ALL CATEGORY
Emas Naik, Pertempuran Ukraina Dorong Permintaan "Safe-Haven"
Chicago, FNN - Harga emas sedikit menguat pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), karena pertempuran di Ukraina mendorong permintaan terhadap emas, sementara investor terus mengawasi pembicaraan damai Moskow-Kyiv, namun kenaikannya dibatasi menjelang pernyataan Ketua Federal Reserve Powell pada pertemuan ekonomi. Kontrak emas paling aktif untuk pengiriman April di divisi Comex New York Exchange, naik 0,2 dolar AS atau 0,01 persen, menjadi ditutup pada 1.929,50 dolar AS per ounce. Emas berjangka jatuh 13,9 dolar AS atau 0,72 persen menjadi 1.929,30 dolar AS pada Jumat (18/3/2022). Emas berjangka melonjak 34 dolar AS atau 1,78 persen menjadi 1.943,20 dolar AS pada Kamis (17/3/2022), setelah tergelincir 20,5 dolar AS atau 1,06 persen menjadi 1.909,20 dolar AS pada Rabu (16/3/2022), dan anjlok 31,1 dolar AS atau 1,59 persen menjadi 1.929,70 dolar AS pada Selasa (15/3/2022). \"Eskalasi lain di sekitar Ukraina akan mendorong aliran safe-haven yang signifikan ke emas, bahkan lindung nilai inflasi bergerak jika kita melihat sanksi yang memicu lonjakan komoditas lain,\" kata Craig Erlam, analis pasar senior di OANDA. Rusia dan Ukraina hampir mencapai kesepakatan tentang isu-isu \"kritis\", menteri luar negeri Turki mengatakan pada Minggu (20/3/2022), tetapi permintaan untuk aset-aset berisiko mundur dan harga minyak naik karena pertempuran berlanjut. Sementara desas-desus potensi kompromi selama akhir pekan membawa harga emas turun dari tertinggi mereka, \"landasan peluncuran berikutnya untuk emas akan menjadi area 1.900 dolar AS,\" kata Rob Lutts, kepala investasi di Cabot Wealth Management. Pekan lalu, emas turun lebih dari 3,0 persen di tengah harapan untuk kemajuan dalam pembicaraan dan kenaikan suku bunga AS. Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengatakan di National Association for Business Economics pada Senin (21/3/2022) bahwa inflasi \"terlalu tinggi\" dan memungkinkan kemungkinan bahwa Fed dapat menaikkan suku bunga lebih dari 25 basis poin pada 2022. Presiden Fed Atlanta Raphael Bostic mengatakan pada Senin (21/3/2022) bahwa tujuan dari kebijakan moneter Fed adalah untuk mendapatkan tingkat kebijakan sampai netral secepat mungkin. Dia melihat total enam kenaikan suku bunga seperempat poin tahun ini dan dua lagi pada 2024 untuk mendekati netral. Sementara itu, Presiden Federal Reserve Atlanta Raphael Bostic mengatakan pada Senin (21/3/2022) bahwa dia terbuka untuk pengetatan kebijakan yang lebih agresif, sambil memperkirakan enam kenaikan suku bunga untuk tahun 2022. Pasar menyiratkan peluang 50-50 untuk kenaikan setengah poin pada Mei dan peluang yang lebih besar lagi pada Juni. \"Bahkan jika perkiraan kenaikan suku bunga Fed menjadi kenyataan, inflasi akan tetap di depan, dan suku bunga riil negatif, menjaga lingkungan positif untuk emas dalam jangka menengah,\" tulis analis di logam mulia Heraeus dalam sebuah catatan. Logam mulia lainnya, perak untuk pengiriman Mei naik 22,6 sen atau 0,9 persen, menjadi ditutup pada 25,313 dolar AS per ounce. Platinum untuk pengiriman April naik 8,8 dolar AS atau 0,85 persen, menjadi ditutup pada 1.044,70 dolar AS per ounce. (mth/Antara)
Ki Bedul Sakti yang Tidak Sakti
Oleh M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan SETELAH menyebut bahwa ritual Kendi Nusantara hampir gagal karena Anies berkhianat dengan tidak membawa tanah keramat, kini Ki Bedul Sakti dukun asal Medan mengomentari gagalnya pawang hujan Rara menghentikan hujan saat MotoGP Mandalika yang dihadiri Presiden Jokowi juga Anies. \"Ini semua gara-gara Anies auranya aneh karena sering bertemu dengan ulama radikal !! \" kata Ki Bedul Sakti. Menurutnya, Mbak Rara bukan pawang sembarangan ia bisa berbicara dengan awan. Pengalamannya di atas rata-rata \"hanya bisa disejajarkan dengan saya\". Sergah Ki Bedul yang pernah menjadi tim pemenangan spiritual Jokowi Ma\'ruf. Pawang Rara yang berjalan di sirkuit membawa baskom emas bertopi proyek putih telah gagal menahan hujan. Malah petir menyambar sirkuit. Menjadi tontonan pembalap dan kru tim serta penonton balap. Memalukan dan mengenaskan. Anies yang kehadirannya di Lombok mendapat sambutan meriah warga, ternyata dianggap penyebab dari kegagalan itu oleh Ki Bedul Sakti. Lucunya Ki Bedul ini bawa-bawa radikal-radikul segala. Itu akibat Anies sering bertemu ulama radikal, katanya. Padahal mungkin saja awan yang sedang \"ga mood\" di ajak bicara dan ngobrol dengan mbak Rara. Meski sudah teriak-teriak tetapi hujan tetap lebat. \"Emang gua pikirin\" cetus awan, mungkin. Ki Bedul Sakti juga ternyata tidak sakti-sakti amat. Dengan menyalahkan Anies karena gaul dengan ulama radikal, ia pun gagal mengerahkan genderuwo, tuyul, leak, nyi blorong dan lainnya untuk menaklukkan Anies Baswedan. Ki Bedul tidak sakti tetapi mungkin sakit. Rakyat Indonesia sedang dibawa oleh Jokowi ke dunia lain, dunia pedukunan, dunia penampakan. Hancur negara ini oleh proses pembodohan sistematis. Sejak ritual IKN hingga pawang Mandalika. Bangsa Indonesia menjadi tontonan dunia yang memilukan dan memprihatinkan. Presiden Jokowi yang konon ingin tiga periode mungkin juga tengah mengerahkan bantuan pasukan genderuwo dan sejenisnya dengan arahan dan undangan para dukun. Allah SWT yang Maha Esa dan Maha Kuasa sedang memperlihatkan kebodohan para pemimpin bangsa. Terganggu kesehatan iman dan konsistensi dalam beragama. Presiden dan kabinet yang belepotan hampir di semua aspek baik ekonomi, politik, hukum, budaya, maupun agama. Rakyat kehilangan harapan atas perilaku pemimpin yang telah mempersetankan ideologi, konstitusi, dan misi suci dalam membangun negeri. Mereka hanya memikirkan diri dan kelompoknya sendiri. Kini di era Ki Bedul Sakti yang tidak sakti ini dunia tengah mentertawakan kebodohan dan keprimitifan kita. Kita sendiri yang membunuh sila-sila Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Bubarkan BPIP dan seluruh jajaran personalianya. Tidak terasa manfaatnya, hanya pemborosan, pencitraan, dan pengkooptasian kedaulatan rakyat. Ataukah keberadaan badan ini juga hasil saran, bisikan atau nasehat para dukun ? Dukun itu ternyata bedul-bedul tidak sakti. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 22 Maret 2023
Dukun dan Politik
