ALL CATEGORY

Perlu Kebijakan untuk Memastikan Sikap Netral ASN pada Pemilu 2024

Jakarta, FNN - ​​​​Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengatakan instansi pusat yang memiliki kewenangan perlu mengambil kebijakan yang dapat memastikan sikap profesional dan netral ASN, terutama camat dan lurah, pada Pemilu 2024 agar tidak berakibat buruk kepada mereka.  “Negara harus hadir untuk melindungi ASN yang netral. Instansi pusat yang memiliki kewenangan perlu mengambil kebijakan yang memastikan sikap profesional dan netral tidak berakibat buruk kepada ASN,” ujar Agus saat menyampaikan pidato kunci dalam Webinar KASN bertajuk \"Dilema Camat dan Lurah: Antara Profesionalisme dan Politik Tahun 2024\", sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube KASN di Jakarta, Rabu.  Menurut dia, ketiadaan kebijakan tersebut membuat ASN, khususnya camat dan lurah saat ini dihadapkan pada salah satu risiko, yakni adanya tindakan balas dendam dari salah satu peserta pemilu terpilih usai pesta demokrasi itu selesai.  Agus mengatakan saat ini sebagian pengangkatan dalam jabatan lurah dan camat tidak lagi berbasis kompetensi, tetapi berdasarkan kemampuan seseorang dalam memobilisasi suara warga.“Sikap bekerja tanpa menunjukkan keberpihakan pada salah satu kontestan bukanlah tanpa risiko. Sikap ini terkadang menjadi catatan dosa yang menghadirkan balas dendam bila pemilihan usai,” ucap Agus.  Ia menyampaikan beberapa hasil pengawasan KASN dalam kurun waktu tahun 2020-2023 mengenai jenis pelanggaran netralitas yang dilakukan lurah dan camat.  Jenis pelanggaran tersebut di antaranya mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan (36,5 persen), kampanye atau sosialisasi di media sosial berupa posting/like/komentar (20,1 persen), menghadiri deklarasi bakal calon atau calon (15,8 persen), foto bersama bakal calon atau calon (11,1 persen), dan menjadi peserta kampanye (7,4 persen).  “Di samping pelanggaran itu, beberapa jenis pelanggaran netralitas yang berpotensi dilakukan lurah dan camat adalah memobilisasi dukungan jajaran perangkat di bawahnya, seperti staf kantor, kepala desa, kepala lingkungan, kepala dusun, dan organisasi kemasyarakatan di wilayahnya untuk peserta pemilu dan pemilihan tertentu,” tambah Agus.  Berikutnya, lanjut dia, ada pula camat dan lurah yang memengaruhi warga untuk memberikan dukungan kepada peserta pemilu dan pemilihan tertentu, menggunakan kendaraan dinas untuk kepentingan politik dan politisasi bantuan sosial kepada warga.(ida/ANTARA)

Parpol Diimbau Tidak Melibatkan ASN untuk Memenangkan Pemilu

Jakarta, FNN - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Suhajar Diantoro mengimbau partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 agar tidak melibatkan aparatur sipil negara (ASN) untuk memenangkan pesta demokrasi tersebut demi menjaga netralitas dan profesionalitas ASN.“Memberi imbauan kepada para parpol, politikus, dan kepala daerah untuk tidak melibatkan ASN,” ujar Suhajar saat menjadi narasumber dalam Webinar KASN bertajuk Dilema Camat dan Lurah: Antara Profesionalisme dan Politik Tahun 2024, sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube KASN di Jakarta, Rabu.Di samping itu, tambah dia, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu memperketat pengawasan terhadap ASN, lalu melaporkan oknum ASN yang diduga melakukan pelanggaran netralitas dalam Pemilu 2024 kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Kemendagri.Dengan demikian, KASN dan Kemendagri dapat menindaklanjuti laporan tersebut dan memastikan adanya penjatuhan sanksi kepada ASN yang terbukti melanggar.Sebelumnya dalam kesempatan yang sama, Ketua KASN Agus Pramusinto menyampaikan dalam pelaksanaan pemilu, para peserta pemilu memang akan berupaya memperluas ceruk dukungan publik demi mendapatkan suara pemilih, termasuk pemilih dari kelompok ASN sehingga mereka dapat memenangkan kontestasi pemilu.Agus menyampaikan upaya seperti itu dilakukan secara masif oleh peserta pemilu melalui aktor-aktor struktur partai politik, tim sukses, dan relawan dengan menggunakan berbagai media.Dia menyampaikan dibandingkan kelompok ASN lainnya, ASN yang memangku jabatan pada unsur lini kewilayahan, yakni lurah dan camat memiliki daya tarik khusus di mata bakal calon atau calon peserta pemilu dan pemilihan.“Setidaknya, terdapat dua alasan lurah dan camat memiliki daya tarik khusus. Pertama, seorang lurah dan camat memiliki akses langsung kepada warga dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Semakin baik citra mereka di mata warga, maka semakin besar pengaruh untuk memobilisasi dukungan kepada pihak tertentu,” jelas dia.Kedua, lanjut Agus, kewenangan dan bidang tugas lurah dan camat yang bersifat lintas sektoral di wilayah administrasinya, seperti perizinan, penyaluran bantuan sosial, serta pembinaan organisasi masyarakat sehingga mereka berpotensi menjadi pendulang suara (\"vote getter\") dalam pemilu dan pemilihan.Dengan demikian, menurut Agus, sikap profesionalisme ASN, khususnya lurah dan camat bernilai mahal dalam Pemilu 2024.(ida/ANTARA)

