ALL CATEGORY

Begal Karyawati Basarnas Gelar Pesta Narkoba Sebelum Beraksi

Jakarta, FNN - Penyidik Polres Metro Jakarta Pusat mengungkapkan eksekutor begal berinisial ADR alias T yang menewaskan karyawati Basarnas, sempat menggelar pesta narkoba sebelum menjalankan aksi kejahatan. ADR, sang eksekutor beraksi bersama ketiga temannya merampas telepon seluler milik korban MN (22) hingga meninggal dunia akibat luka terkena sabetan celurit pada 22 Oktober lalu sekitar pukul 02.47 WIB. "Sebelum melakukan aksi, dia pesta narkoba dulu, kemudian mereka berangkat," kata Wakil Kepala Polres Metro Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Polisi Setyo Koes Hariyanto saat konferensi pers di Jakarta, Selasa, 16 November 2021. Setyo mengatakan ADR sengaja mengonsumsi narkoba untuk meningkatkan keberanian sebelum melakukan tindakan keji hingga menewaskan korban. Menurut dia, ADR berniat merampas telepon seluler milik MN, namun tersangka melukai lengan kiri hingga menembus paru korban. "Dia tidak tahu itu akan berakibat fatal dan korbannya meninggal dunia. Jadi dia asal sabet pakai celurit mengenai korban dan mengakibatkan korban meninggal dunia," ujar Setyo, sebagaimana dikutip dari Antara. Adapun, petugas menciduk ADR di Gadog, Kabupaten Bogor pada Ahad, 14 November 2021 lalu, setelah dinyatakan masuk daftar pencarian orang (DPO). Sedangkan, tiga pelaku lainnya telah ditangkap sebelumnya, yakni RP (18) diringkus di Tamansari, Jakarta Barat, selanjutnya MG (18) dibekuk di Klender, Jakarta Timur, dan terakhir MR (24) ditangkap di Bogor. Diketahui, komplotan penjahat tersebut telah melakukan aksi serupa pada dua lokasi lainnya yang berada di Jakarta Timur. Akibat perbuatannya, ADR dikenakan pasal berlapis, yaitu Pasal 361 dan 365 KUHP dengan ancaman kurungan penjara lebih dari lima tahun. (MD).

Polri Pertahankan Sinergitas TNI di Bawah Kepemimpinan Jenderal Andika

Jakarta, FNN - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mendukung pelantikan Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai Panglima TNI menggantikan Marsekal TNI Hadi Tjanjanto, sekaligus memastikan sinergitas kedua institusi tetap bertahan dan berjalan baik. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo mengatakan bahwa pelantikan Jenderal TNI Andika Perkasa sudah menjadi keputusan Presiden Joko Widodo. "Sikap Polri tetap mendukung penuh apa yang menjadi kebijakan dari Pemerintah, khususnya Bapak Presiden. Itu merupakan hak prerogatif Bapak Presiden," kata Dedi. Terkait dengan sinergitas antara Polri dan TNI, menurut Dedi, sudah terbentuk mulai dari tingkat pimpinan hingga tingkat bawah. Kapolri, lanjut Dedi, selalu meningkatkan sinergitas di unsur pimpinan. Bahkan, dengan Panglima TNI terpilih, sinergi juga sudah berjalan sejak lama. Dedi menambahkan bahwa sinergitas Polri/TNI tersebut dalam rangka menciptakan situasi keamanan, ketertiban masyarakat (kamtibmas), dan dalam rangka kegiatan operasi kemanusiaan. "Sinergitas ini akan terus ditingkatkan, termasuk pengamanan terkait dengan kegiatan, baik event internasional maupun nasional," kata Dedi. Presiden Joko Widodo mengagendakan pelantikan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai Panglima TNI pada hari Rabu (17/11). Pelantikan ini akan dilakukan di Istana Negara. Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI pada hari Senin (8/11) menyetujui usulan Presiden Joko Widodo yang mengajukan nama Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI. Persetujuan tersebut diambil setelah mendengarkan laporan Komisi I DPR yang telah menyelenggarakan proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon Panglima TNI pada hari Sabtu (6/11). Dalam rapat paripurna tersebut, Jenderal TNI Andika Perkasa hadir dan diperkenalkan di hadapan anggota dewan. Andika dipilih sebagai Panglima TNI untuk menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto yang akan memasuki masa pensiun. Sebelum dipercaya menjadi Panglima TNI, Andika Perkasa adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad). Andika juga pernah mengemban jabatan penting di tubuh TNI sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), dan Komandan Komando Pembina Doktrin Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat (Dankodiklat AD). Andika juga pernah bertugas memimpin teritorial saat menjadi Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XII/Tanjungpura pada tahun 2016. Sebelum menjadi Pangdam XII, Andika adalah Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) yang mengawal Presiden Jokowi. (sws)

