan kesepakatan-kesepakatan yang tidak terlihat, itu jangan ditonjolkan karena nanti orang curiga ada apa? Karena apa yang sana diberi fasilitas, yang ini justru dicemarkan bahkan sebelum masuk persidangan. Kalau aktivis itu belum masuk persidangan sudah divonis oleh para buzer. (mth/sws)

Fadel Mengadu Ke BK DPD RI, Mohon La Nyalla Diberhentikan Sebagai Ketua DPD RI Karena Langgar Kode Etik dan Tatib DPD

Jakarta, FNN – Setelah membuat laporan ke Bareskrim Mabes Polri, Wakil Ketua MPR RI Fadel Muhammad kembali melaporkan AA LaNyalla Mattalitti, Ketua DPD RI, Badan Kehormatan DPD RI. “Kami mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (BK DPD RI) hari ini terhadap saudara AA LaNyalla Mattalitti (Ketua DPD RI) atas pelanggaran terhadap UU MD3, Tata Tertib DPD RI dan Kode Etik DPD RI,” ungkap Fadel Muhammad kepada wartawan, Kamis (25 Agustus 2022). Menurut Fadel, tindakan pencopotan dirinya dari Wakil Ketua MPR RI melalui mekanisme “Mosi Tidak Percaya” oleh Ketua DPD LaNyalla Mahfud Mattalitti adalah tindakan yang melanggar UU MD3, Tata Tertib DPD dan Kode Etik DPD. “Selaku Ketua Ketua DPD RI LaNyalla telah melanggar UU MD3, Tata Tertib DPD dan Kode Etik DPD berupa tindakan manipulasi acara Sidang Paripurna Ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 DPD RI, 18 Agustus 2022 yang mengakibatkan adanya keputusan untuk pemberhentian/penggantian diri saya sebagai Pimpinan MPR RI dari unsur DPD RI periode 2019-2024 dan pemilihan calon Pimpinan MPR RI dari unsur DPD RI,” tandas Fadel. Dalam surat pengaduannya, Fadel menyebut bahwa Teradu (LaNyalla) sebagai Pimpinan DPD telah memanipulasi agenda sidang yang telah dibuat Panitia Musyawarah dengan membuat Surat Pimpinan DPD Nomor: PM.00/2651/DPDRI/VIII/2022, tanggal 16 Agustus 2022, perihal Perubahan Agenda Sidang Paripurna ke-2 DPD RI. “Teradu sebagai Pimpinan Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 telah memanipulasi agenda sidang dengan menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD yakni agenda pengambilan keputusan menarik dukungan terhadap saudara Fadel Muhammad sebagai pimpinan MPR dari unsur DPD RI,” tambah Fadel. Selain itu, lanjutnya, Teradu (La Nyalla) sebagai Pimpinan Sidang Paripurna ke-2 Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023 telah memanipulasi agenda sidang dengan menambahkan agenda sidang baru tanpa prosedur sesuai Tata Tertib DPD yakni agenda pemilihan untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan MPR dari unsur DPD RI. Fadel dalam surat pengaduannya juga mohon kepada BK DPD RI berkenanmemberikan putusan “Menyatakan Teradu terbukti melakukan pelanggaran berat Kode Etik, dan Tata Tertib DPD dan Menjatuhkan Sanksi kepada Teradu berupa pemberhentian sebagai Ketua DPD”. Fadel juga mohon BK DPD RI memerintahkan kepada DPD untuk mencabut Keputusan Sidang Paripurna tertanggal 18 Agustus 2022 tentang Penarikan Pengadu sebagai Wakil Ketua MPR dari Unsur DPD. “Kami juga mohon BPK DP memerintahkan kepada DPD untuk mencabut Keputusan Sidang Paripurna tertanggal 18 Agustus 2022 tentang Calon Wakil Ketua MPR dari Unsur DPD dan menyatakan ‘Mosi Tidak Percaya’ kepada Pengadu adalah Tindakan yang tidak sah dan melanggar tata tertib DPD,” tandas Fadel. (mth/*)

