ALL CATEGORY

Surat Terbuka untuk Mahfud MD

Assalamualaikum wr wb Yth.  Prof. Mahfud  MD  Menkopolhukam Republik Indonesia di Jakarta. Seiring  perjalanan  waktu, dua  pertanyaan  saya  terdahulu  tidak pernah mendapatkan  jawaban  dari  bapak.  Sebagai  elemen  anak  bangsa  yang  peduli  dengan hukum di negeri  ini  ingin  sekali mendapatkan  tanggapan dari  bapak  tentang  sikap  diamnya  bapak  terhadap  kasus-kasus krusial  yang terjadi  di depan  mata  bapak.    Kasus-kasus  tersebut  di antaranya: 1. Kasus  ijazah  palsu  Jokowi.  2. Kasus  penambahan  masa  jabatan  pimpinan KPK  yang tiba- tiba tiba ditambah oleh  MK tanpa  persetujuan  DPR, DPD, PRESIDEN selaku  pembuat  UU tentang  masa  jabatan  pimpinan  KPK.  3. Kasus  bocornya  kesepakatan  hakim  MK  yang  akan  mengubah  sistem  Pemilu dari terbuka menjadi tertutup  yang  dibocor  oleh  Deny Indrayana.  Bagamana  pendapat  hukum  bapak sebagai  mantan  ketua  MK terhadap  kasus  tersebut  bila  bocoran  dari  Profesor  Deny Indrayana adalah  benar.  4.  Bagaimana  pendapat  bapak  terhadap  kasus  pengiriman  pasukan  TNI ke Papua  yang  diberitakan  banyak yang  gugur menjadi  korban  keganasan  GPK Papua? Pasukan  dikirim  dengan tanpa  dilengkapi  dengan  alat perlindungan  diri  seperti  mobil  anti peluru, tank  baja, panser,  pesawat  pembom dan sebagainya, sementara pada  saat  mendatangi  Habib Rizieq Shihab yang  tanpa  senjata  dan lokasinya pun  di ibukota  Jakarta, pasukan  TNI datang  dengan  peralatan  lengkap  seperti  tank lapis  baja panser, pasukan bara kuda dsb.  Bapak  Prof  Mahfud  yth. Menurut  pandangan  subyektif  saya, bahwa  kasus-kasus yang  saya sebutkan itu lebih urgent, lebih  krusial  untuk  mendapatkan  atensi  dari  bapak  selaku MENKOPOLHUKAM  yang   nota  bene juga  ahli  dalam  hukum  tata negara.  Kasus  uang  yang  Rp349  T  yang  bapak  bongkar itu tidak  memiliki arti apa-apa  dibanding dengan  kasus-kasus  yang  saya sebut itu. Selanjutnya,  bahwa  seorang  Prof. Deny Indrayana  adalah  salah  seorang  anak bangsa yang peduli terhadap  carut marutnya  hukum  di negeri  ini yang menurut saya tanpa  bermaksud  untuk  sensasi,  yang  membedakan  dengan  bapak  yang  hanya  menjadikan  kasus tersebut  sebagai  tontonan  belaka.  Beberapa  waktu  yang  lalu, ada rekaman  video  dimana  tampak  dengan  jelas bapak  bicara bahwa  rusaknya  masyrakat  atau  negeri ini  akibat dari rusaknya  pemimpin  di negeri itu.  Menurut  pendapat  bapak  apakah  indonesia  ini  masih  baik  atau  sudah  rusak? Tolong  bapak  jawab  dengan  hati nurani  berdasarkan  keilmuan yang  bapak punya.  Sekian  dari  saya,  NASER  ALKATIRI - Aktivis Forum Tanah Air.