Mensos Ingin PAKU Integritas dengan KPK Jadi Budaya Tangkal Korupsi

Jakarta, FNN - Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini menginginkan program Penguatan Antikorupsi Penyelenggara Negara Berintegritas (PAKU Integritas) yang dilaksanakan bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi budaya untuk menangkal segala bentuk praktik korupsi. "Jadi, bagaimana pendidikan karakter integritas itu menjadi suatu budaya untuk menangkal praktik korupsi, selain perbaikan sistem yang kita buat," kata Mensos Tri Rismaharini di Gedung KPK Jakarta, Selasa. Melalui kerja sama antara KPK dengan Kemensos, Risma berharap segala bentuk praktik korupsi terutama di lingkungan kementerian yang dipimpinnya dapat dicegah sebelum terjadinya penyimpangan. "Kami menyambut baik meskipun selama ini saya juga sudah berupaya mewujudkan hal itu," kata eks Wali Kota Surabaya tersebut. Menurut dia, melalui program PAKU Integritas yang digagas oleh lembaga antirasuah tersebut, maka upaya-upaya yang telah dilakukannya selama ini akan jauh lebih mudah diterapkan karena dibantu langsung oleh KPK. Apalagi, program pendidikan antikorupsi yang diberikan oleh KPK tersebut akan menyasar langsung para pejabat atau penyelenggara negara untuk jangka pendek dan panjang. "Jadi akan lebih mudah dan cepat bersama KPK," ujarnya. Dalam waktu dekat, para pejabat di lingkup Kemensos terutama eselon satu akan melakukan pendidikan dan latihan sesuai program PAKU Integritas yang telah disusun oleh KPK. PAKU Integritas merupakan salah satu program pendidikan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang antikorupsi khusus bagi para penyelenggara negara di kementerian/lembaga. Program ini meliputi dua kegiatan utama yaitu pembekalan antikorupsi (executive briefing) bagi penyelenggara negara beserta pasangannya dan pendidikan dan latihan pembangunan integritas bagi para penyelenggara negara. KPK memandang Kemensos sebagai salah satu kementerian yang memiliki peran penting dan strategis. Sejumlah kajian sistem telah dilakukan KPK termasuk di masa pandemi. Salah satunya terkait kajian tata kelola bantuan sosial (bansos) di tahun 2020. (sws)

Satgas PPLN Bubarkan Demonstrasi Imigran di Makassar

Makassar, FNN - Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri (PPLN) Kota Makassar, Sulawesi Selatan, akhirnya berhasil membubarkan demonstrasi para imigran yang bertahan di perwakilan UNHCR di depan gedung Menara Bosowa, Makassar, Sulawesi Selatan. "Sudah dibubarkan, karena demonstrasi mereka menyalahi aturan. Mereka sudah lama disitu, sudah hampir satu bulan, " tegas Ketua Satgas PPLN Makassar, Muhyiddin, Selasa. Ia mengatakan tindakan tegas pembubaran imigran tersebut malam tadi, disebabkan laporan masyarakat atas aksinya telah meresahkan, mendirikan tenda di atas pendestrian jalan hingga bermalam selama dua pekan mengganggu aktifitas warga. Selain itu, pihaknya telah berkoordinasi dengan perwakilan UNHCR sebagai organisasi yang menangani pengungsi imigran serta aparat kepolisian di kantor Polrestabes Makassar untuk menindaklanjuti tuntutan mereka dipindahkan ke negara ketiga, karena Indonesia hanya menjadi negara persinggahan. "Kalau mereka mau bersabar tentu ada jalan keluarnya, sebenarnya kan ini sisa menunggu. Untuk penindakan dan penertiban itu ranah kami. Tapi, penanganan pengungsi imigran itu bukan wewenang kami, tapi UNHCR," ucap Kepala Dinas Sosial Makassar itu menjelaskan. Penertiban tersebut melibatkan Satgas PPLN Dinas Sosial, Satpol PP, dibantu tim Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kemenkumham Wilayah Sulsel. Seluruh barang perangkat aksi mereka telah disita oleh Satpol PP. Puluhan pengungsi imigran ini kemudian diangkut ke lokasi pengungsiannya atau Community House di Makassar. Secara terpisah, Kepala Seksi Registrasi, Administrasi dan Pelaporan Rudenim Makassar Rita menyatakan, pembubaran itu telah mendapat ijin dari pihak manajemen gedung Menara Bosowa serta berkoordinasi dengan Satgas PPLN. Kendati demikian, Rita tidak memberi penjelasan lebih detail apa saja syarat pengungsi imigran bisa mendapatkan resetlement karena masih menunggu perintah dari atasannya. "Soal ini sudah beberapa kali dimediasi menghadirkan UNHCR. Untuk Afirmasi saya coba minta kepada Kepala Rudenim," kata pria asal Sebelumnya, koordinator demonstrasi pengungsi imigran, Habib, menuturkan, tujuan dari aksinya meminta kejelasan kepada UNHCR mengenai ressetlement atau pemukiman kembali ke negara ketiga. "Sudah 14 hari kami bertahan di sini. Tapi tuntutan kami tidak direspons mereka (UHCR) dan tidak mau menemui kami. Kami tidak mau melawan, hanya minta tolong kepada pemerintah Indonesia supaya dikasih kejelasan dari UNHCR, "tutur pria asal Afghanistan yang sudah hidup di Indonesia selama 15 tahun ini menjelaskan. (sws)

Polisi Takut Sama Luhut?

Oleh Sugengwaras *) Kapolri harus turun tangan, peka dan peduli atas penolakan anggotanya terhadap laporan Prodem terkait dugaan bisnis PCR yang menyeret nama Luhut Panjaitan dan Erick Thohir. Jika tidak, ini merupakan yang kesekian kalinya Polri inkonsisten terhadap pencanangan presisi ( prediktif, responsibilitas, tranparansi yang berkeadilan ) dari Kapolri, yang apabila benar benar diimplementasikan berdampak harumnya aroma Polri Ini hak rakyat, yang tidak bisa ditolak dengan alasan pembenaran Soal benar atau salahnya dugaan atau sangkaan itu nanti akan terjawab pada proses hukum / pengadilan Polri harus prediktif dan tranparansi, untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh warga negara tanpa pandang bulu Jika Polri tetap bersikeras mempertahankan dan menolak laporan ini, sesungguhnya Polri hanya menang pada tingkat taktis operasional, tapi kalah ditingkat strategis Artinya Polri hanya menang karena berlatar belakang kekuasaan dan kewenanganya, namun menjadi kalah karena tidak memperoleh kepercayaan dari rakyat Perlu dipahami pencanangan presisi polri merupakan adagium yang selayaknya didukung oleh rakyat dan semua pihak, karena pada esensinya presisi Polri merupakan kunci kejujuran, kebenaran, keadilan dan kemanusiaan yang adil dan beradab Oleh karenanya Polri perlu mempertimbangkan lagi penolakan atas dugaan / sangkaan bisnis PCR yang melibatkan LBP dan ET ini, sesuai peransi polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayanan terhadap masyarakat serta penegakan hukum, yang tidak terlibat pada politik praktis melainkan politik negara Barangkali ini merupakan seleksi nyali dalam menghadapi tantangan tugas tugas Polri kini dan masa mendatang yang semakin berat Tentunya rakyat berharap Polri semakin profesional, visioner, kredibel dan elektabel dalam mendukung citra baik NKRI *) Purnawirawan TNI AD.

