ALL CATEGORY

Kita Butuh Pemimpin Berani

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  TUNTUTAN people power terus menggema, masyarakat sudah mengetahui situasi makin memburuk, keadaan  mulai rusak dan membusuk, berbahaya untuk kehidupan yang damai dan berkeadilan. Sekelompok masyarakat  nanar, bingung, putus asa dan kehilangan arah,  pasrah tersisa hanya berharap ada pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Keadaan yang makin memburuk tidak bisa hanya dilawan hanya dengan narasi semangat  harapan. Harus dihadapi  dengan tindakan  cepat dan realistis. Keadaan harus dengan tindakan riil, akan menunjukkan kekuatannya sebagai pejuang yang termotivasi mampu bergerak dan menurunkan mental penguasa. Datang dan munculnya gerakan masih mencari bentuknya. Ragu-ragu bertindak sama artinya sedang masuk dalam kondisi yang fatal. Seruan people power bisa menjadi Imun, rezim tetap besar kepala karena meyakini people power tidak akan terjadi   Tanpa perlawanan  akan sama sedang menyamarkan diri karena ketakutan, itu petunjuk perjuangan akan jalan di tempat. Tanpa riil melakukan perlawanan tidak akan pernah mendapatkan kemenangan dan perdamaian   Keadaan akan bisa berbalik arah, penguasa zalim akan membunuh kita ketika mereka menemukan momentumnya. Tokoh sepuh dari Jogjakarta Prof. Dr. H. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.  memberikan secercah saran; \"melihat kondisi sekarang menurut hemat saya sangat dibutuhkan people power (PP) untuk stop keberingasan rezim yang semakin menyengsarakan rakyat. Untuk gerakkan PP  ada 4 syarat utama, (1) ada sejumlah issue penting yang menyangkut hajat rakyat dan bangsa, (2) ada pimpinan PP yang handal, (3) ada dukungan dana cukup, di samping dukungan setiap warga, dan (4) time frame (akumulasi) gerakan pendudukan kantor strategis (Istana dan Senayan/gedung MPR/DPR/DPD, sebagai simbol perlawanan.\" Sedangkan dari tokoh dan aktifis kampus, Managing Director · Political Economy and Policy Studies (PEPS) Prof. Anthony Budiawan: \"Minta pendapat mereka bagaimana kondisi negara saat ini menurut mahasiswa. Kalau mereka berpendapat masih normal saja, maka tidak akan ada gerakan atau protes masif\". Prof. Rizal Ramli mengatakan, \"Saat ini kita butuh pemimpin yang berani, sikap yang tegas dengan segala konsekuensi dan resikonya. Sudah tidak waktunya lagi bicara soal teori ini itu, saat berdialog yang lebih riil riil selesaikan Jokowi. Perubahan bukan karena kita ingin perubahan tetapi kondisi objektif yang memaksa harus terjadinya perubahan. Saat ini kondisi objektif sudah matang untuk terjadinya perubahan\"  ***

Mahfud MD: Panglima Tertinggi TNI Tidak Akan Netral Itu Pasti

Jakarta, FNN – Pernyataan-pernyataan Menko Polhukam, Mahfud MD, hampir selalu quotable, sehingga selalu dikutip oleh berbagai media. Mahfud yang kadang bisa kita baca sebagai seorang etikus, kadang berubah menjadi politikus. Mahfud juga kadang berada di dalam dilema, tapi kadang berfungsi sebagai pembisik keadaan istana. Baru-baru ini, dalam  forum literasi digital yang dibuka oleh Mahfud MD dan dihadiri juga oleh Panglima TNI, Mahfud sempat berbisik kepada Panglima TNI, Yudho Margono, dan menyatakan bahwa Pemilu 2024 akan aman kalau TNI dan polisi netral. Mahfud wanti-wanti agar polisi dan TNI netral. Ini berarti, Mahfud membaca ada kecenderungan bahwa polisi tidak netral. “Jadi, kalau Mahfud kita masukkan ke dalam psikogram, peta batin Mahfud, kita bisa lihat bagaimana Mahfud itu mencemaskan keadaan sebenarnya.  Jadi, kecemasan Mahfud menyebabkan dia harus bicara atau mengungkapkan sesuatu supaya bisa di-quote oleh publik,” ujar Rocky Gerung dalam YouTube Rocky Gerung Official edisi Rabu (14/5/23), menanggapi pernyataan Mahfud MD. Jadi, lanjut Rocky, sebetulnya pernyataan Mahfud ini mengarah pada kecemasan dirinya, bukan kecemasan Jokowi. Dia cemas bahwa publik tidak tahu apa yang sedang berlangsung.  Untuk itu, pernyataan Mahfud harus kita terjemahkan secara psikologi terbalik bahwa kalau Mahfud mengatakan Pemilu akan damai jika TNI atau Polri tidak ikut campur atau cawe-cawe, itu artinya Mahfud sebetulnya tahu secara sadar apa yang sedang berlangsung. Itu sejajar dengan aktivitas presiden sekarang yang ikut cawe-cawe. “Kalau presiden ikut cawe-cawe, itu artinya presiden menginginkan intervensi dia ke dalam politik. Tentu melalui kekuasaan yang dimiliki, karena bagaiamanapun dia adalah Panglima tertinggi TNI, Polri sekarang  berada di bawah presiden. Jadi, Mahfud bagus juga tuh, mengatakan bahwa cawe-cawe presiden bisa berakibat penggunaan TNI dan Polri untuk kepentingan dia. Jadi bagus sebagai pesan tersembunyi,” ujar Rocky. Dalam diskusi bersama Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu Rocky juga mengatakan bahwa sebetulnya Mahfud mau bilang memang presiden tidak akan netral karena presiden sudah mengatakan bahwa dia tidak netral, dia akan berpihak. Bagian ini tentu dimengerti oleh Mahfud sebagai kondisi riil di istana. Tetapi, Mahfud juga mengerti bahwa presiden tidak netral kalau misalnya TNI bisa dipengaruhi. Tetapi, TNI tidak mungkin bisa dipengaruhi. TNI sudah mengambil jarak. Lain halnya dengan polisi. Menurut Rocky, Polisi masih dianggap bagian dari kekuasaan Jokowi karena masih ada semacam kenangan samar-samar bahwa pada tahun 2019 polisi terlihat memihak. Walaupun dibantah, tetapi publik sudah mengambil  kesimpulan bahwa polisi berpihak. “Jadi, Mahfud mau mengingatkan bahwa polisi pernah tidak netral. Itu dengan maksud sekarang netral dong,” ujar Rocky. Mahfud, kata Rocky, tahu semua  laporan tentang inetralitas Polri, baik dari laporan langsung atau cerita-cerita yang dia kumpulkan dari daerah, yang menunjukkan bahwa pola itu masih ada. Sementara itu, kita tahu bahwa memang dalam segi pengendalian politik, polisi terlihat tidak netral atau terasa tidak netral. Itu peristiwa di 2019 yang mungkin sekali sudah berubah hari ini, tetapi kenangan itu ada pada Mahfud. “Jadi, Mahfud sebetulnya hanya mengompilasi kondisi di 2019, lalu bikin proyeksi. Proyeksi itu sebetulnya dia lakukan supaya jangan terjadi pengingkaran fungsi polisi dan tentara, sehingga rakyat akhirnya enggak percaya bahwa Pemilu bakal netral. Tetapi, Mahfud omongkan atau tidak omongkan memang sudah terlihat Pemilu tidak akan netral. Justru Panglima tertinggi sendiri yang mengatakan bahwa dia tidak akan netral. Jadi Jokowi tidak akan netral itu pasti,” pungkas Rocky. (sof)

