ALL CATEGORY
Permen Pengacau Hukum
Oleh M Rizal Fadillah Kontroversi Permendikbudristek No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi terus berlanjut. Produk hukum yang prosesnya tidak transparan dan atau tanpa melibatkan elemen publik dipastikan akan kontroversial. Apalagi jika itu menafikan nilai-nilai keagamaan. Bukan berarti bahwa agama setuju adanya kekerasan seksual atau menolak aturan yang mencegah terjadinya kekerasan seksual di perguruan Tinggi, bukan, akan tetapi cara merumuskan dan narasi rumusan dalam Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 itu yang dimasalahkan. Dianggap bertentangan dengan prinsip keagamaan yang dianut oleh bangsa Indonesia, khususnya agama Islam. Dari sisi hukum juga ternyata Permen ini menunjukkan kekacauan berat, antara lain : Pertama, bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (3). Lalu dengan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya Pasal 1 dan Pasal 4. Kemudian UU No 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi Pasal 5 butir a dan Pasal 6 butir b. Sekedar contoh, Pasal 1 UU No 20 tahun 2003 berbunyi "Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman". Kedua, tidak memiliki dasar hukum yang benar dan kuat. Tidak ada Undang-Undang yang menjadi payung bagi sebuah Permen bermuatan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dinilai pro-zina dan berbau liberal gagal menjadi UU akibat reaksi di DPR maupun umat. Tanpa UU ini, maka Permendikbudristek No 30 tahun 2021 kehilangan landasan hukum, artinya cacat hukum. Ketiga, mengacak-acak asas hukum yang baik. Secara filosofis gagal memenuhi prinsip keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Kontrak seksual telah mengabaikan nilai Ketuhanan. Secara yuridis, berbenturan dan tumpang tindih dengan aturan hukum di atasnya atau yang telah ada. Permen adalah rekayasa dan penyelundupan hukum. Secara sosiologis mendapat penentangan banyak pihak. MUI dan Ormas Islam menolak aturan sekuler ini. Keempat, narasi atau rumusan Kekerasan Seksual menurut Permen 30 tahun 2021 dengan elemen perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan dan/atau menyerang tubuh dan atau fungsi reproduksi, lalu berakibat pada penderitaan psikis dan/atau fisik adalah perbuatan pidana yang telah diatur dalam KUHP Pasal 281, 285, 289, 311dan 315. Diatur pula dalam Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 UU No 11 tahun 2008 tentang ITE, serta UU No 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Sesuatu yang telah diatur lalu diatur kembali dengan bobot yang manipulatif, adalah perbuatan jahat. Mengingat hal-hal di atas, maka Permendikbudristek No 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi itu merupakan peraturan yang mengada-ada, bertentangan dengan agama, mengabaikan UUD 1945 dan Pancasila, liberal, sekuler, serta merupakan penyelundupan hukum. Oleh karenanya patut untuk ditolak oleh rakyat. Menteri Nadiem seharusnya mundur, aturan yang dibuatnya layak digugat secara material ke Mahkamah Agung serta diusut dalang atas penyelundupan hukum yang dilakukan ini. Presiden Jokowi tidak bisa berlepas tangan atas kekacauan di bidang pendidikan yang nyata-nyata telah membahayakan dunia akademik. Permen yang dibuat Menteri dalam Kabinet Jokowi telah menjadi pengacau hukum. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Beijing Temukan Kasus COVID-19 di Perusahaan Minyak Ternama
Beijing, FNN - Otoritas Kota Beijing menemukan kasus baru COVID-19 dari konferensi yang digelar oleh perusahaan minyak papan atas yang berkantor pusat di Ibu Kota China itu. Ada enam kasus lokal dan satu kasus tanpa gejala yang ditemukan pada Kamis (11/11), beberapa di antaranya adalah pekerja PetroChina Co yang kantor pusatnya di Beijing, demikian Deputi Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular (CCDC) Kota Beijing, Pang Xinghuo, Jumat. Para karyawan itu mengikuti pertemuan yang digelar pada 28 Oktober hingga Rabu (10/11). Seorang peserta kemudian terkonfirmasi positif COVID-19 di Provinsi Jilin. "Kami langsung mengambil tindakan begitu ada kasus yang melibatkan seseorang yang melakukan perjalanan dari Jilin ke Beijing untuk menghadiri konferensi tersebut," kata juru bicara Pemerintah Kota Beijing Xu Hejian. Otoritas Beijing juga telah melakukan tes PCR secara massal di kalangan kontak dekat pasien. Salah satu dari karyawati PetroChina tinggal di Distrik Haidian, Beijing, dinyatakan positif bersama anggota keluarganya yang terdiri dari suami, anak perempuan, ibu mertua, dan bapak mertua. Satu kawasan permukiman di Distrik Haidian langsung dikategorikan kawasan berisiko sedang COVID-19. Beberapa pekan sebelumnya Beijing mendapati kasus positif COVID-19 dari rombongan wisata yang berlibur di Daerah Otonomi Mongolia Dalam. (sws, ant)
WHO: Jutaan Anak di Afghanistan Berisiko Kekurangan Gizi Akut
Jenewa, FNN - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 3,2 juta anak di Afghanistan menderita kekurangan gizi akut hingga akhir tahun ini, dengan 1 juta di antaranya berisiko meninggal dunia karena penurunan suhu. Badan-badan bantuan telah memperingatkan adanya kelaparan karena kekeringan seiring kegagalan ekonomi menyusul penarikan dukungan keuangan dari Barat, setelah Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan pada Agustus lalu. Sektor kesehatan di negara itu sangat terpukul, dengan banyak petugas kesehatan melarikan diri karena gaji yang belum dibayar. "Ini perjuangan berat karena kelaparan melanda negara ini. Dunia tidak boleh mengabaikan Afghanistan," kata juru bicara WHO Margaret Harris kepada wartawan yang berbasis di Jenewa pada Jumat, melalui sambungan telepon dari Ibu Kota Kabul. Di Afghanistan, suhu malam hari turun di bawah nol derajat Celcius dan suhu yang lebih dingin diperkirakan membuat orang tua dan muda lebih rentan terhadap penyakit lain, kata Harris. Di beberapa tempat, orang-orang menebang pohon untuk menyediakan bahan bakar bagi rumah sakit di tengah kelangkaan yang meluas. Harris tidak memiliki angka untuk jumlah anak yang telah meninggal karena kekurangan gizi tetapi menjelaskan tentang "bangsal yang penuh dengan anak-anak kecil", termasuk dengan bayi berusia tujuh bulan yang ia sebut "lebih kecil dari bayi yang baru lahir". Kasus campak meningkat di Afghanistan dan data WHO menunjukkan 24.000 kasus klinis sejauh ini telah dilaporkan. "Untuk anak-anak yang kekurangan gizi, campak adalah hukuman mati. Kita akan melihat lebih banyak kematian jika kita tidak bergerak cepat," kata Harris. (sws, Reuters)