Oleh Ridwan Saidi, Budayawan (Foto Grigori Rasputin, dukun politik Rusia) Perdukunan dalam politik di Indonesia terjadi sejak jaman VOC. Itu terjadi pada masa Gubernur Jenderal VOC Hendrick Zwaardecroon 1720-1725. Zwaardecroon tanpa alasan merampas tanah milik Pieter Erberveld di Sunter. Pieter mewarisi tanah dari ayahnya seorang Jerman yang menjadi anggota Hemraad dan pemilik perusahaan penyamakan kulit di Peca\' Kulit. Zwaardecroon waswas kalau-kalau Pieter melakukan pembalasan. Sementara itu nyonya atau mevrouw Zwaardecroon penggemar dukun. Dari dukun ia mendapat info memang Pieter akan melakukan pemberontakan pada malam tahun baru tanggal 31 Desember 1721. Zwaardecroon yakin dengan info dukun via bininya, dan pada malam tahun baru itu Pieter ditangkap. Pada bulan April 1722 Pieter menjalani hukuman mati. Nama Grigori Rasputin tak asing bagi peminat politik. Dia dukun yang mengaku orang suci yang menjadi kepercayaan Tsar Rusia Nicholas II. Keyakinan Tsar pada dukun mengantarkan dia ke gerbang kematian lewat pembunuhan pada tahun 1918. Balap motor Mandalika atau MotoGP berakhir dengan berita dan komentar berkepanjangan tentang pengakuan pawang hujan, atau dukun, yang katanya berhasil mengusir hujan. Sesungguhnya kemarin 20/3/2022 balapan diwarnai hujan dan petir pada awalnya. Siang sedikit memang mereda. Kehadiran dukun di MotoGP benar adanya. Balap motornya sendiri tidak mendapat tempat layak di media. Romawi tak dapat dipisah dengan Olympiade. Nomor lari mesti ada di tiap pesta olahraga segela level. Dalam lomba lari peserta memutar dengan arah kanan membuat circle yang dalam geometri disebut crawl. Dalam scriptologi Arab inisial waw. Dalam balap mobil, terutama motor, lazimnya putaran itu mengarah ke kiri dan membentuk circle yang dalam geometri disebut rotary. Pilihan balap motor dan balap mobil dalam kondisi econ tidak sehat memang jadi pertanyaan publik. Apa pun jawab penyelenggara tetap sulit mengaitkannya dengan usaha perbaikan econ. Dikaitkan dengan geometri, balapan2 ini sebenarnya tontonan atau upacara? Perdukunan dalam politik sering mengantarkan pelaku pada tragedi. Zwaardecroon setelah gantung Pieter diboikot pebisnis Europeaners. Tsaar Nicholas II harus setor lehernya untuk digorok lawan-lawwnnya. (*)
Soal Ritual Klenik Mandalika, Sandi Uno: Itu Kearifan Lokal
Jakarta, FNN -Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan pawang hujan MotoGP Mandalika 2022 yang jadi perbincangan di media sosial adalah bagian dari atraksi kearifan lokal yang menarik perhatian. \"Ini bagian dari atraksi kearifan lokal, budaya yang bisa menjadi daya tarik tersendiri. Tapi tentunya Allah SWT yang tentunya berkehendak balapan tertunda 1 jam dan bisa terlaksana. Ini jadi momen yang berkesan bukan hanya pembalap tapi juga masyarakat Indonesia,\" ujar Sandiaga dikutip dari keterangan resmi, Senin. MotoGP Mandalika 2022 digelar Pertamina Mandalika International Street Circuit selama tiga hari mulai dari 18 hingga 20 Maret 2022. Namun di puncak pelaksanaan, tepatnya jelang race kelas MotoGP, hujan deras mengguyur area sirkuit yang membuat balapan terpaksa ditunda. \"Tadi kita lihat race berjalan lancar, namun tentunya kita juga sangat bersyukur karena hujan yang sempat menunda start akhirnya mereda berkat doa dari setiap dan akhirnya kita melihat race yang sangat menarik,\" kata Sandiaga. Menparekraf mengungkapkan, saat hujan pihak pelaksana langsung melakukan koordinasi. Dan setelah melihat data-data yang ada maka diputuskan balap ditunda selama 1 jam. Karena selain trek yang basah, yang dikhawatirkan dalam kondisi itu adalah jarak pandang atau pembalap. \"Jadi terus terang saat hujan kami berkoordinasi kami memastikan bahwa gelaran ini harus sesuai dengan kaidah keselamatan bagi para riders dan juga keselamatan seluruh kru,\" ujar Sandiaga. Di tengah hujan, ada satu momen yang menarik perhatian. Yakni ketika Presiden Joko Widodo turun ke Pit Lane dan menyapa masyarakat untuk memberikan semangat. \"Saat itu Presiden ambil keputusan untuk tetap melanjutkan prosesi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dan Alhamdulillah, setelah dikumandangkan, hujan mulai reda dan race bisa dimulai,\" kata Sandiaga. \"Jadi menurut saya rasa keputusan strategis seperti itu yang akhirnya membawa satu kepastian, kejelasan, dan memberikan juga semangat kepada para penyelenggara bahwa kita berkomitmen dalam menyelenggarakan event ini,\" ujar Sandiaga. Hingga akhirnya hujan reda dan pihak penyelenggara memutuskan balap bisa kembali dimulai. Pembalap pun mengaku terkesan dengan kondisi tersebut. \"Saya berbicara dengan beberapa pembalap, ini adalah pengalaman pertama mereka. Selain pertama kalinya balap di trek Mandalika, tapi juga balapan dalam keadaan hujan seperti ini. Ini pengalaman yang sangat berkesan buat mereka,\" ujarnya. (sof, antara)
Pesawat China Eastern yang Membawa 133 Penumpang Jatuh di Guangxi
Beijing, FNN - Jatuhnya pesawat penumpang domestik milik maskapai penerbangan China Eastern Airlines di Daerah Otonomi Guangxi, Senin sore, menyebabkan kebakaran hutan di perbukitan Kabupaten Tengxian, sementara 132 orang dalam pesawat belum diketahui nasibnya.Pesawat Boeing 737 yang bertolak dari Kunming di Provinsi Yunnan menuju Guangzhou di Provinsi Guangdong tersebut mengangkut 132 orang yang terdiri dari 123 penumpang dan sembilan awak kabin, bukan 133 orang seperti diberitakan sebelumnya, demikian pernyataan departemen kegawatdaruratan Guangxi.Badan Penerbangan Sipil China (CAAC) belum bisa memberikan keterangan mengenai nasib 132 orang yang berada di dalam pesawat bernomor penerbangan MU-5735 itu.Pesawat tersebut bertolak dari Bandara Internasional Changshui, Kunming, pada pukul 13.15 waktu setempat (12.15 WIB).Pesawat tersebut dijadwalkan tiba di Bandara Internasional Baiyun, Guangzhou, pada pukul 15.07 (14.07 WIB).Data penerbangan menunjukkan bahwa pada pukul 14.19 (13.19 WIB) pesawat tiba-tiba meluncur dari ketinggian 8.869 meter dengan kecepatan 845 kilometer per jam. Pada pukul 14.21, pesawat milik maskapai yang berkantor pusat di Shanghai itu hilang dari pantauan radar ADS-B, demikian laman berita setempat.Pasukan pemadam kebakaran dan tim SAR dari Kota Wuzhou mulai dikerahkan ke lokasi kejadian di wilayah selatan daratan Tiongkok itu pada pukul 15.00 (14.00 WIB).Sejumlah foto dan video jatuhnya pesawat tersebut menyebar dengan cepat di media sosial China, utamanya Weibo dan WeChat, beberapa saat setelah kejadian.Dalam sebuah video terlihat warga mengamankan puing-puing pesawat yang diduga bagian ekor atau sayap MU-5735 dan kebakaran di titik jatuhnya pesawat itu.Daerah Otonomi Guangxi berada di antara Provinsi Yunnan dan Provinsi Guangdong di wilayah selatan China dan berbatasan langsung dengan Vietnam. (sof, antara).
