ALL CATEGORY

Mobilisasi Kepala Desa dan Agenda Presiden Tiga Periode

Oleh Gde Siriana - Direktur Eksekutif INFUS dan penulis buku \"Keserakahan Di Tengah Pandemi. PADA awal Desember 2021 Ketua Umum Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), Surta Wijaya, menyatakan bahwa organisasinya akan menganugerahi Presiden Joko Widodo dengan gelar \"Bapak Pembangunan Desa\" dan \"Bapak Kepala Desa Senusantara\". Manuver Apdesi untuk terlibat dalam konstelasi politik nasional kemudian berlanjut. Pada 29 Maret lalu, Apdesi mengklaim bahwa setelah Idul Fitri, seluruh kepala desa berencana untuk mendeklarasikan dukungan \"Jokowi tiga periode\". Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, tentu saja sumringah dan para pembantunya, seperti Staf Khusus Presiden, Ngabalin, dan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, menyambut umpan lambung ini dengan smash menukik untuk memberi pembenaran pada dukungan big data Luhut, yang telah disangkal berbagai pihak. Luhut mengklaim punya big data yang menunjukkan bahwa 110 juta warganet ingin pemilihan umum 2024 ditunda. Tentu saja, memobilisasi kepala desa untuk mendukung Jokowi tiga periode ini sudah sangat telanjang di mata publik. Menteri Desa, Abdul Halim Iskandar, adalah kakak kandung Cak Imin, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa yang melontarkan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden. Adapun Wakil Menteri Desa, Budi Arie Setiadi, adalah Ketua Umum Projo, relawan pendukung Jokowi pada pemilihan presiden 2014 dan 2019. Maka, sudah jelas mengapa para kepala desa dikerahkan untuk melancarkan agenda Jokowi tiga periode ini. Sejauh ini, tidak ada teguran atau kemarahan yang terlontar dari Jokowi untuk menertibkan manuver para pembantunya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gerakan Jokowi tiga periode atau pun perpanjangan masa jabatan presiden ini merupakan gerakan yang sistematis dan dikendalikan dari dalam Istana. Mobilisasi kepala desa tampaknya merupakan upaya untuk membentuk opini publik. Mobilisasi dukungan akar rumput ini akan membelah masyarakat. Misalnya, beberapa pihak dalam Apdesi menyangkal klaim bahwa organisasi itu mendukung Jokowi tiga periode. Nafsu kekuasaan ternyata tidak mempedulikan kohesi sosial masyarakat dan bahkan cenderung memecah belahnya. Posisi Presiden Jokowi sudah terjepit akibat agenda ini. Sikap Megawati yang menolak penundaan pemilihan umum juga memperlebar keretakan di dalam lingkaran kekuasaan. Pembatalan agenda tiga periode dan penundaan pemilihan umum juga akan lebih merugikan Jokowi, terutama terkait dengan calon-calon yang dia kehendaki untuk memenangi pemilihan presiden 2024. Ini tampaknya berhubungan dengan sindrom petahana atau sindrom periode kedua. Petahana memiliki impian untuk terus dikenang oleh rakyat, dipuja sebagai pemimpin yang berhasil, dan mewariskan kejayaan. Ia juga ingin terus menjadi bagian dari orang yang mengatur kekuasaan berikutnya. Hal ini pernah terjadi juga ketika lingkaran kekuasaan SBY mencoba menggoda SBY untuk tiga periode tetapi SBY berhasil menolak gagasan itu. Kini Jokowi tergoda dan bahkan sudah terjebak dan tersandera oleh lingkarannya sendiri ketika anak-mantunya didorong menjadi kepala daerah—suatu hal yang belum pernah terjadi di era presiden sebelum-sebelumnya. Kini, gagasan menambah masa kekuasaan presiden sudah turun pada tataran operasional, meski harus membeli dukungan publik maupun kader partai pemilik suara di DPR demi menyiasati konstitusi. Gagasan perpanjangan masa jabatan ini juga akan lebih menarik minat kader partai yang merupakan petahana di DPR dan DPD karena masa jabatan mereka pun akan ikut diperpanjang. Singkatnya, SPS: semua petahana senang. Jika agenda Jokowi tiga periode atau perpanjangan masa presiden gagal, sudah disiapkan rencana cadangan untuk menempatkan orang-orang pilihan sebagai penggantinya melalui berbagai mekanisme yang mungkin. Dengan demikian, dua agenda tersebut tampaknya akan terus dipaksakan semaksimal mungkin, apa pun risiko dan berapa pun biayanya. Yang perlu disadari para elite dan tokoh masyarakat desa adalah bahwa pertarungan elite yang merambah ke akar rumput akan menimbulkan konflik horisontal, yang sangat memungkinkan menimbulkan pertumpahan darah. Di desa juga ada kader-kader partai politik dan mungkin akan terjadi konflik di antara mereka sebagai turunan dari sikap partai di pusat. Namun, tidak semua hal dapat dipertukarkan. Loyalitas masyarakat pada konstitusi, akhlaknya, dan harapan tentang hari esok yang lebih baik tidak selalu dapat ditukar dengan materi yang ditawarkan para elite. Memobilisasi masyarakat, yang sudah terbelah sejak pemilihan presiden 2014, akan sangat berbahaya karena akan berbenturan dengan kelompok-kelompok penjaga konstitusi yang juga sudah bergerak, termasuk aksi-aksi mahasiswa. Potensi konflik sosial antara pendukung dan penolak agenda Jokowi tiga periode atau perpanjangan masa presiden akan dapat memicu kekacauan serta ketidakstabilan politik dan keamanan. Inilah yang harus dicegah sedini mungkin. (*)