Jalani Sidang Etik, Sambo Harus Dihukum Berat

MANTAN Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo mulai, Kamis (25/8/2022), menjalani sidang etik terkait kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat alias Brigadir Joshua di rumah dinasnya di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, ada 8 Juli 2022. Sidang diselenggarakan terkait tindakan Sambo membunuh Brigadir Joshua yang disertai dengan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mengaburkan motif dan kronologi kejadian, seperti merusak tempat kejadian perkara (TKP), merusak barang bukti yang di antaranya berupa CCTV di lokasi kejadian, dan sebagainya. Sidang secara tertutup, dipimpin Kabaintelkam Polri Komjen Ahmad Dofiri, dan menghadirkan 15 saksi yang tiga diantaranya juga merupakan tersangka kasus pembunuhan Brigadir J, yakni Bharada Richard Eliezer yang hadir secara virtual, Bripka Ricky Rizal dan Kuat Maruf. Selebihnya adalah lima orang dari Patsus Brimob, lima dari Patsus Provost dan dua saksi dari luar Patsus. Saksi dari Patsus Brimob: mantan Karopaminal Brigjen Hendra Kurniawan, mantan Karoprovos Brigjen Benny Ali, mantan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto, mantan Kaden A Biro Paminal Kombes Agus Nurpatria, dan mantan Kabag Gakkum Roprovost Divpropam Polri Kombes Susanto. Saksi dari patsus Provos adalah RS, AR, ACN, CP, dan RS, sedang dua saksi dari luar patsus adalah HM dan MB. Menjelang sidang digelar, wartawan mendapat informasi, Sambo membuat permohonan maaf kepada seluruh pihak yang terdampak kasus tewasnya Brigadir J. Dia menuangkan permohonan maaf itu di atas selembar kertas yang ditandatangani dan bermaterai. Surat itu bertanggal 22 Agustus 2022. Bahkan, sebelumnya, Sambo sudah mengajukan pengunduran dirinya sebagai anggota Polri. Tapi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan, saat ini Polri telah menerima surat itu dan sedang menindaklanjuti. “Ada suratnya, tapi sedang dihitung oleh tim sidang karena memang ada aturan-aturannya,” kata Sigit kepada wartawan di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (24/8/2022).“Ya suratnya ada, tapi tentunya kan dihitung apakah itu bisa diproses atau tidak,” tambahnya.Menurut pengamat politik Rocky Gerung, posisi seseorang dalam kedudukan tertinggi harus bertanggung jawab sampai akhir. “Nggak boleh mengundurkan diri, itu (jelas) terlarang. Kalau orang membuat kesalahan itu pertanggungjawabkan dulu, baru ia minta konsekuensi: dipecat atau dimaafkan; dibui atau direhabilitasi,” tegasnya. “Satu kejahatan moral itu bersifat final, nggak mungkin ada diskresi. Moral itu skalanya nominal. Bermoral atau tidak bermoral,” lanjut Rocky Gerung kepada wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal Rocky Gerung Official, pada Kamis, 25 Agustus 2022. Berikut petikan dialog Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung selengkapnya. Hari ini berlangsung sidang kode etik Irjen Pol. Ferdy Sambo. Ya itu, akhirnya persidangan Pak Sambo nanti akan jadi banyak elemen atau banyak variabel. Dari soal etik itu benar-benar, lalu kriminalnya soal lain. Tapi ada soal yang orang samar-samar melihat, posisi seseorang dalam kedudukan tertinggi harus bertanggung jawab sampai akhir. Nggak boleh mengundurkan diri, itu terlarang. Kan kalau orang membuat kesalahan itu pertanggungjawabkan dulu, baru ia minta konsekuensi: dipecat atau dimaafkan; dibui atau direhabilitasi. Jadi kita juga musti belajar. Nanti tiba-tiba presiden di ujung pemerintahannya gagal lalu minta mengundurkan diri. Nggak bisa, Anda akan diproses mengapa gagal dengan janji-janji Anda. Anda minta dipuji terus. Kita musti kasih kritik. Jadi begitulah etika bekerja. Etika sifatnya absolut. Dan yang absolut itu tidak boleh dicicil. Sekali bikin kesalahan etis, ya sudah terima tanggung jawabnya. Mau dia jenderal, mau dia kopral, sama-sama. Fungsi dia adalah mempertanggungjawabkannya. Bertanggungg jawab itu harus dalam kedudukan sebagai petahana. Jadi kedudukan riil hari ini, present position dia apa. Sebagai jenderal, ya dia akan disidang sebagai jenderal. Nggak bisa mengundurkan diri. Itu persoalannya. Kalau ini etika yang dijunjung tinggi, saya kira hukuman yang harus dikenakan pada Pak Sambo harus sangat berat. Mengapa kita musti mengatakan harus sangat berat karena beliau itu jenderal dan Kepala Divisi Propam yang tugas utamanya adalah menjaga etik dari seorang polisi. Itu kan polisinya polisi. Ini bukan soal sentimen. Tapi ini bagaimana ketika ada orang yang diberi tanggung jawab dan dia mengkhianati tanggung jawabnya, hukumannya tidak boleh sama dengan orang biasa-biasa saja. Itu dalam pidana namanya pemberatan. Tapi kita mengerti bahwa semua orang merasa kalau dia memegang posisi kedudukan pemimpin overside itu seperti Propam itu, lalu dianggap oke dia musti justru diberi keringanan. Ya nggak bisa itu. Demikian juga MKD DPR. Kan seringkali anggota MKD itu terlibat juga dalam hal yang sederhan, tapi nanti dimaafkan di MKD. Ya nggak bisa. Justru karena di MKD maka dia harus lebih terhormat dari orang yang dia periksa. Itu pantasnya begitu. Tetapi, satu hal yang sering disalahartikan, etik itu seolah-olah semacam tata tertib. Jadi orang yang melanggar tata tertib itu seolah pelanggaran kecil. Padahal bukan. Etik itu melanggar moral, bukan melanggar tata tertib. Kalau tata tertib ya namanya etika. Itu bedanya. Jadi lembaga etik beda dengan lembaga etika. Jadi, hal musti kita pastikan bahwa kalau pelanggaran etik itu berlangsung, itu artinya moral dia nggak boleh kita perbaiki lagi atau nggak boleh kita kasih tawar-menawar. Karena satu kejahatan moral itu final, nggak mungkin ada diskresi. Lain kalau pidana masih bisa ada potongan hukuman. Kan orang itu hanya boleh disebut bermoral atau tidak bermoral. Kalau dibilang dia bermoral separuh, itu artinya tidak bermoral. Bermoral 90 persen juga tidak bermoral. Moral itu skalanya nominal. Bermoral atau tidak bermoral. Itu intinya. Nah, sekarang fokus perhatian publik pasti di Indonesia, bahkan dunia di mana diaspora Indonesia di luar negeri dengan gampang mengakses info-info semacam ini, tertuju pada Polri yang sedang melakukan sidang kode etik Ferdy Sambo. Dan ini, kalau kita lihat bahwa “public disthrush” gara-gara Ferdy Sambo semakin meluas, dan diakui oleh pimpinan Polri, termasuk Pak Listyo Sigit, yang selalu ngomong bahwa persepsi publik. Tapi patokannya lembaga survei. Bagaimana perlakuan Polri pada dia akan menjadi sorotan: apakah dia bebas merdeka atau diborgol? Yang pasti fokus publik akan tertuju pada perlakukan Polri terhadap dia. Nah itu yang dituntut. Bahkan publik nuntutnya berlebih, karena mungkin terlalu lama pembiaran soal-soal semacam ini. Bukan sekadar di kepolisian, tetapi juga di Kejaksaan, pokoknya lembaga penegak hukum, bahkan DPR.  Jadi, kejengkelan orang itu sudah di puncak. Dan, orang ingin tahu apakah peristiwa ini bisa membalikkan persepsi kita tentang kedudukan etis seorang pejabat tinggi. Kalau misalnya di kepolisian, ini akan dilakukan evaluasi kurikulum di jenjang kepolisian apa saja yang diterangkan di situ. Apakah ada pelajaran tentang etik atau bahkan tentang etos yang berhubungan dengan cara seseorang mengevaluasi dirinya sendiri. Bukan dia dievaluasi orang lain tapi dia sendiri mampu mengevaluasi. Karena itu yang disebut sebagai etos kepemimpinan. Dia yakin bahwa dia punya mental untuk potensi berbohong. Dia yakin bahwa dia punya mental potensi untuk melakukan kejahatan, bahkan di dalam dirinya sendiri. Jadi, itu mustinya ditanamkan dari awal bahwa pejabat tinggi justru punya peluang untuk melakukan kejahatan. Karena itu, self assasment dia itu yang musti ditegaskan. Ini penting. Kita kembali pada paham-paham lama bahwa ujian etis itu betul-betul harus radikal. Mereka yang masuk kepolisian dengan menyogok, itu pasti nggak mungkin mendapat pengalaman etos yang luar biasa. Saya kenal pejabat Polri yang pinter sekaligus beretika. Dan itu sebetulnya makin lama makin sedikit dan lalu orang akan anggap seluruh kepolisisn yang akhirnya harus direformasi ulang, di-install. Ini pelajaran penting, dan kelihatanntannya Pak Sigit itu ada dalam kerisauan dirinya sendiri mampu atau tidak dia melalukan hal itu. Tapi perlahan-lahan masyarakat mendorong Pak Sigit walaupun di ujungnya mungkin dia nanti diganti oleh Presiden Joko Widodo. Tapi Pak Sigit musti beri kuliah moral pada publik pada peristiwa ini. Di DPR kemarin itu sudah bagus, Pak Sigit sebagai jenderal telah melakukan, melaporkan monitoring dia terhadap Sambo, bahkan dia ungkapkan dari hari pertama dia tahu dia sudah dapat semacam insting bahwa seperti ada sesuatu yang nggak benar. Itu penting, perwira lain juga mengikuti itu. Jadi, sekali lagi betul, evaluasi kurikulum etis di kepolisian itu harus juga menjadi evaluasi seluruh institusi pemerintah, termasuk Istana yang sering berbohong. Nah, kalau kita misalnya menuntuk Pak Ferdy Sambo dihukum sangat berat itu bukan karena sentimen pribadi, bukan karena kita mau campur tangan dalam urusan internal kepolisian, tetapi saya kira sangat wajar karena persoalannya justru biang kesalahan di bangsa ini adalah ketika masalah-masalah etika ini justru dianggap ringan dan mengatakan tidak ada dalam hukum. Padahal produk hukum itu juga produk yang sangat buruk karena itu produk akal-akalan, produk kong kalikongan antara eksekutif, legislatif, dan oligarki. Nah, itu betul. Jadi, kalau kita lihat dari atas itu bangsa ini masuk dalam satu jebakan permisifness, terlalu permisif dalam banyak hal. Kong-kalikong antara pejabat dan oligarki, begitu juga bahkan di universitas kong-kalikong, rektor kong-kalikong dengan dekan, dekan kong-kalikong dengan para penguji. Sifat permisifness itu yang menggerogoti daya tahan moral kita. Dan itu yang berlangsung sampai LSM juga banyak yang begitu, para advokat juga begitu. Dan itu semua orang tahu. Jadi, rakyat itu sebetulnya menonton hal yang harusnya nggak perlu mereka tonton. Akibatnya, rakyat juga ikut saja. Oke sialakan kalian korupsi, maka bagilah korupsi itu ke kami kalau lagi pemilu. Kami menerima serangan fajar. Bahkan terang-terangan. Antara ngeledek sambil oke ini pragmatisme. Politik nggak bisa lagi dituntun dengan nilai dengan value. Ini yang akan kita bongkar supaya 2024 kalau terjadi peristiwa elektoral yang betul-betul bersih, bangsa ini bisa berlari dengan kecepatan etis yang luar biasa. Itu poinnya. (mth/sws)