Pakar Hukum Sarankan KPK Hentikan Penyelidikan Kasus Formula E
Jakarta, FNN - Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menyarankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menghentikan penyelidikan kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ajang balap mobil listrik atau Formula E di DKI Jakarta. "Hal yang standar adalah dugaan pidanannya sudah harus ada, bukan baru dicari-cari. Jadi, setiap tindakan penyelidikan itu diawali dengan asumsi pidananya sudah ada," kata Margarito dihubungi di Jakarta, Jumat. Menurut Margarito, hal yang keliru sejak awal sudah menyalahi prosedur paling dasar dalam penentuan dugaan pidana. "Kalau menyelidiki sesuatu peristiwa hukum, di kepala Anda peristiwa itu harus sudah memiliki aspek pidana, tinggal memperoleh bukti-bukti untuk menguatkan bahwa itu peristiwa pidana. Bukan mencari-cari bukti untuk menemukan bahwa itu peristiwa pidana, jadi ini cara berpikir KPK amat terbalik, ini sangat salah," kata Margarito menjelaskan. Terkait dengan pemberian commitment fee dan penundaan 2 tahun penyelenggaraan Formula E, menurut dia, bukan karena hal yang dalam kendali manusia karena 2 tahun terakhir terjadi pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia. "Karena hal yang menggagalkan peristiwa itu (Formula E) bukan hal yang disebabkan oleh manusia, melainkan sebab alamiah yang enggak bisa diprediksi secara objektif. Akibat hukumnya adalah siapa pun itu tak bisa dibebani tanggung jawab hukum," ungkap Margarito. Terkait dengan dana pinjaman bank yang digunakan, lanjut Margarito, apa pun pinjaman tersebut akan membebani APBD. Apabila memang terjadi penyalahgunaan, sistem keuangan daerah memiliki hak untuk menuntut ganti rugi kepada penyelenggara. "Itu juga harus didasari oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan," ujar Margarito. Dengan kondisi demikian, Margarito menyarankan KPK untuk menghentikan pengusutan Formula E karena akan memengaruhi asumsi publik ke KPK. Publik akan menilai KPK sebagai alat politik golongan tertentu. Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt.) Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri menyatakan bahwa kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ajang balap mobil listrik atau Formula E di DKI Jakarta akan dihentikan bila tidak ditemukanya unsur pidana. "Penyelidikan ini yang dicari adalah peristiwa pidananya dahulu apakah ada atau tidak. Kalau kemudian tidak ada (peristiwa pidananya), ya, tidak dilanjutkan," kata Ali di Jakarta, Kamis. Pada prinsipnya, kata dia, penyelidikan itu ialah mencari peristiwa pidana. Proses itu nantinya akan ditemukan saat pengumpulan data, informasi, dan bahan keterangan. (sws, ant)
KPK Setor Rp600 Juta dari Perkara O.C. Kaligis dan Edy Nasution
Jakarta, FNN - KPK menyetor total Rp600 juta dari denda yang dibayarkan oleh dua terpidana kasus korupsi, yaitu pengacara senior Otto Cornelis Kaligis dan mantan panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Edy Nasution. "Tim jaksa eksekusi telah melakukan penyetoran uang ke kas negara sejumlah Rp600 juta dari dua orang terpidana yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap," kata Plt. Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding di Jakarta, Jumat. Keduanya adalah O.C. Kaligis sejumlah Rp300 juta berdasarkan putusan Peninjauan Kembali Nomor: 176 PK/PID.SUS/2017 pada tanggal 19 Desember 2017. Selanjutnya, mantan panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution sejumlah Rp300 juta berdasarkan putusan MA RI Nomor: 1353 K/Pid.Sus/2017 pada tanggal 16 Agustus 2017. "Penagihan uang denda dari para terpidana akan tetap digencarkan oleh tim jaksa eksekusi sebagai bentuk asset recovery dari hasil tindak pidana korupsi yang telah dinikmati oleh para terpidana tersebut," kata Ipi. Mahkamah Agung (MA) memotong hukuman terhadap O.C. Kaligis pada tanggal 19 Desember 2019 dari 10 tahun penjara menjadi 7 tahun penjara. Padahal, sebelumnya majelis kasasi yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar menjatuhkan vonis 10 tahun penjara terhadap Kaligis pada tanggal 10 Agustus 2016. Vonis kasasi itu lebih berat dibanding vonis di tingkat banding selama 7 tahun penjara, sementara pada pengadilan tingkat pertama O.C. Kaligis divonis 5,5 tahun penjara. Sedangkan Edy Nasution divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan berdasarkan putusan kasasi 16 Agustus 2017. Edy Nasution setelah MA menolak Peninjauan Kembali (PK) tapi ditolak pada 2019 lalu. Putusan kasasi tersebut lebih berat dari tingkat pertama dan tingkat banding yakni 5 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp150 juta subsider pidana kurungan selama 2 bulan. (sws. ant)
Polda Aceh Tahan Kepala Desa Diduga Korupsi Rp438 juta