Pilpres 2024, Titik Balik Indonesia Bersama Anies Baswedan

Oleh Asyari Usman - Jurnalis Senior FNN LELAH dan jenuh. Bercampur marah juga. Rata-rata rakyat merasa seperti itu. Jengkel sekali melihat kelakuan para penguasa. Dari hari ke hari mereka semakin bebal. Bukan penderitaan rakyat yang menjadi perhatian. Bukan keselamatan Indonesia yang mereka pikirkan. Bukan kedaulatan negara yang mereka khawatirkan. Tidak pula kegagalan yang mereka sesalkan. Melainkan, perpanjangan masa kekuasaan yang malah diperjuangkan siang-malam. Dengan segala cara, para penguasa melancarkan macam-macam strategi dan kelicikan. Agar pemilu bisa ditunda 2-3 tahun. Bahkan, agar masa jabatan presiden bisa lebih dari dua periode. Mereka tak peduli UU tentang pemilu. Mereka juga anggap enteng UUD yang mengekang presiden dua periode. Sungguh rezim ini ugal-ugalan dan sangat berbahaya. Semua kita paham mengapa ini terjadi. Yaitu, karena ada hajat pribadi Presiden Jokowi. Plus, kerakusan para oligarki cukong. Keinginan pribadi Jokowi dan kerakusan oligarki berkolaborasi membentuk kekuatan dahsyat. Tidak tanggung-tanggung. Mereka menggunakan kendaraan otoriter di atas jalan demokrasi. Melihat ke belakangan, rezim ini menyiakan-nyiakan waktu cukup banyak. Dari kaca mata kepentingan rakyat, 7-8 tahun waktu terbuang. Memang iya, dari kaca mata kepentingan pemodal rakus, mereka telah menumpuk banyak kekayaan pribadi. Banyak yang pantas diduga menyimpan kekayaan di luar negeri. Sebaliknya, rakyat semakin susah. Keperluan hidup mereka melonjak harganya. Bahkan harus antre untuk mendapatkannya. Itu terjadi tanpa rasa bersalah di pihak penguasa. Pemerintah pamer membangun fasilitas yang tidak atau belum diperlukan publik. Presiden Jokowi senang proyek-proyek besar. Beban utangnya harus dipikul rakyat. Aspek lainnya, Pemerintah tidak serius memberantas korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Bahkan, para penguasa yang sangat tinggi banyak yang melakukan KKN itu. Pegiat-pegiat yang mencoba membongkar praktik busuk para penguasa itu dijadikan tersangka. Di ruangan lain, para pemodal menguras kekayaan bumi Indonesia tanpa peduli kerusakan alam. Tanpa perasaan tentang generasi penerus. Mereka ini mengajak para pejabat negara untuk ikut ambil bagian. Para pejabat yang seharusnya mencegah eksploitasi semena-mena, malah masuk ke lingkaran jahat itu.Mereka melindungi operasi pengurasan yang lakukan oleh pengusaha-pengusaha konglomerat. Jadi, tidak ada cerita keadilan sosial. Dan jangan harapkan keadilan hukum. Slogan “semua sama di mata hukum” menjadi sekadar memori pelajaran tentang idiom. Kesewenang-wenangan seperti sekarang bisa berlanjut sekian tahun lagi kalau rakyat tidak waspada. Rezim zalim ini jangan sampai diberi waktu tambahan maupun periode ketiga. Pilpres 2024 haruslah menjadi titik balik (turning point) Indonesia. Hanya ada dua pilihan. Semakin hancur berantakan, atau memulai pekerjaan rehabilitasi di bawah pemimpin baru. Indonesia memiliki figur yang mampu memimpin rehabilitasi (perbaikan) itu. Tetapi, rakyat haruslah paham atau diberi pemahaman tentang tokoh yang memiliki kapabilitas, kapasitas dan integritas untuk memimpin misi ini. Kita punya sejumlah pilihan. Ada Anies Baswedan, ada Ganjar Pranowo, ada Ridwan Kamil, ada Puan Maharani, dan Prabowo Subianto. Rakyat tahu siapa tokoh yang layak. Yang terbaik. Hari ini, sesuai fakta, yang banyak menjadi perbincangan publik di warung kopi, media utama dan berbagai platform media sosial adalah Anies Baswedan (ABW). Ini menunjukkan rakyat sepakat bahwa Indonesia harus ”balik kanan” dengan nakhoda ABW. Rakyat menginginkan titik balik Indonesia bersama Anies, 2024.[]

Selamat Ginting Ingatkan Andika, Komunis Itu Bahaya Laten

Jakarta, FNN – Keputusan kontroversial dalam rapat panitia penerimaan prajurit TNI tahun anggaran 2022 yang mencabut aturan larangan anak cucu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi prajurit TNI, terus mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting mengingatkan Panglima TNI Andika Perkasa bahwa komunis menjadi musuh laten bagi TNI sepanjang masa. Demikian benang merah yang bisa disimpulkan dari perbincangan Selamat Ginting dengan wartawan FNN, Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Kamis, 31 Maret 2022. Ginting mengingatkan  bahwa TNI memiliki Sapta Marga, terutama marga pertama dan kedua. Marga pertama ‘Kami warga negara kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila’ lalu marga yang kedua ;Kami patriot Indnesia pendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggungjawab dan tidak mengenal menyerah.’ “Jadi, ideologi TNI adalah Pancasila, tidak bisa menerima ideologi lain selain Pancasila. Bahkan, di marga kedua itu pembela ideologi, bertanggungjawab serta tidak mengenal menyerah. Jadi, TNI itu soldier never die, maka ketika pensiun pun tetap menjadi patriot pembela ideologi negara,” paparnya. Ginting menegaskan pentingnya terus waspada terhadap PKI, sebab sejarah telah membuktikan PKI berulangkali mencoba menguasai Indonesia dengan memusuhi TNI AD dan umat Islam. “Kita tahu TNI pernah menjadi musuh utama PKI. Musuh utama PKI ada dua yakni, TNI Angkatan Darat dan Islam. TNI juga selalu mengingatkan pada bangsa dan negara bahwa ada beberapa pemberontakan yang dilakukan  oleh PKI yakni tahun 1926, tahun 1948, dan tahun 1965,” paparnya. Ginting menyatakan bahwa pada tahun 1926 tokoh-tokoh PKI seperti Muso kabur ke Uni Soviet lalu tahun 1948 muncul lagi sehingga TNI mengingatkan bahwa, PKI tidak pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945, karena tahun 1948 mereka baru balik ke Indonesia. Kemudian tahun 1965 terjadi Gerakan 30 September oleh PKI. “Jadi rentang 20 tahunan itu selalu terjadi, sampai kemudian, TNI mengindikasikan PKI bermain ketika era reformasi. Mereka bersembunyi melalui partai atau ormas dan segala macam kelompok. Jadi bagi TNI, komunis itu bahaya laten. Sampai sekarang tidak pernah dicabut itu,” paparnya paf. Menurut Ginting upaya menggusur Tap MPRS No. 25 tahun 1966 dulu juga sempat diwacanakan oleh Presiden Gus Dur. Mengetahui hal itu, TNI langsung bergerak melakukan penolakan, bahkan sampai Menkumham Yusril Ihza Mahendra melawan Gus Dur.  Kalau Gus Dur tetap ngotot maka bukan tidak mungkin TNI beserta kelompok Islam akan menggulingkannya, karena bahaya sekali. Tak hanya itu, pada 2003 ketika Megawati menjadi presiden, ada keinginan yang kuat dari PDIP untuk menghapus Tap MPRS No. 25 tahun 1966 ini, tetapi dia harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang menentangnya. Saat itu masih ada fraksi ABRI, fraksi Utusan Golongan, fraksi Golkar dan fraksi Reformasi termasuk fraksi PPP di DPR. Dan di sini dalam Panitia AdHoc-2, PDIP bahkan ngotot ingin melakukan voting. Upaya mencabut Tap MPRS ini sudah berulangkali dilakukan. “Sekarang repotnya TNI dan Polri tidak ada di Parlemen dan MPR seperti dulu.  Generasi TNI sekarang perlu menyimak bagaimana tahun 1960-1961 muncul organisasi SOKSI yang dipimpin oleh Brigjen Suhardiman, Kosgoro dipimpin oleh Brigjen Mas Isman lalu MKGR oleh Brigjen Sugandhi,” paparnya. Hal ini adalah upaya mereka ketika Soekarno sudah menggaungkan Nasakomisasi. “Jadi, TNI AD betul-betul melawan konsep Nasakom Bung Karno yang ujung tombaknya adalah komunis. Jadi bagi TNI AD, Soekarno sudah menyimpang dari Sapta Marga itu,” tegasnya. Ginting menegaskan, SOKSI memiliki beberapa organisasi underbow untuk melawan PKI karena pada waktu itu PKI berusaha untuk mempercepat Pemilu. “Mereka mendesak tahun 1963 pemerintah melakukan Pemilu, bahkan DN Aidit, Ketua CC PKI mengtakan oke soal Pancasila, Pancasila adalah pemersatu bangsa, tetapi kalau bangsa sudah bersatu Pancasila tidak diperlukan lagi,” tegasnya. Saat itu, katan Ginting,  ada kekhawatiran dari jenderal-jenderal Angkatan Darat untuk melawan PKI, sebab kalau Pemilu dilakukan pada 1963, maka PKI menjadi pemenang, karena beberapa partai sudah tercerai berai, lantaran ada konflik di internal sejumlah partai. Harus diingat bahwa Pemilu 1955 PKI menempati urutan keempat, setelah PNI 22 persen, Masyumi 20persen, NU 18 persen, dan PKI 16 persen. Padahal, tahun 1948 baru memberontok, 7 tahun kemudian sudah menempati urutuan keempat. Ini artinya PKI cepat sekali melakukan konsolidasi.   Kewaspadaan terhadap bahaya laten PKI dipantau terus oleh organisasi-organisasi underbow Golkar. “Tahun 1964 organisasi seperti SOKSI bersatu dalam Sekber Golkar untuk melawan PKI. Ini yang menjadi cikap bakal dari Golkar. Lahirnya Golkar tidak bisa dipisahkan dari TNI AD melawan PKI. Cerita ini yang seharusnya tetap muncul pada generasi TNI sekarang,” pesannya. Intinya, Ginting berpesan, TNI tidak boleh merekrut orang yang terpapar ideologi selain Pancasila. “Indonesia punya pengalaman bagaimana TNI menghadapi ideologi komunis, liberalis, Islam radikal DI/TII dan lainnya. TNI adalah institusi yang memegang ideologi Pancasila, berbeda dengan militer negara-negara lain. Makanya TNI AD sangat keras menentang Nasakomisasi. (ida, sws) 