Kuliah Umum di USU, LaNyalla Jabarkan Dampak Perubahan Fundamental UUD 1945

Medan, FNN – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan perubahan yang terjadi pada UUD 1945 bukanlah amandemen konstitusi. Melainkan penggantian konstitusi. Karena secara fundamental ada beberapa hal yang terjadi dalam proses Penggantian UUD yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002 tersebut. \"Konstitusi baru tersebut telah dikaji dan diteliti oleh Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada dengan peneliti di antaranya Profesor Kaelan dan Profesor Sofian Effendi. Dan ditemukan bahwa perubahan yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002 itu bukanlah Amandemen Konstitusi. Tetapi penggantian Konstitusi,\" tutur LaNyalla. Hal itu disampaikan LaNyalla saat memberi Kuliah Umum bertema Rekonstruksi Terhadap Kewenangan Istimewa Lembaga Legislatif di Indonesia Melalui Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang digelar Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Rabu (24/8/2022). Menurut LaNyalla, berdasarkan penelitian itu Profesor Kaelan tidak sependapat bila Konstitusi baru itu tetap disebut sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Seharusnya konsitusi baru itu disebut sebagai Undang-Undang Dasar 2002. Senator asal Jawa Timur itu menjelaskan, secara fundamental ada beberapa hal yang terjadi dalam proses Penggantian UUD yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002 tersebut. \"Yang pertama adalah Pembubaran Negara Proklamasi. Karena berdasarkan analisis fungsi dan tujuan konstitusi, penggantian UUD  1945 dengan UUD 2002 merupakan suatu penggantian norma fundamental negara,\" ujarnya. LaNyalla menjelaskan, pada hakikatnya Pemberlakuan UUD 2002 sama halnya dengan pembubaran Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. \"UUD 2002 memang masih mencantumkan dasar filsafat negara Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 Alinea IV. Namun pasal-pasal UUD 2002 adalah penjabaran dari ideologi lain, yaitu Liberalisme-Individualisme. Karena logika dari pasal-pasal yang ada sudah tidak konsisten dan tidak koheren dengan basis filosofi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945,\" paparnya. Yang kedua adalah Penghilangan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi. Dijelaskan LaNyalla, identitas suatu konstitusi adalah esensi dan substansi dari suatu konstitusi, sekaligus suatu ciri khas suatu konstitusi. \"Ciri dari Konstitusi yang berdasar Pancasila ada di Sila ke-Empat dan Sila ke-Tiga yang menjadi penjelmaan seluruh elemen rakyat di dalam Lembaga Tertinggi Negara. Karena peran MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang melaksanakan sekaligus penjelmaan kedaulatan rakyat dan pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan Republik Indonesia telah dibubarkan,\" jelasnya. Selain itu, UUD 2002 juga menghapus sistem pembangunan dan sistem ekonomi berbasis perencanaan dengan menghapus GBHN yang merupakan instrumen kebijakan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan Sila ke-Lima Pancasila. Yang ketiga adalah Menghapus Penjelasan UUD 1945. Menurut LaNyalla, fakta bahwa UUD 2002 tidak memiliki Penjelasan sudah dinyatakan sendiri dalam Aturan Tambahan UUD 2002. \"Hal ini jelas melanggar diktum bahwa Penjelasan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pembukaan dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945. Inilah yang disebut sebagai Kudeta Terselubung terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dan menggunakan Pancasila sebagai grondslag dan staats fundamental norm Pancasila,\" ujarnya. Yang keempat, sambung LaNyalla, adalah Meninggalkan Kesejahteraan Sosial. \"Penghapusan Penjelasan UUD 1945 telah menjadi kunci berubahnya orientasi Pasal 33 di UUD 2002, dari sebelumnya di Naskah Asli mengatur Kesejahteraan Sosial, menjadi mengatur Perekonomian Nasional. Bahkan dalam UUD 2002 Pasal 33 menjadi 5 Ayat, dengan penambahan Ayat 4 dan Ayat 5,\" katanya. Akibatnya, seperti ditulis Profesor Sri Edi Swasono dalam bukunya Asah Asih Asuh, hadir sekitar 25 Undang-Undang yang bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 1, 2 dan 3. Dan sekitar 115 Undang-Undang yang bertentangan dengan Pancasila. Dampak yang kelima adalah Merusak Kohesi Bangsa. Faktanya, UUD 2002 telah terbukti menjadi penyebab merenggangnya kohesi sosial akibat pemilihan presiden dan pilkada langsung. \"Merenggangnya kohesi sosial ini juga menyumbang memudarnya kehendak hidup bersama. Dan memudarnya kehendak hidup bersama dipicu oleh ketidakadilan dan ketidakmakmuran ekonomi. Situasi ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan bangsa,\" katanya. Puncaknya, anak bangsa secara tidak sadar membenturkan vis-à-vis Pancasila dengan Islam. Sehingga marak Islamophobia. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa untuk menjelaskan identitas dan posisi. \"Padahal tidak ada satupun tesis yang menyebutkan pertentangan antara Pancasila dengan Islam dan agama apapun. Bangsa super majemuk seperti Indonesia, membangun kohesi sosial jauh lebih sulit dan lebih vital dibanding bangsa yang lebih homogen,\" ujarnya. Alumnus Universitas Brawijaya Malang itu mengatakan, UUD 1945 dengan naskah asli pernah dipraktikkan oleh Orde Lama dan Orde Baru. Kedua rezim tersebut juga pernah melakukan praktek penyimpangan dari nilai UUD 1945. \"Karena itulah selalu saya katakan, gerakan kembali ke Naskah Asli UUD 1945 harus diikuti dengan Penyempurnaan melalui Adendum. Bukan penggantian Konstitusi baru yang justru meninggalkan Pancasila dan meniru copy paste demokrasi Liberal yang diusung negara-negara Barat,\" ujarnya. LaNyalla menegaskan, nilai dari UUD 1945 asli merupakan pemikiran luhur para pendiri bangsa harus dikembalikan, dengan menyempurnakan beberapa kelemahan yang ada. Dalam acara tersebut, LaNyalla didampingi Senator asal Sumatera Utara, Dedi Iskandar Batubara, M. Nuh, Faisal Amri dan Senator asal Aceh Fachrul Razi.Selain itu hadir juga Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Kabiro Setpim DPD RI, Sanherif Hutagaol. Sementara dari tuan rumah, hadir Rektor USU, Dr. Muryanto Amir, Dekan FH USU, Dr. Mahmul Siregar, Ketua Ikatan Alumni FH USU, Hasrul Benny Harahap, Gubernur, PEMA FH USU, M Husni Baihaqi dan ratusan mahasiwa dan mahasiswi USU. (mth/*)

