ALL CATEGORY

Netralitas ASN Dalam Pemilu Tidak Bisa Ditawar

Jakarta, FNN - Wakil Presiden RI Ma\'ruf Amin menegaskan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pemilu tidak bisa ditawar dan sudah ada ketentuan yang mengatur hal tersebut.\"Kalau saya kira netralitas sudah ada aturannya, ASN itu harus netral itu sudah jelas, tidak bisa ditawar lagi,\" kata Wapres kepada wartawan usai memimpin rapat Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional, di Jakarta, Kamis.Hal itu disampaikan Wapres terkait pernyataan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang membolehkan ASN dalam badan ad hoc penyelenggara pemilu seperti panitia pemilihan kecamatan (PPK), panitia pemungutan suara (PPS), dan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), dengan persyaratan harus cuti lebih dulu.Menurut Wapres dibolehkan nya keterlibatan ASN dalam badan ad hoc penyelenggara pemilu ditujukan bagi daerah-daerah yang kesulitan merekrut masyarakat sipil.\"Sehingga ketika itu ada kesulitan maka ASN ini menjadi semacam petugas ad hoc sementara. Dia ditugaskan terutama untuk daerah-daerah yang sulit seperti daerah 3T, tertinggal, terdepan, terluar,\" jelasnya.Dia menegaskan dengan menjadi penyelenggara pemilu tingkat ad hoc, maka ASN tentu tetap netral, dengan tidak terlibat sebagai anggota partai atau terhindar dari kepentingan politik yang mengarahkan untuk memobilisasi massa guna memenuhi suatu kepentingan politik.\"Jadi kalau (jadi) penyelenggara itu, tidak harus kemudian dia tidak netral. Tetap netral, dan sifatnya juga ad hoc. Nanti selesai (bertugas) dia kembali (bekerja) menjadi ASN,\" jelasnya.Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja dalam kesempatan terpisah sebelumnya menyampaikan para aparatur sipil negara (ASN) yang menjadi anggota badan ad hoc penyelenggara pemilu harus cuti.\"Jadi, boleh ASN menjadi komisioner (anggota) di tingkat ad hoc, silakan, namun harus cuti. Itu sesuai dengan surat jawaban dari Menpan RB (Abdullah Azwar Anas) kalau tidak salah dan surat Kepala Badan Kepegawaian Negara (Plt. Kepala BKN Bima Haria Wibisana),\" ujar Bagja.Sedangkan anggota KPU RI Parsadaan Harahap menyampaikan bahwa tidak ada permasalahan terkait ASN yang menjadi anggota badan ad hoc penyelenggara pemilu.Menurut Parsadaan, hal itu merupakan bagian dari komitmen bersama bahwa pelaksanaan pemilu bukan hanya tanggung jawab KPU dan penyelenggara lainnya. KPU menyadari perekrutan badan ad hoc tidak semudah merekrut anggota KPU kabupaten/kota atau provinsi.(sof/ANTARA)

Rambut Putih Pilihan Si Ijazah Palsu, Tak Direken oleh Ketua Moncong Putih

BUKAN main penderitaan calon presiden yang dijagokan si ijazah palsu. Saat ultah partainya yakni PDIP diberi tempat duduk paling belakang bersama kader-kader partai lain. Sebagai calon presiden yang dijagokan presiden si ijazah palsu, harusnya dia diberi tempat di depan acara  sebagai tempat khusus, akan tetapi nyatanya tidak direken sama skali oleh pihak PDIP. Apalagi ada yel-yel teriakan sebagai calon presiden. Seperti yang suka dialami oleh Anies Baswedan. Anies dimana saja hadir diteriakkan presiden. Tapi si rambut putih gak dianggap sama skali oleh teman-teman partainya terlebih si Mbok Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Kalau sudah begini apa yang mau diharapkan jadi presiden pengganti Jokowi? Orang partai saja gak suka. Biar mau bagi-bagi sembako lagi. Yang jadi lucu adalah yang kena musibah banjir di daerahnya di Semarang, Jawa Tengah tapi yang di bagi-bagi santunan berupa sembako malah orang di Ciputat. Yang begini mau jadi presiden? Pasti duit yg dibagi-bagi beli sembako dll, adalah uang oligarki. Atas tekanan si ijazah palsu. Maka rakyat Indonesia harus bergerak cepat mengakhiri rezim laknat ini kalau mau ada perubahan. Soalnya sampai detik ini si ijazah palsu and the gang lagi cari-cari celah untuk melanjutkan kekuasaannya. Maka dari itu mereka biarkan kasus yang terjadi kepada personal KPU agar kelihatan chaos maka akan dikeluarkan PERPPU untuk melanggengkan kekuasaannya. Baru PERPPU CIPTAKER yang keluar. Nanti kalau ada kesempatan maka si ijazah palsu dan DPR akan keluarkan  Perppu perpanjangan jabatan di semua lini. Maka dari itu rakyat Indonesia harus segera menghentikan rezim laknat ini. Lebih cepat lebih baik. Seperti yang terjadi di luar negeri. Masa\' di ibukota Peru yakni LIMA bisa, masa sih\' di Indonesia gak bisa? Istana presidennya mereka kepung akhirnya presidennya menyerah dan di tahan polisi. Di Indonesia harus bisa seperti itu. Jangan sampai negara full dijual ke Cina, baru kita bergerak demonstrasi. Itu namanya udah terlambat. Apa mau negara kita seperti di Tajikistan dan anggola karena hutang gak bisa dibayar maka negara dibiarkan dilepas ke si pengutang yakni Cina. Maka umat Islam Indonesia akan dibikin kayak umat Islam di UIGUR Cina. Tapi terserah kepada rakyat Indonesia. Yang penting kita udah ingatkan. Di hadapan Allah kita bisa pertanggung jawabkannya. Wallahu A\'lam ... MOH. NAUFAL DUNGGIO (Aktivis dan Ustadz Kampung)

