ALL CATEGORY

Polri Menerbitkan Aturan Optimalisasi ETLE dan Larangan Razia

Jakarta, FNN - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terbitkan aturan baru terkait optimalisasi penindakan pelanggaran lalu lintas menggunakan Electronic Traffic Low Enforcement (ETLE) dan larangan melaksanakan penindakan secara stasioner atau razia.Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Sandi Nugroho dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, mengatakan aturan tersebut tertuang dalam Surat Telegram bernomor: ST/1044/V/HUK.6.2/2023 tertanggal 16 Mei 2023 yang ditandatangani oleh Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol. Firman Shantyabudi ditujukan kepada para jajaran polisi lalu lintas (Polantas).“Para Dirlantas untuk memerintahkan jajaran agar tidak melakukan penindakan pelanggaran lalu lintas secara stasioner atau razia,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Sandi Nugroho di Jakarta, Jumat.Jenderal bintang dua itu menjelaskan aturan tersebut memerintahkan Polantas untuk mengoptimalkan penindakan pelanggaran lalu lintas secara humanis dengan pemanfaatan ETLE di wilayah masing-masing.Dalam aturan tersebut juga disampaikan larangan untuk melaksanakan penindakan pelanggaran lalu lintas secara stasioner atau razia.Kemudian, jajaran Dirlantas juga diminta meningkatkan sinergi dan kolaborasi dengan pemerintah daerah serta pemangku kepentingan terkait untuk pengadaan sistem perangkat ETLE di wilayah masing-masing.Aturan tersebut juga menjelaskan bentuk pelanggaran yang belum tercakup dalam sistem penindakan ETLE dan pelanggaran lalu lintas yang berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas dengan fatalitas tinggi, seperti berkendaraan di bawah umur, berboncengan lebih dari dua orang, dan menggunakan ponsel saat berkendaraan.Selanjutnya, menerobos lampu merah (traffic light), tidak menggunakan helm, melawan arus, melebihi batas kecepatan, berkendara di bawah pengaruh alkohol, kelengkapan kendaraan tidak sesuai standar dan menggunakan pelat nomor palsu, serta kendaraan overload dan over dimensi, dilakukan penindakan oleh tim khusus yang sudah memiliki surat perintah dan bersertifikat petugas penindakan pelanggaran lalu lintas.\"Aturan ini dikeluarkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang optimal dan meminimalisir pelanggaran yang dilakukan anggota saat di lapangan,\" kata Sandi.Sandi pun menegaskan jika dalam praktik penindakan lalu lintas ada anggota di lapangan melakukan pelanggaran dan penyimpangan, akan diberikan sanksi tegas mulai dari sanksi disiplin, sanksi kode etik hingga pidana.\"Para jajaran Dirlantas juga diminta menyosialisasikan tentang cara penyelesaian tilang elektronik atau ETLE yang mempermudah masyarakat,\" ujar Sandi.(ida/ANTARA)

Menghadapi Ekstremisme, Indonesia-Australia Membangun Ketahanan Masyarakat

Jakarta, FNN - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI memanfaatkan momentum Keketuaan ASEAN yang disandang Indonesia untuk bekerja sama dengan Pemerintah Australia dalam membangun ketahanan masyarakat menghadapi ekstremisme berbasis kekerasan.\"Peran BNPT RI sebagai \'voluntary lead shepherds\' penanggulangan terorisme di ASEAN, kita bekerja sama dengan Pemerintah Australia sebagai salah satu mitra bicara ASEAN,\" ujar Deputi Kerja Sama Internasional Andhika Chrisnayudhanto dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.Andhika mengatakan BNPT RI bersama Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia mencermati bagaimana membangun sebuah ketahanan masyarakat dalam menghadapi ekstremisme berbasis kekerasan.\"Pertukaran praktik membangun ketahanan masyarakat dalam penanggulangan radikalisasi dan ekstremisme berbasis kekerasan,\" katanya.Melalui pertemuan ini, Andhika berharap bisa menjelaskan bagaimana BNPT RI berfokus kepada aspek pencegahan yang membutuhkan partisipasi masyarakat membangun kesiapsiagaan secara nasional.\"Tentunya salah satu peran BNPT RI adalah dalam pencegahan, di mana pencegahan itu salah satu fokus utamanya ada pada kesiapsiagaan nasional, jika dijabarkan kesiapsiagaan nasional itu adalah pemberdayaan masyarakat,\" ujar Andhika.Menurut Andhika, pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu aspek dari membangun ketahanan masyarakat.Hal senada disampaikan Deputy Head of Mission  Australia Mission to ASEAN Caroline Scott bahwa ketahanan masyarakat dalam upaya pencegahan menjadi salah satu faktor penting menangkal paham radikal dan ekstremisme berbasis kekerasan.\"Seperti kita ketahui, ketahanan masyarakat sangat penting untuk mencegah dan melawan. Pencegahan strategis ekstremisme kekerasan dari ketahanan kita, seperti program mempromosikan kohesi sosial, mengidentifikasi, dan mendukung ketahanan generasi muda, menawarkan narasi alternatif, dan menyesuaikan beberapa elemen dalam membangun ketahanan masyarakat dalam penanggulangan terorisme,\" kata Carolina.Pertemuan ini merupakan pertemuan tahunan yang bertujuan membahas perkembangan isu terorisme dan ekstremisme berbasis kekerasan.Melalui kegiatan ini, setiap negara dapat saling bertukar pandangan, pengalaman dan program penanggulangan yang akan ditetapkan guna meningkatkan upaya bersama dalam menghadapi tantangan tersebut di kawasan masing-masing.Selain itu, dialog tentang penanggulangan terorisme berbasis kekerasan dan penerapan langkah-langkah yang akan diambil pada masa depan sebagai upaya dalam rencana aksi guna mengimplementasikan kemitraan Strategis ASEAN-Australia 2020-2024.Sebagai informasi, kegiatan ini merupakan wujud komitmen kerja sama antara ASEAN dengan Australia di bidang penanggulangan terorisme yang telah terjalin sejak Deklarasi Bersama ASEAN-Australia dalam Kerja sama Penanggulangan Terorisme Internasional  2004.kegiatan ini dihadiri delegasi Australia, Malaysia, Filipina, Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Timor Leste.(ida/ANTARA)

