ALL CATEGORY

Puan Memberi Sinyal Ganjar dan Anies Bersatu Mencegah Kecurangan

Jakarta, FNN – Kemarin, politisis PDIP Maruarar Sirait mengundurkan diri secara resmi dari PDIP. Alasan pengunduran dirinya dinyatakan bahwa dia akan mengikuti jalannya Jokowi, karena menurutnya jalan Jokowi terbukti benar karena berdasarkan survei tingkat kepuasan orang terhadap Jokowi 70 sampai 80%. Tampaknya, PDIP tidak mempersoalkan sehingga mempersilakan Maruarar untuk pergi. Sementara itu, Puan Maharani semacam keceplosan dan mengakui bahwa memang sudah ada pembicaraan-pembicaraan antara PDIP dengan 01 atau tim AMIN, baik secara informal maupun formal, untuk menghadapi putaran kedua. Menanggapi hal tersebut, Rocky Gerung dalam kanal youtubenya edisi Selasa malam (16/1)  mengatakan bahwa memang sejak 2-3 tahun lalu Maruarar Sirait sudah tidak cocok lagi dengan PDIP. Tetapi, sebetulnya dia terlambat untuk mundur dari PDIP dan bagi PDIP tidak ada masalah. Karena PDIP menganggap memang tidak mungkin lagi ditahan dan tidak ada gunanya juga menahan. Itu adalah pilihan Maruarar yang memilih untuk bersama-sama dengan Jokowi. Demikian juga soal Puan Maharani yang kita tahu bahwa Puan berupaya untuk zig zag zag, semacam moderasi antara Megawati dengan Jokowi. Tetapi, kelihatannya tidak mungkin lagi ditahan posisi Puan untuk terus menjadi moderator sehingga lama-lama dari moderate menjadi medioker. Kalau memang ada tekanan publik untuk memulai semacam kubu bersama maka Puan yang mesti mengucapkan itu karena Puanlah yang punya profil politik di situ, kapasitas politik untuk menjadi semacam juru bicara kalau terjadi semacam koalisi yang tanpa nama untuk sementara antara AMIN dan PDIP, karena ada semacam common enemy di situ. “Jadi, sebetulnya bagi mereka, karena dua-duanya berpotensi dicurangi, maka dia bersekutu dulu. Itu saja sebetulnya sementara kalau melihat gerak-gerik politik PDIP melalui Puan,” kata Rocky. (ida)