Terbitkan Keppres Pelanggaran HAM, Jokowi Picu Polemik dan Tinggalkan Bom Waktu

Jakarta, FNN - Kemarin Presiden Jokowi menerbitkan Keppres No. 17 tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu. Kepres ini semacam pengakuan pemerintah terhadap adanya pelanggaran HAM di masa lalu. Keppres ini luar biasa karena di dalamnya terdapat 12 pelanggaran HAM di masa lalu yang diakui oleh Presiden Jokowi, dan isu ’65 pasti masih menjadi isu yang kontroversial. Rocky Gerung melihat bahwa urgensi ini sudah dari awal reformasi. Oleh karena itu, agenda yang diminta oleh rakyat waktu itu adalah tuntaskan seluruh aspek bernegara yang di dalamnya ada cacat hak asasi manusia. Ini menyangkut beberapa rezim, dari Bung Karno, Pak Harto, berlanjut terus. “Jadi, implikasinya kita mau lihat apa efeknya bagi tahun politik Indonesia itu. Kalau kita hubungkan dengan keadaan ada eskalasi kekerasan di Papua dan sekarang, ada urgensi di situ. Kalau soal peristiwa ’65, itu pasti ada tekanan internasional,” ujar Rocky Gerung dalam pembahasan di Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Kamis (12/01/23) yang dipandu Hersubeno Arief, wartawan senior FNN. Meskipun Gus Dur sudah pernah minta maaf secara personal dan di awal reformasi juga pernah dilakukan upaya menyelenggarakan semacam panel yang tidak bersifat yudisial untuk ganti rugi, tetapi karena ini masalah HAM maka ada semacam doktrin dalam hukum internasional bahwa itu mesti diproses melalui pengadilan, yang bahkan ada dimensi internasionalnya, kata Rocky. Di Indonesia, menurut Rocky, kontroversi itu terlihat terus-menerus pada setiap tahun pemilu dan dianggap bahwa ada kepentingan, sebut saja sejarah militer yang belum tuntas ditulis. Oleh karena itu, mesti ada satu wisdom untuk memastikan apakah ini hal yang akan membongkar banyak kegiatan bahkan ekstra spionase di kalangan militer sendiri dalam peristiwa ’65.  “Bagi masyarakat sipil intinya bukan peristiwanya sendiri, tetapi korban yang ada di situ, yang sering kali dia cuma terkait di daftar nama yang dipakai oleh suatu kekuatan, lalu dianggap dia sebagai PKI. Jadi kita mesti bedakan antara korban dan pertentangan politik ketika itu, yaitu antara PKI dengan TNI” ujar Rocky. Menurut Rocky, dalam pertentangan politik antara TNI dan PKI waktu itu, PKI kalah. Tetapi, kita tidak bisa mengatakan bahwa PKI adalah korban karena PKI adalah faktor yang berkelahi, PKI mempersiapkan kekuatan, bahkan hingga angkatan kelima. “Dan kita ingat bagaimana aktivitas Partai Komunis Indonesia, yang mencari back up pada Presiden Bung Karno waktu itu. Jadi kalau isu ini dibuka, itu pasti ada soal keterlibatan Bung Karno, keterlibatan CIA, persaingan dengan poros Beijing segala macam,”  ujar Rocky.   Latar belakang ini yang hari-hari ini mencemaskan sampai di mana dia bisa dibuka. Sekali lagi saya katakan bahwa bagi masyarakat sipil perspektifnya adalah hak asasi manusia. Bagi publik internasional ada ketegangan baru tentang keterlibatan CIA. Tetapi melihat konteks hari ini, ada beberapa peristiwa yang kemudian disebutkan juga di 12 daftar itu. “Jadi sebetulnya banyak hal yang terkait dengan isu politik mutakhir tentang tokoh-tokoh yang ada sekarang,” kata Rocky. Rocky melihat bahwa kalau tidak sekarang momentumnya, maka tidak akan jadi seksi. Jadi, justru ketegangan atau kegelisahan politik menjelang 2024 maka Keppres itu diajukan. “Tinggal kita nilai, mana yang aspeknya politik mana yang aspeknya pengadilan tentang kejahatan, mana yang aspeknya adalah upaya memulihkan hak-hak korban,” lanjut Rocky.  Setiap isu politik, bahkan yang sangat sensitif, biasanya terkait dengan momentum. Kelompok mana yang disasar dan kelompok mana yang akan bereaksi. “Saya anggap Pak Jokowi bukan bermain api, tapi menyerempet-nyrempet sesuatu yang bisa menyebabkan asap menjadi pekat. Karena seharusnya ketika Jokowi masih kuat legitimasinya di awal pemerintahannya, itu yang mesti dia dilakukan. Kalau sekarang Pak Jokowi agak susah untuk tampil lalu menganggap bahwa dia bisa selesaikan itu dengan Keppres,” kata Rocky. Memang, bagaimanapun juga negara mesti bersikap terhadap berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Tetapi, kenapa Pak Jokowi baru bereaksi sekarang, sedangkan Pak Jokowi akan selesai pada tahun 2024. Ini bisa meninggalkan semacam bom waktu.(sof)