Terima Ketua GBN, LaNyalla: Harus Koreksi Total Konstitusi Demi Indonesia Lebih Baik
Jakarta, FNN - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan untuk memperbaiki bangsa ini, perlu dilakukan koreksi total atas Amandemen 2002 silam, yang memberi ruang tunggal kepada partai politik menentukan arah perjalanan bangsa. Demikian dikatakan LaNyalla saat menerima Ketua Umum Gerakan Bela Negara, Brigjen (Purn) TNI Hidayat Poernomo, dan pegiat konstitusi Sayuti Asyathri serta M Hatta Taliwang, di kediaman Ketua DPD RI, Jakarta, Sabtu (19/3/2022). Ketua DPD RI yang didampingi Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Kepala Biro Sekretariat Pimpinan DPD RI Sanherif Hutagaol, mengatakan banyak yang harus dibenahi bangsa ini. “Banyak sekali PR yang harus dikerjakan dan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Makanya agar menyeluruh, yang wajib dibenahi adalah hulunya. Kalau hulunya selesai, hilir mengikuti,\" katanya. Menurut LaNyalla, DPD RI mewacanakan dan mendorong Amandemen Konstitusi ke-5 untuk penguatan fungsi dan peran DPD RI. Karena setelah Amandemen tahun 2002, hak DPD RI, sebegai jelmaan dari utusan daerah dan utusan golongan untuk mengajukan atau mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden hilang. “Sebelum Amandemen Konstitusi tahap 1 sampai 4, MPR yang terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Ketiganya dapat mengajukan atau mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden. Hak konstitusional itulah yang ingin kita pulihkan,\" katanya. Makanya, prioritas DPD RI saat ini adalah adanya calon presiden dari luar yang diajukan partai politik. Hal itu yang harus diperjuangkan. “Karena partai politik sekarang ini sudah sangat berkuasa. Padahal negara ini lahir karena adanya rakyat, bukan partai politik. Makanya urusan arah perjalanan bangsa ini tidak bisa kita diserahkan kepada parpol saja,\" ucapnya. Perjuangan utama saat ini, lanjutnya, adalah menghapus Presidential Threshold di Mahkamah Konstitusi. Agar Pasal 222 dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dihapus. \"Sejauh ini gugatan-gugatan soal PT tersebut mentah karena alasan legal standing. Karena itu DPD RI akan maju sebagai lembaga, tetapi bersama dengan partai politik. Nanti kita lihat lagi apa alasan dari MK,” ujar dia lagi. Dilanjutkan LaNyalla, MK harus diawasi. Sebab menjadi super body apabila ada Lembaga yang keputusannya bersifat mengikat, tetapi tidak ada yang mengawasi. LaNyalla juga menyinggung wacana perpanjangan masa jabatan Presiden dalam pertemuan itu. Secara prinsip menurutnya rakyat ingin ada pembatasan masa jabatan presiden. “Pembatasan itu sudah menjadi prinisp dan konsensus bangsa. Karena kita sudah belajar dari Orde Lama dan Orde Baru, jadi tidak ada alasan apapun,\" jelasnya. Ketua GBN Purnomo menilai hanya DPD RI yang sekarang dipercaya oleh publik. Momentum ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh DPD RI untuk membantu menyelesaikan persoalan bangsa. \"DPD RI masih mempunya jiwa dan ruh yang selalu hadir dalam bangsa ini. Yaitu panggilan untuk menegakkan konstitusi,\" katanya. Dia berharap kekuatan DPD mampu merangkul semua pihak. Baik yang di Senayan dan di luar Senayan, untuk bersama menyelesaikan masalah bangsa yang saat ini sudah mendesak. Sementara pegiat konstitusi, Sayuti Asyathri, menjelaskan DPD di bawah LaNyalla memberikan harapan pada publik bahwa akan ada solusi bagi permasalahan bangsa. DPD RI bisa merangkul semua elemen bangsa dan tidak berpihak ke kelompok manapun. “Ini aset kebangsaan yang bagus. Sebuah kekuatan besar yang harus bisa dimanfaatkan untuk perbaikan bangsa karena penegakan konstitusi kita sudah lemah,\" ucapnya. Sedangkan Hatta Taliwang, mantan anggota DPR, menyinggung perlunya kesatuan sistem dan leadership. Masalah negara saat ini terletak di dua hal tersebut. “Ada dua masalah di negeri ini, yaitu masalah konstitusi dan leadership. Dimana kalau sistem dibenahi, perlu sosok pemimpin yang tepat dalam menjalankan konstitusi itu. Sekarang ini tidak ada leadership ke situ. Mereka suka-suka saja, tidak memikirkan ada konstitusi atau tidak. Dasarnya power game,\" papar dia. Menurut Hatta, permasalahan konstitusi dirinya sepakat kembali kepada UUD 45. Tetapi nantinya harus dijalankan dengan serius supaya tidak ada lagi kekhawatiran akan adanya otoritarian. \"Di sinilah perlunya kembali ke sistem musyawarah dengan adanya MPR. Di sana ada keterwakilan semua elemen, dari parpol, utusan daerah, utusan golongan dan TNI. Itulah sistem yang dihasilkan oleh para pendiri bangsa, yang notebene orang-orang yang arif bijaksana. Yang dihasilkan dengan darah dan air mata oleh para pendiri bangsa,\" tukasnya. Makanya MPR yang digulingkan oleh Amandemen 2002 harus ada lagi. MPR harus menjadi komando untuk melakukan check and balances terhadap pemerintah. \"Sekarang lembaga-lembaga sejajar. Kekuasaan di Presiden. Ini tidak boleh, MPR harus dijadikan sebagai lembaga tertinggi,\" tegasnya.(*)
Di Mandalika Hujan Uang, Di Brebes Nyawa Melayang
Jakarta, FNN - Ironis. Panitia balap motor dunia menggelontorkan ratusan juta untuk membayar pawang hujan. Sementara di Brebes Jawa Tengah, sebuah keluarga miskin bunuh diri karena kesulitan cari makan, dimana ada seorang ibu yang tega menggorok leher ketiga anaknya. Status sang suami sebagai pengangguran semakin memperparah kesulitan ekonomi keluarga itu. Sang ibu, Kanti Utami beralasan ketimbang menderita berkepanjangan di dunia lebih baik diakhiri saja penderitaan itu dengan membunuh anak-anaknya. Dari ketiga anaknya, yang satu meninggal dunia, yang dua kritis. Demikian perbincangan antara akademisi Rocky Gerung dengan wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal Rocky Gerung Official, Senin (21/03/2022). Rocky membandingkan apa yang dialami Kanti Utami yang dibalut kemiskinan dengan dan Rara Isti sang pawang hujan, yang bergelimang uang. Bahkan uang dari negara. Apa yang dialami pawang hujan tersebut, berbanding terbalik dengan Kanti Utami yang tega membunuh anaknya karena masalah ekonomi. Kanti Utami merupakan seorang ibu yang tega menganiaya 3 anak kandungnya sendiri. Dia bahkan menggunakan pisau cutter untuk menggorok salah satu leher buah hatinya. Kanti Utami berdalih tega melakukan aksi keji tersebut untuk menyelamatkan sang anak agar tidak merasakan hidup susah sepertinya. Rocky Gerung menyoroti perbedaan nasib dua orang yang bertolak belakang. Ia mempertanyakan bagaimana peran Negara dalam mengatasi permasalahan rakyatnya. \"Bukan sekadar ibunya ingin membunuh, tapi dia dipaksa secara sosial untuk membunuh, dan kita langsung melihat bahwa 3 anak ini menjadi korban karena ketiadaan daya beli dari si ibu,\" tuturnya, Senin, 21 Maret 2022. \"Sementara di Mandalika, ada Rp2,5 triliun APBN dipake balapan di situ. Jadi di situ tragisnya,\" papar Rocky Gerung menambahkan. Rocky pun membahas bagaimana negara seharusnya mensejahterakan rakyat jika berdasarkan konstitusi. Jika Pemerintah mampu melaksanakan perintah konstitusi tersebut, tidak akan ada kasus seperti yang dialami Kanti Utami. \"Kita coba bayangkan, kalau negara ini negara yang diperintahkan untuk mensejahterakan rakyat oleh konstitusi, maka mestinya tidak ada ibu yang membunuh anaknya,\" ujar Rocky Gerung. Rocky menyebut kasus Kanti Utami sebagai kegagalan negara dalam memelihara orang miskin. Padahal, negara diperintahkan untuk memelihara orang miskin, dan bukan pawang hujan di Mandalika. Jadi trade-off ini yang mau kita sebut sebagai tragis karena kegagalan negara memelihara orang miskin,\" ucap Rocky Gerung. \"Padahal negara diperintahkan oleh konstitusi, memelihara orang miskin dan mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan pelihara pawang di Mandalika,\" pungkasnya. (sof, sws)