KPU dan Tokoh Agama Mengupayakan Agar Pemilu Tidak Mengganggu Karmoni Antarumat

Jakarta, FNN - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan sejumlah tokoh agama dari majelis-majelis tinggi agama menyepakati kerja sama mengupayakan agar penyelenggaraan Pemilu 2024 tidak mengganggu harmoni atau kerukunan antarumat di Tanah Air. \"Ini sebuah tradisi baru yang akan kami lakukan, kerja sama majelis tinggi agama dengan KPU. Saya kira, ini belum pernah dilakukan sebelumnya bagaimana supaya emosi keagamaan tidak dilibatkan terlalu jauh untuk memperjuangkan suatu kepentingan jangka pendek. Maksudnya, bagaimana supaya pesta demokrasi itu tidak mengganggu harmoni antarumat beragama,\" kata Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar kepada wartawan di Kantor KPU RI, Jakarta, Jumat.  Kesepakatan itu, kata Nasaruddin, merupakan garis besar hasil pertemuan kedua belah pihak dalam audiensi yang dilakukan oleh beberapa pimpinan majelis-majelis tinggi agama di Indonesia terhadap KPU RI di Kantor KPU RI, Jakarta, Jumat.  Dalam menindaklanjuti kesepakatan kerja sama itu, Nasaruddin mengatakan ke depannya para pimpinan umat beragama akan memberikan arahan kepada anggota majelis-majelis agama di tingkat daerah untuk mengajak masyarakat agar tidak melibatkan emosi keagamaan dalam Pemilu 2024.  \"Jangan sampai nanti, hanya untuk kepentingan sesaat, kita melibatkan emosi keagamaan tidak pada tempatnya,\" kata dia.  Di samping itu, tambah dia, para tokoh agama juga bersedia membantu KPU untuk mengingatkan para peserta pemilu agar tidak memanfaatkan tempat ibadah sebagai sarana dalam berkampanye.  Berikutnya, ia mengajak seluruh pihak mengikuti pesta demokrasi tanpa mencederai persaudaraan antarumat beragama. Dalam kesempatan yang sama, Ketua KPU RI Hasyim Asy\'ari menyampaikan pihaknya merasa terhormat dapat menerima kunjungan dari beberapa perwakilan majelis tinggi agama yang dipimpin oleh Nasaruddin Umar itu.(ida/ANTARA)

Pasca Penembakan KKB di Puncak, Polda Minta TNI-Polri Siaga

Jayapura, FNN - Kapolda Papua Irjen Pol Fakhiri meminta anggota TNI-Polri yang bertugas di Kabupaten Puncak siaga guna mengantisipasi gangguan susulan yang dilakukan KKB pasca penembakan prajurit.​​​​​​​Fakhiri mengatakan KKB pimpinan Numbuk Telenggen, Jumat (19/5) menembak prajurit TNI hingga gugur di kampung Wako, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua Tengah.\"Memang benar ada laporan prajurit TNI tewas ditembak KKB di Kabupaten Puncak, saat kontak tembak dengan KKB,\" katanya di Jayapura, Jumat.Dijelaskan, dari laporan yang diterima terungkap kontak tembak yang menewaskan Praka Jamaluddin terjadi sekitar pukul 12.00 WIT, di kawasan PT MTT, Kampung Wako, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak.Numbuk Telenggen merupakan pimpinan KKB yang senantiasa menganggu di sekitar wilayah Gome.\"Dari laporan yang diterima, jenazah sudah dievakuasi ke RSUD Ilaga,\" kata Fakhiri.Kapolda Papua mengaku, saat ini anggota TNI-Polri bersiaga guna mengantisipasi terjadinya gangguan susulan.(ida/ANTARA)

Baru Dua Pegawai Kemenkeu Tersangka Gratifikasi (TPPU), Kapan 489 Lainnya Menyusul?

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) KEPALA Bea Cukai Makassar, Andhi Pramono akhirnya ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi oleh KPK. Andhi Pramono merupakan pegawai Kemenkeu kedua yang menjadi tersangka KPK tahun ini. Sebelumnya, Rafael Alun Trisambodo sudah menjadi tersangka gratifikasi, bahkan sudah masuk penjara. https://news.detik.com/berita/d-6721325/kpk-tetapkan-eks-kepala-bea-cukai-makassar-andhi-pramono-tersangka-gratifikasi/amp Setelah jadi tersangka, Andhi Pramono hanya dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Bea Cukai Makassar, tetapi, yang bersangkutan tidak diberhentikan sebagai pegawai Kemenkeu. Beda dengan Rafael Alun yang langsung dipecat oleh Sri Mulyani, setelah video penganiayaan David oleh Mario, anak Rafael Alun, terbuka ke publik. Padahal ketika itu Rafael Alun belum jadi tersangka gratifikasi KPK. Menurut PPATK, nama Andhi Pramono, dan juga Rafael Alun, sudah sejak lama masuk dalam daftar PPATK atas dugaan transaksi keuangan mencurigakan yang melibatkan pegawai Kemenkeu, yang totalnya mencapai 491 orang. Oleh karena itu, Kemenkeu seharusnya sudah tahu siapa saja pegawainya yang diduga terlibat dalam pencucian uang, termasuk Andhi Pramono dan Rafael Alun. Tetapi, faktanya tidak ada tindakan apapun dari Kemenkeu kepada pegawainya yang diduga korupsi atau terlibat dalam pencucian uang. Bahkan terkesan, Kemenkeu melindungi pegawainya, dan terjadi pembiaran sehingga dugaan korupsi di lingkungan Kemenkeu ini merajalela, hingga mencapai Rp349 triliun. Oleh karena itu, Kemenkeu tidak bisa dipercaya dapat memberantas dugaan korupsi di lingkungan Kemenkeu. Begitu juga dengan Satgas TPPU yang melibatkan pejabat tinggi Kemenkeu, tidak bisa dipercaya mampu memberantas korupsi dan pencucian uang di lingkungan Kemenkeu. Untuk itu, KPK wajib menindaklanjuti terus dugaan pencucian uang di Kemenkeu, hingga sampai pejabat tertinggi Kemenkeu. Jangan berhenti hanya pada pejabat yang hartanya disorot publik. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230516202136-12-950497/kpk-buka-peluang-usut-petinggi-kemenkeu-di-kasus-rafael-alun/amp Masih ada 489 pegawai Kemenkeu yang diduga terlibat pencucian uang. Semoga KPK bisa segera mengusut tuntas. Bukan hanya lip service alias omong besar saja. (*)

Johnny G. Plate Diborgol, Kenapa Baru Sekarang?