Ini Saatnya Konsolidasi Kekuatan Tokoh Nasional

Oleh Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih  KONDISI obyektif Indonesia saat ini sudah mengarahkan orang harus memilih: pro status quo atau pro perubahan. Kondisi obyektif sudah tidak ada lagi jalan tengah, negosiasi atau kompromi.  Akibat telah  hilangnya kedaulatan rakyat dan negara. Kedaulatan rakyat habis tak tersisa diserobot menjadi kedaulatan oligarki. Presiden, lembaga perwakilan rakyat,  lembaga negara dan partai politik sudah menjadi lame duck. Negara Indonesia itu saat ini sudah tidak ada atau tidak hadir, karena negara, rezim dan presiden saat ini hanya boneka kapitalis ( Emha Ainun Najib ). Elite penguasa telah memurtadkan bangsa ini dari Pancasila. (Prof. Kaelan). Negara Indonesia sekarang ini dikuasai oleh oligarki dan  oligarki juga telah menguasai Jokowi (Prof. Salim Said). Demokrasi dan oligarki yang tidak terkendali mengarah ke tirani. (Aristotelles). Industri  hukum diproduksi sendiri oleh DPR, Presiden, MK yang berpotensi menjadi mafia hukum ( Prof. Suteki ). John Locke: Where-ever law ends, tyranny begins. Ketika hukum berakhir (mati), tirani mulai (berkembang). Terjadilah perpaduan I am the law: Saya adalah tiran dan l’etat, c’est moi: negara adalah saya*. Telah bermetamorfosa menjadi otoritarian dan berwajah Tirani. Segala kebijakan, tindakan dan perilaku penyelenggara negara bukan lagi berbasis nilai (konstitusi, hukum, norma-etika) melainkan mengikuti apa kemauan penguasa dan  oligarki. Pada titik habituasi rakyat  mengatakan sistem dan bentuk pemerintahan menjadi tidak penting asal masih ada keadilan, kejujuran dan kebijakan  (just - fair - wise) untuk rakyat.  Lebih baik negara kembali ke sistem kerajaan dari pada system pemerintahan demokrasi yang sudah dikorupsi dan direkayasa (corrupted democracy), oleh kekuasaan saat ini. Bentuk negara Pancasila sudah di buldoser menjadi kapitalis. Pikiran di atas bukan lagi sebatas asumsi atau hipotesis melainkan sudah menjadi tesis yang sulit untuk di bantah. Penilaian sudah final menyatakan bahwa eksistensi Indonesia sudah bukan lagi sebagai negara berdaulat atau merdeka. Sudah menjadi kebenaran bahwa Indonesia terkooptasi atau terjajah oleh Neo kolonialisme baru sebagai representasi kepentingan asing dengan menggunakan rejim sebagai proxy imperialisme. Kondisi obyektif Indonesia sebagaimana dinyatakan di atas itulah  mau tak mau memaksa kita harus memilih dan atau menentukan pro status quo (terjajah) atau pro perubahan (merdeka). Keadaan tidak perlu lagi memerlukan diskusi berhari hari tentang kondisi saat ini ketika Indonesia telah terkapar sekarat, membutuhkan pertolongan darurat tidak dengan cara normal tetapi perlu cara cara lintas normal. Pilihannya pro perubahan harus bergerak cepat berjuang bersama  untuk menolong Indonesia dalam kondisi sekarat atau serangan status quo yang dengan paksa akan membunuh Indonesia. Penyelamatan kondisi obyektif Indonesia yang sedang sekarat peluangnya teramat sangat sempit, alokasi waktu yang tersedia bukan hitungan tahun melainkan bulan. Ketika terlambat melangkah maka mau tak mau harus rela menerima kemenangan oligarki atas Indonesia, meratapi kekalahan perjuangan pembebasan Indonesia. Kita beserta anak-cucu-cicit terpaksa haru rela terjajah entah sampai kapan. Batasan alokasi waktu yang tersedia untuk kita hanya sampai pada saat: (1) diumumkannya kepastian pelaksanaan pemilu 2024; atau (2) diterbitkannya Perppu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden. Rentang waktu yang tersedia bagi pergerakan perubahan (revolusi) tak mungkin melompat ke semester kedua tahun 2023. Dalam rentang sebelum batas waktu tersebut rejim dalam kondisi relatif lemah dan lengah terhadap potensi-potensi perlawanan dari luar. Ketika salah satu dari dua opsi skenario tersebut ditetapkan dan diumumkan, artinya kekuatan rejim sudah dalam kondisi solid.  Itulah alasan mengapa peluang pergerakan perubahan relatif teramat sempit. Karena hanya tersedia selama rejim masih gonjang-ganjing di dalam oleh karena perang tawar-menawar kepentingan.  Walau sebatas selebar lobang jarum tetaplah peluang. Pertanyaannya mampukah pergerakan perubahan menerobos lobang jarum tersebut?  Di alokasi ruang waktu yang sempit dan mendesak inilah waktu atau momentum tokoh nasional secepatnya melakukan konsolidasi guna terhimpun sebuah kekuatan besar hingga mampu melakukan gerakan perubahan besar dan mendasar untuk menyelamatkan Indonesia. Maka jika benar-benar menghendaki perubahan, tak ada lagi pilihan selain penggantian Presiden secara ekstra konstitusional Dengan kekuatan people power atau Revolusi sebagai pintu perombakan rejim. Untuk tujuan itu perihal Pemilu 2024 atau bahkan perpanjangan masa jabatan Presiden harus dihapus dari alam pikiran kita. Tidak ada Pemilu 2024, yang ada adalah REVOLUSI. (*)