Membegal Anies, Itu Membegal Demokrasi (Pernak-pernik dan Jalan Terjal Menuju Pilpres 2024)

Pencapresan Anies secara internal (KPP) sudah selesai, tapi belum selesai jika menilik upaya penjegalannya yang terus dilakukan bahkan sampai last minute semua kemungkinan menggagalkannya masih dimungkinkan. Oleh: Ady Amar - Kolumnis KOALISI Perubahan untuk Persatuan (KPP) sedang dalam ujian. Muncul riak-riak kecil godaan, yang sebenarnya bisa disebut sekadar gimmick. Boleh juga jika itu cukup disikapi sewajarnya, ketika Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), bersama beberapa nama lain masuk dalam radar bidikan PDIP untuk disandingkan dengan Ganjar Pranowo sebagai cawapres. Padahal Demokrat telah mengikat Nota Kesepakatan bersama dua partai lainnya, NasDem dan PKS dalam KPP, yang resmi mengusung Anies Baswedan sebagai Capres. PDIP seakan cermat melihat Demokrat tengah galau di internalnya. Muncul suara menyuarakan kehendak agar secepatnya KPP mengumumkan siapa Cawapres yang mendampingi Anies. Demokrat tentu menghendaki AHY yang diusung sebagai Cawapres. Tapi NasDem lewat elitenya jelas-jelas menolak dengan mengatakan, kalau mau menang pada Pilpres 2024 bukan AHY yang mendampingi Anies. Setidaknya suara itu disuarakan Effendy Choirie, akrab dipanggil Gus Choi. Mukernas III PDIP, 6-8 Juni, memasukkan nama AHY di antara nama-nama lain sebagai kandidat yang akan mendampingi Ganjar Pranowo sebagai Cawapres. Memasukkan nama AHY dalam bursa cawapres PDIP, itu sekadar manuver main-main yang semestinya tidak dilihat sebagai sesuatu yang bisa membuyarkan KPP. Boleh jika ditafsir PDIP tengah menguji kesolidan KPP sebagai sebuah koalisi. Di samping itu PDIP perlu tampil tampak sebagai partai inklusif di tengah kekakuannya selama ini, yang seolah mampu berjalan sendiri tanpa partai pendamping sekalipun. Karenanya, penyikapan atas manuver PDIP itu pun mesti disikapi sewajarnya. Tidak perlu berlebihan. AHY akan menghadiri undangan Puan Maharani. Sekjen kedua partai, Hasto Kristiyanto (PDIP), dan Teuku Riefky Harsya (Demokrat) sudah mengadakan pertemuan awal guna mempersiapkan pertemuan petinggi partainya. Keduanya tampak begitu semringah, dan akrab. Seperti melupakan hubungan buruk di masa lalu. Semua tampil bak aktor berperan sesuai tuntutan skenario. Hasto yang terbiasa bicara jumawa seakan lupa pada omongannya beberapa bulan lalu, bahwa ia \"mengharamkan\" Demokrat, yang katanya tak mungkin PDIP bisa berkoalisi dengan partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Politik terkadang diperagakan bak \"tai kucing rasa coklat\", menjijikkan bagi mereka yang biasa meletakkan moral jadi segala-galanya. Pertemuan Puan-AHY itu tak akan sampai berdampak bisa mengempiskan KPP, menggoyang pun rasanya tak mungkin. Demokrat tentu berhitung, dan tahu menempatkan posisinya ada di mana. Menerima undangan Puan dan hadir, itu lebih pada bentuk kesantunan politik. Jadi tak perlulah menyikapi pertemuan itu dengan syakwasangka seolah Puan mampu menyihir AHY. KPP itu koalisi yang sudah digarap matang, sulit untuk digoyang apalagi sampai rontok. Setidaknya sikap awal sudah ditunjukkan NasDem, PKS dan juga Demokrat, yang mengalami tekanan persoalan dalam berbagai hal, dan itu tidak menyurutkan langkah menghadirkan perubahan di 2024. Sedang partai di luar KPP justru masih mencari-cari bentuk, dan boleh disebut lebih sebagai koalisi-koalisian. Sengaja disebut koalisi-koalisian, karena belum bisa disebut koalisi sebenarnya, sifatnya baru penjajakan. Langkah penjajakan yang _dicomblangi_ atau di-cawe-cawei Presiden Joko Widodo (Jokowi). Karenanya, pantas jika disebut baru tahap kumpul-kumpul, yang bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. KPP jelas sebagai koalisi sesungguhnya. Memenuhi syarat untuk disebut demikian. Parameter untuk disebut sebagai koalisi sudah memenuhi syarat, baik persyaratan konstitusi (parliament threshold) maupun kelayakan bersekutu dengan menghadirkan antitesa perubahan versus keberlanjutan pembangunan. Tidak sekadar kumpul-kumpul dan secepat kilat meninggalkan satu dengan yang lain tanpa kesantunan politik. Itu bisa