Hari Melawan Islamfobia Tanda Akhir Era “Mulkan Jabriyah”
Wartawan veteran Chris Hedges bilang, imperium Amerika sudah tamat. Pakar globalisasi Noam Chomsky mengatakan, sejarah imperium Amerika yang merupakan teroris terbesar di dunia sudah berakhir. Oleh: Anwar Hudijono, Veteran Wartawan Tinggal di Sidoarjo. PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Melawan Islamfobia. Sungguh! Bagi umat Islam ini merupakan peristiwa luar biasa. Bagaikan terbebas dari himpitan batu sebesar gunung. Sayangnya di Indonesia yang merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, penyambutannya nyaris tak terdengar bagaikan orong-orong terinjak. Kadang-kadang saya berpikir, Indonesia ini memang embuh. Resolusi itu atas inisiatif negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) – anggotanya termasuk Indonesia – yang kemudian disepakati dalam sidang umum PBB di New York, Amerika Serikat (AS). Penetapan Hari Melawan Islamfobia ini waktunya bersamaan dengan perang Rusia vs Ukrania. OKI super cerdas memanfaatkan momentum. Sehingga Amerika, Barat dan sekutunya mati kutu. Tidak ada pilihan lain selain bersetuju. Jika Rusia tidak menyerang Ukrania, apakah resolusi itu bisa ditetapkan oleh PBB. Apa Amerika dan sekutunya akan bergitu saja menyetujui? Apa Amerika dan gengnya akan rela kehilangan alatnya (Islamfobia) yang selama ini sangat ampuh untuk meneror, menekan, menggayang, mengharu-biru, menjarah, mengobok-obok, memprorak-porandakan dunia Islam? Sebab, jika menolak usulan OKI berarti memberi peluang Rusia semakin dekat dengan dunia Islam. Dalam kasus Rusia menyerang Ukrania saja, banyak negara Islam yang abstain. Menolak mengikuti tekanan Amerika agar mendukung resolusi PBB yang mengutuk Rusia. Bahkan Presiden Pakistan Imran Khan dengan terang-terangan mengatakan, “Kami bukan budak Amerika dan Barat. Mengapa harus mematuhi mereka.” Imperium Penindas Dalam perspektif eskatologi Islam (ilmu akhir zaman), peristiwa ini luar biasa menarik. Sangat mungkin ini pertanda masa akhir era “Mulkan Jabriyah”. Era di mana dunia dikuasai oleh imperium penindas. Despotisme. Semakin memperkuat spekulasi bahwa bangsa Rum yang akan bersekutu dengan Muslim melawan golongan penindas menjelang kiamat adalah Rusia. Ditambah penampilan Pasukan Muslim Chechnya di Ukrania yang menakjubkan dunia seolah persekutuan itu sudah dimulai. Apalagi jika nanti ditambah relawan Hisbullah Lebanon, Hammas Palestina, tentara Suriah, Garda Revolusi Islam Iran dan Taliban dll, kesahihan spekulasi itu tinggal tunggu tanggal mainnya. Dalam hadits riwayat Ahmad, Rasulullah dawuh, perjalanan sejarah umat Islam dibagi lima fase. Pertama, masa Rasulullah. Kedua, masa Manhaj Nubuwah atau Khulafaur Rasyidin. Ketiga, Mulkan ‘Adhan atau masa kerajaan-kerajaan Islam mulai Daulah Umayyah sampai Utsmaniyah. Keempat, Mulkan Jabriyah. Kelima, kembalinya khilafah atau Manhaj Nubuwah, yaitu kembalinya kejayaan peradaban Islam. Fase “Mulkan Jabriyah”, yaitu ketika dunia ini dikuasai oleh imperium atau penguasa yang menindas. Penguasa despotisme. Mereka hendak menguasai dunia seperti yang pernah dilakukan Raja Namrud, Firaun, Alexander de Great, Jenggis Khan. Siapa Mulkan Jabriyah itu? Sangat cocok kalau dilamatkan kepada Amerika dan Barat yang menjadi sekutunya. Jantung penggeraknya, mengikuti pemikiran pakar eskatologi dunia Syekh Imran Hossein adalah aliansi zionisme Yahudi dan zionisme Kristen. Mereka sudah menguasai dunia lebih kurang 300 tahun. “Amerika itu setan besar,” tegas Imam Khomeini, Pemimpin Revolusi Islam Iran. Konon yang dimaksud setan besar itu adalah Dajjal. Presiden Suriah Bashar Al Assad mengatakan, dunia ini di bawah cengkeraman Barat sekitar 300 tahun. Mereka melakukan pejajahan ke seluruh penjuru dunia. Membunuh, merampas, menindas, merampok yang semuanya untuk kepentingannya. “Suriah sudah merasakan betapa jahatnya Amerika dan Barat.” Perang Rusia-Ukrania, kata Bashar Al Assad telah menjadi mementum menelanjangi Amerika dan Barat. Menyibak topeng mereka. Selama ini mereka bertopeng kemanusiaan, keadilan, kemakmuran bersama, kesejahteran dunia. Mereka sangat ndakik-ndakik bicara kemanusiaan, tapi pada dasarnya justru tangan mereka yang berlumuran darah. Mereka sangat canggih bicara keadilan. Tapi mereka yang melakukan terorisme, penindasan, perbudakan. Promotor Utama Selama ini Amerika dan Barat yang menjadi promotor pertama dan utama gerakan Islamfobia di seluruh dunia. Menjadikan Islam dibenci. Diidentikkan dengan terorisme. Radikal. Intoleran. Monster haus darah. Bahkan, sampai menjadi agama yang ditakuti dan dibenci di negara yang mayoritas penduduknya muslim. Malah ada orang muslim menjadi penyebar Islamfobia (tapi kemungkinan di Indonesia tidak ada. Itu mungkin ada di Somalia sono. Kalaulah di sini ada paling-paling ya cuma satu, dua, tiga dst haha ha. Masuk?) Tentu saja model demikian itu muslim yang hatinya berpenyakit. Fenomena gerakan global Islamfobia itu sudah diperingatkan Allah di Quran Surah Al Maidah ayat 51-52. “Wahai orang-orang beriman. Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin (mu), mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” “Maka kamu akan melihat orang-orang yang hatinya berpenyakit segera mendekati mereka (Yahudi dan Kristen) seraya berkata, kami takut akan mendapat bencana.” Syekh Imran Hossein berpendapat bahwa ayat ini menjelaskan tidak semua Yahudi dan Nasrani. Melainkan golongan tertentu di antara mereka. Saat ini yaitu aliansi zionisme Yahudi dan zionisme Kristen. Di Quran surah As-Shaf ayat 14 ditegaskan bahwa segolongan Bani Israil (Yahudi) ada yang beriman, dan segolongan lagi kafir. Al Maidah ayat 82 disebutkan bahwa ada golongan Kristen yang paling dekat persahabatannya dengan umat Islam. “Dan pasti akan kamu dapati orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman ialah orang-orang yang berkata, sesungguhnya kami adalah orang-orang Nasrani.” Tanda-tanda melemahnya Amerika dan gengnya sebenarnya sudah cukup banyak. Medio Agustus 2021 Amerika dan gengnya harus merasakan malu yang teramat hina karena harus lari lintang pukang dari Afghanistan setelah digebuk pasukan sandal jepit Taliban. Dan Amerika tidak merasa malu merampok uangnya rakyat Afghanistan yang dilanda kelaparan. Tekanan maksimum yang dilakukan Amerika terhadap Iran sama sekali tidak membuat Iran bertekuk lutut. Malah Iran semakin moncer dengan teknologinya. Termasuk teknologi militernya. Pengaruhnya meluas bukan hanya di kawasan Timur Tengah bahkan sampai Afrika. Iran diperhitungkan akan menjadi the new emerging force (kekuatan baru dunia). Mendekati Maghrib Masih banyak lagi tanda-tanda bahwa Amerika itu ibarat matahari yang terus bergerak mendekati ufuk barat alias maghrib. Misalnya, menjadi negara pengutang terbesar di