Jokowi Memasuki Fase End Game

Jakarta, FNN - Banyak pengamat maupun media yang salah menafsirkan kejutan yang akan terjadi pada hari ulang tahun ke-50 PDIP yang berlangsung pada Selasa, 10 Januari 2023. Mayoritas media dan pengamat menduga bahwa Megawati akan mengumumkan nama calon presiden pilihannya untuk berlaga pada pilpres 2024. Namun, sampai akhir pidatonya selama lebih dari dua jam, Megawati tidak menyebut  satu pun nama calon presiden yang akan diusung oleh PDIP. Apalagi nama Ganjar. Banyak yang menilai bahwa HUT ke-50 PDIP sebagai antiklimaks. Padahal, sesungguhnya pidato kemarin itu menyampaikan satu pesan yang jauh lebih penting dalam penilaian daripada isu tentang capres yang akan diusung oleh PDIP. “Dalam penilain saya, yang sangat penting itu adalah bahwa Megawati tetap menunjukkan sikapnya yang tetap taat asas pada konstitusi. Pemilu tidak boleh ditunda dan Jokowi harus mengakhiri masa jabatannya setelah dua periode, tidak ada penambahan,” ujar Hersubeno Arief dalam Kanal Youtube Hersubeno Point edisi Rabu (11/01/23). Prediksi atau ekspektasi para pengamat dan media diduga terjadi karena biasnya dukungan terhadap Ganjar yang selama ini dibangun oleh lembaga survei dan sebagian pengamat. Sebenarnya mereka bukan memprediksi, tetapi mencoba mendesak pencapresan Ganjar, seperti halnya dulu ketika mereka berhasil memojokkan Megawati dan kemudian menyerahkan tiket pencapresan kepada Jokowi pada pilpres 2014. Sukses story ini yang kelihatannya mereka coba ulang lagi dengan peran pengganti, yakni Ganjar Pranowo. Akibatnya, mereka abai pada fakta bahwa dalam soal pendirian politik yang sangat prinsip, Megawati tidak pernah goyah. Megawati memang bicara pencapresan, tetapi dia gunakan momen itu untuk meledek para wartawan yang dia nilai kena prank. Dia sebutkan katanya wartawan berbondong-bondong dan pendaftarannya 150, baik wartawan dalam maupun luar negeri, yang ingin meliput HUT PDIP kemarin. Kelihatannya wartwan salah menafsirkan ucapan Sekjen PDIP Hasto Kristianto yang menyatakan akan ada kejutan pada HUT PDIP. Megawati secara bercanda menegaskan kembali bahwa masalah capres merupakan kewenangannya, sesuai dengan mandat yang diberikan oleh kongres. “Alih-alih bicara siapa yang akan diusung menjadi capres, Megawati malah melucuti habis Jokowi,” ujar Hersu. Hersu menyebut Megawati melucuti habis Jokowi karena: “Pertama, Megawati mengingatkan kepada Pak Jokowi soal pentingnya taat konstitusi, dan tegaskan melalui pernyataannya bahwa pemilu harus sesuai jadwal, tidak boleh ada penundaan. Sementara, soal masa jabatan, bila sudah disepakati dua periode ya sudah, jangan ada lagi upaya memperpanjang masa jabatan sampai tiga periode. Kedua, soal peran parpol dalam soal pencapresan. Secara tegas Megawati menyinggung bahwa tanpa PDIP Jokowi itu tidak ada apa-apanya. Ketika menyampaikan hal itu, Megawati sangat rileks. Dia tidak terlalu menganggap serius, apalagi baper, termasuk ketika mengingatkan bahwa ayahnya, Bung Karno, pada masa itu pernah diangkat sebagai presiden seumur hidup, tapi kemudian dijatuhkan. Dengan menyampaikan hal itu, setidaknya ada dua hal yang ingin disampaikan oleh Megawati: pertama, dia mengingatkan kepada Jokowi untuk belajar dari sejarah bahwa tidak ada kekuasaan yang abadi, bila tetap ngotot berusaha mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara, itu bisa berakhir menjadi tragedi. Mereka yang mendorong-dorong Jokowi, ketika situasi berubah bisa berbalik menjadi lawan Jokowi. Bahkan, ikut menjatuhkannya.  Jadi ya enough is enough. Dalam bahasa Megawati, kalau sudah dua kali ya maaf dua kali.  Kedua, dengan mengingatkan apa yang dialami Bung Karno, Megawati seperti memberikan semacam warning kepada Jokowi bahwa figur yang sangat kuat, sangat sentral seperti Bung Karno saja, seorang proklamator yang sangat dihormati di dalam maupun di luar negeri, di dunia internasional, saja bisa dijatuhkan, apalagi hanya sekelas Jokowi yang dalam pandangan Megawati tidak lebih dari sekadar petugas partai. Menurut Hersu, jelas pernyataan Megawati tadi juga mengingatkan Jokowi pada dua hal: pertama, Jokowi harus ingat bahwa semua capaian karier politik dia sejak menjadi Walikota di Solo, kemudian dipromosikan menjadi gubernur DKI Jakarta, dan sekarang menjadi Presiden sampai 2 periode, itu karena peran PDIP, khususnya Ibu Megawati. Kedua, Megawati juga mengingatkan bahwa pencapresan itu wilayah parpol. Sebagai presiden Jokowi tidak pada tempatnya ikut-ikutan menyiapkan calon presiden sendiri, dalam hal ini Ganjar atau figur lain seperti Prabowo, yang berkali-kali dia endoors sebagai calon penggantinya. Jelas ini merupakan sebuah teguran keras Megawati terhadap Jokowi yang mencoba berkompetisi dengan dia dalam pencapresan, kata Hersu. Jadi, pernyataan Megawati tadi merupakan bentuk semacam melucuti peran Jokowi bahwa Jokowi sebagai presiden tidak ada urusannya dengan parpol. Bahkan Jokowi sendiri menjadi presiden karena Ibu Megawati. Jika diterjemahkan, kata Hersu, kira-kira pesan Ibu Megawati kepada Pak Jokowi adalah tinggal silat fokus menyelesaikan mandatnya sebagai presiden yang sudah terpilih dua kali. Kalau sudah dua kali cukup, tidak perlu lagi bermanuver memperpanjang masa jabatan, apalagi berusaha menunda Pemilu. Tidak perlu juga bermanuver menyiapkan capres untuk mengamankan kepentingannya setelah lengser, karena itu kewenangan parpol. Dalam konteks PDIP, ini soal yang tidak bisa ditawar-tawar karena itu hak prerogatif Ketua Umum PDIP, Megawati. Implikasi dari pernyataan Megawati, Menurut Hersu,  adalah Pertama, Jokowi sekarang memasuki fase endgame, tinggal 2 tahun kurang dia harus mengakhiri masa jabatannya. Kedua, dengan fakta bahwa kekuasaannya dilucuti oleh Ibu Megawati maka Pak Jokowi akan segera ditinggalkan parpol pendukungnya. Berikutnya, ditinggalkan partai-partai lain, misalnya, dengan bergabungnya para parpol pendukung pemerintah dengan oposisi dalam menyikapi sistem proporsional terbuka. Ketiga, Pak Jokowi tetap bisa bermanuver menggunakan waktu yang tersisa, misalnya dengan menyandra ketua umum parpol yang punya persoalan-persoalan hukum.Namun, semua itu tidak akan mempengaruhi fakta bahwa Jokowi benar-benar sudah memasuki fase end game. (ida)