Kepercayaan tanpa Syarat

Oleh: Radhar Tribaskoro - Presidium KAMI  DALAM sebuah podcast Anies Baswedan bercerita perihal Imaduddin Abdulrahim. Bang Imad, begitu beliau biasa dipanggil, menjawab pertanyaan Anies tentang mengapa ia memilih menjadi insinyur listrik  padahal terbukti ia adalah seorang agamawan tangguh yang terkenal dengan buku \"Kuliah Tauhid\". Jawabannya adalah sebuah kisah. Bang Imad mengisahkan bagaimana dirinya mengikut ayah dan orang-orang kampungnya berjalan 6 jam mendatangi peresmian bendungan Asahan. Peresmian itu akan dilakukan oleh Wapres Mohammad Hatta. Mereka berharap bisa bertemu dengan tokoh proklamator itu.  Dalam peresmian itu Bung Hatta menyampaikan pentingnya tenaga listrik. Ia kemudian mengimbau anak-anak muda untuk menjadi insinyur-insinyur listrik dan membangun negerinya.  Pidato Hatta itu menjadi semacam moment of truth untuk seorang Imaduddin muda. Setelah itu ia hanya mempunyai satu cita-cita untuk diperjuangkan: menjadi insinyur listrik. Ia meraih cita-citanya itu dengan bersekolah di Departemen Elektro ITB.  Anies Baswedan takjub. Bagaimana bisa, hanya dengan kata-kata saja, seorang politikus bisa membangunkan energi begitu besar dari seorang anak desa. Begitu besarkah penghargaan orang kepada seorang politikus bernama Mohammad Hatta. Anies takjub, mungkin karena hal semacam itu sudah langka terjadi saat ini.  Anies menyebut momen \"transfer energi\" itu dengan \"kepercayaan tanpa syarat\". Imaduddin kecil mendengar permintaan Bung Hatta, menerimanya begitu saja, dan kemudian melaksanakannya dengan sepenuh hati.  Peristiwa yang sama terjadi pada seorang pemuda berpuluh tahun sebelumnya, di Madiun. Pemuda itu kakek saya. Ia  berjalan kaki 200 km dari Madiun hanya karena ingin melihat langsung seorang pemuda cerdas dari Bandung yang akan berpidato di Semarang. Pemuda Bandung itu bernama Soekarno. Pidatonya pun mentransfer energi sangat besar sehingga bisa menggerakkan kakek saya untuk menjadi bagian dari pergerakan yang sedang dibangun pemuda Bandung itu. Kakek saya tidak sempat bertegur-sapa dengan pemuda Bandung itu, tetapi ia tidak pernah melupakan kata-katanya. Ia menyimpannya dalam hati, berusaha mewujudkannya, walau untuk itu ia harus keluar masuk penjara dan menelantarkan anak istrinya.  Begitu kuatnya hubungan seorang pemimpin dengan rakyatnya. Bayangkan apa yang bisa dilakukan 280 juta orang yang bersatu dan siap berkorban sesuai arahan pemimpinnya?  Saat ini, kemana perginya kepercayaan tanpa syarat itu?  Sejak kapan pemimpin-pemimpin yang menginspirasi  meninggalkan kita? Sejak kapan cinta  dan pengorbanan untuk negara menjadi canda dan bahan ketawa?  Jaman memang telah berubah, siapa yang bisa menolak perubahan? Tentu saja banyak orang akan menolak perubahan. Saya adalah salah satu orang dari sekian banyak orang yang akan menolak perubahan bila perubahan itu malah membuat kita semakin dangkal, membuat rakyat semakin tertindas, menjadikan ketidak-adilan tambah merajalela.  Dengan cara itu, menurut saya, kita menghargai Bung Karno dan Bung Hatta yang telah menginspirasi jutaan orang mengenyahkan penjajahan beratus tahun atas negeri tercinta.  Kita ingin pemimpin-pemimpin yang bisa kita percayai tanpa syarat itu kembali. Mungkinkah?

Kejagung Memanggil Airlangga Hartarto sebagai Saksi Perkara CPO

Jakarta, FNN - Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung memanggil Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk dimintai keterangan sebagai saksi.  Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Ketut Sumedana dikonfirmasi di Jakarta, Selasa, menyebut pemanggilan Airlangga terkait penyidikan perkara korupsi persetujuan ekspor minyak sawit mentah atau \"crude palm oil\" (CPO) dan produk turunannya, termasuk minyak goreng.  \"Benar (dipanggil) perkara CPO,\" kata Ketut.  Dalam perkara ini, Penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung RI menetapkan tiga perusahaan CPO sebagai tersangka korporasi dalam perkara korupsi persetujuan ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya, termasuk minyak goreng pada Kamis (15/6).  Ketiga perusahaan tersebut, yakni Wilmar Grup, Permata Hijau Grup, dan Musim Mas Grup. Ketiganya terbukti dalam perkara ini berdasarkan putusan MA yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap menimbulkan kerugian negara sebesar Rp6,47 triliun.  Kabar pemanggilan Airlangga oleh Kejaksaan Agung telah tersiar sejak Senin (17/7), namun Kejaksaan Agung belum merilis keterangan pemanggilan hingga saksi bersedia memenuhi panggilan. Ketut menyebut Airlangga telah mengkonfirmasi untuk hadir sebagai saksi sore ini.\"Rencana menurut informasi beliau bisa hadir pukul 16.00 WIB,\" ujar Ketut.  Dalam perkara tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya pada bulan Januari 2021-Maret 2022 telah selesai disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan berkekuatan hukum tetap (inkrah) di tingkat kasasi.  Lima orang terdakwa telah dijatuhi pidana penjara dalam rentang waktu 5 - 8 tahun. Kelima terpidana itu, yakni mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indra Sari Wisnu Wardhana, anggota Tim Asisten Menko Bidang Perekonomian Lin Chen Wei, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Palulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley MA, dan GM Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togas Sitanggang.  Dalam putusan perkara ini terdapat satu hal yang sangat penting, yaitu majelis hakim memandang perbuatan para terpidana merupakan aksi korporasi.  Oleh karena itu, majelis hakim menyatakan bahwa yang memperoleh keuntungan ilegal adalah korporasi (tempat di mana para terpidana bekerja). Maka dari itu, korporasi harus bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian negara akibat perbuatan pidana yang dilakukannya.  Selain itu, perbuatan para terpidana telah menimbulkan dampak signifikan, yaitu terjadinya kemahalan serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan daya beli masyarakat, khususnya terhadap komoditi minyak goreng.  Akibatnya, dalam rangka mempertahankan daya beli masyarakat terhadap komoditi minyak goreng, negara terpaksa menggelontorkan dana kepada masyarakat dalam bentuk bantuan langsung tunai senilai Rp6,19 triliun.(ida/ANTARA)

