ALL CATEGORY

BPIP Makin Boros, Bubarkan!

By M Rizal Fadillah SETELAH didesak agar BPIP dibubarkan karena menjadi lembaga boros dan tidak berguna, kini malah BPIP akan mendapat kucuran dana ratusan milyar. Uang negara akan dialokasikan untuk lembaga yang dinilai mubazir. Badan yang sebenarnya perlu evaluasi apakah dibutuhkan atau tidak. Faktanya sepi kegiatan dan lebih banyak menggaduhkan. Terakhir soal lomba artikel naif dan Islamophobia "Menghormat Bendera Menurut Hukum Islam" dan "Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam". Bukan tidak penting bahwa Pancasila harus diperkuat oleh seluruh elemen, akan tetapi jika Pancasila hanya dijadikan alat kepentingan untuk penguatan kekuasaan maka hal ini menjadi berbahaya. Gerakan PKI dahulu tidak menarasikan mengubah Pancasila bahkan akan mengamankan atau membela Pancasila, tetapi dalam prakteknya justru menyimpang bahkan berkonspirasi untuk mengganti ideologi Pancasila tersebut. BPIP tidak dibentuk atas aspirasi rakyat melainkan kemauan dan kepentingan Pemerintah oleh karenanya dasar hukumnya adalah Peraturan Presiden. Tepatnya Perpres No. 7 tahun 2018. Anggaran terus meningkat tanpa adanya evaluasi terbuka. Dari 160 M (2020) menjadi 208,8 M (2021) dan 343,9 M (2022). Lonjakan tinggi untuk tahun depan ini aneh karena yang diajukan hanya 193,9 M namun setelah pembahasan justru ditambah 150 M sehingga total menjadi 343,9 Milyar. RUU BPIP sebagaimana RUU HIP diprediksi masih akan mengundang kontroversi. Implikasinya pada peran dan fungsi BPIP sendiri. Lalu penggunaan dana 343,9 Milyar menjadi tidak jelas. Personal Dewan Pengarah yang dipimpin oleh Ketum PDIP Megawati bergaji cukup besar. Sementara pekerjaan minim. Gaji buta namanya. BPIP sebagai lembaga boros, berdaya guna kecil dan tidak langsung menyentuh kepentingan rakyat harus dipertimbangkan eksistensinya. Di era pandemi keberadaan lembaga "politis" ini bukan lagi primer. Karenanya ide pembubaran layak diapresiasi. Apalagi jika Pancasila yang disosialisasikan semata bersandar pada perspektif kekuasaan. BPIP yang bukan menjadi tangan rakyat tetapi tunggangan Pemerintah. BPIP kehilangan urgensi setelah gagal konten. Materi RUU HIP yang tadinya dirancang menjadi bahan bagi kerja badan ini nyatanya gagal menjadi UU. RUU HIP memang tendensius dan dinilai tidak fungsional untuk merawat ideologi, justru sebaliknya merusak Pancasila. Wajar jika rakyat bereaksi untuk menggagalkan. 343,9 Milyar dialokasikan untuk BPIP yang semakin tidak jelas peran dan fungsinya, tidak memiliki standar pola dan materi pembinaan, serta lemah daya dukung eksistensinya. Di samping merupakan pemborosan atas uang negara, alokasi ratusan milyar ini juga rawan bagi terjadinya korupsi. BPIP makin boros : Audit dan bubarkan ! *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Alex Noerdin Batal Ditahan di Rutan KPK

Jakarta, FNN - Alex Noerdin, tersangka dugaan tindak pidana korupsi pembelian gas bumi oleh BUMD Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumsel periode 2010-2019 tak jadi ditahan di Rutan Kelas I Cipinang Cabang Rutan KPK, karena penuh. Direktur Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejaksaan Agung RI Supardi, saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu, mengatakan Alex Noerdin bersama Muddai Mandang, tersangka lainnya ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung. "Enggak jadi di Rutan KPK, kami sudah bawa ke sana, tiba-tiba berubah katanya penuh, akhirnya kami bawa ke sini (Rutan Kejaksaan Agung-red)," kata Supardi. Sebelumnya, Penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung menetapkan dua orang tersangka dugaan korupsi PDPDE Gas Sumatera Selatan, yakni Mantan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin dan Muddai Mandang selaku Direktur PT Dika Karya Lintas Nusa (DKLN) merangkap Direktur Utama PDPDE Gas Sumsel. Setelah ditetapkan sebagai tersangka keduanya langsung dilakukan penahanan, Alex di Rutan Kelas I Cipinang Cabang Rutan KPK, sedangkan Muddai di Rutan Salembang Cabang Kejaksaan Agung RI. Menurut Supardi, pada hari penahanan pihaknya telah membawa Alex ke Rutan KPK, karena ada perubahan lantaran kondisi rutan sudah penuh. Terpaksa dialihkan ke Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung. "Saya ndak mau banyak berdinamika, ya sudahlah dibawa ke Rutan Kejagung. Yang pasti mereka berdua berbeda sel, tidak disatukan," ucap Supardi. Alex dan Muddai Mandang ditahan selama 20 hari terhitung dari tanggal 16 September sampai dengan 5 Oktober 2021. Supardi mengatakan pihaknya segera merencanakan pemeriksaan Alex Noerdin dan Muddai Mandang sebagai tersangka. "Pemeriksaan pastinya dilakukan di Gedung Bundar," ujarnya. Dalam perkara ini, Alex Noerdin berperan menyetujui kerja sama antara PDPDE Sumsel dengan PT Dika Karya Lintas Nusa (DKLN) membentuk PDPDE Gas dengan maksud menggunakan PDPDE-nya untuk mendapatkan gas alokasi bagian negara. Sedangkan tersangka Muddai Madang, ditersangkakan atas perannya menerima pembayaran yang tidak sah berupa "fee" pemasaran dari PT PDPDE Gas. Alex Noerdin dan Muddai Madang dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 3 dan Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Baik Alex maupun Muddai Mandang juga pernah diperiksa sebagai saksi terkait dugaan penyelewengan dana hibah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan tahun anggaran 2015 dan 2017 senilai Rp130 miliar yang diperuntukkan untuk pembangunan Masjid Raya Sriwijaya. Sebelumnya, penyidik 'Gedung Bundar' telah menetapkan mantan Direktur Utama PDPDE Sumsel Caca Isa Saleh S dan A Yaniarsyah Hasan sebagai tersangka. Dalam perkara ini, Yaniarsyah juga menjabat sebagai Direktur DKLN merangkap Direktur PT PDPDE Gas. Adapun komposisi kepemilikan saham proyek tersebut adalah 15 persen untuk PDPDE Sumsel dan 85 persen untuk DKLN. Dari perhitungan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut sebesar 30,194 juta dolar AS. Nominal itu berasal dari hasil penerimaan penjualan gas dikurangi biaya operasional selama 2010-2019. Adapun kerugian lain sebesar 63.750 dolar AS dan Rp2,13 miliar merupakan setoran modal yang tidak seharusnya dibayarkan oleh PDPDE Sumsel. (ant, sws)

