ALL CATEGORY

Rencana Dukung Anies, DPP BroNies Temui Wakil Ketua Umum DPP PROJO

Jakarta | FNN - Ketua Umum DPP Relawan Bro Anies   (BroNies) bersama Sekjen dan Bendahara Umum serta pengurus lainnya, Selasa sore, 31 Oktober 2023 menemui Wakil Ketua Umum DPP PROJO di hotel Namira Surabaya, Jawa Timur. Yusuf Blegur dan Guntur Siregar juga Deasy Narulita selaku Ketua Umum, Sekjen dan Bendahara Umum bersama rekan-rekan BroNies mengadakan silaturahim dengan Suhandoyo Wakil Ketua Umum aktif DPP PROJO sebagai pendiri dan pernah menjadi ketua PROJO Jawa Timur. Pertemuan BroNies dengan salah satu tokoh penggerak PROJO itu mencoba menjajaki rencana deklarasi PROJO mendukung Anies. Seperti yang sudah dideklarasikan, PROJO terbelah mendukung capres Prabowo dan Ganjar. Pertemuan BroNies dengan Handoyo yang juga menjadi Ketua Bapilu Partai Nasdem Jawa Timur, merupakan upaya untuk konsolidasi dalam rangka mempersiapkan dan menindaklanjuti aspirasi beberapa pengurus aktif PROJO yang selama ini merasa simpati dan memiliki empati terhadap figur Anies Baswedan. Yusuf dan Guntur mencoba meminta  saran dan pertimbangan tentang pentingnya membangun komunikasi dan koordinasi dengan basis kekuatan nasionalis terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada Handoyo yang dikenal sebagai penggerak massa di Jawa Timur, ujar kedua pengurus BroNies yang Aktifis GMNI. Silaturahim itu disambut hangat dan antusias oleh Handoko yang pernah menjadi anggota DPRD dan Ketua Fraksi PDIP Jawa Timur. Pertemuan relawan pendukung Anies dan pendukung Jokowi (BroNies dan PROJO) tersebut menghasilkan satu agenda kegiatan Deklarasi PROJO Pro Anies, rencananya akan dilaksanakan antara di Jawa Timur, Jawa Tengah dan di Jakarta. Handoyo yang pernah mengumpulkan suara terbanyak dan memenangkan pemilihan Ketua DPD dalam Konferda PDIP Jawa Timur namun digagalkan oleh Hasto Kristianto-Sekjend PDIP, mengatakan akan melakukan konsolidasi PROJO Jawa Tengah juga. Apalagi banyak pengurus PROJO Jawa Tengah yang tidak puas dan kecewa kepada Prabowo yang memilih Gibran sebagai cawapresnya, pungkas Handoyo. Sementara Yusuf Blegur dan Guntur Siregar akan berusaha membantu memfasilitasi aspirasi atau keinginan Deklarasi PROJO Pro Anies bisa dilaksanakan di Jakarta. Kami akan komunikasi dengan semua pihak terkait yang bisa membantu kegiatan itu. Ini menjadi bentuk inisiasi dan tanggungjawab BroNies dalam menggalang semua potensi kekuatan politik yang berbasis ideologi kiri dan nasionalis demi memenangkan Anies sebagai presiden. In syaa Allah pasangan AMIN bisa membuat “matchsvorming” dan harus sanggup membangun “samen bundelling van alle revolutionary krachten”, menjelang pilpres 2024. Selain kehadiran Gus Imin dengan basis NU nya di Jatim dan Jateng, semoga kolaborasi BroNies dan PROJO dapat berkontribusi pada pemenangan pasangan AMIN. Aamiin. (*)   *Surabaya, 31 Oktober 2023.*     *DPP BroNies*   *Yusuf Blegur-Ketua Umum* *Guntur Siregar-Sekjend*

Makan Siang di Istana: Anies Head To Head Dengan Jokowi

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior  Di sebelah kanan Jokowi ada Ganjar Pranowo. Di sebelah kiri ada Prabowo Subianto. Di depan Jokowi duduk Anies Baswedan. Inilah posisi di meja makan siang di Istana pada hari Senin kemarin (30/10/2023). Entah siapa yang mengatur posisi duduk ini. Dan kemudian posisi ketiga capres sewaktu mereka secara bersama menyampaikan penjelasan pers setelah makan siang itu. Saya tidak ahli tafsir bahasa tubuh atau body language. Tetapi, posisi duduk makan siang ketiga capres 2024 atas undangan Jokowi itu sangat menarik untuk dibaca dalam konteks kompetisi pilpres saat ini. Bagi saya, Prabowo dan Ganjar di kiri-kanan Jokowi menyiratkan banyak makna. Pertama, Prabowo dan Ganjar sangat dekat dengan Jokowi. Kedua, mereka bertiga ada di satu kubu. Ketiga, Anies adalah tamu mereka bertiga. Keempat, Anies paling jauh jaraknya dari Jokowi.  Itu makna negatifnya. Tapi ada pula makna-makna positif. Pertama, Anies tidak kecut menghadapi ketiga lawan politiknya itu. Kedua, Anies menjadi “distinctive” alias beda sendiri dalam arti memiliki karisma dan aura sebagai bintang di meja makan. Ketiga, Anies seperti “keynote speaker” di situ. Alias, orang yang ditunggu kata-katanya. Yang juga sangat menarik adalah momen ketika ketiga capres berdiri di depan awak media yang menunggu mereka keluar. Di sini pun banyak bahasa tubuh yang secara natural membuat Anies menjadi pusat perhatian. Pertama, ketika mereka secara bergantian menyampaikan komentar tentang makan siang itu kepada para wartawan. Mereka dalam posisi berdiri di podium. Prabowo pertama kemudian Anies. Setelah itu Ganjar. Dalam urutan ini, Anies berada di tengah. Selesai menyampaikan komentar, ketiga capres diminta berpegangan tangan. Alam mengatur Anies lagi-lagi berada di tengah. Di sebelah kanan Prabowo, di sebelah kiri Ganjar. Kembali ke meja makan, Anies berjarak paling jauh dengan Jokowi tetapi berhadap-hadapan diametral dengan Anies. Asli head to head. Faktanya, Anies memang tidak punya kaitan apa pun dengan Jokowi dalam proses pilpres ini. Tidak didukung Jokowi. Bahkan dimusuhi habis-habisan. Berkali-kali Jokowi gagal menjegal Anies.  Dalam situasi sendirian di meja makan itulah Anies menyampaikan dengan santun tapi tegas agar Jokowi netral. Tidak mudah menyampaikan ini secara spontan dan tanpa beban.  Upper cut pertama ke wajah Jokowi. Pesan netralitaa itu mengisyaratkan bahwa Jokowi tidak netral. Anies tidak takut mengucapkan itu di depan Jokowi langsung. Secara keseluruhan, makan siang di Istana itu berhasil dijadikan Anies sebagai tempat untuk menunjukkan bahwa Jokowi adalah manusia biasa. Anies tidak punya beban. Dia bersikap dan berbicara normal saja.  Anies tidak datang sebagai pengemis dukungan. Beda dengan Prabowo dan Ganjar.[]