Regulasi Golden Visa Tinggal Proses Administrasi

Jakarta, FNN - Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI Silmy Karim menyebut revisi peraturan pemerintah (PP) untuk kebijakan Golden Visa tinggal menyelesaikan proses administrasi dengan menunggu paraf beberapa menteri dan tanda tangan Presiden Joko Widodo.Oleh karena itu, Silmy optimistis revisi Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dapat rampung pada Juli 2023 sehingga berbagai kemudahan yang ditawarkan layanan Golden Visa dapat segera dimanfaatkan para investor asing.“Ini lagi nunggu ditandatangani, itu ada PP-nya, peraturan pemerintah. Penyusunannya sudah, harmonisasi sudah, lagi dibutuhkan paraf. Saat ini, menunggu paraf Menteri Luar Negeri, kemudian Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, baru ditandatangani Presiden. Mudah-mudahan bulan ini selesai, jadi hanya proses administrasi,” kata Dirjen Imigrasi menjawab pertanyaan ANTARA selepas membuka Imigrasi Festival (IMIFest) 2023 di Denpasar, Bali, Senin.Golden Visa merupakan strategi terbaru dari Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM untuk menggaet para investor asing ke Indonesia. Para pemegang Golden Visa nantinya dapat menetap di Indonesia selama 5 tahun atau 10 tahun.“Golden Visa di sini memberikan keleluasaan kepada pemohon untuk bisa mendapatkan visa multiple (years) 5–10 tahun. Bahkan, mereka bisa melakukan aktivitas untuk berusaha ataupun kegiatan lain yang kira-kira menguntungkan untuk kita (Indonesia, red.),” kata Silmy Karim dalam sambutannya saat membuka Imigrasi Festival 2023 di Denpasar.Dia menjelaskan layanan Golden Visa itu nantinya menguntungkan Indonesia karena pemegang visa tersebut merupakan para investor yang menanamkan modalnya secara riil di Indonesia.“Untuk mendapatkan Golden Visa, mereka harus investasi riil. Bukan di atas kertas, bukan hanya sekadar akta notaris, tetapi kita akan pantau jumlahnya dan aktivitasnya,” kata Silmy Karim.Dia memastikan Imigrasi bakal selektif dalam memberikan Golden Visa untuk para warga negara asing (WNA).“Kami berikan secara selektif. Saya ambil contoh untuk perusahaan itu investasinya minimum adalah sampai 50 juta dolar AS baru bisa mendapatkan Golden Visa, dan ini adalah investasi yang riil,” katanya.Sementara itu, untuk perorangan, pemohon Golden Visa diwajibkan menyetor kurang lebih 350.000 dolar AS.“Itu ditempatkan di perbankan nasional atau diberikan ke obligasi pemerintah,” kata dia.Dia menambahkan Golden Visa tidak hanya bertujuan menggaet lebih banyak investor asing, tetapi untuk meningkatkan jumlah pelintas asing yang berkualitas.“Banyak negara sukses dengan menerbitkan Golden Visa, seperti UAE (Uni Emirat Arab), Singapura, kemudian beberapa negara Eropa, Amerika sehingga Indonesia perlu melakukan kebijakan tersebut,” paparnya.(ida/ANTARA)

Jatah Keluarga Sang Ketua Relawan

Oleh Soeharsono - Mantan Projo  SIAPA tidak kenal Budi Arie Setiadi, Ketua Umum Projo, Relawan Jokowi yang akhir akhir ini sering diperbincangkan terkait dugaan aliran Rp 40 Milyar untuk mendukung capres selain Ganjar. FYI saja, sebenarnya Projo sudah terpecah berkali-kali dan semua itu tidak lain akibat kekecewaan  struktur Projo kepada Budi Arie. Sumber kekecewaan itu antara lain tidak adanya keterbukaan anggaran, donatur, dan penempatan relawan Projo di BUMN. Banyak struktural Projo merasa kecewa karena sumber dan pengelolaan anggaran yang tidak transparan. Kekecewaan tersebut memuncak ketika Budi Arie lebih mendahulukan dua adik kandungnya menduduki posisi penting di BUMN kelas satu di antaranya sebagai Komisaris di BTN dan Telkom. Posisi Komisaris di BTN dan Telkom bukan saja bergengsi tetapi take home pay di atas Rp 100 juta perbulan dengan sekian banyak fasilitas termasuk asuransi lengkap dan kelas VVIP dan tantiem atau bonus tahunan yang bisa mencapai milyaran Rupiah tiap tahun. Joke di kalangan relawan Projo mengatakan bahwa \"bisnis jabatan relawan\" Budi Arie Family total pertahun bisa dapatkan tidak kurang dari Rp 25 Milyar hanya dari gaji, fasilitas dan tantiem dua BUMN, sementara biaya kampanye Presiden Jokowi bukan dari kantong Budi Arie tapi dari donatur dan sumbangan suka rela relawan Projo. Kekecewaan tersebut tentu sangat berdasar apalagi karena struktural Projo menganggap bahwa kedua adik kandung Budi Arie tidak berkontribusi dan berkorban dalam pemenangan Presiden Jokowi baik di 2014 maupun 2019. Struktural Projo yang merasa kecewa melihat bahwa Budi Arie lebih mementingkan keluarga nya sendiri di bandingkan struktural  dan relawan Projo yang berkorban habis habisan untuk memenangkan Presiden Jokowi. Ambisi harta dan tahta Budi Arie tentu sudah menjadi rahasia umum terlebih ketika di tahun 2019 Budi Arie sempat mengancam akan membubarkan Projo karena Presiden Jokowi mengangkat Prabowo menjadi Menhan. Entah Presiden Jokowi takut atau ada sebab lain, tapi tidak lama setelah ancaman pembubaran itu Presiden Jokowi mengangkat Budi Arie menjadi Wamendes. Ambisi Harta dan Tahta ternyata tidak hanya menjadi milik politisi tapi ketua relawan juga bisa lebih buas pada harta dan tahta di bandingkan politisi. Akibat dari buas nya satu ketua Relawan beimbas pada rusaknya nama dan nilai perjuangan para relawan yang lain, ibarat pepatah \"Nila setetes, rusak susu sebelanga\" atau \"Tamaknya satu ketua relawan, rusak citra Relawan se-Indonesia\" (*)