Napoleon Bonaparte Terlapor Penganiayaan M. Kece

Jakarta, FNN -Laporan penganiayaan yang dilayangkan oleh Muhammad Kosman alias Muhammad Kece, tersangka kasus dugaan penistaan terhadap agama akhirnya terungkap, terlapor yang merupakan sesama tahanan di Rutan Bareskrim Polri, yakni Irjen Pol. Napoleon Bonaparte. Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian Djajadi saat dikonfirmasi di Jakarta, Sabtu membenarkan bahwa terlapor dalam laporan polisi yang dibuat oleh Muhammad Kece adalah jenderal bintang dua tersebut. "Napoelon Bonaparte," jawab Brigjen Andi, saat ditanya nama terlapor dalam laporan polisi yang dilayangkan Muhammad Kece. Seperti diberitakan sebelumnya, Bareskrim Polri menerima Laporan Polisi LP Nomor 0510/VIII/2021/Bareskrim.Polri pada tanggal 26 Agustus 2021, pelapor atas nama Muhammad Kosman yang tak lain adalah Muhammad Kece. Lebih lanjut Brigjen Andi menyebutkan, penyidik masih bekerja mendalami laporan tersebut, termasuk kronologi penganiayaan yang dilakukan apakah dilakukan sendiri oleh Napoleon atau ada yang membantu. Menurut Brigjen Andi, sudah ada tiga orang saksi yang dimintai keterangan, ketiganya merupakan tahanan yang ada di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Bareskrim Polri. "Penyidik sedang mendalami apakah dilakukan sendiri atau ada yang membantu. Nanti ya motifnya. Saksi tiga orang, semuanya napi," ucap Andi. Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono menyebutkan, penyidik Bareskrim Polri sudah menindaklanjuti laporan polisi tersebut dengan memeriksa tiga orang saksi dan mengumpulkan alat bukti yang relevan. Menurut dia, kasus tersebut saat ini sudah tahap penyidikan, dan penyidik sedang mengumpulkan alat bukti lainnya yang relevan untuk menuntaskan kasus tersebut. "Nanti dari alat bukti itu akan dilakukan gelar perkara dan akan menentukan tersangkanya," ujar Rusdin. Rusdi menegaskan, kasus tersebut telah ditangani oleh kepolisian dan akan dituntaskan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan informasi yang diperoleh, penganiayaan itu terjadi pada saat Muhammad Kece sedang berada di ruang isolasi. Sesuai protokol kesehatan, setiap tahanan yang baru masuk, menjalani masa isolasi selama 14 hari. Sebagaimana diketahui, Muhammad Kosman alias Muhammad Kece ditangkap oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Polri bersama Polda Bali di tempat persembunyiannya usai video penghinaan terhadap simbol agama viral di media sosial. Penangkapan itu berlangsung di Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali, pada Selasa (24/8) pukul 19.30 WIB. Kece lalu diterbangkan ke Jakarta untuk dilakukan pemeriksaan dan penahanan di Rutan Bareskrim Polri pada Rabu (25/8). Setelah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka, M. Kece lantas ditahan selama 20 hari terhitung dari tanggal 25 Agustus sampai 13 September 2021. Hingga kini masa penahanannya diperpanjang. Tersangka M. Kece, disangkakan dengan Pasal 28 ayat (2) dan junto Pasal 45 a ayat (2) dapat juga dijerat dengan peraturan lainnya yang relevan yakni Pasal 156 a KUHPidana tentang Penodaan Agama, ancaman hukuman enam tahun penjara. (ant, sws).