The Queen of Lip Service

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan BEBERAPA waktu yang lalu BEM UI memberi gelar kepada Presiden Jokowi sebagai The King of Lip Service karena Jokowi ini berkarakter banyak janji atau program tetapi minim pelaksanaan. Bahasa gaulnya \"omdo\" omong doang atau omong dodol. Basa-basi alias bohong melulu. Sayangnya sang Raja tidak memiliki rasa bersalah, mungkin meyakini bahwa bohong adalah bagian dari \"service\". Baru dalam sejarah ketatanegaraan kita ada Presiden bergelar sedahsyat ini. Apalagi di mata mahasiswa, generasi penerus masa depan bangsa. Meski kadang berlebihan dalam semangat tetapi di kampus mereka dididik untuk berfikir akademis baik kritis, obyektif, analitis maupun sistematis. Mahasiswa terdidik untuk tidak suka pada basa basi atau perilaku munafik.  Lip service adalah bentuk dari kemunafikan. Tidak mau dan tidak mampu bersikap konsisten atau konsekuen. Gelar mahasiswa kepada Jokowi sama saja dengan deklarasi bahwa Jokowi adalah pemimpin munafik. Sesuatu yang semestinya menjadi perilaku yang tidak boleh melekat pada seorang pemimpin, apalagi sebagai Presiden. Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran untuk Cawapres adalah sukses Jokowi. Memperkuat dukungan Jokowi kepada pasangan Prabowo-Gibran. Meneguhkan pelarian Jokowi dan Gibran dari PDIP. Dan tentu hal ini wajar membuat Megawati dan PDIP panas hati. Jokowi tidak balas budi walau dengan seribu narasi termasuk bermain di tiga kaki.  Punggawa PDIP mulai mengkritisi Putusan MK hasil rekayasa Jokowi. Ada Hasto, Masinton, Beathor dan lainnya. Megawati mengatur ritme. Namun rakyat melihat sikap PDIP belum berkulminasi terapi baru tahap eskalasi. Ada kekhawatiran publik reaksi itu hanya menjadi bagian dari babak sebuah sandiwara. Sementara rakyat  ditempatkan sebagai penonton yang sedang dibodohi.  Megawati dan PDIP harus menunjukkan bukti bahwa mereka sungguh-sungguh untuk menjaga marwah. Permainan vulgar Jokowi tidak boleh dibiarkan.  Megawati harus memecat Gibran sebagai tahap awal. Konsisten dengan pemecatan Budiman Sudjatmiko. Berikutnya Jokowi sebagai \"biang keladi\" harus diberi sanksi organisasi. Dipecat dari keanggotaan PDIP. Megawati harus berani. Janganlah bersikap seperti tayangan video di medsos dimana seekor banteng lari terbirit-birit ketakutan dihampiri oleh manusia berkostum kodok berwarna merah.  Bila Megawati tidak berani bertindak maka asumsi publik tentang sandiwara memang terbukti. Jika dahulu Jokowi diberi predikat sebagai \"The King of Lip Service\" maka jangan-jangan Megawati kini digelari oleh banyak komunitas sebagai \"The Queen of Lip Service\". Artinya Jokowi dan Megawati sama saja. Menurut  \"Bang Eddy Channel\" cuma bisa \"banyak cingcong\". Arah politik bangsa ke depan membutuhkan figur yang memiliki sikap politik jujur, berani, adil dan obyektif. Jokowi adalah akar dari problema bangsa yang harus segera dieliminasi. Tukang sandera yang tidak layak untuk terus berkuasa. Mesti dibuat rungkad.  Megawati dan PDIP bisa memulai untuk itu.  Saat ini Jokowi sedang nekad cawe-cawe memainkan boneka Gibran dengan mengelus-elus Prabowo. Tidak peduli lagi pada teriakan rakyat atau serudukan banteng.  Kata mahasiswa hanya ada satu kata \"lawan !\". Kata aktivis dan oposisi: \"makzulkan !\" Kata rakyat secara serempak : \"penjarakan !\" Jokowi memang harus berhenti sampai sini. Agar tidak terus menerus melakukan kerusakan di muka bumi.  Bumi pertiwi telah habis dicuri dan digagahi oleh Jokowi, kroni dan oligarki.  Bandung, 1 November 2023.