Langgar Kampung Jawa

Oleh Ridwan Saidi - Budayawan SETELAH serangan terhadap Kalapa dari gerombolan tak dikenal pada tahun 1540, walau kerusuhan dengan pembakaran Pasar Pisang di Jalan Kunir dapat diatasi, Syahbandar Kalapa ke Sumedang menemui Prabu Geusan Ulun. Syahbandar Wa Item bermaksud minta bantuan Prabu agar dapat kontak dengan Sultan Mataram agar sudi pasukan Mataram memperkuat pertahanan Kalapa. Ternyata Mataram bersedia. Pasukan Mataram ditempatkan di sebuah areal di balik bukit Tambora. Nama tempat satu-satunya yang ada di situ Pekancilan, kemudian Gg Kancil, jalan tembus di celah2 bukit menuju Pasar Pagi. Tempat ini kemudian dikenal sebagai Kampung Jawa. Ini tempat sekitar pelabuhan Kalapa yang merujuk etnik lokal Jawa. Etnik lokal lain yang menjadi toponim di sekitar labuhan Kalapa: Banda, Maluku, di samping tentu native Betawi. Kampung-kampung merujuk nama asal migran dan etnik: 1. Yapat Embrat: Moro dan Amrat Oman 2. Beos, hunian orang Bey, Turki 3. Tana Mera, orang Maya 4. Brok, atau Berok, hunian orang Bir, Turki. 5. Kampung Asem, hunian orang Achem, Aljazair. 6. Pekojan, hunian orang Koja, Malabar, India. 7. Majakatera, Daleman di Kota Inten, dan Kapuk Muara hunian native Betawi 8. Roa Malaka, hunian Melayu Malaka. 9. Sionka, dibaca Siongka, hunian orang Arya penganut Zion. 10. Macao Po, hunian orang Portugis dari Macao. 11. Kampung Bandan, hunian orang Banda. Bandan dan Banda soal logat. 12. Kampung Jawa hunian tentara Mataram dan keluarga. Pemukiman etnik lokal hanya Jawa dan Banda sampai dengan abad XVII M, selain native Betawi, tentunya. (*)  