Dewan Pers: Channel YouTube Hersubeno Point Produk Jurnalistik

Jakarta, FNN - Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers, Ahmad Djauhar menegaskan, channel YouTube Hersubeno Point merupakan produk jurnalistik, karena berada di bawah FNN (Forum News Network) yang merupakan perusahaan pers. Ahmad Djauhar menegaskan, media, meskipun media sosial, sepanjang itu di-address atau menjadi bagian dari kerja resmi perpanjangan tangan dari semua media dan itu bagian dari proses kerjanya, itu masuk yurisdiksi wilayah perlindungan UU Pers (UU Nomor 40 Tahun 1999) tentang Pers). "Jadi itu merupakan bagian dari produk pers. Itu sudah kami sampaikan beberapa kali. Memang FNN ini hobi sekali bikin quote unquote - kontroversi begitu, tapi itu bagus," katanya dalam Webinar berjudul #Savehersu, Jurnalistik dalam Ujian, Sabtu 18 September 2021. Webinar menghadirkan pembicara Ahmad Djauhar dari Dewan Pers, Hersubeno Arief dari FNN, Rony Talapessi dari DPD PDIP DKI Jakarta, dan M. Isa Ansori sebagai moderator. Namun sampai Webinar usai, Ronny Talapessi tidak hadir. Djauhar mengingatkan, di era demokrasi yang sudah disepakati bersama, kita wajib konsekuen. "Jadi, gini lho, saya ingin sampaikan terlebih dahulu bahwa kita telah berkomitmen memasuki alam demokrasi sepenuhnya. Konsekuensi alam demokrasi itu, menulis apa pun itu boleh, tidak ada yang dilarang, sepanjang tulisan atau apa pun kabar itu, sepanjang ada verifikasinya. Jurnalisme itu adalah semua hal yang terverifikasi. Itu bedanya dengan media sosial murni. Media sosial murni itu ibaratnya seperti warung kopi universal. Warung kopi, tetapi skalanya mendunia, siapa pun boleh melemparkan topik apa pun, tanpa dia harus bertanggungjawab. Makanya, harus ada rambu-rambu, oleh karena itu ada UU," ujarnya. Menurut Djauhar, UU ITE sebenarnya bukan untuk mengatur kebebasan berpendapat dan kebebasan berbicara. "UU ITE namanya saja Internet dan Transaksi Elektronik. Ini sebetulnya dulu dibentuk untuk kepentingan Kementerian Perdagangan, tetapi saya tidak tahu semua hal di Indonesia bisa dipolitisasi dan dibelokkan ke politik sehingga malah lebih banyak untuk menjerat kebebasan berekspresi," katanya. Djauhar menegaskan, produk berita yang dipublikasikan oleh Hersubeno Arief merupakan produk jurnalistik. "Tadi seperti yang disampaikan Bung Hersu, Dewan Pers melihatnya bahwa ini sudah memenuhi aspek jurnalisme," katanya. Bahkan, lanjut Djauhar, Hersu sudah memberikan pernyataan pada kesempatan pertama dengan memberikan semacam breaking news, dan sebagainya. "Kalau di media cetak harus tertulis. Di media cetak konfirmasi bahkan bisa dilakukan esok harinya ketika sudah melewati deadline, yang penting pada kesempatan pertama," paparnya. Berkaitan dengan status FNN, Djauhar banyak mendapat pertanyaan masyarakat. "Yang sering ditanyakan adalah, FNN itu sudah perusahaan pers atau belum? Nah, kebetulan saya membawahi penelitian, pendataan, dan klasifikasi pers, saya jelaskan sekali lagi bahwa FNN sudah mengajukan aplikasi untuk mendatakan dirinya. Mendatakan ya, bukan mendaftarkan, karena Dewan Pers bukan seperti Kementerian Penerangan zaman dulu," tegasnya. Menurut Djauhar ada kemudahan untuk mendatakan diri di Dewan Pers. "Jadi sekarang media itu bebas, mau mendatakan dirinya atau tidak itu terserah. Tetapi, Dewan Pers memberikan kesempatan seluas- luasnya, silahkan, sudah zamannya. Silahkan swalayan, silahkan mengisi aplikasi kalau memang ingin mengurus sebagai perusahaan terverifikasi. Akan tetapi, yang harus diingat adalah amanat UU bahwa perusahaan pers yang penting akta perusahaannya mendeklarasikan dirinya adalah perusahaan pers. Juklaknya itu yang bikin masyarakat pers secara nasional melalui Dewan Pers. Akan lebih baik kalau dia melengkapi persyaratan ini... ini... ini. Jadi dia menjadi perusahaan pers yang istilah teman-teman di forum ini adalah perusahaan pers yang kaffah, komprehensif lengkap dengan persyaratannya," paparnya. Dalam pantauan Djauhar, saat ini banyak perusahaan pers asal bikin dengan modal dengkul. Hal semacam itu tidak bisa dibenarkan. Perusahaan pers harus menggunakan modal yang cukup, modal uang, SDM (Sumber Daya Manusia), kecerdasan, dan sebagainya. Diakui Djauhar, sejak reformasi seolah- olah setiap orang merasa bebas menjadi wartawan, semua orang boleh bikin media. Tetapi mereka lupa terhadap berbagai ketentuan yang mengikat bahwa misalnya, di UU bahkan perusahaan pers harus menjamin kesejahteraan karyawan dan wartawannya. Tidak boleh misalnya, ini terjadi di berbagai daerah. Dia merekrut koresponden di mana-mana, tetapi mereka dijadikan konfortter. "Konfortter ini istilah Belanda. Polpoter itu mencari iklan, mencari pemasukan bagi media itu. Enak benar yang bikin media, dengan modal kecil lalu menyuruh orang mencari uang. Pemilik modal tinggal ongkang-ongkang kaki. Ini kategori pemerasan terhadap karyawan atau wartawannya. Tidak bisa seperti itu," katanya. Diakui Djauhar bahwa FNN memang belum sepenuhnya melengkapi aplikasi secara penuh karena sejumlah persyaratannya belum penuh. Tetapi intinya kami melihat bahwa FNN didirikan oleh perusahaan pers yang secara otomatis masuk yurisdiksi sebagai perusahaan yang dapat beroperasi dan memperoleh perlindungan hukum. Dalam posisi ini lanjut Djauhar, menjadi kontroversi, ketika kemarin Kementerian Keuangan juga melaporkan produk FNN (maksudnya Majalah Forum Keadilan-red) yang memang itu produk opini yang diadukan oleh Kementerian Keuangan. "Tadinya mereka sebelumnya juga sudah menanyakan apakah ini diterbitkan oleh perusahaan pers atau bukan, ya kami jawab bahwa itu perusahaan pers. Kalau perusahaan pers penyelesaiannya di Dewan Pers bukan di kepolisian atau pengadilan. Jadi, kita harus tahu hak dan kewajiban masing-masing," tegasnya. Djauhar menekankan, jika ada masalah pemberitaan maka mediasi terlebih dahulu melalui Dewan Pers. "Pada prinsipnya produk jurnalistik tidak boleh dikriminalisasi. Orang cuma salah ngomong saja, cuma kesalahan, dan kekeliruan biasa, bukan kesalahan fatal. Produk jurnalistik harus semuanya melalui proses verifikasi. Kasus Hersu sudah melakukan itu. Bahwa itu tidak diberitakan sekaligus, tidak masalah, itu kan model. Model bisa macam-macam," paparnya. "Sekali lagi saya tegaskan, berkaitan dengan sengketa pemberitaan seharusnya penyelesaiannya sesuai UU Pers melalui Dewan Pers. Soal tidak memuaskan, itu relatif. Saran saya Perusahaan Pers harus segera melakukan verifikasi ke DP biar mendapat perlindungan hukum secara utuh," ucapnya. (sws)