Lembaga Survei Sepertinya Makin Sulit untuk Dipercaya

Oleh Ady Amar - Kolumnis  HAL biasa jika beberapa lembaga survei dengan waktu yang hampir bersamaan merilis hasil surveinya. Hasil rilis satu dengan lainnya tidak sama, bahkan hasilnya berkebalikan. Terutama yang disurvei itu kandidat presiden yang digadang-gadang akan maju di Pilpres 2024, acap hasilnya tidak sama. Hasil rilis prosentasenya jomplang, atau bahkan berkebalikan. Kok bisa, ya bisa saja.  Ada pula yang mengganggu nalar, sejak awal tahun 2021 tercatat ada empat lembaga survei yang rutin merilis hasil surveinya. Charta Politika, Indikator Politik Indonesia, SMRC dan Poltracking. Lembaga ini dua atau tiga bulan sekali mengumumkan hasil surveinya. Makin ke sini frekuensinya makin tinggi kadang sebulan sekali. Bahkan saat Covid-19 varian Delta mengamuk, sekitar April-Agustus 2021 publik disuguhi hasil survei elektabilitas Capres. Kalau disimak dengan baik, ingatan kita soal survei saat ini didominasi oleh lembaga di atas, setidaknya yang paling aktif. Apa iya pilihan politik bisa berubah-ubah dalam waktu singkat, kok harus ditelusuri sebulan sekali?  Tidak cukup itu, yang mengaduk nalar, hasil survei lembaga-lembaga ini bunyinya hampir sama. Ada capres dipuji terus meningkat peluangnya, capres lain seolah tidak punya harapan menang. Pikiran publik seolah digiring ya sudah pilih yang paling berpeluang menang saja. Ikuti pilihan mayoritas saja, toh yang lain tidak mungkin menang.  Fenomena giring-menggiring opini publik ini mengingatkan pada peristiwa di tahun 2014, dimana Megawati diguyur 9 lembaga survei yang dibayar oleh 3 konglomerat. Seperti yang disampaikan Refly Harun mengutip omongan Adi Prayitno bulan lalu, untuk meyakinkan Ketua Umum PDI Perjuangan agar mencalonkan sosok tertentu menjadi capres. Lembaga survei secara teratur dan terstruktur membuat analisis jika PDI Perjuangan mencalonkan figur ini menjadi presiden, maka partai ikut mendapatkan jauh suara lebih banyak karena efek ekor jas. Alhasil, Megawati menuruti pendapat itu dan janji ekor jas tidak terjadi.    Menjelang pemilu tahun depan rasanya peristiwa penggiringan opini oleh lembaga survei ini semakin nyata. Publik dipaksa percaya bahwa realitas elektoral yang sebenarnya sebagaimana diungkap oleh empat lembaga disebut di atas. Jika saja ada lembaga lain yang kurang populer mengumumkan hasil yang berbeda, meskipun mungkin yang disampaikan lembaga ini benar tetapi pasti banyak yang meragukan, atau bahkan tidak percaya. Publik cenderung lebih mempercayai kepada lembaga survei yang lebih populer, yang didukung nama besar. Mereka seolah menjadi pemilik kebenaran.  Dominasi lembaga survei untuk mewarnai pendapat publik bukan hal kebetulan. Diyakini ada kekuatan besar di baliknya. Tidak murah biaya harus dikeluarkan untuk sekali pelaksanaan survei. Informasi dari teman seorang pollster, ongkos tiap kali survei dengan metode tatap muka 1.200 responden paling murah Rp 400 juta rupiah. Ini biaya riil lapangannya. Kalau dibayari oleh pihak ketiga bandrolnya berbeda, bisa Rp 500 juta-600 juta. Bayangkan saja ada lembaga survei yang setahun merilis hasil survei 6 sampai 8 kali. Satu lembaga ini saja pihak pembeli survei mengeluarkan uang paling sedikit Rp 3-4 milyar. Kalau ada empat lembaga yang diminta jasa surveinya, dana yang keluar bisa sampai Rp 16 milyar per tahun. Uang senilai itu tidak mungkin membuat lembaga survei benar-benar bersih dari upaya penggiringan opini.     Coba perhatikan, pimpinan lembaga survei yang rajin merilis temuannya, tidak benar-benar netral saat berbicara di depan publik, atau menyampaikan pendapat di media sosial. Mereka ini ikut sebagai pengamat politik yang partisan, dan itu terang-terangan. Membesar-besarkan satu pihak dan menjatuhkan pihak lainnya. Maka tidak keliru apabila banyak pihak meragukan kredibilitas lembaga survei dan seolah bertekuk lutut pada pemesannya. Ada easy money di dalam lembaga survei, kredibilitas tampak tidak penting dan diabaikan.  Suatu kali ada kawan berseloroh setelah menonton analisis pimpinan lembaga survei tertentu. “Orang ini kelihatannya sedang jobless. Soalnya ia memuj-muji Anies Baswedan, mungkin ia berharap direkrut bohir lawan Anies. Ini nih teknik pemasaran.” Ungkapan kawan ini cermin betapa lembaga survei telah menjadi industri komersial, tidak lagi menjadi sumber pengetahuan.   