Banda Aceh, FNN - Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh menahan Kepala Desa Pulo Bunta, Kabupaten Aceh Besar, karena diduga melakukan tindak pidana korupsi dana desa. Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh Kombes Pol Sony Sanjaya di Banda Aceh, Jumat, mengatakan terduga pelaku tindak pidana korupsi yang ditahan berinisial AM. Penahanan terhadap AM terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang pada pengelolaan keuangan di Desa Pulo Bunta tahun anggaran 2015 hingga 2019, kata Kombes Pol Sony Sanjaya. "Yang bersangkutan ditahan terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi dana. Yang bersangkutan ditahan untuk 20 hari ke depan sejak 11 November kemarin," ujar Kombes Pol Sony Sanjaya. Mantan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Aceh itu mengatakan berdasarkan hasil audit kerugian negara yang ditimbulkan diperkirakan mencapai Rp438 juta lebih. "Kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi tersebut diperkirakan sebesar Rp438 juta lebih. Penyidik terus bekerja menuntaskan kasus dugaan tindak pidana korupsi ini," kata Kombes Pol Sony Sanjaya. Desa Pulo Bunta berada di Pulau Bunta, seberang Pulau Sumatra dengan jarak kurang satu jam perjalanan laut menggunakan perahu motor dari Pelabuhan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh. Secara administratif, Desa Pulo Bunta masuk wilayah Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Penduduk Pulau Bunta tidak terlalu banyak, kurang dari seratusan jiwa. Keberadaan penduduk pulau di dekat gugusan kepulauan Pulau Aceh itu lebih banyak di daratan Pulau Sumatra. Mayoritas penduduknya berkebun kelapa. (sws, ant)
Kisah Mahabarata, Jenderal Brengsek, dan Mozaik Pembunuhan Pahlawan Revolusi (Bagian 3)
Oleh Selamat Ginting (Pengamat Komunikasi Politik dan Pertahanan) Jakarta, FNN - Musyawarah Nasional Teknik pada 30 September 1965, berlangsung hingga larut malam. Malam sekitar pukul 23.00, Presiden Sukarno memberikan sambutan dengan membuat perumpamaan dari perwayangan, kisah Mahabarata. Menggambarkan suatu pelajaran untuk tidak ragu-ragu membunuh saudara sekalipun bila itu demi kepentingan perjuangan. “Arjuna lemas, lemas, lemas. Bagaimana aku harus membunuh saudara kandungku sendiri? Bagaimana aku harus membunuh kawan lamaku sendiri? Bagaimana aku harus membunuh guruku sendiri? ” “Kerjakan engkau punya kewajiban tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Kewajibanmu kerjakan!” Setelah peristiwa 30 September 1965, analogi dari pewayangan yang disampaikan Bung Karno itu diasosiasikan dengan penculikan dan pembunuhan para jenderal dalam peristiwa tersebut. Apalagi dalam kalimat terakhirnya, Sukarno mengucapkan kalimat, ”Saudara-saudara sekarang boleh pulang tidur dan istirahat. Sedangkan Bapak masih harus bekerja menyelesaikan soal-soal yang berat, mungkin sampai jauh malam…..” Kemudian para analis menghubungkan secarik kertas yang disampaikan Letnan Kolonel (Infanteri) Untung, Komandan Batalyon 1 Resimen Tjakrabirawa kepada Bung Karno. Ya, sebelum Sang Presiden mengawali pidatonya soal pewayangan tersebut. Jendral Brengsek Dua pekan sebelumnya, pada 13 September 1965, Presiden Sukarno menyerang Jenderal AH Nasution di istana dengan kalimat yang menusuk hati. Memang dalam pidato itu Sukarno tidak langsung menyebut nama. Tapi dengan kalimat yang sangat keras, yakni “sebarisan jenderal brengsek”. “Adanya anak-anak revolusi yang tidak setia pada induknya, yakni barisan jenderal brengsek.” Orang-orang Sukarno tahu yang dimaksud adalah Jenderal AH Nasution, Jenderal A Yani dkk. Ini bukan yang pertama kali dilontarkan oleh Bung Karno. Terutama sejak ia menerima informasi-informasi tentang isu adanya Dewan Jenderal yang bermaksud menggulingkan dirinya. Pada waktu yang sama, para pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) melontarkan ucapan yang sama. Sehingga tercipta opini bahwa Sukarno memang sejalan dengan PKI. Sesuatu yang kemudian hari harus ditebus mahal oleh Presiden Sukarno. Kedekatannya dan menjadikan PKI sebagai anak emasnya membuat ia harus kehilangan pamor dari umat Islam dan Angkatan Darat. Termasuk mundurnya Wakil Presiden Moh Hatta. Sehingga akhirnya secara perlahan, ia kehilangan tampuk kepemimpinan nasional sebagai bagian dari episode G30S/PKI. Apalagi sepanjang September 1965, PKI sangat gencar menyerang secara gresif lawan-lawan politiknya, terutama Angkatan Darat. Khususnya kepada Jenderal AH Nasution, Jenderal A Yani yang digambarkan sebagai jenderal-jenderal ‘brengsek’ seperti ungkapan Bung Karno, karena tidak loyal kepada Presiden. Harian Rakyat yang berafiliasi kepada PKI, misalnya. Pada 4 September 1965 menulis ada perwira-perwira yang menuduh PKI akan melakukan kudeta. Namun, lima hari kemudian, pada 9 September 1965, Ketua CC PKI DN Aidit malah menggambarkan akan terjadi sesuatu yang pasti akan lahir. Sebuah isyarat dahsyat. Ucapan Aidit dipertegas lagi oleh tokoh PKI Anwar Sanusi di depan sidang SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). “Yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota.” Ungkapan itu juga diasosiasikan kepada Jenderal Nasution, Jenderal Yani dkk. Simak video "Catatan-catatan Penting Soal Sikap Jenderal Yani terhadap Isu Dewan Jenderal" Setan Kota dan Kematian Kemudian Aidit secara agresif menyampaikan pidato di depan Kongres III CGMI pada 29 September 1965. “Mahasiswa komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat, berbuat, berbuat.” Pidato itu merupakan serangan khusus kepada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang beberapa hari sebelumnya dibela Jenderal A Yani. Aidit kesal usulan PKI untuk membubarkan HMI malah dibela oleh Jenderal Yani. “Kalau CGMI tidak bisa membubarkan HMI, maka pakai sarung saja.” Kemudian pada tajuk rencana koran Harian Rakyat pada 30 September 1965 berbunyi, “Dengan menggaruk kekayaan negara, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik yang jahat terhadap pemerintah dan