Dudung Merundung

Oleh Ady Amar *) PEKAN ini adalah pekannya Pangkostrad Letjen Dudung Abdurachman. Apa yang disampaikannya dalam kunjungan kerja di Batalyon Zoni Tempur 9 Lang-Lang Bhuana Kostrad, di Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung, (Senin, 13 September), itu menimbulkan kontroversi. Mengalahkan berita-berita lain yang muncul sepekan ini. Geger beritanya bahkan mengalahkan berita pesawat Rimbun Air, yang jatuh di Intan Jaya. Kontroversi ucapannya, "Semua agama benar di mata Tuhan," menimbulkan tanggapan bertubi di tengah masyarakat, terutama tanggapan dari kalangan ulama. Beberapa pengurus teras MUI pun mengomentari pernyataan Letjen Dudung itu. KH Muhyiddin Junaidi, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI merespons dengan nasihat, agar Letjen Dudung Abdurachman minta maaf atas pernyataannya yang menyebut semua agama itu benar di mata Tuhan. Jelasnya, "Pernyataan semua agama itu benar, itu sesat dan menyesatkan", Rabu (15/9). Bukannya mendengar nasihat itu, justru sehari kemudian Letjen Dudung perlu membuat klarifikasi atas pernyataannya yang sampai menimbulkan geger itu. Motifnya tentu membela diri, meyakini bahwa apa yang dikatakannya itu benar. Katanya, "Pernyataannya bahwa semua agama adalah benar di mata Tuhan, karena dia sebagai Pangkostrad perlu menyatakan semua agama benar saat berbicara di hadapan prajuritnya. Sebab, prajuritnya berasal dari berbagai pemeluk agama." "Saya ini Panglima Kostrad, bukan ulama. Jika ulama mengatakan bahwa semua agama itu benar, berarti dia ulama yang salah," ujarnya penuh yakin dalam keterangan persnya, Kamis (16/9). Dudung jelas mengatakan, bahwa sebagai petinggi militer dia berhak bicara pada prajuritnya, bahwa semua agama benar di mata Tuhan, itu karena dia bukan ulama. Tanpa sadar sebenarnya ia menjelaskan, entah disadarinya atau tidak, bahwa ia penganut relativisme kognitif, dimana tidak ada kebenaran mutlak dan universal dalam pandangan manusia, dan itu tentang apa saja. Ia seolah menolak absolutisme, lawan dari relativisme, yang meyakini bahwa harus ada kebenaran dan kebaikan tunggal dan objektif. Pilihannya hanya dua: benar mutlak atau salah mutlak. Dalam absolutisme, tidak boleh ada yang setengah-setengah, setengah benar atau setengah salah. Meyakini agamanya paling benar, itu absolutisme. Tentu itu bukan bentuk intoleran. Karenanya, bukan pula hanya monopoli ulama, semua insan harus meyakini bahwa agamanya itu benar absolut. Meski tidak patut diteriakkan pada pemeluk agama lain dengan pongah. Pun non-Islam juga meyakini, bahwa agama yang dipeluknya yang paling benar. Sikap yang ingin dibangun Letjen Dudung di hadapan prajuritnya, hingga keluar ungkapan "semua agama itu benar di mata Tuhan", dimaksudkan bagian dari toleransi. Padahal toleransi tidak keluar dari batasnya, yaitu (hanya) saling menghargai, bukan menggugurkan keyakinan absolut yang mesti dipunyai pemeluk agama. Letjen Dudung memang bukan ulama, itu pasti. Tapi tidak harus jadi ulama seorang (muslim) memahami batasan toleransi itu. Menyenangkan prajurit yang beragam agama/keyakinan, itu tidak harus sampai menggerus keyakinan, bahwa agama yang dipeluknya bukanlah agama yang paling benar. Keyakinan (akidah), pastilah bukan monopoli ulama. Pluralisme Merundung Ucapan Letjen Dudung sungguh merundung, dalam makna mengganggu. Ucapan kontroversialnya itu mengganggu, dan jika disadarinya, itu menelisihi agama yang dipeluknya. Bagaimana bisa dikatakan agama yang dipeluknya sama dengan agama lainnya, dan itu hanya untuk menyenangkan prajurit yang beragam dalam beragama. Pernyataan Letjen Dudung diawali dengan pesannya, "Agar prajurit TNI menghindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama..." Lalu dilanjut, karena semua agama itu benar di mata Tuhan." Fanatik terhadap agama itu justru anjuran. Tentu bukan fanatik buta. Jika tidak fanatik, apa beragama harus kurang lebih, begitu... Atau jika fanatik pada agamanya, apa itu bisa menciptakan kekerasan, lalu hilang sikap toleran pada agama lain. Tentu tidak demikian. Justru sebaliknya yang didapat. Fanatik janganlah dimaknai sempit, lalu jadi negatif. Ini yang menjadikan merundung. Letjen Dudung dengan pernyataannya, itu jelas pluralisme agama, sebuah paham yang mengatakan bahwa semua agama itu benar di mata Tuhan. Pluralisme menjelma menjadi agama baru, agama gado-gado sesembahan liberalis. Karenanya, Islam menolak pluralisme itu. Tidak Islam saja yang menolaknya, bahkan Frans Magnis Suseno, tokoh Katolik, dalam bukunya Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk , jelas menolak dengan keras pluralisme agama itu. Mestinya semua agama menolaknya. Mana mungkin atas nama toleransi, satu agama mengakui agama lainnya hanya karena toleransi. Ini bisa merundung, dalam konteks Letjen Dudung Abdurachman, akan menghancurkan bangunan agama yang sudah kokoh hanya untuk menyenangkan prajurit yang beragam agamanya. (*) *) Kolumnis

PEKOK (Pejabat Eksklusif, Kacung Organisasi Konglomerat)