PT DKI Jakarta Menguatkan Vonis 15 Tahun Surya Darmadi

Jakarta, FNN - Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menguatkan vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap pemilik Darmex Group Surya Darmadi, yakni 15 tahun penjara dan membayar uang pengganti sekitar Rp42 triliun.“Menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 23 Februari 2023 nomor 62/Pid.Sus-TPK/2022/PN Jkt Pst,” ujar majelis hakim PT DKI Jakarta yang diketuai Mohammad Lutfi, dikutip dari salinan putusan nomor 18/PID.SUS-TPK/2023/PT DKI, diakses di Jakarta, Rabu.Sebelumnya, pada 23 Februari 2023, Hakim Ketua Fahzal Hendri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memvonis Surya Darmadi dengan hukuman 15 tahun penjara dalam perkara tindak pidana korupsi usaha perkebunan kelapa sawit tanpa izin di Provinsi Riau periode 2004—2022.Majelis hakim menilai Surya terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primer pertama Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP serta dakwaan primer ketiga Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.Selain itu, terdakwa juga dituntut membayar uang pengganti sebesar uang yang dia dapatkan dari perbuatan pidana tersebut sebesar Rp2.238.274.248.234,00 dan uang pengganti kerugian perekonomian negara sebesar Rp39.751.177.520,00.\"Apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti selambat-lambatnya dalam kurun waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, harta benda dapat disita dan dilelang atau diganti dengan pidana tambahan selama 5 tahun,\" kata Fahzal.Terkait dengan hal yang memberatkan, di antaranya majelis hakim menilai perbuatan Surya tidak mendukung program pemerintah terkait dengan pemberantasan korupsi. Kedua, tindakan terdakwa telah memicu kemunculan konflik antara perusahaannya dan masyarakat setempat.Sementara itu, hal-hal yang meringankan, di antaranya Surya telah lanjut usia, bersikap sopan di persidangan, melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan seperti membangun infrastruktur, perumahan karyawan, sekolah, dan rumah ibadah, memiliki 21.000 karyawan, dan taat dalam membayar pajak.(ida/ANTARA)

KPK Menyelidiki Dugaan Korupsi di Kementerian Pertanian

Jakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini telah membuka penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan).  Informasi tersebut dibenarkan Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu.  \"Saat ini KPK sedang melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi di Kementan,\" kata Asep saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Selasa.  Meski demikian Asep belum bisa memberikan keterangan lebih lanjut mengenai kasus tersebut karena prosesnya masih dalam tahap penyelidikan.  \"Betul, masih dalam proses penyelidikan, mohon maaf belum ada informasi yang bisa kami sampaikan,\" ujarnya.Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri membenarkan perihal penyelidikan tersebut dan KPK telah memeriksa sejumlah pihak terkait dugaan tindak pidana korupsi tersebut.  \"Sejauh ini yang kami ketahui benar, tahap proses permintaan keterangan kepada sejumlah pihak atas dugaan korupsi di Kementan RI,\" kata Ali.  Ali menyebut penyelidikan tersebut sebagai tindak lanjut laporan masyarakat yang diterima KPK dan ditindaklanjuti dengan proses penegakan hukum.  Ali mengatakan dirinya belum bisa memberikan penjelasan detail soal kasus tersebut karena prosesnya masih dalam tahap penyelidikan.  \"Karena masih pada proses penyelidikan tentu tidak bisa kami sampaikan lebih lanjut,\" tuturnya.(ida/ANTARA)

Muhaimin Masih Menjadi Prioritas Cawapres untuk Prabowo

Bandarlampung, FNN - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan bahwa saat ini Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar masih menjadi prioritas sebagai calon wakil presiden (cawapres) untuk mendampingi Prabowo Subianto.\"Untuk saat ini Muhaimin Iskandar masih jadi prioritas karena parpol yang mendukung Prabowo sebagai calon presiden baru PKB,\" kata Ahmad Muzani, di Bandarlampung, Rabu.Ia mengatakan bahwa nama Muhaimin Iskandar disodorkan karena PKB memang menginginkan ketua umumnya sebagai cawapres dari Prabowo Subianto sehingga hal ini menjadi sesuatu yang sangat baik.\"PKB berharap ketumnya jadi cawapres, jika itu yang diharapkan tentu adalah sesuatu yang sangat baik. Terlebih Pak Prabowo dan Muhaimin ada kecocokan dan \'chemistry\',\" kata dia.Terkait banyaknya nama yang beredar sebagai cawapres Pak Prabowo, ia mengungkapkan bahwa orang-orang tersebut merupakan putra dan putri terbaik bangsa.\"Saya menganggap nama-nama yang disodorkan netizen, rakyat, para alim ulama, kiai, dan lainnya adalah nama-nama yang dalam pandangan kami putra dan putri terbaik bangsa ini,\" katanya.Menurutnya, Partai Gerindra menyambut baik nama-nama cawapres yang beredar siapa pun dan dari mana pun namanya karena merekalah orang-orang terbaik dan berbakti kepada bangsa dan negara.\"Terlebih mereka punya jam terbang dan semangat memberikan yang terbaik bagi bangsa,\" ujarnya.(ida/ANTARA)