dilihat dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB)--PAN, Partai Golkar, dan PPP--yang kelahirannya seperti bayi tak diinginkan, langsung mbrojol. Mengagetkan karena dengan satu pertemuan para ketua umumnya, sudah cukup untuk mengumumkan kelahirannya. Soal siapa capres yang akan dipilih dan diperjuangkan, belum dibicarakan. KIB lebih dipercaya sebagai kumpul-kumpul dalam arahan Presiden Jokowi. Lebih dipersiapkan untuk tiket Ganjar Pranowo, jika ia tidak dicalonkan PDIP. KIB diibaratkan ban serep untuk memastikan keikutsertaan Ganjar dalam Pilpres 2024. Tiga partai itu seolah diombang-ambingkan, bukan oleh kepentingannya, tapi lebih pada penghambaan pada Jokowi.  Karena dibentuk dengan serba mendadak, maka perpisahan pun tak perlu saling pamit. Nyelonong saja. Itu tampak pada sikap PPP, yang dengan gampangnya meninggalkan KIB dan memilih dalam dekapan PDIP. Begitu pula PAN yang seolah dalam sekap tak menentu untuk memilih antara Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo. Dan, itu lagi-lagi menunggu arahan Jokowi. Langkah penjajakan pun dilakukan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan rombongan mengunjungi markas PDIP. Pertemuan itu belum sampai menghasilkan keputusan, bahwa PAN akan bergabung dengan PDIP. Ada syarat PAN gabung jika \"presiden\" partainya, Erick Thohir, diusung jadi Cawapres-nya Ganjar. Karenanya, PAN belum memutuskan akan berlabuh ke mana. Tetap setia menunggu arahan Presiden Jokowi, yang sepertinya juga masih bimbang antara memilih Ganjar atau Prabowo. PAN dan PPP tampak seperti partai yang sudah tidak lagi punya kedaulatannya sendiri untuk menentukan di mana mesti berlabuh dalam koalisi, yang mestinya sesuai kehendak konstituennya. Sedang Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), gabungan Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di mana hubungan keduanya acap panas-dingin. PKB berharap ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, bisa disandingkan sebagai Cawapres-nya Prabowo Subianto. Tapi Gerindra masih mengulur-ulur waktu dalam memenuhi permintaan PKB. Berharap Golkar mau bergabung dalam KKIR, dan karenanya PKB tidak akan lagi memaksakan ketua umumnya sebagai Cawapres. Jika kondisi masih tidak menentu, bisa jadi PKB akan hengkang dari KKIR, meninggalkan Gerindra sendirian. Sedang Golkar pun belum menentukan ke mana akan berlabuh. PKB dan Golkar sepertinya juga tengah menunggu arahan Presiden Jokowi. Maka, menjadi wajar jika sikap Prabowo mesti berbaik-baik sampai tingkat berlebihan pada Jokowi agar PKB yang ada dalam kendali Jokowi tidak meninggalkan Gerindra. Syukur-syukur jika Golkar pun bisa diarahkan bergabung dengan Gerindra dan PKB. Hanya KPP dengan Capres Anies Baswedan, dan PDIP plus PPP dengan Capres Ganjar Pranowo, yang sudah  punya Capres beneran yang bisa berkontestasi pada Pilpres 2024. Sedang Prabowo Subianto dengan KKIR-nya mesti terlebih dulu mau menyamakan pandangan dengan kawan koalisinya (PKB) untuk mengakhiri spekulasi ketidakikutsertaannya dalam Pilpres. Namun memang hanya KPP-lah yang sudah punya Cawapres, sudah ada di kantong Anies, dan tinggal tunggu sedikit hari lagi untuk diumumkan pada khalayak. Pencapresan Anies secara internal (KPP) sudah selesai, tapi belum selesai jika menilik upaya penjegalannya yang terus dilakukan bahkan sampai last minute semua kemungkinan menggagalkannya masih dimungkinkan. Persoalan KPP bukan persoalan pada internalnya, yang akan menggagalkan pencapresan Anies Baswedan, sebagaimana yang disampaikan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD sekenanya. Justru oleh faktor eksternal, dan itu rezim yang ingin terus berkuasa dengan hanya mengganti baju Jokowi dengan Ganjar Pranowo. Bisa lewat jalan apa saja. Bisa lewat copet atau begal Partai Demokrat yang tengah diupayakan oleh orang dekat Jokowi, Moeldoko dengan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Bisa pula dengan cara nekat KPK menersangkakan Anies pada kasus Formula E, atau dengan cara semau-maunya kekuasaan membegal demokrasi. Semua kemungkinan memang bisa terjadi, tapi semua juga tergantung rakyat menyikapinya.**