revolusi. Mereka harus dijatuhi hukuman mati di muka umum. Soalnya tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil. Editorial tersebut seakan membayangkan tentang rencana PKI terkait hukuman mati terhadap para jenderal. Pernyataan-pernyataan keras tokoh-tokoh PKI serta editorial Harian Rakyat, kelak menjadi mozaik bagaimana PKI memang berada di balik pembunuhan para pahlawan revolusi, Jenderal A Yani dkk. Jenderal Nasution yang dituding langsung oleh Bung Karno dan tokoh-tokoh PKI sebagai ‘jenderal brengsek’, selama September 1965, menahan diri untuk tidak menanggapi hinaan tersebut. Nasution juga tidak curiga ketika mendapatkan informasi Kolonel Abdul Latief memerisa pasukan penjaga rumahnya pada sore hari 30 September 1965. Alasannya, karena Latief adalah Komandan brigade Infanteri Kodam Jaya. Sukarno Marahi Jenderal Nasution menceritakan, suatu ketika Letjen A Yani mengantarkan Mayjen S Parman dan Brigjen Soetoyo menghadap Presiden Sukarno. Mereka dimarahi habis-habisan oleh Bung Karno. Sukarno mengecam pernyataan Angkatan Darat soal adanya musuh dari utara bagi Asia Tenggara, seperti dibacakan Letjen A Yani di Bandung. Keputusan Yani dan para jenderal-jenderal Angkatan Darat dianggap tidak loyal terhadap Presiden Sukarno. Sang presiden di Istana Tampak Siring, Bali sudah berencana segera mengganti para jenderal tersebut. Bahkan menyebut pengganti Yani adalah Mayjen Moersjid. Ia meminta jawaban Moersjid apakah bersedia menggantikan Yani? Moersjid menjawab, bersedia. Pada 29 September 1965, muncul Brigjen Mustafa Syarif Suparjo menghadap Presiden Sukarno. Suparjo melaporkan kesiapan pasukannya untuk bertindak terhadap jenderal-jenderal yang tidak loyal. Jumat Kelam Jumat dinihari 1 Oktober 1965, sekira pukul 04.00 WIB. Keluarga Letnan Jenderal Achmad Yani masih tertidur. Putra bungsu Panglima Angkatan Darat, Irawan Sura Edi Yani (Edi) terbangun. Ia mencari ibunya yang tidak ada di rumah Jalan Lembang D-58. Sang Ibu, Nyonya Yayuk Ruliah belum pulang, masih berada di rumah Jalan Taman Surapati. Edi ditemani asisten rumah tangga, biasa dipanggil Mbok Millah, duduk dekat pintu belakang, menunggu ibunya datang. Pada menit-menit itulah sekelompok tentara dipimpin Pembantu Letnan Satu (Peltu) Mukijan dari Brigif 1 Kodam Jaya dan Sersan Raswad segera masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Pintu tidak dikunci, karena Nyonya Yayuk Achmad Yani, biasanya akan pulang sekitar subuh hari. Anggota pasukan Tjakrabirawa masuk ke dalam rumah dan langsung menanyakan kepada pembantu rumah tangga keluarga Jenderal Yani. Pasukan yang mengepung rumah Jenderal Yani terdiri dari satu peleton dari Brigif 1 Kodam Jaya, saru regu dari Resimen Tjakrabirawa, satu peleton dari Yonif 454 Kodam Diponegoro, satu peleton dari Yonif 530 Kodam Brawijaya, satu regu daru AURI, dan regu sukarelawan Pemuda Rakyat PKI. Anak bungsu Jenderal Yani diminta membangunkan bapaknya dengan alasan dipanggil Presiden di istana. Edi pun membangunkan ayahnya. “Ada apa?” tanya Achmad Yani kepada pasukan Tjakrabirawa, pengawal Presiden Sukarno yang masuk ke dalam rumahnya. “Siap, Jenderal. Bapak diminta menghadap Presiden Sukarno sekarang juga!” “Loh acaranya kan jam 7, bukan pagi-pagi begini.” Yani memang sudah dijadwalkan menghadap Presiden sekalian mengajak Panglima Kodam Brawijaya Mayjen Basuki Rachmat untuk melaporkan Tindakan PKI yang merusak kantor Gubernur Jawa Timur. Yani juga sudah punya firasat akan dicopot dari jabatan panglima Angkatan Darat, hari itu juga. “Tetapi jenderal harus berangkat detik ini juga, karena jenderal sedang ditunggu Bapak Presiden,” jawab salah seorang anggota Tjakrabirawa. Yani menjawab,” Paling tidak saya harus mandi dulu!” “Tidak perlu, Jenderal. Di istana juga ada kamar mandi. Bila perlu dengan pakaian piyama saja. Jenderal bisa berangkat bersama-sama kami.” “Kau prajurit, tahu apa?!” tegas Yani sambal meninju wajah sang prajurit, sehingga jatuh terkapar. Yani pun berbalik masuk ke ruang makan dan menutup pintu. Saat itulah Sersan Raswad memerintahkan Sersan Gijadi. “Tembak dia!” Gijadi pun langsung memberondongkan senjata Thomson. Tujuh peluru menembus pintu, menerpa punggung Panglima Angkatan Darat. Jenderal Yani roboh bersimbah darah di ruang makan. Suara tembakan itu membangunkan anak-anak sang jenderal. Indriyah Ruluati Yani (Ruli), Herliah Emmy Yani (Emmy), Amelia Yani, Elina Elastria Yani (Elina atau Juwita), Widna Ani Yani (Nanik), Reni Ina Yuniati Yani (Yuni), serta Untung Mufreni Yani (Untung), berhamburan ke ruang makan. Sedangkan si bungsu Edi bersembunyi di bawah mesin jahit. Delapan anak Jenderal Yani menjadi saksi, ayahnya ditarik kakinya dengan posisi kepala di bawah membentur lantai dan jalan aspal. Yani yang masih mengenakan piyama biru diseret dan dilempar ke dalam mobil truk yang sudah disiapkan pasukan pemberontak. “Ayo masuk semua, kalau tidak saya tembak,” kata Amelia Yani, putri ketiga jenderal A Yani, menceritaka peristiwa kelam yang menimpa ayahandanya pada 1 Oktober 1965, subuh hari. Ia menceritakan sejarah kelam itu kepada wartawan senior dan akademisi, Selamat Ginting, akhir Oktober 2021 lalu. Sambil terbata-bata dan berkaca-kaca, Amelia mengisahkan kepedihan serta catatan dalam buku harian Jenderal A Yani. “Bapak memang tegas menolak komunis. Jadi tidak setuju dengan Nasakom. Bapak masih bisa terima jika kata kom (komunis) diganti dengan sosialisme Indonesia, seperti sila kelima Pancasila,” ujar Amelia, sambil memperlihatkan catatan goseran pena Achmad Yani, jenderal bertubuh atletis dengan tinggi sekitar 174 cm dan berat sekitar 74-75 kg. Ikuti bincang-bincang dengan Amelia Yani di channel youtube: SGinting Official (Bagian ketiga). Tulisan di website dirangkum penulis dari berbagai sumber.