DPD Sarankan Fadel Muhammad Fokus Masalah Utang BLBI Bank Intan

Jakarta, FNN – Ketua Panitia Khusus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Dewan Perwakilan Daerah (Pansus BLBI DPD) Bustami Zainudin menyarankan agar Fadel Muhammad fokus untuk menyelesaikan masalah utang BLBI Bank Intan yang belum lunas.Adapun Fadel Muhammad yang merupakan pemilik Bank Intan baru saja dicopot dari posisi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui Sidang Paripurna kedua DPD masa sidang I Tahun Sidang 2022-2023.“Dari 136 anggota DPD dalam Sidang Paripurna, 96 anggota menginginkan Fadel diganti. Dari perspektif saya, sebaiknya Pak Fadel menerima ini dan segera fokus menyelesaikan masalahnya dengan Satgas BLBI,” kata Bustami dalam resmi yang diterima di Jakarta, Rabu.Ia menjelaskan Pansus BLBI DPD bekerja berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dengan demikian pada 10 Agustus 2022 Pansus BLBI DPD memanggil Fadel Muhammad untuk dikonfirmasi mengenai data Kemenkeu dan BPK terkait BLBI yang diterima Bank Intan.Dalam data Kemenkeu dan BPK, disebutkan bahwa per Desember 2020 Bank Intan masih memiliki utang kepada negara sebesar Rp136,43 miliar. Namun kepada Pansus BLBI DPD, Fadel terus bersikeras bahwa masalah utang BLBI Bank Intan sudah selesai.Sayangnya, kata Bustami, pengakuan Fadel tersebut tidak didukung bukti berupa Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).\"Fadel mengklaim kasus Bank Intan terkait dengan utang BLBI sudah selesai dan bahkan sudah ada Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung (MA). Akan tetapi, data Kemenkeu menunjukkan sebaliknya sehingga kami konfrontasi soal data ini,” ungkapnya.Sementara itu Anggota Pansus BLBI DPD Darmansyah Husein menjelaskan sebagai penerima fasilitas BLBI tahun 1997-1998 lalu, Fadel yang merupakan pemegang saham Bank Intan menerima BLBI senilai Rp1,4 triliun dan para pemegang saham, termasuk Fadel, masih harus memenuhi pelunasan sebesar Rp125 miliar.“Tetapi kepada Pansus BLBI DPD, Fadel menyanggah bahwa Bank Intan menerima fasilitas senilai Rp1,4 triliun, namun mengakui menerima Rp 150 miliar dan sudah lunas. Ini artinya belum selesai karena BPK dan Kemenkeu menyatakan sebaliknya,” kata Darmansyah. (mth/Antara)