Dinasti Politik: Bermula dari The Godfather Membagi-bagi Kekayaan Alam

Sistem oligarki pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1970 yang dibangun oleh Soeharto. Untuk memimpin sistem oligarki yang dibentuknya, Soeharto berlagak layaknya seorang The Godfather yang membagi-bagi kekayaan alam Indonesia pada kelompok-kelompok tertentu. Oleh Dimas Huda | Jurnalis Senior FNN Beberapa negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi terjebak oligarki dan menjadi akar bagi terciptanya oligarki, termasuk di Indonesia. Salah satu institusi yang turut berperan adalah partai politik. Pertanyaan yang kemudian kerap mengusik adalah bagaimana sebuah institusi demokrasi seperti partai bisa terjebak dalam lingkaran oligarki?  Kepala Puslit Politik LIPI, Firman Noo, menyebut di Indonesia keterjebakan itu disebabkan oleh beberapa hal antara lain.  Pertama, Ketua Umum sebagai figur utama atau elite partai yang menjadi penentu. \"Orang-orang kuat\" ini muncul sebagai reprensentasi ideologis atau historis.  Pada umumnya, di Indonesia saat ini,  partai tidak bersifat ideologis. Figuritas di kebanyakan partai disebabkan karena faktor sejarah terbentuknya partai atau sebuah \"moment historis\" yang menyebabkan seorang figur menjadi mencuat ke permukaan dan mendapat dukungan luas. Figur-figur memainkan peran kesejarahan partai itu menyebabkan penghormatan, yang akhirnya kerap berlebihan sehingga keberadaannya berikut inner circle di dalamnya sangat kokoh.  Partai-partai yang sejak awal diinisiasi, dibentuk, dan dijalankan oleh tokoh penentu, yang biasanya kemudian sebagai pimpinan partai, cenderung berpotensi mengalami oligarkis. Keberadaan figur ini, di satu sisi mampu menghadirkan stabilitas partai. Namun, di sisi lain juga berpotensi besar menghadirkan model pengaturan dan tata kelola partai yang sentralistik. Kedua, aspek historis ataupun ideologis. Kehadiran para figur penentu yang melahirkan oligarki juga disebabkan adanya ketergantungan finansial partai pada sumber-sumber keuangan dimiliki figur.  Colin Crouch (2004) menggunakan istilah \"firma politik\" untuk menggambarkan ketergantungan finansial dan merembet pada struktur pembentukan partai yang pada akhirnya bagaimana partai dikelola.  Situasi ini diperkuat oleh kondisi pragmatisme semakin kental saat ini karena money talks yang menyebabkan figur-figur kuat secara finansial akan bisa berperan amat besar. Dulu almarhum Cak Nur atau Nurcholish Majid pernah menyinggung faktor ini dengan istilah kepemilikan \"gizi\".  Situasi ini sangat terasa terutama pada partai-partai yang tidak berorientasi values atau ideologi dalam aktivitasnya. Akibatnya, jaringan (networking ), konstelasi, ataupun kontestasi internal yang terbentuk saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor kekuatan material-finansial. Ketiga, pelembagaan partai yang belum sempurna. Pelembagaan partai itu sendiri singkatnya adalah sebuah kondisi ketika sistem yang dibangun partai dan segenap aturan main dihargai serta dijalankan secara konsisten selain terbangunnya pola sikap dan budaya dalam partai. Namun, yang terjadi saat ini pelembagaan masih berjalan stagnan bahkan mengalami regresi. Sistem dan aturan kerap ditafsirkan untuk kemudian disesuaikan demi kepentingan elite dan jaringan oligarkinya. Dalam momen-momen tertentu, pelaksanaan musyawarah menjadi semu. Keputusan partai kerap diambil sepihak. Sementara hukuman bagi mereka yang membangkang atau dianggap tidak loyal bisa diputuskan secara cepat, tanpa harus melalui tahapan-tahapan pemeriksaan. Turunan dari lemahnya kelembagaan adalah proses kaderisasi yang mati suri. Pada akhirnya memungkinkan \"figur-figur asing\" untuk bisa langsung berada dalam lingkar kekuasaan, yang kiprahnya kebanyakan cenderung mengokohkan oligarki.  Ketidakjelasan kaderisasi juga menyebabkan kader lebih terpicu untuk berlindung pada patron tertentu sehingga memuluskan pola hubungan patron-client, tentu saja mengganggu pembangunan demokrasi internal partai yang sehat. Keempat, AD/ART partai juga memberikan landasan bagi penguatan peran elite. Studi mengenai kandidasi partai, menunjukkan dalam banyak hal, termasuk kandidasi, figure pimpinan partai menjadi demikian berkuasa, dan pada beberapa partai menjadi demikian absolut, karena aturan main internal memberi celah untuk itu. Kondisi ini tentu mendorong perluasan rekayasa penciptaan kepatuhan buta yang objektif.  Kelima, faktor eksternal turut memengaruhi aturan main terkait kepartaian dan kepemiluan yang secara umum masih memberikan celah bagi partai-partai untuk membangun oligarki dalam dirinya. Setidaknya hingga kini keharusan kaderisasi, pengelolaan keuangan partai yang mampu menetralisasi peran oligarki belum diatur secara tegas dan komprehensif.  Selain itu, syarat ambang batas presiden maupun pencalonan kepala daerah yang memberikan peluang elite partai untuk saling bermanuver membangun koalisi juga turut berkontribusi secara tidak langsung bagi pengokohan kekuasaan elite maupun ketergantungan kader pada manuver elite.  Selain itu yang turut memberikan kenyamanan para oligarki adalah sikap kurang kritis masyarakat atau civil society pada kondisi internal partai-partai. Akibatnya, partai tidak merasa terusik apalagi terpicu memperbaiki diri agar bisa benar-benar menjadi lembaga demokrasi yang mampu bersikap dan berperilaku demokratis.  Mengingat kompleksitas penyebab oligarki di atas, diperlukan pendekatan komprehensif mulai dari pembenahan internal partai, pengaderan partai yang reformer, dukungan aturan dukungan civil society.  Pembenahan yang bersifat parsial dan tanpa dukungan komprehensif, jelas tidak akan membawa dampak signifikan bagi upaya pereduksian oligarki dalam partai politik. Kemudian menjawab pertanyaan ke dua yaitu bagaimana oligarki muncul di Indonesia? Dua Dimensi Jeffrey A. Winters dalam bukunya bertajuk Oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan.  Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik.  Menurut Winters, sistem oligarki pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1970 yang dibangun oleh Soeharto. Untuk memimpin sistem oligarki yang dibentuknya, Soeharto berlagak layaknya seorang The Godfather yang membagi-bagi kekayaan alam Indonesia pada kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok para jenderal, penguasa etnis Tionghoa dan kelompok pribumi.  Setelah berkuasa, ancaman nyata Soeharto itu ada pada para Jenderal TNI, jadinya dia membagi-bagikan kekayaan misalnya dengan pengelolaan hutan di Kalimantan dan menyebut para Jenderal itu kaya karena dia. Soeharto itu seorang Godfather yang ekonomis dan politis. Sistem oligarki Soeharto mulai mengalami gangguan saat anak anak Soeharto menjadi dewasa dan mulai berbisnis.  Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, karena para oligark di bawah Soeharto sudah tidak mau membela Soeharto karena tingkah laku anak-anaknya sudah tidak bisa dikendalikan, contohnya ketika LB Moerdani mengeluhkan anak-anak Soeharto dan akhirnya dia dipecat. Pada saat ini di Indonesia, kekuatan oligark dikuasai oleh kalangan pribumi, karena mereka memiliki uang dan jabatan. Tetapi sebelumnya, di zaman Orde Baru, oligark dikuasai oleh pengusaha dari etnis Tionghoa, yang punya akses langsung ke Soeharto. Berbeda dengan era orde lama dan orde baru, pada masa reformasi ini bentuk demokrasinya berubah sejak pemilu tahun 1999.  Hadirnya oligarki ini dimulai dari keberlangsungan sistem politik yang dipilih. Dalam sistem demokrasi tidak langsung seperti yang diterapkan di Indonesia, dalam skema penyelenggaraan pemilu didahului dengan pemilu legislatif, partai politik merupakan elemen penting.  Partai politik memiliki peran strategis sekaligus vital, yakni menjadi pihak yang diberikan kepercayaan politik oleh rakyat melalui mekanisme keterwakilan di parlemen/DPR. Dengan melihat pada alur yang linier, partai politik tepat berada di tengah antara warganegara sebagai konstituen dengan negara sebagai pelaksana tertinggi pemerintahan. Dengan menggunakan mekanisme keterwakilan menuntut adanya individu-individu yang duduk di kursi parlemen/DPR.  Partai politik, menjadi satu-satunya institusi yang berwenang melakukan rekrutmen menjaring wakil-wakil tersebut. Tugas ini pula yang kemudian mensyaratkan partai politik melakukan kaderisasi politik; menjaring individu-individu terbaik yang representatif untuk duduk di kursi parlemen/DPR. Jika melihat realitas yang menggejala dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia, tampak betul bahwa oligarki seperti dalam tafsiran Winters merupakan penyakit yang sudah akut.  Gurita Oligarki Hampir semua partai di Indonesia sebenarnya dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki -dalam istilah Pierre Bourdie- modal kapital dan sosial yang kuat.  Gurita oligarki dalam partai politik menguatkan asumsi bahwa partai politik gagal dalam melakukan fungsinya sebagai agregator demokratisasi. Fungsi rekrutmen dan kaderisasi yang macet dan partai politik lebih suka menggelar karpet merah kepada pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah.  Pendidikan politik yang disajikan di masyarakat diringkas ke dalam materi-materi kampanye-kampanye yang gegap gempita, gaduh oleh berita bohong, menjatuhkan lawan dengan fitnah atau hoaks dan sama sekali tidak mencerahkan. Bahkan pada titik yang paling parah, partai politik menjadikan masyarakat sebagai konstituennya dianggap sebagai obyek politik semata lima tahunan yaitu mendekati rakyat ketika membutuhkan suara rakyat dalam pemilu.  Sebagai subyek demokrasi, seharusnya masyarakat dituntut mendapatkan pendidikan politik dan memiliki pengetahuan politik. Tanpa pengetahuan politik, demokrasi hanya akan berjalan secara prosedural dan lupa pada esensinya. Namun dalam kenyataannya, praktik ideal partai politik tersebut lebih sering tidak terlaksana.  Secara internal, partai politik bahkan kerapkali gagal mempraktikkan mekanisme demokrasi dan terjebak dalam budaya oligarki. Dalam konteks politik nasional, hal itu tampak jelas dalam mekanisme penjaringan calon anggota legislatif maupun kepala daerah oleh sejumlah partai.  Tampak jelas bahwa seleksi calon legislatif dan kepala daerah justru dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari nilai-nilai demokrasi. Sistem penjaringan cenderung tertutup, tidak transparan, dan tidak memungkinkan dipantau oleh publik. Belum lagi soal fenomena mahar politik yang selalu mengiringi proses penjaringan calon pemimpin daerah.  Di tangan para elite itulah segala keputusan partai politik ditentukan melalui mekanisme hirarki yang kaku, alias dari atas ke bawah.  Seorang ketua partai beserta orang-orang di lingkaran terdekatnya merupakan sosok-sosok superior yang memegang kewenangan penuh dalam ihwal decision making, termasuk menentukan siapa yang bakal diusung dalam pileg dan pilkada.  Partai politik begitu kuat perannya dalam Negara, sehingga layak dikatagorikan sebagai monopolistik. Setelah lebih dari dua dekade, ternyata penguatan peran secara cepat (mendadak) yang tanpa dilandasi pendewasaan secara memadai itu, mengkondisikan partai menjadi rentan oleh jebakan hakikat kekuasaan berupa kecenderungan untuk membesar dan memusat. Maka tidaklah mengherankan, apabila dewasa ini semakin dikenali penguatan watak sistem kekuasaan oligarki dan bahkan aristokrasi di dalam partai politik.  Sistem kekuasaan oligarki partai politik tampil melalui kecenderungan sentralisasi kekuasaan, dominasi elit partai, pragmatism berlebihan (opportunistic) dan kroniisme kepemimpinan (pengurus, yang secara keseluruhan dibungkus dengan pemandulan pelembagaan (institusionalisasi) partai.  Dalam pada ini, gejala aristokratisasi partai terlihat dari kronilisasime elit atau penguasa partai yang mulai tergeser oleh nepotisme dan dinasti. (*)