Mosi Tidak Percaya PII kepada Menteri Nadiem Makarim

Oleh: Rafani Tuahuns Kepada Nadiem Makarim Sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset & Teknologi. “Salah kaprah Pendidikan, salah kiprah Kementrian”. Percepatan Pembangunan Pendidikan Nasional, merupakan satu hal mendesak bagi masyarakat pelajar Indonesia, di tengah-tengah masa depan yang akan penuh dengan persaingan baik tingkat nasional dengan bonus demografi, ataupun persaingan di tingkat global. Orientasi pada kemajuan pendidikan dan reformasi pendidikan serta digitalisasi sejak awal kepemimpinan Joko Widodo – Ma’ruf Amin menjadi tema yang kerap diusung dalam rumusuan rumusan formulatif Presiden dan Wapres. Penunjukan Nadiem Makarim pada periode kedua Presiden Jokowi sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset & Teknologi alasannya karena telah berhasil dalam melakukan perubahan teknologi informasi di Indonesia dengan membangun Gojek. Kepercayaan ini dipertaruhkan Jokowi agar terjadi akselerasi teknologi di bidang pendidikan Nasional. Termasuk memudahkan para pelajar dalam mengakses pendidikan, sehingga tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang tak mendapatkan pendidikan yang baik, bermutu, sebagaimana yang tertera dalam RPJMN 2020- 2024 yang berfokus pada pembangunan dan peningkatan kualitas dan pemerataan layanan pendidikan. Namun hingga saat ini, di tengah situasi pandemi yang semestinya menjadi ruang bagi Menteri mantan CEO perusahaan teknologi raksasa Indonesia itu untuk membuktikan kepiawaiannya menggunakan teknologi untuk mengakselerasi bidang pendidikan, justru malah berbanding terbalik. Nadiem Makarim dalam kebijakannya, tak mampu memanfaatkan teknologi untuk mempercepat pembangunan di bidang pendidikan. Alih alih, Nadiem malah berkutat pada program-program jargonistik yang tak tentu arah. Data BPS yang dirilis pada 2020 setidaknya telah menunjukan Kesenjangan pendidikan antar kelompok ekonomi masih menjadi permasalahan dan semakin lebar seiring dengan semakin tingginya jenjang pendidikan. Kesenjangan pendidikan juga masih tinggi apabila dibandingkan antar wilayah. Pembelajaran berkualitas juga belum berjalan secara optimal dan merata antar wilayah. Sejumlah langkah sudah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sayangnya, upaya yang dilakukan belum dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Semenjak ditetapkannya sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan RI, kebijakan Nadiem Makarim banyak menuai kontroversi, dan penolakan oleh berbagai elemen masyarakat baik praktisi, akademisi dan organisasi. Pasalnya beberapa Program yang dirumuskan Nadiem Makarim dirasa terlalu besar mengeluarkan anggaran namun tidak sesuai dengan orientasi pendidikan nasional yang termuat dalam Sisdiknas. Salah satu program yang sangat kontroversi diawal jabatannya sebagai menteri ialah Program Organisasi Penggerak, dimana anggaran yang dicanangkan dalam program tersebut berkisar sekitar Rp 595 miliar yang dialokasikan untuk 156 ormas. Dalam lampiran peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud tertuang skema pembiayayaan dibuat dengan dengan tiga kategori yaiut Gajah (Kategori I) dengan jumlah Rp 20 miliar, Macan (Kategori II) Rp 5 Miliar dan Kijang (Kategori III) Rp 1 miliar. Persoalan yang kemudian keliru ialah hampir sebagian besar penerima hibah tersebut tidak kredibel karna terdapat lembaga-lembaga CSR yang semestinya sudah menjadi tugas mereka menggunakan dana perusahaan dalam berkolaborasi memajukan pendidikan, justru masuk dalam institusi yang mendapatkan “jatah” dari anggaran pendidikan. Selain itu, baru-baru ini Nadiem juga membuat program boros anggaran yang tak sadar kondisi masyarakat pelajar, seperti program pengadaan laptop yang nilainya mencapai Rp 17 triliun. Secara sekilas, mungkin ini merupakan hal baik karena memberikan fasilitas belajar kepada anak didik, namun sayangnya infrastruktur teknologi lainnya tidak mencukupi. Layanan internet Indonesia masih sangat timpang antara di kota dan pedesaan. Pengadaan laptop hanya akan menambah lebar jurang kualitas pelajar di kota dan desa. Hal ini juga menunjukkan bahwa Nadiem sangat lemah memahami apa dan untuk apa pendidikan Nasional itu. Lain halnya ialah pengadaan harga satuan laptop yang diluar nalar dengan bandrol 10 juta/laptop dengan spesifikasi mesin dibawah standar. Terakhir yang tak kalah borosnya dari agenda nadiem ialah renovasi ruang kerja yang bernilai fantastis dan tidak masuk akal dengan menghabiskan angka sebesar Rp 5 miliar. Klarifikasi pihak kemendikbud atas itu ialaha proses renovasi yang dilakukan ialah keseluruhan dua lantai gedung A keseluruhan lantai. Namun dengan anggaran yang sebesar itu tentu saja hal itu sangat disayangkan karna berlebihan dalam penganggaran renovasi. Salah kaprah kebijakan Nadiem Makarim sebagai mendikbud tidak hanya pada pengalokasian anggaran yang tidak masuk akal. Tetapi juga melalui kebijakan kebijakan yang apolitis dan inkonstitusional dengan adanya Permendikbud Nomor 28 tahun 2021 tentang Organisasi Tata Kerja Kemendikbudristek yang mengahpuskan Badan Standar Nasional Pendidikan, padahal jika kita pahami BSNP merupakan produk dari UU Sisdiknas 2003 sebagai pedoman konstitusi pendidikan nasional Indonesia. Selain dari ragam kebijakan dan program nadiem makarim yang penuh dengan kontroversi, PB PII mencatat beberapa apologi Mendikbudristek sebagai bentuk indikasi dari ketidaksiapan dan kegagalannya mengelola Kebijkakan. Catatan pertama adalah perumusan Kamus Sejarah Indonesia Jilid II yang menghilangkan beberapa peran tokoh agama yang berjuang melakukan perlawanan terhadap bangsa Kolonial. Hal tersebut kemudian memicu respon dari berbagai kelompok masyarakat dan ormas Islam. Pasca dari itu nadiem makarim menyampaikan permohan maafnya dengan mendatangi salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia. Bukan hanya itu, catatan kedua apologi nadim datang ketika sempat hilangnya frasa agama dalam draf peta jalan pendidikan Indonesia 2020-2035. Hal tersebut mengundang banyak kekecewaan masyarakat yang meyakini pendidikan agama sebagai bagian dari kurikulum pendidikan yang sesuai dengan jalan dan cita-cita pendidikan nasional. Atas kegaduhan tersebut kemudian