“Slepet”, Joget, atau “Sat-set” Otonomi Daerah

Oleh Djohermansyah Djohan | Guru Besar IPDN, Dirjen Otda Kemendagri (2010-2014), Pendiri i-OTDA   OTONOMI daerah adalah tugas pemerintahan yang luas untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan demokrasi di seluruh pelosok nagari. Ia tidak hanya perkara Ibu Kota Negara (IKN) baru dan IKN lama, atau menata kota-kota yang tahun 2035 bakal dihuni oleh dua per tiga penduduk Indonesia, atau menyelesaikan konflik pusat vs daerah yang berlarut-larut di Papua. Bahkan, juga bukan sekedar menaikkan gaji kepala desa dan meningkatkan jumlah dana desa dari satu miliar menjadi lima miliar per desa. Otonomi daerah spektrumnya terbentang mulai dari pembentukan daerah otonom, transfer kewenangan dari pusat kepada daerah, pembentukan kelembagaan pemda, manajemen birokrasi lokal, pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah, pengelolaan keuangan daerah, hubungan antar pemerintahan, hingga pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dan pemerintah desa. Selain tugasnya yang amat luas, otonomi daerah merupakan “big business”. Bila pemerintah bisa mengurusnya dengan baik separuh urusan negara akan selesai. Presiden bisa fokus ke separuh urusan lainnya, yaitu memimpin kementerian/lembaga yang menangani urusan pembangunan sektoral, menjalin hubungan baik dengan lembaga tinggi negara, dan tampil di panggung regional dan global. Ia tak perlu lagi marah-marah kepada kepala daerah atau berlelah-lelah mengumpulkan ribuan kepala desa. Betapa tidak? Tengok saja jumlah daerah otonom yang menembus angka lima ratus tepatnya 546 yang terdiri atas 38 provinsi, 93 kota, dan 415 kabupaten. Kewenangan yang dimilikinya juga bukan “kaleng-kaleng”. Mulai dari urusan pendidikan dasar dan menengah, kesehatan, jalan dan jembatan, perumahan, tenaga kerja, perindustrian dan perdagangan, pertanian, kelautan dan perikanan, hingga kepariwisataan. Tak kurang dari 32 urusan pemerintahan dilimpahkan kepada daerah. Ditilik dari segi birokrasi, dari 4,28 juta ASN kita 3,33 juta bekerja untuk pemerintah daerah (78%). Belum lagi uang yang dikelolanya. Rata-rata sepertiga dari APBN kita ditransfer ke daerah. Pada tahun 2023 yang lalu jumlahnya Rp.825 triliun. Bila ditambahkan dengan pendapatan asli daerah (PAD) provinsi, kabupaten, dan kota se Indonesia yang besarnya Rp.361 triliun pada tahun 2023, maka sekitar Rp.1.186 triliun dibelanjakan oleh pemerintahan daerah. Suatu jumlah yang sangat besar, dan bila dibelanjakan secara berkualitas akan mampu mendongkrak beberapa persen pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara legal-konstitusional UUD 1945 sendiri mengatur cukup detil sampai dengan membuat bab khusus soal pemerintahan daerah, seperti tampak dalam pasal 18, pasal 18A, dan pasal 18B. Turunannya mencakup UU Pemda, UU Pilkada, dan UU Desa plus UU khusus/istimewa untuk Papua, Aceh, Yogyakarta, DKI Jakarta, IKN Nusantara.   Masalah Otonomi Daerah Kondisi otonomi daerah kita kini terus terang sedang tidak baik-baik saja. Beberapa diantaranya yang menonjol adalah masalah re-sentralisasi, korupsi kepala daerah, politik dinasti, pecah kongsi KDH-WKDH, pemekaran daerah, dan tidak efektifnya peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Sayang sekali bila pada masa kampanye sekarang segudang persoalan otonomi daerah yang melanda negeri ini tidak diperdebatkan oleh para calon presiden dalam kampanyenya. Masyarakat di 546 daerah otonom itu tentu akan suka memilih calon presiden yang paham dan pro-otonomi daerah, bukannya pro-sentralisasi. Re-sentralisasi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo makin menjadi-jadi. Tak hanya di bidang administrasi dan ekonomi seperti penarikan berbagai perizinan dan kewenangan berskala lokal ke pusat, tapi juga sudah merambah ke ranah politik. UU Cipta Kerja Nomor 11/2020 yang menarik izin IMB dan UU Minerba Nomor 3/2020 yang mengambil tambang galian C (pasir dan kerikil) ke pusat adalah contoh nyata dalam resentralisasi administrasi dan resentralisasi ekonomi. Sedangkan terkait resentralisasi politik, pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah bila terjadi kekosongan (vacuum of power) jabatan dalam tempo yang lama dilakukan langsung oleh presiden, bukannya lewat pemilihan DPRD atau perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang notabene dipilih langsung oleh rakyat. Malahan dalam pasal 10 RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ), gubernur/wakil gubernur diangkat oleh presiden tak lagi dipilih langsung oleh rakyat menyusul pola pengangkatan kepala/wakil kepala IKN Nusantara. Demokrasi lokal lewat pilkada langsung yang sejak tahun 2004 telah ditancapkan (deepening democracy), kini dipreteli. Korupsi kepala daerah tak kunjung reda. Terbaru, ada Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada, sebelumnya Gubernur Maluku Utara dua periode yang sudah mau habis masa jabatannya di OTT KPK. Modus operandinya hampir sama dengan kepala daerah yang lain, yaitu terlibat kasus jual beli jabatan, gratifikasi dan suap pengadaan barang dan jasa. Saya mencatat sejak pilkada langsung yang berbiaya tinggi digelar tahun 2005 hingga 2024 ini terdapat 405 orang kepala daerah/wakil kepala daerah kena kasus hukum dengan rincian, gubernur 37, wakil gubernur 7, bupati 228, wakil bupati 48, walikota 70, wakil walikota 15. Korupsi yang dilakukan oleh ratusan pemimpin pemda ini juga telah menyeret ribuan pejabat birokrasi, berdampak pada rusaknya tata kelola pemda yang baik, dan terhalangnya pengentasan kemiskinan. Rentetan lainnya, tumbuh subur politik dinasti di daerah, di mana anak atau istri kepala daerah/wakil kepala daerah naik menggantikan sang bapak/suami. Bahkan menjalar kini ke tingkat pemerintahan nasional. Gibran putra Presiden Joko Widodo yang baru menjabat walikota solo dua tahun diorbitkan menjadi calon wakil presiden. Sirkulasi kepemimpinan pemda menjadi mandeg, karena jabatan hanya beredar di lingkaran “trah” tertentu saja. Perkara serius lainnya politisasi birokrasi pemda waktu pilkada yang menyebabkan promosi jabatan penuh dengan afiliasi politik (Prasojo, 2023). Belum lagi kalau ditelisik soal maraknya pecah kongsi kepala daerah dan wakilnya yang menurut catatan saya terjadi di lebih dari 90% daerah kita. Tentu hal ini merupakan pendidikan politik yang buruk bagi rakyat, dan membuat repotnya birokrasi melayani kedua bosnya yang tak akur. Pemekaran daerah telah 10 tahun dimoratorium, kecuali untuk tanah Papua yang tahun lalu diizinkan memekarkan provinsinya dari dua menjadi enam, karena alasan untuk mengendalikan konflik. Sementara itu usulan pemekaran daerah tak pernah berhenti. Pemerintah menerima tidak kurang dari 329 usulan pembentukan daerah otonom baru (DOB) yang terdiri atas 55 provinsi, 237 kabupaten, dan 37 kota (Ditjen OTDA Kemendagri, Mei 2022). Terlepas dari terpenuhinya atau tidak persyaratan, fenomena ini menunjukkan bahwa aspirasi untuk membentuk DOB belum padam. Sejak awal reformasi tahun 1999 sampai moratorium 2014, Indonesia telah menambah daerah otonomnya sebanyak 223 (8 provinsi, 181 kabupaten, 34 kota). Banyak masyarakat meyakini pemekaran daerah merupakan pintu masuk untuk meraih kesejahteraan. Tak elok kalau dibiarkan mengambang tak ada kepastian. Gubernur selaku wakil pemerintah pusat (GWPP) tak efektif. Pembinaan dan pengawasannya “dicuekin” bupati/walikota. Tak jarang bupati/walikota berani melawan gubernur secara terbuka, menolak dikoordinasikan dan disupervisi, dan mengusirnya jika berkunjung ke wilayahnya. Pihak kementerian/lembagapun kerap mem-by pass gubernur dengan terjun langsung ke kabupaten/kota. Anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) yang terdiri atas unsur kepala kepolisian, kepala kejaksaan, komandan TNI, dan ketua DPRD tak banyak lagi yang menyegani gubernur, padahal ia menjadi ketua forumnya. Pemerintah pusat tak pula menyediakan perangkat dan pembiayaan kepada gubernur untuk melaksanakan tugas perpanjangan tangan (verlengstuk) itu. Masalahnya diperparah dengan tak adanya peran gubernur dalam menjadikan seseorang sebagai bupati/walikota. Mereka sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Bahkan, ada bupati/walikota yang jadi penantang gubernur petahana dalam pilkada. Pola relasi ala integrated-prefektoral system ini, dimana gubernur berperan ganda sebagai kepala daerah sekaligus wakil pemerintah pusat tidak menyambung dengan perkembangan demokrasi lokal kita kini. Dari bentangan beberapa masalah utama otonomi daerah di atas, tentu publik ingin tahu bagaimana calon presiden dan wakil presiden nomor satu, dua, dan tiga memandang atau menjawabnya di dalam visi dan misi mereka.   Janji Para Kandidat Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor satu Anies dan Gus Imin dalam visinya yang berjudul “Indonesia Adil dan Makmur Untuk Semua”, pada misi ke delapan mengagendakan pembenahan otonomi daerah. Dijanjikan akan diakhiri tarik-menarik kewenangan antar pemerintah pusat dan daerah, diberi ruang bagi daerah untuk mengelola potensi kekayaan yang dimiliki, perbaikan pembiayaan pilkada agar tidak mahal, pencegahan politisasi birokrasi, memfasilitasi pembentukan daerah otonom secara selektif, dan penguatan pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat terhadap pemda terkait kewenangan yang dilimpahkan. Selain itu, sistem pelayanan publik yang cepat, mudah dan murah dalam pemenuhan urusan konkuren wajib pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan akan dihadirkan. Slepetan pasangan ini cukup mengena, hanya kelemahannya publik tidak tahu secara detil bagaimana cara mereka mewujudkannya. Prabowo dan Gibran mengusung visi “Bersama Indonesia Maju, Menuju Indonesia Emas 2045”. Pasangan ini menjanjikan akan membangun dari desa dan dari bawah untuk pemberantasan kemiskinan seperti membangun atau merenovasi rumah penduduk desa, membuat desa terakses internet, dan memperbaiki tata kelola dana desa. Selain itu juga memperbaiki jalan daerah yang tidak mampu ditangani oleh pemda, menata desentralisasi dan otonomi daerah untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemda, memperbaiki manajemen pelaksanaan pilkada, revitalisasi pengawasan melalui pembangunan inspektorat independen, dan membahas kembali pemekaran daerah. Misi penanganan otonomi daerah lewat “joget kebijakan” dari pasangan ini dapat membuai orang desa dan daerah bila tersosialisasi secara luas. Visi Ganjar dan Mahfud yaitu “Menuju Indonesia Unggul Gerak Cepat, Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari”. Pasangan nomor urut tiga ini menjanjikan akan melipatgandakan dana desa, satu desa satu fasilitas kesehatan, menjanjikan kota sebagai sentra pertumbuhan, ekonomi yang dapat mendorong desa tumbuh bersama, memperluas ketersediaan mall pelayanan publik, dan memastikan pelayanan pemerintahan sat set dengan digitalisasi. Kendatipun tak terlalu telak mengadres persoalan aktual otonomi daerah, karena lebih fokus ke perkara desa, tapi misi mereka menunjukkan keinginan untuk mempercepat pembangunan desa dan kota. Dalam agenda ketiga pasangan Capres dan Cawapres tampak ada sentuhan untuk menyelepet, menjoget dan men-sat-set persoalan otonomi daerah meskipun kadarnya berbeda[1]beda. Artinya, mereka cukup menyadari bahwa diperlukan penataan desentralisasi di Indonesia ke depan. Guna menggali bagaimana detil mewujudkannya dan manakah pasangan calon yang paling perhatian terhadap otonomi daerah, urgen sekali jika dalam tema debat Capres atau Cawapres yang akan datang ditambahkan isu otonomi daerah.  Jangan sampai terulang kasus IKN Nusantara yang tidak muncul dalam visi dan misi maupun debat pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin tahun 2019 lalu, tiba-tiba lahir menjadi kebijakan yang membebani berat keuangan negara.