Memalukan Rektor Unila Ditangkap KPK, Ini Baru Namanya Radikal

REKTOR Universitas Lampung (Unila) Prof. Karomani ditangkap KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT) di Bandung, Jawa Barat. Dia ditangkap atas kasus dugaan suap penerimaan mahasiswa baru.   Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, suap yang diduga diterima oleh Karomani adalah terkait penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri.“Terkait dugaan korupsi suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di universitas negeri Lampung tersebut,” kata Ali Fikri kepada wartawan, Sabtu (20/8/2022). Selain Karomani, KPK juga menangkap tujuh orang lainnya dalam OTT itu. Namun belum dijelaskan peranan seluruh pihak yang ditangkap KPK itu.Ali Fikri mengatakan, saat ini semuanya masih diperiksa intensif di Gedung KPK di Jakarta. KPK akan menyampaikan perkembangan kasus ini lebih lanjut. Kanal Rocky Gerung Official kali ini membahas soal Rektor Ulina ini bersama wartawan senior FNN Hersubeno Arief dengan pengamat politik Rocky Gerung, Selasa (23/8/2022). Petikannya. Saya jujur dengan apa ingin membahas soal ini dengan nada yang sangat prihatin gitu ya ini peristiwa yang terjadi di Lampung ada Rektor Unila Universitas Lampung itu bersama Wakil Rektor nya dan kemudian ada beberapa orang ada orang swasta itu terlibat dan ditangkap oleh KPK,yang satu itu. Yang menyedihkan itu adalah modus penangkapannya, dia ini ditangkap karena menerima suap dari mahasiswa yang ini kalau jalur mandiri kan mereka enggak lolos jalur SBMPTN kalau enggak salah begitu. Ini uang bisa berbicara gitu dan urusannya cemen cemen nih 100 juta sampai 250 juta, tapi saya bayang kan sekarang masuk perguruan tinggi pun juga sudah mulai nyogok gitu. Yang kedua ini saya baca media netizen itu pun mengkait-kaitkan karena ternyata beliau ini Profesor Aon Karomani, ini adalah Wakil Ketua PWNU nggak salah di Lampung itu dan orang kemudian membanding-bandingkan dengan dari Maming sebelumnya pendarah NU djadi menurut saya ini dua institusi yang sakral gitu seharusnya yang bisa kita jaga nama baiknya. Dan akhirnya orang bertanya ini uang yang dikorupsi di Lampung itu ngalirnya ke mana? Apakah dua nama tadi di kedua institusi juga berkepentingan atau terseret-seret kan tetap orang juga loh kok ini diasuh secara intelektual yang peralatan utamanya adalah berpikir, kenapa dia jadi koruptor, kan itu intinya. Jadi terkait dengan kesolehan NU, kenapa jadi koruptor? Jadi orang anggap bahwa iya gak ada urusannya lagi status di apa itu (NU) tapi mentalnya emang udah korup. Tapi kita harus melanjutkan bahwa yang terjadi di Lampung itu sama seperti yang terjadi kepolisian itu fenomena kecil dari bentuk ikan besar negara ini yang memang etikanya udah hilang. Jadi kalau si rektor bilang ya saya memang ketangkap dan direktur yang lain juga saya tahu lebih parah lagi mereka jual-beli disertai ada yang rektornya minta supaya langsung ujiannya di depan dia. Jadi hal beginian udah lumrah di dalam sistem rekrutmen ketenaga pendidikan di Indonesia. Beberapa waktu lalu ada kasus di Sulawesi Utara di Manado di Universitas Samratulangi itu ada seorang calon Rektor yang kemudian di-bully dan ditolak hanya karena si calon rektor ini adalah saudara kandung dari seorang tokoh oposisi itu. Ada poster besar-besaran itu, tolak dia, dia adalah adik dari tokoh oposisi itu. Kami relawan Jokowi tidak ingin seorang saudara tokoh oposisi itu jadi Rektor di Manado. Jadi bayangkan sampai segitu tuh. Saya pikir tadi anda mau sebutin! Oke enggak papa, jangan dibuka silakan cari siapa calon Rektor Samratulangi yang ditolak. Dan, akhirnya Menteri Nadiem Makarim itu memutuskan untuk menunda karena di situ terlihat ada aliran uang tuh jadi mulai dari rekrutmen Rektor terjadi aliran uang dan aliran uang itu jabatan dimuliakan demikian juga soal-soal ke pintu masuk pertama udah aliran uang. Masa’ orang diijinkan masuk belajar bukan karena otaknya bagus, tapi karena uangnya banyak. Kan itu masalahnya di Unila sekarang tuh. Jadi fasilitas publik kita betul-betul hancur apalagi dalam keadaan kita ini, masyarakat sipil lagi mengkonsolidasikan diri untuk membongkar korupsi justru tempat dididiknya etika kesipilan di Universitas yang mempertontonkan korupsi. Jadi orang akan tanggapi ngapain kalian masyarakat sipil berupaya untuk bersih padahal pusat-pusat kalian itu bangkrut segera korupsi. Jadi rektor itu kan simbol dari masyarakat sipil. Nah dia sendiri menghina dirinya sendiri itu kan masyarakat sipil lagi dibanggakan. Kan dia sendiri mengaku \"ya saya lebih baik korupsi daripada masuk di dalam peristiwa menjadi simbol etis untuk memberantas korupsi\". Jadi ini tantangan bagi Pak Nadiem sebagai menteri yang disebut Merdeka Belajar akhirnya kita balik lagi pada satu soal penting gue nggak ada sinyal dari Istana guna memberantas korupsi sebetulnya. Dan itu yang dimanfaatkan oleh orang. Kalau jadi restore, ngapain lagi sih kaya. Dia bilang, saya sudah kaya ilmu sudah kaya. Tapi mungkin dia lihat tetangga dia yang anggota Komisi Tiga itu kok dia kaya, makanya berupaya untuk hidup seperti Komisi 3 itu. Oke memang ini menarik karena anda tadi soal peran Menristek, kalau dulu Mendikbud gitu, ini memang boleh dibilang sebagai siapapun sekarang menjadi Rektor itu adalah terobosan pusat. Ini pasti bisa menjaga kepentingan pusat. Kenapa? Karena suara hak seorang menteri atau hak seorang presiden secure menteri pendidikan itu 35% dalam menentukan. Saya kemudian baca-baca, Oh ya ini ternyata senat waktu tidak memilih rektor ini karena dia kalah Senat tidak memilih dia tetapi karena dia dapet 1 Blok suara tiga puluh lima persen dari Menteri ya dia langsung memilih menjadi seorang Rektor dan kemudian kita nggak kaget kalau rektor sekarang ini juga seperti buzzer ngomongin soal radikalisme dan berbagainya kan gitu. Lalu dia praktekkan radikalisme itu, yaitu korupsi, korupsi, dan korupsi. Itu kan tindakan sangat radikal kan itu, mengambil akar-akar uang itu kan tentu tindakan radiks primer. Jadi, Pak Nadiem akhirnya musti evaluasi lagi yang disebut hak privasi dari menteri-menteri pendidikan untuk menentukan rektor 30% suaranya tuh jadi jangan sampai yang 30% ini justru dimanfaatkan oleh tukang sogok ini yang ngelihat, oke mending begitu terpilih lalu dianggap dia akan bersih. Padahal, sebelumnya dari awal dia udah sogok Senatnya, biasanya supaya dia terpilih dan akhirnya nanti Senat itu akan dia bayar lagi dengan korupsi itu. Sementara Pak Menteri enggak tahu permainan di bawah ini. Ini pentingnya semacam Rektor watch, bukan hanya police watch kita mesti bentuk itu tuh. Jadi, inti saya adalah bahwa Presiden Jokowi tidak kasih sinyal kuat tentang pemberantasan antikorupsi. Kalau pengusaha nyogok ya oke-lah itu lebih memuluskan retpik itu birokrasi yang panjang itu kalau anggota DPR nyuri iya udah biasa itu tradisi di partainya begitu. Tapi ini adalah Rektor, itu artinya Presiden harus terangkan kenapa dia gagal untuk memberi brief pada orang yang paling dipercaya sebetulnya, yaitu para pendidik. Kan itu intinya, sekarang masalah itu yang kita kembalikan Istana tuh, jangan-jangan memang ada Kakak Pengasuh di antara para rektor ini. Oke yang tadi bukan 30 persen Bung Rocky 35 persen, jadi otomatis siapapun yang didukung oleh menteri atau didukung oleh Presiden itu pasti terpilih dan ini kita melihat di situ salah satu sumber pemburukan yang terjadi. Saya sepakat dengan anda bahwa kenapa soal ini kita sorot, sebab ini kampus  perguruan tinggi yang diharapkan orang-orang terdidik dengan etikabilitas itu yang baik. Nah kan sangat berbahaya ketika ada orang cerdas secara otak tetapi dia minus atau dungu secara etikabilitas, ini kan jauh lebih berbahaya. Ya, saya kemarin habis diskusi panel dengan ustadz akal sehat, UAS Ustadz Abdul Somad di sebuah universitas kecil di Jakarta punya Muhammadiyah. Namanya Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan. Dan itu setelah ditolak di banyak kampus, lalu dipilih kampus kecil itu dan mereka senang karena kita bicara tentang masa depan bangsa. Banyak kampus yang menolak saya, menolak Ustadz Abdul Somad hanya karena menganggap ini pasti akan ditegur oleh pemerintah kalau menerima saya dan Abdul Somad untuk bicara tentang korupsi, tentang keadilan sosial, tentang Islamofobi. Jadi, kampus sekarang itu seolah disulap jadi tempat para bazer. Karena itu bazer yang tentuin bahwa Rocky Gerung dan Abdul Somad itu gak boleh tuh. Pasalnya, laporkan, mungkin ke pembisik presiden. Karena, kata presiden, itu bukan urusan saya. Dulu dia lapor ke pejabat di bawahnya atau mungkin para Rektor ini begitu masuk nama saya dan Abdul Somad itu langsung merasa alergi. Itu bahayanya kalau kampus itu diberi sinyal buruk tentang komposisi kode tugas kampus beroposisi itu, bukan korupsi itu point dasarnya. Jadi kenapa bangsa ini tertatih-tatih menuju masa depannya, karena enggak ada semacam kelegaan untuk menerima pikiran-pikiran alternatif. Bayangkan misalnya kalau Unila itu ada semacam kegiatan oposisi atau mahasiswa setiap hari ada forum bersama Rektor membahas pikiran-pikiran oposisi. Si Rektor juga akan merasa oke ya maksudnya hebatlah dia membuat politik Istana dan tetap berpegang pada nilai akademis, maka si Rektor tidak akan terlibat dalam korupsi itu. Ini kan soal suasana jadi rektor ini pasti juga bagian dari permasalahannya mungkin rektor merasa saya mesti pelihara buzer di kampus saya supaya dapat status khusus. Jadi kelihatannya pak rektor berpikir dia harus pelihara buzer karena dia dilarang untuk menerima para oposan di kampus itu kan, jadi supaya seolah-olah ada laporan bahwa kampus itu udah bebas. Oposisi bazer ini digerakkan itu perlu uang. Jadi sangat mungkin juga korupsinya itu demi kepentingan memelihara