Nadiem Makarim melakukan klarifikasi serta menjanjikan frasa agama tidak akan terhapus dari Peta Jalan Pendidikan Nasional. Catatan terakhir, klarifikasi Nadiem Makarim dilakukan saat Mendikbud menetapkan Permendikbud Nomor 6 tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler yang sangat diskriminatif dan tidak berkeadilan. Pasalnya dalam Permen tersebut memuat beberapa syarat sekolah penerima Dana Bos yang mengenyampingkan prinsip prinsip pemarataan, terutama Pasal 3 ayat (2) huruf d yang mendapatkan banyak penolakan dari masyarakat tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler yang tertera ketentuan sekolah yang memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir. Tiga kasus tersebut setidaknya kami mencatat kinerja menteri Nadiem Makarim yang tidak benar-benar memahami pendidikan nasional khususnya untuk membangun kualitas dan menyelesaikan persolaan ketimpangan yang terjadi di pendidikan Indonesia yang sesuai dengan amanat RPJM 2020-2024. Offside dalam Pandemi Sejak Presiden menyatakan secara resmi kasus Corona di Indonesia pada 2 Maret 2020, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menetapkan Surat Edaran Pembelajaran jarak jauh pada 24 Maret 2020. Namun keputusan tersebut faktanya telah memberikan persolan baru di daerah-daerah, khususnya masyarakat pedesaan dan pelosok. Setidaknya ada dua persoalan yang kemudian menjadi fundamental dalam Pembelajaran jarak jauh. Pertama, kebijakan PJJ tidak dibarengi dengan kurikulum alternative yang dapat memudahkan pihak sekolah ataupun orangtua (keluarga) mengawal proses pembelajar bersama-sama, sehingga pada tatanan praktik banyak pihak yang kecolongan dalam mengawal PJJ. Kedua, PJJ memaksa pemindahan ruang belajar dari luring ke daring, hal tersebut sejatinya tidak relevan dengan kondisi masyarakat di pelosok yang belum siap dengan fasilitas yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran jarak jauh. Hal lainnya yang kemudian menjadi sorotaan di awal pandem ialah cost pendidikan yang naik karna biaya yang perlu dikeluarkan oleh masyarakat untuk kuota internet walaupun kemudian pada 27 Agustus 2020 Nadiem Makarim merilis surat keputusan tentang bantuan internet pelajar. Dampak dari kebijakan pendidikan jarak jauh yang tidak utuh ialah produksi angka putus sekolah. Rilis riset ISEAS-Yusof Ishak Institut pada 21 Agustus 2020 mencatat 69 juta pelajar kehilangan akses pendidikan di Indonesia alasannya tidak lain karena Pembelajaran jarak jauh hanya memudahkan keluarga yang mampu semata. Kegagalan Nadiem dalam membaca kondisi nyatanya bukan hanya terjadi di era PJJ, namun di semester ini Mendikbud merilis surat edaran Pembelajaran Tatap Muka Terbatas, dengan alasan mencegah terjadinya learning loss. Lagi-lagi kebijakan Nadiem gagal menjadi solusi karena tidak utuhnya kebijakan yang dirumuskan, hasilnya PTMT malah membuat klaster-klaster baru Corona di sekolah-sekolah. Dari 432.335 satuan pendidikan yang melakukan PTMT tercatat hanya 9,93% atau sebanyak 40.593 yang mememiliki kesiapan belajar, dan 43,69 % atau sebanyak 188.880 satuan pendidikan terindikasi telah terjadi kasus Positif. Kekhawatiran Klaster kasus Covid-10 di satuan pendidikan juga sempat diungkapkan oleh P2G, pasalnya hasil pantauan P2G dari September hingga November ada sekitar 20 daerah yang sekolahnya terpaksa menghentikan PTM karena ada siswa atau guru positif Covid-19. Keseriusan Nadiem dalam melakukan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas telah kontradiktif dengan praktik pengawalan serta memberikan jaminan kesehatan kepada Pelajajar dan guru. Bagaimana tidak dalam kriteria wajib PTM pemerintah hanya memasukkan kategori Guru yang telah divaksin 100%, sedangkan vaksin pelajar dalam hal itu tidak masuk di dalamnya. Maka wajar jika kemudian Vaksinasi Pelajar berjalan dengan lambat,yagn hanya baru dapat dilakukan pada 143.535 pelajar. Yang lebih rentan dari kebijakan PTMT ialah Indonesia dinilai belum mencapai standar positivity rate WHO bahwa kondisi daerah aman jika angka penularan sudah di bawah 5%. Melalui serangkaian catatan-catatan yang telah diutaran tersebut kemudian kami menilai Kemendikbudristek hari ini menjadi “disfungsi” dengan 4 Indikasi: Kebijakan-kebijakan yang dihadirkan mendikbud tidak dapat beradaptasi dengan masyarakat sekitar, dampaknya ialah semakin memperpanjang ketimpangan pendidikan Kota dan Desa. Mendikbud tidak memiliki Goal attainment yang utuh dalam menyusun konsepsi pendidikan di masa yang akan datang, setiap program dan kebijakannya selalu bersifat jargonistik dan tidak memiliki daya subtansial. Beberapa hal tersebut dapat terlihat dari agenda POP dan bagi bagi laptop yang syarat dengan Intrik dan boros anggaran, PJJ atau PTMT yang tidak pernah utuh penyelenggaraannya dan patut di evaluasi. Kebijakan Mendikbud tidak mampu melakukan harmonisasi antara kelompok masyarakat yang timpang padak akhirnya produk dari kebijakan yang ada gagal melakukan integrasi. Mendikbud tidak memiliki proses Latensi yang baik, sebagian besar agenda bersifat reaksionis dan tidak mengindahkah nilai-nilai dan norma yang telah lama menjadi orientasi pendidikan nasional. Atas dasar persoalan-persolan tersebut, Pengurus Besar (PB) Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai Kelompok yang terorganisir dari organisasi pelajar, mahasiswa dan masyrakat yang peduli terhadap pendidikan menilai Kinerja Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim tidak mencapai hasil yang memuaskan dan salah kaparah dalam memaknai Pendidikan yang utuh hasilnya. Secara kelembagaan kiprah Kemendikbudristek telah melenceng jauh dari tugas-tugasnya. maka dengan ini kami menuntut agar Presiden Jokowi segera melakukan: Evaluasi Kinerja Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI secara menyeluruh. Bentuk Unit Kerja di bawah Presiden yang terkonsentrasi pada persoalan ketimpangan dan Digitalisasi Pendidikan. Bebaskan biaya Pendidikan dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi di masa pandemik dan PPKM. Tingkatkan Kesejahteraan guru honorer dan Guru di Pelosok Negeri Meminta MA untuk melakukan pengujian terhadap Permendikbud Nomor 28 tahun 2021. Penulis Adalah Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII)