Membasuh Darah Jenderal Yani (Bagian 4)
Oleh Selamat Ginting (Pengamat Komunikasi Politik dan Pertahanan) Jakarta, FNN – “Cukup Bapakmu saja yang menjadi tumbal negara. Jadi anak-anak jangan ada lagi yang jadi tentara,” begitulah pesan yang diungkapkan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo kepada dua anak lelakinya, Untung Mufreni Yani (Untung), dan Irawan Sura Edi Yani (Edi). Yayuk merupakan ibu delapan anak dari perkawinannya dengan pahlawan revolusi Jenderal TNI (Anumerta) Achmad Yani. Yani adalah Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 1962-1965. Saat ini jabatan tersebut disebut Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Untung (67 tahun) merupakan anak ketujuh dan Edi (63 tahun) anak bungsu pasangan tersebut. Dalam peristiwa 1 Oktober 1965, Edi yang diminta pasukan Tjakrabirawa, pengawal Presiden Sukarno untuk membangunkan ayahnya sekitar pukul 04.00-an WIB. Ia tidak tahu kalau pasukan itu justru akan menculik dan membunuh ayahnya. Anak-anak Yani tidak sampai hati melihat ibunya membasuh wajahnya dengan darah Jenderal Yani. Darahnya menggumpal di lantai dekat ruangan makan keluarga akibat tembakan membabi buta dari pasukan Tjakrabirawa. Pesan dari ibunda dikemukakan oleh Untung kepada penulis dalam pertemuan keluarga besar Jenderal A Yani di Museum Sasmita Loka Jenderal A Yani, Jalan Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (9/11/2021). “Kami sebenarnya ingin menjadi tentara seperti Bapak (Jenderal A Yani), tapi kami tidak ingin membantah pesan dari Ibu,” ujar Edi. “Takut kualat membantah petuah Ibu,” kata Untung, melengkapi. Batal Jadi Tentara Bukan hanya Untung dan Edi saja yang hadir, melainkan empat kakaknya. Anak pertama; Indriyah Ruliati Yani (Ruli), anak ketiga; Amelia Yani (Amel), anak kelima; Widna Ani Yani (Nanik), dan anak keenam; Reni Ina Yuniati (Yuni). Sementara anak kedua; Herliah Emmy Yani (Emmi) wafat tahun 2007, dan anak keempat; Elina Elastria (Elina/Juwita) berhalangan hadir. Bahkan lanjut Untung, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo yang merupakan sahabat ayahnya, beberapa kali menawarkan dirinya dan Edi untuk mendaftar ke Akademi Militer (Akmil). “Om Sarwo akan memberikan rekomendasi, tapi kami tetap ingat petuah Ibu,” ungkap Untung. Nanik (70 tahun) menceritakan almarhum ayahnya kerap menceritakan tentang para taruna Akmil di Magelang maupun Bandung yang gagah, pintar, dan calon patriot bangsa. Misalnya saat keluarga mengunjungi Jawa Tengah, yang tidak pernah dilupakan adalah cerita tentang taruna di Magelang. “Sepertinya bapak ingin anak perempuannya menikah dengan tentara lulusan Akmil,” ujar Nanik sambil tersenyum, penuh arti. Namun, lanjut Nanik, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merenggut nyawa ayahnya (Jenderal A Yani), ibunya meminta agar anak-anaknya menjauh dari kehidupan tentara. “Kalau perlu tidak ada yang menikah dengan taruna, walau lulusan Akmil sekalipun,” ungkap Nanik. Namun, takdir berkata lain. Dua anak perempuan pasangan Jenderal Yani dan Yayuk Riliyah, ternyata mendapatkan jodoh tentara lulusan Akmil. Anak pertama; Ruli suaminya adalah Brigadir Jenderal TNI (Purn) Soedarsono, lulusan Akmil 1965 dari Korps Infanteri. Satu kelas dengan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar. “Kalau saya sudah kepalang tanggung. Karena waktu bapak masih hidup, calon suami saya masih taruna dan sudah pernah ke rumah. Juga sudah berkenalan dengan bapak dan ibu saya. Bahkan pada 30 September 1965, Mas Soedarsono sempat menemui Bapak,” ujar Ruli (76 tahun), mengenang masa lalunya. Brigjen Soedarsono terakhir berdinas militer di Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) yang kini menjadi BIN. Ia juga sempat menjadi anggota DPR RI setelaj pensiun dari militer. Lain lagi cerita Nanik. Suaminya adalah Mayor Jenderal TNI (Purn) Judi Magio Jusuf. Lulusan Akmil 1973 dari Korps Infanteri. Teman satu kelas dengan Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono. Mayjen Judi M Jusuf terakhir dalam dinas militer sebagai Asisten Pengamanan KSAD. Jadi dua menantu Jenderal Yani memiliki keahlian di bidang intelijen. “Saya terus terang ingat pesan Ibu, jangan menikah dengan tentara. Tapi Mas Judi yang desak terus. Akhirnya saya menyerah sambil minta maaf kepada Ibu,” ungkap Naik yang disambut gelak tawa saudara-saudaranya. Sahabat Sarwo Yuni (68 tahun) juga menceritakan bagaimana keluarganya tersobsesi kehidupan Angkatan Darat dengan segala suka dan dukanya. Setelah ayahnya gugur, banyak anggota masyarakat silih berganti mengunjungi rumah duka selama satu tahun. “Om Sarwo (Sarwo Edhie Wibowo) juga kerap datang mengunjungi kami. Datang dikawal panser. Menanyakan keadaan kami. Ibu selama sekitar satu tahun terus berduka dan lebih banyak berada di dalam kamar,” kenang Yuni. Sarwo Edhie merupakan teman satu kelas dengan Yani waktu pendidikan Shodanco (komandan kompi) bagi tentara PETA (Pembela Tanah Air) di Bogor, Oktober 1943. Yani sebelumnya sempat menjadi Sersan