Abraham Accords

Oleh Radhar Tribaskoro | Anggota Komite Eksekutif KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) dan Dewan Pembina FPN (Front Pergerakan Nasional) Abraham Accords adalah serangkaian perjanjian antara Israel dengan sejumlah negara Arab, antara lain Uni Emirat Arab, Bahrain dan Maroko.  Perjanjian-perjanjian ini diperantarai oleh Amerika Serikat dan dimaksudkan untuk menormalisasi hubungan diplomatik dan ekonomi antara Israel dan negara-negara Arab. Perjanjian-perjanjian ini diharapkan melandasi terciptanya suatu lansekap geopolitik baru di Timur Tengah yang lebih stabil dan damai.  Kelemahan dari Abraham Accords adalah bahwa perjanjian itu mengabaikan nasib Negara Palestina. Abraham Accord diketahui mengakui keberadaan Israel tanpa persyaratan yang secara langsung terkait dengan permasalahan Palestina. Hal ini telah mendapat kritik dari sejumlah pakar yang berpendapat bahwa perjanjian ini tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap isu Palestina. Dengan diabaikannya tuntutan Negara Palestina maka normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab, di bawah panji Abraham Accord, berpotensi melenyapkan Solusi Dua Negara di tanah Palestina.  Padahal Palestina sendiri masih belum mendapatkan pengakuan penuh sebagai negara merdeka oleh banyak negara di dunia. Isu Palestina tetap menjadi salah satu isu yang kompleks dan penting dalam politik dan diplomasi internasional. Dengan kata lain, Negara Palestina yang sekarang menduduki wilayah Gaza dan Tepi Barat terancam lenyap dengan hilangnya dukungan negara-negara Arab setelah mereka menormalkan hubungan dengan Israel.  Abraham Accords diperkirakan akan semakin mulus bila Israel berhasil mengajak Arab Saudi, negara paling berpengaruh di Timur Tengah, menandatangani perjanjian itu. Hal tersebut rupanya sudah sangat dekat. Menteri Luar Negeri Israel, Eli Cohen, pada bulan Juni lalu mengatakan bahwa perjanjian dengan Saudi akan ditandatangani awal tahun 2024. Para pakar menduga bahwa rencana perjanjian itulah yang memicu Hamas melancarkan serangan 7 Oktober 2023 ke Israel.  Serangan ini sangat mengejutkan karena sangat terkoordinir, terorganisir dan mengincar posisi-posisi Israel yang rawan. Serangan itu menimbulkan kerugian yang masif (1400 korban jiwa) di pihak Israel. Kerugian itu tidak terbayangkan sebab Hamas dikenal sebagai kelompok gerilyawan bersenjata ringan yang melawan Israel, notabene dikenal sebagai salah satu negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia. Selain itu serangan itu selektif, tidak menyasar objek-objek sipil, perempuan dan anak. Berbeda dengan serangan balasan Israel yang bersifat random, menyasar rumah sakit, sekolah dan menimbulkan korban perempuan dan anak yang sangat besar. Apa yang sebenarnya terjadi dan apa implikasi konflik Hamas-Israel saat ini? Implikasi 1: Yahudi Manusia Biasa Dampak terbesar Serangan 7 Oktober adalah patahnya paradigma Abraham Accords. Paradigma itu didasarkan kepada anggapan bahwa bangsa Palestina sudah kalah dalam perangnya melawan Israel. Mereka hanya membutuhkan belas kasihan, bukan pengakuan. Namun, dengan Serangan 7 Oktober dunia tersadarkan bahwa anggapan itu tidak benar. Palestina masih ada dan mampu melakukan serangan yang mengguncangkan Israel. Serangan tersebut memiliki makna yang sama  dengan Serangan Umum 1 Maret 1949 yang membuktikan bahwa Republik Indonesia masih berdaulat dan berjuang. Selain itu terdapat mitos yang kuat bahwa Yahudi adalah bangsa superhuman. Dalam mitos itu dikatakan bahwa Yahudi adalah satu-satunya bangsa yang memiliki hak istimewa (privilege) untuk membuat perjanjian dengan Tuhan. Siapapun bangsa atau orang yang melawan kehendak Yahudi harus disingkirkan, atas nama Tuhan. Hal itu terjadi pada bangsa Palestina yang disingkirkan oleh Yahudi karena menghalangi realisasi janji Tuhan “memberikan tanah Palestina kepada bangsa Yahudi”. Serangan 7 Oktober juga mematahkan mitos “bangsa pilihan” itu. Angkatan Darat Israel bisa dikalahkan. Demikian juga badan-badan intelejen Israel yang tersohor, bisa dikelabui. Serangan 7 Oktober adalah pendadakan yang sangat memalukan pejabat-pejabat pertahanan Israel. Implikasi 2: Bergesernya Opini Dunia Sekarang orang-orang Amerika dan Eropa yang dulu mendukung Israel mulai tersadarkan akan sifat rasis bangsa Yahudi. Demonstrasi besar pecah di seluruh penjuru dunia menentang serangan random Israel ke Gaza. Pada hari Sabtu yang lalu demonstrasi dukungan terhadap Palestina diadakan di seluruh Eropa – di Roma, Barcelona, beberapa kota di Perancis, Düsseldorf, Jerman, Pristina ibu kota Kosovo, Sydney dan di kota-kota Amerika termasuk Los Angeles dan Houston. Demikian juga demonstrasi pecah di Istanbul Turki, Kuala Lumpur Malaysia, Bandung dan Jakarta di Indonesia.  Opini berkembang di seluruh dunia bahwa Israel sedang melancarkan genosida di Gaza. Publik dunia kesal bahwa setelah diberi kesempatan 75 tahun membangun negara yang kuat Israel gagal menciptakan kestabilan dan kedamaian di kawasan. Perubahan opini publik dunia pada akhirnya akan mempengaruhi kotak-kotak suara. Presiden Biden telah menggeser sikapnya, bila semula ia mendukung Israel melakukan serangan balasan, sekarang ia menyerukan perlindungan kepada penduduk sipil Gaza. Implikasi 3: Petaka Serangan Darat Israel Penundaan serangan darat yang diminta Joe Biden beberapa waktu lalu tidak berkenaan dengan kekhawatiran akan terjadinya pembantaian massal kepada rakyat Palestina. Penundaan itu dipicu oleh kekhawatiran akan petaka lebih masif yang bisa terjadi kepada IDF (Israel Defense Forces). Mengapa demikian? Jalur Gaza adalah wilayah sempit seluas 362 km2, hanya sedikit lebih besar dari Kota Surabaya (326 km2). Secara teknis Israel sekarang telah mengepung Gaza, Israel setiap saat dapat melancarkan serangan darat besar-besaran. Namun, bisakah Israel memenangkan perang melawan Hamas. Perlu diketahui Hamas bukan sekadar organisasi perlawanan, Hamas lebih mirip dengan ideologi. Hamas adalah ideologi yang ingin memerdekakan Palestina dari penindasan Israel. Oleh karena itu setiap bom yang jatuh di Gaza tidak akan melemahkan ideologi Hamas, justru tambah menguatkan.   Lain dari itu, terkepung tidak berarti kalah. Tobruk misalnya, hanya dipertahankan oleh 30.000 tentara Australia dan Inggris namun berhasil bertahan dari serbuan 150.000 tentara Jerman lebih dari 8 bulan lamanya. Begitu juga Jerman yang bertahan di reruntuhan Biara Monte Cassino, Italia, mampu mengubah biara itu menjadi pertahanan militer yang kokoh, dan bertahan 4 bulan dari serbuan kekuatan Sekutu yang masif.  Pengepungan Leningrad dalam Perang Dunia II juga memberi pelajaran bagaimana spirit dan mentalitas kebangsaan mampu menahan penderitaan seberat apapun yang diakibatkan oleh pengepungan.  Serangan darat Israel atas Gaza jelas bukan tantangan militer yang mudah. Hamas dipastikan telah mengubah Gaza menjadi benteng pertahanan yang kokoh dengan jaringan bawah tanah yang kokoh. Jaringan bawah tanah seperti itu telah mengalahkan AS dalam Perang Vietnam. Serangan darat Israel dipastikan tidak dapat mengalahkan Hamas, apalagi bila Israel harus berburu waktu mengingat kecaman dunia internasional akan semakin sulit dihadapi.  Israel, tidak bisa tidak, akan dituduh melakukan genosida. Genosida sangat mungkin terjadi namun hal itu tidak akan menggentarkan Hamas. Hal itu sudah menjadi resiko yang diperhitungkan Hamas. Hamas paham sekali perilaku Israel yang otomatis menjalankan politik Collective Punishment bila ada serangan sekecil apapun kepada properti dan warganya. Serangan 7 Oktober menunjukkan bahwa Hamas tidak khawatir kepada Collective Punishment. Sebaliknya Hamas akan memanfaatkan serangan random Israel untuk keuntungannya.  Terakhir, konflik Israel vs Palestina harus diakui adalah tragedi kemanusiaan. Kita tidak bisa membenarkan suatu bangsa yang pernah mengalami Holocaust untuk melakukan Holocaust kepada bangsa lain. Wilayah Gaza sekarang ini dapat disetarakan dengan ghetto yaitu wilayah pemukiman khusus Yahudi yang diciptakan Nazi. di Ghetto dulu, orang-orang Yahudi menjadi objek pembunuhan random tentara Nazi. Sekarang, yang dulu objek sekarang menjadi subjek pelaku pembunuhan random atas orang-orang Palestina di Ghetto Gaza.  Berhentilah mengulang sejarah kelam itu. Palestina berhak menjadi kawasan yang damai dan stabil, untuk bangsa Yahudi, Palestina, dan bangsa-bangsa lainnya. (*)