dunia. Ekonominya sudah ditenggelamkan China. Di dalam negeri tidak berdaya menghadapi sindikat narkoba, perdagangan manusia, fasisme, rasisme. Perang saudara tinggal menunggu waktu saja. Bencana alam dahsyat silih berganti. Wartawan veteran Chris Hedges bilang, imperium Amerika sudah tamat. Pakar globalisasi Noam Chomsky mengatakan, sejarah imperium Amerika yang merupakan teroris terbesar di dunia sudah berakhir. Yang paling gres, Amerika dan gengnya, NATO benar-benar seperti mendadak jadi dungu melihat sepak terjang Rusia di Ukrania. Hanya bisa koar-koar layaknya burung gagak melihat telornya dicuri elang. Obral pepesan kosong kepada Ukrania. Akhirnya Ukrania sendiri yang remuk redam, hancur lebur senasib dengan rejim-rejim boneka Amerika sebelumnya seperti Ashraf Ghani di Afghanistan. Diktator Sah Reza Pahlevi di Iran. Presiden Filipina Ferdinand Marcos. Presiden Vietnam Selatan Duong Van Minh. Hari Melawan Islamfobia ini senapas dengan petunjuk Allah di Quran Surah As Shaf ayat 10-11: “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas semua agama meskipun orang-orang musyrik membencinya.” Kita tunggu. Kehidupan ini seperti peredaran matahari yang masa edarnya tidak bisa diperlambat atau dipercepat kecuali oleh pemiliknya. Rabbi a’lam. Sidoarjo, 21 Maret 2022. (*)
Seri Radikalisme-Terorisme-02: Membidik Umat Islam
Apa status hukum kriteria radikal yang disusun BNPT? Mengapa persoalan internal umat Islam ditempatkan sebagai ancaman terhadap negara? Mungkinkah di negeri ini sedang terjadi pertarungan antara kelompok anti agama melawan umat Islam? Oleh Dr. Masri Sitanggang DALAM Seri 01, sepintas telah diungkap mengapa umat Isam merasa terteror dan dijadikan target operasi penanggulangan radikalisme-terorisme. Dalam Seri ini kita akan lebih mendalami dan mencoba melihat apakah ada kemungkinan semangat lain di balik operasi ini? Kasubdit Pemulihan Korban BNPT, Rudi Widodo, di Institusi Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran, Jakarta Selatan, 26/11/2019, mengatakan: “Kriteria radikal menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 disampaikan bahwa yang menjadi kriteria adalah pertama anti Pancasila, anti kebhinnekaan, anti NKRI, anti Undang-Undang Dasar 45\" (dari berbagai media). Tiga pekan sebelumnya (5/11/19), di ILC TV One, Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris, menyatakan ada empat kriteria radikal: (1) Intoleran, semua orang yang tidak sejalan dengannya salah; (2) munculnya konsep takfiri dalam masyarakat; (3) menolak NKRI; dan (4) menolak Pancasila. Sementara itu, indikator terpapar radikal, kata Direktur Pencegahan BNPT, Ahmad Nurwakhid, ditunjukkan dengan pemikiran dan sikap anti-Pancasila, pro khilafah, eksklusif, intoleran, anti budaya dan kearifan lokal. Indikator lainnya termasuk membenci pemerintah dengan menyebarkan hoaks, adu domba dan fitnah yang dapat memecah belah masyarakat (kureta.id, 11/10/21). Sebelumnya, Ahmad membeberkan tiga indikator: 1) ingin mengganti ideologi negara Pancasila dan juga sistem pemerintahan dengan segala cara; 2) takfiri yang berciri intoleran, cenderung anti budaya kearifan lokal, senang melabel kelompok di luar mereka sesat dan kafir; 3) cenderung lemah di bidang akhlak, perilaku, budi pekerti, lebih menonjol pada hal-hal yang sifatnya ritual keagamaan, identitas keagamaan, tampilan luar keagamaan (Tribunnews.com, 1/4/2021). Dalam kesempatan lain lagi, Ahmad menambah ciri lain, yakni sikap membenci dengan menganggap kenduri, yasinan, sedekah bumi, maulid, bidah, sesat, kafir. (Tribunnews.com, 29/10/2021). Jadi, BNPT menggunakan tiga macam istilah untuk mengungkapkan (seseorang terpapar) paham radikal : kriteria, indikator dan ciri. Tidak jelas, apa maksud dan kegunaaan penggunaan istilah-istilah tersebut. Masyarakat kebanyakan, rasanya sulit membedakan ketiga istilah itu. Apalagi bila menilik apa saja yang termasuk kriteria, apa saja yang termasuk indikator dan apa pula yang menjadi ciri. Semuanya tumpang tindih. Meminjam istilah matematika himpunan, intercept satu dengan lainnya. Mengenai kriteria, terdapat perbedaan antara versi Rudi dengan versi Irfan. Rudi tidak memasukkan “intoleran” dan “takfiri” sebagai kriteria melainkan menggantinya dengan “anti kebhinnekaan” dan “anti UUD 45”. Ini jelas bukan perbedaan diksi semata, melainkan juga esensi. Lelah saya menelaah UU Nomor 5 Tahun 2018 (selanjutnya disebut UU Terorisme) yang dirujuk Rudi. Juga UU Nomor 15 Tahun 2003 serta Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang jadi dasar lahirnya UU terorisme itu. Tidak saya dapati kriteria radikal. Lalu, dari mana kriteria radikal dilahirkan BNPT? Apakah ia merupakan ekstraksi atau, sebutlah, pointer dari sebagaian UU Teroris? Tidak sama sekali. Untuk menyebutnya sebagai tafsir, pun tidak. Sebab, bahkan kata “Pancasila” dan “UUD 1945” dalam kaitannya dengan kata “radikal” pun tidak ada. Apalagi kata “takfiri” ,”intoleran, “anti”, dan “kebhinekaan”. Undang-undang Teroris tidak menyinggung soal keriteria sama sekali. Bahkan (entah mengapa) tidak pula mendefinisikan radikal, sehingga tidak jelas, sejenis “makhluk” apa radikal yang menghantui negeri ini sesungguhnya. Oleh karena itu menjadi pertanyaan: status hukum rumusan kriteria (juga indikator dan ciri) itu apa? Bolehkah digunakan sebagai dasar melakukan tindakan hukum? Koq, bisa membuat tak nyaman umat Islam? Itu poin pertama. Perbedaan kriteria radikal yang disampaikan dua petinggi BNPT itu, boleh jadi menunjukkan longgarnya rumusan keriteria radikal BNPT. Rumusan itu terbuka untuk ditambah, diubah atau disesuaikan dengan kepentingan. Begitu juga dengan indikator dan ciri terpapar radikal sebagaimana telah kita lihat variasinya di atas. Mungkin sangat tergantung pada respon masyarakat. Kalau respon negatif (ada perlawanan), lakukan perubahan, coret indikator dan ciri yang menimbulkan kemarahan itu. Ini, misalnya, terjadi pada kasus celana cingkrang, cadar, good looking, dan semacam itu yang kemudian diklarifikasi oleh BNPT bahwa radikal tidak dapat dinilai dari ciri-ciri fisik. Bila tidak ada yang keberatan, go ahead, lanjut atau tambah lagi. Keadaan semacam ini jelas buruk bagi upaya penegakan hukum. Itu poin kedua. Meski ada perbedaan besar - masing-masing antar rumusan kriteria, indikator dan ciri terpapar radikal - tetapi ada satu hal yang sama. Semua mengaitkan radikal - langsung maupun tidak, dengan agama. Yang dimaksud dengan agama di sini adalah Islam. Istilah-istilah yang digunakan khas merujuk pada ajaran Islam, persoalan dakwah dan sikap keberagamaan orang Islam. Bukan sekedar Istilah. Apa maksud BNPT memasukkan takfiri sebagai kriteria atau indikator radikal? Takfiri itu adalah persoalan internal umat Islam, yakni mudah mengafirkan sesama Islam. Bukan kepada orang di luar Islam, karena untuk orang di luar Islam persoalan sudah jelas. Apakah BNPT ingin menempatkan masalah internal umat Islam sebagai ancaman terhadap negara? Dalam ajaran Islam, memang tidak dibenarkan menghukumkan seseorang sebagai kafir sebelum jelas kafirnya. Tetapi kalau sudah jelas kafirnya, tidak boleh pula ragu untuk menyebutnya kafir. Bersandar kepada Bukhori, Muslim dan Abu Dawud: “Tidaklah sesorang menuduh orang lain fasik atau kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepadanya sendiri, jika yang dituduh itu tidak seperti yang dituduhkan kepadanya”. Kaidahnya menjadi begini: kalau seorang beriman menuduh orang beriman lain kafir, padahal tuduhannya tidak benar, maka yang kafir adalah yang menuduh. Sebaliknya, kalau seseorang sudah jelas kafir tetapi disebut beriman (bukan kafir), maka yang menyebut beriman itu adalah kafir. Kenyataannya, memang ada kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam dengan ajaran yang menyimpang dari Islam. Diperlukan sikap tegas menetapkan hukum kepada mereka sebagai sesat atau kafir. Tujuannya agar tidak merusak ajaran Islam, atau merusak aqidah umat Islam, atau merusak keharmonisan hidup umat Islam. Tetapi, memang, menetapkan hukum sesat atau kafir itu bukan tugas individu, melainkan diemban oleh lembaga Ulama yang memiliki kompetensi untuk itu. Negara pun, sesungguhnya mengemban amanah ini, sebagaimana dimaktubkan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI khususnya Pasal 30 ayat (3) huruf d dan e; dan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Perubahan Peraturan Jaksa Agung RI No: PER - 019/A/JA/09/2015 tentang Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam Masyarakat. Jadi, tidak salah menyatakan seseorang atau sekelompok orang sebagai sesat atau kafir, sepenjang itu dinyatakan oleh lembaga Ulama. Oleh karena itu, BNPT selayaknya tidak mencampuri urusan ini. Biarlah MUI berkoordinasi dengan Kejaksaan RI sebagaimana berlaku selama ini. Perbedaan pendapat (khilafiyah) dalam hal furu’ (cabang) di kalangan umat Islam sudah ada jauh sebelum NKRI lahir. Tetapi tidak pernah ada kerusuhan yang timbul karenanya. Kalau pun ada ribut, adalah ribut adu argumentasi saling mengemukakan dalil; dan itu adalah tradisi akademis. Bila semua pihak memiliki dalil yang dapat dipertanggungjawabkan, keributan berakhir dengan sendirinya dengan saling menghargai (contoh masalah qunut, ushalli, wirid yasin, maulidan). Itulah tradisi intelektual Islam yang telah berlaku berabad. Itu adalah jalan dan proses dakwah yang memang harus dilalui. Dengan memasukkan masalah-masalah khilafiyah ke dalam kriteria-indikator-ciri orang terpapar radikal, justru bisa memicu kegaduhan/kekacauan. Bukan ribut adu argumentasi berdasarkan dalil lagi, melainkan kecurigaan, kebencian dan permusuhan. Mereka yang tidak ikut Yasinan, Maulidan dan semacamnya, akan dilabel radikal. Demikian juga ustadz-ustadz yang mengajarkan hal-hal yang dapat merusak aqidah (seperti tahayul dan churafat) adalah radikal. Apalagi membahas masalah Politik Islam yang, mau-tidak mau, bersinggungan dengan Khilafah. Pintu diskusi sudah ditutup, pintu permusuhanlah yang lebar terbuka. Jadi, menjadikan persoalan-persoalan internal umat Islam sebagai persoalan radikalisme-terotisme (yang nota bene adalah persoalan ancaman terhadap negara), justeru akan memecah belah umat Islam dan membenturkan umat Islam dengan kelompok yang disebut penganut kearifan lokal keagamaan. Bila BNPT tetap melakukan itu, maka sangat sulit menghindari kesan kuat bahwa BNPT memang tendensius. Itu poin ke tiga. Para pejabat BNPT mengulang-ulang pernyataan bahwa \"Terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apa pun karena tidak ada satu agama pun yang membenarkan semua tindakannya, namun ia terkait dengan pemahaman dan cara beragama yang salah dan menyimpang dari oknum umat beragama”, seperti kata Ahmad. Saya percaya bahwa “terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apa pun”. Tetapi anak kalimat “namun ia (terorisme-pen) terkait dengan pemahaman dan cara beragama yang salah dan menyimpang dari oknum umat beragama” dan fakta bahwa kriteria-indikator-ciri terpapar radikal menunjukkan identitas Islam, saya menjadi berpikir sebaliknya. Simaklah pernyataan di atas, lalu jawab pertanyaan berikut: Siapakah yang menjadi teroris? Jawabannya adalah: orang yang beragama, yang salah dalam pemahaman dan cara beragama. Atau, pertanyaan diubah: terkait dengan apakah terorisme? Jawabnya: terkait dengan pemahaman dan cara beragama. Jadi, siapakah yang jadi teroris? Jawabnya: orang beragama. Dus, pernyataan yang diulang-ulang itu dapat dilhat sebagai upaya membidik kaum beragama, membentuk opini dan mengindoktrinasi publik sehingga memiliki pikiran alam bawah sadar bahwa teroris adalah orang beragama. Pernyataan itu sekaligus menutup kemungkinan adanya radikalis-teroris lain, khususnya dari kalangan anti agama (Komunis atheis). Komunis-atheis “terlindungi” oleh pernyataan ini. Dalam konteks ini, pandangan Ketua BPIP, Yudian Wahyudi: “Musuh terbesar Pancasila adalah agama”, mendapat pembenaran. Faktanya, hingga kini, belum ada laporan BNPT tentang adanya kalangan anti agama (komunis, atheis) terkait dengan radikalisme-terorisme. Entahlah, apakah Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 dan UU Nomor 27 Tahun 1999 tidak lagi ditegakkan. Padahal, Tap MPRS dan UU itu sangat jelas dan tegas mencantumkan paham Komunis dan segala aktivitas yang berkaitan dengan penyebaran paham komunis, termasuk melakukan hubungan/kerjasama dengan organisasi komunis baik di dalam maupun di luar negeri adalah kejahatan terhadap negara. KSAD Jendral Dudung Abdurachman memperingatkan adanya ancaman kelompok radikal kanan di masyarakat. Mata publik pun terarah ke kanan. Mereka lupa bahwa, kalimat Dudung itu menuntut konsekuensi adanya kelompok radikal kiri. Tidaklah sesuatu diberi keterangan tempat “kanan”, kecuali ada sesuatu yang sama di sebelah kiri. Artinya, bila ada radikal kanan, wajib ada radikal kiri. Dudung ada di posisi mana? Sebagai aparat pemerintah yang ingin membela konstituisi, kita berharap Dudung ada di posisi tengah. Jadi, ada tiga posisi: kanan, tengah dan kiri. Tapi untuk menjadi orang tengah, Dudung harus membuktikan adanya radikal kiri. Sebab, kalau tidak, maka posisi cuma ada dua: kanan dan kiri (tidak ada tengah). Maka maaf (sekedar untuk mebuka pikiran saja), Dudung terpapar radikal kiri. Kalau demikian adanya, maka dapatlah disimpulkan, ada dua radikal di Indonesia yang kini sedang bertarung berhadap-hadapan: radikal kanan versus radikal kiri, tanpa penengah. Dengan cara yang sama, BNPT harus menghadirkan fakta bahwa BNPT menyorot juga radikalisme -terorisme kaum anti agama. Kalau tidak, maka pernyataan yang diulang-ulang oleh BNPT dapat melahirklan kesimpulan yang sama: di Indonesia ada dua kelompok yang saat ini sedang bertarung berhadap-hadapan: kelompok kaum beragama (Islam) versus kelompok anti agama (komumis-atheis), tanpa wasit. Ini akan menjadi masalah besar bagi bangsa. Itu poin ke empat. Pancasila adalah kesepakatan luhur kita dalam medirikan negara ini. Ia adalah Philosophische grondslag yang mendasari semua kehidupan benegara. Tetapi, sebagaimana agama, Pancasila juga bisa dijadikan topeng oleh kalangan tertentu untuk mencapai ambisi politiknya (Insya Allah, kita ulas pada seri berikutnya). Kita sungguh berharap Boy Rafli Amar dapat menata BNPT tidak hanya merubah diksi dan peristilahan serta kriteria dan inkator radikal, tapi juga kinerja BNPT yang menjangkau semua potensi yang membahayakan negara dengan semua perangkat hukum yang terkait. Wallahu a’lam bisshawab. (*)
Seri Radikalisme-Terorisme – 01: Setelah Madrasah, Masjid, dan Pesantren, Apa Lagi?