Jokowi Akan Menerima Hukum Karma Akibat Perbuatannya

Oleh Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Merah Putih  KERATON Surakarta,  dikenal sebagai Keraton Kasunanan Surakarta, adalah istana resmi dan tempat tinggal keluarga kerajaan Surakarta atau yang sering disebut dengan istilah Kasunanan Surakarta.  Keraton ini terletak di Kota Surakarta, Jawa Tengah, tempat Jokowi berdomisili. Keraton Surakarta memiliki sejarah yang kaya dan merupakan salah satu peninggalan budaya dan sejarah yang penting di Indonesia.  Bangunan keraton ini memiliki arsitektur tradisional Jawa dan juga ada sebuah bangunan yang mempunyai cerita mistis jaman dahulu.  Di dalam keraton tersebut terdapat sebuah bangunan yang disebut sebagai panggung Songgo Buwono. Panggung Songgo Buwono sendiri di kalangan masyarakat budaya Jawa dipercayai sebagai tempat meditasi para raja saat itu. Bahkan menara Songgobuwono memiliki beberapa fungsi penting bagi raja Keraton Solo. Salah satunya adalah sebagai tempat bermeditasi dan berinteraksi dengan sukma ksatria atau Ratu Roro Kidul. Panggung Sangga Buwana berasal dari kata “panggung” yang memiliki arti panggung atau bangunan yang tinggi, lalu “sangga” yang berarti diangkat atau ditahan dari bawah, dan “buwana” yang berarti jagad atau dunia alam semesta.  Di tempat inilah seorang abdi dalem berinisial *D* ( karena tidak mau disebut namanya ) sebagai salah satu  yang menerima tugas ikut mengawal, mengawasi dan menjaga kraton tersebut, rutin melakukan meditasi pada hari hari yang sudah ditentukan. Pada sepertiga malam dalam meditasi nya datanglah sosok yang mengaku Suharto ( mantan presiden RI kedua) memberi tahu bahwa _\"Jokowi akan menerima _\"karma nya\"_ karenanya akibat dalam mengelola negara telah keluar dari pakem seorang Raja adil yang harus menciptakan keadilan, ketenangan, kerukunan dan kemakmuran rakyatnya. Diyakini yang menemuinya bukan Suharto yang telah meninggal dunia tetapi _\"Jin Qorin nya\"_ ( entitas gaib yang merupakan bayangan tidak terlihat dari manusia yang didampinginya). Qorin dipercaya memiliki wujud, sifat, kepribadian, dan bahkan hobi serupa dengan manusia yang menjadi objeknya. Dalam ajaran Hindu dan Buddha, hukum karma diartikan sebagai suatu balasan akibat perbuatan di masa lalu yang dilakukan di dunia. Memiliki paham bahwa segala perbuatan yang dilakukan akan memiliki akibat pada pelaku di masa selanjutnya. Islam tidak mengenal hukum karma, kendati demikian, setiap pemeluk agama Islam diajarkan bahwa bahwa setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan juga akan dibalas dengan keburukan. Kejadian ini cukup lama di rahasiakan karena kebenarannya hanya milik Allah SWT, dan karena tidak ingin info tersebut menjadi polemik di masyarakat yang harus tetap tenang dalam kehidupan nya. Sekiranya info tersebut benar juga menjadi tanggung jawab Jokowi sendiri untuk menerima akibat nya disaat akan mengakhiri jabatannya. Memang sangat terasa prilakunya keluar dan menyimpang pakem seorang raja yang adil mengayomi rakyatnya.  Justru lebih kuat hanya ingin mempertahankan kekuasaannya dengan kekuatan dinastinya . Wallaahu\'alam. ***