Desa yang Terusik Jokowi Tiga Periode

Oleh Gde Siriana - Direktur Eksekutif INFUS dan penulis buku \"Keserakahan Di Tengah Pandemi\" PADA awal Desember 2021 Ketua Umum Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Surta Wijaya menyampaikan bahwa APDESI akan menganugerahi Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai \"Bapak Pembangunan Desa\" serta \"Bapak Kepala Desa Se-Nusantara\".  Manuver APDESI untuk terlibat dalam konstelasi politik nasional berlanjut. Pada 29 Maret 2022 APDESI mengklaim setelah Idul Fitri,  seluruh kepala desa berencana mendeklarasikan dukungan untuk Presiden Joko Widodo 3 periode.  LBP (Luhut Binsar Panjaitan) tentu saja sumringah, dan para pembantunya seperti Stafsus Ngabalin dan Menteri Investasi Bahlil menyambut umpan lambung ini dengan smash menukik demi memberi pembenaran pada dukungan Big Data yang diklaim LBP, yang telah disangkal berbagai pihak. Sementara Kemendagri masih malu-malu mendukung secara terbuka, menyatakan menyangkal terlibat dalam operasi mobilisasi Kepala Desa. Tentu saja manuver memobilisasi kepala desa untuk mendukung Jokowi Tiga Periode sudah sangat telanjang di mata publik. Menteri Desa Abdul Halim Iskandar adalah kakak kandung Cak Imin, Ketua Umum PKB yang melontarkan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden. Sedangkan Wamen Desa Budi Arie Setiadi adalah ketua umum Projo, relawan pendukung Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019. Maka tidak perlu lagi diperdebatkan mengapa kepala desa ikut-ikutan dikerahkan demi melancarkan agenda Jokowi Tiga Periode. Jika melihat sikap Presiden Jokowi yang marah terhadap WAG TNI yang masih mempersoalkan IKN dengan alasan itu sudah diputuskan pemerintah dan DPR, maka tentunya konsistensi sikap Jokowi juga diterapkan kepada para pembantunya yang melontarkan gagasan Tiga Periode, bilamana pernyataan Jokowi taat konstitusi adalah benar dan dapat dipercaya publik. Yang terjadi adalah tidak satupun teguran atau kemarahan yang terlontar dari Jokowi untuk menertibkan manuver para pembantunya. Apalagi tindakan mencopot mereka dari jabatan.  Jadi dapat disimpulkan bahwa gerakan Jokowi tiga periode atau pun perpanjangan masa jabatan presiden, yang saya singkat menjadi GJTP/PMJP merupakan gerakan yang sistematis dan dikendalikan oleh istana. Menarik untuk mengamati bahwa para kepala desa dimobilisasi untuk kepentingan politik elit di pusat,  selain mobilisasi ormas dan kelompok/golongan lainnya. Karena meskipun pertarungan pamungkas nya akan terjadi di DPR/MPR, dukungan formal, meskipun hanya klaim dan tidak mencerminkan sikap akar rumput, dirasakan perlu oleh GJTP/PMJP untuk membentuk opini publik.  Yang patut dikritisi adalah sikap memobilisasi dukungan akar rumput dilakukan oleh instrumen kekuasan, yang tentu saja ini akan membelah masyarakat. Misalnya beberapa pihak dalam APDESI menyangkal klaim bahwa APDESI mendukung GJTP/PMJP. Hal yang sama juga terjadi ketika mahasiswa mengkritisi kelompok mahasiswa yang tergabung dalam Ormas Cipayung Plus menemui Presiden Jokowi di Istana. Meskipun yang disampaikan adalah dukungan pada proyek IKN dan puja-puji  kepada Jokowi, tentu saja tidak menutup kecurigaan sebagai bagian dari dukungan kepada GJTP/PMJP.  Jadi nafsu kekuasaan istana tidak lagi memperdulikan kohesitas kehidupan sosial masyarakat. Bahkan cenderung memecah belah masyarakat. Saya melihat, posisi presiden Jokowi sudah terjepit akibat agenda ini. Dalam lingkaran kekuasaan, sikap Megawati yang menolak GJTP/PMJP bagaimanapun juga telah memperlebar keretakan yang sebelumnya sudah ada. Sedangkan membatalkan GJTP/PMJP juga akan lebih merugikan presiden Jokowi terutama terkait dengan calon-calon yang dikehendaki Jokowi untuk memenangkan Pilpres 2024. Landasan teorinya adalah Sindrom Petahana atau Sindrom Periode Kedua. Petahana memiliki impian untuk terus dikenang oleh rakyat, dipuja puji sebagai pemimpin yang berhasil dan mewariskan kejayaan. Juga ingin terus menjadi bagian dari God Father yang mengatur kekuasaan berikutnya. Hal ini pernah terjadi juga ketika lingkaran kekuasaan SBY mencoba menggoda SBY untuk tiga periode, tetapi SBY berhasil menolak gagasan itu. Kini Jokowi tergoda. Bahkan sudah terjebak dan tersandera oleh lingkarannya sendiri, ketika anak-mantunya dikarbitkan jadi kepala daerah. Suatu hal yang belum pernah terjadi di era presiden sebelum-sebelumnya.  Sindrom Petahana Jokowi bukan lagi sekedar gagasan. Kini gagasan menambah masa kekuasaan presiden sudah turun pada tataran operasional meski harus membeli dukungan publik maupun kader partai pemilik suara di DPR demi mensiasati konstitusi. Terkait membeli kader-kader partai, gagasan perpanjangan masa jabatan presiden akan sangat lebih menarik bagi kader partai yang merupakan petahana di DPR. Juga petahana di DPD. Karena masa jabatan mereka pun ikut diperpanjang sepaket dengan presiden. Singkatnya SPS, semua petahana senang. Jika GJTP/PMJP gagal, sudah disiapkan rencana cadangan untuk menempatkan orang-orang pilihan sebagai penggantinya melalui berbagai  mekanisme apapun yang mungkin terjadi bilamana terjadi deadlock politik yang menyebabkan peralihan kekuasaan ataupun mekanisme Pilpres 2024. Jadi dengan demikian saya memandang GJTP/PMJP akan terus dipaksakan semaksimal mungkin, apapaun resiko dan berapapun biayanya. Sepertinya publik akan sia-sia berargumen bahwa menurut Undang-undang Kepala Desa tidak boleh berpolitik praktis. Jangankan melanggar UU, konstitusi pun dilawan oleh GJTP/PMJP. Yang perlu disadari para elit dan tokoh masyarakat desa adalah bahwa pertarungan elit ketika di bawa ke akar rumput akan menimbulkan konflik horisontal, yang sangat memungkinkan menimbulkan pertumpahan darah. Dalam kehidupan politik desa, juga ada kader-kader partai politik, yang memungkin terjadi konflik di antara mereka sebagai turunan dari sikap politik yang tegas antara partai pendukung GJTP/PMJP dan partai yang menolak. Misalnya kader-kader PDIP yang loyal dengan Ketumnya Megawati Soekarnoputeri akan berkonflik dengan kader-kader PKB atau Golkar yang mendukung GJTP/PMJP.  Sangat mungkin kehidupan sosial di masyarakat desa juga terusik bilamana ada improvisasi tak terkontrol para operator GJTP/PMJP misalnya memobilisasi para ketua RT/RW dan majelis taklim emak-emak dan pemuda karang taruna. Dengan situasi ekonomi yang masih mencekik masyarakat menengah-bawah sejak pandemi Covid19 ditambah belakangan terjadi kenaikan harga sembako, gas, BBM, kelangkaan minyak goreng menjelang puasa Ramadhan, memang sepertinya akan mudah memobilisasi kepala desa dengan iming-iming materi. Tetapi patut disadari juga bahwa tidak semua hal dapat dipertukarkan.  Loyalitas masyarakat pada konstitusi, akhlaknya, harapan-harapannya tentang esok yang lebih baik paska Jokowi, tidak selalu dapat ditukar dengan materi yang ditawarkan penguasa. Di sinilah potensi kerusuhan sosial dapat terjadi di desa-desa. Yang harus dicermati adalah dalam beberapa waktu mendatang, eskalasi akan semakin meningkat, dan besar kemungkinan akan ada mobilisasi dukungan GJTP/PMp oleh kelompok lain yg digerakkan oleh LBP cs. Memobilisasi masyarakat yang sesunggguhnya memang sudah terbelah sejak Pilpres 2014 akan sangat berbahaya karena akan berbenturan dengan kelompok-kelompok penjaga konstitusi yang juga sudah bergerak termasuk aksi-aksi mahasiswa. Potensi konflik sosial antara pendukung dan penolak GJTP/PMJP  di desa-desa serta yang terjadi di kota-kota besar akan mengakibatkan chaos serta ketidakstabilan politik dan keamanan nasional. Jika politik dan keamanan tidak stabil, justru pemerintah sendiri lah yang akhirnya menyebabkan para investor asing enggan berinvestasi di Indonesia. (*)  