Di UMI Makassar, Ketua DPD RI Tegaskan Presidential Threshold Tak Sesuai Konstitusi

Makassar, FNN - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, kembali menegaskan jika Presidential Threshold yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, tidak sesuai dengan Konstitusi. LaNyalla menyampaikan hal itu saat membuka Focus Group Discussion bertema 'Presidential Threshold dan Oligarki Pemecah Bangsa' yang digelar di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Selasa (16/11/2021). Acara FGD dilakukan secara hybrid (fisik dan virtual zoom). “Apakah Presidential Threshold sesuai dengan Konstitusi? Jawabnya adalah tidak. Ini bukan hanya jawaban dari saya, tetapi semua pakar hukum tata negara mengatakan hal yang sama,” kata LaNyalla. Dijelaskannya, pendapat itu jelas terungkap saat dirinya membuka FGD di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta beberapa waktu lalu. Dari tiga narasumber pakar hukum tata negara dalam FGD, semua mengatakan tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden. “Yang ada adalah ambang batas keterpilihan presiden yang bisa kita baca di UUD 1945, hasil Amandemen, di dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4). Disebutkan bahwa Ambang Batas Keterpilihan perlu sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar,” paparnya. Sedangkan Ambang Batas Pencalonan tidak ada sama sekali. Di Pasal 6A Ayat (2) yang tertulis; 'Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum'. “Artinya setiap partai politik peserta pemilu berhak dan dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres. Dan pencalonan itu diajukan sebelum Pilpres dilaksanakan,” ujar dia. Yang kemudian membingungkan, justru lahir UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang merupakan pengganti dari UU Nomor 42 Tahun 2008. Dalam UU tersebut, di Pasal 222 disebutkan, 'Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya'. “Di sinilah semakin ketidakjelasannya. Selain memberi ambang batas yang angkanya entah dari mana dan ditentukan siapa, di Pasal tersebut juga terdapat kalimat; 'pada Pemilu anggota DPR sebelumnya'. Akhirnya komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR diambil dari komposisi yang lama,” papar Senator asal Jawa Timur itu. “Sungguh pasal yang aneh dan menyalahi Konstitusi. Apalagi menggunakan basis hasil suara yang sudah “basi”. Karena basis suara hasil pemilu 5 tahun yang lalu,” imbuhnya. Sayangnya meski jelas pasal dalam UU Pemilu itu tidak derifatif dari Pasal 6A UUD hasil amandemen, tetapi Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pasal tersebut adalah bagian dari Open Legal Policy. Atau wewenang pembuat Undang-Undang. Sehingga, sampai hari ini, pasal tersebut masih berlaku. “Oleh karena itulah kami di DPD RI berpendapat bahwa Wacana Amandemen Konstitusi perubahan ke-5 yang kini tengah bergulir harus benar-benar dimanfaatkan untuk mengkoreksi sistem tata negara dan arah perjalanan bangsa,” tuturnya. LaNyalla juga berharap FGD-FGD yang dilakukannya di berbagai kampus maupun institusi lainnya menambah literasi dan memperkaya pemahaman sebagai motivasi untuk melakukan perbaikan atas beberapa persoalan fundamental yang ada di negara ini. “Tentu DPD RI akan mendapatkan dorongan energi, bila mahasiswa Indonesia, termasuk para mahasiswa UMI Makassar menjadikan agenda Amandemen Konstitusi sebagai momentum yang sama,” ucap dia. Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) Prof. Dr. H Basri Modding, SE, M. Si mengucapkan terimakasih kepada Ketua DPD dan anggota DPD atas kepercayaan kepada UMI sebagai host FGD yang bertema sangat menarik tersebut. "Terkait tema hari ini UMI sebagai masyarakat kampus tidak mengenal adanya pembatasan dalam pencalonan Presiden. Artinya Presidential Threshold harus diubah karena memang hal itu menghambat," katanya. Ditambahkan Basri, masyarakat kampus juga tidak ingin adanya oligarki. Partai besar yang bergandengan tangan dengan pemodal juga tidak boleh berkuasa terus. "Makanya kita ingin ada perubahan. UMI mendukung karena hal itu untuk kepentingan rakyat," ucapnya. Sementara itu dalam sambutannya, Plt Gubernur Sulsel yang dibacakan oleh Dr Jayadi Naz, Staf Ahli Plt Gubernur Sulawesi Selatan bidang Kesra, mengatakan bahwa Presidential Threshold yang sudah diterapkan sekarang bukan harga mati. Artinya bisa dipikirkan kembali atau diubah. "Dengan ambang batas yang terlalu tinggi sehingga hanya parpol besar yang bisa berperan. Padahal negara kita ini mempunyai 270 juta penduduk. Banyak calon pemimpin yang sebenarnya bisa tampil," tegasnya. Oleh karena itu keinginan-keinginan rakyat harus diakomodasi. Karena kepentingan rakyat di atas segalanya. "DPD yang dipimpin Pak LaNyalla saat ini sudah sangat bagus karena berani mencari solusi dari permasalahan fundamental bangsa untuk menjadi lebih baik ke depan," katanya. Turut mendampingi LaNyalla dalam FGD antara lain Tamsil Linrung (Ketua Kelompok DPD RI di MPR/Senator Sulawesi Selatan), Andi Muh. Ihsan (Senator Sulawesi Selatan), Habib Ali Alwi dan TB. M. Ali Ridho Azhari (Senator Banten), Djafar Alkatiri (Senator Sulawesi Utara) dan Ajbar (Senator Sulawesi Barat) dan Asyera Respati A Wundalero (Senator NTT). (RAN) Hadir secara fisik Wakil Rektor I-V UMI, para Dekan UMI dan civitas akademika lainnya, juga Ketua KPU dan Bawaslu Sulsel.(*)