Indikator Politik Indonesia Salah satu lembaga survei yang populer adalah Indikator Politik Indonesia (IPI), yang belum lama ini merilis hasil surveinya, yang seperti berkebalikan dengan akal sehat. Atau memang kita mesti membiasakan membaca hasil surveinya dengan serba berkebalikan. Misal, stagnan itu bisa dibaca/diserupakan dengan menanjak. Sedang menanjak, itu bisa dibaca stagnan. Mengapa boleh disebut berkebalikan dengan akal sehat--setidaknya saya menyebutnya demikian--itu karena apa yang ditanyakan pada responden, sangat jauh dari realita yang ada. Survei dilakukan dengan tatap muka. Dan pertanyaan bisa disesuaikan dengan keinginan penggiringan opini. Mari kita cermati rilis survei terakhirnya itu. Menurut rilis survei yang dilakukan 1-6 Desember 2022, disampaikan Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi, di mana Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kembali menempati posisi teratas. Naiknya elektabilitas Ganjar, itu berkorelasi dengan kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ganjar memiliki elektabilitas sebesar 35,8 persen dalam simulasi tiga nama bakal Capres. Ganjar unggul atas eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (28,3 persen), dan Menteri Pertahanan yang sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (26,7 persen). Rilis survei IPI itu, menyebutkan adanya tren positif terhadap Ganjar, pada periode November-Desember 2022. Bisa terlihat dari peningkatan elektabilitas dari 33,9 persen pada November, menjadi 35,8 persen pada Desember. Tren positif juga dialami Prabowo. Kenaikan dari 23,9 persen pada November, menjadi 26,7 persen. Sementara Capres Anies Baswedan mengalami tren negatif. Dari 32,2 persen pada bulan November, menjadi 28,3 persen bulan Desember.  Hasil survei yang muncul seolah menyederhanakan persoalan dengan dicarikan faktor pembenar terhadap kenaikan elektabilitas Ganjar, meski menjadi sulit dinalar. Dikatakan kenaikan dukungan Ganjar karena meningkatnya kepuasan publik pada kinerja Jokowi. Namun Tidak diberi penjelasan tren negatif terhadap Anies itu disebabkan oleh faktor apa. Memang akan sulit bisa memberi penjelasan rasionalitasnya. Mengingat realita sambutan massa mengelu-elukan Anies pada setiap kunjungan ke beberapa daerah, itu seperti tidak dilihat sebagai sesuatu. Malah yang didapat tren menurun (negatif). Kesimpulan IPI menyisakan satu pertanyaan metodologis. Apakah naiknya suara Ganjar mencerminkan keadaan sebenarnya ataukah hanya karena bias sampling yang condong jatuh pada orang-orang yang menyatakan puas pada kinerja Jokowi? Jangan lupa, negeri ini untuk soal politik elektoral hanya ada dua kutub, pro dan non Jokowi. Kalau sampel yang ditarik banyak jatuh ke populasi pro Jokowi pastilah puas pada kinerjanya, dan juga niscaya cenderung positif kepada elemen yang lekat dengan Jokowi, termasuk Ganjar yang identik sebagai Jokowi kecil. Sebaliknya hasil survei menegasi pada unsur yang antitesa Jokowi termasuk elektabilitas Anies.  Begitu pula kalau sampel banyak jatuh pada populasi yang non Jokowi, dipastkan suara Ganjar ambrol sedangkan suara Anies naik. Jadi tren kenaikan dukungan Ganjar dan penurunan pada Anies bisa jadi bukan cermin fenomena sebenarnya, tetapi karena bias sampling. Siapa pun yang pernah belajar statistik tahu ada istilah kurva normal dalam penarikan sampel. Sampel ideal adalah sampel yang kurva normalnya melengkung mulus dengan sisi yang proporsional. Kalau condong pada satu sisi sampel akan menjadi cermin pada karakteristik populasi sisi tersebut. Condong atau tidaknya sampel pada satu sisi bukan hanya terjadi pada proses pengambilan sampel yang disengaja. Pada pengambilan sampel secara acak pun hal ini bisa terjadi. Kalau mau fair, IPI harus menunjukkan analisis normalitas kurva sampelnya. Tidak cukup hanya menunjukkan tren data dan sekadar memperlihatkan karakter sampelnya sebangun dengan populasi BPS. Tidak perlu pakai analisis korelasi pun semua orang tahu kalau banyak yang puas kepada Jokowi pasti baik pada elektabilitas Ganjar dan buruk bagi Anies. Ya itu tadi, karena opini politik bangsa ini terbelah hampir sama banyak antara pro dan non Jokowi.  Kalau pun IPI tidak mampu membuat analisis uji normalitas sampelnya, coba lakukan dua unit survei yang dilakukan dalam rentang waktu dan metode yang sama. Kalau keduanya menunjukkan tren yang sama maka sah membuat kesimpulan di atas.   Secara metodologis pernyataan bahwa dukungan Ganjar naik karena meningkatnya kepuasan pada kinerja Jokowi ini sumir. Tidak heran kalau ada kesan lembaga survei mencari pembenaran untuk menggiring opini suara Ganjar naik dan Anies turun.  Akhir Desember 2022 dan Januari 2023, banjir merendam Jawa Tengah. Banyak kota atau kabupaten yang lumpuh oleh banjir, menjadi seperti tidak tertangani. Jika survei dibuat saat ini, belum tentu tren negatif didapat Ganjar. Argumen tren positif bisa dibuat, dan sepertinya nalar publik dianggap bisa dikecoh. Silahkan saja merilis survei untuk menaikkan atau menurunkan elektabilitas siapa saja yang dikehendaki, itu pastilah sesuai kemauan pihak yang memesannya. Publik punya penilaiannya sendiri. Sulit bisa termakan penggiringan opini tentang elektabilitas yang dimunculkan lembaga survei. Menjadi wajar jika muncul kesan, bahwa lembaga survei sulit bisa dipercaya, jika masih bekerja dengan memakai metodologi siapa yang membayarnya. Tapi dari sedikit lembaga survei yang masih istiqomah memegang idealismenya, rilis hasil surveinya terus dinanti. Rakyat sudah belajar dari pengalaman masa lalu, mengingat dengan baik mana hasil survei yang sesuai dengan suara rakyat, dan mana yang abal-abal. (*)