Impeachment: Mengukur Kekuatan Jokowi

Denny Indrayana menyerukan impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. Sementara pimpinan Parpol masih sibuk mempersiapkan pengganti presiden pada 2024.  Oleh Dimas Huda ---Wartawan Senior FNN Apes menimpa Ibu Negara Iriana Jokowi. Ia terjatuh saat turun di tangga pesawat Kepresidenan RI 1 pada 14 November 2022. Untung ada sang suami yang menggenggam erat tangannya.  Peristiwa ini terekam saat Iriana bersama Presiden Jokowi turun dari pesawat di Bandara Ngurah Rai, Bali jelang gelaran KTT G20. Jatuhnya Iriana jelas tidak serius. Ini jika dibandingkan, misalnya, jika Presiden Jokowi yang jatuh. Bukan dari tangga pesawat, melainkan dari jabatannya sebagai presiden.  Hal itu bukan hal yang musykil. Prof H Denny Indrayana, SH, LLM, PhD telah menyerukan pemakzulan atas Presiden Jokowi. Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2011-2014) ini memandang Jokowi telah melakukan tiga pelanggaran konstitusional. “DPR RI harus memulai proses impeachment,” ujar Denny dalam surat terbuka yang ditujukan kepada DPR RI. Surat terbuka itu diunggah Denny di akun Twitternya. Denny Indrayana membeberkan sederet perilaku Jokowi yang dianggap dapat merusak konstitusi Negara. Misalnya, Jokowi melakukan cawe-cawe politik untuk mendesign agar Pilpres 2024 hanya diikuti oleh dua kontestan. Kemudian, membiarkan Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menganggu Partai Demokrat melalui gerakan pengambilaihan partai. Lalu kasus Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa yang dicopot dan dijerat kasus hukum setelah Suharso empat kali bertemu Anies Rasyid Baswedan. Yang pada intinya, gerakan-gerakan Jokowi itu menurut Denny Indrayana bertujuan untuk menjegal Anies Baswedan ikut Pilpres 2024. \"Itu sebabnya saya berkirim surat kepada Mega (Megawati Soekatnoputri) untuk mengingatkan petugas partainya di Istana, jangan gunakan tangan kuasa untuk cawe-cawe merusak konstitusi bernegara,\" tulis Denny Indrayana dalam tulisannya berjudul \'Awas, Krisis Konstitusi di Depan Mata!\' Persoalannya, proses pemakzulan bukan hal yang murah dan mudah untuk saat ini. Apalagi jika seruan itu dilakukan ketika partai politik tengah gencar-gencarnya memanaskan mesin partainya. Kasat mata sudah tampak, bahwa mayorias partai politik kini berhubungan mesra dengan Presiden Jokowi. Mereka sudah sekendang sepenarian dengan Presiden Jokowi. Nah, itu sebabnya perlu kiranya mengukur kekuatan Jokowi saat ini.  Kasus Sukarno Dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia, impeachment atau pemakzulan yang berujung pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, telah terjadi dalam dua rezim pemerintahan yakni pada masa Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Hal itu terjadi sebelum perubahan UUD 1945. Presiden Sukarno diberhentikan oleh MPRS berdasarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Hal tersebut dilakukan MPRS setelah Sukarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban dengan judul Nawaksara yang oleh Sukarno disebut sebagai pertanggungjawaban sukarela, karena faktanya pertanggungjawaban tersebut diberikan bukan atas permintaan MPRS. Setelah pidato pertanggungjawaban tersebut disampaikan, MPRS meminta agar Presiden melengkapi pidato pertanggungjawabannya yang kemudian dikenal dengan Pidato Pelengkap Nawaksara.  Adapun hal-hal yang diinginkan oleh MPRS untuk meminta Presiden melengkapi pidato pertanggungjawabannya adalah agar Presiden menjelaskan mengenai sebab-sebab terjadinya G-30-S/PKI beserta epilognya dan kemunduran ekonomi serta akhlak.  “Pertanggungjawaban yang menyangkut  tindakan moral yang dilakukan oleh rakyat seharusnya bukan merupakan bagian yang harus dipertanggungjawabkan oleh seorang Presiden,” tulis Soewoto Mulyosudarmo dalam bukunya berjudul “Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997). Dalam pemberhentian Presiden Sukarno tidak dikenal adanya penyampaian memorandum oleh DPR. Karena pada waktu itu belum ada ketentuan yang dibuat secara jelas dan tegas mengenai proses pertanggungjawaban Presiden dalam masa jabatannya karena dianggap telah melanggar haluan negara.  Adapun yang dijadikan dasar pertanggungjawaban Presiden Sukarno pada waktu itu hanyalah Penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa jika DPR menganggap bahwa Presiden melanggar haluan negara, maka DPR dapat mengusulkan kepada MPR untuk mengadakan persidangan istimewa meminta pertanggungjawaban Presiden. Apabila dicermati proses penyampaian pertanggungjawaban Presiden Sukarno pada waktu itu terungkaplah bahwa MPRS sejatinya tidak pernah meminta pertanggungjawaban Presiden. Itulah yang kemudian membuat pertanggungjawaban tersebut disebut sebagai pertanggungjawaban sukarela. Namun setelah penyampaian pidato sukarela tersebut, MPRS meminta kepada Presiden untuk melengkapi pidato pertanggungjawabannya. Atas permintaan tersebut Sukarno menyampaikan pidato yang dikenal dengan Pidato Pelengkap Nawaksara.  