Dukung TNI, Copot Baliho Ganjar

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  SIKAP sok kuasa pendukung Ganjar perlu mendapat pelajaran. Seenaknya memasang baliho yang bernuansa kampanye di lokasi instansi militer. Merasa bahwa Ganjar didukung PDIP jadi semaunya memasang baliho. Sikap Dandim 1013/MTW yang mencopot baliho itu menurut Kapuspen TNI Laksda Julius Widjojono adalah dalam rangka menjaga netralitas TNI.  Upaya menjaga netralitas sudah sangat tepat sebab betapa bahaya negara jika TNI, dan juga Polri, terlibat dalam kegiatan politik praktis. Apalagi ikut dalam dukung mendukung salah satu Calon Presiden. TNI harus menjaga jarak yang sama dengan semua kandidat dan semua partai politik. Menurut UU No 34 tahun 2004 Pasal 2 butir d ditegaskan bahwa sebagai tentara profesional TNI \"tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis\". Sikap tepat Dandim Muara Teweh Barito Utara yang dibela Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menjadi contoh bagi daerah lainnya. Kita teringat sikap Pangdam III Siliwangi Mayjen Kunto Arief Wibowo yang mewanti-wanti  pentingnya politik beretika. Memasang baliho Ganjar di lokasi Makodim adalah berpolitik tidak beretika. Cermin dari mendudukan politik sebagai panglima. Bukan hukum dan etika.  Yang menggelikan adalah ocehan Guntur Romli yang memprotes pencabutan baliho, gelinya karena katanya dengan pencabutan baliho Ganjar justru TNI tidak netral. Argumen terbalik-balik. Teriak lantang bahwa yang berhak mencabut baliho adalah Satpol PP. Ngerti tidak ya bahwa baliho itu dipasang di lahan Makodim bukan di area umum. Jadi Kodim berhak untuk mencabut.  Berbeda dengan kasus cawe-cawe Pangdam Jaya dulu yaitu Mayjen TNI Dudung Abdurrahman yang mencabut baliho Habib Rizieq Shihab yang terpasang di Petamburan, itu area Kantor FPI. Memang semestinya Satpol PP yang berhak mencabut, bukan Dudung. Hebatnya sang \"Satpol\" itu ternyata naik pangkat terus hingga menjadi Jenderal.  Nah, mas Guntur Romli seharusnya dulu teriak sekencengnya kepada Bapak Dudung, bukan sekarang dimana tindakan TNI yang mencabut baliho Ganjar Pranowo sudah sangat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ganjar bukan tokoh yang berhak mendapat perlakuan istimewa. Dia Gubernur yang sudah merasa jadi Presiden. Mimpi.  PDIP sendiri tidak mesti menekan TNI untuk pemasangan baliho Ganjar. Sebaliknya harus menyadari akan kesalahannya. Kekuasaan tidak boleh disalahgunakan.  PDIP punya catatan hitam teranyar dengan menggiring BRIN yang Ketua Dewan Pengarahnya adalah Megawati Ketum PDIP. Melakukan \"penelitian\" untuk menyukseskan Ganjar dalam kaitan dengan kaum milenial. Penuh puja-puji untuk Ganjar Pranowo. Dari sisi etika maka penggunaan badan penelitian negara untuk kepentingan politik seperti ini dapat dikualifikasi sebagai perbuatan yang tidak bermoral.  Kembali ke baliho, sikap Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang pasang badan untuk membela anak buahnya patut untuk mendapat acungan jempol. Berbeda dengan Panglima TNI terdahulu Jenderal Andika yang menyudutkan anak buah soal persyaratan keturunan PKI. Jenderal Andika malah membela keturunan PKI untuk dapat menjadi prajurit TNI. Sejarah kelam penghianatan PKI terhadap ideologi Pancasila diabaikan. PKI dianggap teman yang harus dikasihani dan disayangi.  Kini Jenderal TNI (Purn) Andika Perkasa bertugas untuk menjadi Tim Sukses Capres PDIP Ganjar Pranowo. Bahkan ia menyatakan siap untuk menjabat sebagai Ketua Tim Sukses.  Kisah TNI memang menarik. Dulu tahun 1965 TNI (ABRI) menjadi korban dari kejahatan PKI akan tetapi saat ini dengan Keppres No 17 tahun 2022 dan Inpres No 2 tahun 2023 serta Keppres No 4 tahun 2023 TNI yang justru disalahkan sebagai pelanggar HAM berat terhadap aktivis dan keluarga PKI.  Sungguh ironi rezim Jokowi. Adakah rezim ini memang PKI?  Bandung, 18 Juli 2023.