Letjen Yayat: Jangan Berpolitik Berbasis Uang

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan Letjen Purn TNI Yayat Sudrajat, SE sebagai Ketua Umum DHD BPK 45 Jawa Barat mengingatkan bahwa bangsa Indonesia mesti mengevaluasi cara berpolitik yang semata berbasis uang. Sebab menurutnya, jika itu yang terjadi maka negara ini akan dikuasai oleh mereka yang beruang banyak atau pemilik modal. Rakyat pribumi yang potensial tetapi tidak mampu menjadi terhalang untuk dapat bepartisipasi dalam kekuasaan. Dipastikan terbentuk negara kapitalistik.  Hal tersebut di atas dikemukakan oleh Ketum BPK DHD 45 Jawa Barat saat acara Silaturahmi Pengurus DHD 45 Jawa Barat dengan DHC 45 se-Jawa Barat di Bandung 16 Januari 2024. Acara dihadiri oleh Dewan Paripurna Daerah pimpinan Letjen Purn Endang Suwarya dan Dewan Kehormatan Daerah yang diketuai Dra. Hj. Popong Otje Djundjunan. Di samping untuk menyambut Tahun Baru 2024 juga dalam rangka menyukseskan Pemilu 2024 dan menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.  Lebih lanjut Letjen Yayat mengemukakan betapa pentingnya proteksi pribumi untuk menyejahterakan dirinya. Jangan sampai terjadi \'social gap\' yang tajam dimana pribumi tersisihkan oleh non pribumi. Ayo berjuang, jayalah pribumi nusantara, jadilah tuan di negeri sendiri, tuturnya.  Menurut mantan Atase Militer di RRC dan Ketua BAIS TNI ini kembalinya ke UUD 1945 yang asli adalah suatu keniscayaan. Menjadi dasar bagi kemerdekaan bangsa Indonesia dari dominasi politik dan ekonomi asing dan aseng. Ia mengkritik larangan menyebut China dan mengganti dengan Tiongkok padahal China sendiri menyebut rakyat negaranya sebagai People\'s Republic of China.  PKI dan komunis tetap menjadi bahaya laten. DHD 45 Jawa Barat akan tetap mewaspadai kebangkitan melalui penyusupan ideologi dan perundang-undangan. Canangan Pancasila 1 Juni 1945, pengajuan dan pembahasan RUU HIP, serta terbitnya Keppres 2 tahun 2022, Inpres 1 tahun 2023 dan Keppres 4 tahun 2023 adalah bukti adanya nfiltrasi itu. DHD 45 Jawa Barat berjuang agar kedaulatan tetap di tangan rakyat, bukan di tangan segelintir orang (oligarki) baik politik maupun bisnis.  Kedaulatan yang telah diambil oleh partai politik merupakan suatu penyimpangan. Demikian juga  dengan korupsi yang harus menjadi musuh bersama.  Mengakhiri pandangannya Letjen Purn Yayat Sudrajat, SE mengimbau agar pemilu dilakukan dengan jujur dan adil. Damai dalam pilihan masing-masing, walaupun mungkin pilihan itu berbeda satu dengan yang lain.  Acara dilengkapi dialog dengan nara sumber Letjen Purn Yayat Sudrajat, SE, Letjen Purn Endang Suwarya,  Brigjen Pol Wahyu Daeny dan M Rizal Fadillah, SH. (*)

Masyarakat Cirebon Dulu Dukung Prabowo, Kini Beralih ke Anies dan Ganjar

Cirebon |  FNN -  Pada Pilpres 2019 masyarakat Kota Cirebon, Jawa Barat mayoritas mendukung Prabowo - Sandi. Perolehan suara di kota itu mencapai 16.077.446 suara mengalahkan Jokowi-Ma\'ruf yang meraih 10.750.568 suara.  Tampaknya untuk Pilpres 2024, pasangan Prabowo - Gibran tak lagi bisa panen di Kota Udang tersebut. Berpalingnya pasangan capres perpanjangan tangan Jokowi dari sosok Prabowo disebabkan oleh banyak faktor. Rata rata masyarakat kecewa pada Prabowo yang merapat ke Jokowi, Prabowo terlalu tua dan Gibran yang karbitan. Lukman, lelaki setengah baya yang sedang berteduh di pinggir Alun-alun Kejaksan Kota Cirebon menyatakan tidak akan mendukung Prabowo. Lukman berpendapat bahwa Prabowo sudah terlalu tua. Apalagi dia sakit- sakitan dan tak punya istri, pasti tidak efektif menjalankan tugas. \"Presiden Republik Indonesia harus sehat jasmani dan rohani,\" kata sarjana administrasi yang kini tengah nganggur itu. Dari ketiga capres itu kata Lukman siapa yang paling sehat? \"Ya Anies dan Ganjar,\"  kata Lukman. Selain soal kesehatan, Lukman melihat sosok Prabowo tidak lagi seperti tahun 2019 yang masih semangat dan  enerjik. Meski sekarang tampak semangat, tetapi ada fakta yang tidak bisa dibantah bahwa ia sudah renta.  Dia sekarang tampak senang karena faktor tuntutan, ia harus selalu tampil prima, padahal aslinya capek. \"Senang juga karena banyak teman, coba kalau sendirian, pasti loyo,\" paparnya. Hal yang nyaris sama disampaikan oleh Suyanto, pekerja serabutan yang ada di dekat stasiun Cirebon. Ia menyebut Prabowo sudah tidak segairah dulu. Kesehatan mulai menurun dan usia makin tua. Ia khawatir kalau terjadi apa-apa di tengah jalan, bangsa Indonesia jadi korban. \"Pilih yang jelas masih kuat saja,\" katanya tanpa menyebut nama.  Sementara Sobirin, tukang parkir di masjid Agung At Taqwa menyebut semua capres cawapres bagus, tetapi tetap harus memilih satu yang paling bagus. Jika sulit mencari pembanding, kata Sobirin, pilihlah pemimpin yang sholatnya bagus, akhlaknya baik, cerdas dan responsif. Orang yang sholatnya bagus, kata Sobirin, Insya Allah kebijakannya akan bagus, karena dia yakin ada Allah yang mengawasinya. Sobirin mengaku pada Pemilu 2019 ia memilih pasangan Jokowi - Maruf Amin karena ada Ketua MUI di situ. Sedangkan sekarang ia tidak akan memilih jagoannya Pak Jokowi.  \"Kan Jokowi beda dengan Prabowo, beda juga dengan Gibran,\" paparnya. Cinta sama Jokowi kan tidak harus cinta sama Gibran, apalagi Prabowo. \"Jadi, tolong teman-teman pilih yang asli, bukan boneka,\" kata sarjana filsafat itu. (ant)