Pidato ini kemudian juga mendapat penolakan dari MPRS yang pada akhirnya memberhentikan Soekarno dari jabatan Presiden. Kasus Gus Dur Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya juga terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid. Proses pemberhentian ini dilakukan ketika proses Perubahan Ketiga UUD Negara RI Tahun 1945 dilakukan. Akibatnya, proses pemberhentiannya tetap berpedoman kepada Penjelasan UUD 1945 serta Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. Saldi Isra dalam artikelnya berjudul “Saatnya Sidang Istimewa MPR” yang dilansir Harian Republika, Kamis 1 Februari 2001, menjelaskan dalam kasus Abdurrahman Wahid, setidaknya terdapat lima peristiwa yang dapat dijadikan alasan bagi MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa. Pertama, Abdurrahman Wahid pernah meminta agar Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pelarangan-pelarangan Penyebaran Ajaran Marxisme, Komunisme, dan Leninisme dicabut. Padahal apabila ditinjau dari sisi ketatanegaraan usulan ini tidak tepat, karena Presiden terikat untuk menjalankan haluan negara termasuk ketetapan MPRS tersebut. Hal ini juga bertentangan dengan sumpah dan janji yang diucapkan di hadapan MPR sebelum ia dilantik menjadi Presiden.  Dalam negara demokrasi modern pelanggaran seperti ini merupakan pelanggaran yang sangat prinsipil dalam penyelenggaraan negara.  Kedua, pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa hak interpelasi DPR merupakan tindakan inkonstitusional. Hak interpelasi tersebut berkaitan dengan tindakan Presiden yang memberhentikan beberapa orang menteri di kabinetnya. Bahkan sebelumnya Presiden juga pernah menilai bahwa DPR seperti taman kanak-kanak.  Ketiga, penggantian Kapolri dari Jenderal S. Bimantoro kepada Komjen. (Pol). Chaeruddin Ismail yang dilakukan secara sepihak oleh Presiden dinilai telah melanggar ketetapan MPR, karena penggantian tersebut mengharuskan adanya persetujuan DPR. Tindakan jelas melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh MPR.  Keempat, adanya pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa semua pansus yang ada di DPR adalah ilegal sehingga apapun yang dihasilkan oleh pansus tidak sah secara hukum. Hal ini terkait dengan beberapa kasus seperti adanya indikasi keterlibatan Presiden dalam skandal bullogate dan bruneigate.  Kelima, penolakan Presiden terhadap dua orang calon ketua Mahkamah Agung (MA) yang diusulkan DPR. Tindakan ini membuat Presiden tidak menjalankan ketentuan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang MA yang menyatakan bahwa Ketua MA diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan DPR.  Hal ini juga mengindikasikan bahwa Presiden mencoba mengintervensi MA sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi serta bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya yang bersifat ekstra yudisial. Hanya saja, yang jadi alasan di luar itu semua. Gus Dur dijerat dengan skandal Bulog dan sumbangan Sultan Brunei kepada Aceh yang ngetop disebut Buloggae dan Bruneigate. Mengontrol Kekuasaan Sidang Istimewa menjadi salah satu instrumen untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan Presiden. UUD 1945 memang tidak mengatur secara jelas mengenai prosedur hingga Sidang Istimewa dilaksanakan oleh MPR.  Hanya saja, untuk kasus Abdurrahman Wahid agak sedikit berbeda, karena pada era ini telah terdapat ketentuan yang memberikan pengaturan mengenai penyelenggaraan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.  Ketentuan tersebut lahir pada masa pemerintahan Orde Baru yang berbentuk ketetapan MPR. Meskipun kehadiran ketetapan ini terkesan mempersulit dilaksanakannya Sidang Istimewa, tetapi di sisi lain ada upaya untuk memperjelas mekanisme pelaksanaan Sidang Istimewa.  Mekanisme Sidang Istimewa tersebut tercantum di dalam Pasal 7 Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Ketentuan tersebut menghendaki bahwa sebelum Sidang Istimewa dilakukan harus melalui proses penyampaian memorandum pertama dan memorandum kedua oleh DPR kepada Presiden. Dalam kasus Abdurrahman Wahid, proses penyampaian memorandum tersebut juga telah dilakukan. Namun hal tersebut tidak diindahkan oleh Presiden. Bahkan ia mengeluarkan maklumat pada dini hari tanggal 23 Juli 2001, hal ini menjadi puncak kepanikan Presiden dalam menghadapi tekanan politik yang menginginkan dirinya untuk turun dari tampuk kekuasaannya.  Salah satu isi dari maklumat tersebut adalah membekukan lembaga MPR. “Pembekuan MPR sebagai lembaga yang posisi konstitusionalnya berada di atas Presiden, jelas lebih mencerminkan kepanikan ketimbang rasionalitas melembagakan demokrasi,” tulis Syamsuddin Haris dalam bukunya berjudul “Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia” (Grafiti, Jakarta 2007).  “Hal ini juga cukup menjadi alasan bagi MPR untuk mempercepat Sidang Istimewa,” tambah Saldi Isra.  Pada tanggal 23 Juli 2001, MPR akhirnya menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid, namun ia tidak hadir dan juga tidak menyampaikan laporan pertanggungjawabannya secara tertulis. Akhirnya MPR mengeluarkan ketetapan pemberhentian dari jabatannya sebagai Presiden karena ketidakhadiran dan penolakan memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR serta tindakan penerbitan maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001.  Tindakan ini dipandang oleh MPR sebagai pelanggaran terhadap haluan negara.  