Atas Nama Konstitusi, Rakyat Ditipu Lagi

Oleh: Yusuf Blegur Heboh bisnis pengadaan alat tes PCR di kalangan pejabat saat pandemi, hingga masalah banjir besar Sintang Kalimantan Barat, menjadi bukti ada persoalan dalam semangat dan manifestasi konstitusi. Bercermin dari UU Omnibuslaw dan RUU HIP yang mendapat penolakan luas dari rakyat, konstitusi negeri ini memang sarat kepentingan bisnis. Ia menjadi perwujudan konspirasi jahat antara pemilik modal, birokrasi, dan politisi, meskipun mendapat perlawanan rakyat dalam ranah tinjauan akademis sekalipun dan gelombang aksi unjuk rasa publik. Konstitusi terus melenggang berlaku, meski mengkhianati kepentingan dan hajat hidup banyak orang, bahkan hingga merusak alam dan ekosistem lingkungan. Atas nama undang-undang, keserakahan menguasai sumber daya alam dan menumpuk harta semakin tak terkendali. Dalam perlindungan konstitusi, gurita bisnis tak bisa dihentikan siapa pun. Konstitusi menyimpan perangai ambisius dan arogan, disusupi kekuatan pembajak negara. Produk hukum yang dibiayai rakyat, dinikmati hanya oleh oligarki politik dan ekonomi. Faktanya, berulangkali rakyat tertipu lagi. Menarik dan kepentingannya begitu mendesak untuk dibahas dan ditegakkan nilai-nilai substansinya. Beberapa produk undang-undang dari eksekutif yang kemudian disetujui legislatif. Kian kemari bukan saja tidak aspiratif dan jauh dari menunjukkan kedaulatan rakyat dalam proses penyelenggaraan negara. Produk undang-undang baik yang berasal dari inisiasi maupun usulan pemerintah yang disahkan DPR. Telah menjadi ajang pembunuhan demokrasi, ekploitasi sumber daya alam yang barbar dan penuh konspirasi perampokan kekayaan negara. Belakangan semakin marak dan terkesan dibuat sistematik kelahiran undang-undang yang kental dengan liberalisasi dan sekulerisasi bukan hanya dalam aspek ekonomi politik, namun sudah menjalar dalam pelbagai bidang. Daya rusaknya juga sudah menyentuh ruang spiritual bangsa, pada kebudayaan dan keagamaan. Belum lama, pemerintah melalui kementerian pendidikan mengeluarkan Permedikbudritek Nomor 30 Tahun 2021. Sebuah peraturan yang nyata-nyata mengangkangi etika, norma dan adab baik dalam ranah sosial maupun agama. Nadiem Makarim menteri pendidikan yang berlatarbelakang pebisnis, berupaya melakukan liberalisasi jika tidak bisa disebut legalisasi kebebasan seks dikalangan pelajar. Kebijakan yang seperti gayung bersambut dan terkesan berkesinambungan dengan kepemimpinan Yaqut Qoumas Cholil pada kementerian agama yang kerapkali melakukan sekulerisasi agama. Konstitusi di Indonesia seperti ingin menampilkan realitas liberalisasi dan sekulerisasi dari keharmonisan ideologi kapitalisme dan komunisme. Tak peduli pada kerusakan alam dan mengancam keselamatan rakyat. Memanfaatkan konstitusi yang proses pembahasan dan ketuk palunya sudah dikuasai kapitalisme transaksional dalam parlemen. Undang-undang positif negara tidak lagi sekedar menjadi proteksi dari legitimasi kehendak rakyat. Malah rakyat menjadi korban manipulasi dan dikebiri undang-undang. Mirisnya, kongsi bisnis yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme kuat menyelimutinya. Pubik secara telanjang dipertontonkan bagaimana para pengusaha bersama pejabat dan politisi bergumul dalam kenistaan kongsi dagang. Konstitusi seperti menjadi sub koordinat dari monster industrialisasi kapitalis, tanpa mengindahkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Tidak tanggung-tanggung, membaurnya pengusaha dan penguasa. Semakin menunjukan arogansi dan kesewenang-wenangan