Oleh Sugengwaras *) Pejabat pekok, biasanya cerdas, tegas, ganas, menindas, kejam, seram, pendendam dan pembungkam! Indikasi itu semakin hari semakin jelas ada di stakeholder kekuasaan baik terkait menjalankan tugas-tugas dari atasan maupun nafsu individu. Ironisnya tak kapok-kapoknya calon-calon yang lain ingin mengikuti jejak ini. Memang, karakter baik-buruk, amanah dan serakah telah ada sejak dulu dan belum banyak bisa menjadi pelajaran yang mendidik dari generasi ke generasi. Peristiwa aktual seperti isu aneh meninggalnya Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati serta peristiwa Rocky Gerung terkait sengketa perampasan hak tanah rakyat oleh pejabat atau penguasa yang kong kalikong dengan konglomerat, bisa jadi melibatkan RK dan Sentul City, mengindikasikan kerakusan individu pejabat, penguasa yang hampir sulit dibedakan antara aparat negara dan keparat negara. Menyikapi fenomena seperti ini tidak ada alternatif lain kecuali harus dilawan oleh para pakar dan praktisi di bidang pertanahan untuk Rocky Gerung dan para pakar dan praktisi politik untuk kasus isu meninggalnya Megawati, meskipun tak jelas juntrungannya maksud dan tujuan. pemberitaan ini Sudah bukan eranya lagi untuk mengkultuskan seseorang seperti Megawati ini, nyaris uweuh pangaruhna, ibarat adanya tak menggenapkan dan tiadanya tak mengganjilkan atau kehadiran maupun keabsenanya tidak beda makna. Namun, jika ternyata pembuat isu bohong atau penyesatan tentang meninggalnya Megawati dibiarkan, sama halnya pejabat pekok telah memperdaya diri sendiri untuk terjerumus ke jurang kenistaan, karena tindakan hukum yang dilakukan jauh berbeda dengan kasus kebohongan kesehatan yang dituduhkan kepada HRS. Layak, kita tak bosan bosan menyinggung sosok HRS, karena sesama warga negara sekaligus sebagai panutan, yang tidak selayaknya didiskriminasi, didzolimi dan dibenci, wujud implementasi pejabat pekok, sedangkan para koruptor kelas kakap semakin diperingan, aneh bin ajaib, lucu binti pekok. Jadi ingat hakim yang menghakimi kasus HRS tidak akan pernah mengalami ketenangan dan ketenteraman selama hidupnya di dunia, apalagi diakhirat. Menyikapi pejabat pekok seperti ini, sekali lagi jangan kasih peluang untuk mereka merekayasa kasus, sebaliknya terus kabarkan, kobarkan dan kibarkan bendera perlawanan secara terus menerus hingga tetesan darah terakhir Jangan biarkan kejahatan berkuasa, jika dunia tak ingin dirajai para penjahat ! *) Purnawirawan TNI AD

Krisdayanti Menyingkap Kebenaran Publik

Oleh: Yusuf Blegur SEKETIKA kepolosan Krisdayanti di channel video Akbar Faisal mengundang beragam respon. Pemaparan Krisdayanti yang tak ubahnya nyanyian politik itu secara spontan mengungkap isi jeroan parlemen dan para politisi kontrak penghuninya. Termasuk bagaimana uang beredar yang formal dan non-formal menyokong kerja-kerja legislasi, pengawasan pemerintah, dan menyuarakan aspirasi rakyat. Meski samar-samar rakyat telah mengetahui status dan peran anggota DPR RI, celoteh artis cantik yang pernah menjadi diva musik Indonesia itu, semakin menegaskan betapa pekerja parlemen itu berlimpah fasilitas. Termasuk berhamburan uang rakyat yang menggaji politisi Senayan yang juga petugas partai politik. Sebagai orang dalam, KD panggilan Krisdayanti yang berasal dari daerah pemilihan Malang, Jawa Timur, saat berdialog dengan Akbar Faisal terasa santai mengungkap sisi dalam dan pernak-pernik lembaga politik beserta perangai personalnya. KD seperti menjadi "insider" di sebuah perusahaan yang sedang membuat pengakuan membongkar kejahatan perusahaannya sendiri di hadapan publik. Pelbagai previlage, kemudahan, dan pelayanan prioritas yang dimiliki anggota DPR RI terlontar tanpa sensor. Krisdayanti terlihat nyaman dan menikmati saat mengupas sisi under cover DPR RI. Senyaman dan sesantai KD saat tampil di panggung konser musik. Menariknya, KD begitu gamblang blejetin angka demi angka uang negara dalam parlemen yang kantornya pernah diduduki ratusan ribu mahasiswa saat dianggap tak berfungsi sebelum pecah reformasi. Nominal yang sangat besar dan menggiurkan untuk ukuran kerja politik seadanya yang dituntut hasil maksimal oleh rakyat. Apalagi kemewahan hidup anggota DPR itu seiring sejalan dengan kesengsaraan hidup rakyat di tengah pandemi. Bisa ditebak, pro dan kontra menyeruak merespons pengakuan panas KD. Sikap dan pandangan kontra sudah bisa dipastikan berasal dari kalangan atau kolega parlemen sendiri dan partai politik yang menjadi induk semangnya. Partai politik dan perpanjangan tangannya di Senayan, merasa seperti ketahuan belangnya. Seperti merasa dibeberkan kenyataan-kenyataan minor yang sebenarnya, dari lembaga dan orang-orang yang diberi gelar terhormat dan mewakili rakyat. Sementara di lain sisi, respons positif datang dari publik atas penampilan dan argumentasi politik KD. Cantik, cukup cerdas, kaya raya, dan polos membeberkan fakta seputar anggota legislatif pusat itu. Kontan mendapat apresiasi dan dukungan masyarakat. KD seperti oase di tengah gurun pasir. Memberi kesejukan dan keteduhan di tengah gersangnya imej DPR RI selama ini. Besar Pasak dari padaTiang Jika melihat dan mendengar langsung narasi gamblang Krisdayanti soal anggota legislatif di tingkat pusat, ada beberapa poin penting yang bisa menjadi ajang refleksi dan evaluasi kinerja punggawa DPR RI itu. Berikut yang paling mendasar terkait fasilitas yang ada dan kinerja yang dihasilkan. 1. Dengan gaji dan fasilitas yang cukup besar peran anggota DPR RI dirasakan belum memuaskan. Pencapaian kinerja masih dianggap jauh dari maksimal. Baik dari produk legislasi yang dihasilkan, fungsi kontrol dan pengawasan pemerintahan terkait kebijakan politik dan anggaran, maupun pendampingan dan advokasi permasalahan rakyat. Penilaian itu sulit dibantah mengingat, sejauh ini banyak kasus yang berkolerasi dengan lemahnya kinerja anggota DPR RI. Dari sekian banyak persoalan, sebut saja beberapa diantaranya. Semisal polemik UU HIP dan Minerba. DPR RI terkesan mengabaikan suara dan aspirasi rakyat. Begitu juga yang aktual soal pandemi. Selain kisruhnya uu kesehatan termasuk soal karantina dan prokes. DPR RI bersama pemerintah gagal menyelamatkan kepentingan rakyat. Penanganan yang berlarut-larut hanya menimbulkan kemerosatan ekonomi, kekacauan politik, dan korban nyawa rakyat. 2. Anggota DPR RI bersama partai politiknya telah menjadi bagian dari oligarki yang dibangun dan bersumber dari borjuasi korporasi besar. Meraka pada akhirnya menjadi 'patron klein' dari pemilik modal dan mafia yang selama ini menggunakan jubah pengusaha kakap. Praktis keadaan itu membuat performa DPR RI jauh dari kata berkualitas dan memiliki integritas. Bahkan sejak dari menjadi calon legislatif yang transaksional dan kapitalistik hingga kinerja yang asal-asalan dan suara-suara mereka di parlemen yang mudah dibeli dan mengangkangi aspirasi rakyat. Wajar saja, jika pada akhirnya rakyat sangat apriori dan skeptis terhadap keberadaan dan eksistensi DPR RI. Rakyat akhirnya lebih suka mencari saluran alternatif dan membuka sumbatan-sumbatan aspirasi yang mampu mewakili mereka. Demokrasi jalanan akhirnya menjadi pilihan dan dipakai rakyat untuk memperjuangkan kepentingannya. Menyuarakan kebenaran dan keadilan melalui media sosial dan kreatifitas lainnya seperti mural, spanduk, gerakan tutup kuping dsb. 3. Kemandulan DPR RI ini bukan semata menjadi indikator kegagalan peran dan fungsi insitusi politik yang vital dan strategis tersebut. Lebih dari itu telah terjadi pergeseran makna dan hakekatnya. Bahwasanya menjadi anggota DPR RI dan jenjang di bawahya bukan lagi sebagai tugas kenegaraan dalam mewakili dan mengemban amanat penderitaan rakyat. Kini lembaga politik itu telah cenderung menjadi orientasi dan kumpulan orang-orang oportunis yang mengejar ekonomi dan status sosial. Jabatan anggota DPR RI yang melekat pada dirinya, tak ubahnya seperti jabatan karir ekonomi dan profesi semata. Kondisi yang demikian diperparah dan semakin hancur dengan perilaku maksiat seperti korupsi, kebohongan publik dll. Oleh karena itu harapan besar rakyat terhadap kinerja DPR RI dalam memperjuangkan rakyat seperti menjadi uthopis. Rakyat seperti merasa dikhianati dan terus-menerus menjadi korban politik dari kekuasaan. Baik dari institusi pemerintahan yang ada di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Krisdayanti untuk sesaat telah mewakili suara rakyat. Mengungkap pengkhianatan politisi pada rakyat. Sebagai bagian dari kumpulan pelaku-pelaku politik dan pemangku kebijakan di Senayan. Krisdayanti juga vulgar menyampaikan perselingkuhan aspirasi anggota dewan yang terhormat. Tetap cantik, bersuara indah dan polos untuk sang Diva. Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.