Kapal Misterius yang Terdampar di Perairan Garut Diselidiki Polisi

Garut, FNN - Kepolisian Resor (Polres) Garut masih menyelidiki keberadaan kapal yang terdampar di perairan laut kawasan Rancabuaya, Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, Jawa Barat yang masih misterius karena belum diketahui pemiliknya.\"Untuk sementara belum bisa memastikan bahwa kapal tersebut jenis apa, karena posisi masih terbalik,\" kata Kepala Satuan Polisi Air dan Udara Polres Garut AKP Anang Sonjaya melalui telepon seluler, di Garut, Rabu.Ia menuturkan kapal berukuran panjang sekitar 25 meter itu, pertama ali ditemukan nelayan di perairan wilayah Kabupaten Cianjur, kemudian kapal itu terbawa gelombang dan terdampar di perairan Garut wilayah Rancabuaya, Senin (9/1).Selama ini, kata dia, kapal tersebut masih terdampar, tanpa ada anak buah kapal, begitu juga tidak ada orang yang mencari keberadaan kapal tersebut.\"Ya, kami masih sebatas pengamanan saja, lalu melalui imbauan kepada masyarakat sekitar sambil menunggu laporan yang merasa kehilangan kapal atau keluarga kru kapal tersebut,\" katanya.Ia menyampaikan kapal yang posisinya terbalik tanpa diketahui pemilik dan anak buah kapalnya itu sudah dilaporkan ke Markas Polres Garut, untuk selanjutnya ditelusuri dan menunggu laporan masyarakat terkait kehilangan kapal maupun anggota keluarganya.\"Kami sudah melaporkan itu ke pimpinan sambil menunggu perkembangan laporan, karena sampai saat ini belum jelas itu kapal milik siapa, berapa ABK-nya,\" kata Anang.Dia mengungkapkan hasil pemeriksaan sementara kondisi kapal tersebut sudah cukup lama tenggelam, karena dari dalam kapal sudah banyak binatang laut.Kapal tersebut, kata dia, dipastikan bukan milik nelayan di pesisir pantai Kabupaten Garut, apalagi sejauh ini nelayan Garut tidak ada yang memiliki kapal yang ukuran besar sepanjang 25 meter.\"Yang jelas itu bukan kapal milik nelayan di Kabupaten Garut karena kapalnya besar, panjangnya sekitar 25 meter,\" katanya lagi.(ida/ANTARA)