Demokrat dalam Jebakan PDIP?

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Selama 19 tahun hubungan Mega-SBY renggang. Mega \"merasa dikhianati\" ketika SBY nyapres 2004. Entah ada pembicaraan atau perjanjian apa di antara mereka berdua. Luka Megawati seperti begitu dalam. Kalau hanya nyapres, tentu itu hak SBY. Setiap warga negara, termasuk SBY, berhak untuk nyapres. Megawati tidak ada hak melarang, apalagi menghalang-halangi. Saat itu, Magawati meskipun sebagai penguasa, tidak tampak sedikitpun menghalang-halangi SBY. Megawati tidak menekan ketum-ketum parpol untuk menghalangi SBY nyapres. Megawati juga tidak menggunakan aparat untuk kriminalisasi SBY. Megawati pun tidak menggunakan instrumen kekuasaannya untuk mencurangi SBY. Dan akhirnya, Megawati kalah dari SBY dan menerima kekalahannya itu. Tapi, kenapa hubungan keduanya tampak begitu buruk, bahkan selama 19 tahun? Tanyakan kepada mereka berdua. Ada pembicaraan khusus apa atau perjanjian apa diantara mereka berdua. Atau biarkan saja keduanya menyimpan rahasianya. Suasana batin inilah yang kemudian dinarasikan oleh Hasto Kristianto: PDIP tidak mungkin berkoalisi dengan Demokrat. Hasto paling tahu dan merasakan suasana batin Megawati. Namanya juga Sekjen. Kali ini, luka sejarah itu mencoba diobati. Ah, emang benar begitu? Mega-SBY mau islah? Lupakan semua peristiwa yang pernah terjadi di pilpres 2004? Tidak sesederhana itu!  Ada agenda yang diprakarsai \"entah oleh siapa\" untuk mempertemukan Puan Maharani dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Tujuannya? Bujuk Demokrat gabung koalisi dengan PDIP. Apa kompensasinya? AHY jadi cawapres Ganjar. Ah, masak? Pertama, apa untungnya Ganjar ambil AHY sebagai cawapres? Masuknya AHY tidak memberi tambahan elektabilitas secara signifikan bagi Ganjar. Kedua, apakah Megawati setuju AHY jadi cawapres? Kabarnya, Megawati menginginkan cawapres Ganjar dari kalangan ulama. Ketiga, masuknya AHY ke kubu Ganjar akan semakin mendorong Jokowi untuk memperkuat barisan Prabowo, dan hengkang dari Ganjar. Ini akan menjadi kerugian besar bagi PDIP. Kritik pedas SBY dan AHY terhadap Jokowi dalam beberapa kasus telah menjadi catatan serius bagi Jokowi. Jokowi lahir dan dibesarkan di Jawa. Sebagaimana unumnya orang Jawa, memori tentang siapa kawan dan siapa lawan sangat kuat di kepala. Di kepala Jokowi, siapa SBY dan AHY telah tercatat begitu jelas. Apalagi jika mengingat kembali pilpres 2019 lalu. Apa itu? Tanyakan kepada aktornya. Dari pertimbangan banyak sudut, hampir tidak mungkin AHY dipinang jadi cawapres Ganjar. Banyak rugi dan risikonya dari pada untungnya. Lalu, apa tujuan dimunculkannya ide AHY cawapres Ganjar? Publik membaca, ini boleh jadi adalah jebakan. Demokrat dijebak agar keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).  Kalau perangkap jebakan ini masuk dan Demokrat keluar dari KPP, maka ada dua keuntungan. Pertama, KPP kehilangan satu partai. Ini akan menyulitkan bagi KPP untuk mencari pengganti Demokrat. Meski tidak secara otomatis menjadi ancaman bagi Anies Baswedan untuk maju sebagai capres. Karena, politik itu dinamis. Masih empat bulan lebih waktu menentukan koalisi. Peluang untuk melengkapi 20% Presidential Threshold akan selalu terbuka. Kedua, bisa membuat Demokrat jadi gelandangan politik. Masuk koalisi sana sini, mungkin bisa juga diterima. Tapi bergaining powernya akan sangat lemah. Tawaran PDIP ke Demokrat juga bisa menjadi alat tekan Demokrat ke KPP agar AHY ngotot jadi cawapres Anies. Mungkin PDIP memiliki kalkulasi bahwa pasangan Anies-AHY lemah, sehingga perlu didorong untuk maju berpasangan dan lebih mudah dikalahkan. Kita lihat, apakah Demokrat akan masuk jebakan PDIP? Jakarta, 14 Juni 2023

Ubed Cabut Pengaduan KPK Kasus Gibran-Kaesang?

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan PERTANYAAN dari judul diatas berhubungan dengan pandangan atau upaya yang dilakukan Adhie Massardi untuk melobbi rekannya Ubedilah Badrun agar mencabut pengaduan ke KPK atas dugaan korupsi Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.  Alasannya adalah bahwa gonjang-ganjing politik Jokowi selama ini berpotensi membahayakan  demokrasi. Menurutnya episentrum dari gonjang-ganjing itu adalah pengaduan anak Presiden oleh aktivis pergerakan kampus ke KPK. Adhi berharap bila pencabutan dilakukan maka Jokowi bisa legowo meninggalkan Istana dan kembali ke Solo. Pemilu 2024 dapat berlangsung bebas, jujur dan adil.  Pandangan Adhie Massardi ini dinilai terlalu menyederhanakan masalah dan kurang tepat, karena : Pertama, pengaduan Ubedilah Badrun bukan bersifat pribadi apalagi sentimen atau berdasarkan kebencian, akan tetapi berangkat dari kepentingan  publik. Dugaan korupsi Gibran-Kaesang menurut  Adhi sendiri \"data, fakta dan dokumen hasil penelitian Ubed atas kasus KKN anak-anak Presiden adalah tepat dan akurat\". Kedua, pengaduan Ubedilah Badrun bukan kasus perdata atau delik aduan (klacht delict) yang selesai dengan pencabutan. KPK yang telah menerima laporan berdasarkan \"data, fakta dan dokumen tepat dan akurat\" harus memprosesnya. Jika KPK menghentikan kasus, maka harus beralasan hukum apakah kasusnya bukan pidana atau memang kurang bukti. Bukan berdasar pencabutan dari  pengadu atau pelapor.  Ketiga, bila Ubed mencabut pengaduan kepada KPK maka akan berpengaruh terhadap integritas  Ubedilah Badrun. Asumsi pengaduan adalah episentrum dari sikap membahayakan demokrasi Jokowi itu belum tentu benar. Demikian juga dampak pencabutan bagi langkah \"adil, jujur dan legowo\" Jokowi tidak memiliki jaminan dan kepastian. Yang pasti adalah rusaknya integritas seorang Ubedilah Badrun.  Keempat, biarlah Gibran dan Kaesang ditunggu prosesnya di KPK hingga mendapat kepastian hukum. Bila ganjalannya adalah status ayah yang sebagai Presiden, maka pasca lengser nanti baik melalui Pemilu atau sebelumnya proses dugaan korupsi Gibran-Kaesang dilanjutkan.  Kelima, jika episentrum sikap \"ngawur\" Jokowi adalah pengaduan Ubed, tentu menjadi tergambar karakter buruk Jokowi yang \"nepotism\" dan lemah menghadapi persoalan anak atau keluarga. Lebih mementingkan keluarga ketimbang negara. Tidak layak untuk menjabat sebagai Presiden, apalagi hingga selesai di tahun 2024.  Jokowi bersama Gibran dan Kaesang telah terbaca oleh publik sebagai profil yang inkonsisten atau \"mencla-mencle\". Berita di bawah ini menjadi saksi.  Media Indonesia September 2018 menulis \"Gibran Tak Tertarik Masuk Politik Maupun Timses\". Pada tahun yang sama Kumparan News  mengutip ucapan Gibran \"Kasihan Rakyat Kalau Ada Dinasti Politik\". Tribun news : \"Jokowi : Anak Saya Tak Ada yang Tertarik Politik\". Dan Rmol.Id  membuat judul \"Kaesang Mending Jadi Pengusaha Pekerjakan Banyak Orang  Ketimbang Masuk Politik\".  Biarlah anak-anak Jokowi menerima sendiri risiko dari pilihan kariernya di bidang politik termasuk menghadapi pengaduan dari Ubedilah Badrun ke KPK. Jika tuduhan tersebut hendak dibantah, mudah saja tinggal membuktikan. Begitu juga sebagai orang tua Jokowi mesti memberi contoh kepada putera-puteranya agar selalu bersikap jujur, adil, amanah dan tidak korup.  Bandung, 14 Juni 2023