Moeldoko dan Semburan Fitnah

By M Rizal Fadillah MOELDOKO saat berkunjung ke Pesantren Lirboyo Kediri Jawa timur menyebutkan bahwa "faham radikal sudah menyusup di tengah-tengah masyarakat dan lembaga pendidikan. Ini harus kita waspadai karena gerakannya sistematis dan terstruktur". Perlu klarifikasi ucapan Kepala KSP ini. Sepanjang hal itu bias dan hanya melempar isu saja, maka Moeldoko telah melakukan semburan fitnah. Semburan fitnah atau konteks politiknya adalah "firehose of falsehood" berasal dari doktrin Pemerintah Rusia. Operasi ini digunakan Rusia tahun 2012-2017 dalam krisis Crimea, konflik Ukraina, dan perang sipil Suriah. Semburan fitnah dilakukan untuk melemahkan perjuangan lawan dengan melakukan kebohongan untuk memecah belah. Ketika timbul ketidakpercayaan sesamanya maka kelemahan itu segera dimanfaatkan. Serangan masif kepada umat Islam dan institusi keagamaan tentang radikalisme, intoleransi ataupun terorisme jelas membahayakan dan menciptakan iklim yang tidak kondusif. Negara dan para pejabat negara yang terus menyemburkan fitnah adalah pelaku kejahatan sistematis dan terstruktur. Betapa keji tuduhan yang dilakukan tanpa adanya pembuktian. Negara sebenarnya memiliki perangkat lengkap untuk melakukan tindakan nyata atas sesuatu yang dinilai mengancam. Bukan melempar-lempar isu yang tidak jelas. Apalagi menyasar kepada lembaga pendidikan keagamaan seperti Pesantren. Nah, agar pemerintah atau negara tidak menjadi institusi penyembur fitnah, maka: pertama, jelaskan makna atau batasan radikal itu agar menjadi tidak bias dan berbenturan dengan keyakinan atau keimanan. Sepakati batasan tersebut dengan tingkat obyektivitas tinggi. Jangan radikalisme itu dimaknai semata berdasarkan faham atau persepsi subyektif dari Pemerintah. Kedua, segera buktikan lembaga pendidikan mana yang telah tersusupi beserta langkah yang telah diambil dalam rangka pencegahan atau tindakan terhadap lembaga pendidikan yang telah tersusupi oleh paham radikalisme tersebut. Ketiga, membuat takut masyarakat dan lembaga pendidikan atas kemungkinan terjadinya penyusupan paham radikal justru merupakan radikalisme itu sendiri. Negara tidak boleh menjadi teroris. Teror bukan bagian dari pendidikan politik rakyat yang sehat. Paham radikal menurut Moeldoko masuk ke lembaga pendidikan itu dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Moeldoko harus mempu menjelaskan bagaimana gerakan radikal yang tersistematis dan terstruktur itu. Adakah gerakan tersebut bersifat original atau artifisial? Sebelumnya pengamat intelijen Susaningtyas Nefo juga dikualifikasi menyemburkan fitnah tentang ciri-ciri teroris yang di samping belajar dan menggunakan bahasa Arab, juga berada di madrasah-madrasah yang berkiblat pada Thaliban. Nefo sendiri tidak bisa menampilkan mana madrasah-madrasah yang berkiblat pada Thaliban tersebut. Moeldoko harus membuktikan tuduhannya. Tanpa hal itu maka ia telah menyebarkan fitnah dan melakukan teror psikologis kepada umat Islam. Moeldoko lupa bahwa dirinya justru pernah melakukan gerakan radikal dengan mencoba melakukan kudeta kepemimpinan partai melalui kongres abal abal. Muldoko adalah seorang radikalis dan Istana telah tersusupi. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Arah Demokrasi Terpimpin