Anies Itu Bukan Anjing

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan | Sabang Merauke Circle SETELAH Prabowo mengeluarkan kata-kata tolol, goblok dan tukang hasut (lihat: nasional.tempo.co/amp/1820534/prabowo-singgung-tukang-hasut-setelah-sebelumnya-sebut-tolol-dan-goblok-buat-anies) kepada Anies Baswedan atau mengarah padanya, Prabowo kembali mengulangi kata-kata kasar melalui beberapa pepatah nenek moyang dihadapan pendukungnya. Diantara hujatan itu adalah pepatah \"air susu dibalas dengan air tuba\" dan \"Ada juga ajaran nenek moyang kita, hati-hati, anjing saja dikasih makan akan setia, manusia dikasih kebaikan dibalas dengan kedengkian saudara-saudara\" (Lihat: amp.suara.com/kotaksuara/2024/01/13/135230/makna-3-pepatah-yang-diucapkan-prabowo-benarkah-untuk-singgung-anies). Meski untuk ejekan \"anjing\" ini Prabowo tidak berani langsung menyebutkan nama Anies, tapi tafsir yang berkembang ujaran kebencian itu dituduhkan pada Anies. Kenapa? Karena rangkaian kata-kata tersebut bermuara pada kemarahan Prabowo terhadap Anies dalam debat capres ketiga yang lalu. Urusan isu kesetiaan ini diperkuat oleh beberapa petinggi Gerindra, seperti Fadli Zon dan Muzani, yang mengatakan bahwa Anies dibesarkan oleh Prabowo, namun tidak tahu membalas budi. Khususnya dalam kasus Anies didukung Gerindra untuk menjadi Cagub Jakarta. Berkembangnya kebencian Prabowo dan petinggi pendukungnya semakin hari semakin liar. Padahal debat capres sudah selesai seminggu yang lalu. Bahkan, yang paling menghinakan adalah jika Anies dianggap lebih buruk dari anjing. Suatu hujatan yang sangat merendahkan. Benarkah Anies lebih buruk dari anjing? Sehingga perlu merujuk pada pepatah tersebut ADA tiga hal yang perlu direnungkan rakyat Indonesia tentang penilaian tersebut. Pertama, saya dan Mohammad Jumhur Hidayat adalah pendukung Prabowo Subianto yang paling kecewa terhadap Prabowo. Pada 20-21 Mei 2019, tidak seorangpun berani mengambil tanggung jawab untuk memimpin demonstrasi besar-besaran di depan Bawaslu RI menolak kecurangan pilpres. Meskipun massa bergejolak, namun tanpa pemimpin demonstrasi, gerakan aksi tidak mungkin terjadi. Ketika itu ide membawa sengketa ke MK belum menjadi pilihan. Rezim Jokowi saat itu menangkapi orang-orang, antara lain Eggy Sudjana, alm. Lieus Sungkariama dan bahkan memeriksa Amien Rais atas tuduhan makar. Sebab yang dituduhkan adalah pidato-pidato seperti Eggy meneriakkan \"people power\" menolak hasil pemilu. Jumhur Hidayat, atas keputusan rapat yang dihadiri antara lain Sobri Lubis, Habib Muchsin Al Atas, Ahmad Yani serta sebelumnya atas dorongan saya, bersedia menjadi pimpinan aksi. Saat itu memang hanya Jumhur yang berani. Semua ini adalah demi Prabowo Subianto agar hasil pemilu yang memenangkan Jokowi dianulir. Pemanasan massa pendukung Prabowo dilakukan di sebuah markas di jalan Proklamasi. Untuk panggung pertama sekali diresmikan, saya tampil memberikan orasi politik perlawanan. Hari demi hari, malam demi malam, massa mengumpul di sana. Semua ini merupakan persiapan ke arah demo besar 20-21 Mei 2019. Prabowo diharapkan akan berorasi pada tanggal 21/5/2019 di depan Bawaslu. Resiko kematian, khususnya bagi Jumhur yang akan menjadi pemimpin demo 20-21 Mei, sangat besar. Karena, saat itu pasukan bersenjata telah memenuhi daerah Sudirman-Thamrin. Berbagai kawat berduri telah disiapkan aparat. Faktanya memang banyak korban pada rangkaian demontrasi rakyat tersebut, termasuk korban kematian. Jumhur sendiri selamat karena menghentikan aksi pada pukul 6 sore. Kenapa? Khususnya karena Prabowo tidak jadi berorasi. Prabowo ternyata telah memutuskan perkara pilpres di bawa ke MK. Kekecewaan saya, Jumhur, para ulama dan pendukung Prabowo saat itu berlandaskan bahwa seharusnya Prabowo tetap bersikap menolak hasil pilpres. Ternyata bukan saja Prabowo menolak, malah Prabowo melakukan deal politik kepada rezim Jokowi, yang sudah ditentangnya selama 5 tahun. Deal politik tersebut tidak bermusyawarah terlebih dahulu dengan para pendukungnya, khususnya kelompok \"ijtima ulama\" pimpinan Habib Rizieq. Para pendukung Prabowo 2019 kemudian mulai jijik dengannya. Beberapa umpatan dikalangan itu terjadi, seperti \"Dikira Maung, taunya Meong\", gelar si Timbul (meminjam istilah \"timbul\" tenggelam bersama rakyat dalam pidato Prabowo berapi-api di Hotel Sahid), dll. Kedua, Prabowo dalam koalisinya dengan Jokowi tidak menunjukkan \"leadership\" yang tinggi serta tidak menunjukkan janji-janji kampanyenya pada tahun 2014 dan 2019. Diberbagai negara maju, pola hubungan kolaborasi dua kekuatan harusnya membagi \"power\". Namun, Prabowo asyik sekali menjadi \" bawahan loyal\" mantan rivalnya tersebut. Hal ini menjadikan eksistensi pendukungnya menjadi rendah dimata pendukung Jokowi.  