Membedah Polemik Pernyataan Jenderal Andika tentang Anak PKI Masuk Tentara

Oleh  Raden Baskoro Hutagalung - Pemerhati Sosial Politik Forum Diaspora Indonesia, menetap di Perth Australia SEHARUSNYA pernyataan Panglima TNI saat ini tentang membuka pola dan standar baru penerimaan prajurit TNI adalah masalah internal TNI yang tidak perlu diributkan. Namun, karena doktrin dan jargon dari TNI itu sendiri adalah tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional Indonesia dan tentara profesional, pernyataan Panglima yang terbuka ke publik menjadi perhatian karena TNI dalam mata batin rakyat Indonesia adalah anak kandung rakyat yang tentu rasa memiliki dan rasa cinta rakyat terhadap TNI sangat tinggi. Untuk itu, ada beberapa hal yang menurut pemahaman publik perlu penjelasan dan klarifikasi pemahaman sehingga pernyataan Panglima tersebut begitu mengagetkan rakyat bagai petir di siang bolong. Pertama,  pernyataan Panglima tersebut diucapkan di tengah sedang memuncak tingginya prilaku Islamfobia oleh beberapa pejabat pemerintah terhadap Islam atas nama radikalisme dan intoleransi. Narasi yang “tidak ramah” terhadap ummat Islam tersebut kontradiksi dengan narasi “ramah” terhadap PKI atau apalah namanya yang ditampilkan Panglima TNI. Jadi momentumnya sungguh sangat tidak tepat di ucapkan. Di satu sisi, ummat Islam sedang kecewa dengan perlakuan pemerintah terhadap Islam, di sisi lain bagi para pihak anak keturunan PKI dan antek-anteknya tentu akan tepuk riang gembira. Seperti contoh ; Peristiwa show of force pasukan khusus TNI lengkap dengan panser dan ranpur menteror markas FPI di Petamburan, penurunan baliho oleh prajurit Kodam Jaya, serta ucapan KSAD Jendral Dudung tentang “Tuhan kita bukan orang Arab”. Masih begitu segar dalam ingatan ummat Islam di Indonesia. Dan peristiwa tersebut sangat menyakitkan dan melukai ummat Islam selaku mayoritas di bumi Nusantara ini. Narasi-narasi Islamfobia berlabel radikalisme, intoleransi dan terorisme ini secara masive digelorakan rezim saat ini. Dimana para pejabat negaranya pun seakan berlomba untuk mempertontonkan prilaku ini kepada publik nusantara. Seolah “ajang bakat” dalam mendapatkan sebuah apresiasi dari penguasa. Termasuk oknum pejabat tertinggi dari TNI itu sendiri. Kedua,  Jendral Andika harus menjelaskan kepada publik, sebagai teladan yang baik, bahwa ucapan beliau membolehkan anak keturunan PKI masuk tentara itu adalah ucapan pribadinya atau ucapannya selaku Panglima TNI? Kalau itu adalah ucapan pribadi, ini sah-sah saja sebagai pendapat personal pimpinan. Namun, tentu ucapan pribadi ini tidak langsung dan ujug-ujug jadi sebuah keputusan mutlak. Tapi kalau ucapan tersebut adalah ucapan dirinya selaku Panglima TNI, Jendral Andika mesti mampu menjelaskan dasar ucapannya, baik secara akademis, teoritis, dan kaidah doktrin dalam institusi TNI. Tidak bisa ujug-ujug hanya karena “oh ini tidak ada dasar hukum tertulisnya, kita harus taat hukum” tidak bisa seperti itu. Dasar argumentasinya adalah ; Kalau hal tersebut tak ada dasar hukumnya, lalu dasar hukumnya buat Jendral Andika membuat keputusan itu juga apa? Ketiga, lalu kalau kita berbicara atas nama hukum, tidak bisa dengan pola kaca mata kuda. Dalam hukum itu, ada namanya etika, norma, dan azas hukum. Dimana etika, norma, dan azas hukum ini berada di atas hukum yang tertulis (positif) itu sendiri. Walaupun etika, norma, dan azas hukum tersebut tidak tertulis. Pemahaman ini sudah lazim bagi dunia hukum baik praktisi dan akademisi. Dan secara aplikatif dan konkrit atau yurisprudensinya, kenapa hanya ketika Panglimanya Jendral Andika, yang juga menantu Hendro Priyono ini, keputusan ini diambil. Padahal Panglima sebelumnya tak berani mengutak-ngatik hal ini. Walaupun aturan dan regulasinya sama. Ini ada apa? Keempat, ketika kita berbicara substansi ucapan Panglima, bahwa terjadi ketidakadilan dan diskriminasi terhadap para keturunan anak PKI untuk masuk tentara. Padahal, dosa seorang bapak itu tidak diturunkan kepada anak cucunya. Ideologi itu tidak diturunkan bahkan banyak para anak cucu PKI yang bangun mesjid dan umrohkan masyarakat banyak. Jawabannya juga sederhana saja. Sekarang mari kita balik pertanyaannya. Kalau tidak ada jaminan seorang anak cucu PKI tertular ideologi orang tuanya, lalu apa juga jaminan seorang anak cucu PKI itu “tidak” tertular ideologi orang tuanya ? Kalaupun ada anak cucu keturunan PKI buat mesjid, umrohkan orang, hal tersebut tidak ada relevansinya. Selain data seperti itu apakah memang benar ada atau halu semata, yang menjadi permasalahan utama kita adalah ideologi PKI yang sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara.  Karena apabila seseorang sudah terpapar ideologi PKI, maka kerjanya hanya merusak, mengadu domba, menebar kebencian, membolak-balik kan fakta, membenci agama apalagi Islam, suka mencaci maki symbol agama dan memfitnah demi mewujudkan tujuannya. Kelima, secara hukum positif sudah sangat jelas dan terang benderang. Bahwa penyebaran ideologi komunisme-leninisme-marxisme ini dilarang hidup di Indonesia. Berdasarkan TAP/MPRS/XXV/1966 dan UU nomor 27 tahun 1999. Artinya payung hukumnya sudah jelas dan tegas. Bagaimana implementasinya, di situlah diminta kepada para penegak hukum dan institusi negara tidak pilih kasih. Merujuk kepada kasus Munarman yang dikaitkan dengan terorisme hanya dengan hadir di dalam sebuah pembaiatan dan berhubungan dengan beberapa oknum personal jaringan yang dicap teroris, lalu bagaimana dengan contoh misalnya : ada sebuah partai besar yang konkrit dan berkesinambungan melakukan kerja sama dengan Partai Komunis China. Bahkan mengirimkan para kadernya belajar ke Partai Komunis China. Sampai generasi ke 14 setiap tahunnya? Hal-hal seperti inilah yang sebenarnya menjadi pemicu sentimentil dan munculnya asumsi liar terhadap penguasa hari ini. Yaitu : Ramah terhadap apa saja yang berbau komunisme, tapi sangat tidak ramah dan represif ketika berhubungan dengan Islam. Keenam, kalau kita berbicara TNI secara utuh. Seorang Panglima TNI sebagai pucuk pimpinan tertinggi harus paham dengan posisi dirinya dalam menjalankan politik negara bukan politik praktis. Politik TNI itu adalah politik negara yang setia kepada KeTuhanan Yang Maha Esa dan Pancasila - UUD 1945. Maksudnya adalah, TNI itu adalah milik dan kebanggaan seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, seorang prajurit TNI apapun pangkat jabatannya harus peka terhadap suara batin rakyat sebagai ibu kandungnya. Karena, pemahaman ini sudah tertanam dalam doktrin, jati diri, dan sumpah sapta marga seorang prajurit TNI. Artinya, TNI itu secara historikal sudah mempunyai kultur budaya, doktrin, jati diri, serta karakter yang sudah mapan dan baku. Maka jadilah out put nya saat ini, secara kualitas dan mutu, secara kewibawaan dan tingkat kepercayaan, TNI adalah organisasi pemerintahan terbaik nomor satu di negeri ini. Secara kualitas prajurit, bahkan TNI adalah salah satu tentara terbaik yang mempunyai pasukan khusus terbaik di dunia. Ranking 16 versi majalah Military Global Fire Power. Artinya, ini menunjukkan TNI telah berhasil membentuk dirinya sedemikian rupa sampai saat ini. Dan semua itu dimulai tentunya dari proses rekruitmen awal untuk menjadi seorang prajurit TNI. Nahh, tiba-tiba muncul ide dan ucapan Jendral Andika mengutak-ngatik proses dan standarisasi proses rekruitmen ini. Tentu hal ini menjadi pertanyaan besar publik apalagi di internal tubuh TNI itu sendiri. Permasalahannya adalah, Jendral Andika tidak saja menghapus syarat anak keturunan PKI tidak bisa masuk tentara, tetapi juga masalah syarat keperawanan, syarat belum menikah, kemampuan berenang dan riwayat pecandu alkohol semua dihapuskan. Pertanyaannya adalah : apakah semua kebijakan Jendral Andika itu sudah melalui sebuah diskusi dan kajian akademis yang terukur secara ilmiah? Atau hanya ucapan sesaat semata? Ketujuh, Jendral Andika selaku Panglima TNI semestinya paham konstalasi dan dinamika politik tanah air saat ini yang sedang memanas. Baik itu tentang isu perpanjangan masa jabatan Presiden, hiruk pikuk Pemilu dan Pilpres. Karena akan dengan mudah, publik akan berasumsi ucapan Jendral Andika tentang anak PKI tersebut hanya sebagai ajang cari muka kepada penguasa hari ini khususnya PDIP. Karena, publik sudah tahu bahwa : Jendral Andika saat ini sebentar lagi akan memasuki masa pensiun November tahun ini. Dan publik juga tahu, uji materil perpanjangan usia pensiun TNI dari umur 58 menjadi 60 juga ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Sontak, benak publik akan dengan mudah mengkaitkan bahwa ada kepentingan politik pribadi sebagai ajang “cari muka” bermuatan politis. Walaupun hal itu kita juga yakin hanya berupa asumsi liar yang belum terbukti. Namun bagaimana kita bisa membatasi pikiran-pikiran manusia ? Kedelapan, Kebijakan Pelarangan anak keturunan PKI masuk tentara sejak zaman Orde Baru yang di lakukan oleh para senior dan pendahulu TNI tentu ada dasar kuatnya yang terukur. Mereka lah yang tahu bagaimana berbahayanya ideologi PKI ini terhadap bangsa kita. Dan mestinya hal ini menjadi warisan berharga bagi generasi penerusnya di TNI. Contoh kalau kebijakan pelarangan itu kuat dan terukur adalah ; Selama Orde Baru berkuasa, dimana segala tindakan PKI di koptasi dan di tekan, mana ada seperti saat ini, dengan mudahnya seseorang mencaci-caci agama. Dengan leluasanya orang yang dekat dengan kekuasaan menista agama, para tokoh ulama dan symbol-symbol agamanya, khususnya Islam.  Adalah fakta dan bukti konkrit, bahwa sejak reformasi dan koptasi terhadap anak keturunan PKI dibuka inilah keharmonisan anak bangsa saat ini kembali rusak tercabik-cabik persis seperti tahun 1965 ketika PKI juga jadi partai penguasa. Ini adalah fakta konkrit yang tidak terbantahkan. Apalagi sejak China komunis menjada negara raksasa dunia sebagai sponsornya. Dengan sedikit pembahasan kita di atas, kita tentu semua mengharapkan agar TNI secara institusi kembali berjalan sesuai tupoksinya. Jangan seret-seret TNI ke dalam dunia politik praktis demi kepentingan pribadi. Pro dan kontra itu biasa, tapi asal jangan menabrak sesuatu hal yang seharusnya tabu dan sakral untuk diutak-atik. Karena TNI itu adalah institusi besar, berwibawa, dan sudah punya historikal, doktrin, dan jati diri serta karakter. Traumatik akan kebiadaban PKI masa lalu, sudah menjadi pakem sejarah bagi TNI secara permanen. Tak mudah untuk merubah itu semua. Bahkan akan memancing reaksi sebaliknya. Untuk itulah kita harapkan, agar ke depan siapapun yang menjadi Panglima TNI harus dapat memisahkan mana yang urusan pribadi dan mana yang urusan jabatan. Kalaupun ada sebuah kebijakan, apa salahnya gunakan media dan instrumen pengambilan kebijakan yang sudah ada. Agar ketika sebuah kebijakan itu diambil, sudah matang dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Bravo TNI, semoga TNI kita ke depan tetap berjaya dalam menjaga kedaulatan dan martabat negara kita. Amin. (*)