konspiratif itu. Seakan menentang kekuasaan Tuhan, merendahkan kemanusiaan hingga melawan semesta alam. Kejahatan Konstitusional Banjir besar Sintang Kalimantan Barat yang belum pernah terjadi selama lebih 20 tahun ini. Merupakan bukti tak terbantahkan, bahwasanya kecerobohan pemerintah atas nama konstitusi dan pembangunan telah merusak siklus keseimbangan alam dan menimbulkan kesengsaraan rakyat. Distorsi kebijakan dari deforestasi dan pertambangan. Alih-alih membangun lumbung pangan, pemerintah justru merusak alam dan mengancam keberlangsungan habitat didalamnya. Lucunya, proyek serampangan itu ditangani menteri pertahanan keamanan, bukan oleh menteri pertanian yang berkompeten pada ranah ketahanan pangan. Serupa tapi tak sama dengan nasib buruh yang terus terjepit ditengah bengisnya industrialisasi dan cekaknya pemenuhan kebutuhan pokok hidup. Termasuk UU Minerba dalam Omnibuslaw yang memadukan daya cengkeram pengusaha dan birokrasi guna memuluskan upaya menguasai sumber daya alam demi kepentingan bisnis semata. Mengabaikan kedaulatan negara dan memarginalkan kepentingan khalayak. Semua ini tidak lebih dari landasan negara harus tetap berjalan demi investasi dan pembangunan nasional. Tak sedikitpun rasionalisasi yang mengangkat harkat hidup rakyat sesungguhnya. Tak lebih baik dari pemerintahan orde baru yang mengusung konsep developmentalisme. Rezim yang bertolakbelakang dari semangat dan mengkhianati reformasi ini. Tak peduli terhadap eksploitasi alam membabi-buta dan seberapa besar dampaknya bagi nasib rakyat dan kelestarian alam. Masa bodoh dengan dampak masa depan generasi penerus negara dan bangsa. Dalam benaknya, yang penting asal bisa mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dan mengamankan kepentingan ekonomi politik oligarki. Membangun dinasti kekuasaan yang dibagi-bagi buat kepentingan keluarga, partai politik dan relasi loyalisnya. Begitulah konstitusi dipraktikkan. Dalih usang dan perangai dari rezim kekuasaan, ketimbang peran sebagai aparatur pemangku kepentingan publik yang amanah. Sebagai contoh, rakyat sudah pasti bisa menduga, dalam kasus PCR yang melibatkan Luhut dan Erick Tohir sebagai menteri dan berpengaruh pada presiden. Akan menemui jalan buntu jika mengangkat masalahnya dari aspek undang-undang yang berlaku. Seperti sebelumya yang terjadi pada Luhut dalam soal pertambangan di Papua. Jalan konstitusi merupakan jalan sia-sia, karena telah menjadi jalur dan sarana kejahatan terselubung bagi para penguasa. Tidak ada etika, norma dan kepantasan moral yang menopang pejabat dalam menyiasati undang-undang. Konstitusi bukan sekedar dapat dibeli, lebih dari itu konstitusi yang lahir dan dirawat dari konspirasi gelap institusi pemerintahan dan para borjuasi korporasi. Hukum telah mengalami disfungsi, mewujud sebagai alat kekuasaan bukan alat negara. Perlahan larut menjadi rahim kejahatan konstitusional. Pada akhirnya rakyat semakin sadar dan cerdas. Menyalurkan aspirasi dan memperjuangkan haknya. Tidak lagi bisa mengandalkan konstitusi. Hukum negara telah terbiasa menghukum rakyat tanpa keadilan. Sebaiknya tidak berlaku bagi para pejabat meski nyata-nyata melakukan tindakan inkonstitusional. Bukan lagi, satir hukum tumpul ke atas tajam kebawah. Bahkan semakin agresif menikam dan membunuh kalangan bawah. Sampai kapan rakyat terus tertipu melalui konstitusi?. Jawabnya hanya ada pada rakyat sendiri. Diam terus tertipu atau bangkit dalam kesadaran dan perlawanan?. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Keonaran di Media Massa?