kekuasaan dan kalau dia disidang misalnya terus dia bilang, ya saya korupsi karena nggak ada uang dari kakak pembina. Jadi saya musti pelihara buzer sendiri itu dengan cara itu. Bahkan, terbongkar lagi. Jadi ada peta baru investasi Rektor Unila itu terkait dengan peta Polda di situ atau peta DPRD jadi petarung meretakkan. Lalu ada rektor lain merasa mulai terganggu karena bisa juga Rektor Unila ini nyanyi bahwa dia tahu rektor yang lain di seluruh Indonesia lakukan hal-hal yang sama. Lalu rektor-rektor bilang ke konferensi Pers sama-sama, tapi tidak menerima uang, sama seperti Kapolri yang tiba-tiba bikin konfersi pers bersama bahwa terlibat judi online, jadi ini yang kita sebut tadi gonjang-ganjing yang maha dahsyat sedang berlangsung di nusantara. Dan ini kan apa yang terjadi di Polri. Kemudian apa yang terjadi di Unila saya kira dan kemudian juga ribut-ribut sendiri di kalangan DPR itu saya kira ini menunjukkan bahwa memang sudah terjadi pembusukan di semua rektor gitu ya? Nah, betul mesti kita anggap begitu. Bahwa alam sedang mengaduk-aduk bangsa ini dan adukan terakhir yang tertapis adalah mereka betul-betul bersih. Nah, itu yang lagi kita tunggu, kita mungkin hanya perlu 2-3 Rektor di Indonesia bersih lalu bersama-sama dengan tiga political yang juga bersih bersama-sama dengan pejabat-pejabat Istana yang masih bersih, lalu ada sembilan orang yang kemudian betul jadi Pandawa itu maksudnya. Mari kita bandingkan ini ya karena kita ini orang jadul ya, orang terlama dan anda juga, saya juga dulu aktif di pergerakan. Bahkan, di masa orde baru gitu kalau ketika sangat kuat kalian pemerintahan di masa Pak Harto itu masih muncul rektor-rektor yang kritis. Orang yang saya kira kalau di UI itu yang legend ada Profesor Mahar Mardjono, ya kemudian di UGM ada Profesor Koesnadi Hardjasoemantri, mungkin ada Sutan Iskandar Alisjahbana di ITB itu. Jadi kita masih bisa menyebut itu. Sekarang kita sulit sekali bisa menyebut nama-nama rektor itu yang masih tetap berani tegak itu bicara tentang apa independensi kampus dan juga kebebasan mimbar akademis. Ya itu diingatkan ajaibnya itu di masa orde baru yang otoriter, rektor Negeri justru bersama Mahasiswa Pak Maryono di UI, Pak Andi Hakim Nasution di ITB dan tadi UGM dan ITB, jadi ada semacam sebenernya kaitan etnis di antara rektor ini yang merasa bahwa Universitas tidak boleh memasuki dalam jebakan kekuasaan dan mereka justru yang diingat oleh publik, orang enggak ingat lagi. Siapa menteri zaman Pak Harto tuh karena ada banyak betul menteri yang betul-betul pintar dan orang kepintaran dia karena memang brief dengan baik dan oleh pengetahuan teknokratis tuh. Tetapi yang orang akan ingat kok oposisi sebelumnya berlangsung di masa Pak Harto diam-diam. Kita masih lihat bagaimana Pak Marita kalau ngasih sinyal kita tahu oke di pro oleh mahasiswa dan Andi Hakim Nasution, begitu juga Iskandar Alisjahbana. Semua hal yang baik di masa lalu itu dilupakan oleh Rektor-Rektor yang sekarang. Kenapa? Karena politik berubah menjadi tuker tambah jabatan semuanya. Dulu nggak ada tuh kasak-kusuk untuk jadi rektor ya biasa aja dianggap ya jadi rektor itu karena memang biasa aja dan Pak Harto juga mengerti bahwa enggak boleh Universitas itu terlalu dikendalikan bahwa ada menteri yang kemudian tiba-tiba kaku menafsirkan lebih jauh, itu karena menganggap bahwa Presiden Soeharto sudah ingin agar supaya dikendalikan oposisi di kampus. Tapi tetap rektor-rektor ini memunculkan wawancara-wawancara yang cerdas dan orang anggap sinyal moral itu atau masa depan atau sinyal etika politik masih ada pada 5 rektor ini. Jadi, hal ini yang membuat kita ingin kembali pada masa lalu bukan kembali pada masa kekuasaan politik, militer tapi kembali pada etika Universitas yang masih bisa menjungjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Ngomong-ngomong jaman Pak Harto itu enggak ada obral Doktor Honoris Causa seperti sekarang ya saya membaca bahwa Pak Harto bahkan ini pernah menolak juga ketika UI waktu itu berniat memberikan penghargaan Doktor Honoris Causa pada pak Harto. Ya itu begitu Pak Harto merasa buat apa? Dia itu presiden yang punya jabatan tertinggi dan nanti disuruh kasih cula-cula. Padahal Pak Harto setiap Minggu kasih kuliah itu Klompencapir dengan bahasa yang sangat akademis dan di belakangnya itu para Profesor justru yang mem-briefing dia dengan data yang bagus. Pak harto mengerti betul keadaan pertanian. Kalau soal keadaan rakyat itu di luar kepala Pak Harto bisa terangkan secara sangat akademis, itu mungkin yang dianugerahi Pak Harto dikasih Doktor Honoris Causa saja. Tentu bagi Pak Harto ngapain jadi kasih Doktor dan sudah ngajar kok jadi hal semacam ini yang memperburuk universitas sekaligus kita minta pendapat Nadiem mengevaluasi pemberian-pemberian Doktor Honoris Causa karena itu jadi dagang politik juga di situ. Jadi Universitasnya bakal dapat proyek dari seseorang yang di-doktor-kan di situ dan si doktor akan mendapat kehormatan yang memang dia perlukan untuk biodata dia nanti itu. Jadi apa pentingnya soal-soal semacam itu ketika akhirnya timbul peristiwa kekacauan publik di kepolisian itu, jadi track off itu yang kemudian kita anggap bahwa bangsa ini lagi diburuhkan, tidak butuhkan itu yang akan membersihkan batin republik ini. Ya tapi kita tetap hati-hati ini Bung Rocky ketika kita ngomongin dibandingkan dengan pak Harto. Nanti ada yang bilang wah ini bagian dari ordebaru, apalagi kemudian ketahuan saya juga pernah jadi wartawan di Istana gitu, ya pantes cara berpikirnya seperti itu. Saya ingin menjelaskan bahkan pada masa itu ketika juga sangat represif terhadap Pers atau lembaga TEMPO dan sebagainya dulu ya jaman Pak Harto itu orang zaman itu wartawan masih banyak yang bersikap kritis gitu. Itu waktu itu kita saya masih anggap Kompas itu juga beroposisi diam-diam ngasih sinyal. Jadi sekaligus belency-nya ada sebetulnya, tapi memang pada waktu itu dunia menginginkan Indonesia dikelola secara otoriter karena prinsip developmentalisme itu. Jadi Pak Harto juga ada bagian dari konspirasi global yang menyebabkan beliau akhirnya juga dibatalkan kepresidenannya oleh konversi global. Jadi, kita enggak dendam pada Pak Harto. Kita anggap Pak Harto selesaikan pas itu, sekarang orang tiba-tiba mau pergi pada Orde Baru lagi, \"ya nggak bisalah\", bahkan anak-anak pak Harto bikin partai politik dan masuk dalam sistem demokrasi kan itu biasa aja itu, jadi ngapain melihara dendam untuk sesuatu yang ke sebetulnya di dalamnya ada banyak pelajaran bagus. Misalnya dalam soal ekonomi itu betul-betul setelah teknokratis Pak Harto mempersilahkan para ekonom yang berpikir sebagus di UI untuk menjalankan ekonomi. Demikian juga soal politik itu dengan mudah dianggap, sudahlah itu urusan militer memang pada waktu itu militerisme itu gejala umum di dunia ketiga yang disebut oleh Huntington sebagai transisi menuju demokrasi itu. Tapi sekarang kita nggak mungkin membandingkan itu sama seperti orang kalau Lex kritik saya tuh Rocky Gerung, Jokowi zaman Orde Baru udah hilang kepalanya kan justru kita enggak ingin supaya zaman itu kembali dan karena itu saya ke beroposisi pada Presiden Soeharto. LBH, seluruh masyarakat sipil sejarah kita ada di situ. Hersubeno itu tahu semua apa yang ada di balik Istana karena dia wartawan Istana tapi bukan berarti dia ingin kembali ke situ. Jadi, semua orang yang dungu ini menganggap bahwa kalau kita bikin perbandingan kita ingin dan membanggakan bukan justru lebih perbandingan supaya yang sekarang mengerti bahwa yang ini di era demokrasi bahkan oposisi yang dilarang itu lebih buruk dari era Soeharto sebetulnya tuh. Dan ini nothing personal ya, bukan personal dengan Pak Jokowi, nggak ada urusannya dengan persoalan itu. Karena sebagai wartawan memang kita harus tetap mengambil jarak pada kekuasaan. Saya kira itu posisi media juga seperti itu, apalagi ketika lembaga-lembaga yang harusnya berperan sebagai oposisi terus kemudian ada pemeriksaan lembaga-lembaga antara eksekutif, yudikatif dan Legislatif itu sekarang semua di bawah kontrol dari lembaga dari eksekutif itu menjadi sangat lebih penting lagi untuk media juga semakin mencari jarak dengan kekuasaan. Ya itu pentingnya jurnalis dan kampus beroposisi, seminggu lalu saya bicara di Universitas Balikpapan, Uniba itu Universitas yang juga dapat proyek untuk riset tentang IKN, rektornya secara terang-terangan mengatakan dia pro IKN. Tetapi dia mengundang saya untuk diskusi. Padahal saya anti IKN kan, itu rektor yang bagus, lalu kita berdebat di situ supaya mahasiswa dengar ada versi Rektor ada versi saya tuh. Jadi, Pak Bakir Andi di situ betul-betul itu universitas kecil, Universitas Balikpapan, tapi itu Universitas keren karena berani mengundang oposisi untuk bertengkar di dalam forum akademis. Dan saya dengar dari Pak Rektor Universitas Balikpapan beberapa menteri juga tokoh politik hadir di situ. Jadi tirulah Rektor Uniba itu, jangan tiru Rektor Unila yang ketakutan untuk menggunakan oposisi, tapi berani untuk korupsi. Itu kan ajaib, takut untuk mengundang oposisi tapi berani korupsi. Ya itu gimana nilai kebesarannya dia itu. Ya, sudahlah itu sudah terjadi dan mau diapain? Itu pelajaran penting bagi kita untuk mengetahui bahwa arah bangsa ini bahkan sinyal buruk melalui Universitas khusunya Unila. Dan saya tadi amati ternyata anda itu kalau di kampus-kampus besar apalagi PTN itu ditolak karena takut gitu ya tapi kemudian universitas-universitas kecil tapi ada juga swasta yang gak boleh mengundang karena anda besar sekarang yang kecil justru berani, dengan mudah anda nasuk. Ini jadi memang kita ingat small its beautiful itu terwujud dalam sekarang. Itu betul kata shoemaker itu small is beautiful jadi sekali lagi no itu andalah beautiful. (mth/sws)