pada Dinas Topografi KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indische Leger), Belanda dan berdinas di Bandung. Sempat bertempur dengan Jepang di Ciater, sebagai pengalaman pertamanya dalam perang. Ia sempat meringkuk beberapa bulan di kamp tawanan perang Jepang, setelah tentara Negeri Matahari Terbit itu menundukkan tentara Belanda di Indonesia, pada 1942. Para tentara Belanda dan pribumi yang menjadi tentara KNIL pun menjadi tawanan perang. Sampai akhirnya dibebaskan dan pemuda Yani menjadi pengangguran. Yani dan Sarwo sempat berada dalam batalyon yang sama. Mayor Yani sebagai Komandan Batalyon 3 Resimen Magelang. Sedangkan Kapten Sarwo Edhie sebagai komandan kompi. Resimen ini berada di bawah Divisi V yang bermarkas di Purwokerto. Panglima Divisinya adalah Kolonel R Soedirman, kelak menjadi Panglima Besar. Yani pula yang mempromosikan Sarwo menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) walau ditentang beberapa pihak. Kelak keputusan Yani justru benar dan Sarwo menjadi komandan penumpas PKI. Tamu dan Trauma Yuni menceritakan, selama sekitar satu tahun, nyaris tamu tiada henti mendatangi rumah duka. Untuk menerima kedatangan tamu, mereka membuat seragam tentara khas Angkatan Darat. “Kami minta brevet wing para (terjun payung militer) kepada Om Sarwo untuk melengkapi seragam agar terlihat lebih gagah. Om Sarwo memberikan enam wing untuk kami berenam,” ujar Yuni. Jika para tamu datang, keenam anak Jenderal Yani menyambut dengan rasa hormat dengan berbaris rapi. Komandannya adalah Amelia yang punya bakat memimpin. Ia juga menjadi aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang mengritisi kepemimpinan Presiden Sukarno. Dalam lubuk hatinya sesungguhnya Amelia protes terhadap negara atas gugurnya ayahandanya sebagai kusuma bangsa. “Dua kakak kami pada Desember 1965 melanjutkan pendidikan tinggi di Kota Bonn Jerman Barat. Sekaligus untuk melupakan trauma,” ujar Amel (72 tahun). Sehingga sebagai anak ketiga, Amelia menjadi yang tertua, ia memimpin adik-adiknya. Belakangan, Amel juga melanjutkan pendidikan tinggi ke Inggris. Hal ini setelah mendapatkan saran dari psikolog setelah Amel juga sakit-sakitan akibat trauma tidak bisa melupakan peristiwa terbunuhnya ayahanda di depan mata anak-anaknya. Kemudian Amel bekerja untuk UNDP (United Nations Development Programme). “Wah itu (Amelia) komandan galak memimpin adik-adiknya,” celetuk Untung, disambut gelak tawa kakak-kakaknya. “Harus galak supaya nurut semua,” jawab Amelia, tersenyum. Beruntung kedelapan anak dari Jenderal Yani mengenyam pendidikan tinggi semuanya. Awalnya di Universitas Indonesia (UI), kemudian melanjutkan ke luar negeri dan Kembali lagi ke UI. Bahasa Inggris menjadi menu wajib bagi keluarga ini. Bahkan ibunda mereka, Yayuk Ruliyah juga mengikuti kursus bahasa Inggris selama sekitar dua tahun. “Bapak ingin agar ibu bisa berkomunikasi dengan para istri atase pertahanan asing di Indonesia. Sehingga ibu mengikuti kursus Bahasa Inggris,” kenang Amel. Sedangkan Jenderal Yani menguasai tiga bahasa asing, Inggris, Belanda, dan Jepang. Misi dan Hukuman Yani Sebagai tentara, Yani pernah mengenyam pendidikan militer di Amerika Serikat dan Inggris selama 1,5 tahun pada 1954-1956. Usai sebagai Komandan Operasi 17 Agustus 1958-1959, Yani menjadi bintang baru militer Indonesia. Ia juga pernah menjalankan program ‘Misi Yani’ ke Eropa Timur untuk membeli alat utama sistem senjata (alutsista) pada 1960. Alutsista itu untuk persiapan merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Misi rahasia Brigjen Yani ke sejumlah negara, termasuk Yusgoslavia. Belakangan Yugoslavia terpecah-belah pada tahun 1991 setelah runtuhnya rezim-rezim Komunis di Eropa Timur. Kroasia, dan Slovenia memilih merdeka. Kemudian diikuti pula oleh Bosnia dan Herzegovina pada 1992. Kelak nasib mengantarkan Amelia Yani menjadi Duta Besar RI di Bosnia dan Herzegovina pada 2016-2020. Jika remaja Amel aktif di KAPPI sejak di SMA Santa Ursula, maka kakak-kakaknya memilih organisasi mahasiswa yang berbeda-beda. “Ruli di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan ikut resimen mahasiswa. Emmi di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia),” ungkap Amel. Kini Ruli juga masih mengajar di Fakultas Psikologi di Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjadi) di Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Perguruan tinggi swasta (PTS) di bawah Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) milik Angkatan Darat. PTS yang menggunakan nama ayahandanya. Ia menjadi dosen istimewa dengan usia 76 tahun namun masih energik. Sedangkan Emmi menikah dengan pengusaha Soebronto Laras. Sepulang dari Jerman, Emmi kembali melanjutkan pendidikan di UI. Kemudian berbisnis sebagai pemegang franchise sekaligus managing director restoran ayam goreng Church ‘s Texas Fried Chicken. Putri kedua Jenderal Yani ini meninggal pada awal Januari 2007, karena sakit komplikasi liver dan paru-paru yang dideritanya sejak lima bulan. Jika