Anak PKI Boleh Masuk TNI, Selamat Ginting: Mungkin Andika Hanya Baca Tekstual Saja

Jakarta, FNN - Rapat panitia penerimaan pusat prajurit TNI tahun anggaran 2022 menghasilkan keputusan mengejutkan. Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Andika Perkasa meminta agar aturan larangan anak cucu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi prajurit TNI dihapuskan. Rapat yang berlangsung beberapa sesi tersebut membahas tentang mekanisme penerimaan prajurit TNI mulai dari tes mental ideologi, psikologi, akademik, kesamaptaan jasmani, hingga kesehatan. Keputusan ini menimbulkan kontroversi. Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting menganggap Panglima TNI Andika Perkasa tidak lengkap membaca Tap MPRS No. 25 tahun 1966 tersebut. “Makanya banyak yang menyayangkan, jangan-jangan Andika hanya tekstual saja, karena di Tap MPRS No. 25 tahun 1966 telah dijelaskan secara detail dalam pasal-pasalnya,” kata Selamat Ginting kepada wartawan FNN Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Kamis. 31 Maret 2022. Ginting lantas merinci beberapa pasal yang menyebut bahwa underbow PKI juga menjadi bagian yang dilarang. Dalam Pasal 1 menjelaskan: menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi mandataris MPRS. “Sementara Tap MPRS itu berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia termasuk semua bagian organisasinya. Ini kan underbow-nya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia bagi PKI yang dituangkan sebelumnya melalui keputusan tanggal 12 Maret 1966 No. 01/3/1966 dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut di atas menjadi Ketetapan MPRS,” paparnya. Ginting menduga dalam pandangan Andika barangkali supaya hal ini lebih berkeadilan yang artinya keturunannya boleh tetapi bukan berarti dia otomatis bisa masuk. “Untuk masuk TNI masih ada syarat yang namanya mental ideologi. Kalau mereka masih terpengaruh ideologi komunis, tentu dicoret dan tidak akan pernah masuk. Jadi kalimat Andika harus ditelusuri tahapan selanjutnya seperti apa, isi, temasuk penjelasan dalam Tap MPRS tersebut,” tegasnya. Sejarah Tap MPRS tersebut kata Ginting adalah berawal dari keputusan oleh Letjen Soeharto yang membubarkan PKI pada 12 Maret 1966 yang kemudian dikukuhkan lewat Tap MPRS ini. Ginting lalu mengutip Pasal 2 yang berbunyi, “setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme, marxisme, leninisme dan segala bentuk dan manifestasinya serta penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembanhan paham dan ajaran tersebut dilarang. Jadi, di situ jelas ada manifestasinya. Kemudian Pasal 3 berbunyi, khusus kegiatan memperlajari seara ilmiah seperti pada perguruan tinggi komunisme, marxisme, leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila dapat dilakukan secara terpimpin dengan ketentuan bahwa pemerintah dan DPRGR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanannya. Pasal 4 berbunyi ketentuan di atas tidak mempengaruhi landasan dan sifat bebas aktif politik luar negeri kita. “Ini kita tidak bisa menerjemahkan letterlux bahwa Tap MPRS itu hanya berbunyi larangan terhadap PKI saja, tetapi di situ jelas ada dasar hukum yang mengatakan tengang underbow-nya. Makanya Golkar membuat Sekber Golkar, seperti SOKSI punya organisasinya yang memang head to head dengan underbow PKI misalnya dengan SOPSI. Golkar juga membuat Gerwasi (Gerakan Wanita Sosialis Indonesia)  untuk menghadapi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) milik PKI, ada juga Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) milik PKI yang dihadapkan dengan Lekri (Lembaga Kebudayaan Republik Indonesia), BTI (Barisan Tani Indonesia) PKI dihadapkan dengan RTI (Rukun Tani Indonesia) milik Angkatan Darat. Ini keyakinan TNI Angkatan Darat untuk menentang ideolog lain selain Pancasila termasuk melawan PKI dan organisasi sayap PKI dalam hak ini underbow-nya,” paparnya. Ginting mengingatkan bahwa Menteri Pertahanan Ryamizad Ryacudu pernah tercengang ketika melihat data sebanyak 3 persen anggota TNI tidak paham Pancasila. “Tiga persen dari sekitar 400 ribu tentara itu kan cukup banyak. Lalu polisi juga sekiatr 4 persen dan ASN mencapai 20 persen,” tegasnya. Kondisi seperti ini menurut Ginting sangat membahayakan masa depan bangsa, karena semakin menipis generasi yang paham Panasila.   “Sejak era reformasi tidak ada mata pelajaran atau mata kuliah khusus Pancasila, sehingga bisa dibilang tidak ada kader Pancasila lagi. Sementara ideologi-ideologi lain membangun ideologinya melalui media sosial. Ini yang mengkawatirkan,” tegasnya. Tak hanya itu, sebentar lagi jenderal-jenderal akan dipimpin oleh generasi TNI yang lahir tahun 1970an. “Kalau persyaratan masuk TNI longgar, jangan-jangan panitia seleksi juga tidak paham sejarah PKI dan bahaya laten komunis.  Ini yang membuat umat Islam khawatir PKI bangkit kembali dan menjadi lebih khawatir dengan keputusan Panglima TNI Andika Perkasa tersebut,” katanya. Menurut Ginting, dari sisi keadilan apa yang disampaikan Andika bisa jadi benar. “Akan tetapi kita wajib mengingatkan bahwa TNI tidak boleh menerima paham di luar Pancasila karena Sapta Marga itu janji prajurit TNI terhadap ideologi negara. Ini keprihatinan kita pasca reformasi, karena tidak ada pelajaran khusus Pancasila,” pungkasnya.  Ginting berharap semoga keputusan Andika bukan keputusan blunder yang bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang ingin menghidupkan paham komunisme, marxisme, dan leninisme, sebab Indonesia pernah kecolongan tahun 1965. (ida, sws)