Jakarta, FNN - Penahanan Johnny G. Plate, Menkominfo, beberapa hari lalu membuat situasi politik  menjadi sangat serius. Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh, pun langsung memberikan tanggapan bahwa penahanan Johnny Plate tersebut sangat ironis. Bahkan, Surya Paloh mengatakan terlalu mahal Johnny Plate untuk diborgol, dalam kapasitasnya sebagai menteri dan Sekjen Nasdem. Meskipun demikian, Surya Paloh tetap konsisten mendukung Anies, tak mempan diancam dan ditekan. Hal itu tergambar dalam pernyataan capres Anies Baswedan bahwa tidak ada yang berubah. Pernyataan itu disampaikan Anies usai dirinya merapat ke Nasdem malam harinya.   Menanggapi situasi tersebut, Rocky Gerung mengatakan, “Ini rumitnya, soal politik berkelindan dengan soal etik. Jadi sebetulnya nggak ada soal Johnny Plate ditangkap atau dibui, cuma yang jadi pertanyaan kenapa baru sekarang, ketika Anies dicalonkan oleh Nasdem?” ujar Rocky dalam kanal YouTube Rocky Official edisi Kamis (18/5/23). Dalam diskusi yang dipandu Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu Rocky juga mengatakan bahwa ini memang soal hukum, tetapi ada faktor lain di situ, yaitu pencalonan Anies. Orang juga akan menilai apakah karena Anies mencalonkan diri maka Johnny Plate harus ditangkap? Kalau Anies tidak mencalonkan diri, berarti Johnny Plate tidak ditangkap. Itu pikiran etisnya. Artinya, Jokowi memanfaatkan momentum politik ini untuk menyingkirkan Anies melalui peristiwa Johnny Plate. “Jadi, paling enggak saya menduga bahwa memang direncanakan untuk jadi semacam tawanan politik Jokowi, Surya Paloh ini. Nggak fairnya di situ. Dari dua tahun lalu isu BTS itu sudah ada, kita sudah mendengar. Kenapa nggak dari awal saja tuh?” tanya Rocky. Rocky menduga bahwa hal itulah yang membuat Surya Paloh akhirnya memutuskan untuk melawan saja. Kalau soal Johnny Plate bisa diserahkan saja ke Kejaksaan, tetapi kalau itu akan membatalkan pencalonan Anies tidak boleh. Publik juga mungkin sekarang sedang bertepuk tangan karena postur Surya Paloh sepertinya mau melawan. Kita hanya bisa mengamati itu. Sementara, lanjut Rocky, di tempat yang lain Ganjar juga sebetulnya tidak tahu mau bereaksi apa, karena tetap dianggap bahwa upaya PDIP untuk mengganti menteri-menteri Nasdem termasuk di dalamnya. “Jadi, kelihatannya ini komposisi politik akan berubah. Tetapi, yang kita tunggu sebetulnya, sebelum komposisi itu kita hitung, yaitu sikap dari NasDem sendiri, mau keluar apa mau bertahan di dalam kabinet,” ujar Rocky. Rocky menyarankan agar Nasdem langsung keluar saja dari kabinet dengan menarik tiga menterinya supaya jelas bahwa Nasdem memang tidak ada di dalam koalisi Jokowi lagi. Karena memang Anies juga bukan dalam koalisi itu. Nasdem harus membersihkan dulu dari kemungkinan opini publik bahwa dia masih ada di dalam kabinet.   “Itu selesaikan dulu dengan statement resmi dari Surya Paloh bahwa kami keluar,” saran Rocky. Penahanan Johnny Plate juga menunjukkan bahwa Presiden Jokowi membiarkan menterinya Nasdem ditangkap dan diborgol. Sepertinya hal itu pula yang membuat Surya Paloh ‘marah’ secara tidak langsung, dengan menyatakan terlalu mahal untuk melihat seorang menteri memakai rompi tahanan dan diborgol. Namun, pernyataan Anies bahwa tidak berubah dan tidak bergeser menjadi penyataan yang ditunggu-tunggu, dan menunjukkan Surya Paloh konsisten. “Ya, memang itu intinya. Jadi, apapun, kan sebetulnya sudah dua kali Sekjen Nasdem diborgol sebetulnya. Jadi, dianggap ya sudah biasa saja kalau ada yang koruptor ya diborgol saja kan. Jangan minta-minta kebaikan atau fasilitas lain seperti yang biasa terjadi pada pejabat,” ujar Rocky. Rocky menyarankan agar Nasdem membiarkan proses hukum berjalan, tetapi ketika mundur jangan mengatakan karena sakit hati diborgol. Poinnya adalah karena memang tidak lagi dalam koalisi dengan Jokowi, karena capresnya juga tidak di dalam wilayah koalisi Jokowi. “Jadi, jangan lagi disentuh soal Johnny Plate, itu biarin aja, supaya betul-betul Nasdem perlihatkan pada publik bahwa dia enggak tersinggung Plate dipidanakan. Tetapi, jangan itu menyebabkan efek samping pada merosotnya moral pendukung Anies. Jadi lebih baik clear dulu bahwa kami akan keluar, karena itu soal kejaksaan silakan, tapi kami ingin konsisten,” saran Rocky. Nuansa politik penahan Johnny Plate jauh lebih kental disbanding masalah korupsinya itu sendiri, karena target utamanya tidak mau tunduk pada Jokowi sehingga ‘dihajar’ lewat Johnny Plate.  Target utamanya sebetulnya Anies. “Ya, publik sudah simpulkan itu. Yang ingin kita kritik adalah sikap istana yang masih mengulur-ulur waktu untuk menundukkan Surya Paloh dengan kasus Plate. Seharusnya kasus Johnny Plate ini dari awal diselesaikan, dikeluarin saja dari kabinet. Jadi, Jokowi tetap tahu bahwa sprindiknya bisa diulur waktu itu, nunggu momentum. Itu yang nggak bener,” ungkap Rocky.(ida)  