PKS Tolak Rencana Kenaikan BBM

Jakarta, FNN --- Anggota Komisi VII DPR-RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, tegas menolak rencana kenaikan harga BBM bersubsidi oleh Pemerintah. Hal itu disampaikannya saat melakukan interupsi pada Rapat Paripurna DPR RI ke-2 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2033, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (23/8/2022). “Kami ingin menyampaikan sikap PKS, bahwa PKS menolak kenaikan harga BBM bersubsidi. Mengapa? Karena masyarakat belum pulih benar dan belum cukup kuat bangkit dari terpaan pandemi covid-19”, ungkap Mulyanto. Menurutnya, inflasi yang mendera masyarakat saat ini sudah tinggi. Hal itu berpotensi makin parah apabila harga BBM bersubsidi dinaikkan. “Masyarakat hari ini menderita inflasi sebesar 4,94 persen. Ini merupakan inflasi tertinggi sejak Oktober 2015, artinya tujuh tahun yang lalu. Bahkan, untuk kelompok makanan, inflasi hari ini adalah sebesar 11 persen. Gubernur Bank Indonesia bilang, seharusnya yang tertinggi hanya 5-6 persen. Tapi sekarang, 11 persen. Itu kondisi saat belum ada kenaikan BBM bersubsidi. Kalau harga BBM bersubsidi dinaikkan, ini dapat dipastikan inflasi sektor makanan akan meroket. Tentu saja, ini akan menggerus daya beli masyarakat, dan tingkat kemiskinan akan semakin meningkat”, ujarnya lagi. Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Inbang ini pun menyoroti bahwa harga minyak dunia sebenarnya sudah turun sejak beberapa bulan terakhir. “Padahal, sejak Juni 2022, harga minyak terus turun, dari USD 140 per barrel menjadi hari ini sebesar USD 90 per barrel. Jadi, urgensi kenaikan harga BBM bersubsidi sudah kehilangan makna”, tegasnya. Mengakhiri interupsinya, Mulyanto meminta Pemerintah untuk menghemat anggaran dengan menghentikan pembangunan proyek yang dinilainya tak perlu, seperti IKN baru dan kereta cepat Jakarta-Bandung. (TG)

Surat Terbuka untuk Fadel Muhammad

Jakarta, FNN - Seorang anak muda menulis surat terbuka untuk Senator asal Gorontalo, Fadel Muhammad, pasca direcall dari MPR. Berikut surat lengkapnya: Kepada yang Terhormat Fadel Muhammad (Senator Gorontalo) Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Di momen-momen peringatan Hari Proklamasi Indonesia ke-77, kutuliskan surat ini setelah mendapat kabar dari Senayan. Bahwa telah bergulir mosi tidak percaya. Dilayangkan kepada Bapak Fadel Muhammad. Saya perihatin. Kendati demikian, saya sebetulnya tidak terkejut membaca berita ini. Kita semua tahu, rotasi jabatan dalam politik adalah hal biasa dan wajar-wajar saja. Tak perlu masygul. Toh, jabatan itu soal menitipkan kepercayaan. Kapanpun bisa diambil kembali oleh yang menitipkan. Bapak Fadel yang kami banggakan. Saya mengenal Anda di era Persiden SBY. Ketika itu, Bapak tampil impresif meladeni wawancara awak media. Menyandang jabatan sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Setelah itu, rasanya tak ada lagi kabar saal Bapak Fadel Muhammad. Kecuali diselingi ketika berita anda reshuffle kabinet. Lama berselang, hingga baru hari ini saya mendegar kembali nama Bapak. Rupanya sejak tahun 2019 dititipkan kepercayaan sebagai Wakil Ketua MPR RI oleh sejawat anda para Senator DPD.  Kemana saya selama ini? Sampai-sampai baru pada tanggal 18 Agustus kemarin mendengar lagi nama Bapak. Dalam kasak kusuk pemberitaan penarikan kembali (re-call) dari kursi pimpinan majelis yang terhormat.  Pertanyaan ini sebenarnya juga berlaku untuk Bapak. Kemana Bapak selama ini? Benarkah kabar burung itu jika anggota legistlatif hari ini lebih sering ke luar negeri. Memilih intensif beranjangsana bersama keluarga, ketimbang pulang ke dapil?  Dari 34 daerah, kami mandatkan harapan-harapan kami kepada para Senator di Senayan. Kami sangat bahagia melihat performa lembaga DPD periode ini. Lebih berdaya dan menyala-nyala. Menunjukkan marwah sebagai lembaga perwakilan rakyat. Rasanya baru kali ini parlemen menjalankan fungsi check and balances tanpa tedheng aling-aling. Meski, perwakilan DPD di MPR, dalam hal ini jabatan Wakil Ketua MPR yang anda emban, terdengar sayup-sayup. Sehingga terasa ada nyala DPD yang belum paripurna. Karena itu, saya meyakini keputusan forum tertinggi sidang paripurna untuk merotasi pimpinan MPR dari unsur DPD adalah keputusan startegis untuk meningkatkan kinerjanya. DPD, dalam semua aspek harus tampil paripurna. Tidak setengah-setengah. Maka wajar, jika ada perasaan mengganjal para Senator yang tadinya menitipkan kepercayaan pada anda. Amanah itu ditarik kembali.  Sebagai seorang politisi senior, kami tahu betul jika Bapak pasti lebih paham dan berpengalaman soal titip menitip aanah ini. Namun sebagai seorang manusia, kita semua memiliki blind spot (titik buta). Kita tidak bisa melihat secara utuh sampai kemudian ada yang mengoreksi dan membenarkan. Begitupun kinerja Anda, yang menurut Wakil Ketua MPR baru dilaporkan pada Sidang Paripurna DPD tahun 2022. Itupun setelah bergulir isu mosi tidak percaya. Halo? Di mana Anda tiga tahun terakhir? Sibuk ke dapil? Eh, maksud saya, sibuk mengeksplorasi destinasi aestetik ke luar negeri? Anyway, saya salah satu dari 24,2K subscribers The Royal Fadel Hana Family. Kembali ke soal penarikan mandat. Mangkir dari rapat-rapat di DPD telah dilihat dan dinilai oleh teman-teman Bapak, para Senator di DPD. Sehingga sangat wajar ketika para Senator bersepakat memindahkan mandat itu kepada Senator lain untuk progresivitas DPD.  Akhirnya, sebagai anak muda, saya ingin berpendapat. Apalah arti sebuah jabatan yang tidak lagi dikehendaki. Apalah arti jabatan tanpa kepercayaan. Menurut saya, bagi seorang negarawan, jabatan, posisi dan kedudukan tidaklah penting. Yang terpenting adalah peranan dan kontribusi yang diberikan kepada rakyat dan negara. Hormatku MAHARDIKA NAGARAIYYA (Pemuda Yang Rindu Teladan)