DPR Dorong Audit Cegah Munculnya Honorer Siluman Jadi PNS

Jakarta | FNN - Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera menekankan pentingnya audit terhadap proses pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Usulan audit disampaikan Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini menyusul banyaknya temuan kasus tenaga honorer siluman dalam proses pengangkatan honorer menjadi PNS yang merupakan implementasi dari UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Penegasan itu disampaikan Mardani Ali Sera dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema \"Implementasi RUU ASN usai Disahkan DPR\" di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (31/10/2023). Untuk diketahui, sesuai UU ASN yang baru sahkan, skema pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS nantinya menggunakan sistem seleksi administrasi berupa verifikasi dan validasi data surat keputusan (SK) pengangkatan. Tenaga honorer yang memiliki masa kerja paling lama dan bekerja di bidang fungsional, administratif, serta pelayanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, penelitian, dan pertanian akan diprioritaskan dalam pengangkatan PNS. Namun kenyataan di lapangan, pada proses masa pendataan itu terjadi tenaga honorer pendidikan seperti guru honorer yang selama ini sudah bekerja puluhan tahun bahkan mendapat julukan “pahlawan tanpa tanda jasa” tiba-tiba harus tersisih, oleh honorer siluman yang namanya tiba-tiba masuk dalam base data di Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Padahal honorer siluman selama ini tidak pernah terdata sebagai tenaga pendidik atau di bidang fungsional lainnya. Menurut Mardani, honorer pahlawan yaitu para tenaga honorer yang sudah belasan tahun bekerja tetapi tidak diangkat. Tetapi meski UU ASN sudah memberikan rambu-rambu, masih ada saja yang namanya honorer siluman dari hasil kolaborasi jahat permufakatan dengan para pengelola atau pemegang otoritas, itu tiba-tiba namanya masuk. Padahal, menurut Mardani, tenaga honorer siluman itu tidak terdata sebagai tenaga honorer yang harus memenuhi syarat dan kriteria untuk bisa diangkat menjadi PNS. “Masih ada saja yang namanya honorer siluman dari hasil kolaborasi jahat permufakatan dengan para pengelola atau pemegang otoritas, itu tiba-tiba namanya masuk padahal nggak ada orangnya. Sehingga kami memandang, di undang-undang itu ada audit terhadap honorer ini,” tegas Mardani. Soal audit rekrutmen honorer menjadi PNS ini, Ketua Umum Forum Guru Honorer Negeri Lulus Passing Grade Seluruh Indonesia (FGHNLPGSI) Heti Kustrianingsih menegaskan sangat mendukung usulan tersebut. “Saya setuju kalau honorer memang diaudit dan memang betul, seharusnya sampai 3K kemarin, harus diaudit bener. Karena memang nggak orangnya,” ujarnya. Terakhir, ia mendapati kasus ada guru honorer siluman yang setelah diselidiki selama ini pekerja pabrik, lalu tiba-tiba datanya masuk dalam base data di Dapodik. Bahkan sampat diketuk dan mendapat SK pengangkatan. Pihaknya pun tidak bisa berbuat banyak. “Kemarin ada kejadian. Ada honorer siluman juga yang kerja di pabrik bisa jadi P3K, dan sekarang sudah ketok palu dapat SK. Ya.. kita mau bagaimana lagi. Jadi kalau memang ada audit saya setuju,” tegas Heti. Di forum sama, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf mengatakan dari perkembangan terakhir rapat bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai mitra kerja Komisi X DPR, pihaknya mendapati konsep bahwa bagi pemerintah daerah yang tidak membuka formasi penerimaan dan pengangkatan guru honorer sebagai PNS, maka pemerintah pusat memberi keleluasaan kepada pihak sekolah untuk melakukan pengangkatan sendiri. “Jika daerah tidak membuka formasi, maka pemerintah menawarkan PP pengangkatan itu bisa dilakukan oleh sekolah sendiri, jadi sekolah boleh mengangkat, dengan catatan mengambil dari database yang ada,” ungkap politisi dari Partai Demokrat ini. Sementara itu mengenai guru pengangkatan guru honorer agama yang masuk dalam Kementerian Agama RI, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka mengungkapkan poin besar dari persoalan ini adalah akses guru agama terhadap kesejahteraan masih sangat kurang. “Yang kedua ketersediaan guru, kekurangan guru di ruang pendidikan keagamaan, dan ketiga yakni tenaga P3K. Kalau Kang Dede (Dede Yusuf) tadi penerimanya 1 juta (guru honorer umum), kalau nggak salah di pendidikan keagamaan baru 49.000,” ujar Diah. Minimnya penerimaan dan pengangkatan guru agama, menurut politisi dari PDI Perjuangan ini karena persoalan sinkronisasi sistem penerimaan keguruan dan sistem manajemen keguruan. “Kita berharap keinginan baik pemerintah untuk juga tidak terhambat hal-hal yang sifatnya teknis di kementerian. Jadi harus selalu konsolidasi, koordinasi karena kayak pendidikan keagamaan terbacanya jadi kecil, karena data yang masuk kecil,” tegas Diah. Aturan Turunan Sementara itu, Deputi Bidang SDM Aparatur di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) Alex Denni mengatakan agar UU ASN lebih lincah dan dapat mengakomodasi beragam persoalan dan kebutuhan tenaga honorer, maka diperlukan peraturan turunan dari UU ASN baik berupa peraturan pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri (Permen). “Agar lebih lincah kita atur di turunan bawahnya, karena yang paling tahu kebutuhan itu harusnya kan instansi pemerintahnya,” sebut Alex. Ia mencontoh, pihaknya hampir setiap hari harus paraf usulan beragam kebutuhan. Ada usulan berupa rekrutmen, usulan perpindahan jabatan dan beragam usulan lainnya. Namun, pihaknya mendapat kendala karena di UU lama, pemerintah pusat tidak bisa bergerak karena di UU lama usulan baru bisa dilakukan jika ada usulan dari pemerintah daerah setempat. Sehingga proses ya menjadi tidak lincah. “Jadi misalnya atas rekomendasi Menteri Pendidikan misalnya di daerah tertentu gurunya kurang, kita bisa rekrut di situ. Kalau sekarang tidak bisa karena sekarang prosesnya adalah diusulkan oleh instansi dalam hal ini Pemda dan ditetapkan oleh menteri. Jadi nanti walaupun tidak diusulkan pun, kalau pemerintah (pusat) merasa prioritas, kita akan rekrut disitu termasuk mobilitinya,” tegas Alex. (Sur)