SBY Siap Turun Gunung Bantu NasDem, Rocky: Dia Ahlinya

Jakarta, FNN - Pengamat politik Rocky Gerung menyebut bahwa SBY tengah bersiap turun gunung demi membantu Partai Nasdem yang tengah mendapat cobaan pasca penetapan tersangka Johnny G Plate.  Menurut Rocky, SBY dipastikan sudah memberi dukungan moral kepada Nasdem, yang merupakan mitra koalisinya bersama-sama PKS mendukung pencalonan Anies Baswedan sebagai capres. Dukungan  yang diberikan tampak dari sikap Demokrat yang selalu menolak bujuk rayu Istana untuk bergabung.  Sebut saja bujuk rayu Airlangga Hartarto dan Muhaimin Iskandar yang dianggap gagal dilakukan pada AHY. Belakangan Demokrat dan PKS sudah berhasil menaikkan elektabilitas mereka lewat sikap-sikapnya.  Termasuk soal kekonsistenan untuk terus mendukung pencalonan Anies Baswedan. \"Saya anggap sudah terjadi pembicaraan antara Surya Paloh dan SBY, dan dua-duanya adalah senior,\" kata Rocky Gerung dalam perbincangan dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam saluran YouTube Rocky Gerung Official, Jumat 19 Mei 2023. SBY kini ditengarai sudah bersiap turun gunung untuk menghadapi situasi politik yang kian memanas.  Dia juga diduga akan memainkan peran penting dalam catur politik ke depan. \"Saya kira SBY sudah pasang ransel, tinggal turun gunung saja tuh. Sebab ini kan satu paket dengan kejengkelan Demokrat terhadap usaha Istana untuk mengambil alih partai itu, dan kasusnya kan masih ada di MA,\" papar Rocky. Menurut Rocky dalam beberapa waktu ke depan akan ada keterangan dari Partai Demokrat soal reaksinya terhadap posisi Nasdem saat ini.  Sebab kasus Plate ditengarai bakal mengganggu masa depan Anies Baswedan. Jika peran-peran yang hendak diambil berhasil ditempuh dalam situasi semacam ini, maka dipastikan potensi mereka untuk mendulang banyak suara dalam kontestasi Pemilu 2024 sangat terbuka lebar. Sebenarnya SBY dikenal ahli atau piawai dalam mengkapitalisasi masalah menjadi kekuatan besar. Seperti yang dilakukan saat dirinya berkonflik dengan Megawati.  Usai disebut jenderal cengeng, SBY kemudian mengkapitalisasi konflik seperti orang yang dizalimi hingga kemudian berhasil memenangkan Pilpres 2004 silam. \"Saya kira Pak SBY itu jagolah ya, sekarang sepertinya dia lagi cari kalimat yang enak. Walaupun dengan nada melodramatis, tapi sekarang tentu dengan intensi untuk melawan,\" kata Rocky menebak. Rocky menduga, SBY saat ini akan mengambil sikap yang lebih ofensif, karena menyangkut citra Partai Demokrat yang belakangan berteguh sikap menolak intervensi Istana, terutama melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan Moeldoko. \"Jokowi akan berhadapan dengan dua senior, yang dua-duanya juga sebetulnya bandel dalam soal bermain-main politik (Surya Paloh-SBY) dari sisi komunikasinya,\" kata dia. (ida)

Menkominfo Johnny Plate Ditahan Kejaksaan Agung, Elit Politik Saling Mempolitisasi

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) MENJELANG pilpres 2024, turbulensi politik semakin keras. Salah satu sebabnya, Jokowi dituduh mau ikut campur soal pencapresan, untuk melindungi dirinya setelah lengser 2024, sehingga cipta kondisi agar semua capres terdiri dari all the president’s men. Harapan ini hanya ilusi. Presiden yang akan datang pastinya tidak akan mau mengorbankan kehormatannya untuk membela yang salah, apalagi membela kejahatan. Di lain pihak, Anies Baswedan dianggap tidak bisa membela kepentingan rezim yang akan berakhir pada 2024, sehingga harus dijegal dari pencalonan presiden. Upaya penjegalan Anies dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bukan satu cara, tetapi berlapis-lapis cara. Misalnya, ada dugaan Anies akan ‘dijadikan’ tersangka korupsi formula-e atau lainnya. Tetapi, cara ini tidak mudah. Perlu alat bukti yang kuat. Kalau hanya mencari-cari kesalahan tanpa alat bukti, sangat sulit dan sangat bahaya. Atau, partai politik pendukung Anies, Nasdem, Demokrat, atau PKS, dibuat mundur, baik “sukarela” atau dipaksa. Cara ini mungkin lebih mudah dari pada menjadikan Anies sebagai tersangka. Sasarannya Nasdem atau Demokrat. PKS sejauh ini aman-aman saja. Dukungan Demokrat kepada Anies bisa digagalkan dengan merebut Demokrat dari AHY. Ini sedang dilakukan Moeldoko, dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Sasaran tembak ke Nasdem lebih banyak, karena Nasdem menempatkan 3 menteri di kabinet 2019-2024. Yang paling menyolok adalah kasus dugaan korupsi Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket BAKTI Kominfo di kementerian komunikasi dan informasi (Kominfo). Sebelumnya Kejaksaan Agung sudah menetapkan dan menahan lima tersangka korupsi BTS. Bahkan adik Menteri Kominfo sempat diperiksa, dan mengembalikan sejumlah uang sebagai pengganti fasilitas yang diterima dari Bakti Kominfo. Menteri Kominfo Johnny Plate juga sudah diperiksa tiga kali sebagai saksi. Pada pemeriksaan ketiga, Johnny Plate ditetapkan sebagai tersangka, dan ditahan. Dampak penahanan Johnny Plate menimbulkan banyak tafsir dan saling mempolitisasi. Ada yang menuduh, penahanan ini bersifat politis dan ada unsur kriminalisasi? Artinya, Johnny Plate tidak bersalah tetapi dijadikan tersangka? Kalau ini terjadi, Jaksa Agung sama saja melakukan bunuh diri. Sepertinya, Jaksa Agung tidak punya nyali seberani itu, menetapkan tersangka terhadap menteri dan politisi high profile, tanpa ada bukti kuat. Seperti juga KPK tidak terlalu berani mentersangkakan Anies dalam kasus formula-e. Selain itu, penyelidikan kasus BTS sudah dimulai sejak 18 Juli 2022, jauh sebelum Nasdem menunjuk Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024 pada 3 Oktober 2022. https://www.republika.id/posts/33113/jampidsus-temukan-tindak-pidana-pada-proyek-bts-4g Kejaksaan Agung menaikkan status penyelidikan menjadi penyidikan pada 2 November 2022, setelah mengumpulkan sejumlah alat bukti dan memeriksa 60 saksi, serta menggeledah sejumlah perusahaan. https://nasional.tempo.co/amp/1652441/status-kasus-korupsi-bts-kominfo-naik-ke-penyidikan Komentar Ahmad Sahroni, kader Nasdem, cukup bijaksana dalam menanggapi kasus ini. Ahmad Sahroni menduga semua ini semata permasalahan hukum. https://www.tvonenews.com/amp/berita/123011-sekjennya-jadi-tersangka-korupsi-bts-kominfo-nasdem-yakin-bukan-karena-politis-tapi?page=1 Kemudian, kalau Johnny Plate memang terlibat korupsi, maka wajar kalau yang bersangkutan menjadi tersangka dan ditahan. Meskipun mungkin, dan sekali lagi mungkin, menjadi “korban” tebang pilih. Itu tidak penting lagi. Kalau fakta hukumnya seperti itu, kalau Johnny Plate bersalah dalam kasus dugaan korupsi, seharusnya Surya Paloh belajar dari Prabowo ketika Eddy Prabowo, menteri KKP, ditangkap KPK. Atau juga belajar dari Megawati ketika Juliari Batubara, menteri sosial, ditangkap KPK. Keduanya cukup tenang menghadapi permasalahan hukum kadernya, tidak “mempolitisasi” penangkapan tersebut. Sangat bisa dipahami kalau Surya Paloh minta kasus dugaan korupsi di semua kementerian diusut tuntas. Pertanyaannya, kenapa baru sekarang bersuara? Sedangkan rakyat sudah lama berteriak agar korupsi yang semakin merajalela, diusut tuntas. Antara lain, kasus impor garam yang sudah ada tiga tersangka dari pejabat kementerian perindustrian. Atau dugaan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp349 triliun di Kemenkeu. Atau kasus Kereta Cepat Jakarta Bandung, kasus PCR, kasus kartu Prakerja, dan masih banyak lainnya. Rakyat sudah berteriak ketika Nasdem masih menjadi partai pendukung pemerintah yang sangat loyal, termasuk mendukung revisi UU yang melemahkan KPK. Akibatnya, indeks persepsi korupsi anjlok dari skor 40 (2019) menjadi 34 (2022), dan jumlah rakyat miskin meningkat. Lebih elegan kalau Nasdem bersikap lebih ksatria. Misalnya, menuntut Kejaksaan Agung bertindak adil dan transparan dalam menangani kasus ini, sambil menegaskan Nasdem tetap independen dalam pencapresan, tidak bisa didikte meskipun langit runtuh, dan tetap mencalonkan Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024. Pernyataan seperti itu akan mengundang simpati rakyat dan khususnya pendukung Anies. Jangan sampai ada persepsi, faktor (pencalonan) Anies dijadikan alasan untuk membela korupsi. (*)