Bagi saya dan Jumhur Hidayat yang membuat kami bersumpah untuk tidak pernah mendukung Prabowo adalah soal menjaga demokrasi. Pada saat saya dan Jumhur ditangkap dan dipenjara oleh rezim Jokowi dalam kasus mengkritik RUU Omnibus Law Ciptaker, 2020, seharusnya Prabowo mengingatkan Jokowi bahwa kritik itu dibolehkan. Namun, seperti tidak pernah saling terkait, baik Prabowo maupun partainya tidak sama sekali menyatakan kepedulian. Bahkan, dalam kasus UU Omnibus Law Ciptaker, di mana kaum kapitalis akan seenaknya mendominasi pengeksploitasian sumberdaya nasional bertentangan dengan isi buku Prabowo, Pradoks Indonesia. Buku yang dipuja-puja Prabowo itu adalah buku yang mengkritik kapitalisme. Mengapa ketika saya dan Jumhur ditangkap karena anti kapitalisme Prabowo diam? Ketiga, Dalam kasus kekerasan yang memakan korban jiwa, terkait aksi 20-21 Mei 2019, justru Anies Baswedan yang secara lantang mengunjungi rumah sakit-rumah sakit di mana korban dirawat. Yang paling menghebohkan terutama ketika Anies membocorkan kepada media adanya korban tewas saat itu. Sesuatu yang menurut pemerintah masih rahasia. Pada saat saya dan Jumhur di penjara, Anies Baswedan membantu kecukupan kehidupan keluarga kami. Anies membantu projek air bersih milik Jumhur dan membantu saya tetap tidak dipecat di anak perusahaan DKI. Tentu saja hubungan saya dan Anies bukan sebuah transaksional,  di mana Anies membalas dukungan saya atau saya membalas untuk mendukung dia pada sebuah kontestasi. Hubungan ini adalah hubungan 30 an tahun sejak era Orde Baru, kesamaan sebuah cita-cita, memuliakan bangsa kita. Apakah Anies bisa diilustrasikan seperti  anjing? Saling dukung mendukung dalam politik adalah hal biasa. Apalagi dukung mendukung itu untuk tujuan yang ditentukan, seperti antara Anies dan Prabowo dalam merebut kepemimpinan di Jakarta, 2017. Pada tahun 2017 tentu saja Anies didukung Gerindra. Namun, Gerindra tentu mendukung Anies karena kader Gerindra hanya punya kemampuan untuk menjadi wakil gubernur. Padahal, Gerindra ingin sekali mendukung kader sendiri, yakni Sandiaga Uno, menjadi cagub saat itu. Sebagai mantan menteri dan popularitas sangat tinggi, Anies dibutuhkan untuk memenangkan pertarungan di Jakarta. Apalagi menghadapi Ahok yang didukung penuh Jokowi. Sebagai pola \"power-sharing\" yang adil, tentu saja Gerindra mendapatkan jabatan Wakil Gubernur. Gubernur sendiri \"dimiliki\" koalisi parpol pendukung yakni Gerindra, PKS dan PAN. Aksi saling dukung antara Prabowo dan Anies mirip dengan saling dukung antara Habib Rizieq dkk kepada Prabowo. Ummat Islam yang beroposisi terhadap Jokowi sejak awal, pilgub DKI 2012, berkepentingan berpihak pada Prabowo pada tahun 2014. Begitu juga 2019. Prabowo yang suaranya kecil, 4,5% dan tidak diperhitungkan dalam kancah capres melihat peluang besar dukungan ummat Islam. Sebelumnya di mata kaum nasionalis, Prabowo hanya pantas jadi cawapres saja. Sejak dua kali didukung ummat Islam, vis-a-vis dengan kelompok nasionalis, suara Prabowo meningkat tajam. Partai Gerindra yang merupakan partai gurem menjadi partai besar, naik dari 4,5% (2009) menjadi 11,81 (2014) dan terakhir menjadi 13,58% (2019). Prabowo sendiri menjadi tokoh besar sebagai capres. Tanpa dukungan ulama dan tema kontras identitas (tentunya disadari Prabowo), pastinya Prabowo dan partainya bernasib buruk. Dengan dasar saling mendukung antara Prabowo dan Anies tentu saja Prabowo tidak boleh menuduh Anies tidak tahu membalas budi. Hal ini menjadikan dasar pula bahwa tidak pantas, jika dan hanya jika benar, Prabowo mengambil pepatah anjing itu untuk menilai Anies. Soal lainnya, kata-kata cinta tanah air, yang sering dilontarkan Prabowo, sifatnya perlu diuji publik. Ada satu fase Prabowo dianggap (sekali lagi dianggap) pelanggar HAM dan nir-etika sehingga dipecat dari tentara. Namun, adakalanya Prabowo dipuja-puji sebagai capres. Namun, menuding Anies kurang cinta tanah air juga tidak pantas. Sebab, secara keturunan, Anies dilahirkan oleh pejuang yang belum pernah memberontak terhadap negara. Sebaliknya, Prabowo dilahirkan oleh Sumitro yang pernah dianggap melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. (lihat: historia.id/amp/politik/articles/dugaan-korupsi-menteri-sumitro-6mmZw). Jadi tafsir cinta tanah air masih dapat diperdebatkan secara relatif oleh mereka berdua sebagai keturunan pejuang bangsa. Penutup Pepatah anjing lebih setia yang dilontarkan Prabowo kemarin di Babel, dapat ditafsirkan mengarah ke Anies. Karena sebelumnya Anies disebut goblok dan tolol. Juga penghasut. Meski Prabowo tidak berani menyebutkan pepatah itu ditujukan kepada Anies, namun rakyat perlu dikabarkan bahwa Anies tidaklah seperti itu. Mengungkit hutang budi terlalu naif dalam politik, apalagi terhadap Anies. Prabowo mendukung Anies di Jakarta karena Gerindra tidak punya calon yang pantas menjadi gubernur saat itu. Kemampuan Gerindra hanya sebatas mencalonkan wakil saja.   Begitu juga Prabowo yang partainya menjadi besar karena didukung ulama, dari partai gurem, menjadi partai besar, juga sebuah aksi saling dukung saja. Saat itu memang banyak ulama, khususnya barisan Habib Rizieq, bermusuhan dengan rezim Jokowi. Sehingga ketika Prabowo lenggang kangkung meninggalkan pendukungnya, para ulama tidak bisa berkata-kata. Oleh karena itu, pertarungan politik antara Anies dan Prabowo ke depan harus diletakkan sebagai pertarungan tanpa beban sejarah. Debat dan format debat yang diatur KPU harus dianggap sebagai acuan yang wajar dalam menunjukkan kemampuan logik, dialektika dan retorika. Jika ada yang tidak wajar, KPU dan Bawaslu diminta untuk mengevaluasi dan menilainya. Namun, membuat kemarahan dan hujatan di luar panggung debat tentunya menjadi kurang produktif. Demi kompetisi yang produktif, kata-kata penghinaan \"pepatah anjing\", selain totol dan  goblok, yang ditujukan pada Anies, haruslah dihentikan. Itu sudah di luar kepantasan seorang calon pemimpin bangsa. (*)