By M Rizal Fadillah AKHIRNYA Mahkamah Agung memutus Kasasi Habib Rizieq Shihab dengan hukuman 2 (dua) tahun penjara. Semula PN Jakarta Timur menghukum HRS 4 tahun akibat menyebarkan berita bohong hasil test SWAB dan berita bohong tersebut telah menyebabkan keonaran. Bagi Mahkamah Agung ternyata keonaran itu hanya di media massa. "Meskipun terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan dengan menyiarkan berita bohong akan tetapi akibat terbitnya keonaran dari perbuatan terdakwa hanya di tataran media massa. Tidak terjadi konflik jiwa/fisik atau harta benda" kata Jubir MA Andi Samsan Nganro. Majelis Kasasi diketuai oleh Suhadi dan anggota Suharto dan Soesilo. Menggembirakan karena hukuman HRS semula 4 tahun berkurang menjadi 2 tahun dengan dakwaan melanggar Pasal XIV ayat (1) UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Putusan PN Jakarta Timur yang diperkuat oleh PT DKI Jakarta dinilai tidak adil sehingga HRS mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Menyedihkan karena alasan Putusan MA adalah bahwa perbuatan HRS menyebabkan terjadinya keonaran di media massa. Bagaimana bisa disebut keonaran pada media massa ? Apa yang dimaksud dengan keonaran ? Penjelasan Pasal XIV ayat (1) UU No 1 tahun 1946 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan keonaran adalah bukan saja kegelisahan dan mengguncangkan hati jumlah penduduk yang tidak sedikit tetapi lebih jauh dari itu yakni kekacauan. Pasal XIV sama dengan "Verordening No 18 Van het Militair Gezag". HRS tidak menyebarkan bohong, tidak ada unsur "kesengajaan" dan nyatanya sama sekali tidak menimbulkan kekacauan. Jika ada pro dan kontra di media massa maka itu tidak bisa masuk dalam unsur delik. Ini rumusan yang mengada ada dan dipaksakan. Jika ada pro dan kontra itu hal lazim saja. Lagi pula "keramaian" di media massa bisa merupakan buatan buzzer. Maklum kasus HRS ini sarat dengan muatan politik. Ramainya bahasan dalam media massa bukanlah suatu keonaran. Betapa kacaunya hukum jika dimaknai demikian. Media memiliki aturan tentang hak jawab dan dugaan pelanggaran hukum di media massa dilakukan pemeriksaan awal oleh Dewan Pers. Itupun yang menjadi terperiksa adalah media. Terhadap media elektronik ada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Informasi (ITE). Keonaran apa yang terjadi di media massa ? Tidak ada. Pasal 14 UU No 1 tahun 1946 menegaskan keonaran itu "di kalangan rakyat". Keonaran atau kekacauan itu terjadi di dunia nyata. Bahkan lazim ada korban jiwa atau fisik. Mahkamah Agung dengan Putusan ini telah membuat Jurisprudensi yang sangat buruk. Kebohongan Presiden Jokowi soal Esemka, tidak impor beras, uang ribuan trilyun di kantong, ekonomi meroket, KA cepat tidak menggunakan dana APBN dan banyak kebohongan lainnya yang tersebar di media massa telah menimbulkan "keonaran". Jika tafsir MA terhadap HRS dibenarkan, maka Jokowi terancam delik yang sama. Jokowi dapat diseret ke Pengadilan, berbaju oranye dan diborgol, lalu dengan UU No 1 tahun 1946 Hakim harus memutuskan minimal penjara 2 tahun sebagaimana Jurisprudensi Putusan Mahkamah Agung. Jokowi telah membuat keonaran di media massa. HRS semestinya bebas sebagaimana bebasnya Jokowi ! *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Habib Rizieq Shihab, Pencarian Keadilan yang Belum Selesai

Oleh Ady Amar *) MUNGKIN dikhususkan hanya pada Habib Rizieq Shihab seorang saja, yang dipenjarakan dengan tuduhan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) Covid-19. Tampaknya itu tidak berlaku pada orang lain, yang juga sama-sama melanggarnya. Mengapa hukum menjadi tidak adil dikenakan padanya. Hukum, sekali lagi, seolah diada-adakan pada kasus prokes untuknya, tidak pada yang lain dalam kasus yang sama. Setidaknya itu yang tampak. Hanya mengucap kalimat pendek, "baik-baik saja", saat ditanya tentang kesehatan dirinya, dan itu sebelum hasil tes PCR atasnya didapat. Tentu ia tidak bermaksud berbohong. Salahnya di mana ucapannya itu. Habib Rizieq merasa tidak sakit, tubuhnya merasakan baik-baik saja, lalu kesalahannya di mana atas jawaban yang ditanyakan para juru warta di RS Ummi, Bogor. Setelah hasil tes PCR keluar, dinyatakan positif, maka ia memilih tinggal di rumah untuk pemulihan (karantina). Alasan yang dikemukakan jaksa penuntut umum (JPU) di pengadilan tingkat pertama, bahwa karena ucapan "baik-baik saja" itu menimbulkan keonaran, meski JPU tidak mampu menunjukkan bukti keonaran yang ditimbulkannya. Tapi justru itu yang dipakai majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur memutus hukumannya menjadi 4 tahun, dari tuntutan JPU 6 tahun. Lalu, upaya banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dilakukan. Dan seperti PN Jakarta Timur, hukuman atasnya tetap menjadi 4 tahun, tanpa ada pertimbangan meringankan lainnya. Seolah PT Jakarta hanya "mengangguk" mengiyakan saja atas putusan pengadilan tingkat pertama. Lanjut, kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dipilih Habib Rizieq dalam mencari keadilan. Dan, MA, Senin (15/11) memutus dengan meringankan 2 tahun dari sebelumnya 4 tahun. Argumen meringankan MA, bahwa keonaran yang ditimbulkan itu hanya sebatas atau ada di media sosial. Putusan MA, yang meringankan 2 tahun, itu pun sulit bisa dijelaskan. Sedahsyat apa keonaran yang ditimbulkan oleh pernyataan "baik-baik saja" di media sosial itu, yang sampai ia harus dipenjarakan 2 tahun. Di media sosial adalah hal biasa jika perdebatan dua pihak yang berseberangan, itu sampai tingkat ketidak patutan. Itu biasa saja. Tidaklah salah jika lalu orang menyebut, itu semacam suka-suka hukum dikenakan pada Habib Rizieq Shihab, meski tanpa pijakan hukum yang semestinya. Seperti orang satu ini memang ditarget, dan mesti dipenjarakan. Kasus prokes yang tidak semestinya, itu pun dipakai jalan memenjarakannya. Di penjara sehari pun ia tidak pantas, itu setidaknya yang disampaikan salah satu pengacaranya, Aziz Yanuar. Gas pol dengan putusan MA itu, dengan tanpa perlu pikir-pikir atas putusan itu, Habib Rizieq lewat pengacaranya memilih mengajukan peninjauan kembali (PK) pada MA. Ini akhir pencarian keadilan yang dipunyai, dan itu yang dipilihnya. Semoga keadilan dunia bisa ia dapatkan, dan itu dari kasus yang menurut pakar hukum tata negara, Refly Harun, jangankan dihukum sehari, dihadirkan di pengadilan saja Habib Rizieq itu tidak pantas. Kasat mata keadilan tampak tidak berpihak padanya, kata dizalimi pantas disandingkan pada Habib Rizieq Shihab. Pencarian keadilan hukum di dunia memang akan berhenti pada hasil putusan PK nya nanti. Setelah itu keadilan Tuhan yang ia harapkan, dan itu pasti akan didapatkan: keadilan seadil-adilnya. (*) *) Kolumnis tetap FNN