Ledakan di Sukabumi Dipastikan Berasal dari Petasan

Sukabumi, Jabar, FNN - Polres Sukabumi Kota memastikan kejadian ledakan di Kampung Lemburhuma, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada Rabu (11/1) yang menghancurkan sebuah gubuk berasal dari ledakan petasan.\"Tidak ada korban jiwa pada kejadian ini, namun karena suara ledakan tersebut sangat kencang menyebabkan gubuk milik warga hancur dan sempat membuat panik masyarakat,\" kata Kapolres Sukabumi Kota AKBP SY Zainal Abidin, di Sukabumi, Rabu.Menurut Zainal, pihaknya hingga saat ini masih melakukan penyelidikan terkait terjadinya ledakan di Kampung Lemburhuma, Kecamatan Kebonpedes tersebut, dan telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP).Selain itu, antisipasi terjadinya hal yang tidak diinginkan, personel dari Polsek Kebonpedes telah memasang garis polisi atau police line di sekitar lokasi agar warga tidak mendekat.Di lokasi, personel Polsek Kebonpedes dan Polres Sukabumi Kota banyak menemukan barang bukti, antara lain selongsong petasan yang sudah diisi tanah cadas kering dan beberapa bahan baku lainnya untuk membuat petasan.Dari penyelidikan dan meminta keterangan atau informasi dari beberapa saksi, kuat dugaan ledakan tersebut berasal dari petasan dan gubuk yang hancur merupakan tempat pembuatan petasan.\"Kami masih mengembangkan kasus ini dan telah melakukan berbagai upaya pencegahan terhadap potensi gangguan kamtibmas yang diakibatkan oleh bahaya petasan,\" katanya pula.Zainal pun mengimbau kepada para perajin petasan di Kampung Lemburhuma dan sekitar agar bisa beralih profesi, karena usaha yang digelutinya tersebut bisa mengancam keselamatan diri sendiri maupun orang lain.Menurut dia, jauh hari pihaknya pun telah mengingatkan kepada warga khususnya perajin untuk tidak kembali membuat dan memperjualbelikan maupun membakar petasan sebagai upaya pencegahan terjadinya gangguan kamtibmas dan antisipasi hal yang tidak diinginkan.Kampung Lemburhuma yang berada di Kecamatan Kebonpedes sudah puluhan tahun menjadi sentra kerajinan pembuatan petasan dan keahlian membuat petasan ini sudah turun menurun.(ida/ANTARA)

Ferry Irawan Ditetapkan sebagai Tersangka Kasus KDRT

Surabaya, FNN - Kepolisian Daerah  (Polda) Jawa Timur menetapkan Ferry Irawan sebagai tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diduga dilakukan terhadap istrinya, Venna Melinda.\"Kemarin sudah dilakukan gelar perkara dan sudah ditetapkan bahwa saudara FI (Ferry Irawan) akan dinaikkan statusnya menjadi tersangka,\" kata Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Dirmanto di Surabaya, Kamis.Dirmanto mengungkapkan pada Rabu (11/1) pihaknya melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di sebuah hotel di Kota Kediri.Polisi memeriksa sekitar enam orang saksi di Kediri, di antaranya \"house keeping\", \"front office\", sejumlah pegawai hotel, dan CCTV.Dalam olah TKP, papar dia, polisi menemukan sejumlah barang bukti di antaranya sprei dan handuk yang ada bercak darahnya, serta mengambil sejumlah sampel darah.\"Sekali lagi kemarin sudah dilakukan gelar perkara dan dinyatakan oleh tim bahwa FI sudah dinyatakan menjadi tersangka,\" katanya.Selanjutnya pada hari ini (Kamis), katanya, Polda Jatim akan melayangkan surat panggilan kepada Ferry Irawan agar datang pada hari Senin (16/1) untuk dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka.Atas perbuatannya, Ferry Irawan dijerat Pasal 44 dan 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.\"Karena di situ secara singkat kami sampaikan ada kekerasan fisik maupun psikis,\" ujar dia.(ida/ANTARA)

Sudah Tiga Bulan Terakhir Venna Melinda Mengalami KDRT

Surabaya, FNN - Kuasa hukum Venna Melinda, Hotman Paris Hutapea, mengungkapkan kliennya sudah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari suaminya, Ferry Irawan, selama tiga bulan terakhir.\"Apa yang dialami Venna bukan hanya yang di Kediri, ternyata sudah tiga bulan terakhir,\" kata Hotman saat mendampingi Venna Melinda menjalani pemeriksaan tambahan di Mapolda Jatim, Surabaya, Kamis. Pengacara yang terkenal nyentrik itu mengatakan jika sedang emosi, Ferry melakukan kekerasan dengan cara membekap mulut hingga memiting yang menyebabkan ibu Verrell Bramasta itu mengalami cedera pada tulang rusuk.\"Terakhir, dibekap, ditindih, dipegang, dikunci sampai Venna berteriak meminta tolong. Kalau marah, cemburu, kalau permintaan tidak dituruti, macam-macam,\" jelasnya.Hotman menyatakan Ferry Irawan merupakan pesilat yang bisa melakukan perbuatan tanpa meninggalkan bekas. Selain itu, Ferry Irawan sudah tiga bulan tidak pernah lagi memberi nafkah kepada Venna Melinda, sehingga selama itu Venna yang mencukupi kebutuhan hidup.Hotman mengungkapkan kedatangan mendampingi Venna untuk melengkapi berita acara pemeriksaan (BAP) dan menguatkan bahwa kekerasan sudah terjadi selama tiga bulan terakhir.\"BAP (berita acara pemeriksaan) hari ini bahwa untuk melengkapi dugaan kekerasan tersebut bukan hanya di Kediri tapi mengalaminya tiga bulan terakhir sampai tulang rusuknya retak,\" ujar Hotman.(ida/ANTARA)