Kasus Videotron Mati Menjadi Blunder Baru, Semakin Dihalangi Semakin Viral

Jakarta, FNN – Saat ini, semua hal yang mendekati tanggal 14 Februari, jam berapa pun, patut diperbincangkan dan tidak boleh lolos dari tatapan mata publik. Potensi kecurangan, kekalutan di dalam kabinet, potensi PDIP – Jokowi, dan sebagainya, adalah semua hal sudah diduga dari awal akan terjadi. Seperti kita ketahui bahwa kecurangan-kecurangan mulai makin terbuka. Kalau kecurangan di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, di mana ada Dandim, Kapolres, Pejabat Bupati, dan ada Kejaksaan Negeri yang mengarahkan untuk memilih ke 02, dibantah, maka kasus yang sekarang ini sepertinya sulit dibantah, karena videonya beredar luas ini. Yang satu terjadi di Takalar, Sulawesi Selatan, yang dilakukan oleh Sekdanya, dan satu lagi di Medan, yang dilakukan oleh Kepala Seksi di Dinas Pendidikan. Mereka  terang-terangan menyatakan bahwa mereka semua diminta untuk mendukung 02. Di Takalar dijanjikan bahwa guru-guru honorer akan diangkat. Mereka menyatakan bagaimanapun juga 02 ini akan menjanjikan semacam kesejahteraan buat mereka kalau terpilih. Jadi kecurangan memang dilakukan secara sistematis. “Kita sih senang ada kecurangan itu, karena hal itu menunjukkan ada kecemasan Jokowi. Jadi, sebetulnya itu trade off dengan keadaan sekarang, semakin potensi kecurangan terjadi, semakin menunjukkan bahwa kepanikan di istana menjadi-jadi. Jadi semua ada asbabun nuzulnya, ada dalil yang mesti kita ucapkan,” ujar Rocky Gerung di kanal you tubenya Selasa (17/1), menanggapi kecurangan di atas. Kepentingan kita adalah menjaga kecurangan itu, lanjut Rocky, menjaga supaya kecurangan itu tidak terjadi karena ini demokrasi, malu nanti di mata internasional. Walaupun pidato atau keterangan Muldoko tidak ada kecurangan, karena Jokowi sudah berjanji untuk menjaga demokrasi. Jadi, semua yang diterangkan oleh Muldoko itu normatif saja. Ternyata, mereka tidak hanya curang, tapi juga menghambat Anies, misalnya di beberapa daerah heli yang ditumpangi Anies tidak bisa mendarat. Yang terbaru dan menjadi blunder baru adalah Kepop yang punya akun Aniesbabel rupanya mereka melakukan fun rising dan berhasil mengumpulkan uang kemudian membuat dan memasang videotron Anies di Bekasi dan Jakarta. Kontraknya tanggal 15 - 21 Januari, tapi baru tanggal 15 Januari sekaran sudah diturunkan, tanpa diberitahu penjelasannya. Yang kemudian menjadi blunder justru mereka sebenarnya cuma memasang videotron di Jakarta dan Bekasi, tetapi karena diturunkan, sekarang malah viral di seluruh Indonesia. “Itu dungunya, mereka yang berupaya untuk mencari cara menghalangi perubahan. Dengan berbuat semacam itu, justru makin menjadi-jadi kecurigaan orang. Mestinya biasakan saja untuk membuat counter event, bukan menghentikan sebuah event. Semakin dihalangi, semakin orang mencari jalan. Tidak mungkin banjir itu ditahan oleh bendungan. Justru karena bendungannya bobol maka jadi banjir,” uajr Rocky. “Jadi, kelihatannya sudah banjir informasi bahwa akan ada kecurangan. Karena itu, semua pihak yang menginginkan demokrasi harus siap-siap, begitu banjir itu dihalangi, viralkan dalam bentuk kapiler-kapiler,” tegas Rocky. (ida)

Kecurangan Pemilu yang Dilakukan Para Pejabat, Bentuk Loyalitas Keliru pada Jokowi

Jakarta, FNN – Berbagai kecurangan Pemilu yang makin lama semakin nyata, telah dilakukan oleh berbagai pihak. Yang memprihatinkan, para pejabat yang harusnya mengabdi pada masyarakat dan harus bersikap netral, juga melakukan kecurangan untuk pasangan calon tertentu yang sering dikaitkan dengan paslon 02. Sepertinya mereka sudah tidak peduli lagi soal diawasi rakyat atau tidak. Buat Mereka, yang penting mereka menunjukkan loyalitasnya pada Presiden Jokowi, karena bagaimanapun banyak pemimpin daerah (Bupati dan Gubernur) yang pengangkatannya dengan ditunjuk langsung tanpa melalui pilkada untuk mengisi pergantian antarwaktu. Mereka tetap memperoleh hak yang sama dengan para bupati atau walikota dan gubernur yang dipilih melalui Pilkada. Jadi, kecurangan yang mereka lakukan itu semacam balas budi. Bahwa kemudian mereka disoroti oleh rakyat, mereka tidak peduli. Toh tidak akan ada tindakan apa pun juga terhadap mereka. Sebagai contoh, ketika Gibran bagi-bagi susu di car freeday, pejabat sementara Gubernur DKI Heru Budi Hartono hanya mengatakan bahwa dirinya tidak tahu karena sedang tidur. “Itu yang di dalam teori disebut sebagai the banality of evil ‘kedangkalan kejahatan’.  Bahkan, dia tidak tahu bahwa dia itu berbuat jahat. Jadi dia anggap biasa saja pamer-pamer. Itu fenomena yang terjadi tahun ‘39 ketika banyak dosen Universitas di Jerman itu mengelu-elukan Hitler yang akhirnya mereka baru paham itu setelah Hitler menjadi tiran. Karena Hitler dulu dipilih secara demokratis lalu semua merasa bahwa Hitler hebat,” ujar Rocky Gerung dalam Kanal You Tube Rocky Gerung Official edisi Senin malam 15/1). “Jadi, gejala yang kita sebut authoritarian personality itu akhirnya diidap juga oleh pejabat-pejabat bahkan di tingkat kecamatan. Jadi, pameran-pameran arogansi itu akan diingat sebagai bagian yang orang tidak bisa mengerti bagaimana pejabat di depan mata, dia tahu ada pelanggaran tapi dia masih bisa tunduk pada perintah atasan. Kan mestinya dia sudah desersi itu, keluar dari situ,” tambah Rokcy . Keadaan ini mengingatkan kita kalau kita flashback maka persiapan kejahatan yang dilakukan pada tahun 2024 ini sudah terencana sangat rapi, karena para pejabat-pejabat kepala daerah itu diangkat karena ditunjuk oleh pemerintah. Total ada 276 gubernur atau setidaknya 60 persen pejabat yang diangkat dengan ditunjuk oleh pemerintah. “Itu bayangkan pejabat diangkat untuk periode yang disebut sementara, tapi 2,5 tahun. Jadi, itu separuh dari tahun Pemilu. Bagaimana mungkin pejabat tanpa legitimasi dipilih 2,5 tahun dan dikasih iming-iming jabatan segala macam, maka tentu dia akan mengabdi pada yang mengangkat. Dia tidak akan mengapdi pada rakyat yang memang tidak memilih dia,” ungkap Rocky. Diam-diam, tambah Rocky, aparat itu sudah dikondisikan untuk menjadi banal, jadi orang yang lumpuh yang mudah dikendalikan, dan jadi budak dari ambisi seseorang. Itu biasa dalam sejarah, karena tidak ada yang menegur. Dan saling permissiveness itu yang memungkinkan mereka saling berternak keuntungan, berternak kekuasaan, dan beternak kejahatan.  Peternakan kejahatan itu yang akan jadi maksimal karena kemampuan masyarakat sipil dianggap tidak memadai untuk mengawasi mereka. (ida)