Ruli dan Emmi melanjutkan kuliah di Jerman, lain lagi dengan adik-adiknya. Amel, Juwita serta Yuni melanjutkan kuliah di Inggris. Sedangkan Nanik melanjutkan kuliah di Prancis. Sementara dua adiknya yang lelaki, Untung dan Edi melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat. Kedua anak lelaki Jenderal Yani dibantu oleh sahabat ayahnya Kolonel Benson. Teman sama-sama Yani waktu melajutkan sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Fort Leavenworth di Kansas. Benson juga sempat menjadi atase militer Amerika di Jakarta. “Kami sering berlatih bahasa Inggris walau masih ngawur-ngawuran di dalam mobil ketika mengikuti pesiar dengan bapak dan ibu ke puncak setiap Sabtu dan Minggu,” ujar Untung. Amel menceritakan, perjalanan ke puncak hampir dilakukan setiap pekan. Ayahnya menyetir mobil sendiri didampingi ibunya di depan, Sedangkan di belakangnya khususnya anak keenam, ketujuh, dan kedelapan. “Jadi Yuni, Untung dan Edi mendampingi bapak dan ibu satu mobil. Sementara yang lain berada dalam mobil lainnya berlima. Kemudian dikawal satu mobil ajudan dan pengawal serta mobil logistik,” ungkap Amel mengenang masa-masa indah bersama kedua orangtuanya. Suatu ketika, kenang Yuni. Ia Bersama Untung dan Edi mencoba ikut-ikutan orang di kampung kawasan Cipayung, Puncak. Menghisap rokok dari daun kawung, namun tidak ada tembakaunya. Aksi ikut-ikutan itu diketahui ayahnya. “Waduh saya dihukum harus menghisap pipa cangklong rokok tapi tanpa rokok dan tembakau, sampai bibir pegal. Itulah hukuman dari bapak agar anak-anaknya tidak merokok,” ujar Yuni. Akibat mengalami flu berkepanjangan, Brigjen Yani pada 1960 berhenti merokok. Karena itu ia tidak menginginkan anak-anaknya merokok sejak muda. “Hukuman dari bapak kepada anak laki-lakinya adalah menyentil telinga. Waduh sakit juga,” cerita Untung sambil terbahak-bahak. Keenam anaknya mengakui ayahnya tidak galak. Justru ibunya yang lebih keras terhadap anak-anaknya. Mungkin Jenderal Yani menyadari jika dirinya tidak bisa selalu menemani anak-anaknya jika sedang melaksanakan tugas operasi, kunjungan kerja keliling Indonesia maupun luar negeri, serta sekolah militer di negara lain. Istri Jenderal Jual Sembako Banyak yang tidak tahu bagaimana janda Achmad Yani itu harus menerima kenyataan pahit. Bukan lagi menjadi istri pejabat negara, Panglima Angkatan Darat. Ia harus menghidupi keluarganya, karena pension janda jenderal bintang empat hanya menerima sekitar Rp150 ribu, sejak akhir 1965. “Anak-anakku…. Kalian bukan lagi anak Menteri Panglima Angkatan Darat. Kini kalian adalah anak pedagang sembako. Begitu kira-kira pesan ibuku,” kata Ruli mengenang beratnya beban hidup keluarganya. Setiap hari sejak Senin hingga Jumat dari pagi hingga malam hari, ibunya mesti masuk pasar keluar pasar. Banting tulang untuk membiayai hidup keluarganya. Termasuk membiayai sekolah anak-anaknya. Menjual semacam bahan sembilan pokok dan barang-barang lainnya. Termasuk jual beli tanah di Kawasan Jakarta. Laba dari berdagang itu antara lain untuk menyekolahkan anak-anaknya. Mereka tidak lagi menerima fasilitas sekelas menteri dan jenderal. Semua fasilitas negara ditarik, baik rumah maupun kendaraan. Hanya menyisakan satu ajudan untuk keselamatan ibundanya. Semua sisa-sisa harta dijual agar bisa membeli rumah yang berada persis di depan rumah tempat peristiwa terbunuhnya Jenderal Yani di Jalan Lembang. “Ibu sulit melupakan rumah di Jalan Lembang ini. Karena darah bapak di lantai setelah ditembak pasukan Tjakrabirawa, langsung diusapkannya ke wajah dan tubuh ibu,” ungkap Amel. Hidup Zig Zag Ruli menceritakan, mungkin dia yang paling tahu bagaimana penderitaan sebagai anak kolong (tentara). Sebagai anak pertama, ia merasakan bagaimana ayahnya harus pindah ke sana kemari karena panggilan tugas. Termasuk tiba-tiba harus meninggalkan rumah dinas serta kendaraan dinas saat ayahnya harus sekolah ke Amerika dan Inggris. “Ibuku yang biasa naik mobil dinas sebagai istri komandan, tiba-tiba harus naik sepeda membonceng kami ke sekolah dan membawakan makanan bekal untuk anak-anak di sekolah saat di Tegal.” Begitulah pasang surut dan kehidupan zig zag begitu terasa. Tentunya yang utama kondisi setelah peristiwa G30S/PKI, Bagi Ruli dan adik-adiknya, paling menyakitkan dan tidak bisa dilupakan hingga saat ini adalah peristiwa dibunuhnya ayahanda. Bagi keluarga besar, Jenderal Yani tentulah pahlawan luar biasa dengan segala plus minusnya sebagai manusia. Pahlawan revolusi itu mendapatkan tempat terhormat dalam panggung sejarah Indonesia. Peti jenazahnya di atas panser dikawal jenderal senior Letjen GPH Djatikusumo, KSAD pertama. Hal ini menandakan penghormatan tertinggi TNI untuk segala bakti Yani “Een en militair” (seorang militer sampai ke tulang sumsumnya). Itulah pahlawan kusuma bangsa dari Jenar, Purworejo, Jawa Tengah. Jenderal yang memegang psinsip menolak Angkatan Kelima dan Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis), walau jabatan dan nyawa menjadi pertaruhannya.