WATERGATE = MOELDOKOGATE

Harusnya dasar pemakzulan Watergate terhadap Presiden Richard Nixon, dapat juga diterapkan kepada Presiden Jokowi.  Oleh Dimas Huda ---Wartawan Senior FNN Prof Denny Indrayana, SH, LLM, PhD meyakini alasan impeachment terhadap Presiden Joko Widodo sangat kuat. Dia mengambil satu contoh kasus saja yakni skandal Moeldoko (Moeldokogate).  Denny membandingkannya skandal Moeldoko yang berjuang mengambil alih Partai Demokrat dari tangan Agus Harimurti Yudhoyono mirip dengan kasus Watergate dalam sejarah ketatanegaraan di Amerika Serikat. Kasus Watergate berujung dengan mundurnya Presiden Richard Nixon, karena menghindari pemecatan (impeachment).  Impeachment di Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama diatur dengan konstitusi. Ada 4 delik impeachment dalam konstitusi Amerika Serikat yang diadopsi ke dalam konstitusi kita yaitu:  1. Treason (pengkhianatan terhadap negara).  2. Bribery (penyuapan). 3. Other high crime (kejahatan tingkat tinggi).  4. Misdemeanors (perbuatan tercela).  Di Indonesia, selain 4 delik itu ada 2 tambahan lain yakni \'korupsi\' dan \'tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon presiden dan wakil presiden\'. Dengan konsep delik impeachment yang hampir sama, harusnya dasar pemakzulan Watergate yang terjadi dalam sejarah tahun 1972-1974 terhadap Presiden Richard Nixon, dapat juga diterapkan kepada Presiden Jokowi.  Baik Moeldokogate maupun Watergate, mempunyai karakteristik yang relatif sama. \"Bahkan, Moeldokogate punya dampak yang jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan Watergate,\" ujar Denny.  Dengan melihat perbandingan Watergate dan Moeldokogate, harusnya tidak sulit untuk dimulai proses pemakzulan jika partai politik di DPR mau menggunakan haknya.  \"Persoalannya adalah koalisi yang terjadi bukan kooperasi (kerjasama), tapi beralih rupa menjadi kolusi saling kunci terhadap kemungkinan munculnya kasus hukum di antara kekuatan politik yang ada,\" ujar Denny.  Akibatnya, pemakzulan yang seharusnya secara teori dapat dilakukan akhirnya secara politik memang tidak mudah dijalankan. Bukan karena Jokowi tidak melanggar delik pemakzulan, tetapi karena kekuatan koalisi di DPR tdak melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap pelanggaran impeachment yang nyata-nyata dilakukan Presiden Jokowi.  Bukan Berarti Pemecatan Sejatinya, dalam dunia hukum tata negara ada dua konsep pemberhentian seorang presiden yakni melalui impeachment dan forum previlegiatum. Berikut ini tentang impeachment. Impeachment atau pemakzulan adalah sebuah proses di mana sebuah badan legislatif secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara. Pemakzulan bukan berarti selalu pemecatan atau pelepasan jabatan, namun hanya merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, mirip pendakwaan dalam kasus-kasus kriminal.  Dalam praktik impeachment yang pernah dilakukan di berbagai negara, hanya ada beberapa proses impeachment yang berakhir dengan berhentinya seorang pimpinan negara. Salah satunya adalah Presiden Lithuania, Rolandas Paskas. Proses impeachment itu berakhir pada berhentinya Paskas pada tanggal 6 April 2004.  Di Amerika Serikat pernah terjadi beberapa kali proses impeachment terhadap presiden misalnya pada Andrew Johnson, Richard Nixon, dan terakhir pada William Clinton. Namun, tidak semua tuduhan impeachment yang dilakukan di Amerika itu berakhir pada berhentinya presiden. Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan quasi political court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment, yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan pidana. Dalam perkembangan hukum tata negara dewasa ini pranata impeachment menjadi populer sebab ada beberapa presiden dari beberapa negara di dunia yang masing-masing negara mempunyai sistem politik dan ketatanegaraannya yang berbeda, ingin melakukan impeachment terhadap presidennya karena dituduh telah melakukan suatu tindak pidana. Dengan kata lain, negara-negara itu meski sebagian belum memasukkan dalam konstitusinya tetapi melaksanakannya dalam praktik.  Misalnya, kasus impeachment yang telah dihadapi Presiden Joseph Estrada, Presiden Taiwan Chen Shui-bian yang dituduh membatalkan proyek pembangkit tenaga nuklir; Presiden Paraguay Raul Cubas yang dituduh melakukan tindak kriminal penyalahgunaan kekuasaan. Itu sebabnya Jokowi tampaknya santai-santai saja dalam menanggapi wacana impeachment. Seakan dia berkata: \"impeachment? Siapa takut..!\" ==== Perbandingan WATERGATE 1. Upaya penyadapan Partai Demokrat  melalui pembobolan untuk memasang alat sadap, waktunya pada saat kampanye pilpres. Maksudnya untuk mengganggu pencalonan presiden dari Partai Demokrat. Presiden Nixon terbukti terlibat.   2. Tuduhan terhadap Richard Nixon adalah menghalangi penyidikan (obstruction of Justice), menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power), dan melecehkan Kongres AS.   3. Penyelidikan parlemen dimulai dari adanya laporan Washington Post melalui investigasi 2 orang wartawannya, dari bocoran informasi yang diberikan oleh sumber anonim yang diberi nama Deep Throat.  MOELDOKOGATE  1. Moeldokogate, ada upaya untuk mengambil alih Partai Demokrat, melalui tangan kepala staf presiden, dan juga dilaksanakan menjelang kontestasi pemilihan Presiden 2024. Presiden Jokowi jelas terlibat, paling tidak membiarkan (by ommission) Moeldoko mengganggu daulat partai.  2. Hal yang sama sebenamya bisa dilihat di Indonesia. Ada upaya untuk obstruction of justice, untuk menutupi perkara kawan koalisi dan mengangkat perkara lawan oposisi. Salah satu indikasinya adalah dengan perpanjangan masa Jabatan pimpinan KPK melalui keputusan MK.  3. Di Indonesia belum ada proses penyelidikan. Harusnya bisa dilakukan jika DPR mau menggunakan hak angket dan hak menyatakan pendapatnya. Dalam penyelidikan, diperlukan pembocor informasi (whistle blower) pula, untuk membongkar konspirasi yang terjadi whistle (*)