By M Rizal Fadillah DEMOKRASI Terpimpin adalah sistem demokrasi di masa Pemerintahan Orde Lama pimpinan Soekarno pasca 1959 hingga keruntuhan 1966. Melalui jembatan kudeta PKI bulan September 1965 Pemerintahan Soekarno berakhir. PKI menjadi anak emas rezim yang menunggangi sistem Demokrasi Terpimpin tersebut. Ideologi tetap Pancasila akan tetapi Pancasila itu telah diinterpretasi dan dijalankan dalam versi kewenangan dan kesewenang-wenangannya sendiri. Pemerintahan Jokowi pun saat ini masih mengandalkan Pancasila. Bahkan ada lembaga Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) segala. Tapi mudah disimpulkan bahwa Pemerintahan Jokowi bergaya dan mengarah pada pelaksanaan sistem Demokrasi Terpimpin. Jika dahulu Soekarno berangkat dari karisma dan otoritas dirinya sebagai "Bapak Revolusi" kini Jokowi mengandalkan kekuatan oligarkhi yang mengitarinya. Rezim investasi "Bapak Infrastruktur". Jokowi yang "dikawal" Megawati Soekarno puteri sejak terpilih untuk keduakalinya mulai menjalankan pola Demokrasi Terpimpin yang diawali dengan penghancuran KPK, pembungkaman oposisi, serta politisasi pandemi. Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas saat berdiskusi soal pelumpuhan KPK menyatakan bahwa Presiden Jokowi itu dikelilingi dan berpola pada sistem dinasti oligarkhi berbasis keluarga dan taipan hitam. Keberadaan buzzer ternyata menambah kumuh kubangan oligarkhi. Dalam rangka mengukuhkan kepatuhan semua diarahkan pada kebijakan yang memusat. Kedaulatan rakyat telah diambil habis oleh Partai Politik. DPR menjadi mitra oligarkhi sekaligus pendukung arah dari sistem Demokrasi Terpimpin tersebut. Ketua Dewan Pengarah BPIP adalah Megawati Soekarnoputri. Disiapkan aturan UU dalam Prolegnas 2021. Kegagalan RUU HIP oleh penentangan keras rakyat ternyata tidak mematahkan keinginan untuk tetap mengendalikan ideologi secara terpimpin. Bahkan kini dicanangkan implementasi berupa Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN). PPHN telah dicanangkan PDIP sejak Kongres V PDIP di Bali yang dimaksudkan sebagai "GBHN" untuk menggabungkan pola perencanaan pembangunan Orde Lama dan Orde Baru. Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mewakili PDIP menyatakan "usul kami mengkombinasikan konsep pembangunan nasional yang dilakukan pada era Presiden Soekarno dan juga GBHN pola era Presiden Soeharto". Ia menegaskan bahwa konsep Orde Lama adalah Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB). PNSB yang sandarannya Manipol/Usdek menjadi landasan Demokrasi Terpimpin Soekarno. Penggabungan antara GBHN dan PNSB konsepnya bisa dibuat oleh Bappenas dan Badan Riset Nasional yang akan dibentuk. Ternyata itu adalah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Megawati Soekarnoputeri Ketum PDIP menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN. Akademisi mengkritisi lembaga ilmiah yang dikendalikan oleh politisi. Dewan Penasehat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herlambang P Wiratraman menyatakan prihatin akan sains yang berada di bawah kekuasaan politik "lembaga riset semestinya untuk memperkuat dan mengutamakan sains". Luar biasa, Ketua Dewan Pengarah dua lembaga strategis yaitu BPIP dan BRIN dijabat oleh satu orang yang sama yaitu Megawati. Ini sinyal dari penguatan Demokrasi Terpimpin. Jokowi bersama taipan dan buzzer, Luhut bersama RRC, dan Megawati bersama partai koalisi menjadi pilar kekuasaan. Didukung oleh Kepolisian dan akhir-akhir ini TNI yang tidak semakin netral. Inilah wajah pimpinan Demokrasi kontemporer. BRIN akan menjadi "think tank" Pemerintahan Jokowi dengan Ketua Dewan Pengarah Megawati yang memiliki kewenangan besar. Bukan kolektif kolegial melainkan dominan otoritas Ketua. Perpres No 78 tahun 2021 memberi kewenangan luar biasa kepada Megawati dari mulai mengevaluasi, memberi rekomendasi, persetujuan, hingga membentuk Satgas Khusus. Diberi hak pula mengangkat empat staf khusus. Jika wacana tentang perpanjangan masa jabatan Jokowi benar terjadi. Maka Demokrasi Terpimpin bukan arah lagi melainkan kenyataan. Perulangan sejarah. Orde Baru dan Orde Lama memang bergabung. Rakyat di samping menderita oleh banyak paksaan politik, akan tetapi sebenarnya senang juga karena kondisi ini merupakan pertanda bahwa Pemerintahan Jokowi akan semakin cepat berakhir. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Teror Eskavator, Perlawanan dari Sentul