Lonceng Kematian Moral

Oleh Ubedilah Badrun - Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ). JIKA politik hanya sekedar soal berebut kekuasaan dan perebutan kekayaan maka wajah negara akan berada pada titik nadir kehancuran. Sebab pada titik itu moralitas tidak lagi menjadi panduan dalam mengelola negara, tetapi kepentingan pragmatis transaksional yang akan memandu jalanya kekuasaan. Ketika kepentingan pragmatis transaksional memandu kekuasaan maka pintu kehancuran sesungguhnya telah dibuka. Pelan tetapi pasti kehancuran kekuasaan bahkan kehancuran peradaban sebuah bangsa kemungkinan besar akan terjadi. Sebab disitu ada pengabaian terhadap kepentingan rakyat banyak, ada semacam penghianatan terhadap kepentingan nasional (national interest). Bukankah dalam sejarah peradaban umat manusia, timbul tenggelamnya kekuasaan sangat ditentukan oleh seberapa kuat para penguasa masih memiliki pegangan moral dalam praktek kekuasaanya. Ketika moralitas dicampakan, kehancuran kekuasaan secara empirik dan historis terjadi. Kisah Firaun pada abad ke 13 Sebelum Masehi hingga kisah Adolf Hitler  dan Marcos pada pertengahan dan jelang akhir abad 20 Masehi adalah pelajaran berharga tentang kehancuran kekuasaan akibat hilangnya moralitas dalam kekuasaan. Thomas Lickona dalam Educating for Character (1992) mengingatkan tanda perilaku manusia yang menunjukan arah kehancuran suatu bangsa, diantaranya adalah hilangnya kejujuran dan kaburnya panduan moral dalam hidup berbangsa dan bernegara. Elit politik maupun warga mengabaikan panduan moral dalam bernegara. Elit seolah bebas melakukan tindakan amoral apapun dan warganya cuek tak peduli pada perilaku amoral elit politiknya. Negara pada akhirnya terjebak dalam masalah besar.  Moral hakekatnya merupakan ajaran tentang perilaku baik dan buruk yang berperan sebagai panduan bertindak manusia (Magnis Suseno, Etika Dasar, 1987). Moral sesungguhnya hal universal yang melekat pada nurani manusia yang memandu pilihan mana yang disebut baik dan mana yang disebut buruk.  Secara etimologis Moral berasal dari bahasa latin yaitu mores yang berarti kebiasaan baik yang dipandu oleh nurani. Menjadi pembimbing tingkah laku dalam hidup. Pertanyaanya kemudian apa kabar moralitas dalam praktek kekuasaan di Indonesia saat ini? Dalam Kematian Moral Wajah kekuasaan di Indonesia saat ini jika dicermati setidaknya ada tiga yang tepat untuk disematkan sebagai representasi yang dapat diurai secara teoritik, yaitu wajah oligarchy, otocratic legalism, dan kleptocracy.  Wajah oligarchy terlihat ketika kekuasaan dijalankan oleh kelompok kecil yang dengan pengaruhnya hanya bertujuan untuk mengeruk kekayaan dan mempertahankan kekayaan. Oleh Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy (2011) disebut sebagai wealth defense, suatu politik pertahanan kekayaan yang dengan pengaruhnya melalui berbagai cara mengendalikan kekuasaan untuk kepentingan kekayaanya. Wajah autocratic legalism terjadi ketika kekuasaan memproduksi undang-undang yang dijadikan alat legitimasi praktek kekuasaan yang lebih ototiter. Penguasa melakukan perubahan-perubahan konstitusional dan atau undang-undang untuk kepentingan agenda yang tidak demokratis. (Kim Scheppele,2018). Wajah Kleptocracy oleh Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968), menegaskan ada semacam peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah menumpuk kekayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi tersebut sambil memegang jabatan publik. Rizal Ramli pernah menyebut fenomena itu sebagai Pengpeng atau penguasa sekaligus pengusaha (20216). Wajah oligarchy, autocratic legalism dan  kleptocracy adalah wajah kekuasaan yang nihil moralitas. Tidak ada pertimbangan-pertimbangan moral sama sekali dalam tiga praktek kekuasan tersebut. Ada semacam kematian moral. Nuraninya tidak  sensitif pada kebaikan, keadilan dan kemanusiaan. Di negeri dengan tiga wajah kekuasaan yang mengabaikan moralitas itu dengan vulgar membuat kebijakan yang hanya menguntungkan dirinya atau kelompoknya atau keluarganya. Misalnya ada orang istana mendorong perusahaan negara untuk membeli saham sebuah perusahaan milik kakaknya yang secara akumulatif angkanya Triliunan rupiah. Lalu setelah dibeli harga saham perusahaan tersebut melorot terus, sehingga perusahaan negara rugi besar triliunan rupiah. Di atas kerugian itu perusahaan swastanya  justru menuai untung besar triliunan rupiah dengan cara menggunakan uang negara tersebut. Ada semacam abouse of power. Suatu praktek penyelenggara negara yang mengabaikan moralitas. Ada juga kebijakan subsidi motor atau mobil listrik yang menguntungkan pengusaha, bukan rakyat. Ternyata diketahui bahwa pemilik perusahaan motor listriknya adalah orang istana dan ketua asosiasi atau Perkumpulan Industri Kendaraan Listriknya adalah orang istana juga. Ini betul-betul parah secara moral politik. Semakin parah perilaku tak bermoral dari lapisan elit kekuasaan ini ketika kita melihat praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin merajalela. Anak, istri, menantu, ponakan, kakak, adik dan keluarga sang elit politik tak malu-malu berduyun-duyun ditarik dalam barisan kekuasaan ketika elit politik tersebut sedang berkuasa. Itu terjadi baik di legislatif maupun eksekutif. Parahnya itu dilakukan juga oleh elit politik yang berada paling puncak di republik ini. Di saat yang sama korupsi terjadi dimana-mana, merajalela. Indeks korupsi rezim ini anjlok hingga berada pada skor 34 dalam skala 0 sampai 100. Skor yang sangat rendah, kalah dari Timur Leste, Vietnam, Thailand , Malaysia dan Singapura. Data KPK menunjukan 60 % koruptor adalah politisi. Parahnya hanya di republik ini mantan koruptor boleh jadi anggota DPR lagi karena Undang - Undangnya membolehkan. Maka tidak heran mantan koruptor lantang berkhutbah tentang moralitas. Tindak Pidana Pencucian uang (TPPU) ternyata juga parah terjadi di republik ini. Tidak tanggung-tanggung skandal TPPU itu angkanya mencapai Rp.349 Triliun. Aparat penegak hukum juga terlibat dalam berbagai kejahatan, suatu keadaan yang sangat menyedihkan karena imoralitas merasuki di hampir semua lini entitas. Dalam tradisi etika klasik Yunani Kuno, era Aristoteles (350 SM) meyakini bahwa nalar dapat menggerakkan tindakan moral. Pengetahuan tentang yang baik dan buruk mendorong manusia untuk membiasakan diri melaksanakan apa yang baik dan menghindari hal-hal yang buruk. Maknanya, nalar manusia seharusnya mampu menggerakan tindakan moral. Jika realitas elit republik ini moralitasnya telah begitu rusak, berarti memang mungkin ada benarnya jika disebut elit bangsa ini kini telah berubah menjadi kumpulan para binatang. Sebab pembeda antara manusia dengan binatang adalah pada nalar rasionalnya.  Moral republik ini betul-betul semakin rusak. Dengungan keras Lonceng kematian moral telah berbunyi ! Lalu apakah kita semua terus membiarkan ini terjadi? (*)