Doa Anies

Oleh Eep Saefulloh Fatah - Warga Negara Indonesia, tinggal di Tangerang Selatan, Banten Ia beranjak dari kursi. Melangkah menuju podium. Lewat layar televisi saya lihat sosoknya bergerak. Merayap di kepala saya kecemasan.  Saya khawatir ia terjebak menjadikan podium itu sebagai tempat melemparkan banyak kritik keras pada keadaan yang tak bersahabat. Saya khawatir, ia terpanggang dan terpancing massa berjumlah besar dan makin melantangkan kritiknya untuk banyak lubang besar yang (bakal) ditinggalkan pemerintahan Presiden Jokowi. Siapa saya hingga menyimpan cemas? Saya kawannya. Tak lebih dan tak kurang. Berbagi kecemasan antar-kawan adalah soal lumrah saja. Siapa dia dan bergerak ke podium apa? Ini cerita tentang Anies Baswedan dan podium di acara Apel Siaga Perubahan Partai NasDem di Gelora Bung Karno, Minggu sore, 16 Juli 2023. Saya mengenal Anies sebagai komunikator publik yang cakap. Salah satu yang tercakap. Tapi beberapa kali, belakangan ini, saya lihat Anies menghabiskan energi berlebihan untuk melontarkan banyak kritik terbuka untuk pemerintahan saat ini. Mengeritik pemerintah baik-baik saja. Bahkan perlu. Tapi, secara instingtif saya merasa, jauh lebih baik bagi Anies untuk fokus pada apa yang hendak ia kerjakan. Secara instingtif saya merasa peluangnya untuk memenangi Pilpres 2024 lebih terbuka dengan fokus memaknai “continuity and change” yang ia pidatokan saat menerima penunjukan Partai NasDem sebagai Calon Presiden, 3 Oktober 2022 lalu. Yang saya maksudkan fokus, bukanlah bicara soal kesinambungan dan perubahan itu pada tataran gagasan-gagasan besar. Yang saya maksudkan memaknai itu adalah menegaskan komitmen-komitmen kerjanya yang konkret untuk warga, untuk rakyat, dalam kerangka kesinambungan dan perubahan. Anies harus fokus pada yang ia tawarkan; bukan pada yang Presiden Jokowi abaikan. Anies boleh memberi pengantar berupa gagasan-gagasan besar, tapi daging utama komunikasinya harus berupa tawaran-tawaran konkret, jalan keluar bersahaja dari masalah-masalah warga sehari-hari. Dengan begitu, ia bergerak ke tengah. Bagi Anies, kanan itu “hanya” titik berangkat; bukan arena utama bermain. Arena utamanya ada di tengah. Sukses Anies di 2024 — dengan asumsi bahwa ia berhasil lolos menjadi kandidat resmi di akhir November kelak — ditentukan seberapa berhasil ia menggarap dan menggalang para pemilih di tengah. Dalam konteks itu, sibuk mengeritik pemerintahan Presiden Jokowi hanya menimbulkan dua masalah: Jalan di tempat di sisi Kanan (melayani hanya sekitar 30% persen atau kurang calon pemilih yang memang anti-Jokowi) dan tak membangun percakapan sehat untuk Pemilu 2024 (hanya menenggelamkan diri dalam hiruk pikuk debat warganet yang terpancing kritik-kritiknya). Karena itu sebagai kawannya saya cemas. Cemas bahwa Anies salah memanfaatkan panggung besar yang disediakan Surya Paloh dan Partai NasDem. Tapi kecemasan saya bertepuk sebelah tangan. Kekhawatiran saya tak terbukti. Alih-alih memaki, Anies berdoa. Sebuah pilihan yang menurut saya, matang, cerdas dan sehat. Berdoa adalah menghadapkan hamba tak berdaya dengan Tuhan Sang Maha Digdaya. Berdoa mewakili dua lapis fenomena sekaligus: Horizontal saat Sang Hamba menyapu lingkungan sekitarnya untuk menemukan bahan bagi doa-doanya, dan vertikal-transendental ketika Sang Hamba bersimpuh memohon pada Sang Maha Kuasa lagi Bijaksana. Sang Aziz dan Hakim. Maka format doa adalah sebuah pilihan cerdas Anies sore itu. Dengan berdoa ia tak menempatkan dirinya berhadapan dengan Presiden Jokowi dan barisan di belakangnya. Ia menengadah ke Atas, ke tempat jauh di atas singasana kekuasaan Presiden dan siapapun. Maka semua yang dilontarkannya — tentang semua keadaan yang tak bersahabat, tentang masalah-masalah sehari-hari yang dihadapi nyaris semua orang saat ini, tentang lubang-lubang besar yang (bakal) ditinggalkan pemerintahan saat ini — berhamburan ke udara. Semuanya tak memercik ke wajah Presiden dan siapapun yang sedang pasang kuda-kuda bertahan vis a vis kritisisme publik hari-hari ini. Doa yang dibacakan adalah percakapan privat Hamba dan Tuhannya yang di-publik-kan. Dan bagian pengunci dari doa itu adalah beberapa penggal kata Anies di ujung pidatonya. Ketika kurang lebih ia mengatakan: Hai masalah! Silakan kau ada di sana. Kami punya Tuhan yang bisa memberi kami kekuatan untuk mengatasimu! Berdoa juga pilihan yang cerdas dan dingin. Lewat doa setiap hamba bisa mengadu. Tentang apa saja. Tentang masalah seberat dan sesensitif apapun. Berdoa adalah pengakuan ketiadaan kekuasaan di hadapan Sang Pemilik Langit dan Bumi beserta segenap isinya. Walhasil, ketika Anies menyebutkan berbagai masalah yang dihadapi rakyat — ketika ia menegaskan perkelahian banyak warga melawan keburukan-keburukan yang masih mengungkung hidupnya — siapapun tak berhak merasa disindir atau dinyinyiri. Dengan doa, pengakuan atas banyak masalah itu tak terjebak menjadi peluru-peluru yang ditembakkan ke kompetitor politik. Doa membuatnya menjadi presentasi yang representatif — sebab ia mewakili suara-suara mereka yang mengamini. Doa juga pilihan yang sehat. Melalui rangkaian kata demi kata yang disusun Anies dalam doanya, diam-diam ia sedang menguraikan daftar komitmen-komitmen kerja yang ia tawarkan buat Indonesia hari ini dan esok. Doa menjadi semacam — meminjam istilah baku Komisi Pemilihan Umum — “Visi-Misi-Program Kerja” yang disampaikan secara sangat personal, persuasif dan bersahabat. Pendeknya, saya lega Anies tak menjadikan podiumnya untuk berteriak ke hadapan wajah kekuasaan. Saya lega, alih-alih, Anies melantunkan permohonan yang ia pantulkan ke Atas, ke Sang Maha Kuasa. Hal lain yang saya saksikan sore itu adalah optimisme yang ditebar Anies. Optimisme bahwa ujian, tantangan, tekanan atau apapun akan bisa dilewati oleh mereka yang percaya pada kekuatannya, berbaik sangka pada pertolongan Tuhannya, dan tak pernah berhenti berikhtiar. Hari-hari ini kita perlu tebaran optimisme itu dari siapapun — dari Anies, dari Ganjar Pranowo, dari Prabowo Subianto, dan dari siapa saja termasuk Anda yang sedang menuntaskan membaca ini. (Bintaro, 17 Juli 2023)