Gibran bin Joko Widodo Lelaki Istimewa Sekaligus Spesial

Oleh: Ady Amar - Kolumnis RESMI semalam, Minggu (22/10), Prabowo Subianto dalam konferensi pers menyampaikan secara resmi siapa yang terpilih menjadi bakal calon wakil presiden (Bacawapres) dari Koalisi Indonesia Maju, yang akan mendampinginya. Semua ketua umum plus sekjen partai koalisi hadir, yang tanpa dihadiri Gibran. Semua dibuat paham setelah sebelumnya Partai Golkar lewat Rapimnas II menganulir Ketua Umum Airlangga Hartarto, yang sebelumnya didorong menjadi Capres atau setidaknya Cawapres. Karena minim respons dari anggota koalisi, maka tiket diberikan pada Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang baru sehari jadi kader Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI)--underbow Partai Golkar. Luar biasa. Gibran mampu menenggelamkan nama-nama beken lainnya, Meneg BUMN Erick Thohir, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra, sebagai Bacawapres dari Prabowo Subianto. Erick Thohir dan Yusril sebelumnya sama-sama telah mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), mungkin sekadar persiapan jika saja Gibran karena dinamika politik yang berkembang menutup peluangnya. Gibran menjadi istimewa karena pastilah sokongan sang bapak, Jokowi. Meski Jokowi mengatakan, bahwa ia tak ikut bermain. Itu keputusan partai-partai politik yang mengusungnya. Lebih kurang demikian pembelaan diri Jokowi, yang dibuat seakan itu murni karena Gibran keberadaannya memang dikehendaki. Gibran dikesankan spesial, karena itu ia dipilih sebagai Cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Gibran meski kader PDIP, bahkan menjadi Wali Kota Solo yang masih dijabatnya hingga saat ini, itu juga lewat PDIP. Tapi ia melompat mengesampingkan PDIP--belum menyatakan keluar dari PDIP--menjadi kader AMPI untuk memuluskan ambisinya. PDIP bersama koalisinya telah mendeklarasikan Ganjar Pranowo, yang bersanding dengan Prof Mahfud MD. Langkah Gibran yang tanpa _kulo nuwun_ meninggalkan PDIP, dan hanya sekadar memberi tahu Puan Maharani, bahwa ia kemungkinan akan maju dalam kontestasi Pilpres. Etikanya Gibran semestinya pamit baik-baik, dan itu menghadap Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, menyampaikan hasratnya. Sekaligus pamit meninggalkan partai yang membesarkannya. Gibran menjadi istimewa, dan bahkan pilihan sikapnya memilih tancap gas dengan mengabaikan asas kepatutan, itu seperti dibuat hanya spesial untuknya. Tidak patut untuk yang lain. Semua mesti bisa menerima langkahnya, meski langkah tak patut sekalipun. Gibran seperti memilih agar langkahnya itu disikapi PDIP, ia seperti cukup memposisikan sebagai pihak yang menerima sanksi yang akan diberikan. Dibuat seolah ini persoalan PDIP. Sikap Gibran ini sikap tidak biasa, dan spesial hanya untuknya. Tidak bisa atau boleh diikuti oleh yang selainnya. Perjalanan politik Gibran menjadi istimewa, itu tentu atas sokongan sang bapak, Jokowi. Bukan atas prestasi yang dibuat, itulah yang membuat Gibran menjadi spesial. Meski Jokowi kerap menyangkalnya, berharap semua rakyat yang dipimpinnya itu bodoh, dan karenanya mempercayai apa yang disampaikan. Untuk melihat perjalanan Gibran itu istimewa--boleh pula jika disebut diistimewakan--lihat tulisan penulis sebelumnya, \"Karpet Merah Gibran\", 12 Agustus 2023, yang langkahnya dibuat mulus tanpa sekat penghalang. Jika ada pengjalang, maka halangan itu disingkirkan. Bahkan usia Gibran yang belum 40 tahun, yang mestinya terlarang untuk dicalonkan menjadi Capres/Cawapres, itu pun bisa ditembus diloloskan. Mahkamah Konstitusi (MK), yang dibuat sebagai Mahkamah Keluarga--Ketua MK Anwar Usman, yang adalah Paman Gibran--yang putusannya dibuat kekeluargaan. Satu per satu halangan bisa terurai dengan baik, itu karena saking istimewanya seorang Gibran. Spesialnya lagi, Gibran tidak boleh dilihat dari prestasi yang dibuat. Memang belum kelihatan prestasi sebagai Wali Kota Solo yang bisa dibanggakan, karena baru sekitar 2,5 tahunan jabatan itu dipegangnya. Tapi kita dibuat mesti abai dan bisa terima jika Gibran belum bisa menampakkan karya yang dibuatnya. Seolah diminta untuk bisa menerima Gibran apa adanya. Gibran Rakabuming Raka resmi menjadi Bacawapres mendampingi Prabowo Subianto (Bacapres) dari Koalisi Indonesia Maju. Sebentar lagi kita akan bersama-sama melihat \"kelebihan\" Gibran dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Saya dan anda pastinya tidak sabar ingin juga mendengarnya. Gibran dituntut untuk tidak boleh lagi pelit bicara, dan meminta juru warta untuk membaca ekspresi wajahnya. Terpenting ngocol saja apa adanya. Tidak perlu khawatir, rakyat pastilah akan dikondisikan dengan baik oleh tim yang bertugas layaknya Pak Tarno si tukang sulap. Rakyat akan dibuat memahami, bahkan bisa menerima kekurangan Gibran itu sebagai kelebihan. Itulah istimewa dan spesialnya manusia Gibran. Gak percaya?**