KAMI Ingatkan Kembali Soal Gagal Bayar Utang Pemerintah
Jakarta, FNN - Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) mengingatkan kembali tentang utang pemerintah yang semakin tak terkendali dan berpotensi gagal bayar. “Persoalan yang semakin berat adalah utang pemerintah termasuk BUMN dan BI yang semakin tidak terkendali, yang mana menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI) berpotensi gagal bayar. Utang pemerintah sesungguhnya sudah tidak terkendali sebelum datangnya pandemi Covid-19 demi membangun proyek-proyek infrastruktur yang tidak fisibel dan bukan merupakan prioritas kebutuhan rakyat”. Demikian pernyataan KAMI dalam Maklumat Kedua yang diterima redaksi FNN pada Jumat (12/11/2021). Maklumat Kedua itu ditandatangani Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, Prof Dr Rochmat Wahab, dan Prof Dr M Din Syamsuddin. Ketika utang semakin bertambah dengan alasan penanganan pandemi, pemerintah justru tidak dapat meningkatkan penerimaan negara melalui pendapatan pajak, salah satunya dari pemanfaatan sumber daya alam. Ini akibat para mafia sumber daya alam selama ini tidak membayar pajak sebagaimana mestinya, bahkan menimbulkan deforestasi dan kerusakan pada sumber daya alam yang mengancam keberlangsungan lingkungan hidup agar dapat dinikmati generasi mendatang. Ironisnya, pemerintah justru merencanakan menaikkan pendapatan pajak melalui sektor-sektor ekonomi yang akan menambah berat kehidupan masyarakat lapisan menengah-bawah, misalnya sembako, pendidikan dan kesehatan. Aspek lainnya menurut KAMI adalah peran ganda para pejabat di masa pandemi, yaitu berperan sebagai pengambil keputusan dan kebijakan penanganan pandemi sekaligus juga menjadi pelaku bisnis terkait obat Covid-19 dan jasa PCR. Ini menunjukkan kepada masyarakat bahwa para pejabat negara yang seharusnya menunjukkan kepedulian besar pada rakyat yang sedang kesulitan hidup, justru terlibat dalam konflik kepentingan. Oleh karena itu KAMI menyampaikan keprihatinan atas fakta-fakta tersebut yang amat mendesak untuk diperbaiki oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara, sebagai berikut: Pertama, Cengkraman Oligarki Pemangsa (Predator Oligarch) dalam kehidupan negara telah membuat bangsa Indonesia terperosok dalam jurang kehancuran ekonomi. Bersatunya elit ekonomi dan politik telah menyebabkan ekonomi nasional telah diselenggarakan secara serampangan dan brutal. Seharusnya pemerintah mengembalikan tata kelola ekonomi nasional dan sumber daya alam demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai nilai-nilai sila ke-5 Pancasila dan Konstitusi. Kedua, Presiden telah gagal dalam mengelola jalanya pemerintahan karena kondisi demokrasi, ekonomi, HAM, serta praktek-praktek rente kebijakan dan korupsi semakin hari semakin memburuk tidak terkendali. Kepemimpinan nasional dalam menangani pandemi yang ditunjukkan kepada rakyat adalah kepemimpinan yang mengabaikan moral (moral disengagement) yang menunjukkan keserakahan di tengah derita pandemi. Selain itu kepemimpinan nasional tidak fokus memikirkan nasib rakyat, dan tidak memiliki kemampuan yang sesuai dengan tantangan dan beratnya persoalan hari ini untuk melakukan langkah-langkah perbaikan demi menyelamatkan Indonesia. Ketiga, dengan Mahkamah Konstitusi (MK) menerima Judicial Review atas UU No.2 tahun 2020 maka seharusnya pemerintah semakin transparan dan akuntabel, serta sungguh-sungguh melakukan pengusutan atas potensi-potensi kerugian negara dari perilaku korupsi maupun perilaku rente atas kebijakan-kebijakan penanganan pandemi. Dengan semangat demokrasi, pemerintah juga harus membuka ruang seluas-luasnya kepada publik untuk mengawasi penggunaan anggaran penanganan pandemi. Terkait dengan putusan MK bahwa status pandemi Covid-19 harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2 (akhir tahun 2021), maka anggaran COVID yang disusun berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2020 selanjutnya harus dengan persetujuan DPR. KAMI merasa sangat prihatin melihat kondisi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan hari ini yang semakin buruk, dan jauh dari konsep negara demokrasi yang berlandaskan Pancasila. Oleh karena itu KAMI berharap mengajak seluruh anak bangsa untuk bangkit, terlibat, dan bertekad dengan sungguh-sungguh dalam upaya penyelamatan bangsa dari ancaman kerusakan moral dan kehancuran di semua sektor kehidupan bangsa. (sws)
Bappenas Menargetkan Angka Kemiskinan Turun 0,5 Persen pada 2022
Makassar, FNN - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menargetkan angka kemiskinan bisa menurun 0,5 persen di tahun 2022 dari persentase kemiskinan saat ini yang mencapai 10,14 persen. "Tahun 2021 sebentar lagi akan lewat, jadi perkiraan kita itu bisa sekitar 9,6 persen di 2022, persentase angka kemiskinan menurun sekitar 0,5 persen dari angka sekarang 10,14 persen," ungkap Deputy Ketenagakerjaan dan Kependudukan Bappenas Drs Pungky Sumadi di Makassar, Jumat. Guna meningkatkan persentase kesejahteraan di Indonesia, salah satu upaya Bappenas yakni melakukan reformasi UMKM bekerjasama dengan Kementerian UMKM dalam rangka menyiapkan pasar produk UMKM. "Dalam meningkatkan pendapatan mereka terdapat dua hal utama yang kita utamakan yakni memberi ruang kepada mereka yang mau bekerja dan mau berusaha. Mereka (pelaku UMKM) yang berusaha kita buatkan perantaraan pasar," urai Pungky. Upaya lainnya yaitu perbaikan pendidikan dan pelatihan vokasi agar serapan tenaga kerja semakin meningkat. "Jadi pendidikan pelatihan vokasi itu kita buat sedemikian rupa sehingga pengusaha bisa merancang diklat sesuai dengan kebutuhan dunia industri, jadi tidak mudah," katanya. Menurut Pungky, strategi itu dirancang mulai dari sekarang sampai seterusnya, karena ini proses genting sehingga semakin cepat kita kurangi kemiskinan berarti ini akan semakin berhasil pemanfaatan fasilitas. Pungky Sumadi menjelaskan bahwa mengenai angka kemiskinan di Indonesia bisa dilihat dari segi yang lebih luas, misalnya pada program kesehatan, pendidikan, bantuan sosial, UMKM dan ketenagakerjaan, sebagai program unggul. Sementara terkait indikator peningkatan maupun penurunan angka kemiskinan bisa diketahui dari konsumsi barang dan jasa. "Dari konsumsi ini, kita bisa tahu, misalnya konsumsi rumah tangga itu naik nggak tahun yang akan datang dibandingkan sekarang. Kalau makin naik, berarti kita punya penghasilan untuk konsumsi barang dan jasa lebih banyak, gampangnya seperti itu," ujar Pungky menjelaskan. Dia menjelaskan bahwa sebelum terjadi COVID-19, pemerintah terus berupaya menurunkan kemiskinan dengan strategi yang dinilai sudah bagus, cuma karena munculnya pandemi, maka akhirnya persentase kemiskinan menjadi naik. Sebelumnya, Bappenas menargetkan persentase kemiskinan di bawah 9 persen di tahun 2021 ini, namun terjadi kenaikan di 2020 menjadi 10,19 persen dan terjadi penurunan menjadi 10,14 persen pada 2021 ini dengan total penduduk 27 juta jiwa lebih. "Nah inilah persoalan kita sekarang, jadi kita harus kerja lebih baik lagi supaya angka persentasenya cepat turun. Kita bukan hanya sekedar beri bantuan sosial saja," ujar dia. (mth)