Anis Matta Ungkap Ada Empat Perspektif Upaya Saling Bongkar Kasus Jelang Pilpres 2024

JAKARTA, FNN  - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta mengatakan, akan ada fenomena saling bongkar kasus atau \'dirty job\' menjelang kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Fenomena bongkar kasus tersebut, akan mendominasi pemberitaan politik di semua media selama 6 bulan ke depan hingga Pilpres digelar pada 14 Februari 2024. \"Nanti akan kita lihat dalam sisa waktu 6 bulan ke depan sampai Pilpres, akan ada fenomena bongkas kasus yang terjadi terus menerus. Ini akan mendominasi semua berita politik, itu indikatornya sangat kuat,\" kata Anis Matta dalam keterangannya di Jakarta, Senin (17/7/2023). Pernyataan itu disampaikan Anis Matta dalam program \'Anis Matta Menjawab\' Episode #5 dengan tema \'Mengapa Saling Bongkar Kasus Jelang Pilpres 2024\' yang tayang di kanal YouTube Gelora TV, Senin (17/7/2023). Program \'Anis Matta Menjawab\' ini dipandu oleh Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Komunikasi Organisasi DPN Partai Gelora Dedi Miing Gumelar yang bertindak sebagai host. Menurut Anis Matta, fenomena bongkar kasus jelang Pilpres 2024, karena bakal calon presiden (Bacapres) yang akan mengikuti kontestasi mengalami krisis ideologi, krisis narasi dan krisis kepemimpinan. \"Jadi kira-kira saya punya empat perspektif untuk membaca, mengapa ada fenomena saling bongkar kasus sekarang jelang Pilpres. Pertama itu, ada efek dosa, kedua ada konflik elite, ketiga sedang krisis narasi dan keempat teori Tumit Achilles,\" ujar Anis Matta. Perspektif efek dosa, kata Anis Matta, sebenarnya tidak terkait dengan proses politik atau Pilpres 2024. Sebab, Islam mengajarkan, bahwa seseorang yang melakukan dosa membuat cahaya dalam hatinya menjadi meredup, hatinya gelap dan mengeras, serta menjadi orang yang kasar, kesepian dan ketakutan. \"Sekarang coba bayangan kalau dosa itu dilakukan berjamaah. Ada satu titik dosa itu, tidak bisa ditutupi dan auratnya akan terbuka. Dan waktu Allah SWT ingin menghinakan seseorang, tidak ada yang bisa menghidarkan. Jadi kita lepaskan dulu dari proses politik, bahwa orang yang melakukan dosa pasti akan dihinakan, cepat atau lambat,\" katanya. Anis Matta lantas mengibaratkan hal itu dengan jenazah yang ingin ditutupi dengan kain kafan, ternyata tidak cukup atau tidak bisa ditutupi dengan kain kafan tersebut, karena telah dihinakan Allah SWT, akibat efek perbuatan dosa yang telah dilakukannya. \"Dalam konteks politik, itu maksudnya satu dosa yang ditutupi dengan perlindungan politik atau hukum itu, ada limit waktunya atau limit dosanya terakumulasi, pasti akan terbuka,\" katanya. Di dalam politik, lanjut Anis Matta, harusnya membawa kesadaran bahwa seseorang itu hendaknya takut kepada Allah SWT untuk melakukan perbuatan dosa, bukan takut dikejar aparat penegak hukum. \"Jadi kalau kita bicara soal efek dosa ini, dosa yang bukan diada-adakan, tapi dosanya sudah ada, tapi  dikapitalisasikan secara politik. Kalau takut dikejar hukum, ya jangan melakukan dosa dan kita harus lebih banyak takut kepada Allah SWT,\" katanya.   Anis Matta menambahkan, ada satu ulama yang menyatakan, bahwa para pendosa yang melakukan perbuatan dosa, hatinya akan dibutakan. Mereka dikategorikan dalam keadaan \'mabuk\', dan jika dibiarkan akan membuat kehancuran dan kebinasaan. \"Dan ada satu titik, nanti akan diwariskan satu kehinaan oleh Allah SWT.  Jadi apakah nanti ada proses politik atau tidak, ada pemilu atau ada pilpres atau tidak, siapa yang melakukan dosa akan dihinakan suatu saat nanti,\" katanya. Sedangkan perspektif terjadinya konflik antar elite ini, lanjut Anis Matta, biasanya terjadi karena tidak adanya kesepakatan antar elite, sehingga membuat mereka saling bertengkar dan membuka rahasia atau membongkar kasus masing-masing. \"Konflik antar elite ini, bukan konflik dengan rakyat seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu, yang menyebabkan konflik horizontal dan polarisasi ideologi, serta menyebabkan pembelahan, makanya banyak orang yang dipersekusi dan dikriminalisasi. Kalau ini, orangnya tidak saling berhadap-hadapan, jumlahnya tidak besar dan konfliknya senyap. Tapi tahu-tahu si fulan ditangkap, si fulan di penjara,\" ungkap Anis Matta. Ketua Umum Partai Gelora ini berpandangan, bahwa upaya saling bongkar kasus yang terjadi di Pilpres 2024, mirip dengan yang terjadi pada Pemilu 2014 lalu, dimana ketika tu muncul kasus skandal Bank Century dan beberapa kasus besar lainnya.  \"Jadi orang saling bongkar kasus ini sebagai instrumennya untuk melakukan pembunuhan karakter atau menghancurkan sumber daya lawan melalui kasus-kasus,\" katanya. Dalam konflik antar elite ini, menurut Anis Matta, tidak diketahui siapa pelaku sebenarnya, sehingga akan menjadi sekedar gosip belaka.  \"Kalau ada konflik di tingkat elite seperti itu, rakyat tidak tahu. Yang tahu elite-elite itu, sebab mereka saling pegang rahasia masing-masing,\"  katanya. Sementara perspektif ketiga yang mengindikasikan saling bongkar kasus jelang Pilpres 2024, adalah indikator terjadinya krisis narasi atau ideologi.  \"Kalau kita tidak punya senjata ideologi, ya pakai senjata lain, namanya dosa. Karena itu, dalam Pemilu 2024 nanti kita tidak bisa membayangkan akan ada satu pesta demokrasi yang cantik, yang estetika dan kelihatan keindahannya. Tidak akan ada orang yang saling menyampaikan ide-ide atau narasinya dalam perdebatan,\" papar Anis Matta. Fenomena ini, tentu saja sangat menyedihkan, karena kita sedang berada di tengah situasi krisis dunia dan diambang Perang Dunia III antar kekuatan adidaya. Padahal situasi sekarang telah memaksa setiap negara untuk mencari peta jalan agar bisa bertahan, bahkan bisa melakukan lompatan besar yang akan mengubah tantangan menjadi peluang. \"Semua orang bingung menghadapi situasi seperti ini, karena itu tidak ada pemimpin yang hadir dengan tingkat keyakinan yang kuat. Semua orang gamang, karena orang gamang seperti itu biasanya menghindari perdebatan,\" katanya. Sehingga untuk memenangkan situasi sekarang ini, pilihan senjatanya daripada menggunakan ideologi akan lebih baik memillih dosa (dirty job).  Sebab, calon pemimpin itu tidak ada succes story yang bisa diceritakan, dan juga tidak punya mimpi besar yang bisa menyakinkan orang.  Terakhir, perspektif teori \'Tumit Achilles\' juga akan digunakan sebagai upaya untuk saling bongkar kasus jelang Pilpres 2024. Teori \'Tumit Achilles\' ini maksudnya adalah mencari titik kelemahan lawan agar menang Pilpres. \"Achiles itu tidak dibunuh dalam duel, dibunuhnya karena tumitnya dipanah, karena itulah titik lemahnya. Anda  tidak bisa membunuh dalam duel, yang dicari itu titik lemahnya. Makanya dia memenangi peperangan, tapi dia mati. Matinya tumitnya dipanah,\" jelas Anis Matta. Jika melihat hasil survei yang dilakukan lembaga survei saat ini, ditemukan fakta bahwa ada emosi dalam setiap proses pemilihan, selain ada harapan. \"Emosi itu ada perasaan takut dan marah. Nah, dari survei-survei politik itu, bahwa di masyarakat itu, memang ketakukan lebih besar daripada harapan. Jadi maksudnya  lebih gampang menggunakan efek ketakutan daripada efek harapan,\" paparanya. Efek ketakutan ini, juga digunakan dalam Pilpres di Amerika Serikat (AS). Anis Matta mengatakan, terpilihnya Donald Trump dan Joe Biden sebagai Presiden AS karena menggunakan ketakutan orang dengan pendekatan teori \'Tumit Archiles\'. \"Donald Trump menang itu, menggunakan ketakukan orang, terutama ketakutan kulit putih yang semakin menyusut dan ekonominya semakin marjinal, menjadi kelompok kelas menengah. Biden juga melakukan hal serupa, makanya Donald Trump terus menerus ditimpa kasus. Hal-hal begini tidak pernah terjadi sebelumnya, makanya Pilpres AS sekarang dikenal brutal dan kacau, karena bukan narasi harapan yang ditawarkan seperti Obama (Barack Obama), tapi ketakutan orang,\" tegasnya. Menurutnya, apa yang terjadi di Pilpres AS beberapa waktu lalu, juga akan terjadi di Pilpres 2024 mendatang. Dimana setiap orang akan lebih mencari titik kelemahan lawan, daripada melihat kekuatan narasi yang ditawarkannya. \"Anda tidak akan melihat kesatria atau jagoan Anda berduel dipanggung tinju atau MMA. Yang efektif di sini justru para sniper yang tengah mencari dimana Tumit Achiles itu ada, letak kelemahan lawan. Orang tidak memunculkan kekuatannya, tetapi orang memburu kelemahan lawan,\" pungkas Anis Matta. (ida)