Pemberhentian presiden dalam masa jabatannya menjadi kewenangan MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia pada masa itu. Kekuasaan yang sangat besar ini secara hukum telah tercantum dalam UUD 1945 yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: ”Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Sistem kekuasaan di Indonesia menganut supremacy of parliament atau supremasi MPR, karena MPR sebagai lembaga tertinggi negara memiliki wewenang tak terbatas. Seluruh kekuasaan dan tanggungjawab penyelenggaraan negara harus dipertanggungjawabkan kepada MPR.  Pertanggungjawaban ini tidak terkecuali bagi seorang Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi di bawah MPR. “MPR berwenang mengangkat dan mengesahkan suatu pemerintah (eksekutif) dan sekaligus memberhentikan pemerintah yang diangkatnya itu apabila ia gagal atau tidak mampu lagi melaksanakan kehendak rakyat melalui majelis itu,” tulis Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia” (Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, Jakarta, 1983). Majelis dalam menjalankan kekuasaannya sebagai pemegang kedaulatan rakyat berwenang menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Negara.  “Jadi tidak hanya ditujukan kepada Presiden saja, tetapi ini ditujukan bagi semua lembaga negara agar tidak melakukan tindakan-tindakan di luar kewenangannya,” Sri Soemantri dalam “Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945” (Alumni, Bandung) menambahkan. Aturan Saat Ini Hanya saja, UUD 1945 yang berlaku dalam tiga periode yakni periode 1945- 1949, periode 1959-1966, dan periode 1966-1998 dipandang telah terbukti tidak pernah menghadirkan pemerintahan yang demokratis.  Perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali telah membawa perubahan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam perubahan tersebut salah satu kesepakatan dasar yang menjadi agenda adalah mempertegas system pemerintahan presidensial.  Hal tersebut dapat dicermati dari semakin kuatnya kedudukan Presiden dalam pemerintahan. Ia tidak mudah diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR kecuali ia terbukti telah melanggar ketentuan yang tercantum dalam undang-undang dasar. Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya diatur secara eksplisit di dalam Pasal 7A dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI 1945).  Dalam Pasal 7A dinyatakan bahwa Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh MPR sebelum masa jabatannya berakhir hanya mungkin dilakukan apabila Presiden sungguh-sungguh telah melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya, dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menjelaskan mengenai prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya tersebut.  Perubahan ini telah menggeser dominasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan menjadikan konstitusi sebagai pemegang kedaulatan. Proses pemberhentian Presiden inipun tidak hanya melalui forum politik di MPR, tetapi juga harus melalui proses peradilan di Mahkamah konstitusi. Dalam masa periode pasca-perubahan ketiga UUD 1945 memang belum ada praktik ketatanegaraan dalam hal pemberhentian presiden dalam masa jabatannya (pemakzulan). Namun setidaknya terdapat beberapa peristiwa yang berpotensi terjadinya pemakzulan Presiden.  Seperti bergulirnya hak angket DPR atas kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan terakhir kasus Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Keduanya terjadi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  Penahanan yang dilakukan Kepolisian terhadap kedua tokoh ini memancing simpati tidak hanya dari kalangan masyarakat umum tetapi juga dari para tokoh nasional untuk menjamin pembebasan keduanya.  Kala itu, Prof Dr Mahfud MD yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi RI mengingatkan bahwa gerakan ini bisa berujung kepada ancaman bagi kedudukan presiden melalui proses pemakzulan.  Presiden memang tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tetapi pelemahan terhadap lembaga KPK bisa diartikan terlibat korupsi. Keterlibatan Presiden juga dapat dipandang dari segi pembiaran yang dilakukan oleh Presiden atas penahanan terhadap kedua Pimpinan non-aktif KPK ini oleh kepolisian. Jadi tergantung bagaimana memformulasikan hukumnya. Hal senada diungkapkan Pengamat Hukum Tata Negara Saldi Isra. “Sekecil apapun kesalahan yang dilakukan oleh Presiden, gerbang pemakzulan bisa dimulai dan amat mungkin terjadi dengan memberi tafsir terbuka atas klausul Pasal 7A UUD Negara RI Tahun 1945,” tulis Saldi Isra dalam artikelnya berjudul “Gerbang Menuju Pemakzulan” (Media Indonesia, Rabu 04 November 2009). Lalu, apakah yang dilakukan Jokowi sudah layak untuk dimakzulkan? “Saya berpendapat, Presiden Joko Widodo sudah layak menjalani proses pemeriksaan impeachment karena sikap tidak netralnya alias cawe-cawe dalam Pilpres 2024,” jelas Denny Indrayana yakin. Kini, semua pimpinan partai politik sudah tunduk pada Presiden Jokowi. Dan menurut Denny justru inilah yang bisa dijadikan dalih mengapa Jokowi harus dimakzulkan. “Ada dugaan Presiden Jokowi memanfaatkan kekuasaan dan sistem hukum untuk mencengkram para pimpinan parpol untuk maksud tertentu terkait Pilpres 2024,” ujarnya. Tetap saja, hal ini tergantung apakah DPR yang didominasi oleh partai pendukung pemerintah akan melakukan pemakzulan atau tidak.