Perselingkuhan Ideologis Kaum Nasionalis

Oleh Yusuf Blegur - Mantan Presidium GMNI  PERSELINGKUHAN ideologis kaum nasionalis memiliki catatan tebal secara historis dan empiris di republik ini. Hubungan gelap kalangan Abangan itu lebih sering bergantian dengan kapitalis dan komunis, baik secara personal maupun institusional. Kecenderungan konflik Megawati dan Jokowi telah menjadi fenomena  tersendiri jelang pilpres 2024. Meskipun keduanya masih suka menunjukkan kedekatan dan kebersamaannya, konstelasi politik kerap membuat pemilik dan petugas partai itu bersitegang. Publik terlanjur menilai setidaknya sudah ada perang dingin antara dua orang penguasa republik selama hampir satu dekade. Puncak perseteruan Mak Banteng dan Pak Lurah-biasa netizen menyebutnya, muncul tatkala Gibran Rakabuming Raka resmi menjadi cawapres pasangan Prabowo Subianto. Anak planga-plonco dan bau kencur putra Jokowi itu menyalip Puan Maharani yang telah malang-melintang dalam dunia politik sebagai putri kesayangan Megawati. Sakitnya tuh di sini (sambil memegang dada), begitu kira-kira Megawati membatin. Gonjang-ganjing hubungan Megawati dan Jokowi terutama mengiringi kontestasi pilpres, semakin menyeruak menjadi konsumsi khalayak. Kemesraan kedua tokoh penting dan berpengaruh selama hampir sepuluh tahun ini mulai terkoyak. Kebersamaan dalam pengambilan keputusan politik, ekonomi, hukum dan budaya hingga pertahanan keamanan negara, terus mengalami degradasi. Dari kompak dan solid, kini mulai cakar-cakaran, saling menggigit dan agresif menyerang baik secara politis maupun ideologis.   Narasi dan bahasa tubuh, terlontar menyindir dan menuding saling mereduksi kedua kubu, seakan melupakan betapa nikmat dan indahnya persetubuhan politik mereka sebelumnya. Ada beberapa hal yang menarik mencermati perilaku Megawati dan Jokowi, terlepas keduanya sedang menjalankan strategi politik atau memang sebenarnya sudah larut dalam arus konflik kepentingan suksesi kepemimpinan nasional. Apakah sekadar gimik atau siasat, atau memang hubungan Megawati dan Jokowi sudah berseberangan menyertakan sikap kebencian sekaligus permusuhan yang tersembunyi karena menyimpan sakit hati dan dendam? Belakangan khalayak mempergunjingkan ada perasaan terpendam merasa Jokowi sering dibully, dilecehkan dan direndahkan, dirasakan seorang Iriana yang notabene istri seorang presiden dari perlakuan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP dan dianggap berjasa besar pada karir politik Jokowi. Kini mahligai pernikahan dan bulan madu politik Megawati-Jokowi sepanjang musim kekuasaan oligarki, terancam bubar dan merangsang babak baru pesta demokrasi dinasti politik berikutnya. Seakan tak mau kalah dengan Megawati yang cenderung memimpin PDIP seumur hidup, Jokowi dan Iriana bersama keluarga juga bersikeras menguasai Indonesia  hingga 2045, jika bisa. Polarisasi kontestasi pilpres 2024 memang semakin tak beraturan, terlalu pragmatis dan semua serba kapitalis. Jangankan ideologis, proses seleksi kepemimpinan nasional yang nasib rakyat, negara dan bangsa Indonesia bergantung pada pilpres 2024, kini bahkan tak lagi menyisakan ruang untuk hadirnya kepantasan, kelayakan, etika dan moralitas.  Ketersediaan UU dan aturan, kelembagaan dan sumber daya pelaksana pemilu, visi dan misi partai politik, kualitas dan kuantitas kontestannya hingga perspektif kebangsaan para intelektual dan tokoh keagamaan yang beririsan dengan pemilu dan pilpres, masih jauh dari harapan  ideal. Tak cuma distorsi, pemilu dan pilpres 2024 beraroma menyengat dominasi oligarki, semakin destruktif terhadap konstitusi dan demokrasi. Semua itu dirancang, direkayasa dan dimobilisisasi demi nafsu harta dan jabatan, semata-mata bertujuan melanggengkan kekuasaan rezim status quo. Pilpres mulai dilaksanakan dengan kepalsuan, kebohongan dan kemunafikan para elit politik. Friksi Megawati dan Jokowi jika belum bisa dibilang pertikaian, menimbulkan fragmentasi sekaligus beragam asumsi di tengah perbincangan rakyat. Boleh jadi disharmoni Megawati dan Jokowi, menyebabkan aksentuasi politik yang luas, preseden dan kalkulasi yang menentukan konstelasi dan konfigurasi politik baru pada pilpres 2024. Berikut beberapa analisanya: 1. Perbedaan kepentingan dan jalan politik yang ditempuh Megawati dan Jokowi khususnya menghadapi pilpres 2024, jika itu benar terjadi membuktikan bahwa hubungan keduanya tidak didasari pemahanan dan kesadaran ideologis. Baik Megawati dan Jokowi, faktanya lebih mengutamakan kepentingan dinasti politik, menjadi budak oligarki dan gandrung pada kekuasaan ansih. 2. Retaknya hubungan Megawati dan Jokowi memberi sinyal telah terjadi perselingkuhan ideologis di antara sesama kalangan nasionalis. Alih-alih memanifestasikan pemikiran dan ajaran Bung Karno terkait Marhaenisme, Pancasila dan cita-cita negara kesejahteraan, Megawati dan Jokowi justru malah mengkhianatinya dengan orientasi harta dan jabatan. Bahkan hubungan keduanya pun rela berpisah semata-mata hanya karena berebut kekuasaan, tak peduli nasib rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Rakyat kelaparan, mati karena kemiskinan dan kekerasan, sementara rezim dan kroni bersama oligarki berpesta-pora menikmati kekayaan negara hasil menjarah. 3. Megawati dan Jokowi yang kemungkinan besar pisah partai politik bukan hanya karena ketidakcocokan dan benturan kepentingan politik, lebih dari itu karena perselisihan ideologis. Megawati yang dianggap mewarisi jargon-jargon dan simbol Marhaenisme meskipun tidak implementatif berhadapan dengan Jokowi yang cenderung menjadi representasi komunis melalui kerjasama dan investasi pemerintahannya dengan negara China dan  jejaring oligarki. Sama-sama menganut menganut kapitalisme dalam praksis, Megawati dan Jokowi berhaluan kiri  meski kerap menyandang nasionalis Marhaeisme. Nasionalis, komunis dan kapitalis, dalam cinta segitiga membangun hubungan gelap menyusuri perselingkuhan ideologis. 4. Fenomena konflik Megawati dan Jokowi beserta kroni-kroni kekuasaan dalam pemerintahan dan partai politik, menegaskan apapun ideologi yang mereka anut tidak lebih dari hasil pemikiran manusia yang terbatas, yang rentan mudharat dan sarat syahwat yang melampaui batas. Ideologi hasil pemikiran manusia yang dipenuhi keinginan dan kebutuhan duniawi, kerap menghalalkan segala cara demi kepuasan pribadi, keluarga dan kelompok atau golongannya. Demi mencapai tujuan sanggup bertikai dengan kawan sendiri, dzolim serta membunuh terhadap sesama sekalipun. 5. Mungkin cara Allah azza wa jalla terus mengingatkan dan menyadarkan umat manusia di dunia pada umumnya dan muslim di Indonesia khususnya, hanya Islam agama yang benar dan relevan untuk  peradaban manusia. Agama yang benar, mendapat ridho Allah dan Allah telah cukupkan buat kepentingan manusia di dunia dan akhirat. Bukan kapitalis, bukan komunis atau atheis dengan prinsip-prinsip eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa, yang sering menemui jalan buntu untuk solusi kehidupan manusia, alam dan habitat lainnya serta kerap menimbulkan konflik dan peperangan. Oleh karena itu, hanya dengan dua sosok pemimpin, Allah telah memberi banyak pelajaran dan peringatan. Dari Megawati dan Jokowi, rakyat negara dan bangsa Indonesia bisa mengambil hikmahnya, tentang pemerintahan dan capaiannya selama hampir sepuluh tahun ini. Tentang kegagalan, tentang kerusakan dan mungkin juga tentang kehancuran menjaga warisan NKRI. Pancasila, konstitusi UUD 1945 dan agama khususnya Islam, tak lagi menghidupi Indonesia lahir dan batin, jasmani dan rohani serta mental spiritual.  Megawati dan Jokowi terlalu jauh membawa rakyat, negara dan bangsa Indonesia seperti mengidap akut kapitalisme dan komunisme global. Lari dari pelukan Islam dan pergi menjauh seakan menetap dalam naungan nasionalisme, namun sesungguhnya berhubungan intim dengan kapitalisme dan komunisme, menikmati perselingkuhan ideologis. Kedua petinggi selevel presiden itu, lebih banyak menghabiskan waktu dan energinya bersamaan dengan mesra dan intim, kemudian terjadi perselingkuhan ideologis. Hubungan renggang terjadi di antaranya keduanya karena tak ada lagi kecocokan politik atau karena kehadiran pihak ketiga lainnya. Entah berselingkuh dengan kapitalisme, entah dengan komunisme, yang jelas keduanya baik Megawati msupun Jokowi tidak menjiwai Islam sejatinya. Politik identitas adalah kekuatan umat Islam  yang sejati, bahkan realitas itu ada sebelum dilahirkan di dunia. (*)

Pencawapresan Gibran, Rugi Besar Prabowo

Oleh: Anthony Budiawan -Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) SEORANG mahasiswa menggugat pasal batas usia minimum capres-cawapres yang dibatasi minimum 40 tahun. Bukan minta batas usia minimum ini diturunkan, agar Gibran bisa memenuhi syarat calon wakil presiden. Tetapi, menambah persyaratan alternatif. Meskipun belum berusia 40 tahun tetapi boleh menjadi calon wakil presiden asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Gugatan yang tidak ada legal standing disidangkan, dan permohonan dikabulkan, dengan dissenting opinion 5-4.  Tetapi, banyak pihak berpendapat, Putusan MK tersebut cacat hukum, tidak sah, melanggar konstitusi, melanggar wewenang DPR, dan sejenisnya. Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra juga berpendapat seperti itu. Putusan MK tentang batas usia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah menuai kontroversi dan problematik. Setiap saat bisa digugat, dan dibatalkan. Sehingga bisa menimbulkan masalah besar dan potensi memicu konflik politik di kemudian hari. Putusan MK disambut Koalisi Indonesia Maju, Gerindra, Golkar, Demokrat dan PAN, dan menetapkan pasangan Prabowo dan Gibran sebagai capres dan cawapres 2024. Pencawapresan Gibran diperkirakan akan membuat Prabowo rugi besar. Pertama, suara perolehan Prabowo diperkirakan akan merosot. Karena arus penolakan dari masyarakat pada Gibran sangat besar. Penolakan bukan saja datang dari kader, tetapi juga dari masyarakat pemilih partai koalisi: Golkar, Demokrat, PAN, dan termasuk dari Gerindra sendiri. Penolakan dari masyarakat bahkan jauh lebih buruk dari kader. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231022132428-617-1014447/kader-golkar-tolak-usulan-gibran-jadi-cawapres-tak-ada-rekam-jejak Ada dua alasan yang mendasari itu. Pertama, persyaratan Gibran sebagai cawapres dinilai manipulatif dan melanggar konstitusi. Masyarakat sangat tidak suka, bahkan membenci, terhadap hal-hal seperti ini. Kedua, Gibran dianggap belum pantas menjadi cawapres karena masih “hijau”, tetapi dipaksakan oleh Jokowi dan keluarga, melalui Prabowo. Berdasarkan survei Ipsos, pencawapresan Gibran menurunkan suara Prabowo 6,2 persen dibandingkan kalau Prabowo berpasanganan dengan Erick Thohir. https://news.detik.com/pemilu/d-6994232/survei-ipsos-prabowo-gibran-kalah-oleh-ganjar-mahfud-md Kalau dibandingkan dengan perolehan suara dari partai koalisi (Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN) pada 2019 yang mencapai sekitar 39,5 persen, efek pencawapresan Gibran membuat suara Prabowo merosot 8,2 persen.  Kemungkinan besar, karena suara Golkar, Demokrat dan PAN anjlok dan beralih ke partai lain non Koalisi Indonesia Maju. Kerugian kedua, nama Prabowo akan tercemar, disejajarkan dengan Jokowi yang mempunyai citra buruk di masyarakat. Jokowi dinilai melanggar banyak peraturan perundangan-undangan, termasuk konstitusi. Antara lain, UU IKN, UU Cipta Kerja, UU Kesehatan. Menang atau kalah dalam pilpres ini, Prabowo rugi besar. Nama tercemar. Bukankah nama itu segala-galanya bagi manusia, jauh lebih penting dari jabatan sebesar apapun? Seperti pepatah bilang, “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan bilang, manusia mati meninggalkan nama.” —- 000 —-