PD (Tinggi) IP (Rendah)!

Oleh: Natalius Pigai - Kritikus, Aktivis HAM  “Anda tidak akan menjadi apa-apa, penganggur, jatuh miskin dan akan menderita karena oposisi terhadap kami pemerintah Jokowi”. PESAN seorang kader Partai Penguasa, orang dekat Joko Widodo di lingkaran Istana Negara pada Medio 2017.  Membaca teks secara tersirat menyatakan bahwa negara menjamin Harta, Tata, Wanita/Pria dan hidup dan kehidupan. Suatu cara pandang filosofi Jawa dalam relasi feodalisme antara Raja dan Abdi Dalem yang disebut “Manunggaling Kawulo Gusti”. Pemerintahan kepemimpinan Presiden Jokowi dan sudah berlangsung hampir 9 tahun lebih lamanya. Apa yang dipikirkan, diucapkan, dituliskan dan dilakukan oleh pemerintah selama ini telah dinilai secara paripurna. Mengikuti beriring waktu apa yang dipertontonkan pemerintah. Ibarat panggung sandiwara juga bagai permainan yang membosankan.  Oposisi bertahan pada kritikan-kritikan yang tajam dan menohok, sementara partisan defensif. Karena itu tahun yang ke 9 ini tulisan ini difokuskan untuk menilai para pendukung pemerintah Kepemimpinan Jokowi yang saya beri nama Jokowier. Siapa saja yang dimaksud dengan Jokowier? Jokowier di sini saya batasi pada Pejabat Pemerintah yang mengklaim diri orang-orang lingkaran dalam (iner sircle) Jokowi, Kerabat Penguasa, Pendukung Pemerintah baik Tim Sukses, Relawan. Namun tentu saja semua penjelasan berikut berbasis pada fakta peristiwa telah disuguhkan oleh media sebagai jendela bangsa. Ada yang terbukti, masih dalam proses hukum dan ada yang masih bersifat praduga tidak bersalah. Tidak terasa Pemerintah Jokowi telah menelan waktu 9 tahun berlalu. Sembilan tahun itu pula Jokow(i)er, Para Penguasa, Jokopedia, Seknas, Bara JP, Partai Pendukung dan simpatisan berkoar koar memuja-muji Pemerintah saban hari tanpa henti. Tanpa lelah dan tanpa bosan beriring bersama lapuknya waktu. Anda katakan pemerintahan Jokowi anti korupsi, anti kolusi dan anti nepotisme. Pemerintah memberantas mafia, kartel, Pemerintah menepati janji. Pemerintah tidak langgar HAM, komitmen pada rakyat, konsisten, demokratis, bermoral, menghormati kebebasan ekspresi. Semua kata-kata memang enak didengar dan itu adalah kesimpulan, tentu saja dihormatinya. Namun perlu dipertanyakan bagaimana bisa memberantas para oligarki (mafia ekonomi dan kartel dagang) yang menempatkan seorang Wali Kota ke Gubernur dan Presiden. Dalam waktu kurang dari 3 tahun, orbit bak meteor ditengah-tengah pemilihan berbiaya trilyunan. Kalau tidak dibekingi oleh kaum oligarki ekonomi maupun para mafia di negeri ini? Bagaimana kita bisa memastikan pemerintah ini bersih anti Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Sedangkan BUMN dijadikan alat banjakan puluhan orang penganggur jalanan dan Job seeker ditampung sebagai pemimpin perusahaan berplat merah? Sedangkan Ahok sempat keluarkan jurus jitu adanya sokongan para taipan dalam pemilihan Presiden. Udar Pristono diduga dibungkam. Sumber Waras sumber masalah tersimpan bara bahkan anak anak Jokowi dijadikan Wali Kota disaat Bapaknya penguasa negeri ini.  Freeport tadinya Jokowi tolak bak seorang nasionalis tulen, namun akhirnya tunduk dan bertekuk lutut pada simbol imperialisme Amerika. Dengan mempermudah ijin eksport konsentrat dan menyetujui kontrak karya meski menentang amanat undang-undang minerba. Belum lagi 66 janji Presiden dihadapan rakyat Indonesia seperti membeli kembali Indosat, tidak Import pangan. Tidak utang luar negeri, menyelesaikan persoalan HAM dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Semua riak di negeri ini bersumber dari untaian kata-kata manis yang keluar dari pemimpin negeri ini. Dalam pemerintahan ini, kita telah sedang menyaksikan (sambil ketawa) sandiwara murahan pemerintaha. Antar institusi negara dibentrokan, hukuman mati, penenggelaman sampan-sampan murahan. Negeri maritim yang paceklik, hukum Jahiliah kebiri, kapitalisasi politik laut Cina selatan yg suhu politiknya tidak pernah besar. Dan tidak akan pernah besar. Dengan pura pura dan menipu rakyat dengan mengobarkan semangat nasionalisme diatas geladak kapal perang Republik Indonesia pembelian rakyat kecil (wong cilik). Penipuan murahan dan omong kosong dan membantai terhadap orang-orang telanjang di Papua. Dengan mengatakan akan bangun rel kereta api di Papua, jalan tol melintasi tebing-tebing terjal. Selama 9 tahun, Pemimpin di negeri ini hadir tanpa perasaan, tanpa peduli terhadap kaum marjinal, orang-orang miskin. Pundi-pundi orang kaya tumbuh 10% / tahun. Pengusaha hanya tumbuh 3%. Orang miskin hanya turun 1 digit. Rangking IPM dunia bangsa ini turun 8 tingkat dari 108 di tahun 2014 dan 116 di tahun 2022, Ironi ditengah negara telah habiskan uang rakyat 20 ribu trilyun selama 9 tahun APBN. Akhirnya juga saya mengukur moralitas pemimpin dengan hanya dilihat dari Mobil ESEMKA bikinan Solo. Yang mendobrak citra seorang Wali Kota hingga