Anies Baswedan dan Keberadaban

Oleh: Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI Negeri ini sedang menampilkan maraknya karnaval kedzoliman hampir di semua sendi kehidupan. Dari rakyat jelata, kelas menengah dan kalangan pejabat hingga pada pucuk kekuasaan.  Semua secara langsung maupun tidak langsung terlibat persekongkolan  sebagai  pelaku ataupun menjadi korban kejahatan.  Setidaknya melakukan pembiaran dan serba permisif saat disekitarnya ada kemungkaran, termasuk yang mengalami penindasan dan ketidakadilan.  Mana yang lebih dulu harus dibenahi,  orangnya atau sistemnya tak pernah tuntas meski telah lama menjadi perdebatan.  Pada kenyataannya dalam kehidupan kebangsaan, kedua faktor itu saling terkait membuat kerusakan. Sistem digunakan dengan  pelbagai  kelonggaran demi kepentingan, sementara manusianya  kerasukan setan menikmati penyimpangan.  Bagai benang kusut dan basah pula, siapapun pemimpin Indonesia akan mengalami  tantangan, kesulitan dan tekanan. Tak sekedar ilmu, pengetahuan dan keahlian, Indonesia membutuhkan figur yang mempunyai kecerdasan sekaligus keberanian. Memiliki jejak rekam yang baik, bebas dari praktek-praktek  KKN dan oligarki serta memiliki prestasi yang membanggakan.  Mau belajar dari sejarah, juga ulet dan gigih  menyiapkan kehidupan yang lebih baik saat ini dan terlebih di masa depan.  Apakah semua faktor-faktor kepemimpinan ideal itu, ada pada seorang Anies Baswedan?. Satu hal yang prinsip dan mendasar,  karakter  pendidik seorang Anies Baswedan telah membentuk kepemimpinannya yang berwawasan dan  berakhlakul kharimah sehingga bisa menjadi teladan.   Biar rakyat yang  yang merasakan dan menilai sendiri, sampai pada waktunya akan memberikan keputusan.  Betapapun negeri ini dalam krisis menyeluruh dan  berpotensi mengalami pergolakan, kehidupan rakyat yang kelam diliputi kebiadaban, sepertinya tak ada pilihan selain melabuhkan hatinya pada  Anies Baswedan dan Keberadaban. (*)

Malam Ini Pukul 00.00 Pertamax Naik Menjadi Rp 12.500,-

Jakarta, FNN –  Berlaku mulai  mulai pukul 00:00, 1 April 2022 BBM Non -Subsidi Gasoline RON 92 (Pertamax) naik harganya menjadi Rp 12.500 per liter (untuk daerah dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor /PBBKB 5%), dari harga sebelumnya Rp 9.000 per liter.. Demikian rilis yang diterima redakdi FNN, Kamis, 31 Maret 2022. Kenaikan harga ini didasarkan atas krisis geopolitik yang terus berkembang sampai saat ini mengakibatkan harga minyak dunia melambung tinggi di atas US$ 100 per barel. Hal ini pun mendorong harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) per 24 Maret 2022 tercatat US$ 114,55 per barel atau melonjak hingga lebih dari 56% dari periode Desember 2021 yang sebesar US$73,36 per barel.   Menyikapi kondisi ini, Pertamina melalui PT Pertamina Patra Niaga harus tetap menjaga komitmen dalam penyediaan dan penyaluran BBM kepada seluruh masyarakat hingga ke pelosok negeri. Untuk menekan beban keuangan Pertamina, selain melakukan efisiensi ketat di seluruh lini operasi, penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) tidak terelakkan untuk dilakukan namun dengan tetap mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat.  Karenanya, penyesuaian harga dilakukan secara selektif, hanya berlaku untuk BBM Non Subsidi yang dikonsumsi masyarakat sebesar 17% , dimana 14% merupakan jumlah konsumsi Pertamax dan 3% jumlah konsumsi Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex.  Sedangkan BBM Subsidi seperti Pertalite dan Solar Subsidi yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebesar 83%, tidak mengalami perubahan harga atau ditetapkan stabil di harga Rp7.650 per liter. Hal ini merupakan kontribusi Pemerintah bersama Pertamina dalam menyediakan bahan bakar dengan harga terjangkau.  Berlaku mulai tanggal 1 April 2022 mulai pukul 00:00 waktu setempat, BBM Non Subsidi Gasoline RON 92 (Pertamax) disesuaikan harganya menjadi Rp 12.500 per liter (untuk daerah dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor /PBBKB 5%), dari harga sebelumnya Rp 9.000 per liter. \"Pertamina selalu mempertimbangkan daya beli masyarakat,  harga Pertamax ini tetap lebih kompetitif di pasar atau dibandingkan harga BBM sejenis dari operator SPBU lainnya. Ini pun baru dilakukan dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, sejak tahun 2019,\" jelas Irto Ginting, Pjs. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, SH C&T PT Pertamina (Persero).  Penyesuaian harga ini, lanjut Irto, masih jauh di bawah nilai keekonomiannya. Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM,  Agung Pribadi dalam keterangan tertulisnya menyatakan dengan mempertimbangkan harga minyak bulan Maret yang jauh lebih tinggi dibanding Februari, maka harga keekonomian atau batas atas BBM umum RON 92 bulan April 2022 akan lebih tinggi lagi dari Rp. 14.526 per liter, bisa jadi sekitar Rp. 16.000 per liter.  Dengan demikian, penyesuaian harga Pertamax menjadi Rp12.500 per liter ini masih lebih rendah Rp3.500 dari nilai keekonomiannya. \"Ini kita lakukan agar tidak terlalu memberatkan masyarakat,\" ujar Irto.  Dengan harga baru Pertamax, Pertamina berharap masyarakat tetap memilih BBM Non Subsidi yang lebih berkualitas. \"Harga baru masih terjangkau khususnya untuk masyarakat mampu. Kami juga mengajak masyarakat lebih hemat dengan menggunakan BBM sesuai kebutuhan,\"pungkas Irto.  Untuk informasi lengkap mengenai seluruh harga produk Pertamina terbaru, masyarakat dapat mengakses website pertamina di www.pertamina.com dan atau dapat langsung menghubungi Pertamina Call Center (PCC) 135. (sws)