Perlu Kebijakan untuk Memastikan Sikap Netral ASN pada Pemilu 2024

Jakarta, FNN - ​​​​Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengatakan instansi pusat yang memiliki kewenangan perlu mengambil kebijakan yang dapat memastikan sikap profesional dan netral ASN, terutama camat dan lurah, pada Pemilu 2024 agar tidak berakibat buruk kepada mereka.  “Negara harus hadir untuk melindungi ASN yang netral. Instansi pusat yang memiliki kewenangan perlu mengambil kebijakan yang memastikan sikap profesional dan netral tidak berakibat buruk kepada ASN,” ujar Agus saat menyampaikan pidato kunci dalam Webinar KASN bertajuk \"Dilema Camat dan Lurah: Antara Profesionalisme dan Politik Tahun 2024\", sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube KASN di Jakarta, Rabu.  Menurut dia, ketiadaan kebijakan tersebut membuat ASN, khususnya camat dan lurah saat ini dihadapkan pada salah satu risiko, yakni adanya tindakan balas dendam dari salah satu peserta pemilu terpilih usai pesta demokrasi itu selesai.  Agus mengatakan saat ini sebagian pengangkatan dalam jabatan lurah dan camat tidak lagi berbasis kompetensi, tetapi berdasarkan kemampuan seseorang dalam memobilisasi suara warga.“Sikap bekerja tanpa menunjukkan keberpihakan pada salah satu kontestan bukanlah tanpa risiko. Sikap ini terkadang menjadi catatan dosa yang menghadirkan balas dendam bila pemilihan usai,” ucap Agus.  Ia menyampaikan beberapa hasil pengawasan KASN dalam kurun waktu tahun 2020-2023 mengenai jenis pelanggaran netralitas yang dilakukan lurah dan camat.  Jenis pelanggaran tersebut di antaranya mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan (36,5 persen), kampanye atau sosialisasi di media sosial berupa posting/like/komentar (20,1 persen), menghadiri deklarasi bakal calon atau calon (15,8 persen), foto bersama bakal calon atau calon (11,1 persen), dan menjadi peserta kampanye (7,4 persen).  “Di samping pelanggaran itu, beberapa jenis pelanggaran netralitas yang berpotensi dilakukan lurah dan camat adalah memobilisasi dukungan jajaran perangkat di bawahnya, seperti staf kantor, kepala desa, kepala lingkungan, kepala dusun, dan organisasi kemasyarakatan di wilayahnya untuk peserta pemilu dan pemilihan tertentu,” tambah Agus.  Berikutnya, lanjut dia, ada pula camat dan lurah yang memengaruhi warga untuk memberikan dukungan kepada peserta pemilu dan pemilihan tertentu, menggunakan kendaraan dinas untuk kepentingan politik dan politisasi bantuan sosial kepada warga.(ida/ANTARA)

Parpol Diimbau Tidak Melibatkan ASN untuk Memenangkan Pemilu

Jakarta, FNN - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Suhajar Diantoro mengimbau partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 agar tidak melibatkan aparatur sipil negara (ASN) untuk memenangkan pesta demokrasi tersebut demi menjaga netralitas dan profesionalitas ASN.“Memberi imbauan kepada para parpol, politikus, dan kepala daerah untuk tidak melibatkan ASN,” ujar Suhajar saat menjadi narasumber dalam Webinar KASN bertajuk Dilema Camat dan Lurah: Antara Profesionalisme dan Politik Tahun 2024, sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube KASN di Jakarta, Rabu.Di samping itu, tambah dia, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu memperketat pengawasan terhadap ASN, lalu melaporkan oknum ASN yang diduga melakukan pelanggaran netralitas dalam Pemilu 2024 kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Kemendagri.Dengan demikian, KASN dan Kemendagri dapat menindaklanjuti laporan tersebut dan memastikan adanya penjatuhan sanksi kepada ASN yang terbukti melanggar.Sebelumnya dalam kesempatan yang sama, Ketua KASN Agus Pramusinto menyampaikan dalam pelaksanaan pemilu, para peserta pemilu memang akan berupaya memperluas ceruk dukungan publik demi mendapatkan suara pemilih, termasuk pemilih dari kelompok ASN sehingga mereka dapat memenangkan kontestasi pemilu.Agus menyampaikan upaya seperti itu dilakukan secara masif oleh peserta pemilu melalui aktor-aktor struktur partai politik, tim sukses, dan relawan dengan menggunakan berbagai media.Dia menyampaikan dibandingkan kelompok ASN lainnya, ASN yang memangku jabatan pada unsur lini kewilayahan, yakni lurah dan camat memiliki daya tarik khusus di mata bakal calon atau calon peserta pemilu dan pemilihan.“Setidaknya, terdapat dua alasan lurah dan camat memiliki daya tarik khusus. Pertama, seorang lurah dan camat memiliki akses langsung kepada warga dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Semakin baik citra mereka di mata warga, maka semakin besar pengaruh untuk memobilisasi dukungan kepada pihak tertentu,” jelas dia.Kedua, lanjut Agus, kewenangan dan bidang tugas lurah dan camat yang bersifat lintas sektoral di wilayah administrasinya, seperti perizinan, penyaluran bantuan sosial, serta pembinaan organisasi masyarakat sehingga mereka berpotensi menjadi pendulang suara (\"vote getter\") dalam pemilu dan pemilihan.Dengan demikian, menurut Agus, sikap profesionalisme ASN, khususnya lurah dan camat bernilai mahal dalam Pemilu 2024.(ida/ANTARA)

Membegal Anies, Itu Membegal Demokrasi (Pernak-pernik dan Jalan Terjal Menuju Pilpres 2024)