menjadi presiden, orang nomor 1 Republik ini. Hari ini, ESEMKA tidak bisa diproduksi jadi mobil buatan domestik seperti Proton di Malaysia dan Mobil Nasional jaman Suharto. Meskipun konon katanya masih diperdebatkan atas kebenaran akan diproduksinya. Padahal Jokowi janjikan proyek ini tidak pernah kunjung usai sampai apa tahun yang ke-3. Dalam politik transaksional, bagaimana berkoalisi ke Pemerintahan. Selain tawaran menteri juga dugaan pembagian proyek triliunan rupiah. Bukankah pembangunan infrastruktur , jalan, jembatan dan lain-lain yang membutuhkan triliunan rupiah itu. Presiden menggunakan otoritas melalui kontraktor Pemerintah. Kemudian dengan diam-diam menggandeng kontraktor swasta dengan penunjukan langsung?. Memang berkuasa itu enak. Mumpung berkuasa, aji mumpung dan Itulah kekuasaan. Dengan berkuasa, secara leluasa bernafsu memanfaatkan kekuasaan untuk dirinya, sanak saudaranya, koleganya dan masa depan kariernya. Ada benarnya jika seorang Inggris, Lord Acton menyatakan bahwa kekuasaan cederung korup dan mau melakukan korupsi secara mutlak (power tends to korups, and will corupts absolutely). Karena itu kecenderungan pemimpin negeri ini berharap  pada negara, pejabat dan sanak saudara. Berdagang pengaruh kekuasaan dan jabatan (trading in influences). Sebuah tindakan amoralitas yang berlangsung sejak Jaman (hukum hamurabi) babilonia, korupsi, kolusi dan nepotis. Seperti lazimnya negara berpolitik dan birokrasi patrimonial di negeri republik, egalitarian, rational dan democratis. Namun saya menghormati bangsa ini yang masyarakat masih anonim dalam politik. Sebagaimana Pengamat Politik berkebangsaan Australia Herber Feith pernah sampaikan. Kondisi pemilih tahun 1955 dan saat ini hanya terjadi perubahan pemerintahan dan politik. Sementara mayoritas masyarakat masih stagnan dan belum melek politik. Sehingga timbul kelompok solidaritas nekat, solidaritas buta, militan dan cenderung fanatis. Mereka tidak mengerti bahwa negeri mereka sedang dijarah dan rampok. Apapun argumentasinya, negara ini telah berbaik hati pada penguasa dan pendukung. Hidup bersedekah dari negara seperti rakyat dinegeri feodal berhadap rezeki berberkah ratu pandito raja. Memalukan!.  Karena itu jangan pernah berpidato mengutif kata-kata kepahlawanan John F Kenedy. Yaitu jangan bertanya apa yang diberikan oleh negara tetapi bertanya apa yang Engkau berikan kepada Negara. Bulshit, omong Kosong. Tetap saja; Manunggaling Kawulo Gusti! Mereka yang hidup Manunggaling Kawulo Gusti tersebut yang sangat nampak saat ini. Adalah kelompok pendukung Jokowi, pendukung Ahok, pendukung Mega, pendukung Luhut, hampir semua pendukung penguasa. Para punggawa politik mereka oleh para pendukung menganggap sebagai titisan dewa. Kata-kata dan perbuatan tokoh-tokoh tersebut benar semua dihadapkan pendukung fanatik ini. Bahkan kata-kata dan nasehat atau perintah mereka dianggap tita dewa, Devine Right of the King, seperti yang pernah praktekkan oleh raja Jhon di Inggris abad ke 15 pada masa monarki absolut. Sekali lagi itulah perwujudan nyata dari apa yang disebut Manunggaling Kawulo Gusti. Semoga Jokower pendukung Jokowi tidak demikian. Sehingga orang-orang terdidik, komunitas masyarakat sipil harus membangun bangsa Madani yang Kritis dan rasional, Imparsial, objektif. Untuk menempatkan dan memilih pemimpin berdasarkan rasionalitas, akal yang sehat. Bukan atas dasar tahayul, fanatisme agama, suku, ras antar golongan. Kita sudah terlalu lama hidup di dalam kungkungan kebohongan dan terpolarisasi berdasarkan fragmentasi elit bangsa. Tidak berdasarkan fragmentasi ideologi. Jutaan rakyat menjadi nasionalis abangan pengikut seorang oknum Individu. Saya katakan bangsa bodoh saja yang menempatkan nasionalisme personifikasi oknum individu, bukan nasionalisme cinta tanah air dan bangsa. Pemimpin mesti memimpin secara rasional agar tiap warga negara hidup berkreasi dan kompetisi. Sangat ironis bahwa Kelompok yang mengaku priyayi dan abangan tidak memiliki doktrin ideologi. Ideologi mereka hanya kekuasaan, mereka tidak punya harapan dan cita-cita untuk bumi putera. Karena mereka hamba sahaja kolonial sebagai pemungut cukai. Lain dengan kelompok santri yang jatuh bangun berjuang membebaskan negeri. Semua pahlawan yang merintis lahirnya negeri ini adalah pahlawan kaum bersorban. Sudah 9’tahun memimpin negeri ini, berbagai sandiwara dipertontonkan para Jokowier. Mereka mengklaim diri sebagai pemilik kekuasaan, mampu mengontrol otoritas negara, orang dekat kekuasaan. Pola pikir ponga dan bedebah yang dipertontonkan ke publik sebagai pedagang pengaruh (Trading in influences). Bayangkan berbagai kasus suap dan korupsi yang merusak bangsa ini. Sebagian besar di lakukan karena memanfaatkan atau memperdagangkan pengaruh. Menjual nama pejabat, kedekatan dengan pejabat dan bahkan sanak saudaranya. Disaat yang sama selama 9!tahun juga menyerang para oposisi secara babi buta tanpa perasaan, tanpa berperikemanusiaan. Menyerang oposisi dengan berbagai kata-kata rendahan berbagai bentuk kekerasan verbal. Penyebutan monyet dan gorila oleh Jokowier kepada lawan politik, suatu tindakan yang relevan hanya dilakukan Simbol manusia tidak bernilai dan berbudaya karena cenderung diskriminatif dan rasialis. Demikian pula ancaman labilitas intergradasi vertikal dan horisontal yaitu antara negara dan rakyat dan rakyat dan rakyat selama ini, khususnya sebagaimana dialami oleh umat islam sungguh menyakitkan di negeri Pancasila yang beragama mayoritas muslim.  