Sudirmam: Tidak Ada Anggota Koalisi yang Bisa Memaksa

Jakarta, FNN  – Juru bicara koalisi pendukung bakal calon Presiden Anies Rasyid Baswedan, Sudirman Said menyatakan, seluruh anggota Koalisi Perubahan dan Persatuan selalu menggunakan Piagam Kerjasama sebagai pedoman. Menurut Sudirman sebagaimana Piagam Kerja sama Tiga Partai bertanggal 14 Februari 2023 antara lain menyatakan bahwa Calon Presiden (capres) Anies Rasyid Baswedan diberi mandat untuk memilih dan menetapkan Calon Wakil Presiden sebagai pendamping dalam Pemilu 2024 nanti. “Sejauh ini suasana dalam rapat-rapat Tim 8 yang merupakan wakil resmi dari partai-partai dan Capres, selalu kondusif, saling suport, dan saling percaya. Tidak ada suasana memaksakan kehendak, termasuk dalam membicarakan opsi-opsi bakal calon pasangan Pak Anies,” tutur Sudirman dalam pembicaraan dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief, Sabtu (10/6/2023). Menurut Sudirman proses pemilihan cawapres pendamping Anies Baswedan sudah mendekati tahap final. Bahkan Sudirman menyebut tidak ada pihak termasuk anggota koalisi yang bisa memaksa nama-nama tertentu untuk menjadi cawapres pendamping Anies, karena mandat tersebut berada di tangan capres. “Karena itu tidak mungkin ada yang bisa memaksakan harus dengan nama tertentu, atau apriori menolak nama tertentu. Kami syukuri, kesepakatan ini menjadi jalan keluar yang dapat menghindari kebuntuan,” tambah Sudirman. Sudirman juga menanggapi santai soal adanya perbedaan pendapat di antara anggota koalisi pendukung Anies Baswedan. Menurutnya perbedaan tersebut adalah bagian dari demokrasi di internal. Sudirman juga menyampaikan apresiasi atas antusiasme semua pihak yang telah membangun dinamika koalisi menjadi semakin kuat. Adanya usulan dan dorongan lanjut Sudirman merupakan sesuatu alternatif pandangan bagi Koalisi Perubahan dalam membangun hubungan yang lebih solid lagi ke depan. “Ibarat membangun rumah, diperlukan keragaman bahan bangunan dan keahlian untuk menjadikan satu rumah. Kalau pandangan dan opsinya monolitik, linier, terpaku satu saja, malah mungkin kita tidak ke mana-mana,\" pungkasnya. (ida)