PB IDI: Terkait Keputusan Dokter Terawan, Ini Merupakan Proses Panjang Sejak 2013

Jakarta, FNN - Tampaknya Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) masih perlu menjelaskan lagi mengapa melakukan Pemberhentian Tetap sejawat Prof. (HC) Dr. dr. Terawan Agus Putranto, SpRad sebagai Anggota IDI. Pemberhentian Tetap atas Dokter Terawan itu dilakukan dalam Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) XXXI yang diselenggarakan di Banda Aceh pada 21 – 25 Maret 2022 lalu. Menurut IDI, salah satu upaya untuk menyehatkan bangsa adalah melalui profesionalisme di bidang kesehatan dan kedokteran, dan senantiasa berupaya untuk selalu meningkatkan dan memelihara pelayanan kesehatan yang bermutu, adil, merata dan terjangkau. Undang Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 telah menyatakan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter dan dokter gigi diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran. \"Praktik Kedokteran harus dilaksanakan dengan berazaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan serta Perlindungan dan Keselamatan Pasien,\" ungkap Ketua Umum PB IDI Dr. Mohammed Adib KhumaidiSp.OT. Amanah UU Praktik Kedokteran, telah sangat jelas disebutkan bahwa Pengaturan Praktik Kedokteran bertujuan; (1) Memberikan Perlindungan kepada Pasien, (2) Mempertahankan dan Meningkatkan Mutu Pelayanan Medis yang diberikan oleh dokter dan Dokter Gigi; dan (3) Memberikan kepastian hukum kepada Masyarakat, dokter dan dokter gigi.  Untuk dapat memberikan perlindungan hukum kepada dokter, pasal 50 UU Prakrtik Kedokteran menyatakan; “Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak memperoleh Perlindungan Hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional”, tentu Ikatan Dokter Indonesia sangat konsen mendukung Pemerintah dalam mencapai tujuan Praktik Kedokteran sebagaimana diatur dalam Undang Praktik Kedokteran. Penerapan standar profesi dan standar prosedur operasional merupakan kunci dalam menjamin pelayanan yang bermutu kepada pasien dan perlindungan hukum bagi dokter. Bagian dari standar profesi adalah standar etik yang diejawantahkan dalam Kode Etik Kedokteran. \"Ini menjadi norma penting dalam menjalankan praktek kedokteran, selain tetap mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini,\" kata Dokter Adib KhumaidiSp.OT dalam siaran pers PB IDI yang diterima FNN. Setiap dokter Indonesia dimanapun berada di republik ini, selama berkaitan dengan aktifitas profesinya, akan terikat dengan standar-standar, kode etik, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena dokter Indonesia mempunyai peran sebagai agent of treatment, juga diharapkan menjadi agent of development, agent of change dan pada tahun 2017 yang lalu ditambahkan peran penting sebagai agent of defence. Menurut Dokter Adib, PB IDI adalah struktur kepemimpinan tertinggi organisasi IDI yang melaksanakan, dan mengurus kebijakan-kebijakan strategis dan operasional yang bersifat nasional yang diputuskan dalam Muktamar. Sesuai dengan AD ART dan Ortala “Muktamar mempunyai kekuasaan dan wewenang Mengesahkan Pemberhentian Tetap Anggota IDI.” Muktamar IDI merupakan kekuasaan tertinggi organisasi IDI sebagai forum pelaksanaan kedaulatan seluruh anggota IDI. Muktamar adalah musyawarah nasional dokter Indonesia yang diberi nama “Muktamar Ikatan Dokter Indonesia” yang diadakan sekali dalam 3 (tiga) tahun. Pada Mukhtamar XXXI di Banda Aceh yang diselenggarakan pada 21 – 25 Maret 2022 lalu, dihadiri oleh seluruh perwakilan IDI Wilayah, IDI Cabang, perhimpunan dan keseminatan serta kolegium. Muktamar ke-31 ini banyak melahirkan beberapa Rekomendasi dan Putusan, juga Pengukuhan Dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT yang terpilih pada Mukhtamar XXX di Samarinda Tahun 2018 untuk memimpin menjadi Ketua PB IDI Periode 2022 – 2025 dan juga Terpilih President Elect dr. Slamet Budiarto, S.H., M.H Periode 2022 – 2025. Selain agenda pemilihan Ketua Umum PB IDI, Mukhtamar IDI juga telah memilih dr. Djoko Widyato JS, DHM, M.H.Kes sebagai Ketua MKEK PB IDI; Dr. dr. Setyo Widi Nugroho, SpBS(K) sebagai Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI); Dr. dr. Ika Prasetya Wijaya, SpPD-KKV sebagai Ketua Majelis Perkembangan Pelayanan Keprofeian (MPPK). Muktamar IDI XXXI juga telah melahirkan beberapa rekomendasi diantaranya: a. Transformasi Organisasi IDI Baru/ IDI Reborn; b. Peningkatan mutu pelayanan Kesehatan dan Pendidikan kedokteran; c. IDI menjadi mitra strategis pemerintah dan sinergitas stakeholder Kesehatan; d. Pemberhentian Tetap dr, TAP sebagai Anggota IDI; e. Dan banyak rekomendasi lain yang dihasilkan di Muktamar ke-31 ini. PB IDI menghormati dan mematuhi hasil Keputusan Mukhtamar XXXI serta akan melaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai hasil ketetapan Muktamar IDI Nomor 13/MIDIXXXI/03/2022 tentang Penegakkan Sanksi dengan mengacu pada ketentuan AD/ART dan ORTALA Ikatan Dokter Indonesia. Keputusan Muktamar IDI XXI tersebut telah memutuskan dan menetapkan; Meneruskan hasil keputusan rapat sidang khusus MKEK yang memutuskan Pemberhentian Tetap sejawat Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putranto, SpRad sebagai Anggota IDI. \"Keputusan Mukhtamar IDI XXI juga memberikan kepada Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia selambat-lambatnya waktu 28 (dua puluh delapan hari kerja) untuk melaksanakan putusan tersebut,\" ungkap Dokter Adib. PB IDI sebagai unsur pimpinan tingkat pusat yang menjalani fungsi eksekutif organisasi, berkewajiban untuk menjalani putusan Muktamar. Dalam menjalani putusan Muktamar tersebut, PB IDI diberikan ruang untuk melakukan sinkronisasi hasil Muktamar baik dari siding pleno, komisi dan sidang-sidang khusus. \"Terkait dengan keputusan tentang Dr TAP, ini merupakan proses Panjang sejak tahun 2013 (sesuai dengan laporan MKEK), dan hak-hak beliau selaku anggota IDI telah disampaikan oleh MKEK untuk digunakan mengacu kepada ketentuan AD ART dan tata laksana organisasi,\" lanjut Dokter Adib.  Seluruh Dokter Indonesia terikat kepada sumpah untuk tunduk dan taat terhadap norma etik sebagai keluhuran profesi kedokteran. Pembinaan serta penegakan standar/norma etik di dalam profesi kedokteran menjadi tanggung jawab IDI guna menjamin perlindungan hak-hak dokter dan pasien serta keselamatan pasien. (mth)