Oleh Ady Amar *) ESKAVATOR, setidaknya tampak dua unit, nongkrong tidak lebih 50 meter dari tempat tinggal Rocky Gerung. Somasi 7×24 jam dari pengembang PT Sentul City, Tbk (SC) untuk mengosongkan rumah yang ditinggalinya sejak 2009, yang ia beli dari pemilik sebelumnya, itu tidak menyiutkan nyalinya. RG masih bisa terima kawan-kawan yang berempati padanya, masih bisa tertawa-tawa lepas dengan canda cerdasnya. Seolah teror eskavator dari SC itu cuma hal kecil saja, seperti nyamuk yang mengiang di telinga saat menjelang tidur. Itu bukan sesuatu yang menakutkan buatnya. Eskavator yang dikirim SC buatnya itu hal kecil yang tidak akan sampai mengganggu waktunya untuk tetap bersikap kritis. Kenekatan SC melawan RG itu memang mencengangkan. Tentu orang lalu menganggap, nekatnya itu pasti tidak berdiri sendiri, pasti punya backing orang super kuat di belakangnya. Tanpa itu mustahil teror eskavator itu berani dilakukan. Memakai teror eskavator pada RG itu bukanlah langkah tepat. Tidak semua bisa diperlakukan dengan "semena-mena", menggusur hanya berdasar status tanah yang diada-adakan. RG berujar, ini bukan hanya masalahnya saja, tapi juga masalah 90 KK (6.000 orang), yang juga akan digusur, padahal di antara mereka ada yang sudah menempati tanah itu sejak tahun '60-an. Lanjutnya, jika hanya ia sendiri yang digusur tidak masalah, tapi tidak pada 90 KK/6.000 orang tadi yang harus digusur. Jika RG yang digusur, buatnya itu tidak masalah. Pastilah ia tidak sampai harus terlunta-lunta seperti orang kebanyakan yang tidak punya kekuatan tawar. Subhanallah muncul banyak tawaran rumah buatnya, dari banyak pihak, bahkan dari orang yang tidak dikenalnya. Konon sudah ada 37 tawaran rumah untuk ditempatinya, sesukanya tanpa batas waktu, dan 4 apartemen mewah. Bagaimana dengan 90 KK/6.000 orang itu jika harus digusur, semacam penggusuran di tempat-tempat lain oleh para pengembang besar, yang mudah mendapatkan izin penggunaan tanah melawan orang kecil yang mendiami tanah tanpa secarik kertas Hak Guna Bangunan (HGB). Menempati tanah warisan berpuluh tahun lalu itu tidak cukup kuat untuk melawan kekuatan hukum yang didapat para pengembang dengan begitu mudahnya. Kali ini SC menemui lawan berat. Lawan tidak main-main, yang gemanya tidak cuma di Bojong Koneng, kawasan Sentul, tapi menyeruak tidak saja di tingkat nasional, tapi akan tersiar ke manca negara. Dan semua akan melihatnya tidak semata masalah hak atas sebidang tanah, tapi sifatnya lebih pada politik. Kasus RG ini bisa membuka kotak pandora persoalan tanah berjuta hektar yang hanya dikuasai segelintir orang. Bahkan ada satu pengusaha menguasai tanah perkebunan sampai 5,2 juta hektar. Apa gak koplak ini. Sedang lebih dari seratus juta warga tidak memiliki tanah meski hanya belasan meter persegi saja. Kasus RG versus SC, sepertinya sudah diatur Tuhan untuk mengoreksi ketidakadilan berkenaan dengan kepemilikan tanah. Jika eskavator benar-benar nekat bergerak meratakan rumah yang didiami RG itu, dan tentu yang didiami 90 KK/6.000 warga yang ada di sekitarnya. Sungguh miris melihat rumah sederhana, yang di dalamnya mengoleksi beribu buku, dan hutan kecil hasil reservasi selama bertahun, dengan berbagai pohon terutama pinus yang menjulang tinggi menggapai langit, anggrek dan lainnya, burung-burung dan makhluk hidup lain yang hidup di sana bersamanya. Termasuk monyet-monyet liar yang datang dari sekitarnya, yang dijamunya dengan hidangan pisang. Setiap 2 hari sekali 2 tandan pisang digantungnya untuk konsumsi monyet-monyet itu. Dengan akan diratakannya dengan tanah, jika SC tetap nekat, maka semua makhluk hidup di sana akan musnah, terutama pohon-pohon dan bunga yang ditanamnya. Perlawanan dari Sentul Tanah yang dikuasai RG itu cuma 800 meter persegi. Rumahnya kecil saja, hanya ada satu kamar tidur, ruang tamu dan dapur, sedang lainnya ia konservasi layaknya hutan kecil. Dan itu untuk menghindari longsor, karena posisinya di lereng yang punya tingkat kemiringan cukup ekstrem. Tanah yang terbilang kecil itu, diklaim SC sebagai tanah miliknya. Itu berdasar sertifikat HGB yang dimilikinya. Tidak persis tahu sertifikat HGB itu keluar tahun berapa, yang itu sudah dianggap mampu menggusur tanah rakyat yang didiami puluhan tahun. Kasus RG versus SC ini menjadi menarik, karena mampu mengungkap persoalan tanah yang cuma dikuasai beberapa gelintir taipan. Adalah Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengungkap bahwa 68 persen tanah Indonesia dikuasai perorangan dan kelompok pengusaha. Angka itu memperlihatkan ketimpangan penguasaan lahan terburuk sejak Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 5/90 disahkan. "Saat ini indeks ketimpangan penguasaan tanah sudah mencapai ketimpangan yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kita, 1 persen pengusaha atau badan usaha menguasai 68 persen aset tanah nasional," ujar Dewi. Dan katanya pula, KPA mencatat, bahwa konflik Agraria meningkat tajam di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Tercatat, ada 2.291 konflik Agraria, selama 2015, hampir dua kali lipat dibandingkan 10 tahun era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sebanyak 1.770. Perlu diingat, jabatan Presiden Jokowi, pada periode ke-2 nya baru berjalan dua tahun. Tersisa tiga tahun lagi, yang bisa jadi konflik yang terjadi jumlahnya akan bertambah. Akankah perseteruan RG versus SC akan berkepanjangan, yang itu tidak mustahil akan memantik perlawanan dengan eskalasi yang lebih besar, yang itu dimulai dari Sentul. Masalah RG bisa menjadi perlawanan rakyat, menunggu momentum yang pas. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dirasakan rakyat, itu jalan masuk untuk membersamai RG dan 90 KK/6.000 orang untuk membela haknya... Wallahu a'lam. (*) *) Kolumnis