Pencapresan Anies secara internal (KPP) sudah selesai, tapi belum selesai jika menilik upaya penjegalannya yang terus dilakukan bahkan sampai last minute semua kemungkinan menggagalkannya masih dimungkinkan. Oleh: Ady Amar - Kolumnis KOALISI Perubahan untuk Persatuan (KPP) sedang dalam ujian. Muncul riak-riak kecil godaan, yang sebenarnya bisa disebut sekadar gimmick. Boleh juga jika itu cukup disikapi sewajarnya, ketika Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), bersama beberapa nama lain masuk dalam radar bidikan PDIP untuk disandingkan dengan Ganjar Pranowo sebagai cawapres. Padahal Demokrat telah mengikat Nota Kesepakatan bersama dua partai lainnya, NasDem dan PKS dalam KPP, yang resmi mengusung Anies Baswedan sebagai Capres. PDIP seakan cermat melihat Demokrat tengah galau di internalnya. Muncul suara menyuarakan kehendak agar secepatnya KPP mengumumkan siapa Cawapres yang mendampingi Anies. Demokrat tentu menghendaki AHY yang diusung sebagai Cawapres. Tapi NasDem lewat elitenya jelas-jelas menolak dengan mengatakan, kalau mau menang pada Pilpres 2024 bukan AHY yang mendampingi Anies. Setidaknya suara itu disuarakan Effendy Choirie, akrab dipanggil Gus Choi. Mukernas III PDIP, 6-8 Juni, memasukkan nama AHY di antara nama-nama lain sebagai kandidat yang akan mendampingi Ganjar Pranowo sebagai Cawapres. Memasukkan nama AHY dalam bursa cawapres PDIP, itu sekadar manuver main-main yang semestinya tidak dilihat sebagai sesuatu yang bisa membuyarkan KPP. Boleh jika ditafsir PDIP tengah menguji kesolidan KPP sebagai sebuah koalisi. Di samping itu PDIP perlu tampil tampak sebagai partai inklusif di tengah kekakuannya selama ini, yang seolah mampu berjalan sendiri tanpa partai pendamping sekalipun. Karenanya, penyikapan atas manuver PDIP itu pun mesti disikapi sewajarnya. Tidak perlu berlebihan. AHY akan menghadiri undangan Puan Maharani. Sekjen kedua partai, Hasto Kristiyanto (PDIP), dan Teuku Riefky Harsya (Demokrat) sudah mengadakan pertemuan awal guna mempersiapkan pertemuan petinggi partainya. Keduanya tampak begitu semringah, dan akrab. Seperti melupakan hubungan buruk di masa lalu. Semua tampil bak aktor berperan sesuai tuntutan skenario. Hasto yang terbiasa bicara jumawa seakan lupa pada omongannya beberapa bulan lalu, bahwa ia \"mengharamkan\" Demokrat, yang katanya tak mungkin PDIP bisa berkoalisi dengan partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Politik terkadang diperagakan bak \"tai kucing rasa coklat\", menjijikkan bagi mereka yang biasa meletakkan moral jadi segala-galanya. Pertemuan Puan-AHY itu tak akan sampai berdampak bisa mengempiskan KPP, menggoyang pun rasanya tak mungkin. Demokrat tentu berhitung, dan tahu menempatkan posisinya ada di mana. Menerima undangan Puan dan hadir, itu lebih pada bentuk kesantunan politik. Jadi tak perlulah menyikapi pertemuan itu dengan syakwasangka seolah Puan mampu menyihir AHY. KPP itu koalisi yang sudah digarap matang, sulit untuk digoyang apalagi sampai rontok. Setidaknya sikap awal sudah ditunjukkan NasDem, PKS dan juga Demokrat, yang mengalami tekanan persoalan dalam berbagai hal, dan itu tidak menyurutkan langkah menghadirkan perubahan di 2024. Sedang partai di luar KPP justru masih mencari-cari bentuk, dan boleh disebut lebih sebagai koalisi-koalisian. Sengaja disebut koalisi-koalisian, karena belum bisa disebut koalisi sebenarnya, sifatnya baru penjajakan. Langkah penjajakan yang _dicomblangi_ atau di-cawe-cawei Presiden Joko Widodo (Jokowi). Karenanya, pantas jika disebut baru tahap kumpul-kumpul, yang bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. KPP jelas sebagai koalisi sesungguhnya. Memenuhi syarat untuk disebut demikian. Parameter untuk disebut sebagai koalisi sudah memenuhi syarat, baik persyaratan konstitusi (parliament threshold) maupun kelayakan bersekutu dengan menghadirkan antitesa perubahan versus keberlanjutan pembangunan. Tidak sekadar kumpul-kumpul dan secepat kilat meninggalkan satu dengan yang lain tanpa kesantunan politik. Itu bisa dilihat dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB)--PAN, Partai Golkar, dan PPP--yang kelahirannya seperti bayi tak diinginkan, langsung mbrojol. Mengagetkan karena dengan satu pertemuan para ketua umumnya, sudah cukup untuk mengumumkan kelahirannya. Soal siapa capres yang akan dipilih dan diperjuangkan, belum dibicarakan. KIB lebih dipercaya sebagai kumpul-kumpul dalam arahan Presiden Jokowi. Lebih dipersiapkan untuk tiket Ganjar Pranowo, jika ia tidak dicalonkan PDIP. KIB diibaratkan ban serep untuk memastikan keikutsertaan Ganjar dalam Pilpres 2024. Tiga partai itu seolah diombang-ambingkan, bukan oleh kepentingannya, tapi lebih pada penghambaan pada Jokowi.  Karena dibentuk dengan serba mendadak, maka perpisahan pun tak perlu saling pamit. Nyelonong saja. Itu tampak pada sikap PPP, yang dengan gampangnya meninggalkan KIB dan memilih dalam dekapan PDIP. Begitu pula PAN yang seolah dalam sekap tak menentu untuk memilih antara Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo. Dan, itu lagi-lagi menunggu arahan Jokowi. Langkah penjajakan pun dilakukan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan rombongan mengunjungi markas PDIP. Pertemuan itu belum sampai menghasilkan keputusan, bahwa PAN akan bergabung dengan PDIP. Ada syarat PAN gabung jika \"presiden\" partainya, Erick Thohir, diusung jadi Cawapres-nya Ganjar. Karenanya, PAN belum memutuskan akan berlabuh ke mana. Tetap setia menunggu arahan Presiden Jokowi, yang sepertinya juga masih bimbang antara memilih Ganjar atau Prabowo. PAN dan PPP tampak seperti partai yang sudah tidak lagi punya kedaulatannya sendiri untuk menentukan di mana mesti berlabuh dalam koalisi, yang mestinya sesuai kehendak konstituennya. Sedang Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), gabungan Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di mana hubungan keduanya acap panas-dingin. PKB berharap ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, bisa disandingkan sebagai Cawapres-nya Prabowo Subianto. Tapi Gerindra masih mengulur-ulur waktu dalam memenuhi permintaan PKB. Berharap Golkar mau bergabung dalam KKIR, dan karenanya PKB tidak akan lagi memaksakan ketua umumnya sebagai Cawapres. Jika kondisi masih tidak menentu, bisa jadi PKB akan hengkang dari KKIR, meninggalkan Gerindra sendirian. Sedang Golkar pun belum menentukan ke mana akan berlabuh. PKB dan Golkar sepertinya juga tengah menunggu arahan Presiden Jokowi. Maka, menjadi wajar jika sikap Prabowo mesti berbaik-baik sampai tingkat berlebihan pada Jokowi agar PKB yang ada dalam kendali Jokowi tidak meninggalkan Gerindra. Syukur-syukur jika Golkar pun bisa diarahkan bergabung dengan Gerindra dan PKB. Hanya KPP dengan Capres Anies Baswedan, dan PDIP plus PPP dengan Capres Ganjar Pranowo, yang sudah  punya Capres beneran yang bisa berkontestasi pada Pilpres 2024. Sedang Prabowo Subianto dengan KKIR-nya mesti terlebih dulu mau menyamakan pandangan dengan kawan koalisinya (PKB) untuk mengakhiri spekulasi ketidakikutsertaannya dalam Pilpres. Namun memang hanya KPP-lah yang sudah punya Cawapres, sudah ada di kantong Anies, dan tinggal tunggu sedikit hari lagi untuk diumumkan pada khalayak. Pencapresan Anies secara internal (KPP) sudah selesai, tapi belum selesai jika menilik upaya penjegalannya yang terus dilakukan bahkan sampai last minute semua kemungkinan menggagalkannya masih dimungkinkan. Persoalan KPP bukan persoalan pada internalnya, yang akan menggagalkan pencapresan Anies Baswedan, sebagaimana yang disampaikan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD sekenanya. Justru oleh faktor eksternal, dan itu rezim yang ingin terus berkuasa dengan hanya mengganti baju Jokowi dengan Ganjar Pranowo. Bisa lewat jalan apa saja. Bisa lewat copet atau begal Partai Demokrat yang tengah diupayakan oleh orang dekat Jokowi, Moeldoko dengan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Bisa pula dengan cara nekat KPK menersangkakan Anies pada kasus Formula E, atau dengan cara semau-maunya kekuasaan membegal demokrasi. Semua kemungkinan memang bisa terjadi, tapi semua juga tergantung rakyat menyikapinya.**