Umat Islam Indonesia memang merasa terteror selama pelaksanaan program penanggulangan radikalisme-terorisme. Sekadar kesalahan diksi dan peristilahankah, atau ada semangat islamofobia? Aparat selayaknya memahami Pancasila dan ajaran Islam yang benar. Oleh Dr. Masri Sitanggang PERMINTAAN maaf Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar, terkait pernyataannya 198 pesantren terafiliasi dengan terorisme, kepada Pengurus MUI Pusat Kamis (03/02/2022), sedikit melegakan hati Umat Islam. Apalagi, Boy Rafli kemudian berjanji bahwa BNPT tidak akan sungkan-sungkan mengubah peristilahan dan diksi yang dianggap kurang tepat dan dapat menimbulkan kesan stigma negatif kepada Islam dan umat Islam. Termasuk ketika membuat kriteria dan indikator kelompok teroris. Umat Islam memang merasa terteror oleh kegiatan pelaksanaan penanggulangan radikalisme-terorisme selama ini. Mereka merasa sedang dipojokkan, bahkan dijadikan target. Lumrah, karena sepanjang yang berkaitan dengan penyebaran paham radikal dan penangkapan terduga teroris, semuanya dihubungkan dengan orang Islam dan simbol-simbol Islam. Framing berita sedemikian rupa sehingga tercipta kesan bahwa Islam dan umat Islam demikian jahat terhadap negara ini. Yang disasar bukan saja mereka yang diduga telah dan/atau akan melakukan aksi teror, melainkan juga yang berpakaian cingkrang, bercadar dan yang berjenggot. Malah, telah pula merambah ke wilayah pemikiran dan keyakinan agama yang disebut sebagai “radikal dan dapat mengarah pada tindakan terorisme”. Stigmatisasi Islam radikal sudah terasa sejak periode pertama Presiden Joko Widodo berkuasa. Berdasarkan apa yang disebut “survey”, disiarkan bahwa paham radikal telah merambah ke sekolah-sekolah dan kampus melalui pengajian dan Studi Islam Intensif yang dilakukan OSIS atau Lembaga Dakwah Kampus. Tak pelak, program menghafal Alquran yang dilaksanakan oleh OSIS, pun dhubungkan dengan radikalisme di sekolah (Ade Chariri, mengutip Ma’arif Intitute, 2018). Buku ajar Islam, termasuk di Madrasah Aliyah, juga tak lepas menjadi sorotan. Padahal, konten buku itu bukanlah hal yang baru. Entahlah, apakah survey-survey itu bagian dari kegiatan akademik atau dirancang untuk kepentingan tertentu. Yang pasti, jika ditilik dari laporan survey-survey (setidaknya yang terekspose) tersebut, objek survey hanya siswa Islam dan kegiatan keislaman. Pada periode kedua pemerintahan Jokowi, kecemasan umat Islam meningkat. Pasalnya, semua kementerian dalam Kabinet Indonesia Maju seperti punya tugas yang sama: berantas radikalisme; dan itu, sekali lagi, terarah kepada Islam dan Umat Islam. Radikalisme (Islam) tiba-tiba seolah menjadi persoalan utama bangsa yang mendesak untuk ditangani secara keroyokan, mengalahkan masalah-masalah lain – yang sesungguhnya dikeluhkan publik semisal kemiskinan, pengangguran dan tenaga kerja asing, ketimpangan sosial dan ketidakadilan di berbagai bidang, penggusuran lahan, masalah hukum dan perundang-undangan, mega korupsi di berbagai instansi, masalah Papua, dll. Seakan Islam dan umat Islam-lah musuh aktual negara saat ini. Masih hitungan bulan Kabinet Indonesia Maju, negeri ini sudah gaduh. Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi – waktu itu baru menjabat sepekan, menumpahkan isi hatinya: “Musuh terbesar Pancasila adalah agama”. Yudian menyingung adanya partai yang menggunakan azas Islam dan adanya Ijtima’ ulama menjelang Pilpres 2019, sehingga tidak keliru kalau kemudian orang berkesimpulan bahwa yang dimaksud “agama” olehnya adalah Islam. Meski pun Yudian coba meluruskan –setelah gaduh besar, bahwa yang dimaksud adalah adanya kelompok yang menggunakan agama untuk memusuhi Pancasila, tetapi tetap saja tidak bisa lurus. Logika pelurusannya, tidak lurus. Belum reda soal Yudi Wahyudi, Menteri Agama Jendral (Purn) Fachrur Razi – yang sejak awal diangkat menjadi menteri menyatakan siap memerangi radikalisme, melemparkan pernyataan yang sunguh mengejutkan. Dikatakan, faham radikalisme masuk ke lingkungan ASN melalui orang-orang yang - good looking - yakni sosok orang yang berpenampilan menarik, aktif di Masjid, hafal Al-Quran dan terlihat mumpuni dalam soal agama. Sukar menggambarkan betapa beratnya pukulan Fachrurozi kepada umat Islam. Bukan saja karena ia seorang Menteri Agama dan ucapannya terang mengarah kepada umat Islam, melainkan juga karena spektrum sasarannya sangat luas: penghapal Qur’an – berarti juga lembaga pendiikan penghafal Al Qur’an; orang yang terlihat mumpumi soal agama – berarti termasuk pendakwah; berpenampilan menarik dan aktif di mesjid – berarti terkait dengan masjid. Semua itu harus dicurigai sebagai penyebar atau sumber radikalisme. Yang demikian inikah tugas Menteri Agama? Pada awal 2022 ini, para pejabat seperti berkompetisi mengambil bagian dalam urusan radikalisme (Islam). Serasa negara sudah sangat genting. Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk PNS untuk siap memerangi berbagai ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri, yang ingin menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Layaknya seorang penguasa, Jumat (21/1/2022), dia mengatakan: \"Saya ingin menegaskan kita harus bisa menentukan sikap. Menentukan siapa kawan dan siapa lawan pada kelompok, perorangan, atau golongan yang anti Pancasila, anti Bhinneka Tunggal Ika, anti NKRI, anti kemajemukan bangsa dan UUD 1945,\" ujar Tjahjo (iNews.id). Beberapa hari kemudian, KSAD Jendral Dudung Abdurachman, di depan 2.655 prajurit TNI AD, menyatakan adanya ancaman kelompok radikal kanan di masyarakat dan sudah masuk di kelompok-kelompok pelajar. Perkembangan kelompok radikal kanan ini, dikatakan, sudah dalam hitungan menit. Kata Dudung: “Saya kemarin dapat informasi dari Rapim Kemhan, begitu juga dari penyelidikan kita, dari mulai perilaku dan sebagainya mulai mengarah-arah seperti itu\" (Republika.id, 25-I -22). Tidak ada penjelasan, seperti apa perilaku yang mengarah ke paham radikal dimaksud. Yang pasti, istilah “kanan” dalam sejarah Indonesia selalu merujuk pada Islam. Selanjutnya, Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Gedung Parlemen, Selasa (25/1), menyebut ada 198 pesantren yang terafiliasi dengan jaringan teroris. Sehari kemudian, tersiar berita: Polri bakal memetakan masjid-masjid se-Indonesia dalam rangka mencegah penyebaran radikalisme dan terorisme lewat rumah ibadah. Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen dan Keamanan Polri, Brigjen Umar Effendi, mengatakan: \"Masjid ini sekarang \'warna\'-nya macam-macam ada yang hijau, ada yang keras, ada yang semi keras dan sebagainya.\" Tidak jelas juga apa yang dimaksud dengan “hijau”, “keras” dan “semi keras”; dan apa ukuran yang dipakai untuk mengelompokkan seperti itu : apakah Islam sebagaimana sumber nilainya, atau (Islam) menurut pandangan Polri? Masih banyak catatan yang bisa diungkap. Namun sepenggal senarai di atas, cukuplah untuk memahami kenapa umat Isam merasa diteror. Bayangkan! Berpenampilan baik, dicurigai; berpengetahuan Islam dengan baik, dicurigai; aktif di Masjid, juga dicurigai; Masjid dan Pesantren yang punya andil terbesar dalam perjuangan melawanan penjajah, sudah pula dicurigai; kegiatan kerohanian di sekolah dan kampus juga dicurigai. Apa lagi yang tersisa? Mungkin tinggal beribadah haji ke Baitullah yang belum. Entahlah beberapa hari ke depan. Mungkin akan dicurigai juga sebagaimana yang dilakukan penjajah Belanda. Syukur, Boy Rafli dapat membaca denyut jantung umat Islam. Sebagai badan yang bertanggungjawab penuh soal rasikalisme-terorisme, BNPT sudah sepatutnya mengontrol sepenuhnya isu radikalisme dan terorisme sehingga tidak liar dan justeru berpotensi memecah kesatuan bangsa. Namun demikian, ada tersisa pertanyaan mendasar: Apakah terterornya umat islam dalam hal penanganan radikalisme-terorisme semata-mata karena pilihan diksi dan peristilahan yang kurang tepat? Atau, tidakkah diksi dan peristilahan yang dipakai selama ini memang begitulah adanya, keluar dari hati sebagai cerminan semangat Islamofobia? Pertanyaan kedua ini muncul mengingat semua pejabat yang berbicara radikalisme dan terorisme menggunakan diksi dan peristilahan yang lebih kurang sama. Artinya, sulit membayangkan sejumlah pejabat tinggi negara melakukan kesalahan diksi secara bersamaan dalam satu hal. Jika pertanyaan ke dua jawabannya “Ya”, maka penggantian diksi dan peristilahan tidak akan mengubah situasi kecuali meninabobokkan sementara umat Islam. Perubahan diksi dan peristilahan tak lebih sekedar obat penenang, tidak menyelesaikan masalah. Apa yang telah dilakukan selama ini oleh aparat, seperti sebagian telah disenarai di atas, berkonsekuensi sangat luas dan tidak menghasilkan kebaikan pada negara ini (persoalan ini akan diulas pada tulisan terpisah). Maka, tepat sekalilah jika Boy Rafli bersedia mengubah kriteia dan indikator yang menyangkut radikalisme-trerorisme. Hemat saya, setidaknya empat azas harus dipenuhi agar penanggulangan radikalisme-terorisme tidak malah menjadi teror bagi sesiapa dan kelompok apa pun. Pertama. Defenisi “radikal” dan “teror” haruslah benar-benar jelas, sehingga terhindar dari kemungkinan bias atau dibiaskan. Khusus masalah “radikal”, perlu ditentukan batasan: radikal macam apa yang dibolehkan dan radikal seperti apa yang dilarang. Atau dicarikan isltilah lain (karena kita terlanjur membingungkan diri dengan memaknai radikal secara negatif) untuk radikal yang dilarang. Ini penting agar jangan sampai anak-anak kita di kemudian hari (karena takut) tidak lagi mau melakukan hal-hal radikal (meski positip), tidak mampu berfikir radikal. Akibatnya lahirlah generasi yang pikirannya tanpa pijakan alias mengawang-awang, ucapannya kosong tanpa bobot dan tindakannya hanya mengekor tanpa inisiatif dan tak mampu berinovasi. Yang demikian inilah generasi terjajah. Kedua, Khusus menyangkut radikaisme. Sepanjang terkait dengan kenegaraan, maka alat ukur yang tepat untuk menentukan tingkat negatifitas radikal (batas toleransi) adalah Pancasila dan UUD 1945. Bukan pandangan subjektif penguasa. Orang beragama yang baik haruslah radikal, berpegang teguh pada dasar-dasar ajaran agama yang dianut sebagaimana yang ada di kitab suci dan ajaran Nabinya. Maka, bila berkaitan dengan keyakinan dan ajaran agama, negatifitas radikal sesesorang atau kelompok orang harus diukur dengan nilai-nilai ajaran agama yang mereka yakini. Sepanjang masih memiliki landasan dari sumber nilainya, tidak boleh diharamkan. Ini untuk menjamin terlaksananya Pasal 29 ayat 2 UUD1945. Jadi, tidak diukur dengan agama atau pandangan lain. Jika diukur dengan nilai lain selain agamanya, sudah jelas tidak cocok; deradikalisasi akan berubah menjadi deagamaisasi (bila menyangkut Islam, deislamisasi). Oleh sebab itu aparatus negara, terutama yang concern terhadap radikalisme-terorime, harus betul-betul memahami dan melaksanakan Pancasila (saya ragu soal ini, akan diulas dalam tulisan terpisah). Karena di lapangan akan berhadapan dengan mayoritas muslim, maka juga harus mendalami ajaran Islam agar dapat mengukur “radikalisme Islam” secara tepat. Dalam prakteknya, perlu mendengar/melibatkan secara aktif para ulama atau pimpinan ormas Islam. Ketiga, Sepanjang radikalisme masih di wilayah pemikiran, perdebatan gagasan intelektual, deradikalisasi harusnya dilakukan dengan dialog adu pemikiran, perdebatan gagasan intelektual. Dengan demikian akan terbangun/terpelihara suasana akademik berkemajuan. Bukan menghakimi, apalagi dengan pendekatan kekuasaan. Cara terakhir ini, ciri pemerintahan otoriter, hanya akan membunuh kreatifitas berfikir dan mematikan membunuh intelektualitas. Keempat, Transparan dan adil dalam implementasi. Penanganan radikalisme-terorisme haruslah transparan agar terhindar dari fitnah yang berujung pada pendzoliman. Tidak melempar isu tanpa penjelasan yang kongkrit dan terverifikasi yang menimbulkan kecurigaan dan kegaduhan. “Kamera pengintai” radikalisme-terorisme haruslah adil. Bila Indonesia ini diibaratkan sebuah ruangan yang diisi sejajaran orang yang mewakili masing-masing suku dan agama yang ada, maka kamera yang sama dalam waktu yang sama harus menyorot semua warga yang ada di ruangan tanpa kecuali. Dengan demikian akan terlihat wajah setiap orang dengan kelebihan dan kekurangannya. Bukan hanya menyorot sosok orang Islam dari sisi yang diinginkan cameraman. Empat azas inilah yang selama ini tidak tampak, sehingga niat menanggulangi radikalisme-terorisme agar tercipta Indonesia yang aman, berbalik menjadi sumber kegaduhan dan mengancam kesatuan. Wallahu a’lam, semoga Boy Rafli diberi Allah SWT kekuatan untuk melaksanakan niat luhurnya. (*)