Jebakan Maut PDIP untuk AHY

Oleh Sholihin MS - Pemerhati Sosial dan Politik ATAS saran berbagai pihak, PDIP (topangan oligarki taipan) akan meminang AHY untuk jadi cawapres Ganjar. Benarkah? Itu yang diucapkan Sekjen PDIP,  Hasto Kristianto. Setelah gagal menjegal Anies dengan cara-cara yang halus, sudah pula digunakan cara-cara yang vulgar, ternyata masih gagal. Maka cara terakhir  rezim Jokowi yang dikendalikan oligarki taipan akan  menggunakan cara jebakan, licik, dan politik adu domba (devide at impera). Seorang penjahat yang \"cerdik\" mengetahui kelemahan lawan, yaitu dengan teori \"pura-pura baik\" dan menjanjikan berbagai kebaikan. Padahal semua itu hanya sebuah jebakan maut. Rezim Jokowi sedang memainkan strategi devide at impera (strategi pecah belah atau adu domba) untuk menghancurkan koalisi perubahan. Di zaman penjajahan VOC dan Belanda, strategi ini sangat berhasil, sehingga Belanda bisa menguasai Indonesia sampai 3,5 abad. Biasanya rakyat dari kelompok tertentu dihasut untuk memusuhi kelompok yang lain, sehingga terjadi \"perang saudara\" yang akhirnya rakyat mudah dikalahkan. Rezim Jokowi memang sudah kehilangan jati diri sebagai penguasa yang jujur, menjunjung tinggi etika dan adil, sehingga selalu menghalalkan segala cara. Cara-cara licik ini yang akan diterapkan kepada koalisi perubahan, tujuannya untuk menggagalkan Anies nyapres.  Dapat dipastikan, tawaran PDIP kepada AHY  untuk jadi cawapres Ganjar dengan iming-iming: nanti di tahun 2029 akan dijadikan capres adalah sebuah kebohongan yang nyata.  Mengapa? Ini alasannya: pertama rezim Jokowi itu rezim pendusta, tidak ada satu janjipun yang bisa dipegang. Semua janji kampanye Jokowi tidak ada satupun yang ditepati. Jokowi telah dijuluki King of Lip Service (Raja Pembual). Orang kalau sudah beberapa kali berbohong disebutnya pendusta (al-kadzdzaab). Omongannya sudah tidak bisa dipegang. Kedua, skenario membujuk AHY jadi cawapres Ganjar adalah satu rangkaian dari skenario Jokowi untuk menjegal Anies. Empat bulan yang lalu PDIP melalui Sekjennya telah berucap: Menutup pintu berkoalisi dengan partai-parti koalisi perubahan (Nasdem, PKS, dan Demokrat). Ini adalah karakter asli PDIP. Jika sekarang jadi berubah, pastinya ada yang perlu dipertanyakan, pastinya ada udang di balik batu. Hampir dipastikan ada maksud tertentu,  yaitu niat jahat menjegal Anies dan menjerumuskan AHY. Ketiga, PDIP dan rezim Jokowi sudah menyadari bahwa Anies pasti menang di Pilpres 2024 mungkin hanya dengan satu putaran saja. Walaupun lembaga-lembaga survei yang mereka bayar selalu menempatkan Anies di urutan ke-3 setelah Ganjar dan Prabowo, tapi secara real dan menurut hati nuraninya mereka tahu bahwa hasil dari lembaga- lembaga survei bayaran itu bohong belaka,  dan yang sebenarnya  elektabilitas Anies telah  jauh melampaui Ganjar dan Prabowo. Keempat, mereka sadar bahwa jika Anies nyapres maka Ganjar tidak ada artinya sama sekali. Satu-satunya cara: Anies jangan nyapres, sehingga jika tanpa Anies perolehan suara bisa diutak-atik untuk kemenangan Ganjar. Jadi tujuan sebenarnya PDIP menawarkan AHY jadi cawapres hanya untuk menggagalkan Anies nyapres saja. Kelima, jika AHY menerima pinangan PDIP  terus meninggalkan koalisi perubahan dan atas kuasa Allah Anies tetap menjadi Presiden di tahun 2024, maka karir politik AHY bakal tamat. Jika itu yang dipilih AHY, nasibnya akan sama seperri Sandiaga Uno, karir politiknya berakhir.  Walaupun Anies terus menerus didzakimi dan dijegal, secara qodarullah (kekuasaan Allah) Anies akan menjadi Presiden 2024, baik dengan cara yang normal atau melalui keajaiban Allah. Maka orang-orang yang bermasalah dengan Anies bersiap-siaplah akan mengalami nasib yang sangat buruk. Sebagai orang beriman kita harus yakin akan cawe-cawenya Allah jika kedzaliman manusia sudah melampaui batas dan semua jalur ikhtiar sudah tertutup. Itu bagian dari ketentuan Allah.  Insya Allah, tahun 2024 adalah tahunnya rakyat Indonesia, khususnya ummat Islam. Bandung, 23 Dzulqa\'dah 1444 H.