Demokrat dalam Jebakan PDIP?

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Selama 19 tahun hubungan Mega-SBY renggang. Mega \"merasa dikhianati\" ketika SBY nyapres 2004. Entah ada pembicaraan atau perjanjian apa di antara mereka berdua. Luka Megawati seperti begitu dalam. Kalau hanya nyapres, tentu itu hak SBY. Setiap warga negara, termasuk SBY, berhak untuk nyapres. Megawati tidak ada hak melarang, apalagi menghalang-halangi. Saat itu, Magawati meskipun sebagai penguasa, tidak tampak sedikitpun menghalang-halangi SBY. Megawati tidak menekan ketum-ketum parpol untuk menghalangi SBY nyapres. Megawati juga tidak menggunakan aparat untuk kriminalisasi SBY. Megawati pun tidak menggunakan instrumen kekuasaannya untuk mencurangi SBY. Dan akhirnya, Megawati kalah dari SBY dan menerima kekalahannya itu. Tapi, kenapa hubungan keduanya tampak begitu buruk, bahkan selama 19 tahun? Tanyakan kepada mereka berdua. Ada pembicaraan khusus apa atau perjanjian apa diantara mereka berdua. Atau biarkan saja keduanya menyimpan rahasianya. Suasana batin inilah yang kemudian dinarasikan oleh Hasto Kristianto: PDIP tidak mungkin berkoalisi dengan Demokrat. Hasto paling tahu dan merasakan suasana batin Megawati. Namanya juga Sekjen. Kali ini, luka sejarah itu mencoba diobati. Ah, emang benar begitu? Mega-SBY mau islah? Lupakan semua peristiwa yang pernah terjadi di pilpres 2004? Tidak sesederhana itu!  Ada agenda yang diprakarsai \"entah oleh siapa\" untuk mempertemukan Puan Maharani dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Tujuannya? Bujuk Demokrat gabung koalisi dengan PDIP. Apa kompensasinya? AHY jadi cawapres Ganjar. Ah, masak? Pertama, apa untungnya Ganjar ambil AHY sebagai cawapres? Masuknya AHY tidak memberi tambahan elektabilitas secara signifikan bagi Ganjar. Kedua, apakah Megawati setuju AHY jadi cawapres? Kabarnya, Megawati menginginkan cawapres Ganjar dari kalangan ulama. Ketiga, masuknya AHY ke kubu Ganjar akan semakin mendorong Jokowi untuk memperkuat barisan Prabowo, dan hengkang dari Ganjar. Ini akan menjadi kerugian besar bagi PDIP. Kritik pedas SBY dan AHY terhadap Jokowi dalam beberapa kasus telah menjadi catatan serius bagi Jokowi. Jokowi lahir dan dibesarkan di Jawa. Sebagaimana unumnya orang Jawa, memori tentang siapa kawan dan siapa lawan sangat kuat di kepala. Di kepala Jokowi, siapa SBY dan AHY telah tercatat begitu jelas. Apalagi jika mengingat kembali pilpres 2019 lalu. Apa itu? Tanyakan kepada aktornya. Dari pertimbangan banyak sudut, hampir tidak mungkin AHY dipinang jadi cawapres Ganjar. Banyak rugi dan risikonya dari pada untungnya. Lalu, apa tujuan dimunculkannya ide AHY cawapres Ganjar? Publik membaca, ini boleh jadi adalah jebakan. Demokrat dijebak agar keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).  Kalau perangkap jebakan ini masuk dan Demokrat keluar dari KPP, maka ada dua keuntungan. Pertama, KPP kehilangan satu partai. Ini akan menyulitkan bagi KPP untuk mencari pengganti Demokrat. Meski tidak secara otomatis menjadi ancaman bagi Anies Baswedan untuk maju sebagai capres. Karena, politik itu dinamis. Masih empat bulan lebih waktu menentukan koalisi. Peluang untuk melengkapi 20% Presidential Threshold akan selalu terbuka. Kedua, bisa membuat Demokrat jadi gelandangan politik. Masuk koalisi sana sini, mungkin bisa juga diterima. Tapi bergaining powernya akan sangat lemah. Tawaran PDIP ke Demokrat juga bisa menjadi alat tekan Demokrat ke KPP agar AHY ngotot jadi cawapres Anies. Mungkin PDIP memiliki kalkulasi bahwa pasangan Anies-AHY lemah, sehingga perlu didorong untuk maju berpasangan dan lebih mudah dikalahkan. Kita lihat, apakah Demokrat akan masuk jebakan PDIP? Jakarta, 14 Juni 2023