Penyerangan, penganiayaan, pelarangan dan diskriminasi terhadap para ulama, kyai, ustad, habaib telah menyatakan secara lancang tentang adanya islamophobia di negeri ini. Hal ini merusak tatanan dan nilai agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia. Berbagai kebijakan dan tindakan pendukung Jokowier lebih mencerminkan pemanfaatan kekuasaan, jabatan dan uang hanya untuk melanggengkan kekuasan dengan cara machiavelian sekalipun. Pertimbangan utamanya adalah karena para Jokowier tidak mau terusik dari zona nyaman mereka. Jokowier, rakyat ini sudah lama menderita, seandainya negara dan rakyat ibarat bersuami dan istri sejak jaman pancarobah 6 tahun lalu, mereka sudah kasih talak 3 ke nagara. Apakah kita tahu bahwa rakyat yang hidup di pelosok nusantara ini hidup dan berpengaruh dengan adanya negara? Mereka hidup dari hasil usahanya, ketergantungan kepada alam, hidup sangat autarkis, taken for granted anugerah Ilahi. Dengan sumber daya alam yang melimpa ruah di bumi nusantara, tanpa sentuhan negara bisa hidup. Bahkan lebih aman. Mereka tidak paham Presiden operasi pasar harga daging sapi turun sampai 80 ribu. Mereka tidak tahu operasi pasar untuk turunkan harga pangan, sandang dan papan. Mereka juga tidak paham berbagai kebijakan dan regulasi tetek bengek yang dibuat oleh negara, Mereka juga tidak tahu segala kebijakan pembangunan infrastruktur jalan-jalan bertingkat, jembatan tanpa sungai, dan juga gedung-gedung pencakar langit yg menjulang. Jutaan rakyat di bumi pertiwi ini hidup bisu, tuli cenderung sebagai orang-orang tidak bersuara. Nun jauh dari hirup pikuk modern yang hanya berkutat di Jakarta, Jawa dan kota-kota tertentu. Memang power tens to corupts, semua ini akibat kita rakus berkuasa. Kekuasaan memang penting. Namun kita lalai distribusi kekuasaan bagi putra putri di seluruh nusantara. Bagaimana mungkin Presiden selalu Jawa, menteri-menteri mayoritas selalu Jawa, lantas bisa distribusi kekuasaan. Orang Ambon sudah lama menderita, 50 tahun tidak pernah menjadi menteri, meskipun Leimena pernah menjadi wakil perdana menteri. Orang Dayak pemilik pulau terbesar kedua setelah Greenland. Sampai hari ini belum ada yang menjadi menteri. Walaupun orang Dayak di Malaysia sering menjadi menteri. Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, orang Buton di Sulawesi Tenggara belum pernah di kasih kesempatan. Meskipun saudara-saudara kita, Laode-Laode banyak orang hebat di negeri ini. Orang Papua jadi pemberontak dulu baru dikasih menteri. Padahal bangsa Papua adalah bangsa pemberi bukan bangsa pengemis. Jong Ambon, Celebes, Borneo dan Andalas bersatu bukan tanpa cek kosong. Mereka memberi dengan cek berisi sumber daya alam yang melimpah. Selain distribusi kekuasaan, ada aspek yang paling penting adalah distribusi pembangunan. Sangat tidak adil dan cenderung diskriminatif. Ketika pulau Jawa dan Sumatera konektivitas antar daerah baik darat, udara dan laut terbangun rapi. Sementara di seberang sana, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua pembanguan jalan Trans yang dibangun saat ibu kandung saya masih kecil, sampai saat ini belum pernah selesai. Bukan berita hoax, pembangunan jalan Trans Papua dibangun tahun 1970. Ibu saya usia 15 tahun, sampai hari ini tidak ada jalan Trans Papua yang terbangun secara baik. Boleh saja percaya diri berlagak pemilik kuasa dengan Percaya Diri (PD tinggi), sementara Indeks Prestasinya (IP) rendah. Tetapi hidup manunggaling kawulo gusti. Perilaku yang memalukan karena negeri ini bukan monarki. Juga bukan oligarky, yang kekuasaan hanya berpusat pada raja dan sekelompok orang. Negeri ini REPUBLIK INDONESIA. Negeri milik bersama. Di mana kekuasaan berpusat pada rakyat Indonesia dan mereka yang mengelola hanya diberi kedaulatan oleh rakyat ( Summa Potestas, sive summum, sive imperium dominium). Karena itu esensi dari negara demokrasi. Maka satu-satunya cara untuk memperbaiki bangsa ini adalah distribusi keadilan (distribution of justice). Melalui distribusi kekuasaan ( distribution of power) dan distribusi pembangunan ( distribution of development) di seluruh Indonesia. Dan itu hanya bisa dilakukan melalui pemimpin yang dipilih secara rasional dan masyarakat Madani yang kritis tanpa pendukung fanatis, militan dan cenderung destruktif dan tahayul. (*)