Said Aqil Menilai Al Zaytun Bisa Melahirkan Gerakan Radikal

Jakarta, FNN - Ketua Umum Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) Said Aqil Siradj menilai Pondok Pesantren Al Zaytun dapat melahirkan gerakan yang radikal, ekstrem, dan intoleran.\"Al Zaytun harus ditelisik sebagai komunitas dan ekosistem tertutup dan eksklusif yang memiliki tata cara hidup dan kehidupan yang terpisah dengan masyarakat pada umumnya,\" ucap Said Aqil dalam keterangannya di Jakarta, Senin.Sehingga, tuturnya, bukan tidak mungkin dengan ketertutupan melahirkan banyak kamuflase, dan eksklusivitas menggerakkan tata nilai yang radikal, ekstrem, dan intoleran.\"Yang pada saatnya bukan tidak mungkin menjadi embrio gerakan anti-NKRI, apalagi bila dilihat dari background dan behaviour pimpinan pesantren yang memiliki latar belakang NII (Negara Islam Indonesia) dan beberapa fakta gerakan, jejaring, dan alumninya,\" ucapnya.Menurutnya, fenomena Al Zaytun harusnya tidak saja dilihat sebagai lembaga pendidikan murni pada umumnya, tetapi harus dilihat secara mendalam.Bahwa proses indoktrinasinya, tutur Said, patut dicurigai sebagai fenomena proses ideologisasi, kaderisasi, dan gerakan anti-Pancasila dan/atau anti-NKRI.\"Jangan terkecoh oleh bungkus rapi pembelajaran berbasis pendidikan formal dengan kurikulum terstandar pemerintah dan pembelajaran agama yang ditanamkan karena bukan tidak mungkin itu hanya sebagai kamuflase belaka,\" ucapnya.Pernyataan tersebut berdasarkan pada banyaknya kesaksian tentang adanya \"sekolah dalam sekolah\", \"kaderisasi dalam kaderisasi\", bahkan layak dicurigai bahwa ekosistem, tata laksana, dan organ gerakan yang mereka ciptakan mengarah pada pembentukan \"negara dalam negara\".\"Negara tidak boleh kalah dengan sindikasi Al Zaytun,\" tambah Said Aqil menegaskan.Dia mendesak pemerintah untuk bertindak tegas melakukan penyelidikan komprehensif dan melakukan penyidikan atas kasus yang ada, serta membuka fenomena ini seterang-terangnya kepada masyarakat.\"Negara harus segera mengambil alih Al Zyatun, membenahi dan me-reinstall sistem pendidikan Al Zaytun agar tidak bertentangan dengan cita-cita NKRI dan menjaga secara ketat agar tidak menjadi tempat bersemainya benih-benih Negara Islam Indonesia (NII),\" ucap Said Aqil.(sof/ANTARA)

Polri Mengajak Peran Aktif Masyarakat Menindak Premanisme

Jakarta, FNN - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengajak peran serta masyarakat dalam memberantas premanisme, menciptakan kondisi lingkungan aman dan kondusif.\"Sinergitas antara polisi, masyarakat dan stakeholder (pemangku kepentingan) terkait sangat dibutuhkan untuk menjaga keamanan lingkungan sehingga tercipta kondisi sesuai yang diharapkan,\" kata Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabgpenum) DivHumas Polri Kombes Pol. Nurul Azizah di Jakarta, Senin.Nurul menyebutkan, Polri senantiasa melaksanakan kegiatan kepolisian dalam rangka menertibkan premanisme sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Polri.Penertiban premanisme tersebut tertuang dalam tugas pokok Polri yang termaktub dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002.\"Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 yaitu memelihara keamanan, ketertiban masyarakat, penegakan hukum, melindungi dan mengayomi masyarakat,\" tutur Nurul.Tugas pokok Polri dalam Pasal 13 dijabarkan lagi dalam Pasal 14, di antaranya melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.Meski begitu, sinergitas antara polisi dan masyarakat serta pemangku kepentingan terkait diperlukan dalam menjaga keamanan lingkungan di masyarakat.\"Terkait premanisme, apabila ada masyarakat yang dirugikan atau diintimidasi oleh orang atau kelompok tertentu silakan melapor ke kantor polisi terdekat atau melalui Bhabinkabtimas,\" ujar Nurul.Sejumlah kepolisian daerah secara masif menindak premanisme, seperti di Poltabes Medan membentuk satgas penanganan premanisme dan begal, begitu pula dengan Polres Barito Selatan.(ida/ANTARA)