Pilpres Pasti Curang karena Jokowi Menampilkan Diri Sebagai Penentu Kemenangan

Jakarta, FNN -  Sampai saat ini, berbagai tanda dan fakta kecurangan Pemilu semakin nyata ditunjukkan oleh berbagai media sosial. Kecurangan Pemilu bukan lagi sebuah kemungkinan, tapi sebuah kenyataan. Contoh kecurangan terbaru yang saat ini sedang heboh adalah sebuah unggahan di akun tiktok National Corruption Watch, sebuah lembaga yang aktif menyoroti soal korupsi di Indonesia. Akun tiktok tersebut menyatakan bahwa mereka mengaku mendapat bocoran audio percakapan antara Kapolres, Pejabat Bupati, Kepala Kejaksaan Negeri, dan Dandim di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, yang berisi serangan fajar, atau mobilisasi untuk mendukung paslon 02. Tetapi, soal ini dibantah oleh Kapuspen TNI dan Kajati Sumatera Utara. Menanggapi hal tersebut, Rocky Gerung di kanal You Tubenya, Rocky Gerung Official edisi Senin Malam, (15/1) mengatakan, “Pertama, kita mesti berpikir terbalik bahwa semua curang, kecuali dibuktikan sebaliknya. Artinya, kita mesti pakai dalil semua curang, kecuali dibuktikan terbalik. Kedua, prinsip itu inline dengan yang ditemukan oleh pengamat-pengamat pembuat indeks korupsi internasional, yang menganggap bahwa indeks korupsi kita 33. Itu artinya, dari 100 orang Indonesia, hanya 33 yang jujur. Itu artinya, 70% pejabat itu sudah pasti koruptor. Jadi, dari segi statistik, sudah memungkinkan kita menduga bahwa ada watak korupsi di kalangan pejabat.” Apalagi kalau menyangkut Pemilu, lanjut Rocky, karena Pemilu itu korupsi kekuasaan, korupsi anggaran, dan segala macam akan terjadi. Karena memang itu seolah-olah dibenarkan untuk pemenangan salah satu tim, yang dalam beberapa kasus dilihat sebagai 02. Kalau membantah boleh saja, tetapi fakta itu tidak membatalkan asumsi umum bahwa akan terjadi kecurangan. Oleh karean itu, publik harus mengawasi TPS 24 jam. “Tetapi, kita lihat lagi bagaimana Jokowi ingin menampilkan diri sebagai penentu kemenangan. Jadi Jokowi bertindak sekaligus sebagai ketua KPU, ketua Bawaslu, dan sebagai Jaksa Agung sebetulnya. Jokowi juga merangkap Jaksa Agung dan Kapolri,” tegas Rocky. “Ini semacam sinisme satire orang untuk melihat bagaimana Jokowi mampu untuk menyulap Indonesia ini dari Republik menjadi Kerajaan,” lanjutnya. Kalau peristiwa di Sumatera utara di atas kemudian dibantah, bagaimana dengan peristiwa yang terjadi di Bekasi, yang sekarang sedang diperiksa oleh Bawaslu. Peristiwa di Bekasi menunjukkan bagaimana  para pejabat bupatinya bermain bola dengan para camat dan anehnya semua memakai kaos 02 yang mereka tunjukkan ketika berfoto. Mereka mengatakan tidak ada urusannya dengan pemilu, cuma urusan olahraga. “Ini bagian yang membuat heran, buat apa dipamerkan padahal mereka bisa diam-diam melakukan kejahatan, tapi ini justru dipamerkan. Jadi, semacam ketidaksabaran untuk mengatakan bahwa kami memang sudah berpihak. Jadi, ini nantangin rakyat namanya. Jadi, festival of arrogance ‘perayaan arogansi’ karena di lapangan bola, mesti terlihat,” ujar Rocky. Ini juga soal yang dideteksi oleh publik internasional bahwa Indonesia memang akan mengalami kekacauan dan potensi chaos itu akan terjadi, lanjut Rocky, karena orang akhirnya menyimpan kecurigaan maksimal bahwa istana memang merekayasa, uangnya tidak terbatas, pengerahan aparat tak terbatas. “Jadi, kemampuan kita untuk mendeteksi kerawanan politik dan kecurangan politik sudah termanifestasi dalam bukti fakta di lapangan, bahkan di lapangan bola, dibuka pada umum,” ujar Rocky. (ida)

Di Depan Petani Purbalingga, Ganjar: Saya Ingin Memastikan Suara Kita Utuh, Solid, dan Bertambah

Purbalingga | FNN  - Calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo kampanye blusukan di Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin, untuk mengamankan suara pemilih di provinsi tersebut. \"Lumbung suara seperti di Jateng, itu harus kami jaga, jangan sampai diambil orang. Saya ingin memastikan suara kita utuh, solid, dan bertambah,\" kata Ganjar saat bertemu kelompok tani, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), tokoh agama, dan tokoh masyarakat di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Senin. Usai acara tersebut, Ganjar lalu berdialog dengan kalangan milenial, generasi Z, dan pemengaruh media sosial se-Purbalingga. Ganjar lalu mengunjungi pabrik wig di PT Bintang Mas Triyasa, Kabupaten Purbalingga, dan berdialog dengan para pekerja produsen rambut palsu tersebut. \"Ini yang rambut putih, rambut saya, ya?\" kelakar Ganjar sembari menunjuk wig yang dibuat pekerja. Di pabrik tersebut, sejumlah pekerja perempuan tampak meminta swafoto bersama Ganjar Pranowo. Kemudian, Ganjar bertolak menuju Desa Kaliwungu untuk berbincang dengan para penderes kelapa. Ganjar kemudian mengunjungi pabrik garmen PT Purnama Asih Surya untuk berdialog dengan sekitar 850 pekerja di Desa Nangka Sepet, Masaran, Kabupaten Banjarnegara. Senin sore, Ganjar akan bertemu kalangan mahasiswa, milenial, generasi Z, dan pemengaruh media sosial Banjarnegara di Aula Joglo, Pondok Pesantren Alif Baa, Desa Mantrianom, Kecamatan Bawang, Banjarnegara. Pada Senin malam, Ganjar beserta rombongan akan menghadiri makan malam bersama Tim Pemenangan Cabang (TPC) Ganjar-Mahfud, caleg partai koalisi, dan relawan di kediaman Gus Hayat di Kecamatan Bawang, Banjarnegara. Ganjar juga akan blusukan di Desa Karang Anyar dan menginap di rumah penduduk. (ant/ida)