Negara Kembalilah ke UUD 1945

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  KAJIAN Politik Merah Putih merespons sinyal akhir akhir ini ada sayup-sayup makin jelas Ketua Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, bangkit kembali semangatnya untuk perjuangan negara harus kembali ke UUD 45. Semangat untuk kembali ke UUD 45 adalah rintihan dan tangisan rakyat Indonesia, setelah sekian dekade di berlakukannya UUD 2002, negara makin mendekat ke jurang kehancurannya. Kajian Politik Merah Putih meyakini bahwa fakta sejarah setelah UUD tahun 1945 yang pertama kali ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 telah diubah dengan munculnya UUD 2002, otomatis telah mengubah jalannya sistem ketatanegaraan dan mengubah praktek penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Muatan dalam UUD 2002 secara politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum serta pertahanan dan keamanan telah bergeser menjauh dari tujuan negara sesuai pembukaan UUD 45. Fakta menunjukkan berdasarkan kajian hukum normatif UUD 45, hasil amandemen 2002 itu sendiri tidak konsisten dan tidak koheren dengan Pancasila dan tertib hukum Indonesia (Prof. Dr. H. Kaelan, M. S. - 2022). UUD 2002, merupakan hasil amandemen  tidak ada hubungannya dengan revolusi perjuangan bangsa 17 Agustus 1945, melainkan mengganti (renew) UUD 45. merupakan kebohongan pada seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai Pancasila serta asas-asas \"staatsfundamentalnorm\" telah dimarjinalkan dan digantikan dengan \"filosofi liberalisme, individualisme dan pragmatisme\". Penggantian filosofi sampai penggilas dan mengabaikan tujuan negara untuk melindungi seluruh tumpah darah dan seluruh rakyat, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam proses amandemen UUD 2002, pasal pasal UUD 45 yang diubah/diganti hampir 95 %, terutama menyangkut substansi pasal pasalnya. Maka sejarah konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia hal ini bukanlah amandemen melainkan mengganti konstitusi  (Prof. Dr. H. Kaelan, M. S. - 2022). Pemberlakuan UUD 2002 merupakan  penggantian norma fundamental negara, sama halnya dengan pembubaran Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Upaya  Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti yang muncul kembali menggelorakan kembali ke UUD 45, layak kita apresiasi.  Kajian Politik Merah Putih mendesak tanpa tawar menawar, lembaga negara Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, harus menyadari kewajiban mutlak negara  kembali ke UUD 45. Bersamaan dengan semangat seluruh kekuatan rakyat Indonesia,  bergerak bersama, negara harus segera dan secepatnya kembali ke UUD 45. Dengan tidak boleh  ada intervensi Presiden Jokowi dan kekuasan lainnya  yang mencoba ingin  menggangu dengan perpanjangan masa jabatan dan bargaining licik lainnya. Politik licik semacam itu harus di hancurkan dan dimusnahkan. *****

Fahri Hamzah : Pemilu 2024 akan Semakin Liar Jika KPU Hapus Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye

JAKARTA, FNN  - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menilai rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang akan menghapus Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Dana Kampanye Pemilu 2024.  Fahri Hamzah khawatir jika wacana tersebut dilakukan, maka pesta demokrasi akan semakin liar. \"Pesta akan semakin liaaaarrr ….! Dan tentunya akan sangat bahaya bagi demokrasi di Indonesia,\"  kata Fahri Hamzah dalam keterangannya, Selasa (12/6/2023). Menurut Fahri, audit dana kampanye sangat penting dalam menentukan fair atau tidaknya pemilu. Karena dana pemilu adalah salah satu faktor penentu utama kemenangan. \"Bahkan kalau tidak dikontrol dan dibatasi, maka uang bisa menjadi sebab kemenangan utama terutama untuk money politics atau politik uang,\" kata Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2015 ini lagi. Fahri yang merupakan calon legislatif (Caleg) Partai Gelora dari daerah pemilihan atau Dapil NTB I ini pernah menyebutkan bahwa guna menghindari politik uang, ada tiga cara pembiayaan, yakni 100 persen dibiayai negara, dibiayai oleh fully by market atau sepenuhnya dibiayai pasar dan pembiayaan dengan sistem hibryd. \"Pembiayaan yang dibiayai 100 persen oleh negara ini, untuk mengantisipasi keterlibatan dari tim dirty money dan ilegal money ke dalam pemilihan di pemilu dan partai politik,\" terangnya. Lebih ekstrem lagi, adalah dibiayai oleh fully by market atau sepenuhnya oleh pasar, seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Tetapi tentunya harus ada regulasi yang ketat agar dana yang dikumpulkan untuk kegiatan pemilu, tidak boleh jatuh kepada pembiayaan pribadi. \"Sedang pembiayaan dengan sistem hibryd, sepertinya kita ingin memakai ini. Tapi regulasinya itu tidak ketat sehingga pelibatan uang ilegal di dalam pemilu di kita itu masih terlalu ketat, terutama yang tidak disadari adalah pembiayaan pemilu berbasis kepada uang pribadi,\" demikian Fahri Hamzah. Seperti diketahui, KPU RI diketahui tidak memuat pasal yang mewajibkan peserta pemilu menyampaikan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) dalam rancangan Peraturan KPU tentang Dana Kampanye. Komisi II DPR RI pada akhir Mei 2023 lalu menyetujui rancangan peraturan tersebut. Beleid itu akan segera diundangkan.  Padahal, pasal yang mewajibkan LPSDK selalu ada dalam regulasi KPU pada setiap gelaran pemilu dan pilkada sejak tahun 2014. Ketika LPSDK resmi dihapuskan, maka semua peserta Pemilu 2024, mulai dari pasangan capres-cawapres hingga partai politik, tidak lagi wajib melaporkan sumbangan kampanye kepada KPU segera setelah dana diterima selama masa kampanye. Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja menilai kebijakan KPU RI menghapus ketentuan yang mewajibkan peserta pemilu menyampaikan dana sumbangan kampanye yang diterimanya, membuat pihaknya kesulitan mengawasi aliran dana sumbangan kampanye dalam gelaran Pemilu 2024. (ida)