Gatot Nurmantyo Ketua Timses, AMIN Menang

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan -  Sabang Merauke Circle TEPAT pada 7 September 2023 lalu saya menyampaikan hasil rapat kaum oposisi di kediaman Bachtiar Chamsyah kepada Anies Baswedan, pada kesempatan ngopi pagi bersama Anies, Jumhur, dan Faizal Assegaf, di kantor Abraham Samad. Ikhwan penting hasil rapat kaum oposisi itu adalah menyampaikan nama Gatot Nurmantyo untuk dipertimbangkan jadi ketua Timses AMIN. Ketika Anies podcast, kepada Ahmad Ali, wakil ketua NasDem, yang datang terlambat, saya jelaskan kembali posisi keinginan kaum oposisi untuk mengusung Gatot Nurmantyo sebagai calon ketua Timses AMIN. Saat ini masyarakat pendukung AMIN sedang bersyukur telah melewati etape pertama perjuangan, yakni pendaftaran. Beberapa waktu lalu berbagai tantangan bak gelombang tinggi serta badai terus menerus menghantam AMIN. Baik rencana kriminalisasi Anies dan Muhaimin maupun tebang pilih dalam pentersangkaan menteri-menteri NasDem oleh rezim penguasa. Namun, pendaftaran adalah baru babak pertama. Meskipun perlu disyukuri, tantangan berikutnya tidak kalah besarnya. Tiga tantangan utama yang akan dihadapi AMIN kedepan adalah sebagai berikut: 1) AMIN harus konsisten menunjukan arah perubahan dalam perjuangannya. Konsistensi ini akan terlihat dari visi misi yang disampaikan, pembentukan tim sukses dan positioning yang asymetric dengan rezim yang ingin di rubah.  Visi Misi AMIN yang beredar cukup lah mantap. Penuh pesan perubahan. Sehingga mewakili aspirasi keinginan rakyat untuk perubahan. Tidak kalah dengan Nawacita Jokowi tentunya. Alhamdulillah saya dan tim oposisi berkesempatan memberikan masukan dalam visi misi tersebut di Jl. Brawijaya VII, Kamis, 13 Oktober lalu.  2. Langkah kedua adalah menyusun timses. Ketika suatu hari Sudirman Said menawarkan saya menjadi dewan pakar di Timses, saya men \"challange\" relevansi keterlibatan saya, sebagai apa?, baik sebagai representasi kelompok maupun representasi pemikiran. Dalam pembentukan timses umumnya terjadi tarik menarik kepentingan, yang bisa jadi mendegradasi AMIN dalam dua hal, yakni perasaan representasi dan bias atau melemahkan isu/simbol perubahan.  Jika representasi orang dalam Timses hanya menunjukkan massa pendukungnya, maka resikonya adalah kehilangan representasi isu. Apa itu?  Representasi isu menurut Jusuf Kalla (dalam berbagai pertemuan dengan kaum oposisi), yakni isu perubahan, mempunyai \"captive market\" sedikitnya 30% total suara pemilih. Hal ini menurut Kalla dimiliki oleh orang-orang oposisi. Parpol pendukung AMIN, diluar PKS, tentu kesulitan masuk dalam isu dan tema-tema perubahan. Sebab, mereka adalah bagian dari kekuasaan Jokowi. Sebuah contoh misalnya di pasangan lain, yakni ketika Mahfud MD menghujat habis sistem hukum dan politik era Jokowi, beberapa waktu lalu, nitizen langsung mem bully Mahfud dengan judul \"Wapres Ganjar Mengkritik Menkopolhukam\". Dengan demikian maka komposisi timses AMIN harus seimbang antara kelompok oposisi dan parpol pendukung. Kecuali AMIN berani mengambil resiko kehilangan suara rakyat yang ingin perubahan. Tentu saja timses harus diisi juga oleh berbagai perwakilan golongan yang ada di Indonesia. Sebab, warna keberagaman AMIN harus mencapai wawasan nusantara. Jika terlalu Jawa Centris, rakyat luar Jawa akan menggerutu. 3) Ketua Timses adalah hal ketiga yang vital. Ketua tim harus juga merepresentasikan sosok pemimpin perang yang kokoh. Sebagai pemimpin dia harus mengerti strategi perang, mampu mengkonsolidasikan kekuatan dalam waktu 100 an hari lagi dan banyak jaringan untuk mendapatkan dukungan, baik material maupun non material. Kekuatan yang harus dikonsolidasikan tentu terkait dengan visi misi perubahan. Mengapa Gatot Nurmantyo? Gatot Nurmantyo adalah sosok Jenderal oposisi yang 5 tahun belakangan ini mengemban isu perang global, yakni anti Komunisme. Isu ini mengena pada 50 juta lebih masyarakat Indonesia usia di atas 50 tahun. Secara strategis isu ini diametral dengan Jokowi dan rezimnya yang mengusung rehabilitasi sepihak pada korban/pelaku G30S PKI melalui Kepres 17/2022. Jumlah suara pendukung Gibran, jika diasumsikan paralel dengan isu Kepres 17/2022 tersebut berjumlah sekitar 15 juta jiwa dan itu akan mendung Prabowo-Gibran. Sebaliknya, jika Gatot menjadi ketua timses Anies, sedikitnya jumlah yang sama akan mendukung AMIN, sebuah jumlah korban kekejaman G30S dulu. Kedua, Gatot Nurmantyo merupakan Jenderal penuh dengan kedekatan luar biasa pada Islam. Guru ngaji Gatot dan Muhaimin Iskandar, salah satunya adalah K. H. Thoyifur di Purworejo. Namun, Gatot yang gandrung berguru ke Kyai-kyai dan ulama, mempunyai jaringan yang kuat dengan tokoh masyarakat. Sebagai orang Solo asli (bukan Tegal) maupun mantan Danrem Bogor dan Panglima di Jawa Timur, Gatot memiliki pengetahuan bagaimana mengorganisir kekuatan di sana. Ketiga, Gatot dipersepsikan dekat dengan Tommy Winata. Tommy Winata kabarnya adalah salah satu dari 9 naga yang paling disegani di Indonesia. Namun, bagi Gatot, Tommy adalah sosok nasionalis yang kerjanya hanya menjadi supporter seumur hidup bagi eksistensi tentara nasional. Gatot tidak pernah menjadi anak buah Tommy. Kepada saya, Gatot pernah mengatakan bahwa dia mengenal Tommy ketika Tommy masih naik sepeda motor dan antri untuk ketemu Jenderal Edi Sudrajat. Sekali lagi Gatot bukan anak buah Tommy. Bahkan, Gatot mendukung ide negara di atas kekuatan dan kepentingan konglomerat.  Sosok yang demikian kokoh pada Gatot Nurmantyo adalah pilihan utama bagi AMIN jika mau menang. Hal ini pun saya ungkap di publik karena beberapa hari lalu saya membaca di media, Gatot bersedia mundur dari KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) jika dilamar AMIN sebagai timses.  Tentu saja banyak kekhawatiran bahwa rezim akan memblokade AMIN jika bergandengan dengan Gatot. Namun, sebagai ahli strategi, saya meyakini \"perang segitiga\" capres-cawapres bukan era lalu lagi. Sejak pendaftaran capres-cawapres ke KPU, maka situasi berubah. Kekuatan rezim terbelah. Fokus semua adalah masing-masing memenangkan calonnya. Demikianlah pikiran saya ini.  Salam Perubahan dari Danau Toba.