Anthony Budiawan: Alasan KPK Stop Kasus Dugaan KKN Gibran – Kaesang Sangat Bahaya Bagi Pemberantasan Korupsi

Jakarta, FNN - Ubedilah Badrun yang melaporkan dugaan korupsi itu ke KPK pada Januari 2022 lalu, masih meyakini ada dugaan KKN dalam sejumlah perusahaan milik Gibran dan Kaesang. Dia menyayangkan sikap Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang menyebut dugaan tersebut sumir. Mengamati dari sikap dan keputusan Nurul Ghufron dalam jumpa pers kinerja semester I KPK, di Kantor KPK, Jakarta, Jumat (19/8/2022) yang mengatakan “sejauh ini indikasi TPK (Tindak Pidana Korupsi) yang dilaporkan masih sumir, tidak jelas. Dan pelapor belum mempunyai informasi uraian fakta dugaan TPK dan atau TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang)”, Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan mengatakan pernyataan wakil ketua KPK Nurul Ghufron sangat bahaya bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. “Alasan KPK stop kasus dugaan KKN ini sangat bahaya bagi pemberantasan korupsi. Kalau anak pejabat tidak dianggap bagian dari pejabat, tidak dianggap KKN, KPK sama saja membuka ‘jalan tol’ korupsi melalui gratifikasi kepada anak pejabat. APBN bisa bangkrut!” ungkap Anthony, Selasa (22/8/2022). Lebih dalam Anthony menguraikan, jika alasan pelapor belum mempunyai informasi uraian fakta dugaan TPK dan atau TPPU, patut dipertanyakan niat KPK mengusut tuntas laporan masyarakat. “Karena, kalau baca berita ini, uraian KKN sepertinya sudah jelas sekali, dan tugas KPK mendalaminya. Bukankah seharusnya seperti itu?”.lanjutnya. “Sebagai contoh, baru-baru ini KPK tangkap tangan Rektor dari sebuah perguruan tinggi negeri, didakwa korupsi. Kalau uang tersebut diberikan kepada anak rektor untuk modal buka warung pisang goreng, senilai Rp2 miliar, apakah termasuk korupsi/KKN? Menurut KPK bukan KKN? Bahaya,”. tegasnya. (mth)

Tim Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Ungkap Hasil Otopsi Brigadir J

Jakarta, FNN – Ketua Tim Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Ade Firmansyah Sugiharto mengungkapkanada dua luka tembakan fatal di tubuh Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabaratatau Brigadir J yang mengakibatkan ajudan mantan KadivPropamPolri Irjen PolisiFerdy Sambo itu meninggal dunia.\"Ada dua luka yang fatal tentunya, yaitu daerah dada dan kepala,\" kata Ade Firmansyah kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Senin.Ade mengatakan dari hasil autopsi ulang terhadap jenazah Brigadir J juga diketahui ada lima tembakan masuk dan empat tembakan keluar.Jumlah luka tembak ini tidak berkaitan dengan jumlah peluru yang ditembakkan, tetapi dari lima luka tembak yang masuk dan empat luka tembak keluar, berarti ada satu peluru yang bersarang di tubuh Brigadir J.\"Dari empat tembakan keluar,ada satu yang bersarang di tulang belakang, dekat tulang belakang,\" jelasAde.Tim Kedokteran Forensik tidak menyelidiki berapa jumlah tembakan karena merupakan kewenangan dari penyidik, termasuk jenis senjata api yang digunakan, serta arah tembakan.Hasil autopsi ulang tersebut juga memastikan tidak ada luka-luka selain luka tembakan karena senjata api yang ditemukan di tubuh Brigadir J.Tim Kedokteran Forensik, kata Ade, bekerja secara independen memeriksa bagaimana arah masuknya anak peluru ke dalam tubuh dan bagaimana lintasan peluru keluar dari tubuh. Tim Forensik juga menelusuri tempat-tempat yang berdasarkan informasi keluarga ada tanda-tanda kekerasan.\"Kami sudah pastikan dengan keilmuan forensik yang sebaik-baiknyabahwa tidak ada tanda-tanda kekerasan selain senjata api pada tubuh korban,\" katanya.Ade juga memastikan tidak ada kuku korban Brigadir J yang dicabut ataupun tulang yang patah pada tubuh Brigadir J. Adapun posisi organ tumbuh yang berpindah tidak pada tempatnya merupakan bagian dari tindakan autopsi.\"Semua tindakan autopsi pasti ada organ-organ itu akan dikembalikan ke tubuhnya, namun memang harus ada pertimbangan-pertimbangan baik itu misalnya adanya bagian-bagian tubuh yang terbuka sehingga pada saat jenazah itu akan ditransportasikan akan dilakukan pertimbangan-pertimbangan seperti itu,” ujar Ade.Kemudian untuk jari yang luka, kata Ade, karena arah alur lintasan anak peluru yang mengenai tubuh Brigadir J dan luka di wajah karena ricochet atau sambaran peluru.Ade berharap dari laporan forensik yang telah diserahkan kepada Bareskrim Polri tersebut dapat membantu penyidik untuk membuat terang perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.\"Alhamdulillah kami bisa menyelesaikan dalam empat minggu kurang supaya bisa membantu penyidik dalam membuat terang perkara ini, supaya tidak ada lagi keragu-raguan penyidik tentang kejadian ini,\" tambahnya.Dalam kasus pembunuhan Brigadir J, penyidik telah menetapkan lima orang tersangka, yakni Irjen Polisi Ferdy Sambo, Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, Kuat Ma\'ruf, dan Putri Candrawathi (istri Ferdy Sambo).Kelima tersangka disangkakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, ancaman maksimal hukuman mati.Selain itu, penyidik juga menyidik perkara penghalang-halangi penegakan hukum atau obstruction of justice yang dilakukan tersangka Ferdy Sambo bersama lima perwira Polri lainnya.Kelima perwira Polri tersebut adalah Brigjen Polisi Hendra Kurniawan (mantan Karo Paminal Div Propam Polri), Kombes Polisi Agus Nurpatria (mantan Kaden A Biropaminal Div Propam), AKBP Arif Rahman Arifin (mantan Wakaden B Biropaminal Div Propam), Kompol Baiqui Wibowo (mantan PS. Kasubbag Riksa Bag GakEtika Rowabprof Div Propam), dan Kompol Chuck Putranto (mantan PS. Kasubbagaudit Bag Gak Etika Rowabprof Div Propam).Kelima perwira Polri tersebut terancam hukuman pidana melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. (mth/Antara)